i
POLA ASUH, STIMULASI PSIKOSOSIAL, DAN STATUS GIZI BALITA DI KABUPATEN KUDUS
ANI RAHIDHA PROBONINGRUM
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pola Asuh, Stimulasi Psikososial, dan Status Gizi Balita di Kabupaten Kudus adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016 Ani Rahidha Proboningrum NIM I14120057
iv
v
ABSTRAK ANI RAHIDHA PROBONINGRUM. Pola Asuh, Stimulasi Psikososial, dan Status Gizi Balita di Kabupaten Kudus. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN. Pada tahun 2013, terjadi peningkatan prevalensi gizi kurang-gizi buruk pada balita dibandingkan tahun 2010 dan 2007 berdasar data Riskesdas 2013. Pola asuh orang tua merupakan bagian penting yang juga menentukan status gizi balita. Apabila ibu harus bekerja, maka berkuranglah waktu pengasuhan ibu terhadap anaknya yang berdampak pada kualitas pola asuh yang diberikan kepada anaknya. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pola asuh, stimulasi psikososial, dan status gizi balita pada ibu bekerja sebagai buruh pabrik rokok dan ibu tidak bekerja di Kabupaten Kudus. Desain penelitian yang digunakan yaitu cross sectional study dengan jumlah 94 balita umur 3-5 tahun yang terbagi dalam dua kelompok, yakni 38 balita dengan ibu bekerja dan 56 balita dengan ibu tidak bekerja. Tempat penelitian dipilih secara purposive di Kecamatan Jati dan Mejobo. Uji Mann Whitney menunjukkan ada perbedaan yang bermakna pola asuh makan dan kesehatan, stimulasi psikososial, serta riwayat gejala ISPA enam bulan terakhir antara balita ibu bekerja dan tidak bekerja. Uji Rank Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan pola asuh makan dan stimulasi psikososial, pola asuh makan dengan status gizi BB/U dan TB/U, pola asuh makan dan kesehatan dengan lama gejala ISPA (p<0.05). Kata kunci: gejala ISPA, ibu bekerja dan tidak bekerja, pola asuh, status gizi, stimulasi psikososial
ABSTRACT ANI RAHIDHA PROBONINGRUM. Parenting Pattern, Psychosocial Stimulation, and Nutritional Status of Under-five Children in Kudus District. Supervised by ALI KHOMSAN. The prevalence of malnutrition among under-five children in Indonesia according to Riskesdas in 2013 was increased from 2007 and 2010. Parenting pattern is an important part which also determines nutritional status of children. The effect of employed mother is less of parenting time so it can impact to the quality of parenting pattern provided to children. The purpose of this research was to study parenting pattern, psychosocial stimulation, and nutritional status among under five children between employed mothers as a cigarette factory workers and not workers in Kudus district. The research design was cross sectional study with 94 under five children aged 3-5 years. The research design was cross sectional study with 94 under five children aged 3-5 years, divided into two groups; 38 subjects of employed mother and 56 subjects of not employed mother. Place of research was selected purposively in Jati and Mejobo subdistrict. Mann Whitney test showed there were significant difference feeding and health caring practice, psychosocial stimulation, and history of ARI
vi symptoms in six months ago between employed mothers and not employed mothers. Rank Spearman test showed that there is a relationship between parental education with feeding practice and psychosocial stimulation, feeding practice with the nutritional status indicator WAZ and HAZ (p <0.05), feeding and health caring practice with duration of symptoms of ARI (p <0.05). Keywords: employed and not employed mother, nutritional status, parenting pattern, psychosocial stimulation, symptoms of ARI
vii
POLA ASUH, STIMULASI PSIKOSOSIAL, DAN STATUS GIZI BALITA DI KABUPATEN KUDUS
ANI RAHIDHA PROBONINGRUM
Skripsi sebagai salah satu satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari program studi ilmu gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
viii
ix :
x
xi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat, nikmat dan hidayah-Nya yang senantiasa dilimpahkan kepada penulis sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam skripsi ini adalah balita, dengan judul Pola Asuh, Stimulasi Psikososial, dan Status Gizi Balita di Kabupaten Kudus. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS selaku dosen pembimbing skripsi dan pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. 2. Prof Dr Ir Faisal Anwar, MS selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan arahan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Keluarga tercinta dan tersayang: bapak (Drs. Bambang Dhalyoko), ibu (Sri Suyati), dan kakak (Sumiyarto Legowo, SH) yang telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis. 4. Bidan dan kader Desa Jepang Pakis, Desa Megawon, dan Desa Jepang yang telah membantu penulis dalam pengambilan data. 5. Sahabat dari Keluarga Kudus Bogor – Menara Kota (KKB-MK), yaitu Kurnia, Aulia, Isty, Jawa, Luluk, Nirti, Arini, Alsa, Afiton, dan Cahya yang telah menemani dan menyemangati penulis. 6. Sahabat terbaik, yaitu Malikhah, Juliana, dan Bella yang telah menemani dan menyemangati penulis selama di Gizi Masyarakat, IPB. 7. Teman kos, yaitu Ulin dan Syifa yang telah menemani dan membantu penulis. 8. Keluarga KKN-P Wanatirta Brebes (Pini, Samara, Icha, Erna, Ojan, Subika, dan Ade). 9. Teman-teman satu perjuangan penelitian (Afifah, Erfin, Elza, Ulfa, Nabila). 10. Teman-teman seperjuangan ID RS Azra. 11. Keluarga Kudus Bogor – Menara Kota (KKB-MK) semua angkatan. 12. Teman-teman seperjuangan (Gizi Masyarakat 49) dan adik-adik (Gizi Masyarakat 50) Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam proses penyelesaian karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor,
Agustus 2016
Ani Rahidha Proboningrum
xii
xiii
DAFTAR ISI PRAKATA DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Hipotesis Manfaat KERANGKA PEMIKIRAN METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Karakteristik Keluarga Karakteristik Contoh Pola Asuh Stimulasi Psikososial Kebiasaan Makan Konsumsi Pangan Status Gizi Riwayat Gejala ISPA Hubungan antar Variabel SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
vii ix xi xi xii 1 1 2 3 3 3 5 5 6 7 8 11 12 12 13 16 16 19 20 22 24 25 26 30 30 31 32 37 40
xiv
xv
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Jenis dan cara pengumpulan data berdasarkan variabel Jenis dan kategori variabel penelitian Sebaran keluarga contoh berdasarkan karakteristik keluarga Sebaran contoh berdasarkan karakteristiknya Sebaran rata-rata alokasi waktu pengasuhan ibu bekerja dan tidak bekerja berdasarkan kegiatan pengasuhannya Sebaran contoh berdasarkan kategori pola asuh makan ibu Sebaran contoh berdasarkan kategori pola asuh kesehatan ibu Sebaran rata-rata skor stimulasi psikososial contoh berdasarkan jenis stimulasinya Sebaran kategori stimulasi psikososial contoh Frekuensi rata-rata konsumsi jenis pangan oleh contoh (kali/minggu) Rata-rata konsumsi, kebutuhan, dan tingkat kecukupan energi dan protein contoh Sebaran tingkat kecukupan energi contoh Sebaran tingkat kecukupan protein contoh Sebaran tingkat kecukupan zat gizi mikro contoh Persentase kontribusi zat gizi jenis bahan pangan terhadap konsumsi energi dan protein contoh (%) Sebaran contoh berdasarkan indeks status gizi Sebaran riwayat gejala ISPA contoh dalam enam bulan terakhir Uji korelasi Rank Spearman karakteristik keluarga dengan pola asuh Uji korelasi Rank Spearman karakteristik keluarga dengan stimulasi psikososial Uji korelasi Rank Spearman karakteristik keluarga dengan status gizi contoh Uji korelasi Rank Spearman alokasi waktu pengasuhan orang tua dengan pola asuh dan stimulasi psikososial Uji korelasi Rank Spearman pola asuh makan dan status gizi Uji korelasi Rank Spearman pola asuh dengan riwayat gejala ISPA enam bulan terakhir
7 8 13 16 17 18 19 19 20 20 22 23 23 23 24 25 26 26 27 28 28 29 30
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran hubungan pola asuh, stimulasi psikososial, gejala ISPA, dan status gizi balita di Kabupaten Kudus 2 Teknik pernarikan contoh dalam penlitian 3 Wawancara dengan ibu contoh 4 Pengukuran antropometri contoh
5 6 37 37
xvi
DAFTAR LAMPIRAN 1 Dokumentasi penelitian 2 Hasil uji korelasi Rank Spearman nyata berhubungan 3 Hasil uji korelasi Rank Spearman tidak nyata berhubungan
37 38 39
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan suatu bangsa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan setiap warga negara. Pembangunan ini sangat tergantung pada kemampuan dan kualitas sumberdaya manusianya sendiri. Ukuran kualitas sumberdaya manusia dapat dilihat pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sedangkan ukuran kesejahteraan masyarakat antara lain dapat dilihat pada tingkat kemiskinan dan status gizi masyarakat (Bappenas 2007). Apabila dilihat dari posisi IPM-nya, Indonesia berada pada urutan ke-108 dan tergolong ke dalam medium human development (UNDP 2014). IPM suatu bangsa dipengaruhi oleh tingkat ekonomi, pendidikan, dan kesehatan warga negaranya. Tingkat ekonomi yang rendah akan berdampak pada ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik. Hal ini berakibat pada kekurangan gizi yang dapat diindikasikan dari status gizi balita dan wanita hamil sehingga bangsa Indonesia akan kesulitan dalam meningkatkan IPM. Apabila masalah ini tidak diatasi maka dalam jangka menengah dan panjang akan terjadi gangguan pada kelangsungan kepentingan bangsa dan negara (Bappenas 2007). Status gizi masyarakat merupakan salah satu indikator penentu kesejahteraan masyarakat. Pada tahun 2013, terjadi peningkatan prevalensi gizi kurang-gizi buruk dibandingkan tahun 2010 dan 2007. Prevalensi gizi kurang-gizi buruk pada tahun 2013 adalah 19.6% sedangkan pada tahun 2010 dan 2007 berturut-turut yaitu 17.9% dan 18.4% (Riskesdas 2013). Menurut UNICEF (1998) dalam Bappenas (2007), status gizi seseorang dipengaruhi oleh penyebab langsung dan tak langsung. Dua penyebab langsung, yaitu faktor makanan dan penyakit infeksi, keduanya saling mendorong. Penyakit infeksi, seperti diare dan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), dapat mengganggu penyerapan asupan gizi sehingga mendorong terjadinya gizi kurang dan gizi buruk. Sebaliknya gizi kurang melemahkan daya tahan anak sehingga mudah sakit. Kedua penyebab langsung tersebut dapat ditimbulkan oleh tiga penyebab tidak langsung, yaitu ketersediaan dan pola konsumsi pangan dalam rumah tangga, pola pengasuhan anak, serta jangkauan dan mutu layanan kesehatan masyarakat. Pola pengasuhan anak, sebagai penyebab tidak langsung yang mempengaruhi status gizi balita, didefinisikan sebagai perilaku pengasuhan orang tua yang meliputi pemberian ASI dan makanan pendamping ASI (MP ASI), perawatan ibu hamil dan menyusui, perawatan anak selama sakit, stimulasi psikososial, pola asuh makan, dan pola asuh kesehatan (Engle et al. 1997). Masithah et al. (2005) berpendapat apabila pengasuhan anak kurang memadai terutama keterjaminan makanan dan kesehatan anak, hal tersebut bisa menjadi salah satu faktor yang menghantarkan anak menderita kurang gizi. Pola pengasuhan yang berkaitan erat dengan konsumsi, status gizi, dan status kesehatan meliputi pola asuh makan dan kesehatan. Pola asuh makan terdiri atas orang yang menyiapkan makan, praktek pemberian makan, pengawasan ibu ketika anak tidak disuapi, serta penentu jadwal makan. Selain itu, pola asuh makan juga dinilai dari cara menghidangkan makanan, situasi makan, cara
2 memberi makanan, memperkenalkan makanan baru, respon anak menolak makanan baru dan menghabiskan makanan juga diukur untuk melihat pola asuh makan (Khomsan et al. 2013a). Pola asuh kesehatan meliputi aspek preventif yang terdiri dari pembentukan dan penanaman kebiasaan pola hidup sehat pada anak dan aspek kuratif yang terdiri dari pemberian kebutuhan kesehatan anak seperti imunisasi dan pemberian kapsul vitamin A (Hastuti 2008). Stimulasi psikososial, sebagai bagian dari pengasuhan anak, merupakan stimulasi edukasional yang membantu perkembangan kognitif, fisik, dan motorik, serta kemampuan sosial-emosional anak (Kemendiknas RI 2002). Status gizi yang baik dapat membantu anak-anak untuk mempersiapkan diri mereka dalam menerima stimulasi psikososial secara optimal. Status gizi yang baik disertai stimulasi psikososial yang optimal dapat menunjang perkembangan kognitif anak secara optimal (Khomsan et al. 2013b). Yuriastien et al. (2009) menyatakan bahwa perkembangan seorang anak dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu peran lingkungan serta interaksi dengan orang tua. Interaksi antara anak dan orang tua, terutama peranan ibu sangat bermanfaat bagi proses perkembangan anak secara keseluruhan karena orang tua dapat segera mengenali kelainan proses perkembangan anak sedini mungkin dan memberikan stimulasi tumbuh kembang anak yang menyeluruh dalam aspek fisik, mental, dan sosial (Hidayati 2008). Akan tetapi pendapatan yang rendah dalam keluarga mengharuskan ibu terlibat dalam pemenuhan kebutuhan keluarga. Hal ini dapat menjadikan perannya sebagai ibu dalam mengasuh anak dapat terganggu. Penelitian Ita et al. (2014) menyebutkan bahwa kendala dalam pola asuh ibu yang bekerja, yaitu keterbatasan waktu bersama anak dan keterbatasan waktu dalam mempersiapkan makanan anak sehingga makanan yang disajikan ala kadarnya. Kabupaten Kudus merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, yang letaknya cukup strategis, karena itu berkembang banyak perusahaan. Terdapat lebih dari 150 industri yang terdaftar di Disnaketrans di Kabupaten Kudus, salah satunya yaitu perusahaan rokok (Fatimah et al. 2013). Industri pabrik rokok merupakan salah satu alternatif dalam penyerapan tenaga kerja di bidang industri khususnya tenaga kerja wanita karena pabrik rokok ini lebih banyak menyerap tenaga kerja wanita dibandingkan dengan tenaga kerja laki-laki. Selain itu, mayoritas tenaga kerja wanita di pabrik rokok sudah menikah (Hayutama 2013). Kondisi tersebut dapat berpengaruh pada peran ibu dalam mengasuh anaknya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang pola asuh, stimulasi psikososial, riwayat gejala ISPA, dan status gizi balita pada kelompok ibu bekerja di pabrik rokok dan tidak bekerja.
