JURNAL
POLA KOMUNIKASI FPA BOUGENVILLE PADA mARPs (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Pola Komunikasi Forum Peduli Aids Bougenville pada Kelompok Beresiko Tinggi “mARPs” dalam Pencegahan Penularan HIV/AIDS di Kabupaten Kebumen)
Oleh: RINI AMBARSARI D0211087
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2015
1
POLA KOMUNIKASI FPA BOUGENVILLE PADA mARPs (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Pola Komunikasi Forum Peduli Aids Bougenville pada Kelompok Beresiko Tinggi “mARPs” dalam Pencegahan Penularan HIV/AIDS di Kabupaten Kebumen)
Rini Ambarsari Sofiah
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract This study was motivated by the high incidence of HIV / AIDS every year in Indonesia. And fulfillment of sexual needs that exist in humans makes high sexual habits in society. Lack of understanding about HIV / AIDS makes sexual behavior are still at risk, so that transmission of the virus will easily occur. One of the government's efforts in the prevention of HIV / AIDS is a behavioral change intervention in high-risk groups. External and internal factors are things to consider in communicating with the high-risk group that embodied the sake of effective communication to make persuasive in changing sexual behavior. The aim of this study was to determine how communication patterns and problems and communication barriers in reaching mARPs (the most at risk population) by FPA Bougenville. The methodology used in this research is descriptive qualitative primary data sources are interviews and observation, while supporting data obtained from documents and other supporting data. The analysis technique is done through a process of data reduction, data presentation and conclusion. The sampling technique in this research is purposive sampling technique. This research was conducted in Kebumen the number of respondents as many as 12 people representing every high-risk groups. The results showed the communication patterns FPA Bougenville on Maros start of phase information retrieval, introduction, data collection, testing VCT up on the control behavior. MARPs outreach process by FPA Bougenville occur Interpersonal communication process and communication group. Communication is done through face-to-face and media. At the outreach process starts from the introduction, the data collection to the accompaniment. Problems and obstacles on outreach mARPs namely the mARPs 'sanctimonious', has not been willing to do the test VCT, do not listen to the advice of outreach and some are less open to outreach. Keywords: Communication Patterns, HIV / AIDS, mARPs (the most at risk population)
2
Pendahuluan HIV/AIDS merupakan kasus yang serius bagi dunia. Kasus HIV/AIDS dari tahun ketahun di dunia semakin meningkat. Dari tahun 1990 hingga 2009 grafik terus saja naik. 1 Negara yang terkena dampak paling buruk adalah negara berkembang seperti; Afrika, Amerika dan negara-negara lainnya, termasuk Indonesia.2 Secara kumulatif kasus HIV & AIDS di Indonesia sejak 1 Januari 1987 hingga 30 September 2014, terdiri dari : HIV (150296) AIDS (55799).3 Menurut UNICEF, pada bulan Oktober (2012) dalam waktu tiap 25 menit di Indonesia, terdapat satu orang baru terinfeksi HIV, satu dari setiap lima orang yang terinfeksi dibawah usia 25 tahun. Jawa tengah merupakan provinsi yang masuk dalam 10 terbesar ditemukannya kasus HIV/AIDS. Peningkatan terus terjadi di Jawa Tengah. Bahkan di tahun 2014, Jawa Tengah menduduki peringkat 4 dengan kasus HIV/AIDS terbanyak. 4 Jawa Tengah merupakan wilayah yang luas yang terdiri dari beberapa kabupaten. Kebumen, salah satu kabupaten di Jawa Tengah, menduduki peringkat ke 4 yang termasuk dalam kategori terbanyak ditemukannya kasus HIV/AIDS. 5 Hal tersebut menjadi masalah serius bagi kabupaten Kebumen. Dari 26 kecamatan yang ada di Kebumen, hampir tidak satupun terbebas dari virus HIV/AIDS. Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen, Cokroaminoto pada Kamis, 7 November 2013 dikutip dari tempo.com mengungkapkan bahwa pada September lalu, di seluruh kecamatan tercatat sudah ada penderita HIV/AIDS.6
