POLA HUBUNGAN ANTARA PETANI DAN KOPERASI DALAM PENGUSAHAAN HUTAN DI DESA CIHOWE DAN DESA COGREG BP3K KABUPATEN BOGOR
DEWI SUPRIYO PUTRI
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pola Hubungan antara Petani dan Koperasi dalam Pengusahaan Hutan di Desa Cihowe dan Desa Cogreg BP3K Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2013 Dewi Supriyo Putri NIM E14090033
ABSTRAK DEWI SUPRIYO PUTRI. E14090033. Pola Hubungan antara Petani dan Koperasi dalam Pengusahaan Hutan di Desa Cihowe dan Desa Cogreg BP3K Kabupaten Bogor. Dibawah bimbingan DIDIK SUHARJITO. Tujuan dari penelitian adalah menjelaskan partisipasi petani dalam pengelolaan hutan, menjelaskan pola hubungan antara petani dan koperasi dalam pengusahaan hutan yang dibandingkan pula dengan pola hubungan antara petani dan tengkulak, dan menjelaskan persepsi petani terhadap peran pengusahaan hutan pada peningkatan pendapatan. Penelitian menggunakan metode survei dengan pemilihan responden secara acak. Total responden berjumlah 33 responden; 18 petani JUN, 12 petani bukan JUN, dan 3 responden dari koperasi. Partisipasi petani dalam menjalankan tahapan dari pengelolaan hutan merupakan faktor yang mempengaruhi jumlah pohon sehat milik petani. Pola hubungan antara petani dan koperasi adalah satu-benang berupa pola hubungan tunggal komersial. Begitupun pada petani dan tengkulak. Pola hubungan yang serupa ini menimbulkan sisi positif dan sisi negatif yang berbeda bagi petani. Persepsi petani terhadap pengusahaan hutan termasuk ke dalam kategori tinggi (>50%). Pengusahaan hutan mampu meningkatkan pendapatan petani dari hasil penjualan kayu dengan koperasi dan tengkulak sebagai pembeli kayu. Kata kunci: pengusahaan hutan, koperasi, dan satu-benang.
ABSTRACT DEWI SUPRIYO PUTRI. E14090033. The Pattern of Relation between Farmers and Cooperative on Forest Management in Cihowe Village and Cogreg Village BP3K Bogor District. Supervised by DIDIK SUHARJITO. The aim of study is to explain participation of farmers for managing forest, to explain the pattern of relation between farmers and cooperative on forest management which is compared to the pattern of relation between farmers and middlemen, and to explain perception of farmers about the role of forest management on increase total income of farmers. The study used survey method with random sampling for respondents. Total of respondents were 33 respondents; 18 JUN farmers, 12 non-JUN farmers, and 3 respondents of cooperative. Participation of farmers to follow steps of forest management is a factor for affecting the total good trees of farmers. The pattern of relation between farmers and cooperative is single stranded. This relation is defined as single commercial relation and it is also happened between farmers and middlemen. The same relation pattern to cause the positive and negative impact differently for farmers. Perception of farmers included in the category is high (>50%). Forest mangement is able to increase the total income of farmers from wood sale with cooperative and middlemen are as wood buyers. Keywords: forest management, cooperative, and single stranded.
POLA HUBUNGAN ANTARA PETANI DAN KOPERASI DALAM PENGUSAHAAN HUTAN DI DESA CIHOWE DAN DESA COGREG BP3K KABUPATEN BOGOR
DEWI SUPRIYO PUTRI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
LEMBAR PENGESAHAN
Judu\ Skripsi: Pola Hubungan antara Petani dan Koperasi dalam Pengusahaan Hutan di Desa Cihowe dan Desa Cogreg BP3K Kabupten Bogor : Dewi Supriyo Putri Nama : E14090033 NIM
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Didik Suharjito, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Tanggal Lulus: 16 Oktober 2013
LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi : Pola Hubungan antara Petani dan Koperasi dalam Pengusahaan Hutan di Desa Cihowe dan Desa Cogreg BP3K Kabupten Bogor Nama : Dewi Supriyo Putri NIM : E14090033
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Didik Suharjito, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Didik Suharjito, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus: 16 Oktober 2013
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada Februari 2013 dan berlanjut pada 11 Juli 2013 hingga 15 Juli 2013 ini ialah Pola Hubungan Petani dan Pembeli Kayu. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Didik Suharjito, MS selaku pembimbing yang telah memberikan banyak pembelajaran dan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, Syed Ajijur Rahman, PhD yang telah mendukung secara moral dan berbagi ilmu pengetahuan mengenai hutan rakyat, Yulianto Andreasta Dharmono atas dukungan moral dan bantuannya dalam pengumpulan data penelitian di lapang, UBH-KPWN Bogor serta para petani di Desa Cihowe dan Desa Cogreg yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini, dan rekan-rekan Laboratorium Fisik GIS dan Remote Sensing, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB yang telah membantu dalam proses pembuatan peta lokasi penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah (alm), ibu, kakak dan teman-teman tercinta atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2013 Dewi Supriyo Putri
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
3
METODE
3
Pemilihan Lokasi Penelitian dan Jumlah Responden
3
Jenis Data yang Dikumpulkan
3
Pengolahan dan Analisis Data
4
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian
6 6
Partisipasi Petani dalam Pengelolaan Hutan
11
Pola Hubungan antara Petani dan Koperasi dalam Pengusahaan Hutan
14
Persepsi Petani terhadap Peran Pengusahaan Hutan pada Peningkatan Pendapatan
16
SIMPULAN DAN SARAN
19
Simpulan
19
Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
20
LAMPIRAN
21
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Skor pertanyaan partisipasi petani dalam pengelolaan hutan Kategori partisipasi petani dalam pengelolaan hutan Skor pertanyaan persepsi petani terhadap pengusahaan hutan Kategori skor pertanyaan persepsi petani terhadap pengusahaan hutan Penggunaan lahan di Desa Cihowe Jumlah penuduk Desa Cihowe menurut mata pencaharian Jumlah penduduk Desa Cihowe menurut tingkat pendidikan Jumlah penduduk Desa Cogreg menurut mata pencaharian Pendapatan rata-rata petani JUN dan petani bukan JUN
4 4 5 5 7 7 8 9 17
DAFTAR GAMBAR 1 Peta lokasi penelitian 2 Tingkat Pendidikan Petani di Desa Dashnong, Kabupaten Khagrachari, Bangladesh 3 Persentase partisipasi petani di Desa Cihowe dan Desa Cogreg dalam Pengelolaan Hutan 4 Persentase persepsi petani terhadap peran pengusahaan hutan pada peningkatan pendapatan
6 11 14 18
DAFTAR LAMPIRAN 1 Data skoring partisipasi petani dalam pengelolaan hutan dan persepsi petani terhadap pengusahaan hutan 2 Data pohon yang ditanam oleh petani dan jumlah pendapatan petani di Desa Cihowe dan Desa Cogreg BP3K Kabupaten Bogor 3 Riwayat hidup penulis
21 24 27
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat (UU No. 5/1967 dan UU No. 41/1999). Menurut Suharjito (2000) kata lazim disini menurut pembuat UU, tetapi tidak lazim dalam kelompok masyarakat. Berbagai bentuk penggunaan lahan oleh masyarakat yang di dalamnya terdapat komponen pohon, tidak semuanya dikategorikan sebagai hutan rakyat. Hutan rakyat berdasarkan pelakunya didefinisikan sebagai hutan yang dikelola oleh rakyat, sedangkan hutan yang dikelola oleh bukan rakyat tidak dapat dikatakan sebagai hutan rakyat. Hardjanto (2000) menyebutkan beberapa ciri pengusahaan hutan rakyat, yakni: 1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri dimana petani masih memiliki posisi tawar yang lebih rendah 2. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik 3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran, yang diusahakan dengan cara-cara sederhana 4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari pendapatan total. Beberapa faktor telah mendorong budidaya hutan rakyat di Jawa, faktor ekologis, ekonomi, dan budaya (Suharjito 2000). Faktor ekonomi ini sering menjadi alasan utama mengapa petani hutan rakyat bersedia menanam tanaman hutan pada lahannya. Maryudi (2005) menyatakan bahwa industri usaha hutan rakyat biasanya bersifat non-industrial and small-scale forest management, yang berarti hasil panen dari hutan rakyat umumnya tidak difokuskan untuk industri dan pengelolaan hutan rakyatnya masih dalam skala sederhana. Namun yang sudah dicapai saat ini, USU (2012) menyatakan bahwa hutan rakyat sudah menjadi sumber bahan baku bagi industri pengolahan kayu. Hasil penelitian Fakultas Kehutanan IPB (1976) dan Fakultas Kehutanan UGM (1977) dalam Hardjanto (2006) pun menyatakan bahwa 70% konsumsi kayu pertukangan di Jawa dan 90% konsumsi kayu bakar dipenuhi dari kayu rakyat. Sejak saat itu, kayu rakyat menjadi bahan yang tidak ditinggalkan dalam berbagai macam pembicaraan mengenai konsumsi kayu. Peningkatan konsumsi kayu dari hutan rakyat menuntut petani untuk menghasilkan kayu berkualitas dan lestari secara kuantitas. Namun, yang terjadi saat ini, petani hutan rakyat merupakan masyarakat miskin yang tidak mengetahui bagaimana cara mengelola hutan rakyat agar bermanfaat ganda, baik ekonomi maupun ekologi (Irawati 2000). Keterbatasan petani dalam mengelola hutan rakyat berdampak pada rendahnya tingkat kemampuan petani dalam memasarkan kayu dari hutan rakyatnya dan kondisi ini sering dimanfaatkan oleh tengkulak, sehingga merujuk pada Widyaningrum et al. (2003) menyatakan bahwa pendiktean harga terjadi, tengkulak bukan hanya memonopoli pembelian, tetapi juga memonopoli pengangkutan, serta mempunyai koneksi khusus dengan
