KARAKTERISTIK PETANI TEPI HUTAN DAN KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN HUTAN LINDUNG DI 12 DESA DI PROVINSI LAMPUNG
R. PITOJO BUDIONO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
1
KARAKTERISTIK PETANI TEPI HUTAN DAN KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN HUTAN LINDUNG DI 12 DESA DI PROVINSI LAMPUNG
Oleh: R. PITOJO BUDIONO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
2
Judul Disertasi
: KARAKTERISTIK PETANI TEPI HUTAN DAN KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN HUTAN LINDUNG DI 12 DESA DI PROVINSI LAMPUNG
Nama Mahasiswa
: R. PITOJO BUDIONO
Noomor Pokok
: P.016010071
Program Studi
: Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Disetujui : 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. H.R. Margono Slamet, M.Sc. Anggota
Prof. Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM, APU. Anggota
Diketahui:
2. Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc.
Tanggal Ujian : 17 Juli 2006
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus :
3
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi ® Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm, dan sebagainya.
4
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya yang berjudul : KARAKTERISTIK PETANI TEPI HUTAN DAN KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN HUTAN LINDUNG DI 12 DESA DI PROVINSI LAMPUNG Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Demikian pernyataan ini saya buat dengan penuh rasa tangung jawab.
Bogor, Juli 2006. Pembuat Pernyataan,
R. Pitojo Budiono P016010071
5 ABSTRACT R. PITOJO BUDIONO, The Characteristic of Farmer Living Around the Forest and the Competency in Protected Forest Sustainability in 12 Villages at Lampung Province. Under the direction of AMRI JAHI, MARGONO SLAMET, and DJOKO SUSANTO. The object of this study is to analyses the competency of farmers managing the protected forest in relation to sustainable efforts and conservation farming. The benefit of the study is to find out the strategies of developing competency to answer the balance of protected forest sustainability and the farmers’ necessities. Study is carried out in Lampung Province which includes 400 respondents in 12 villages in 4 registers (Reg 19, Reg 22, Reg 38, and Reg 45 B) along the protected forest’s border. Data was collected on May to October 2005 from interviews, closed questionnaires and observations. Quantitative data underwent first step of correlation test of Konkordasi Kendall W, to further test of Path Analysis and Structural Equations Modeling (SEM). Result of study shows sustainability competency owned by farmers in each area is different, for instance area of knowledge (3,12), behavior (3,04), and skills (2,73). This condition encourages farmers “to know, willing but unable to carry out” sustainability due to the imbalanced competency and direction. Result of structural equations shows that competency to sustain is influenced by 92% technical forestry factors, 100% socio-economic factors, 18% socio-cultural factors, 83% conservation techniques. In relation to that, the conservation efforts for protected forests are prioritized on economical aspects, forestry sectors, and conservation farming. Based on measurement equations, socio-cultural factors are strong potential and latent transformers to change the competency of the farmers.
_____________ Key words: Competency, sustainability, conservation, protected forest, and behavior
6
ABSTRAK R. PITOJO BUDIONO, Karakteristik Petani Tepi Hutan dan Kompetensinya dalam Melestarikan Hutan Lindung di 12 Desa di Provinsi Lampung. Di bawah pengarahan AMRI JAHI, MARGONO SLAMET, dan DJOKO SUSANTO. Tujuan studi adalah mengkaji kompetensi yang dimiliki petani tepi hutan dalam mengelola lahan di kawasan hutan lindung yang terkait dengan upaya pelestarian dan pertanian konservasi. Manfaat dari studi adalah untuk menemukan strategi pengembangan kompetensi guna menjawab keseimbangan kelesatrian hutan lindung dan kebutuhan petani. Studi dilakukan di Propinsi Lampung dengan melibatkan 400 responden yang tersebar di 12 desa. yang tercakup pada empat register (Reg-19, Reg-22, Reg-38, dan Reg-45 B) yang berbatasan langsung dengan hutan lindung. Data dikumpulkan pada bulan Mei – Oktober 2005 melalui wawancara dengan angket tertutup dan observasi. Data kuantitatif selanjutnya diuji dengan uji korelasi peringkat Konkordasi Kendall W untuk tahap awal, dan uji lanjut dengan Path Analysis dan Structural Equations Model (SEM). Hasil studi menunjukkan bahwa kompetensi yang dimiliki oleh petani tepi hutan pada tiap ranah berbeda seperti kompetensi melestarikan di ranah pengetahuan (3,12), sikap (3,04), dan ketrampilan (2,73). Kondisi ini menyebabkan petani tepi hutan “tahu, mau tetapi tidak mampu” melakukan pelestarian. Hal dapat terjadi karena kompetensinya tidak seimbang dan searah. Sedangkan hasil structural equations menunjukkan Kompetensi melestarikan dipengaruhi oleh 92% faktor teknis kehutanan, 100% sosial ekonomi, 18% sosial budaya, 83% teknis konservasi. Dengan demikian upaya melestarikan hutan lindung diprioritaskan pada aspek ekonomi, teknis kehutanan dan petanian konservasi. Sedangkan hasil measurement equations, ternyata aspek sosial budaya merupakan peubah laten yang berpotensi kuat untuk mengubah kompetensi melestarikan hutan.
____________ Key words: Kompetensi,kelestarian,konservasi, hutan lindung.
7 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan HidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul “KARAKTERISTIK PETANI TEPI HUTAN DAN KOMPETENSINYA DALAM MELESTARIKAN HUTAN LINDUNG DI 12 DESA DI PROVINSI LAMPUNG ”. Disertasi ini disusun berdasarkan hasil penelitian di empat Kabupaten di Provinsi Lampung pada bulan Mei 2005 sampai dengan bulan Oktober 2005. Penyusunan disertasi ini merupakan salah satu persyaratan dalam rangka penyelesaian studi program Doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Dengan telah diselesaikannya penyusunan disertasi ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Dr. Amri Jahi, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Margono Slamet, dan Prof. Dr. Ign Djoko Susanto, SKM. APU, yang telah memberikan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan dengan penuh dedikasi hingga akhir penulisan disertasi. 2. Prof Dr. Dudung Darusman, MA Ketua Lab. Sosek, Fak. Kehutanan IPB, selaku penguji pada ujian tertutup dan korektor kisi-kisi penelitian. 3. Dr. Harry Santoso, MS, Direktur Pengelolaan DAS – RLPS Departemen Kehutanan dan Dr. Sumardjo, MS, Ketua Program Studi KMP Fakultas Ekologi Manusia IPB selaku penguji pada ujian terbuka 4. Prof. Dr. Endang Suhendang, MS., Prof. Dr. Naik Sinukaban, Prof. Dr. Sutopo Gani, M.Sc. Dr. Hariadi Kartodihardjo, Dr. Didik Suhardjito, Dr. Irdika Mashur,
8 Dr. Nur Heni Wijanyanto, Dr. Affandi, Dr. Kukuh Mutrilaksono, Dr. Suryadarma, selaku korektor dari kisi-kisi penelitian. 5. Dr. Meine van Noordwijk., Prof Dr. Bustanul Arifin., Prof. Dr. Kurniatun H,. Dr. Suyanto,. Dr. Laxman Joshi., Beria Leimona, dan teman-teman atas saran dan masukkannya pada Seminar Hasil Penelitian di ICRAF. 6. Prof. Dr. Muhadjir Utomo, M.Sc. selaku Rektor Universitas Lampung beserta jajarannya atas restunya untuk melakukan studi program S3 di IPB. 7. Prof. Dr, Ida Farida Riva’i, Prof. Dr. Bambang Sumitro, MS, Prof. Dr. Sugeng P. Haryanto, MS, Drs. Hertanto, M.Si dan Drs. Syarief Makhya, M.Si, dan temanteman FISIP UNILA atas rekomendasi dan dukungan morilnya. 8. Kepala Dinas Kehutanan beserta staffnya di empat kabupaten, dan masyarakat 12 kampung tepi hutan lindung serta para penyuluh lapangan, atas kesempatan, data, informasi serta bantuan kerjasamanya saat penulis melakukan penelitian. 9. Segenap Pimpinanan dan staf Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan dan layanan yang prima serta Pengelola BPPS atas beasiswanya. 10. Dr. FX. Susilo, Dra. Sri Murwani, MSc. Mas Deden, Mas Farid, Mas Wicak, Pak Supadi atas data dan diskusi serta suportnya selama penelitian. 11. Istri tercinta, Christine Wulandari, Ph.D serta ananda tercinta Budiasti Wulansari (Ola) dan Budicahya Rama Bagaskara (Bagas), atas dorongan, ketabahan, keikhlasan, pengertian, kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi program S3. 12. Orang tua tercinta, bapak Soetarno (alm.) dan ibu Sri Soedarni, bapak Soegandari (alm.) dan ibu Hj. Sri Soeparmi serta kakak-kakak dan adik-adik yang telah
9 memberikan dorongan, motivasi, doa dan restunya untuk menyelesaikan studi program S3, dan pada seluruh pihak yang telah membantu penulis selama studi, penelitian dan penyusunan disertasi ini. Sulit bagi penulis untuk dapat membalas budi baik dan bantuan yang telah diberikan oleh bapak dan ibu sekalian, maka dari itu dengan tulus hati penulis mendoakan semoga Allah SWT memberikan imbalan yang sesuai. Amin ya rabbal alamiin. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.
Bogor, Juli 2006 R. Pitojo Budiono
10
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
R. Pitojo Budiono dilahirkan di Purwokerto – Jawa Tengah pada tanggal 8 Mei 1964 sebagai anak ketujuh dari delapan bersaudara, pasangan (alm) Bapak R. Soetarno dan Ibu Sri Soedarni. Penulis menyelesaikan pendidikan SD Negeri Sokanegara 1, SMP Negeri 1, SMA Negeri 1 di Purwokerto, lulus tahun 1983 kemudian meneruskan ke Perguruan Tinggi di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, lulus tahun 1989. Setelah menyelesaikan S1, penulis bekerja di PANIN BANK Semarang, (1990 – 1992). Pada tahun 1993 penulis diterima sebagai staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Pada tahun 1996 penulis melanjutkan S2 di Program Studi Ketahanan Nasional di Universitas Gadjah Mada, lulus tahun 1999. Setelah S2 penulis ditempatkan di Jurusan Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, kemudian pada tahun 2001 penulis diterima sebagai mahasiswa S3 di Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) Institut Pertanian Bogor. Selama belajar di S3 penulis aktif di Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) dan di Konsorsium Kurikulum Ilmu Pengetahuan (KKIP) di Bogor yang memiliki fokus pada pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Penulis pemegang sertifikat Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) dari Lembaga Ekolabel Indonesia. Konsultan -
Selain itu penulis pernah menjadi konsultan lepas pada Lembaga
Mutu Agung Lestari (MAL) sebagai anggota tim Lembaga Penilai
Independent (LPI) 1 dan LPI 2 di bidang SOSEK-SOSBUD untuk penilaian HPH.
11 DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................ DAFTAR TABEL ………………………………………………………… DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….. DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………
Hal vi viii xii xiv
PENDAHULUAN Latar Belakang ……………………………………………….................... Masalah Penelitian ………………………….............................................. Tujuan Penelitian ………............................................................................ Kegunaan Penelitian .................................................................................. Definisi Istilah ...........................................................................................
1 3 3 4 5
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Petani Tepi Hutan ……………………………………...... Hutan Lindung ………………………………………………………...... Pengertian Kelestarian ………………………………………................. Kompetensi ……………………………………………………….......... Kompetensi Melestarikan yang Perlu Dikuasai oleh Petani ..................... Kompetensi Teknis sebagai Jurutani .............................................. Kompetensi Khusus sebagai Pengelola .......................................... Kompetensi Petani Tepi Hutan yang Harus Dikuasai dalam Melestarikan ................................................................................... Kompetensi di bidang Teknis ............................................... Kompetensi di bidang Sosial Ekonomi ................................. Kompetensi di bidang Sosial Budaya .................................. Hubungan Karakteristik Petani Tepi Hutan dengan Kompetensi Melestarikan Hutan Lindung ................................................................... Pertanian Konservasi di Lahan Kering ................................................... Pertanian Lahan Kering ................................................................ Pertanian Konservasi .................................................................... Kompetensi dalam Pertanian Konservasi....................................... Kerangka Pikir.............................................................................. .......... METODE PENELITIAN Populasi ………………….……………………………………………. Sampel ……………...………………………………………………… Rancangan Model ….............................................................................. Data ………………………………………………………………….. Instrumentasi …………………………………………………………. Keterandalan Kuesioner ............................................................... Realibilitas Kuesioner................................................................... Pengumpulan Data ................................................................................. Analisis Data ...........................................................................................
8 18 22 27 30 33 35 36 38 44 51 61 67 67 72 79 86
92 93 95 95 100 101 103 105 105
12
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Lokasi Penelitian ........................................................................... Sebaran Petani Tepi Hutan pada Sejumlah Karakteristik ……………... Kompetensi Petani tepi Hutan dalam Melestarikan Hutan Lindung ...... Hubungan Karakteristik Demografi Petani Petani Tepi Hutan dengan Kompetensi Melestarikan Hutan Lindung. ................................ Hubungan Karakteristik Petani dengan Pengetahuan Melestarikan Hutan Lindung .................. .................................... Hubungan Karakteristik Petani dengan Sikap Melestarikan Hutan Lindung .............................................................................. Hubungan Karakteristik Petani dengan Ketrampilan Melestarikan Hutan Lindung ........................................................ Uji Parametrik Karakteristik Demografi Petani Tepi Hutan dan Kompetensi Melestarikan Hutan ............................................................. Analisis Jalur pada Peubah Bebas Kompetensi Melestarikan ..... Analisis Konfirmatory pada Peubah tak Bebas Kompetensi Melestarikan ................................................................... ............. Pembahasan ........................................................................................... Gambaran Singkat Kondisi Kondisi Hutan Lindung di Indonesia .......... Kondisi dan Permasalahan Hutan Lindung di Lampung ........................ Penyuluhan Kehutanan di Provinsi Lampung ........................................ Kondisi Petani Tepi Hutan Lindung pada Lokasi Penelitian .................. Kebutuhan Lahan Petani Tepi Hutan Lindung ....................................... Model Pendekatan terhadap Pembangunan Kehutanan Kebutuhan Petani dalam Melestarikan Hutan Lindung .......................... Motivasi yang Diperlukan untuk Meningkatkan Kompetensi ............... Potensi Petani sebagai Pelestari .............................................................. Derajat Kompetensi Melestarikan pada Tiap Ranah .............................. Derajat Pengetahuan Melestarikan ............................................... Derajat Sikap Melestarikan ............................................................ Derajat Ketrampilan Melestarikan ................................................ Model Penilaian Kelestarian Hutan Berbasiskan Individu ..................... Pola Pengembangan Kompetensi Petani dalam Melestarikan ................
205 205 207 211 216 222 224 230 237 238 244 244 249 254 262 268
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ............................................................................................ Saran ..................................................................................................... .
269 269 270
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
271
107 107 120 123 124 144 165 186 187 199
13
DAFTAR TABEL No Tabel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
Teks
Hal
Pengkelasan Berdasarkan Kemiringan ........................................................... Pengkelasan Berdasarkan Intensitas Curah Hujan ................................... Luas Kawasan Hutan di Provinsi Lampung Berdasarkan Fungsinya............. Ciri Petani Sub-Sisten dan Petani Komersial dalam Berusahatani................. Skema Hubungan antar Kelas Kemampuan Tanah dengan Intensitas dan Macam Penggunaannya ................................................................................. Pengelolaan Lahan Berdasarkan Kemiringan................................................. Populasi Petani Tepi Hutan ............................................................................ Perincian Sampel Petani Tepi Hutan .............................................................. Model Pembobotan Kategori .......................................................................... Para Juri Kelestarian dan Pertanian Konservasi ............................................. Profil Lahan Kritis di Provinsi Lampung ........................................................ Sebaran Responden Berdasarkan Umur ....................................................... Sebaran Responden Berdasarkan Lama Tinggal di Desa .............................. Sebaran Responden Berdasarkan Suku ......................................................... Sebaran Responden Berdasarkan Pendidikan Formal ................................... Sebaran Responden Berdasarkan Pendidikan Non Formal ........................... Sebaran Responden Berdasarkan Motivasi ................................................... Sebaran Responden Berdasarkan Pengalaman Berusaha .............................. Sebaran Responden Berdasarkan Luas Lahan Grapan .................................. Sebaran Responden Berdasarkan Status Lahan Garapan .............................. Sebaran Responden Berdasarkan Pendapatan ............................................... Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Kekosmopolitan ......................... Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga ....................... Sebaran Responden Berdasarkan Kontak dengan PPL ................................ Hubungan Umur dengan Kompetensi Pengetahuan Petani ............................ Hubungan Lama Tinggal dengan Kompetensi Pengetahuan Petani ............. . Hubungan Suku dengan Kompetensi Pengetahuan Petani ............................ Hubungan Motivasi dengan Kompetensi Pengetahuan Petani ......... ............ Hubungan Pendidikan Formal dengan Kompetensi Pengetahuan Petani ...... Hubungan Pendidikan Non Formal dgn Kompetensi Pengetahuan Petani ... Hubungan Pengalaman Berusaha dengan Kompetensi Pengetahuan Petani Hubungan Luas Lahan Garapan dengan Kompetensi Pengetahuan Petani ... Hubungan Status Lahan Garapan dengan Kompetensi Pengetahuan Petani . Hubungan Pendapatan dengan Kompetensi Pengetahuan Petani ................ Hubungan Tingkat Kekosmopolitan dgn Kompetensi Pengetahuan Petani Hubungan Jumlah Anggota Keluarga dengan Kompetensi Pengetahuan ..... Hubungan Kontak PPL dengan Kompetensi Pengetahuan Petani ............... Hubungan Umur dengan Kompetensi Sikap Petani...................................... Hubungan Lama Tinggal dengan Kompetensi Sikap Petani ......... ............... Hubungan Suku dengan Kompetensi Sikap Petani ................... ................. Hubungan Motivasi dengan Kompetensi Sikap Petani .................................
20 21 21 31 75 76 92 94 101 102 108 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 118 119 125 127 128 130 132 133 135 136 138 139 140 142 143 145 146 148 149
14 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69
Hubungan Pendidikan Formal dengan Kompetensi Sikap Petani ................ . 151 Hubungan Pendidikan Non Formal dengan Kompetensi Sikap Petani ........ 152 Hubungan Pengalaman Berusaha dengan Kompetensi Sikap Petani ............ 154 Hubungan Luas Lahan Garapan dengan Kompetensi Sikap Petani ............... 156 Hubungan Status Lahan Garapan dengan Kompetensi Sikap Petani ............ 158 Hubungan Pendapatan dengan Kompetensi Sikap Petani ............. ............ 160 Hubungan Tingkat Kekosmopolitan dengan Kompetensi Sikap Petani ........ 161 Hubungan Jumlah Anggota Keluarga dengan Kompetensi Sikap Petani...... 163 Hubungan Kontak PPL dengan Kompetensi Sikap Petani ......... ................. 165 Hubungan Umur dengan Kompetensi Ketrampilan Petani ………............... 167 Hubungan Lama Tinggal di Desa dengan Kompetensi Ketrampilan Petani 168 Hubungan Suku dengan Kompetensi Ketrampilan Petani ............................ 170 Hubungan Motivasi dengan Kompetensi Ketrampilan Petani ........... ........... 171 Hubungan Pendidikan Formal dengan Kompetensi Ketrampilan Petani ...... 173 Hubungan Pendidikan Non Formal dgn Kompetensi Ketrampilan Petani .... 174 Hubungan Pengalaman Berusaha dengan Kompetensi Ketrampilan Petani 176 Hubungan Luas Lahan Garapan dengan Kompetensi Ketrampilan Petani ... 177 Hubungan Status Lahan Garapan dengan Kompetensi Ketrampilan Petani .. 179 Hubungan Pendapatan dengan Kompetensi Ketrampilan Petani ................. 180 Hubungan Tingkat Kekosmopolitan dengan Kompetensi Ketrampilan ........ 182 Hubungan Jumlah Anggota Keluarga dengan Kompetensi Ketrampilan ...... 184 Hubungan Kontak PPL dengan Kompetensi Ketrampilan Petani ................. 185 Pengaruh langsung dan Tak Langsung X terhdap Y Kompetensi ................. 198 Hasil Pengukuran pada Peubah Laten ........................................................... 199 Komparasi Kompetensi Petani dalam Melestarikan ……………………...... 236 Pengetahuan Petani Tepi Hutan dalam Melestarikan ..................................... 239 Sikap Petani Tepi Hutan dalam Melestarikan ................................................. 241 Ketrampilan Petani Tepi Hutan dalam Melestarikan ...................................... 243
15
DAFTAR GAMBAR Nomor
Teks
hal
1
Kerangka Penilaian Pembangunan Berkelanjutan ………………. …
26
2
Garis Besar Hubungan antara X dan Y………………………………
86
3
Bagan Kerangka Pikir ………………………………………………
91
4
Pola Perilaku Melestarikan ..............................................................
123
5
Pola Hubungan Karakteristik Petani terhadap Kompetensi ................
189
6
Hasil Analisis Jalur terhadap Peubah Bebas Kompetensi …………
191
7
Diagram Hasil Uji Structural Equations Model ……………………
201
8
Derajat Pengetahuan Petani pada Kompetensi Teknis ...................
245
9
Derajat Pengetahuan Petani pada Kompetensi Sosek ...................
246
10
Derajat Pengetahuan Petani pada Kompetensi Sosbud ................
247
11
Derajat Pengetahuan Petani pada Kompetensi Konservasi ............
248
12
Derajat Sikap Petani pada Kompetensi Teknis ................... ............
250
13
Derajat Sikap Petani pada Kompetensi Sosek ................................
251
14
Derajat Sikap Petani pada Kompetensi Sosbud ..............................
252
15
Derajat Sikap Petani pada Kompetensi Konservasi .........................
253
16
Derajat Ketrampilan Petani pada Kompetensi Teknis ...................
255
17
Derajat Ketrampilan Petani pada Kompetensi Sosek ...................
256
18
Derajat Ketrampilan Petani pada Kompetensi Sosbud ................
257
19
Derajat Ketrampilan Petani pada Kompetensi Konservasi ............
259
20
Kompetensi Perilaku Melestarikan ....................................................
260
21
Klasifikasi Kompetensi Petani Tepi Hutan ..........................................
261
22
Derajat Kompetensi Petani dalam Melestarikan Hutan ....................
262
16 DAFTAR LAMPIRAN
No
Judul Lampiran
Hal
Lampiran 1
Peta Lokasi Penelitian ................................................................... 279
Lampiran 2
Izin Penelitian .......................................... ................................... 280
Lampiran 3
Proporsi Pendapatan Petani ........................................................... 281
Lampiran 4
Diagram Hasil Uji SEM ................................................................ 282
17 PENDAHULUAN Latar Belakang Kompetensi petani tepi hutan dalam melestarikan hutan lindung perlu dikaji secara mendalam. Hal ini penting karena hutan akan lestari jika para petani yang tinggal di sekitar hutan memiliki kompetensi yang memadai dalam melestarian hutan. Kerusakan hutan lindung di Lampung terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menjadi semakin parah pada era Reformasi yang dimulai pertengahan tahun 1997, dan berlanjut terus pada era Otonomi Daerah pada tahun 2001. Hal ini sejalan dengan desakan kebutuhan hidup petani yang tidak berlahan atau berlahan sempit, yang terus meningkat sehingga mereka membuka lahan hutan lindung untuk berkebun. Selain karena tidak mempunyai lahan, petani tertarik untuk membuka kawasan hutan lindung karena lahan tersebut masih subur. Kesuburan tanah dibutuhkan petani untuk mengembangkan usaha taninya seperti: tanaman kopi, coklat, tangkil, lada hitam, cabai, timun, sayur-sayuran dan sebagainya yang harganya baik di pasar. Sekalipun ada pengelolaan lahan hutan menjadi kebun, upaya konservasi tanah dan air dalam bidang kehutanan harus dilakukan dengan benar agar dapat menjaga dan meningkatkan kondisi hutan, serta memberikan manfaat bagi kehidupan. Pengelolaan hutan harus dilakukan dengan baik dan benar agar “tidak akan menimbulkan masalah”. Hal ini hanya bisa dicapai jika petani memahami dan mempraktekkan prinsip-prinsip kelestarian hutan dan pertanian konservasi berkelanjutan. Dengan mempraktekkan prinsip-prinsip tersebut maka kelestarian hutan lindung akan terjaga dan penggundulan hutan dapat dicegah sehingga erosi, dan longsor, dapat dikendalikan dengan baik.
18 Keuntungan petani dalam mempraktekkan prinsip-prinsip kelestarian selain terjaganya kondisi fisik hutan yang luas manfaatnya adalah terjaganya produktivitas hasil tanaman yang mampu menopang kebutuhan hidupnya.
Tingkat produktivitas dapat
terjaga dengan baik, apabila petani mampu memilih bibit unggul, merawat tanaman dengan baik dan memelihara keseimbangan unsur-unsur hara di dalam tanah melalui pemupukan baik organik maupun kimia dengan tepat. Kesemuanya itu dapat berjalan dengan baik apabila petani di kawasan hutan lindung mendapat bimbingan dan penyuluhan, antara lain dari Dinas Kehutanan, dan Dinas Perkebunan.
Dengan adanya bimbingan tersebut, pengelolaan kawasan hutan
lindung, akan terjaga dengan baik dan para petani sadar bahwa perilaku merusak hutan lindung seperti menebang dan membuka areal tanam baru tanpa memperhatikan prinsip kelestarian, membuka lereng-lereng terjal yang mengakibatkan erosi dan hilangnya daerah tangkapan air, dapat dicegah dan mengurangi kerusakan lingkungan yang lebih parah. Berkaitan dengan hal di atas, dalam rangka menjaga dan memulihkan kualitas hutan lindung di Lampung yang sudah rusak, diperlukan studi yang mendalam tentang perilaku yang didasarkan kompetensi petani tepi hutan dalam melestarikan hutan lindung dan melakukan pertanian konservasi di areal hutan lindung tersebut.
Rumusan Masalah Masalah kompetensi dalam berperilaku tidak terlepas dari aspek pengetahuan, sikap dan ketrampilan, karena sebelum orang melakukan tindakan, terlebih dahulu yang muncul adalah
predisposisi dari perilaku tersebut yakni sikap. Melalui sikap inilah
muncul kecenderungan untuk bertindak yang didasarkan atas penilaian pada obyek
19 tertentu. Inti permasalahannya adalah petani yang memanfaatkan hutan lindung sebagai tempat pemenuhan kebutuhan pada dasarnya tidak dibenarkan secara hukum, namun telah menjadi kenyataan bahwa petani telah memanfaatkan dan mengelola hutan lindung tanpa prinsip kelestarian dan pertanian konservasi, sehingga fungsi hutan lindung menjadi terganggu dan menurun. Dengan demikian pertanyaan penelitian adalah: (1)
Bagaimana petani tepi hutan yang dikaji dalam penelitian ini terdistribusi pada sejumlah karakteristik yang diamati ?
(2)
Kompetensi apa yang dimiliki petani tepi hutan dalam melestarikan hutan?
(3)
Sejauh mana terdapat hubungan diantara karakteristik individu petani tepi hutan dengan kompetensi melestarikan hutan lindung ?
(4)
Bagaimana pola hubungan tidak langsung kompetensi petani dalam melestarikan hutan dengan karakteristik mereka?
Tujuan Penelitian Mengacu pada masalah penelitian yang ada, maka tujuan umum penelitian adalah untuk mengungkapkan dimensi kuantitatif dan kualitatif dalam bentuk terukur aspek-aspek permasalahan kompetensi melestarikan hutan lindung secara proporsional dan ilmiah dalam perspektif ilmu penyuluhan pembangunan. Dengan demikian tujuan penelitian adalah: (1)
Menetapkan distribusi pada sejumlah karakteristik petani tepi hutan lindung yang diamati di Provinsi Lampung.
(2)
Mengungkapkan kompetensi petani tepi hutan dalam melestarikan hutan lindung
(3)
Menentukan derajat hubungan karakteristik petani tepi hutan dengan upaya mereka dalam melakukan pengelolaan lahan yang lestari di kawasan hutan lindung.
20 (4)
Mengungkapkan pola hubungan tidak langsung karakteristik petani tepi hutan dengan kompetensi melestarikan.
Kegunaan Penelitian Hasil disertasi diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam ilmu penyuluhan secara teoritis khususnya tentang kompetensi petani tepi hutan lindung, serta bagi penyuluh yang bergerak dalam pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Secara spesifik kegunaannya adalah: Bagi Pemerintah dan LSM (1) Sebagai masukan kepada pemerintah khususnya jajaran Departeman Kehutanan dan Pemerintah Daerah untuk mengambil kebijakan didasarkan pada kompetensi petani tepi hutan dalam meningkatkan kelestarian hutan lindung. (2) Memberikan informasi tentang potensi, dan karakteristik petani tepi hutan dalam perilaku melestarikan dan pertanian konservasi di hutan lindung. (3) Bagi LSM dapat merupakan salah satu referensi materi dalam memerankan sebagai community organizer (CO) Bagi Perguruan Tinggi (1)
Sebagai upaya sumbangan pemikiran untuk pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan berkaitan dengan pengembangan kompetensi petani tepi hutan yang dapat menjadi dasar dari pemberdayaan masyarakat (Community Development).
21 (2)
Memberikan kontribusi yang dapat menjelaskan duduk permasalahan secara proporsional dan ilmiah, masalah kompetensi petani di hutan lindung kepada semua pihak serta memberikan peluang kajian yang lebih intensif tentang kompetensi sebagai dasar perilaku petani hutan dimasa akan datang.
Definisi Istilah Pentingnya memberi batasan definisi istilah yang digunakan berkaitan dengan peubah-peubah agar pengertian yang dibangun menjadi jelas dan tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda. Istilah yang digunakan meliputi: I. Petani tepi hutan, adalah orang yang berdiam di desa-desa tepi hutan lindung dan bermata-pencaharian pokok mengelola lahan di dalam kawasan hutan lindung. II. Karakteristik demografi petani tepi hutan adalah ciri–ciri petani tepi hutan yang melekat pada diri individu berupa: umur, lama tinggal di desa, suku, motivasi melestarikan, pendidikan formal, pendidikan non formal, pengalaman berusaha, luas lahan garapan, status lahan, pendapatan keluarga, kekosmopolitan, jumlah anggota keluarga dan kontak dengan PPL (Petugas Penyuluh Lapangan). (1)
Umur ialah usia petani tepi hutan yang dihitung sejak lahir sampai keulangtahuan terdekat ketika menjadi responden dan diukur jumlah tahun.
(2)
Lama tinggal di desa yaitu waktu lamanya tinggal petani tepi hutan yang dihitung sejak kedatangan atau lahir sampai keulangtahuan terdekat ketika menjadi responden dan diukur dalam jumlah tahun.
22 (3)
Suku adalah golongan etnis, atau kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan sosial lainnya berdasarkan kesadaran dan identitas perbedaan kebudayan, atau bahasanya dan diidentifikasi menurut garis keturunan ayah.
(4)
Motivasi melestarikan hutan ialah dorongan yang timbul dari dalam petani tepi hutan berupa alasan datang menggarap lahan hutan dan keinginan untuk meningkatkan kualitas fisik lingkungan hutan.
(5)
Pendidikan adalah tingkat proses belajar formal yang ditempuh responden, yang dinyatakan dalam jumlah tahun sekolah yang pernah dilalui.
(6)
Pendidikan non formal ialah frekuensi pelatihan yang pernah diikuti petani dengan materi kehutanan atau pertanian konservasi.
(7)
Pengalaman berusaha ialah aktivitas yang pernah dilakukan petani tepi hutan dalam pengelolaan lahan kering atau mengelola di kawasan hutan.
(8)
Luas kepemilikan lahan garapan ialah hamparan lahan dalam satuan hektar yang digunakan oleh petani tepi hutan untuk berusaha tani.
(9)
Status kepemilikan lahan garapan, ialah hak kepemilikan lahan yang digunakan petani untuk memenuhi kebutuhannya
(10) Pendapatan keluarga ialah besarnya konsumsi responden yang bersumber dari usahatani maupun yang bukan, yang dihitung dalam rupiah perbulan. (11) Tingkat kekosmopolitan yaitu keterbukaan petani tepi hutan terhadap informasi dalam pelestarian hutan dengan berbagai sumber informasi. (12) Jumlah anggota keluarga ialah banyaknya jiwa dalam keluarga petani. (13) Kontak dengan PPL yaitu frekuensi petani tepi hutan berhubungan dengan penyuluh kehutanan dalam suatu pertemuan.
23 III. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang memiliki fungsi sebagai sumber tata air pada daerah sekitarnya, dan status hutan kawasan lindung ditetapkan oleh pemerintah. IV. Kompetensi melestarikan hutan adalah sejumlah potensi untuk berperilaku secara cerdas guna menjawab tantangan dan masalahnya dan merupakan kombinasi sinergis antara kemampuan dari ranah pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Dengan demikian kompetensi melestarikan hutan lindung terkait dengan aspek teknis kehutanan, sosialbudaya, sosial-ekonomi dan pertanian konservasi. V. Pertanian lahan kering diartikan sebagai suatu sistem pertanian yang dilaksanakan di atas lahan tanpa mengandalkan atau menggunakan irigasi secara permanen, sehingga kebutuhan air bergantung pada curah hujan. VI. Pertanian konservasi cara atau teknik pengelolan lahan untuk pertanian dengan menekankan pada aspek tata olah lahan yang tepat, supaya lahan tetap mampu berproduksi dan terjaga kesuburannya, sehingga mampu mencegah terjadinya erosi atau hilangnya lapisan subur pada tanah, dengan demikian kondisi tanah tetap terjaga produktivitasnya. VII. Peubah laten yaitu adalah peubah yang digunakan untuk mengukur indikator namun peubah tersebut tidak dapat diamati secara langsung sehingga diperlukan peubah tak langsung untuk mengukurnya dan peubah laten terdapat pada analisis konfirmatory (Structural Equations Model).
24 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Petani Tepi Hutan Sosok petani adalah orang yang hidup di desa, dan beraktivitas sehari-harinya berkaitan langsung dengan mengelola sawah, tegalan, ladang, ternak, maupun hutan. Petani sebagai individu dalam masyarakat memiliki ciri yang unik dan spesifik, karena berkaitan dengan lokasi tempat tinggal serta komoditi yang dikelolanya. Wolf (1985:2), menyatakan bahwa petani adalah orang desa yang kegiatannya bercocok tanam dan beternak, untuk memenuhi kebutuhannya.
Sedangkan karakter
petani tepi hutan ialah orang yang memiliki ciri-ciri tinggal di sekitar hutan dan tergantung pada hutan untuk mencukupi kebutuhannya. Untuk memenuhi kebutuhan, maka petani mengkonversi lahan hutan menjadi ladang, tegalan, kebun, ataupun sawah, dimana tujuannya adalah untuk mengembangkan usaha taninya, yang dipandang memiliki peluang nilai ekonomi yang baik di pasar. Namun demikian upaya yang dilakukan petani tepi hutan dalam mengkonversi lahan sudah seharusnya tetap berpedoman pada asas kelestarian hutan maupun prinsip pertanian berkelanjutan. Menurut Hardjanto dan Hendro (2000:8-9) yang dimaksud dengan petani adalah orang yang memiliki atau mengelola kebun, talun, ladang, dan sawah, sedangkan yang dimaksud dengan bukan petani adalah pihak-pihak lain yang terkait dengan hasil pertanian petani mulai dari masa panen sampai pasca panen. Berkaitan dengan hal itu, maka yang dimaksud petani tepi hutan adalah orang yang menggarap lahan hutan. Secara ‘de facto’ petani tersebut telah hidup di dalam kawasan hutan lindung. Sekalipun mereka telah menggarap dan mengkonversi lahan
25 lindung, akan tetapi ia hanya menanam di lahan garapannya, sehingga yang dimiliki terbatas pada hak kelola atau pemanfaatan. Para peneliti seperti Aziz (1995), Yani, (1995) Muliatuty (2003), dan Zulfarina (2003) memperhatikan karakteristik demografi ketika meneliti pertanian ladang berpindah dan pertanian pada lahan kering. Karakteristik petani yang diamati itu ialah: 1) umur, 2) pendidikan, 3) pengetahuan, 4) pengalaman berusaha tani, 5) kekosmopolitan, 6) luas lahan garapan, dan 7) pendapatan. Selain itu, Taufiqurrahman dkk., (2003) mengamati 1) jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan, 2) jarak rumah ke ladang di hutan, 3) jumlah jenis tanaman di lahan, dan 4) jumlah jenis tanaman yang menghasilkan, dan Ruagadi, (1991), Permana, (1994), Rosalia, (2000) mengamati juga karakteristik pada sisi kesukuan dan budaya sebagai bagian dari penelitiannya. Karakteristik suku dengan nilai budaya sangat erat kaitannya, keduanya menyatu dan mengalami proses enkulturasi dengan nilai budaya yang hidup di masyarakatnya. Oleh karena itu sistem nilai budaya berimplikasi pada kebiasaan, norma dan adat. Kajian tersebut di atas, akan diamati juga pada
petani tepi hutan. Dengan
demikian karakteristik petani tepi hutan dalam diklasifikasikan menjadi karakteristik demografi yaitu: 1) umur, 2) lama tinggal di desa, 3) suku, 4) motivasi, 5) pendidikan formal, 6) pendidikan non formal, 7) pengalaman berusaha 8) luas lahan garapan, 9) status lahan, 10) pendapatan keluarga, 11). kekosmopolitan, 12). jumlah anggota keluarga, dan 13) kontak dengan PPL.
26 Umur Umur adalah dapat dijadikan ukuran kematangan secara psikologis seseorang, berkaitan dengan hal ini, Padmowihardjo (1994:36) menyatakan bahwa umur bukan merupakan faktor psikologis, tetapi apa yang diakibatkan oleh umur adalah faktor psikologis. Oleh karena itu terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan seseorang berhubungan dengan umur. Faktor pertama terdiri dari: 1) mekanisme belajar dan kematangan otak, 2) kematangan organ-organ seksual, dan 3) kematangan otot organorgan tertentu. Sedangkan faktor kedua yaitu: akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar. Sedangkan Klausmeier dan Goodwin (1966:97) mengemukakan bahwa umur pelajar maupun pengajar merupakan salah satu karakteristik penting yang berkaitan dengan efisiensi belajar. Hal ini sejalan dengan pendapat Salkind (1985:31) yang menyatakan bahwa umur menurut kronologi dapat memberikan petunjuk untuk menentukan tingkat perkembangan individu, sebab umur menurut kronologi relatif lebih mudah dan akurat untuk ditentukan.
Lama Tinggal di Desa Lama tinggal di desa dijadikan ukuran perilaku melestarikan dengan mendasarkan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh waktu. Padmowihardjo (1994:19-29) melihat dimensi waktu berkaitan dengan pengalaman, dapat dinyatakan bahwa pengetahuan akan bertambah seiring dengan berjalannya waktu, dasar alasannya ialah proses perkembangan manusia identik dengan proses belajar. Lama tinggal di desa tepi hutan akan terkait dengan intensitas pengelolaan pertanian di tepi hutan, hal ini akan menimbulkan pengalaman dan gambaran terhadap obyek hutan, yang tentunya akan mempengaruhi
27 sikap dan ketrampilannya. Lama tinggal juga terkait dengan kemampuan meningkatkan pendapatan, menurut FAO dan World Bank (2001:13) mengemukakan bahwa usaha tani selalu terkait dengan upaya peningkatan pendapatan off farm untuk sektor pertanian, dan sektor non pertanian.
Suku Suku adalah golongan etnis, atau kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan sosial lainnya berdasarkan kesadaran dan identitas perbedaan kebudayaan, khususnya bahasa. Hal ini dapat diamati dari kelompok dalam masyarakat yang menunjukkan asal orang tua dari sudut geografis dan dikuatkan dengan sistem nilai berupa norma dan budaya yang berlaku. Dahama dan Bhatnagar (1980) dalam Mardikanto (1993:24) menyatakan bahwa suku sangat terkait dengan norma dan budaya dengan demikian nilai budaya dan kebiasaan menjadi bagian yang penting sebagai penciri suku asal seseorang. Soekartawi (1988:90) menyatakan bahwa faktor kebudayaan sangat berpengaruh terhadap proses difusi-inovasi yang berupa tata nilai dan sikap. Dengan demikian, suku yang memiliki sistem nilai dan norma unik, yang berhubungan dengan kebiasaan petani tepi hutan dalam melestarikan.
Motivasi Padmowihardjo (1994:135) mengemukakan tentang motivasi yang berarti usaha yang dilakukan manusia atau upaya yang
menimbulkan dorongan berbuat atau
melakukan tindakan sesuatu, oleh karena itu setiap tindakan memiliki motif atau dorongan. Sedangkan batasan motivasi belajar yaitu setiap usaha yang dilakukan untuk
28 menimbulkan dorongan pada dirinya untuk belajar dan bila motivasi tersebut melestarikan hutan, maka akan terkait dengan dorongan dari dalam petani untuk melakukan tindakan pelestarian hutan. Berkaitan dengan motivasi, Sudjana (1991:162) menegaskan bahwa motivasi belajar terkait dengan motivasi intensif dan
motivasi
tersebut menggambarkan kecenderungan manusia untuk menggerakkan, mendominasi dan menguasai lingkungan sekelilingnya. Menurut Suparno (2001:88-93) bahwa motivasi terkait dengan apa yang dilakukan oleh seseorang dan berkaitan dengan nilai (value) atau manfaat. Motivasi tersebut menjadi dorongan untuk tumbuh dan berkembang. Pengalaman yang menguntungkan atau menyenangkan akan mendorong motivasi itu lebih kuat lagi, namun sebaliknya pengalaman kegagalan akan menurunkan motivasi. Dengan demikian perlu dijaga keseimbangan agar seseorang dapat mengatur dirinya sendiri relatif lebih bebas dari dorongan orang lain untuk lebih mampu terhadap dirinya sendiri dan lingkungan.
Pendidikan Formal Pendidikan adalah sebagai sarana untuk membentuk pendapat dan keberanian dalam mengambil keputusan secara tepat (Van den Ban, 2003:51). Demikian halnya Burtona dan William dalam Padmowihardjo (1994:5) menyatakan bahwa belajar merupakan proses perbaikan pengetahuan dan ketrampilan dengan cara mengalami sendiri. Sedangkan Soekartawi (1988:71) menyatakan bahwa tingkat pendidikan berkorelasi dalam kemampuan adopsi–inovasi, begitu pula sebaliknya. Menurut Slamet (2003:20) menegaskan bahwa perubahan perilaku yang disebabkan oleh pendidikan berupa: 1) perubahan dalam pengetahuan atau hal yang diketahui, 2) perubahan dalam
29 ketrampilan atau kebiasaan dalam melakukan sesuatu dan 3) perubahan dalam sikap mental atau segala sesuatu yang dirasakan. Dengan demikian pendidikan merupakan proses pembinaan pengetahuan, dan sikap, manusia dalam rangka mempengaruhi dan mengubah perbuatan sesuai dengan tujuan. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan baik formal dan non formal berhubungan dengan pengetahuan dan sikap serta perilaku petani dalam melestarikan hutan.
Pendidikan Non Formal Pendidikan non formal adalah bentuk pengajaran yang dibuat secara sistematis, diluar pendidikan formal, dan informal dalam hal ini kepada petani dan keluarganya supaya berubah pengetahuan, sikap dan kemampuannya. Pendidikan non formal menjadi pilihan dalam penyuluhan karena memiliki karakteristik antara lain: a) tidak mengenal batas umur, b) tidak mengenal kurikulum yang harus diselesaikan. c) tidak mengenal ruang tertentu, sehingga proses pendidikan dapat dilakukan dimana saja. Dengan demikian pendidikan non formal dapat dilakukan dimana ada waktu dan kesempatan (Sastraatmadja, 1986:13-14). Menurut Tjondronegoro dalam Sastraatmadja (1986:28), menyatakan bahwa pendidikan non formal merupakan perpaduan dari kegiatan mengunggah minat/ keinginan, menyebarkan pengetahuan, ketrampilan dan kecakapan, sehingga diharapkan terjadinya perubahan perilaku (sikap, tindakan dan pengetahuan). Senada dengan hal di atas, Slamet (2003:18) menyatakan bahwa suatu sistem pendidikan luar sekolah (pendidikan non formal) untuk petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka mampu dan sanggup memerankan dirinya sebagai warga negara yang
30 baik, sesuai dengan bidang profesinya, serta mampu, sanggup berswadaya dan memperbaiki - meningkatkan kesejahteraannya. Dengan demikian pendidikan non formal sangat berkaitan dengan tingkat kemampuan petani tepi hutan dalam pengetahuan, sikap dan ketrampilan melestarikan hutan dan melakukan pertanian konservasi.
Pengalaman Berusaha Pengalaman dalam proses belajar memiliki pengaruh yang nyata dan penting karena melalui pengalaman yang berhasil akan menimbulkan perasaan optimis di masa akan datang. Sedangkan pengalaman akan menimbulkan perasaan pesimis untuk dapat berhasil walupun mendapat kesempatan untuk kembali mempelajari. Menurut Dahama dan Bhatnagar (1980) dalam Mardikanto (1993:86), menyatakan bahwa pengalaman seseorang akan memberikan kontribusi terhadap minat dan harapan
untuk belajar lebih banyak, sehingga pengalaman dapat mengarahkan
perhatian kepada minat, kebutuhan, dan masalah-masalah yang dihadapi. Dengan demikian pengalaman petani tepi hutan sebelum masuk dan bermukim berhubungan dengan kompetensi melestarikan
Luas Lahan Garapan Luas lahan garapan adalah jumlah luas lahan yang dikerjakan oleh petani tepi hutan dalam satuan luas misal hektar (ha), di daerah Lampung satuan luas tanah biasa dipakai istilah satu rantai (1 rantai = 400 m2). Pada ilmu usaha tani, luas lahan garapan berimplikasi pada besarnya modal kerja dan penghasilan.
31 Pambudy, (1999:202-203) mengemukakan bahwa perilaku peternak agribisnis sangat berhubungan dengan besaran luas lahan. Semakin luas lahannya maka semakin tinggi jiwa wirausaha mereka. Pada kenyataannya banyak peternak ayam yang tidak mampu mengembangkan agrisbisnis ayam karena lahan yang dikuasai sangat terbatas. Taufiqurrahman dkk., (2003:46) menyatakan bahwa luas lahan memiliki hubungan terhadap kenaikan pendapat petani Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Nusa Tenggara Barat, demikian pula dalam pengelolaan lahan yang dinyatakan dengan semakin luas lahan yang dimiliki oleh petani semakin tidak optimal pemanfaatannya. Dengan demikian, luas lahan garapan berhubungan dengan perilaku melestarikan hutan.
Status Lahan Garapan Status lahan garapan adalah merupakan hak penguasaan atas lahan yang dikerjakan oleh petani. Status lahan garapan di dalam kawasan ini dapat berupa hak kelola, sewa pada petani dan dapat berupa
hak kelola dengan sistem bagi hasil
(Departemen Kehutanan, 1999:IX-14). Perbedaan status lahan, dapat memberikan andil yang besar terhadap rusaknya sistem pertanian berkelanjutan, karena status sewa akan mendorong penyewa melakukan eksplorasi sumber daya lahan secara berlebihan untuk mengejar keuntungan (Salikin 2003:41). Hal serupa dinyatakan oleh Soekartawi (1988:93) bahwa status lahan garapan akan berimplikasi pada pengawasan yang lebih lengkap atas usaha taninya. Secara umum status lahan garapan tidak terlepas dari hak kelola, dan mengenai hak akan terkait dengan beberapa status. Menurut Tjondronegoro, dalam Suhardjito (1999:10-11) masalah hak dan status lahan (Property Rights) dinyatakan penting, karena land use planning dalam kehutanan adalah pembagian lahan pemakaian tanah
32 berdasarkan prinsip conservation, sehingga luas dan letak hutan tetap menjadi perhatian peruntukannya tanpa meninggalkan kenyataan kebutuhan hidup masyarakat setempat. Dengan demikian, status lahan garapan berhubungan dengan perilaku melestarikan hutan dan pertanian konservasi.
Pendapatan Keluarga Pendapatan adalah perolehan yang didapat kepala keluarga dan anggota keluarganya dari berbagai kegiatan yang dilakukan. Indikator tingkat pendapatan meliputi: (1) Pendapatan yang dihasilkan dari luar kawasan hutan, dan (2) Pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan memanfaatkan hutan (Hutagalung, 2002:26). Selain itu Agussabti (2002:282) dalam penelitiannya menemukan bahwa tingkat pendapatan petani maju akan mempengaruhi tingkat kedinamisan sipetani dalam mengembangkan usahataninya. Menurut Wulandari (1999:11) pendapatan terkait dengan tingkat adopsi petani dalam menerapkan teknis pertanian. Dengan demikian, pendapatan keluarga berhubungan dengan perilaku melestarikan hutan.
Tingkat Kekosmopolitan Kekosmopolitan yaitu keterbukaan petani pada informasi melalui hubungan mereka dengan berbagai sumber informasi yang dibutuhkan. Kekosmopolitan individu dicirikan dengan sejumlah atribut yang membedakan mereka dari orang lain di dalam komunitasnya, yaitu: 1) individu tersebut memiliki status sosial, 2) partisipasi sosial lebih tinggi, 3) lebih banyak berhubungan dengan pihak luar, 4) lebih banyak menggunakan
33 media massa, 5) memiliki lebih banyak hubungan dengan orang lain maupun lembaga yang berada di luar komunitasnya (Rogers, 1989:27). Mosher (1987:34) berpendapat bahwa keterbukaan seseorang berhubungan dengan penerimaan perubahan-perubahan seseorang untuk meningkatkan perbaikan usahatani mereka. Menurut Agussabti (2002:178-179) perilaku petani dalam mengelola usahatani berhubungan dengan frekuensi interaksi sesama petani. Semakin intensif mereka berinteraksi maka semakin banyak mendapatkan informasi baru untuk mengembangkan usahataninya. Demikian pula pendapat Pambudy (1999:186-187) bahwa keterbukaan terhadap informasi peternak berhubungan dengan perilaku mereka. Dijelaskan pula bahwa semakin banyak media massa yang dipergunakan dan semakin banyak kontak interpersonal dalam mencari informasi maka akan semakin banyak pilihan cara-cara untuk meningkatkan kualitas usahatani mereka. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa tingkat kekosmopolitan berhubungan dengan perilaku melestarikan hutan, karena berkaitan dengan banyaknya informasi yang didapatkan oleh petani.
Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan jiwa dalam satu rumah tangga menjadi tanggungjawab atas pemenuhan kebutuhan untuk sejahtera (Hernanto, 1989:27). Jumlah anggota keluarga berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi suatu keluarga (Asdi, 1996:12). Menurut Soekartawi (1988:34-35) jumlah tanggungan keluarga berhubungan dengan tingkat pendapatan bersih usahatani. Semakin banyak jumlah tanggungan keluarga maka semakin banyak pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan kosumsi keluarga sehingga akan mengurangi modal untuk kegiatan usahatani selanjutnya. Jumlah
34 tanggungan keluarga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pengelolaan pekarangan secara lestari di Lampung Tengah, Lampung Barat, dan Lampung Utara (Wulandari, 1999:103).
Dengan demikian, jumlah tanggungan keluarga berhubungan
dengan perilaku melestarikan hutan lindung.
Kontak dengan PPL Menurut Soekanto (2002:65-66) hubungan yang terjadi antara seseorang dengan orang lain bersifat primer dan sekunder. Hubungan yang bersifat primer terjadi apabila seseorang mengadakan hubungan langsung dengan bertemu dan berhadapan muka. Sedangkan hubungan yang bersifat sekunder memulai perantara baik orang lain maupun alat-alat seperti telepon, radio dan sebagainya. Sedangkan menurut FAO (1998:229), Wiraatmadja (1990:30), dan Suparno (2001:135), menyatakan inti dari kegiatan penyuluhan adalah kegiatan yang berhubungan dengan komunikasi dua arah antara penyuluh dan petani, dan secara spesifik FAO menyatakan bahwa jasa penyuluhan memegang peranan penting dalam gerakan diseminasi (implementasi) terhadap uji peningkatan usaha tani (on-farm).
Hutan Lindung Hutan di Indonesia pada dasarnya memiliki tiga fungsi yaitu: 1) ekonomi, 2) ekologi, dan 3) sosial. Berkaitan dengan ketiga fungsi tersebut, Djajapertjunda, (2002: 63), Darusman (2002:31-35), Wiyono dan Awang (2001:17-18), menyatakan bahwa kebijakan pengurusan hutan diatur oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat. Hal menegaskan bahwa siapapun yang melaksanakan kegiatan di bidang kehutanan atau
35 bertujuan memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan, baik secara langsung, tanpa mengorbankan asas kelestarian. Pemanfaatan dan penguasaan hutan sudah dimulai sejak jaman Pemerintahan Belanda, hal ini ditunjukkan oleh terbentuknya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Undang-Undang ini menjadi cikal bakal perundang-undangan kehutanan Indonesia. Menurut Djajapertjunda (2002:29-33), klasifikasi hutan yang didasarkan pada penguasaan terdiri atas: 1) hutan negara yaitu hutan yang sudah dikuasai negara dan diurus oleh pemerintah, 2) hutan cadangan yaitu hutan yang belum ditetapkan pengurusannya, 3) hutan swapraja, 4) hutan swasta, 5) hutan persekutuan adat, dan 6) hutan milik atau hutan adat. Hutan negara memiliki fungsi dan peruntukan yang khusus. Hutan negara meliputi: 1) hutan lindung yang berperan melindungi tata air, mengurangi erosi, mencegah bahaya banjir, dan memiliki pengaruh yang baik terhadap iklim di sekelilingnya, 2) hutan produksi yaitu hutan yang ditumbuhi oleh jenis-jenis pohon yang dapat dipungut kayunya secara komersial, 3) hutan suaka alam yaitu hutan yang keadaan alamnya memiliki sifat yang sangat khas yang digunakan untuk perlindungan hayati flora maupun fauna, dan 4) hutan wisata yaitu kawasan hutan yang memiliki keindahan dan dikembangkan menjadi taman wisata, yang perlu dilestarikan. Menurut Departeman Kehutanan (1999:II-34) penetapan kawasan hutan lindung meliputi: 1) kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, intensitas hujan, 2) kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 % atau lebih (sesuai Keppres
No.32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung, sebagai
36 penyempurnaan dari SK Mentri Pertanian No. 837/Kpts/Um/II/1980 yang menetapkan kriteria lereng lapangan 45 % atau lebih). 3) kawasan hutan yang mempunyai ketinggian 2.000 m di atas permukaan laut (dpl). Kriteria hutan lindung di atas, secara implisit mengindikasikan bahwa hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki fungsi sebagai sumber tata air pada daerah sekitarnya karena berkaitan sebagai daerah hydrologis. Sedangkan kriteria hutan lindung ditinjau dari kemiringan adalah seperti dalam tabel berikut: Tabel 1. Pengkelasan Berdasarkan Kemiringan Kelas 1 2 3 4 5
Lereng dalam prosentase 0–8 8,1 – 15 15,1 – 25 25,1 – 45 45,1 atau lebih
Kategori Datar Landai Agak curam Curam Sangat curam
Sumber: Departemen Kehutanan, 1999:II-35 Selain faktor kemiringan yang menjadi perhatian dalam pengelolaan hutan lindung, adalah dengan memperhatikan intensitas hujan, dan hal ini sesuai dengan fungsi dari hutan lindung sebagai daerah tangkapan air atau catchments area. Besarnya intesitas curah hujan akan berpengaruh terhadap cepat lambatnya pertumbuhan bibit pohon yang ada di hutan, dan hal ini sangat mendukung kembalinya kondisi hutan serta terjaganya fungsi hutan lindung sebagai daerah sumber air. Kondisi umum hutan di Provinsi Lampung adalah hampir separuhnya berupa kawasan hutan lindung, namun ada beberapa wilayah hutan lindung yang kondisinya tidak memenuhi kriteria sebagai hutan lindung lagi, karena fungsi sebagai daerah tangkapan air sudah sangat kurang, namun tetap dinyatakan sebagai wilayah hutan
37 lindung. Berkaitan dengan hal tersebut, klasifikasi berdasarkan curah hujan seperti tabel berikut. Tabel 2. Pengkelasan Berdasarkan Intensitas Curah Hujan Kelas 1 2 3 4 5
Intensitas Hujan 13,6 atau kurang 13,7 – 20,6 20,7 – 27,6 27,7 – 34,6 34,8 atau lebih
Kategori Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
Sumber: Departemen Kehutanan, 1999:II-36
Sebagai gambaran, luas wilayah Provinsi Lampung ialah 3.301.784 ha yang merupakan luas daratan, dan luas kawasan hutan mencapai 1.004.735 ha atau sekitar 30,43 %. Memperhatikan batasan kawasan hutan yang ada pada Tabel 3, maka yang dimaksud dengan hutan lindung adalah suatu kawasan hutan yang memiliki fungsi sumber air untuk wilayah sekitar atau yang lain, yang telah ditetapkan dan dikukuhkan dalam RPPH (Rencana Pengelolaan dan Pengukuhan Hutan) atau TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) sebagai kawasan lindung. Distribusi kawasan hutan di Lampung: Tabel 3. Luas Kawasan Hutan di Lampung Berdasarkan Fungsinya No. 1. 2. 3. 4. 5.
Fungsi Kawasan Suaka Alam dan Hutan Wisata (darat dan perairan) Hutan Lindung Hutan Produksi terbatas Hutan produksi tetap Hutan produksi yang dapat dikonversi * Jumlah
Luas (ha) 462.030
Prosentase 30,43
317.615 33.358 191.732 153.459 1.004.735
31,61 3,32 19,08 15,56 100
Sumber: SK Menhutbun: 256/Kpts-II/2000 tanggal 23-08-2000 Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Lampung tahun 2002 * Data dan Informasi Kawasan Hutan Provinsi Lampung, Maret, 1999
38 Pengertian Kelestarian Hutan Konsep lestari (sustainable) mengacu pada Webster’s New World Dictionary (1995) adalah “to provide for the the support of ”, yang berarti menyediakan dan membantu untuk kelangsungan sesuatu. Oleh karena itu memaknai konsep kelestarian memerlukan upaya pemahaman dalam hubungannya antara manusia dengan alam. Helms (Suhendang, 2004:11) mendefinisikan kelestarian sebagai “sustainable forest management development is the practice of meeting the forest resources needs and value of the present with out compromising the similar capability of future generation”, yang dapat diartikan bahwa dalam pengelolaan hutan lestari, pemanfaatan hasil dan nilainilai yang dapat diperoleh dari hutan untuk generasi kini tidak boleh mengorbankan kemampuan hutan tersebut untuk memberikan hasil dan nilai-nilai yang sama untuk generasi yang akan datang. Pendapat ini sejalan dengan Komisi Dunia Lingkungan Hidup atau The World Commission on Environment and Development (1987) yang menyatakan: “sustainable development is a process of change in which the exploitation of resources, the direction of investments, the orientation of technological and institusional change are all in harmony and enhance both current and future potential to meet human needs and aspiration” (FAO, 1993:2). yang dapat dimaknai bahwa kelesatrian adalah sebuah proses perubahan yang didalamnya memanfaatkan suberdaya untuk diarahkan sebagai investasi, orientasi teknologi dan perubahan lembaga guna peningkatan keselarasan secara keseluruhan antara kondisi saat ini dan potensi yang akan datang untuk mempertemukan kebutuhan dan aspirasi kemanusiaan. Lebih lanjut Higman, et al., (1999)
menegaskan bahwa
sustainable forest management adalah bagian dari sustainable development. Berkaitan dengan hal itu Higman, et al., (1999) mendefinisikan
pengelolaan hutan yang
39 berkelanjutan adalah sebagai suatu proses pengelolan hutan untuk mencapai satu tujuan atau lebih secara lebih jelas yaitu produksi hasil hutan dan jasa secara berkelanjutan tanpa mengurangi nilai dan produktivitas di masa mendatang dan tanpa efek negatif baik fisik maupun sosial. Seperti yang diungkapkan oleh Higman et al., secara rinci sebagai berikut: “Sustainable forest management is process of managing forest to achieve one or more clearly spesified objectives of management with regard to the production of a continuous flow of desired forest products and services, without undue reduction of its inherent values and future productivity and without undue undersirable effects on the physical and social enviroment” (Higman et al., 1999:4) Konsep lestari (sustainable) mengandung dimensi waktu jangka panjang, yang berimplikasi pula pada sistem pengelolaan (management). Pembangunan berkelanjutan dalam pelestarian hutan telah didefinisikan cukup beragam oleh berbagai institusi dan para pakar, sesuai dengan latar belakang kepakarannya serta tujuannya, oleh karena itu muncul inisiatif standart kelestarian dari tingkat internasional seperti: International Tropical Timber Organization (ITTO), Forest Stewerdship Council (FSC), African Timber Organization (ATO), Canadian Standards Association (CSA) dan ditingkat nasional seperti Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), Center for International Forestry Research (CIFOR) dan ICRAF yang telah berganti menjadi World Agroforestry Research. Upton dan Bass (2002:9) menegaskan bahwa setiap lembaga memiliki kriteria kelestarian yang saling melengkapi, namun demikian ada prinsip yang penting yakni prinsip lokalitas. Melalui prinsip lokalitas yang diterapkan CSA, maka ukuran kelestarian akan semakin lebih dekat dengan kenyataan, oleh karena itu CSA menerapkan Local Foreast Management Unit (LFMU) menjadi bagian dari prinsip kelestarian yang
40 akomodatif. Namun demikian walaupun menerapkan prinsip lokalitas, Upton dan Bass (2002:10) tetap melihat bahwa pentingnya kelestarian dalam arti yang lebih luas. Paradigma pembangunan di bidang
kehutanan yang baru, menekankan pada
aspek ekologinya, biologi, dan sosial. Menurut Kellomaki (2003) dari University of Joensuu, Jepang, yang menyoroti kelestarian hutan dalam dimensi sosial menyatakan: “The sustainable social development of any society closely relates to the sustainable management of natural resources. Management of natural resources is sustainable whenever current use considers the needs of future generation” (Kellomaki, 2003:12). Dengan demikian masalah kelestarian yang diungkapkan oleh Kollomaki menekankan bahwa keberlanjutan pembangunan sosial pada berbagai kelompok sosial berkorelasi dengan pelestarian sumber daya alam (SDA). Pengelolaan SDA akan lestari bila pemanfaatannya mempertimbangkan kebutuhan masa mendatang. Pemahaman kelestarian hutan pada awalnya selalu diidentikan dengan terjaganya produksi kayu secara kontinyu dan terjaganya satwa, namun demikian, seiring dengan perkembangan zaman, ilmu dan teknologi, maka pemahaman tentang kelestarian hutan berkaitan pula dengan lahan hutan (lands forest) telah berubah yakni kelestarian dilihat dari manfaat bagi kehidupan manusia. Berkaitan dengan itu batasan kelestarian termasuk di dalamnya keanekaragaman hayati (biodiversity), produktivitas, ekosistem, ekologi, ekonomi, dan fungsi sosial (Suhendang, 2002:19). Bruenig, (Suhendang 2002:20) menjelaskan bahwa pengelolaan hutan secara lestari tidak terlepas dari praktek sylvicultur atau budidaya tanaman hutan. Manfaat dari kegiatan silvikultur selain untuk rehabilitasi lahan atau kondisi fisik hutan, juga
41 bermanfaat bagi petani tepi hutan, karena petani mendapat manfaat ekonomi dari hutan. Penerapan prinsip ini bertujuan ganda, yaitu untuk kelestarian hutan dan manusianya. Penerapan prinsip kelestarian yang mengacu pada prinsip pengelolan hutan lestari (PHL) atau Sustainable Forest Management (SFM) mempengaruhi cara pandang dari hutan sebagai penghasil kayu, menjadi hutan bermanfaat ganda (multiple use of the forest principle). Pada masa sebelum PHL, kayu dianggap sebagai hasil utama, dan tujuan pengelolaan hutan adalah memproduksi kayu, namun setelah adanya PHL semua hasil hutan adalah utama dan dikelompokkan ke dalam fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial (Suhendang, 2002:236). Berkaitan dengan kelestarian hutan, lebih lanjut Kellomaki (2003) menyatakan ada tiga prinsip pengelolaan hutan yang berkelanjutan terkait dengan upaya konservasi yang harus dilakukan yaitu: “The genetical resources of forests require conservation in whatever form they are contributing to the biodiversity of the forests and forest ecosystem (Principle of Biodiversity) - Sumberdaya genetis hutan memerlukan konservasi yang kemudian berkontribusi pada keanekaragaman hayati hutan dan ekosistemnya. The capacity of the forest ecosystem to intercept solar energy and subsequent cycle of material (water, carbon, nitrogen, mineral nutrients) requires maintenance (Priciple of Ecological Balance) – Kapasitas ekosistem hutan untuk jadi media energi dan materi lain seperti air, karbon, nitrogen, nutrisi mineral memerlukan adanya pemeliharan. The capacity of forest ecosystem to produce timber and other items and services requires conservation (Principle of Multi Use)” - Kapasitas ekosistem hutan untuk memproduksi kayu dan lainnya serta jasa, memerlukan konservasi. (Kellomaki, 2003:14). Cara kerja dari ketiga prinsip tersebut saling mendukung dan berkaitan satu sama lainnya, hal ini dikuatkan oleh Sample et at., (1999:7) yang menyatakan bahwa hal terpenting dari makna kelestarian hutan adalah pendekatan ekosistem, secara lebih
42 spesifik adalah upaya-upaya konservasinya. Ekologi yang tidak didukung kondisi ekonomi dan sosial, akan ada kesenjangan, maka sistem kelestarian akan tidak berjalan (collaps). Berkaitan dengan hal ini Becker (Purnomo, 2003:9) menggambarkan keterkaitan antara sistem yang mendukung pengembangan pelestarian. Sistem nilai sosial budaya
Daya Dukung Ekonomi
PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Keadaan Sosial-ekonomi Biofisik dan lingkungan Kebijakan Lingkungan
Sumber : Backer, Purnomo, 2003 Gambar 1. Konsep Kerangka Kerja untuk Penilaian Kelestarian
Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan perpotongan (irisan) dari ketiga bagian utama menggambarkan keterkaitan langsung faktor-faktor dalam pengembangan kelestarian seperti, daya dukung ekonomi (economic viability), biofisik dan lingkungan (biophysical and environmental), dan kadaan sosial ekonomi (socio-economic wellbeing), sedangkan garis putus-putus, di luar ketiga kotak tersebut menggambarkan lingkungan yang kondusif berupa sistem nilai yang turut memberikan pengaruh dan arah dari kelestarian. Selain itu Rammel dan Markus (2004:13) menegaskan bahwa kunci untuk mengembangkan pembangunan berkelanjutan adalah stabilitas dalam arti luas.
43 Dengan demikian untuk menilai suatu kelestarian hutan, tidak dapat dilakukan pada satu aspek saja, karena bila mengandalkan satu aspek saja, maka yang terjadi adalah justru ketimpangan kebutuhan dan ekosistem atau hubungan antara manusia dan alam. Prinsip kelestarian yang mengacu pada ketiga hal (ekologi, ekonomi, dan sosial), justru memberikan keseimbangan dalam pengelolaan, pemanfaatan yang tetap lestari. Oleh karena itu untuk dapat melakukan pelestarian hutan lindung maka dibutuhkan kemampuan atau kompetensi dari petani, maupun stakeholder terkait.
Kompetensi Definisi kompetensi menurut Spencer, (1993:9) yaitu: “A competency is an underlying characteristic of an individual that is causally related to criterion referenced effective and for superior, performance in a job or situation”. Oleh karena itu kompetensi berkaitan pula, dengan hal-hal yang mendasari dari sebagian kepribadian, yang kemudian dapat-mampu memperkirakan situasi perilaku dan tugas. Sedangkan dalam competency dictionary mendefinisikan “competencies are general of the behaviour or action needed to successfully perform within a particular [work] context (e.g. job, group of job, function, etc)” – yang intinya bahwa kompetensi adalah perilaku umum yang diperlukan untuk keberhasilan dalam kerja. Lasmanhadi (2002) mengemukakan bahwa kompetensi didefinisikan sebagai aspek-aspek pribadi dari seorang pekerja yang memungkinkan dia mencapai kerja yang superior. Aspek-aspek pribadi ini termasuk sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap pengetahuan dan ketrampilan. Kompetensi-kompetensi tersebut akan mengarahkan pada tingkah laku. Sedangkan tingkah laku akan menghasilkan kinerja. Golmen (2004) menyatakan bahwa kompetensi terkait dengan pemenuhan standart lingkungan kerja.
44 Willis dan Sameul dalam Puspadi, (2003:120) menyatakan bahwa kompetensi merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas secara efektif dan kompetensi merupakan refleksi dari kinerja yang prima. Gilley dan Eggland (1989:101) menyatakan bahwa kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang sehingga yang bersangkutan dapat menyelesaikan perannya dan peningkatkan ketrampilan menjadi bagian yang diutamakan dalam HRD, oleh karena itu untuk menyatakan seseorang memiliki kompetensi yang berupa kemampuan dalam hal pengetahuan dan ketrampilan, mengacu pada jenis pekerjaan yang spesifik dan lingkungan yang spesifik. Dengan demikian dapat disarikan bahwa kompetensi adalah sejumlah kemampuan yang ada dalam diri manusia untuk berbuat secara cerdas dalam rangka menjawab permasalahan hidupnya. Komponen kompetensi adalah pengetahuan, sikap dan ketrampilan, di mana ketiga hal tersebut dapat saling berhubungan maupun saling terpisah satu dengan lainnya, sehingga setiap perilaku pada dasarnya merupakan refleksi kompetensi yang dimilikinya. Konsep kompetensi yang mengacu pada kemampuan, kecakapan, dan ketrampilan dalam bertindak, seperti dinyatakan oleh Kurt Lewin (1951) dalam Azwar (1998:11) bahwa perilaku yang dilambangkan dengan (B) adalah fungsi karakteristik individu (P) dan lingkungan (E) yang dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan B = f (P,E), dimana fungsi dari perilaku adalah merupakan fungsi individu dalam hal ini adalah petani tepi hutan yang memiliki motif, nilai-nilai, sifat dan sikap, berinteraksi dengan lingkungan, sedangkan faktor lingkungan yaitu hutan lindung, lingkungan sosial-budaya. Faktor lingkungan dapat menjadi pengaruh dalam berperilaku, bahkan kadang-kadang kekuatan
45 pengaruhnya lebih besar dari karakteristik individu yang dimiliki sehingga kekuatan lingkungan mampu mengubah perilaku dan orientasi seseorang. Asngari (2001:17) menyatakan bahwa untuk mengubah perilaku seseorang, dapat dilakukan dengan mengubah salah satu unsur perilaku, atau ketiga-tiganya yaitu pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Perubahan pada masing-masing unsur akan saling mempengaruhi perilaku seseorang. Azwar (1998:27) mengemukakan bahwa kompenen perilaku terdiri atas 1) komponen kognitif, yang berisi kepercayaan yang membentuk pengetahunan, 2) komponen afektif yang berkaitan dengan emosional-perasaan yang mendasari terbentuknya sikap, dan 3) komponen konatif adalah berupa kepercayaan dan perasan terhadap suatu obyek stimlus. Secara spesifik ketiga kompenen tersebut, oleh ahli pendidikan Bloom (Winkel, 1996:134) dikembangkan menjadi hal yang dapat diukur, meliputi: ranah kognitif atas enam jenjang yaitu: 1) pengetahuan, 2) pemahaman, 3) penerapan, 4) analisis, 5) sintesis, dan 6) evaluasi; Pada ranah afektif terdiri atas lima jenjang meliputi: 1) penerimaan, 2) partisipasi, 3) penilaian, 4) organisasi dan 5) pembentukan pola hidup; sedangkan pada ranah psikomotorik terdiri atas tujuh jenjang meliputi: 1) persepsi, 2) kesiapan, 3) gerakan terbimbing, 4) gerakan terbiasa, 5) gerakan kompleks, 6) penyesuaian pola gerakan, dan 7) kreativitas. Lebih lanjut Spencer (1993:11) menyatakan bahwa kompetensi juga mendasari orang untuk perilaku, berfikir, kemampuan mengambil jalan pintas dan daya tahan untuk menanggapi sesuatu dalam waktu yang panjang. Karakteristik tersebut meliputi:
46 motivasi, sifat atau ciri, keyakinan, ketrampilan, dan juga pengetahuan. Karakteristik dasar inilah yang kemudian menjadikan seseorang dikategorikan unggul. Dengan demikian kualitas perilaku seseorang adalah merupakan manifestasi dari kombinasi sinergis antara kemampuan pada aspek kognisi, afeksi, dan psikomotor, dan arti penting dari kompetensi melestarikan yaitu sebagai dasar kemampuan petani tepi hutan untuk dapat melakukan pelestarian hutan dan pertanian konservasi yang benar.