Tujuan Tujuan umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pola asuh, stimulasi psikososial, riwayat gejala ISPA, dan status gizi balita antara kelompok ibu bekerja dan tidak bekerja di Kabupaten Kudus. Tujuan khusus Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
3 1. Membandingkan pola asuh makan, pola asuh kesehatan, stimulasi psikososial, riwayat gejala ISPA, dan status gizi balita antara kelompok ibu bekerja dan tidak bekerja. 2. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga dengan pola asuh makan dan kesehatan serta stimulasi psikososial. 3. Menganalisis hubungan antara pola asuh makan dan kesehatan dengan riwayat gejala ISPA dan status gizi balita.
Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan pola asuh makan, pola asuh kesehatan, stimulasi psikososial, gejala ISPA, dan status gizi balita antara ibu bekerja dan tidak bekerja. 2. Terdapat hubungan antara karakteristik keluarga dengan pola asuh makan dan kesehatan serta stimulasi psikososial. 3. Terdapat hubungan antara pola asuh makan, kesehatan, dan stimulasi psikososial dengan gejala ISPA dan status gizi balita di Kabupaten Kudus.
Manfaat Penelitian ini memberikan informasi tentang pola asuh makan dan kesehatan serta stimulasi psikososial kaitannya dengan gejala ISPA dan status gizi balita. Selanjutnya informasi ini dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah Kabupaten Kudus dalam merencanakan kebijakan dan program intervensi gizi pada balita sehingga pertumbuhan dan perkembangan balita optimal. Hal ini akan berdampak pada terbentuknya generasi penerus yang berkualitas di masa mendatang.
KERANGKA PEMIKIRAN Pendidikan anak sebagai salah satu upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia merupakan tanggung jawab masyarakat bersama pemerintah. Kelompok sosial masyarakat paling kecil yaitu keluarga sebagai penanggung jawab utama dalam optimalisasi tumbuh kembang anak. Hal ini dikarenakan interaksi yang pertama kali didapatkan oleh anak yaitu dalam keluarga. Pola pengasuhan orang tua yang berkaitan dengan status gizi dan kesehatan anak yaitu pola asuh makan dan pola asuh kesehatan. Pola asuh makan mengacu pada praktek, jadwal, dan sikap ibu saat pemberian makanan. Perilaku ibu yang benar selama memberi makan akan meningkatkan konsumsi pangan anak dan pada akhirnya meningkatkan status gizi anak. Adapun pola asuh kesehatan merupakan kewajiban orang tua dalam memberikan asuhan kesehatan kepada anak sehingga anak terbebas dari penyakit. Pola asuh kesehatan yang optimal akan menunjang kesehatan yang optimal pula pada anak tersebut sehingga frekuensi terjangkitnya penyakit pada anak akan
4 berkurang. Kejadian penyakit infeksi ini berhubungan dengan status gizi. Anak yang mendapatkan makanan yang cukup tetapi sedang mengalami penyakit infeksi seperti diare atau ISPA, akhirnya dapat mengalami kekurangan gizi. Praktek pengasuhan orang tua tidak hanya mempengaruhi status gizi dan kesehatan tetapi juga sosial-emosi anak, yaitu praktek pemberian stimulasi psikososial (Soetjiningsih 1995). Stimulasi psikososial adalah serangkaian kegiatan stimulasi pendidikan dalam rangka mengembangkan kemampuan kognitif, fisik dan motorik, serta sosial-emosional anak. Stimulasi psikososial untuk balita 3-5 tahun meliputi stimulasi belajar, stimulasi bahasa, lingkungan fisik, kehangatan dan penerimaan, stimulasi akademik, modeling, variasi stimulasi pada anak, dan hukuman positif. Pola asuh makan atau jenis pola asuh lainnya yang diberikan ibu kepada anaknya dapat menyediakan peluang untuk sekaligus memberikan stimulasi psikososial sehingga memperkuat hubungan positif antara ibu dan anak. Pembuatan program perbaikan atau intervensi gizi akan memberikan dampak yang lebih besar apabila program tersebut mengkombinasikan antara program pola asuh terkait stimulasi psikososial yang disertai dengan pola asuh makan yang baik dan benar. Pola pengasuhan orang tua terutama ibu dipengaruhi oleh karakteristik keluarga, meliputi besar keluarga, usia, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Karakteristik keluarga mempengaruhi pola pengasuhan orang tua berkaitan dengan waktu pengasuhannya. Apabila kedua orang tua bekerja, berkuranglah waktu pengasuhan kepada anaknya sehingga interaksi antara orang tua dan anak berkurang. Hal ini didukung oleh penelitian Meliahsari et al. (2013) yang menunjukkan bahwa meskipun makanan yang diberikan tidak sesuai umur dan tidak lengkap, 60% status gizi baduta dari ibu bukan pekerja masih tergolong baik. Salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut yaitu alokasi waktu pengasuhan ibu tidak bekerja digunakan untuk memperhatikan jumlah konsumsi makanan anak. Ibu memegang peran utama dalam pengasuhan anak. Apabila ibu bekerja di luar rumah, peran ibu menjadi berkurang karena intensitas interaksi antara ibu dan anak berkurang. Hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas pola asuhnya, baik pola asuh makan, kesehatan, maupun stimulasi psikososialnya. Kualitas pola asuh makan yang diberikan ibu kepada anak nantinya akan mempengaruhi konsumsi makanan anak sehingga berdampak pada status gizinya. Selain pola asuh makan, konsumsi makanan anak juga dipengaruhi karakteristiknya yang meliputi umur dan berat badan. Hal ini dikarenakan umur dan berat badan anak akan mempengaruhi kebutuhan zat gizi anak. Selain pola asuh makan, kualitas pola asuh kesehatan juga akan berubah oleh status ibu yang bekerja di luar rumah. Pola asuh kesehatan berperan pada status kesehatan anak-anak melalui menurunkan stres anak, menurunkan paparan infeksi, atau mengurangi kesempatan untuk cedera. Hal ini tentunya akan memberikan dampak positif pada penurunan frekuensi terjangkitnya penyakit pada anak yang nantinya berdampak pada status gizinya. Stimulasi psikososial juga dipengaruhi oleh status ibu yang bekerja di luar rumah. Hal ini dikarenakan ada hubungan antara stimulasi psikososial dengan pola asuh ibu pada waktu luang. Stimulasi psikososial yang rendah disertai dengan status gizi yang kurang atau buruk akan berdampak pada perkembangan kognitif anak. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
5 Karakteristik keluarga: - Besar keluarga - Usia orang tua - Pendidikan orang tua - Pekerjaan orang tua - Pendapatan orang tua Waktu pengasuhan balita
Pola asuh kesehatan
Kejadian penyakit infeksi: ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut)
Pola asuh makan: - Praktek pemberian makan balita - Jadwal makan balita - Sikap ibu saat pemberian makan balita - Riwayat makan balita Konsumsi pangan balita
Status gizi
Karakteristik balita: - Umur - BB - Jenis kelamin
Stimulasi psikososial: - Stimulasi belajar - Stimulasi bahasa - Lingkungan fisik - Kehangatan dan penerimaan - Stimulasi akademik - Modeling - Variasi stimulasi kepada anak - Hukuman positif
Keterangan: = Variabel yang diteliti Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan pola asuh, stimulasi psikososial, gejala ISPA, dan status gizi balita di Kabupaten Kudus
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Metode yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan pengisian kuesioner oleh ibu responden. Penelitian dilakukan di Kecamatan Jati dan Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus. Pemilihan lokasi didasarkan pada rekomendasi dari Puskesmas
6 Kecamatan Jati dengan mempertimbangkan perbandingan jumlah ibu bekerja dan tidak bekerja yang merata. Selain itu juga mempertimbangkan jarak menuju tempat penelitian yang lebih dekat. Pengambilan data dimulai bulan Maret 2016.
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Kabupaten Kudus dipilih secara purposive dalam penelitian ini yakni banyaknya industri pabrik rokok yang berdiri di Kabupaten Kudus. Contoh penelitian diambil yang memenuhi kriteria inklusi, yakni ibu yang mempunyai balita laki-laki atau perempuan berumur 3–5 tahun dan bersedia untuk diwawancarai. Contoh dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua : 1. Balita dengan ibunya bekerja sebagai buruh di pabrik rokok di Kabupaten Kudus. 2. Balita dengan ibunya yang tidak bekerja atau menetap di dalam rumah. Populasi contoh pada dua kecamatan yang terpilih berjumlah 136. Penarikan contoh menggunakan teknik simple random sampling untuk diambil 100 contoh. Akan tetapi setelah melalui proses cleaning data, jumlah contoh menjadi 94. Teknik penarikan contoh yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 2. Jumlah contoh dihitung menggunakan rumus estimasi proporsi dengan rumus sebagai berikut: n
= = =
⁄
84.2 ≈ 85 orang
Keterangan: N : populasi n : jumlah contoh : derajat kepercayaan (95%, z = 1.96) ⁄ P d
: prevalensi gizi kurang di Kabupaten Kudus tahun 2013 (5.82%) : presisi mutlak (5%) Kabupaten Kudus Purposive ↓ Kecamatan Jati dan Kecamatan Mejobo Purposive ↓ Desa Jepang Pakis, Desa Megawon, Desa Jepang Purposive ↓ N = 136 orang Simple random n = 100 orang sampling ↓ Ibu tidak bekerja Ibu bekerja N = 76 N = 60 n = 56 n = 38 Gambar 2 Teknik pernarikan contoh dalam penlitian
Simple random sampling
7 Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan dan wawancara langsung menggunakan kuesioner. Data primer terdiri dari karakteristik balita, karakteristik keluarga, pendapatan keluarga, pola asuh makan dan kesehatan, kebiasaan makan balita dengan Food Frequency Questionnaire (FFQ), konsumsi pangan balita dengan recall 1x24 jam, alokasi waktu pengasuhan ibu hari bekerja dan libur, stimulasi psikososial, riwayat gejala ISPA 6 bulan terakhir, serta status gizi balita. Data sekunder diperoleh dari kantor kecamatan dan kabupaten dan Posyandu. Data sekunder meliputi gambaran umum lokasi penelitian dan alamat rumah responden. Jenis data primer dan sekunder yang dikumpulkan beserta indikatornya dapat dilihat pada Tabel 1. No 1.
2.
3.
4.
5.