2
pasar induk di kota. Tengkulak mengestimasi harga kayu secara rendah, sehingga harga tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh petani. Pola hubungan antara petani dan tengkulak inilah yang menjadi kunci utama keberlangsungan pengusahaan hutan rakyat pada khususnya. Pengestimasian harga yang rendah oleh tengkulak mengurangi minat petani untuk meneruskan pengusahaan hutannya. Oleh karena itu, akan dilakukan penelitian mengenai pola hubungan antara petani dan pembeli kayu dalam pengusahaan hutan di Desa Cihowe dan Desa Cogreg BP3K, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasi ini memiliki luasan hutan yang terbilang besar di wilayah Bogor dengan sebagian besar pengelola hutan sekaligus pembeli kayu berupa koperasi, sehingga hutan yang menjadi obyek utama penelitian bukan hutan rakyat, melainkan hutan perusahaan menurut pelaku dan organisasi yang mengelolanya. Penelitian mengarah pada pola hubungan antara petani dan koperasi dalam pengusahaan hutan dan akan dibandingkan pula peranan tengkulak sebagai pembeli kayu dalam pengusahaan hutan di kedua desa ini. Penelitian difokuskan kepada dua macam petani, yakni petani penggarap bukan pemilik lahan dan petani penggarap sekaligus pemilik lahan.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan bahwa secara garis besar bagaimana pola hubungan antara petani dan pembeli kayu dalam pengusahaan hutan terjadi? Secara lebih rinci beberapa pertanyaan utama, sebagai berikut: 1. Bagaimana partisipasi petani dalam pengelolaan hutan? 2. Bagaimana pola hubungan antara petani dan koperasi dalam pengusahaan hutan dijalankan? Apakah terdapat perbedaan sebagai akibat dari pola hubungan yang dijalankan antara petani JUN dan koperasi dengan petani bukan JUN dan tengkulak? 3. Bagaimana persepsi petani terhadap peran pengusahaan hutan pada peningkatan pendapatan dari hasil penjualan kayu dengan peran koperasi dan tengkulak sebagai pembeli kayu?
Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan menjelaskan partisipasi petani dalam pengelolaan hutan, menjelaskan pola hubungan antara petani dan koperasi dalam pengusahaan hutan yang dibandingkan pula dengan pola hubungan antara petani dan tengkulak, dan menjelaskan persepsi petani terhadap peran pengusahaan hutan pada peningkatan pendapatan.
3
Manfaat Penelitian 1. Bagi Pemerintah Penelitian ini memberikan informasi mengenai perkembangan pengusahaan hutan di Indonesia, termasuk perkembangan jumlah pendapatan yang diterima oleh para petani hutan selaku penggerak berkembangnya hutan di Indonesia. 2. Bagi Masyarakat Penelitian ini memberikan informasi mengenai pola hubungan antara petani dan koperasi dalam pengusahaan hutan di Desa Cihowe dan Desa Cogreg BP3K Kabupaten Bogor. 3. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini memberikan informasi mengenai pola hubungan antara petani dan koperasi dalam pengusahaan hutan di Desa Cihowe dan Desa Cogreg BP3K, Kabupaten Bogor dengan pengaruh peran koperasi dan tengkulak terhadap peningkatan pendapatan petani dan pengaruh partisipasi petani dalam pengelolaan hutan terhadap kesehatan pohon yang tumbuh di lahannya.
METODE Pemilihan Lokasi Penelitian dan Jumlah Responden Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan pada Februari 2013 di Desa Cihowe dan Desa Cogreg BP3K Kabupaten Bogor, kemudian dilanjutkan pada 11 Juli 2013 hingga 15 Juli 2013. Desa Cihowe dan Desa Cogreg BP3K dipilih menjadi lokasi penelitian karena berdasarkan survei pendahuluan, kedua desa ini memiliki hutan yang cukup luas (20.7 ha) serta penggunaan lahan untuk ladang/ huma sebesar 57.2% dari luas total kedua desa dengan keadaan pembangunan yang belum maju. Pemilihan responden dilakukan secara acak berdasarkan anggota populasi (petani dan pihak koperasi) yang ditemui di lapang dan bersedia menjadi responden. Total responden dalam penelitian ini sebanyak 33 orang. Responden petani sebanyak 30 orang yang terdiri dari 18 petani jati unggul nusantara/ petani JUN (petani penggarap bukan pemilik lahan) dan 12 petani bukan JUN (6 petani penggarap sekaligus pemilik lahan dan 6 petani penggarap bukan pemilik lahan atau sebagai buruh), sedangkan responden dari pihak koperasi sebanyak 3 orang.
Jenis Data yang Dikumpulkan Data yang diambil dalam penelitian ini, antara lain: 1. Data sekunder sebagai bahan mentah untuk pembuatan peta, yaitu peta digital administrasi Kota Bogor yang bersumber dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA).
4
2. Data primer melalui kuisioner, terdiri dari data identitas responden seperti nama, umur, pendidikan, pekerjaan, partisipasi responden dalam tahapan pengelolaan hutan, persepsi responden terhadap pengusahaan hutan, jumlah pohon yang tumbuh di hutan masing-masing responden hingga jumlah pendapatan responden. Penulis pun mengambil data melalui wawancara mengenai pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh responden.
Pengolahan dan Analisis Data Peta lokasi penelitian diperoleh dengan mengolah data sekunder berupa peta digital administrasi Kota Bogor menjadi sebuah peta Kecamatan Ciseeng dan Kecamatan Parung berskala 1:50 000 dengan menggunakan software arcgis 9.03. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dan kuisioner yang diberi skor dan dijelaskan secara deskriptif dalam bentuk penjelasan dan diagram/ gambar. 1. Partisipasi petani dalam pengelolaan hutan Data berdasarkan jumlah skor dari jawaban yang dipilih oleh responden melalui kuisioner. Masing-masing pertanyaan memiliki skor seperti tertera pada Tabel 1. Kemudian skor dijumlahkan secara sederhana dan diklasifikasikan berdasarkan kategori yang sesuai seperti tertera pada Tabel 2. Tabel 1 Skor partisipasi petani dalam pengelolaan hutan No Tahap Kategori Skor 1 Perencanaan Ikut dalam 4 kegiatan Ikut dalam 2-3 kegiatan Ikut dalam 0-1 kegiatan 2 Pemeliharaan Ikut dalam 3 kegiatan Ikut dalam 1-2 kegiatan Ikut dalam 0 kegiatan 3 Perlindungan Ikut dalam 4 kegiatan Ikut dalam 2-3 kegiatan Ikut dalam 0-1 kegiatan 4 Pemanfaatan Ikut dalam 3 kegiatan Ikut dalam 2 kegiatan Ikut dalam 0-1 kegiatan 5 Monitoring Ikut dalam 2 kegiatan Ikut dalam 1 kegiatan Ikut dalam 0 kegiatan Tabel 2 Kategori partisipasi petani dalam pengelolaan hutan No Kategori Jumlah Skor 1 Tinggi 11-15 2 Sedang 6-10 3 Rendah <6
3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1
5
2. Persepsi petani terhadap pengusahaan hutan Persepsi petani terhadap pengusahaan hutan diukur berdasarkan jumlah skor dari jawaban yang dipilih oleh responden. Masing-masing pertanyaan memiliki skor seperti tertera pada Tabel 3. Penjumlahan dari skor kuisioner dikategorikan seperti pada Tabel 4. Tabel 3 Skor pertanyaan persepsi petani terhadap pengusahaan hutan No Kategori Skor 1 Sangat setuju 5 2 Setuju 4 3 Ragu-ragu 3 4 Tidak setuju 2 5 Sangat tidak setuju 1 Tabel 4 Kategori skor pertanyaan persepsi petani terhadap pengusahaan hutan No Kategori Skor 1 Tinggi 25-40 2 Sedang 9-24 3 Rendah <9
6
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Desa Cihowe dan Desa Cogreg merupakan desa yang terletak di Kecamatan Ciseeng dan Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor seperti ditunjukkan pada Gambar 1 berupa peta berskala 1:50 000.
