Antara Desa dan Marga: Pemilihan Struktur pada Perilaku Elit Lokal di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan 1 Dedi Supriadi Adhuri (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Abstract In this article I discuss the impact of Village Law No.5, 1979 on the social actions of local elites. Using a case study of a traditional community (marga) located in Lahat, South Sumatera, I argue that Village Law No.5, 1979 did not marginalise tradition or the traditional community. At a practical or behavioural level, actors, in this case local elites used both tradition and Village Law as references for their actions. However, these two structures, tradition and Village Law were subject to selection. The selection was based on the actors understanding about particular context and the goal(s) of their actions. When tradition offered efficient means for achieving their goals, they selected tradition as a reference point for their behaviour. In another context, when they saw that the Village Law offered more to suit their interest, they referred to it. It was also possible that, in a particular context, actors used and ignored the existence of some elements of both structures. In conclusion, I suggest that despite the fact that the application of the Village Law should have been understood to replace the traditional system of marga, people still used it as reference for their actions. Therefore, it would be misleading to say that Village Law has marginalised the traditional social organisation.
Pengantar Studi tentang pranata kepemimpinan tradisional sudah cukup banyak dilakukan di Indonesia. Salah satu isu pokok yang menjadi bahan kajian adalah posisi pranata kepemimpinan tradisonal dalam hubungannya dengan pengaruh-pengaruh yang datang dari 1 Tulisan ini merupakan revisi dari makalah yang dipresentasikan dalam panel: ‘Pranata Kepemimpinan Tradisional dalam Menghadapi Tantangan Globalisasi dan Otonomi Daerah’, pada Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-2: ‘Globalisasi dan Kebudayaan Lokal: Suatu Dialektika Menuju Indonesia Baru’, Universitas Andalas, Padang, 18–21 Juli 2001.
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
luar. Dalam lingkup ini, pengaruh negara (state) terhadap pranata kepemimpinan lokal menjadi isu primadona yang sangat banyak dibahas. Kesimpulan yang banyak dihasilkan dari studi yang memusatkan perhatiannya pada isu ini, dan yang menjelaskannya sebagai bagian dari masalah yang lebih luas, ialah terjadinya marjinalisasi pranata kepemimpinan tradisional oleh kekuatan-kekuatan struktural yang berasal dari negara. Argumen-argumen seperti ini dapat dilihat, misalnya pada Antlöv (1995), Suwondo (1997), Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri bekerjasama dengan Yayasan Ilmu-ilmu Sosial (1988), Kato (1989), dan Zakaria (2000).
1
Diskusi yang akan dikembangkan dalam tulisan ini juga akan membahas isu yang sama, yakni tentang hubungan pranata kepemimpinan tradisional dengan negara. Secara khusus, diskusi akan difokuskan pada upaya memahami pengaruh penerapan Undang-undang No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa terhadap perilaku elit lokal dengan mengambil kasus pada suatu komunitas marga (unit pemerintahan tradisional) di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Perilaku elit lokal pada kurun waktu akhir tahun 1960-an sampai dengan 1990an dianalisis dalam konteks 1) perebutan kursi pasirah (kepala marga), 2) masa transisi marga ke desa (menjelang tahun 1983), dan 3) pembentukan lembaga-lembaga desa setelah UU No.5 tahun 1979 diberlakukan (tahun 1983– 1990-an). Berdasarkan analisis itu, saya mengembangkan argumen bahwa pada tingkat perilaku sebenarnya tidaklah terjadi marjinalisasi aturan-aturan tradisional oleh aturanaturan yang bersumber dari negara. Atau, secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa UU No.5 tahun 1979 tidak benar-benar menghapuskan keberlakuan aturan-aturan yang mengakar pada stuktur tradisional. Pada konteks-konteks tersebut di atas, secara silih berganti aturan-aturan yang bersumber dari tradisi dan UU No.5 tahun 1979 diseleksi oleh para elit lokal. Elemen-elemen yang dianggap ‘menguntungkan’ digunakan sebagai rujukan perilaku mereka, sementara elemen-elemen yang dianggap ‘merugikan’ dikesampingkan atau dianggap tidak ada.
Setting
Jurai atau sumbay sendiri merupakan sistem organisasi sosial yang berbasiskan ikatanikatan genealogis. Suatu kesatuan sumbay bisanya merupakan sekelompok orang yang berasal dari nenek moyang (puyang) yang sama atau dalam ilmu antropologi sering disebut sebagai clan/lineage.2 Secara politik, marga adalah suatu sistem pengaturan komunitas di Sumatera Selatan yang diintroduksi oleh kesultanan Palembang kira-kira pada abad ke-18 (Pelaksana Pembina Adat Daerah Tingkat I Sumatera Selatan 1994; Rachman 1968). Sistem ini kemudian diadopsi oleh pemerintah kolonial Belanda, Jepang, dan Indonesia sebelum berlakunya UU No.7 tahun 1979. Nampaknya, secara teknik, pembentukan marga oleh kesultanan Palembang dilakukan dengan cara mengikat beberapa (dari tiga sampai puluhan) kesumbayan yang tinggal dalam wilayah berdekatan menjadi kesatuan organisasi di bawah kepemimpinan seorang pejabat yang disebut pasirah. Akibatnya, berbeda dari akar sosial budayanya, dalam konteks ini marga telah berubah menjadi organisasi kemasyarakatan dengan dasar ikatan teritorial. Dengan merujuk ke contoh Marga Mulak Ulu, gambaran umum sosok kelembagaan marga dapat dilihat pada bagan 1. Sebuah marga terdiri dari beberapa dusun, sementara sebuah dusun dapat terdiri dari beberapa kampung. Masingmasing kesatuan sosial ini secara berturut-turut dipimpin oleh seorang pasirah, kerio dan penggawa. Pembarap adalah pemimpin dusun (kerio) dari dusun tempat seorang pasirah tinggal. Seorang pembarap mempunyai wewenang untuk menggantikan posisi pasirah jika dia berhalangan.