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data berdasarkan variabel Jenis data Variabel Cara pengumpulan Primer Karakteristik balita Wawancara - Usia menggunakan - Jenis kelamin kuesioner dan - Berat badan pengamatan - Tinggi badan (pengukuran) Primer Karakteristik keluarga Wawancara - Besar keluarga menggunakan - Usia orang tua kuesioner - Pendidikan orang tua - Pekerjaan orang tua - Pendapatan orang tua Primer Pola asuh makan Wawancara - Praktek pemberian menggunakan makan contoh kuesioner - Jadwal makan contoh - Sikap ibu dalam pemberian makan contoh - Riwayat makan contoh Primer Pola asuh kesehatan Wawancara menggunakan kuesioner Primer Stimulasi psikososial (HOME) Wawancara dan - Stimulasi belajar pengamatan - Stimulasi bahasa langsung - Lingkungan fisik menggunakan - Kehangatan dan instrumen HOME penerimaan (Home Observation - Stimulasi akademik for Measurement of - Modeling Environment) - Variasi stimulasi kepada anak - Hukuman positif
8 Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data berdasarkan variabel (lanjutan) No Jenis data Variabel Cara pengumpulan 6. Primer Riwayat gejala ISPA 6 bulan Wawancara terakhir menggunakan - Lama gejala ISPA kuesioner - Frekuensi gejala ISPA 7. Primer Tingkat kecukupan energi, Wawancara protein, zat besi, vitamin A, dan menggunakan vitamin C kuesioner Recall 1x24 jam 8. Primer Kebiasaan makan contoh Wawancara menggunakan kuesioner FFQ 9. Primer Alokasi waktu pengasuhan ibu Wawancara - Hari libur menggunakan - Hari kerja kuesioner 10. Primer Status gizi contoh Wawancara - z-score - BB/U menggunakan - z-score - TB/U kuesioner dan - z-score - BB/TB pengukuran langsung 11. Sekunder Gambaran umum lokasi Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus 12. Sekunder Data jumlah dan alamat balita Data dari bidan desa
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dari wawancara dan pengamatan langsung diolah dan dianalisis. Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry, dan cleaning. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel 2010 dan SPSS versi 22.0 for windows. Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis data yang terbagi menjadi dua yakni analisis deskriptif dan inferensia yang dipresentasikan dalam bentuk tabel. Analisis deskriptif dipresentasikan dalam bentuk frequency distribution means dan standard deviation. Adapun analisis statistik inferensia yang digunakan yaitu uji beda Mann Whitney dan uji korelasi Rank Spearman. Data yang sudah didapat kemudian dimasukkan ke dalam kategori sesuai dengan masing-masing variavel. Kategori data tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Jenis dan kategori variabel penelitian No. Variabel Kategori 1. Usia orang tua 1. Remaja (13–19 tahun) (Gabriel 2008) 2. Dewasa muda (20–30 tahun) 3. Dewasa madya (31–50 tahun) 4. Dewasa lanjut (51–75 tahun) 5. Lansia (≥ 76 tahun)
9 Tabel 2 Jenis dan kategori variabel penelitian (lanjutan) No. Variabel Kategori 2. Besar keluarga 1. Keluarga kecil (≤ 4 orang) (Hurlock 1998) 2. Keluarga sedang (5–7 orang) 3. Keluarga besar (> 7 orang) 3. Pendidikan orang tua 1. Tidak sekolah (Hurlock 1998) 2. Tidak tamat SD 3. Tamat SD 4. SLTP/sederajat 5. SLTA/sederajat 6. Sarjana 4. Pendapatan orang tua 1. < Rp1 608 200 (Rupiah per bulan) 2. ≥ Rp1 608 200 (Nurdin 2015) UMR Kabupaten Kudus tahun 2016 5. Pola asuh makan 1. Rendah (< 60%) 2. Sedang (60–80%) (Khomsan 2000) 3. Tinggi (> 80%) 7. Pola asuh kesehatan 1. Rendah (< 60%) (Aulia 2012) 2. Sedang (60–80%) 3. Tinggi (> 80%) 8. Stimulasi psikososial 1. Rendah (0–29) (Khomsan et al. 2013b) 2. Sedang (30–45) 3. Tinggi (46–55) 9. Konsumsi pangan balita Tingkat kecukupan energi dan protein (Depkes 1996) 1. Defisit berat: < 70% AKG 2. Defisit sedang: 70–79% AKG 1. Kurang: 80–89% AKG 2. Cukup: 90–119% AKG 3. Lebih: ≥ 120% AKG Tingkat kecukupan zat gizi mikro 1. Kurang: < 77% AKG 2. Cukup: ≥ 77% AKG 10. Status gizi balita BB/U (Kemenkes 2011) 1. Gizi buruk: < –3 SD 2. Gizi kurang: –3 SD – < –2 SD 3. Gizi baik: –2 SD – 2 SD 4. Gizi lebih: > 2 SD TB/U (Riyadi 2004) 1. Pendek: < –2 SD 2. Normal: ≥ –2 SD BB/TB 1. Sangat kurus: < –3 SD 2. Kurus: –3 SD – < –2 SD 3. Normal: –2 SD – 2 SD 4. Gemuk: > 2 SD Data karakteristik balita meliputi jenis kelamin, usia (bulan), berat badan, tinggi badan, dan status gizi. Data karakteristik keluarga meliputi umur orang tua,
10 pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga. Alokasi waktu pengasuhan ibu dihitung berdasarkan lamanya kegiatan ibu bersama anak, meliputi keluar rumah, menemani belajar, memberi makan, memandikan, bermain, dan tidur dengan anak. Alokasi waktu pengasuhan tersebut baik pada hari kerja maupun hari libur. Pengukuran pola asuh makan dinilai dari setiap pertanyaan dengan total dua puluh pertanyaan. Setiap pertanyaan memiliki beberapa pilihan jawaban. Pilihan jawaban paling tepat memiliki nilai tertinggi, yakni “3”, “2”, dan terendah yakni “1”. Setiap nilai dari pertanyaan kemudian dijumlahkan dan dikonversi ke dalam persentase untuk dikategorikan menjadi rendah (< 60%), sedang (60–80%), tinggi (> 80%) (Khomsan 2000). Pola asuh kesehatan diukur dengan 17 pertanyaan tertutup yang terdiri dari aspek akses pelayanan kesehatan dan kebersihan diri dan keluarga. Setiap pertanyaan akan diberi nilai 2 untuk jawaban sering/ya, nilai 1 untuk jawaban kadang. Dan nilai 0 untuk jawaban hampir tidak pernah/tidak pernah. Total skor untuk jawaban yang benar kemudian dipresentasikan terhadap jumlah nilai maksimum dan selanjutnya dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu baik (> 80%), sedang (60–80%), dan kurang apabila persentase hasil jawaban benar < 60% (Aulia 2012). Data stimulasi psikososial contoh didapat dari kuesioner HOME menurut Caldwell dan Bradley (2001) dalam Totsika dan Sylva (2004) yang terdiri dari 55 pernyataan terbagi kedalam 8 aspek berbeda. Setiap butir dalam aspeknya merupakan pernyataan positif dan diberi nilai 1 jika jawaban “iya” dan 0 jika “tidak”. Selanjutnya total nilai yang diperoleh dikategorikan menjadi rendah (0– 29), sedang (30–45), dan tinggi (46–55). Adapun pengolahan data riwayat gejala ISPA enam bulan terakhir meliputi lama dan frekuensi gejala ISPA dikatergorikan berdasar literatur menurut Azwar (2007) yaitu lebih atau kurang dari rata-rata. Kategori frekuensi ISPA yaitu < 3 kali atau ≥ 3 kali, adapun lama ISPA dikategorikan menjadi < 5 hari/kali sakit atau ≥ 5 hari/kali sakit. Status gizi (BB/U, TB/U, BB/TB) diolah berdasarkan standar antropometri penilaian status gizi anak menurut Kemenkes (2011) dan Riyadi (2004) yang mengacu pada standar World Health Organization (WHO). Data kebiasaan makan terdiri atas jenis pangan dan frekuensi konsumsinya dalam hari, minggu, atau bulan. Data kebiasaan makan ini diukur dengan Food Frequencies Questionnaire (FFQ) meliputi jenis pangan serealia, protein hewani, protein nabati, sayuran, buah-buahan, susu, dan makanan jajanan. Data konsumsi pangan didapat dari kuisioner food recall 1x24 jam dan selanjutnya dikonversi sehingga diketahui asupan energi dan zat gizi dengan menggunakan Daftar Konversi Bahan Makanan (DKBM) 2010. Konversi dihitung menggunakan rumus sebagai berikut. KGij
= [(Bj/100) x Gij x (BDDj/100)]
Keterangan: KGij = Kandungan zat gizi-i dalam bahan makanan-i Bij = Berat makanan-j yang dikonsumsi (gram) Gij = Kandungan zat gizi-i dalam 100 gram BDD bahan makanan-j BDDj = Bagian bahan makanan-j yang dapat dimakan
11 Asupan energi dan zat gizi serta angka kecukupan zat gizi (AKG) balita yang telah diketahui selanjutnya digunakan untuk menghitung Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) terutama energi, protein, zat besi, vitamin C, dan vitamin A. Perhitungan AKG aktual baik untuk energi maupun protein menggunakan koreksi berat badan contoh. Contoh dengan status gizi di atas atau di bawah normal menggunakan berat badan ideal sedangkan contoh yang mempunyai status gizi normal menggunakan berat badan aktual untuk koreksi berat badan. Perhitungan AKG aktual dihitung dengan rumus: AKG =
x zat gizi yang dianjurkan
Keterangan: Bbi = berat badan aktual atau ideal BBj = berat badan standar Nilai AKG yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk menghitung TKG. Rumus yang digunakan untuk menentukan TKG balita adalah sebagai berikut. TKGi = [Ki/AKGi] x 100% Keterangan: TKGi = Tingkat kecukpan energi atau protein-i Ki = Konsumsi energi atau protein-i AKG = Angka kecukupan energi atau protein
Definisi Operasional Contoh adalah balita yang berumur 36 sampai 60 bulan baik laki-laki maupun perempuan yang tinggal bersama kedua orang tua. Ibu bekerja adalah ibu dari contoh dan bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik rokok di Kabupaten Kudus. Ibu tidak bekerja adalah ibu dari contoh dan tidak mempunyai pekerjaan atau ibu rumah tangga. Besar keluarga adalah jumlah/banyaknya orang yang tinggal dalam satu keluarga, tinggal pada satu atap, dan menjadi tanggungan kepala keluarga dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Pendidikan orang tua adalah pendidikan formal terakhir ayah atau ibu contoh, diklasifikasikan menjadi enam kategori, yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD/MI, tamat SD/MI, tamat SMP/MTS, SLTA/SMA/Aliyah, dan sarjana. Pendapatan keluarga adalah jumlah jumlah pendapatan ayah dan ibu dari pekerjaan utama dan tambahan dalam bentuk uang dan dinyatakan dalam rupiah/bulan. Pekerjaan ayah adalah jenis pekerjaan yang dilakukan oleh ayah meliputi yaitu tidak bekerja, petani, buka toko/warung, pegawai pemerintah, pegawai swasta, buruh pabrik, wirausaha, sopir/ojek, dan pekerjaan lainnya. Usia orang tua adalah usia orangtua contoh pada saat penelitian berlangsung dengan satuan tahun sesuai kartu identitas.
12 Usia contoh adalah usia balita pada saat penelitian berlangsung dengan satuan bulan sesuai catatan kelahiran. Pola asuh makan adalah praktik pemberian makan ibu kepada contoh yang berkaitan dengan praktik pemberian makan, jadwal makan contoh, sikap responden dalam memberikan makan contoh, dan riwayat makan contoh Pola asuh kesehatan adalah praktik ibu sebagai usaha preventif, kuratif, dan pemeliharaan keamanan contoh yang berkaitan dengan akses kesehatan dasar dan kebersihan diri dan keluarga contoh. Stimulasi psikososial adalah rangsangan psikososial yang diberikan oleh keluarga yang meliputi stimulasi belajar, stimulasi bahasa, lingkungan fisik, kehangatan dan penerimaan, stimulasi akademik, modeling, variasi stimulasi kepada anak, dan hukuman positif Konsumsi pangan adalah jumlah makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh contoh kemudian dihitung kandungan gizi dari pangan tersebut. Tingkat Kecukupan zat gizi adalah perbandingan antar konsumsi zat gizi yang didapat melalui recall 1x24 jam dengan angka kebutuhan zat gizi contoh. Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan frekuensi konsumsi makan contoh yang dapat dilihat dari kebiasaan mengkonsumsi jenis-jenis pangan meliputi makanan pokok serealia dan umbi-umbian, protein hewani, protein nabati, sayur, buah, dan jajanan, yang diukur dengan menggunakan Food frequency questionere (FFQ). Alokasi waktu pengasuhan adalah alokasi waktu ibu untuk melakukan kegiatan pengasuhan meliputi keluar rumah, mengerjakan pekerjaan rumah, memberi makan, memandikan, bermain, dan tidur bersama contoh. Riwayat gejala Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA) adalah riwayat lama dan frekuensi contoh menderita gejala ISPA yang melibatkan organ saluran pernapasan selama enam bulan terakhir. Status gizi contoh adalah keadaan tubuh contoh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi pada waktu tertentu yang diukur secara antropometri melalui pengukuran berat badan dan tinggi badan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Kabupaten Kudus merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Tengah terletak diantara 110o36’ dan 110o50’ Bujur Timur serta 6o51’ dan 7o16’ Lintang Selatan. Luas wilayah Kabupaten Kudus tercatat sebesar 42 516 hektar. Secara administratif Kabupaten Kudus terbagi menjadi 9 kecamatan, 9 kelurahan, dan 123 desa. Jumlah penduduk Kabupaten Kudus pada tahun 2014 tercatat sebesar 821 136 jiwa, terdiri dari 404 318 jiwa laki-laki (49.24%) dan 416 818 jiwa perempuan (50.76%). Adapun jumlah balitanya yaitu 89 099 atau 7.99% dari jumlah penduduk di Kabupaten Kudus (BPS Kabupaten Kudus 2015a). Derajat kesehatan merupakan salah satu ukuran kesejahteraan dan kualitas sumber daya manusia. Beberapa indikator yang digunakan untuk menggambarkan