Kompetensi Melestarikan yang Perlu Dikuasai Petani Hutan Besarnya kebutuhan dan pertambahan penduduk, mengakibatkan lahan hutan lindung menjadi pilihan untuk melakukan usaha taninya. Usaha tani di kawasan hutan lindung bila tidak dilakukan dengan benar akan berakibat menurunnya fungsi hutan. Oleh karena itu upaya untuk menjaga dan memulihkan fungsi hutan diperlukan kemampuan tertentu petani tepi hutan dalam mengelola dan memanfaatkan lahan. Maydell (1988:133) menyatakan bahwa kemampuan petani tepi hutan dengan pengalamannya mengelola lahan untuk bertahan hidup, pada dasarnya adalah cikal-bakal dari sistem keletarian yang bertanggungjawab. Kemampuan dan kecakapan mengelola lahan tidak terlepas dari ketrampilan teknis yang dikuasai sehingga mampu menjawab kepentingan petani tepi hutan dalam jangka pendek dan jangka panjang, Lebih lanjut Meydell (1988:134) menyatakan bahwa bentuk potensial tata guna tanah terpadu untuk jangka panjang menjadikan petani agar memiliki kemampuan dalam hal: 1) melakukan pencegahan bahaya longsor, dan erosi, 2) konservasi atau menerapkan teknik-teknik tata guna tanah ganda, 3) mengolah lahan garapan baru tanpa merusak sumber daya yang ada, 4) memperbaki sistem suplai bagi penduduk dalam hal
47 ketersediaan bahan pangan, dan 5) mampu membina kemandirian petani dan lahan melalui perbaikan daur secara alamiah. Sedangkan hasil penelitian Sudaryanto (1998:100-101) menyatakan bahwa upaya pelestarian hutan tidak terlepas dari peningkatan kemampuan pada petani meliputi: 1) aspek sosial-ekonomi dan budaya, 2) aspek teknis, dan 3) aspek kelembagaan. Adanya kekhawatiran bahwa petani tepi hutan tidak mampu beradaptasi secara positif dan cepat terhadap banyaknya perubahan yang mereka hadapi akan menghambat kemampuan petani dalam melestarikan (Ritchie et al., 2001:9). Kekhawatiran ini dapat terjadi bilamana kompetansi petani dalam melestarikan masih kurang. Adanya perubahan sistem pengelolaan lahan agar mampu menjaga kelestarian serta menjamin ekonomi keluarga, menuntut kemampuan petani untuk belajar menyesuaikan terhadap perubahan tersebut. Pambudy dan Andryono (2002:74) memilahkan ciri petani sub-sisten dengan petani komercial sebagai berikut: Tabel 4. Ciri Petani Sub-Sisten dan Petani Komersial dalam Berusahatani. No
Ciri - Ciri
1
Prinsip hidup
2
Kebergantungan dengan alam Penggunaan sumberdaya alam Bentuk usahatani Sikap terhadap adanya ide baru Keterbukaan terhadap hubungan luar Perencanaan dalam berusaha tani Orientasi usahatani Kegunaan hasil berusahatani
3 4 5 6 7 8 9
Petani Sub-Sisten
Petani Komersial
Mendahulukan selamat ( pesimistis) Sangat tergantung dengan alam Usahatani untuk sekarang
Mendahulukan pada keuntungan (optimistis) Memanfaatkan alam dan mengendalikan alam Usahatani yang berkelanjutan
Usahatani keluarga Cenderung bertahan yang lama Terbuka hanya pada batas tertentu Menggunakan pengalaman dan tradisi Kebutuhan keluarga Kehidupan yang harmonis
Usahatani kooperatif Tanggap (responsif) terhadap ide yang baru Terbuka (informatif)
Sumber: Andryono, 2002
Usaha secara berencana Permintaan pasar Pemupukan modal usaha.
48
Berkaitan dengan hal tersebut Mosher, (1978:34) menyatakan bahwa petani dalam menjalankan usaha taninya, pada dasarnya mempunyai dua peran yakni sebagai juru tani (cultivator) dan sekaligus sebagai pengelola (manager). Peran petani sebagai juru tani menuntut kemampuan teknis petani tepi hutan dalam menentukan tindakan-tindakan yang tepat dalam melakukan konservasi lahan untuk mendukung kelestarian, seperti kemampuan menentukan jenis teras yang digunakan berkaitan dengan kemiringan
lahan, serta jenis tanaman yang cocok.
Sedangkan kemampuan manajerial dari petani tepi hutan merupakan kemampuan atau kecakapan dalam hal mengatur, mengelola dan menentukan prioritas dalam ekonomi rumah tangga dan jenis
serta pola tanam yang akan dilaksanakan di lahannya.
Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan kompetensi petani pelestari hutan adalah kemampuan dan rasa tanggungjawab petani tepi hutan secara teknis, dan manajerial yang meliputi aspek sosial budaya-ekonomi. Kompetensi teknis sebagai jurutani berkaitan dengan ketrampilan dalam melakukan budidaya ”wanatani” atau agroforestri, penerapan prinsip-prinsip silvikultur dan pertanian konservasi dan kompetensi sosial budaya berkaitan dengan kemampuan dalam memahami kebijakan pemerintah, adat istiadat/ kebiasaan, keterbukaan, kelembagaan, partisipasi, suku dan agama. Sedangkan kompetensi manajerial yang meliputi sosial ekonomi berkaitan dengan trampil mengelola keuangan, memperkirakan biaya produksi, dan berusaha berinvestasi. Dengan demikian faktor sosial ekonomi terkait dengan jenis mata pencaharian, pendapatan, jumlah anggota keluarga, luas lahan, kepemilikan lahan dan tata niaga.
49
Kompetensi Teknis Petani Tepi Hutan sebagai Jurutani Kompetensi teknis yang harus dikuasai petani sebagai juru tani adalah berupa ketrampilan dalam memelihara tanaman, mengelola lahan guna mendapatkan hasil yang mampu meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Juru tani pada tanaman, maka kemampuan yang harus dimiliki petani berupa: 1) menyiapkan persemaian, 2) penyebaran benih, 3) penyiangan, 4) mengatur kelembaban tanah, dan 5) melindungi dari hama dan penyakit (Mosher, 1978:35). Selain itu, petani sebagai juru tani juga diharapkan menentukan tindakan yang tepat dalam melakukan konservasi lahan untuk mendukung kelestarian, seperti kemampuan menentukan jenis teras yang digunakan berkaitan dengan kemiringan lahan, serta jenis tanaman yang cocok. Kemampuan teknis petani dalam mengelola lahan tidak terlepas dari skill yang dikuasai petani ( Andayani, 2002:4). Kemampuan dalam hal mengelola lahan pertanian sangatlah menentukan kelestarian baik dari tanah maupun produksi dan kelestarian tanah dapat terjaga melalui sistem pertanian konservasi. Menurut Bennet dalam (Sinukaban, 1989:2) menyatakan bahwa konservasi tanah difokuskan pada proses yang berkaitan dengan erosi secara fisik terhadap lahan, vegetasi dan pertanian yang menyangkut aspek ekonomi, sosial dan kesejahteraan. Lebih lanjut Sinukaban (1989:7) menegaskan bahwa ada dua prinsip kegiatan konservasi tanah yaitu berupa melindungi/ mencegah tanah supaya tanah tidak rusak secara fisik karena erosi atau secara kimia karena kehilangan kesuburan, baik akibat alam maupun kegiatan manusia. Kedua, memelihara tanah supaya tidak menurun kualitas
50 produktivitasnya baik karena alam atau kegiatan manusia melalui kombinasi metode pengelolaan dan penggunaan tanah yang tepat. Dinyatakan pula bahwa kendala yang menyebabkan rendahnya produksi terkait dengan ketidakcocokan lahan untuk ditanami, buruknya sifat tanah, rendahnya kesuburan tanah, laju erosi, dan buruknya drainase. Untuk dapat memperbaiki itu semua dibutuhkan kemampuan teknis petani dalam hal konservasi tanah (Sinukaban, 1989:14). Sedangkan kemampuan manajerial dari petani tepi hutan didefinisikan sebagai kemampuan dalam hal mengatur, mengelola dan menentukan
prioritas termasuk
didalamnya ekonomi rumah tangga, usaha, jenis dan pola tanam yang akan dilaksanakan. Petani dalam mengelola lahan berusaha melakukan dengan tepat seperti menentukan kualitas dan jenis bibit tanaman berkayu serta hortikultura yang akan ditanam (Aryani, 2002:3). Selain itu Wulandari (1999:13) berpendapat bahwa petani juga dituntut untuk mampu mengoptimalkan fungsi dan pemanfaatan lahannya untuk mencukupi kebutuhannya melalui teknik agroforestri atau wanatani. Salikin (2003:1) menyatakan bahwa dalam sistem budaya pertanian, termasuk didalamnya budaya kehutanan tidak boleh menyimpang dari sistem ekologis yang ada agar dapat memicu produktivitas yang berjangka panjang. Untuk mengkaji kompetensi teknis petani tepi hutan melalui pendekatanpendekatan analogi dengan mempelajari pengalaman-pengalaman, budaya malakukan dalam wanatani, serta mencermati kesesuaian dalam bercocok tanam melalui prinsip silvikultur maupun pertanian konservasi, maka petani tepi hutan yang trampil dalam melestarikan adalah petani yang mampu mengkobinasikan kegiatan pertanian konservasi dan trampil dalam budidaya tanaman hutan.
51 Kompetensi teknis petani tepi hutan yang perlu dikuasai dalam melestarikan meliputi ketrampilan dalam pertanian konservasi yang mendasarkan pada: 1) pemilihan lokasi, 2) pembukaan lahan, 3) pencegahan erosi, 4) pengaturan resapan, dan 5) saluran pembungan air (Sinukaban, 1989:8). Selain itu dituntut pula memiliki kemampuan dalam berusahatani-wanatani yang mengacu pada saptausaha, meliputi: 1) perbaikan sistem bercocok tanaman, 2) pemilihan benih varitas unggul, 3) pemupukan, 4) pengairan, 5) pengendalian hama dan penyakit, 6) penen, dan 7) pasca panen.
Kompetensi Khusus Petani Tepi Hutan sebagai Pengelola Petani sebagai seorang pengelola, diharapkan memiliki ketrampilan khusus dalam manajemen/ pengelolaan lahan. Manajemen merupakan serangkaian kegiatan tindakan atau proses dalam mengelola sutau usaha agar dapat menghasilkan produk sesuai dengan yang telah ditentukan (Handoyo, 1990:18). Donnell (1989:64) menyatakan bahwa manajemen dapat diartikan sebagai mengendalikan, menangani, mengelola melalui serangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan melalui kegiatan orang lain. Dalam hal ini berkaitan dengan usahatani yang berprinsip pada kelestarian hutan. Mardikanto (1993:43) menyatakan bahwa petani yaitu orang yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan sendiri tentang usahataninya serta terbiasa bertanggungjawab hasil pengelolaan kepada keluarga serta masyarakat lingkungannya. Mosher (1978:15) menyatakan bahwa petani sebagai pengelola dalam usaha tani diharapkan mampu mengambil keputusan dengan tepat. Lebih lanjut Mosher (1978:35) menyatakan bahwa peranan yang dilakukan petani dalam usahataninya yakni sebagai pengelola. Sedangkan Nawawi (2001:31) menyatakan bahwa seorang pengelola atau
52 manajer dituntut memiliki kemampuan antara lain: 1)
mampu menjaring informasi,
menganalisis dan memanfaatkan informasi, 2) mampu memberikan respon yang tepat dari hasil analisis lingkungan, 3) mampu memberikan respon secara cepat, dan
4)
mampu menghindari atau memperkecil resiko dan mendapatkan keuntungan.
Kompetensi Petani Tepi Hutan yang Harus Dikuasai dalam Melestarikan
Selain memiliki kemampuan dalam mengelola lahan, petani tepi hutan juga dituntut untuk memahami prinsip pengelolaan hutan lindung, sehingga petani: 1)
Mampu mendayagunakan potensi hutan lindung, untuk kegiatan pemanfaatan air, pemuliaan, dan penangkaran penyediaan plasma nutfah untuk kegiatan budidaya oleh masyarakat setempat.
2)
Mampu memanfaatan pola tradisional berupa hasil non kayu dan jasa lingkungan
3)
Mampu menjaga untuk tidak merubah bentangan alam
4)
Mampu melakukan rehabilitasi dengan mendasarkan pada kesesuaian lahan dan jenis tumbuhan serta dapat melakukan penjarangan dan penambahan populasi di dalam kawasan hutan lindung (Departemen Kehutanan, 1999:IX-14) Petani sebagai pengelola dan pelestari hutan, diharapkan memiliki ketrampilan
khusus dalam mengelola lahan di kawasan hutan lindung sehingga dapat memahami prinsip pengelolaan hutan lindung. Selain itu, petani juga dituntut untuk tetap memperhatikan fungsi hutan lindung, yaitu sebagai daerah resapan air, sehingga walaupun ada kegiatan pertanian konservasi, fungsi hydrologis tetap terjaga baik. Pengelolaan merupakan rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mencapai hasil yang ditetapkan. Selanjutnya Nawawi, (2001:16) mengemukakan bahwa konsep pengelolaan
53 hutan ditujukan pada tercapainya fungsi hutan lindung, atau dalam manajemen yang identik pada manajemen yang berorientasi pada hasil atau management by objective (MBO) dimana biasa digunakan untuk melihat ukuran pengeluaran (cost). Pendekatan ini berorientasi pada rasio masukan (in-put) dan keluaran (out-put) dalam bentuk uang atau yang dapat diukur dengan uang. Secara sederhana ukuran itu bermakna bahwa keluaran (out-put) harus lebih besar dari pada masukan (in-put). Lebih lanjut Nawawi, (2001:16) menyatakan bahwa pada umumnya manajeman mengacu pada konsep: 1) perencanaan, 2) pengorganisasian, 3) pelaksanaan, 4) penganggaran, dan 5) kontrol. Selain memiliki kemampuan khusus manajerial di bidang pengelolaan pelestarian hutan lindung, petani tepi hutan juga dituntut untuk memiliki kemampuan khusus di bidang konservasi tanah. Sinukaban (1989:24) menyatakan bahwa fokus dari metode konservasi tanah adalah pada pencegahan erosi. Penggunaan lahan yang cocok dan pengelolaan lahan tepat adalah hal yang penting dalam konservasi tanah, oleh karena itu kemampuan dalam mengidentifikasi kesesuaian lahan menjadi dasar kesesuaian keputusan dalam mengelola dan melestarikan hutan lindung. Lebih lanjut Sinukaban menyatakan bahwa lahan yang tidak sesuai diberi lambang ‘N’ yang tidak memungkinkan digunakan secara lestari, sedangkan lahan yang dapat digunakan didasarkan pada klasifikasi ‘S’ yaitu adanya kesesuaian lahan dan hal ini diklasifikasikan menjadi 3 S, yaitu: -
S1, lahan sesuai dan tidak memiliki faktor penghambat yang nyata dan dapat digunakan secara lestari. S2, lahan agak sesuai, yaitu lahan yang memiliki faktor pembatas yang berat bagi lahan yang sedang dipertimbangkan agar dapat dipakai secara lestari. Faktor pembatas tersebut dapat menurunkan produktivitas atau keuntungan.
54 -
S3, lahan sesuai marginal mempunyai faktor pembatas yang berat bagi penggunaan lahan yang dipertimbangkan secara lestari. Produktivitas dan keuntungan akan berkurang sehingga keseluruhan pengeluaran hanya memberikan keuntungan marginal (Sinukaban, 1989:24-25). Sedangkan pencegahan erosi adalah mengontrol laju erosi supaya berada dalam
batas yang ditoleransi dan melestarikan produktivitas lahan. Arsyad (1989:119) menyatakan bahwa pengelolaan tanah dapat berimplikasi pada laju erosi, seperti ketika petani mencangkul, maka tanah akan gembur, dan memudahkan air masuk ke tanah sehingga mengurangi aliran permukaan yang dapat membawa lapisan tanah yang subur menjadi tipis dan kemudian hilang. Dengan demikian, kemampuan dalam pencegahan erosi dan kemampuan menentukan zona agroekologi merupakan pertimbangan utama dalam pemilihan penggunaan lahan yang sesuai, oleh karena itu klasifikasi kesesuaian lahan perlu dilakukan pada setiap lahan untuk berbagai penggunaan.
Kompetensi di bidang Teknis Kemampuan di bidang teknis merupakan refleksi dari pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang dimiliki oleh petani tepi hutan dalam mengelola lahan di hutan lindung agar tetap lestari. Kemampuan teknis petani tepi hutan meliputi kemampuan di bidang silvikultur dan konservasi tanah air antara lain:
Kemampuan Teknis Di bidang Persyaratan Lokasi Tumbuh Kemampuan menentukan lokasi tumbuh merupakan salah satu syarat penting yang perlu dimiliki petani dalam mengembangkan berbagai jenis tanaman baik di dalam kawasan maupun di pekarangan sekitar rumah tinggal.
55 Menurut Darjadi dan Hardjono (1969:2) faktor-faktor yang terkait dengan syarat tumbuh tanaman yang dicermati meliputi iklim, udara, suhu, cahaya, serta air. Selain itu kondisi vegetasi juga ikut menentukan proses pertumbuhan. Syarat tumbuh lain yang juga dipertimbangkan: 1) karakteristik ketinggian tempat, 2) iklim terbaik untuk tumbuh, dan 3) ciri tanah yang subur dan cocok untuk tumbuh. (Departemen Kehutanan, 1999, III-42) Ditegaskan oleh Aryani (2002:2) bahwa ketepatan antara jenis tanaman dengan lokasi tumbuhnya merupakan syarat mutlak agar usaha rehabilitasi lahan dapat memulihkan kembali produktivitas lahannya.
Kemampuan Teknis di bidang Pengadaan Benih Kemampuan teknis petani dalam mengadakan benih dapat ditandai dengan pengetahuannya tentang kapan datangnya musim bunga dan berbuah. Selain itu juga petani memiliki kemampuan untuk menggunakan cara tertentu dalam mendapatkan benih berkualitas unggul, berarti petani mengetahui bakal calon benih yang unggul, serta memiliki kemampuan dalam memahami tahapan dalam mempersiapkan bakal benih (Dardjadi dan Hardjono, 1969:26 ). Menurut Soedjoko (1988) dalam Aryani (2002:9) kompetensi petani dalam pengadaan benih harus dimiliki karena pengadaan tanaman melalaui benih biji mempunyai beberapa kelebihan. Adapun kelebihannya yaitu lebih mudah pengadaan, pemeliharaan, dan perlakuannya serta tidak memerlukan biaya dan teknologi mahal. Baker dkk., (1987:166)
menyatakan juga bahwa kemampuan terkait dengan
pengadaan benih merupakan hal penting karena pohon-pohon dihutan dikelompokkan dalam tiga golongan besar untuk menghasilkan biji, yaitu 2-3 tahunan, 3-5 tahunan dan 510 tahunan.
56
Kemampuan Teknis di bidang Pengadaan Bibit Salah satu yang penting bagi pelestari hutan maka petani tepi hutan memiliki kemampuan pengadaan bibit. Aneka jenis bibit bisa didapat melalui pengadaan sendiri maupun yang didapat dari dalam maupun luar hutan. Kemampuan terhadap pengenalan pohon bakal induk yang berkualitas sangat menentukan kualitas bibitnya. Penyiapan bibit yang baik bertujuan agar didapatkan tanaman yang sehat, seragam, cukup umur dan jumlah bibit yang memadai untuk kegiatan penanaman (Aryani, 2002:3). Berkaitan dengan pengadaan bibit, maka petani juga dituntut untuk dapat melakukan: 1) pembuatan bedengan, 2) penyiraman, dan 3) penjarangan, 4) penyapihan (Departemen Kehutanan, 1999:III 43-46) Menurut Soegiri (2000:19) kompetensi petani dalam pengadaan bibit merupakan hal penting karena perlakukan-perlakuan harus dikerjakan secara cermat dan teliti didasarkan pada tata waktu yang tepat.
Kemampuan Teknis di bidang Penanaman Sistem penanaman tanaman berkayu bervariasi antar petani. Sebagian petani dengan sistem monokultur atau hanya terdiri dari satu jenis tanaman berkayu dan sebagian lagi dengan sistem campur. Jarak tanam yang diguanakan untuk masing-masing tanaman bervariasi tergantung jenis tanamannya (Prahasto dan Dwiprabowo, 2002:31). Dengan demikian diperlukan adanya kompetensi petani dalam hal penanaman agar tanaman dapat tumbuh secara optimal.
57 Setelah berhasil menyapih tanaman sehingga tanaman siap ditanam, maka langkah berikutnya adalah kemampuan melakukan penanaman dilokasi berupa: persiapan, pelaksanaan dan penanaman (Departemen Kehutanan, 1999:III-53).
Kemampuan Teknis di bidang Pemeliharaan Pemeliharaan merupakan tahapan setelah tanaman berada di lokasi tumbuh dan masih memerlukan perawatan yang berupa: pembersihan gulma, pemupukan, penyiangan, penyiraman, pemangkasan dan penyulaman (Departemen Kehutanan, 1999:III-54) Menurut Fagi (1998:10-17) kemampuan dalam pemeliharaan tanaman secara baik diperlukan oleh petani agar dapat meningkatkan produktivitas dan mengembangkan sistem pertanian yan digunakan. Hal ini didukung oleh Mungkung (2002:39) yang menyatakan bahwa kemampuan pemeliharaan diperlukan karena umumnya ketersediaan lahan yang dapat dikelola sangat terbatas.
Kemampuan Teknis di bidang Pengenalan Hama dan Penyakit Kemampuan yang dibutuhkan oleh petani tepi hutan salah satunya berupa pengenalan hama dan penyakit, karena dengan memahami jenis dan karaktersitik penyakit yang tumbuh di suatu jenis tanaman, akan membantu petani dalam penanggulangan kerugian yang lebih luas (Salikin, 2003:25). Adapun kemampuan yang diperlukan petani dalam menanggulangi hama dan penyakit meliputi: kemampuan di bidang identifikasi terhadap gejala tanaman yang kurang sehat maupun adanya serangga pengganggu (Departemen Kehutanan 1999:III55).
58 Fagi (1998:10-17)
menambahkan bahwa kemampuan pengenalan hama dan
penyakit merupakan hal penting terkait dengan keperluan adanya data tentang hama dan penyakit untuk pengembangan suatu jenis tanaman di lokasi tertentu. Gunawan, (1971:7) mengidentifikasi jenis hama di hutan berdasarkan tempat penyerangan, meliputi: a) Serangga perusak daun (defeliating insects), b) Serangga pengebor kulit (inner bark boring insects), c) Serangga pengebor batang pohon dan kayu (wood boring insects), d) Serangga penghisap cairan pohon (sup sacking insects), e) Serangga perusak pucuk dan cabang (bud and twig insects), f) Serangga perusak anakan (seedling insects), g) Serangga perusak akar (root insects),
Kemampuan Teknis dalam Pengendalian Hama Penyakit Kemampuan mengendalikan hama hutan, sangat terkait dengan kemampuan dalam hal pengetahuan tentang serangga. Hal ini penting karena hampir semua pohon dan hasil-hasilnya dihutan, pada umumnya rusak karena serangga. Gunawan, (1974:1) menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan pengendalian hama di hutan, maka yang perlu dipahami yaitu kemampuan dalam mencegah dan mengendalikan serta memahami jenis dan siklus kehidupan dari serangga penyerang tanaman hutan. Mengendalikan hama di hutan, maka pengetahuan yang perlu dikuasai antara lain: a) daya populasi, b) survival dari serangga, c) kualitas dan kuantitas makanan yang ada, d) parasit dan e) predatornya. (Gunawan, 1971:10-13). Pengendalian hama dapat dilakukan dengan dua cara, meliputi: pembrantasan secara alam, yakni dengan berubahnya musim, secara tidak langsung akan mengurangi populasi hama tersebut
59 (natural control), dan pembrantasan secara buatan yakni meliputi: pertama, secara silvikultur
yaitu dengan membina keseimbangan hayati yang ada, tindakan yang
dilakukan adalah bersamaan dengan perawatan tanaman seperti dengan mengatur jarak tegakan, mengkombinasi jenis tanaman, dan kombinasi umur tanaman. Kedua, pengendalian secara mekanik yakni termasuk didalamnya: a) mengubah temperatur, b) mengubah kadar air, c) merusak habitat dari serangga, d) perangkap serangga, e) melindungi dari serangga, dan f) penangkapan dengan tangan.
Kemampuan Teknis Pemilihan Pola Tanam Kemampuan menentukan pola tanam sangat berkaitan dengan pengetahuan petani tepi hutan tentang kesesuaian dan kemampuan lahan. Sitorus (1989:2) menyatakan bahwa pada dasarnya evaluasi sumber daya lahan membutuhkan keterangan keterangan dalam hal tiga aspek yakni: a) aspek lahan, b) aspek penggunaan lahan, c) aspek ekonomi. Aspek lahan, terkait dengan informasi tentang tanah, vegertasi yang dominan, sejarah lahan, Aspek penggunaan lahan terkait dengan kesesuaian lahan dan kemampuan lahan untuk berproduksi, dan aspek ekonomi tentunya terkait dengan kemampuan berproduksi yang akan memberi nilai keuntungan. Dengan demikian pegetahuan dan kemampuan yang dimiliki petani dalam menentukan pola tanam akan menjadikan usahataninya lebih efektif dan efisien. Sedangkan Arsyad (1989:115) menyatakan pola tanam yang dikaitkan dengan kemampuan lahan melalui metode vegetatif untuk konservasi tanah meliputi : 1) Penanaman tanaman yang menutupi tanah secara terus menerus, 2) Penanaman dalam strip (strip cropping),
60 3) Pergiliran tanaman dengan tanaman pupuk hijau atau tanaman penutup tanah (conservation rotation), 4) Sistem pertanian hutan (agroforestry), 5) Pemanfaatan sisa-sisa tanaman atau tumbuhan (residue management) dan, 6) Penanaman saluran-saluran pembuangan dengan rumput. Menurut Sinukaban, (1989:48) kemampuan teknis pengeolahan lahan, identik dengan metode mekanik yang menekankan pada sebuah perlakuan fisik mekanis yang diberikan pada tanah dengan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan atau erosi dan peningkatan kemampuan penggunaan tanah.
Kompetensi Di bidang Sosial Ekonomi Sebagai petani pelestari dan pengelola hutan, memiliki tanggung jawab terhadap keluarga dan lingkungan, oleh karena itu dituntut pula memiliki kemampuan yang berkaitan dengan sistem pertanian berkelanjutan dan teknik konservasi tanah. Sistem pertanian pada umumnya mengacu pada pertimbangan untung-rugi baik dari sisi petani maupun orang lain. Dengan demikian motif-motif ekonomi tidak cukup sebagai pembenar dalam mengeksploitasi sumberdaya alam (Salikin, 2003:7). Awang (1993) dalam Sardjono, (2004:27) juga menyatakan bahwa kelompok masyarakat atau petani yang tinggal di sekitar hutan relatif hetrogen, mulai memiliki akses pasar dan mulai mengembangkan atau memproduksi jenis tanaman niaga disamping tetap berburu atau mengambil hasil hutan non kayu untuk menambah pendapatan keluarga. Sedangkan Mosher (1978:15) menyatakan bahwa petani sebagai pengelola dalam usaha tani perlu mampu mengambil keputusan dengan tepat antara lain : 1) mampu menentukan pemilihan varitas unggul, 2) mampu menentukan jenis tanaman
61 yang diusahakan, 3) mampu mengembangkan jiwa wirausaha, 4) mampu meningkatkan keuntungan terus-menerus dari usahanya, 5)
mampu mengindetifikasi faktor-faktor
penghambat dan pendukung usaha tani, dan
6)
mampu memilih informasi yang
dibutuhkan. Informasi di atas, memberikan gambaran bahwa seorang petani tepi hutan sebagai pengelola atau manajer perlu mempunyai kompetensi sosial ekonomi agar kebutuhan keluarga tercukupi dan usahataninya menjadi maju. Adapun kompetensi petani tepi hutan yang diharapkan meliputi:
Mampu Merencanakan Biaya Produksi Menurut Hernanto (1989:168) faktor-faktor ekonomi yang dapat berpengaruh terhadap usaha produksi usaha tani antara lain adalah: cabang usaha, faktor produksi khususnya modal dan sumber modal yang diperoleh. Berdasarkan penelitian Suhardjito dkk., (2003:2) terdapat empat aspek dasar yang mempengaruhi keputusan petani untuk menerapkan atau tidak menerapkan agroforestry yaitu: kelayakan (fisibility), keuntungan (profitability) dapat diterima atau tidak (aceptability) dan kesinambungan (sustainability). Kelayakan mencakup aspek kemampuan dalam memperkirakan kesesuaian sumberdaya dan teknologi atau modal yang tersedia untuk dikelola dengan teknik agroforestri tertentu.
62 Mampu Memprediksi Hasil yang Didapat Sistem budidaya pertanian tetap mengacu pada pertimbangan untung-rugi baik bagi diri sendiri dan orang lain, untuk jangka pendek dan jangka panjang, artinya dalam mengelola lahan hendaknya petani dapat memperkirakan hasil jangka pendek dan panjang yang akan diperoleh (Salikin, 2003:7). Bagi petani lahan sempit, keamanan produksi bahan untuk subsisten yang menjamin pendapatan merupakan hal penting, mengingat keberlanjutan hidup mereka tergantung pada lahan tersebut, oleh karena itu petani harus memiliki kemampuan memprediksi hasil lahannya (Suhardjito, 2003:17) Hernanto (1989:90) juga mengemukakan bahwa telah banyak bukti terkait dengan kemampuan petani dalam pengelolaan usahatani, salah satunya ditunjukkan dengan kemampuannya dalam memprediksi biaya produksi dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi sebaik mungkin. Kemampuan memperkirakan hasil akan memberikan dorongan dalam pengelolaan yang lebih baik.
Mampu Memprediksi Perkembangan Pasar Hernanto, (1989:91) berpendapat bahwa untuk menjadi pengelola yang berhasil maka pemahaman terhadap prinsip teknik pemasaran menjadi syarat bagi seorang petani pengelola lahan. Sedangkan dalam prinsip ekonomi dituntut antara lain mampu: memantau perkembangan harga, kombinasi cabang usaha, pemasaran hasil, pembiayaan usaha tani, penggolongan modal, pendapatan, dan ukuran-ukuran keberhasilan yang lazim. Dengan demikian petani dituntut untuk memiliki kemampuan memperkirakan perkembangan pasar, agar hasil usahataninya dapat dipasarkan sesuai dengan harga yang diharapkan. Hal ini sama dengan pendapat Suparta, (2001:33) berdasarkan hasil
63 penelitiannya bahwa salah satu kompetensi petani peternak agribisnis yang berhasil adalah kemampuan untuk memperkirakan perkembangan pasar karena terkait dengan nilai jual produksinya. Tohir (1983:163-164) menyatakan bahwa kompetensi memprediksi hasil terkait dengan perencanaan usaha tani yang perlu dilakukan karena memiliki arti penting bagi keberhasilan proses produksi dan hasil produksi yang diinginkan. Hal ini diperlukan oleh petani mengingat: 1) membantu petani dalam mengorganisasikan dan mengoprasikan usahatani dengan maksud untuk meningkatkan produksi dan pendapatan. (2) membantu petani dalam perencanaan pemanfaatan sumber produksi dan metodenya (3) membantu petani dalam menaksir jumlah produksi dan pendapatan (4) membantu petani dalam mengetahui kemampuan usaha tani dalam memikul kredit.
Mampu Menentukan Jenis Tanaman yang Tepat (eknomi dan ekologis) Berdasarkan banyak penelitian telah terbukti bahwa pemilihan jenis tanaman yang merupakan kombinasi antara tanaman semusim dengan tanaman bersiklus panjang merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki petani. Hal ini beralasan karena pola penanaman pada suatu unit lahan dapat dilakukan pada waktu bersamaan (simultan) atau pada waktu yang berbeda/ berurutan (sekuensial). Dengan demikian memungkinkan terjadinya waktu-waktu panen sepanjang tahun mulai dari harian, mingguan, musiman, tahunan, dan sewaktu-waktu (Widianto dkk., 2003:33). Dalam penelitian Asdi (1996:40) membuktikan bahwa pemilihan jenis tanaman yang tepat merupakan faktor yang berpengaruh terhadap usaha tani. Hal ini dibuktikan pula oleh Wulandari (1999:109-111) dalam penelitiannya tentang kelestarian lahan pekarangan yang dikelola secara agroforetri di Lampung.
64
Mampu Menentukan Pola Tanam yang Menguntungkan Pada sistem pertanian monokultur baik tanaman semusim maupun tahunan bila ditanam terlalu dekat akan menurunkan produksi per unit area. Hal ini disebabkan oleh adanya kompetisi akan cahaya, air, dan hara. Bila jarak tanamnya diperlebar maka besarnya tingkat kompetisi tersebut akan semakin berkurang. Dalam praktek di lapangan, petani mengelola tanamannya dengan melakukan pengaturan pola tanam, pengaturan jarak tanam dan sebagainya. Pada sistem campuran dari berbagai jenis tanaman atau mix cropping, maka setiap jenis tanam dapat mengubah lingkungannya dengan caranya sendiri (Suprayoga dkk., 2003:15). Arifin, (2002:131) juga berpendapat bahwa para petani akan bersedia mengadopsi teknologi konservasi atau suatu pola tanam tertentu jika akan mendapatkan manfaat ekonomi dari kegiatan tersebut. Petani yang berada dilapisan atas atau yang menikmati tingginya tingkat produktivitas dan penerimaan, mungkin secara terus-menerus akan menerapkan pola tanam dengan metode pertanian berteras serta teknologi konservasi lainnya. Hal tersebut dikuatkan oleh hasil penelitian Sumarhani (2003:74) di Jawa Tengah yang dalam penelitian tersebut diketahui bahwa pola tanam akan memberikan hasil yang berbeda terhadap pola tanam lainnya. Selain itu dibuktikan juga bahwa pola tanam tertentu akan memberikan kelangsungan hasil secara berkesinambungan.
Mampu Memilih Teknologi yang Efisien Perlakuan konservasi yang dilakukan petani dilokasi penelitian menunjukkan bahwa ketepatan memilih teknologi konservasi tanah dan air merupakan hal yang penting dalam mencapai kelestarian hasil (Sumarhani, 2003:73-74).
65 Tindakan konservasi tanah yang telah dilakukan oleh petani antara lain: 1) pembuatan teras gulud dan teras bangku, 2) penanaman tanaman penguat teras dengan lamtoro gung dan gamal secara rapat, dan 3) pembuatan saluran pembuangan air. Terkait dengan pemilihan teknologi yang efisien maka masyarakat petani pedesaan lebih cenderung memilih aman baik dari dimensi waktu, resiko dan dana (Suhardjito, 2003:85)
Mampu Mengidentifikasikan Kendala Pengelolaan Menurut Mosher (1978:15) salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang petani adalah kemampuan untuk mengidentifikasikan kendala-kendala pengelolaan lahan seperti: 1) mampu menentukan pemilihan varietas benih unggul, 2) mampu menentukan jenis tanaman yang diusahakan, 3) mampu mengembangkan jiwa wirausaha, 4) mampu meningkatkan keuntungan yang terus-menerus dari usaha taninya, dan 5) mampu memilih informasi yang dibutuhkan. Hal senada dinyatakan oleh Suparta (2001:33) yang menyatakan bahwa seorang petani umumnya mempunyai keberanian untuk menghadapi resiko usaha karena dia telah mampu mengindentifikasi kendala-kendala pengelolaan. Demikian pula dengan pertanian dilahan kering yang memiliki banyak keterbatasan dalam berproduksi. Hal tersebut antara lain karena kurang dipahaminya karakteristik lahan kering secara benar dan mendalam oleh petani. Berdasarkan hal tersebut Adjit (1991:46) berpendapat bahwa petani dilahan kering harus memiliki kemampuan mengidentifikasi kendala pengelolaan, dan lemahannya identifikasi menyebabkan kualitas, produksi, dan stabilitas sistem usaha tani menjadi terbatas.
66 Mampu Mengalokasikan Tenaga Kerja Hernanto, (1989:70) berpendapat bahwa kegiatan usaha tani memerlukan tenaga kerja untuk hampir seluruh proses produksi. Untuk pertanian kegiatan itu meliputi: 1) persiapan tanaman, 2) pengadaan sarana produksi pertanian seperti: bibit, pupuk, dan obat hama dan penyakit, 3) penanaman atau persemaian, 4) pemeliharaan meliputi: penyiangan, pemangkasan, pemupukan, pengobatan, pengaturan air dan pemeliharaan bangunan air 5) panen - pengangkutan hasil, dan 6) penjualan. Dengan demikian kebutuhan tenaga kerja pada setiap cabang usaha akan berbeda berdasarkan: jenis kegiatan, jenis komoditi, tingkat teknologi, serta intensitas kombinasi dari faktor produksi, skala usaha dan waktu. Kebutuhan tenaga kerja untuk satu tanaman akan berbeda antara satu tanaman dengan tanaman lainnya. Demikian pula, kebutuhan kerja akan berbeda bila jenis tanah, dan lokasi yang berbeda. Ketersediaaan tenaga kerja akan berpengaruh terhadap kegiatan pengelolaan tenaga kerja. Menurut Asdi (1996:15) dalam penelitiannya diketahui bahwa ketersediaan tenaga kerja adalah salah satu masalah dalam pelaksanaan proyek ketahanan pangan di Sumatra Barat. Pengalokasian tenaga kerja merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan karena telah terbukti berpengaruh dalam keberlanjutan suatu kegiatan (Asdi, 1996:70). Hal ini juga dibuktikan oleh Wulandari (1999:111-112) bahwa alokasi tenaga kerja merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kelestarian lahan pekarangan di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung.
67 Kompetensi di bidang Sosial Budaya Tanggungjawab dan akses individu pada pengelolaan hutan semakin berkurang sehingga peran kelompok masyarakat akan lebih mengemuka termasuk didalamnya koperasi, dan hubungan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan hutan secara kolaboratif (Suhardjito dkk., 2000:15) . Selain itu, Sardjono (2004:62) menyatakan bahwa masyarakat lokal terutama masyarakat adat termasuk yang matapencahariannya sebagai petani yang tinggal di dalam dan tepi hutan hidup berkelompok mengutamakan kepentingan komunal. Mereka tidak mendahulukan kepentingan individu dalam memanfaatkan sumberdaya hutan yang ada. Berkaitan dengan itu petani sangat menghormati nilai-nilai yang telah disepakati, diterapkan dan bahkan akhirnya dibutuhkan bersama. Kelembagaan masyarakat mempunyai peran yang sangat besar. Menurut Salikin (2003:7) bahwa norma-norma sosial dan budaya harus diperhatikan dalam sistem pertanian di Indonesia. Dalam melaksanakan sistem pertanian,
termasuk sistem budidaya kehutanan harus selaras
dengan norama sosial budaya yang dianut dan dijunjung tinggi oleh masyarakat. Untuk dapat berperan dan menerapkan norma-norma kesepakaan tersebut maka petani tepi hutan harus memiliki kompetensi sosial budaya. Informasi-informasi yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa untuk mempunyai kompetensi sosial budaya maka petani dituntut untuk:
Mampu Mempersepsikan Kelestarian Banyak kajian tentang persepsi yang menyatakan bahwa persepsi sangat erat kaitannya dengan pola perilaku manusia yang terbentuk dalam tindakannya. Davito dalam Adjat (2002:30) menyatakan persepsi sebagai suatu proses yang memberikan
68 kesadaran kepada individu tentang suatu obyek atau peristiwa di luar dirinya melalui pancaindra. Sedangkan menurut Mar’at (1981:22-23) mengemukakan bahwa persepsi merupakan pengamatan seorang yang berasal dari komponen kognisi. Persepsi dipengaruhi pula oleh faktor-faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala dan pengetahuan. Persepsi masyarakat terhadap lingkungan sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi, budaya dan pendidikan, dan pengetahuan yang merupakan hasil proses belajar sebelumnya sangat dipengaruhi oleh stimulus. Lebih lanjut Adjat (2002:30) menyatakan bahwa secara singkat persepsi merupakan suatu proses psikologis seseorang yang diartikan sebagai: 1) proses pengamatan, pencarian, penerimaan dan penafsiran tertentu, 2) merupakan proses berpikir yang menuntut kemampuan otak untuk dapat menafsirkan sesuatu dengan benar, dan 3) hasil interpretasi seseorang terhadap sesuatu. Menurut Suwarno (1999:27) perbedaan persepsi antara satu orang dengan orang lainnya disebabkan oleh: 1) perhatian; rangsangan yang ada disekitar dan tidak ditangkap sekaligus tetapi hanya memfokuskan pada satu atau dua obyek saja. 2) adanya harapan seseorang akan rangsangan yang akan timbul, misalnya seorang pelari siap digaris start terdapat set bahwa akan terdengar pistol disaat ia harus berlari. 3) kebutuhan-kebutuhan sesaat maupun yang menetap akan mempengaruhi persepsi orang tersebut. 4) sistem nilai; seperti adat-istiadat, kepercayaan, yang berlaku dalam masyarakat berpengaruh pula terhadap persepsi, dan 5) ciri kepribadian misalanya: watak, karakter, kebiasaan akan mempengaruhi pula persepsi.
Hasil penelitian Zulfarina (2003:106) tentang persepsi
dan partisipasi petani terhadap usaha pertanian konservasi di Lampung Barat menyatakan
69 bahwa persepsi petani memiliki nilai negatif tentang manfaat konservasi bagi petani yang tidak mengetahui faktor biofisik tanah, sedangkan yang mengetahuinya naik 50,37 % lebih tinggi dari yang tidak tahu. Dengan demikian perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh persepsi sesuatu demikian juga dengan persepsi terhadap kelestarian hutan menjadi dasar petani untuk bersikap dan berperilaku.
Mampu Membangun Interaksi Menurut Sumarwoto, (1994:35) bahwa interaksi adalah hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya atau kelompok dengan lingkungannya. Untuk mendukung kehidupannya manusia menggunakan unsur yang ada di lingkungan berupa tanah, air, tumbuhan, hewan dan sebagainya, oleh karena itu interaksi manusia dengan lingkungan selalu mencari unsur-unsur yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhannya. Menurut Bintarto (1983:76) interaksi merupakan hubungan yang erat dan timbal balik, dan menimbulkan aktivitas atau kegiatan. Bentuk aktifitas interaksi menimbulkan beberpa perubahan antara lain: 1) perubahan perkembangan (development change), yaitu perubahan yang terjadi dimana perubahan-perubahan itu masih dapat dilaksanakan di tempat semula karena masih tersedia ruang, dan fasilitas serta sumber-sumber setempat, 2) perubahan lokasi (locational change) yaitu perubahan yang mengakibatkan adanya rencana atau gejala perpindahan penduduk karena daerah asal tidak mampu menyediakan sarana lagi, dan 3) perubahan tata laku (behavioral change) adalah perubahan tata sikap dan perilaku penduduk karena menyesuaikan dengan perkembangan yang ada.
70 Dengan demikian interaksi membwa konsekuensi pada adanya perubahan pada diri seseorang baik yang bersifat positip atau yang negatif. Kemampuan menyaring nilainilai sangat menentukan hasil interaksi berhasil guna bagi kemajuan. Mengenai pola interaksi Ansyari, (1991:25) menjelaskan bahwa interaksi masyarakat dengan lingkungan hidup menghasilkan dua macam bentuk ikatan yaitu hubungan sosial, dan hubungan simbiosis. Hubungan sosial adalah hubungan antara organisme hidup yang sama spesiesnya akan membawa perubahan, dimana mereka membutuhkan sesuatu yang sama dari lingkungan hidupnya, sedangkan hubungan simbiosis adalah bentuk hubungan timbal balik antara organisme hidup dengan yang tidak sama speciesnya. Bentuk hubungan simbiosisme dikelompokkan sebagai berikut: 1) Parasitisme, yaitu hubungan timbal balik antara dua species yang berbeda dimana satu species mendapatkan keuntungan sedangkan lainnya dirugikan. 2) Komersialisme yaitu hubungan timbal balik dimana species yang satu mendapat keuntungan, sedangkan yang lainnya merasa tidak dirugikan. 3) Mutualisme, yaitu hubungan timbal balik dimana species yang berhubungan, satu sama lainnya saling menguntungkan. Dengan demikian petani tepi hutan dituntut untuk mampu membangun interaksi yang ‘mutualisme’ dengan berbagai pihak sehingga keberadaannya bermanfaat untuk orang lain yaitu sesuai dan selaras dengan fungsi hutan lindung.
Mampu Berpartisipasi Konsep partisipasi telah lama menjadi bahan kajian, sehingga makna partisipasi demikian luas penggunaannya. Pengertian mampu berpartisipasi mengacu pada petani dalam mengambil salah satu peran dalam pembangunan khususnya dalam pelestarian
71 hutan lindung. Menurut FAO dalam Mikkelsen, (2001:23) menyatakan bahwa partisipasi adalah suatu proses yang aktif, dan mengandung arti orang atau kelompok yang terkait dengan mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan. Slamet, (2003:9) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat sangatlah mutlak demi berhasilnya pembangunan. Oleh karena itu partisipasi petani tepi hutan akan memiliki nilai bagi pembangunan bila petani tepi hutan memahami arti dan tujuan dari kelestarian. Hasil penelitian Zulfarina (2003:95) tentang partisipasi, kaitannya dengan persepsi, dinyatakan bahwa tingkat partisipasi petani sangat dipengaruhi oleh persepsi dan tingkat pengetahuan khususnya dalam hal ini adalah teknik konservasi. Mengingat bahwa partisipasi merupakan bagian yang penting dalam upaya melesatrikan hutan lindung, maka lebih lanjut Slamet, (2003:9-10) menyatakan syaratsyarat tumbuhnya partisipasi menjadi tiga golongan yaitu: 1) adanya kesempatan untuk membangun, 2) adanya kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan, dan 3) adanya kemauan untuk berpartisipasi. Dengan demikian partisipasi merupakan aspek penting petani hutan untuk dapat melestarikan hutan lindung yang dapat berupa program dari pemerintah.
Mampu Menghadapi Resiko Resiko dalam produksi pertanian diakibatkan oleh adanya ketergantungan aktivitas petani pada alam. Adanya resiko berproduksi sangat mempengaruhi perilaku petani dalam pengambilan keputusan (Agussabti, 2002:68). Menurut Suparta (2003:33) salah satu kompetensi yang harus dipunyai oleh petani yaitu menghadapi resiko, dan petani tepi hutan lindung hanya diijinkan mengambil hasil hutan non kayu yang memiliki resiko tinggi karena harga dan kualitas yang tidak baik.
72 Meminimalkan resiko produksi atau kerugian sebagai akibat keragaman proses ekologis, ekonomis, dan sosial menjadi tindakan yang harus dilakukan oleh para petani. Hal tersebut terkait dengan rumah tangga petani yang lahannya sempit sehingga harus mementingkan distribusi produksi yang merata dari waktu-kewaktu (Suhardjito dkk., 2003:17). Sedangkan Reijntjes dkk., (1992:18) menyatakan tentang mengamankan hakhak terhadap askes sumber daya dan menghilangkan resiko akan memungkinkan petani memanfaatkan sumberdaya dan teknik yang lebih produktif Popkin (1978) dalam Agussabti (2002:69) juga menyatakan hal yang serupa, menurutnya petani itu pada hakikatnya rasional dalam berusaha tani, dan mengambil suatu resiko dalam berusaha tani dengan penuh perhitungan yakni apabila inovasi yang diperkenalkan diyakini dapat meningkatkan kehidupannya.
Mampu Mengembangkan Kreativitas Menurut Goering (1993) dalam Salikin (2003:35) ada empat kecenderung positif yang mendorong sistem budidaya pertanian berkelanjutan yaitu perubahan sikap petani termasuk didalamnya kreativitas petani, perminataan produksi organik, keterkaitan petani dengan konsumen serta perubahan kebijakan. Demikian pula yang diungkapkan oleh Riyanti (2003:21) bahwa sebagai seorang petani harus mampu mengelola lahan dengan baik, artinya salah satu karakteristik unggul yang harus dimiliki petani adalah kreativitas. Adapun karakteristik unggul lainnya seperti: percaya diri, fleksibel, responsif, berorientasi kemasa depan, dan berani mengambil resiko.
73 Kreativitas berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup perlu dimiliki oleh petani tepi hutan, karena alasan petani akan menanam suatu jenis pohon terkaitan dengan akses pasar dan harga pasar (Suhardjito dkk., 2003:6).
Mampu Menggali Pengetahuan Lokal Petani Menurut beberapa ahli yang mengamati hubungan antara masyarakat lokal dengan sumberdaya alam khususnya hutan disekitarnya bahwa keraifan lokal identik dengan pengetahuan tradisional atau pengetahuan lokal (Sardjono, 2004:41). Zakaria (1994:11) dan Widjono (1998:21) mengemukakan bahwa pengetahuan lokal merupakan pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan model-model pengelolaan sumber daya alam secara lestari. Peteni yang mengelola lahan hendaknya memiliki pengetahuan lokal akan mendukung pengelolaan lahan secara lestari. Hal ini dikuatkan oleh Moniaga (1994:11), Ukur (1994:17) Colver dkk., (1999:22) yang menyatakan bahwa pengetahuan yang dimiliki petani akan : 1) memiliki pengetahuan kompleksitas karakter ekosistem hutan hujan tropis, 2) membantu dalam pengembangan teknologi pengelolaan sumber daya hutan secara lebih efisien dan efektif. Hal ini berkaitan dengan pendekatan berbasis spesifik lokal dari sisi lingkungan, sosial ekonomi, dan budaya (natural and socio economis conformities), serta kebutuhan masyarakat lokal (local needs) dan 3) menyadarkan untuk tidak memanfaatkan hutan secara berlebihan. Dengan demikian kemampuan menggali pengetahuan lokal akan membantu kekayaan konsep kelestarian secara umum.
74 Mampu Melakukan Adopsi Menurut Mardikanto (1993:64) bahwa adopsi yaitu proses perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan (cognitif), sikap (afektif) maupun ketrampilan (psychomotoric) pada diri seorang yang telah menerima inovasi. Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Mardikanto (1993:63) menyatakan pula bahwa inovasi sebagai ide-ide baru, praktek-praktek baru atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat. Pengertian baru disini bukan hanya baru diketahui tetapi juga baru dalam arti dapat diterima secara luas. Berkaitan dengan hal ini, kemampuan petani tepi hutan dalam hal mengupayakan kelestarian baik melalui budidaya tanaman hutan (silvikulutur) maupun pertanian konservasi merupakan bagian dari proses adopsi. Sedangkan Polson, (1999:2) menyatakan media elektronik; video dapat dijadikan sarana untuk mengajari petani berubah sesuai dengan yang diharapkan, dan teradapat 69 % petani mencoba hal baru. Jahi (1988:40) menyatakan bahwa karakteristik pengadopsi adalah orang yang memiliki pendidikan serta status sosial yang lebih baik dan pengadopsi cepat dapat dari kalangan muda maupun tua. Sementara itu, Ibrahim (2001:130) dalam penelitiannya menyatakan bahwa petani yang mampu menjadi adopter terkait dengan pendidikan formal dan non formal serta pengetahun yang memadai. Demikian juga petani adopter dalam melestarikan hutan sangat dibutuhkan karena melalui adopter inilah kelestarian dapat berjalan dengan lancar.
75 Mampu Menjaga Keamanan Hasil Adopsi Klaim sepihak yang dilakukan oleh pemerintah atas kampung tua Lanowulu yang merupakan hak ulayat masyarakat lokal telah melahirkan konflik tenurial yang berkepanjangan. Hal ini telah melahirkan dampak destruktif terhadap ekosistem Taman Nasional, Rawa Aopa, Watumohai di Sulawesi Tenggara (Taridala, 2001:2). Dengan demikian harus disusun kesepakan-kesepakatan yang dapat menjamin kelestarian sumberdaya alam, ekosistem DAS, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan peningkatan sumbangan pendapatan kepada daerah. Kesepakatan disusun dengan maksud agar dapat mengurangi atau meminimalkan potensi konflik diantara masyarakat dengan masyarakat atau dengan pihak lain dan dapat memberikan rasa aman kepada petani dalam mengelola lahannya (Awang dan Wiyono, 2001:22). Masalah sosial yang menyebabkan pengelolaan hutan oleh Perhutani tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya diakibatkan adanya tekanan penduduk, hal tersebut terjadi karena: 1) masyarakat yang tinggal di dalam atau dekat kawasan hutan berpenghasilan rendah dan menggantungkan hidupnya pada hutan, 2) masyarakat yang tinggal didekat hutan tidak pernah diikutsertakan dalam pengambilan keputusan tentang pengelolaan hutan 3) adanya kesenjangan komunikasi antara petugas kehutanan dengan penduduk sehingga menimbulkan rasa saling curiga, 4) pola pengelolaan hutan pada beberapa tempat kurang tepat sehingga menyebabkan kerusakan hutan dan lingkungan (Awang dan Ernaningsih, 2004:50) Secara umum hal tersebut dapat dikatakan bahwa petani sebagai aktor atau pelaku utama dalam pengelolaan hutan sehingga memiliki rasa aman dalam mengelola lahannya. Bila rasa aman dipunyai oleh petani maka mereka akan dengan tenang dan cermat dalam
76 mengelola lahan. Hal tersebut dapat dilakukan oleh pemerintah melalui kejelasan hak dan hukum atas tanah yang dikelola petani dan adanya komunikasi yang serasi dengan petugas penjaga hutan dan aparat pemerintah. Berdasarkan pada informasi-informasi yang terdapat pada tinjauan pustaka, maka kompetensi petani tepi hutan yang harus dikuasai dalam melestarikan hutan lindung meliputi aspek teknis, sosial ekonomi dan sosial budaya. Aspek teknis meliputi kemampuan di bidang : 1) penentuan persyaratan lokasi tumbuh, 2) pengadaan benih, 3) pengadaan bibit, 4) penanaman , 5) pemeliharaan, 6) pengenalan hama dan penyakit, 7) kemampuan teknis dalam pengendalian hama penyakit, 8) Kemampuan teknis dalam pemilihan pola tanam. Aspek sosial ekonomi meliputi kemampuan di bidang : 1) merencanakan biaya, produksi, 2) memprediksi hasil yang didapat, 3) memprediksi perkembangan pasar, 4) menentukan jenis tanaman yang tepat (ekonomi dan ekologi), 5) menentukan pola tanam yang menguntungkan,
6) memilih teknologi yang efesien, 7) mengindetifikasikan
kendala-kendala pengelolaan, 8) mengalokasikan tenaga kerja, Aspek Sosial budaya meliputi kemampuan untuk: 1) mempersepsikan kelestarian, 2) membangun interaksi, 3) mampu berpartisipasi, 4) mampu menghadapi resiko, 5) mampu mengembangkan kreatifitas, 6) mampu menggali pengetahuan lokal – local knowladge, 7) mampu melakukan adopsi, 8) mampu menjaga keamanan hasil adopsi Dari informasi-informasi di atas, memberikan gambaran bahwa petani tepi hutan dituntut untuk memeliki sejumlah kemampuan supaya dapat menjamin kelangsungan hidupnya untuk sekarang dan masa akan datang tanpa meninggalkan prinsip kelestarian. Oleh karena itu untuk menjadi petani tepi hutan yang handal dalam melestarikan hutan
77 dan mampu mengembangkan ekonomi keluarga dituntut untuk memiliki sikap sebagai berikut: 1) memiliki sikap orientasi kelestarian, 2) memiliki sikap positip terhadap pembangunan, dan 3)memiliki sikap yang ulet dan tangguh.
Hubungan Karakteristik Petani Tepi Hutan dengan Kompetensi Melestarikan Hutan Lindung
Hubungan Umur dengan Kompetensi Perkembangan kemampuan berpikir terjadi seiring dengan bertambahnya umur. Menurut Padmowihardjo (1994:36) mengungkapkan kemampuan umum untuk belajar berkembangan secara gradual semenjak dilahirkan sampai saat dewasa, dan salah satu ciri dari proses belajar yang terkait dengan umur yakni hasil belajar akan menghasilkan retensi pada jumlah yang besar ketika muda, dan akan berhenti pada umur tertentu dan setelah 55 tahun sampai 60 tahun terjadi penurunan kemampuan lebih cepat lagi. Prinsip perkembangan umur, dapat pula diterapkan pula pada pola hubungan lama tinggal di desa dengan kompetensi yang dimiliki untuk mengembangkan perilaku melestarikan. Lebih lanjut Padmowihardjo (1994:19-29) menyatakan tenang dimensi waktu berkaitan dengan pengalaman, bahwa pengetahuan bertambah seiring dengan berjalannya waktu, alasan ini karena pada dasarnya proses perkembangan manusia sejalan dengan konteks belajar. Lama tinggal didesa yang terkait dengan kompetensi mempengaruhi sikap, dan ketrampilan dalam mengelola lahan.
akan
78
Hubungan Suku dengan Kompetensi Rothschild, (1991:17) berpendapat bahwa walaupun dijaman modern kesukuan masih sangat berarti mencerminkan kepemilikan dan keakuan seseorang. Kadangkala kesukuan merupakan hal yang irasional, namun hal tersebut sangat tergantung dari lokasi, konsisi politik, dan struktur social ekonomi masyarakat. Menurut Soekartawi (1988:90) faktor kebudayaan suatu suku sangat berpengaruh terhadap proses difusi-inovasi berupa tata nilai dan sikap dilingkungan suku tertentu. Dalam penelitiannya Wulandari (1999:103) juga membuktikan bahwa suku merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pengelolaan pekarangan secara lestari di kotamadya Bandar Lampung. Dengan demikian, suku tertentu memiliki sistem nilai dan norma unik, dan berkaitan dengan kebiasaan petani tepi hutan dalam melestarikan hutan lindung.
Hubungan Pendidikan Formal dan Non Formal dengan Kompetensi
Slamet, (2003:20) menegaskan bahwa perubahan perilaku yang disebabkan oleh pendidikan berupa: 1) perubahan dalam pengetahuan atau hal yang diketahui, 2) perubahan dalam ketrampilan atau kebiasaan dalam melakukan sesuatu, dan 3) perubahan dalam sikap mental atau segala sesuatu yang dirasakan. Menurut Mosher (1978:21-23) dalam memajukan usahatani yang dilakukan petani membutuhkan kecerdasan dan pengetahuan untuk mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hewan. Kecerdasan dan pengetahuan dapat diperoleh dari pendidikan formal dan non formal. Semakin meningkat pengetahuan yang diperoleh akan merupakan suatu dasar
79 bagi pengembangan teknologi pertanian yang mendorong pada perbaikan kualitas usahatani yang dilakukan. Demikian pula Rogers (1987:93) berpendapat bahwa tingkat pendidikan petani sangat berpengaruh terhadap kemampuan dalam mengadopsi inovasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal petani maka akan semakin rasional pola pikir dan daya abstraknya dalam mengambil keputusan usahatani. Hal serupa ditemukan dalam penelitian Castillo, (1979:50) bahwa pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi petani. Dengan demikian, tingkat pendidikan baik formal dan non formal berhubungan dengan sikap dan perilaku petani tepi hutan dalam melestarikan hutan
Hubungan Status Lahan Garapan dengan Kompetensi Perpedaan status penguasaan lahan dapat memberikan andil besar terhadap rusaknya sistem pertanian yang berkelanjutan. Status hak sewa atas tanah dapat mendorong penyewa melakukan eksploatasi sumberdaya secara berlebihan untuk mengejar keuntungan, tanpa memikiran reinvestasi yang lestari (Salikin, 2003:41). Pengkajian secara empiris dilakukan oleh Sukmana (1990:25) didaerah aliran sungai
(DAS)
menunjukkan
bahwa
pemilik
lahan
(dengan
sertifikat)
lebih
memperhatikan konservasi tanah daripada bukan pemilik lahan. Sistem sewa dan gadai menghambat usaha konservasi tanah karena penyewa cenderung memanfaatkan tanah secara maksimal dengan biaya minimal. Status penguasaan lahan berkaitan erat dengan kegiatan perawatan, penjagaan, dan pelestarian lingkungan. Bentuk penguasaan lahan tradisional umumnya ditangan suatu kelompok (komunal) dan bukan individu.
80 Penguasaan ini berkaitan erat dengan pengambilan keputusan atas usaha diatas lahan tersebut (Suhardjito, 2000:41). Dengan demikian status kepemilikan lahan dan lamanya bermukim terkait dengan luas kepemilikan (hak kelola) lahan petani. Berdasarkan informasi diatas maka status lahan garapan berhubungan dengan kompetensi petani tepi hutan dalam melestarikan hutan dengan melakukan pertanian konservasi.
Hubungan Luas Lahan Garapan dengan Kompetensi Taufiqurrahman dkk., (2003:46) menyatakan bahwa luas lahan memiliki hubungan terhadap kenaikan pendapatan petani Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Nusa Tenggara Barat. Menurutnya, luas lahan berkaitan dengan instensitas pengelolaan lahan maka semakin luas lahan yang dimiliki oleh petani akan semakin tidak optimal pemanfaatanya. Menurut Mardikanto (1993:30-31), luas lahan usahatani yang sempit menjadi kendala bagi penerapan sistem usaha tani secara intensif. Hal ini menyebabkan petani kurang mampu menerapkan teknologi dan pengelolaan usaha tani secara komersial.
Hubungan Pengalaman Berusaha dengan Kompetensi Menurut Rogers, (1987:27) semakin lama pengalaman berusaha tani maka akan semakin tinggi tingkat adopsi inovasi yang dimiliki oleh petani. Dalam penelitian Suparta (2001:35) menemukan bahwa keberhasilan seorang peternak dalam beragribisnis ayam pedaging berhubungan dengan semakin lamanya pengalaman dalam usahaternak. Hal serupa ditemui pula Pambudy (1999:123) bahwa keberhasilan peternak dalam beragribisnis ayam buras di Jawa Barat berhubungan dengan pengalaman peternaknya.
81
Hubungan Kekosmopolitan dengan Kompetensi Kekosmopolitan yaitu keterbukaan petani pada informasi melalui hubungan mereka dengan berbagai sumber informasi yang dibutuhkan. Kekosmopolitan individu dicirikan dengan sejumlah atribut yang membedakan mereka dari orang-orang lain di dalam komunitasnya, yaitu: 1) individu tersebut memiliki status sosial, 2) partisipasi sosial lebih tinggi, 3) lebih banyak berhubungan dengan pihak luar, 5) lebih banyak menggunakan media massa, 5) memiliki lebih banyak hubungan dengan orang lain maupun lembaga yang berada di luar komunitasnya (Rogers, 1987:27). Mosher (1978:34) berpendapat bahwa keterbukaan seseorang berhubungan dengan penerimaan perubahan-perubahan seseorang untuk meningkatkan perbaikan usahatani mereka. Sedangkan Pambudy (1999:186-187) menyatakan bahwa keterbukaan terhadap informasi peternak berhubungan dengan perilaku mereka. Lebih lanjut dijelaskan bahwa semakin banyak media masa yang dipergunakan dan semakin banyak kontak interpersonal dalam mencari informasi maka akan semakin banyak pilihan caracara untuk meningkatkan kualitas usahatani mereka. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa kekosmopolitan berhubungan dengan melestarikan hutan, karena berkaitan dengan banyaknya informasi yang didapatkan oleh petani untuk mengelola lahannya yang sesuai dengan prinsip kelestarian.
82 Hubungan Jumlah Tanggungan Keluarga dengan Kompetensi Menurut Hernanto (1989:27) menyatakan bahwa jumlah tanggungan jiwa dalam satu rumah tangga menjadi tanggungjawab atas pemenuhan kebutuhan untuk sejahtera. Hal ini serupa dengan pendapat dari Asdi (1996:12) yang menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi suatu keluarga Sedangkan menurut Soekartawi (1988:34-35) jumlah tanggungan keluarga berhubungan dengan tingkat pendapatan bersih usaha tani. Semakin banyak jumlah tanggungan keluarga maka semakin banyak pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan kosumsi keluarga sehingga akan mengurangi modal untuk kegiatan usahatani selanjutnya. Dengan demikian, jumlah tanggungan keluarga berhubungan dengan perilaku melestarikan hutan lindung karena terkait dengan pemenuhan kebutuhan keluarga.
Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Kompetensi Pendapatan adalah perolehan yang didapat kepala keluarga dan anggota keluarganya dari berbagai kegiatan yang dilakukan. Indikator tingkat pendapatan meliputi: 1) pendapatan yang dihasilkan dari luar kawasan hutan, dan 2) pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan memanfaatkan hutan (Hutagalung, 2002:26). Selain itu Agussabti (2002:282) dalam penelitannya menemukan bahwa tingkat pendapatan petani maju akan mempengaruhi tingkat kedinamisan sipetani dalam menegembangkan usahataninya. Menurut Wulandari (1999:11) pendapatan terkait dengan tingkat adopsi petani dalam menerapkan teknis pertanian. Dengan demikian, bahwa pendapatan keluarga berhubungan dengan perilaku melestarikan hutan.
83 Hubungan Kontak PPL dengan Kompetensi Perubahan kemampuan seseorang dapat di lakukan dengan meningkatkan salah satu ranah (pengetahuan, sikap dan ketrampilan) atau ketiga-tiganya secara bersamaan. Kontak dengan penyuluh dapat merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan salah satu
ranah,
dan
komunikasi
menjadi
sarana
utama
dalam
mengembangkan
kompetensinya. Peningkatan kompetensi berkaitan pula dengan tiga fungsi dasar yang menyebabkan mengapa orang berkomunikasi, yaitu: 1) hasrat untuk mengontrol lingkungannya, 2) upaya untuk beradaptasi dengan dengan lingkungannya dan 3) upaya untuk melakukan tranformasi warisan sosialisasi.
Pertanian Konservasi di Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Pertanian lahan kering pada prinsipnya merupakan suatu sistem pertanian yang dilaksanakan tidak mengandalkan sistem irigasi, sehingga
kebutuhan air sangat
ditentukan oleh curah hujan. Keterbatasan persediaan air yang kontinyu, menjadikan petani dituntut mampu memilih jenis tanaman yang sesuai dengan lokasi yang tidak membutuhkan air secara kontinyu, sehingga pertanian semacam ini dijadikan indikasi dari sistem pertanian lahan kering. Sistem pengelolaan pertanian lahan kering memiliki ciri khas sendiri, khususnya berkaitan dengan teknologi konservasi tanah dan air. Hal ini dilakukan petani tepi hutan karena pada pertanian lahan kering ada kendala yakni terbatasnya air dan bentuk kontur lahan yang tidak rata atau lereng. Kemampuan mengelola lahan pertanian pada ketinggian dan pada bidang lereng membutuhkan pengetahuan dan teknik tersendiri. Pertanian lahan kering pada kawasan hutan, banyak kendala dan tantangannya pada
84 petani, selain terbatasanya akses penjualan dan sarana produksi, adalah minimnya informasi yang tersedia. Terbatasnya informasi, dapat menyebabkan rendahnya pengetahuan, sikap dan ketrampilan dalam melakukan sistem usaha tani di lahan kering, sehingga sering dinyatakan bahwa pertanian lahan kering tidak produktif. Berkaitan dengan hal tersebut ada beberapa istilah yang relevan dengan pengertian lahan kering yaitu: 1.
2.
3.
Lahan yang digenangi (lowland) versus lahan yang tidak dapat digenangi (upland). Istilah ini berkaitan dengan ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl). Konsekuensinya lahan yang berada di ketinggian 600 m dpl dapat saja berupa lowland, sebaliknya lahan yang ketinggiannya 10 m dpl dapat juga berupa upland. Lahan basah (wet-land) versus lahan kering (dryland). Lahan basah dapat berupa sawah irigasi, wilayah pasang surut, sawah bonorowo (di Jawa Timur). Sawah termasuk lahan basah, tetapi tidak semua lahan basah adalah sawah. Lahan beririgasi (irrigated land) dan lahan tadah hujan (rainfed). Cara penggolongan ini biasanya dikaitkan dengan sawah, tetapi tidak semua lahan berpengairan disebut sawah. Lahan tadah hujan yang ditanami padi disebut sawah tadah hujan. Lahan tadah hujan termasuk pekarangan, kebun, dan tegal. (Iksan, dkk, 1991: 3-4)
Memperhatikan batasan di atas, maka sesungguhnya pertanian lahan kering memiliki dimensi yang cukup luas, sehingga sanggahan bahwa pertanian lahan kering tidak produktif dapat dinetralkan atau dipositifkan. Pertanian lahan kering yang dilakukan oleh petani tepi hutan di Lampung, seperti mengupayakan lada, coklat, dan kopi, dimana kegiatan pertanian yang dilakukan di lahan yang tidak mengunakan sistem irigasi, namun demikian hasil dan nilai ekonominya terkadang tidak kalah dengan pertanian irigasi. Pertimbangan ekonomi, dan praktis, sering menjadi bagian yang dominan dalam pengembilan keputusan rumah tangga petani tepi hutan, dibanding pertimbangan kelestarian, ataupun usaha di luar bidang pertanian.
85 Menurut Fresco, Huizing, Luning, dan Schipper, (1990 ) dalam Iksan dkk., (1991:6) menyatakan bahwa sistem usaha tani atau farming system dapat diartikan sebagai unit pembuatan keputusan yang melibatkan sub-sistem rumah tangga petani, dan sub-sistem pertanian dalam arti luas, seperti: tanaman, hewan, dan ikan. Pertimbangan ekonomi dan kepraktisan, menjadikan para petani tepi hutan dalam pengembangan usaha tani (petani tradisional) melakukan dalam skala kecil yang hasilnya dapat dikosumsi langsung oleh keluarga maupun dibagikan pada tetangga. Berkaitan dengan hal itu, kendala dari rumah tangga petani tepi hutan adalah adanya keterbatasan dalam menguasai sumber daya lahan, tenaga kerja, teknologi, maupun modal, sehingga petani tepi hutan di Provinsi Lampung, identik dengan petani berlahan sempit di Pulau Jawa, yang seringkali tidak dapat dipisahkan manajemen rumah tangga dan lahan usahanya, namun demikian usaha tani yang dilakukan, mampu memberikan pekerjaan, dan mampu menyediakan bahan pangan rumah tangganya. Gambaran kondisi di atas, memberikan kesempatan pada petani tepi hutan untuk bekerja di luar usaha taninya dan meninggalkan kebiasaan masuk hutan, yang berarti mengurangi tekanan penduduk masuk hutan dan hal ini berarti petani tepi hutan turut melestarikan hutan secara pasif. Pengelolaan pertanian lahan kering yang berada pada hutan lindung, memiliki spesifikasi tersendiri karena terkait dengan fungsi hutan sebagai cadangan – sumber air, oleh karena itu pengelolaannya harus selaras dengan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menerapkan prinsip konservasi, dan pengelolaan yang berkelanjutan. Hal ini dapat menekan kerusakan lingkungan, akibat dari menurunnya produktivitas tanah, meningkatkan erosi, dan sedimentasi (Amiruddin, 2003:162).