1
Indocorpcircles, Mengerikan!! Penderita Aids di Indonesia terus naik, diterbitkan pada 1 Desember 2013 pada situs https://indocropcircles.wordpress.com/2013/12/01/angka-penderitaaids-di-indonesia-terus-naik/ diakses pada 10 Mei 2015 2 World Health Organization, HIV/AIDS, diterbitkan tahun 2015 pada situs http://www.who.int/trade/glossary/story051/en/ diakses pada 20 April 2015 3 Kemenkes, Laporan Kasus HIV AIDS di Indonesia, diterbitkan pada 17 Oktober 2014 pada situs http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.php?lang=id&gg=1 diakses pada 12 Mei 2015 4 KPA Jawa Tengah, Data HIV/AIDS Provinsi Jateng per Desember 2014 5 Ibid 6 A. Andrianto, HIV/AIDS Tersebar di Seluruh Wilayah Kecamatan di Kebumen, diterbitkan 7 November 2013) http://pemilu.tempo.co/read/news/2013/11/07/058527918/HIVAIDS-Tersebardi-Seluruh-Kecamatan-di-Kebumen diakses pada 5 Maret 2015
3
Pemerintah terus melakukan usaha demi menekan penyebaran kasus HIV/AIDS, berbagai upaya dilaksanakan. Mendagri juga turut andil dalam pengendalian HIV/AIDS, yaitu dibuktikan dengan instruksi yang dikeluarkan oleh Mendagri yaitu Instruksi Mendagri no 444.24/2259/SJ-3 Mei 2013.7 Namun sayangnya, usaha pemerintah belum memberikan hasil yang memuaskan. Dalam penelitian sebelumnya mengenai Implementasi Kebijakan Penanggulangan HIV/AIDS di Jawa Tengah oleh Universitas Diponegoro juga mengatakan bahwa Kebijakan Pemerintah masih kurang efektif dalam penanganan kasus ini. Dari hasil penelitian tersebut, kurang efektifnya program pemerintah dikarenakan kurang adanya komunikasi yang baik, seperti sosialisasi bagi masyarakat kurang optimal.8 Untuk membantu pemerintah dalam mengatasi pengendalian HIV/AIDS, beberapa relawan mendirikan forum peduli aids yaitu Forum Peduli Aids (FPA) Bougenville. FPA Bougenville melakukan berbagai seperti penyebaran informasi dan mengedukasi masyarakat untuk menekan penyebaran virus HIV/AIDS. Fokus FPA Bougenville adalah pada penjangkauan kelompok beresiko tinggi (mARPsthe most at risk population) yaitu Laki-laki beresiko tinggi (LBT), Wanita Pekerja Seks (WPS), Laki-laki Suka Laki-laki (LSL) dan Waria. Dalam proses penjangkauan di FPA Bougenville, terdapat proses komunikasi yang pastinya berbeda dengan kelompok lainnya. Hal ini disebabkan anggotanya yang berbeda, tujuan dan sasarannya pun berbeda. Kelompok beresiko tinggi (The most at risk populations-mARPs9) merupakan orang-orang yang
membutuhkan
pengetahuan
lebih
tentang
HIV/AIDS
dan
cara
pencegahannya, karena orang-orang dalam kelompok ini sangat beresiko tertular virus HIV. Proses komunikasi yang dilakukan oleh FPA Bougenville pastinya menunjukkan pola komunikasi yang berbeda dengan organisasi lainnya. Menurut peneliti bukan hal yang mudah untuk merangkul mARPS dan melakukan
7
FPA Bougenville, Analisis Situasi HIV/AIDS per Agustus, Dokumen FPA Bougenville Afrianni HS., Sri Suwitri., R Slamet Santoso., Implementasi Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS di Jawa Tengah, (2012) hal 8 9 mARPs (The most at risk population) merupakan sebutan bagi pelaku beresiko tinggi terkena HIV/AIDS 8
4
komunikasi persuasif demi tercapainya tujuan FPA Bougenville yaitu mengajak untuk melakukan tes VCT hingga mengubah perilaku seksualnya menjadi lebih aman. Pastinya banyak ditemukan hambatan dalam proses penjangkauan oleh FPA Bougenville. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui pola komunikasi FPA Bougenville pada mARPs. Pengamatan ini dijabarkan dengan menggunakan studi deskriptif, dimana peneliti melakukan analisis berdasarkan hasil wawancara dan observasi.
Rumusan Masalah Peneliti merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana pola komunikasi Forum Peduli Aids Bougenville pada kelompok beresiko tinggi “mARPs” dalam Pencegahan Penularan HIV/AIDS di Kabupaten Kebumen? 2. Apa hambatan yang terjadi dalam komunikasi Forum Peduli Aids Bougenville pada kelompok beresiko tinggi “mARPs”
dalam Pencegahan Penularan
HIV/AIDS di Kabupaten Kebumen?