Struktur kelembagaan marga dan desa Marga di Sumatera Selatan adalah suatu sistem pemerintahan tradisional yang secara sosial-budaya mengakar pada sistem organisasi sosial yang disebut jurai atau sumbay.
2
2
Kelompok masyarakat yang terikat dengan sistem pemerintahan marga mengaku bahwa mereka berasal dari tiga orang cikal bakal. Dalam sejarah lisan mereka dikatakan bahwa tiga orang itu muncul di Bukit Siguntang, Palembang. Turunan merekalah yang menyebar ke berbagai daerah di Sumatera Selatan.
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
Bagan 1 Struktur Pemerintahan Marga
Pada tingkat marga dan dusun, seorang pasirah dan kerio mendapat bantuan dari penghulu dan ketib untuk menyelesaikan urusan-urusan yang berhubungan dengan kehidupan keagamaan. Kemit marga dan Kemit dusun bertugas menyelesaikan urusan-urusan yang menyangkut keamanan. Dalam konteks teritori, marga memiliki wilayah yang jelas batas-batasnya.3 Dalam wilayah marga, ada wilayah yang tetap dikuasai pengelolaannya oleh marga di bawah kepemimpinan pasirah. Contoh untuk hal ini adalah hutan larangan marga.4 Semua kegiatan yang 3
Pada praktiknya, batas wilayah tidak jarang menjadi bahan konflik antara satu marga dengan marga lain atau antara dusun di dalam satu marga. 4
Keberadaan hutan larangan marga dan bagian lain dari teritori yang dikuasai marga melalui pasirah
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
berhubungan dengan pengelolaan hutan larangan marga diatur oleh pasirah. Jika ada orang yang membutuhkan kayu dari wilayah ini, ia harus meminta izin ke pasirah untuk mengambilnya. Selain itu, ada pula wilayah yang didistribusikan kepada dusun-dusun bawahannya. Untuk wilayah seperti ini, organisasi dusunlah yang memegang kekuasaan pengelolaannya. Tentu saja koordinasi dengan pasirah perlu pula dilakukan. Wilayah yang didistribusikan kepada dusun-dusun biasanya melingkupi wilayah pemukiman, pertanian dan perladangan serta apa yang disebut hutan ramuan, yakni tempat warga dapat memperoleh kayu dan hasil lainnya tanpa menjadi bahan pertanyaan setelah secara formal marga, yang juga berarti pasirah, dihapuskan melalui penerapan UU No.5 tahun 1979.
3
hak kepemilikan pribadi atau keluarga atas wilayahnya. Jika hutan ramuan tetap berada dalam kepemilikan komunal, kepemilikan wilayah perkebunan, pertanian, dan ladang didistribusikan kepada warga dari dusun-dusun yang bersangkutan. Berbeda dengan dusun, kampung biasanya tidak memiliki wilayah sendiri, tetapi berbagi wilayah yang sama dengan kampung lain yang berada dalam satu dusun. UU No.5 tahun 1979 diaplikasikan di Lahat atau Sumatera Selatan pada tahun 1983, yakni saat diterbitkannya Surat Keputusan (SK) Gubernur Kepala Daerah Sumatera Selatan Nomor 142/SKPTS/III/1983. Isu pokok SK gubernur yang merupakan petunjuk pelaksanaan UU No.5 tahun 1979 itu adalah, pertama, dibubarkannya marga. Kedua, pasirah dan semua perangkat marga diberhentikan dengan hormat. Ketiga, mendefinisikan dusun, dalam eks-marga, sebagai desa dalam pengertian UU No.5 tahun 1979. Keempat, diputuskan bahwa para mantan kerio, pemimpin dusun, menjabat sebagai kepala desa sampai diadakan pemilihan kepala desa sesuai dengan UU No.5 tahun 1979. Pemberlakuan SK Gubernur tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi. Dua di antaranya adalah pertama, konsekuensi yang berhubungan dengan pendefinisian dusun (dalam konteks marga) menjadi desa. Pendefinisian ini berarti bahwa setiap dusun haruslah memiliki wilayah sendiri yang terpisah dari wilayah dusun-dusun lainnya, karena wilayah merupakan syarat keberadaan sebuah desa (Kansil 1988). Setelah itu, pemekaran dan penggabungan desa juga harus mempertimbangkan wilayah, jumlah penduduk, dan lainlain seperti diatur dalam undang-undang tersebut. Konsekuensi kedua adalah pembentukan lembaga-lembaga desa seperti sekretariat desa, LMD/LKMD, kepala dusun (anak desa), dll. Keseluruhan bentuk lembaga dan siapasiapa yang menempati posisi pada lembaga-
4