13 derajat kesehatan yaitu angka kematian balita dan status gizi balita. Angka kematian balita merupakan jumlah kematian balita per 1000 kelahiran hidup dalam kurun waktu satu tahun. Angka kematian balita di Kabupaten Kudus terus meningkat, 7.4 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2012, meningkat menjadi 8.4 dan meningkat lagi di tahun 2014 menjadi 9 per 1000 kelahiran hidup (Dinkes Kabupaten Kudus 2014). Adapun persentase status gizi balita yang ditimbang di Kabupaten Kudus pada tahun 2014 yakni 0.6% berstatus gizi buruk, 3.94% gizi kurang, 93.41% gizi baik, dan 2.04% gizi lebih (BPS Kabupaten Kudus 2015a). Adapun kecamatan dengan kasus balita gizi buruk tertinggi yaitu Kecamatan Undaan dan Mejobo, disusul dengan Kecamatan Jati. Selain itu Kecamatan Jati dan Mejobo merupakan dua kecataman dengan persentase balita Bawah Garis Merah (BGM) tertinggi kedua dan ketiga setelah Kecamatan Undaan (Dinkes Kabupaten Kudus 2014). Apabila dilihat dari bidang ketenagakerjaan, sebanyak 139 905 orang pekerja yang tersebar di 1254 perusahaan di Kabupaten Kudus. Selain itu, sebanyak 70.38% dari total pekerja tersebut berjenis kelamin perempuan. Salah satu jenis perusahaan atau industri yang berkembang pesat di Kabupaten Kudus yakni perusahaan pabrik rokok. Perusahaan rokok inilah yang menopang perekonomian di Kabupaten Kudus karena menyerap ribuan tenaga kerja (BPS Kabupaten Kudus 2015a). Kecamatan Jati merupakan kecamatan dengan perkembangan sektor industri yang pesat hingga tahun 2014. Oleh karena itu, sebagian besar penduduk di Kecamatan Jati bekerja menjadi buruh industri, yakni 58.19% dari total pekerja (BPS Kabupaten Kudus 2015b). Sama halnya dengan Kecamatan Mejobo. Sebagian besar mata pencaharian penduduk di Kecamatan Mejobo pada tahun 2014 yaitu sebagai buruh di sektor industri yakni 39.42% (BPS Kabupaten Kudus 2015c). Salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi biasanya dilihat dari pertumbuhan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB atas dasar harga berlaku di kabupaten Kudus pada tahun 2014 naik sebesar 11.64 persen dari tahun sebelumnya. Adapun nilai PDRB atas dasar harga konstan naik sebesar 4.68 persen dari tahun sebelumnya (BPS Kabupaten Kudus 2015a). Karakteristik Keluarga Karakteristik keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan status gizi (Supariasa et al. 2001). Karakteristik keluarga contoh yang diteliti dalam penelitian ini meliputi usia orang tua, besar keluarga, pendidikan terakhir orang tua, pekerjaan orang tua, dan pendapatan keluarga per bulan. Sebaran keluarga contoh berdasarkan karakteristik keluarga dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Sebaran keluarga contoh berdasarkan karakteristik keluarga Karakteristik keluarga Usia ayah Dewasa muda (20-30 tahun) Dewasa madya (31-50 tahun) Dewasa lanjut (51-75 tahun) Total Rata-rata ± SD (tahun)
n
Ibu bekerja %
4 10.5 32 84.2 2 5.3 38 100.0 38.5 ± 6.2
Ibu tidak bekerja n % 14 25.0 41 73.2 1 1.8 56 100.0 36.9 ± 7.2
14 Tabel 3 Sebaran keluarga contoh berdasarkan karakteristik keluarga (lanjutan) Karakteristik keluarga Usia ayah Dewasa muda (20-30 tahun) Dewasa madya (31-50 tahun) Dewasa lanjut (51-75 tahun) Total Rata-rata±SD (tahun) Usia ibu Dewasa muda (20-30 tahun) Dewasa madya (31-50 tahun) Dewasa lanjut (51-75 tahun) Total Rata-rata±SD (tahun) Besar keluarga Keluarga kecil (≤ 4 orang) Keluarga sedang (5-7 orang) Keluarga besar (> 7 orang) Total Rata-rata±SD (orang) Pendidikan terakhir ayah Tidak tamat SD Tamat SD SLTP/Sederajat SLTA/Sederajat Sarjana Total Pendidikan terakhir ibu Tidak tamat SD Tamat SD SLTP/Sederajat SLTA/Sederajat Sarjana Total Pekerjaan ayah Petani Pegawai swasta Buruh Wiraswasta Supir/ojek Total Pendapatan orang tua (Rp/bulan)
n
Ibu bekerja %
4 32 2 38
10.5 84.2 5.3 100.0
Ibu tidak bekerja n % 14 41 1 56
38.5±6.2
25.0 73.2 1.8 100.0 36.9±7.2
4 34 0 38 36.1±4.8
10.5 89.5 0.0 100.0
22 34 0 56 32.9±5.7
39.3 60.7 0.0 100.0
18 20 0 38
47.4 52.6 0.0 100.0
34 22 0 56
60.7 39.3 0.0 100.0
4.5±0.9
4.5±1.1
1 15 13 8 1 38
2.6 39.5 34.2 21.1 2.6 100.0
0 8 20 27 1 56
0.0 14.3 35.7 48.2 1.8 100.0
0 17 14 7 0 38
0.0 44.7 36.8 18.4 0.0 100.0
0 11 16 28 1 56
0.0 19.6 28.6 50.0 1.8 100.0
1 5 15 15 2 38
2.6 13.1 39.5 39.5 5.3 100.0
0 11 20 17 8 56
0.0 19.6 35.7 30.4 14.3 100.0
13 34.2 25 65.8 38 100.0 1 964 857±547 795
35 62.5 21 37.5 56 100.0 1 631 714±704 607
Usia orang tua Rata-rata usia ayah contoh pada kelompok ibu bekerja (38.5 tahun) lebih tua dibandingkan pada ibu tidak bekerja (36.9 tahun). Sama halnya dengan usia ayah, rata-rata usia ibu contoh pada kelompok ibu bekerja (36.1 tahun) lebih tua dibandingkan pada ibu tidak bekerja (32.9 tahun). Sebagian besar usia ayah contoh baik pada kelompok ibu bekerja (84.2%) maupun tidak bekerja (73.2%)
15 tergolong dewasa madya (31-50 tahun). Sebagian besar usia ibu contoh baik pada ibu bekerja (89.5%) maupun tidak bekerja (60.7%) juga tergolong dewasa madya. Usia merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan informasi baru. Semakin muda seseorang maka semakin mudah pula seseorang tersebut menerima informasi baru (Sunyoto 1991). Informasi atau pengetahuan baru ini nantinya akan mempengaruhi sikap atau pola pengasuhan ibu terhadap anaknya (Ogunba 2006). Besar keluarga Besar keluarga merupakan jumlah anggota rumah tangga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan orang yang tinggal menetap bersama dalam satu rumah (Permatasari 2004). Berdasarkan jumlah anggota rumah tangga contoh yang ditunjukkan pada Tabel 3, tidak ada rumah tangga yang tergolong dalam keluarga besar (> 7 orang) baik pada kelompok ibu bekerja maupun tidak bekerja. Lebih dari setengah kelompok ibu bekerja (52.6%) tergolong keluarga sedang (5–7 orang) dan pada ibu tidak bekerja (60.7%) tergolong keluarga kecil (≤ 4 orang). Besar keluarga merupakan salah satu data faktor ekologi yang berhubungan dengan penyebab malnutrisi (Jelliffe dan Patrice 1989). Hal ini terjadi karena semakin besar jumlah anggota rumah tangga yang tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan keluarga maka semakin berkurang porsi makanan yang dapat diterima masing-masing anggota keluarga (Suhardjo 2003). Selain itu, jumlah anggota rumah tangga akan mempengaruhi waktu dan pola pengasuhan orang tua terhadap anaknya (Sediaoetama 1993). Pendidikan orang tua Tingkat pendidikan orang tua akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas pangan anggota rumah tangga (Berg 1986). Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat pendidikan ayah dan ibu pada kelompok ibu bekerja dan tidak bekerja. Pada kelompok ibu bekerja, mayoritas tingkat pendidikan ayah dan ibu (39.5% dan 44.7%) yaitu tamat sekolah dasar (SD). Adapun pada kelompok ibu tidak bekerja, mayoritas tingkat pendidikan ayah dan ibu (48.2% dan 50.0%) yaitu sekolah menengah atas (SMA/SLTA/sederajat). Semakin tingginya tingkat pendidikan orang tua maka semakin mudah pula orang tua menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari (WNPG 2004). Pekerjaan orang tua Pada kelompok ibu bekerja, mayoritas jenis pekerjaan ayah yaitu buruh (39.5%) dan wiraswasta (39.5%) dan sejumlah kecil lainnya bekerja sebagai petani, pegawai swasta, dan supir/ojek. Adapun pada kelompok ibu tidak bekerja, mayoritas jenis pekerjaan ayah yaitu buruh (35.7%). Salah satu faktor yang mempengaruhi jenis pekerjaan seseorang yaitu tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin besar pula peluang untuk mendapatkan pekerjaan (Hardinsyah dan Suhardjo 1987). Pendapatan keluarga Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan keluarga pada kelompok ibu bekerja yaitu Rp1 964 857/bulan lebih besar dibandingkan dengan kelompok
16 ibu tidak bekerja yaitu Rp1 631 714/bulan. Sebagian besar pendapatan keluarga pada kelompok ibu bekerja tergolong lebih dari upah minimun regional (UMR) Kabupaten Kudus tahun 2016 (≥ Rp1 608 200/ bulan). Berbeda dengan kelompok ibu tidak bekerja, mayoritas pendapatan keluarga tergolong kurang dari UMR. Hal ini dikarenakan pendapatan ibu menyumbang total pendapatan pada kelompok ibu bekerja. Pekerjaan orang tua akan mempengaruhi kondisi perekonomian keluarga. Hal ini dikarenakan pekerjaan berhubungan dengan pendapatan keluarga. Rendahnya pendapatan menyebabkan rendahnya daya beli terhadap makanan dan berkurangnya konsumsi pangan keluarga sehingga akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi keluarga (Riyadi et al. 1990).
Karakteristik Contoh Karakteristik contoh yang diteliti dalam penelitian ini yaitu usia dan jenis kelamin. Pada kelompok ibu bekerja, jenis kelamin contoh tersebar merata baik perempuan (50%) maupun laki-laki (50%). Sama halnya dengan karakteristik jenis kelamin, usia contoh dalam kelompok ibu bekerja juga tersebar merata baik usia 36–47 bulan (50%) dan 48–60 bulan (50%). Adapun pada kelompok ibu tidak bekerja, sebagian besar contoh berjenis kelamin laki-laki (62.5%) dan beradasa pada rentang usia 36–47 bulan (58.9%). Sebaran contoh berdasarkan karakteristiknya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan karakteristiknya Ibu bekerja Ibu tidak bekerja Karakteristik contoh n % n % Jenis kelamin Laki-laki 19 50.0 35 62.5 Perempuan 19 50.0 21 37.5 Total 38 100.0 56 100.0 Usia (bulan) 36-47 19 50.0 33 58.9 48-60 19 50.0 23 41.1 Total 38 100.0 56 100.0 Rata-rata±SD 47.8±7.9 47.3±7.6 Balita merupakan salah satu kelompok usia yang menjadi sasaran program kesehatan ibu dan anak (KIA) (Darmayanti 2015). Hal ini dikarenakan kualitas tumbuh kembang balita akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia di masa depan. Perkembangan status imunitas, diet, dan psikologi balita yang tergolong pesat ini menjadikan kualitas tumbuh kembang balita sangat tergantung pada penduduk dewasa terutama ibunya (Jutomo 2008).
Pola Asuh Alokasi waktu pengasuhan ibu Pengasuhan memiliki pola yang menunjukkan adanya hubungan antara berbagai aspek untuk mendukung optimalnya pertumbuhan dan perkembangan
17 anak. Praktek pengasuhan yang memadai sangat penting tidak hanya bagi daya tahan anak tetapi juga optimalnya perkembangan fisik dan mental anak serta baiknya kondisi kesehatan anak (Masithah et al. 2005). Alokasi waktu pengasuhan ibu dilihat dari waktu yang diluangkan oleh ibu dalam sehari untuk kegiatan pengasuhan anak meliputi keluar rumah dengan anak, belajar dengan anak, memberi makan anak, memandikan anak, bermain dengan anak, dan tidur dengan anak. Sebaran rata-rata waktu pengasuhan ibu berdasarkan kegiatan pengasuhannya dapat dilihat pada Tabel 5. Uji beda Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan (p < 0.05) antara rata-rata alokasi waktu pengasuhan ibu bekerja dan tidak bekerja baik saat hari libur maupun hari kerja. Alokasi waktu pengasuhan ibu saat hari kerja yaitu 9.11 jam/hari pada kelompok ibu bekerja dan 14.86 jam/hari pada ibu tidak bekerja. Saat hari libur, alokasi waktu pengasuhan ibu meningkat menjadi 15.52 jam/hari pada kelompok ibu bekerja dan 16.08 jam/hari pada ibu tidak bekerja (Tabel 5). Kegiatan pengasuhan terlama pada hari kerja yang diberikan ibu bekerja (6.69 jam/hari) dan ibu tidak bekerja (8.75 jam/hari) yaitu tidur dengan anak. Kegiatan memberi makan anak saat hari kerja menghabiskan waktu rata-rata 0.54 jam/hari oleh ibu bekerja dan 1.29 jam/hari oleh ibu tidak bekerja (Tabel 5). Adapun kegiatan mengerjakan pekerjaan rumah dan bermain dengan anak dilakukan oleh ibu bekerja dan tidak bekerja saat malam hari menjelang tidur. Kegiatan pengasuhan terlama pada hari libur yang diberikan ibu bekerja (8.36 jam/hari) dan ibu tidak bekerja (8.84 jam/hari) yaitu tidur dengan anak. Kegiatan memberi makan anak saat hari libur menghabiskan waktu rata-rata 0.92 jam/hari oleh ibu bekerja dan 1.33 jam/hari oleh ibu tidak bekerja (Tabel 5). Alokasi waktu untuk kegiatan keluar rumah, mengerjakan pekerjaan rumah, memberi makan, memandikan, bermain dengan anak mengalami peningkatan pada hari libur. Tabel 5 Sebaran rata-rata alokasi waktu pengasuhan ibu bekerja dan tidak bekerja berdasarkan kegiatan pengasuhannya Kegiatan pengasuhan Keluar rumah dengan anak Belajar dengan anak Memberi makan anak Memandikan anak Bermain dengan anak Tidur dengan anak Total Uji beda Mann Whitney
Alokasi waktu (jam/hari) Hari kerja Hari libur Ibu bekerja Ibu tidak bekerja Ibu bekerja Ibu tidak bekerja 0.60 0.90 2.56 1.94 0.52 1.17 0.93 1.19 0.54 1.29 0.92 1.33 0.33 0.84 0.52 0.84 0.43 1.91 2.23 1.94 6.69 8.75 8.36 8.84 9.11 14.86 15.52 16.08 0.000 0.048
Hasil pada penelitian ini sesuai dengan penelitian Fitayani (2014) yang menyatakan ada perbedaan signifikan antara alokasi waktu pengasuhan ibu bekerja dan tidak bekerja. Ibu tidak bekerja akan memiliki kuantitas waktu pengasuhan yang lebih besar dibandingkan ibu bekerja. Ibu bekerja menghabiskan waktu ±8 jam/hari di pabrik rokok. Hal ini sejalan dengan penelitian Ogunba (2015) yang menyatakan bahwa ibu bekerja menghabiskan waktu 8 jam/hari di luar rumah sehingga alokasi waktu pengasuhan terhadap anaknya menjadi berkurang.