Gambar 1 Peta lokasi penelitian
Dari peta (Gambar 1) terlihat bahwa kedua kecamatan ini terletak di sebelah Utara Kabupaten Bogor. Wilayah dengan warna merah muda merupakan Kecamatan Ciseeng, sedangkan wilayah dengan warna coklat muda (beige) merupakan Kecamatan Parung. Daerah dengan arsir vertikal ke kiri bawah merupakan daerah penelitian, yakni Desa Cihowe dan Desa Cogreg. Desa Cihowe Desa Cihowe merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor dengan luas 224.9 ha yang terbagi ke dalam 3 dusun, 5 rukun warga, dan 16 rukun tetangga. Batas wilayah Desa Cihowe seperti ditunjukkan pada Gambar 1, terdiri atas: 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Cogreg dan Desa Kuripan 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Bojong Indah dan Desa Cogreg 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Ciseeng dan Desa Cibentang 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Cibentang dan Desa Kuripan Jarak kantor desa ke Ibukota Kecamatan Ciseeng sejauh 3 km, untuk ke Ibukota Kabupaten Bogor sejauh 25 km, untuk ke Ibukota Propinsi Jawa Barat sejauh 70 km, dan untuk ke ibukota negara sejauh 40 km. Penggunaan lahan di Desa
7
Cihowe diperuntukkan untuk sawah sebesar 40%, perumahan dan pekarang sebesar 33.8%, ladang/ huma sebesar 22.2%, dan 4% lainnya berupa jalan dan bangunan fasilitas umum desa (Tabel 5).
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Total
Tabel 5 Penggunaan lahan di Desa Cihowe Penggunaan lahan Luas (ha) Perumahan/ pemukiman dan pekarangan Sawah Ladang/ huma Jalan Pemakaman/ kuburan Perkantoran Lapangan olah raga Tanah/ bangunan pendidikan Tanah/ bangunan Peribadatan Bangunan kantor desa Bangunan SD/ SMP/ MI Tanah Makam/ kuburan Jalan desa Masjid/ musholah/ majelis taklim Lapangan olah raga
76 90 50 1.6 1.3 0.1 0.7 1.1 0.2 0.1 0.1 1.3 0.2 1.5 0.7 224.9
Sumber: Demografi Desa Cihowe, Kecamatan Ciseeng
Jumlah penduduk Desa Cihowe pada akhir Desember 2010 adalah 6155 jiwa yang terdiri dari laki-laki 3178 jiwa, perempuan 2977 jiwa dengan jumlah KK 1678. Kepadatan penduduk Desa Cihowe adalah 27.8 jiwa/km. Selain itu, jumlah penduduk Desa Cihowe menurut mata pencaharian disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah penduduk Desa Cihowe menurut mata pencaharian No Mata pencaharian Jumlah (jiwa) 1 Petani 210 2 Pedagang 107 3 Pegawai Negeri 7 4 TNI / Polri 2 5 Pensiunan / Purnawirawan 3 6 Swasta 70 7 Buruh pabrik 30 8 Pengrajin 15 9 Tukang bangunan 45 10 Penjahit 150 11 Tukang las 3 12 Tukang ojeg 17 13 Bengkel 20 14 Sopir Angkutan 5 15 lain – lain 45 Total 738 Sumber: Demografi Desa Cihowe, Kecamatan Ciseeng
8
Total penduduk yang bekerja di desa ini adalah 738 jiwa dari total penduduk 6155 jiwa (Tabel 6), sehingga tingkat ketergantungan penduduk 1:8 yang merupakan perbandingan jumlah penduduk bekerja dengan jumlah penduduk total. Sementara itu, jumlah penduduk Desa Cihowe menurut tingkat pendidikan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Jumlah penduduk Desa Cihowe menurut tingkat pendidikan No Tingkat pendidikan Jumlah (jiwa) 1 Tidak tamat SD/ sederajat 200 2 Tamat SD/ sederajat 700 3 Tamat SLTP/ sederajat 95 4 Tamat SLTA/ sederajat 45 5 Tamat Akademi/ sarjana muda 5 6 Tamat perguruan tinggi/ SI 11 7 Tamat perguruan tinggi/ S2 8 Tamat perguruan tinggi/ S3 Total 1056 Sumber: Demografi Desa Cihowe, Kecamatan Ciseeng
Proporsi penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa Cihowe sebagian besar tamat SD/ sederajat (66%) dan hanya 0.5% tamat akademi. Penduduk Desa Cihowe tidak ada yang tamat perguruan tinggi/ S2/ S3 (Tabel 7). Persentase ini merupakan perbandingan antara jumlah jiwa pada masing-masing tingkat pendidikan dengan jumlah total penduduk desa menurut tingkat pendidikan. Desa Cogreg Desa Cogreg secara administratif terletak di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan data potensi Desa Cogreg memiliki luas wilayah 511 856 ha yang terbagi ke dalam 5 dusun, 8 rukun warga (RW), dan 39 rukun tetangga (RT). Batas wilayah Desa Cogreg seperti disajikan pada Gambar 1, terdiri atas: 1. Sebelah Utara berbatasan Kecamatan Gunung Sindur 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Waru Jaya 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bojong Indah dan Desa Cihowe 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Cihowe dan Desa Kuripan Jarak kantor desa ke ibukota kecamatan sejauh 30 km, untuk ke Ibukota Provinsi Jawa Barat seajauh 120 km, dan untuk ke ibukota negara sejauh 45 km. Penggunaan lahan di Desa Cogreg sebagian besar untuk huma (35%), bangunan dan pekarangan (55%), dan 15% lahan digunakan untuk jalan. Potensi jumlah penduduk Desa Cogreg pada akhir Desember 2010 adalah 10 461 jiwa dengan jumlah laki-laki 5312 jiwa, jumlah perempuan 5149 jiwa dengan jumlah KK 2329. Jumlah penduduk Desa Cogreg menurut mata pencaharian disajikan pada Tabel 8.
9
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Total
Tabel 8 Jumlah penduduk Desa Cogreg menurut mata pencaharian Mata pencaharian Jumlah (jiwa) Petani Pedagang Pegawai Negeri TNI / Polri Pensiunan / Purnawirawan Swasta Buruh pabrik Pengrajin Tukang bangunan Penjahit Tukang ojeg Bengkel Sopir Angkutan lain – lain
616 462 154 113 31 985 216 5 45 320 93 9 31 5 3085
Sumber: Demografi Desa Cogreg, Kecamatan Parung
Total penduduk yang bekerja di desa ini adalah 3085 jiwa dari total penduduk 10 461 jiwa (Tabel 8), sehingga tingkat ketergantungan penduduk 1:3 yang merupakan perbandingan jumlah penduduk bekerja dengan jumlah penduduk total. Pendidikan penduduk di Desa Cogreg sebagian besar tamat SD/ sederajat dan hanya sebagian kecil penduduk tamat SLTP/sederajat, tamat SLTA/sederajat, dan tamat perguruan tinggi/ sederajat. Penduduk Desa Cogreg tidak ada yang tamat S2/ S3/ sederajat. Pengembangan Hutan Pola Bagi Hasil Petani di Desa Cihowe dan Desa Cogreg menjalin kerjasama dengan Unit Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (UBH-KPWN) sejak 2007 hingga sekarang untuk budidaya jati unggul nusantara (JUN). UBH-KPWN dibentuk berdasarkan Keputusan Pengurus Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (KPWN) No. 62/ Kpts/ KPWN/ XII/ 2006 tanggal 21 Desember 2006, dan telah diperbaharui melalui Keputusan Pengurus KPWN No. 45/ Kpts/ KPWN/ 2007 tanggal 10 Mei 2007. UBH-KPWN telah didaftarkan secara legal sesuai Akta Notaris Sigitwanto No.12 tanggal 24 Mei 2007. Selain petani dan koperasi, pihak yang tergabung dalam hutan jati unggul pola bagi hasil ini adalah investor, pemilik lahan, dan pamong desa. Program UBH-KPWN adalah penanaman jati unggul dengan pola bagi hasil yang tersebar di 7 kabupaten, diantaranya Kabupaten Bogor, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Madiun, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Magetan, dan Kabupaten Gunung Kidul. Di Kabupaten Bogor, budidaya jati unggul berlokasi di Desa Ciampea dan Desa Cogreg, Kecamatan Parung. Kegiatan usaha dipimpin oleh seorang Direktur Utama dan dibantu 3 Direktur, yaitu: 1. Direktur Umum dan Pemasaran 2. Direktur Keuangan merangkap Wakil Manajemen Sistem Mutu 3. Direktur Perencanaan dan Penanaman
10