86 Salah satu penyebab erosi selain sifat dan tekstur tanah adalah minimnya penutupan tajuk tanaman, sehingga mengakibatkan jatuhnya air hujan langsung menimpa permukaan tanah, dan terjadi hanyutan permukaan tanah oleh air (run off). Implikasi dari kondisi tersebut adalah hilangya top soil yang merupakan lapisan tanah yang subur. Salah satu unsur yang menjaga tanah subur adalah adanya hujan yang cukup, dan kondisi curah hujan di Provinsi Lampung terendah terjadi pada bulan September sebesar 29.2 mm dan tertinggi terjadi pada bulan Januari yaitu 346.9.mm. Sedangkan untuk teperatur udara yang terendah berkisar antara 21.9 o C – 29.0 o C pada bulan Febuari, dan tertinggi berkisar antara September yaitu 22.1o C – 31.5 o C. (Statistik Pertanian, 2003:17) Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Rukmana (1995:11-13) membedakan lahan kering berdasarkan curah hujan yaitu: pertama, adalah lahan kering beriklim basah, yaitu jenis lahan kering yang terdapat di daerah-daerah yang mempunyai bulan basah (curah hujan lebih dari 200 mm/bulan) selama 6 sampai 7 bulan dan bulan kering (curah hujan kurang dari 100 mm/bulan) selama 3 sampai 4 bulan, atau curah hujan minimal lebih dari 2.000 mm/tahun. Kedua, lahan kering beriklim kering.adalah jenis lahan kering yang terdapat di daerah-daerah yang mempunyai bulan kering selama 7 sampai 9 bulan dan bulan basah selama 3 sampai 4 bulan, atau curah hujan kurang dari 2.000 mm/tahun. Lebih lanjut Rukmana (1995), menegaskan, pada lahan kering beriklim basah, lahan umumnya terdiri atas tanah-tanah masam, dan memiliki kendala kekurangan hara, peka terhadap erosi, lereng curam, dan pola tanam diterapkan kurang baik. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas lahan.
87 Dari sisi pengelolaan, antara lahan kering dan lahan basah, ada perbedaan yang cukup signifikan, yaitu pada lahan kering, tingkat kesulitan pengelolaan lebih tinggi, sehingga hasilnya kurang produktif, dan tingginya ancaman erosi sedangkan pengelolaan lahan basah kontur relatif datar, lebih banyak pilihan komoditi, dan informasi lengkap sehingga hasil dapat lebih menjanjikan. Teknik pengelolaan lahan kering di kawasan hutan berkaitan pula dengan teknik pengawetan tanah atau konservasi tanah dan air. Menurut Zulfarina (2003) pengaturan tata air, adalah salah satu fungsi hutan yang utama karena banyaknya tanaman yang bertajuk dan kerapatannya baik akan mampu sebagai kendali iklim mikro, yang akan berpengaruh pula pada iklim makro. Berkaitan dengan hal tersebut, hutan dapat dipandang dari tiga aspek yang berbeda, yaitu 1) tegakakan pohonnya, 2) tanahnya dan 3) bentangan lahannya. Dari komponen pohon secara umum hutan memiliki konsumsi air yang lebih tinggi dari vegetasi lainnya, karena pohon-pohon dalam hutan memiliki laju transpirasi yang tinggi, demikian pula tajuk hutan mengintersepsi (menahan) sebagaian curah hujan yang jatuh dan kemudian penguapannya ke udara sehingga sebagian curah hujan tidak sampai jatuh ke permukaan tanah atau lantai hutan. Dari sudut tanahnya, bila sebidang tanah dengan banyak pohon memberikan kemungkinan terbaik bagi perbaikan sifat tanah, pohon menghasilkan seresah yang cukup tinggi sehingga mampu meningkatkan kandungan bahan organik yang sangat dibutuhkan oleh perakaran. Dari sisi bentang lahan, atau landscape secara teoritis hutan merupakan merupakan bentuk yang sangat ideal untuk pemulihan tata perairan dan tanah, karena
88 kondisi fisik hutan yang masih baik sangat ideal bagi tata perairan yang
akan
berpengaruh terhadap kesuburan tanah. Dengan demikian batasan pertanian lahan kering adalah segala upaya yang telah dilakukan oleh petani tepi hutan dalam mengelola lahannya untuk bidang pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, dan pekarangan. Pemanfaatan lahan pada kawasan hutan melalui sistem pertanian lahan kering, perlu mengacu pada teknik-teknik pertanian konservasi, sehingga kerusakan dalam pengelolaan lahan dapat dihambat dan dicegah. Implikasi dari penerapan sistem pertanian lahan kering dengan benar, maka aspek tata air dan kesuburan tanah dapat terjaga dengan baik, dan lahan mamapu berproduksi dalam rentang waktu yang panjang, dan dapat memberikan jaminan kehidupan bagi generasi yang akan datang.
Pertanian Konservasi Sinukaban, (1986:II-1) menyatakan bahwa dalam perencanaan pertanian konservasi yang baik, maka diperlukan: 1) pengetahuan dasar tentang tanah, dan 2) motivasi yang tinggi untuk melestarikan produktivitas sumber daya tanah dan air, serta pengalaman menyusun rancangan itu sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut, maka sudah seharusnya bahwa petani tepi hutan menyadari bahwa dalam mengupayakan usahataninya dan mengelola lahannya di dalam maupun sekitar kawasan hutan lindung berbeda dengan tetangganya atau petani tepi hutan yang lain. Perbedaan tersebut mungkin pada tanahnya, kemiringannya, jenis tanamannya serta skala usahanya. Oleh karena itu perencanaan pertanian konservasi menjadi sangat penting bagi petani tepi hutan. Perencanaan yang baik terkait dengan bimbingan dari
89 pemerintah maupun penyuluh, sehingga pengetahuan petani tepi hutan akan bertambah dan mampu mengambil keputusan sesuai dengan kondisinya. Pengetahuan tentang klasifikasi kemampuan lahan menjadi bagian utama petani dalam memilih cara yang akan diterapkan pada lahan yang akan dikerjakan. Ada beberapa ukuran yang digunakan untuk menentukan klasifikasi, seperti: 1) kemampuan lahan, 2) kesesuaian lahan, dan 3) kemampuan lahan untuk irigasi (Sinukaban 1986:II-2) Hasil klasifikasi kemampuan lahan dijadikan bahan pertimbangan untuk merencanakan pertanian konservasi sehingga akan didapatkan hasil yang optimal dan berkelanjutan tanpa mengurangi kemampuan lahan untuk berproduksi. Secara spesifik Sinukaban (1986) membagi delapan kelas dalam kelasifikasi kemampuan lahan yang dapat menjadi acuan dalam pertanian konservasi yaitu: ”Kelas I Tanah kelas I sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian tanpa memerlukan tindakan pengawetan tanah yang khusus, tanahnya datar, dalam, berstruktur agak halus atau sedang, drainase baik, mudah diolah dan responsif terhadap pemupukan. Tanah kelas I tidak mempunyai penghambat atau ancaman kerusakan dan oleh karenanya dapat digarap untuk usaha tani tanaman semusim dengan aman. Tindakan pemupukan dan usaha-usaha pemeliharaan struktur yang baik diperlukan untuk menjaga kesuburan dan mempertinggi produktivitas. Kelas II Tanah kelas II sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan sedikit hambatan dan ancaman kerusakan, lahannya berlereng landai agak peka terhadap erosi, atau berstruktur halus sampai agak kasar, jika digarap untuk usaha pertanian semusim diperlukan tindakan pengawetan tanah yang ringan seperti pengelolaan menurut kontur, pergiliran tanaman, dengan tanaman penutup tanah atau pupuk hijai, atau guludan disampaig tandakan-tindakan pemupukan seperti kelas I. Kelas III Tanah kelas III sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan hambatan dan ancaman kerusakan yang lebih besardari tanah kelas II, sehingga diperlukan tindakan pengawetan khusus. Tanah kelas III terletak pada lereng agak miring atau berdrainase buruk, kedalamannya sedang, atau preambilitasnya agak cepat. Tindakan pengawetan tanah khusus seperti penanaman dalam strip, pembuatan teras, pergiliran dengan
90 tanaman penutup tanah dimana waktu untuk tanaman tersebut lebih lama, disamping tindakan-tindakan untuk memelihara atau menigkatkan kesuburan tanah. Kelas IV Tanah kelas IV sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan hambatan dan ancaman kerusakan yang lebih besardari tanah kelas III, sehingga diperlukan tindakan pengawetan tanah yang lebih berat dan lebih terbatas waktu penggunaannya untuk tanaman semusim. Tanah kelas IV terletak pada lereng yang miring (15-30 %) atau berdrainase buruk atau kedalamannya dangkal. Jika digunakan untuk tanaman semusim diperlukan pembuatan teras atau pembuatan drainase atau pergiliran tanaman penutup tanah/ makanan ternak/ pupuk hijau selama 3-5 tahun. Kelas V Tanah kelas V tidak sesuai untuk digarap bagi tanaman semusim, tetapi lebih sesuai untuk ditanami tanaman makanan ternak, secara permanan atau dihutankan. Tanah kelas V terletak pada tempat yang datar atau agak cekung sehingga selalu tergenang air atau terlalu banyak batu di atas permukaannya atau terdapat liat asam (catclay) di dekat atau pada daerah perakarannya. Kelas VI Tanah kelas VI tidak sesuai untuk digarap bagi usahatani tanaman semusim, disebabkan karena terletak pada lereng yang agak curam (30-45 %) sehingga mudah tererosi, atau kedalamannya sangat dangkal, atau telah mengalami erosi berat. Tanah ini lebih sesuai untuk padang-padang rumput atau dihutankan. Jika digarap untuk usahatani tanaman semusimdiperlukan pembuatan teras tangga/ bangku. Penggunaannya untuk padang rumput harus dijaga dengan baik, dan penebangan kayu jika dihutankan harus selektif. Kelas VII Tanah kelas VII sama sekali tidak sesuai untuk digarap sebagai usahatani tanaman semusim, tetapi lebih baik/ sesuai untuk ditanamani vegetasi permanen. Jika digunakan untuk padang rumput atau hutan maka pengambilan rumput atau penggembalaan dan penebangan harus dengan hati-hati Tanah kelas VII terletak pada lereng yang curam (45-65 %) dan tanahnya dangkal atau telah mengalami erosi yang sangat berat. Kelas VIII Tanah kelas VIII tidak sesuai untuk usaha produksi pertanian dan harus dibiarkan dalam keadaan alami atau dibawah vegetasi alam. Tanah ini dapat dipergunakan untuk cagar alam daerah rekreasi atau hutan lindung. Tanah kelas VIII adalah tanah yang berlereng sangat curap atau lebih dari 90 % permukaan tanah ditutupi bebatuan, lepas atau batuan ungkapan atau tanah yang bertekstur kasar (Sinukaban, 1986:II 4-7)
91 Sedangkan menurut Arsyad (1989:47) ditegaskan bahwa teknik pengelolaan lahan tertentu tujuannya ialah agar tanah dan air dapat terpelihara dengan baik, sehingga dapat menjamin kesuburan tanah, yang akan sangat berfaedah untuk petani tepi hutan. Secara skematik menunjukkan kesesuaian kelas tanah untuk pertanian konservasi seperti yang terjadi dalam Gambar 5 pada halaman berikut.
Tabel 5. Skema Hubungan antar Kelas Kemampuan Tanah dengan Intensitas dan Macam Penggunaannya
Hambatan / Ancaman Meningkat. Kesesuaian dan Pilihan Penggunaan Berkurang
Garapan sangat intensip
Garapan intensip
Garapan sedang n
Pengge mbala -an b Pengge mbala-an i i Garapan terbatas
Hutan
Cagar alam
Intensitas dan Macam Penggunaan Meningkat Kelas
Kelas Kemampuan tanah
I II III IV V VI VII VIII
Sumber : Sinukaban 1986, Arsyad 1989
Lebih lanjut Arsyad menegaskan bahwa pada prinsipnya tindakan konservasi tanah dan air diarahkan pada tiga perlakukan pokok, yaitu: pertama, perlindungan terhadap tanah dari pukulan butir-butir hujan dengan jalan meningkatkan penutupan tanah dengan bahan organik dan tajuk tanaman. Kedua, mengurangi jumlah aliran permukaan melalui pembuatan rorak, dan sumur resapan. Ketiga, mengurangi kecepatan aliran permukaan sehingga pengkikisan dan perpindahan agregat tanah dapat dikurangi, melalui strip vegetatif, mengurangi kemiringan lahan dan memperpendek panjang lereng.
92 Dengan demikian tindakan konservasi tanah dan air merupakan tindakan yang diperlukan untuk menjaga sumber daya tanah dan air, supaya struktur tanah tidak terdisperasi, dan mengatur kekuatan gerak dan jumlah aliran permukaan. Pertanian konservasi, pada lahan kering dapat berjalan dengan baik, bila ada bimbingan yang intensif dari para penyuluh lapangan (PPL), sehingga petani tepi hutan dalam menjalankan pertanian konservasi dapat berhasil dengan baik dan aspek tata air dan tanah atau lingkungan akan terjamin kelestariannya. Sedangkan usaha taninya akan berdampak nyata pada perekonomian keluarga, sehingga petani tidak lagi mencari dan membuka ladang baru yang dapat mengakibatkan rusaknya hutan lindung. Dengan demikian kegiatan pertanian konservasi akan berdampak pada peningkatan kelestarian hutan. Petani tepi hutan dalam mengelola lahan pertaniannya, pada umumnya dihadapkan masalah kemiringan lahan, terbatasnya tenaga kerja, dan modal usaha. Disamping itu rendahnya kemampuan dan pengetahuan, mengakibatkan pengelolaan lahan pertanian tidak menerapkan prinsip konservasi, karena dalam penerapannya membutuhkan tenaga dan modal yang cukup besar. Tabel 6. Pengelolah Lahan Berdasarkan Kemiringan No 1 2 3
Kemiringan Kurang 2 % 2,1 - 8 % 8,1 – 15 %
4
15,1 -19 %
5
20-30 %
6
30 % keatas
Sumber: Aziz, 1995.
Tindakan Konservasi Pemberian sisa–sisa tanaman sebagai mulsa Penanaman menurut kontur dan/ atau teras guludan. Pembuatan teras guludan dan disertai tanaman penguat. Penanaman dalam strip dengan pola tanam terpadu (rumput, tanaman pangan, dan tanaman tahunan) Pembuatan teras bangku sangat efektif untuk menahan adanya erosi. Pembuatan teras bangku atau teras guludan dengan saluran pembuangan air yang baik.
93 Berkaiatan dengan hal tersebut, Aziz (1995) memberikan acuan pengolahan lahan pada kemiringan lahan, yang dapat dijadikan acuan tindakan pengelolaan lahan seperti pada Tabel 6. Dari uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa kompetensi perilaku petani tepi hutan bila mengacu pada prinsip pertanian konservasi dan prinsip kelestarian, maka kerusakan lahan dan hutan akan dapat dikurangi dan lahan menjadi produktif, sehingga dapat menjamin kebutuhan rumah tangganya. Untuk sampai pada tahap ini dibutuhkan proses bimbingan dan penyuluhan yang intensif untuk sampai pada tahap kesadaran dan kemampuan berperilaku. Pembuatan teras oleh petani tepi hutan yang bermodal kecil, maka penerapan teras bangku, teras guludan, maupun teras kredit, menjadi beban untuk diterapkan karena besarnya biaya dan tenaga, namun demikian pemilihan tanaman sela atau lorong dengan memperhatikan jenis perakaran dapat menjadi alternatif untuk dilakukan. Menurut Sinukaban (2004), yang penting diperhatikan dalam penerapan pertanian konservasi adalah pertama, persepsi pertanian konservasi oleh petani yang harus dikerjakan dahulu, karena dengan persepsi yang benar, maka otomatis akan mendukung kegiatan selanjutnya. Kedua, dalam mengajarkan pertanian konservasi, pada petani, bahasa harus dibuat sesedarhana mungkin sehingga mudah dipahami dan mampu menerima penjelasan dari maksud dari pertanian konservasi. Ketiga, pada tahap aplikasinya harus bermodal rendah baik dari segi biaya maupun tenaga. Melalui ketiga prinsip tersebut, pertanian konservasi menjadi suatu hal yang menyenangkan dilakukan oleh petani karena menguntungkan.
94 Berkaitan dengan prinsip dalam konservasi tanah dan air yang menunjang pertanian konservasi Arsyad (1989), dalam Zulfarina (2003:19) menyatakan bahwa kegiatan konservasi tanah mencakup aspek teknis dan aspek sosial ekonomi petani. Prinsip teknis konservasi tanah meliputi: 1) tindakan konservasi harus cocok untuk kondisi biofisik setempat, 2) kegiatan konservasi harus meningkatkan penutupan permukaan tanah, seperti penggunaan mulsa dan peningkatan kanopi tanaman untuk mengurangi daya pukulan butir hujan pada permukaan tanah, 3) mencegah terkonsentrasinya air aliran permukaan, khususnya di daerah tanah yang peka erosi dan erosi jurang, dan 4) sisa tanaman perlu dikembalikan ke permukaan tanah baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan prinsip sosial ekonomi, konservasi tanah meliputi: 1) tindakan konservasi tanah harus cocok untuk keadaan sosial ekonomi setempat (misalnya: pemilikan tanah, tenaga kerja, penghasilan rumah tangga), 2) petani cenderung lebih cepat mengadopsi teknologi konservasi dibanding dibanding petani bukan pemilik lahan, 3) untuk petani miskin harus diintroduksikan tindakan konservasi tanah yang mudah dilaksanakan, 4) tindakan konservasi tanah yang diterapkan seharusnya dipilih oleh petani bersama-sama penyuluh (penyuluh dalam hal ini bertindak sebagai fasilitator), dan 5) petani sudah memahami dampak dari erosi terhadap lahannya, dan biasanya akan lebih tertarik untuk melakukan tindakan konservasi tanah daripada petani yang belum tahu atau tidak merasakan pengaruh erosi. Dengan demikian konservasi tanah dan air adalah tindakan atau perilaku petani tepi hutan dalam mengelola lahan pertanian konservasi yang mendasarkan pada prinsip kelestarian sumber daya tanah dan air. Tindakan konservasi tanah dan air yang berkaitan
95 dengan pertanian konservasi diarahkan pada tiga perlakuan pokok sebagai berikut: 1) perlindungan tanah dari pukulan butir-butir hujan dengan cara meningkatkan jumlah penutupan tanah dengan bahan organik dan tajuk tanaman, 2) mengurangi jumlah aliran permukaan melalui peningkatan kandungan bahan organik atau dengan meningkatkan simpanan air permukaan dan di dalam tanah misalnya melalui pengelolaan lahan, pembuatan rorak, dan sumur resapan, 3) mengurangi kecepatan air permukaan sehingga pengkikisan dan perpindahan butiran serta agregat tanah dapat dikurangi melalui strip vegetatif, mengurangi kemiringan lahan, dan memperpendek panjang lereng.
Kompetensi Petani dalam Melakukan Pertanian Konservasi Kemampuan petani tepi hutan sebagai pelestari dan pengelola pertanian konservasi, dituntut memiliki kemampuan dalam pengelolaan sebidang tanah sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukan sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak menimbulkan kerusakan tanah. Sinukaban (1986:3) menyatakan bahwa usaha-usaha konservasi tanah ditunjukan untuk: 1) mencegah kerusakan tanah, 2) memperbaiki tanah yang rusak, dan 3) menentukan kelas kemampuan agar pemanfaatan lahan dapat dalam jangka panjang. Dengan memperhatikan informasi-informasi yang ada di atas, maka kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh petani tepi hutan untuk dapat menjalankan pertanian konservasi dengan baik meliputi:
Kemampuan dalam Pengelolaan Lahan Sinukaban (1989:33) menyatakan bahwa kemampuan teknis di bidang konservasi sangat diperlukan oleh petani tepi hutan, karena kondisi tanah yang yang dikelola berada di kemiringan. Hal ini menuntut adanya kemampuan penerapan metoda
96 vegetatif. Tujuan dari penerapan metode vegetatif adalah untuk : 1) melindungi tanah terhadap daya perusak butir-butir hujan, 2) mengurangi kecepatan dan energi aliran permukaan serta melindungi tanah terhadap daya perusak air di atas permukaan tanah, 3) menaikkan kapasitas infiltrasi tanah dan absorpsi aliran permukaan. Sedangkan menurut Arsyad (1989:118) menyatakan metode mekanik dalam konservasi tanah berfungsi: 1) memperlambat aliran permukaan, 2) menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak, 3) memperbaiki atau memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah dan memperbaiki aerasi tanah, dan 4) penyediaan air bagi tanaman. Lebih lanjut Arsyad (1989:119) menyatakan bahwa yang termasuk dalam metoda mekanik adalah: 1) pengelolaan tanah (tillage), 2) pengelolaan tanah menurut kontur (contur cultivation), 3) guludan bersaluran menurut kontur, 4) teras (bangku, tangga), 5) dam penghambat (check dam), waduk, rorak, tanggul, dan 6) perbaikan drainase dan irigasi. Dengan demikian pengelolan lahan dengan menerapkan prinsip konservasi, dapat menjaga kesuburan lahan secara baik dengan memberikan porsi yang tepat pada tanah untuk melakukan pemulihan kesuburan.
Kemampuan dalam Menentukan Rotasi Tanaman Kemampuan dalam menentukan rotasi sangat terkait dengan pengetahuan tentang pengelolaan lahan. Kemampuan petani dalam hal menentukan rotasi berkaitan dengan pengetahuan tentang konservasi tanah dan rotasi tanaman di tepi hutan sangat tepat dikelola dengan teknologi agroforestri (Soepijanto, 2002:20) Petani dengan melakukan rotasi tanaman, maka keuntungan yang didapat antara lain adalah terjaganya unsur-unsur hara yang dapat saling memberikan dukungan kepada jenis tanaman yang diupayakan, termasuk didalamnya dengan sistem bero. Menurut
97 Dede, (1995:42-44) berdasarkan hasil penelitian pola tanam petani di lahan kering adalah sebagai berikut : Pola tanam menurut BALITAN Bogor, a)
Jagung unggul/ kacang hijau/ ubi kayu – kacang hijau
b)
Jagung unggul/ kacang tanah gajah/ ubi kayu – kacang hijau
c)
Jagung unggul/ kacang hijau/ ubi kayu – kacang tunggak
d)
Padi unggul/ kacang tanah gajah/ ubu kayu – kacang hijau
e)
Jagung/ kacang kedelai/ ubi kayu.
Pola tanam Inovasi f)
Jagung lokal/ kacang tanah/ ubi kayu/ kacang hijau.
g)
Jagung/ kacang hijau/ ubi kayu/ kacang
h)
Jagung / kacang hijau/ ubi kayu.
Pola tanam Petani lokal NTT i)
Jagung lokal/ kacang panjang/ kacang gede/ labu
j)
Padi lokal/ jagung lokal/ ubi kayu
k)
Padi lokal sawah tadah hujan
l)
Padi unggul sawah tadah hujan. Dengan demikian kemampuan dalam melakukan rotasi sangat menentukan hasil
usahataninya. Kemampuan melakukan rotasi sangat relatif, karena setiap lahan memiliki karakertistik sendiri, dan tindakan rotasi tanaman bertujuan supaya terjaga kelestarian lahan dan usahanya.
98 Kemampuan dalam Meningkatkan Kesuburan Tanah Kesuburan tanah dapat terjaga dengan baik bila dilakukan beberapa tahapan seperti: dialukan rotasi tanaman, pemberian pupuk kimia yang tepat dosis, dan pemberian pupuk kandang, dilakukan pembuatan rorak, sehingga akan terjaga tersedianya bahan organik, dan dilakukan penggemburan. Selain itu sistem pengairan yang tepat dapat memberikan meningkatkan kesuburan tanah, karena terjaganya mekanisme kehidupan biota di bawah tanah, akan mempengaruhi kesuburan lahan pertanian. Dengan demikian kemampuan meningkatkan kesuburan lahan dapat dilakukan secara mekanik, vegetatif, dan kimia.
Kemampuan dalam Menerapkan Teknik Konservasi Kemampuan menerapkan tindakan konservasi terkait dengan pengetahuan kondisi dan sifat lahan. Aziz (1995:18) memberikan acuan pengolahan lahan pada kemiringan lahan, yang dapat dijadikan acuan tindakan pengelolaan lahan adalah sebagai berikut: a) untuk kondisi lahan dengan kemiringan 2 %, maka tindakan yang perlu dilakukan adalah pemberian sisa–sisa tanaman sebagai mulsa, b) untuk lahan kemiringan 2 % - 8 %, maka tindakan yang perlu dilakukan adalah penanaman menurut kontur dan/ atau teras guludan. c) untuk kemiringan lahan 8,1% - 15% maka tindakan yang perlu adalah pembuatan teras guludan dan disertai tanaman penguat, d) untuk kemiringan lahan 15,1% - 19% maka tindakan yang perlu adalah penanaman dalam strip dengan pola tanam terpadu (rumput, tanaman pangan, dan tanaman tahunan), e) untuk kemiringan lahan 15 % keatas maka tindakan yang perlu adalah pembuatan teras bangku atau teras guludan dengan saluran pembuangan air yang baik.
99 Kemampuan Memilih Teras Berdasarkan Kontur Salah satu tantangan dan sekaligus ciri dari lahan pertanian di dataran tinggi atau sekitar kawasan hutan yaitu berlereng, hal ini sesuai dengan karakteristik dan topografi pegunungan. Petani dalam mengelola dituntut untuk dapat menerapkan pola konservasi sehingga lahan usahataninya relatif aman dikelola dan dapat menghasilkan. Salah satu upaya konservasi pada lahan miring yang murah, yaitu dengan memberikan tanamtanaman yang berakar serabut seperti jenis bambu-bambuan, atau tanaman keras lainnya yang umumnya memiliki sifat akar yang masuk kedalam, sehingga mampu menjadi penahan erosi. Menurut Sinukaban, (1989:55) pembuatan kontur dan guludan dapat menurunkan erosi sebanyak 50 % pada kemiringan yang sedang. Jenis tanaman dan kerapatan sangat dapat menjadikan ganti pembangunan teras yang memakan dana dan tenaga banyak. Dengan demikian sisi kemiringan lahan sebaiknya tetap menjadi pertimbangan petani dalam pengelolaan usahataninya.
Kemampuan dalam Menentukan Penanaman Strip Menurut Kontur Penanaman dalam strip (strip cropping) menekankan pada
sistem bercocok
tanam dimana beberapa jenis tanaman di tanam dalam strip-strip yang selang seling dengan mengikuti aliran air permukaan. Sinukaban (1986:36) menyatakan bahwa penanaman dalam strip dalam kontur mengikuti kaedah rotasi tanam juga. Pedoman pertama pembuatan strip tidak mengikat karena dapat dimulai dari atas, tengah ataupun dari bawah, maksimum penyimpangan 30 sampai 60 cm di atas atau dibawah garis kontur yang sebenarnya.
100 Dengan demikian kemampuan menentukan penanaman strip akan berpengaruh terhadap adanya ancaman erosi, karena jenis tanaman, karakteristik lahan, dan kemiringan menjadi pertimbangan utama untuk mengelola tanaman dalam strip.
Kemampuan dalam Menentukan Saluran Pembuangan Air Pembuatan saluran air, dalam pertanian konservasi, bila tidak diperhatikan dengan baik, maka dapat menjadi penyebab rusaknya teras yang telah dibangun. Sifat air yang selalu mencari tempat yang lebih rendah dan membawa bagian yang ringan dan mudah hanyut (run off) dapat mengakibatkan hilangnya humus yang berakibat berkurangnya kesuburan tanah. Hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan saluran air, adalah luas areal terbuka untuk penampungan dan arah air, sehingga laju air dapat dikontrol atau dikendalikan sehingga dapat mencegah timbulnya erosi. Sinukaban (1989:56) menyatakan teknik konservasi tanah yang baik yaitu dengan membuat saluran pembuangan air berumput. Alasan diupayakannya saluran berumput adalah untuk mengurangi potensi larutnya lapisan tanah bagian atas (run off) Dengan demikian kemampuan menentukan saluran air menjadi bagian yang penting dalam memelihara teras dan guludan atau hal yang cukup penting dalam mengelola pertanian konservasi di dataran tinggi.
Kemampuan dalam Menentukan Perubahan Penggunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan dapat menjadi kemampuan petani yang mendorong suksesnya kelestarian dan pertanian konservasi, karena lahan memiliki keterbatasan dalam berbagai hal untuk mendukung produksi secara terus-menerus.
101 Brinkenmen dan Symeth (1973), FAO (1976) dalam Sitorus (1989:51) memberikan contoh bahwa pertimbangan untuk menentukan perubahan lahan antara lain dengan memperhatikan : a) kualitas dan ketersediaan air b) ketersediaan oksigen bagi pertumbuhan akar, c) daya memegang hara, d) salinitas atau alkalinitas, e) ketahanan erosi, f) mudah tidaknya tanah diolah, g) hama dan penyakit yang berhubungan dengan tanah, h) adanya bahaya banjir atau penggenangan, i) perubahan temperatur, j) kelembaban udara, dan k) ketersediaan unsur hara. Dengan memperhatikan unsur-unsur di atas, maka kemampuan menentukan lahan untuk usahatani akan lebih baik sehingga akan mendukung dalam pencapaian produksi yang optimal, demikian juga sebaliknya bila banyak kriteria yang tidak terpenuhi, maka perubahan penggunaan lahan hendaknya cepat dilakukan untuk mengurangi rusaknya lahan dan tidak efisiensinya berusahatani. Dengan mendasarkan pada permasalahan dan informasi-informasi dari tinjauan pustaka yang ada, maka gambaran pola hubungan peubah bebas dan tak bebas dalam dapat dilihat sebagai hubungan korelasional antar peubah yang ada pada karakteristik demografi petani tepi hutan yang selanjutnya dapat dinyatakan sebagai antasenden (X), yang kemudian dihubungkan dengan kompetensi melestarikan hutan lindung yang meliputi aspek teknis, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya, sebagai kunsekuen Y1 dan pendapatan sebagai Y2.
102
Teknis Y1.1
Karakteristik Demografi Petani Tepi Hutan (X)
Kompetensi Melestarikan (Y1)
Sosek Y1.2
Pendapatan
( Y2) Sosbud Y1.3 Konservasi Y1.4
X1 = Suku X2 = Pendidikan Formal X3 = Pendidikan Non Formal X4 = Luas Lahan Garapan X5 = Status Lahan Garapan X6 = Kekosmopolitan X7 = Pendapatan di keluarkan dari model pada uji lanjut X8 = Jumlah Keluarga X9 = Pengalaman Berusahatani X10 = Umur X11 = Lama Tinggal Didesa X12 = Motivasi Melestarikan X13 = Kontak dengan Penyuluh Gambar 2. Garis Besar Hubungan X dan Y
KERANGKA PIKIR Kompetensi adalah sejumlah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang, untuk dapat berperilaku secara cerdas dalam rangka melaksanakan atau menghasilkan sesuatu untuk menjawab masalah yang dihadapi. Unsur dari kompetensi yaitu pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Prinisp kekuatan dari ketiga unsur tersebut dapat eksis secara bersama sama atau salah satu, dan keberadaan kompetensi di tiap ranah sangat tergantung dari tujuan. Seperti peningkatan kompetensi petani tepi hutan, yang ideal adalah terdapatnya kemampuan yang setara dan searah diketiga ranah terhadap satu aspek.
103 Peningkatan kompetensi melestarikan hutan, tidak akan terlepas dari upaya ekonomi keluarga petani, karena salah satu alasan yang mendasar dari petani membuka lahan di hutan lindung adalah karena petani membutuhkan lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar manusia (butsarman). Kebutuhan lahan untuk dikelola, akan berkaitan dengan kompetensi pengelolaan dan kompetensi pengelolaan berkaitan dengan kompetensi di bidang teknis kehutanan dan teknis konservasi tanah dan air. Sedangan tujuan pengelolaan lahan adalah untuk menjawab kebutuhan hidup melalui peningkatan pendapatan. Petani tepi hutan dalam menglola lahannya tidak terlepas dari kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga pendapatan dijadikan peubah yang mengantarkan pada sejumlah peubah lainnya dalam suatu sistematika logis yang saling berkaitan pada karakteristik demografi. Adapun karakteristik demografi yaitu: 1) suku, 2) pendidikan formal, 3) pendidikan non formal, 4) pengalaman berusaha, 5) luas kepemilikan lahan, 6) status kepemilikan lahan, 7) tingkat kekosmpolitan, 8) jumlah anggota keluarga, 9) umur, 10) lama tinggal didesa, 11) motivasi melestarikan, dan 12) kontak dengan penyuluh lapangan (PPL). Sedangkan peubah tak bebas pertama yaitu berupa kompetensi melestarikan yang terdiri atas kompetensi di bidang teknis pengelolaan hutan, kompetensi sosial ekonomi, dan kompetensi sosial budaya. Peubah tak bebas kedua adalah kompetensi di bidang pertanian konservasi. Untuk meningkatkan kemampuan perilaku melestarikan perlu diberdayakan melalui proses peningkatan kapasitas melestarikan yang terdiri atas duabelas bidang kompetensi. Keduabelas bidang kompetensi tersebut terdiri atas tiga kompetensi di
104 bidang teknis kehutanan yaitu: 1) kompetensi teknis pembibitan tanaman keras, 2) kompetensi taknis penanaman tanaman keras, dan 3) kompetensi teknis pemeliharaan tanaman keras. Tiga kompetensi teknis di bidang sosial ekonomi yaitu:1) kompetensi di bidang perencanaan usaha tani tepi hutan, 2) kompetensi di bidang pengelolaan usaha tani tepi hutan, dan 3) kompetensi di bidang pengawasan usaha tani tepi hutan. Tiga kompetensi teknis di bidang sosial budaya yaitu: 1) kompetensi di bidang pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 2) kompetensi di bidang pengembangan kearifan lokal petani tepi hutan, dan 3) kompetensi dalam menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian. Tiga kompetensi taknis di bidang pertanian konservasi yaitu: 1) kompetensi di bidang
perencanaan pertanian konservasi, 2) kompetensi di bidang
pertanian konservasi, dan 3) kompetensi di bidang
pengelolaan
keamanan dalam pertanian
konservasi. Untuk meningkatkan kompetensi melestarikan hutan, maka perlu adanya upaya penguatan kapasitas melestarikan kepada petani tepi hutan secara intensif, demikian halnya perlu ditingkatkan lagi kemampuan para penyuluh guna memahami lebih baik ke duabelas kompetensi dalam pelestarian hutan lindung. Dengan meningkatkan pembinaan kepada petani tepi hutan dan penyuluh kehutanan – perkebunan diharapkan akan meningkat pula derajat kompetensi petani dalam melestarikan hutan lindung, yang akan diikuti dengan peningkatan kemampuan dalam ekonomi keluarga. Kompetensi teknis kehutanan diharapkan mampu mengarahkan perilaku petani tepi hutan dalam mengembalikan lingkungan fisik hutan menjadi lebih
105 baik. Kemampuan tersebut diadasarkan atas mampu dalam pengadaan bibit tanaman keras, mampu dalam penanaman dari lokasi semai ke lokasi tumbuh di hutan, demikian pula pada kemampuan pemeliharaan tanaman keras hingga berproduksi. Kompetensi di bidang sosial ekonomi diharapkan petani mampu merencanakan usaha taninya dengan baik sehingga hasil usaha tani tepi hutan yang bercirikan usaha tani di lahan kering mampu menopang ekonomi keluarga. Kemampuan yang diharapkan dalam bidang kompetensi sosial ekonomi adalah mampu dalam perencanaan, mampu dalam pengelolaan dan mampu dalam pengawasan usaha tani tepi hutan. Ketiga aspek tersebut merupakan aspek dasar dalam unit pengelolaan usaha tani. Kompetensi di bidang
sosial budaya merupakan kemampuan yang perlu
dibangun secara khusus, karena sebagian besar petani tepi hutan berasal dari kebiasaan mengelola lahan basah dan tidak memiliki kemiringan yang curam. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan dalam pengembangan modal sosial petani tepi hutan yang mengarah pada kesesuaian pola usaha tani lahan kering, dan untuk menjaga kelestarian maka diperlukan kemampuan dalam pengembangan kearifan lokal. Contoh ketika petani tidak menerapkan penyiangan terhadap gulma, melainkan menggunakan pestisida (Rondap) sehingga akan berakibat berkurangnya keanekaragaman hayati yang mampu membantu mengembalikan secara alami.
Hal ini diperlukan untuk menjaga dan
meningkatkan kelestarian sesuai dengan nilai budayanya. Kompetensi di bidang teknis konservasi diperlukan oleh petani tepi hutan, agar dalam mengelola lahannya, petani tepi hutan dapat menjaga kesuburan lahannya, menjaga dari kelongsoran, sehingga usaha taninya dapat dilakukan dengan benar dan dapat menjaga kelestarian olah lahannya dan usaha taninya. Oleh karena itu petani tepi
106 hutan diharapkan memiliki sejumlah kemampuan dalam pengelolaan tanah dan air secara benar, mengingat lahan yang dikelola petani merupakan hutan lindung yang memiliki kemiringan dan fungsi hidrologis. Berikut disajikan kerangka pikir yang menggambarkan hubungan antar peubah bebas yang berupa karaktertistik demografi dengan kompetensi melestarikan dan dikaitkan pula dengan pendapatan. Ada dua paradigma yang berbeda dalam dimensi waktu khususnya pada orientasi, yakni pada kelestarian dimenasi waktunya untuk jangka panjang, oleh karena itu perlu disusun strategi komprehensif di bidang ekonomi keluarga dan pengeturan jangka panjang tentang lingkungan. Oleh karena itu pembangunan di bidang kehutanan tidak diarahkan pada motif ekonomi karena sifat dari ekonomi yaitu kebutuhan yang tak terbatas, sedangkan sifat SDA terbatas. Berikut disampikan gambar kerangka pikir.
Meningkatkan Kualitas Kehidupan Bangsa di Masa Depan Meningkatkan kualitas Hutan Lindung menjadi lebih baik
KARAKTERISTIK DEMOGRAFI
Status Lahan X6 Lama Tinggal di Desa X 11
Luas Lahan X5
Jumlah Anggota Keluarga X9
Motivasi X12 Melestarikan
Pendidikan Non Formal X3
Umur X10
Pendidikan Formal X2
Peningkatan Kesejahteraan – ekonomi keluarga Petani Pembangunan Kualitas SDM Petani Tepi Hutan
Kompetensi Melestarikan (Y1)
Tingkat X8 Kekosmopolitan
Suku X1
107
- TEKNIS - SOSEK - SOSBUD - KONSERVASI
Pengalaman Berusaha X4
Kontak dengan PPL X 13
Gambar 3 BAGAN KERANGKA PIKIR
Pendapatan (Y2)
METODE PENELITIAN Populasi Populasi adalah petani sebagai kepala keluarga yang berusaha taninya melakukan pengelolaan sumberdaya hutan, dan bertempat tinggal di tepi hutan serta memiliki interaksi terhadap keberadaan hutan lindung yang tinggi.
Tabel 7. Populasi Petani Tepi Hutan Jumlah Desa Sekitar Jumlah KK Hutan Penddk (Jiwa) 46.691 11.761 1. Tribudisukur 2. Bodong 3. Simpangsari
Jumlah KK
Kabupaten
Kecamatan dan Register
Lampung Barat (6 Kecamatan)
1. Sumber Jaya (28 Desa) Register 45 (Bukit Rigis)
Lampung Selatan (20 Kecamatan)
2. Gedong tataan (36 Desa) Register 19 (Gunung Betung)
74.129
17.173 4. Bangunrejo 5. Bogorejo 6.Sungai Langka
1.342 1.143 2.261
Lampung Tengah (22 Kecamatan)
3. Kalirejo (22 desa) Register 22 (Way Waya)
56.648
12.893 7.Sendang Mukti 8. Sendang Asih 9. Sendang Sari
1.213 1.026 916
Lampung Timur (23 Kecamatan)
4. Sekampung Udik (14 desa) Register 38 (Gunung Balak)
63.879
15.859 10 Siderejo 11. Brawijaya 12 Buah Gunung Sari
1.504 1.293 1.357
4 Kabupaten
4 Kecamatan 4 Register
361.839
57.686
12 Desa
1.166 838 1.029
15.504
Sumber: Lampung Dalam Angka 2003 Kabupaten dalam Angka 2002 Kecamatan Dalam Angka 2002 Statistik Kehutanan 2003 Data dan Informasi Kawasan Hutan Prov. Lampung 1999
Provinsi Lampung, memiliki 8 kabupaten dan 2 kota, yaitu: Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Tengah, Lampung Utara, Tanggamus, Tulang Bawang, Lampung Tumur, Lampung Barat, dan Way Kanan, sedangkan 2 kota yaitu Kota Bandar Lampung
108 dan Kota Metro. Adapun jumlah populasi petani tepi hutan pada 4 kecamatan adalah 57.686 KK (kepala keluarga). Sedangkan populasi berdasarkan desa sampel 15.504.KK
Sampel Sampel yaitu responden yang terpilih dari populasi, dan teknik pengambilan sampel dengan multistage stratified random sampling, yaitu dimulai dari penentuan kabupaten, wilayah hutan (dalam register), kecamatan, desa, dan petani sebagai kepala keluarga. Besarnya sampel menggunakan rumus Slovin, (Umar, 2004: 108).
n =
N _________ 1+Ne2
Keterangan : n = besarnya sampel N = besarnya populasi e = batas error ( 5 % )
Diketahui bahwa jumlah kepala keluarga petani tepi hutan di 4 kecamatan adalah 57.686 KK, (data diolah, 2005), dengan menggunakan rumus Slovin, maka jumlah minimal sampel yang harus diambil pada tingkat kesalahan 5 % adalah sebagai berikut, Sampel diambil dari data populasi 4 kecamatan
57.686 = 397,2454 ≈ 397 sampel.
n = 1 + 57.696 (0,05) 2
Dan bila menggunakan data jumlah KK sampel adalah 15.504 KK, maka perhitungannya dengan rumus Slovin adalah: 15.504 = 389,9396 ≈ 390 sampel.
n = 1 + 15.504 (0,05)
2
109
Dengan demikian ditentukan batas minimumnya adalah
390 sampel yang
kemudian ditetapkan 400 sampel. Untuk menentukan besarnya sampel tiap lokasi (subpopulasi) menggunakan ‘sample frame’, yang mendasarkan pada jumlah sampel dengan memperhatikan jumlah populasi sampel, maka rumusnya: fi = Ni N Keterangan: N = Populasi seluruhnya Ni = Subpopulasi. Tabel 8. Perincian Sampel Petani Tepi Hutan Kabupaten
Kecamatan / Wilayah Hutan
Lampung Barat (6 Kecamatan)
1. Sumber Jaya (28 Desa) Register 45 (Bukit Rigis) 2. Gedong tataan (36 Desa) Register 19 (Gunung Betung) 3. Kalirejo (22 desa) Register 22 (Way Waya) 4. Sekampung Udik (14 desa) Register 38 (Gunung Balak)
Lampung Selatan (20 Kecamatan) Lampung Tengah (22 Kecamatan) Lampung Timur (23 Kecamatan) 4 Kabupaten
4 Kecamatan 4 Register
Nilai f dan jlh sampel Kecamatan 0.2038x400= 82
Desa Sekitar Hutan 1. Tribudisukur 2. Bodong 3. Simpangsari
Nilai f dan Jumlah Sampel Desa 0.3844x82= 32 0.2762x82= 23 0.3392x82= 27
0.2976x400= 119
4. Bangunrejo 5. Bogorejo 6. Sungai Langka
0.3109x119= 37 0.3361x119= 40 0.3529x119= 42
0.2235x400= 89
7. Sendang Mukti 8. Sendang Asih 9. Sendang Sari
0.3033x89= 27 0.3595x89= 32 0.3370x89= 30
0.2749x400= 110
10 Siderejo 11. Brawijaya 12 Buah Gunung Sari
0.3628x110= 40 0.3119x110= 34 0.3273x110= 36
Jumlah = 400 KK
12 Desa
Jumlah = 400 KK
Sumber: Lampung Dalam Angka 2003 Kabupaten dalam Angka 2002 ( 4 Kabupaten) Kecamatan Dalam Angka 2002 Statitik Kehutanan 2003 Data dan Informasi Kawasan Hutan Prov. Lampung 1999
110 Rancangan Model Rancangan model yaitu survey deskriptif dengan pengujian model teoritik dilakukan dengan cara menganalisis hubungan pengaruh antar peubah di dalam model, melalui pengujian statistik non parametrik (Uji Konkordasi Kendall W) , dan uji parametrik (uji analisis jalur atau Path Analisis, dan analisis “konfirmatory” atau Structural Equations Model - SEM). Pada tahap awal model deskriptif korelasional, mendeskripsikan peubah-peubah yang diamati pada peubah bebas yakni karakteristik demografi petani. tepi hutan dengan Y1 peubah terikat berupa kompetensi melestarikan hutan lindung dan Y2 berupa pendapatan, dan bentuk persaman regresi bergandanya adalah sebagai berikut: F (y) = β0 + β1X 1+ β2X2 + β3X3 +....β13X 13 + € F(y)=[Teknis Kehutanan], [Sosial Ekonomi], [Sosial Budaya], [Teknis Konservasi] Keteranngan: F(y) X 1-13
= Kompetensi Melestarikan = Karakteristik Petani
Data dan Instrumentasi Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Data primer yang akan dikumpulkan meliputi: 1. Karakteristik petani tepi hutan adalah orang yang secara demografis bertempat tinggal di tepi kawasan hutan lindung, dan diduga berhubungan dengan kompetensi pelestarian hutan dan pertanian konservasi. Adapun ciri–ciri petani tepi hutan yang melekat pada diri individu yaitu: suku, pendidikan, pengalaman berusaha, luas lahan garapan, status lahan, pendapatan keluarga, kekosmopolitan, jumlah anggota keluarga.
111 (1) Suku, termasuk skala nominal. Suku adalah golongan etnis, atau kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan sosial lainnya berdasarkan kesadaran dan identitas perbedaan kebudayan, khususnya bahasa. Suku responden dalam hal suku dinyatakan dalam 1) Suku Jawa , 2) Suku Sunda, dan 3) yang lain. (2) Pendidikan formal, termasuk dalam skala rasio. Pendidikan adalah proses belajar formal yang ditempuh responden, yang dinyatakan dalam jumlah tahun sekolah yang dinyatakan berupa sekolah: 1) SD, 2) SMP, 3) SMA dan Perguruan Tinggi, dalam hal ini terbagi tiga kategori : 1) rendah , 2) sedang, dan 3) tinggi. (3) Pendidikan non formal termasuk dalam skala rasio. Pendidikan non formal adalah proses belajar yang pernah diikuti dapat berupa kursus, magang, pelatihan maupun sekolah lapang. Pendidikan non formal berupa pelatihan kehutanan dan pertanian konservasi dan dikategorikan: 1) rendah, 2) sedang, dan 3) tinggi. (4) Pengalaman berusaha, termasuk dalam skala rasio, pengalaman berusaha adalah lamanya petani (jumlah tahun) dalam pengelolaan lahan kering - mengelolah lahan dikawasan hutan, dan diklasifikasikan menjadi 1) rendah, 2) sedang dan 3) tinggi. (5) Luas lahan garapan, adalah luas lahan (dalam ha) yang digunakan oleh petani tepi hutan untuk memenuhi kebutuhannya. Data diukur dalam skala rasio. Luas lahan garapan diklasifikasikan menjadi : 1) sempit, 2) sedang dan 3) luas. (6) Status penguasaan lahan, yaitu status kepemilikan lahan yang digunakan – dikelola petani tepi hutan. Data diukur dalam skala nominal dan pengukurannya dikategorikan 1) milik sendiri, 2) sewa-bagi hasil, 3) tanah negara. (7) Pendapatan keluarga adalah besarnya tingkat kosumsi responden dalam satu bulan baik yang bersumber dari usahatani di dalam kawasan maupun di luar kawasan
112 hutan, dihitung dalam satuan rupiah per bulan. Data diukur dalam skala rasio dengan klasifikasi 1) rendah, 2) sedang, dan 3) tinggi. (8) Kekosmopolitan, yaitu keterbukaan petani tepi hutan terhadap informasi dalam pelestarian hutan dan pertanian konservasi dengan berbagai sumber informasi yang baru (=diffusion). Dalam hal ini, skala yang digunakan adalah rasio dengan klasifikasi 1) rendah, 2) sedang, dan 3) tinggi. (9) Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya jiwa yang adalam sutau keluarga, dan menjadi beban tanggungan petani. Skala yang digunakan adalah skala rasio dengn klasifikasi 1) keluarga kecil, 2) keluarga sedang dan 3) keluarga besar. (10) Umur, termasuk dalam data skala rasio. Umur adalah usai petani yang dihitung sejak lahir sampai keulangtahunan terdekat saat menjadi responden. Umur diklasifikasikan menjadi:1) muda, 2) sedang dan 3) tua. (11) Lama Tinggal di Desa adalah lamanya petani tinggal didesa sejak kedatangan atau lahir hingga tahun terdekat ketika menjadi responden, dan skala yang digunakan adalah skala ordinal. Lama tinggal di desa diklasifikasi menjadi penduduk: 1) baru, 2) sedang dan 3) lama. (12) Motivasi adalah motivasi belajar, yaitu dorongan yang timbul dari dalam diri petani tepi hutan untuk meningkatkan kompetensinya dalam melestarikan hutan. Skala yang digunakan adalah skala rasio, yang diklasifikasi menjadi motivasi 1) rendah, 2) sedang, dan 3) tinggi. (13) Kontak dengan penyuluh adalah frekuensi petani berhubungan dengan penyuluh dalam bentuk pertemuan dan skala yang digunakan adalah rasio. Kontak penyuluh di klasifikasikan menjadi 1) rendah, 2) sedang dan 3) tinggi.
113 II. Kompetensi Melestarikan Hutan, ialah kemampuan yang dimiliki petani tepi hutan berupa sejumlah potensi untuk melestarikan hutan pada ranah pengetahuan, sikap dan ketrampilan. (1)
Pengetahuan petani sebagai pelestari hutan meliputi pengetahuan dalam hal teknis
melestarikan, yang terdiri dari delapan indikator kompetensi yaitu: 1) Kemampuan dalam pembibitan tanaman keras, 2) Kemampuan dalam membuat bibit tanaman keras, 3) Kemampuan dalam menyimpan benih, 4) Kemapuan dalam penenaman benih, 5) Kemampuan dalam hal pemilihan kualitas benih dan pemeliharaan
6) Kemampuan
dalam mengenal hama penyakit, 7) Kemampuan dalam hal pengendalian hama penyakit, 8) Kemampuan dalam menentukan pola tanam. Pengetahuan dalam hal sosial ekonomi, meliputi: 1) Kemampuan dalam merencanakan biaya produksi, 2) Kemampuan dalam memutuskan pengelolaan, 3) Kemampuan dalam memilih waktu jaul, (4) Kemampuan dalam menjual hasil usahatani, 5) Kemampuan dalam memilih teknik menjual, 6) Kemampuan dalam menggunakan teknologi yang efisien, 7) Kemampuan dalam menjaga kelestarian usahataninya, 8) Kemampuan dalam mengelola tenagakerja. Pengetahuan dalam hal sosial budaya, yang meliputi: 1) Kemampuan mempersepsikan kelestarian, 2) Kemampuan dalam hal berinteraksi, 3) Kemampuan dalam hal berpartisipasi,
4)
Kemampuan dalam menghadapi resiko, 5) Kemampuan dalam mempertahankan sistem nilai adat, 6) Kemampuan dalam menggali pengetahuan lokal, 7) Kemampuan dalam melakukan adopsi, 8) Kemampuan dalam menjaga keamanan dan kelestarian hutan dan pengetahuan dalam hal pertanian konservasi meliputi: 1) Kemampuan dalam mengelola lahan, 2) Kemampuan dalam menentukan rotasi tanaman, 3) Kemampuan dalam menjaga kesuburan tanah, 4) Kemampuan dalam melakukan tindakan konservasi, 5) Kemampuan
114 dalam menetapkan jenis teras berdasarkan kontur, 6) Kemampuan dalam memilih jenis tanaman penahan erosi, 7) Kemampuan dalam mengelola air (drainase) dan 8) Kemampuan menentukan perubahan penggunaan lahan. Kategori yang digunakan dalam hal mengukur pengetahuan adalah, bila jawaban betul lebih dari 75 % = sangat tinggi, bila jawaban betul antara 65 % - 75 % = tinggi, bila jawaban betul antara 50 % - 64 % = sedang, dan bila kurang dari 50 % = kurang, (2)
Sikap petani sebagai pelestari, yaitu sikap petani tepi hutan sebagai pengelola
dalam hal teknis, sosial ekonomi, sosial budaya, dan pertanian konservasi, dengan indikator: 1) Orientasi pada lingkungan, 2) Orientasi masa depan, 3) Pekerja keras, 4) Kreatif. Pengukuran dikategorikan menjadi 1 = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = setuju, 4 = sangat setuju. (3)
Ketrampilan petani sebagai pelestari hutan meliputi pengetahuan dalam hal teknis
melestarikan, yang terdiri dari delapan indikator kompetensi yaitu: 1) Trampil dalam pembibitan tanaman keras, 2) Trampil dalam membuat bibit tanaman keras, 3) Trampil dalam menyimpan benih, 4) Trampil dalam penenaman benih, 5) Trampil dalam hal pemilihan kualitas benih dan pemeliharaan 6) Trampil dalam mengenal hama penyakit, 7) Trampil dalam hal pengendalian hama penyakit, 8) Trampil dalam menentukan pola tanam. Pengetahuan dalam hal sosial ekonomi, meliputi: 1) Trampil dalam merencanakan biaya produksi, 2) Trampil dalam memutuskan pengelolaan, 3) Trampil dalam memilih waktu jaul, 4) Trampil dalam menjual hasil usahatani, 5) Trampil dalam memilih teknik menjual, 6) Trampil dalam menggunakan teknologi yang efisien, 7) Trampil dalam menjaga kelestarian usahataninya, 8) Kemampuan dalam mengelola tenagakerja. Pengetahuan dalam hal sosial budaya, yang meliputi: 1) Trampil
115 mempersepsikan kelestarian, 2) Trampil dalam hal berinteraksi, 3) Trampil dalam hal berpartisipasi, 4) Trampil dalam menghadapi resiko, 5) Trampil dalam mempertahankan sistem nilai adat, 6) Trampil dalam menggali pengetahuan lokal, 7) Trampil dalam melakukan adopsi, 8) Trampil dalam menjaga kemanan dan kelestarian dan pengetahuan dalam hal pertanian konservasi meliputi: 1) Trampil dalam mengelola lahan, 2) Trampil dalam menentukan rotasi tanaman, 3) Trampil dalam menjaga kesuburan tanah, 4) Trampil dalam melakukan tindakan konservasi, 5) Trampil dalam menetapkan jenis teras berdasarkan kontur, 6) Trampil dalam memilih jenis tanaman penahan erosi, 7) Trampil dalam mengelola air (drainase) dan 8) Trampil menentukan perubahan penggunaan lahan. Skor 4 = sangat trampil, skor 3 = trampil, skor 2 = tidak trampil, dan skor 1 = sangat tidak trampil.
Instrumentasi Instrumen atau alat ukur yang dipakai yaitu sebuah kuesioner yang berisi butirbutir pertanyaan yang mengukur peubah-peubah yang dikaji. Dari berbagai kajian informasi kepustakaan yang dilakukan, maka disusunlah sebuah instrumen yang terdiri dari 5 bagian, yaitu: 1) berisi identitas responden, 2) berisi peubah bebas 3) berisi peubah terikat, 4) mengukur sikap petani tepi hutan dalam melestarikan dan pertanian konservasi, 5) mengukur ketrampilan petani tepi hutan dalam melestarikan dan melakukan pertanian konservasi. Untuk mendapatkan instrumen yang valid, telah dilakukan telaah pustaka yang mendalam, pertama, mencari hasil penelitian yang sejenis yang pernah dilakukan oleh para peneliti pendahulu dan mencari publikasi jurnal, di perpustakaan CIFOR. LSI IPB, Perpustakaan Kehutanan IPB, Perpustakaan hasil-hasil penelitian bidang pertanian
116 Bogor, Perpustakaan Pertanian Jurusan Tanah IPB, Perpustakaan Badan Penelitian Tanah di Bogor. Tabel pembobotan pada jenjang skala yang digunakan dalam pengukuran:
Tabel 9. Model Pembobotan Bobot Positip Negatip 4 1 3 2 2 3 1 4
Pengetahuan Sangat Baik Baik Sedang Rendah
Unsur Kompetensi Sikap Ketrampilan Sangat Setuju Sangat Trampil Setuju Trampil Tidak Setuju Tidak Trampil Sangat Tidak Setuju Sangat Tidak Trampil
Kedua, penelusuran melalui internet, ketiga, konsultasi intensif pada Guru Besar Biometrika atau ahli dalam hal pengkuruan dari Fakultas Kehutanan IPB, konsultasi dengan Guru Besar ahli dalam bidang konservasi tanah dan air dari Fakultas Pertanian IPB serta konsultasi dengan ahli peneliti hutan lindung dari Departemen Kehutanan, LITBANG Kehutanan di Bogor. Selain itu juga mengikuti kursus Sertifikasi Pengelolaan Hutan yang Berbasis Masyarakat yang Lestari, (PHBML) diselenggarakan oleh LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia) pada tahun 2004 di Yogyakarta dan Workshop teknik produksi bibit tanaman bermikoriza di Lab. Bioteknologi IPB.
Keterandalan Kuesioner.
Keterandalan atau validitas menunjukkan sejauh mana alat
ukur yang digunakan dapat mengukur apa yang diukur. Ada beberapa cara untuk mengukur validitas (kesahihan), seperti validitas konten, validitas konkruen, atau prediktif, dan validitas konstruk (Black and Champion, 1999:195). Sedangkan menurut Kerlinger (2003:731) validitas terdiri dari validitas isi dan validitas konstruk, yang menekankan pada validitas muatan untuk mengetahui memadai tidaknya sampling yang terdapat dalam substansinya sebagai alat / instumen pengukur.
117 Tahap selanjutnya membuat butir-butir item calon kisi-kisi dalam bidang kehutanan dan pertanian konservasi. Uji validitas kisi-kisi dilakukan oleh para pakar pada bidangnya sebagai juri. Bidang kehutanan yang berjumlah lima orang yang terdiri dari dua guru besar dan tiga doktor, demikian halnya pada pertanian konservasi dilakukan uji pakar sebagai juri yang terdiri dari dua guru besar dan tiga doktor dalam bidang ilmu tanah, seperti yang tersaji dalam tabel halaman berikut:
Tabel 10. Para Juri Kelestarian dan Pertanian Konservasi No
Juri Kehutanan + Jabatan
1
Guru Besar Ilmu Manajemen Hutan dan Kepala Lab. Biometrika. dosen/peneliti Fak. Kehutanan IPB.
Juri Pertanian Konservasi + Jabatan Guru Besar Ilmu Tanah, bidang Konservasi Tanah dan Air, dosen/ peneliti Fak. Pertanian IPB
2
Guru Besar dan Kepala Lab. Politik, Ekonomi, dan Sosial fak. Kehutanan IPB
Guru Besar Biologi Tanah, - dosen/ Peneliti Fak. Pertanian Jurusan Tanah Univeritas Lampung
3
Ahli dalam bidang Agroforestry dosen/ Peneliti Fak. Kehutanan IPB
Ahli dalam bidang Fisika Tanah, dan ketua Lab. Fisika dan Konservasi Tanah -dosen/ peneliti Fak. Pertanian Jurusan Tanah Universitas Lampung.
4
Ahli dalam bidang Antropoligi Ekologi,dan Pengelola Harian Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Masyarakat (P3KM-IPB) dosen/ peneliti, Fak. Kehutanan IPB
Ahli dalam bidang DAS (Daerah Aliran Sungai) Pengelola program S1 – dosen/ peneliti, Fak. Pertanian IPB
5
Ahli dalam bidang Kebijakan – dosen/ peneliti Fak. Kehutanan .IPB
Ahli bidang Kimia Tanah, Sekretaris STORMA (Kerjasama Jerman - IPB) – dosen/ peneliti Fak. Pertanian IPB
6
Ahli dalam bidang silvikultur,- Ketua Departemen Menejemen Hutan, dosen/ peneliti Fak. Kehutanan IPB
118 Hasil uji dari kesepuluh pakar, dinyatakan bahwa dari 296 item yang diuji kepada para pakar, maka ada 6 butir item atau 10 % dari item pertanian konservasi yang dinyatakan salah atau 0,02 % dari keseluruhan item. sedangkan pada kelestarian hutan, semua pakar kehutanan menyatakan banar Memperhatikan item yang diujikan masih dipandang terlalu banyak maka dilakukan reduksi beberapa kali, pada tahap pertama menjadi 152 item, reduksi kedua menjadi 116 item, reduksi ketiga menjadi 91 item, reduksi keempat menjadi 85 item, reduksi kelima menjadi 76 item, dan dianggap cukup ideal. Langkah selanjutnya menjadi butir-butir item yang dinyatakan valid untuk bakal menjadi kuesioner. Tahap berikutnya adalah melakukan reduksi terhadap butir-butir yang dianggap paling tidak sesuai dengan topik, sekaligus mendapatkan benang merah penelitian. Hasil validitas yang telah diuji oleh para juri dari Fakultas Kehutanan dan Fakultas Pertanian Jurusan Tanah, kemudian dijadikan pedoman dalam pembuatan kuesioner atau pertanyaan. Daftar pertanyaan dibuat dalam bentuk pertanyaan tertutup dan terbuka. Selain itu dilakukan pula pembuatan check list untuk melihat dan mengobservasi kemampuan petani tepi hutan dalam hal ketrampilan melestarikan dan melakukan pertanian konservasi.
Realibilitas Kuesioner. Realibitas adalah suatu pengertian yang menguatkan bahwa suatu instrumen dapat dipercaya sebagai alat ukur untuk pengumpulan data. Tujuan dilakukan uji realibilitras adalah untuk mendapatkan: konsistensi, kemantapan/ stabilitas, keterpercayaan (dependability) prediktabilitas/ keteramalan dan ketelitian (accuracy) atau ketepatan – akurasi (Kerlinger, 2003:708-709).
119 Instrumen penelitian telah diujicobakan pada 40 petani tepi hutan dari dua Umbulan atau Desa Sumber Agung (Register 19) Provinsi Lampung. Uji realiabilitas menggunakan prosedur pada Uji Cronbach (Cronbach Alpha) dengan nilai korelasi minimal 0,75 Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: 2
α
v = ( __n___ ) (_ t n–1 v2 t
n ∑ v2 i i = 1)
Keterangan : α = koefisien realibilitas Cronbach Alpha. n = jumlah item v2i = varian setiap item, dari item 1 sampai n. v2 = varian dari skor total t Berdasarkan rumus di atas, dilakukan uji realibilitas terhadap kuesioner perilaku petani tepi hutan dalam melestarikan hutan lindung di Provinsi Lampung. Uji coba realibilitas dilakkan menurut prosedur Gronbach Alpha, dilakukan terhadap 44 petani tepi hutan di desa Sumber Agung Kabupaten Lampung Selatan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa koefisien realibilitas yang diperoleh pada ranah pengetahuan 94,73 % , pada ranah sikap sebesar 99,08 %, dan ranah ketrampilan sebesar 99,31 % . atau rata-rata dari ketiga ranah tersebut yang merupakan kompetensi dari perilaku yaitu sebesar 97,07 %. Realibilitas yang tinggi, selanjutnya digunakan untuk mengumpulkan data.
120 Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei – Oktober 2005, dan semua data primer, baik pokok maupun pendukung dikumpulkan melalui (1)
Penyampaian daftar pertanyaan tertutup yang diisi oleh responden;
(2)
Wawancara langsung, menggunakan panduan wawancara;
(3)
Focus group discussion (kelompok diskusi terarah);
Untuk mendapatkan data yang baik, maka dalam pengisian dilakukan pengawasan yang lebih cermat untuk menghindari tidak terisinya jawaban, di samping itu diasediakan pula tenaga enumerator yang berpengalaman guna mengawal proses secara baik. Data sekunder dikumpulkan dengan
pencermatan/ pemilihan informasi yang
ditindaklanjuti dengan wawancara dan pencatatan/ photocopy.
Analisis Data Data yang terkumpul diupayakan menggunakan skala tertinggi seperti skala interval atau skala rasio, walapun ada data-data yang tetap menggunakan skala ordinal karena tidak memungkinkan diubah ke jenjang yang lebih tinggi. Keunggulan skala tinggi adalah dalam uji statistik memungkinkan dioprasionalkan dalam model parametrik, dan bila akan turun/ ke bawah, tetap memenuhi syarat. Pada tahap awal, setelah didapatkan data dari lapangan, dan diolah, maka analisis yang digunakan untuk menjawab distribusi responden dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif, dengan memperhatikan frekuensi dan prosentasi tiap sub populasi. Pada tahap kedua dilakukan analisis guna mengungkapkan kompetensi petani dalam berperilaku melestarikan hutan lindung (Y1)
121 Pada tahap selanjutnya dilakukan uji parametrik pada peubah langsung dan peubah tidak langsung. Hal ini dilakukan karena peubah bebas berupa karakteristik petani hubungannya dengan peubah tak bebas berupa kompetensi melestarikan dan pendapatan (Y1 & Y2) memiliki peubah laten atau turunan sehingga untuk menguji korelasi X terhadap Y melalui sub.peubah yang ada. Model uji statistik ini relatif baik untuk melihat hubungan tidak langsung karena adanya peubah laten, adalah alat uji SEM (Structural Equations Model) atau analisis faktor konfirmatory. Alasan menggunakan SEM yaitu adanya “peubah laten”, yang tidak dapat diamati secara langsung, sehingga melalui peubah antara. Software aplikasi dari program ini SPSS Ver.11.5 untuk uji awal dan uji lanjut menggunkana program LISREL 8.50
122 HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Lokasi Penelitian
Secara geografis, Provinsi Lampung berada di ujung Selatan Pulau Sumatra dan sebagai pintu gerbang memasuki Pulau Sumatra dari Pulau Jawa. Provinsi Lampung memiliki luas
wilayah 3.301.784 hektar yang terdiri atas luas daratan dan laut.
Sedangkan luas kawasan hutan mencapai 1.004.735 hektar atau sekitar 30,43 % dari total luas luas wilayah Provinsi Lampung. Luas kawasan hutan lindung mencapai 317.615 hektar atau 31,61 % dari luas daratan dan sekitar 10 % dari luas keseluruhan wilayah Provinsi Lampung. Topografi Provinsi Lampung berbukit dari 0 – 800 m di atas permukaan laut (dpl) dan sebagian besar merupakan lahan kering. Sedangkan secara administrasi pemerintahan, Provinsi Lampung terdiri atas delapan kabupaten yaitu: 1) Kabupaten Lampung Selatan, 2) Kabupaten Lampung Tengah, 3) Kabupaten Lampung Utara, 4) Kabupaten Lampung Timur, 5) Kabupaten Lampung Barat, 6) Kabupaten Tanggamus, 7) Kabupaten Tulang Bawang, 8) Kabupaten Way Kanan dan dua kota yaitu Kota Bandar Lampung dan Kota Metro. Kawasan hutan di Lampung terbagi atas 52 register (wilayah – Belanda) dan kawasan hutan lindung ada 25 register di 6 kabupaten. Penelitian ini melingkupi 4 kabupaten, 4 register yang terdiri dari Kabupaten Lampung Tengah – Register 22 Way Waya seluas 9.623 hektar, Kabupaten Lampung Selatan – Register 19 Gunung Betung seluas 22.249 hektar, Kabupaten Lampung Barat – Register 45 B Bukit Rigis seluas 8.295 hektar, dan Kabupaten Lampung Timur – Register 38 Gunung Balak seluas 24.248 hektar. Gambaran kondisi hutan di Lampung dapat dinyatakan bahwa tingkat kerusakan
123 lingkungan di dalam dan luar kawasan hampir seperempatnya (23,43 %) dalam kondisi rusak. Berikut disajikan kondisi lahan kritis di tiap kabupaten.
Tabel 11. Profil Lahan Kritis di Provinsi Lampung Kabupaten
Luas Lahan Kritis Lahan Kritis Jumlah Tingkat Wilayah di Dalam di Luar Kerusakan (ha) Kawasan (ha) Kawasan (ha) (ha) (%) 318.083 24.226 52.473 76.663 24,10 478.981 22.580 22.566 45.146 9,43 272.563 13.960 6.740 20.700 7,59 495.040 74.086 148.086 222.172 44,80 378.484 148.913 159.398 309.311 81,38 392.163 17.530 7.830 25.360 6,47 335.661 60,672 19.937 80.609 24,02 3.498.478 375.467 444.074 819.541 23,43
Lampung Selatan Lampung Tengah Lampung Utara Lampung Barat Lampung Timur Way kanan Tanggamus Jumlah
Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Lampung (Subdin RRH tahun 2003-2004)
Sebaran Petani Tepi Hutan Berdasarkan Umur Umur yang dimaksud ialah usia petani tepi hutan yang dihitung sejak lahir sampai keulangtahuan terdekat ketika menjadi responden penelitian ini, diukur dalam jumlah tahun. Umur petani diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: (1) muda, (2) sedang dan (3) tua. Adapun kategori muda berkisar dari 19 tahun sampai dengan 35 tahun, kategori sedang berikisar dari umur 36 tahun sampai dengan 47 tahun dan kategori tua berkisar dari 48 tahun sampai dengan 75 tahun. Hasil penelitian sebaran berdasarkan umur:
Tabel 12. Sebaran Petani Berdasarkan Umur Kategori Muda Dewasa Tua Total Keterangan: Mean = 41 tahun
n 135 123 142 400 Min= 19 tahun
% 33,75 30,75 35,50 100 Max = 75 tahun
124
Tabel 12 menunjukkan sebaran responden petani tepi hutan berdasarkan umur, menginformasikan bahwa 33,75 % berumur muda, 30,75 % berumur sedang, dan 35,50 % berumur tua. Tabel tersebut mengungkapkan bahwa sebagian besar responden termasuk kategori tua.
Sebaran Petani Tepi Hutan Berdasarkan Lama Tinggal di Desa Lama tinggal di desa yang dimaksud ialah waktu lamanya tinggal petani tepi hutan yang dihitung sejak kedatangan atau lahir sampai keulangtahunan terdekat ketika menjadi responden diukur dalam jumlah tahun. Lama tinggal di desa petani diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: (1) baru, (2) sedang, dan (3) lama. Adapun kategori muda berkisar dari 3 tahun sampai dengan 25 tahun, kategori sedang berkisar dari umur 26 tahun sampai dengan 34 tahun dan kategori tua berkisar dari 35 tahun sampai dengan 71 tahun. Hasil penelitian tentang sebaran petani berdasarkan lama tinggal di desa dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 13. Sebaran Petani Berdasarkan Lama Tinggal di Desa Kategori Baru Sedang Lama Total Keterangan: Mean = 29 tahun
n 132 120 148 400 Min = 3 tahun
% 33,00 30,00 37,00 100 Max= 71 tahun
125 Tabel 13 menunjukkan sebaran responden petani tepi hutan berdasarkan lama tinggal di desa, menggambarkan bahwa 33 % merupakan petani pendatang baru yang tinggal di desa, 30 % kategori sedang, dan 37 % merupakan petani yang sudah lama tinggal di desa, sehingga responden termasuk kategori penduduk lama.
Sebaran Petani Tepi Hutan Berdasarkan Suku Suku yang dimaksud dalam penelitian ialah golongan etnis, atau kesatuan sosial yang dapat dibedakan dari kesatuan sosial lainnya berdasarkan kesadaran dan identitas perbedaan kebudayaan atau bahasanya, yang diidentifikasi menurut garis keturunan ayah (sistem budaya patrilineal).
Suku dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi tiga
yaitu: (1) Jawa, (2) Sunda dan (3) suku lainnya. Suku Jawa meliputi: Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa
Serang. Suku Sunda melingkupi wilayah Jawa Barat.