18 Pola asuh makan Pola asuh makan, sebagai bagian dari pola asuh orang tua, menjadi dasar kecukupan gizi dan perlindungan terhadap penyakit pada anak (Amugsi et al. 2014). Pola asuh makan pada awal kehidupan merupakan hal penting yang perlu dipertimbangkan orang tua dalam mengasuh anak. Pola asuh makan anak pada awal kehidupan akan menentukan kesehatan dan perkembangan anak pada masa mendatang (Ubeysekara et al. 2015). Pola asuh makan yang diteliti dalam penelitian ini meliputi praktek pemberian makan anak, jadwal makan anak, sikap ibu dalam pemberian makan anak, riwayat makan anak saat balita. Sebaran contoh berdasarkan kategori pola asuh makan ibu dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan kategori pola asuh makan ibu Ibu bekerja Ibu tidak bekerja Kategori pola asuh makan n % n % Rendah: < 60% 0 0.0 0 0.0 Sedang: 60–80% 27 71.1 11 19.6 Tinggi: > 80% 11 28.9 45 80.4 Total 38 100.0 56 100.0 Rata-rata±SD 78.5±3.9 85.4±4.8 Uji beda Mann Whitney 0.000 Uji beda Mann Whitney menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara pola asuh makan oleh ibu bekerja dan tidak bekerja (p < 0.05). Sebagian besar pola asuh makan kelompok ibu bekerja (71.1%) tergolong sedang, sedangkan kelompok ibu tidak bekerja (80.4%) tergolong tinggi. Tidak ada pola asuh makan ibu bekerja dan tidak bekerja yang tergolong rendah (Tabel 6). Pada kelompok ibu bekerja, skor jadwal makan anak dan sikap ibu dalam pemberian makan anak kurang daripada keluarga ibu tidak bekerja. Jadwal makan anak meliputi pemantauan ibu terhadap pola dan waktu makan anak, kurang dapat dilakukan secara maksimal oleh ibu yang bekerja. Adapun sikap ibu dalam pemberian makan anak, mayoritas ibu bekerja membiarkan saja apabila anak tidak menghabiskan porsi makanan dan tidak mau makan sayur. Hasil ini sejalan dengan penelitian Diana (2006) yang menyatakan bahwa pola asuh makan ibu tidak bekerja lebih baik dibandingkan ibu bekerja. Suiraoka et al. (2011) menyatakan perbedaan pola asuh makan pada keluarga miskin dan tidak miskin dapat dijelaskan bahwa semakin tingginya tuntutan kebutuhan dalam kehidupan menyebabkan ibu mulai mengambil peran ganda. Peran ganda tersebut yaitu sebagai ibu rumah tangga yang harus mengasuh anak dan sebagai penghasil tambahan pendapatan keluarga atau bekerja. Konsekuensi dari peran ganda tersebut yaitu terjadinya perubahan dan peralihan kegiatan praktik pemberian makan serta pola asuhnya. Pola asuh kesehatan Selain pola asuh makan, pola asuh kesehatan juga menjadi dasar kecukupan gizi dan perlindungan terhadap penyakit pada anak (Amugsi et al. 2014). Pola asuh kesehatan yang baik dapat menghindarkan anak dari penyakit infeksi seperti ISPA (Arun et al. 2014). Serbin et al. (2014) menjelaskan pola asuh kesehatan yang positif akan menurunkan resiko anak terkena penyakit melalui menurunkan tingkat stres anak, mencegah anak terpapar infeksi, atau
19 menurunkan peluang anak terkena penyakit. Sebaran contoh berdasarkan kategori pola asuh kesehatan ibu dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan kategori pola asuh kesehatan ibu Ibu bekerja Ibu tidak bekerja Kategori pola asuh kesehatan n % n % Rendah: < 60% 0 0.0 0 0.0 Sedang: 60–80% 28 73.7 23 41.1 Tinggi: > 80% 10 26.3 33 58.9 Total 38 100.0 56 100.0 Rata-rata±SD 76.5±5.9 80.9±6.3 Uji beda Mann Whitney 0.001 Uji beda Mann Whitney menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara pola asuh kesehatan oleh ibu bekerja dan tidak bekerja (p < 0.05). Sebagian besar pola asuh kesehatan ibu bekerja (73.7%) tergolong sedang, namun, pada ibu tidak bekerja (58.9%) tergolong tinggi. Mayoritas kelompok ibu bekerja dan tidak bekerja belum membiasakan anak untuk mencuci kaki dan menggosok gigi sebelum tidur. Pada kelompok ibu bekerja, ibu membersihkan ruangan rumah dan mencuci bersih mainan anak dilakukan dengan frekuensi kadang-kadang. Adapun pada keluarga ibu tidak bekerja kegiatan tersebut dilakukan dengan frekuensi sering. Hasil ini sejalan dengan penelitian Jayanti et al. (2011), rata-rata ibu yang bekerja di luar rumah, cenderung memiliki waktu yang kurang untuk mengontrol pola makan dan pola hidup bersih anaknya.
Stimulasi Psikososial Stimulasi psikososial menunjuk pada kemampuan lingkungan dalam menyediakan stimulasi fisik dan emosi sehingga hubungan antara pengasuh/orang tua dan anak terbentuk (Peter dan Kumar 2014). Sebaran rata-rata skor stimulasi psikososial yang didapat contoh berdasarkan jenis stimulasinya dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran rata-rata skor stimulasi psikososial contoh berdasarkan jenis stimulasinya Jenis stimulasi Stimulasi belajar Stimulasi bahasa Lingkungan fisik Kehangatan dan penerimaan Stimulasi akademik Modeling Variasi stimulasi Hukuman TOTAL
Ibu bekerja 5.26 6.37 4.76 4.50 3.39 4.39 5.03 3.50 38.55
Skor Ibu tidak bekerja 6.66 6.91 5.95 5.43 4.16 4.84 6.18 3.79 41.34
Uji beda Mann Whitney 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.011 0.001
Tabel 8 menunjukkan ada perbedaan yang signifikan skor stimulasi belajar, stimulasi bahasa, lingkungan fisik, kehangatan dan penerimaan, stimulasi
20 akademik, modeling, variasi stimulasi, dan hukuman antara kelompok ibu bekerja dan tidak bekerja (p < 0.05). Skor masing-masing jenis stimulasi pada contoh kelompok ibu tidak bekerja lebih tinggi dibandingkan pada kelompok ibu bekerja. Menurut Peter dan Kumar (2014), salah satu faktor yang mempengaruhi stimulasi psikososial adalah tingkat pendidikan ibu. Mayoritas pendidikan terakhir ibu pada kelompok ibu bekerja yaitu tamat SD sedangkan pada kelompok ibu tidak bekerja yaitu SMA/SLTA/sederajat. Hal ini akan berdampak pada stimulasi psikososial yang diterima anak. Oleh karena itu, skor stimulasi psikososial contoh pada kelompok ibu bekerja kurang dari kelompok ibu tidak bekerja. Adapun sebaran kategori skor stimulasi psikososial contoh dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran kategori skor stimulasi psikososial contoh Ibu bekerja Ibu tidak bekerja Kategori n % n % Rendah (0–29) 0 0.0 0.0 0.0 Sedang (30–45) 36 94.7 45 80.4 Tinggi (46–55) 2 5.3 11 19.6 Total 38 100.0 56 100.0 Rata-rata±SD 38.55±3.96 41.34±3.78 Tabel 9 menunjukkan mayoritas kategori skor stimulasi psikososial contoh tergolong sedang baik pada kelompok ibu bekerja maupun tidak bekerja. Pada kelompok ibu tidak bekerja, persentase contoh dengan kategori skor stimulasi psikososial tinggi yaitu 19.6% sedangkan pada kelompok ibu bekerja hanya 5.3%.
Kebiasaan Makan Penilaian konsumsi pangan adalah salah satu metode tidak langsung yang digunakan dalam penentuan status gizi perorangan atau kelompok. Berdasarkan jenis data yang diperoleh, metode penilaian konsumsi pangan dibagi dua yaitu, bersifat kualitatif dan kuantitatif. Salah satu metode kualitatif yaitu metode frekuensi makanan (food frequency). Metode ini digunakan untuk melihat gambaran pola konsumsi atau kebiasaan makan secara kualitatif selama periode tertentu, seperti hari, minggu, bulan, atau tahun (Supariasa et al. 2001). Frekuensi rata-rata konsumsi jenis pangan oleh contoh dalam minggu dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Frekuensi rata-rata konsumsi jenis pangan oleh contoh (kali/minggu) Jenis pangan Ibu bekerja Ibu tidak bekerja Seralia Beras 17.68 17.63 Roti 1.75 2.06 Mie 1.82 1.96 Protein hewani Ayam 2.58 2.91 Ikan 7.47 7.67 Telur ayam 5.89 6.32 Sosis 2.21 1.91
21 Tabel 10 Frekuensi rata-rata konsumsi jenis pangan oleh contoh (kali/minggu) (lanjutan) Jenis pangan Ibu bekerja Ibu tidak bekerja Protein nabati Tempe 4.39 4.19 Tahu 2.39 2.64 Sayuran Bayam 1.53 1.78 Wortel 1.18 1.64 Kangkung 1.12 0.89 Sawi 1.00 0.77 Buah-buahan Pisang 1.00 1.35 Melon 0.63 0.09 Jeruk 0.51 0.57 Jambu biji 0.34 0.63 Susu 19.53 21.09 Makanan jajanan Biskuit 3.39 4.13 Wafer 4.32 4.73 Permen 4.22 3.30 Chiki 2.79 2.61 Tabel 10 menunjukkan susu merupakan jenis pangan yang paling sering dikonsumsi contoh baik pada kelompok ibu bekerja (19.53 kali/minggu) dan ibu tidak bekerja (21.09 kali/minggu). Hasil ini berbeda dengan penelitian Fauziah (2009) yang menyebutkan bahwa frekuensi konsumsi susu pada balita kurang dari 1 kali dalam seminggu. Perilaku ibu terhadap pemilihan pangan yang dikonsumsi anak akan mempengaruhi kebiasaan makan anak. Savage et al. (2007) menyatakan bahwa konsumsi susu anak perempuan dengan perilaku ibu yang selalu menyediakan susu setiap kali makan utama dan selingan akan dua kali lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan dengan perilaku ibu yang tidak atau jarang menyediakan susu. Beras merupakan jenis bahan pangan kelompok serealia yang paling sering dikonsumsi contoh baik pada kelompok ibu bekerja (17.68 kali/minggu) maupun tidak bekerja (17.63 kali/minggu) dibandingkan roti dan mie. Hasil ini sesuai dengan pendapat Fauziah (2009) yang menyebutkan bahwa nasi merupakan jenis bahan pangan kelompok serealia yang paling sering dikonsumsi balita yaitu >1 kali sehari. Ikan merupakan jenis bahan pangan kelompok protein hewani yang paling sering dikonsumsi contoh baik pada kelompok ibu bekerja (7.47 kali/minggu) maupun tidak bekerja (7.67 kali/minggu) dibandingkan dengan telur ayam, ayam, dan sosis. Hal ini dikarenakan harga ikan lebih terjangkau oleh ibu bekerja dan tidak bekerja dibandingkan dengan ayam, telur ayam, dan sosis. Tempe sebagai bahan pangan nabati yang paling sering dikonsumsi contoh dengan frekuensi 4.39 kali/minggu pada kelompok ibu bekerja dan 4.19 kali/minggu pada kelompok ibu tidak bekerja. Tahu dikonsumsi dengan frekuensi <3 kali/minggu baik pada kelompok ibu bekerja maupun tidak bekerja. Bayam merupakan jenis sayur yang paling sering dikonsumsi, kemudian wortel,
22 kangkung, dan terakhir sawi. Frekuensi konsumsi bayam, wortel, kangkung, dan sawi < 2 kali/minggu baik pada kelompok ibu bekerja maupun tidak bekerja. Pisang merupakan jenis buah yang paling sering dikonsumsi contoh dengan frekuensi 1 kali/minggu pada kelompok ibu bekerja dan 1.35 kali/minggu pada kelompok ibu tidak bekerja. Akan tetap baik pisang, melon, jeruk, maupun jambu biji, dikonsumsi contoh < 2 kali/minggu. Wafer merupakan jenis makanan jajanan yang paling sering dikonsumsi contoh baik pada kelompok ibu bekerja (4.32 kali/minggu) maupun tidak bekerja (4.73 kali/minggu). Jenis makanan jajanan kedua yang sering dikonsumsi contoh yaitu permen pada kelompok ibu bekerja (4.22 kali/minggu) dan biskuit (4.13 kali/minggu) pada kelompok ibu tidak bekerja (4.13 kali/minggu).
Konsumsi Pangan Selain bersifat kualitatif, penilaian konsumsi pangan juga dapat dilakukan secara kuantitatif. Penilaian konsumsi pangan yang bersifat kuantitatif dimaksudkan untuk mengetatahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung intake zat gizinya. Salah satunya yaitu metode food recall 1x24 jam. Rata-rata kebutuhan, konsumsi, dan tingkat kecukupan energi dan protein contoh melalui metode food recall dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11
Rata-rata konsumsi, kebutuhan, dan tingkat protein contoh Energi (kkal) Rata-rata Ibu Ibu tidak bekerja bekerja Konsumsi 1256 1285 AKG 1310 1304 Tingkat kecukupan (%) 96.54 99.06 Uji beda Mann Whitney 0.841
kecukupan energi dan Protein (gram) Ibu Ibu tidak bekerja bekerja 30.35 32.45 29.40 29.62 104.6 111.77 0.156
Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan tingkat kecukupan energi dan protein contoh antara kelompok ibu bekerja dan tidak bekerja (p > 0.05). Hasil ini sejalan dengan penelitian Fitayani (2014) dan Punarsih (2012) yang menyebutkan tidak ada perbedaan yang signifikan tingkat kecukupan energi dan protein antara balita pada keluarga ibu bekerja dan tidak bekerja. Ibu yang bekerja tidak selalu memberikan efek yang negatif pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Satu sisi menjelaskan berkurangnya waktu yang dimiliki ibu bekerja untuk mengasuh anak seperti menyiapkan makan anak. Satu sisi lainnya, pendapatan tambahan dari ibu yang bekerja dapat meningkatkan tersedianya kualitas makanan yang baik bagi anak (Crepinsek dan Burstein 2004). Mayoritas tingkat kecukupan energi contoh pada kedua kelompok tergolong cukup. Akan tetapi tingkat kecukupan energi yang tergolong defisit berat pada contoh kelompok ibu bekerja (23.7%) lebih besar dibandingkan pada contoh kelompok ibu tidak bekerja (3.6%). Tingkat kecukupan energi contoh yang tergolong lebih pada keluarga ibu bekerja sebanyak 18.4% dan pada keluarga ibu
23 tidak bekerja sebanyak 7.1%. Sebaran tingkat kecukupan energi responden dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran tingkat kecukupan energi contoh Energi (kkal) Kategori tingkat kecukupan Ibu bekerja Ibu tidak bekerja n % n % Defisit berat (< 70%) 9 23.7 2 3.6 Defisit sedang (70–79%) 3 7.9 3 5.4 Kurang (80–89%) 2 5.3 5 8.9 Cukup (90–119%) 17 44.7 42 75.0 Lebih (≥ 120%) 7 18.4 4 7.1 Total 38 100.0 56 100.0 Mayoritas tingkat kecukupan protein contoh pada kelompok ibu bekerja (50.0%) tergolong cukup dan pada kelompok ibu tidak bekerja (42.9%) tergolong lebih (Tabel 13). Adapun tingkat kecukupan protein contoh yang tergolong defisit berat pada kelompok ibu bekerja sebanyak 15.8% dan 5.4% pada kelompok ibu tidak bekerja. Sebaran tingkat kecukupan energi responden dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran tingkat kecukupan protein contoh Protein (gram) Kategori tingkat kecukupan Ibu bekerja Ibu tidak bekerja n % n % Defisit berat (< 70%) 6 15.8 3 5.4 Defisit sedang (70–79%) 3 7.9 4 7.1 Kurang (80–89%) 2 5.3 5 8.9 Cukup (90–119%) 19 50.0 20 35.7 Lebih (≥ 120%) 8 21.1 24 42.9 Total 38 100.0 54 100.0 Meskipun intake energi dan protein penting dalam diet, zat gizi lainnya seperti vitamin dan mineral juga dibutuhan untuk hidup sehat dan berkelanjutan (Badake et al. 2014). Adapun vitamin dan mineral yang diteliti yaitu zat besi, vitamin A, dan vitamin C. Sebaran tingkat kecukupan zat besi, vitamin A, dan vitamin C contoh dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran tingkat kecukupan zat gizi mikro responden Tingkat kecukupan Kurang: <70% Cukup: ≥70% Total
Zat besi (mg) Ibu Ibu tidak bekerja bekerja n % n %
Vitamin A (µg) Ibu Ibu tidak bekerja bekerja n % n %
Vitamin C (mg) Ibu Ibu tidak bekerja bekerja n % n %
24
63.2
37
66.1
3
7.9
4
7.1
24
63.2
30
53.6
14
36.8
19
33.9
35
92.1
52
92.9
14
36.8
26
46.4
38
100.0
56
100.0
38
100.0
56
100.0
38
100.0
56
100.0
Secara keseluruhan, mayoritas tingkat kecukupan zat besi contoh pada kelompok ibu bekerja (63.2%) dan tidak bekerja (66.1%) tergolong kurang. Mayoritas tingkat kecukupan vitamin A contoh pada kelompok ibu bekerja
24 (92.1%) dan ibu tidak bekerja (92.9%) tergolong cukup, sedangkan tingkat kecukupan vitamin C tergolong kurang pada 63.2% contoh kelompok ibu bekerja dan 53.6% contoh kelompok ibu tidak bekerja. Hal ini berkaitan dengan jarangnya frekuensi konsumsi sayur dan buah sumber vitamin C oleh contoh. Susu memberikan kontribusi terbesar terhadap intake energi contoh pada kelompok ibu bekerja (34.46%) dan tidak bekerja (31.80%). Hal ini sesuai dengan hasil pada jenis pangan yang paling sering dikonsumsi contoh yaitu susu. Adapun intake protein dikontribusi oleh lain-lain dan susu berturut-turut 23.69% dan 21.13% pada contoh kelompok ibu bekerja serta 26.15% dan 19.09% pada contoh kelompok ibu tidak bekerja. Persentase kontribusi zat gizi jenis bahan pangan terhadap intake energi dan protein contoh dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Persentase kontribusi zat gizi jenis bahan pangan terhadap konsumsi energi dan protein contoh (%) Jenis bahan Energi (kkal) Protein (gram) pangan Ibu tidak Ibu tidak Ibu bekerja Ibu bekerja bekerja bekerja Nasi 21.2 24.6 10.4 11.8 Ikan 4.3 4.1 15.0 13.9 Telur 5.0 5.6 12.9 13.2 Sayur 0.9 1.2 1.8 1.9 Susu 34.5 31.8 21.1 19.1 Jajan 19.0 17.5 14.7 12.5 Lain-lain 15.2 15.6 23.7 26.2 Jenis pangan yang memberikan kontribusi besar kedua terhadap intake energi yaitu nasi baik pada kelompok ibu bekerja (21.23%) maupun tidak bekerja (24.61%). Ikan memberikan kontribusi terhadap intake protein pada urutan ketiga, yakni 15.03% pada contoh kelompok ibu bekerja dan 13.87% pada contoh kelompok ibu tidak bekerja. Jajan memberikan kontribusi terhadap intake energi pada urutan ketiga sebesar 18.99% pada contoh kelompok ibu bekerja dan 17.51% pada kelompok ibu tidak bekerja (Tabel 15).