Setiap Direktur membawahi 2 sampai 3 divisi, setiap divisi dipimpin seorang kepala divisi yang membawahi unit aktivitas dan administrasi divisinya. UBH-KPWN berkantor pusat di Gedung Manggala Wanabakti, Blok IV Lantai 5 Jl. Gatot Subroto Jakarta. Kegiatan kantor pusat didukung 3 kantor perwakilan, yaitu: 1. Kantor Perwakilan Pengelolaan Wilayah Madiun yang membawahi wilayah penanaman Kabupaten Madiun, Magetan, Ngawi dan Ponorogo. 2. Kantor Perwakilan Pengelolaan Bogor yang membawahi wilayah penanaman Kabupaten Bogor dan Kabupaten Puwakarta. 3. Kantor Perwakilan Pengelolaan Yogjakarta yang membawahi wilayah penanaman Kabupaten Kulonprogo dan Yogjakarta. Kepala Perwakilan membawahi beberapa Supervisor untuk melaksanakan kegiatan operasional di lapangan. Setiap supervisor lapangan membawahi 6 sampai 8 tenaga pendamping. Setiap tenaga pendamping bertanggungjawab mengelola tanaman sampai 20 000 pohon JUN atau setara 200 ha. Dalam menjalankan manajemen usaha, UBH-KPWN telah menerapkan sistem manajemen mutu (SMM) sesuai standar ISO 9001:2008. Dalam penerapan SMM tersebut mengharuskan semua pengelola unit usaha (Direktur utama sampai ketingkat pekerja) mengacu kepada panduan prosedur kerja, instruksi kerja dan format kerja yang telah ditetapkan manajemen usaha (UBH-KPWN 2012). Petani di Desa Cihowe dan Desa Coreg yang menjadi peserta dalam kerjasama dengan UBH-KPWN sebanyak 23 petani. Dari total petani tersebut, 18 petani merupakan responden dalam penelitian ini. Penggunaan lahan milik Universitas Nusa Bangsa seluas 11 ha. Luas lahan garap rata-rata 0.5 ha untuk setiap petani. Petani JUN tergolong ke dalam petani penggarap bukan pemilik lahan. Selain 18 petani tersebut, responden dalam penelitian ini adalah 12 petani bukan JUN yang terbagi ke dalam 6 petani penggarap sekaligus pemilik lahan dan 6 petani penggarap bukan pemilik lahan (sebagai buruh). Pembeli kayu yang menjadi responden sebanyak 3 orang dari pihak UBH-KPWN. Pekerjaan pokok responden seluruhnya adalah petani. Selain pekerjaan pokok sebagai petani, sebagian besar petani memiliki pekerjaan sampingan sebagai pedagang berjumlah 29 responden (96.67%), sedangkan petani yang tidak memiliki pekerjaan sampingan sebanyak 1 responden (3.33%). Berdasarkan sejumlah pengakuan responden, bila hanya mengandalkan penghasilan dari bertani saja, tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Hasil hutan yang menjadi salah satu sumber pendapatan petani diharapkan dapat bersaing dengan sumber pendapatan lainnya dan hasil hutan ini dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi petani. Tingkat pendidikan responden rata-rata hanya sampai pada tingkat Sekolah Dasar (SD) (86.67%), Madrasah Ibtidaiah (MI) (10%), dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) (3.33%). Sementara petani yang tidak bersekolah dan tidak tamat SD adalah nihil. Sementara itu, penulis membandingkan tingkat pendidikan para petani penggarap dengan Desa Dashnong, Bangladesh dikarenakan karakteristik umum di kedua negara hampir sama yakni berupa negara berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang padat. Menurut CIA (2008), pendapatan perkapita Indonesia sebesar $3700 dan Bangladesh memiliki pendapatan perkapita sebesar $1300. Pendapatan perkapita digunakan sebagai tolak ukur kemakmuran dan tingkat pembangunan sebuah negara. Data perbandingan tingkat pendidikan
11
Persentase
yang diperoleh dengan merujuk pada jurnal internasional menyatakan bahwa pendapatan perkapita Indonesia lebih besar dibandingkan dengan Bangladesh, namun tingkat pendidikan petani penggarap di Desa Cihowe dan Desa Cogreg tidak jauh berbeda dengan Desa Dashnong (Gambar 2). 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Tidak pernah sekolah Tingkat pendidikan 35
Tidak tamat SD 42.5
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
15
5
2.5
Gambar 2 Tingkat pendidikan petani di Desa Dashnong, Kabupaten Khagrachari, Bangladesh (Rahman et al. 2012)
Perbandingan ini menggambarkan bahwa tingkat pendidikan pada kelompok petani adalah rendah yang secara tidak langsung akan berakibat terhadap pola pikir petani dalam menjalankan pengusahaan hutannya. Namun rendahnya tingkat pendidikan bukan faktor utama yang mempengaruhi perilaku petani dalam menjalankan pengusahaan hutan, melainkan akses informasi pemasaran dan cara pengelolaan hutan secara benar yang merupakan faktor pengaruh terhadap perilaku petani dalam menjalankan pengusahaan hutannya. Hal ini sejalan dengan Priyo (1992), timbulnya tengkulak akibat kurangnya pengetahuan petani tentang pemasaran. Tingkat pendidikan petani yang rendah mengakibatkan perlunya wadah bagi petani untuk memperoleh akses informasi dan pengetahuan mengenai pengelolaan hutan agar petani memiliki perilaku yang tepat dalam mengelola hutannya. Penyuluhan kehutanan adalah wadah yang tepat untuk meningkatkan pengetahuan petani dalam pengelolaan hutan sekaligus akses bagi petani dalam memperoleh informasi mengenai pemasaran kayu. Kegiatan penyuluhan kehutanan di Desa Cihowe dan Desa Cogreg diadakan oleh koperasi dengan tenaga penyuluh dari Departemen Kehutanan.
Partisipasi Petani dalam Pengelolaan Hutan Partisipasi petani dalam pengelolaan hutan terdiri atas 5 tahap, yakni: 1. Tahap perencanaan mencakup penetapan tujuan pengelolaan hutan jangka pendek dan jangka panjang, penetapan pembagian kerja, dan penetapan sistem monitoring serta evaluasi terhadap pengelolaan hutan. 2. Tahap pemeliharaan mencakup kegiatan penyiangan, pendangiran, penyulaman dan pemupukan
12
3. Tahap perlindungan dan pengamanan mencakup kegiatan penanggulangan kerusakan lahan hutan, kegiatan pencegahan pencurian kayu, dan kegiatan penanggulangan hama penyakit tanaman hutan. 4. Tahap pemanfaatan mencakup kegiatan pemanenan hasil hutan, menjual hasil panen untuk menambah pendapatan rumah tangga, dan kegiatan penyumbangan kayu untuk pembangunan desa. 5. Tahap monitoring dan evaluasi mencakup kegiatan pemantauan terhadap pengelolaan hutan serta kegiatan evaluasi program pengelolaan hutan. Petani JUN menjalankan seluruh tahap pengelolaan hutan. Pada tahap perencanaan, petani ini bersama koperasi menetapkan tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek adalah menghasilkan panen kayu secara optimal setiap 5 tahun dengan berbagai kegiatan berupa penyiapan kondisi lahan secara baik sebelum proses penanaman jati unggul, persiapan penanaman jati unggul yang dilakukan pada awal musim hujan dengan penetapan jarak tanam 5 m x 2 m, pemasangan ajir dilaksanakan 15-20 hari sebelum penanaman, pembuatan lubang tanam berukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm dilaksanakan 10-15 hari sebelum penanaman, serta pemberian pupuk dasar berupa pupuk kandang 3 kg ditambah pupuk kimia (ZA dan SP 36) pada lokasi tanam dilaksanakan 25-30 hari sebelum penanaman. Tujuan jangka panjang meliputi keberlangsungan masa kerjasama usaha budidaya jati unggul antara petani dengan koperasi. Penetapan pembagian kerja pada pihak petani mencakup kegiatan penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan pengamanan jati unggul. Penetapan sistem monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan hutan dilaksanakan setiap 1 tahun sekali dengan memperhatikan perkembangan pertumbuhan tanaman jati unggul. Pada tahap pemeliharaan, petani JUN melakukan kegiatan penyiangan pada musim hujan untuk menjaga kelembaban tanah dan untuk menghilangkan gangguan tumbuhan lain yang berpotensi menyaingi tanaman jati unggul dalam penyerapan nutrisi dari tanah, sebaliknya pada musim kemarau dilakukan penyiangan dan pendangiran untuk menghindari penguapan yang berlebihan dan terputusnya bulu-bulu akar. Penyulaman dilakukan terhadap tanaman yang mati dan dilaksanakan pada saat puncak musim hujan dan penyulaman berikutnya dilakukan sampai dengan tanaman berumur 1 tahun. Setelah umur tanaman lebih dari 1 tahun maka tidak dilakukan lagi penyulaman hingga panen. Pemupukan secara rutin setiap 3-5 bulan sekali. Pupuk yang digunakan adalah pupuk KCl, pupuk urea, dan pupuk kandang. Dalam tahap perlindungan dan pengamanan, penanggulangan kerusakan lahan dilakukan sebelum proses penanaman jati unggul dengan pemberian pupuk dasar. Pagar beton yang mengeililingi hutan budidaya jati unggul dibangun untuk mencegah pencurian kayu. Pamong desa pun dilibatkan untuk menjaga keamanan tanaman jati unggul ini melalui aparat desa yang ditugaskan (hansip). Petani melakukan upaya perlindungan tanaman jati unggul terhadap hama penyakit berupa pemberian pestisida sesuai jenis serangan hama dan penyakit. Petani JUN telah melakukan tahap pemanfaatan, seperti kegiatan panen hasil hutan rakyat pada tahun 2012, hasil penjualannya pun meningkatkan pendapatan rumah tangga. Akan tetapi, sampai sekarang belum ada penyumbangan kayu jati unggul ini untuk kepentingan sarana dan prasarana umum desa.