lembaga desa ini juga diatur oleh UU Pemerintahan Desa. Pengaturan itu didasari oleh kriteria-kriteria administrasi negara dan, tentu saja karena lembaga desa adalah alat negara untuk mengontrol rakyatnya, aturan-aturan tersebut dimuatani oleh kepentingan negara (Kato 1989). Struktur kepemimpinan marga dan desa Posisi pasirah dalam struktur kepemimpinan tradisional sangat menarik karena diwarnai oleh kontradiksi antara sistem nilai atau struktur kultural dengan struktur politiknya. Struktur kultural yang menggambarkan posisi pasirah yang dimaksud adalah nilai yang mendefinisikan derajat seseorang dalam stratifikasi sosial komunitas marga. Sistem nilai ini menjelaskan bahwa komunitas marga dibagi ke dalam enam kategori yang tersusun secara vertikal dengan susunan dari tingkat terendah sebagai berikut: 1) gembel (‘orang miskin’), 2) la pacak nunggu dusun (‘orang yang telah pantas menunggu kebun’), 3) la nyantak daie (orang yang mukanya telah tampak/terang’), 4) la lemak nunggu dusun laman (‘orang yang punya dusun banyak/ luas’), 5) jurai elok, jurai bagus atau jurai gerot (‘pemimpin yang bagus atau besar’) dan 6) mancang pasirah (‘orang yang pantas menjadi pasirah’). Orang yang menduduki derajat paling bawah, gembel, adalah orang yang sudah menikah tetapi belum punya rumah dan sawah. Posisi orang seperti ini hanya akan meningkat jika dia berhasil mengusahakan untuk memiliki sebuah rumah, walaupun sederhana, sepetak sawah, sebuah kolam ikan, dan rangkiang (lumbung padi). Orang seperti ini telah naik derajatnya ke posisi la pacak nunggu dusun. Mereka telah dianggap sederajat dengan orang kebanyakan, artinya sudah tidak lagi terhina walau belum juga menempati posisi terhormat dalam masyarakat. Kenaikan derajat akan dialaminya saat dia telah
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
mampu memotong kerbau dalam ritual muji jurai (upacara ‘mengenang’ sejarah kelompok kekerabatan). Posisi demikian telah menunjukkan derajat la nyantak daie. Selanjutnya, posisi seseorang akan terus meningkat bersamaan dengan meningkatnya ekspresi-ekspresi kekayaan yang dimilikinya yang berkaitan dengan semakin besar jaringan yang berhasil dibinanya. Pada saat seseorang telah mampu mengawinkan anaknya dengan pesta secara besar-besaran, misalnya selama tiga, lima, sampai tujuh hari tujuh malam, hal itu berarti bahwa ia tidak hanya mampu mengekpresikan kemampuannya menyuguhkan begitu banyak hidangan, tetapi juga menyajikan hidangan pada sekian banyak orang. Pada akhirnya, derajat tertinggi dimiliki oleh mereka yang mempunyai kekayaan berlimpah dan jaringan yang luas dan kuat. Individu seperti ini telah dianggap layak menjadi seorang pasirah. Ia pun menempati derajat tertinggi dalam susunan masyarakatnya. Mengacu pada sistem nilai seperti itu, secara kultural, kepemimpinan pasirah dapat diidentikan dengan tradisi big man dalam literatur-literatur antropologi atau, paling tidak, dengan pola-pola kepemimpinan pada masyarakat yang tanpa negara (stateless) (Harris 1993:295–296, 308–312). Dalam perspektif ekonomis, kekuasaan seorang pemimpin pada masyarakat dengan sistem kepemimpinan seperti itu, diperoleh karena kemampuan untuk memamerkan dan mendistribusikan kekayaannya. Loyalitas anggota kelompok pada seorang pemimpin tergantung pada kemampuan pemimpin tersebut untuk mendistribusikan kekayaan atau sumberdayanya pada anggota kelompok sosial tersebut. Dalam kondisi demikian, pengikutnyalah yang lebih banyak menentukan kualitas kepemimpinan seseorang. Kekecewaan seorang pengikut atas perlakuan yang diterima dari pemimpinnya dapat dengan mudah menyebabkan berpalingnya orang yang
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
bersangkutan ke sosok pemimpin yang lain. Dalam perspektif politik, Southal (1968:165) mengatakan: The leader has no imperative authority, and apart from his undoubted prestige he seems to have far more obligations than rights. He supplies initiative in leading the band from camp to camp and in planning hunting and other activities. The more successful he is, the greater is the dependence upon him.