Tujuan Tujuan dalam penelitian ini adalah : 1.
Untuk mengetahui pola komunikasi Forum Peduli Aids Bougenville pada kelompok beresiko tinggi “mARPs” dalam Pencegahan Penularan HIV/AIDS di Kabupaten Kebumen.
2.
Untuk mengetahui hambatan yang terjadi dalam komunikasi Forum Peduli Aids Bougenville pada kelompok beresiko tinggi “mARPs” Pencegahan Penularan HIV/AIDS di Kabupaten Kebumen.
dalam
5
Telaah Pustaka A. Pola Komunikasi Kegiatan komunikasi
merupakan kunci
awal membentuk
pola
komunikasi. Pola komunikasi adalah suatu kecenderungan gejala umum yang menggambarkan cara berkomunikasi yang terjadi dalam suatu kelompok tertentu.10 Dari proses komunikasi akan muncul pola, model, bentuk dan bagian-bagian kecil yang berkaitan dengan proses komunikasi. Wilbur Schramm menyatakan bahwa komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference), yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of experience and meaning) yang pernah diperoleh komunikan.11 B. Komunikasi Interpersonal Komunikasi interpersonal adalah interaksi tatap muka antar dua atau beberapa orang dimana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung, dan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung. 12 Komunikasi interpersonal merupakan proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang dalam situasi tatap muka. Menurut Djuarsa Sendjaja dan Turnomo Rahardjo sebagaimana dikutip oleh Morrisan, 2008:20 mengatakan pada komunikasi interpersonal, komunikasi itu dapat diartikan sebagai suatu proses pertukaran makna antara orang-orang yang saling berkomunikasi. 13 Menurut Joseph A Devito, komunikasi interpersonal yang efektif dimulai dengan lima kualitas umum yang perlu dipertimbangkan, yaitu:14 a. Keterbukaan, maksudnya adalah mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang kita lontarkan adalah milik kita dan bertanggung jawab atas hal tersebut
10
AW Suranto, Komunikasi Sosial Budaya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), Hal 116 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: PR Remaja Rosdakarya, 2003) hal 13 12 Agus M Hardjana, Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal. (Yogyakarta: Kanisius. 2007), halaman 85 13 Morissan, Teori Komunikasi: Individu hingga Massa, (Jakarta: Kencana, 2013) halaman 20 14 Joseph A. Devito, The Interpersonal Communication: 9th Edition, New York: Herper and Row Publisher, 2001, hal 137-143 11
6
b. Empati, merupakan kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami orang lain dari sudut pandang orang tersebut.mencoba untuk tidak menilai orang salah-benar atau baik-buruk. Bersikap simpati pada mARPs akan dapat membuat kita mengenal secara lebih dekat dan mengerti yang diinginkan dan dirsakan mereka. c. Sikap mendukung, sikap dan pandangan yang saling mendukung, membantu bersamasama akan mewujudkan sikap empati yang kemudian memunculkan komunikasi yang efektif. d. Sikap positif, selalu bersikap santun dan menghargai orang lain. e. Kesetaraan,
maksudnya
disini
adalah
mewujudkan
komunikasi
interpersonal yang setara agar berlangsung komunikasi efektif. C. Teori Penetrasi Sosial Teori penetrasi sosial menjelaskan bagaimana berkembangnya sebuah konsep kedekatan hubungan.15 Teori ini dikembangkan pada tahun 1973 oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor. Menurut teori ini, kita akan mampu berdekatan dengan seseorang yang lain sejauh kita mampu melalui proses. Proses penetrasi sosial menjelaskan tahapan hubungan dimana individuindividu bergerak dari komunikasi supervisial menuju komunikasi yang lebih intim. 16 Altman dan Taylor mengajukan empat tahap perkembangan hubungan antar individu yaitu: 17 1. Tahap orientasi, tahap dimana komunikasi yang terjadi bersifat tidak
pribadi (impersonal). Para individu yang terlibat hanya menyampaikan informasi yang bersifat sangat umum saja. Jika pada tahap ini mereka yang terlibat merasa cukup mendapatkan imbalan interkasi awal, maka mereka akan melanjutkan ke tahap berikutnya yaitu tahap pertukaran efek eksploratif.