13
Kegiatan pemantauan serta kegiatan evaluasi program pengelolaan hutan yang termasuk dalam tahap monitoring dan evaluasi dilaksanakan oleh petani JUN melalui pendataan perkembangan pertumbuhan jati unggul, seperti pencatatan jumlah pohon hidup dan jumlah pohon mati, sehingga proses penyulaman tanaman yang mati dapat segera dilakukan, khususnya pada tahun pertama. Bibit jati unggul dan pupuk diterima oleh petani dari koperasi. Sementara itu, petani bukan JUN tidak melakukan kelima tahap pengelolaan hutan secara penuh. Petani ini menanam tanaman berkayu seperti sengon, jabon hingga tanaman buah dengan jarak tanam dan pembuatan lubang sesuai perkiraan petani saja. Pada tahap perencanaan, mereka tidak menetapkan tujuan jangka pendek dan jangka panjang dalam pengelolaan hutan. Penetapan pembagian kerja dan sistem monitoring evaluasi pun tidak dilakukan oleh petani ini. Kegiatan penyiangan, pendangiran, dan penyulaman dalam tahap pemeliharaan tidak dilakukan oleh petani bukan JUN. Tanaman yang mati dibiarkan begitu saja tanpa adanya penyulaman. Pemupukan dilakukan oleh petani pada awal penanaman berupa pupuk kandang. Disamping itu, upaya penanggulangan kerusakan lahan dilakukan oleh petani dengan pemberian pupuk kandang pada awal penanaman di seluruh lahan yang akan ditanami tanaman hutan. Pembuatan pagar yang mengelilingi hutan adalah upaya petani dalam tahap perlindungan dan pengamanan tanaman hutan. Penanggulangan hama dan penyakit dilakukan oleh petani dengan memangkas daun yang terkena hama ulat. Petani bukan JUN sudah melakukan sebagian kegiatan dalam tahap pemanfaatan hutan. Petani telah memanen hasil hutan, namun hanya 5 petani yang menjadikan hasil penjualan kayunya unyuk menambah pendapatan rumah tangga. Kelima petani ini adalah 4 petani penggarap sekaligus pemilik lahan dan 1 petani penggarap bukan pemilik lahan (sebagai buruh), sedangkan 2 petani penggarap sekaligus pemilik lahan lainnya mengonsumsi kayu untuk kebutuhan pribadi dan 5 petani lainnya yang hanya sebagai buruh penggarap menerima upah pemeliharaan berupa kayu bakar. Seluruh petani ini belum pernah menyumbangkan kayunya untuk kepentingan sarana dan prasarana umum desa. Tahap monitoring dan evaluasi tidak pernah dilakukan oleh petani. Bibit pohon dan pupuk disediakan oleh petani itu sendiri. Tahapan-tahapan pengelolaan hutan dipelajari petani dari kegiatan penyuluhan. Seluruh responden petani JUN (18 responden) mengikuti kegiatan penyuluhan dan menjalankan kelima tahapan pengelolaan hutan. Tingkat partisipasi petani tergolong tinggi (rata-rata nilai skor 11), sedangkan 12 petani bukan JUN tidak mengikuti penyuluhan dan tidak menjalankan kelima tahapan pengelolaan hutan secara penuh dengan tingkat partisipasi sedang (rata-rata nilai skor 8). Partisipasi petani dalam pengelolaan hutan ini disajikan dalam bentuk persentase seperti pada Gambar 3.
Proporsi partisipasi
14
120% 100% 80% 60% 40% 20% 0%
Petani JUN Petani bukan JUN
Rendah Sedang Tinggi Kategori tingkat partisipasi
Gambar 3 Persentase partisipasi petani di Desa Cihowe dan Desa Cogreg dalam pengelolaan hutan
Jumlah pohon sehat milik petani JUN berkisar antara 90 pohon hingga 610 pohon/ 0.5 ha/ responden. Pendapatan rata-rata seluruh petani ini adalah Rp1 235 766.67/ 0.5 ha/ tahun dengan harga pohon jati unggul pada waktu panen sebesar Rp2 500 000.00 per meter kubik untuk usia 5 tahun. Sementara itu, petani bukan JUN memiliki jumlah pohon sehat berkisar 10 pohon hingga 50 pohon/ 0.5 ha/ responden. Pendapatan rata-rata petani sebesar Rp147 833.32/ 0.5 ha/ tahun pada 4 petani penggarap sekaligus pemilik lahan dan 1 petani penggarap bukan pemilik lahan (sebagai buruh). Pasaran harga kayu sengon usia 5 tahun adalah Rp375 000.00 per meter kubik, harga kayu rambutan usia 5 tahun adalah Rp300 000.00 untuk ± 1.2 m³, dan harga kayu kecapi usia 10 tahun sebesar Rp650 000.00 per meter kubik. Data jenis, jumlah pohon, dan data pendapatan petani selengkapnya pada Lampiran 2. Pendapatan rata-rata petani JUN lebih tinggi dibandingkan pendapatan ratarata petani bukan JUN adalah wajar karena komoditas kayu yang ditanam dan dijual oleh masing-masing kelompok petani berbeda. Akan tetapi, perbedaan yang jelas terletak pada keterkaitan tingkat partisipasi petani dalam pengelolaan hutan dengan jumlah pohon sehat yang dimiliki oleh petani. Partisipasi seluruh petani JUN yang tergolong tinggi memiliki jumlah pohon sehat yang lebih banyak dibandingkan petani bukan JUN yang seluruh partisipasinya terhadap pengelolaan hutan tergolong sedang (Gambar 3). Partisipasi petani dalam pengelolaan hutan menunjukkan perilaku mereka terhadap perkembangan pohon yang tumbuh di lahannya sejak awal penanaman, pemeliharaan hingga masa panen tiba. Semua tahapan ini sudah termasuk ke dalam 5 tahapan pengelolaan hutan yang sudah disebutkan pada paragraf sebelumnya. Partisipasi petani tergolong tinggi mengartikan bahwa pengelolaan hutan berjalan intensif (pada petani JUN), sedangkan partisipasi petani tergolong sedang mengartikan bahwa pengelolaan hutan belum berjalan intensif (pada petani bukan JUN).
Pola Hubungan antara Petani dan Koperasi dalam Pengusahaan Hutan Penyuluhan dan kerjasama bagi hasil (sistem kontrak) merupakan bentuk sosialisasi dan interaksi yang terjadi antara 18 petani JUN dengan koperasi, sedangkan negosiasi adalah interaksi yang terjadi antara 5 petani bukan JUN dengan tengkulak. Petani bukan JUN lainnya (7 responden) tidak melakukan
15
interaksi dengan tengkulak karena 2 dari 7 responden ini mengonsumsi kayu untuk kebutuhan pribadi dan 5 responden lainnya sebagai petani buruh dengan upah pemeliharaan hutan berupa kayu bakar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pada prinsipnya kontrak terdiri dari satu atau serangkaian janji yang dibuat para pihak dalam kontrak. Hartkamp dan Tillema (1995) menyebutkan bahwa ciri khas yang paling penting dari suatu kontrak adalah adanya kesepakatan bersama (mutual consent) para pihak. Kesepakatan bersama ini bukan hanya merupakan karakteristik dalam pembuatan kontrak, tetapi hal itu penting sebagai suatu yang diungkapkan kepada pihak lain. UBH-KPWN melakukan hubungan kontrak dengan 4 pihak yang salah satu pihaknya adalah petani JUN. Ketiga pihak lainnya adalah pihak investor, penyedia lahan, dan pamong desa. Masing-masing pihak akan mendapatkan proporsi bagi hasil setiap 5 tahun panen. Proporsi bagi hasil pihak-pihak tersebut yaitu: 1. Pihak investor setelah masa 5 tahun, akan mendapatkan bagian hasil sebesar 40% dari hasil penjualan tanaman jati sesuai jumlah investasi yang disetorkannya. 2. Pihak petani penggarap setelah masa 5 tahun akan mendapat bagian hasil sebesar 25% dari hasil penjualan tanaman jati, sesuai jumlah nilai tanaman yang dikelolanya dan setelah dikurangi proporsi resiko kematian tanaman. 3. Pihak pemilik lahan atau tanah sebagai lokasi tanaman, setelah masa 5 tahun akan menerima sebesar 10% dari hasil penjualan tanaman jati. 4. Pihak pamong desa yang menjadi lokasi tanaman, setelah masa 5 tahun akan mendapat bagian hasil sebesar 10% dari hasil penjualan kayu jati yang ditanam pada lokasi kelurahannya, setelah dikurangi proporsi beban resiko kematian tanaman. 5. Pihak pengelola UBH-KPWN akan mendapat manajemen fee, setelah masa lima tahun 15% dari hasil penjualan tanaman jati sesuai jumlah nilai tanaman jati yang dikelolanya pada masa tebang tersebut, dan setelah dikurangi proporsi resiko kematian tanaman (UBH-KPWN 2012). Sementara itu, petani yang tidak tergabung dalam UBH-KPWN menjalankan pengusahaan hutan secara sederhana serta tidak terikat kontrak dengan pihak lain. Penerimaan harga diperoleh petani berdasarkan proses negosiasi antara petani dengan tengkulak. Petani yang mendapatkan harga sesuai keinginan berjumlah 4 petani dan 1 petani lainnya merasa bahwa tengkulak mengestimasi harga sangat rendah. Pengembangan usaha bagi hasil penanaman jati unggul sangat bergantung pada peran serta pihak-pihak yang tergabung dalam UBH-KPWN. Ketersediaan lahan tergantung pada pemilik lahan yang bersedia lahannya dikelola selama minimal 5 tahun. Bantuan tenaga keamanan dan perijinan lahan yang akan ditanami jati unggul berasal dari pamong desa, penyedia prasarana dan sarana untuk menggarap lahan serta pembinaan lapang para petani dikelola oleh koperasi (KPWN) melalui kegiatan penyuluhan, tanaman jati unggul digarap oleh petani, dan dana akan usaha ini mengalir dari investor (UBH-KPWN 2012). Petani yang dimaksudkan adalah petani JUN. Seluruh petani JUN menggantungkan sebagian besar penghasilannya terhadap kerjasama yang dijalinnya dengan koperasi, sedangkan 5 petani bukan JUN (petani yang sudah memanfaatkan kayunya secara komersial) bergantung pada tengkulak dalam memasarkan kayu mereka ke industri perkayuan. Hal ini
16