Menariknya, jika karakteristik kepemimpinan di atas dihubungkan dengan realitas kemargaan, maka kita akan menemukan keadaan yang tidak sejalan. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa secara politis sistem pemerintahan marga ‘dibentuk’ pada masa pemerintahan kesultanan (Muslimin 1986:9). Ini berarti justru kekuatan statelah yang telah membidani lahirnya sistem pemerintahan marga. Padahal dalam state community, pola kepemimpinannya justru dicirikan oleh pemusatan kekuasaan politik dan pengumpulan sumberdaya pada seseorang atau sekelompok elit masyarakat yang bersangkutan. Dalam konteks state community, kebesaran seorang pemimpin tergantung pada kemampuannya mengumpulkan sumberdaya. Dengan kemampuan itulah mereka mengakumulasi kekuasaan, di antaranya dengan menyewa ‘tentara’ untuk mampu memaksa pengikut agar tunduk kepadanya. Dalam mendeskripsikan proses perubahan dari chiefdomship—sebagai tahap akhir dari keadaan stateless community—ke state community, Harris (1993:312) menulis: …certain changes in a chiefdom’s political and economic structure become likely. First, the larger and denser the population and the greater the harvest surplus, the greater the ability of the elites to support craft specialis, palace guards, and a standing professional army. Second, the more powerful the elite, the greater its ability to engage in a long-distance warfare and trade, and to conquer, incorporate, and exploit new populations and territories. Third, the more powerful the elite, the more stratified its redistribution of trade wealth
5
and harvest surplus. Fourth, the wider the territorial scope of political control and the larger the investment in the mode of production, the less opportunity there is to flee and the less there is to be gained. Soon, contributions to the central store cease to be voluntary–they become taxes; access to the farm lands and natural resources cease to be the rights–they become dispensations; food produces cease being the chief’s follower–they become peasants; redistributors cease being chiefs–they become kings; and chiefdoms cease being chiefdoms–they become states.
Jika kita melihat posisi pasirah dengan kerangka seperti itu, dapat dinyatakan bahwa secara politik pasirah tidak pernah hanya berstatus sebagai representasi dari kepentingan-kepentingan kelompok pendukungnya. Sejak awal penunjukannya, posisi pasirah juga merupakan representasi dari kepentingankepentingan negara. Pasirah merupakan perpanjangan tangan, secara berturut-turut, dari rezim kesultanan, pemerintah kolonial Belanda, Jepang, dan terakhir pemerintah Indonesia. Selanjutnya, dengan menyimak sejarah kemargaan, kita mengetahui bahwa peran pasirah berubah seirama dengan perubahan struktur negara (state). Selalu terjadi modifikasi peran pasirah dari rezim state yang satu ke yang lain. Dalam hal ini, peran pasirah tentu saja ditentukan oleh kepentingan dari rezim-rezim tersebut. Satu hal yang tidak berubah ialah selalu diarahkannya peran pasirah oleh penguasa sebagai alat negara untuk mengontrol dan menguasai wilayah dan masyarakatnya. Pada saat UU No.5 tahun 1979 diimplementasikan melalui SK Gubernur pada tahun 1983, marga dibubarkan dan diganti oleh pemerintahan desa. Penghapusan sistem marga ini secara otomatis menghapus secara formal posisi struktural pasirah. Sebaliknya, diintroduksikan struktur kepemimpinan baru, yakni kepala desa, atau lurah di daerah perkotaan.
6
Berbeda dengan pasirah , peranan dan kewajiban kepala desa/lurah didefinisikan oleh negara dan, seperti sudah menjadi rahasia umum, secara struktural posisinya lebih merupakan perpanjangan tangan pemerintah untuk mengontrol masyarakat. Sistem politik authoritarian yang dikembangkan rezim Orde Baru tidak memungkinkan kepala desa menjadi wakil dari kepentingan-kepentingan rakyat. Isu penting yang ingin dikomunikasikan melalui pembahasan tentang posisi struktural pemimpin sistem pemerintahan lokal di atas ialah adanya beberapa bangun struktur yang mendefinisikan peran pemimpin lokal. Satu struktur berkembang dari adat-istiadat masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini, sistem nilai mengenai derajat seseorang dalam stratifikasi sosial komunitas marga melandasi posisi pasirah sebagai ‘penghamba pengikutnya’. Dengan sistem nilai itu, kekuasaan pun berada di tangan rakyat, atau berkarakteristik ‘daulat rakyat’. Struktur yang lain mengacu pada bangunan state yang berkarakteristik sentralisasi sumberdaya ekonomi dan kekuasaan pada kelompok elit. Daulat tidak berada di tangan masyarakat, tetapi di tangan ‘tuanku’. ‘Daulat tuanku’ jelas merepresentasikan kepentingan state.