15
Ristiana Kadarsih, Teori Penetrasi Sosial dan Hubungan Interpersonal, Jurnal Dakwah Vol X No 1, Januari-Juni 2009 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta hal 53 16 Charles R Berger, Michael E Roloff & Roskos-Ewoldsen, The Handbook of Communication Science, Thousand Oaks (CA: Sage 2009), hal 329 17 Morissan, Op. Cit., halaman 298-299
7
2. Tahap pertukaran efek eksploratif (exploratory affective exchange), tahap
dimana muncul gerakan menuju ke arah keterbukaan yang lebih dalam. 3. Tahap pertukaran efek (affective exchange), tahap munculnya perasaam
kritis dan evaluatif pada level yang lebih dalam. Tahap ketiga ini tidak akan dimasuki kecuali para pihak pada tahap sebelumnya telah menerima imbalan yang cukup berarti dibandingkan dengan biaya yang di keluarkan. 4. Tahap pertukaran stabil (stable exchange), adanya keintiman dan pada
tahap ini, masing- masing induvidu dimungkinkan untuk mempekirakan masing-masing tindakan mereka dan memberikan tanggapan dengan sangat baik. Model teori penetrasi sosial menyediakan jalan yang lengkap untuk menggambarkan mengembangkannya
perkembangan dengan
hubungan
pengalaman
interpersonal
individu
sebagai
pengungkapan diri yang mendorong kemajuan hubungan.
18
dan proses
Bila suatu
hubungan menjadi rusak, keluasan dan kedalaman sering kali akan (tetapi tidak selalu) menurun, proses ini disebut depenetrasi.19 D. mARPs The most at risk population-mARPs merupakan populasi beresiko tinggi, sekumpulan individu yang belum/tidak menderita tetapi mempuyai risiko untuk menderita, populasi ini sangat mudah terserang virus HIV/AIDS. Yang termasuk dalam mARPs dalam penelitian ini adalah a. Laki-laki beresiko tinggi (LBT) merupakan laki-laki yang biasa berhubungan lebih dari satu wanita. b. Wanita Pekerja Seks (WPS) atau lebih dikenal dengan wanita pekerja seksual. c. Laki-laki suka laki-laki (LSL) merupakan laki-laki yang tidak hanya berhubungan dengan wanita namun juga pernah melakukan hubungan dengan laki-laki, gay termasuk dalam kategori ini.
18 19
Ristiana Kadarsih, Op. Cit, hal 54 Joseph A Devito, Komunikasi Antarmanusia, (edisi kelima, 1997), hal 242
8
d. Waria (W) adalah laki-laki yang menganggap dirinya lebih pantas menjadi wanita. Berbeda dengan gay, gay dalam penampilan luarnya tetap menjadi pria, namun waria akan berpenampilan dan bergaya layaknya seorang wanita.
Metodologi Penelitian ini tergolong dalam penelitian deskriptif kualitatif. Sebagai suatu penelitian deskriptif, penelitian ini hanya memaparkan situasi atau peristiwa, tidak mencari hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. 20 Teknik dalam pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah jenis purposive sampling, dimana peneliti cenderung memilih informan yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap.21. Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling bahkan populasi atau samplingnya sangat terbatas. Jika data yang terkumpul sudah mendalam dan bisa menjelaskan fenomena yang diteliti, maka tidak perlu mencari sampling lainnya.22 Data kualitatif diperoleh dari pengolahan informasi yang diperoleh dari sumber data primer melalui wawancara, dan sumber data sekunder melalui dokumen resmi terkait. Teknik pengumpulan data yang digunakan menggunakan metode wawancara, observasi dan data dokumen. Wawancara dilakukan pada 12 informan yaitu 6 anggota FPA bougenville dan 6 mARPs. Sedangkan untuk teknik analisis data, peneliti menggunakan teknik analisis data model interaktif dari Miles dan Huberman yaitu terdiri dari yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
20
Jalaludin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007, halaman 24 21 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010) hal 56 22 Ibid.,halaman 57
9
Sajian dan Analisis Data A. Pola Komunikasi Komunikasi FPa Bougenville pada mARPs 1. Proses Komunikasi Pelaksanaan penjangkauan hingga pada pendampingan oleh FPA Bougenville tidak terlepas dari proses komunikasi yang telah dijalankan dengan baik oleh anggota FPA Bougenville. Bentuk komunikasi yang sering dilakukan dalam proses penjangkauan merupakan komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok. Setiap proses tersebut terdapat unsur komunikasi. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, unsur-unsur dasar dalam proses komunikasi antara FPA Bougenvile dan mARPs terdiri dari : a.