menunjukkan kuatnya peran serta koperasi dan tengkulak selaku pembeli kayu (perantara pasar) dalam pengusahaan hutan di kedua desa ini. Berdasarkan perjanjian (kontrak) antara petani dengan pihak-pihak yang tergabung di bawah binaaan UBH-KPWN, maka mengacu pada Wolf (1985), hubungan antara petani dengan koperasi dan ketiga pihak lainnya (investor, pemilik lahan, dan pamong desa) melahirkan pola hubungan satu benang, yakni pola hubungan yang dibentuk antara pihak-pihak dengan kepentingan tunggal, yakni transaksi jual beli atau disebut juga dengan hubungan tunggal komersial. Hubungan ini terjalin pula antara petani bukan JUN dengan tengkulak berdasarkan bentuk interaksi (proses negosiasi) untuk pembentukan harga kayu yang dilakukan oleh petani dan tengkulak. Kedua pihak ini melakukan interaksi untuk kepentingan tunggal komersial juga, berupa transaksi jual beli kayu. Pola hubungan yang sama (satu benang) antara petani JUN dan koperasi dengan petani bukan JUN dan tengulak memiliki perbedaan dalam hal sisi positif dan sisi negatif yang ditimbulkan dari pola hubungan tersebut. Pola hubungan antara petani JUN dan koperasi memiliki sisi positif berupa pelatihan pengelolaan hutan yang diterima oleh petani melalui kegiatan penyuluhan, petani mendapat jaminan pasar dan jaminan fasilitas atas kebutuhan yang diperlukan petani untuk menggarap lahan, seperti pupuk, alat saprodi, dan sebagainya. Adapun sisi negatif dari pola hubungan yang dijalankan antara petani dan koperasi yakni petani tidak dapat menawar harga kayu jati unggul secara lebih tinggi karena harga telah ditetapkan oleh koperasi sejak awal kontrak. Sementara itu, pola hubungan antara petani bukan JUN dan tengkulak memiliki sisi positif berupa proses negosiasi sehingga aspirasi petani atas harga yang diharapkan dapat terwujud, petani dapat meminta bayaran di muka kepada tengkulak atas pohon yang akan dijualnya meskipun tengkulak belum ingin menebangnya (sistem booking) karena petani biasa menjual pohonnya pada saat keadaan mendesak (tebang butuh). Sisi negatif dari pola hubungan antara petani dan tengkulak yakni tidak adanya jaminan pasar dan petani bisa saja memperoleh harga tidak sesuai harapan dikarenakan keterbatasan kemampuan petani dalam mengemukakan pendapat saat bernegosiasi dengan tengkulak (1 responden dari 5 petani bukan JUN yang memanfaatkan kayunya untuk kepentingan komersial). Penjabaran di atas menunjukkan bahwa pola hubungan yang sama diantara kelompok petani yang berbeda memiliki sisi positif dan sisi negatif yang berbeda. Hal ini dikarenakan interaksi yang dijalankannya pun berbeda antara petani JUN dan koperasi dengan petani bukan JUN dan tengkulak.
Persepsi Petani terhadap Peran Pengusahaan Hutan pada Peningkatan Pendapatan Persepsi petani terhadap peran pengusahaan hutan pada peningkatan pendapatan berbeda-beda menurut jenis pembeli kayu dari hutannya, yakni koperasi dan tengkulak. Hasil panen seluruh responden petani JUN (18 responden) dibeli oleh koperasi (UBH-KPWN) dengan sistem kontrak khusus seperti yang sudah dijelaskan pada subbab sebelumnya, sedangkan hasil panen petani bukan JUN dibeli oleh tengkulak. Petani yang kayunya dibeli oleh tengkulak tidak melakukan perjanjian khusus. Harga yang diterima petani
17
merupakan hasil dari proses negosiasi yang dilakukan antara petani dan tengkulak. Tabel 9 menggambarkan pendapatan rata-rata petani JUN dan petani bukan JUN.
No 1 2
Tabel 9 Pendapatan rata-rata petani JUN dan petani bukan JUN Kategori petani Pendapatan (Rupiah/ 0.5 ha/ tahun/petania) Petani JUN 1 235 766.67 Petani bukan JUN 147 833.32
Keterangan: aJumlah petani JUN sebanyak 18 responden Jumlah petani bukan JUN sebanyak 5 responden
Total petani bukan JUN sebanyak 12 petani, namun hanya 5 petani yang memanfaatkan hasil hutannya untuk kepentingan komersial. Petani bukan JUN dengan pembeli kayu berupa tengkulak pendapatannya lebih rendah dibandingkan petani JUN yang kayunya dibeli oleh koperasi (UBH-KPWN) melalui sistem kontrak bagi hasil (Tabel 9). Hal ini wajar dikarenakan komoditas pohon yang ditanam oleh kedua kelompok petani ini pun berbeda. Pendapatan petani bukan JUN merupakan pendapatan kotor yang diterima oleh petani dari hasil penjualan kayu. Pendapatan ini belum dikurangi oleh biaya pengadaan bibit, biaya pemupukan, biaya alat saprodi untuk menggarap lahan hutan, dan biaya pemanenan. Pendapatan ini diperoleh petani dari tengkulak sebagai pembeli kayu. Seluruh petani ini tidak mengikuti penyuluhan. Pengelolaan hutannya pun tidak berjalan intensif. Hasil panen petani bukan JUN tidak menentu waktunya. Sementara itu, pendapatan petani JUN merupakan pendapatan bersih yang sudah dikurangi resiko kematian pohon saat masa panen tiba, sedangkan bibit, pupuk, alat saprodi, dan biaya pemanenan disediakan oleh koperasi. Pendapatan setiap petani JUN berbeda-beda tergantung pada jumlah pohon yang dihasilkan oleh masing-masing petani tersebut. Petani yang jumlah pohon sehatnya besar mendapatkan jumlah pendapatan yang lebih besar juga. Seluruh petani JUN mengikuti penyuluhan dan pengelolaan hutannya pun berjalan intensif. Data pendapatan untuk setiap petani selengkapnya tersaji pada Lampiran 2. Tingkat resiko kematian pohon yang ditetapkan oleh koperasi untuk petani JUN berkisar 0%, 10%, 20%, 30%, 40% hingga 50%. Bila lebih dari 50%, petani akan mendapatkan sanksi dari pihak koperasi. Namun, responden petani JUN di kedua desa ini tidak ada yang menanggung resiko kematian >50% pada periode panen tahun 2012. Perhitungan resiko kematian dan jumlah pendapatan yang dibagikan kepada petani JUN diproses oleh UBH-KPWN selaku koperasi/ pihak pengelola dari budidaya jati unggul dengan pola bagi hasil ini. Panen jati unggul pada tahun 2012 merupakan panen perdana untuk wilayah Kabupaten Bogor. Dilihat dari penjabaran di atas, petani bukan JUN memperoleh manfaat ekonomi yang sangat kecil dari pengusahaan hutan yang dijalankannya. Hal ini ditunjukkan oleh pendapatan rata-rata pertahun yang kecil dan penyediaan fasilitas pertanian dilakukan oleh petani itu sendiri. Namun sebenarnya mereka memiliki penghasilan lain selain kayu, berupa buah-buahan yang dihasilkan dari pohon buah yang tumbuh di lahannya meskipun jumlahnya belum bisa menutupi biaya kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara itu, petani JUN memperoleh manfaat ekonomi yang cukup memuaskan dari pengusahaan hutan yang
18
Proporsi persepsi
dijalankannya. Petani JUN hanya bertugas menggarap lahan yang kemudian mendapatkan 25% dari total panen masa 5 tahun, sedangkan segala fasilitas pertanian disediakan oleh koperasi. Keadaan yang dialami oleh petani bukan JUN tidak membuat tingkat persepsi mereka terhadap peran pengusahaan hutan menjadi rendah dalam meningkatkan pendapatan petani. Kelompok petani ini menanam tanaman yang berbeda yang mengakibatkan harga jual kayunya pun berbeda, sehingga perbedaan tingkat pendapatan yang diperoleh petani JUN dan bukan JUN bukan parameter andalan yang mempengaruhi persepsi masing-masing kelompok petani terhadap peran pengusahaan hutan dalam meningkatkan pendapatan petani. Akan tetapi, faktor yang mempengaruhi persepsi petani adalah manfaat yang dirasakan oleh petani dari pengusahaan hutan berupa hasil penjualan kayu untuk menambah penghasilan rumah tangga petani meskipun pendapatan dari hasil penjualan kayu tidak terbilang besar dan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Bagi petani, penghasilan tambahan ini paling tidak dapat membantu dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga yang mendesak. Manfaat lainnya berupa pohon-pohon yang tumbuh di hutannya. Sejumlah pohon ini dijadikan tabungan masa depan oleh petani. Persepsi petani bukan JUN tergolong sedang (1 responden) dan tinggi (11 responden), sedangkan tingkat persepsi 18 responden petani JUN seluruhnya tergolong tinggi. Persepsi dari seluruh kategori petani >50% tergolong tinggi, baik pada petani yang kayunya dijual kepada tengkulak (petani bukan JUN) maupun pada petani yang kayunya dijual kepada koperasi dengan sistem kontrak khusus (petani JUN) (Gambar 4). 120% 100% 80% 60% 40% 20% 0%
Rendah Sedang Tinggi
Petani bukan JUN Petani JUN Kategori petani
Gambar 4 Persentase persepsi petani terhadap peran pengusahaan hutan pada peningkatan pendapatan
Persepsi >50% tergolong tinggi yang diberikan petani-petani ini (Gambar 4) menunjukkan bahwa pengusahaan hutan mampu meningkatkan pendapatan petani, walaupun pendapatan yang diterima oleh petani masih tergolong rendah setiap tahunnya dan bervariasi menurut kategori petani dan jenis pembeli kayu. Pendapatan dari pengusahaan hutan ini dikatakan rendah karena jumlahnya belum bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga petani yang semakin meningkat. Namun, setidaknya pendapatan dari hasil penjualan kayu mampu menambah penghasilan rumah tangga petani dan sejumlah pohon yang tumbuh di lahannya dijadikan tabungan akan kebutuhan yang mendesak di masa depan.