Pemilihan struktur: antara marga dan desa Perebutan kursi pasirah Pemilihan pasirah terakhir pada marga Mulak Ulu terjadi pada tahun 1968. Dari beberapa orang warga yang mencalonkan diri pada pemilihan tersebut, terpilihlah RU sebagai pasirah. Namun demikian, walau menang dalam proses pemilihan, RU mendapat banyak hambatan untuk dapat dilantik sebagai pasirah. Salah satu sebab utama dari kesulitan itu ialah pengaduan para pesaingnya pada pejabat-
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
pejabat berwenang, seperti gubernur dan bupati, yang mengatakan ketidaklayakan RU untuk menduduki jabatan tersebut. Salah satu di antara pengaduan ditulis oleh salah seorang pesaingnya (SU) yang melaporkan bahwa ijazah RU tidak sah, dan kemenangan RU didukung oleh organisasi Muhammadiyah yang disokong oleh orang-orang berafiliasi politik Partai Komunis Indonesia (PKI). Pelaporan terakhir dibalas oleh RU dengan mengadukan bahwa saudara kandung dari pelaporlah yang justru terlibat dengan ideologi partai dan kegiatan terlarang tersebut. Selain sebagai upaya ‘balas dendam’, surat pengaduan RU itu juga berarti bahwa si calon pasirah yang dikalahkannya itulah yang justru tidak layak untuk menduduki jabatan pasirah karena tidak ‘bersih lingkungan’. Usaha penjegalan terhadap pasirah terpilih itu tampaknya gagal, karena RU tetap dilantik untuk menempati jabatan tersebut. Namun, ‘gangguan’ terhadapnya tetap berlangsung. Berbagai macam ketidakberesannya menjalankan tugas-tugas kepasirahan terus dilaporkan. Isu-isu dari pengaduan tersebut di antaranya berkisar sekitar masalah penyelewengan dana pemerintah, dan kegiatan penadahan barang-barang hasil kejahatan. Pada akhirnya, pengaduan-pengaduan tersebut ditanggapi oleh pejabat-pejabat berwenang. Atas usulan camat dan bupati sebagai atasan langsung pasirah, pada tahun 1979, Gubernur Sumatera Selatan memberhentikan RU dari posisinya sebagai pasirah dan mengangkat ST sebagai pejabat pasirah baru. Pengangkatan ST mengubah posisi perseteruan di antara mereka. Kini, ST yang menjadi sasaran gangguan RU dan kelompoknya. Isu pertama yang dimunculkan oleh RU dan kelompoknya untuk mengganggu ST ialah keterlibatan adik kandung ST dalam kegiatan yang berhubungan dengan PKI. Dalam hal ini, RU
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
mendapat dukungan, atau juga meminjam tangan mantan ketua organisasi Muhammadiyah di desanya. Gangguan lain datang dari kelompok di bawah koordinasi calon pasirah yang lain. Menariknya, kelompok ini tidak ‘menyerang’ melalui isu PKI, tetapi dengan mengumpulkan tanda tangan dari aparat marga dan tokoh masyarakat lain di atas surat. Surat itu berisi dukungan terhadap seseorang untuk menjadi calon pasirah pada pemilihan pasirah yang akan segera dilaksanakan menyusul diberhentikannya RU. Isu lain yang juga digunakan untuk merongrong ST adalah korupsi pada pendistribusian uang perangsang aparat marga yang berasal dari pemerintah, dan isu-isu pembangunan di wilayah marga yang bersangkutan. Menyimak politik kepasirahan di atas, ada dua hal yang dapat dicatat. Pertama, baik RU maupun ST telah mengadopsi state sebagai sumber legitimasi utama, jika bukan satusatunya, atas posisi kepasirahan. Bagi mereka, kriteria baik buruk, layak atau tidaknya seseorang menjadi pasirah didasarkan pada kesesuaian kondisi orang yang bersangkutan dengan karakteristik yang dituntut oleh struktur yang dibangun oleh negara. Hal ini didasari kenyataan bahwa isu keabsahan ijazah, dan keterlibatan ‘musuhnya’ dalam kegiatan yang berbau PKIlah yang dipakai sebagai alat untuk mendiskreditkan lawan politiknya. Jelaslah bahwa syarat pendidikan dan ‘bersih dari keterkaitan dengan kegiatan PKI’ adalah syarat yang bersumber pada aturan-aturan negara. Selain itu, pengaduan-pengaduan tersebut juga dilaporkan pada lembaga-lembaga yang berada dalam struktur bentukan negara, seperti gubernur, bupati, koramil, camat, dan lain-lain. Selain itu, tidak ada satu pengaduan pun kecuali dukungan pada calon pasirah yang lain, yang menunjukkan pemahaman anggota marga bahwa pola kepemimpinan seorang pasirah
7