Sedangkan suku lainnya yaitu Suku Bali, Lampung, Semendo, dan Ogan Komring Ulu. Tabel 14 menunjukkan sebaran responden petani tepi hutan berdasarkan suku, mengungkapkan bahwa 71 % merupakan petani tepi hutan yang berasal dari Suku Jawa, 22 % kategori sedang berasal dari Suku Sunda , dan 7 % merupakan petani yang berasal selain dari kedua suku tersebut, seperti dari Suku: Semendo, Bali, Ogan Kemiring Ulu, Batak, dan Lampung.
Tabel 14. Sebaran Petani Berdasarkan Suku Kategori Jawa Sunda Yang Lain Total
n 284 88 28 400
% 71,00 22,00 7 100
Keterangan: Suku lainnya = Lampung, Semendo, Ogan Komring Ulu, dan Bali
126
Sebaran Petani Tepi Hutan Berdasarkan Pendidikan Formal Pendidikan formal yang dimaksud ialah pendidikan pada lembaga formal tertinggi yang telah diselesaikan sebelum menjadi petani. Pendidikan formal diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu: 1) rendah, 2) sedang, dan 3) tinggi. Adapun kategori rendah adalah tidak sekolah sampai dengan 4 tahun atau setara SD kelas 4, kategori sedang berkisar 5 tahun atau setara SD kelas 5 sampai dengan kelas 6, dan kategori tinggi berkisar 7 tahun sampai dengan 14 tahun atau setara SMP kelas 1 sampai perguruan tinggi program diploma. (lihat Tabel 15).
Tabel 15. Sebaran Petani Berdasarkan Pendidikan Fomal Kategori Rendah Sedang Tinggi Total Keterangan: Min = 0 tahun
n 108 167 125 400 Max = 12 tahun
% 27,00 41,75 31,25 100 Mean =
6 tahun
Tabel 15 memberikan informasi bahwa petani tepi hutan sebagai responden dalam penelitian ini sebanyak, 27 % berpendidikan rendah 41,75 % berpendidikan sedang dan 31,25 % berpendidikan tinggi.
Sebaran Petani Tepi Hutan Berdasarkan Pendidikan Non Formal Pendidikan non formal yang dimaksud ialah frekuensi pelatihan yang pernah diikuti dengan materi kehutanan atau pertanian konservasi pada lembaga formal atau non formal selama 12 bulan terakhir saat menjadi responden. Pendidikan non formal yang
127 identik dengan pelatihan kemudian diklasifikasikan menjadi tiga kategori: 1) rendah, 2) sedang, dan 3) tinggi. (lihat Tabel 16).
Tabel 16. Sebaran Petani Berdasarkan Pendidikan Non Formal Kategori Rendah Sedang Tinggi Total
n 268 115 17 400
Keterangan: Mean = 1 kali Min= 0 kali Max= 4 kali
% 67,00 28,75 4,25 100 Selama 12 bulan terakhir
Adapun kategori rendah adalah tidak pernah sampai satu kali, kategori sedang berkisar dua sampai tiga kali, dan kategori tinggi adalah 4 kali dalam setahun terakhir. Tabel 16 memberikan informasi bahwa pendidikan non formal petani tepi hutan sebagai responden dalam penelitian ini sebanyak, 67 % berpendidikan non formal rendah atau sebagian besar belum pernah mengikuti pelatihan apapun, 28,75 % berkategori sedang atau pernah mengikuti pelatihan 2 kali dalam setahun terakhir, dan 4,25 % berpendidikan non formal tinggi atau pernah mengikuti pelatihan.
Sebaran Petani Tepi Hutan Berdasarkan Motivasi Melestarikan Hutan Motivasi melestarikan hutan yang dimaksud ialah dorongan yang timbul dari dalam petani tepi hutan berupa alasan datang untuk menggarap lahan hutan. Motivasi melestarikan hutan diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu: 1) rendah, 2) sedang, dan 3) tinggi. Adapun kategori motivasi rendah adalah membuka lahan dan tidak pernah sampai satu kali melakukan pembibitan dan penanaman tanaman keras di hutan, kategori sedang menggarap lahan yang terlantar berkisar 2 sampai 3 kali melakukan pembibitan
128 dan penanaman, dan kategori tinggi adalah mengelola lahan kritis dan 4 kali atau lebih dalam setahun terakhir melakukan pembibitan dan penanaman (lihat Tebel 17).
Tabel 17. Sebaran Petani Berdasarkan Motivasi Melestarikan Hutan Kategori Rendah Sedang Tinggi Total Keterangan: Mean = skor 3,03
n 140 133 127 400
% 35,00 33,25 31,75 100
Min = skor 1 Max= skor 4
Tabel 17 memberikan gambaran bahwa motivasi petani dalam melestarikan hutan diketahui sebanyak 35 % rendah 33,25 % memiliki motivasi sedang dan 31,75 % memiliki motivasi tinggi.
Sebaran Petani Tepi Hutan Berdasarkan Pengalaman Berusaha Pengalaman berusaha tani di kawasan hutan yang dimaksud ialah aktivitas yang pernah dilakukan petani tepi hutan dalam pengelolaan lahan kering atau mengelola di kawasan hutan. Pengalaman berusaha tani di kawasan hutan diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu: 1) rendah, 2) sedang, dan 3) tinggi. Adapun kategori rendah adalah tidak pernah mengelola sampai pernah melakukan pengelolaan lahan di kawasan hutan selama 4 tahun, kategori sedang berkisar 5 tahun sampai 8 tahun, dan kategori tinggi adalah berkisar mulai dari 9 tahun sampai 47 tahun (lihat Tabel 18).
129 Tabel 18. Sebaran Petani Berdasarkan Pengalaman Berusaha Kategori Rendah Sedang Tinggi Total
n 125 137 138 400
Keterangan: Mean= 8 tahun Min = 0 tahun
% 31,25 34,25 34,50 100 Max= 47 tahun
Tabel ini menunjukkan bahwa 31,25 % petani pengalaman usahataninya rendah, 34,25 % menunjukkan berusaha tani di kawasan dalam kategori sedang dan 34,50 % menunjukkan pengalaman berusaha tani di kawasan dalam kategori tinggi.
Sebaran Petani Tepi Hutan Berdasarkan Luas Lahan Garapan
Luas lahan garapan petani di kawasan hutan yang dimaksud ialah luas lahan dalam satuan luas hektar yang digunakan oleh petani tepi hutan untuk memenuhi kebutuhannya. Luas lahan garapan diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu: 1) sempit, 2) sedang, dan 3) luas. Adapun kategori sempit adalah luas lahan garapan antara 0,1 hektar sampai dengan 1 hektar, kategori sedang, lahan garapan berkisar antara 1,1 hektar hingga 1,7 hektar, dan kategori luas berkisar mulai dari 1,8 hektar hingga 12,5 hektar (lihat Tabel 19).
Tabel 19. Sebaran Petani Berdasarkan Luas Lahan Garapan Kategori Sempit Sedang Luas Total
n 94 166 140 400
Keterangan: Min = 0,10 hektar
Max = 12,50 hektar
% 23,50 41,50 35,00 100 Mean = 1,62 hektar
130
Sebanyak 23,50 % merupakan petani yang berlahan sempit (1000 m2) atau dua rantai setengah (1 rantai = 400 m2, Lampung), 41,50 % menunjukkan petani memiliki luas lahan garapan di kawasan dalam kategori sedang dan 35 % memiliki luas lahan garapan di kawasan dalam kategori luas.
Sebaran Petani Tepi Hutan Berdasarkan Status Lahan Garapan
Status lahan garapan petani di kawasan hutan yang dimaksud ialah kepemilikan lahan yang digunakan petani untuk memenuhi kebutuhannya. Status lahan garapan diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu: 1) milik sendiri, 2) sewa atau bagi hasil, dan 3) milik pemerintah. Adapun kategori milik sendiri adalah status lahan garapan yang tidak ada hubungannya dengan kepemilikan pihak lain, status sewa atau bagi hasil adalah hak kelola lahan yang ada hubungannya dengan pihak lain, yang dapat berupa perorangan maupun lembaga, sedangkan kategori milik pemerintah adalah status lahan yang dimiliki oleh pemerintah yang dikuatkan dengan dasar hukum, dan petani tepi hutan berkedudukan sebagai petani ”magersari”. (lihat Tebl 20)
Tabel 20. Sebaran Petani Berdasarkan Status Lahan Garapan Kategori Milik Sendiri Sewa-Bagi Hasil Milik Pemerintah Total
n 192 47 161 400
% 48,00 11,75 40,25 100
Tabel 20 memberikan gambaran bahwa 47 % petani responden lahan garapannya adalah milik sendiri, 11,75 % berstatus sewa atau bagi hasil, dan 40,25 % milik
131 pemerintah. Dengan demikian Tabel 19 mengungkapkan sebagian besar status kepemilikan lahan adalah milik sendiri.
Sebaran Petani Tepi Hutan Berdasarkan Pendapatan Pendapatan yang dimaksud ialah besarnya kosumsi responden yang bersumber dari usahatani maupun yang bukan, yang dihitung dalam satuan rupiah per-bulan. Pendapatan diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu: 1) rendah, 2) sedang, dan 3) tinggi. Adapun kategori pendapatan rendah adalah antara Rp. 283.200,- hingga Rp. 789.200,- dan kategori pendapatan sedang, adalah berkisar Rp 790.500,- hingga Rp. 1.078.250,-. Sedangkan
kategori pendapatan tinggi berkisar mulai Rp. 1.087.900,-
hingga Rp 6.154.050,- Tebel sebaran petani tepi hutan berdasarkan pendapatan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 21. Sebaran Petani Berdasarkan Pendapatan Kategori Rendah Sedang Tinggi Total
n 134 133 133 400
% 33,50 33,25 33,25 100
Keterangan: - Mean = Rp. 1.085.788,- Minimum = Rp. 283.200,- Maximum = Rp. 6.154.050,- Pendapatan per bulan dihitung dari tingkat kosumsi per KK.
Tabel di atas memberikan gambaran bahwa 33,50 % rumah tangga petani tepi hutan mempunyai pendapatan rendah, 33,25 % berkategori sedang, dan 33,25 % berkategori tinggi. Pendapatan perbulan dihitung berdasarkan hasil usahatani di kawasan hutan dan usaha non pertanian seperti buruh, dagang, dan ojek.
132
Sebaran Petani Tepi Hutan Berdasarkan Tingkat Kekosmopolitan
Tingkat kekosmopolitan yang dimaksud ialah keterbukaan petani tepi hutan terhadap informasi yang berkaitan dengan pelestarian hutan dan pertanian konservasi dengan berbagai sumber informasi. Tingkat kekosmopolitan diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu: 1) rendah, 2) sedang, dan 3) tinggi. Dikatakan mempunyai kategori tingkat kekosmopolitan rendah bila dalam sebulan tidak lebih satu kali keluar kampungnya, media cetak yang dibaca tidak lebih dari 2 kali dalam sebulan (bobot 20%), mendengarkan radio (bobot 20%), melihat dan mendengar TV (bobot 30%) dan lainnya (bobot 30%) tidak lebih dari 3 jam tiap harinya. Kategori tingkat kekosmopolitan sedang, jika dalam sebulan 3 - 6 kali ke luar kampungnya, media cetak yang dibaca 3-5 kali dalam sebulan, dan melihat dan mendengar TV/ Radio 4-7 jam tiap harinya. Sedangkan kategori tingkat kekosmopolitan tinggi apabila dalam sebulan lebih 7 kali keluar kampungnya, media cetak yang dibaca lebih dari 6 kali dalam sebulan, dan melihat dan mendengar TV/ Radio lebih dari 8 jam tiap harinya. (lihat Tebel 22).
Tabel 22. Sebaran Petani Berdasarkan Tingkat Kekosmopolitan Kategori Rendah Sedang Tinggi Total
n 136 136 128 400
Keterangan: - Mean = 16.04 - Min = 0
- Max =
% 34,00 34,00 32,00 100 48
133 Tabel 22 memberikan gambaran bahwa tingkat kekosmopolitan petani di kawasan hutan sebanyak 34 % termasuk dalam kategori rendah, 34 % termasuk dalam kategori sedang, dan 32 % termasuk dalam kategori tinggi.
Sebaran Petani Tepi Hutan Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga
Jumlah tanggungan keluarga yang dimaksud ialah banyaknya jiwa dalam keluarga yang menjadi beban petani.
Jumlah anggota keluarga diklasifikasikan menjadi tiga
kategori yaitu keluarga: 1) kecil, 2) sedang, dan 3) besar. Adapun kategori keluarga kecil 1 – 3 jiwa , keluarga sedang 4 – 5 jiwa, dan kategori keluarga besar jumlah jiwanya lebih dari 6 jiwa. (lihat Tabel 23).
Tabel 23. Sebaran Petani Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga Kategori Kecil Sedang Besar Total Keterangan: Mean = 4. orang
n 118 158 124 400
% 29,50 39,50 31,00 100
Min = 1. orang Max = 8. orang
Tabel di atas memberikan gambaran bahwa jumlah anggota keluarga petani di kawasan hutan dalam penelitian ini, sebanyak 29,50 % keluarga kecil, 39,50 % dalam kategori keluarga sedang, dan 31 % termasuk dalam kategori keluarga besar.
134 Sebaran Petani Tepi Hutan Berdasarkan Kontak dengan Penyuluh
Kontak dengan penyuluh yaitu frekuensi petani tepi hutan berhubungan dengan penyuluh kehutanan dalam suatu pertemuan. Kontak penyuluh diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu: 1) rendah, 2) sedang, dan 3) tinggi. Adapun kategori rendah adalah 0-1 kali kontak dengan PPL dalam tiga bulan terakhir, sedang adalah 2 – 3 kali dalam tiga bulan terakhir dan kategori tinggi adalah lebih dari 4 kali dalam tiga bulan terakhir. Pengertian kontak adalah ikut hadir dalam forum pertemuan kelompok. (lihat Tabel 24) Tabel 24. Sebaran Petani Berdasarkan Kontak dengan PPL Kategori Rendah Sedang Tinggi Total Keterangan: Mean= 1
n 147 122 131 400 Min = 0
Max = 4
% 36,75 30,50 32,75 100 Selama 3 bulan terakhir
Tabel 24 memberikan gambaran bahwa kontak petani responden dengan PPL dalam penelitian ini. Tabel ini mengungkapkan bawha sebanyak 36,75 % petani memiliki intensitas kontak dengan PPL berkategori rendah, 30,5 % berkategori sedang, dan 32,75 % berkategori tinggi.
Kompetensi Petani Tepi Hutan dalam Melestarikan Hutan Lindung
Kompetensi petani tepi hutan dalam melestarikan hutan lindung ialah kemampuan yang dimiliki oleh petani, yang berupa pengetahuan, sikap dan ketrampilan tentang aspek teknis, aspek sosial-ekonomi, aspek sosial-budaya dan aspek pertanian konservasi.
135 Pada aspek teknis kehutanan terdiri dari atas kemampuan: 1) menentukan syarat lokasi tumbuh tanaman keras, 2) pengadaan benih tanaman keras, 3) pengadaan bibit berupa cabutan, okulasi, dan cangkokan, 4) penanaman mulai dari persiapan hingga pemindahan ke lahan, 5) pemeliharaan mulai dari perawatan dini hingga penjarangan, 6) pengenalan hama dan penyakit mulai dari hama akar, hama batang, hama daun dan hama buah, 7) pengendalian hama, dan 8) pemilihan pola tanam yang berdasarkan pada kerapatan tajuk. Dari aspek teknis digabung beberapa bidang menjadi tiga komponen bidang baru yaitu: 1) pembibitan tanam keras yang merupakan gabungan dari: a) pembibitan tanaman keras, dan b) pengadaan benih, 2) penanaman tanaman keras, merupakan gabungan dari: a) persyaratan lokasi tumbuh, b) penanaman tanaman keras, dan c) pemilihan pola tanam, 3) pemeliharaan tanaman keras yang merupakan gabungan dari: a) pemeliharaan tanaman keras, b) pengenalan hama penyakit dan c) pengendalian hama penyakit. Pada aspek sosial ekonomi terdiri dari kemampuan: 1) merencanakan biaya produksi, 2) memprediksi hasil yang didapat, 3) memprediksi perkembangan pasar, 4) menentukan jenis tanaman yang tepat dan unggul nilai ekonomi serta ekologinya, 5) menentukan pola tanam yang menguntungkan yaitu mampu menjawab kebutuhan ekonomi dapat berupa monokultur dan polikultur, 6) memilih teknologi yang efisien, 7) mengindientifikasi kendala pengelolaan, dan 8) mengalokasikan tenaga kerja. Dari aspek sosial ekonomi digabung beberapa bidang menjadi tiga komponen bidang baru yaitu: 1) perencanaan usaha tani tepi hutan, yang merupakan gabungan dari: a) perencanaan biaya produksi usaha tani tepi hutan, b) memilih teknologi yang efisien, dan c) menentukan tanaman yang menguntungkan. 2) pengelolaan usaha tani tepi hutan,
136 yang merupakan gabungan dari: a) mengalokasikan tenaga kerja, dan b) mengidentifikasi kendala pengelolaan, 3) pengawasan usaha tani tepi hutan yang merupakan gabungan dari: a) memprediksi perkembangan pasar, b) memprediksi hasil yang didapat, dan c) menentukan pola tanam yang menguntungkan. Pada aspek sosial budaya terdiri dari kemampuan: 1) mempersepsikan kelestarian, 2) membangun interaksi sesama petani, 3) dalam berpartisipasi, 4) menghadapai resiko, 5) mengembangkan kreativitas, 6) menggali pengetahuan lokal, 7) melakukan adopsi, dan 8) menjaga Ketrampilan hasil adopsi. Dari aspek sosial budaya, digabung beberapa bidang menjadi tiga komponen bidang baru yaitu: 1) pengembangan modal sosial petani, yang merupakan gabungan dari: a) kemampuan dalam partisipasi, b) kemampuan dalam membangun interaksi, dan c) kemampuan dalam menghadapi resiko, 2) pengembangan kearifan lokal petani yang merupakan gabungan dari: kemampuan menggali pengetahuan lokal, dan kemampuan mengembangkan kreativitas. 3) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, yang merupakan gabungan dari: a) kemampuan dalam mempersepsikan kelestarian, b) mampu melakukan adopsi, dan c) kemampuan mengamankan hasil adopsi. Pada aspek pertanian konservasi terdiri dari kemampuan: 1) penerapan prinsip pertanian konservasi, 2) menentukan rotasi tanaman, 3) meningkatkan kesuburan tanah, 4) menerapkan pertanian konservasi yaitu berdasarkan kontur, 5) memilih teras berdasarkan kontur, 6) menentukan tanaman strip, 7) menentukan saluran pembuangan air, dan 8) perubahan penggunaan lahan. Dari aspek pertanian konservasi, digabung menjadi tiga komponen bidang baru yaitu: 1) perencanaan pertanian konservasi, yang merupakan gabungan dari: penerapan
137 prinsip pertanian konservasi, dan penentuan saluran air,
2) pengelolaan pertanian
konservasi yang merupakan gabungan dari: a) kemampuan dalam meningkatkan kesuburan lahan, b) kemampuan dalam menentukan rotasi tanaman, dan c) kemampuan dalam menentukan perubahan penggunaan lahan, 3) Ketrampilan dalam pengelolaan pertanian konservasi, yang merupakan gabungan dari: a) penentuan teras berdasarkan kontur, b) penerapan teknik konservasi, dan c) menentukan jenis tanaman pengaman. Dengan demikian 12 bidang kompetensi yang harus dikuasai petani, meliputi: (1)
Pembibitan tanaman keras,
(2)
Penanaman tanaman keras,
(3)
Pemeliharaan tanaman keras,
(4)
Perencanan usaha tani tepi hutan,
(5)
Pengelolaan usaha tani tepi hutan,
(6)
Pengawasan usaha tani tepi hutan,
(7)
Pengembangan modal sosial petani tepi hutan,
(8)
Pengembangan kearifan lokal petani tepi hutan,
(9)
Menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan,
(10) Perencanaan pertanian konservasi di kawasan hutan, (11) Pengelolaan pertanian konservasi di kawasan hutan, dan (12) Keamanan dalam pertanian konservasi di kawasan hutan.
138 Duabelas kompetensi di atas dapat disederhanakan menjadi dua pola perilaku petani:
Perilaku Sosial
Kompetensi Melestarikan Hutan Lindung
Aspek Sosial Budaya (ada 3 bidang) Aspek Sosial – Ekonomi (ada 3 bidang)
Apek Teknis Kehutanan (ada 3 bidang ) Perilaku Teknis
Aspek Konservasi Tanah dan Air (ada 3 bidang)
Gambar 4. Pola Perilaku dalam Melestarikan Hutan
Hubungan Karakteristik Demografi Petani Tepi Hutan dengan Kompetensi Melestarikan Hutan
Karakteristik demografi petani tepi hutan yang dikaji hubungannya dengan kompetensi melestarikan hutan lindung ialah: 1) umur, 2) lama tinggal di desa, 3) suku, 4) motivasi melestarikan hutan, 5) pendidikan formal, 6) pendidikan non formal, 7) pengalaman berusaha, 8) luas lahan garapan, 9) status lahan garapan, 10) pendapatan keluarga, 11) tingkat kekosmopolitan, 12) jumlah anggota keluarga, dan 13) intensitas kontak dengan PPL. Sedangkan kompetensi melestarikan hutan yang dikaji yaitu: 1) Pembibitan tanaman keras, 2) Penanaman tanaman keras, 3) Pemeliharaan tanaman keras, 4)
139 Perencanaan usaha tani tepi hutan, 5) Pengelolaan usaha tani tepi hutan, 6) Pengawasan usaha tani tepi hutan, 7) Pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 8) Pengembangan kearifan lokal petani tepi hutan, 9) Menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, 10) Perencanaan pertanian konservasi di kawasan hutan, 11) Pengelolaan pertanian konservasi di kawasan hutan, dan 12) Ketrampilan
dalam pertanian konservasi
di
kawasan hutan. Keduabelas bidang tersebut diuji pula dengan tiga ranah yaitu: 1) pengetahuan, 2) sikap dan 3) ketrampilan
Hubungan Umur dengan Pengetahuan Petani
Tabel 25 berdasarkan dari ranah pengetahuan diketahui bahwa umur petani tepi hutan yang berkategori muda (umur 19 tahun – 35 tahun) memiliki prioritas dan kemampuan dalam melestarikan hutan yaitu: 1) kemampuan dalam pengelolaan pertanian konservasi di kawasan, 2) kemampuan dalam
menanaman tanaman keras,
dan 3)
kemampuan dalam pengembangan modal sosial petani tepi hutan. Kemampuan kelompok umur muda pada prioritas pertama merupakan kompetensi pada aspek konservasi, yang terdiri dari atas: a) kemampuan dalam meningkatkan kesuburan tanah, b) kemampuan dalam menentukan rotasi tanaman, dan c) kemampuan dalam menentukan perubahan lahan. Sedangkan pada prioritas kedua, merupakan kompetensi pada aspek teknis melestarikan hutan, yang terdiri atas: a) kemampuan di bidang penentuan lokasi tumbuh tanaman keras, b) kemampuan dalam melakukan penanaman dengan benar, dan c) kemampuan menentukan pola tanam.
140 Sedangkan prioritas ketiga merupakan kemampuan di aspek sosial budaya, yang terdiri atas sub kompetensi berupa: a) kemampuan di bidang partisipasi, b) kemampuan di bidang interaksi, dan c) kemampuan dan ketahanan menghadapi resiko. Pada kelompok umur sedang (36 tahun – 45 tahun), prioritasnya yaitu: 1) kemampuan dalam penananaman tanam keras, 2) kemampuan dalam pengelolaan pertanian konservasi, dan 3) kemampuan dalam bidang sosial.
Sedangkan pada
kelompok umur tua (46 tahun – 75 tahun), hasil penjenjangan sama dengan kelompok umur muda. Walaupun ketiga pada kelompok umur tersebut terdapat perbedaan dalam penentuan prioritas, namun bidang kompetensinya sama.
Tabel 25. Hubungan Umur dengan Pengetahuan Umur Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Penanaman tanam keras Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Pemeliharaan tanaman keras Pembibitan tanaman keras Pengembangan kearifan lokal petani Pengelolaan usaha tani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Perencanan usaha tani tepi hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi Keamanan pertanian konservasi Rata – rata Keterangan :
W = 0,95 Sangat nyata pada α = 0,01
Muda ST JJ n = 135 86,27 1 84,14 2 83,96 3 80,91 4 80,02 5 77,11 6 76,76 7 76,39 8 73,34 9 72,42 10 71,60 11 69,94 12 77,74
Sedang ST JJ n =123 84,67 2 84,91 1 83,40 3 80,38 4 77,09 7 76,91 8 77,71 6 78,30 5 73,30 11 74,19 10 75,99 9 66,41 12 77,77
Tua ST JJ n = 142 86,95 1 85,80 2 83,33 3 80,93 4 77,88 7 77,80 8 79,78 5 78,45 6 71,83 10 71,81 11 74,01 9 69,41 12 78,16
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
141 Adapun kompetensi yang kurang mendapat perhatian yaitu: 1) kemampuan dalam pemeliharaan tanaman keras, 2)
kemampuan dalam pembibitan tanaman keras 3)
kemampuan dalam pengembangan kearifan lokal petani 4) kemampuan dalam pengelolaan usaha tani tepi hutan, 5) kemampuan dalam menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian, 6) perencanaan pertanian konservasi, 7) kemampuan dalam pengawasan usahatani, 8) perencanaan pertanian konservasi di kawasan, dan 9) kemampuan dalam mengamankan pertanian konservasi. Ketiga kelompok umur tersebut dalam melakukan penjenjangan keduabelas bidang, ternyata koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,95 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01. Hal ini menunjukkan adanya kesepakatan yang tinggi antara ketiga kelompok umur terhadap keduabelas bidang kompetensi dalam melestarikan hutan lindung berdasarkan dari dimensi umur.
Hubungan Lama Tinggal di Desa dengan Pengetahuan Petani Tabel 26 berdasarkan dari ranah pengetahuan diketahui bahwa lama tinggal di desa tepi hutan yang berkategori pendatang baru, (3 tahun–26 tahun) pilihan prioritasnya yaitu: 1) pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan, 2) penanaman tanaman keras, dan 3) pengembangan modal sosial petani tepi hutan. Demikian pula halnya dengan kelompok petani berkategori sedang (27 tahun – 35 tahun) dan kelompok penduduk lama (36 tahun – 71 tahun) adalah memiliki jenjang yang sama. Sedangkan kompetensi yang memiliki prioritas rendah yaitu: 1) pemeliharaan tanaman keras, 2) pengelolaan usaha tani tepi hutan, 3) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian, 4) pengembangan kearifan lokal petani tepi hutan, 5) perencanan pertanian
142 konservasi di kawasan, 6) pengawasan usaha tani tepi hutan, 7) perencanaan usaha tani tepi hutan dan 8) keamanan dalam pertanian konservasi. Kesamaan prioritas ketiga kelompok tersebut dikuatkan dengan adanya koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,95 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01. Hal ini menunjukkan adanya kesamaan kemampuan yang tinggi pada ketiga kelompok tersebut. Berikut disajikan Tabel 26 yang menggambarkan hubungan lama tinggal di desa dengan kemampuan petani dalam melestarikan hutan.
Tabel 26. Hubungan Lama Tinggal di Desa dengan Pengetahuan Petani Lama Tinggal di Desa Tepi Hutan Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Penanaman tanam keras Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Pemeliharaan tanaman keras Pengelolaan usaha tani tepi hutan Pembibitan tanaman keras Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pengembangan kearifan lokal petani Perencanaan pertanian konservasi Pengawasan usaha tani tepi hutan Perencanan usaha tani tepi hutan Keamanan pertanian konservasi Rata - rata Keterangan :
W = 0,95 Sangat nyata pada α = 0,01
Baru ST JJ n = 132 85,62 1 84,66 2 83,75 3 79,98 4 77,89 5 77,63 6 77,37 7 77,00 8 72,55 9 71,95 10 71,91 11 68,45 12 77,40
Sedang ST JJ n =120 87,23 1 85,45 2 83,74 3 81,66 4 78,27 6 77,93 8 77,95 7 78,66 5 71,84 10 71,50 11 72,80 9 69,89 12 78,08
Lama ST JJ n = 148 85,38 1 84,84 2 83,24 3 80,71 4 78,22 6 79,35 5 77,82 7 76,44 9 76,52 8 74,47 10 73,57 11 67,87 12 78,20
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Hubungan Suku dengan Pengetahuan Petani Tabel 27 menjelaskan bahwa prioritas yang dipilih dalam melestarikan hutan dari ranah pengetahuan yang dimiliki suku asal Jawa dan suku asal Sunda adalah sama, yaitu: 1) pengelolaan pertanian konservasi di kawasan hutan, 2) penanaman tanaman keras, dan
143 3) pengembangan modal sosial petani tepi hutan. Sedangkan pada suku yang lainnya selain Suku Jawa dan Sunda ialah: 1) penanaman tanaman keras, 2) pengelolaan pertanian konservasi, dan 3) pengembangan modal sosial petani. Kompetensi
yang
memiliki prioritas rendah ialah: 1) pemeliharaan tanaman keras, 2) pembibitan tanaman keras, 3) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, 4) pengelolaan usaha tani tepi hutan, 5) pengembangan kearifan lokal petani tepi hutan, 6) perencanaan pertanian konservasi di kawasan hutan, 7) pengawasan usaha tani tepi hutan 8) perencanaan usaha tani tepi hutan dan 9) Keamanan pengelolaan pertanian konservasi. Berikut disajikan tabel yang menggambarkan hubungan suku dengan kemampuan petani dalam melestarikan hutan.
Tabel 27. Hubungan Suku dengan Pengetahuan Petani
SUKU Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Penanaman tanam keras Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Pemeliharaan tanaman keras Pembibitan tanaman keras Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pengembangan kearifan lokal petani Pengelolaan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Perencanaan usaha tani tepi hutan Keamanan pertanian konservasi di tepi hutan Rata – rata Keterangan : W = 0,90 Sangat nyata pada α = 0,01
Jawa n = 284 ST JJ 85,74 1 85,13 2 83,40 3 80,72 4 79,15 5 77,72 6 77,51 7 77,49 8 73,79 9 73,06 10 72,20 11 69,05 12 77,91
Sunda n = 88 ST JJ 87,14 1 83,82 2 83,67 3 81,10 4 76,43 8 77,28 6 77,09 7 78,61 5 74,03 9 70,44 11 73,18 10 68,39 12 77,60
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Yang Lain n = 28 ST JJ 85,25 2 86,84 1 84,92 3 79,96 5 76,43 9 78,94 6 75,80 10 83,00 4 73,31 11 76,83 8 77,54 7 65,65 12 78,71
144 Tabel 27 menunjukkan bahwa kelompok suku Jawa dan Sunda ada kesamaan dalam melakukan penjenjangan dari kesatu sampai keempat. Hal ini dikuatkan dengan adanya koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,90 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 dan menunjukkan adanya kesamaan kemampuan yang tinggi pada ketiga kelompok suku.
Hubungan Motivasi dengan Pengetahuan Petani
Tabel 28 menjelaskan dari ranah pengetahuan bahwa prioritas pilihan petani tepi hutan yang memiliki motivasi melestarikan hutan rendah yaitu: 1) pengelolaan pertanian konservasi di kawasan hutan, 2) penanaman tanaman keras, dan 3) pengembangan modal sosial petani tepi hutan. Adapun kategori motivasi rendah dalam melestarikan adalah pengelolaan dengan membuka lahan dan tidak pernah sampai dengan satu kali melakukan pembibitan dan penanaman tanaman keras. Pada kelompok tani yang bermotivasi sedang, prioritas yang dipilih yaitu: 1) pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan, 2) pengembangan modal sosial petani, dan 3) penanaman tanaman keras. Sedangkan pada kelompok tani yang bermotivasi tinggi, prioritas yang dipilih yaitu: 1) penanaman tanaman keras, 2) pengelolaan pertanian konservasi , dan 3) pengembangan modal sosial petani tepi hutan. Kelompok tani yang kategori motivasinya sedang, didefinisikan sebagai pengelola dan menggarap lahan berkisar 2 sampai 3 kali melakukan pembibitan dan melakukan penanaman, sedangkan dinyatakan berkategori tinggi bila petani telah mengelola lahan kritis dan 4 kali atau lebih melakukan pembibitan serta penanaman di berbagai lahan.
145 Tabel 28. Hubungan Motivasi dengan Pengetahuan Petani Motivasi dalam Melestarikan Hutan Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Penanaman tanam keras Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Pemeliharaan tanaman keras Pembibitan tanaman keras Pengembangan kearifan lokal petani Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pengelolaan usaha tani tepi hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Perencanaan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi Keamanan pertanian konservasi Rata – rata
Rendah ST JJ n = 140 84,82 1 84,03 2 81,65 3 81,12 4 78,43 5 77,81 6 76,79 7 76,76 8 73,11 9 72,79 10 72,09 11 68,00 12 77,28
Keterangan : W = 0,93 Sangat nyata pada α = 0,01
Sedang ST JJ n =133 87,45 1 84,50 3 84,75 2 81,32 4 77,80 8 78,45 7 78,65 6 80,09 5 71,91 11 73,20 10 73,56 9 69,75 12 78,45
Tinggi ST JJ n = 127 85,84 2 86,48 1 84,42 3 79,76 4 78,87 5 75,52 9 77,73 6 77,57 7 73,23 10 72,37 11 75,96 8 68,27 12 78,00
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Walaupun ketiga kelompok tani ini mempunyai perbedaan dalam menentukan prioritas, namun butir-butirnya adalah sama. Sedangkan prioritas yang dianggap rendah oleh petani tepi hutan yaitu: 1) pemeliharaan tanaman keras, 2) pembibitan tanaman keras, 3) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, 4) pengelolaan usaha tani tepi hutan, 5) pengembangan kearifan lokal petani tepi hutan, 6) perencanaan pertanian konservasi di kawasan hutan, 7) pengawasan usaha tani tepi hutan 8) perencanaan usaha tani tepi hutan dan 9) Keamanan pengelolaan pertanian konservasi. Kompetensi petani yang dihubungkan dengan motivasi melestarikan hutan, walaupun beragam, ternyata ketiganya memiliki hubungan yang kuat, dengan koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,93 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 menunjukkan adanya kesamaan kemampuan petani tepi hutan yang didasarkan pada motivasi melestarikan hutan.
146 Hubungan Pendidikan Formal dengan Pengetahuan Petani
Tabel 29 menjelaskan dari ranah pengetahuan bahwa hubungan pendidikan formal petani tepi hutan dengan prioritas dalam memilih kompetensi melestarikan hutan menunjukkan adanya keragaman jenjang. Pada kategori pendidikan rendah yaitu dari tidak sekolah sampai dengan SD kelas 4, pilihan prioritasnya ialah: 1) penanaman tanaman keras, 2) pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan, dan 3) pengembangan modal sosial petani tepi hutan. Sedangkan pada kelompok pendidikan formal sedang yaitu mulai kelas 5 sampai kelas 6 lulus, pilihan prioritasnya ialah: 1) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, dan 3) pengelolaan pertanian konservasi. Pada kelompok petani dengan pendidikan tinggi (SMP kelas 1 - SMA lulus), pilihan prioritasnya sama dengan petani berpendidikan rendah. Tabel 29 menginformasikan bahwa kelompok tani berdasarkan pendidikan formal ini mempunyai perbedaan dalam menentukan prioritas, namun butir satu sampai tiga adalah hal yang sama. Sedangkan prioritas yang dianggap penting yaitu: 1) pemeliharaan tanaman keras, 2) pembibitan tanam keras, 3) pengembangan modal sosial petani, 4) pengelolaan pertanian konservasi, 5) pengawasan usaha tani tepi hutan, 6) perencanaan usaha tani, 7) perencanaan pertanian konservasi, 8) pengawasan usaha tani tepi hutan, dan 9) Keamanan pengelolaan pertanian konservasi. Kompetensi pemilihan prioritas petani yang dihubungan pendidikan formal, walaupun beragam, ternyata ketiganya memiliki hubungan yang kuat. Hal tersebut ditunjukkan dengan koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,94 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 dan menunjukkan adanya kesamaan ketiga kelompok berdasarkan
147 pendidikan formal.
Berikut disajikan tebel hubungan pendidikan formal dengan
pengetahuan petani.
Tabel 29. Hubungan Pendidikan Formal dengan Pengetahuan Petani Pendidikan Formal Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Penanaman tanam keras Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Pemeliharaan tanaman keras Pembibitan tanaman keras Pengelolaan usaha tani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pengembangan kearifan lokal petani Perencanaan pertanian konservasi Perencanaan usaha tani tepi hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Keamanan pertanian konservasi Rata – rata Keterangan :
W = 0,94 Sangat nyata pada α = 0,01
Rendah ST JJ n = 108 85,30 1 85,27 2 82,86 3 81,76 4 79,91 5 77,30 6 76,46 7 75,52 8 73,03 9 72,84 10 72,29 11 68,37 12 77,58
Sedang ST JJ n = 167 83,25 3 85,89 1 83,59 2 79,16 4 77,65 7 77,67 6 77,12 8 78,00 5 74,56 9 71,16 10 71,09 11 69,13 12 77,35
Tinggi ST JJ n = 125 86,96 1 86,84 2 84,13 3 82,02 4 77,96 7 79,45 6 79,57 5 77,89 8 73,48 11 74,94 10 75,36 9 68,30 12 78,91
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Hubungan Pendidikan Non Formal dengan Pengetahuan Petani
Tabel 30 menjelaskan dari ranah pengetahuan bahwa hubungan pendidikan non formal petani tepi hutan dengan kompetensi melestarikan hutan pada menunjukkan bahwa prioritas yang dianggap penting oleh petani berpendidikan non formal rendah yaitu: 1) pengelolaan pertanian konservasi di kawasan hutan, 2) penanaman tanaman keras, dan 3) pengembangan modal sosial petani tepi hutan. Adapun kategori rendah adalah tidak pernah sampai satu kali mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan kehutanan atau pertanian konservasi.
148 Pada kategori sedang, prioritas yang dipilih petani tepi hutan dalam melestarikan yaitu: 1) penanaman tanam keras, 2) pengelolaan pertanian konservasi, dan pengembangan modal sosial. Kriteria pada kategori sedang adalah petani pernah mengikuti pelatihan berkisar dua sampai tiga kali dalam satu tahun terakhir. Kategori tinggi adalah petani tepi hutan pernah 4 kali atau lebih mengikuti pelatihan dalam bidang kehutanan atau pertanian konservasi. Tabel 30 menunjukkan bahwa ketiga kelompok tani memberi jenjang yang lebih rendah pada 9 bidang kompetensi yang dipilih dalam melestarikan hutan lindung yaitu: 1) pemeliharaan tanaman keras, 2) pembibitan tanam keras, 3) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 4) pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan, 5) pengawasan usaha tani tepi hutan, 6) perencanaan usaha tani, 7) perencanaan pertanian konservasi, 8) pengawasan usaha tani tepi hutan, dan 9) keamanan pengelolaan pertanian konservasi.
Tabel 30. Hubungan Pendidikan Non Formal dengan Pengetahuan Petani Pendidikan Non Formal Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi Penanaman tanam keras Pengembangan modal sosial petani Pemeliharaan tanaman keras Pembibitan tanaman keras Pengelolaan usaha tani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian Pengembangan kearifan lokal petani Perencanaan pertanian konservasi Perencanan usaha tani tepi hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Keamanan pertanian konservasi Rata- rata Keterangan : W = 0,96 Sangat nyata pada α = 0,01
Rendah ST JJ n = 268 86,15 1 84,69 2 83,52 3 80,47 4 78,58 5 77,90 6 77,54 7 77,43 8 73,74 9 72,89 10 71,98 11 68,74 12 77,80
Sedang ST JJ n = 115 85,18 2 86,59 1 84,30 3 81,26 4 77,91 7 77,97 6 78,20 5 77,34 8 73,38 10 72,63 11 74,33 9 68,55 12 78,14
Tinggi ST JJ 17 86,02 1 84,96 2 83,56 3 80,75 4 78,36 5 78,13 6 77,71 7 77,29 8 73,81 9 72,79 10 72,75 11 68,67 12 77,90
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
149 Ketiga kelompok tersebut beragam dalam melakukan penjenjangan keduabelas bidang kompetensi dalam melestarikan hutan lindung, ternyata koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,97 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 menunjukkan adanya kemampuan yang sama pada antara ketiga kelompok tani tersebut.
Hubungan Pengalaman Berusaha Tani dengan Pengetahuan Petani
Tabel 31 menjelaskan dari ranah pengetahuan bahwa hubungan pengalaman berusaha petani tepi hutan dengan prioritas yang dipilih dalam melestarikan hutan menunjukkan keragaman. Pada pengalaman berusaha rendah, prioritas yang dipilih oleh petani ialah: 1) penanaman tanaman keras, 2) pengelolaan pertanian konservasi, 3) pengembangan modal sosial petani. Pada jenjang kedua dan ketiga memiliki skor tertimbang yang sama, sehingga keduanya memiliki jenjang yang sama. Sedangkan pada kelompok berpengalaman sedang, pilihan prioritasnya yaitu: 1) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 2) penanaman tanaman keras, dan 3) pengelolaan pertanian konservasi. Pada kelompok sedang, jenjang pertama dan kedua memiliki skor tertimbang yang sama, sehingga keduanya perupakan prioritas utama. Pada kelompok tani yang berpengalaman tinggi, prioritas yang dipilih memiliki jenjang yang sama dengan kelompok berpengalaman sedang. Selanjutnya ketiga kelompok tani memberi jenjang
yang lebih rendah pada
sembilan bidang kompetensi yang diperlukan dalam melestarikan hutan lindung, yakni: 1) pemeliharaan tanaman keras, 2) pembibitan tanam keras, 3) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 4) pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan, 5) pengawasan
150 usaha tani tepi hutan, 6) perencanaan usaha tani, 7) perencanaan pertanian konservasi, 8) pengawasan usaha tani tepi hutan, dan 9) keamanan pengelolaan pertanian konservasi.
Tabel 31. Hubungan Pengalaman Berusaha Tani dengan Pengetahuan Petani Pengalaman Berusaha Tani di Tepi Hutan Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Penanaman tanam keras Pengelolaan pertanian konservasi Pengembangan modal sosial petani Pembibitan tanaman keras Pemeliharaan tanaman keras Pengelolaan usaha tani tepi hutan Pengembangan kearifan lokal petani Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian Perencanaan pertanian konservasi Pengawasan usaha tani tepi hutan Perencanan usaha tani tepi hutan Keamanan pertanian konservasi Rata – rata Keterangan :
W = 0,94 Sangat nyata pada α = 0,01
Rendah ST JJ n = 125 85,85 1 84,91 2.5 84,91 2.5 79,87 4 79,72 5 78,90 6 77,47 7 75,70 8 73,52 9 72,40 10 72,39 11 67,07 12 77,73
Sedang ST JJ n =137 82,69 3 85,05 1.5 85,05 1.5 76,35 7 80,32 4 76,22 8 76,76 6 77,32 5 72,66 10 73,30 9 72,29 11 68,45 12 77,21
Tinggi ST JJ n = 138 86,4 3 88,0 1.5 88,0 1.5 79,0 7 82,1 4 79,3 6 77,7 8 79,9 5 75,2 9 72,5 11 73,7 10 70,3 12 79.34
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Walaupun demikian, ketiga kelompok tersebut dalam melakukan penjenjangan keduabelas bidang kompetensi untuk melestarikan hutan lindung, mempunyai koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,94 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara pengalaman berusaha ketiga kelompok tani tersebut.
Hubungan Luas Lahan Garapan dengan Pengetahuan Petani
Tabel 32 menjelaskan dari ranah pengetahuan bahwa sempitnya luas lahan garapan menjadikan petani tepi hutan memilih prioritas: 1) pengelolaan pertanian konservasi di kawasan hutan, 2) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, dan 3)
151 penanaman tanaman keras. Sedangkan pada kelompok tani yang luas lahannya berkategori sedang (1,10 ha – 1,70 ha) dan kategori luas (1,75 ha – 12,50 ha) pilihan prioritasnya sama yaitu: 1) pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan, 2) pengembangan modal sosial, dan 3) penanaman tanaman keras. Tabel 32 juga memberikan informasi bahwa ketiga kelompok tani memberi jenjang yang lebih rendah pada bidang: 1) pemeliharaan tanaman keras, 2) pembibitan tanam keras, 3) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 4) pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan, 5) pengawasan usaha tani tepi hutan, 6) perencanaan usaha tani, 7)
perencanaan pertanian konservasi, 8) pengawasan usaha tani tepi hutan, dan 9)
Keamanan pengelolaan pertanian konservasi.
Tabel 32. Hubungan Luas Lahan Garapan dengan Pengetahuan Petani Luas Lahan Garapan Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi Pengembangan modal sosial petani Penanaman tanam keras Pemeliharaan tanaman keras Pembibitan tanaman keras Pengembangan kearifan lokal petani Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian Pengelolaan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi Pengawasan usaha tani tepi hutan Perencanan usaha tani tepi hutan Keamanan pertanian konservasi Rata – rata Keterangan : W = 0,96 Sangat nyata pada α = 0,01
Sempit ST JJ n = 94 85,17 1 83,25 2 83,17 3 77,94 4 77,29 5 76,07 6 76,04 7 75,00 8 71,85 9 71,80 10 71,44 11 67,84 12 76,41
Sedang ST JJ n =166 85,56 1 83,03 3 85,39 2 80,58 4 79,59 5 77,60 7 77,61 6 77,55 8 74,41 9 73,46 10 73,14 11 69,22 12 78,10
Luas ST JJ n = 140 87,13 1 84,40 3 85,66 2 82,85 4 77,61 8 77,76 7 78,95 6 80,91 5 74,41 9 72,54 11 73,28 10 68,56 12 78,67
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
152 Ketiga kelompok tersebut beragam dalam melakukan penjenjangan keduabelas bidang kompetensi dalam melestarikan hutan lindung, ternyata koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,96 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 menunjukkan adanya kesepakatan yang tinggi di antara kelompok tani tepi hutan dalam melestarikan.
Hubungan Status Lahan Garapan dengan Pengetahuan Petani
Tabel 33 menjelaskan dari ranah pengetahuan bahwa status lahan garapan yang berupa: a) lahan milik sendiri, b) lahan sewa-bagi hasil, dan c) lahan milik pemerintah, ternyata prioritas yang dipilih yaitu: 1) pengelolaan pertanian konservasi di kawasan hutan, 2) penanaman tanam keras, dan 3) penanaman tanaman keras. Dari hasil penelitian, ternyata status lahan yang dikerjakan petani tepi hutan tidak membedakan kemampuan petani tepi hutan dalam melestarikan hutan, artinya karakter petani tidak berpengaruh terhadap status lahan yang dikelolanya. Tabel 33 menunjukkan bahwa ketiga kelompok tani memberi jenjang yang lebih rendah pada bidang kompetensi: 1) pemeliharaan tanaman keras, 2) pembibitan tanam keras, 3) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 4) pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan, 5) pengawasan usaha tani tepi hutan, 6) perencanaan usaha tani, 7)
perencanaan pertanian konservasi, 8) pengawasan usaha tani tepi hutan, dan 9)
Keamanan pengelolaan pertanian konservasi. Ketiga
kelompok
tersebut
beragam
status
lahannya
dalam melakukan
penjenjangan keduabelas bidang kompetensi ternyata mempunyai koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,95 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 dan menunjukkan adanya
153 hubungan yang kuat antara status lahan garapan dengan kompetensi melestarikan. Berikut disajikan Tabel 33.
Tabel 33. Hubungan Status Lahan Garapan dengan Pengetahuan Petani
Status Lahan Garapan Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi Penanaman tanam keras Pengembangan modal sosial petani Pemeliharaan tanaman keras Pengelolaan usaha tani tepi hutan Pengembangan kearifan lokal petani Pembibitan tanaman keras Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian Perencanaan pertanian konservasi Perencanan usaha tani tepi hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Keamanan pertanian konservasi Rata – rata
Milik Sendiri ST JJ n = 192 86,28 1 85,13 2 84,32 3 80,65 4 78,63 5 77,79 6 77,38 7 77,09 8 73,17 9 72,90 10 72,06 11 68,10 12 77,79
Keterangan : W = 0,95 Sangat nyata pada α = 0,01
Sewa – Bagi Hasil ST JJ n =47 87,28 1 85,38 2 83,19 3 79,35 5 77,45 8 79,21 6 82,98 4 77,49 7 74,45 10 73,48 11 74,67 9 69,74 12 78,72
Milik Pemerintah ST JJ n = 161 85,34 1 84,65 2 82,77 3 81,29 4 77,72 7 76,14 8 78,18 6 78,51 5 74,38 9 72,46 11 73,00 10 69,03 12 77,79
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Hubungan Pendapatan dengan Pengetahuan Petani
Tabel 34 menjelaskan dari ranah pengetahuan bahwa kelompok tani yang berpendapatan rendah (Rp.283.200,- – Rp.789.200,-) memilih prioritas ialah: 1) penanaman tanaman keras, 2) pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan, dan 3) pengembangan modal sosial petani. Sedangkan kelompok tani yang berpendapatan sedang (Rp 790.500,- – Rp.1.087.900,-)
dan yang berpendapatan tinggi (lebih dari
Rp.1.096.900,- – Rp 6.154.050,-) memilih prioritas yang sama.
154 Dengan demikian, walapun terdapat perbedaan pendapatan, namun ketiga kelompok tersebut memberikan prioritas yang sama pada jenjang yang lebih rendah yaitu: 1) pemeliharaan tanaman keras, 2) pembibitan tanam keras, 3) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 4) pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan, 5) pengawasan usaha tani tepi hutan, 6) perencanaan usaha tani, 7) perencanaan pertanian konservasi, 8) pengawasan usaha tani tepi hutan, dan 9) Keamanan
pengelolaan
pertanian konservasi. Ketiga kelompok tersebut beragam dalam melakukan penjenjangan keduabelas bidang kompetensi dalam melestarikan hutan lindung, ternyata koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,95 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara ketiga kelompok tersebut.
Tabel 34. Hubungan Pendapatan dengan Pengetahuan Petani Pendapatan Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Penanaman tanaman keras Pengelolaan pertanian konservasi Pengembangan modal sosial petani Pemeliharaan tanaman keras Pembibitan tanaman keras Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian Pengembangan kearifan lokal petani Pengelolaan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi Pengawasan usaha tani tepi hutan Perencanaan usaha tani tepi hutan Keamanan pertanian konservasi Rata – rata Keterangan :
W = 0,95 Sangat nyata pada α = 0,01
Rendah ST JJ n = 134 83,75 1 82,35 2 82,17 3 79,35 4 77,75 5 76,59 6 75,50 7 75,40 8 73,95 9 72,04 10 71,11 11 66,71 12 76,39
Sedang ST JJ n =133 84,25 2 87,26 1 84,14 3 80,55 4 77,37 8 78,02 7 79,20 6 80,29 5 75,13 9 72,54 11 74,36 10 69,07 12 78,52
Tinggi ST JJ n = 133 86,90 2 88,47 1 84,38 3 82,37 4 79,95 5 78,53 7 77,19 8 78,71 6 72,34 11 73,66 9 72,92 10 70,24 12 78,81
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
155 HubunganTingkat Kekosmopolitan dengan Pengetahuan Petani
Pengetahuan bahwa kelompok tani yang memiliki tingkat kekosmopolitan rendah dan sedang memilih prioritas: 1) penanaman tanaman keras, 2) pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan, dan 3) pengembangan modal sosial petani. Sedangkan kelompok tani dengan tingkat kekosmopolitan tinggi memilih prioritas: 1) penanaman tanaman keras, 2) pengelolaan pertanian konservasi, dan 3) pengembangan modal sosial petani. Adapun bidang yang kurang mendapat prioritas ialah: 1) pemeliharaan tanaman keras, 2) pembibitan tanam keras, 3) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 4) pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan, 5) pengawasan usaha tani tepi hutan, 6) perencanaan usaha tani, 7) perencanaan pertanian konservasi, 8) pengawasan usaha tani tepi hutan, dan 9) Keamanan pengelolaan pertanian konservasi.
Tabel 35. Hubungan Tingkat Kekosmopolitan dengan Pengetahuan Petani Tingkat Kekosmopolitan Petani Tepi Hutan Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi Penanaman tanam keras Pengembangan modal sosial petani Pemeliharaan tanaman keras Pembibitan tanaman keras Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian Pengembangan kearifan lokal petani Pengelolaan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi Pengawasan usaha tani tepi hutan Perencanaan usaha tani tepi hutan Keamanan pertanian konservasi Rata – rata Keterangan :
W = 0,94 Sangat nyata pada α = 0,01
Rendah ST JJ n = 136 86,90 1 84,83 2 83,31 3 80,21 4 79,44 5 77,70 6 77,13 7 76,83 8 74,58 9 73,39 10 73,00 11 69,92 12 78,11
Sedang ST JJ n =136 85,57 1 83,90 2 83,37 3 79,14 5 77,15 7 78,11 6 76,96 8 80,10 4 73,14 9 71,87 10 71,30 11 67,72 12 77,36
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Tinggi ST JJ n = 128 85,55 2 86,23 1 84,03 3 83,05 4 78,49 5 77,28 8 77,82 6 77,41 7 73,69 10 72,99 11 74,15 9 68,35 12 78,25
156 Dengan demikian perbedaan tingkat kekosmopolitan menjadikan adanya perbedaan pemilihan prioritas, hal ini didasarkan adanya keterbukaan terhadap informasi dan kebutuhan, oleh karena itu perilaku seseorang salah satunya sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan informasi yang didapat. Tabel 35 menjelaskan bahwa ketika petani semakin banyak informasi yang didapat, maka pilihan prioritas untuk melestarikan hutan adalah penanaman tanaman keras, hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kekosmopolitannya tinggi akan menumbuhkan kesadaran petani tepi hutan untuk mengembalikan lingkungan hutan. Dalam
melakukan
penjenjangan
keduabelas
bidang
kompetensi
dalam
melestarikan hutan lindung walaupun ketiga kelompok berbeda, ternyata koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,94 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 menunjukkan adanya kesepakatan yang tinggi di antara ketiga kelompok tersebut.
Hubungan Jumlah Anggota Keluarga dengan Pengetahuan Petani
Tabel 36 menjelaskan dari ranah pengetahuan bahwa kelompok tani yang memiliki jumlah keluarga sedikit, sedang dan banyak, dalam memilih prioritas adalah sama yaitu: 1) pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan, 2) penanaman tanaman keras, dan 3) pengembangan modal sosial petani Adapun bidang yang kurang mendapat prioritas ialah: 1) pemeliharaan tanaman keras, 2) pembibitan tanam keras, 3) pengelolan usahatani tepi hutan, 4) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian, 5) pengembangan kearifan lokal, 6) perencanaan pertanian konservasi, 7) perencanaan usahatani tepi hutan, 8) pengawasan usaha tani tepi hutan, dan 9) Keamanan pengelolaan pertanian konservasi.
157 Dengan demikian tidak ada perbedaan pemilihan prioritas pada petani yang memiliki jumlah anggota keluarga sedikit, sedang dan banyak dalam melakukan penjenjangan keduabelas bidang kompetensi. Diketahui bahwa koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,96 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara ketiganya.
Tabel 36. Hubungan Jumlah Anggota Keluarga dengan Pengetahuan Petani Jumlah Anggota Keluarga Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi Penanaman tanam keras Pengembangan modal sosial petani Pemeliharaan tanaman keras Pembibitan tanaman keras Pengelolaan usaha tani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian Pengembangan kearifan lokal petani Perencanaan pertanian konservasi Perencanaan usaha tani tepi hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Keamanan pertanian konservasi Rata – rata Keterangan :
Kecil ST JJ n = 118 83,66 1 83,65 2 82,17 3 80,74 4 79,31 5 77,78 6 76,12 7 75,69 8 71,04 9 71,02 10 70,01 11 68,53 12 76,64
W = 0,96 Sangat nyata pada α = 0,01
Sedang ST JJ n =158 86,83 1 85,74 2 84,91 3 81.57 4 78,45 7 78,88 6 79,39 5 78,28 8 75,48 9 73,95 11 75,43 10 70,02 12 79,08
Besar ST JJ n = 124 87,23 1 85,22 2 83,17 3 79,74 4 77,34 7 77,48 6 77,08 8 77,56 5 74,31 9 73,01 10 71,93 11 67,08 12 77,60
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Hubungan Kontak PPL dengan Pengetahuan Petani
Tabel 37 menjelaskan dari ranah pengetahuan bahwa kelompok tani yang memiliki kontak dengan PPL dengan intensitas rendah dan sedang, lebih memilih prioritas: 1) pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan, 2) penanaman tanaman keras, dan 3) pengembangan modal sosial petani. Sedangkan kelompok tani dengan intensitas
158 tinggi kontak dengan PPL, memilih prioritas: 1) penanaman tanaman keras, 2) pengelolaan pertanian konservasi, dan 3) pengembangan modal sosial petani. Perbedaan tingkat intensitas kontak dengan PPL menjadikan adanya perbedaan pemilihan prioritas, khususnya pada kategori sedang dan tinggi, dan kontak dengan PPL memberikan dampak pada keterbukaan terhadap informasi.
Tabel 37. Hubungan Kontak PPL dengan Pengetahuan Petani Kontak dengan PPL Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi Penanaman tanam keras Pengembangan modal sosial petani Pemeliharaan tanaman keras Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian Pengelolaan usaha tani tepi hutan Pembibitan tanaman keras Pengembangan kearifan lokal petani Perencanaan pertanian konservasi Perencanan usaha tani tepi hutan Perencanan usaha tani tepi hutan Keamanan pertanian konservasi Rata – rata Keterangan :
W = 0,96 Sangat nyata pada α = 0,01
Tabel 37
Rendah ST JJ n = 147 86,11 1 84,75 2 82,69 3 80,41 4 77,02 5 76,93 6 76,60 7 76,17 8 73,72 9 72,72 10 72,58 11 68,73 12 77,37
Sedang ST JJ n =122 86,77 1 84,63 2 82,98 3 81,17 4 77,71 8 80,02 5 79,89 6 78,01 7 73,69 9 73,15 11 73,57 10 69,60 12 78,43
Tinggi ST JJ n = 131 85,21 2 85,52 1 85,09 3 80,76 4 78,49 6 77,70 8 78,90 5 77,90 7 74,01 9 72,55 10 72,17 11 67,73 12 78,00
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
menjelaskan bahwa ketika petani semakin banyak informasi yang
didapat melalui kontak dengan PPL, maka pilihan prioritas untuk melestarikan hutan adalah penanaman tanaman keras, hal ini mengindikasikan bahwa pesan yang dibawa PPL kepada
petani tepi hutan untuk mengembalikan lingkungan hutan pada petani
dengan tingkat intensitas kontak PPL tinggi ternyata efektif untuk membantu melestarikan hutan.
159 Walapun ada perbedaan jenjang pada kategori, namun penjenjangan keduabelas bidang kompetensi dalam melestarikan hutan lindung, ternyata koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,96 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara kelompok yang bertemu dengan PPL.
Hubungan Umur dengan Sikap Petani dalam Kompetensi Melestarikan
Tabel 38 menjelaskan keragaman dari ranah sikap pada beberapa bidang kompetensi melestarikan, yang ternyata lebih disukai oleh petani umur muda (19 – 35 tahun) menjadi prioritas yaitu: 1) pemeliharaan tanaman keras, 2) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, dan 3) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan. Ketiga jenjang dari kelompok umur muda, sikap yang lebih disukai pada priroitas pertama, aspek teknis, dan prioritas kedua, ketiga adalah aspek sosial. Sedangkan sikap yang lebih disukai pada kelompok umur, sedang (36 – 45 tahun) pilihan prioritasnya yaitu: 1) pengawasan usaha tani tepi hutan, 2) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, dan 3) pemeliharaan tanaman keras. Selain itu, kelompok umur sedang, sikap yang lebih disukai pada prioritas pertama adalah aspek sosial ekonomi, prioritas kedua adalah aspek sosial budaya, dan prioritas ketiga adalah aspek teknis. Pada kelompok umur tua (46 – 75 tahun), pilihan prioritas yang lebih disukai ialah: 1) pengawasan usaha tani tepi hutan, 2) pemeliharaan tanaman keras, dan 3) pengembangan modal sosial petani tepi hutan. Pada kelompok umur tua, sikap yang lebih disukai pada prioritas pertama, adalah aspek sosial ekonomi, prioritas kedua adalah aspek teknis, dan prioritas ketiga adalah aspek sosial budaya.
160 Adapun kompetensi yang kurang disukai oleh petani tepi hutan yaitu: 1) pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan, 2) pengelolaan usaha tani tepi hutan, 3) perencanaan usaha tani tepi hutan, 4) Keamanan dalam pertanian konservasi, 5) penanaman tanaman keras, 6) perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan, 7) pengembangan kearifan lokal petani, dan 8) pembibitan tanam keras. Ketiga kelompok umur pada penjenjangan keduabelas bidang, ternyata
koefisien
konkordasi Kendall W sebesar 0,95 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01. Hal ini menunjukkan adanya kesepakatan yang tinggi di antara ketiga kelompok umur terhadap keduabelas bidang kompetensi dalam melestarikan hutan lindung.
Tabel 38. Hubungan Umur dengan Sikap Petani Umur Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pemeliharaan tanaman keras Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Pengelolaan usaha tani tepi hutan Perencanan usaha tani tepi hutan Keamanan pertanian konservasi Penanamaan tanam keras Perencanaan pertanian konservasi Pengembangan kearifan lokal petani Pembibitan tanaman keras Rata – rata Keterangan :
W = 0,95 Sangat nyata pada α = 0,01
Muda ST JJ n = 135 3,21 1 3,20 2 3,19 3 3,17 4 3,16 5 3,03 6 2,96 7 2,95 8,5 2,95 8,5 2,94 10 2,86 11 2,82 12 3,04
Sedang ST JJ n =123 3,12 4 3,24 2 3,25 1 3,20 3 3,05 5 3,00 7 3,01 6 2,87 10 2,91 9 2,99 8 2,84 12 2,86 11 3,03
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Tua ST JJ n = 142 3,14 4 3,33 1 3,25 2 3,18 3 3,10 5 3,01 7 3,03 6 2,88 10 2,95 9 2,99 8 2,83 11 2,75 12 3,04
161 Hubungan Lama Tinggal Petani di Desa dengan Sikap Petani
Tabel 39 menjelaskan dari ranah sikap bahwa lama tinggal didesa tepi hutan yang berkategori pendatang baru, (3–26 tahun) lebih suka memillih prioritas: 1) pengembangan modal sosial petani tepi hutan (aspek sosial-budaya), 2) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan (aspek sosial-budaya), dan 3) pengawasan usaha tani tepi hutan (aspek sosial-ekonomi), Demikian halnya dengan kelompok petani berkategori sedang (27– 35 tahun), lebih suka memilih prioritas: 1) pengawasan usaha tani tepi hutan (aspek sosial-ekonomi), 2) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian (aspek sosialbudaya) dan 3) pemeliharaan tanaman keras (aspek teknis). Pada kelompok penduduk lama (36–71 tahun) memiliki jenjang yang sama dengan kelompok tani yang berkategori baru.
Tabel 39. Hubungan Lama Tinggal di Desa dengan Sikap Petani Lama Tinggal di Desa Tepi Hutan Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Pemeliharaan tanaman keras Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi Perencanan usaha tani tepi hutan Pengelolaan usaha tani tepi hutan Pengembangan kearifan lokal petani Penanaman tanam keras Keamanan pertanian konservasi Pembibitan tanaman keras Rata - rata Keterangan :
W = 0,93 Sangat nyata pada α = 0,01
Baru ST JJ n = 132 3,31 1 3,26 2 3,18 3 3,12 4 3,09 5 2,97 6 2,96 7 2,95 8 2,90 9 2,89 10 2,87 11 2,78 12 3,02
Sedang ST JJ n =129 3,19 3 3,19 2 3,15 4 3,24 1 3,14 5 2,95 10 3,01 7 3,05 6 2,75 12 2,99 8 2,98 9 2,85 11 3,04
Lama ST JJ n = 148 3,26 1 3,23 2 3,18 3 3,16 4 3,11 5 2,97 8 3,00 7 3,01 6 2,85 11 2,94 9 2,90 10 2,81 12 3,04
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
162 Adapun kompetensi yang kurang disukai oleh petani dalam melestarikan yaitu: 1) pemeliharaan tanaman keras, 2) pengelolaan usaha tani tepi hutan, 3) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian, 4) perencanaan pertanian konservasi di kawasan 5), perencanaan usaha tani tepi hutan dan 6) pengawasan usaha tani tepi hutan, 7) pengembangan kearifan lokal petani tepi hutan,
8) Keamanan
dalam pertanian
konservasi, dan 9) pembibitan tanaman keras. Walaupun ketiga kelompok tersebut berbeda dalam menentukan prioritas penjenjangan, ternyata koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,93 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 hal ini menunjukkan adanya kesepakatan yang tinggi di antara para petani dalam hal penjenjangan keduabelas bidang dalam melestarikan hutan lindung.
Hubungan Suku dengan Sikap Petani Tabel 40 menjelaskan dari ranah sikap bahwa prioritas yang lebih disukai dalam melestarikan hutan oleh Suku Jawa yaitu: 1) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 2) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian, dan 3) pemeliharaan tanaman keras. Sedangkan sikap yang lebih disukai oleh Suku Sunda dan yang lainnya yaitu: 1) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian, 2) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, dan 3) pengawasan usaha tani tepi hutan. Sedangkan kompetensi yang kurang disukai oleh petani dalam melestarikan yaitu: 1) pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan, 2) perencanaan usaha tani tepi hutan, 3) pengelolaan usaha tani tepi hutan, 4) perencanaaan pertanian konservasi di tepi hutan, 5) penanaman tanaman keras, 6) Keamanan pertanian konservasi di tepi hutan, 7) pengembangan kearifan lokal petani, dan 8) pembibitan tanaman keras. Berikut disajikan tabel Suku terhadap sikap petani dalam melesatrikan hutan:
163 Tabel 40. Hubungan Suku dengan Sikap Melestarikan Hutan Suku Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengembangan modal sosial petani Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian Pemeliharaan tanaman keras Pengawasan usaha tani tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi Perencanan usaha tani tepi hutan Pengelolaan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi Penanaman tanam keras Keamanan pertanian konservasi Pengembangan kearifan lokal petani Pembibitan tanaman keras Rata –rata Keterangan :
W = 0,94 Sangat nyata pada α = 0,01
Jawa ST JJ n = 284 3,25 1 3,20 2 3,16 3,5 3,16 3,5 3,11 5 3,00 6,5 3,00 6,5 2,97 8 2,92 9 2,89 10 2,83 11 2,79 12 3,02
Sunda ST JJ n = 88 3,26 2 3,28 1 3,15 4 3,24 3 3,12 5 2,96 7 3,06 6 2,96 8 2,95 9 2,91 10 2,86 11 2,84 12 3,05
Yang lain ST JJ n = 28 3,38 2 3,42 1 3,18 4 3,31 3 3,06 7 3,05 8 3,04 9 3,10 5 3,08 6 2,96 10 2,96 11 2,88 12 3,12
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Tabel 40 menunjukkan bahwa kelompok Suku Jawa dan Suku Sunda ada kesamaan dalam melakukan penjenjangan dari kesatu sampai keempat. Hal ini dikuatkan dengan adanya koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,94 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01. Hal ini menunjukkan adanya tingkat kesepakatan yang tinggi di antara ketiga kelompok suku asal petani dalam melestarikan hutan lindung.
Hubungan Motivasi dengan Sikap Melestarikan Hutan
Tabel 41 menjelaskan dari ranah sikap bahwa prioritas yang lebih disukai pada motivasi rendah yaitu: 1) Menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, 2) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, dan 3) pengawasan usaha tani tepi hutan. Sedangkan pada motivasi sedang, prioritas yang lebih disukai yaitu: 1) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 2) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan,
164 dan, 3) pengelolaan pertanian konservasi. Pada kelompok tani yang memiliki motivasi tinggi dalam melestarikan hutan, pilihan prioritas yang lebih disukai yaitu: 1) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 2) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, dan 3) pengawasan usaha tani tepi hutan. Berikut disajikan tabel hubungan motivasi dengan sikap petani dalam melesatrikan.
Tabel 41. Hubungan Motivasi dengan Sikap Petani Motivasi dalam Melestarikan Hutan Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi Pemeliharaan tanaman keras Pengelolaan usaha tani tepi hutan Perencanan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi Penanaman tanam keras Pengembangan kearifan lokal petani Keamanan pertanian konservasi Pembibitan tanaman keras Rata –rata Keterangan :
W = 0,95 Sangat nyata pada α = 0,01
Rendah ST JJ n = 140 3,25 1 3,23 2 3,18 3 3,12 4 3,11 5 3,02 6 3,01 7 3,00 8 2,98 9 2,94 10 2,90 11 2,85 12 3,05
Sedang ST JJ n =133 3,25 2 3,27 1 3,23 4 3,11 5 3,23 3 3,07 6 3,02 7 2,91 10 2,92 9 2,81 11 2,93 8 2,81 12 3,05
Tinggi ST JJ n = 127 3,19 2 3,29 1 3,14 3 3,08 5 3,14 4 2,95 8 2,96 7 3,02 6 2,91 9 2,78 11 2,88 10 2,76 12 3,01
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Memperhatikan tabel di atas, kompetensi yang kurang disukai oleh petani dalam melestarikan hutan dan mengindikasikan kompetensi yang rendah yaitu: 1) pemeliharaan tanaman keras, 2) pengelolaan usaha tani tepi hutan, 3) perencanaan usaha tani tepi hutan, 4) perencanaan pertanian konservasi, 5) penanaman tanaman keras, 6) pengembangan kearifan lokal, 7) Keamanan pertanian konservasi, dan 8) pembibitan tanam keras.
165 Klasifikasi pengkategorian petani bermotivasi rendah, yaitu hanya membuka lahan dan tidak pernah melakukan pembibitan maupun penanaman tanaman keras. Sedangkan pada kelompok tani yang bermotivasi kategori sedang, didefinisikan sebagai pengelola dan menggarap lahan yang terlantar berkisar 2 sampai 3 kali melakukan pembibitan dan penanaman. Kategori tinggi adalah petani yang mengelola lahan kritis dan lebih dari 4 kali melakukan pembibitan serta penanaman di berbagai lahan. Walaupun ketiga kelompok tani ini mempunyai perbedaan dalam menentukan prioritas, ternyata ketiganya memiliki kesepakatan yang tinggi terhadap kompetensi di bidang melestarikan hutan. Hal ini dikuatkan dengan koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,95 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01.
Hubungan Pendidikan Formal dengan Sikap Petani
Tabel 42 menjelaskan dari ranah sikap bahwa hubungan pendidikan formal petani tepi hutan pada tingkat rendah (tidak sekolah sampai dengan SD kelas 4) dengan kompetensi melestarikan hutan menunjukkan prioritas yang lebih disukai yaitu: 1) Menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, 2) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, dan 3) pengawasan usaha tani tepi hutan. Sedangkan pada kelompok tani yang memiliki pendidikan formal sedang (kelas 5 sampai kelas 6 lulus), pilihan prioritas yang lebih disukai yaitu: 1) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 2) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, dan 3) pengawasan usaha tani tepi hutan. Berikut disajikan tabel hubungan pendidikan formal dengan kompetensi melestarikan.