Status Gizi Status gizi merupakan keadaan kesehatan yang dipengaruhi oleh keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi akibat penggunaannya oleh tubuh. Apabila tubuh seseorang mendapatkan asupan zat gizi dalam kualitas dan kuantitas yang terpenuhi, maka orang tersebut akan mendapatkan status gizi yang optimal (Sediaoetama 2008). Menurut Almatsier (2001), bila tubuh memperoleh cukup zat gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status gizi optimal yang memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, dan kemampuan kerja yang optimal pula. Penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi empat, yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofosik (Supariasa et al. 2001). Pengukuran antropometri dalam penelitian ini berdasarkan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Sebaran contoh berdasarkan indeks status gizi dapat dilihat pada Tabel 16.
25
Kategori
Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan indeks status gizi Ibu bekerja Ibu tidak bekerja n % n %
Z-skor BB/U Gizi buruk: < -3 SD Gizi kurang: -3 SD – < -2 SD Gizi baik: -2 SD – 2 SD Gizi lebih: > 2 SD Total Rata-rata±SD Uji beda Z-skor TB/U Pendek: < -2 SD Normal: ≥ -2 SD Total Rata-rata±SD Uji beda Z-skor BB/TB Sangat kurus: < -3 SD Kurus: -3 SD – < -2 SD Normal: -2 SD – 2 SD Gemuk: > 2 SD Total Rata-rata±SD Uji beda
n
Total %
0 0.0 1 1.8 4 10.5 9 16.1 32 84.2 41 73.2 2 5.3 5 8.9 38 100.0 56 100.0 -0.15±1.94 -0.401±1.74 p = 0.493
1 13 73 7 94
1.1 13.8 77.7 7.4 100.0
3 7.9 8 14.3 35 92.1 48 85.7 38 100.0 56 100.0 -0.48±1.24 -0.38±1.44 p = 0.712
11 83 94
11.7 88.3 100.0
1 2.6 2 3.6 2 5.3 7 12.5 31 81.6 42 75.0 4 10.5 5 8.9 38 100.0 56 100.0 -0.06±2.14 -0.44±1.85 p = 0.408
3 9 73 9 94
3.2 9.6 77.7 9.6 100.0
Tabel 16 menunjukkan tidak ada perbedaan yang siginifikan status gizi contoh pada kelompok ibu bekerja dan tidak bekerja berdasarkan indikator BB/U (p=0.493), TB/U (p=0.712), dan BB/TB (p=0.408). Berdasarkan indikator BB/U, mayoritas status gizi contoh tergolong gizi baik pada kelompok ibu bekerja (84.2%) maupun tidak bekerja (73.2%). Berdasarkan kategori TB/U, sebagian besar contoh baik pada kelompok ibu bekerja (92.1%) maupun ibu tidak bekerja (85.7%) tergolong status gizi normal. Status gizi contoh berdasarkan indikator BB/TB menunjukkan sebagian besar contoh memiliki status gizi normal baik pada kelompok ibu bekerja (81.6%) maupun ibu tidak bekerja (75.0%)
Riwayat Gejala ISPA ISPA merupakan salah satu penyebab substansial morbiditas dan mortalitas balita dan menjadi masalah kesetahan di negara berkembang dan maju. Faktor sosial dan lingkungan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya ISPA pada balita diantaranya yaitu status gizi yang buruk, rendahnya keadaan sosial ekonomi keluarga, imunisasi yang tidak lengkap, dan terlambatnya inisiasi menyusui dini (IMD) berpengaruh terhadap faktor resiko ISPA (Sharma et al. 2013). Gizi berperan dalam penentu status imun balita. Kurang gizi dapat berdampak pada rendahnya sistem imunitas sehingga meningkatkan peluang terpapar infeksi (Bhandari dan Chhetri 2013). Menurut Acharya et al. (2003) rata-
26 rata frekuensi ISPA pada balita yaitu 6.42 kali/tahun. Hasil tersebut mendasari pemilihan riwayat gejala ISPA selama enam bulan terakhir. Sebaran riwayat gejala ISPA contoh dalam enam bulan terakhir dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran riwayat gejala ISPA contoh dalam enam bulan terakhir Ibu bekerja Ibu tidak bekerja Riwayat gejala ISPA n % n % Frekuensi < 3 kali/6 bulan 22 57.9 37 66.1 ≥ 3 kali/6 bulan 16 42.1 19 33.9 Total 38 100.0 Rata-rata±SD 2.6±1.5 2.0±1.0 Uji beda p = 0.048 Lama < 5 hari/kali 14 36.8 31 55.4 ≥ 5 hari/kali 24 63.2 25 44.6 Rata-rata±SD 5.4±1.8 4.2±2.0 Uji beda p = 0.007 Hasil uji beda Mann Whitney pada Tabel 17 menunjukkan ada perbedaan yang signifikan riwayat frekuensi dan lama contoh terkena gejala ISPA antara kellompok ibu bekerja dan tidak bekerja dalam enam bulan terakhir (p < 0.05). Frekuensi gejala ISPA sebagian besar contoh yaitu < 3 kali selama enam bulan terakhir baik pada kelompok ibu bekerja (57.9%) maupun tidak bekerja (66.1%). Sebagian besar contoh pada kelompok ibu bekerja (63.2%) terserang gejala ISPA enam bulan terakhir selama ≥ 5 hari/kali sakit. Berbeda dengan sebagian besar contoh pada kelompok ibu tidak bekerja (55.4%) yang terserang gejala ISPA enam bulan terakhir selama < 5 hari/kali sakit.
Hubungan antar Variabel Karakteristik keluarga dengan pola asuh Karakteristik keluarga akan mempengaruhi perilaku atau pola pengasuhan anak termasuk waktu pengasuhan. Pola asuh orang tua terhadap anaknya berpengaruh terhadap status gizi dan kesehatan anak (UNICEF 1998). Pola asuh orang tua dipengaruhi oleh sumber daya seperti pengetahuan tentang pengasuhan, beban kerja orang tua, dan dukungan ekonomi (Ramji 2009). Uji hubungan karakteristik keluarga dengan pola asuh orang tua dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Hasil uji korelasi Rank Spearman karakteristik keluarga dengan pola asuh Variabel r p Pendidikan terakhir ibu – alokasi waktu pengasuhan hari biasa 0.242 0.019 Pendidikan terakhir ayah – alokasi waktu pengasuhan hari biasa 0.233 0.024 Pendapatan keluarga – alokasi waktu pengasuhan hari biasa -0.336 0.001 Pendidikan terakhir ibu – pola asuh makan 0.284 0.005 Pendidikan terakhir ayah – pola asuh makan 0.326 0.001 Pendapatan keluarga – pola asuh makan -0.278 0.007
27 Tabel 18 menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara pendidikan terakhir orang tua dengan alokasi waktu pengasuhan pada hari biasa dan pola asuh makan (p < 0.05). Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua maka semakin menyadari bahwa waktu untuk mengasuh anak lebih utama dibandingkan dengan waktu untuk kepentingan pribadinya. Hal ini sejalan dengan penelitian Sukoco et al. (2015) yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan orang tua maka semakin tinggi pula pemahaman dan rasa tanggung jawab akan pentingnya peran sebagai pengasuh. Pendapatan keluarga memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan alokasi waktu pengasuhan pada hari biasa dan pola asuh makan (p < 0.05). Hal ini menandakan apabila pendapatan keluarga semakin tinggi maka kuantitas alokasi waktu pengasuhan pada hari biasa semakin berkurang sehingga berdampak pada kualitas pola asuh makan yang diberikan. Pada kelompok ibu bekerja, tentunya pendapatan dari ibu menyumbang total pendapatan keluarga sehingga pendapatan keluarga semakin tinggi. Akan tetapi peran ibu untuk mengasuh anak menjadi berkurang karena sebagian waktunya digunakan untuk bekerja. Hal ini sesuai dengan pendapat Peter dan Kumar (2014), waktu dan tenaga untuk mengasuh anak akan berkurang apabila ibu bekerja. Pendidikan terakhir orang tua memiliki hubungan positif yang signifikan dengan pola asuh makan. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka semakin baik pola asuh makan yang diberikan. Hal ini sejalan dengan penelitian Safari et al. (2013) yang menunjukkan ada hubungan signifikan antara pendidikan ibu dengan pola asuh makan. Bwalya et al. (2015) juga berpendapat bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka semakin baik dan tepat pola asuh makan yang diberikan. Karakteristik keluarga dengan stimulasi psikososial Stimulasi psikososial merupakan salah satu kegiatan pengasuhan orang tua kepada anak (Engle 1997). Skor HOME digunakan untuk menilai kualitas dan kuantitas dukungan stimulasi psikososial yang didapat anak selama di rumah. Uji korelasi karakteristik keluarga dengan stimulasi psikososial dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Uji korelasi Rank Spearman karakteristik keluarga dengan stimulasi psikososial Variabel r p Pendidikan terakhir ibu – stimulasi psikososial 0.294 0.004 Pendidikan terakhir ayah – stimulasi psikososial 0.322 0.002 Tabel 19 menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara pendidikan orang tua dengan skor stimulasi psikososial yang didapat contoh (p < 0.05). Hasil ini sejalan dengan penelitian Latifah (2007) yang menunjukkan bahwa pendidikan orang tua berhubungan dengan stimulasi psikososial yang didapat balita. Hastuti et al. (2010) menyebutkan rendahnya stimulasi psikososial yang didapat balita berkaitan dengan kurangnya pengetahuan orang tua. Vazir et al. (1998) menjelaskan semakin tinggi pendidikan ayah maka semakin tinggi pula kemampuan ayah untuk mendongeng sehingga berdampak pada baiknya stimulasi psikososial yang didapat anak di India. Kemampuan mendongeng ini akan mendorong stimuasi bahasa kepada anaknya.