adalah ‘daulat rakyat’. Rakyatlah yang sebenarnya menentukan apakah seseorang layak menjadi pasirah atau tidak dalam wujud dukungan atau penolakan. Jika mereka memang menggunakan aturan adat bahwa rakyatlah yang berkuasa atas penunjukan seseorang pasirah, maka keberatan dari berbagai pihak terhadap seorang pasirah seharusnya bukan ditujukan pada gubernur atau bupati, melainkan pada dewan marga. Dewan marga adalah organisasi yang—paling tidak seharusnya— merepresentasikan kepentingan-kepentingan rakyat. Kondisi itu terjadi sejak sebelum diundangkannya UU No.5 tahun 1979. Jika diasumsikan bahwa UU No.5 tahun 1979 merupakan struktur yang benar-benar merepresentasikan dominasi negara atas rakyatnya, maka pada praktik politik kepasirahan, para pemain politik itu telah memainkan isu ‘dominasi negara’ ini jauh hari sebelum UU itu dibuat, apalagi diberlakukan. Perilaku pasirah pada masa transisi Pada uraian tentang ‘Struktur kelembagaan marga dan desa’ telah dijelaskan bahwa wilayah merupakan pengikat utama dari marga. Ada wilayah yang tetap dikuasai marga. Karena itu, pengaturannya berada di tangan pasirah. Ada pula wilayah yang telah didistribusikan pada masing-masing dusun. Namun, kampung tidak mempunyai wilayah pengelolaan sendiri. Komunitas suatu kampung biasanya berbagi wilayah yang sama dengan komunitas kampung lain dalam dusun yang sama. Dalam konteks itu, menarik untuk melihat perkembangan dusun dan distribusi wilayah pada Marga Mulak Ulu (lihat tabel 1). Dalam majalah Soeloeh Marga yang terbit pada bulan Januari 1939, diterbitkan keputusan dari dewan rakyat Marga Mulak Ulu yang antara lain berisi pendistribusian hutan larangan marga ke-19 dusun. Dengan mengasumsikan bahwa hutan larangan marga itu didistribusikan pada semua
8
dusun bawahan marga, maka kita dapat menyimpulkan bahwa pada tahun 1939 hanya terdapat 19 dusun pada marga Mulak Ulu. Pada awal masa jabatannya sebagai pasirah tahun 1979, ST melaporkan bahwa wilayah marganya melingkupi 24 buah dusun dan 6 buah kampung. Jika kita menghitung satuan dusun, maka telah terjadi penambahan sebanyak lima buah dusun. Menjelang akhir masa jabatan ST, yakni beberapa saat sebelum marga dibubarkan pada tahun 1983, Marga Mulak Ulu telah berkembang menjadi 30 buah dusun. Artinya, kesatuankesatuan yang dilaporkan masih berwujud kampung pada tahun 1979, selang empat tahun kemudian telah naik derajatnya menjadi dusun. Tidak ada data yang dapat digunakan untuk menjelaskan apa yang melatarbelakangi penambahan jumlah dusun dari 19 pada tahun 1939 menjadi 24 pada tahun 1979. Namun, alasan pelebaran kampung Dusun Keban Agung pada tahun 1979, yakni sempitnya tanah pemukiman yang disebabkan oleh bertambahnya penduduk secara alamiah, merupakan alasan yang logis atas penambahan jumlah dusun-dusun tersebut. Beberapa informan mengatakan, pada banyak kasus, alasan penambahan penduduk—artinya mengecilnya rasio antara populasi dengan wilayah—itu yang melatarbelakangi banyak pemekaran atau pembuatan dusun-dusun baru. Jika demikian halnya kita dapat mengatakan bahwa adat telah memungkinkan terjadinya penambahan dusun dalam sebuah marga. Dengan asumsi bahwa setiap dusun memiliki wilayah sendiri, maka hal itu berarti bahwa adat telah mengakomodasi keperluan-keperluan pemecahan wilayah sebagai akibat pertambahan jumlah dusun. Hal ini berarti bahwa sepanjang tahun 1939–1979 telah terjadi pendistribusian wilayah marga pada lima dusun yang baru.
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
Tabel 1 Perkembangan jumlah dusun dan kampung Marga Mulak Ulu
Suatu hal yang menarik ialah bahwa alasan pengangkatan enam kampung menjadi dusun menjelang diterapkannya UU No.5 tahun 1879 bukanlah alasan yang berbasis pada perkembangan penduduk yang memang dimungkinkan oleh aturan adat. ST— pasirah yang mengambil keputusan pengangkatan status kampung-kampung tersebut menjadi dusun— mengatakan bahwa alasan dari kebijakannya itu adalah antisipasi terhadap pemberlakuan UU No.5 tahun 1979. ST mengatakan bahwa sebelum dibubarkannya marga pada tahun 1983, ia telah mengetahui bahwa penerapan UU tersebut akan dilakukan di Sumatera Selatan dengan cara menetapkan dusun-dusun menjadi desa. Sementara itu, kampung dalam sistem marga akan menjadi dusun (anak desa) dalam pengertian UU No.5 tahun 1979. Padahal, menurut perhitungan ST saat itu, jumlah desa akan menentukan besarnya dana yang diserap suatu daerah, karena sumbangan pembangunan desa didasari oleh perhitungan jumlah desa. Semakin banyak desanya, semakin banyak pula sumbangan pembangunan dari pemerintah pusat yang diterima oleh suatu daerah. Saat ditanya bagaimana peningkatan status kampung menjadi dusun itu dilakukan, ST mengatakan bahwa prosedurnya sangat sederhana dan tidak mengacu pada aturan adat. ST memanggil penggawa (kepala kampung) yang beberapa di antaranya dipanggil bersama tokoh masyarakat dari kampung yang bersangkutan. Ia lalu mengatakan: ‘Sekarang kamu jadi kerio,
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