Komunikan dan Komunikator Orang-orang yang terlibat sebagai komunikator dan komunikan adalah
penjangkau lapangan FPA Bougenville, Kelompok beresiko tinggi yang terdiri dari HRM (Laki-laki Beresiko Tinggi), Waria, LSL (laki-laki seks laki-laki) dan WPS (wanita pekerja seks). Dalam hal ini, komunikator (pengirim pesan) dapat berperan sebagai komunikan (penerima pesan) hal tersebut terjadi karena adanya proses interaksional di dalamnya, ada timbal balik yang terjadi saat komunikasi. b. Pesan Pesan yang disampaikan baik oleh komunikan maupun komunikator berupa pesan verbal dan nonverbal. Bahasa yang digunakan merupakan wujud komunikasi verbal. Penggunaan bahasa biasanya lebih banyak menggunakan bahasa daerah Kebumen yang dikenal dengan bahasa “ngapak”, hanya saja saat acara formal seperti sosialisasi yang dihadiri kelompok besar lebih dari 30 orang akan banyak digunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa “ngapak” dalam komunikasi tatap muka ataupun dengan kelompok dyadic atau kelompok kecil dikarenakan komunikasi menjadi lebih santai, lebih terasa dekat dan tidak ada batas atau kecanggungan antara komunikan dengan komunikator yaitu antara anggota FPA Bougenville dengan mARPs.
10
c.
Media Proses komunikasi yang terjadi antara FPA Bougenville dan mARPs juga
menggunakan media, seperti melalui SMS (short message service), BBM (blackberry messanger), Facebook, atau melalui telepon d. Feedback atau umpan balik Feedback positif sering terjadi saat komunikasi dilakukan secara personal. Di lain sisi tetap terjadi feedback negative dari mARPs, hal tersebut sering terjadi saat komunikasi dilakukan pada kelompok besar maupun kecil. Sikap tersebut ditunjukkan mereka seperti mengobrol dengan teman terdekatnya saat komunikator sedang menyampaikan pesannya. Selain itu juga ditunjukkan dengan sikap asyik mainan gadget sendiri. e.
Efek Dari proses yang terjadi pastinya menimbulkan efek tertentu. Dalam
penelitian ini, efek kognitif yaitu masyarakat khususnya mARPs-pelaku beresiko tinggi menjadi tahu tentang HIV/AIDS. Selanjutnya setelah sampai pada efek kognitif akan muncul efek afektif, yang berhubungan dengan perasaan mARPs. pada efek ini, mARPs sebagai pelaku beresiko tinggi sebagian merasa takut, karena mereka merasa perilaku seksual yang dilakukan sebelumnya sangat beresiko seperti melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan kondom dengan pasangan yang tidak tetap. Efek behavioralnya yaitu mARPs mau melakukan tes VCT dan mau menerima saran dari FPA Bougenville. 2. Proses Penjangkauan Penjangkauan ini dimulai dari tahap dimana penjangkau lapangan mencoba mencari informasi keberadaan mARPs, dilanjutkan pada tahap perkenalan lalu dilakukan pendataan dan pendekatan lebih intim agar terjaid keterbukaan dan selanjutnya mARPs bersedia mengikuti tes VCT dan menerima saran FPA Bougenville. Dalam proses penjangkauan ini, Seorang komunikator dan komunikan memiliki kesamaan frame of reference dan field of ecperience yaitu berarti mereka memiliki kesamaan dalam hal tingkat pendidikan, profesi atau pekerjaan, agama, bangsa, hobi, ideology, dan lain sebagainya. Kesamaan seperti inilah yang dimiliki oleh penjangkau dan mARPs yang akan dijangkau. Seperti
11
penjangkau lapangan untuk HRM juga merupakan HRM, penjangkau LSL merupakan LSL. Hal tersebut untuk memudahkan berlangsungnya proses komunikasi dan penjangkauan. 3. Cara Berkomunikasi Cara berkomunikasi FPA Bougenville dan mARPs yaitu dengan tatap muka (face to face) dan bermedia. Tatap muka dianggap sebagai cara berkomunikasi yang lebih efektif, karena komunikator dapat menerima feedback secara langsung. Selain itu, komunikator juga mampu melihat respon komunikan secara langsung. Komunikasi dengan bermedia digunakan sebagai pendukung misalnya saja untuk membuat janji untuk bertemu. Berdasarkan wawancara dan observasi di lapangan, jenis media komunikasi yang digunakan oleh responden FPA Bougenville dan mARPs adalah jenis media komunikasi audio dan komunikasi visual. 