166 Tabel 42. Hubungan Pendidikan Formal dengan Sikap Petani Pendidikan Formal Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Pemeliharaan tanaman keras Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Perencanan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi Pengelolaan usaha tani tepi hutan Penanaman tanam keras Keamanan pertanian konservasi Pengembangan kearifan lokal petani Pembibitan tanaman keras Rata –rata Keterangan :
W = 0,95 Sangat nyata pada α = 0,01
Rendah ST JJ n = 108 3,25 2 3,25 2 3,25 2 3,16 4 3,11 5 3,01 6 3,00 7 2,99 8 2,94 9,5 2,94 9,5 2,89 11 2,83 12 3,05
Sedang ST JJ n = 167 3,20 2 3,28 1 3,14 3 3,13 4 3,10 5 2,99 7 2,96 8 3,04 6 2,95 9 2,84 10 2,77 12 2,80 11 3,02
Tinggi ST JJ n = 125 3,25 1 3,24 2 3,19 4 3,19 3 3,12 5 3,00 6 2,98 8 3,00 7 2,91 11 2,95 9 2,92 10 2,80 12 3,05
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Pada kelompok tani yang berpendidikan tinggi (SMP kelas 1-SMA lulus) prioritas yang lebih disukai yaitu: 1) Menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, 2) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, dan 3) pemeliharaan tanaman keras. Adapun yang kurang disukai oleh petani dalam melestarikan hutan dan mengindikasikan kompetensi yang rendah yaitu: 1) pemeliharaan tanaman keras, 2) pengelolaan usaha tani tepi hutan, 3) perencanaan usaha tani tepi hutan, 4) perencanaan pertanian konservasi, 5) penanaman tanaman keras, 6) pengembangan kearifan lokal, 7) keamanan pertanian konservasi, dan 8) pembibitan tanam keras. Hal ini menginformasikan bahwa kelompok tani berdasarkan pendidikan formal ini mempunyai perbedaan dalam menentukan prioritas, dan ternyata ketiganya memiliki kesepakatan yang tinggi terhadap duabelas kompetensi dalam melestarikan hutan lindung. Terbukti dengan nilai koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,97 yang sangat
167 nyata pada taraf α = 0,01 dan menunjukkan adanya kesamaan ketiga kelompok berdasarkan pendidikan formal.
Hubungan Pendidikan Non Formal dengan Sikap Petani
Tabel 43 menjelaskan dari ranah sikap bahwa hubungan pendidikan non formal petani berpendidikan non formal tinggi memilih hal paling disukai yaitu: 1) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, 2) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, dan 3) pengawasan usaha tani tepi hutan, sedangkan pada kelompok tani yang berpendidikan non formal sedang pilihan prioritas yang lebih disukai ialah: 1) Menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, 2) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, dan 3) pemeliharaan tanaman keras. Tinggi rendahnya intensitas pelatihan menjadikan perbedaan bidang yang lebih disukai, adapun bidang yang kurang disukai oleh petani dalam melestarikan hutan dan mengindikasikan kompetensi yang rendah yaitu: 1) pemeliharaan tanaman keras, 2) pengelolaan usaha tani tepi hutan, 3) perencanaan usaha tani tepi hutan, 4) perencanaan pertanian konservasi, 5) penanaman tanaman keras, 6) pengembangan kearifan lokal, 7) Keamanan dalam pertanian konservasi, dan 8) pembibitan tanam keras. Ketiga kelompok tersebut beragam dalam melakukan penjenjangan keduabelas bidang kompetensi dalam melestarikan hutan lindung, ternyata koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,83 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 dan menunjukkan adanya kesepakatan yang tinggi pada ketiga kelompok tani tersebut dalam kompetensi melestarikan hutan lindung. Berikut disajikan tabel hubungan pendidikan non formal dengan sikap petani.
168 Tabel 43. Hubungan Pendidikan Non Formal dengan Sikap Petani Pendidikan Non Formal Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Pemeliharaan tanaman keras Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Pengelolaan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan Perencanan usaha tani tepi hutan Penanaman tanam keras Keamanan pertanian konservasi di tepi hutan Pengembangan kearifan lokal petani Pembibitan tanaman keras Rata – rata Keterangan :
W = 0,83 Sangat nyata pada α = 0,01
Rendah ST JJ n = 268 3,27 1 3,23 2 3,20 3 3,16 4 3,10 5 3,01 6,5 3,01 6,5 2,98 8 2,97 9 2,91 10 2,87 11 2,85 12 3,05
Sedang ST JJ n = 115 3,23 1 3,22 2 3,13 4 3,19 3 3,13 5 3,02 7 2,88 8 3,03 6 2,86 10 2,87 9 2,76 11 2,69 12 3,00
Tinggi ST JJ 17 3,36 1 3,33 2 3,29 3 2,98 9 3,17 4 2,97 10 3,05 7 3,04 8 2,96 11 3,06 6 3,11 5 2,94 12 3,11
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Hubungan Pengalaman Berusaha dengan Sikap Petani Tabel 44 menjelaskan dari ranah sikap bahwa hubungan pengalaman berusaha dengan kesukaan dalam memilih prioritas pada kelompok tani yang pengelamannya rendah (tidak berpengalaman hingga pernah mengelola selama 4 tahun) yaitu: 1) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 2) pengawasan usaha tani tepi hutan, dan 3) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan. Sedangkan pada kelompok tani yang pengalamannya sedang (pengalaman mengelola beriksar 5 tahun sampai 8 tahun), lebih suka memilih prioritas: 1) pengawasan usaha tani tepi hutan, 2) pemeliharaan tanaman keras, dan 3) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, Pada kelompok tani yang berpengalaman tinggi (berkisar mulai dari 9 tahun sampai 47 tahun), prioritas yang
169 lebih disukai yaitu: 1) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 2) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, 3) pengawasan usaha tani tepi hutan.
Tabel 44. Hubungan Pengalaman Berusaha dengan Sikap Petani Pengalaman Berusaha Tani di Tepi Hutan Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pemeliharaan tanaman keras Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Perencanan usaha tani tepi hutan Pengelolaan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan Penanaman tanam keras Pembibitan tanaman keras Pengembangan kearifan lokal petani Keamanan pertanian konservasi di tepi hutan Rata – rata Keterangan :
W = 0,94 Sangat nyata pada α = 0,01
Rendah ST JJ n = 125 3,26 1 3,17 2 3,15 3 3,11 4 3,07 5 2,99 6,5 2,99 6,5 2,94 8,5 2,94 8,5 2,87 10,5 2,87 10,5 2,81 12 3.01
Sedang ST JJ n =137 3.27 2 3.18 4 3.28 1 3.20 3 3.13 5 3.01 9 3.05 6 3.01 8 3.04 7 2.86 12 2.86 11 2.97 10 3.07
Tinggi ST JJ n = 138 3.25 1 3.20 3 3.25 2 3.16 4 3.12 5 2.99 7 3.00 6 2.97 8 2.84 10 2.70 12 2.81 11 2.93 9 3.02
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Pengalaman berusaha petani dalam menggarap lahan memberikan gambaran bahwa petani yang rendah cenderung mengutamakan sikap sosialnya dibanding sikap konservasi atau teknisnya, dan pada petani yang berpengalaman sedang, sikap yang lebih dominan yaitu aspek sosial-ekonomi, hal ini mengindikasikan bahwa petani dengan pengalaman berkategori sedang, orientasinya pada motivasi yang berdimensi sosial ekonomi. Dengan demikian untuk menumbuhkan kesadaran petani tentang kelestarian hutan, tentunya akan lebih baik jika dihubungkan dengan kebutuhan ekonomi rumah tangga petani tepi hutan.
170 Tabel 44 menunjukkan bahwa ketiga kelompok tani tepi hutan lebih suka memberi jenjang
yang lebih rendah pada: 1) pengelolaan pertanian konservasi, 2)
perencanaan usaha tani tepi hutan, 3) pengelolaan usaha tani tepi hutan, 4) perencanan pertanian konservasi, 5) penanaman tanam keras, 6) pembibitan tanam keras, 7) pengembangan kearifan lokal petani tepi hutan, 8) Keamanan pertanian konservasi. Walaupun dalam melakukan penjenjangan keduabelas bidang kompetensi dalam melestarikan hutan lindung berbeda, ternyata koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,94 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01. Hal ini menunjukkan adanya kesepakatan yang tinggi di antara pengalaman berusaha pada ketiga kelompok tani.
Hubungan Luas Lahan Garapan dengan Sikap Petani
Tabel 45 menjelaskan dari ranah sikap bahwa ukuran luas lahan garapan pada skala prioritas satu sampai ketiga, tidak menyebabkan adanya perbedaan terhadap pilihan yang paling disukai pada duabelas bidang kompetensi dalam melestarikan. Prioritas yang paling disukai dari ketiga kelompok tani tersebut yaitu: 1) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 2) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan dan 3) pengawasan usaha tani tepi hutan. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa berapapun luas lahan yang dikelola oleh petani tepi hutan, karakter yang melekat adalah bahwa petani tepi hutan memiliki semangat sosial yang tinggi terhadap sesamanya. Hal ini dikuatkan dengan kemampuan yang dimiliki oleh petani tepi hutan dalam hal berpartisipasi dalam pembangunan, kemampuan dalam membangun interaksi sesama petani dan orang luar serta kemampuan dalam menghadapi resiko.
171
Tabel 45. Hubungan Luas Lahan Garapan dengan Sikap Petani Luas Lahan Garapan Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian Pengawasan usaha tani tepi hutan Pemeliharaan tanaman keras Pengelolaan pertanian konservasi Perencanan usaha tani tepi hutan Pengelolaan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi Penanaman tanam keras Pembibitan tanaman keras Pengembangan kearifan lokal petani Keamanan pertanian konservasi Rata – rata Keterangan :
W = 0,97 Sangat nyata pada α = 0,01
Sempit ST JJ n = 94 3,22 1,5 3,22 1,5 3,12 3 3,11 4 3,02 5 2,98 6,5 2,98 6,5 2,93 8 2,90 9 2,86 10 2,83 11 2,81 12 3,00
Sedang ST JJ n =166 3,30 1 3,24 2 3,20 3 3,18 5 3,18 4 3,01 8 3,02 6 3,02 7 2,96 10 2,79 12 2,92 11 2,98 9 3,07
Luas ST JJ n = 140 3,23 1 3,22 2 3,21 3 3,17 4 3,08 5 3,00 7 3,03 6 2,95 8 2,94 9 2,79 11 2,77 12 2,88 10 3,02
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Kesiapan menghadapi resiko inilah faktor yang paling mendukung perilaku petani dalam menghadapi segala tantangan. Tabel 45 juga memberikan informasi bahwa ketiga kelompok tani memberi jenjang
yang lebih rendah pada bidang: 1) pemeliharaan
tanaman keras, 2) pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan, 3) perencanaan pertanian konservasi, 4) pengelolaan usaha tani tepi hutan, 5) perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan, 6) penanaman tanaman keras, 7) pembibitan tanaman keras, 8) pengembangan kearifan lokal petani tepi hutan, dan 9) Keamanan
dalam pertanian
konservasi. Kesepakatan yang tinggi di antara ketiga kelompok tersebut dalam menjenjang prioritas yang paling disukai untuk melestarikan hutan lindung, dikuatkan dengan koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,97 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01. Hal
172 tersebut menunjukkan adanya kesepakatan yang tinggi di antara pengalaman berusaha pada ketiga kelompok tani tersebut
Hubungan Status Lahan Garapan dengan Sikap Petani
Tabel 46 menjelaskan dari ranah sikap bahwa status lahan garapan yang berupa: a) lahan milik sendiri, b) lahan sewa-bagi hasil, dan c) lahan milik pemerintah, ternyata memiliki perbedaan dalam menentukan prioritas. Pada lahan milik sendiri, petani lebih suka menentukan prioritasnya: 1) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 2) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, dan 3) pemeliharaan tanaman keras. Sedangkan pada lahan yang berstatus sewa-bagi hasil, kecenderungan petani tepi hutan lebih suka memilih prioritas: 1) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, 2) pemeliharan tanaman keras, dan 3) pengawasan usaha tani tepi hutan. Pada kelompok tani yang menggarap lahan dengan status milik pemerintah, pilihan prioritas yang paling mereka sukai ialah: 1) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, 2) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, dan 3) pengawasan usaha tani tepi hutan. Dengan demikian, karakter petani tepi hutan yang menggarap lahan pada dasarnya telah memiliki kemampuan dan kesadaran berupa sikap terbuka. Hal tersebut ditunjukkan dalam hal kesukarelaannya untuk berpartisipasi, kemampuan membangun interaksi dan kesiapan mental dalam menghadapi resiko berusaha tani. Sikap ini adalah modal yang kuat untuk mampu bertahan hidup di tepi hutan dengan segala kekurangan fasilitas dan infrastruktur.
173 Tabel 46. Hubungan Status Lahan Garapan dengan Sikap Petani
Status Lahan Garapan Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pemeliharaan tanaman keras Pengawasan usaha tani tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan Perencanan usaha tani tepi hutan Pengelolaan usaha tani tepi hutan Penanaman tanam keras Keamanan pertanian konservasi di tepi hutan Pengembangan kearifan lokal petani Pembibitan tanaman keras Rata – rata Keterangan :
W = 0,92 Sangat nyata pada α = 0,01
Milik Sendiri ST JJ n = 192 3,29 1 3,22 2 3,19 3,5 3,19 3,5 3,14 5 3,01 6 2,99 7 2,98 8 2,97 9 2,92 10 2,84 11 2,82 12 3,05
SewaBagi ST JJ n =47 3,22 2 3,21 3 3,16 4 3,28 1 3,06 5 3,05 6 2,84 11 3,01 7 2,90 10 2,90 9 2,93 8 2,80 12 3,03
Milik Pemerintah ST JJ n = 161 3,24 2 3,25 1 3,12 4 3,15 3 3,08 5 2,92 8 3,06 6 3,05 7 2,92 9 2,88 10 2,83 11 2,79 12 3,02
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Tabel 46 menunjukkan bahwa ketiga kelompok tani memberi jenjang yang lebih rendah pada bidang kompetensi 1) pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan, 2) perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan, 3) perencanaan usaha tani tepi hutan, 4) pengelolaan usaha tani tepi hutan, 5) penanaman tanaman keras, 6) keamanan dalam pertanian konservasi, 7) pengembangan kearifan lokal petani tepi hutan, dan 8) pembibitan tanaman keras. Walaupun ketiga kelompok tersebut beragam status lahannya, namun dalam melakukan penjenjangan keduabelas bidang kompetensi ternyata koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,92 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 Hal tersebut menunjukkan adanya kesepakatan yang tinggi di antara ketiga kelompok status lahan garapan dengan kompetensi melestarikan.
174 Hubungan Pendapatan dengan Sikap Petani
Tabel 47 menjelaskan dari ranah sikap bahwa kelompok tani yang berpendapatan rendah (Rp. 283.200,- – Rp 789.200,-) lebih suka memilih prioritas: 1) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 2) pengawasan usaha tani tepi hutan dan 3) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan. Sedangkan pada tingkat pendapatan sedang (Rp 790.500,- – Rp.1.087.900,-), bidang yang lebih disukai ialah: 1) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 2) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, dan 3) pengawasan usaha tani tepi hutan. Pada kategori petani berpendapatan tinggi (Rp.1.096.900,- sampai dengan Rp 6.154.050,-), bidang yang menjadi prioritas ialah: 1) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, 2) pemeliharaan tanaman keras dan 3) pengembangan modal sosial petani tepi hutan. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa petani yang berpendapatan rendah dan sedang, pengembangan modal sosial yang terdiri atas komponen: a) partisipasi, b) interaksi, dan c) kemampuan menghadapai resiko, dipandang sebagai hal yang penting dalam meningkatkan pendapatan. Sedangkan pada kelompok tani yang berpendapatan tinggi, menempatkan aspek sosial ekonomi yang terdiri dari komponen: a) kemampuan memprediksi pasar, b) kemampuan memprediksi hasil yang didapat, dan c) kemampuan menentukan pola dan jenis tanaman sebagai hal yang penting dalam meningkatkan pendapatan.
175
Tabel 47. Hubungan Pendapatan dengan Sikap Petani Pendapatan Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian Pemeliharaan tanaman keras Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Pengelolaan usaha tani tepi hutan Perencanan usaha tani tepi hutan Penanamaan tanam keras Perencanaan pertanian konservasi Keamanan pertanian konservasi Pengembangan kearifan lokal petani Pembibitan tanaman keras Rata –rata Keterangan :
W = 0,95 Sangat nyata pada α = 0,01
Rendah ST JJ n = 134 3,27 1 3,16 2,5 3,16 2,5 3,14 4 3,13 5 2,99 6 2,97 7 2,94 8 2,93 9 2,87 10 2,85 11 2,84 12 3,02
Sedang ST JJ n =133 3,23 1 3,17 3 3,23 2 3,11 4 3,08 5 2,97 7 2,94 9 2,97 8 3,02 6 2,92 10 2,82 12 2,85 11 3,03
Tinggi ST JJ n = 133 3,29 2 3,22 4 3,31 1 3,22 3 3,12 5 3,08 7 3,08 6 2,90 10 2,98 8 2,91 9 2,87 11 2,73 12 3,06
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Walaupun Ketiga kelompok tersebut beragam dalam melakukan penjenjangan keduabelas bidang kompetensi dalam melestarikan hutan, ternyata koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,95 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 Hal tersebut menunjukkan adanya kesepakatan yang tinggi di antara ketiga kelompok tersebut
Hubungan Tingkat Kekosmopolitan dengan Sikap Petani
Tabel 48 menjelaskan dari ranah sikap bahwa kelompok tani yang memiliki tingkat kekosmopolitan rendah lebih suka memilih prioritas pada bidang: 1) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, 2) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, dan 3) pengawasan usaha tani tepi hutan. Sedangkan pada kelompok tani yang memiliki tingkat kekosmopolitan sedang, bidang yang lebih disukai ialah: 1)
176 pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 2)
menumbuhkan kesadaran tentang
kelestarian hutan, dan 3) pengembangan modal sosial petani tepi hutan. Pada kelompok tani yang tingkat kekosmopolitannya tinggi, prioritas bidang yang lebih disukai ialah: 1) pengawasan usaha tani tepi hutan, 2) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, dan 3) pengembangan modal sosial petani tepi hutan. Dengan demikian tingkat kekosmopolitan sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek sosial-budaya. Adapun bidang yang kurang disukai ialah: 1) pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan, 2) pemeliharaan tanaman keras, 3) perencanaan pertanian konservasi, 4) pengelolaan usaha tani tepi hutan, 5) perencanaan usaha tani tepi hutan, 6) penanaman tanaman keras, 7) Keamanan pengelolaan pertanian konservasi, 8) pengembangan kearifan lokal petani tepi hutan, dan 9) pembibitan tanaman keras. Berikut disajikan hubungan tingkat kekosmopolitan dengan sikap petani.
Tabel 48. Hubungan Tingkat Kekosmopolitan dengan Sikap Petani Tingkat Kekosmopolitan Petani Tepi Hutan Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Pemeliharaan tanaman keras Perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan Pengelolaan usaha tani tepi hutan Perencanan usaha tani tepi hutan Penanaman tanam keras Keamanan pertanian konservasi di tepi hutan Pengembangan kearifan lokal petani Pembibitan tanaman keras Rata-rata Keterangan :
W = 0,95 Sangat nyata pada α = 0,01
Rendah ST JJ n = 136 3,24 1 3,16 2 3,12 4 3,12 4 3,12 4 2,98 6 2,97 7,5 2,97 7,5 2,90 9 2,89 10 2,87 11 2,77 12 3,01
Sedang ST JJ n =136 3,24 2 3,40 1 3,22 3 3,13 5 3,21 4 2,92 9 3,02 7 3,09 6 2,95 8 2,89 10 2,83 11 2,80 12 3,06
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Tinggi ST JJ n = 128 3,21 3 3,22 1 3,21 2 3,08 5 3,15 4 3,03 7 3,05 6 2,93 10 2,96 8 2,93 9 2,85 11 2,85 11 3,04
177 Dengan adanya perbedaan tingkat kekosmopolitan menjadikan adanya perbedaan pemilihan prioritas, hal ini didasarkan adanya keterbukaan terhadap informasi dan kebutuhan. Pada kelompok tani yang tingkat kekosmopolitannya rendah, cenderung lebih suka memanfaatkan lahan di hutan apa adanya atau dengan pengelolaan yang minim dan menguatkan hubungan sosial antar petani. Sedangkan pada kelompok yang tingkat kekosmopolitannya tinggi, cendereng lebih suka mengelola lahan dengan orientasi sosial ekonomi. Tabel
48
menjelaskan
bahwa
ketika
petani
semakin
tinggi
tingkat
kekosmopolitannya, maka pemanfaatan lahan semakin optimal dalam aspek sosial ekonomi. Hal ini dikuatkan dengan koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,95 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 dan ini menunjukkan adanya kesepakatan yang tinggi di antara ketiga kelompok tersebut dengan duabelas kompetensi melestarikan
hutan
lindung.
Hubungan Jumlah Anggota Keluarga dengan Sikap Petani
Tabel 49 menjelaskan dari ranah sikap bahwa kelompok tani yang jumlah keluarganya sedikit (1 – 3 jiwa), pilihan prioritasnya pada bidang: 1) pengawasan usaha tani tepi hutan, 2) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, dan 3) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan. Sedangkan pada kelompok tani dengan jumlah keluarga sedang ( 4 - 5 jiwa), proritas yang lebih disukai ialah: 1) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 2) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian, dan 3) pengawasan usaha tani tepi hutan. Pada kelompok tani dengan jumlah anggota keluarga besar (lebih dari 6 jiwa), prioritas yang lebih disukai yaitu: 1) pengelolaan pertanian
178 konservasi di tepi hutan, 2) pengawasan usaha tani tepi hutan, dan 3) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan.
Tabel 49. Hubungan Jumlah Anggota Keluarga dengan Sikap Petani Jumlah Anggota Keluarga Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Pemeliharaan tanaman keras Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Pengelolaan usaha tani tepi hutan Perencanaan usaha tani tepi hutan Penanaman tanam keras Perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan Keamanan pertanian konservasi di tepi hutan Pembibitan tanaman keras Pengembangan kearifan lokal petani Rata-rata Keterangan :
W = 0,92 Sangat nyata pada α = 0,01
Rendah ST JJ n = 118 3,24 1 3,23 2,5 3,23 2,5 3,19 4 3,10 5 3,06 6 3,01 7 3,00 8 2,99 9 2,93 10 2,88 11 2,87 12 3,06
Sedang ST JJ n =158 3,17 3 3,23 2 3,31 1 3,14 4 3,08 5 2,96 8 3,00 6 2,96 7 2,92 9 2,89 10 2,85 11 2,81 12 3,03
Tinggi ST JJ n = 124 3,14 5 3,23 1 3,23 2 3,15 3 3,15 4 3,04 6 2,99 8 2,85 11 3,03 7 2,90 9 2,69 12 2,87 10 3,02
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Dengan demikian, jumlah anggota keluarga membuat perbedaan pengelolaan lahan di tepi hutan, dan membedakan pula pilihan prioritas yang lebih disukai petani. Pilihan tersebut sangat berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan keluarga petani. Adapun bidang yang kurang mendapat prioritas ialah: 1) pengelolaan usaha tani tepi hutan, 2) perencanaan usaha tani tepi hutan, 3) penanaman tanaman keras, 4) perencanaan pertanian konservasi, 5) pembibitan tanam keras, dan 6) pengembangan kearifan lokal petani. Tabel 49 menjelaskan walaupun ketiga kelompok petani beragam dalam melakukan penjenjangan keduabelas bidang kompetensi yang paling disukai, ternyata koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,92 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01
179 menunjukkan adanya kesepakatan yang tinggi di antara ketiga kelompok tersebut dalam melestarikan hutan.
Hubungan Kontak PPL dengan Sikap Petani
Tabel 50 menjelaskan dari ranah sikap bahwa kelompok tani yang kontak dengan PPL berintensitas rendah, memilih prioritas yang lebih disukai: 1) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 2) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, dan 3) penanaman tanaman keras. Sedangkan pada kelompok tani dengan intensitas kontak dengan PPL sedang, prioritas yang lebih suka dipilih ialah: 1) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, 2) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, dan 3) Keamanan
dalam pertanian konservasi. Pada kelompok tani dengan intensitas kontak
PPL tinggi, maka prioritas yang lebih disukai ialah: 1) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 2) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, dan 3) penanaman tanaman keras. Dengan demikian perbedaan tingkat intensitas kontak dengan PPL menjadikan adanya perbedaan pemilihan prioritas, khususnya pada jenjang pertama dan kedua. Pada ketiga kategori, ternyata aspek sosial-budaya lebih dominan. Hal ini mengindikasikan bahwa materi yang disampaikan oleh PPL tidak diterima sebagai materi dalam penyuluhan namun dipahami sebagai hubungan sosial. Adapun yang kurang disukai oleh petani dalam melestarikan hutan
dan
mengindikasikan kompetensi yang rendah yaitu: 1) pemeliharaan tanaman keras, 2) pengelolaan usaha tani tepi hutan, 3) perencanaan usaha tani tepi hutan, 4) perencanaan
180 pertanian konservasi, 5) penanaman tanaman keras, 6) pengembangan kearifan lokal, 7) Keamanan pertanian konservasi, dan 8) pembibitan tanam keras.
Tabel 50. Hubungan Kontak PPL dengan Sikap Petani Kontak dengan PPL Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Pemeliharaan tanaman keras Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Perencanan usaha tani tepi hutan Pengelolaan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan Penanaman tanam keras Keamanan pertanian konservasi di tepi hutan Pengembangan kearifan lokal petani Pembibitan tanaman keras Rata –rata Keterangan :
W = 0,97 Sangat nyata pada α = 0,01
Rendah ST JJ n = 147 3,30 1 3,23 2 3,18 3 3,16 4 3,12 5 3,09 6 3,06 7 3,00 8 2,99 9 2,93 10 2,91 11 2,84 12 3,05
Sedang ST JJ n =122 3,26 2 3,30 1 3,15 4 3,18 5 3,20 3 2,96 8 3,02 6 2,99 7 2,92 10 2,92 9 2,84 11 2,77 12 3,02
Tinggi ST JJ n = 131 3,22 1 3,16 2 3,18 3 3,13 4 3,01 5 2,93 7 2,95 6 2,92 8 2,90 9 2,86 10 2,78 12 2,81 11 2,96
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Walapun ada perbedaan jenjang pada kategori, namun penjenjangan keduabelas bidang kompetensi dalam melestarikan hutan lindung, ternyata mempunyai koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,97 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01. Hal tersebut menunjukkan kesepakatan yang tinggi di antara kelompok dalam melestarikan hutan lindung.
Hubungan Umur dengan Ketrampilan Petani
Tabel 51 menjelaskan keragaman pilihan prioritas yang didasarkan pada ketrampilan petani tepi hutan yang berumur muda yaitu: 1) pengawasan usaha tani tepi hutan, 2) pengelolaan usaha tani tepi hutan, dan 3) pembibitan tanaman keras. Sedangkan
181 pada petani tepi hutan berumur sedang, pilihan prioritas ketrampilan yang dimiliki yaitu: 1) pembibitan tanaman keras, 2) pengelolaan usaha tani tepi hutan, dan 3) pengawasan usaha tani tepi hutan. Pada kelompok umur tua
pilihan ketrampilan yang menjadi
prioritas ialah: 1) penanaman tanaman keras, 2) pembibitan tanaman keras dan 3) pengawasan usaha tani. Adanya keragaman dalam prioritas, mengindikasikan bahwa ketrampilan petani tepi hutan sangat dipengaruhi oleh umur. Pada kelompok umur, ketrampilan yang dominan adalah pada aspek sosial-ekonomi. Hal ini mengindikasikan, bahwa pada kelompok umur muda ketrampilan yang mereka kuasai lebih untuk menjawab ekonomi keluarga. Pada kelompok umur sedang ketrampilan yang lebih dikuasai adalah dalam aspek teknis yang berupa kemampuan dalam pembibitan tanaman keras. Sedangkan pada kelompok tua ketrampilan yang dikuasai lebih fokus pada pemulihan kondisi hutan. Hal ini terbukti dari prioritas kemampuan yang dimiliki dalam melestarikan hutan lindung, yaitu penanaman tanaman keras. Dengan demikian, perbedaan umur berimplikasi pada ketrampilan dimiliki petani tepi hutan atau dapat dinyatakan bahwa semakin tua umur petani, maka ketrampilan yang dikuasai lebih berorientasi pada kelestarian. Adapun kompetensi yang kurang dikuasai yaitu: 1) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, 2) pengembangan modal sosial petani, 3) Keamanan
dalam
pertanian konservasi, 4) pemeliharan tanaman keras, 5) pengembangan kearifan lokal petani, 6) perencanaan usaha tani tepi hutan, 7) perencanaan pertanian konservasi, dan 8) pengelolaan pertanian konservasi.
182
Tabel 51. Hubungan Umur dengan Ketrampilan Petani Umur Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Pengelolaan usaha tani tepi hutan Pembibitan tanaman keras Penanaman tanam keras Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Keamanan pertanian konservasi di tepi hutan Pemeliharaan tanaman keras Pengembangan kearifan lokal petani Perencanan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Rata – rata Keterangan :
W = 0,90 Sangat nyata pada α = 0,01
Muda ST JJ n = 135 2,86 1,5 2,86 1,5 2,85 3,5 2,85 3,5 2,83 5 2,78 6,5 2,78 6,5 2,73 8 2,63 9 2,54 10 2,52 11 2,50 12 2,73
Sedang ST JJ n =123 2,89 3 2,90 2 2,95 1 2,75 8 2,85 4 2,75 9 2,80 6 2,80 6 2,80 6 2,66 10 2,64 11 2,52 12 2,78
Tua ST JJ n = 142 2,76 4 2,82 3 2,91 1 2,73 7 2,86 2 2,75 5 2,73 8 2,74 6 2,68 9 2,62 10 2,49 11 2,44 12 2,71
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Ketiga kelompok umur tersebut dalam melakukan penjenjangan keduabelas bidang, ternyata koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,90 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01. Hal ini menunjukkan adanya kesepakatan yang tinggi di antara ketiga kelompok umur terhadap keduabelas bidang kompetensi dalam melestarikan hutan lindung.
Hubungan Lama Tinggal dengan Ketrampilan Petani
Tabel 52 menjelaskan dari ranah ketrampilan bahwa petani tepi hutan yang lama tinggal di desa tepi hutan berkategori baru, (3 tahun – 26 tahun) prioritas yang dipilih ialah: 1) pembibitan tanaman keras, 2) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, dan 3) pengawasan usaha tani tepi hutan. Sedangkan pada kelompok tani yang berkategori sedang, (27 tahun – 35 tahun), pilihan prioritas yang lebih dikuasai yaitu: 1)
183 pembibitan tanaman keras, 2) pengelolaan usaha tani tepi hutan, dan 3) pengawasan usaha tani tepi hutan. Pada kelompok tani yang berkategori lama (36 tahun – 71 tahun), ketrampilan yang lebih dikuasai ialah: 1) pembibitan tanaman keras, 2) pengelolaan usaha tani tepi hutan, dan 3) pengawasan usaha tani tepi hutan. Sedangkan ketrampilan yang kurang dikuasai oleh petani dalam melestarikan bila dihubungan dengan lama tinggal di desa yaitu: 1) pengembangan modal sosial, 2) penanaman tanaman keras, 3) Keamanan pertanian konservasi di tepi hutan, 4) pemeliharaan tanaman keras, pengembangan kearifan lokal petani, 5) perencanan pertanian konservasi di tepi hutan,
6) perencanaan usaha tani tepi hutan, dan 7)
pengelolaan pertanian konservasi.
Tabel 52. Hubungan Lama Tinggal di Desa dengan Ketrampilan Petani Lama Tinggal di Desa Tepi Hutan Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pembibitan tanaman keras Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Pengelolaan usaha tani tepi hutan Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Penanaman tanam keras Keamanan pertanian konservasi di tepi hutan Pemeliharaan tanaman keras Pengembangan kearifan lokal petani Perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan Perencanan usaha tani tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Rata – rata Keterangan :
W = 0,95 Sangat nyata pada α = 0,01
Baru ST JJ n = 132 2,91 1 2,89 2 2,82 3 2,81 4 2,78 5 2,73 6,5 2,73 6,5 2,72 8 2,67 9 2,58 10,5 2,58 10,5 2,51 12 2,73
Sedang ST JJ n =129 2,94 1 2,86 4 2,89 3 2,90 2 2,76 8 2,86 5 2,79 7 2,80 6 2,71 9 2,49 11 2,64 10 2,46 12 2,76
Lama ST JJ n = 148 2,87 1 2,80 4 2,81 3 2,85 2 2,75 8 2,76 7 2,78 5 2,76 6 2,71 9 2,55 11 2,59 10 2,49 12 2,73
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
184 Walaupun ketiga kelompok tersebut berbeda dalam menentukan prioritas penjenjangan, ternyata koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,95 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01, hal ini menunjukkan adanya kesepakatan yang tinggi di antara para petani dalam hal penjenjangan keduabelas bidang dalam melestarikan hutan lindung yang didasarkan pada lama tinggal petani di desa tepi hutan. Dengan demikian faktor lama tinggal di desa, akan mempengaruhi ketrampilan petani tepi hutan dalam melestarikan, atau dapat ditegaskan bahwa semakin lama petani tinggal di desa tepi hutan, maka semakin baik ketrampilan yang dimiliki untuk mengelolaan lahan.
Hubungan Suku dengan Ketrampilan Petani
Tabel 53 menjelaskan dari ranah ketrampilan bahwa prioritas yang lebih dikuasai dalam hal melestarikan hutan oleh Suku Jawa yaitu: 1) pembibitan tanaman keras, 2) Pengelolaan usaha tani tepi hutan, dan 3) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan. Sedangkan pada kelompok Suku Sunda, prioritas yang dipilih yaitu: 1) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, 2) pengawasan usaha tani tepi hutan dan 3) pembibitan tanaman keras. Pada kelompok suku non Jawa dan Sunda, prioritas yang dipilih yakni: 1) pembibitan tanaman keras, 2) Pengelolaan usaha tani tepi hutan, dan 3) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan. Karakteristik suku membedakan kemampuan dalam kemampuan pembibitan tanaman keras. Suku Jawa lebih trampil dibanding Suku Sunda. Berikut disajikan tabel hubungan suku petani dengan ketrampilan yang dimilikinya.
185 Tabel 53. Hubungan Suku dengan Ketrampilan Petani Suku Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pembibitan tanaman keras Pengelolaan usaha tani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Penanaman tanam keras Pemeliharaan tanaman keras Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Keamanan pertanian konservasi di tepi hutan Pengembangan kearifan lokal petani Perencanaan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Rata – rata Keterangan :
W = 0,91 Sangat nyata pada α = 0,01
Jawa ST JJ n = 284 2,96 1 2,89 2 2,86 3,5 2,86 3,5 2,82 5 2,77 6,5 2,77 6,5 2,76 8 2,72 9 2,63 10 2,57 11 2,51 12 2,76
Sunda ST JJ n = 88 2,81 3,5 2,81 3,5 2,83 1 2,77 5,5 2,72 8 2,77 5,5 2,73 7 2,81 2 2,60 9 2,57 10 2,51 11 2,48 12 2,70
Yang Lain
ST JJ n = 28 2,90 1 2,85 2,5 2,85 2,5 2,84 4 2,78 5 2,76 8 2,76 7 2,77 6 2,70 9 2,60 10 2,54 11 2,48 12 2,74
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Demikian sebaliknya, Suku Sunda lebih trampil menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian dibanding petani berasal dari Jawa. Sedangkan ketrampilan yang kurang dikuasai oleh petani tepi hutan dalam melestarikan yaitu: 1) penanaman tanaman keras, 2) pemeliharaan tanaman keras, 3) pengembangan modal sosial, 4) Keamanan
dalam
pertanian konservasi, 5) pengembangan kearifan lokal petani, 6) perencanan usaha tani tepi hutan, 7) perencanaaan pertanian konservasi di tepi hutan, dan 8) pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan. Tabel 53 memberikan gambaran bahwa ada perbedaan pemilihan prioritas di antara kelompok suku Jawa dan Sunda. Walaupun demikian, ternyata
koefisien
konkordasi Kendall W sebesar 0,91 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 hal ini menunjukkan adanya tingkat kesepakatan yang tinggi antara ketiga kelompok suku asal petani tepi hutan dalam ketrampilan melestarikan hutan.
186 Hubungan Motivasi dengan Ketrampilan Petani
Motivasi adalah segala sesuatu yang berada di balik tindakan, dan Tabel 54 menjelaskan dari ranah ketrampilan bahwa prioritas yang lebih dikuasai pada kelompok tani dengan motivasi rendah yaitu: 1) pengawasan usaha tani tepi hutan, 2) pengawasan usaha tani tepi hutan, dan 3) pembibitan tanaman keras. Sedangkan pada kelompok tani yang bermotivasi sedang, pilihan prioritasnya yaitu: 1) Keamanan dalam pertanian konservasi, 2) pembibitan tanaman keras, dan 3) pengelolaan usaha tani tepi hutan. Pada kelompok tani tepi hutan yang bermotivasi tinggi, prioritas yang dipilih yaitu: 1) Keamanan
dalam pertanian konservasi, 2) pengawasan usaha tani tepi hutan, dan 3)
pengelolaan usaha tani tepi hutan. Berikut disajikan tabel hubungan motivasi dengan ketrampilan petani
Tabel 54. Hubungan Motivasi dengan Ketrampilan Petani Motivasi dalam Melestarikan Hutan Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengelolaan usaha tani tepi hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Pembibitan tanaman keras Keamanan pertanian konservasi di tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Penanaman tanam keras Pengembangan kearifan lokal petani Pemeliharaan tanaman keras Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Perencanaan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Rata –rata Keterangan :
W = 0,85 Sangat nyata pada α = 0,01
Rendah ST JJ n = 140 2,93 1 2,88 2,5 2,88 2,5 2,85 4 2,80 5,5 2,80 5,5 2,75 7 2,72 8 2,70 9 2,64 10 2,61 11 2,55 12 2,76
Sedang ST JJ n =133 2,83 4 2,87 3 2,88 1 2,73 8 2,88 2 2,81 5 2,70 9 2,78 7 2,79 6 2,61 10 2,49 12 2,52 11 2,74
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Tinggi ST JJ n = 127 2,79 4 2,75 6 2,96 1 2,71 8 2,87 2 2,73 7 2,63 9 2,77 5 2,79 3 2,56 10 2,53 11 2,38 12 2,71
187 Dengan demikian pada kelompok tani yang memiliki motivasi sedang dan tinggi dapat dinyatakan memiliki ketrampilan yang memadai untuk menjaga ketrampilan pertanian dalam konservasi. Kemampuan menjaga keamanan pertanian sangat berkaitan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh petani dalam pengelolaan usaha tani. Adapun ketrampilan yang kurang dikuasai oleh petani dalam melestarikan hutan yaitu: 1) pengembangan kearifan lokal petani tepi hutan, 2) pemeliharaan tanaman keras, 3) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 4) perencanaan usaha tani tepi hutan, 5) perencanaan pertanian konservasi, dan 6) pengelolaan pertanian konservasi. Walaupun ketiga kelompok tani ini mempunyai perbedaan dalam menentukan prioritas, ternyata ketiganya memiliki kesepakatan yang tinggi terhadap kompetensi di bidang melestarikan hutan dengan koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,85 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 menunjukkan adanya tingkat kesepakatan yang tinggi antara ketiga kelompok tani yang didasarkan pada motivasi melestarikan hutan.
Hubungan Pendidikan Formal dengan Ketrampilan Petani
Tabel 55 menjelaskan dari ranah ketrampilan bahwa hubungan pendidikan formal petani tepi hutan pada tingkat rendah (tidak sekolah sampai SD kelas 4) dengan kompetensi melestarikan hutan, menunjukkan ketrampilan yang lebih kuasai yaitu: 1) pembibitan tanaman keras, 2) pengelolaan usaha tani tepi hutan, dan 3) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian. Sedangkan pada kelompok tani yang memiliki pendidikan formal sedang (kelas 5 sampai kelas 6 lulus), ketrampilan yang lebih dikuasai yaitu: 1) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian, 2) pembibitan tanaman keras dan 3) Keamanan dalam pertanian konservasi. Pada kelompok tani yang berpendidikan tinggi
188 (SMP kelas 1 sampai SMA lulus) ketrampilan yang lebih dikuasai yaitu: 1) pembibitan tanaman keras, 2) penanaman tanaman keras dan 3) pengelolaan usaha tani tepi hutan. Adapun yang ketrampilan kurang dikuasai yaitu: 1) pemeliharaan tanaman keras, 2) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 3) pengembangan kearifan lokal petani tepi hutan, 4) perencanan usaha tani tepi hutan, 5) perencanaan pertanian konservasi, dan 6) pengelolaan dalam pertanian konservasi. Tabel 55 menginformasikan bahwa kelompok tani berdasarkan pendidikan formal ini mempunyai perbedaan dalam menentukan prioritas, ternyata ketiganya memiliki kesepakatan yang tinggi terhadap duabelas kompetensi dalam melestarikan hutan lindung, dengan koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,88 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 hal ini menunjukkan adanya kesepakatan yang tinggi pada ketiga kelompok berdasarkan pendidikan formal. (lihat Tabel 55).
Tabel 55. Hubungan Pendidikan Formal dengan Ketrampilan Petani Pendidikan Formal Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pembibitan tanaman keras Pengelolaan usaha tani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Keamanan pertanian konservasi di tepi hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Penanaman tanam keras Pemeliharaan tanaman keras Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Pengembangan kearifan lokal petani Perencanan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Rata –rata Keterangan :
W = 0,88 Sangat nyata pada α = 0,01
Rendah ST JJ n = 108 3,02 1 2,87 2 2,84 3 2,83 4 2,80 5 2,79 6 2,77 7 2,75 8 2,67 9 2,61 10 2,49 11 2,45 12 2,74
Sedang ST JJ n = 167 2,82 3 2,91 1 2,80 4 2,78 5 2,89 2 2,77 6 2,76 7 2,74 9 2,75 8 2,62 10 2,58 11 2,47 12 2,74
Tinggi ST JJ n = 125 2,92 1 2,76 6 2,91 2 2,69 8 2,80 3 2,78 5 2,75 7 2,79 4 2,65 9 2,58 10 2,55 11 2,53 12 2,73
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
189
Hubungan Pendidikan Non Formal dengan Ketrampilan Petani
Tabel 56 menjelaskan pada ranah ketrampilan yang dikuasai oleh petani dengan tingkat intensitas rendah dalam mengikuti pelatihan (0 - 1 kali dalam setahun), prioritas yang dipilih yaitu: 1) pengelolaan usaha tani tepi hutan, 2) pembititan tanam keras, dan 3) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan. Sedangkan pada tingkat intensitas pelatihan sedang (2 – 3 kali dalam setahun), ketrampilan yang lebih dikuasai yaitu: 1) Keamanan pertanian konservasi, 2) pengelolaan usaha tani di tepi hutan, 3) pembibitan tanaman keras. Pada tingkat intensitas pelatihan tinggi (lebih dari 4 kali dalam setahun), ketrampilan yang miliki petani tepi hutan yaitu: 1) pengelolaan usaha tani tepi hutan, 2) pebibitan tanaman keras, dan 3) pengembangan kearifan lokal. Berikut disajikan tabel hubungan pendidikan non formal dengan ketrampilan petani.
Tabel 56. Hubungan Pendidikan Non Formal dengan Ketrampilan Petani Pendidikan Non Formal Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengelolaan usaha tani tepi hutan Pembibitan tanaman keras Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Keamanan pertanian konservasi di tepi hutan Pemeliharaan tanaman keras Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Penanaman tanam keras Pengembangan kearifan lokal petani Perencanan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Rata – rata Keterangan :
W = 0,78 Sangat nyata pada α = 0,01
Rendah ST JJ n = 268 2,88 1,5 2,88 1,5 2,87 3 2,86 4 2,83 5 2,82 6 2,78 7 2,77 8 2,72 9 2,63 10 2,60 11 2,52 12 2,76
Sedang ST JJ n = 115 2,77 5 2,98 1 2,83 2 2,79 4 2,61 9 2,63 7 2,72 6 2,82 3 2,63 8 2,54 10 2,40 12 2,43 11 2,68
Tinggi ST JJ n = 17 2,94 1 2,80 2 2,61 9 2,73 6 2,73 7 2,76 4 2,77 3 2,66 8 2,75 5 2,60 10 2,53 11 2,29 12 2,68
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
190 Dari hasil di atas, dapat ditegaskan bahwa semakin tinggi intensitas pelatihannya akan memberikan pengaruh pada penguatan perilaku melestarikan. Ketiga kelompok tersebut beragam dalam melakukan penjenjangan keduabelas bidang kompetensi dalam melestarikan hutan lindung, ternyata koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,78 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 menunjukkan adanya kesepakatan yang tinggi pada ketiga kelompok tani tersebut dalam kompetensi melestarikan hutan lindung.
Hubungan Pengalaman Berusaha dengan Ketrampilan Petani Tabel 57 menjelaskan dari ranah ketrampilan bahwa hubungan pengalaman berusaha dengan ketrampilan pada tingkat ketrampilan rendah (0 - 4 tahun) yaitu: 1) pembibitan tanaman keras, 2) menumbuhkan tentang kesadaran kelestarian, dan 3) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan,. Sedangkan pada kelompok tani dengan pengalaman sedang (5 – 8 tahun) yang menjadi prioritas ialah: 1) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, 2) pengembangan modal sosial petani, dan 3) pembibitan tanaman keras. Pada kelompok petani dengan pengalaman yang tinggi maka ketrampilan yang dipilih dan dikuasai yaitu: pembibitan tanaman keras, pengelolaan usaha tani tepi hutan, dan 3) pengembangan modal sosial petani tepi hutan. Adapun kelompok tani tepi hutan memberi jenjang
yang lebih rendah pada
pilihan: 1) pengawasan usaha tani, 2) pengembangan kearifan lokal petani, 3) pemeliharan tanaman keras, 4) penanaman tanaman keras, 5) Keamanan
dalam
pertanian konservasi, 6) perencanaan usaha tani tepi hutan, 7) pengelolaan pertanian konservasi, dan perencanaan pertanian konservasi. Berikut disajikan tabel pengalaman berusaha dengan ketrampilan petani.
191 Tabel 57. Hubungan Pengalaman Berusaha dengan Ketrampilan Petani Pengalaman Berusaha Tani di Tepi Hutan Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pembibitan tanaman keras Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pengelolaan usaha tani tepi hutan Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Pengembangan kearifan lokal petani Pemeliharaan tanaman keras Penanaman tanam keras Keamanan pertanian konservasi di tepi hutan Perencanaan usaha tani tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan Rata – rata Keterangan :
W = 0,87 Sangat nyata pada α = 0,01
Rendah ST JJ n = 125 2,81 1,5 2,81 1,5 2,77 3 2,75 4 2,74 5 2,73 6 2,72 7,5 2,72 7,5 2,71 9 2,56 10 2,51 11 2,50 12 2,70
Sedang ST JJ n =137 2,90 2 2,87 4 2,92 1 2,78 8 2,88 3 2,78 7 2,70 9 2,79 5,5 2,79 5,5 2,64 10 2,49 12 2,55 11 2,76
Tinggi ST JJ n = 138 2,99 1 2,87 3,5 2,87 3,5 2,75 8 2,88 2 2,58 10 2,85 5 2,82 6 2,80 7 2,60 9 2,45 12 2,57 11 2,75
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Walaupun dalam melakukan penjenjangan keduabelas bidang kompetensi dalam melestarikan hutan lindung berbeda, ternyata koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,87 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 menunjukkan adanya kesepakatan yang tinggi diantara pengalaman berusaha dengan ketiga kelompok tani tersebut.
Hubungan Luas Lahan Garapan dengan Ketrampilan Petani
Tabel 58 menjelaskan dari ranah ketrampilan bahwa hubungan ukuran luas lahan garapan dengan kompetensi ketrampilan ternyata beragam. Pada luas lahan
yang
berkategori sempit (0,1 ha – 1,08 ha), prioritas yang dipilihan yaitu: 1) pembibitan tanaman keras, 2) pengelolaan usaha tani tepi hutan, dan 3) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan. Sedangkan pada kelompok tani dengan luas lahan sedang (1.10 ha – 1.70 ha) prioritas yang dipilih yaitu: 1) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian
192 hutan, 2) pengawasan usaha tani tepi hutan, dan 3) penanaman tanaman keras. Pada kelompok petani yang memiliki lahan luas, prioritas yang dipilih yaitu: 1) pembibitan tanam keras, 2) pengawasan usaha tani tepi hutan, dan 3) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian.
Tabel 58. Hubungan Luas Lahan Garapan dengan Ketrampilan Petani Luas Lahan Garapan Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pembibitan tanaman keras Pengelolaan usaha tani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Keamanan pertanian konservasi di tepi hutan Pengembangan kearifan lokal petani Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Pemeliharaan tanaman keras Penanaman tanam keras Perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan Perencanaan usaha tani tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Rata –rata Keterangan :
W = 0,82 Sangat nyata pada α = 0,01
Sempit ST JJ n = 94 2,89 1 2,86 2 2,85 3 2,80 4 2,78 5 2,77 6 2,76 7 2,71 8 2,69 9 2,60 10 2,59 11 2,55 12 2,74
Sedang ST JJ n =166 2,86 3 2,89 1 2,80 7 2,81 4 2,80 6 2,70 9 2,86 2 2,72 8 2,81 5 2,58 11 2,60 10 2,50 12 2,74
Luas ST JJ n = 140 2,97 1 2,81 5 2,90 2 2,89 3 2,71 7 2,64 9 2,65 8 2,84 4 2,80 6 2,46 11 2,62 10 2,42 12 2,73
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Tabel 58 juga memberikan informasi menunjukkan bahwa ketiga kelompok tani memberi jenjang yang lebih rendah pada bidang: 1) pengembangan kearifan lokal, 2) pemeliharaan tanaman keras, 3) penanaman tanaman keras, 4) perencanaan pertanian konservasi, 5) perencanaan usaha tani, dan 6) pengelolaan pertanian konservasi Kesepakatan yang tinggi di antara ketiga kelompok tersebut dalam menjenjang prioritas yang paling disukai untuk melestarikan hutan lindung, ternyata koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,82 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01. hal ini
193 menunjukkan adanya kesepakatan yang tinggi di antara pengalaman berusaha dengan ketiga kelompok tani tersebut Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa ketrampilan sangat terkait dengan luas lahan yang dikelola oleh petani. Semakin luas lahan yang dikelola, semakin tinggi ketrampilan teknis yang dikuasai dan bermotif pada aspek sosial-ekonomi.
Hubungan Status Lahan Garapan dengan Ketrampilan Petani
Tabel 59 menjelaskan dari ranah ketrampilan bahwa status lahan garapan yang berupa: a) lahan milik sendiri, b) lahan sewa-bagi hasil, dan c) lahan milik pemerintah, ternyata membuat perbedaan dalam menentukan prioritas. Pada lahan milik sendiri, prioritas yang dipilih yaitu: 1) pembibitan tanaman keras, 2) pengelolaan usaha tani tepi hutan, dan 3) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan. Sedangkan pada kelompok lahan dengan status sewa-bagi hasil, prioritas yang dipilih petani yaitu: 1) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, 2) pengawasan usaha tani, dan 3) penanaman tanaman keras. Pada kelompok tani dengan status lahan milik pemerintah, prioritas yang dipilih yaitu: 1) pembibitan tanaman keras, 2) pengawasan usaha tani tepi hutan, dan 3) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian. Status lahan yang dikelola petani, pada aspek ketrampilan, dapat dinyatakan bahwa lahan dengan milik sendiri, maka ketrampilan yang lebih dikuasai petani adalah aspek teknis pembibitan tanaman keras atau tanaman tahunan yang menghasilkan buahbuahan, yang terdiri dari kemampuan petani dalam pengadaan bibit secara cabutan, stek, okulasi maupun melalui biji. Hal ini menunjukkan bahwa petani dengan lahan milik sendiri ada upaya untuk mengembalikan kondisi fisik lahan hutan, dan untuk lahan sewa
194 bagi hasil dan milik pemerintah, selain mengembalikan fisik lahan melalui pembibitan, juga mengusahakan untuk mencukupi keperluannya sendiri.
Tabel 59. Hubungan Status Lahan Garapan dengan Ketrampilan Petani
Status Lahan Garapan Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pembibitan tanaman keras Pengelolaan usaha tani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Penanaman tanam keras Pemeliharaan tanaman keras Keamanan pertanian konservasi di tepi hutan Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Pengembangan kearifan lokal petani Perencanan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Rata – rata Keterangan :
W = 0,74 Sangat nyata pada α = 0,01
Milik Sendiri ST JJ n = 192 2,88 1 2,87 2 2,85 3 2,83 4 2,78 5 2,76 6,5 2,76 6,5 2,75 8 2,72 9 2,62 10 2,49 11 2,48 12 2,73
Sewa-Bagi Hasil ST JJ n =47 2,81 3 2,74 4 2,73 5 2,65 8 2,60 9 2,70 6,5 2,70 6,5 2,82 2 2,88 1 2,52 12 2,60 10 2,58 11 2,69
Milik Pemerintah ST JJ n = 161 2,96 1 2,87 4 2,88 3 2,90 2 2,83 5 2,78 7 2,80 6 2,76 8 2,62 9 2,61 10 2,59 11 2,47 12 2,75
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Tabel 59 menunjukkan bahwa ketiga kelompok tani memberi jenjang yang lebih rendah pada: 1) pemeliharaan tanaman keras, 2) Keamanan dalam pertanian konservasi, 3) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 4) pengembangan kearifan lokal petani, 5) perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan, dan 6) pengelolaan pertanian konservasi. Walaupun ketiga kelompok tersebut beragam status lahannya, namun dalam melakukan penjenjangan keduabelas bidang kompetensi, ternyata koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,74 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 menunjukkan adanya kesepakatan yang tinggi di antara ketiga kelompok status lahan garapan dengan kompetensi melestarikan.
195
Hubungan Pendapatan dengan Ketrampilan Petani dalam Kompetensi
Tabel 60 menjelaskan dari ranah Ketrampilan
bahwa kelompok tani yang
berpendapatan rendah (Rp.283.200,- – Rp789.200,-) prioritas ketrampilan yang dikuasai yaitu: 1) pembibitan tanaman keras, 2) pengawasan usaha tani tepi hutan, dan 3) pengelolaan usaha tani tepi hutan. Sedangkan pada kelompok tani berpenghasilan sedang (Rp790.500,- – Rp. 1.087.900,-), prioritas ketrampilan yang dikuasai yaitu: 1) penanaman tanaman keras, 2) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, dan 3) pengelolaan usaha tani tepi hutan. Pada kelompok tani tepi hutan dengan pendapatan tinggi (Rp.1.096.900,- – Rp 6.154.050,-), prioritas ketrampilan yang dikuasai yaitu: 1) pembibitan tanaman keras, 2) penanaman tanaman keras, dan 3) pengawasan usaha tani tepi hutan.
Tabel 60. Hubungan Pendapatan dengan Ketrampilan Petani Pendapatan Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pembibitan tanaman keras Pengawasan usaha tani tepi hutan Pengelolaan usaha tani tepi hutan Penanaman tanam keras Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pemeliharaan tanaman keras Keamanan pertanian konservasi di tepi hutan Pengembangan kearifan lokal petani Perencanan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Rata – rata Keterangan :
W = 0,84 Sangat nyata pada α = 0,01
Rendah ST JJ n = 134 2,92 1 2,91 2 2,90 3 2,81 4,5 2,81 4,5 2,78 6 2,76 7 2,75 8 2,69 9 2,65 10 2,63 11 2,52 12 2,76
Sedang ST JJ n =133 2,78 4 2,74 6 2,79 3 2,71 8 2,79 2 2,89 1 2,71 9 2,76 5 2,73 7 2,54 10 2,42 12 2,44 11 2,69
Tinggi ST JJ n = 133 3,01 1 2,85 4 2,87 2 2,81 5 2,68 8 2,87 3 2,80 6 2,79 7 2,67 9 2,62 10 2,58 11 2,49 12 2,75
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
196
Dengan demikian hubungan pendapatan dengan ketrampilan yang dikuasai oleh petani tepi hutan dalam melestarikan dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan petani tepi hutan, maka ketrampilan yang dikuasai petani lebih mengutamakan bidang teknis kehutanan yang disertai pada ketrampilan di aspek sosial-ekonomi. Walaupun Ketiga kelompok tersebut beragam dalam melakukan penjenjangan keduabelas bidang kompetensi dalam melestarikan hutan, ternyata koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,84 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 menunjukkan adanya kesepakatan yang tinggi di antara ketiga kelompok tersebut dalam melestarikan hutan.
Hubungan Tingkat Kekosmopolitan dengan Ketrampilan Petani
Tabel 61 menjelaskan dari ranah ketrampilan bahwa kelompok tani yang memiliki tingkat kekosmopolitan rendah lebih memilih prioritas pada bidang: 1) pengelolaan usaha tani tepi hutan, 2) pembibitan tanaman keras, dan 3) pengawasan usaha tani tepi hutan. Sedangkan pada kelompok tani dengan tingkat kekosmopolitan sedang prioritas yang dipilih yaitu: 1) pemeliharaan tanaman keras, 2) pengelolaan usaha tani tepi hutan, dan 3) pengawasan usaha tani tepi hutan. Pada kelompok tani yang tingkat kekosmopolitannya tinggi, maka pilihan prioritasnya ialah: 1) pengawasan usaha tani tepi hutan, 2) pengelolaan usaha tani tepi hutan, dan 3) Keamanan pertanian konservasi.
Dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa tingkat kekosmopolitan pada ranah ketrampilan sangat mempengaruhi pilihan prioritas yang dikuasai, atau dapat dinyatakan semakin tinggi tingkat kekosmopolitannya, maka orientasi petani tepi hutan akan semakin mengutamakan di aspek sosial-ekonomi
197 dengan disertai ketrampilan dalam pertanian konservasi. Hal ini mengindikasikan bahwa materi yang dicari oleh petani tepi hutan adalah berkaitan dengan bagaimana peningkatan usaha taninya. Adapun ketrampilan yang kurang dikuasai petani tepi hutan berkaitan dengan tingkat kekosmopolitan yaitu: 1) penanaman tanaman keras, 2) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 3) perencanaan usaha tani tepi huta, 4) perencanan pertanian konservasi, 5) pengembangan kearifan lokal petani tepi hutan, dan 6) pengelolaan pertanian konservasi. Berikut disajikan Tabel 61
Tabel 61. Hubungan Tingkat Kekosmopolitan dengan Ketrampilan Petani Tingkat Kekosmopolitan Petani Tepi Hutan Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengelolaan usaha tani tepi hutan Pembibitan tanaman keras Pengawasan usaha tani tepi hutan Keamanan pertanian konservasi di tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pemeliharaan tanaman keras Penanaman tanam keras Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Perencanan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan Pengembangan kearifan lokal petani Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Rata –rata Keterangan :
W = 0,84 Sangat nyata pada α = 0,01
Rendah ST JJ n = 136 2,92 1 2,89 2,5 2,89 2,5 2,85 4 2,80 5 2,79 6 2,78 7 2,71 8 2,63 9,5 2,63 9,5 2,60 11 2,53 12 2,75
Sedang ST JJ n =136 2,74 6 2,85 1 2,79 3 2,69 8 2,82 2 2,68 9 2,75 5 2,76 4 2,61 10 2,42 11 2,71 7 2,37 12 2,68
Tinggi ST JJ n = 128 2,91 3 2,97 1 2,83 4 2,76 9 2,93 2 2,80 6,5 2,80 6,5 2,81 5 2,56 12 2,59 10 2,78 8 2,56 11 2,78
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Tabel 61 menjelaskan bahwa ketika petani semakin tinggi tingkat kekosmopolitan maka pemanfaatan lahan semakin optimal dalam aspek sosial ekonomi, hal ini dikuatkan dengan koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,84 yang sangat nyata pada taraf α =
198 0,01 menunjukkan adanya kesepakatan yang tinggi di antara ketiga kelompok tersebut dengan duabelas kompetensi melestarikan hutan lindung.
Hubungan Jumlah Anggota Keluarga dengan Ketrampilan Petani
Tabel 62 menjelaskan dari ranah ketrampilan bahwa kelompok tani yang memiliki jumlah keluarga sedikit (1 – 3 jiwa), prioritas yang dipilih yaitu: 1) pembibitan tanaman keras, 2) pengawasan usaha tani tepi hutan dan 3) pengelolaan usaha tani tepi hutan. Sedangkan untuk kelompok tani dengan jumlah keluarga sedang dan banyak, pilihan prioritas yaitu: 1) pembibitan tanaman keras, 2) Keamanan dalam pertanian konservasi dan 3) pengelolaan usaha tani tepi hutan. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pada kelompok tani dengan jumlah keluarga sedikit, maka tingkat ketrampilan yang lebih dipilih berkaitan dengan ekonomi, dan pada kelompok tani dengan keluarga sedang dan keluarga besar, kecenderungan ketrampilan yang dipilih merupakan kombinasi dari ketiga aspek usaha, yaitu mampu mengembalikan kondisi lingkungan, dan mendapatkan manfaatan dari segi ekonomi, dan aman dalam menjalankan pertaniannya. Adapun bidang yang kurang mendapat prioritas ialah: 1) penanaman tanaman keras, 2) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 3) menumbuhkan kesadaran tantang kelestarian hutan, 4) pemeliharaan tanaman keras, 5) pengembangan kearifan lokal petani, 6) perencanaan usaha tani tepi hutan, dan 7) perencanaan pertanian konservasi dan pengelolaan pertanian konservasi.
199 Tabel 62. Hubungan Jumlah Anggota Keluarga dengan Ketrampilan Petani Jumlah Anggota Keluarga Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pembibitan tanaman keras Pengawasan usaha tani tepi hutan Pengelolaan usaha tani tepi hutan Keamanan pertanian konservasi di tepi hutan Penanaman tanam keras Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pemeliharaan tanaman keras Pengembangan kearifan lokal petani Perencanan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Rata –rata Keterangan :
W = 0,88 Sangat nyata pada α = 0,01
Kecil ST JJ n = 118 2,89 1 2,86 2,5 2,86 2,5 2,81 4 2,80 5,5 2,80 5,5 2,76 7,5 2,76 7,5 2,69 9 2,62 10 2,52 11 2,50 12 2,74
Sedang ST JJ n =158 2,92 1 2,85 3.5 2,85 3,6 2,79 6,5 2,79 6,5 2,74 8 2,91 2 2,80 5 2,68 9 2,62 10,5 2,62 10,5 2,53 12 2,76
Besar ST JJ n = 124 2,91 1 2,79 4 2,84 3 2,69 9 2,74 6 2,76 5 2,85 2 2,70 8 2,71 7 2,56 10 2,47 11 2,42 12 2,70
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Tabel 62 menjelaskan walaupun ketiga kelompok petani beragam dalam melakukan penjenjangan keduabelas bidang kompetensi yang paling disukai, ternyata koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,88 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 menunjukkan adanya kesepakatan yang tinggi di antara ketiga kelompok tersebut dalam melestarikan hutan.
Hubungan Kontak PPL dengan Ketrampilan Petani
Tabel 63 menjelaskan dari ranah ketrampilan bahwa kelompok tani yang intensitas rendah dalam hal kontak dengan PPL, maka prioritas yang dipilih ialah: 1) pengelolaan usaha tani tepi hutan, 2) Keamanan
dalam pertanian konservasi dan 3)
menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan. Sedangkan pada kelompok tani dengan intensisitas kontak dengan PPL kategori sedang, prioritas yang dipilih yaitu: 1)
200 pembibitan tanaman keras, 2) penanaman tanaman keras, dan 3) Keamanan
dalam
pertanian konservasi. Pada kelompok tani dengan intensitas tinggi, prioritas yang dipilih yaitu: 1) Keamanan dalam pertanian konservasi, 2) pengembangan modal sosial, dan 3) pengawasan usaha tani tepi hutan. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa kontak PPL yang ideal pada intensitas sedang, karena materi yang dipahami petani lebih menjamin aspek kelestarian, dan bila kurang atau terlalu sering kontak, maka ketrampilan petani mengarah pada aspek sosialekonomi dan sosial budaya.
Tabel 63. Hubungan Kontak PPL dengan Ketrampilan Petani Kontak dengan PPL Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengelolaan usaha tani tepi hutan Keamanan pertanian konservasi di tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Pembibitan tanaman keras Pengembangan kearifan lokal petani Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Penanaman tanam keras Pemeliharaan tanaman keras Perencanan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Rata –rata Keterangan :
W = 0,80 Sangat nyata pada α = 0,01
Rendah ST JJ n = 147 2,85 1 2,83 2,5 2,83 2,5 2,80 4 2,78 5,5 2,78 5,5 2,77 7 2,70 8 2,68 9 2,54 10 2,52 11 2,44 12 2,71
Sedang ST JJ n =122 2,77 5 2,65 8 2,81 2 2,78 4 2,90 1 2,59 10 2,71 7 2,75 6 2,80 3 2,60 9 2,53 11 2,41 12 2,69
Tinggi ST JJ n = 131 2,93 2 2,80 7 2,91 4 2,92 3 3,05 1 2,71 9 2,80 8 2,89 5 2,81 6 2,67 10 2,58 12 2,60 11 2,81
ST = Skor Tertimbang JJ = Jenjang
Walapun ada perbedaan jenjang pada kategori, namun dalam melakukan penjenjangan keduabelas bidang kompetensi dalam melestarikan hutan lindung, ternyata koefisien konkordasi Kendall W sebesar 0,80 yang sangat nyata pada taraf α = 0,01 menunjukkan kesepakatan yang tinggi diantara ketiga kelompok tersebut.
201
Uji Parametrik Karakteristik Demografi Petani Tepi Hutan pada Kompetensi Melestarikan Hutan
Pada bagian sebelumnya telah dibahas hasil melalui uji non parametrik, yaitu uji Konkordasi Kendall W. Fungsinya adalah untuk melihat hubungan antara himpunan N obyek atau individu dalam suatu ranking (k) dan melihat koefisien Konkordasi Kendall W. Kalau rs (koefisien korelasi ranking Spearman) dan τ (koefisiensi ranking kendall) menyatakan tingkat asosiasi antara dua peubah yang diukur dalam ranking – atau diubahnya menjadi ranking – maka W (koefisien konkordasi Kendall W) menyatakan derajat asosiasi antar k. Manfaat pengukuran dengan Kendall W adalah memberikan sejumlah informasi tentang realibilitas saling menentukan dalam mempelajari gugus-gugus (cluster) peubah, dan koefisien. Dalam penerapannya uji Kendall W memberikan suatu metode standar pengurutan obyek menurut konsensus, jika tidak terdapat urutan obyektif sejumlah obyek. (Siegel, 1994: 283-296) Pada bagian ini, akan dibahas hasil uji parametrik dari sejumlah karakteristik demografi dan perilaku melestarikan hutan. Uji pendahuluan yang digunakan adalah regresi berganda. Tujuannya adalah untuk melihat fungsi dari peubah tak bebas dengan bentuk regresi bergandanya F (y) = β0 + β1X 1+ β2X2 + β3X3 +....β13X 13 Untuk melihat kualitas dan arah hubungan antar peubah bebas digunakan analisis jalur (path analysis). Tujuan penggunaan path analisis adalah untuk mengetahui pola hubungan antar peubah. Dalam penelitian ini, peubah bebas diubah menjadi peubah terikat adalah peubah bebas pendapatan. Asumsi yang dibangun yaitu perilaku petani tepi
202 hutan, tidak terlepas dari motif ekonomi, dan motif ini merupakan tuntutan kebutuhan dasar dari manusia. Sedangkan pada fungsi peubah tak bebas digunakan analisis SEM (Stuctural Equations Model). Salah satu dasar penggunaan SEM adalah terdapatnya peubah laten (peubah tak langsung). Fungsi dari peubah laten yaitu sebagai peubah antara yang di gunakan untuk mengukur hubungan antara peubah dengan indikator. Selanjutnya SEM dapat dievaluasi keberlakuan umumnya, dan cara melihat kesesuaian model dengan lapangan adalah melalui memperhatikan
Goodness of Fit Index
(GFI) dengan
standart ≥ 0,90. (Arbucle (1997), Ferdinand (2002) Ghozali (2004), dalam Kusnendi 2004:26-28). Peubah tak bebas yang telah diuji dalam penelitian ini adalah penelitian melestarikan. Kompetensi ini terdiri dari tiga ranah, yaitu 1) ranah pengetahuan, 2) ranah sikap, dan 3) ranah ketrampilan, dan empat bidang yaitu 1) bidang teknis kehutanan, 2) bidang sosial ekonomi, 3) bidang sosial-budaya, dan 4) bidang konservasi.
Hasil Analisis Jalur pada Peubah Bebas Kompetensi Melestarikan
Dalam penelitian terdapat tiga belas peubah bebas, dengan berdasarkan kajian pustaka, dan hasil-hasil penelitian terdahulu, ternyata peubah tersebut digunakan sebagai salah satu indikator pengukur dalam suatu penelitian yang mengukur aktivitas petani. Peubah kompetensi melestarikan sebagai salah satu peubah bebas, dalam penelitian ditempatkan sebagai Y1, artinya ketika akan mengukur suatu perilaku petani tepi hutan dalam mengelola lahannya, maka motif yang ada dalam perilaku itu didasarkan
203 pada kompetensi teknis kehutanan, sosial ekonomi, sosial budaya dan teknis konservasi (Gambar 5). Berdasarkan jumlah responden dan meperhatikan standar t
tabel
pada sebaran
normal dengan tingkat kesalahan 5 % atau 0,05, maka peubah bebas yang bersesuaian pengaruhnya nyata - adalah nilai t tabel 1,96. sehingga dapat dinyatakan koefisien akan nyata pada taraf uji α 0,05 ; T-hit > T tabel 1,96. Hasil analisis jalur, menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung antar peubah bebas. Koefisien yang terdapat dalam Gambar 6 merupakan koefisien regresi atau koefisien yang telah dibakukan. Koefisien tersebut mencerminkan pengaruh langsung antar peubah, sedangkan peubah tidak langsung dapat dilihat pada Tabel 64 Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa pengalaman berusaha (X4) mempunyai pengaruh langsung yang relatif lebih besar dengan koefisien 0,017 dan galat baku sebesar 0,40 serta hasil t hitung sebesar 0,40. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa pengalaman berusaha ternyata tidak nyata atau tidak berhubungan nyata dengan kompetensi melestarikan. Berikut disajikan diagram jalur pada peubah bebas berupa karakteritik petani tepi hutan terhadap peubah terikat kompetensi melestarikan:
204
Status Lahan X6
Lama Tinggal di Desa X 11
Luas Lahan X5
Jumlah Anggota Keluarga X9 Tingkat X8 Kekosmopolitan
Suku X1
Motivasi X 12 Melestarikan Pendidikan Non Formal X3
Umur X10
Pendidikan Formal X2
Pengalaman Berusaha X 4
Kontak dengan PPL X 13
Gambar 5. Hubungan antar Peubah Bebas Berupa Karakteristik Petani
Kompetensi Melestarikan
205 Dapat diartikan pula bahwa kompetensi petani tepi hutan dalam memenuhi kebutuhan di bidang ekonomi, terdapat 7 % dipengaruhi oleh pengalaman berusaha, dan t lebih kecil dari t
tabel
hitung
yang
mengindikasikan bahwa peubah pengalaman berusaha tidak nyata
pada taraf α= 0,05. Sedangkan pada peubah pendidikan non formal (X3) terdapat koefisien -0,048 dengan galat baku sebesar 0,039 dan t
tabel
1,25. Dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa pendidikan non formal yang berupa pelatihan yang berkaitan dengan kehutanan dan pertanian konservasi selama ini ternyata tidak dimaknai oleh petani sebagai kompetensi untuk melestarikan. Demikian halnya pada peubah bebas tingkat kekosmopolitan (X8), didapat nilai koefisien sebesar -,0056 dapat dinyatakan bahwa tingkat kekosmopolitan yang berkaitan dengan memperoleh informasi dan pengetahuan yang berkaitan dengan kehutanan dan pertanian konservasi ternyata berbanding terbalik, sehingga semakin petani memiliki tingkat kekosmopolitan yang tinggi, ternyata tidak berpengaruh nyata pada peningkatan pada kompetensi melestarikan. Hal inipun terjadi pada peubah bebas ketika petani kontak dengan PPL (X13) dengan koefisien -0,070, sehingga dapat dimaknai bahwa semakin tinggi petani kontak dengan PPL, maka kompetensi petani dalam melestarikan hutan tidak nyata. Pada peubah bebas luas lahan (X5) yang terdiri dari milik sendiri (rendah), sewa bagi hasil (sedang) dan milik pemerintah (tinggi), dengan koefisien 0,006 dan tidak nyata, sehingga dapat dinyatakan bahwa ketika petani dengan lahan milik pemerintah (tinggi) maka akan diikuti oleh peningkatan pada kompetensi petani dalam melestarikan.