buatlah stempel sendiri dan putuskan perkaraperkara yang ada di kampung sendiri, tanpa harus berkonsultasi kepada kerio induknya.’ Dengan perkataan lain, ST mengatakan bahwa ‘Sekarang kampung kamu telah menjadi dusun.’ Saat ditanya apakah kampung-kampung yang diangkat statusnya tersebut secara otomatis mendapat jatah wilayah sendiri seperti diatur oleh adat, ST mengatakan ‘tidak’. Alasannya, pembagian wilayah itu menjadi urusan adat; sementara peningkatan status itu hanya untuk keperluan administrasi sehubungan dengan akan diterap-kannya UU No.5 tahun 1979. Kasus peningkatan status kampung menjadi dusun tersebut terakhir menarik untuk disimak. Dalam perspektif ‘perilaku’, kebijakan pasirah ini mengacu pada dua perangkat struktur yang berbeda, yakni adat, dan aturanaturan dalam UU No.5 tahun 1979. Selain itu, kejadian ini juga menunjukkan bahwa baik adat maupun UU tidak mengikat ST untuk menjalankan kebijakannya secara konsisten. Bahkan tampak bahwa kebijakan itu dilandasi sikap acceptance dan denial terhadap aturanaturan tertentu yang ada pada UU maupun adat. Kebijakannya untuk menaikkan status kampung menjadi dusun dilandasi oleh sikap acceptance pasirah terhadap aturan yang menga-takan bahwa hanya dusun yang berubah statusnya menjadi desa saat UU No.5 tahun 1979 diaplikasikan. Kebijakannya untuk tidak memilah wilayah dusun dengan kampung (yang diangkat statusnya menjadi dusun) mencerminkan sikap acceptance pasirah terhadap adat yang mengatur prosedur tertentu untuk men-distribusikan wilayah marga kepada dusun. Sebaliknya, pengangkatan status kampung-kampung tersebut menjadi dusun adalah pengingkarannya (denial) terhadap aturan adat yang mengatakan bahwa peningkatan status kampung menjadi dusun harus dilakukan dengan alasan dan prosedur tertentu. Sementara itu, kebijakannya untuk
9
tidak membagi wilayah dusun dengan kampung yang diangkat statusnya merupakan pengingkaran terhadap UU No.5 tahun 1979 yang mengatakan bahwa setiap desa harus mempunyai wilayah sendiri. Pasirah dan kepala desa: pembubaran marga dan pembentukan lembaga desa Telah disebutkan bahwa konsekuensi dari pengaplikasian UU No.5 tahun 1979 adalah penghapusan lembaga-lembaga yang bersumber pada sistem marga. Misalnya, organisasi kemargaan yang dipimpin seorang pasirah yang membawahi penghulu, khotib, pembarap , kerio-kerio dusun serta Dewan Pertimbangan Marga. Sebagai gantinya, dibentuk lembaga baru sesuai dengan UU No.5 tahun 1979, yakni lembaga desa yang dipimpin oleh kepala desa, yang membawahi beberapa orang staf dan kepala dusun, Lembaga Musyawarah Desa (LMD), dan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Setelah berlakunya UU No.5 tahun 1979 pada tahun 1983, secara formal lembagalembaga kemargaan bubar. Namun, perananperanan yang bersumber pada kehidupan marga tidak ditingggalkan seluruhnya. Beberapa informan mengatakan, sampai saat penelitian dilakukan pun masih ada beberapa mantan pejabat marga yang sering dimintai pendapatnya dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada di desa tempat mereka tinggal. Bahkan, mantan pasirah terakhir pada marga Mulak Ulu masih sering dimintai pendapatnya dalam penyelesaian masalah-masalah, tidak hanya pada wilayah atau masyarakat eksmarganya, tetapi juga pada tingkat kabupaten. Di Desa Mengkenang, tempat tinggal mantan pasirah tersebut, kepala desa masih merujuknya saat dia berbenturan dengan masalah yang dikategorikannya sebagai masalah adat. Walau mantan pejabat marga itu tidak memiliki otoritas untuk memutuskan suatu
10
perkara, atau merumuskan kebijakan-kebijakan di wilayah eks-marga atau dusunnya, kenyataan di atas menunjukkan masih dirujuknya struktur yang bersumber pada adat sebagai acuan pengambilan kebijakan pejabat-pejabat negara dari tingkat kabupaten sampai desa. Hal itu berarti pada tingkat perilaku, pengaplikasian UU No.5 tahun 1979 tidak melenyapkan keberadaan struktur yang bersumber pada adat. Kondisi yang sama terjadi pula pada pembentukan lembaga-lembaga desa. Pemilihan kepala desa, meskipun acuan formalnya adalah UU No.5 tahun 1979 dan peraturanperaturan di bawahnya, pada saat orang memilih, ia akan tetap mempertimbangkan sentimen kekeluargaan, kejungkuan, dan atau kesumbayan. Bahkan, kepala desa terpilih pun masih memperhitungkan hal ini dalam menjalankan jabatannya yang terbukti pada pemilihan stafnya. Seorang kepala desa mengatakan bahwa dalam pemilihan bawahannya dia memperhatikan keanggotaan sumbay orang yang bersangkutan, karena penafian terhadap masalah ini dapat menyebabkan penyangkalan atau—paling tidak—sifat apatis dari penduduk yang merasa tidak terepresentasikan dalam lembaga desa. Hal yang sama ditemukan pula pada pembentukan LMD dan LKMD. Saat penulis mengunjungi desa-desa Mengkenang, Jadian Baru, Keban Agung, Durian Dangkal yang terletak dalam wilayah eks-marga Mulak Ulu, semua kepala desa mengatakan, dalam musyawarah kepala keluarga saat pembentukan LMD dan LKMD diputuskan bahwa keterwakilan kejuraian/jungkulah yang menjadi kriteria utama pemilihan anggota dari lembaga-lembaga tersebut. Di Desa Mengkenang misalnya, anggota LMD dan LKMD merupakan wakilwakil dari puyang Putting Mara, Raja Depati, Ria Pengalun, Kedemang, Kasih Diwe, Pandan dan Mas Megang. Kepuyangan tersebut adalah ketujuh kepuyangan yang berada di
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
desa Mengkenang.