28 Karakteristik keluarga dengan status gizi Karakteristik keluarga berpengaruh terhadap status gizi balita dikarenakan keluarga merupakan sarana interaksi pertama bagi balita. Masuda et al. (2010) menyatakan rata-rata anak stunting berada dalam keluarga yang karakteristik sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan orang tuanya yang rendah. Uji korelasi karakteristik keluarga dengan status gizi contoh dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Uji korelasi Rank Spearman karakteristik keluarga dengan status gizi contoh Variabel r p Pendapatan keluarga – Z-skor BB/U 0.287 0.038 Pendidikan terakhir ayah – Z-skor TB/U 0.517 0.001 Pendapatan keluarga – Z-skor TB/U 0.289 0.035 Tabel 20 menunjukkan ada hubungan positif yang signifikan antara pendapatan keluarga dengan status gizi contoh berdasarkan indeks BB/U dan TB/U. Hasil penelitian ini sejalan dengan Sukoco et al. (2015) dan Masithah et al. (2005) bahwa ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita berdasarkan indikator BB/U. Status ekonomi yang tinggi mengindikasikan daya beli dan kemampuan untuk mendapatkan pangan yang cukup dan berkualitas. Adapun pendidikan terakhir ayah berhubungan positif yang signifikan dengan status gzi contoh berdasarka indeks TB/U. Hasil ini sejalan dengan Fitriana et al. (2007) dan Fauziah (2009) yang menyebutkan bahwa pendidikan ayah berhubungan dengan status gizi balita berdasarkan indikator TB/U. Tingginya pendidikan ayah maka semakin mudah ayah untuk mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang lebih besar. Alokasi waktu pengasuhan orang tua dengan pola asuh dan stimulasi psikososial Praktek pengasuhan yang memadai sangat penting tidak hanya bagi daya tahan tubuh anak tepai juga mengoptimalkan perkembangan fisik dan mental (Masithah et al. 2005). Kualitas dan kuantitas waktu pengasuhan berpengaruh terhadap praktek pengasuhan orang tua. Uji korelasi alokasi waktu pengasuhan orang tua dengan pola asuh dan stimulasi psikososial contoh dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21
Uji korelasi Rank Spearman alokasi waktu pengasuhan orang tua dengan pola asuh dan stimulasi psikososial Variabel r p Alokasi waktu pengasuhan hari biasa – pola asuh makan 0.567 0.001 Alokasi waktu pengasuhan hari biasa – pola asuh kesehatan 0.352 0.001 Alokasi waktu pengasuhan hari biasa – stimulasi psikososial 0.324 0.001 Tabel 21 menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara alokasi waktu pengasuhan hari biasa dengan pola asuh makan dan kesehatan (p < 0.05). Semakin tinggi alokasi waktu pengasuhan maka semakin baik pula pola asuh makan dan kesehatan yang diberikan. Hal ini sejalan dengan penelitan Peter dan Kumar (2014) yang menyebutkan bahwa ada hubungan yang siginifikan antara alokasi waktu pengasuhan ibu dengan pola asuh makannya. Pendapatan keluarga yang kurang sehingga menuntut ibu untuk memegang peran ganda, yaitu
29 mengasuh anak dan bekerja. Hal ini tentunya akan mengurangi alokasi waktu ibu untuk mengasuh dan memperhatikan kesehatan anak ketika hari biasa (Center for Community Child Health 2004). Alokasi waktu pengasuhan hari biasa memiliki hubungan positif yang signifikan dengan stimulasi psikososial yang didapat contoh (p < 0.05). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin banyak waktu pengasuhan anak maka dukungan stimulasi psikososial yang didapat anak selama di rumah semakin baik. Hasil ini sejalan dengan penelitian Vazir et al. (1998) yang menyebutkan waktu luang orang tua dengan anak berhubungan dengan stimulasi psikososial yang akan didapatkan anak. Pola asuh makan dan status gizi Pola asuh makan pada awal kehidupan menentukan kesehatan dan perkembangan anak pada masak kehidupan selanjutnya. (Ubeysekara et al. 2015). Kualitas pola asuh makan yang buruk akan berdampak pada intake energi dan protein yang rendah. Apabila kondisi ini berlangsung secara terus-menerus akan berdampak pada buruknya status gizi anak (Badake et al. 2014). Hasil uji korelasi Rank Spearman pola asuh makan dan status gizi contoh dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Uji korelasi Rank Spearman pola asuh makan dan status gizi Variabel r p Pola asuh makan – Z-skor BB/U 0.220 0.033 Pola asuh makan – Z-skor TB/U 0.223 0.030 Uji korelasi Rank Spearman menunjukkan ada hubungan positif yang signifikan pola asuh makan dan status gizi contoh berdasarkan indeks BB/U dan TB/U (p < 0.05). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi kualitas pola asuh makan ibu kepada contoh maka semakin baik pula status gizi contoh. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Amugsi et al. (2014) yaitu pola asuh berhubungan dengan status gizi balita indikator TB/U. Hasil penelitian ini juga didukung dengan Kumar et al. (2006) dan Kumar et al. (2015) yang menyebutkan ada hubungan signifikan antara pola asuh makan ibu dengan status gizi balita indikator BB/U dan TB/U. Ramji (2009) menyebutkan ada hubungan antara kualitas pola asuh makan dengan status gizi balita di India. Baik dan benarnya kualitas pola asuh makan yang diberikan orang tua pada balita berefek pada baiknya status gizi balita tersebut. Hubungan pola asuh dengan riwayat gejala ISPA enam bulan terakhir Pola asuh makan dan kesehatan merupakan bagian dari pola asuh anak yang mendasari kecukupan zat gizi dan penjagaan anak terhadap penyakit yang berdampak pada status kesehatan anak (Amugsi et al. 2014). Suhardjo (2005) menyatakan bahwa status gizi kurang dan penyakit infeksi merupakan interaksi yang bolak-balik. Interaksi bolak-balik ini yaitu penyakit infeksi pada anak akan menurunkan nafsu makan sehingga berdampak pada status gizi, sedangkan kurang gizi akan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit. Olack et al. (2011) menyebutkan kejadian malnutrisi pada balita yang memiliki frekuensi makan jarang lebih banyak daripada balita yang frekuensi makannya sering. Pola asuh makan yang tepat pada saat anak terjangkit penyakit infeksi dapat mencegah
30 resiko kurang gizi pada anak tersebut (Ubeysekara et al. 2015). Hasil uji korelasi pola asuh dengan riwayat gejala ISPA enam bulan terakhir dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Uji korelasi Rank Spearman pola asuh dengan riwayat gejala ISPA enam bulan terakhir Variabel r p Pola asuh makan – frekuensi gejala ISPA -0.226 0.028 Pola asuh makan – lama gejala ISPA -0.265 0.010 Pola asuh kesehatan – lama gejala ISPA -0.285 0.005 Tabel 23 menunjukkan adanya hubungan negatif yang signifikan pola asuh makan dengan frekuensi dan lama gejala ISPA yang pernah diderita contoh enam bulan terakhir (p < 0.05). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin baik kualitas pola asuh makan maka semakin rendah frekuensi dan lama gejala ISPA yang diderita contoh enam bulan terakhir. Islam et al. (2013) dan Sharma et al. (2013) menjelaskan ada hubungan antara status gizi dan kejadian ISPA. Status gizi balita yang kurang atau buruk akan meningkatkan resiko terkenanya ISPA. Secara tidak langsung menjelaskan apabila kualitas pola asuh makan baik maka status gizi balita juga baik yang nantinya dapat menurunkan resiko kejadian ISPA. Uji korelasi pada Tabel 23 juga menunjukkan adanya hubungan negatif yang signifikan pola asuh kesehatan dengan lama gejala ISPA yang pernah diderita contoh enam bulan terakhir (p < 0.05). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin baik pola asuh kesehatannya maka semakin berkurang lama gejala ISPA yang diderita contoh. Sejalan dengan Serbin et al. (2014) yang menyebutkan bahwa ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan perilaku kesehatan anak. Perilaku tersebut berupa perilaku dalam aspek manajemen penanganan anak sakit sehingga semakin baik perilaku kesehatan orang tua maka semakin baik pula status kesehatan anak.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Karakteristik keluarga menurut usia orang tua yaitu mayoritas usia ayah dan ibu baik pada kelompok ibu bekerja maupun tidak bekerja tergolong dewasa madya (31-50 tahun). Mayoritas besar keluarga pada kelompok ibu bekerja tergolong keluarga sedang (5-7 orang) dan pada kelompok ibu tidak bekerja tergolong keluarga kecil (≤4 orang). Mayoritas tingkat pendidikan terakhir ayah dan ibu pada kelompok ibu bekerja yaitu tamat SD dan SLTA/SMA/sederajat pada kelompok ibu tidak bekerja. Mayoritas pendapatan keluarga pada kelompok ibu bekerja yaitu ≥Rp1 608 200 dan
31 bekerja. Mayoritas skor stimulasi psikososial pada kedua keompok tergolong sedang. Uji beda Mann Whitney juga menunjukkan ada perbedaan signifikan riwayat gejala ISPA enam bulan terakhir antara kelompok ibu bekerja dan tidak bekerja. Riwayat gejala ISPA ditentukan dari frekuensi dan lama gejala ISPA yang dialami balita. Mayoritas balita menderita gejala ISPA dengan frekuensi <3 kali/6 bulan terakhir pada kedua kelompok. Adapun lama harinya, mayoritas balita pada kelompok ibu bekerja menderita gejala ISPA ≥5 hari/kali sakit dan <5 hari/kali sakit pada balita kelompok ibu tidak bekerja. Uji beda Mann Whitney juga menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan status gizi balita berdasarkan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB baik pada kelompok ibu bekerja maupun tidak bekerja. Mayoritas status gizi balita baik pada kedua kelompok tergolong gizi baik (BB/U), normal (TB/U dan BB/TB). Adapun tingkat kecukupan energi dan protein balita tidak berbeda nyata antara kelompok ibu bekerja dan tidak bekerja. Uji korelasi Rank Spearman menunjukkan ada hubungan positif yang signifikan antara tingkat pendidikan orang tua dengan pola asuh makan dan skor stimulasi psikososial yang didapat balita selama di rumah. Selain itu, ada hubungan positif yang signifikan antara pola asuh makan dengan status gizi balita (BB/U dan TB/U). Adapun pola asuh makan dan kesehatan berhubungan negatif yang signifikan dengan riwayat gejala ISPA balita enam bulan terakhir.
Saran Ibu yang bekerja maupun tidak bekerja harus tetap memperhatikan kualitas waktu pengasuhan terhadap anaknya meskipun hasil menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara status gizi balita ibu bekerja dan tidak bekerja. Pemberian pengetahuan gizi dan kesehatan baik pada ibu bekerja maupun tidak bekerja untuk meningkatkan kualitas pola asuh makan dan kesehatan yang diberikan terhadap anaknya. Hal ini bertujuan untuk menjaga status gizi dna kesehatan anak tetap optimal. Saran untuk penelitian selanjutnya yaitu mempertimbangkan dukungan atau peran serta ayah dalam perkembangan balita serta mempertimbangkan jenis susu yang paling sering dikonsumsi balita.
32
DAFTAR PUSTAKA Acharya D, Prasanna KS, Nair S, Rao RS. 2003. Acute respiratory infections in children: A community based longitudinal study in South India. Indian J Public Health. 47:7-13. Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Amugsi DA, Mittelmark MB, Lartey A, Matanda DJ, Urke HB. 2014. Influence of childcare practices on nutritional status of Ghanaian children:a regression analysis of the Ghana demographic and health surveys. BMJ. 4:1-9. Arun A, Gupta P, Sachan B, Srivsatava JP. 2014. Study on prevalence of acute respiratory tract infections (ARI) in under five children in Lucknow District. National Journal of Medical Research. 4(4):298-302. Aulia R. 2012. Pola asuh, perilaku Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) dan status gizi anak balita di wilayah Warung Anak Sehat (WAS) Kabupaten Sukabumi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Azwar R. 2007. Metode Penelitian. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar. Badake QD, Maina I, Mboganie MA, Muchemi G, Kihoro EM, Chelimo E. Mutea K. 2014. Nutritional status of children under five years and associated factors in Mbeere South District, Kenya. African Corp Science Journal. 22(4):799-806. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Berg A. 1986. Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional. Zahara DN, penerjemah. Jakarta (ID): CV Rajawali. Terjemahan dari: The Nutrition Factor,Its Role in National Development. Bhandari TR, Chhetri M. 2013. Nutritional status of under five year children and factors associated in Kapilvastu District, Nepal. Journal of Nutritional Health & Food Science. 1(1): 1-6. [BKKBN] Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2014. Profil Hasil Pendataan Keluarga Tahun 2013. Jakarta (ID): Direktorat Pelaporan dan Statistik. [BPS Kabupaten Kudus] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus. 2015a. Kudus dalam Angka 2015. Kudus (ID): BPS Kabupaten Kudus. [BPS Kabupaten Kudus] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus. 2015b. Kecamatan Jati dalam Angka 2015. Kudus (ID): BPS Kabupaten Kudus. [BPS Kabupaten Kudus] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kudus. 2015c. Kecamatan Mejobo dalam Angka 2015. Kudus (ID): BPS Kabupaten Kudus. Bwalya MK, Mukonka V, Kankasa C, Masaninga F, Babaniyi O, Siziya S. 2015. Infants and young children feeding practices and nutritional status in two districts of Zambia. Int Breastfeeding Journal. doi:10.1186/s13006-0150033-x.
33 Caldwell BM, Bradley RH. 2001. HOME Inventory and Administration Manual. 3rd ed. Univrsity of Arkansas for Medical Sciences and University of Arkansas at Little Rock. Centre for Community Child Health. 2004. The Underlying factors affecting child health and development and family functioning. Melbourne: Royal Children’s Hospital. Crepinsek MK, Burstein NR. 2004. Maternal Employment and Children’s Nutrition Volume 1, Diet Quality and the Role of the CACFP. E-FAN04-006-1. Darmayanti F. 2015. Kumpulan Menu Istimewa untuk Bayi dan Balita. Yogyakarta (ID): Notebook. [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1996. Pedoman Praktis Pemantauan Gizi Orang Dewasa. Jakarta (ID): Depkes RI. Diana FM. 2006. Hubungan pola asuh dengan status gizi anak balita di Kecamatan Kuranji Kelurahan Pasar Ambacang Kota Padang Tahun 2004. Jurnal Kesehatan Mayarakat. 1(1): 19-23. [Dinkes Kabupaten Kudus] Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus. 2014. Profil Kesehatan Daerah Kabupaten Kudus Tahun 2014. Kudus (ID): Dinkes Kabupaten Kudus. Engle PL, Menon P, Haddad L. 1997. Care and Nutrition: Concepts and Measurement. World Development. 27(8): 1309-1337. Fatimah S, Martini, Rostyaningtyas D, Soemarmi A. 2013. Faktor pelaksanaan kesehatan reproduksi perusahaan dan dukungan keluarga dalam penentuan pola menyusui oleh pekerja (buruh) wanita di Kabupaten Kudus. Jurnal Gizi Indonesia. 2(1): 24-32. Fauziah D. 2009. Pola konsumsi pangan dan status gizi anak balita yang tinggal di daerah rawan pangan di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Fitayani NS. 2014. Hubungan beban kerja, pengetahuan dan sikap gizi ibu, serta pola asuh makan dengan status gizi balita di Kota Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Fitriana, Hartoyo, Nasoetion A. 2007. Hubungan pola asuh, status gizi dan status kesehatan anak balita korban gempa dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam. Jurnal Media Gizi dan Keluarga. 31(2):12-19. Gabriel A. 2008. Perilaku Keluarga Sadar Gizi (KADARZI) serta hidup bersih dan sehat ibu kaitannya dengan status gizi dan kesehatan balita di Desa Cikarawang, Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hardinsyah, Suhardjo. 1987. Ekonomi Gizi. Bogor (ID): Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hastuti D, Alfiasari, Chandriyani. 2010. Nilai anak, stimulasi psikososial, dan perkembangan kognitif anak usia 2-5 tahun pada keluarga rawan pangan di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. JIKK. 3(1): 27-34. Hastuti D. 2008. Pengasuhan: Teori dan Prinsip serta aplikasi di Indonesia. Bogor (ID): Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Hayutama D. 2013. Karakteristik Tenaga Kerja Wanita Bagian Produksi Pabrik Rokok PT Bentoel Prima Malang. Malang (ID): Publikasi Ilmiah Jurusan Pendidikan Geografi, Universitas Negeri Malang.