4. Komunikasi Interpersonal Dalam komunikasinya, FPA Bougenville dan mARPs telah memenuhi lima syarat komunikasi interpersonal yang mewujudkan komunikasi interpersonal efektif, yaitu keterbukaan, empati, sikap mendukung dan sikap positif. Selanjutnya dari komunikasi interpersonal ini memunculkan kedekatan yang lebih intim. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan observasi lapangan, seorang mARPs tanpa sungkan menceritakan masalah kesehatan reproduksinya bahkan hubungan seksualnya yang dilakukan dengan orang yang berbeda-beda. Teori penetrasi social oleh Irwin Altman dan Dalmas Taylor dalam hal ini digunakan agar komunikasi FPA Bougenville dan mARPs menjadi lebih intim, terbuka dan harmonis. Tahapan hubungan antar Individu dalam FPA Bougenville yaitu: 1. Tahap orientasi (impersonal).
Tahap ini terjadi pada awal proses penjangkauan, dimana penjangkau melakukan perkenalan dan menyampaikan informasi umum saja seperti menyampaikan informasi tentang HIV/AIDS pada umunya. 2. Tahap pertukaran efek eksploratif (exploratory affective exchange)
Tahap ini merupakan tahap dimana muncul gerakan menuju ke arah keterbukaan yang lebih dalam. Mereka akan membuka obrolan yang lebih dalam.
12
3. Tahap pertukaran efek (affective exchange)
Tahap ini merupakan tahap munculnya perasaan kritis dan evaluatif pada level yang lebih dalam. Pada tahap ini, biasanya mARPs telah memikirkan akibatakibat perbuatannya di masa lampau. 4. Tahap pertukaran stabil (stable exchange)
Pada tahap ini, sudah terjadi keintiman antara penjangkau dengan mARPs. Keputusan untuk melakukan tes VCT akan tercapai pada tahap ini. Karena tidak mudah untuk mengajak mARPs melakukan tes VCT. Pada tahap ini pula, mARPs sudah mulai mengerti maksud dari penjangkau, dan melaksanakan setiap saran dari penjangkau. Setelah mencapai tahap ini pula, kedekatan antara penjangkau dengan mARPs akan terjadi, sehingga penjangkau akan lebih mudah melakukan kontrol pada mARPs. Komunikasi yang lebih intim harus terjadi dalam proses penjangkauan, karena kebanyakan mARPs sungkan menceritakan kegiatan seksualnya, terlebih jika dilakukan bukan dengan pasangan tetapnya. Dengan komunikasi yang lebih intim maka akan mewujudkan pembukaan diri. 5. Komunikasi Kelompok Komunikasi kelompok adalah interaksi tatap muka dari tiga atau lebih individu untuk tujuan yang diakui seperti berbagi informasi, pemeliharaan diri atau pemecahan masalah, sehingga anggota dapat mengingat karakteristik pribadi anggota lain secara akurat.23 Untuk komunikasi kelompok biasanya FPA Bougenville mendatangi sebuah komunitas tertentu yang dianggap kumpulan orang tersebut merupakan target jangkauan atau mereka merupakan mARPs yang berada di suatu tempat, misalnya saja club motor di alun-alun kebumen, paguyuban sopir di terminal, atau mengumpulkan ibu-ibu rumah tangga di kantor desa. Biasanya dalam perkumpulan tersebut, FPA Bougenville akan pelan-pelan memberikan berbagai pengetahuan tentang HIV/AIDS, selanjutnya mengajak untuk melakukan tes VCT.Komunikasi kelompok juga dianggap cara yang efektif dalam penjangkauan,
23
Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi, ( Jakarta: PT Grasindo, 2004) halaman 47
13
karena melalui kelompok, penjangkau akan lebih mudah mengakses informasi dari setiap anggota. Kegiatan yang melibatkan komunikasi kelompok dalam penjangkauan di FPA Bougenville yaitu pertemuan rutin peer education, program VCT Mobile, Miss Fantasy, Peringatan hari AIDS sedunia, Malam renungan HIV/AIDS dan juga sosialisasi di kelompok atau komunitas. 