Penutup Jika tulisan ini harus ditutup dengan sebuah kesimpulan, maka sulit bagi saya untuk menyatakan bahwa pada tingkat perilaku UU No.5 tahun 1979 telah memarjinalkan, apalagi menghapus adat istiadat atau tatanan hidup ‘asli’ komunitas-komunitas di Lahat. Kalaupun penulis menyatakan ada proses pemarjinalisasian tatanan adat, maka pernyataan itu akan menjadi benar bila disertai keterangan bahwa kondisi demikian tidak berlaku untuk semua gejala. Kondisi itu, sangatlah kontekstual dan perlu memperoleh beberapa catatan. Pertama, pada beberapa kasus dengan acuan pada UU yang ada, para elit terlebih dahulu melakukan penyeleksian terhadap aturanaturan dalam UU. Aturan-aturan yang dianggap menguntungkan akan diterima, sedangkan aturan yang merugikan ditolak atau, paling tidak, dianggap tidak ada. Kedua, dalam proses pemilihan alternatif tindakan dari salah satu struktur yang ada, aktor-aktor yang bersangkutan telah melakukan perhitungan. Ketiga, proses pemarjinalan tatanan ‘asli’ komunitas itu sendiri ditentukan oleh anggota komunitas yang melakukan tindakan dengan mengacu pada aturan-aturan dalam UU No.5 tahun 1979, atau aturan negara pada umumnya. Lebih jauh, dengan logika yang sama, dapat dikatakan bahwa telah terjadi permarjinalan atau pengingkaran terhadap UU No.5 tahun 1979. Pada konteks-konteks tertentu, para elit politik lebih mengutamakan memilih acuan adat sebagai dasar tindakan mereka. Contoh untuk hal ini adalah pemekaran dusun, atau peningkatan status kampung. Kenyataan bahwa pemekaran satu dusun menjadi dua tidak disertai oleh pembagian wilayah menunjukkan bahwa untuk hal tersebut pasirah menggunakan struktur adat, dan bukan, atau malah
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
menafikan struktur UU Pemerintah Desa. Dalam Undang-undang ini, setiap desa harus memiliki wilayah sendiri. Selain itu, jika kita mempermasalahkan UU No.5 tahun 1979 dalam soal kontrol negara yang begitu ketat terhadap komunitas-komunitas lokal, maka pada tingkat perilaku, jauh sebelum UU Pemerintah Desa dirumuskan dan diaplikasikan, ‘tangan’ negara telah digunakan oleh aktor-aktor—para elit komunitas lokal— sebagai alat legitimasi tindakan-tindakannya. Misalnya, tindakan-tindakan para elit yang terlibat dalam perebutan jabatanpasirah. Usaha para elit untuk menempati jabatan pasirah dilakukan dengan mendiskreditkan elit lain berdasarkan kriteria yang mengacu pada aturan-aturan negara. Bertolak dari contoh di atas, dapat dikatakan muncul gejala yang menunjukkan adanya pemilihan atas struktur yang sebenarnya secara formal tidak berlaku. Tindakan pasirah memekarkan beberapa dusun sebagai antisipasi berlakunya UU No.5 tahun 1979 menunjukkan bahwa sebelum UU itu diberlakukan secara formal, pasirah telah menggunakannya sebagai rujukan tindakan. Sebaliknya, prosesproses pemilihan anggota-anggota LMD dan LKMD yang mengacu pada representasi kelompok juray atau sumbay menunjukkan bahwa meskipun secara formal aturan adat seharusnya tidak digunakan—karena sudah diganti oleh aturan-aturan pada UU No.5 tahun 1979 dan aturan pelaksanaannya—pada kenyataannya aturan adat itu masih digunakan. Hal itu berarti bahwa penggunaan strukturstruktur sebagai acuan untuk berperilaku tidaklah ditentukan oleh status formal dari eksistensi struktur tersebut.
11
Kepustakaan Antlöv, H. 1995 Exemplary Centre, Admimistrative Periphery: Rural Leadership and the New Order in Java. Curzon Press. Balitbang Depdagri bekerja sama dengan Yayasan Ilmu-ilmu Sosial 1988 Pemerintahan Desa Jilid I dan II. Jakarta. Harris, M. 1993 Culture, People, Nature: An Introduction to General Anthropology. New York, Harper Collins College. Kansil, C.S.T. 1988 Desa Kita dalam Peraturan Tata Pemerintahan Desa (Hukum Administrasi Desa ). Jakarta: Ghalia. Kato, T. 1989 ‘Different Fields, Similar Locusts: Adat Communities and the Village Law of 1979 in Indonesia’, Indonesia 47:89–114. Muslimin, A. 1986 Sejarah Ringkas Perkembangan Pemerintahan Marga/Kampung Menjadi Pemerintah Desa/ Kelurahan dalam Propinsi Sumatera Selatan. Palembang. Pelaksana Pembina Adat Daerah Tingkat I Sumatera Selatan 1994 Kedudukan dan Peranan Lembaga-Lembaga Adat di Sumatera Selatan Setelah Berlakunya UU No.5 tahun 1979, Kabupaten Daerah Tingkat II Lahat. Rachman, H.A. 1968 ‘Pemerintahan Marga/Negeri dalam Propinsi Sumatera Selatan menurut Sejarahnya: MargaMarga dalam Daerah Propinsi Sumatera Selatan’, Majalah Berita Marga edisi pertama. Southall, A. 1968 ‘Stateless Society,’ dalam D. Sills (peny.) International Encyclopedia of the Social Sciences 15:157–168. USA: Crowell Collier and Macmillan INC. Soeloeh Marga , Januari 1939. Suwondo, K. 1997 The Emergence of Civil Society in Rural Java: Socio-Political Change under New Order in a Central Javanese Village. Salatiga: Satya Wacana University Press. Zakaria, R.Y. 2000 Abih Tandeh: Masyarakat Desa di bawah Rezim Orde Baru . Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
12
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002