19
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Partisipasi petani dalam pengelolaan hutan mencakup 5 tahap, yakni tahap perencanaan, tahap pemeliharaan, tahap perlindungan dan pengamanan, tahap pemanfaatan, serta tahap monitoring dan evaluasi. Petani JUN menjalankan kelima tahapan tersebut secara baik. Pengelolaan hutannya berjalan intensif yang berdampak pada besarnya jumlah pohon sehat yang tumbuh di lahan garapannya. Namun, petani bukan JUN tidak menjalankan kelima tahapan pengelolaan hutan secara baik. Pengelolaan hutannya belum berjalan intensif, sehingga jumlah pohon sehat yang tumbuh lebih sedikit dibandingkan petani JUN. Partisipasi petani dalam pengelolaan hutan memiliki kaitan yang erat dengan kesehatan pohon yang tumbuh di lahan garapannya. Pola hubungan yang tercipta antara petani dan koperasi adalah satu benang yang didefinisikan sebagai hubungan tunggal komersial berupa kepentingan tunggal dalam bentuk transaksi jual beli. Pola hubungan ini pun terjalin antara petani dan tengkulak. Namun, pola hubungan yang sama ini memberikan sisi positif dan sisi negatif yang berbeda karena interaksi yang dijalankannya pun berbeda antara petani JUN dan koperasi dengan petani bukan JUN dan tengkulak. Tingkat persepsi petani terhadap peran pengusahaan hutan pada peningkatan pendapatan tergolong sedang dan tinggi pada petani dengan pembeli kayu berupa tengkulak. Sementara persepsi petani dengan pembeli kayu berupa koperasi tergolong tinggi. Pengusahaan hutan mampu meningkatkan pendapatan petani karena mereka memperoleh penghasilan tambahan dari kayu yang dijualnya ke koperasi maupun tengkulak meskipun jumlah pendapatan ini masih tergolong rendah. Petani pun menjadikan sejumlah pohon yang tumbuh di lahannya sebagai tabungan akan kebutuhan yang mendesak di masa depan. Pembeli kayu masih memiliki posisi yang berarti bagi petani sebagai perantara pasar atas kayu-kayu mereka ke industri perkayuan.
Saran Diharapkan pemerintah mampu meningkatkan kuantitas program penyuluhan kehutanan, terutama di daerah dengan kondisi pembangunan dan pendidikan yang belum maju. Penyuluhan mampu meningkatkan kemampuan petani dalam mengelola hutan sekaligus sebagai akses informasi bagi petani, baik pemasaran maupun teknologi baru dalam pengelolaan hutan.
20
DAFTAR PUSTAKA [CIA] Central Intellegenece Agency. 2008. Pendapatan Perkapita Indonesia dan Bangladesh. Hardjanto. 2000. Beberapa Ciri Pengusahaan Hutan Rakyat di Jawa. Di dalam: Didik Suharjito, editor. Hutan Rakyat di Jawa Perannya dalam Perekonomian Desa. Bogor (ID): Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM) Fakultas Kehutanan IPB. hal 7-11. Hardjanto. 2006. Model struktural sistem usaha kayu rakyat. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 7(2): 57-68. Hartkamp AS, Tillema MMM. 1995. Contract Law in Netherlands. London (GB): Kluwer Law International. hlm 33. Irawati RH. 2000. Poisisi pendapatan kayu rakyat terhadap pendapatan rumah tangga petani: studi kasus di Kecamatan Ciawi, Caringin, dan Cijeruk, Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Maryudi A. 2005. Strategi sertifikasi hutan rakyat lestari. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hasil Hutan Rakyat; 2005 Desember 12; Yogyakarta Indonesia. hlm 98-104. Priyo A. 1992. Studi distribusi keuntungan pemasaran kayu rakyat di Kecamatan Situraja, Kabupaten Sumedang [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rahman SA, Rahman MF, Sunderland T. 2012. Causes and consequences of shifting cultivation and its alternative in the hill tracts of Eastern Bangladesh. An International Journal Incoporating Agroforestry Forum. 84(2): 147. Suharjito D. 2000. Hutan Rakyat: Kreasi Budaya Bangsa. Di dalam: Didik Suharjito, editor. Hutan Rakyat di Jawa Perannya dalam Perekonomian Desa. Bogor (ID): Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM) Fakultas Kehutanan IPB. hlm 1-6. [UBH-KPWN] Unit Bagi Hasil Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara. 2012. Usaha Bagi Hasil Budidaya Jati Unggul Nusantara. Bogor (ID): UBHKPWN. [USU] Universitas Sumatera Utara. 2012. Kelemahan Hutan Rakyat. Sumatera Utara (ID): USU. Widyaningrum N, Dewayanti R, Chotim EE, Sadoko I. 2003. Pola-Pola Eksploitasi Terhadap Usaha Kecil. Budhyono R, penerjemah. Bandung (ID): Yayasan AKATIGA. hlm 11. Wolf ER. 1985. Petani: Suatu Tinjauan Antropologis. Yayasan Ilmu Ilmu Sosial (YIIS) Jakarta, penerjemah. Jakarta (ID): Penerbit CV Rajawali. Terjemahan dari: Peasants. Ed ke-2.