6. Hambatan dalam Komunikasi FPA Bougenville dan mARPs Faktor yang menjadi hambatan dalam penjangkauan mARPs di FPA Bougenville cenderung dari dalam diri mARPs yaitu adanya mARPs yang manja, nakal dan sensitif. Misalnya saja mARPs justru menggoda penjangkau agar mau melakukan hubungan seksual dengannya. Hambatan juga ditemukan karena mARPs yang terdiri dari 4 kategori memiliki karakteristik masing-masing yang berbeda satu sama lain, hambatan tersebut yaitu: a. HRM Hambatan dalam penjangkauan HRM adalah pada kebiasaan HRM yang berpindah-pindah sehingga penjangkau sulit melakukan pengawasan. Hambatan lainnya adalah HRM cenderung keras kepala dan sok suci, masih adanya HRM yang belum menerima saran FPA Bougenville dan masih sedikit adanya perubahan perilaku seksual. b. WPS Hambatan besar pada WPS adalah belum adanya keterbukaan dari WPS TL. Bahkan mereka tidak mau dianggap WPS meski mereka mempunyai perilaku seksual yang beresiko. Perubahan perilaku seksual dan saran dari FPA Bougenville sudah dilaksanakan oleh WPS hanya saja dalam situasi tertentu terhambat oleh perilaku dari pelanggan mereka yaitu HRM yang cenderung tidak mau menggunakan pengaman. c. Waria Yang menjadi hambatan dalam penjangkauan waria adalah waria yang masih jarang mengekspos dirinya. Jadi masih sangat jarang ditemukan waria di Kebumen. Waria cenderung sangat tertutup terlebih mereka yang mempunyai kebiasaan berbeda saat siang dan malam hari. Pada siang hari mereka bergaya
14
layaknya laki-laki, namun pada malam hari mereka berubah menjadi seorang wanita. d. LSL Untuk kategori LSL, hambatan yang ditemukan dalam penelitian adalah kurang terbuka, menutup diri dan juga sulitnya mereka menerima saran dari FPA Bougenville. Mereka mendengarkan setiap sosialisasi dari FPA Bougenville, namun mereka belum melakukan perubahan perilaku seksualnya, sehingga penularan virus HIV paling tinggi terjadi pada kategori LSL.
Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai Pola Komunikasi Forum Peduli Aids Bougenville dan mARPs, penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: A. Pola komunikasi FPA Bougenville pada kelompok beresiko tinggi “mARPs” dalam Pencegahan Penularan HIV/AIDS di Kabupaten Kebumen itu terjadi dalam proses penjangkau mencari informasi keberadaan mARPs, perkenalan, pendataan, tes VCT, pengawasan dan pendampingan. Dalam Pola Komunikasi tersebut dapat diketahui : 1. Dari proses tersebut terjadi dua macam komunikasi yaitu komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok. Komunikasi yang terjadi yaitu model komunikasi yang interaktif dan hampir keseluruhan bersifat non formal. 2. Unsur-unsur komunikasi
yang
ada dalam
proses komunikasi pada
penjangkauan mARPs di FPA Bougenville sama dengan unsur-unsur komunikasi pada umunya; komunikator dan komunikan, pesan, media, umpan balik, efek. 3. Pada proses penjangkauan, Penjangkau lapangan yang memiliki kesamaan frame of reference dan field of experience dengan mARPs akan lebih mudah dalam melakukan komunikasi dengan mARPs dalam penjangkauan dan mencapai target jangkauannya. Hal tersebut sesuai dengan model komunikasi oleh Wilbur Schramm. Penjangkau Lapangan yang berasal dari komunitas itu sendiri lebih mudah untuk mengakses target jangkauannya, dan mARPs juga
15
menjadi lebih terbuka dengan mereka. Sehingga komunikasi berjalan lebih efektif. 4. Tatap muka (face to face) menjadi cara berkomunikasi yang sering dilakukan oleh FPA Bougenville dengan mARPs saat melakukan penjangkauan dan sosialisasi. Komunikasi bermedia digunakan oleh FPA Bougenville dan mARPs untuk sekedar membuat janji untuk bertemu secara tatap muka, baik secara personal maupun kelompok. 5. Dalam membangun hubungan dalam proses penjangkauan terdapat hal-hal yang sangat berpengaruh yaitu pemahaman karakter mARPs, penggunaan istilah mengenai HIV/AIDS, komunikasi verbal dan non-verbal. Komunikasi interpersonal yang efektif dipengaruhi oleh 5 faktor, yaitu keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif, dan kesetaraan 6. Penggunaan teori penetrasi sosial yang kemudian dengan penerapan pola komunikasi antarpribadi yang efektif dapat menciptakan keharmonisan dalam komunikasi yang memunculkan kedekatan dan keterbukaan dalam proses penjangkauan oleh FPA Bougenville pada mARPs. B. Faktor yang menjadi hambatan dalam penjangkauan mARPs di FPA Bougenville cenderung dari dalam diri mARPs yaitu adanya mARPs yang manja, nakal dan sensitif. Misalnya saja mARPs justru menggoda penjangkau agar mau melakukan hubungan seksual dengannya. Hambatan juga ditemukan karena mARPs yang terdiri dari 4 kategori memiliki karakteristik masingmasing yang berbeda satu sama lain.