206
0,050 - 0,019
Lama Tinggal di Desa X 11
Status Lahan X6 Jumlah Anggota Keluarga X9
+ 0.18
Luas Lahan X5
+ 0.039
+ 0.050
+ 0,046
+ 0,0067
- 0,086
Tingkat X8 Kekosmopolitan
- 0.032 + 0,11
Suku X1
0,014
Motivasi X 12 Melestarikan + 0.089
- 0,048 - 0.049 + 0.036
Umur X10
- 0,0056
+ 0.038
Pendidikan Non Formal X3
+ 0,07 +0.022
Pengalaman Berusaha X 4
- 0.022 + 0,0060
Pendidikan Formal X2
- 0,024
+ 0.027
Kontak dengan PPL X 13
- 0,070 0,034
+ 0,017 + 0,12
Gambar 6. Hasil Analisis Jalur pada Peubah Bebas Karakteristik Petani
Kompetensi Melestarikan
207 Sedangkan hubungan kompetensi dengan pendidikan formal (X2) didapat koefisien 0,017. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pendidikan formal searah dengan kompetensi melestarikan namun tidak nyata, sehingga tidak menjamin bahwa dengan semakin tinggi pendidikan formal petani akan diikuti oleh meningkatnya kompetensi melestarikan hutan. Motivasi melestarikan (X12) dengan memperhatikan tindakan dalam melakukan pembibitan dan penananam serta mengelola lahan di dapatkan koefisien sebesar 0,034 dan tidak nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa apa yang dilakukan oleh petani dalam melakukan pengelolaan secara statistik tidak dalam koridor melestarikan hutan. Sedangkan pada umur (X10), didapatkan koefisien sebesar 0,12 dan tidak nyata pada dengan demikian dapat dinyatakan bahwa semakin tua petani tepi hutan, maka tadak pasti akan diikuti dengan kemampuan dalam kompetensi melestarikan hutan. Pada jumlah anggota keluarga (X9) terdapat koefisien sebesar 0,050 dan tidak nyata, sehingga dapat dinyatakan bahwa semakin besar jumlah anggota keluarganya, maka tidak nyata bila akan diikuti oleh kemampuan dalam melestarikan, atau dapat pula dinyatakan bahwa besarnya anggota keluarga bukan merupakan faktor penentu dalam kemampuan melestarikan. Demikah pula halnya dengan lama tinggal di desa (X11), dengan koefisien 0,050, dan tidak nyata sehingga dapat dinyatakan bahwa semakin lama petani tinggal di desa tepi hutan, tidak berarti akan diikuti oleh meningkatnya kemampuan melestarikan. Sedangkan luas lahan (X5) dipengaruhi oleh status lahan (X6) sebesar 3,9 %, dan searah, sehingga dapat dinyatakan bahwa satus lahan milik pemerintah dalam pengelolaannya, akan diikuti kepemilikan lahan petani yang semakin luas lahan.
208 Walaupun tidak nyata dalam uji statistik, namun kondisi ini tidak berbeda jauh di lapangan. Sedangkan tingkat kekosmopolitan (X8) yang dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga (X9) didapat koefisien sebasar -0,086, dan tidak nyata, sehingga polanya dapat dinyatakan bahwa semakin besar jumlah anggota keluarga akan diikuti dengan menurunnya tingkat kekosmopolitan, walaupun tidak nyata, kenyataan di lapangan tidak jauh beda dari hasil uji statistik. Sedangkan tingkat kekosmopolitan yang dipengaruhi oleh motivasi melestarikan (X12) didapatkan pengaruh sebesar 11% dan tidak nyata, sehingga dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi motivasi melestarikan akan diikuti dengan meningkatnya tingkat kekosmopolitan. Hal ini sesuai dengan prinsip belajar, bahwa seseorang yang termotivasi untuk belajar akan diikuti dengan usaha-usaha ke arah kemajuan yang lebih baik. Tingkat kekosmopolitan yang dipengaruhi oleh pendidikan non formal (X3), didapatkan sumbangan sebesar 1,4%. Artinya pendidikan non formal yang berupa pelatihan di bidang kehutanan dan pertanian konservasi, tidak menyebabkan petani tergerak untuk mengetahui lebih juah tentang informasi dari pelatihan tersebut. Hal ini dapat terjadi ketika petani yang mengikuti pelatihan tidak memiliki cukup motivasi untuk maju dan berkembang. Demikian halnya ketika pendidikan non formal yang dipengaruhi oleh motivasi melestarikan (X12) sebesar 0,036 sehingga dapat dinyatakan bahwa terdapat sumbangan 3,6 % dari motivasi melestarikan pada pendidikan non formal. Pendidikan formal (X2) dipengaruhi oleh umur sebesar 2,2% dan tidak nyata, sehingga dapat dinyatakan bahwa semakin tua umur petani tepi hutan, akan diikuti dengan meningkatnya pendidikan formal, walaupun tidak nyata dalam hal ini, dapat
209 dipahami karena mayoritas petani tepi hutan memiliki pendidikan formal yang rendah yakni setara tidak sekolah sampai sekolah dasar. Sedangkan pada motivasi melestarikan (X12) dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga (X9) sebesar -0,032 dan tidak nyata, sehigga dapat dinyatakan bahwa semakin besar jumlah anggota keluarga akan diikuti dengan menurunnya motivasi melestarikan. Walupun tidak nyata, namun kenyataan di lapangan dapat dipahami, bahwa semakin besar anggota keluarga, maka beban ekonomi keluarga akan semakin besar, dan hal ini dapat mengakibatkan eksploitasi ke hutan akan semakin meningkat. Walaupun tidak nyata, logikanya dapat dipahami keterkaitannya. Demikian halnya kerkaitannya motivasi melestarikan dengan umur (X10),
didapatkan sumbangan sebesar 8,9 % umur
mempengaruhi motivasi melestarikan, walaupun tidak nyata, hal ini dapat dipahami bahwa motivasi melestarikan yang berupa tindakan dalam pembibitan dan pengelolaan lahan pada dasarnya terkait dengan umur, sehingga dapat dinyatakan semakin tua usia petani akan diikuti dengan semakin meningkatnya motivasi melestarikan hutan.
Pengaruh Langsung dan Tak Langsung Peubah Bebas Karakteristik Petani Terhadap Kompetensi Melestarikan
Dengan memperhatikan hasil analisis jalur di atas, maka dapat dinyatakan peubah bebas pendidikan formal (X2) pengaruh langsung sebesar 0,017 dan pengaruh tidak langsungnya sebesar -0,182 sehingga total pengaruh pendidikan formal terhadap kompetensi melestarikan adalah sebesar -0,165 atau sebesar 16,5 % dengan pola kebalikannya. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan formal petani tepi hutan, maka akan diikuti dengan menurunnya kemampuan dalam melestarikan hutan.
210 Sedangkan untuk pendidikan non formal (X3), pengaruh langsung sebesar 0,048 dan pengaruh tak langsung sebesar 0,0036 sehingga total pengaruhnya adalah 0,051 atau sebesar 5,1% terhadap kompetensi melestarikan . Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa total pengaruh pendidikan non formal terhadap kompetensi melestarikan adalah relatif kecil dan tidak nyata. Kenyataan ini dapat dipahami karena latar belakang pendidikan formal petani yang rendah, sehingga berimplikasi pada kemampuan dalam menyerap materi pelatihan. Pada pengelaman berusaha (X4) hanya dipengaruhi oleh pengaruh langsung saja yakni sebesar 7 %, sehingga pengalaman berusaha petani tidak nyata dalam menyumbang kelestarian hutan. Dengan demikian pengalaman berusaha petani dalam mengelola lahan pada umumnya bukan pengalaman berusaha yang berkaitan dengan kelestarian hutan. Luas lahan garapan (X5) bagi petani merupakan modal usaha taninya, namun pengaruh langsungnya terhadap kompetensi melestarikan yakni sebesar 4,6 % dan pengaruh tak langsung sebesar 3,9 % sehingga total pengaruh sebesar 8,5 %. Walaupun tidak nyata, namun dapat dipahami bahwa semakin luas lahannya petani tidak signifikan dengan meningkatnya kompetensi melestarikan hutan. Fenomena di lapangan tidak jauh berbeda dengan hasil uji statistik. Sedangkan status lahan (X6) pengaruh langsung -0,0067 dan pengaruh tak langsung 0,019 sehingga total pengaruh 0,0257 atau sebesar 2,57 %. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa semakin luas lahan petani tidak signifikan dengan semakin meningkatnya kemampuan melestarikan hutan. Tingkat kekosmopolitan (X8) pengaruh langsung sebesar 0,0056
atau tidak
berpengaruh terhadap kompetensi melestarikan, namun pada pengaruh tak langsung
211 yakni sebesar 19,6 %. dan total pengaruh sebesar 20,3 %. Dengan demikian tingkat kekosmopolitan memiliki pengaruh yang relatif kuat terhadap kompetensi melestarikan. Walaupun tidak nyata, namun secara logika hal ini dapat dipahami, bahwa pengetahuan yang didapatkan petani dari keterdedahan terhadap informasi kelestarian secara tidak langsung mempengaruhi kompetensinya. Jumlah anggota keluarga (X9) didapatkan pengaruh langsung - 5 %. dan pengaruh tak langsung 1,8% sehingga total pengaruhnya 3,2 %. Dengan demikain dapat dinyatakan bahwa semakin bertambah anggota keluarga tidak signifikan dengan
meningkatkan
kompetensi petani dalam melestarikan. Umur (X10) memiliki pengaruh langsung sebesar 2,2 % terhadap kompetensi melestarikan, artinya perbedaan usia berupa muda, sedang dan tua ternyata tidak signifikan dengan kemampuan dalam melestarikan hutan. Demikian halnya dengan lama tinggal (X11) pengaruh langsung sebesar 5 % dan tidak nyata, artinya tidak dapat dinyatakan bahwa semakin lama petani tinggal di desa tepi hutan, akan diikuti dengan kemampuan melestarikan. Motivasi melestarikan (X12) pengaruh langsung sebesar 5,7 % dan pengaruh tak langsungnya 12,1 % sehingga total pengaruh motivasi terhadap penelitian melestarikan sebesar 17,8 %. Sekalipun ada keterkaitan motivasi dengan kompetensi, namun dalam hasil uji analisis jalur, ternyata tidak signifikan. Motivasi melestarikan yang didasarkan pada tindakan pembibitan dan rehabilitasi lahan kritis ternyata dari hasil uji statistik tidak signifikan dengan penelitian melestarikan. Kenyataan ini dapat dipahami karena petani dalam melakukan pembibitan dan penanaman kembali pada lahan bukan bertujuan untuk melestarikan melainkan untuk meningkatkan ekonomi keluarganya.
212 Kontak dengan PPL (X13) pengaruh langsung sebesar 7 % dan pengaruh tak langsung sebesar 3 %, sehingga total pengaruhnya adalah 10%, dan tidak nyata. Artinya semakin tinggi petani kontak dengan PPL tidak nyata dengan meningkatnya kompetensi petani dalam melestarikan hutan. Dengan demikian dari hasil analisis jalur dengan menempatkan kompetensi sebagai pebah tak bebas, maka secara garis besar dapat dinyatakan bawah karakteritistik petani tepi hutan yang telah teruji dalam berbagai penelitian dan literatur ternyata dalam konteks melestarikan hutan lindung menjadi fenomena yang menarik karena secara logika dan kenyataan ada hubungannya, namun dalam uji statistik tidak nyata, sehingga karakteristik demografi petani tepi hutan menjadi masalah yang unik demikian halnya dengan kompetensi melestarikan hutan lindung. Berikut disajikan hasil tabulasi pengaruh langsung dan tak langsung.
213
Tabel 64. Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung X terhadap Y Pengaruh LangX sung terhadap Y X1 0 X2 0,017 X3 0,048 X4 0,070 X5 0,046 X6 -0,0067 Kompetensi X8 0,0056 X9 -0,050 X10 0,022 X11 0,050 X12 0,057 X13 -0,070
X1
X2
X3
X4
X5
Tak Langsung Melalui X6 X7 X8
X9
X10
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0,017 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0,022 0 0 -0,048 0 0 0 0 0 -0.024
0 0 0 0 0 0 0,070 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0,0046 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0,039 0 0,0067 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 -0,050 -0,086 0 0 0 0,032 0
0 0 -0,22 0 0 0 0 0 0 0 0 -0,019 0,022 0,050 0,11 0 0 0,180 0 0 0 0 0,089 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 -0,049 0 0 0,0056 0 0 0 0 0 0
Keterangan :
Y = Kompetensi melestarikan hutan yang didasarkan pemenuhan kebutuhan (pendapatan) X1 = Suku (Jawa, Sunda dan Yang lain) Æ Dammy X2 = Pendidikan Formal X3 = Pendidikan Non Formal X4 = Pengalaman Berusaha X5 = Luas Lahan Garapan X6 = Status Lahan Garapan X7 = Pendapatan Æ dikeluarkan dari model X8 = Tingkat Kekosmopolitan X9 = Jumlah Tanggungan Keluarga X10 = Umur X11 = Lama Tinggal di Desa X12 = Motivasi Melestarikan X13 = Kontak dengan PPL
X11
X13
Tak Langsung
Total
X12
0 0,038 0,0036 0 0 0 -0,034 0 0 0 0 0 0,006
0 0 0 0,027 0 0
0 -0.182 0,0036 0 0,039 0,019
0 0 0 0 0 0
0,196 0,180 0 0 0,121 0,030
0 -0.165 0.0516 0,070 0,137 0,104 0.0439 0,203 0,310 0,022 0.050 0,178 0,100
214 Analisis Konfirmatory pada Peubah Tak Bebas Kompetensi Melestarikan terhadap Peubah Bebas Pendapatan
Analisis konfirmatory digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas perilaku petani dalam melestarikan hutan melalui peubah tidak langsung (laten) yaitu dari aspek teknis, sosia-ekonomi, sosial-budaya, dan konerservasi. Secara garis besar hasil analisis konfimatory atau uji Structural Equations Model (SEM) akan didapatkan dua model yaitu: structural equations
yang merupakan
hubungan antara peubah laten dan measurement equations yang merupakan hubungan indikator dengan peubah laten. Hasil dari measurement equations yang berupa pengukuran pada duabelas bidang kompetensi sebagai peubah laten, dapat disarikan melalui tabulasi sebagai berikut:
Tabel 65. Hasil Pengukuran pada Peubah Laten Kompetensi N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kode T1 T2 T3 SE 1 SE 2 SE 3 SB 1 SB 2 SB 3 K1 K2 K3
Keterangan Pembibitan tanaman keras Penanaman tanaman keras Pemeliharaan tanaman keras Perencanan usaha tani tepi hutan Pengelolaan usaha tani tepi hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Pengembangan modal sosial petani Pengembangan kearifan lokal petani Menumbuhkan Kesadaran kelestarian Perencanaan pertanian konservasi Pengelolaan pertanian konservasi Pengawasan dlm pertanian konservasi
Var. Laten
T
SE
SB
K
Koefi - sien
0,69 0,96 1,00 1,00 0,86 1,01 1,65 1,00 2,15 0,78 1,00 1,00
Keterangan: 0 ) Digunakan untuk menskalakan peubah laten * ) Nyata pada taraf uji α 0,05; T-hit > T-tabel 1,96.
Galat Baku*
0,079 0,083 0 0 0,072 0,073 0,40 0 0,55 0,088 0,093 0
T hitung
R2
8,69* 11,66 * 0 0 11,89* 13,84* 4,08* 0 3,90* 8,90* 10,74* 0
0,25 0,49 0,53 0,57 0,42 0,59 0,26 0,096 0,45 0,29 0,48 0,48
215 Memperhatikan Tabel 65 dapat dinyatakan bahwa untuk keduabelas bidang kompetensi melestarikan hutan ternyata seluruhnya nyata pada taraf alpha 0,05. Dari Tabel 65, dapat dinyatakan bahwa pada peubah laten sosial budaya memiliki koefisien yang tinggi dan nyata pada taraf 0,05. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa peubah laten sosial budaya memiliki potensi yang signifikan terhadap peningkatan penelitian melesatarikan hutan, yang kemudian diikuti oleh peubah laten sosial ekonomi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa peubah di bidang sosial secara tidak langsung atau laten merupakan potensi yang besar yang dapat digunakan untuk merubah kompetensi petani tepi hutan dalam melestarikan. Pada hubungan antara indikator yang berupa aspek teknis dengan peubah laten berupa teknis kehutanan dalam hal penanaman tanaman keras. Hasil uji yang didapat berupa koefisien regresi + 0,92 dengan galat baku 0,089 dan hasil t
hitung
10,32. dengan
demikian dapat dimaknai bahwa hubungan antara indikator dengan peubah laten adalah searah, sehingga dapat dinyatakan bahwa semakin tinggi sumbangan indikator, akan searah dengan peningkatan pada peubah laten. Pada hasil uji hubungan antara variable terikat berupa perilaku melestarikan hutan dengan keempat indikator yakni: 1) aspek teknis kehutanan, 2) aspek sosial-ekonomi, 3) aspek sosial-budaya dan 4) konservasi tanah dan air, didapatkan nilai koefisien dari antara perilaku melestarikan dengan kemampuan di bidang teknis yakni sebesar + 092, dan galat baku 0,89, dengan nilai t
hitung
10,32. Pemaknaan dari nilai tersebut ialah,
bahwa perilaku melestarikan hutan akan meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan petani tepi hutan dalam aspek teknis kehutanan. Kesesuian model dengan kenyataan di dapatkan R2 sebesar 0,79, artinya terdapat kesesuaian model dengan
216 lapangan sebesar 79 % sehingga hanya 21 % yang dapat diterangkan oleh faktor lainnya. Berikut disajikan diagram hasil uji SEM yang merupakan lanjutan dari diagram path analisis.
T1-1 + 0,69
2
R = 0,79
T2 - 2
+ 0,97
Teknis (Y1.1)
1,00
T3 - 3
0,11
+ 0,92
SE 1 - 4
SE 2 - 5 1,.00
1,00
SE 3 - 6 +1,01
Sosial Ekonomi (Y1.2)
+1,00
Kompetensi Melestarikan Hutan (Y1)
SB3 - 9
SB2 - 8 +1,95
+ 0,18
1,00
R2 = 0,0054
-0,042 R2 = 0,87 Pendapatan (Y2)
SB1 - 7 +1,66
0,33
+ 0.83
R2 = 0,17
Sosial Budaya (Y1.3.)
-0,017 Teknis Konservasi (Y1.4)
+0,78 1,01
2
R = 0,71
K 1 - 10 K 2 - 11
1,00
K 3 - 12
Gambar 7. Diagram Hasil Uji Structural Equations Model
217 Perilaku petani tepi hutan dalam melestarikan sangat terkait dengan aspek teknis kehutanan, karena fungsi dari aspek teknis kehutanan yaitu mengukur kemampuan petani dalam mengembalikan kondisi hutan secara fisik menjadi lebih baik. Pada hubungan antara perilaku sosial-ekonomi dengan perilaku melestarikan, didapatkan nilai koefisien sebesar + 1,00* artinya bahwa meningkatnya kemampuan petani tepi hutan dalam hal ekonomi, akan diikuti dengan kemampuan dalam perilaku melestarikan hutan, hal ini nyata pada alpha 0,05 dengan tingkat kesesuaian Ry atau R2 sebesar 0,87 artinya dari data dan model yang digunakan dalam penelitian terdapat kesesuaian model dengan lapangan sebesar 87 %. Kenyataan empiris, perilaku petani tepi hutan memiliki kualitas yang masih sangat kurang demikian pula rendahnya kualitas kehidupan yang salah satunya disebabkan faktor ekonomi akan menjadikan menurunnya kualitas perilaku melestarian hutan. Hal ini ternyata sesuai dan searah dengan hasil uji path analisis, yang menyatakan bahwa motif perilaku petani tepi hutan dalam mengelola lahannya lebih didominasi aspek ekonomi khususnya dalam hal peningkatan pendapatan. Pada perilaku sosial-budaya petani tepi hutan merupakan cerminan kebiasaan yang dilakukan dalam melestarikan hutan. Pada aspek ini, petani tepi hutan memiliki kemampuan yang rendah di banding ketiga aspek lainnya. Walapun pada perilaku sosialbudaya memiliki nilai koefisien sebesar + 0,18*, dengan galat baku 0,051 dan hasil t hitung 3,55 serta R
2
sebesar 0,17. dengan demikian dapat dinyatakan bahwa aspek sosial-
budaya, dan merupakan aspek yang nyata mempengaruhi terjadinya perilaku melestarikan hutan, namun relative kecilnya perannya, karena R2, sebesar 0,17 mengindikasikan bahwa masih banyak faktor sosial-budaya yang tidak tercakupi dalam
218 penelitian ini, sehingga model dari aspek sosial budaya hanya mampu menjaring informasi sebesar 17 %, dan sisanya (83 %) dapat diterangkan dari aspek yang lain. Untuk menambah kekuatan data, telah dilakukan studi literatur, wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Sedangkan pada perilaku teknis konservasi didapatkan nilai sebesar + 0,82 dengan galat baku sebesar 0,085* dan t hitung 9,68 serta R2 sebesar 0,71 maknanya bahwa semakin meningkatnya kemampuan petani tepi hutan dalam berperilaku konservasi akan mempengaruhi kemampuan melestarikan hutan, atau dapat dinyatakan pula bahwa rendahnya
kemampuan
dalam
bidang
konservasi
mengakibatkan
menurunnya
kemampuan dalam berperilaku melestarikan hutan. Aspek konservasi memiliki kesesuaian raga sebesar 71 %, sehingga hanya 29 % yang dapat diterangkan atau dijaring melalui informasi lainnya. Sedangkan hubungan antara kompetensi melestarikan dengan pendapatan didapatkan koefisien dari aspek teknis kehutanan sebesar 0,11 dengan galat baku sebesar 0,22 dan hasil t hitung 0,52. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa aspek teknis kehutanan menyumbang sebesar 11 % dan tidak nyata dalam meningkatkan pendapatan petani tepi hutan. Pada aspek sosial ekonomi, terdapat sumbangan sebesar - 4,2 % dan tidak nyata, sehingga dapat diasumsikan bahwa faktor sosial ekonomi yang terdiri atas: 1) perencanaan usaha tani tepi hutan, 2) pengelolaan usaha tani tepi hutan dan 3) pengawasan usaha tani tepi hutan, tidak nyata terhadap peningkatan pendapatan petani. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa semakin menurunnya kompetensi di bidang sosial ekonomi melestarikan hutan akan meningkatkan pendapatan. Hal ini dapat dipahami karena yang dimaksud dengan sosial ekonomi kelesatrian yaitu ekonomi jangka
219 panjang, sehingga kontradiktif dengan kebutuhan petani yang jangka pendek, selain itu, kenyataan di lapangan pendapatan petani yang berasal dari hasil non pertanian lebih besar sedikit dibanding hasil pertaniannya. Aspek sosial budaya, memiliki sumbangan sebesar 33 % terhadap pendapatan petani, kenyataan ini menguatkan bahwa aspek sosial ekonomi petani, dalam penelitian ini bukan merupakan faktor penentu yang kuat serta nyata
untuk meningkatkan
pendapatan. Hal ini dapat sebagai cerminan kondisi petani tepi hutan dan petani pada umumnya yang terhimpit dalam masalah berproduksi. Kondisi ekonomi yang lemah diduga menyebabkan petani lebih menguatkan pada aspek sosial budaya. Pada aspek teknis konservasi, didapat sumbangan sebesar -0,017, dengan galat baku 0,19 hasil t
hitung
0,089 atau sebesar -1,7 % teknis konservasi memberikan
sumbangan ke pendapatan dengan pola tidak searah, walaupun tidak signifikan dapat dinyatakan semakin tinggi teknis konservasinya petani tepi hutan, maka akan semakin rendah pendapatannya. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa kompetensi petani dalam melestarikan hutan lindung secara nyata dipengaruhi oleh aspek teknis kehutanan, aspek sosial ekonomi, aspek sosial budaya, dan teknis konservasi, dan berdasarkan hasil uji lintas jalur dengan menempatkan kompetensi melestarikan sebagai peubah tak bebas (Y1) dan uji analisis konfirmatory dengan peubah tak bebas pendapatan sebagai Y2, maka di dapat kesesuaian model antara fakta
dilapangan dengan hasil penelitian sebesar 91% .
(Goddness of Fit Iindex). Hal ini mengindikasikan bahwa model memenuhi kriteria berlakunya SEM dimana GFI tidak lebih kecil atau sama dengan 0,90 dan terjadi sebaran yang merata dalam data (normal).
220 PEMBAHASAN Pendahuluan Penelitian dilakukan di 4 kabupaten, 4 kecamatan dan 4 Register Hutan Lindung selama 5 bulan, yakni mulai Mei hingga Oktober 2005, dengan tujuan: 1) mengungkapkan karakteristik petani tepi hutan lindung di Provinsi Lampung, 2) mengungkapkan kompetensi petani tepi hutan dalam melestarikan hutan lindung, 3) menentukan derajat hubungan karakteristik petani tepi hutan dengan upaya mereka dalam melakukan pengelolaan lahan agar hutan lindung tetap lestari, dan 4) mengungkapkan implementasi kompetensi petani tepi hutan dalam melesatrikan hutan lindung. Gambaran Singkat Kondisi Hutan Lindung di Indonesia Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya. Kawasan hutan perlu ditetapkan untuk menjamin kepastian hukum mengenai status kawasan hutan, letak batas dan luas suatu wilayah tertentu yang sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan tetap. Departemen Kehutanan mendefinisikan hutan lindung sebagai kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok perlindungan, sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Definisi ini dikuatkan dengan spesifikasi ketinggian, kemiringan lahan serta intensitas curah hujan. (Departemen Kehutanan, 1989:II 35-36) Luas hutan di Indonesia sampai pada tahun 2000 seluas 109.961.397,02 hektar terdiri atas kawasan daratan seluas 104.893.504,63 ha dan luas kawasan perairan 5.068.208 ha. Luas hutan lindung adalah 29.037.397, 02 hektar (Statistik Kehutanan
221 Indonesia 2002:151-154).
Seiring dengan era reformasi dan otonomi daerah, maka
luasan hutan menyusut dengan tajam. Perubahan kawasan hutan yang dimaksud yaitu berubahnya luas kawasan hutan untuk keperluan non kehutanan, atau adanya tukar menukar kawasan atau dapat pula perubahan fungsi hutan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan akan hal tersebut, Departemen Kehutanan telah mengalokasikan kawasan hutan yang dapat dikonversi (HPK), tetapi sejak tahun 2000 kegiatan pelepasan kawasan hutan di Indonesia dihentikan sementara (moratorium). Untuk tahun 2002 di seluruh Indonesia tidak ada pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan budidaya non kehutanan, yaitu mencakup kegiatan sektor pertanian/perkebunan dan transmigrasi, Hingga tahun 2002 kawasan hutan yang telah dilepas oleh Departemen Kehutanan adalah seluas 4.705.174,93 hektar. (Statistik Kehutanan 2002:154). Tahun 1981-1985 laju kerusakan hutan di Indonesia sudah berkisar 600.000 ha pertahun dengan kecepatan kerusakan hutan berkisar 5 % (Repetto dalam Suhardjito, 2000:1). Menurut Forest Watch Indonesia, laju kerusakan hutan di Indonesia pada akhir tahun 2004 telah mencapai 2,6 juta per tahun, termasuk di dalamnya kerusakan hutan lindung, dan taman nasional. Memperhatikan angka tersebut, dalam selang waktu 20 tahun, maka laju kerusakan telah jauh melampaui prediksi kerusakan sebelumnya yakni sebesar 630.000 ha per tahun. Untuk mengatasi laju kerusakan hutan yang cenderung terus meningkat drastis di Indonesia, maka pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No 4 tahun 2005 tentang pembrantasan pencurian kayu dan perdagangan kayu hasil penebangan liar kepada seluruh kapala daerah, baik bupati/ wali kota, maupun gubernur dan tidak diperkenankan
222 mengeluarkan surat izin kehutanan yang bertentangan dengan UU Kehutanan dan Konservasi. Perizinan yang sudah terlanjur dikeluarkan harus segera dicabut. Kerusakan hutan selain disebabkan oleh bencana alam, kebakaran, dan pengelolaan HPH yang tidak konsisten, juga disebabkan oleh perilaku masyarakat yang mengabaikan prinsip kelestarian. Data dari Departemen Kehutanan tahun 2002, dengan memperhatikan beberapa kriteria pembobotan tertentu, maka sampai akhir tahun 2002 lahan kritis di Indonesia yaitu 8.136.647 ha berada di dalam kawasan dan 15.106.234 ha berada di luar kawasan. (Departemen Kehutanan , 2003:48). Salah satu ukuran yang digunakan untuk menentukan lahan kritis adalah dengan mengacu pada penetapan kondisi lahan yang telah mengalami kerusakan dan menurunnya fungsi sampai pada batas toleransi tertentu. Sasaran lahan kritis adalah lahan-lahan yang fungsinya ada kaitan dengan reboisasi dan penghijauan, seperti fungsi kawasan hutan lindung, di luar kawasan hutan dan kawasan budidaya usaha pertanian.
Kondisi dan Permasalahan Hutan Lindung di Lampung
Provinsi Lampung dengan luas wilayah 3.498.478 ha, dan luas kerusakan hutan di dalam kawasan hutan lindung seluas 375.467 ha dan kerusakan di luar kawasan seluas 444.074 ha atau total kerusakan 819.541 ha dengan tingkat kerusakan 23,43%. (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung - Subdin RRH tahun 2003-2004). Memperhatikan angka kerusakan yang besar bila dibandingkan tingkat pengembalian kondisi lahan kritis yang sangat kecil-lamban, maka bila tidak cepat dibenahi, kerusakan hutan semakin luas dan akan berdampak pada kehidupan manusia pada umumnya di masa kini dan masa akan datang.
223 Kualitas kehidupan manusia dapat dilihat dari lingkungannya, termasuk salah satunya kondisi hutan karena bila manusia harus hidup dalam kerusakan lingkungan maka akan melahirkan genarasi kurang berkualitas, dan dapat menyebabkan kondisi kehidupan yang semakin parah. Kerusakan hutan di Provinsi Lampung disebabkan oleh beberapa faktor diantara lain: 1) karena adanya tekanan penduduk dari Jawa, dan sekitar Lampung, 2) terbukanya akses jalan dan menjadi lebih memudahkan penduduk memanfaatkan hutan sebagai sarana produksi, 3) lemahnya law enforcement sehingga masyarakat menganggap tidak ada aturan yang pasti, 4) besarnya tekanan pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak berlahan, menjadikan hutan sebagai salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 5) Kesadaran masyarakat yang rendah tentang pentingnya fungsi hutan. Kondisi seperti ini dapat dipahami karena sebagian masyarakat sekitar hutan menepatkan fungsi hutan yang amat luas termasuk sebagai fungsi sosial, sehingga petani cara pandangnya terhadap hutan, melihat manfaat untuk dirinya tanpa mengkaitkan dengan kepentingan orang lain yang sama pentingnya. Pada masalah kelima inilah yang menjadi kajian dan tantangan lebih lanjut bagi ilmu penyuluhan pembangunan, bagaimana meningkatkan kompetensi petani tepi hutan agar mampu menjadi pelestari yang handal. Secara hukum apa yang dilakukan oleh petani dengan mengerjakan dan mengelola lahan di dalam kawasan secara hukum pada dasarnya tidak dibenarkan, namun kenyataan bahwa petani telah mengelola lahan di dalam kawasan dan terdapat potensi merusak, menjadi masalah yang serius. Potensi perilaku yang sub sisten tanpa kompetensi melestarikan merupakan kenyataan yang harus segera dibenahi, karena dengan membiarkan petani tetap mengelola lahan di dalam
224 kawasan hutan tanpa dibekali materi melestarikan sama dengan menyiapkan kehancuran lingkungan dan petani di masa akan datang. Oleh sebab itu pendidikan kepada petani agar mampu berperilaku sesuai dengan prinsip kelestarian menjadi bagian penting dalam menyelamatkan hutan lindung di masa akan datang. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa kembalinya fungsi hutan lindung seperti sediakala sangat terkait dengan kompetensi petani tepi hutan, hal ini terungkap pada hasil analisis konfirmatory sebesar 92 %, kompetensi melestarikan hutan dipengaruhi oleh kemampuan teknis kehutanan. Kenyataan di lapangan, bahwa kondisi hutan lindung yang mestinya merupakan daerah tangkapan air ternyata dikelola dalam bentuk pertanian maupun perkebunan. Hal ini menjadi sangat bias dari fungsi hutan lindung itu sendiri. Pemanfaatan hutan lindung sebagai areal berusahatani menjadi kendala dan fenomena tersendiri dalam kelestarian. Fungsi hutan lindung yang terganggu karena adanya perubahan pemanfaatan lahan, perubahan jenis tanaman, pola pengelolaan lahan, menjadikan terabaikannya fungsi hutan lindung, padahal, secara hukum ada larangan dalam mengupayakan segala sesuatu di dalam hutan lindung, namun kenyataan di lapangan sudah jauh berubah. Adanya perbedaan di lapangan antara ”apa yang diinginkan oleh masyarakat dengan apa dinginkan oleh pemerintah” hal ini menjadi potensi untuk menimbulkan masalah. Oleh karena itu perlu ditinjau kembali peraturan yang mampu menjawab kenyataan di lapangan telah berubah, seperti yang terjadi di Hutan Lindung Register 38 Gunung Balak, khususnya Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur, dengan jumlah penduduk 63.879 jiwa dengan luas wilayah 339,12 km2 yang terdiri atas 14 desa memiliki lahan yang relatif subur.
225 Berapa ahli tanah di IPB dan Unila, menyatakan bahwa Lampung Timur khususnya Kecamatan Sekampung Udik adalah daerah yang subur tanahnya. Hal ini disebabkan dampak dari endapan lumpur ketika letusan Gunung Krakatau. Kenyataan ini memicu datangnya petani dari Jawa dan Bali untuk menggarap lahan di dalam kawasan hutan lindung, bahkan untuk menghubungan Daerah Sribawono, ke Bandar Lampung, telah dibuka akses jalan raya yang membelah hutan lindung Register 38, dan dampaknya daerah tersebut akan terus berkembang dan melengkapi dirinya dengan berbagai infrastruktur walupun tidak ada kejelasan status lahan. Permasalahan status lahan yang dinginkan oleh rakyat, dan keinginan pemerintah dalam hal ini pihak Kehutanan memiliki posisi yang sama kuat, sehingga perlu penangannya lebih spesifik. Oleh karena itu dalam menentukan situasi yang diinginkan, harus jelas siapa yang menginginkan situasi tersebut, apakah kejelasan status merupakan keinginan pemerintah atau masyarakat. Memperhatikan bahwa pembangunan berorietasi pada pertumbuhan dan berpihak pada rakyat, maka hal yang lebih penting adalah bahwa situasi yang dinginkan itu adalah keinginan masyarakat untuk menjawab kebutuhan yang tentunya sangat normatif. Memperhatikan masalah di lapangan, definisi hutan lindung yang ada di depan, maka untuk dearah Sekampung Udik, perlu mendapat perhatian yang khusus dari pengambil kebijakan– Pemerintah Pusat dan daerah, sehingga ada upaya mempertemukan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) harus dipadukan kembali dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Proses perubahan status hutan lindung membutuhkan proses yang panjang, namun bila tidak cepat diatur dan ditangani, maka peraturan akan
226 selalu tertinggal dengan kenyataan di lapangan. Keberadaan aturan dan kebijakan serta hukum seharusnya dapat memfasilitasi dan mendorong pada petumbuhan dalam arti luas. Demikian halnya di Lampung Barat, yang hutannya relatif baik, namun pada tahun 2002 laju kerusakan hutan mendekati 45 %, sehingga perlu penangan lebih serius, karena terganggunya fungsi hutan lindung dapat berakibat menurunnya debit air untuk PLTA Way Besai. Berubahnya hutan menjadi kebun kopi, menjadi fenomena menarik di Lampung Barat, karena pada tahun 1980 - 1983 para petani telah di translokkan, ternyata kembali lagi. Hal yang perlu diingat yaitu luas wilayah tidak bertambah dan pertambahan penduduk berjalan terus dan cepat, sehingga perlu ada pengaturan yang tepat terhadap jumlah luas lahan yang diijinkan untuk dikelola. Rasio keseimbangan ideal luas daerah hutan dan luas daratan tetap harus menjadi acuan yang diperhatikan 30 % luas hutan sesuai dengan UU 41 tahun 1999 pasal 18 ayat 2. Oleh karena itu diperlukan ”persepsi petani” yang benar tentang kawasan hutan lindung dan fungsinya. Hutan sebagai fungsi sosial juga untuk keperluan umum, sehingga motif dalam mengelola lahan akan selalu terkait dengan kepentingan umum.
Penyuluhan Kehutanan di Provinsi Lampung
Penyuluhan bertujuan membantu petani agar mampu memecahkan masalahnya sendiri, oleh karena itu perlu diupayakan lebih baik oleh para penyuluh agar petani memiliki pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang baik dan benar sehingga menjadi mampu memecahkan masalahnya sendiri. Prinsip penyuluhan seharusnya menjadi ’ruh’ pada setiap penyuluh, namun kenyataan di lapangan penyuluh kehutanan dihadapkan
227 pada aneka masalah seperti keorganisasian, peningkatan kapasitas melalui pelatihan, sarana dan prasarana penyuluhan yang berimplikasi pada pelaksanan tugas dan fungsi penyuluh sehingga ’ruh’ penyuluhan tidak muncul. Hasil wawancara dengan beberapa penyuluh, ternyata mereka merasa masih perlu ada pelatihan, salah satunya adalah kemampuan teknis konservasi tanah dan air, karena hal ini merupakan bagian yang penting dalam pengelolaan lahan di tepi hutan. Salah satu tantangan penyuluh kehutanan dalam melaksanakan tugas yaitu menyuluh petani yang berada di hutan lindung. Penyuluh berpendapat bahwa penyuluhan di daerah yang ”terlarang” merupakan beban moral tersendiri, karena sasaran penyuluhan yaitu petani tepi hutan yang menggarap lahan di dalam kawasan hutan lindung yang seharusnya dilarang. Kenyataan seperti ini jika dibiarkan maka perilaku petani akan semakin merusak hutan, oleh karena itu penyuluh harus tetap mendidik kepada petani yang menggarap lahan di dalam kawasan sebaik mungkin, agar mampu berperilaku dengan benar dalam mengelola lahan. Menjalankan tugas mendidik petani tepi hutan adalah sama pentingnya dengan menyelamatkan hutan dengan cara lain. Berkaitan dengan hal tersebut pengakuan dan perlakuan secara kekeluargaan dianggap paling baik ideal untuk mengajak berubah para petani di dalam kawasan hutan lindung. Oleh karena itu tantangan penyuluh adalah mempertemukan kepentingan petani dengan kepentingan umum dan juga pemerintah. Untuk mempertemukan dua kepentingan tersebut, maka perlu adanya kompetensi penyuluh yang mampu mempertemukan kebutuhan yang dirasakan petani dan kebutuhan pemerintah sehingga kepentingan lingkungan dan kebutuhan petani dapat ’nyekrup’ (Konsep ”Sodality” – Tjondronegoro). Hal ini tidak mudah dan tidak sederhana, karena
228 berkaitan dengan dua kebutuhan yang mendasar dalam kehidupan baik petani maupun umum. Masalah intinya adalah petani dengan taraf pemenuhan kebutuhan dasar, dan masyarakat luas melihat kebutuhan air sebagai kebutuhan dasar hidup adalah hal yang sama pentingnya. Oleh karena itu diperlukan strategi tertentu untuk mampu membangun motivasi baik intrinsik maupun ekstrinsik petani tepi hutan untuk berubah sesuai dengan kebutuhan yang diharapkan. Berkaitan dengan hal tersebut prioritas yang dibangun adalah kesiapan mental dan materi. Hal ini terkait dengan kemampuan memepengaruhi yang merupakan bagian komponen utama para penyuluh, sehingga dapat optimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kenyataan di lapangan, beberapa penyuluh kurang mampu mempengaruhi petani, dan adanya peran ganda penyuluh sebagai pengambil iuran hasil hutan, ataupun kegiatan lain yang tidak berhubungan dengan penyuluhan, dapat berakibat menurunnya tingkat kepercayaan petani terhadap penyuluh dalam menjalankan tugasnya, sehingga kedepan hal semacam itu harus dapat dihindari. Kondisi penyuluh kehutanan di Provinsi Lampung, sangat beragam, hal ini disebabkan oleh beragamnya instansi yang menjadi payung kegiatan penyuluh kehutanan. Seperti di Lampung Timur, karena hutannya sudah minim kondisi dan luasannya, maka induk instansinya adalah Dinas Perkebunan dan Kehutanan (Bunhut), sedangkan untuk Lampung Tengah menggunakan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Hutbun), dan di Lampung Barat Dinas Kehutanan berdiri sendiri tanpa penggabungan dengan dinas yang lain. Hasil wawancara dengan penyuluh kehutanan, kondisi ini semacam ini menjadi dilemitis dalam menjalankan tugas, karena ada prinsip kehutanan yang dengan mudah
229 dilanggar oleh prinsip dinas yang lain, dan penyuluh tidak kuasa menghadapi kenyataan ini, dan ini sudah menjadi kesepakatan di ’atas’. Tugas penyuluh yang kurang jelas di masyarakat menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan di bidang kehutanan, oleh karena itu ukuran partisipasi masyarakat secara luas menjadi tolok ukur proses pembangunan. Agar masyarakat mau berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan di bidang kehutanan, maka perlu ada proses komunikasi yang baik antara masyarakat dan pemerintah dan salah satunya adalah merupakan tugas dari penyuluh. Agar terjadi komunikasi yang baik antara masyarakat dengan kebijakan pemerintah dalam pembangunan kehutanan, maka penyuluh perlu memiliki kemampuan dalam komunikasi yang tepat dan efektif. Kemampuan penguasaan budaya asal petani menjadi salah satu cara yang efektif untuk masuk dan mempengaruhi. Terkait dengan kemampuan mengkomunikasikan penyuluh, Radhakrishna, (2001:3) menyatakan ada tiga kebutuhan yang mendasar untuk seorang penyuluh profesional, yakni 1) kemampuan mengkomunikasikan pada para pengambil keputusan, 2) kemampuan mengkomunikasikan masalah petani kepada peneliti, dan 3) kemampuan melihat masalah dari berbagai perspektif. Oleh karena itu, kegiatan penyuluhan kehutanan yang baik, diperlukan perencanaan, persiapan materi, sehingga terjadi proses pembelajaran dan komunikasi akan berjalan dengan baik antara masyarakat dengan pemerintah. Agar penyuluh dapat menjalankan tugas dan fungsinya menjaga hutan lindung, maka penyuluh perlu dibekali berbagai kompetensi yang terkait dengan teknis kehutanan, sosial ekonomi, sosial budaya, dan konservasi tanah dan air.
230 Peningkatan kemampuan menyuluh sangat dibutuhkan oleh penyuluh maupun petani, sehingga penyuluh lebih kompeten dan percaya diri karena memiliki sejumlah kemampuan yang dibutuhkan oleh petani, demikian pula petani merasa puas dan terlayani dengan baik oleh penyuluh. Pada proses pembangunan, peranan penyuluh sebagai pendamping, motivator, fasilitator dalam pemberdayaan masyarakat menjadi sangat strategis, karena penyuluh memegang peranan penting dalam gerakan diseminasi (implementasi) terhadap uji peningkatan usaha tani (on-farm). Suparno
(2001:135),
namun
FAO (1998:229), Wiriaatmadja (1990:30), dan
sejak
berlakunya
Otonomi
Daerah,
kewenangan
penyelengaraan penyuluhan kehutanan menjadi tanggungajawab Pemerintah/ Kota, maka dalam pelaksanaannya timbul berbagai macam interpretasi yang menyebabkan bias tugas dan fungsi penyuluh kehutanan. Keadaan tersebut mengakibatkan fungsi penyuluh kehutanan dalam pemberdayaan masyarakat yang mendukung program pembangunan kehutanan menjadi tidak optimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat interaksi petani dengan PPL sebesar 36,75% berkategori rendah dan yang unik adalah pada kategori tinggi berinteraksi dengan PPL, petani justru memiliki kemamapuan yang kurang baik dibanding dengan petani yang relatif rendah interaksinya dengan PPL. Ada beberapa sebab terhadap kondisi seperti ini, yakni pertama, penyuluh tidak mengotimalkan fungsinya sebagai penyuluh, sehingga dalam berinteraksi tidak terjadi proses pembelajaran yang sesuai dengan prinsip penyuluhan, yakni ”dimana saja, kapan saja, kepada siapa saja-petani”, kemungkinan kedua penyuluh tidak cukup memiliki kompetensi seperti diharapkan oleh petani sehingga dalam berinteraksi lebih bersifat silahturami saja. ketiga yaitu penyuluh tidak
231 melakukan pembaharuan hubungan atau mencari orang-orang baru yang dapat diajak kerjasama dalam memajukan usaha taninya, serta tidak ada pengembangan inovasi di masyarakat. Berdasarkan pengamatan dilapangan, dan wawancara dengan penyuluh kehutanan, gambaran di atas menguatkan kondisi penyuluh kehutanan saat ini yang semakin dilematis dalam menjalankan tugas. Keterbatasan sarana dan prasarana serta tidak kuatnya kompetensi dalam penyuluhan menjadi beban dan tantangan untuk menciptakan tingkat keberberdayaan masyarakat tepi hutan. Dengan demikian untuk dapat menjawab tantangan kedepan dengan permasalahan petani semakin kompleks maka diharapkan penyuluh kehutanan membekali dirinya dengan pelatihan-pelatihan yang lebih spesifik dan inovatif, sehingga penyuluh kehutanan memiliki kemampuan yang unggul dan tangguh dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Selain itu kejelasan karir pekerjaan yang dapat menjamin kehidupan keluarga juga hal yang perlu dipikirkan oleh pengelola penyuluh kehutanan sehingga penyuluhan merupakan sinergis dari tiga lingkaran kebutuhan pengembangan sumber daya manusia yaitu: 1) pengembangan karir 2) kesempatan dalam pelatihan dan 3) pengembangan keorganisasian. (Gilley and Eggland, 1989:15)
Kondisi Petani Tepi Hutan Lindung pada Lokasi Penelitian
Gambaran umum kondisi petani tepi hutan, pada umumnya sangat beragam, namun sebagian besar tidak terlepas dari potret ketidakberdayaan terhadap hasil usaha dan ketidakpastian pengelolaan lahan, hal ini sangat berkaitan dengan status lahan yang dikerjakan yakni merupakan kawasan hutan lindung. Hasil wawancara dengan beberapa
232 petani, pada umumnya petani merasa kurang nyaman ketika menggarap status lahan yang dikerjakan adalah lahan pemerintah, karena kejadian masa lalu kepentingan petani selalu dikorbankan. Faktor ketentraman bathin dalam pengelolaan lahan di dalam kawasan ternyata merupakan kebutuhan yang dirasakan (felt needs) yang dianggap penting oleh petani. Faktor ’ketentraman’ pengelolaan dan kepastian mengambil hasil usahanya merupakan harapan yang dirasakan petani yang mengelola kawasan hutan. Selain status kepemilikan lahan, ketidakberdayaan terhadap harga pada saat panen dan tingginya harga pupuk, mahalnya transpotasi, dan minimnya informasi menjadikan petani tepi hutan sering dihadapkan pada situasi yang sulit. Oleh karena itu kondisi seperti ini akan meningkatkan aspek sosial budaya terutama pengembangan modal sosial menjadi sangat dominan dalam hubungan antar petani tepi hutan. Hasil
analisis
konfirmatory
pada
peubah
laten
sosial
budaya
bidang
pengembangan modal sosial memiliki derajat koefisien yang sempurna yakni 1,65 dan nyata pada t
hitung
4,08. Kenyataan seperti ini mengindikasikan bahwa petani tepi hutan
akan tetap bertahan hidup untuk segala situasi yang dihadapi, dan perilaku petani seperti ini tercermin dalam kompetensi mengelola lahan di kawasan hutan lindung. Berkaitan dengan perilaku, maka motif petani dalam mengelola lahan terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar (butsarman). Kenyataan ini dilatar belakangi oleh petani tepi hutan pada umumnya adalah pendatang dari Pulau Jawa dan sekitar Lampung, pada umumnya mereka terdesak dan tidak memiliki lahan yang cukup untuk mempertahankan hidup sehingga mereka mencari alternatif untuk mengadu nasib sebagai petani tepi hutan.
233 Dari sisi pendapatan, tidak ada yang diharapkan dengan pasti untuk menjamin kehidupannya, oleh karena itu petani selalu berada dalam kondisi ketidakpastian dalam berusaha taninya, sedangkan pengeluaran rumah tangga dan biaya produksi menjadi hal yang pasti dan cenderung terus meningkat. Hal ini membuat petani selalu ragu menghitung keuntungan, karena pada umumnya petani subsisten tidak mengkalkulasikan dengan rinci modal, semuanya berjalan seadanya, dan tenaga tidak pernah dihitung. Rendahnya perencanaan, dan mencampuradukan kebutuhan rumah tangga dengan usahatani, dan sebaliknya, menyebabkan petani tidak dapat menghitung dengan pasti modal yang dikeluarkan. Sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan mingguan dapat ditutupi dengan mengambil manfaat dari hasil hutan non kayu, seperti petai, pisang, serta buah-buahan maupun sayuran. Kebutuhan tiap hari dipenuhi pula dengan bekerja di ladang pada hari yang sama, sehingga menjadikan petani tepi hutan memiliki intensitas yang tinggi untuk masuk hutan. Aktivitas yang tinggi menyebabkan petani akan selalu mengulang apa yang sudah dikerjakan sekalipun hal tersebut bertentangan dengan kelestarian demi tercukupinya kebutuhan hidup. Memperhatikan kondisi seperti ini, sesuai dengan prinsip penyuluhan yakni melakukan penyuluhan dimana petani beraktivitas merupakan cara yang tepat. Penyuluhan merupakan salah satu bentuk pendidikan non formal, melihat proses belajar menjadi hal yang penting dilakukan dan seoptimal mungkin. Oleh karena itu penyuluhan dapat dilakukan perkelompok didasarkan pada kedekatan lahan grapan. Tuntutan kepastian hasil, dan terjaminnya pasar dapat dijadikan ’pintu masuk’ untuk mengajak petani untuk memahami, mengerti, tentang pentingnya kelestarian. Dasar
234 pemikirannya adalah bahwa prinsip kelestarian yang berarti menyediakan sesuatu secara permanen adalah hal yang sama dibutuhkan oleh petani maupun semua orang, seperti kesuburan lahannya maupun hasil usaha taninya sehingga dapat menjamin ekonomi keluarga tanpa merusak lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian terdapat 354 dari 400 responden (89%) adalah petani yang mengelola lahan di dalam kawasan hutan lindung, dan sisanya adalah petani yang menggarap lahan di tepi hutan lindung. Dari 400 terdapat 48 % menyatakan lahan yang dikelola adalah milik sendiri karena tidak membagi hasilnya dengan pihak lain. Memperhatikan angka tersebut, mengindikasikan bahwa sebagian besar petani sudah merasa memiliki lahan garapannya, sekalipun itu berada di dalam kawasan hutan lindung. Luas lahan yang dimiliki petani tepi hutan rata-rata 1,1 ha – 1,7 ha sebanyak 41,50%, dan ditiap daerah, tanaman yang diusahakan petani sangat beragam, seperti di Lampung Barat, tanaman yang diyakni oleh petani sebagai sumber nafkah adalah tanaman kopi jenis kopi Arabica dan kopi Robusta. Jenis tanaman kopi yang diusahakan berimplikasi pada karakteristik pengelolaan. Ada pendapat yang berkembang dikalangan petani kopi Sumberjaya, untuk menilai petani rajin atau tidak ke kebun dapat dengan melihat kebersihan kebun kopinya. Hal ini dapat pula dijadikan indikasikan sikap dan perilaku petani terhdap tanaman kopi maupun yang lain. Harga Kopi bila saat jatuh sampai Rp2.500 – Rp.3.000 per kilo kering siap giling, dan menurut perhitungan petani, harga yang dianggap ’cukup’ dimana petani mendapatkan untung sedikit yaitu ketika harga Rp 4.000 – Rp 5.000. dan harga yang baik adalah ketika kopi berkisar diatas Rp 7.500 – Rp 9.000. di tingkat petani, namun harga kopi seperti ini tidak ada setiap tahun, dan pengalaman petani harga tersebut siklusnya
235 lima–tujuh tahunan. Kendala lain yang dihadapi adalah sedikitnya jumlah buruh harian dan mahalnya ongkos mipil dan ’ngoret’ kebun kopi. Sedangkan di Lampung Selatan sebagian petani mengandalkan tanaman coklat, memiliki nilai ekonomi yang relatif baik, mengingat pasarnya pasti. Petani yang mengupayakan coklat pada umumnya juga menanam tanam lain sebagai tanaman sela yang akan memberikan kontribusi pada hasil selain coklat sebagai penopang panen mingguan. Cara perawatan tanaman coklat yang baik yakni dengan mempertahankan bentuk tanaman seperti tempat bertelur ayam (petarangan-Jawa) sehingga tanaman merata dapat mataharinya. Hal ini dapat mengoptimalkan tunas buah coklat, mengurangi serangga perusak selain dilakukan pemangkasan dan penjarangan buah. Hasil mingguan yang diandalkan petani selain coklat adalah pisang. Harga coklat saat panen di tingkat petani berkisar Rp.8.000 – Rp.10.000. kondisi kering sekitar 70 % - 80 %. Petani yang mengandalkan komoditi coklat tingkat ekonominya lebih baik di banding komoditi yang lain karena harga komoditi coklat relatif stabil dan memiliki pasar yang luas. Di Lampung Timur, sebagian besar petani mengelola lahannya dengan menanam jagung. Mengingat lahan yang subur karena jenis tanahnya merupakan hasil endapan dari letusan Gunung Krakatau, dan sekitar 15 – 25 km dari hutan lindung Gunung Balak, terdapat industri pakan ternak yang salah satu bahan utamanya adalah jagung, sehingga petani petani secara optimal memanfaatkan lahannya, seperti usia tanam jagung yang mestinya 120 hari dapat dipercepat sekitar 100 hari tanpa ada pengambilan dari lahannya, sehingga jagung cukup di matikan saja pohonnya dengan memotong dahannya, dan dikeringkan dipohon, sekanjutnya sudah ada tunas baru yang siap menggantikannya.
236 Sedangkan di Lampung Tengah, tekanan penduduk terhadap hutan lindung tidak begitu besar, mengingat pada umumnya petani memiliki lahan sawah atau tegalan yang ada di sekitar rumah dan mengupayakannya dengan baik, sehingga memiliki lahan di dalam kawasan hutan, masih sebatas kepemilikan sekunder. Tanaman yang diupayakan adalah campuran, dan pengelolaan di dalam kawasan hutan kurang intensif bila dibanding dengan daerah lain. Berdasarkan hasil wawancara, petani yang umumnya memiliki sawah di luar kawasan hutan, masih mampu mencukupi kebutuahannya walau tidak lebih. Mayoritas petani dari Pulau Jawa yang memiliki tradisi mengelola lahan sawah, sehingga suasana hampir tidak jauh beda dengan desa yang ada di Jawa. Keluhan yang dirasakan petani adalah menurunnya debit air yang dibutuhkan untuk pengairan sawahnya. Temuan di lapangan, petani ada sebagian yang sudah mencoba usaha kelapa sawit, di atas areal persawahan. Hasil diskusi dengan beberapa ahli tanaman dan pengamat lingkungan, kelapa sawit menyatakan bahwa kelapa sawit adalah jenis tanaman yang rakus air, untuk satu pohon kelapa sawit dewasa, sehari membutuhkan air sekitar lima sampai delapan liter. Perawatan yang minim, hama yang relatif sedikit, dan harga yang tinggi menjadi daya tarik tersendiri bagi petani, tapi dari sisi lingkungan tidak tepat, apalagi diusahakan di dalam areal hutan. Secara hukum, apa yang dilakukan oleh petani tepi hutan dalam mengelola lahannya di dalam kawasan tidak legal, mengingat fungsi hutan lindung sebagai daerah tangkapan air, dan tidak dibenarkan adanya kegiatan pengelolaan, demikian pula posisi penyuluh, ketika menjalankan tugas dan fungsinya kepada kelompok tani yang menggarap dan mengelola lahan di dalam kawasan menjadi tidak tepat, namun kenyataan
237 bahwa petani telah menggarap lahan di dalam kawasan sehingga perlu perhatian yang lebih serius, supaya petani dapat dengan hati-hati dan benar dalam mengelola lahannya. Kondisi lahan yang dikelola petani cukup baik kondisi tanamanannya, namun hasil panennya sering kali tidak memberikan hasil lebih, untuk mampu menutup biaya operasional sering kurang, sehingga dalam perawatan ushataninya seperti pemupukan dilakukan 3-4 tahun sekali. Pemupukan dengan pupuk kandang jarang sekali dilakukan karena sangat mahal. Selain masalah pemupukan, petani tepi hutan sangat membutuhkan lahan untuk usaha taninya, hal ini terlihat dari beberapa petani yang berupaya mematikan tanam keras kehutanan, sehingga petani mendapatkan lahan dan matahari cukup untuk menjalankan usaha taninya.
Kebutuhan Lahan Petani Tepi Hutan Lindung
Seiring dengan pembangunan yang ada, ternyata banyak mengalihkan fungsi lahan produktif di Jawa menjadi perumahan atau sarana lainnya, hal ini mengakibatkan semakin meningkatkan jumlah petani yang tidak berlahan dan mencari lahan di Lampung. Ketersediaan lahan pertanian semakin lama semakin sempit, sedangkan keahlian petani tidak berkembang. Hal ini yang menjadi suatu fenomena dalam pengelolaan lahan di dalam kawasan hutan, mengapa petani tapi hutan sebagian besar berasal dari Pulau Jawa, tetap membawa tradisi dan keahlian mengelola lahan basah, padahal daerah yang ditempati termasuk pertanian lahan kering yang memiliki kemiringan tertentu, sehingga dibutuhkan keahlian tertentu dalam pengelolaannya. Kondisi-kondisi seperti ini banyak dijumpai pada
238 komunitas petani tepi hutan, yang mengerjakan lahannya di dalam kawasan hutan lindung tanpa memperhatikan prinsip konservasi tanah dan air. Berdasarkan wawancara dan pengamatan di lapangan, kebutuhan lahan yang subur untuk pertanian sudah dirasakan oleh petani, dan lahan subur dapat ditemukan dengan mudah ketika petani membuka hutan lindung. Upaya memanfaatkan hutan lindung untuk pertanian, secara prinsip dan hukum tidak dibenarkan, mengelola pertanian di dalam kawasan hutan lindung juga tidak dibenarkan namun pada kenyataannya lahan di dalam kawasan banyak yang telah berubah menjadi ladang atau kebun yang telah diupayakan oleh petani tepi hutan untuk memenuhi kebutuhannya. Teknik pengelolaan yang seadanya, tanpa memperhatikan teknis konservasi yang benar, sangat bertentangan dengan prinsip kelestarian seperti petani melakukan penjarangan tanaman keras yang sudah besar perlu mendapat perhatian yang serius. Motif melakukan penjarangan adalah untuk mendapatkan lahan yang cukup mataharinya, sehingga memungkinkan untuk bercocok tanam, seperti untuk menanaman sayuran atau menanam tanaman yang memiliki umur pendek. Semua itu dilakukan karena hasil usaha tani untuk mencukupi kebutuhan jangka pendek dan memiliki nilai ekonomi di pasar tradisional. Kebutuhan lahan menjadi aset dalam berusahatani, seperti tindakan petani pada areal tertentu yang membuka lahan dan tidak memanfaatkan kayu yang ada, dan kayu hanya ”dimatikan atau ditumbangkan” dan dibiarkan membusuk di tempat, selanjutnya lahan tersebut menjadi lahan pertanian. Tercukupinya kebutuhan sinar matahari menjadi pertimbangan petani untuk melakukan tindakan membuka lahan. Untuk mengantisipasi
239 hal ini perlu kerjasama harmonis dengan ketua dan anggota kelompok tani tepi hutan, dengan jalan mendidik dan mengajari perilaku yang benar. Memperhatikan permasalahan yang ada di lapangan, bahwa kenyataan dan aturan sudah demikian jauh perbedaannya maka perlu adanya peninjuan ulang terhadap penetapan kawasan hutan lindung. Kriteria yang telah ditetapkan oleh Departemen Kehutanan tentang hutan lindung, perlu ditinjau perlokasi kembali, sehingga kriteria seperti yang mendasarkan pada tingkat kemiringan, intensitas cuarah hujan, dan fungsi dari hutan itu sendiri dapat diberlakukan. Salah satu contoh di Gunung Balak Register 38, hal yang perlu dikaji secara khusus terkait dengan perubahan penggunaan lahan di dalam kawasan hutan lindung, sehingga perlu diperhatikan pula luas areal hutan yang ideal termasuk didalamnya hutan lindung, yang menyatakan bahwa idealnya luas kawasan hutan dengan daratan yakni luas hutan sekitar 30 % dari total luas daratan dengan memperhatikan DAS (UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 pasal 18).
Model Pendekatan terhadap Pembangunan Kehutanan
Model dapat dimaknai sebagai gambaran dari miniatur – prototipe sesuatu, atau dapat pula dimaknai sebagai sutau cara dan strategi untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Permasalahan kehutanan yang berkembang dilingkungan tingkat bawah petani di bidang pembangunan kehutanan ternyata sangat kompleks, hal ini dapat dipahami karena banyaknya kepentingan yang saling terkait dan satu sama lain, dan saling memberikan dampak baik yang positif maupun negatif. Model pembangunan di masyarakat sekitar hutan lindung merupakan bentuk rencana, dan cara menyelenggarakan perubahan situasi masyarakat. Pada prinsipnya rencana pembangunan suatu masyarakat
240 akan selalu terkait dengan tujuan pembangunan, potensi masyarakat yang akan dibangun, dan kendala-kendala lain yang dapat diantisipasi semaksimal mungkin sehingga faktor keberhasilan menjadi besar. Model pendekatan dalam pembangunan menjadi bagian yang penting, karena dapat merupakan penentu untuk suksesnya pembangunan, dan pembangunan yang baik adalah merupakan suatu proses perubahan berencana dari situasi tertentu ke situasi lain yang lebih baik. Pendekatan dalam pembangunan dapat merupakan konsep atau cara pandang dalam penyelesaian atau menguraikan masalah sehingga masalah tersebut menjadi lebih jelas kedudukannya dan dapat dipahami prioritasnya yang selanjutnya direncanakan untuk direkayasa dalam proses perubahan yang dikehendaki ke arah yang lebih baik dan terkontrol. Atas dasar pengertian di atas, terdapat banyak model pendekatan dalam pembangunan, dan sangat tergantung dari sudut mana masing-masing melihatnya. Sedikitnya ada enam model pendekatan yang dapat dipahami untuk pembangunan masyarakat (Sumitro, 1996:9-16). a) Pendekatan holistik atau global, pendekatan ini lebih tepat untuk menjawab permasalahan yang sangat mendasar yakni berkaitan dengan kelestarian itu untuk kepentingan siapa? Pendakatan holistik bertitik tolak dari pendapat bahwa masalahmasalah pembangunan tidak berdiri sendiri-sendiri, malainkan saling terkait satu sama lain dari semua aspek. Seperti masalah kelestarian sangat terkait dengan banyak sektor, lapisan masyarakat, dan kebijakan, sehingga masalah kelestarian hutan lindung seharusnya tidak hanya tanggung jawab pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan saja, melainkan merupakan tanggungjawab bersama semua
241 elemen masyarakat. Pada sisi lain model pendekatan holistik tidak dapat dimaknai akan menyelesaikan masalah secara keseluruhan, melainkan melalui model ini diharapkan sedapat mungkin kebutuhan berbagai kelompok dari seluruh komunitas dapat terperhatikan. Pendekatan holistik membutuhkan adanya partisipasi yang luas, karena perubahan yang diharapkan berasal dari masyarakat, dan hal ini sangat relevan dengan masalah-masalah yang dihadapi petani tepi hutan lindung. b) Pendekatan parsial atau sektoral, model pendekat ini dapat merupakan pelengkap dari pendekatan holistik, sehingga terkait dengan permasalah kelestarian model ini akan lebih tepat untuk menjawab permasalahan ’mengapa petani tetap mengelola lahan di hutan lindung’. Kondisi di lapangan yang beragam, seperti di Register 19 dan 45b, hutan lindung masing-masing memiliki fungsi yang nyata sebagai dearah tangkapan air. Hutan lindung di Register 19 merupakan daerah tangkapan air yang diperlukan oleh PDAM ”Way Rilau” yang merupakan sumber mata air untuk warga kota Bandar Lampung, demikian halnya dengan Regisater 45 b Bukit Rigis, yang merupakan daerah tangkapan air utnutk PLTA ”Way Besai”, dan merupakan hulu dari beberapa sungai yang ngalir ke kabupaten Lampung Timur, sehingga fungsi lindung harus tetap diperhatikan, sedangkan kenyataan adanya petani menggarap lahan perlu diberikan rambu-rambu dapat berupa pengetahuan, pendidikan yang tegas, jelas berkaitan dengan tata air. Sedangkan Register 38 Gunung Balak, dapat dinyatakan tidak memiliki fungsi lindung, karena sudah menjadi ladang jagung, ternyata tetap menjadi kawasan hutan lindung. Oleh karena itu perbedaan dan pertentangan kebutuhan dari berbagai pihak
harus tetap diperhatikan, sehingga
diharapkan keragaman kebutuhan dan kepentingan dapat ditangani dengan baik.
242 Pendekatan parsial menuntut kemampuan dalam memilih aspek atau sektor yang paling strategis dan tepat dalam mengindentifikasi potensi yang tersedia. c) Pendekatan dari bawah, model ini lebih berorientasi pada kebutuhan masyarakat yang akan dibangun, sehingga akan lebih tepat untuk menjawab permasalah ”mengapa petani diberi tanggungjawab dalam melestarikan hutan lindung”. Orientasi pendekatan dari bawah adalah untuk menjawab permasalah yang terkait dengan kebutuhan yang dirasakan (felt needs) oleh petani tepi hutan. Oleh karena itu jika akan membangun petani tepi hutan yang memiliki kompetensi rendah dalam kelestarian, maka hal yang pertama dilakukan adalah melakukan ”pembangunan sikap mental petani” melalui proses pendidikan. Dalam konteks seperti ini, maka penyuluhan menjadi sangat penting dan berperan besar. Tujuan penyuluhan yaitu supaya petani tepi hutan menemukan kebutuhannya atas situasi kondisi untuk berubah dan berkembang. Kebutuhan yang harus dipenuhi, menjadikan petani tepi hutan merasa perlu adanya perubahan dalam kehidupannya, barulah diajak berpartisipasi untuk merencanakan, melaksanakan serta menikmati yang sekaligus memelihara pembangunan. Partisipasi masyarakat merupakan keharusan dalam pendekatan dari bawah, dan tanpa partisipasi mereka, maka pembangunan bukan pendekatan dari bawah. Model pendekatan dari bawah, dalam pembangunan kehutanan dikuatkan pula dengan dasar hukum yakni UU 41 tahun 1999 pasal 2 dan 3b tentang asas dan manfaat hutan lindung, pasal 26 tentang pemanfatan hutan lindung, pasal 36 ayat 2 pemanfaatan hutan lindung sepanjang tidak menganggu fungsinya. Dengan memperhatikan dasar hukum yang tercantum dalam UU Kehutanan No 41 tahun 1999, maka petani penggarap memiliki peluang mengelola lahan di dalam kawasan
243 sepanjangan tidak mengganggu fungsi utamanya, artinya menerapkan kompetensi melestarikan harus tetap menjadi prioritas dalam pengelolan lahan di dalam kawasan hutan lindung. Dengan demikian untuk memunculkan motif dalam berperilaku petani tepi hutan dalam mengelola, maka yang pertama ditemukan adalah kebutuhannya terlebih dahulu, kemudian atas dasar kebutuhan tersebut baik yang dirasakan maupun yang nyata petani tepi hutan baru diarahkan pada motif dari tindakan yang sesuai dengan kaedah kelesatrian hutan. Oleh karena kompetensi teknis kehutanan dan konservasi tanah dan air, belum merupakan kebutuhan yang dirasakan atau belum ditemukan kebutuhannya oleh petani. Pendekatan dari bawah akan membawa kendala-kendala yang tidak dapat diselesaikan, oleh karena itu diperlukan pula pendekatan dari atas. d) Pendekatan dari atas – prinsip pendekatan dari atas, adalah ide dan gagasan dalam pendekatan berasal dari pemerintah yang status atau kekuasaannya lebih tinggi, sehingga lembaga yang diperlukan untuk menangani dibentuk oleh pemerintah. Berkaitan dengan keberadaan petani tepi hutan dalam mengelola lahan di dalam kawasan, maka pendekatan ini lebih menguatkan kedudukan mengapa pemerintah sebagai fasilitator dalam pembangunan dan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam pengaturan. Oleh karena itu pemerintah sudah seharusnya peduli terhadap kelestarian hutan lindung dan melakukan di lapangan juga merupakan bagian yang penting dari implementasi kebijakannya. Peningkatan kemampuan di bidang pelestarian, menjadi tanggung jawab pemerintah dan instansi terkait sehingga pengetahuan, sikap dan ketrampilan para petani dapat semakin terasah dalam mengelola lahan hutan. Selain memberikan bekal yang memadai kepada petani dan
244 penyuluh, pemerintah perlu memberikan kepastian hukum dalam pengelolaan, sehingga petani tidak akan meluaskan areal lahan garapannya di dalam kawasan. Kepastian ini tentunya akan berdampak pada kepastian hasil usaha taninya, yang akan diikuti dengan kepastian dalam cara pengelolan. Dengan demikian pendekatan dari atas tetap dibutuhkan dalam pembangunan kehutanan karena ada pembangunan yang lebih tepat jika didekati dari atas. Kelemahan pendekatan dari atas, adalah terciptanya struktur birokrasi yang kaku, sehingga kurang mengakomodasi kebutuhan yang dirasakan oleh petani dan cenderung menimbulkan masalah baru di masyarakat. e) Pendekatan dari dalam atau dari belakang. Dasar dari model pendekatan ini adalah perubahan ke situasi yang lebih baik atas dasar ukuran-ukuran komunitas yang akan dibangun, sehingga pembangunan menurut selera budaya dan adat istiadat dari komunitasnya. Pendekatan ini dibutuhkan untuk menjawab mengapa merubah perilaku petani tepi hutan membutuhkan tenaga ekstra. Pembangunan SDM petani tepi hutan membutuhkan proses dan kontinuitas yang panjang mengingat banyaknya kendala pembelajaran yang dihadapi baik dari dalam diri petani yang berupa kemampuan dan motivasi petani. Selain itu merubah kebiasan yang didasarkan pada budaya khususnya nilai-nilai sosial yang diyakini petani adalah hal yang sangat sulit, namun tetap berpeluang untuk dirubah. Perubahan umumnya terkait dengan apa yang diinginkan oleh komunitas yaitu kondisi sosial ekonomi, sehingga potensi ekonomi, yang dimiliki menjadi pendorong kearah perubahan yang lebih baik. Dengan demikian perubahan akan dilakukan sesuai kebutuhan yang mereka rasakan dan perlukan. Hal ini berarti mendorong petani tepi untuk membangun dirinya sendiri.