21
Lampiran 1 Data skoring partisipasi petani dalam pengelolaan hutan dan persepsi petani terhadap pengusahaan hutan No
Nama petani
Kategori petani
1
Rinan
2
Endan
3
Sobri
4
Dayat
5
Tabrani
6
Santa
7
Saang
Petani penggarap bukan pemilik lahan Petani penggarap bukan pemilik lahan Petani penggarap bukan pemilik lahan Petani penggarap bukan pemilik lahan Petani penggarap bukan pemilik lahan Petani penggarap bukan pemilik lahan Petani penggarap bukan pemilik lahan
Kategori dan skor partisipasi petani dalam pengelolaan hutan Kategori tinggi (skor 11)
Kategori dan skor persepsi petani terhadap pengusahaan hutan Kategori tinggi (skor 32)
Partisipasi dalam penyuluhan
Kategori tinggi (skor 11)
Kategori tinggi (skor 32)
Ya
Kategori tinggi (skor 11)
Kategori tinggi (skor 35)
Ya
Kategori tinggi (skor 12)
Kategori tinggi (skor 34)
Ya
Kategori tinggi (skor 11)
Kategori tinggi (skor 35)
Ya
Kategori tinggi (skor 11)
Kategori tinggi (skor 36)
Ya
Kategori tinggi (skor 11)
Kategori tinggi (skor 32)
Ya
Ya
22
Lampiran 1. Lanjutan 8
Sahad
9
Nakih
10
Ricing
11
Saptaji
12
Udin
13
Naseh
14
Ajuk
15
Sumanto
16
Atin
Petani penggarap bukan pemilik lahan Petani penggarap bukan pemilik lahan Petani penggarap bukan pemilik lahan Petani penggarap bukan pemilik lahan Petani penggarap bukan pemilik lahan Petani penggarap bukan pemilik lahan Petani penggarap bukan pemilik lahan Petani penggarap bukan pemilik lahan Petani penggarap bukan pemilik lahan
Kategori tinggi (skor 12)
Kategori tinggi (skor 35)
Ya
Kategori tinggi (skor 12)
Kategori tinggi (skor 38)
Ya
Kategori tinggi (skor 11)
Kategori tinggi (skor 38)
Ya
Kategori tinggi (skor 12)
Kategori tinggi (skor 32)
Ya
Kategori tinggi (skor 12)
Kategori tinggi (skor 37)
Ya
Kategori tinggi (skor 11)
Kategori tinggi (skor 29)
Ya
Kategori tinggi (skor 11)
Kategori tinggi (skor 29)
Ya
Kategori tinggi (skor 11)
Kategori tinggi (skor 35)
Ya
Kategori tinggi (skor 11)
Kategori tinggi (skor 30)
Ya
23
Lampiran 1. Lanjutan 17
Usup
18
Kasman
19
Wati
20
Ain
21
Nipau
22
Piyun
23
Saim
24
Rais
25
Samat
Petani penggarap bukan pemilik lahan Petani penggarap bukan pemilik lahan Petani penggarap bukan pemilik lahan Petani penggarap sekaligus pemilik lahan Petani penggarap sekaligus pemilik lahan Petani penggarap sekaligus pemilik lahan Petani penggarap sekaligus pemilik lahan Petani penggarap sekaligus pemilik lahan Petani penggarap sekaligus pemilik lahan
Kategori tinggi (skor 12)
Kategori tinggi (skor 32)
Ya
Kategori tinggi (skor 12)
Kategori tinggi (skor 36)
Ya
Kategori sedang (Skor 10)
Kategori sedang (skor 22)
Tidak
Kategori sedang (skor 8)
Kategori tinggi (skor 31)
Tidak
Kategori sedang (skor 8)
Kategori tinggi (skor 36)
Tidak
Kategori sedang (skor 9)
Kategori tinggi (skor 27)
Tidak
Kategori sedang (skor 9)
Kategori tinggi (skor 32)
Tidak
Kategori sedang (skor 9)
Kategori tinggi (skor 32)
Tidak
Kategori sedang (skor 7)
Kategori tinggi (skor 32)
Tidak
24
Lampiran 1. Lanjutan 26
Ali
27
Madsani
28
Icang
29
Mursin
30
Sanusi
Petani penggarap bukan pemilik lahan Petani penggarap bukan pemilik lahan Petani penggarap bukan pemilik lahan Petani penggarap bukan pemilik lahan Petani penggarap bukan pemilik lahan
Kategori sedang (skor 8)
Kategori tinggi (skor 27)
Tidak
Kategori sedang (skor 7)
Kategori tinggi (skor 27)
Tidak
Kategori sedang (skor 8)
Kategori tinggi (skor 27)
Tidak
Kategori sedang (skor 8)
Kategori tinggi (skor 31)
Tidak
Kategori sedang (skor 6)
Kategori tinggi (skor 32)
Tidak
Lampiran 2 Data pohon yang ditanam oleh petani dan jumlah pendapatan petani di Desa Cihowe dan Desa Cogreg BP3K Kabupaten Bogor No Nama petani
Jenis pohon
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jati Jati Jati Jati Jati Jati Jati Jati Jati Jati Jati Jati Jati
Rinan Endan Sobri Dayat Tabrani Santa Saang Sahad Nakih Ricing Saptaji Udin Naseh
Jumlah pohon (pohon/ 0.5 ha) 190 230 350 330 450 576 500 396 610 180 265 400 90
Pendapatan per tahun (Rupiah/0.5 ha/ tahun) 412 600.00 1 196 600.00 1 632 000.00 1 405 800.00 1 924 400.00 2 355 000.00 1 120 400.00 1 269 400.00 2 371 600.00 903 000.00 1 188 600.00 1 565 200.00 369 600.00
Jenis pembeli kayu
Koperasi Koperasi Koperasi Koperasi Koperasi Koperasi Koperasi Koperasi Koperasi Koperasi Koperasi Koperasi Koperasi
25
Lampiran 2. Lanjutan 14 15 16 17 18 19
Ajuk Sumanto Atin Usup Kasman Wati
20
Ain
21
Nipau
22
Piyun
23
Saim
24
Rais
25
Samat
26
Ali
Jati Jati Jati Jati Jati Kihujan Nangka Kelapa Sengon Kecapi Rambutan Jabon Kelapa Trembesi Sengon Kecapi Rambutan Jabon Melinjo Petai Jabon Nangka Sengon Kecapi Rambutan Jabon Nangka Kelapa Sengon Kecapi Rambutan Kelapa Sengon Kecapi Rambutan Sengon Kecapi Rambutan Kelapa Kihujan
27
Madsani
Sengon
150 270 150 272 269 25 3 1 1 4 9 1 2 1 1 11 9 2 4 3 3 2 1 4 12 1 1 2 1 6 7 2 2 4 5 2 3 4 1 35
600 000.00 1 200 000.00 540 000.00 1 050 800.00 1 138 800.00 1666.67
Koperasi Koperasi Koperasi Koperasi Koperasi Tengkulak
Kayu dikonsumsi untuk kebutuhan pribadi
187 500.00 Tengkulak
30 000.00 Tengkulak
260 000.00 Tengkulak
260 000.00 Tengkulak
Kayu dikonsumsi untuk kebutuhan pribadi Upah pemeliharaan; kayu bakar 50 Upah pemeliharaan; kayu bakar
26
Lampiran 2. Lanjutan 28
Icang
Jati
29
Mursin
Sengon
30
Sanusi
Sengon
50 Upah pemeliharaan; kayu bakar 50 Upah pemeliharaan; kayu bakar 50 Upah pemeliharaan; kayu bakar
-
-
-
27
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada 10 Januari 1991 sebagai anak kedua dari dua bersaudara pasangan ayah Priyono (alm) dan ibu Ani Supriyati. Pada 2009 penulis lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMA) Negeri 5 di Bogor. Penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Penelusuran Minat Dan Kemampuan (PMDK) pada 2009. Penulis memilih jurusan Manajemen Hutan, Fakultas kehutanan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi assisten Inventarisasi Sumber Daya Hutan (ISDH) Departemen Manajemen Hutan pada tahun ajaran 2011/2012. Penulis pun aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai anggota Divisi Tari Tradisional Sunda Gentra kaheman IPB periode 2009/2011, sebagai Perwakilan Gentra Kaheman IPB dalam Ajang Seni Tradisional Sunda Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pada 2010 di Bandung, sebagai anggota divisi Public Relation dalam International Forestry Students’ Association (IFSA) LC IPB periode 2010/2012, Divisi Medis Temu Manajer Manajemen Hutan IPB pada 2011, Peserta Ecological Social Mapping pada 2011 di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Jawa Barat, Divisi Konsumsi 4R (Reduce, Reuse, Recycling and Respect) Festival IFSA LC IPB pada 2011 dan 2012, Divisi Humas South East Asia Forest Youth Meeting Bogor Agricultural University pada 2011, Partisipan dalam Pekan Ilmiah Kehutanan VI Institut Pertanian Bogor pada 2012, Volunteer Pengajar Bahasa Inggris untuk anak-anak di Desa Situ Gede Bogor dalam Village Concept Project IFSA LC IPB pada 2012, serta panitia dalam acara Semarak 50 Tahun Emas Fakultas Kehutanan IPB pada 2013. Penulis juga aktif dalam kegiatan di luar kampus, diantaranya sebagai Guide for British International School dalam acara berbasis kehutanan di Center for International Forestry Research (CIFOR) pada 2011, Guide dalam acara pendidikan kehutanan di Center for International Forestry Research (CIFOR) pada 2011, Guide dalam acara pendidikan kehutanan di Center for International Forestry Research (CIFOR) pada 2012, sebagai Media Exhibitor dalam Symposium for Value Chains of Furniture, other Products and Ecosystem Service with Center for International Forestry Research (CIFOR) and its collaborating institution pada 2013 di IPB International Convention Center (IICC) Bogor, sebagai partisipan dalam seminar The Application and Challenges of Green Economy for Sustainable Forest Development pada 2013 oleh Kementrian Kehutanan di Puslitbang Bogor, dan sebagai Pengisi Suara (Dubber) dan Quality Control CD Pembelajaran Bahasa Inggris dan tematik di PT. Softchip Computama Indonesia (SCI), Tangerang pada Juli 2013. Penulis pun tergabung sebagai anggota dalam International Union of Forest Research Organization Landscape Ecology Working Group (IUFRO LE) sejak Mei 2013 sampai sekarang. Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Roda Mas Timber Kalimantan, Kalimantan Timur pada 2013. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Pola Hubungan Pemasaran Petani dan Koperasi dalam Pengusahaan Hutan di Desa Cihowe dan Desa Cogreg BP3K Kabupaten Bogor yang dibimbing oleh Prof Dr Ir Didik Suharjito, MS.