34 Hidayati E. 2008. Hubungan pengetahuan ibu tentang perkembangan psikomotor anak usia 3.5 tahun di Desa Sarirejo, Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak. Jurnal Keperawatan. 1(2): 12-22. Hurlock EB. 1998. Perkembangan Anak Jilid 2. Tjandrasa M, Zarkasih M, penerjemah. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Child Develompent. Islam F, Sarma R, Debroy A, Kar S, Pal R. 2013. Profiling acute respiratory tract infections in children from Assam, India. J Glob Infect Dis. 5(1):8-14. Ita P, Tafwidhah Y, Nofitia SE. 2014. Hubungan pola asuh ibu dengan status gizi anak balita di Desa Tunang Kecamatan Mempawah Hulu Kabupaten Landak Kalimantan Barat [Naskah Publikasi]. Pontianak (ID): Universitas Tanjungpura Pontianak. Jayanti LD, Effendi YH, Sukandar D. 2011. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) serta perilaku gizi seimbang ibu kaitannya dengan status gizi dan kesehatan balita di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Jurnal Gizi dan Pangan. 6(3):192-199. Jelliffe DB, Patrice J. 1989. Community Nutritional Assesment. New York (US): Oxford University Press. Jutomo L. 2008. Studi tingkat konsumsi pangan anak balita dan status gizinya pada lokasi intervensi proyek Pena III di Timor Barat. Jurnal MKM. 3:2. [Kemendiknas RI] Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2002. Acuan Menu Pembelajaran pada Pendidikan Anak Usia Dini (Menu Pembelajaran Generik). Jakarta (ID): Kementerian Pendidikan Nasional. [Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta (ID): Kemenkes RI. Khomsan A, Anwar F, Hernawati N, Suhanda NS, Oktarina. 2013a. Tumbuh Kembang dan Pola Asuh Anak. Bogor (ID): IPB Pr. , Anwar F, Hernawati N, Suhanda NS, Warsito O, Herawati T. 2013b. Growth, cognitive development and psychosocial stimulation of preschool children in poor farmer and non-farmer households. Mal J Nutr. 19(3):325-337. Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor (ID): Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kumar D, Goel NK, Kalia M, Mahajan V. 2015. Socio-demographic factors affecting the nutritional status of the under three children in Chandigarh, UT. Healthline Journal. 6(1): 46-52. Kumar D, Goel NK, Mittal PC, Misra P. 2006. Influence of infant-feeding practices on nutritional status of under-five children. Int J Pediatrics. 73:417-422. Latifah E. 2007. Pengaruh pemberian ASI dan stimulasi psikososial terhdap perkembangan sosial-emosi anak balita pada keluarga ibu bekerja dan tidak bekerja [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
35 Masithah T, Soekirman, Martianto D. 2005. Hubungan pola asuh makan dan kesehatan dengan status gizi anak balita di Desa Mulya Harja. Media Gizi dan Keluarga. 29(2):29-39. Masuda M, Nicholas MT, Goto R. 2010. Association between socio-economic status and childhood undernutrition in Bangladesh; a comparison of possession score and poverty index. Public Health Nutrition 13(10):1498-1504. Meliahsari R, Bahar B, Sirajuddin S. 2013. Hubungan pola asuh makan oleh ibu bukan pekerja dengan status gizi baduta di Kecamatan Tongkuno Selatan Kabupaten Muna. Media Gizi Masyarakat Indonesia. 2(2): 113-118. Nurdin N. 2015 November 21. UMK Jateng 2016 ditetapkan, Semarang tertinggi Rp1,9 juta. Kompas [Internet]. [diunduh 2016 Feb 9]. Tersedia pada: http://regional.kompas.com/read/2015/11/21/08451621/UMK.Jateng.201 6.Ditetapkan.Semarang.Tertinggi.Rp.1.9.Juta. Ogunba BO. 2006. Maternal behavioural feeding practices and under-five nutrition: implication for child development and care. J Applied Sciences Research. 2(12):1132-1136. Ogunba BO. 2015. Effect of maternal employment on infant feeding practices in Southwestern Nigeria. Food and Nutrition Sciences. 6:597-604. Olack B, Burke H, Cosmas L, Bamrah S, Dooling K, Feikin DR, Talley LE, Breiman RF. 2011. Nutritional status of under-five children living in an informal urban settlement in Nairobi, Kenya. J Health Popul Nutr. 29(4):357-363. Permatasari A. 2004. Keragaan ketahanan pangan dan status gizi keluarga petani Desa Kolelet Wetan, Kacamatan Rangkasbitung, Banten [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Peter R, Kumar KA. 2014. Mothers’ caregiving resources and practices for children under 5 years in the slums of Hyderabad, India: a cross-sectional study. WHO South-East Asia Journal of Public Health. 3(3-4):254-265. Punarsih A. 2012. Determinan asupan energi dan protein pada balita di wilayah Indonesia Timur dan Barat tahun 2010 [skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Ramji S. 2009. Impact of infant & young child feeding & caring practices on nutritional status & health. Indian J Med Res. 130:624-626. [Riskesdas] Riset Kesehatan Dasar. 2013. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riyadi H, Retnaningsih, Martianto D, Kustiyah L. 1990. Pendugaan faktor-faktor yang mempengaruhi usia penyapihan di Kecamatan Bogor Timur dan Kecamatan Ciomas. Bogor (ID): Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Riyadi H. 2004. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Safari JG, Kimambo SC, Lwelamira JE. 2013. Feeding practices and nutritional status of infants in Morogoro Municipality, Tanzania. Tanzania Journal of Health Research. 15(3):1-10. Savage JS, Fisher JO, Birch LL. 2007. Parental influence on eating behavior: conception to adolescence. J Law Med Ethics. 35(1):22-34. Sediaoetama AD. 1993. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi di Indonesia Jilid 2. Jakarta (ID): Dian Rakyat.
36 Sediaoetama AD. 2008. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi di Indonesia Jilid 1. Jakarta (ID): Dian Rakyat. Serbin LA, Hubert M, Hastings PD, Stack DM, Schwartzman AE. 2014. The influence of parenting on early childhood health and health care utilization. J Pediatr Psychol. 39(10):1161-1174. Sharma D, Kuppusamy K, Bhoorasamy A. 2013. Prevalence of acute respiratory infections (ARI) and their determinants in under five children in urban and rural areas of Kancheepuram District, South India. Ann Trop Med Public Health. 6(5):513-518. Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC. Suhardjo. 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Suhardjo. 2005. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Suiraoka IP, Sukraniti DP, Gumala NMY. 2011. Perbedaan status gizi, pola pemberian makan, dan pola asuh balita pada keluarga miskin dan tidak miskin di Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar. Jurnal Ilmu Gizi. 2(2):83-92. Sukoco NEW, Pambudi J, Herawati MH. 2015. Hubungan status gizi anak balita dengan orang tua bekerja. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 18(4):387-397. Sunyoto A. 1991. Partisipasi masyarakat sasaran dalam kegiatan posyandu [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC. Totsika V, Sylva K. 2004. The HOME observation for measurement of the environment revisited. Child and Adolescent Mental Health. 9(1):25-35. Ubeysekara NH, Jayathissa R, Wijesinghe CJ. 2015. Nutritional status and associated feeding practices among children aged 6-24 months in a selected community in Sri Lanka: a cross sectional study. European Journal of Preventive Medicine. 3(2-1): 15-23. [UNDP] United Nations Development Programme. 2014. Human Development Report 2014. New York (USA): UNDP. [UNICEF] United Nations Children’s Emergency Fund. 1998. The state of the World’s Children. Oxford University (UK): Oxford University Press. Vazir S, Naidu AN, Vidyasagar P. 1998. Nutritional status, psychosocial development, and the home environment of Indian rural children. Indian Pediatrics. 35:959-966. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta (ID): LIPI. Yuriastien E, Prawitasari D, Febry BA. 2009. Games Theraphy untuk Kecerdasan Bayi & Balita. Jakarta (ID): Wahyu Media.
37
LAMPIRAN Lampiran 1 Dokumentasi penelitian
Gambar 3 Wawancara dengan ibu contoh
Gambar 4 Pengukuran antropometri contoh
38 Lampiran 2 Hasil uji korelasi Rank Spearman nyata berhubungan Variabel Pendapatan keluarga – status gizi (BB/U) Pola asuh makan – status gizi (BB/U) Stimulasi psikososial – status gizi (BB/U) Pendidikan terakhir ayah – status gizi (TB/U) Pendapatan keluarga – status gizi (TB/U) Pola asuh makan – status gizi (TB/U) Stimulasi psikososial – status gizi (TB/U) Pendidikan terakhir ibu – stimulasi psikososial Pendidikan terakhir ayah – stimulasi psikososial Alokasi waktu pengasuhan hari biasa – lama gejala ISPA Alokasi waktu pengasuhan hari biasa – pola asuh makan Alokasi waktu pengasuhan hari biasa – pola asuh kesehatan Alokasi waktu pengasuhan hari libur – pola asuh kesehatan Pola asuh makan – frekuensi ISPA Pola asuh makan – lama ISPA Pola asuh kesehatan – lama ISPA Pendidikan terakhir ayah – alokas waktu pengasuhan hari biasa Pendidikan terakhir ibu – alokasi waktu pengasuhan hari biasa Pendapatan keluarga – alokasi waktu pengasuhan hari biasa Pendidikan terakhir ibu – pola asuh makan Pendidikan terakhir ayah – pola asuh makan Pendapatan keluarga – pola asuh makan
r 0.287 0.220 0.206 0.517 0.289 0.223 0.280 0.294 0.322 -0.231 0.567 0.211 0.352 -0.226 -0.265 -0.285 0.233 0.242 -0.336 0.284 0.326 -0.278
Sig. 0.038 0.033 0.046 0.001 0.035 0.030 0.006 0.004 0.002 0.025 0.001 0.041 0.001 0.028 0.010 0.005 0.024 0.019 0.001 0.005 0.001 0.007
39 Lampiran 3 Hasil uji korelasi Rank Spearman yang tidak nyata berhubungan Variabel Pendidikan terakhir ibu – status gizi (BB/U) Pendidikan terakhir ayah – status gizi (BB/U) Besar keluarga – status gizi (BB/U) Pola asuh kesehatan – status gizi (BB/U) Pendidikan terakhir ibu – status gizi (TB/U) Besar keluarga – status gizi (TB/U) Pola asuh kesehatan – status gizi (TB/U) Pendidikan terakhir ibu – status gizi (BB/TB) Pendidikan terakhir ayah – status gizi (BB/TB) Besar keluarga – status gizi (BB/TB) Pendapatan orang tua – status gizi (BB/TB) Pola asuh makan – status gizi (BB/TB) Pola asuh kesehatan – status gizi (BB/TB) Stimulasi psikososial – status gizi (BB/TB) Besar keluarga – stimulasi psikososial Pendapatan keluarga – stimulasi psikososial Alokasi waktu pengasuhan hari biasa – frekuensi gejala ISPA Alokasi waktu pengasuhan hari libur – frekuensi gejala ISPA Alokasi waktu pengasuhan hari libur – lama gejala ISPA Alokasi waktu pengasuhan hari libur – pola asuh makan Pola asuh kesehatan – frekuensi ISPA Frekuensi ISPA – status gizi (BB/U) Frekuensi ISPA (kali/6 bulan) – status gizi (TB/U) Frekuensi ISPA (kali/6 bulan) – status gizi (BB/TB) Lama ISPA (hari/kali sakit) – status gizi (BB/U) Lama ISPA (hari/kali sakit) – status gizi (TB/U) Lama ISPA (hari/kali sakit) – status gizi (BB/TB)
r 0.242 0.377 -0.007 0.171 0.213 -0.034 0.073 0.262 0.189 -0.015 0.249 0.166 0.186 0.060 -0.052 0.146 -0.162 0.032 -0.129 0.127 -0.139 -0.021 -0.140 -0.028 -0.110 -0.020 -0.165
Sig. 0.756 0.210 0.944 0.098 0.879 0.746 0.486 0.645 0.991 0.887 0.103 0.109 0.072 0.565 0.619 0.160 0.118 0.761 0.216 0.221 0.182 0.843 0.178 0.789 0.293 0.845 0.112
40
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kudus pada tanggal 24 September 1994 dari ayah Drs. Bambang Dhalyoko dan ibu Sri Suyati. Penulis adalah putri kedua dari dua bersaudara. Tahun 2012 penulis lulus dari SMA 1 Kudus dan pada tahun yang sama penulis lolos seleksi masuk di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan SNMPTN. Penulis diterima di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama berkuliah di IPB, penulis menjadi asisten praktikum Pendidikan Gizi, Pengantar Biokimia Gizi, Evaluasi Nilai Gizi, Analisis Zat Gizi Mikro, dan Metabolisme Zat Gizi pada tahun ajaran 2015-2016. Penulis aktif mengajar mata kuliah Kimia TPB IPB di bimbingan belajar Bidikmisi Learning Center. Penulis juga pernah aktif sebagai anggota Divisi Kominfo pada organisasi Paguyuban Bidik Misi pada tahun 2012, anggota divisi acara dan kestari Kepanitiaan Nutrition Fair 2014 dan 2015. Penulis aktif mengikuti kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa didanai DIKTI Bidang Pengembangan Masyarakat pada tahun pertama dan keduanya di IPB. Penulis bersama tim berhasil menjuarai 4th runner up pada lomba Nutrifood Health Agent Award tahun 2015. Penulis juga pernah diberi kesempatan untuk menjadi pembicara di acara Evaluasi Bidikmisi IPB tahun 2013.