245 Contoh: kebiasaan memaksakan diluar kemampuannya ketika menyumbang hajatan sehingga petani harus mampu mengatur ekonomi keluarganya ektra ketat. f)
Pendekatan dari depan, lebih mengutamakan pada hasil pembangunan seperti berupa peningkatan produksi dari suatu komunitas yang sering berhasil namun tidak disertai dengan solusi pemasarannya. Pendekatan dari depan bertumpu pada komunitas yang akan dibangun, namun tidak meninggalkan pada sumber lain yang memiliki peran penting dalam pembangunan masyarakat petani tepi hutan yakni perbaikan yang berada diluar komunitas seperti pihak terkait baik pemerintah maupun swasta. Contoh pembangunan dari depan seperti pembangunan di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan serta penyaluran tenaga kerja muda desa yang diikuti dengan pertumbuhan industri kecil, industri menengah, dan industri besar. Oleh karena itu model pendekatan dari depan tetap dibutuhkan guna menjawab permasalah petani tepi hutan, khususnya mengapa peningkatan kompetensi penting dan dibutuhkan. Keseimbangan kelesatrian hutan dan terpenuhinya kebutuhan dasar menjadi dasar pertimbangan mengapa petani tepi hutan perlu tingkatkan kompetensinya.
Kebutuhan Petani dalam Melestarikan Hutan Lindung
Kebutuhan adalah sesuatu hal yang diinginkan, diharapkan oleh seseorang, dan bila tidak terpenuhi kebutuhannya dapat menimbulkan kegelisahan, ataupun kekecewaan. Oleh karena itu upaya pemenuhan kebutuhan sangat terakit dengan keseimbangan yang dirasakan oleh seseorang dan pemenuhan kebutuhan terkait pula dengan motivasi. Kebutuhan untuk berubah sangat tergantung pada kondisi dan situasi seseorang yang
246 dirasakan terhadap sesuatu hal yang dianggap kurang atau hilang, oleh karena itu kebutuhan berubah sangat ditentukan keseimbangan atau tidak dalam hidupnya. Dengan mendasarkan pada teori motivasi yang dikembangkan Abraham Maslow yang menegaskan bahwa kebutuhan manusia dapat diklasifikasikan menjadi lima herarkhi kebutuhan, yaitu 1) kebutuhan fisiologis, 2) kebutuhan akan keamanan, 3) kebutuhan sosial, 4) kebutuhan ”esteem” atau memiliki harga diri - pengakuan, dan kebutuhan 5) kebutuhan untuk aktualisasi diri, maka kebutuhan petani, masih pada taraf pemenuhan kebutuhan pada tingkat awal yang merupakan perwujudan kebutuhan yang paling dasar dalam kehidupan manusia (butsarman) seperti sandang, pangan, papan. Walaupun masih dalam taraf pemenuhan kebutuhan pada tingkat awal, petani tepi hutan tidak berarti tidak membutuhkan level yang lebih tinggi, atau dapat pula dinyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan pada tiap level tidak harus merupakan jenjang yang urut namun dapat merupakan kombinasi dan tergantung situasi dan kondisi yang diinginkan. Kebutuhan berikutnya yang cukup dominan dalam peteni tepi hutan adalah kebutuhah sosial. Kebutuhan ini berkaitan dengan pengakuan akan keberadannya atas harkat dan martabatnya. Kebutuhan sosial petani tepi hutan tercermin dalam empat bentuk ’ikatan perasaan ’ yang kuat diantara petani seperti: 1) sense of belonging diantara petani yakni dikuatkan dengan aspek sosial budaya khususnya pengembangan modal sosial yang dominan dalam kehidupan petani tepi hutan. 2) sense of importence, yakni kebutuhan akan kenyataan jati diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Petani tepi hutan dengan segala kondisinya tetap membutuhkan jati diri dan pengakuan dari pihak lain, sehingga perlu ditekankan bahwa sekecil apapun peranan petani tepi hutan dalam mengelola lahan dengan benar akan menjadi bagian penting dalam
247 mengembangkan kelestarian. 3) kebutuhan akan perasaan maju, need for achievement. Pada kebutuhan ini petani tepi hutan pada dasarnya membutuhkan motivasi yang kuat agar petani mampu berhasil usahataninya dan mampu menerapkan kelestarian. 4) sense of participation atau kebutuhan akan perasaan diikutsertakan dalam pembangunan. Hal ini tercermin dari keinginan petani tepi hutan untuk ikut dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan lahan kelolanya. Kesempatan terlibat dalam suatu proses keputusan, juga merupakan salah satu bentuk pengakuan dan pengahrgaan yang didambakan oleh petani tepi hutan. Berdasar hal di atas, maka dapat dinyatakan bahwa kebutuhan petani tepi hutan masih pada taraf pemenuhan kebutuhan dasar (butsarman), yang dikuatkan dengan kebutuhan sosial, oleh karena itu kebutuhan yang terekam sejalan dengan karakteristik petani tepi hutan di Provinsi Lampung yang bercirikan petani sub-sisten. Implikasi petani sub-sisten yaitu kompetensi petani tepi terhadap pelestarian hutan lindung cenderung kurang. Selain pemahaman dari sisi kebutuhan dan motivasi, rendahnya kompetensi melestarikan hutan dapat disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal berkaitan dengan kemampuan petani dalam mengdopsi pengaruh dan nilai-nilai di luar dirinya terhadap upaya kelestarian, seperti sarana belajar, informasi, kebijakan, aturan-aturan pemerintah, dan faktor internal berkaitan dengan motivasi, persepsi, yang tidak terlepas dari pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Faktor internal sangat tergantung pada kemampuan daya saring yang dimiliki oleh seseorang, dan daya saring sangat terkait dengan kuat-lemahnya faktor internal seperti motivasi, persepsi dan kebutuhan. Petani tepi hutan yang rata-rata memiliki tingkat pendidikan rendah, minimnya informasi– tingkat kekosmopolitan rendah, dapat berakibat
248 pada rendahnya daya saring, sehingga akan berakibat keputusan yang diambil yakni memilih norma aturan yang tidak tepat atau melanggar norma. Minimnya alternatif pilihan, dan tidak kuatnya kontrol individu maupun sosial mengakibatkan pilihan petani cenderung melanggar norma dan hukum karena hal ini diangggap sebagai alternatif terbaik termasuk didalamnya tetap melakukan pengelolaan di dalam kawasan hutan lindung dengan mengabaikan prinsip kelestarian. Rendahnya kesadaran dan kompetensi melestarikan terkait dengan faktor internal individu petani yang berupa sejumlah potensi diketiga ranah (PSK). Hasil penelitian mengindikasikan bahwa kaedah praktis, dan cepat menguntungkan merupakan motif yang menonjol
dan dominan didalam diri petani. Hal ini adalah wajar dan sangat
manusiawi, namun ketika dihubungan dengan akibat yang diderita oleh orang lain bila petani tepi hutan dalam mengelola lahan tidak mengacu pada prinsip kelestarian, maka hal ini bergeser menjadi pelanggaran norma yang sangat tidak tepat digunakan oleh petani tepi hutan sebagai alasan membuka hutan lindung. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani, menunjukkan bahwa prinsip seminim mungkin tenaga dan biaya yang dikeluarkan dalam usaha taninya menjadikan petani lebih merasa nyaman dalam pengelolaan. Alasannya bahwa mengupayakan segala sesuatunya yang belum tentu dapat dinikmati petani dalam waktu dekat adalah merupakan hal yang sulit dilakukan, hal ini terkait dengan ketersediaan dana dan tenaga petani, sehinggap terdapat kecenderungan perilaku petani dalam mengelola lahan dengan tidak melestarikan ’merasa’ tidak berdampak pada kehidupannya. Oleh karena itu, perilaku yang tidak melestarikan terkait dengan orientasi dan kompetensi yang dimiliki oleh petani, atau dapat pula berkaitan dengan seberapa besar
249 keuntungan yang didapat. Kondisi seperti ini menyebabkan mengapa petani sulit diajak berubah khususnya pada peningkatan kompetensi dalam melestarikan hutan lindung. Hal ini dikuatkan pula adanya anggapan dari beberapa petani yang menyatakan bahwa apa yang dialakukan selama ini tidak terkait dan merugikan dengan pihak lain. Pernyataan petani yang menganggap bahwa cara pengelolaan lahan tidak terkait dengan yang lain, dapat dipahami dari berbagai cara pikir petani, pertama bila lahan tersebut merupakan satutus lahan miliki sendiri, maka keputusan petani terhadap lahannya adalah mutlak, namun demikian keberadaan lahan garapan yang ada di sekitar hutan lindung, baik di dalam kawasan maupun di luar, pada prinsipnya merupakan satukesatuan ekosistem maka tentu ada saling terkaitan dengan lahan sekitarnya. Kemampuan untuk memahami saling keterkaitan dalam fungsi inilah yang kurang dipahami dengan baik oleh petani tepi hutan, sehingga petani masih terbelenggu pada cara pengelolaan yang ekploratif dan mengabaikan prinsip kelestarian dan prinsip konservasi tanah dan air. Kedua, petani dengan cara pengelolaan yang cenderung tidak melestarikan ternyata belum mendapatkan dampak yang mampu membuat petani merasakan kerugian dan keuntungan yang mestinya. Perbedaan jika melakukan pengelolan yang berprinsip kelestarian dengan benar maupun pengelolan yang salah belum mampu dirasakan bedanya oleh petani. Keadaan seperti ini, dapat memicu petani tepi hutan untuk mengabil keputusan membuka lahan di dalam kawasan lagi guna menjawab kesuburan dan kekurangan lahan pertaniannya. Hal ini harus cepat di tangani pemerintah dalam hal ini dinas kehutanan, oleh karena itu dinas kehutanan harus proaktif, dan preventif terhadap kejadian yang akan timbul. Penegakan hukum, kepastian hukum, perlindungan dan kepastian hasil petani menjadi kunci dari pergerakan perambahan di dalam kawasan.
250 Ketiga, didasarkan atas kebutuhan, kerakter yang sub-sisten akan berimplikasi pada cara pandang terhadap kehidupannya, demikian halnya dengan cara pemenuhannya melalui pengelolaannya. Kompetensi yang kurang memadai dalam melestarikan akan mengakibatkan kerusakan hutan. Dengan demikian, untuk dapat merubah sikap mental petani terhadap pelestarian perlu diupayakan contoh kongrit yang sederhana dan yang mudah dimengerti oleh petani berupa keuntungan dan kerugian bila petani tepi hutan menerapakan dan tidak menerapkan prinsip kelestarian. Prinsip petani akan memperoleh keuntungan bila menerapkan kelestarian umumnya masih berupa ”postensi–harapan”, sedangkan yang dihadapi petani adalah kebutuhan jangka pendek. Oleh karena itu kendala yang dihadapi petani terkait budaya dan kebutuhan yang mendesak, sehingga petani enggan berubah untuk investasi jangka panjang menjadi hal yang sulit didekati. Solusi yang dapat dilakukan yaitu ditemukannya kebutuhan berubah petani dan cepat direspon oleh lembaga swasta dan pemerintah untuk mendapatkan pilihan pendapatan yang dapat menopang sementara waktu bahkan mampu permanen supaya tekanan ke dalam hutan berkurang. Dengan demikian supaya petani ”tahu, mau dan mampu” berubah, maka perlu terlebih dahulu ditemukan kebutuhan, dan motifnya. Kebutuhan yang dasar akan membuat petani mau melakukan apa saja asalkan dapat untuk menghidupi keluarganya. Oleh karena itu motif ekonomi dan motif keuntungan yang langsung menjadi cara pandang petani terhadap kehidupan (teori motivasi klasik). Berikut disajikan tabel komparasi kompetensi melestarikan .
251 Tabel 66. Komparasi Kompetensi Petani dalam Melestarikan No
Kompetensi
1
Teknis Pembibitan
2
Teknis Penanaman
3
Teknis Pemeliharaan
4
Perencanaan Usaha tani
5
Pengelolaan Usaha tani
6
Pengawasan Usaha tani
7
Pengembangan Modal Sosial
8
Pengembangan Kearifan Lokal
9
Menumbuhkan Kelestarian
10
Perencanaan Pertanian Konservasi
11
Pengelolan Pertanian Konservasi
12
Keamanan dalam Pertanian Konservasi
Sumber: data diolah 2006
Keuntungan Melestarikan Petani dapat mengembangkan sebagai usaha sampingan, dan memiliki stok bibit untuk lahannya. Ada harapan di masa depan Petani memiliki harapan pada tanaman MPTS di masa akan datang Akan merasakan manfaat tanaman keras sebagai tanaman pelindung yang menghasilkan dan memberikan kesempatan pada generasi yang akan datang menikmati hasil Mampu memperkirakan dengan baik usaha taninya Mampu memilih jenis dan pola tanam yang tepat Mampu menjalankan usahataninya dengan baik dan jangka panjang terjamin Mampu memprediksi hasil yang didapat Mampu membangun interaksi dan jaringan sosial shg menjadi lebih nyaman Mampu menjaga hutan dengan biaya murah dan ramah lingkungan Mampu menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan di masa depan dengan murah. Manfaat jangka panjang, tanah menjadi lebih awet dan menguntungkan Mampu menjaga kesuburan tanah dan mampu mengkobinasikan hasil panen Lahan mampu berproduksi lebih lama
Kerugian Tidak Melestarikan Tidak punya stok bibit dan harus beli. Hilang kesempatan menikmati hasil di masa depan. Tidak punya tanaman keras, lahan menjadi kering, tandus dan lahan cepat berow. Meimbulkan motif menebang terus karena tidak ada hubungan emosi dengan lahan dan tanaman keras. Tidak memiliki perkiraan apa yang akan dicapai.
Ongkos pengelolaan menjadi mahal lahan rusak. Ongkos sosial tinggi
Petani tidak berkembang kompetensinya Tidak memiliki kader yang handal dalam lingkungan di masa datang Tanah mudah longsor, dan cepat hilang kesuburannya Lahan cepat hilang kesuburannya Lahan cepat menjadi lahan kritis, longsor menjadi ancaman.
252 Sedangkan untuk menumbuhkan kesadaran petani dibutuhkan sejumlah kompetensi di tingkat penyuluh terlebih dahulu, sehingga penyuluh lebih berkompeten dapat menggali kebutuhan petani tepi hutan, yang selanjutnya akan berdampak pada kegiatan penyuluhan kehutanan menjadi semakin efektif dan efesien.
Motivasi yang Diperlukan untuk Meningkatkan Kompetensi Melestarikan
Motivasi merupakan suatu proses psikologis yang sifatnya fundamental, sehingga motivasi merupakan proses yang amat penting dalam pemuasan berbagai kebutuhan dan motivasi juga merupakan potensi yang dapat menjamin berbagai kepentingan. Selanjutnya hubungan motivasi dan kepuasan dalam kebutuhan sangat erat dan merupakan pondasi dalam pemenuhan kebutuhan. Berkaitan dengan hal tersebut, motivasi apa yang diperlukan guna dapat menumbuhkan kompetensi petani dalam melestarikan hutan lindung? Pada prinsipnya terdapat tiga komponen utama dalam motivasi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kompetensi melestarikan yaitu: pertama motivasi timbul karena terdapat kekurangan didalam diri seseorang dalam hal ini petani tepi hutan, kekurangan yang bila tidak dipenuhi akan terganggu ’kenyamanannya’, maka petani dengan sendirinya akan mencari pemenuhan kebutuhan. Kedua, motivasi sebagai upaya petani dalam mengatasi ketidakseimbangan biasanya akan menimbulkan dorongan yang terarah pemenuhan, dan dorongan dapat berasal dari dalam diri petani tepi hutan dan dapat pula dari luar petani tepi hutan, seperti dari penyuluh, atau sesama petani. Dorongan yang berorientasi pada tindakan akan menjadi inti dari motivasi, sebab apabila tidak ada tindakan situasi ketidakseimbangan yang dihadapi oleh seseorang tidak akan
253 pernah teratasi dan atas dasar ini, mengapa motivasi klasifikasikan menjadi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Untuk dapat meningkatkan pengaruh kepada petani, maka perlu ditumbuhkan motivasi intrinsik petani terhadap kelestarian melalui dimunculkan keinginan berubah dari dalam petani bila menerapkan kelestarian sehingga harapan akan menjadi semakin nyata untuk hidup lebih baik dan berguna bagi orang lain, adapun medianya dapat melalui proses pembelajaran, pemberian informasi-informasi yang jelas dan sederhana, sehingga petani akan muncul kesiapan untuk bertindak. Ketiga, motivasi yang dimaknai sebagai tujuan, adalah mengarahkan petani tepi hutan untuk menguapayakan kemampuan dalam melestarikan hutan lindung guna menjawab kehidupan petani dan lingkungan. Dengan demikian motivasi yang dibutuhkan petani guna meningkatkan kompetensi petani dalam melestarikan adalah motivasi intrinsik yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan bathin berupa ketentraman dalam pengelolaan yang dapat dipenuhi dengan diterbitkannya hak kelola kawasan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak akan merubah fungsi dan motivasi ekstrinsik yang dapat menjawab kebutuhan ekonomi keluarga jangka pendek petani, disediakan kebijakan yang mendukung hasil usahataninya, sehingga dapat menjamin kepastian kehidupan petani.
Potensi Petani Tepi Hutan sebagai Pelestari
Setiap orang akan berbeda potensinya, demikian halnya dengan potensi melestarikan hutan. Melalui kompetensi diketiga ranah (pengetahuan, sikap, dan ketrampilan) maka akan tergali sejumlah potensi yang dimiliki oleh seseorang untuk menjadi kemampuan berperilaku atau bertindak.
254 Kompetensi diranah pengetahuan. Berdasarkan hasil penelitian, petani tepi hutan memiliki kemampuan yang baik dengan rata-rata 3,12 pada skala 1-4 atau sebesar 78 % pengetahuan petani tentang kompetensi melestarikan hutan dapat dinyatakan baik. Pengetahuan yang sudah baik, akan lebih memiliki makna ketika mampu diwujudkan dalam sikap dan tindakan dalam mengelola lahan secara baik. Berikut disajikan tabel pengetahuan petani dalam melestarikan hutan lindung di Provinsi Lampung.
Tabel 67. Pengetahuan Petani dalam Melestarikan Hutan Lindung PENGETAHUAN Kompetensi yang dimiliki oleh petani tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Penanaman tanam keras Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Pemeliharaan tanaman keras Pembibitan tanaman keras Pengelolaan usaha tani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan Pengembangan kearifan lokal petani Perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan Perencanaan usaha tani tepi hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Keamanan dalam pertanian konservasi di tepi hutan Rata – rata
ST
JJ n = 400 3,44 1 3,40 2 3,34 3 3,23 4 3,13 5,5 3,13 5,5 3,11 7 3,09 8 2,95 9 2,92 10 2,91 11 2,74 12 3,12
Skor kompetensi petani tepi hutan dalam melestarikan hutan lindung pada aspek pengetahuan 4 = sangat baik, 3 = baik, 2 = kurang dan 1 = sangat kurang.
Tabel di atas memberikan gambaran, bahwa kompetensi pengetahuan yang dimiliki petani tepi hutan dalam melestarikan hutan lindung ialah: 1) pengelolaan pertanian konservasi di kawasan hutan, 2) penanaman tanaman keras, pengembangan modal sosial petani tepi hutan.
dan 3)
255 Sedangkan kompetensi pengetahuan yang masih perlu ditingkatkan yaitu: 1) pemeliharaan tanaman keras, 2) pengelolaan usaha tani tepi hutan, 3) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, 4) pembibitan tanam keras, 5) pengembangan kearifan lokal petani tepi hutan, 6) perencanaan pertanian konservasi di kawasan hutan, 7) pengawasan usaha tani tepi hutan, 8) perencanaan usaha tepi hutan, dan 9) ketrampilan dalam pertanian konservasi. Dengan demikian untuk menyusun kurikulum pelatihan yang fokusnya untuk meningkatkan kompetensi pengetahuan melestarikan dapat mengacu pada kompetensi yang masih lemah, sehingga perlu ditingkatkan agar petani memiliki pengatahuan melestarikan dengan baik, demikian halnya dengan kompetensi yang sudah kuat perlu diaplikasikan pada ranah sikap dan ketrampilan sehingga akan terwujud perilaku melestarikan yang kompeten dari petani. Kompetensi diranah sikap. Sikap merupakan predisposisi dari perilaku yang akan memberikan pengaruh kuat terhadap putusan tindakan yang diambil. Kompetensi sikap melestarikan yang ideal akan searah dengan pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi sikap berbeda dengan kompetensi pengetahuan, hal ini mengindikasikan kompetensi yang dimiliki petani sebagian potensi berperilaku cenderung tidak melestarikan. Hal ini terlihat dari skor rata-rata kompetensi sikap melestarikan yakni sebesar 3,03 atau 75,75 % sikap petani didominasi oleh sikap sosial, dan skor rata-rata kompetensi pengetahuan sebesar 3,12 atau 78 % dengan komposisi di bidang teknis konservasi, teknis kehutanan, dan sosial budaya.
256 Adapun kompetensi sikap melestarikan hutan yaitu: 1) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 2) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian, dan 3) pengawasan usahatani tepi hutan. Sedangkan kompetensi sikap yang kurang dan perlu dikembangkan yaitu: 1) pengembangan pertanian konservasi, 2) pengembangan kearifan lokal petani, 3) pengawasan usaha tani tepi hutan, 4) pengelolaan usaha tani tepi hutan, 5) perencanaan pertanian konservasi di kawasan hutan, 6) penanaman tanaman keras, 7) ketrampilan dalam pertanian konservasi di kawasan hutan, 8) pengembangan kearifan lokal dan 9) pembibitan tanaman keras. Berikut disajikan tabel kompetensi sikap melestarikan hutan:
Tabel 68. Sikap Petani dalam Melestarikan Hutan Lindung SIKAP Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Pemeliharaan tanaman keras Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Pengelolaan usaha tani tepi hutan Perencanaan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan Penanaman tanam keras Keamanan dalam pertanian konservasi di tepi hutan Pengembangan kearifan lokal petani Pembibitan tanaman keras Rata-rata
ST JJ n = 400 3,26 1 3,24 2 3,19 3 3,16 4 3,11 5 3,01 6 3,00 7 2,98 8 2,94 9 2,91 10 2,86 11 2,81 12 3,04
Skor kompetensi petani tepi hutan dalam melestarikan hutan lindung pada aspek sikap 4 = sangat baik, 3 = baik, 2 = kurang dan 1 = sangat kurang. Kompetensi pada ranah sikap, pada umumnya petani masih terbelenggu pada aspek sosial, sehingga pengetahuan yang dimiliki petani tidak terwujud dalam sikap yang searah, bahkan cenderung karena sikap sosial dominan, maka mengakibatkan petani
257 hanya tahu saja tentang nilai-nilai kelestarian namun tetap melanggar nilai guna memenuhi nilai sosialnya. Oleh karena itu contoh, dan teladan yang kongkrit dan sederhana tentang perilaku melestarikan perlu segera ditemukan di masyarakat. Peran penyuluh sebagai motivator dan inisiator sangat dibutuhkan petani. Kompetensi di ranah ketrampilan. Ranah ketrampilan dalam konteks kompetensi petani tepi hutan, merupakan bagian yang dominan, karena kembalinya lingkungan dan fungsi hutan sangat tergantung dari ketrampilan yang dimiliki oleh petani tepi hutan. Ketrampilan petani, dapat merupakan ungkapan terhadap kondisi yang dihadapi petani, sehingga ketrampilan yang dimiliki petani masih terfokus untuk menjawab kebutuhan ekonomi keluarganya dan cenderung mengabaikan kelestarian. Tabel 69 memberikan gambaran, kompetensi yang dimiliki pada ranah ketrampilan yaitu: 1) ketrampilan dalam pembibitan tanaman keras, 2) ketrampilan dalam pengelolaan usaha tani tepi hutan, dan 3) ketrampilan dalam menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan. Sedangkan kompetensi yang rendah di ranah ketrampilan sehingga perlu ditingkatkan yaitu: 1) ketrampilan dalam menjaga kamanan dalam pertanian konservasi, 2) ketrampilan dalam menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian hutan, 3) ketrampilan dalam pemeliharaan tanaman keras, 4) ketrampilan dalam penanaman tanaman keras, 5) ketrampilan dalam pengembangan kearifan lokal petani tepi hutan, 6) ketrampilan dalam perencanaan usaha tani tepi hutan, 7) ketrampilan dalam pengembangan modal sosial petani, 8) ketrampilan dalam perencanaan pertanian konservasi di kawasan hutan dan 9) ketrampilan dalam pengelolaan pertanian konservasi di kawasan hutan.
258 Tabel 69. Ketrampilan Petani dalam Melestarikan Hutan Lindung KETRAMPILAN Prioritas yang dipilih oleh petani tepi hutan Pembibitan tanaman keras Pengelolaan usaha tani tepi hutan Menumbuhkan kesadaran ttg kelestarian hutan Pengawasan usaha tani tepi hutan Penanaman tanam keras Keamanan dalam pertanian konservasi di tepi hutan Pengembangan modal sosial petani tepi hutan Pemeliharaan tanaman keras Pengembangan kearifan lokal petani Perencanaan usaha tani tepi hutan Perencanaan pertanian konservasi di tepi hutan Pengelolaan pertanian konservasi di tepi hutan Rata – rata
ST
JJ n = 400 2,90 1 2,85 2 2,84 3 2,83 4 2,77 5 2,76 6 2,76 6 2,76 6 2,70 9 2,60 10 2,54 11 2,48 12 2,73
Skor kompetensi petani tepi hutan dalam melestarikan hutan lindung pada aspek ketrampilan 4 = sangat trampil, 3 = trampil, 2 = kurang terampil dan 1 = sangat tidak trampil.
Dengan demikian untuk meningkatkan ketrampilan petani dalam melestarikan dapat dengan memperhatikan 1) kesesuaian dengan komptensi yang ada di pengetahuan dan sikap, sehingga akan menjadikan kompetensi melestarikan searah dan setara, 2) mengembangkan yang disesuaikan dengan kompetensi sikap, sehingga akan melahirkan tindakan-tindakan praktis, dan 3) mengacu pada kelemahan dalam ketrampilan, namun hal ini dapat menjadi bias dan tidak menjawab kompetensi melestarikan. Ketrampilan dalam melakukan yang berkualitas tersebut merupakan cerminan dari kualitas yang dimiliki pada ranah pengetahuan, sikap, dan ketrampilan.
259 Terkait dengan kompetensi ketrampilan Cooper, et al., (2001:3) menyatakan bahwa pengaturan ketrampilan merupakan bagian terpenting dari peningkatan kompetensi, oleh karena itu, untuk mendukung kesuksesan penyuluh perlu disediakan pelatihan-pelatihan yang terakreditasi kompetensinya. Dengan demikian peningkatan ketrampilan melestarikan menjadi bagian yang penting dan mendasar dari petani untuk mampu mengembalikan kondisi hutan dan memenuhi kebutuhannya.
Derajat Kompetensi Petani dalam Melestarikan Hutan Berdasarkan Tiap Ranah Derajat kompetensi menggambarkan secara global kemampuan yang dimiliki oleh petani untuk melestarikan. Ukuran tinggi rendahnya kompetensi yang dimiliki bukan merupakan ukuran lestari tidaknya lahan yang dikelola, karena dalam konteks ilmu penyuluhan, dapat saja memiliki pengetahuan yang baik namun tidak didukung oleh sikap dan ketrampilan, demikian halnya ada pola hubungan antara pengetahuan, sikap dan ketrampilan tidak selalu linier, terkadang terpisah dan tidak berhubungan.
Derajat Pengetahuan Melestarikan
Konsep perilaku, menyatakan bahwa orang berperliku dipengaruhi oleh tiga ranah yakni pengetahuan, sikap dan ketrampilan, dan perilaku yang ideal adalah ketika ketiga ranah tersebut saling berhimpitan pada satu titik. Dalam penelitian ini ranah pengetahuan, terdapat empat aspek komponen kompetensi dalam melestarikan yaitu: 1) aspek teknis, 2) aspek sosial ekonomi, 3) aspek sosial budaya, dan 4) aspek konservasi, dimana setiap aspek terdiri atas tiga bidang kompetensi. Berikut disajikan gambaran grafis derajat
260 kemampuan petani tepi hutan pada ranah pengetahuan dengan kompetensi melestarikan di bidang teknis kehutanan. Derajat Kompetensi Petani dalam Pengetahuan TEKNIS 88
81.1 81
86
80.9 84
Skala0-100
80.7 80.6
80
80.5
78
Skor Tertimbang
80.8 82
x thd Pembibtan x thd Penanaman x thd Pemeliharaan
80.4 76 80.3 74
80.2
72
80.1 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Karakteristik Petani
Gambar 8. Derajat Pengetahuan Petani pada Kompetensi TEKNIS
Memperhatikan grafik di atas, maka dapat ditegaskan bahwa apapun karakteristik petani tepi hutan, ternyata aspek teknis kehutanan khususnya pengetahuan petani tentang pembibitan masih sangat kurang, sehingga untuk program penyuluhan perlu ditangai lebih serius terhadap hal-hal yang terkait dengan segala upaya tentang pembibitan. Pengetahuan pembibitan yang baik akan memberikan pengalaman keberhasilan, sehingga dapat menimbulkan sikap positip terhadap bibit, dan dapat mendorong ketrampilan menjadi meningkat. Potensi petani sebagai pelestari dituntut untuk memiliki kemampuan yang memadai dalam hal pembibitan tanaman keras, karena melalui tindakan pembibitan tanaman keras, peluang kembalinya fungsi hutan lebih besar di banding tanamanan lainnya. Hal ini terlihat pada derajat hubungan kompetensi pembibitan dengan karakteristik petani yang ternyata berada di tingkat bawah. Dari gambar di atas, menginformasikan bahwa petani dalam mengelola lahan di dalam kawasan hutan cenderung langsung mengelola dan menanam tanaman yang bukan
261 merupakan hasil dari pembibitan tanaman keras yang diusahakan. Demikian halnya dalam pemeliharaan, petani masih kurang dalam hal pemeliharaan tanaman keras yang sudah ada, hal ini dibuktikan di lapangan bahwa masih banyak petani yang berusaha mengurangi jumlah tanaman keras yang sudah ada. Dengan demikian walaupun petani memiliki pengetahuan penanaman lebih baik dibanding pembibitan, mengindikasikan petani belum melihat menyiapkan pembibitan tanaman keras adalah hal yang penting. Sedangkan gambaran grafis derajat kompetensi di bidang sosial ekonomi dapat dilihat dalam Gambar 9. Derajat Kompetensi Petani dalam Pengetahuan SOSEK 73.6
82
73.4 80 73.2 78
76
72.8
72.6
74
Skor Tertimbang
Skala 0-100
73
x thd Perencanan x thd Pengelolaan x thd Pengawasan
72.4 72 72.2 70 72
68
71.8 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Karakteristik Petani
Gambar 9. Derajat Pengetahuan Petani pada Kompetensi SOSEK
Dari gambar di atas menginformasikan bahwa kemampuan petani dalam aspek sosial ekonomi lebih dominan di pengelolaan, sehingga dalam mengelola lahan cenderung langsung menerapkan praktek atau doniman langsung keleola, namun dalam perencanaan ternyata petani sudah mampu walaupun belum optimal merencanakan usahatani yang akan dikelola dengan kesesuaian lahannya. Kebranian mengambil resiko
262 juga merupakan ciri khas dari petani tepi hutan. Sedangkan pada aspek sosial budaya, derajat kompetensi petani dapat dilhat dalam Gambar 10 berikut. Derajat Kompetensi Petani dalam Pengetahuan SOSBUD 86
78.1
78
84
77.9
Skala0-100
77.8 80 77.7 78 77.6
Skor Tertimbang
82
x thd Modal Sosial x thd Kearifan Lokal x thd Menumbuhkan Kesadaran
76 77.5
74
77.4
72
77.3 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Karakteristik Petani
Gambar 10. Derajat Pengetahuan Petani pada Kompetensi SOSBUD
Kompetensi petani dalam bidang sosial budaya, ternyata kemampuan dalam pengembangan modal sosial petani adalah tinggi, hal ini mengidikasikan tekad petani untuk tinggal di desa tepi hutan sudah memiliki tekad yang kuat, namun dalam mengembangkan kearifan lokal yang berbasis pada kelestarian masih dirasakan kurang. Kearifan lokal dapat menjadi penopang utama dalam kelestarian, karena dalam kearifan lokal terdapat sistem nilai budaya dan kepercayaan yang dapat mengarahkan dan mengendalikan segala tindakan petani yang dapat berakibat pada rusaknya hutan. Hasil penelitian menggambarkan kearifan lokal petani dalam mengelola lahan di dalam kawasan hutan lindung masih rendah, dan hal ini sesuai dengan kenyataan di lapangan. Demikian halnya dengan kemampuan dalam menumbuhkan kesadaran akan kelesatrian, petani masih belum menemukan keyakinannya, sehingga cenderung labil dan sangat tergantung dengan kepentingannya.
263 Dalam mengelola lahan di dalam kawasan hutan lindung, petani dituntut untuk dapat melakukan pertanian konservasi, karena dengan melakukan pertanian konservasi yang merupakan ”tujuan antara” dapat mengembalikan fungsi hutan, maka petani dituntut kompetensinya di bidang perencanaan, pengeolaan dan keamanan. Manfaat menerapkan pertanian konservasi yaitu akan menjamin usahataninya dan lingkungan. Berikut disajikan gambaran derajat kemampuan di bidang pengelolaan pertanian konservasi: Derajat Kompetensi Petani dalam Pengetahuan Konservasi 90
69.2 69 68.8
85
Skala0-100
68.4 80 68.2 68 75
Skor Tertimbang
68.6
x thd Perencanaan PK x thd Pengelolaan PK x thd Keamanan PK
67.8 67.6 70
67.4 67.2
65
67 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Karakteristik Petani
Gambar 11. Derajat Pengetahuan Petani pada Kompetensi Pertanian Konservasi
Gambar 11 menunjukkan bahwa kompetensi petani dalam perencanaan pengelolaan pertanian lahan kering sangat rendah, sehingga ada kecenderungan petani langsung membuka lahan dan mengelola tanpa ada perencanaan yang didasarkan pada kelerengan, jenis tanah dan kontur. Demikian pula ternyata motif petani dalam mengelola lahan pertaniannya di dalam kawasan hutan lindung adalah langsung kelola tanpa ada perencanaan yang baik.
264 Derajat Sikap Melestarikan Kualitas sikap sangat terkait dengan potensi dari perilaku melestarikan, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap peteni cenderung mengutamakan penanaman dan pemeliharaan, sedangkan sikap pembibitan ternyata rendah. Potensi yang ada dalam ranah sikap, ternyata searah dengan pengetahuan yang dimiliki petani, dinama pembibitan merupakan hal yang tidak disukai sehingga tidak melahirkan kompetensi. Sikap kompetensi teknis kehutanan dalam struktur perilaku merupakan dasar untuk menerima dan menolak adanya upaya kelesatrian hutan. Potensi dalam sikap dapat menjadi awal dari tanggapan yang melahirkan tindakan yang positip terhadap keberadaan hutan dan fungsinya. Menurut Van den Ban dan Hawkins (1999:106) menyatakan bahwa sikap seseorang terbentuk oleh perasaan, pikiran dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Sikap juga merupakan bagian yang penting dalam berperilaku seseorang, karena sikap dapat menjadi faktor penentu terhadap keputusan yang diambil. Rendahnya sikap pembibitan, dapat menjadi indikasi bahwa petani dalam mengelola lahan di dalam kawasan tidak terkait dengan upaya pemulihan kondisi hutan sebagai hutan lindung, karena sikap teknis kehutanan sangat terkait dengan upaya pemulihan kondisi hutan dengan mengkombinasikan kepentingan masyarakat dan pemerintah. Pembibitan tanam keras yang dapat menjamin kelestarian dan kebutuhan menjadi masalah yang dilematis bagi petani, namun potensi sikap pada dasarnya merupakan kunci ke arah perbaikan hutan lindung. Berikut
disajikan
secara
gambaran derajat kompetensi sikap petani dalam bidang teknis melestarikan hutan.
grafis
265
Derajat Kompetensi Petani dalam Sikap TEKNIS 3
3.18
2.95
3.16
2.9
3.14
2.85
3.12
2.8
Skor Tertimbang
Skala 1 -4
x thd Pembibitan x thd Penanaman x thd Pemeliharaan
3.1
2.75
3.08
2.7
3.06 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Karakteristik Petani
Gambar 12. Derajat Sikap Petani pada Kompetensi Teknis
Pada gambar di atas dapat dijelaskan bahwa kompetensi di bidang pembibitan, sikap petani cenderung kurang dibanding sikap penanaman dan pemeliharaan. Sikap teknis pemeliharaan tanaman keras dapat dinyatakan sangat rendah, dan sikap yang kuat terdapat pada sikap perencanaan terhadap pertanian konservasi. Hal ini mengindikasikan bahwa motif petani dalam mengelola lahan adalah untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarganya. Sedangkan derajat sikap dalam bidang sosial-ekonomi mengindikasikan bahwa petani motif pengelolaan sangat dominan. Sedangkan kompetensi yang dianggap paling lemah adalah sikap terhadap perencanaan dan pengawasan usahatani. Pemenuhan kebutuhan dasar petani tepi hutan sangat terkait dengan motif sosialekonomi, oleh karena itu sikap petani dalam mengelola lahan lebih berdimensi ekonomi, walapun hanya untuk pemenuhan kebutuhan dasar (butsarman) dan orientasi pasar tradisional. Berikut disajikan gambaran derajat sikap terhadap kompetensi di bidang sosial ekonomi.
266 Derajat Kompetensi Petani dalam Sikap SOSEK 3.04
3.24
3.02
3.22 x thd Perencanaan x thd Pengelolaan x thd Pengawasan
3.2
2.98
3.18
2.96
3.16
2.94
3.14
2.92
Skor Tertimbang
Skala1-4
3
3.12 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Karakteristik Petani
Gambar 13 Derajat Sikap Petani pada Kompetensi SOSEK
Sikap petani tepi hutan terhadap kompetensi sosial ekonomi cenderung mengutamakan pengelolaan dan baru dipikirkan perencanaan dan pengawasannya. Kondisi seperti menguatkan tipologi petani tepi hutan adalah subsisten, dimana dalam pengelolan masih bersifat tradisional, dan lemahnya kontrol dalam aktivitas ekonomi dapat menyebabkan pengeluaran lebih besar dari pendapatan, dan untuk pemenuhan kekurangan dengan jalan masuk hutan. Kompetensi sikap sosial ekonomi selain karena motivasi intrinsik yaitu pemenuhan butsarman, ternyata faktor ekstrinsik berupa pengaruh dari luar diri petani lebih dominan untuk mengeksploitasi hutan lebih jauh, seperti adanya pengijon, perusahaan yang mencari bahan produksi dengan harga murah di dalam kawasan hutan lindung maupun terpengaruh tingkat kosumsi yang melebihi kemampuan dan kebutuhannya. Kompetensi sosial budaya yang seharusnya mendukung terhadap pelestarian hutan melalui sistem sosial dan sistem kepercayaan, ternyata petani justru melihat pengembangan modal sosial yang terdiri atas kemampuan berpartisipasi, membangun interkasi dan kebranian menghadapi resiko lebih dominan di banding pengambangan
267 kearfian lokal. Hal ini mengindikasikan bahwa petani ”merasa lebih nyaman” ketika melanggar aturan pengelolaan di dalam kawasan secara bersama, oleh karena itu modal sosial lebih dominan dan disisi lain, hutan akan tereksploitasi lebih banyak. Berikut disajikan hubungan derajat sikap kompetensi sosial budaya dalam gambar berikut: Derajat Kompetensi Petani dalam Sikap SOSBUD 3.4
3.32
3.3
3.3
x thd Pengembangan Modal Sosial x thd Kearifan lokal
3.28
x thd Menumbuhkan Kesadaran
Skala1-4
3.1 3.26 3 3.24 2.9
Skor Tertimbang
3.2
3.22 2.8
3.2
2.7
2.6
3.18 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Karakteristik Petani
Gambar 14. Derajat Sikap Petani pada Kompetensi SOSBUD
Sikap petani dalam modal sosial dapat merupakan gambaran tentang cara pandang petani terhadap hutan, yang dijadikan saran sosial oleh karena itu kemampuan berpartisipasi, membangun interaksi lebih dominan dibanding pengembangan kearifan local petani tepi hutan. Menumbuhkan kesadaran akan kelestarian menjadi daya dukung tersendiri terhadap kearifan lokal petani dan kemampuan menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian terkait dengan system nilai budaya asal petani. Derajat kompetensi sikap dalam pertanian konservasi, menggambarkan kebiasaan petani dalam mengelola lahan. Kebiasaan mengelola lahan basah dan didataran rendah dapat merupakan kendala dalam pertanian konservasi, sehingga ada kecenderungan petani langsung melakukan pengelolaan. Akibat dari minimnya
268 kemampuan dalam pertanian konservasi, mengakibatkan tingkat kesuburan tanah cepat hilang, demikian halnya bahaya erosi dan longsor menjadi ancaman petani dalam menglola lahannya. Rendahnya kompetensi sikap dapat disebabkan oleh rendahnya pengetahuan, oleh karena itu peningkatan kompetensi pertanian konservasi menjadi hal yang mendesak, guna menjawab kelesatrian hutan dan usahataninya. Derajat sikap petani dalam kompetensi pertanian konservasi dapat dilihat dalam gambar berikut. Derajat Kompetensi Petani dalam Sikap Konservasi 3.15
2.96 2.95
3.1
2.94 x thd Perencanaan PK x thd Pengelolaan PK x thd Keamanan dlm PK
2.93
Skala 1-4
2.92 2.91 3 2.9
Skor Tertimbang
3.05
2.89 2.95 2.88 2.87
2.9
2.86 2.85
2.85 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Karakteritik Petani
Gambar 15. Derajat Sikap Petani pada Kompetensi Konservasi
Dari gambar di atas, dapat dinyatakan bahwa sikap petani dalam pengelolaan lahan di dalam maupun di luar kawasan hutan lindung cenderung langsung kelola lahan, dan perencanaan dan ketrampilan dalam pertanian tidak begitu diperhatikan. Namun demikian ada aspek yang menonjol yakni pada aspek teknis pemeliharaan tanaman keras, dimana petani mampu bersikap positip dalam pengelolaan dan ketrampilan dalam pertanian konservasi. Hal ini juga mengindikasikan bahwa petani ada perhatian terhadap tanaman keras sebagai pelindung usaha taninya.
269 Derajat Ketrampilan Melestarikan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat ketrampilan petani dalam melestarikan hutan dibanding kedua ranah lainnya adalah yang paling rendah kompetensinya, artinya pengetahuan, sikap dan ketrampilan tidak setara. Ketrampilan yang rendah mengindikasikan bahwa petani kurang menguasai pada segi aplikasinya dalam melestrikan hutan. Pada pembibitan merupakan kompetensi ketrampilan yang menonjol, dibanding yang lainnya, sehingga dapat dimaknai bahwa kompetensi petani di pembibitan sudah ada upaya, namun masih rendah kualitasnya dan kecil frekuensinya. Pada penanaman, ternyata petani kurang memiliki ketrampilan, hal ini disebabkan karena bibit yang dibuat tidak-belum dilakukan pengaturan secara baik seperti penjarangan, sehingga prosentase hidup menjadi kecil maka penanaman menjadi rendah. Kenyataan di lapangan bahwa sedikit sekali petani yang memiliki stok pembibitan tanaman keras di sekitar rumahnya. Model pengelolaan lahan yang masih relatif bersifat tradisional dan cenderung menggunakan pola lama atau sama dengan daerah asalnya menjadikan petani tidak memikirkan aspek ketrampilan teknis kehutanan dan pertanian konservasi. Berikut disajikan gambar kompetensi teknis dari aspek ketrampilan petani:
270 Derajat Kompetensi Petani dalam Ketrampilan TEKNIS Kehutanan 2.95
2.77
2.9
2.76
2.85
Skala1-4
2.75 2.8 2.74 x thd Pembibitan 2.75
x thd Penanaman x thd Pemeliharaan 2.73
2.7
2.72
2.65
2.6
2.71 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Karakteristik Petani
Gambar 16. Derajat Ketrampilan Petani pada Kompetensi Teknis
Berkaitan dengan ketrampilan, Padmowihardjo (1994:19-36) menyatakan bahwa umur merupakan akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar dan perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh waktu. Intensitas dalam berperilaku juga akan menimbulkan ketrampilan tersendiri sesuai dengan tingkat pengulangannya. Hal senada juga dikemukakan oleh Azwar (1998:11) yang menyatakan bahwa ketrampilan yang dikuasai oleh sesorang pada dasarnya adalah merupakan suatu kompetensi
dan
kompetensi tersebut mengacu pada kemampuan, kecakapan dan ketrampilan dalam bertindak. Sedangkan kompetensi ketrampilan di bidang sosial ekonomi memberikan pengertian, bahwa petani tepi hutan memiliki sejumlah kemampuan mengelola lahan guna menjawab kebutuhannya. Derajat kompetensi sosial ekonomi di ranah ketrampilan menggambarkan tingkat pengelolaan yang dikuasai oleh petani. Dari hasil penelitian, ternyata pengetahuan dan sikap petani yang sudah baik, ternyata tidak diikuti dengan ketrampilan yang setara dan sama, sehingga petani tepi hutan dalam upaya melestarikan hutan dapat dinyatakan ” tahu, mau tetapi tidak mampu”.
271 Rendahnya ketrampilan dalam melestarikan, karena ketrampilan yang dimiliki, bisa jadi tidak digunakan untuk melestarikan, tetapi untuk menjawab kebutuhan yang lain yakni kebutuhan ekonomi keluarganya yang cenderung mengabaikan prinsip kelestarian. Kondisi seperti ini seperti tergambarkan pada garfik berikut. Derajat Kompetensi Petani dalam Ketrampilan SOSEK
2.9
2.85
2.85
2.84
2.8
2.83
2.75 2.82 2.7 2.81 2.65 2.8 2.6
x thd Perencanaan x thd Pengelolaan
2.79 2.55
x thd Pengawasan 2.78
2.5
2.77
2.45 2.4
2.76 1
2
Skala 1-4
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Karakteristik Petani
Gambar 17. Derajat Ketrampilan Petani pada Kompetensi SOSEK
Ketrampilan pada aspek sosial ekonomi, terdapat kecenderungan bahwa petani lebih suka langsung mengelola lahan tanpa direncanakan dengan matang baik di bidang ekonomi maupun dalam pengelolaan pertanian konservasi. Hal ini mengindikasikan petani pola pengelolan yang tradisionil, oleh karena itu karakteristik petani tepi hutan lindung adalah petani sub-sisten. Ketrampilan yang kurang dikuasai juga terdapat aspek tekhis pembibitan dan aspek sosial ekonomi bidang pengawasan. Kompetensi ketrampilan di bidang sosial ekonomi, merupakan kunci untuk merubah orientasi petani dari pemenuhan kebutuhan jangka pendek ke jangka panjang. Sifat pemenuhan kebutuhan jangka pendek, ternyata lebih menekan pada kondisi fisik hutan semakin tereksploitasi pada saat awal, oleh karena itu ketrampilan dalam pemilihan pola dan jenis tanaman sangat mempengaruhi pola perilaku petani dalam mengelola lahannya.
272 Ketrampilan di aspek sosial budaya, lebih menggambarkan sistem nilai budaya asal petani, seperti kemampuan dalam dalam berpartisipasi dan berinteraksi merupakan cerminan dari nilai-nilai sosial yang biasa tumbuh dan berkembang di daerah asalnya. Kompetensi ketrampilan di bidang sosial budaya yang menonjol dalam perilaku sosial petani tepi hutan adalah kemampuan dalam menumbuhkan kesadaran dalam kelestarian hutan. Kondisi ini menjadi indikasi bahwa petani memiliki sejumlah potensi untuk melestarikan hutan, namun tidak tahu apa yang harus ditingkatkan ketrampilannya terlebih dahulu. Berikut disajikan secara grafis hubungan derajat ketrampilan dengan kompetensi di aspek sosial budaya.
Derajat Kompetensi Petani dalam Ketrampilan SOSBUD 2.8
2.86
2.78 2.84 2.76 2.82
Skor Tertim bang
2.74 2.72
2.8 2.7
x thd Modal Sosial x thd Kearifan lokal
2.78 2.68 2.66
x thd Menumbuhkan Kesadarn
2.76
2.64 2.74 2.62 2.6
2.72 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Karakteristik Petani
Gambar 18. Derajat Ketrampilan Petani pada Kompetensi SOSBUD
Dengan demikian ketrampilan petani di aspek sosial budaya, dapat dinyatakan bahwa petani memiliki sejumlah kemampuan atau potensi untuk melestarikan, namun derajatnya masih rendah, oleh karena itu langkah kongkritnya adalah dengan meningkatkan ketrampilannya melalui kegiatan praktek lapangan yang lebih banyak yang dapat dilakukan oleh penyuluh, program aksi lintas sektor, ataupun dalam bentuk pelatihan-pelatihan untuk para petani.
273 Sedangkan derajat ketrampilan dalam bidang pertanian konservasi merupakan ”tujuan antara” yang ideal untuk menjawab dua kepentingan yang mendasar yakni kepentingan umum terkait dengan fungsi hutan yang merupakan kebutuhan jangka panjang dengan, kepentingan petani yang merupakan kebutuhan jangka pendek petani. Memperhatikan hasil penelitian, terlihat sejumlah potensi yang dimiliki oleh petani dalam pertanian konservasi, walapun dalam skala prioritas sudah tepat, namun derajat kompetensinya masih rendah. Hal ini memberikan peluang kepada pemerintah atau stakeholders terkait untuk bermitra dengan petani meningkatkan sejumlah ketrampilan petani diaspek pertanian konservasi untuk menjawab kebutuhan ekonomi jangka pendeknya, yang tentunya akan diarahkan pada kebutuhan ekonomi jangka panjang. Secara keseluruhan kompetensi petani di bidang pertanian konservasi belum setara dengan sikap dan pengetahuan yang dimiliki, hal ini terkait dengan ’asumsi’ bahwa menerapkan pertanian konservasi membutuhkan biaya yang besar dan tenaga yang banyak, padahal asumsi tersebut tidak seluruhnya benar, dan pelaksanan pertanian konservasi dapat dilakukan dengan murah, mudah dan prakatis oleh petani, hal ini terkait dengan kemampuan dalam pemilihan pola tanam, pemilihan jenis tanaman, pemilihan lokasi lahan garapan dan pengaturan saluran air. Keseluruhan itu dilakukan untuk tetap mempertahankan daya dukung tanah supaya mampu berproduksi lebih lama dan aman. Pertanian konservasi, masih merupakan pilihan alternatif dalam mengelola lahan di dalam kawasan hutan, karena terdapat konsep yang serupa berupa konsep agroforestry dimana dapat menjadi ’tujuan antara’ kebutuhan petani dan kelestarian, namun pada aspek pertanian konservasi, lebih memfokuskan pada tata kelola lahan yang tentunya lebih menjawab kondisi bentangan alam yang telah digarap oleh petani tanpa
274 memperhatikan aspek tata kelola tanah dan air yang baik. Berikut disajikan gambaran kemampuan petani dalam melakukan pertanian konservasi. Derajat Kompetensi Petani dalam Ketrampilan Konservasi 2.79
2.6
2.78 2.55 2.77 x thd Perencanaan PK x thd Pengelolaan PK x thd Keamanan PK
2.76
Skala1-4
2.75 2.74
2.45
2.73
Skor Terimbang
2.5
2.4 2.72 2.71 2.35 2.7 2.3
2.69 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Karakteristik Petani
Gambar 19. Derajat Ketrampilan Petani pada Kompetensi Pertanian Konservasi
Memperhatikan gambar di atas dapat dinyatakan bahwa ketrampilan petani dalam pengelolaan pertanian konservasi secara keseluruhan belum dapat dinyatakan baik, hal ini terbukti rata-rata kompetensi yang dimiliki masih di bawah 2.8 dengan skala 1-4. Kompetensi ketrampilan yang rendah, mengindikasikan petani kurang mampu menerapkan tata kelola tanah dan air secara baik. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa secara keseluruhan kompetensi petani dalam
melestarikan
hutan
lindung
belum
mampu
menjadi
kekuatan
untuk
mengembalikan kondisi hutan yang sudah terdegradasi saat ini, dan dibutuhkan upaya kongrit berupa program-program yang nyata dari Departemen Kehutanan untuk mengatasi laju kerusakan hutan lindung. Laju kerusakan hutan lindung sampai saat ini masih menjadi masalah yang dilematis, karena berdasarkan UU Kehutanan No 41, pengelolaan kawasan hutan lindung tidak dibenarkan, namun pada kenyataannya masyarakat telah bermukim dan mengelola lahan di dalam kawasan. Pendekatan secara hukum, sudah pernah dilakukan, namun
275 dianggap kurang efektif, sehingga pendekatan melalui sosial khususnya melalui penyuluhan dianggap pendekatan yang ideal dan rasional, karena dapat menjembatani kebutuhan dan kepentingan yang berbeda. Berikut disajikan gambaran komposisi kompetensi petani dari ketiga ranah, yang merupakan modal untuk berperilaku. Perilaku Melestarikan 3.00
4
2.90
3.5
2.80
3
2.70
2.5
Pengetahuan Sikap
2.60
2
Ketrampilan
2.50
1.5
2.40
1
2.30
0.5
0
2.20 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Skala 1 - 4 Kompetensi Melestarikan
Gambar 20. Kompetensi Melestarikan Hutan dari Ketiga Ranah
Kompetensi yang dimiliki dalam ranah ketrampilan yang lebih diwarnai perilaku sosial, mengindikasikan pula bahwa petani tepi hutan tidak memiliki kemampuan yang cukup dalam berperilaku menjaga dan mengembangkan kelestarian hutan. Rendahnya kompetensi ketrampilan dibanding kedua ranah lainnya menguatkan asumsi bahwa pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang dimiliki petani tepi hutan tidak selaras, dan perilaku yang baik adalah ketika ketiga ranah (PSK) bersinggungan atau berdekatan. Sedangkan gambaran karakteristik perilaku petani tepi hutan berdasarkan klasifikasi pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang dijenjangkan menjadi tiga golongan yaitu rendah, sedang dan tinggi, disajikan berikut:
276
3.2 3.132666174
3.122206266 3.09484151
3.1
3.034799443 S k o r T e r i m b a n g
3.039514296
3.039469701
Ketrampilan
3
Sikap Pengetahuan
2.9
2.8 2.73899445 2.724663676
2.7
2.735152321
2.6 Pengetahuan Sikap
2.5
Ranah
Ketrampilan
1 2 3 Kategori : Rendah, Sedang, Tinggi
Gambar 21. Klasifikasi Kompetensi Petani Tepi Hutan
Dari gambar di atas, dapat dinyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara kemampuan petani tepi hutan pada tingkat rendah dengan sedang, demikian pula tingkat sedang dengan tingkat tinggi. Hal ini dapat diklarifikasikan dengan kenyataan di lapangan bahwa sebagian besar responden dalam penelitian pendidikan formal hanya kelas empat SD hingga lulus SD. Terkait dengan pendidikan, Slamet (2003:20) menyatakan bahwa pendidikan adalah sebagai usaha untuk menghasilkan perubahan-perubahan pada perilaku manusia. Dengan demikian rendahnya pendidikan formal petani tepi hutan dan terbatasnya akses fasilitas pendidikan dan kesehatan, dapat sebagai kendala dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Secara keseluruhan kompetensi petani tepi hutan tidak menunjukkan perbedaan perilaku antara petani yang memiliki kompetensi tinggi dan petani yang memiliki kompetensi rendah. Hal ini terjadi karena potensi yang dimiliki petani sebagai modal berperilaku tidak searah dan setara, sehingga dalam berperilaku cenderung hanya karena pemenuhan kebutuhan dasarnya.
277 Berikut disajikan ringkasan secara diagramatik gabungan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan terhadap duabelas kompetensi melestarikan hutan yang merupakan potensi untuk berperilaku.
Gabungan PSK = Perilaku Petani Tepi Hutan dalam Melestarikan Hutan Lindung Skor GabunganPSK(Skala =1 - 4)
3.15 3.1 3.05 3 2.95 2.9 2.85 2.8 2.75 2.7 2.65 2.6 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Teknis
SOSEK SOSBUD
Konservasi
Jumlah Kompetensi
Gambar 22. Derajat Kompetensi Petani dalam Melestarikan Hutan
Gambar 22, memberikan informasi bahwa dari keduabelas kompetensi melestarikan hutan, yang paling dikuasai oleh petani tepi hutan adalah pada aspek teknis, dan kompetensi yang tergambarkan di atas menjadi kekuatan segi positif petani tepi hutan sebagai potensi pelestari hutan.
Model Penilaian Kelestarikan Hutan Berbasiskan Individu
Salah satu manfaat dari adanya model penilaian kelestarian hutan yang lestari berbasiskan pada kompetensi melestarikan individu petani adalah, terungkapnya motivasi dan kebutuhan yang menjadi alasan mendasar mengapa petani melakukan tindakan yang mendukung maupun yang bertentangan dengan kelestarian.
Dengan demikian akan
memudahkan cara pendekatan, dan penentuan skala prioritas dalam penentuan programprogram aksi di lapangan.
278 Model penilaian yang berbasiskan pada individu petani, (hasil SEM Gambar 7) melalui pengungkapan perilaku petani, dapat ditelusuri melalui sejumlah potensi yang dimiliki berupa pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Tidak terungkapnya kompetensi yang dimiliki petani, menjadikan program-program yang berjalan kurang tepat, sehingga menjadikan tidak efesien dan tidak efektif. Tidak tergalinya potensi petani sering menjadi kondisi dilematis pemerintah dalam menerapkan aturan atau kebijaksanaan. Peraturan yang keras dengan dalih menyelamatkan hutan ternyata tidak menyelesaikan masalah di lapangan dan justru menimbulkan masalah baru. Mendasarkan pada aturan, maka UU atau hukum serah dengan prinsip kelestarian merupakann namun kenyataan sosial terabaikan. Guna mendapatkan titik temu dan penyelesaian secara arif dan bijaksana - manusiawi. Kondisi yang terus berubah dan kebutuhan yang terus berkembang, menjadi prinsip dan semangat dari pembangunan sehingga kondisi-kondisi aktual perlu ditangani secara hati-hati. Prinsip proses pendidikan dan pendewasaan dapat menjadi acuan untuk menjalankan pembanguan agar lebih efektif dan efesien. Berdasarkan hasil penelitian, faktor teknis kehutanan memberikan sumbangan sebesar 92 % terhadap kompetensi melestarikan. Sumbangan ini terdiri atas kompetensi di pembibitan 69 % , penanaman 97 %, dan pemeliharaan tanaman keras 100 %. Dengan demikian, untuk membuat penilaian individu di bidang teknis kehutanan, maka aspek teknis sebagai indikator merupakan sumbangan dari kriteria pemeliharaan, penanaman dan pembibitan.
279 Kembalinya fisik hutan sangat tergantung pada kemampuan di bidang teknis kehutanan, sehingga kompetensi teknis kehutanan merupakan bagian yang penting dalam upaya mengembalikan kondisi hutan dan fungsinya. Petani dalam mengelola lahannya tidak terlepas dari masalah tujuan pengelolaan yakni dari segi ekonomi. Dari aspek sosial ekonomi memiliki sumbangan sebesar 100 % terhadap kelestarian, artinya faktor sosial ekonomi adalah faktor yang sangat dominan menjadi motif para petani untuk mengelola lahan. Secara konseptual faktor sosial ekonomi memiliki model yang sempurna yang terdiri atas: 1) kompetensi perencanaan usaha tani 100 %, 2) Pengelolaan 100 % dan 3) pengawasan hasil usahataninya 100 % menjadikan penguat bahwa pada dasarnya petani bertindak bermotifkan ekonomi khususnya untuk mencukupi kebutuhan– pendapatan. Sulitnya kondisi ekonomi keluarga pantas diduga orientasi petani lebih ke arah ekonomi di banding lingkungan atau ekologi, oleh karena itu proses pemberdayaan melalui penyuluhan menjadi agenda utama dalam mendidik petani supaya tumbuh dan menemukan solusinya sendiri tanpa meninggalkan prinsip kelestarian. Tantangan penyuluh adalah menemukan kompetensi untuk menjawab kebutuhan petani untuk berubah, dan selanjutnya menemukan dorongan (drive) yang berupa motivasi untuk menjawab kebutuhan perubahan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara dengan petani, ternyata kebutuhan dan motif baik intrisik dan ekstrisik petani yang tidak terlepas dari: a) ketentraman dalam pengelolaan lahan, b) kepastian mendapatkan hasil, c) jaminan pasar, dimana hal ini merupakan bagian dari aspek bidang sosial ekonomi yang masih didambakan. Berkaitan dengan hal tersebut kompetensi
280 penyuluh hendaknya lebih baik daripada petani khususnya di bidang ekonomi, agar mampu memberikan manfaat yang nyata di kehidupan petani jangka pendek. Sedangkan kompenen sosial budaya memiliki sumbangan sebesar 18 % untuk kompetensi melestarikan, namun berdasarkan hasil uji analisis konformatory sumbangan sosisal budaya yang terdiri atas: 1) pengembangan modal sosial petani tepi hutan 100 % yang menerapakan uraian dari konsep budaya yang mendasarkan pada pengembangan nilai-nilai sosial, 2) pengembangan kearifan lokal petani 100 % yang merupakan uraian dari sistem nilai budaya khususnya sistem kepercayaan dari para orang tua terhadap prinsip pengelolaan yang lestari, dan 3) menumbuhkan kesadaran kelestarian 100 % yang merupakan pemaknaan dari norma budaya. Kenyataan ini hendaknya dipahami dengan baik oleh penyuluh, karena aspek sosial budaya berkaitan dengan kebiasaan yang di bawa dari dearah asalnya. Kemampuan penyuluh memahami budaya asal petani merupakan faktor yang penting untuk suksesnya penyuluhan. Aspek teknis konservasi tanah dan air memberikan sumbangan sebesar 83 % terhadap kompetensi petani dalam melestarikan hutan. Sumbangan komponen teknis konservasi tanah dan air terdiri atas: 1) perencanaan pertanian konservasi 78 %, 2) pengelolaan tanah sebesar 100 % dan 3) ketrampilan dalam menerapkan pertanian konservasi 100 %. Secara konseptual, aspek konservasi menjadi bagian yang penting yang harus dikuasai oleh petani tepi hutan, karena kondisi lahan yang dikelola petani sangat berkaitan dengan fungsi hutan lindung yang memiliki kemiringan tertentu, serta curah hujan yang tinggi, sehingga bahaya erosi dan longsor menjadi perhatian dalam pengelolaan.
281 Memperhatikan kemampuan teknis konservasi yang dikuasi petani, maka pengetahuan, sikap dan ketrampilan penyuluh harus ditingkatkan terlebih dahulu sebelum mempengaruhi dan mengajak berubah petani. Memperhatikan hasil penelitian dengan menggunakan uji analisis konfirmatory terhadap peubah laten teknis kehutanan, ternyata memiliki sumbangan sebesar 11 % terhadap pendapatan petani (Y2). Kenyataan ini menjadi perhatian para pengambil kebijakan dan penyuluh, bahwa kecilnya sumbangan teknis kehutanan yang dirasakan oleh petani ternyata tidak menjawab kebutuhan ekonomi keluarganya jangka pendek. Hal ini dapat dipahami karena aspek teknis kehutanan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk dapat mengembalikan kondisi hutan sedangkan pendapatan adalah merupakan kebutuhan petani jangka pendek. Untuk menghadapi kondisi seperti ini petani dan penyuluh harus meningkatkan kemampuannya dalam mengatur pola tanam baik dari jenis dan jaraknya sehingga petani memiliki pola panen mingguan, bulanan dan tahunan sesuai dengan karakteristik tanamanannya. Sedangkan pada laten sosial ekonomi, memiliki sumbangan yang relatif kecil yakni – 4,2 % pada pendapatan. Hasil yang negatif dan kecil, dapat dinyatakan bahwa pendapatan petani tepi hutan akan bertambah bukan karena menerapkan perencanaan, pengelolaan, dan pengawasaan usahatani melainkan karena hal yang lain yakni faktor sosial budaya. Ketika ditelusuri datanya lebih lanjut, ternyata pendapatan petani non pertanian seperti warung, ojek, tukang, buruh, dapat menjadi penopang kebutuhan jangka pendek sambil menunggu waktu panen usaha taninya dan ternyata hasilnya lebih besar sedikit atau setera dengan pendapatan pertanian.
282
Laten sosial budaya memberikan sumbangan yang relatif lebih besar di banding peubah lainnya yakni sebesar 33 % terhadap pendapatan petani. Artinya peubah laten sosial budaya menjadi potensi kekuatan laten untuk merubah sikap dan perilaku petani dalam meningkatkan kelestarian melalui peningkatan pendapatan. Hasil analisis konfirmatory terhadap pendapatan, menggambarkan bahwa ternyata pendapatan menurut petani tidak terkait dengan upaya peningkatan pelestarian hutan dan masalah kelestarian adalah masalah yang berbeda dengan pendapatan atau dapat pula dinyatakan keduanya adalah hal yang berbeda karena dimensi waktu. Hal ini menguatkan asumsi bahwa pendapatan petani di luar sektor pertanian dapat menjadi kekuatan yang perlu dikembangkan dan ditindaklanjuti kedalam program pembangunan penyuluhan kedepan dan kecilnya perbedaan penghasilan pertanian dan non pertanian menjadikan petani tidak mempunyai pilihan untuk memutuskan. Dengan demikian besarnya sumbangan laten sosial budaya, mengindikasikan bahwa perilaku petani dalam mengingkatkan pendapatan, ternyata faktor sosial budaya mampu mengatasi masalah internal ekonomi keluarga dalam waktu dekat. Pada laten konservasi tanah dan air, memberikan sumbangan sebesar -1,7 % . artinya semakin petani menerapkan teknis konervasi secara ketat, maka akan menurunkan pendapatan petani. Kecilnya hubungan dan terbaliknya pola hubungan, mengindikasikan kompetensi petani dalam konservasi masih rendah sehingga penerapan dan ketrampilan konservasi yang tidak dikuasai akan menyebab kecilnya hubungan dan tidak nyata.
283 Berdasarkan hasil wawancara dengan penyuluh, ternyata ada anggapan pada sebagian penyuluh, bahwa dengan menyuluhkan materi pertanian konservasi ke petani berarti seperti memberikan bekal untuk membuka lahan di dalam kawasan. Hal ini dianggap penyuluh kehutanan gagal mengerem laju kerusakan hutan dan sepertinya melegalkan kegiatan di dalam kawasan. Masalah ini memang menjadi dilematis penyuluh dan jajarannya, karena ukuran keberhasilan yang digunakan berbeda. Dengan demikian model pengukuran kelestarian yang berbasiskan pada individu akan memudahkan praktisi, penyuluh, NGO mengukur kadar potensi petani tepi hutan dalam melestarikan hutan. Hal ini dikuatkan dengan hasil uji Structural Equations Model, yang menunjukkan Goodness of Fit Index sebesar 0,91 atau sebesar 91 % data penelitian mampu menerangkan kenyataan di lapangan.
Pola Pengembangan Kompetensi Petani dalam Melestarikan
Untuk meningkatkan kompetensi petani dalam melestarikan hutan perlu dilakukan berbagai upaya yang mampu mendukung dan mengembangkan potensi petani. Bentuk dukungan dapat berupa kebijakan – kebijakan yang melindungi hak-hak petani tepi hutan dalam mengelola lahan, maupun memberikan sarana dan prasarana seperti pelatihan agar tekanan terhadap hutan dapat berkurang. Berkaitan dengan hal tersebut dibutuhkan strategi yang untuk mampu menjawab kebutuhan kelestarian hutan lindung meliputi: 1) strategi peningkatan kompetensi teknis kehutanan yang berbasiskan pada pendapatan, 2) strategi peningkatan kompetensi sosial ekonomi dengan berbasiskan ekonomi jangka panjang, 3) strategi peningkatan kompetensi sosial budaya dengan berbasiskan kearifan lokal, dan 4) strategi peningkatan
284 kompetensi teknis konservasi berbasiskan praktis-biaya rendah. Strategi tersebut merupakan pengembangan SDM petani dan penyuluh kedalam tiga ranah: pengetahuan, sikap dan ketrampilan secara proporsional. a) Strategi peningkatan kompetensi teknis kehutanan yang berbasiskan pada pendapatan. Untuk dapat mengoprasionalkan strategi ini, maka yang perlu diperhatikan selaian kemampuan di ranah PSK antara lain: petani dituntut trampil membuat bibit unggul tanaman yang mampu bersaing dipasaran, selain itu mengadakan kerjasama dengan instansi atau pihak swasta tentang pengadaan bibit dan perawatan. Pengembangan kerjasama idealnya dilakukan melalui kelompok tani. Untuk pengembangan materi dapat mengacu pada Tabel 31, 44, 57, khususnya dengan kemampuan PSK dalam pengelaman berusaha tani serta hasil uji SEM. b) Strategi peningkatan kompetensi sosial ekonomi dengan berbasiskan ekonomi jangka panjang. Membangun kebersamaan sehingga akan muncul motif yang sama, solidaritas, tanggungjawab terhadap kelestarian hutan. Hal ini menjadi kunci dalam menjawab ekonomi jangka pendek ke arah ekonomi jangka panjang selain itu dipersiapkan pula tujuan antara melalui kemampuan dalam pertanian konservasi yang mampu memindahkan dominasi ekonomi jangka pendek berailh ke dominasi ekologi. Sedangkan untuk mengembangkan materi sosial ekonomi jangka panjang dapat memperhatikan Tabel 34, 47, 60 serta hasil uji SEM. c) Strategi peningkatan kompetensi sosial budaya dengan berbasiskan kearifan lokal. Untuk membangun hubungan yang harmonis dan tingkat kepercayaan tinggi, diperlukan upaya yang keras dari penyuluh, tokoh formal dan non formal serta itikad baik dari dinas kehutanan maupun pemerintah, bahwa menjaga kelestarian hutan dengan sistem budaya
285 adalah cara yang terbaik dan efektif dan menjadikan petani dan kelompoknya lebih bermartabat. Oleh karena itu perlu maknisme pengakuan terhadap nilai-nilai budaya yang mendukung kearifan lokal dalam menjaga hutan. Guna mengoprasionalkan dapat berpedoman pada hasil SEM dengan menempatkan prioritas aspek sosial budaya dan lihat Tabel 65. d) Strategi peningkatan kompetensi teknis konservasi berbasiskan praktis-biaya rendah. Kompetrensi
pertanian
konservasi
adalah
merupakan
strategi
antara
dalam
mengupayakan kelesatrian dan kebutuhan ekonomi keluarga petani. Pengelololan pertanian konservasi yang benar dapat mengurangi dan mencegah terhadap kerusakan lahan hutan lindung, oleh karena itu untuk meningkatkan kompetensi pertanian konservasi dapat dilakukan dengan merubah pola biaya besar menjadi digantikan dengan ketersediaan bahan baku alam di sekitarnya, dengan tujuan utama mengahambat dan mecegah erosi dan longsor. Kemudian mengatur pola tanam dan jenis tanaman, pembuatan rorak, guludan serta pengaturan saluran pembuan air. Untuk meningkatkan kemampuan petani dan penyuluh dalam melestarikan hutan lindung, diperlukan dukungan kebijakan yang mampu mendorong operasionalnya kegiatan seperti pelatihan-pelatihan yang didasarkan pada kompetensi yang tidak dikuasai pada ketiga ranah (PSK) kepada penyuluh dan petani maupun stakeholders. Dengan demikian pengembangan kompetensi petani, idealnya tidak hanya tanggung jawab Departemen Kehutanan saja, melainkan tanggungjawab para pihak terkait atau stakeholders yang lebih luas, khususnya para pemakai jasa lingkungan dari keberadaan pengelolaan hutan yang baik.
286 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan (1)
Sebagian besar petani tepi hutan adalah petani sub-sisten yang memiliki potensi sebagai pelestari, namun belum cukup kompeten khususnya di bidang teknis kehutanan, sosial ekonomi, sosial budaya, dan pertanian konservasi.