Saran Penulis menyarankan agar dapat dilakukan penelitian riset lebih lanjut terkait strategi komunikasi yang tepat bagi FPA Bougenville dalam melakukan upaya pencegahan penularan HIV/AIDS agar mARPs mempunyai kemauan untuk benar-benar mengubah perilaku seksualnya dan terhindar dari HIV/AIDS. Dalam hal ini, penulis baru menggambarkan pola komunikasi yang dilakukan FPA Bougenville pada mARPs. Dimana pada hasil penelitian ini menunjukkan kurangnya perubahan seksual oleh kelompok beresiko tinggi.
16
Dengan demikian diharapkan dalam penelitian selanjutnya, peneliti dapat menemukan strategi yang tepat yang dapat digunakan oleh FPA Bougenville agar dapat mengubah perilaku seksual kelompok beresiko tinggi tersebut menjadi lebih aman sehingga dapat terhindar dari HIV/AIDS.
Daftar Pustaka Afrianni HS, S. S. (2012). Implementasi Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS di Jawa Tengah. Andrianto, A. (2013, November 7). HIV/AIDS Tersebar di Seluruh Wilayah Kecamatan di Kebumen. Retrieved Maret 5, 2015, from http://pemilu.tempo.co/read/news/2013/11/07/058527918/HIVAIDSTersebar-di-Seluruh-Kecamatan-di-Kebumen Charles R Berger, M. E.-E. (2009). The Handbook of Communication Science, Thousand Oaks. CA: Sage. Devito, J. A. (n.d.). Komunikasi Antarmanusia edisi kelima. 1997. Devito, J. A. (2001). The Interpersonal Communication: 9th Edition. New York: Herper and Row Publisher. Effendy, O. U. (2003). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. FPA Bougenville. (2015). Analisis Situasi HIV/AIDS per Agutus. Kebumen: FPA Bougenville. Hardjana, A. M. (2007). Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal. Yogyakarta: Kanisius. Indocorpcircles. (2013, Desember 1). Mengerikan!! Penderita Aids di Indonesia Terus Naik. Retrieved Mei 10, 2015, from https://indocropcircles.wordpress.com/2013/12/01/angka-penderita-aidsdi-indonesia-terus-naik/ Kadarsih, R. (2009). Teori Penetrasi Sosial dan Hubungan Interpersonal. Jurnal Dakwah Vol X No 1 Januari-Juni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 53. Kemenkes. (2014, Oktober 17). Laporan Kasus HIV AIDS di Indonesia. Retrieved Mei 12, 2015, from http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.php?lang=id&gg=1 KPA Jawa Tengah. (2014). Data HIV/AIDS Provinsi Jateng per Desember 2014. Kebumen: Dinkes Kebumen. Kriyantono, R. (2010). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Morissan. (2013). Teori Komunikasi: Individu hingga Massa. Jakarta: Kencana. Rakhmat, J. (2007). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Suranto, A. (2010). Komunikasi Sosial Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu. Wiryanto. (2004). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Grasindo. World Health Organization. (2015). HIV/AIDS. Retrieved April 20, 2015, from http://www.who.int/trade/glossary/story051/en/