(2)
Unsur kompetensi melestarikan yang paling dikuasai petani tepi hutan adalah: a. Ranah pengetahuan: 1) pengelolan pertanian konservasi, 2) penanaman tanaman keras, 3) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, dan 4) pemeliharaan tanaman keras. b. Ranah sikap: 1) pengembangan modal sosial petani tepi hutan, 2) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian, 3) pengawasan usaha tani tepi hutan, dan 4) pemeliharan tanaman keras. c. Ranah ketrampilan: 1) pembibitan tanaman keras, 2) pengelolaan usaha tani tepi hutan, 3) menumbuhkan kesadaran tentang kelestarian, dan 4) penanaman tanaman keras. Adanya perbedaan kompetensi petani tepi hutan dalam pada tiap ranah menyebabkan petani ”tahu, mau tetapi tidak mampu” dalam berperilaku melestarikan hutan.
(3)
Derajat kompetensi melestarikan hutan yang dimiliki oleh petani tergolong rendah, dan perilaku petani cenderung mengabaikan prinsip kelestarian hutan serta pertanian konservasi.
(4)
Sejumlah karakteristik petani tepi hutan berhubungan sangat nyata pada kedua belas kompetensi melestarikan hutan dan hubungan tersebut menunjukkan kesepakatan
287 yang tinggi pada ketiga kelompok petani pada setiap karakteristik yang diamati (rendah, sedang dan tinggi) dalam menentukan prioritas kompetensi. (5)
Rendahnya dukungan pelatihan pelestarian hutan yang diterima penyuluh menyebabkan kegiatan penyuluhan tidak fokus dan tidak menjawab kebutuhan petani untuk meningkatan kelestarian hutan lindung serta ekonomi keluarga petani.
(6)
Potensi perilaku petani dalam mengelola hutan lindung bermotifkan yaitu: pertama pemenuhan kebutuhan ekonomi jangka pendek, kedua mengelola komoditi non kehutanan dan mengabaikan teknis kehutanan, dan ketiga pemanfaatan lahan dengan mengabaikan pertanian konservasi.
Saran (1) Untuk meningkatkan kompetensi petani sebagai pelestari hutan maka yang perlu dilakukan yaitu mengembangkan sejumlah kemampuan yang kurang dikuasai petani tepi hutan meliputi: a. Ranah pengetahuan: 1) perencanaan pertanian konservasi, 2) perencanaan usaha tani tepi hutan, 3) pengawasan usahatani tepi hutan, dan 4) Keamanan dalam pertanian konservasi. Sedangkan untuk menumbuhkan pengetahuan petani dalam melestarikan dapat dilakukan dengan menumbuhkan kebutuhan untuk maju (needs of achievement) yaitu dengan membuka wawasannya. b. Ranah sikap: 1) penanaman tanaman keras, 2) ketrampilan dalam pertanian konservasi, 3) pengembangan kearifan lokal, dan 4) pembibitan tanaman. Sedangkan langkah untuk mengembangkan aspek sikap, dapat dengan cara menumbuhkan keyakinan dan motivasi untuk berpandangan dan bersikap
288 positip terhadap kehidupan melalui pemanfaatan norma masyarakat (kearifan lokal) c. Ranah ketrampilan: 1) pengembangan kearifan lokal petani tepi hutan, 2) perencanaan usahatani tepi hutan, 3) perencanaan pertanian konservasi, dan 4) pengelolaan pertanian konservasi. Sedangkan pengembangan ketrampilan petani dapat dilakukan melalui memperbanyak praktek di lapangan dengan materi kedua belas kompetensi melestarikan hutan lindung. Dengan demikian kompetensi petani tepi hutan pada tiap ranah akan searah yang akan menyebabkan petani: ”tahu, mau dan mampu” dalam berperilaku melestarikan hutan. (2) Hubungan kedua belas kompetensi melestarikan dengan karakteristik petani tepi hutan sangat erat dan nyata, sehingga korelasinya dapat dijadikan model pengembangan materi pelatihan bagi petani dan penyuluh. (3) Untuk meningkatkan kompetensi petani maka yang perlu dilakukan yaitu mengembangkan kompetensi penyuluhnya terlebih dahulu melalui pelatihanpelatihan dengan materi hasil uji Konkordasi Kendall W. (4) Kontak dengan PPL perlu ditingkatkan dan PPL perlu dibekali dengan materi yang dibutuhkan petani untuk melestarikan hutan lindung. (5) Untuk mengoperasionalkan pengembangan kompetensi petani dan penyuluh, dibutuhkan dukungan kebijakan Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan atau Dinas Kehutanan serta instansi terkait guna memfasilitasi perubahan perilaku petani dalam melestarikan hutan lindung. Berkaitan dengan hal tersebut dibutuhkan langkah-langkah atau strategi sebagai berikut:
289 a) Strategi pertama, membuka wawasan dan meningkatkan komitmen para stakeholders terhadap pembangunan yang berwawasan lingkungan, khususnya kawasan hutan lindung, yang selanjutnya dikuatkan dengan dukungan yang dibutuhkan. (Strategi ”Buka Wawasan dan Bangun Komitmen”) b) Strategi kedua, membangun jaringan antar pihak terkait yang berkomitmen dan mengupayakan agenda kerja tentang penguatan kompetensi penyuluh kehutanan dan petani tepi hutan dalam melestarikan hutan lindung pada salah satu komisi DPR dan DPRD. (Strategi ”Dorong Kebijakan”) c) Strategi ketiga, membina dan mengembangkan jaringan guna mewujudkan fasilitasi kebijakan dan kawal semua proses yang searah dengan kebijakan lingkungan khususnya hutan lindung. (Strategi ”Pengawalan Kebijakan”) (6) Kompetensi petani dan penyuluh masih rendah, sehingga kegiatan penyuluhan belum mampu menjawab kebutuhan petani dan kebutuhan kelestarian hutan lindung oleh karena itu, mendidik petani dengan benar dan membekali penyuluh menjadi prioritas dalam pengembangan kelestarian hutan lindung. Salah satu cara yang efektif dan efisien yakni melalui belajar dari kesuksesan petani lain. Berkaitan dengan hal itu, pengkomunikasian success story di berbagai lokasi menjadi penting sebagai sarana belajar bagi para petani dan penyuluh. (7) Untuk mengubah pola perilaku petani dalam melestarikan hutan lindung, kompetensi utama yang diprioritaskan adalah 1) kompetensi di bidang sosial ekonomi jangka panjang, 2) kompetensi di bidang teknis kehutanan, dan 3) kompetensi di bidang teknis pertanian konservasi. Sedangkan potensi perubahan laten dalam melestarikan dapat dilakukan melalui pendekatan sosial budaya. Sehubungan dengan hal tersebut,
290 maka strategi yang diperlukan yakni pertama, mengubah pola tanam dengan mempertimbangkan kelestarian dan kebutuhan petani dengan mempertimbangkan fungsi, jenis dan kerapatan tajuk, kedua, batasi luas lahan yang dikelola tanpa memperhatikan kelestarian, dan ketiga, bangun jaringan pemasaran hasil tani. (8) Bagi para pemerhati lingkungan khususnya hutan lindung, masih terbuka luas untuk melakukan penelitian yang berbasis pada keempat bidang kompetensi utama melestarikan (Teknis Kehutanan, Sosial Ekonomi, Sosial Budaya, dan Teknis Konservasi) atau dengan mencermati kedua belas kompetensi yang ada.
291
PUSTAKA Buku Adjid, Abdul. 1991. “Konsepsi Alih Teknologi Pertanian Lahan Kering” dalam Prosiding Simposium Nasional Teknologi Pertanian Lahan Kering, Malang 29-31 Agustus 1991. Disunting oleh Iksan Semaoen dkk. Surabaya: INRES-Pusat Penelitian Universitas Brawijaya. Andriyono K. Adhi dan R. Pambudy (ed). 2002. Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Menuju Terwujudnya Masyarakat Madani. Bogor: Pustaka Wirausaha. Amiruddin, Syam K Kariyasa dan M.O. Adnyana. 1996. ‘Kelayakan Finansial Sistem Usaha Tani Tanaman Pangan Lahan Kering di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur’. Penyunting Syarifuddin Karma. Prosiding Lokakarya Hasil Penelitian Usaha Tani Lahan Kering. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Amsyari, Fuad. 1981. Prinsip Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Ghalia Indonesia. Arifin, Bustanul. 2002. Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia, Perspektif Ekonomi, Etika dan Praktis Kebijakan. Jakarta: CV. Erlangga. Arsyad, Sintanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press. Azwar, Saifuddin. 1998. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Jakarta: Pustaka Pelajar. Bakker, Frederick. Theodore W. Daniel and John A. Helms. 1987. Prinsip-Prinsip Silvikultur diterjemahkan oleh: Djoko Marsono dan Oemi’ Hani’in Soeseno. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Bintarto, R. 1983. Interaksi Desa dan Kota dan Permasalahannya. Yogyakarta: Ghalia. Black, A. Jemes, and Dean J. Champion. 1999. Metode dan Masalah Penelitian Sosial. Bandung: Rafika Aditama. BPS Provinsi Lampung. 2003. Lampung Dalam Angka 2002. Bandar Lampung: BPS Provinsi Lampung. BPS Lampung Selatan. 2003. Lampung Selatan dalam Angka 2002. Lampung Selatan: BPS Lampung Selatan. BPS Lampung Timur. 2003. Lampung Timur Dalam Angka 2002. Lampung Timur: BPS Lampung Timur. BPS Lampung Barat. 2003. Lampung Barat Dalam Angka 2002. Lampung Barat: BPS Lampung Barat. BPS Lampung Tengah. 2002. Lampung Tengah Dalam Angka 2001. Lampung Tengah: BPS Lampung Tengah. BPS Jakarta. 2003. Statistik Pertanian 2002. Departemen Pertanian. Jakarta: BPS Jakarta.
292 Christopher, Upton and Stephen Bass. 2002. The Forest Certification Hand Book. London: Earthscan Publication Ltd. Colver. C. J. P., R. Prabhu. N. Guenter, C. Mc. Daugall. N.N. Porro. and R.Porro. 1999. Siapa yang Perlu Dipertimbangkan: Menilai Kesejahteraan Manusia dalam Pengelolaan Hutan Lestari. Bogor: CIFOR. Departemen Kehutanan. 1995. Keputusan Menteri Kehutanan No. 292/Kpts-II/1995. tanggal 12 Juni 1995 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan dalam Kumpulan Peraturan-perundang Kehutanan. Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi. Departemen Kehutanan. _______, 2000. Undang-Undang Kehutanan Nomor 41. Tahun 1999.Tentang Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan. _______,1999. Kehutanan Indonesia. Jakarta: Koperasi Karyawan Kehutanan dan Perkebunan. _______, 2003. Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2002. Jakarta: Departemen Kehutanan. Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. 1999. Data dan Informasi Kawasan Hutan Provinsi Lampung Tahun 2002. Bandar Lampung: Dinas Kehutanan. ________, 2003. Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Lampung Tahun 2002. Bandar Lampung: Dinas Kehutanan. Dahama, O. P. and O. P Bhatnagar. 1980. Education and Communication for Development. New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co. Darjadi Loekito dan Hardjono. 1969. Sendi-Sendi Silvikultur. Djakarta: Direktorat Djendral Kehutanan. Darusman, Dudung dkk. 2001. Resiliensi Kehutanan Masyarakat di Indoensia, Yogyakarta: Debut Press. ________, 2002. Pembenahan Kehutanan Indonesia. Bogor: Lab. Politik Ekonomi dan Sosial Kehutanan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Donnell, Cyrill O. (et al.) 1989. Intisari Management. Jakarta: Bina Aksara. Djajapertjunda, Sadikin. 2002. Hutan dan Kehutanan Indonesia: Dari Masa Ke Masa, Bogor: IPB Press. Fagi, Achmad M. 1998. ‘Strategi Peningkatan Intensitas Pertanaman pada Lahan Sawah Irigasi Menunjang Swasembada Beras’ dalam Prosiding Seminar Peningkatan Produksi Padi Nasional. Bandar Lampung: Himpunan Ilmu Gulma Indonesia dan Komda Lampung Perhimpunan Agronomi Indonesia Komisariat Lampung dan Universitas Lampung. FAO. 1990. Farming System Development, Guidelines for the Conduct of Training Course in Farming System Development. Rome: Food Agriculture Organization of The United Nations. ------------, 1993. The Challenge of Sustainable Forest Management. Rome: Food Agriculture Organization of The United Nations.
293 FAO dan World Bank. 1991. Farming System and Poverty: Improving Farmers Livelihood in A Changing World. Rome: Food Agriculture Organization of The United Nations. Gilley, J. G. and S. A. Eggland. 1989. Principle of Human Resources Development. Canada: Wisley Pub. Co. Inc . Gunawan, F. Suratmo. 1971. Hama Hutan di Indonesia-Forest Entomology. Bogor: IPB Handoyo, T. Hani. 1990. Managemen. Yogyakarta: Badan Pengembangan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Hemilton, Lawrence. S dan Petern N. King. 1988. Daerah Aliran Sungai Hutan Tropika: Tanggapan Hidrologi dan Tanah terhadap Penggunaan atau Konservasi terjemahan: Krisnawati Suryanta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hernanto, Fadholi. 1989. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya. Higman, Sophie. Stephen Bass. Neil Judd. James Mayers and Ruth Nussbaum. 1999. The Sustainable Forestry Handbook. London: Earthscan Publications Ltd. Iksan, Samaoen. M. Liliek Agustina. dan Leo S. Soemarmo. 1991. Pendekatan Sistem Usaha Tani yang Berkelanjutan di Lahan Kering, dalam Prosiding Simposium Nasional Teknologi Pertanian Lahan Kering. INRES – Malang: Pusat Penelitian Universitas Brawijaya. Jahi, Amri. 1988. ‘Komunikasi dan Pembangunan‘ Dalam Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga: Suatu Pengantar. Disunting oleh: Amri Jahi. Jakarta: PT. Gramedia. Kartasapoetra.G., A. G. Kartasapoetra dan Mul Mulyani Sutedjo. 1991. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Jakarta: Rineka Cipta. Kellomaki, Seppo. 2003. Forest Resources and Sustainable Management. New York: TAPPI Press. Kerlinger, Fred. N. 2003. Asas-asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gadjah Mada University. Klausmeier, H. J. and G William. 1966. Learning and Human Abilities. Second Edition. New York: harper and Row Publisers. Kusnendi. 2004. Konsep dan Aplikasi Model Persamaan Sturktural (SEM) dengan Program LISREL 8. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia. Mikkelsen, Britha. 1999. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Nawawi, Hendra. 2001. Managemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. Neufeldt, Victoria. 1996. Webster’s New World College Dictionary. New York: A Simon & Schuster Macmillan Company. Mar’at. 1981. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukuran. Jakarta: Ghalia Indonesia.
294 Mardikanto, Totok. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Mosher, A. T. 1978. Menggerakan dan Membangun Pertanian. Jakarta: CV. Yasaguna. Moniaga, S. 1994. Pengetahuan Masyarakat Dayak sebagai Alternatif dalam Penangan Kerusakan Sumber Daya Alam di Kalimantan; Sebuah Kebutuhan Mendesak dalam Florus P. S Djueng, J. Bamba, N. Adasaputra (Eds). 1994. Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Tranformasi. Pontianak: Grasindo dan LP3S- Institut of Dayakologi Research and Development. Mungkung, Nuchanata. 2002. Farmer Opinion of there land avaibility and land use development in northern Thailand. International Symposium: Land Use Nature Conservation and Stability of Rain Forest margin in Southeast Asia. Bogor: Institut Pertanian Bogor, University Tadulako, University of Gottingen, and University of Kassel Witzenhousen. Mydell. 1988. Kelestarian Hutan. (terjemahan) Jakarta: Yayasan Obor Indoensia. Padmowihardjo, Sudijanto. 1994. Psikologi Belajar Mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka. Reijntjes, C. Haver Kort B. N. A. Water-Buyer. 1992. Pertanian Masa Depan: Pertanian Berkelanjutan dengan Input Rendah. Yogyakarta: Kanisius Riyanti, B. P. Dwi. 2003. Kewirausahaan dari Sudut Pandang Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT. Grasindo. Ritchie, Bill. Cythia Mc Dougall. Mandy Haggith dan Nicolette Burford de Oliveira. 2001. Community Managed Forest: Kriteria dan Indikator Kelestarian Hutan yang Dikelola oleh Masyarakat. Bogor: Cifor Indonesia. Rothschild, J. 1991. Etnopolitics: Conceptual Framework. New York: Colombia University Press. Rogers, Everett. M. 1987. Komunikasi dan Pembangunan: Memudarnya Model Domain Jakarta: LP3ES. _______, 1989. (A) Communication of Inovation: A Cross Cultural Approach. New York: Mc. Milland Publ. Co. _______, 1995. Diffusion of Innovations. New York: Simon & Schuster. Inc. Slamet, Margono 1983. Kumpulan Bahan Bacaan Penyuluhan Pertanian. Edisi Ketiga Bogor: IPB. _______,2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Penyunting Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Bogor: IPB Press. Sastraatmadja, Entjang. 1986. Penyuluhan Pertanian: Falsafah, Masalah dan Strategi, Bandung: CV. Alumni. Sample, V. Valaric. Nels Jhonson. Gregory H. Aplet and Jeffrey T. Olson. 1997. Defining Sustainable Forestry. Bogor: Cifor.
295 Salikin, Karwan. A. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Yogyakarta: Kanisius. Salkind, N. J. 1985. Theories of Human Development. Second Edition. New York: John Wiley & Sons. Inc. Sarwono, S. W. 1999. Psikologi Sosial Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka. Sardjono, Mustofa Agung. 2004. Mozaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal, Politik dan Kelestarian Sumber Daya. Yogyakarta: Debut Press. Sitorus. R. P. Santón. 1989. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung: Transito. Siegel. S. 1994. Statistik Non-parametrik untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Pustaka Utama. Sinukaban, Naik. 1986. Dasar-Dasar Konservasi Tanah dan Perencanan Pertanian Konservasi. Jurusan Ilmu Tanah. Bogor: Instutut Pertanian Bogor. _______, 1989. Konservasi Tanah dan Air di Daerah Transmigrasi. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor: Bogor: IPB Press. _______, 1994. Membanguna Pertanian Menjadi Industri yang Lestari dengan Pertanian Konservasi. Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Tetap Ilmu Konservasi dan Pengelolaan Tanah dan Air. Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta: Universitas Indonesia. Press. Soekanto, S. 2002. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sumarwoto, Otto. 1994. Ekologi Pembangunan dan Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Djembatan. Suhendang, Endang. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Bogor: YPFK. Sudradjat, Adjat dan Ida Yustina. 2002. Mencari Format Desentralisasi Kehutanan pada Masa Transisi. Jakarta: NECTAR Indonesia. Sudaryanto. 1998. Budidaya Tumpangsari di Bawah Tegakan Hutan Jati Tua dan Teresan dalam Kehutanan Masyarakat. Penyunting: Didik Suhardjito dan Dudung Darusman. Bogor: IPB dan Ford Foundation. Suhardjito, Didik. Aziz Khan. Wibowo A. Djatmiko. Martua T. Sirait dan Santi Evelyna. 2000. Karakteritik Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat, Pustaka Kehutanan Masyarakat, Yogyakarta: Aditya Media. Suhardjito, Didik. Leti Sundawati. Suyanto. dan Sri Rahayu Utami. 2003. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestry. Bogor: ICRAF. Suprayoga, Didik. Kurniatun Hairiah. Nurheni Wijayanto. Sunaryo dan Maeine von Noordwijk. 2003. Peran Agroforestry pada Skala Plot: Analisis Komponen Agroforestry sebagai Kunci Keberhasilan atau Kegagalan Pemanfaatan Lahan. Bogor: ICRAF. Suparno. 2001. Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional.
296 Sumitro, Bambang. 1996. ‘Pendekatan dan Model Pembangunan Masyarakat’ dalam Mahasiswa dan Pembangunan Masyarakat. editor: Alhusniduki Hamim. Mintarsih Adimihardja dan Rizani Puspawidjaja. Lampung: Universitas Lampung. Spencer, Lyle. M. and Signe M. Spencer. 1993. Competence at Work; Model for Superior Performance. New York: John Wily & Sons. Inc. Tohir, A. Kaslan. 1983. Seuntai Pengetahuan tentang Usaha Tani Indonesia. Jakarta: PT Bina Aksara. _______, 1991. Butir-Butir Tata Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta. Ukur, F. 1994. “Makna Religi dari Alam Sekitar dalam Kebudayaan Dayak” dalam Florus P. S. Djueng dan J. Bamba, N. Adasaputra (Eds). 1994. Kebudayaan Dayak Aktualisasi dan Tranformasi. Pontianak: Grasindo dan LP3S- Institut of Dayakologi Research and Development. Umar, Husein. 2004. Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi. Jakarta: Gramedia Van den Ban, dan A.W. Hawkins. 2003. Penyuluhan Pertanian. Penerbit . Penerjemah Herdiasti A.D. Yogyakarta: Kanisius. Widianto. Kurniatun Hairiah. Didik Suhardjito dan Agung Sardjono. 2003. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestry. Bogor: ICRAF. Winkel, W. S. 1996. Psikologi Pembelajaran. Jakarta: PT. Grasindo. Widjono. AMZ. R. 1998. Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok. Jakarta: PT. Grasindo. Wolf, C. 1985. Petani. Jakarta: PT. Grasindo. Zakaria, R. Y. 1994. Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat Lokal. Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Jurnal Amiruddin, Syam. 2003. ‘Sistem Pengelolaan Lahan Kering di Daerah Aliran Sungai Bagian Hulu’, dalam Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta: Departemen Pertanian. Andayani, Wahyu. 2002. ‘Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Usaha Tani Pola Agroforestry’ dalam Jurnal Hutan Rakyat Vol. IV. No. 1. (Maret 2002). Hal 4 _______, 2002. ‘Analisis Potensi Sengon Hutan Rakyat Pola Agroforestry di Kabupaten Wonosobo’ dalam Jurnal Hutan Rakyat, Vol. IV. No. 2. (Juli 2002.) Hal. 9 – 16. Awang, San Afri dan Yeni Ernaningsih. 2004. ‘Peranan Tumbuhan Obat dalam Peningkatan Pendapatan Masyarakat’ dalam Jurnal Hutan Rakyat Vol. VI. No. 2 (Februari 2004). Hal. 50 – 62.
297 Awang, San Afri dan Wiyono. 2001. ‘Konsep Pemerintah Daerah Kabupaten Wonosobo tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan dalam Rangka Otonomi Daerah’ dalam Jurnal Hutan Rakyat Vol. III. No. 3. (April 2001). Hal. 22. Cooper, Anita W. and Graham Donna. 2001. Competencies Needed to Be Successful County Agents and County Supervisors dalam Journal of International Agricultural and Extension Education. Vol.39 No. 1. (February 2001). Page. 3. Hardjanto, Dwiprabowo dan Hendro Prahasto. 2000. ‘Alokasi Penggunaan Lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS)’ dalam Jurnal Hutan Rakyat. Vol. IV. No. 3 (Mei 2003). Hal. 8 – 9. Taufiqurrahman, Lulu. San Afri Awang dan Wahyu Widayanti. 2003. ’Peranan Proyek Pembangunan Hutan Kemasyarakatan Terhadap Pendapatan Masyarakat’ dalam Jurnal Hutan Rakyat Vol. V No. 1 (Januari 2003). Hal. 46. Rammel, Christian and Markus Staudinger. 2004. The Bridge Between Diversity and Adaptively dalam The International Journal of Sustainable Development and World Ecology. Volume 11 No.1. (March 2004). Page. 13. Radhakrishna, Rama B. 2001. ‘Professional Development Needs of State Extension Specialists’ dalam Journal of International Agricultural and Extension Education. Volume 39 No. 5. (October 2001). Page 3. Sumarhani. 2003. ‘Pola Usahatani Tumpangsari di Bawah Tegakan Hutan Tanaman di BKPH Majenang Jawa Tengah’ dalam Bulletin Penelitian Hutan. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Sugiri, Eka Widodo. 2000. ‘Pokok Pokok Managemen Persemaian Permanen’ dalam Bulletin Konservasi Indonesia. Edisi 4. XIII/2000. Jakarta: Departemen Kehutanan. Polson, Jim G. 1999. Using Vidio of a Master Farmer to Teach Other dalam Journal of International Agricultural and Extension Education. Vol. 37 No. 2. (April 1999). Page. 3. Tridala, Yusran. 2001. ‘Konflik Tenurial di Taman Nasional Rawa Aopa, Watumohai’ dalam Jurnal Hutan Rakyat Vol. III. No. 3 (April 2001). Hal. 36 - 40 Skripsi, Thesis dan Disertasi Aryani. 2002. Studi Produksi Tanaman Kayu dan Buah: Pembibitan Untuk Mendukung Kegiatan Rehabilitasi Lahan di Provinsi Lampung. Skirpsi. Universitas Lampung. Agussabti. 2002. “Kemandirian Petani Dalam Mengambil Keputusan Adopsi Inovasi (Kasus Petani Sayuran di Provinsi Jawa Barat)” Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanaian Bogor. Asdi, Agustar. 1996. Sustainability of Food and Nutrition Diversification Project in West Sumatra. Indonesia – Disertasi UPLB Philippina.
298 Aziz, Nasrun. 1995. Hubungan Karakteristik Petani dan Aktivitas Komunikasi dengan Tingkat Pengetahuan Mereka Tentang Dampak Perladangan Berpindah dan Pola Pertanian Menetap di Kecamatan Jarai Kabupaten Lahat. Thesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Basit, Abdul. 1995. Analisis Ekonomi Teknologi Usahatani Konservasi Pada Lahan Kering Berlereng di Wilayah Hulu DAS Jratuseluna, Jawa Tengah. Thesis. Magister Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Castillo, E. R. 1979. Participation and Training Needs of RIC Members In Selected Municipalities of Ilocos Sur. Thesis Magister Scinece UPLB Philippina. Dede, Valentinus Ladja. 1985. Pengaruh Teknologi Pola Tanam pada Pendapatan Petani di Daerah yang Beriklim Kering (Kasus wilayah pengembangan pertanian AROKI, di NTT) Thesis. Magister Sains. Sekolah Pascasarjana IPB. Hutagalung, Zekson. 2002. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Interaksi masyarakat Sekitar Hutan dengan Taman Nasional Bukit Barisan. Skripsi. Universitas Lampung. Ibrahim, Jabal Tarik. 2001. Kajian Reorientasi Penyuluhan Pertanian ke Arah Pemenuhan Kebutuhan Petani di Provinsi Jawa Timur. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pambudy, Rachmat. 1999. Perilaku Komunikasi, Perilaku Wirausaha Peternak, dan Penyuluhan dalam Sistem Agrobisnis Peternak Ayam. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Permana, Entjang. 1994. Persepsi Petani Kecil Terhadap KUD. Thesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Purnomo, Heri. 2003. A Modeling Approach to Collaborative Forest Management. Disertasi Doktor. Sekkolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Panggabean, Riana. 2001. Kompetensi KUD dan Koperasi Agrobisnis Susu dan Tantangannya. Kasus di Kabupaten Bnadung, Jawa Barat, dan Kabupaten Malang Jawa Timur. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana IPB Bogor. Rosalia, Feni. 2000. Karakteristik Budaya dalam Komunikasi Lintas Budaya antar Suku Lampung dan Suku Jawa di Keluarahan Jagabaya 1 dan Perumnas Way Halim, Kota Bandar Lampung. Thesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rugandi, Boetje. 1991. Migrasi di Kalangan Suku Pamona. Studi Kasus di Desa Peura, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Thesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suparta, Nyoman. 2001. Perilaku Agrobisnis dan Kebutuhan Penyuluhan Peternak Ayam Ras Pedaging. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Wa Ode, Muliastuty. 2003. Perencanan Penggunaan Lahan dan Pola Usahatani Berkelanjutan pada Lahan Kering di Desa Trimulya, Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara. Thesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
299 Wulandari, C. 1999. Prediction of Sustainability of Various Home Garden in Lampung Province - Indonesia Using AHP and Logic Models. Disertasi. UPLB Philippina. Yani, Adhanoor. 1995. Analisis Permasalahan Peladang Berpindah dan Perambah Hutan dalam Mengikuti Program Pemukiman Penduduk, Studi Kasus di Kabupaten Dati II, Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Thesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Zulfarina. 2003. Persepsi dan Partisipasi Petani Terhadap Usaha Pertanian Konservasi: Studi Kasus Kelompok Pengelola Hutan Kemasyarakatan di Kawasan Hutan Lindung Register 45 B, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. Thesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Elektronik Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanian (BIPP). Panduan Kebijakan : Mengembangkan Penyuluhan Pertanian Partisipatif. (2004) tersedia pada http://deliveri.org/ Guideline/ Implementation/ig. Diakses pada 2 Oktober 2004. Internet Golmen, Daniel. 2004. Competency tersedia pada http://www.aja.4hr.com./service/ competence _capablity.shtml. diakses pada 22 September 2004. Internet Lasmanhadi, A. 2002. Sistem manajemen Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi. tersedia pada http://www.sdm.go.id. diakses pada 22 September 2004. Internet. Schoonover, Stephen C. 2003. How Can Behavioral Factor be Used to Drive Process Excellence tersedia pada http://www.schoonever.com. diakses pada 16 Mei 2006 Internet. NN. 2003. Competency Dictionary. tersedia pada http://www.product.comprehensive. competency htm. diakses pada 16 Mei 2006. Internet. Materi Lain yang Dipublikasikan Asngari P.S. 2001. “Peranan Agen Pembaharuan/ Penyuluh dalam Usaha Memberdayakan (empowerment) Sumber Daya Manusia Pengelola Agrobisnis” Orasi Ilmiah Guru Besar tetap Ilmu Sosial Ekonomi. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. 15 September 2001. Suhendang, Endang. 2004. Kemelut dalam Pengurusan Hutan; Sejarah Panjang Kesenjangan antara Konsepsi Pemikiran dan Kenyataan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. (Fotocopy). Sukmana. 1990. Petunjuk Teknis UT Konservasi DAS. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air. Salatiga. (Fotocopy)
300
LAMPIRAN 1 PETA LOKASI PENELITIAN
(tidak tersedia file dalam word)
301
LAMPIRAN 2 IZIN PENELITIAN (tidak tersedia file dalam word)
302
LAMPIRAN 3 KUESIONER PENELITIAN
303
KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETANI TEPI HUTAN DENGAN PERILAKU MELESTARIKAN DI 12 DESA DI SEKITAR HUTAN LINDUNG DI PROVINSI LAMPUNG Oleh: Pitojo Budiono Dosen Unila – Mahasiswa IPB, BOGOR
PETUNJUK 1. Bacalah setiap pertanyaan dengan baik, dan pilihlah jawaban yang dianggap paling benar dengan memberi tanda (√ ) pada kolom yang telah disediakan.
2. Apabila terdapat pertanyaan meminta jawaban tertulis, mohon diisi dengan penjelasan singkat.
3. Telitilah kembali jawaban saudara dan pastikan bahwa tidak ada jawaban yang terlewatkan.
4. Terima kasih
Identitas Responden.
a. Nama:
======= BAGIAN I ======== N o: ...... Tanggal : ........./...... / 2005 Desa : .............................
: ...................................
b. Jenis Kelamin : ................................
Kecamatan : ....................
c. Umur
Kabupaten : ....................
: ...................... Tahun
d. Lama Tinggal : Sejak tahun ............
atau sudah .......... tahun
e. Transmigran (Spontan / Pemerintah) / bukan f. Alasan Datang : 1. Meningkatkan pendapatan 2. Mengikuti jejak teman yang berhasil 3. Anjuran Pemerintah 4. Lahan hutan yang masih banyak/ luas
304 5. Lainnya, sebutkan .................................
¸Contoh: Status kepemilikan lahan yang bapak / ibu garap adalah milik: ................. a. Milik Sendiri, √ b. Sewa c. Bagi hasil d. Pemerintah ======= BAGIAN II ====== Karakteristik Responden 1. Darimana asal suku orang tua bapak/ ibu? a. Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur) b. Sunda (Jawa Barat) c. Sumendo d. Lampung 2. Pendidikan terakhir bapak/ ibu? a. Tidak Sekolah b. SD kelas ............. (Lulus / tidak) * c. SMP kelas ............ (Lulus / tidak) * d. SMA kelas ............ (Lulus / tidak) * e. Akademi / Univeristas .......... Lulus / tidak Apakah bapak / ibu pernah mengikuti suatu kursus yang berkaitan dengan kehutanan atau pertanian konservasi? (”ya” berapa kali............. ) / tidak Bila ”ya” tentang apa dan siapa penyelenggaranya? ................................................................................................................... ................................................................................................................... 3. Sudah berapa lama bapak/ ibu mengusahakan dan mengelola lahan di sekitar kawasan hutan?... ........... tahun 4. Berapa luas lahan bapak/ ibu yang dikelola a. Yang berada di luar kawasan hutan lindung ................ ha / m2 / rantai * b. Yang berada dalam kawasan hutan lindung ................. ha/ m2 / rantai * 5.
Sudah berapa kali bapak membuat pembibitan dan menanam tanaman keras/ MPTS ke lahan di dalam kawasan hutan ? ............................ / ............................
6. Status kepemilikan lahan yang bapak / ibu garap adalah milik: ................. a. Milik Sendiri, b. Sewa c. Bagi hasil d. Pemerintah
305
* = Coret yang tidak perlu
7. Berapa orang yang menjadi tanggungan bapak/ ibu dalam keluarga ? ........... orang No
Nama
Umur
Hubungan
Pendidikan
Keterangan
1 2 3 4
8.
Dalam satu bulan bapak / ibu berapa kali pergi keluar dari kampungnya...... a. Tidak pernah b. 1 – 2 kali dalam sebulan c. 3 – 5 kali dalam sebulan d. Lebih dari 6 kali dalam sebulan.
9.
Siapa yang dituju ketika bapak / ibu pergi keluar kampungnya a. Penyuluh / instansi pemerintah b. LSM / swasta c. Pedagang d. Petani
10. Media apa yang bapak/ ibu gunakan untuk mendapatkan informasi ? a.
Radio
berapa jam ............mendengarkan/ hari dan
ttg apa ................................ b. TV
berapa jam ............ melihat / hari dan
ttg apa ............................. c. Koran
berapa kali ............ membaca dalam satu minggu dan
ttg apa ........................... d. Yang lain sebutkan .................................................................................
11. Berapa kali bapak / ibu mendapatkan kunjungan penyuluh ? a. Tidak peranah b. Pernah, ............ kali dalam ......... bulan terakhir Æ penyuluh dari............. c. Pernah, ............ kali dalam ........ bulan terakhir Æ penyuluh dari .......... d.
Yang lain, sebutkan ................................................................................
306 12. Sumber pengahasilan bapak/ibu setiap bulannya dari mana saja ? a. Kebun / ladang berupa ........................ b. Sawah berupa ................................. c. Dagang berapa ................................. d. Sebutkan lainnya ......................
13. Apa saja pengeluaran ruamah tangga bapak / ibu dalam satu bulan ? (Isilah dengan singkat) ¸ Contoh: Uraian
Jumlah
Harga / kg
a. Minum 3 x 5 kg
a. Berapa kali bpk minum kopi dalam satu hari b. Berapa kebutuhan kopi dalam 1 bulan ?
Rp 5000 / kg
Pengeluaran Rumah Tangga Uraian
Jumlah
Harga / kg
…….. x .......... .kg ........... kg
Rp ........../ kg Rp ........../ kg
a. Makan a. Berapa kali keluarga bpk/ibu makan dalam satu hari b. Berapa kira-kira kebutuhan beras dalam sebulan ? c. Bila tidak mengkonsumsi beras, sebutkan jenisnya .................... Lauk Berapa anggaran untuk keperluakan makan dalam sebulan ?
Jenis a. Tahu - Tempe b. Telor c. Ayam d. Ikan Kolam / sungai e. Ikan laut f. Daging g. Sayur ......................
Bumbu Dapur Berapa perkiraaan kebutuhan tiap minggu untuk membeli bumbu dapur ?
Jenis a. Minyak goreng
Berapa kali Rp ........../ kg Rp ........../ kg Rp ........../ kg Rp ........../ kg Rp ........../ kg Rp ........../ kg Rp ................
Jumlah
b. Garam c. Bumbu masak d. Kecap e. Bawang putih f. Bawang merah b. Minum Berapa kebutuhan dalam satu minggu
Jenis Gula Kopi Teh Susu
Banyaknya ........kg / minggu ........kg / minggu ........bungkus / mgg ............/ kg / klg
Harga Rp ........... Rp ............. Rp ............. Rp ............ Rp ............. Rp .............
Harga tiap kg Rp......... Rp ........ Rp ....... Rp ......
307 ROKOK Beli Tembakau sendiri
c. Keperluan Pribadi Berapa rupiah yang bpk belanjakan untuk kebutuhan pribadi dalam satu bulan
d. Bahan Bakar Berapa yang bapak/ ibu belanjakan untuk kebutuhan bahan bakar dalam satu bulan
........../ bks/ hari ................./ minggu
Jenis Sabun mandi Sabun cuci Sikat gigi Odol Sampo Pakaian Sandal
Jenis Minyak Tanah Kayu bakar Bensin / solar Listrik
Rp .......... Rp ..............
Banyaknya
Harga
Banyaknya
Harga Rp........... / ltr Rp ......... / ikat
1 bln
Rp ..................
e. Pendidikan Berapa yang bapak / ibu keluarkan anggaran memenuhi Kebutuhan pendidikan dalam satu bulan
Jenis SPP Sragam Sepatu Buku Alat Tulis
Jumlah
Harga Rp .................. Rp ................... Rp ................... Rp ................... Rp ...................
f. Transpotasi Berapa yang bapak / ibu keluarkan untuk transpotasi dalam satu minggu / bulan*
Jenis Ojek Angkutan umum
Banyaknya
Harga Rp ................/pp Rp ................/pp
g. Kesehatan Berapa yang bapak/ibu gunakan untuk kebutuhan kesehatan dalam satu / minggu bulan
Jenis Berobat ke Puskes / mantri/ Dokter Beli Obat
Banyaknya
Besarnya Rp .............. Rp ..............
h. Biaya Sosial Berapa yang bapak / ibu keluarkan untuk kebutuhan sosial dalam satu bulan
Jenis Sumbangan Iuran RT/RW Iuran keamanan Iuran Kematian
Banyaknya
Besarnya Rp .................. Rp ................. Rp ................. Rp .................
308 Arisan
Rp ..................
i. Rekreasi Berapa besarnya Kebutuhan dalam satu bulan untuk rekreasi
Tujuan
Banyaknya orang
Total pengeluaran
j. Tabungan Berapa besarnya yang dapat disimpan dalam satu bulannya Uang Hasil panen .................... Hasil panen ...................... Yang lain .........................
Tempat menabung
Banyaknya setiap menabung
Ket.
k. Lain-lain Berapa yang bapak / ibu keluarkan untuk dalam satu bulan untuk
Jenis Perbaikan rumah Perabot dapur Perabot rumah tangga ..............................
Banyaknya
Harga......
14. Bila ada kebutuhan yang mendadak, bapak / ibu biasanya mendaptkan pinjaman uang dari mana? a. Keluarga b. Pedagang c. Koperasi d. Yang lain .................. ========= BAGIAN III ======= KOMPETENSI MELESTARIAKN HUTAN 15. Menurut bpk/ibu/sdr yang dimaksud dengan tanaman keras adalah: a. Tanaman tahunan b. Tanaman semusim yang menghasilkan buah c. Tanaman yang tumbuh di lahan tandus d. Tanaman yang berbuah keras 16. Salah satu manfaat adanya tanaman keras di ladang / hutan adalah: a. Sebagai pohon pelindung
309 b. c. d.
Penahan erosi Sebagai sumber kayu Sebagai penggangu
17. Pembibitan melalui biji, maka yang harus diperhatikan adalah: a. Kualitas asal tanaman (tanaman sehat, buah besar, lebat dan enak) b. Sempurnanya bakal / biji (baik secara fisik, utuh) c. Bebas jamur (tidak berpenyakit) d. Harga 18. Pengadaan bibit melalui stek dengan bantuan Roton F (obat pemercepat pertumbuhan akar) , maka yang perlu diperhatikan adalah: a. Daunnya b. 2-3 Mata batang dari bawah c. Tinggi rendahnya potongan d. Akar pohon 19. Menurut bapak dalam menyimpan biji bakal benih yang perlu diperhatikan ? a. Keringnya b. Lamanya c. Tingginya dari tanah d. Semuanya benar 20. Cara yang baik menyimpan biji yang sudah kering adalah dengan: a. Dikarung dan digantung b. Dihampar di lantai c. Diletakkan di tanah d. Direndam kemabali 21. Penanaman bibit melalui cabutan, maka yang perlu diperhatikan adalah: a. Keutuhan akar, b. Banyaknya daun yang disisakan c. Ada kesamaan tanah asalnya d. Buah 22. Penanaman bibit dari biji (dalam persemaian), maka yang perlu diperhatikan adalah: a. Besarnya biji b. Utuhnya biji c. Banyak sedikutnya biji yang ada d. Kualitas biji dan persemaian 23. Kebutuhan cahaya matahari pada bedeng yang ideal adalah: a. b. c. d.
Matahari langsung tanpa penutup 100% Angin saja Tidak perlu matahari. Teduh
310 24. Menjaga kualitas benih dalam bedeng, maka perlu ada perlakuan: a. Penyuluhan b. Pasar dan Koperasi c. Penyiangan dan penjarangan d. Harga 25. Identifikasi(=ciri) tempat penyerangan hama dapat terjadi pada: a. Semua bagian dari tumbuhan b. Batang c. Daun d. Akar 26. Contoh tanaman terserang penyakit ialah: a. b. c. d.
Tumbuh kerdil Bunga lebat Daun segar Daun Lebar
27. Cara mengendalikan hama penyakit melalui kimia ialah dengan : a. Dibiarkan sampai habis dan mati hamanya b. Merubah pola tanam c. Tanaman yang terserang diambil dan terus dibakar d. Menyemprot pestisida dengan dosis yang banyak 28. Pengendalian hama dan penyakit yang ramah lingkungan adalah dengan: a. Menggunakan predator (pemakan serangga) b. Memakar tanaman yang terserang hama c. Menggunakan insektisida yang tepat d. Menggunakan perangkap lalat 29. Pola tanam yang dianggap mengungkan oleh bapak/ibu di hutan adalah a. Polycultur / tumpang sari b. Monokultur c. Kebun Sayuran d. Sawah 30. Keuntungan pola tanam polycultur/ tumpangsari adalah: a. Selalu ada yang dipanen b. Lahan rimbun c. Lahan tidak erosi d. Lahan subur. 31. Menghitung keuntungan usahatani adalah ......... a. Hasil penjualan usahatani – pajak b. Biaya produksi usaha tani + transpotasi c. Hasil penjualan usahatani – biaya produksi d. Hasil penjualan usahatani + biaya produksi
311 32. Dalam menyiapkan lahan, maka perencanaan biaya produksi sebaiknya dilakukan: a. Sebelum pelaksanaan b. Saat Pelaksanaan c. Sesudah pelaksanaan d. Setiap saat 33. Dalam mengambil keputusan di atas dasar pertimbangnnya: a. Mengikuti anjuran teman/ tetangga b. Mengikuti anjuran penyuluh c. Memperhatikan pasar / kebutuhan d. Memperhatikan kelestarian 34. Orientasi (harapan) dalam keputusan pengelolaan lahan agar : a. Mendapat keuntungan yang besar b. Memanfaatkan kesempatan c. Menyiapkan bekal untuk anak cucu d. Terjadinya keseimbangan kelestarian dan kebutuhan 35. Waktu yang tepat untuk menjual hasil usahatani adalah: a. Ketika banyak permintaan b. Ketika sedikitnya barang c. Ketika datangnya musim d. Ketika datangnya pembeli 36. Memilih waktu menjual usahtani yang cepat busuk sebaiknya adalah: a. Menjaul disaat masih muda b. Menjual ketika sudah masak / tua c. Menjual diperkirakan untuk masak di pasar d. Diserahkan pada pengijon 37. Pertimbangan bapak/ibu dalam memilih tempat menjual hasil usahataninya adalah: a. Pasar desa karena dekat b. Pasar Kecamatan karena harga lebih baik c. Membuka usaha di rumah d. Pengepul di desa karena praktis 38. Tempat yang tepat untuk menjual hasil usahatani yang tahan lama adalah a. Pasar desa dan kecamatan b. Langsung ke konsumen c. Pedagang keliling d. Langsung ke pengepul atau agen 39. Kelemahan menjual hasil usahatani kepada pengijon tidak dapat sebagai pilihan karena: a. Terjamin kelancaran uangnya b. Harga cepat berubah c. Harga pasti d. Dibeli dengan murah 40. Menjual hasil usahatani dengan diolah dan dikemas, alasannya adalah :
312 a. b. c. d.
Supaya menarik Menambah harga jual Menambah tenaga Rapi
41. Pengembangan usaha tani agar lestari maka diperlukan teknologi yang......... a. Tepat dan murah b. Canggih c. Rumit d. Mahal 42. Tujuan penggunaan teknologi yang efesien adalah:` a. Mengurangi biaya produksi b. Meningkatkan kerjasama petani c. Mengurangi biaya rumah tangga d. Mengurangi biaya mencari informasi. 43. Kepentingan kelestarian usahatani menjadi tanggungjawab: a. Pemilik modal b. Petani penggarap c. Pemerintah d. Penyuluh. 44. Untuk menjaga kelestarian usahataninya maka diperlukan a. Tenaga banyak b. Tersedianya akses birokrasi c. Terpeliharanya aset usaha dengan baik d. Informasi penyuluhan 45. Untuk mengelola tenaga kerja, dasar pertimbangannya adalah: a. Jenis kelamin b. Beban kerja c. Ketrampilan yang dimiliki d. Betul semua. 46. Dalam menentukan kebutuhan tenaga kerja, maka yang diutamakan adalah: a. Jumlah orang b. Ketrampilan c. Hubungan keluarga d. Upah 47. Hutan sangat diperlukan oleh mahluk hidup karena: a. Sebagai sumber kehidupan b. Sebagai tempat rekreasi c. Sebagai sumber mata air d. Sebagai sumber kayu 48. Kelestarian hutan lindung menjadi penting karena; a. Dapat memberikan jaminan hidup pada anak cucu b. Dapat diambil kayunya
313 c. Dapat dibuka lahannya d. Sumber keuangan
49. Hal yang terpenting dalam berinteraksi (= berhubungan) adalah: a. Menjaga silaturahmi dengan keterbukaan, kejujuran, b. Saling menghormati c. Tidak membedakan suku d. Berkumpul jika ada perayaan 50. Bila ada orang yang beda pendapat dalam diskusi, maka sebaiknya: a. Ditentang pendapatnya b. Dibiarkan supaya puas c. Diejek karena beda d. Dihargai perbedaannya dan dicarikan titik temu (Kooperatif). 51. Partisipasi seseorang dapat terlaksana dengan baik bila ada: a. Kesempatan, b. Inisiatif, c. Kemauan, d. Uang 52. Kemampuan berpartisipasi setiap warga adalah : a. Sama b. Berbeda c. Tidak pasti d. Belum tentu. 53. Menurut bpk/ibu/sdr yang dimaksud dengan resiko adalah a. b. c. d.
Segala sesuatu yang berkaitan dengan takdir Segala sesuatu yang berkaitan dengan kerugian Segala sesuatu yang berkaitan dengan kecelakaan Segala sesuatu yang berkaitan dengan pengorbanan
54. Kerugian dalam setiap usaha selalu mungkin ada, oleh karena itu yang perlu diperhatikan adalah: a. Mempertaruhkan seluruh harta bendanya b. Mempertimbangkan keluarga c. Mempertaruhkan nyawa d. Mempertimbangkan maksimal kerugian. 55. Pelaksanaan acara ritual atau adat (seperti: pernikahan) , maka makna terpenting adalah: a. Simbolisasi b. Urutnya proses c. Lengkapnya urutan + syarat d. Semuanya benar 56. Nilai adat dapat dijadikan sebagai ukuran terhadap:
314 a. b. c. d.
Kadar kecintaan terhadap budaya asal Kadar kepatuhan pada norma adat Tanda ketinggalan jaman Tanda rendahnya pengaruh budaya asing.
57. Pengetahuan dari orang tua dalam mengelola lahan di hutan pada prinsipnya: a. Menjaga kelestarian b. Merusak kelestarian c. Menambah kelestarian d. Mengurangi kelestarian 58. Pengetahuan lokal terhadap pola tanam umumnya medasarkan pada: a. Berdasarkan dua musim (hujan dan kemarau) b. Berdasarkan musim hujan saja c. Berdasarkan hitungan rasi bintang (ada mongso (jawa) ) d. Berdasarkan anjuran pemerintah 59. Meniru sukses petani lain dalam burusaha tani adalah merupakan bagian dari: a. Adopsi (menerima hal baru) b. Menjadi pesaing c. Menjadi teman d. Inovasi / penemuan hal baru 60. Dalam mengadopsi hal yang perlu diperhatikan bila : a. Bertentangan dengan norma budaya setempat b. Merusak tatanan yang sudah ada c. Merugikan orang lain d. Mengakibatkan pertengkaran 61. Selain ketentraman dalam mengelola, mana yang perlu diperhatikan a. Kepastian hak kelola b. Kepastian hukum c. Kepastian bagi hasil d. Kepastian mengambil hasil 62. Kelestarian hutan lindung sangat ditentukan oleh: a. Keamanan lingkungan b. Kesadaran masyarakat c. Ketentraman masyarakat d. Ketangguhan POLHUT 63. Pengelolaan lahan di kawasan sekitar hutan harus tetap memperhatikan prinsip konservasi, hal penting karena: a. Hemat pupuk tanah subur b. Hemat tenaga c. Banyak hama d. Lahan berada di kelerengan dan sedikit air 64. Salah satu penerapan prinsip pengelolaan lahan dalam tindakan konservasi adalah: a. Pembuatan sumur resapan atau rorak
315 b. Pembukaan lahan c. Pembakaran lahan d. Pembuatan saluran air
65. Salah satu alasan dari rotasi tanaman adalah adanya: a. Pergantian musim penghujan dan musim kemarau b. Fluktuasi (naik turunnya) harga di pasar c. Banyaknya permintaan d. Menjaga komoditi . 66. Tujuan melakukan rotasi (pergantian) tanaman adalah: a. Meningkatkan kesuburan tanah dan hasil produksinya b. Kecilnya biaya c. Besarnya biaya d. Menurunnya kualitas tanah 67. Salah satu ciri dari tanah yang subur adalah: a. Tebalnya lapisan humus dengan warna kehitam-hitaman dan gembur b. Lapisan humus sedikit c. Banyak sedikitnya hama d. Basah-keringnya tanah
68. Menjaga kesuburan tanah yang baik adalah dengan menggunakan: a. Pupuk Kandang dan paduan pupuk kimia yang tepat. b. Pupuk kandang saja c. Pupuk Kimia saja d. Diberokan (dibiarkan) 69. Pembuatan teras bangku dan teras guludan dengan pembuatan saluran air yang baik, apabila lahan berada pada kelerengan: a. Kemiringan 2 % - 8 % b. Kemiringan 10 % – 15 % c. Kemiringan lebih dari 20 % d. Kemiringan lebih dari 70 % 70. Apabila ada tebing yang curam, maka sebaiknya tanaman yang diusahakan adalah: a. Jenis–jenis bambu b. Pohon Buah-buahan c. Jenis rumput-rumputan d. Tanaman Keras. 71. Dalam mengelola pertanian konservasi, pemilihan ”teras bangku” dasarnya adalah: a. Kuat dan mahal b. Murah dan mudah diterapkan c. Kuat dan kokoh d. Kelerengan diatas 45 % 72. Lahan yang landai, pembuatan teras bangku dapat diabaikan karena: a. Cukup dengan membuat guludan
316 b. Cukup membuat rorak c. Cukup buat strip dan menanami tanaman penahan jenis rumput d. Betul semua
73. Ciri dari tanaman yang mampu menahan erosi tanah adalah a. Berakar serabut b. Berakal tunggal c. Berakar panjang d. Berakar besar 74. Dalam menanam tanaman penahan erosi pada kelerengan 45 % sebaiknya: a. Berjarak panjang yaitu sekitar tiap 15 m b. Berjarak sedang yaitu sekitar 7 meter c. Berjarang dekat yaitu sekitar 2 meter d. Berjarang rapat tiap 1 meter 75. Dalam membuat saluran air pada teras bangku sebaiknya: a. Besar supaya air cepat habis b. Sedang supaya air tertahan c. Kecil supaya air tidak banyak hilang d. Sedang dan berumput supaya air tertahan dan saluran kuat 76. Hal yang penting diperhatikan dalam membuat saluran pembuangan air pada teras bangku supaya tahan lama adalah: a. Adanya pengaman saluran pembuangan b. Banyaknya jumlah saluran pembuangan c. Sedikitnya jumlah saluran pembuangan d. Banyak sedikitnya air. 77. Perubahan penggunaan lahan karena desakan penduduk sebaiknya mengupayakan lahan yang: a. Lahan sudah tidak subur lagi b. Subur dan ada penebangan hutan c. Subur dan mencari modal d. Lahan kritis dan diupayakan pemulihan 78. Salah satu contoh perubahan lahan yang baik di kawasan hutan lindung adalah: a. b. c. d.
Dahulu hutan sekarang desa Dahulu hutan sekarang kebun Dahulu hutan menjadi sawah Kawasan hutan yang gersang menjadi banyak tanaman keras
317
===== Bagian IV ===== ======== SIKAP PETANI TEPI HUTAN ======= PETUNJUK A. STS : Sangat Tidak Setuju B. TS : Tidak Setuju C. S : Setuju D. SS : Sangat Setuju
¸ Contoh: No
Pertanyaan
Pilihan Jawaban STS
TS
S
No
Pertanyaan
Pilihan Jawaban STS Sangat tidak setuju
78
Salah satu pertimbangan dalam pembibitan tanam keras kehutanan adalah aspek manfaat ekonomi
79
Salah satu pertimbangan dalam pembibitan tanam keras kehutanan adalah aspek manfaat ekologi
80
Untuk mendapatkan benih yang berkualitas, maka sebaiknya memperhatikan asal tanaman dan sempurnanya biji
81
Pengadaaan benih dari biji cenderung lebih murah
82
Dalam menyimpan benih tersebut prinsipnya adalah jangan sampai ada jamur.
83
Menyimpan benih biji yang baik adalah saat musim hujan
84
Penanaman benih dari biji sangat mudah dan murah
85
Dalam mengambil bibit dengan cara mencabut bibit di
SS
√
Dalam mengambil bibit dengan cara mencabut bibit di hutan yang penting adalah utuhnya akar dan kesesuaian lingkungan
TS
S
Tidak Setuju setuju
SS Sangat setuju
318 hutan yang penting adalah utuhnya akar dan kesesuaian lingkungan
No
Pertanyaan
Pilihan Jawaban STS Sangat tidak setuju
86
Pemeliharaan benih dalam bedeng dapat diidentikkan dengan merawat bayi balita
87
Untuk medapatkan benih yang baik dan berkualitas di dalam suatu bedeng, maka perlu ada perlakuan seleksi dan penjarangan bibit:
88
Salah satu cara mengidentifikasi tanaman terkena penyakit adalah tumbuhnya tidak normal seperti tanaman kerdil, daun cepat rontok, akar busuk, dan batang kering.
89
Tidak setiap hama itu merugikan lingkungan
90
Pengendalian hama yang ramah lingkungan yaitu dengan mendatangkan predator atau secara biologi.
91
Hama adalah mahluk hidup oleh karena itu kita sebagaii sesama ciptaan Tuhan oleh karena itu kita tidak berhak membasminya secara total
92
Menentukan pola tanam ”tumpangsari” adalah salah satu strategi dalam menjaga kelestarian hasil, dan kelestarian ekologi
93
Pengelolaan lahan dengan tanaman tumpangsari akan lebih menguntungkan dibanding monokultur
94
Pola tanam satu jenis tanaman dapat menjamin pasar
95
Menghitung keuntungan adalah hasil penjualan dikurangi biaya produksi
96
Dalam mengambil keputusan pengelolan, setujukah merupakan kesepakatan dengan istri
97
Dalam mengambil keputusan pengelolan, setujukah orientasinya hanya ekonomi
98
Waktu menjual hasil usahatani yang ideal adalah matangnya buah sehingga mendapat harga yang baik
TS
S
Tidak Setuju setuju
SS Sangat setuju
319
99
No
Ketepatan dalam menjual hasil usahatani akan berpengaruh pada harga jual yang tinggi/ baik
Sikap dalam Aspek Sosial Ekonomi Pertanyaan
Pilihan Jawaban STS Sangat tidak setuju
100
Tempat menjual usahatani yang pasti mendapat harga baik adalah di agen/ pengepul.
101
Memilih tempat menjual hasil usahatani sebaiknya mempertimbangkan faktor ongkos angkut, dan keramaian
102
Teknik menjual kredit lebih menguntungkan dibanding cash / tunai.
103
Dalam menjual hasil usahatani sebaiknya dilakukan secara bersama-sama dengan tetangga untuk menghemat ongkos angkut.
104
Teknologi untuk petani adalah teknologi yang tepat, mudah, sederhana dan murah.
105
Teknologi tidak perlu bila hasil sudah baik
106
Kelestarian usahatani menjadi tanggungajwab petani penggarap
107
Keberuntungan merupak faktor penentu kelestarian usahatani
108
Dasar pertimbangan memberi upah tenaga kerja adalah jenis kelamin,
109
Dasar pertimbangan memberi upah tenaga kerja adalah beban kerja dan ketrampilan yang dimiliki
110
Penebangan di hutan lindung sangat bertentangan dengan kelestarian walau diperlukan oleh masyarakat, karena lahannya subur
111
Anak cucu kita membutuhkan hutan yang lestari, oleh karena kelestarian hutan perlu dijaga
112
Setiap berhubungan dengan orang lain hendaknya dapat mengambil keuntungan dalam bentuk apapun
TS
S
Tidak Setuju setuju
SS Sangat setuju
320
113
No
Saling memberi, menghargai dan mendengarkan pendapat adalah kunci harmonisnya hubungan
Pertanyaan
Pilihan Jawaban STS Sangat tidak setuju
114
Partisipasi dalam pembangunan jalan di desa akan membawa pada pengorbanan tenaga dan waktu saja dan tidak ada manfaaatnya
115
Partisipasi tidak perlu karena untuk memenuhi dirinya sendiri saja masih kurang.
116
Resiko adalah salah satu bentuk dari pengorbanan
117
Kegagalan dalam berusahatani, adalah resiko petani, karena resiko selalu ada
118
Nilai budaya atau adat kebiasaan orang tua sulit dipertahankan karena nilai adatnya kuno:
119
Segala sesuatu yang berkaitan dengan adat adalah mistik.
120
Pengetahuan lokal dari orang tua tentang pengelolaan lahan umumnya berkaitan dengan prinsip kelestarian
121
Pengetahuan dari nenek moyang adalah sama dengan pengetahuan lokal
122
Saran pedagang jauh lebih baik dibandingkan dengan saran dari penyuluh atau petani lain
123
Menerima saran penyuluh dan melakukannya perlu bukti terlebih dahulu
124
Dalam mengelola lahan di hutan yang penting adalah ketentraman
125
Keamanan dalam mengelola kelestarian hutan tidak penting
TS
S
Tidak Setuju setuju
SS Sangat setuju
321
No
Pertanyaan
Pilihan Jawaban STS Sangat tidak setuju
126
Mengelola lahan di sekitar kawasan hutan berbeda dengan mengelola lahan di kawasan dataran rendah
127
Mengelolaan lahan dalam kawasan hutan harus memperhatikan teknik konservasi
128
Rotasi tanaman dapat memutus mata rantai hama
129
Dalam pengelolaan lahan di hutan lindung, supaya tanah tetap terpelihara unsur haranya adalah dengan melakukan rotasi tanaman
130
Kesuburan tanah adalahl modal suksesnya usahatani:
131
Menjaga kesuburan tanah yang baik adalah dengan menggunakan pemupukan rutin
132
Tidakan konservasi lahan tidak diperlukan karena membuang tenaga dan biaya saja
133
Prinsip tindakan konservasi adalah semurah mungkin biayanya, dan seoptimal mungkin fungsinya, sehingga mudah dan murah diterapkan
134
Pola tanam yang mengikuti kontur, dapat menghemat pembuatan teras.
135
Penentuan teras didasarkan pada kontur / kelerangan
136
Semua jenis tanaman dapat menahan erosi.
137
Kerapatan tanaman dapat menjadi penahan erosi yang baik
138
Prinsip pembuatan saluran air pada teras adalah mencegah rusaknya banguan teras.
139
Sifat air dalam permukaan tanah liat (lempung) pada teras bangku yaitu masuk kedalam tanah
140
Alasan dilakukan perubahan penggunaan lahan di
TS
S
Tidak Setuju setuju
SS Sangat setuju
322 hutan lindung karena bertabahnya penduduk 141
Perubahan penggunaan lahan karena desakan penduduk sebaiknya mengupayakan lahan yang kritis dan diupayakan pemulihan
=========== BAGIAN V ========== KETRAMPILAN MELESTARIKAN
Petunjuk: Berilah tanda v pada kolom yang telah disediakan sesuai pilihan dengan tindakan bpk/ibu/sdr kuasai (trampil) STT TT T ST
= Sangat Tidak Trampil / tidak bisa = Tidak Trampil / bisa = Trampil = Sangat Trampil
¸ Contoh: Uraian Kegiatan
Kualitas Sangat Tidak Trampil
Tidak Trampil
Trampil
Sangat Trampil
Bagaimana cara bpk/ibu melakukan pengadaan bibit
√
a. Memilih batang stek b. Melalui cabutan
√
Uraian Kegiatan
Kualitas Sangat Tidak Trampil
142 Bagaimana cara bpk/ibu melakukan pemilihan jenis tanaman keras yang cocok sebagai pohon pelindung di kebun? a. Berdasarkan jenis tanaman yang diusahakan b. Berdasarkan kelerengannya 143 Bagaimana cara bpk/ibu melakukan pengadaan bibit a. Memilih batang stek b. Melalui cabutan 144
Bagiaman bpk/ibu mempersiapkan lahan untuk penanaman benih?
a. Menentukan jarak tabur benih dan kedalaman b. Menentukan ukuran bedeng untuk jumlah sekitar 500 pohon durian
Tidak Trampil
Trampil
Sangat Trampil
323 145. Bagaimana cara bpk/ibu melakukan identifikasi terhadap adanya hama pada tanaman ? a. Pada daun b. Pada batang No
Pertanyaan
Pilihan Jawaban Sangat Tidak Trampil
146. Bagaimana cara bpk/ibu melakukan pencegahan terhadap adanya serangan hama a. Hama Ulat pada daun b. Hama pada batang 147. Bagaimana cara bpk/ibu melakukan pola tanam ? a Disesuaikan dengan kemiringan lahan b Disesuaikan dengan luas dan jumlah komoditi yang dinginkan 148.
Bagaimana cara bpk/ibu menentukan harga jual? a Menghitung besarnya biaya usahatani + untung 20 % b Menghitung harga pokok saja (asal modal kembali)
149. Bagaimana cara bpk/ibu memilih tempat menjual hasil ? a Menentukan lokasi di pasar b Menentukan lokasi di jalan umum 150. Bagaimana cara bpk/ibu menghemabt biaya teknologi a Mengadakan bibit sendiri b Meningkatkan efesiensi pemupukan 151. Bagimana cara bpk/ibu menggunakan pengaturan uang dalam menjaga kelestarian usahataninya? a Dalam mengelola kebutuhan ushatani b Dalam mengelola kebutuhan rumahtangga 152
Bagiaman cara bpk/ibu memperlakukan orang yang baru dikenal bila ? a. Sesama petani c. Dengan penyuluh/ pamong/ aparat
153
Bagaimana cara bpk/ibu mengatur terlibatan? a. Suatu kegiatan pada hari dan jam yang sama b. jika tidak memiliki kesempatan
Tidak Trampil
Trampi
Sangat Trampil
324
154
No
Bagaimana cara bpk/ibu mengetahui kendalakendala dalam usahatani MPTS dan sayuran? a. Menyelidiki kondisi pasar (harga) c. Banyaknya hama penyakit Pertanyaan
Pilihan Jawaban Sangat Tidak Trampil
155
Bagaimana cara bpk/ibu melakukan pengelolaan lahan berdasar pada Kebiasaan orang tua (nenek moyang). a. Pada penyimpanan b. Pemilihan waktu tanam
156
Bagimana cara bpk/ibu melakukan adopsi pengelolaan usahatani ? a. Pada kesuksesan petani lain b. Saran dari penyuluh
157
Bagaimana cara bpk/ibu melakukan pengamanan terhadap: a. Lingkungan usahanya menjelang panen b. Lingkungan tempat tinggal
158
Bagimana cara bpk/ibu melakukan pengelolaan lahan tumpangsari a. Pada lahan datar b. Pada lahan yang memiliki kelerengan 15 %
159
Bagiaman cara bpk/ibu melakukan pengawetan kesuburan tanah? a. Melakukan pemupukan kimia b. menggunakan pupuk kandang
160
Bagaimanacara bpk/ibu melakukan tindakan konservasi a. pada lahan yang telah longsor (pembuatan teras dan penguat tebing) b. pada lahan yang berada pada kelerengan 20% (melakukan penanaman pohon pelindung)
161
Bagaimana cara bpk/ibu melakukan penanaman pohon penahan erosi? a. Pada lahan yang telah longsor b. Pada lahan yang potensial longsor
Tidak Trampil
Trampi
Sangat Trampil
325
Terima Kasih
CHECK LIST MELESTARIKAN DAN PERTANIAN KONSERVASI STT = Sangat Tidak Trampil / tidak bisa TT = Tidak Trampil / bisa T = Trampil ST = Sangat Trampil Berililah tanda ( √ ) pada kolom yang telah disediakan. Uraian Kegiatan Aspek Teknis Melestarikan Ketrampilan dalam memilih tanaman keras * Berdasarkan jenis tanaman yang diusahakan * Berdasarkan kelerengan Ketrampilan dalam mengadakan bibit tanaman * Pengadaan melalui biji * Pengadaan melalui stek * Pengadaan melalui cabutan Ketrampilan dalam menyimpan benih * Mengemas ketika biji sudah kering * Menyimpan sementara benih cabutan (sudah ada akar dan daun) Ketrampilan dalam menanaman benih * Menentukan jarak tabur benih dan kedalaman * Menentukan ukuran bedeng untuk tanaman MPTS 500 pohon (durian) *menetukan komposisi pupuk dan tanah * Ketika masih dalam bedeng * Ketika sudah berbuah Ketrampilan mengidentifikasi hama penyakit * Pada daun * Pada Batang Ketrampilan dalam mengendalikan hama penyakit * Hama lalat buah * Hama Ulat pada daun Ketrampilan dalam menentukan pola tanam * Tumpangsari / poly cultur tanaman semusim
Kualitas STT
TT
T
ST
326 * Sayuran Aspek Sosial Ekonomi Ketrampilan dalam merencanakan biaya produksi * Menghitung biaya pembelian bibit. 1 ha * Menghitung biaya pembelian pupuk 1 ha Uraian Kegiatan Ketrampilan dalam mengambil keputusan pengelolaan usahatani * Disesuaikan dengan kemiringan lahan * Disesuaikan dengan jenis komoditi Ketrampilan dalam memilih waktu jual usaha tani * Dipetik dan dipilih buah yang bagus * Memisahkan hasil panen yang kualitasnya bagus, sedang, dan jelak Ketrampilan menentukan harga jual * Menghitung besarnya biaya usahatani + keuntungan 20 % * Menghitung harga pokok saja (asal modal kembali) Ketrampilan dalam memilih tempat menjual hasil usahatani * Menentukan lokasi di pasar * Menentukan lokasi di tepi jalan Ketrampilan dalam menerapkan teknik mengemas (penjualan) * Mengemas hasil usahatani buah * Mengemas dalam peti / keranjang Ketrampilan dalam mengatur biaya teknologi yang efesien * Mengadakan bibit sendiri * Meningkatkan efesiensi pemupukan Ketrampilan dalam menjaga kelestarian usahatani * Dalam mengelola kebutuhan ushatani * Dalam mengelola kebutuhan rumahtangga
Ketrampilan dalam pengelolaan tenaga kerja * Berdasarkan jenis pekerjaannya * Berdasarkan ketrampilan Ketrampilan dalam menerapkan persepsi kelestarian * Pesan pada sesama petani * Pada anaknya Ketrampilan dalam berInteraksi * Dengan sesama petani * Dengan pedagang
Kualitas STT
TT
T
ST
327
Ketrampilan dalam berpartisipasi * Jika ada suatu kegiatan pada hari dan jam yang sama * Jika tidak memiliki kesempatan
Kualitas
Uraian Kegiatan Ketrampilan menghadapi resiko * Menyelidiki kondisi pasar (harga) * Banyaknya hama penyakit Ketrampilan dalam menerapkan nilai adat-budaya asal (suku) * Berpesan pada orang yang lebih muda * Berpesan pada orang yang lebih tua Ketrampilan dalam menerapkan pengetahuan lokal * Pada penyimpanan * Pemilihan waktu tanam Ketrampilan dalam melakukan adopsi * Pada kesuksesan petani lain * Saran dari penyuluh Ketrampilan dalam menjaga keamanan dan Kelestarian * Lingkungan usahanya menjelang panen * Lingkungan tempat tinggal * Kebutuhan anak – cucu Ketrampilan dalam mengelola lahan untk tumpangsari * Pada lahan datar * Pada lahan yang memiliki kelerengan 15 % Ketrampilan dalam melakukan rotasi tanaman * Menanam jenis sayuran yang berbeda pada musim berikutnya. * Pergilirannya adalah: kacang-kacangan, kobis- kobisan, dan umbi-umbian Ketrampilan dalam menjaga kesuburan tanah * Melakukan pemupukan kimia * Menggunakan pupuk kandang
Ketrampilan dalam melakukan tindakan konservasi * Pada lahan yang telah longsor (teras dan penguat tebing) * Pada lahan yang berada pada kelerengan 20% (melakukan penanaman pohon pelindung) Ketrampilan dalam memilih jenis teras berdasarkan kontur * Berdasarkan kelerengan
STT
TT
T
ST
328 * Berdasarkan keterbatasan bahan Ketrampilan dalam mengaplikasikan tanaman penahan erosi * Pada lahan yang telah longsor * Pada lahan yang potensial longsor Kualitas
Uraian Kegiatan Ketrampilan dalam mengelola air pada ” teras” * Membuat saluran air yang tepat * Lubang resapan pada lahan pertanian Ketrampilan dalam menggunakan lahan * Pada lahan sempit yaitu kurang dari 500 m2 * Pada lahan luas yaitu lebih dari 2 ha
TERIMA
KASIH
STT
TT
T
ST
329
LAMPIRAN 4 PROPORSI PENDAPATAN PETANI
330
331
PROPORSI PENDAPATAN NON USAHA TANI 100
y = -0.0088x + 73.555 2 R = 0.0012
90
80
70
Aspek Sosek
60 Prop pendapatan non tani Linear (Prop pendapatan non tani)
50
40
Keterangan: - Ojek - Warung - Buruh - Tukang
30
20
10
0 0
20
40
60 Proporsi Pendapatan Tani
80
100
120
332
PROPORSI PENDAPATAN USAHA TANI 100 y = 0.0088x + 72.674 2 R = 0.0012
90
80
70
Aspek Sosek
60 Prop pendapatan tani Linear (Prop pendapatan tani)
50
40
Keterangan: - Kopi - Coklat - Pisang - Petai - Jagung
30
20
10
0 0
20
40
60 Proporsi Pendapatan Tani
80
100
120
333
KLASIFIKASI PENDAPATAN PETANI 100
90
80 y = 0.5863x + 71.907 2 R = 0.0033
70
60
50
40
Sedang
Rendah
Tinggi
30
20
10
0 0
0.5
1
1.5
Skla pendapatan 1- 4
2
2.5
3
3.5
334
335
LAMPIRAN 5 DIAGRAM HASIL UJI SEM (STRUCTURAL EQUATIONS MODEL)
(tidak tersedia file dalam word)