POLA ASUH MAKAN, STIMULASI PSIKOSOSIAL, DAN PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK USIA PRA-SEKOLAH
KIRANA FAJAR RAHMAH
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pola Asuh Makan, Stimulasi Psikososial, dan Perkembangan Kognitif Anak Usia Pra-Sekolah adalah benar karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2014 Kirana Fajar Rahmah I14100112
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
ABSTRAK KIRANA FAJAR RAHMAH. Pola asuh makan, stimulasi psikososial, dan perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN. Kebutuhan zat gizi anak usia 2-5 tahun meningkat karena masih berada pada masa pertumbuhan cepat dan aktivitasnya tinggi. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan pola asuh makan, stimulasi psikososial, dan perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah di Subang, Jawa Barat. Asupan energi dan protein anak normal dan anak pendek memiliki perbedaan signifikan positif (p<0.05). Skor keragaman pangan dan pola asuh makan antara anak normal dan anak pendek tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Contoh yang mengalami kependekan, sebesar 34.6% yang memiliki KMS dan 34.0% non-KMS. Stimulasi psikososial antara anak normal dan anak pendek memiliki perbedaan signifikan positif (p<0.05). Terdapat perbedaan signifikan positif antara anak yang mengikuti PAUD dan non-PAUD untuk perkembangan kognitif. Faktor yang berhubungan dengan status gizi, yaitu skor keragaman pangan. Sedangkan, faktor yang berhubungan dengan perkembangan kognitif anak, meliputi keikutsertaan anak dalam PAUD dan stimulasi psikososial. Kata kunci:
perkembangan kognitif, pola asuh makan, skor keragaman pangan, status gizi, stimulasi psikososial
ABSTRACT KIRANA FAJAR RAHMAH. Child Eating Patterns, Psychosocial Stimulation, and Cognitive Development of Preschool Children. Supervised by ALI KHOMSAN. The needs of the nutrients children aged 2 to 5 years old is increasing because it would be in the rapid growth and their high activities. The objective of this study was to analyze relationship of child eating patterns, psychosocial stimulation, and cognitive development of preschool children at Subang, West Java. Energy and protein intake between normal and stunting child have a positive significant difference (p<0.05). Dietary diversity score and child eating patterns between normal and stunting child was no difference. The stunting child of having KMS is 34.6% and 34.0% child of non-KMS. Psychosocial stimulation between normal and stunting child have a positive significant difference (p<0.05). There are positive significant different between child of PAUD members and nonPAUD members for cognitive development. Factor that relation with nutritional status is dietary diversity score. Meanwhile, factors that relation with cognitive development, includes the participants of child in PAUD and pshycosocial stimulation. Keywords: child eating patterns, cognitive development, dietary diversity score, nutritional status, psychosocial stimulation
POLA ASUH MAKAN, STIMULASI PSIKOSOSIAL, DAN PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK USIA PRA-SEKOLAH
KIRANA FAJAR RAHMAH
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Pola asuh makan, stimulasi psikososial, dan perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah. Nama : Kirana Fajar Rahmah NIM : I14100112
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Rimbawan Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Skripsi dengan judul pola asuh makan, stimulasi psikososial, dan perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi Masyarakat pada Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Ekologi Manusia, Intitut Pertanian Bogor. Alhamdulillah terima kasih penulis ucapkan kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS selaku pembimbing akademik sekaligus pembimbing dalam penyusunan skripsi ini. 2. Mbak Wiwi dan Mbak Rian Diana yang telah sabar membantu/mengajarkan penulis dalam proses pengolahan data dan memberikan ide-ide dalam penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS selaku dosen pemandu dan penguji yang telah memberikan arahan dalam seminar dan ujian skripsi. 4. Neys-van Hoogstraten Foundation, the Netherlands dan anggota tim peneliti (Neti Hernawati, Nani Sufiani Suhanda, dan Oktarina) 5. Sahabat- sahabat terbaik, Muhamad Rivqi Zaelani, Riana Pangestu Utami, Ramadhani, Putu Rossi Tya Lestari, Ramadhini Rizkiyah yang telah meluangkan waktunya untuk membantu penyelesaian skripsi ini dan selalu bersabar mendengarkan segala keluh kesah yang dirasakan. 6. Sahabat-sahabat yang tidak terlupakan, Nadina Adelia Indrawan, Heny Pramita Siwi, Desak Made Puspita A, Ezra Dessabela Isnannisa. 7. Keluarga Kasoskemah, Rici Pranata, Fuad Habibi S, Yunia Rahmawati, Nenggi Okta P, Milatul Ulfa, Astri Setiamurti, dan Salis Rizka. 8. Teman-teman sepembimbing, Desy Dwi A, Widia Nur F, Hernawan P, Ifdal salah satu yang selalu menjadi motivasi penulis. 9. Keluarga Kaskemah, Nina Evi Nur L, Anjas Pallawa, Khairun Nisa M, Fathimah Musthafa, Ade Mirza, Rahmahdini, Fathimah Azzahra, Yuana Zahra, Luki Setyawan, dan Thasin Abdullah. 10. Sahabat-sahabat GM47 dengan motivasi, semangat juang, kekeluargaan, kebersamaannya yang membuat penulis selalu bisa tersenyum. 11. Adik-adik kelas (Radha, Pite, Kinan, Atcoup, Cocom, Nini, Upi-l) dan Kakak kelas (Kak Ruroh, Kak Grevi, Kak Ais) yang selalu menguatkan. 12. Semua teman-teman, saudara yang selalu memberikan semangatnya. 13. Orang tua tercinta yang selalu mendukung, mengajarkan, memotivasi, memberikan kasih sayang dan doa-doa terbaik. 14. InsyaAllah untuk suami dan anak-anakku kelak, skripsi ini menjadi salah satu ikhtiar untuk menjadi istri dan ibu yang baik. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, November 2014 Kirana Fajar Rahmah
i
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
i
DAFTAR TABEL
ii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan
3
Hipotesis
3
Kegunaan
3
KERANGKA PEMIKIRAN
4
METODE
6
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
6
Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh
6
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
6
Pengolahan dan Analisis Data
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
10
Karakteristik Keluarga
10
Karakteristik Anak
12
Pola Asuh Makan
14
Konsumsi Pangan
18
Skor Keragaman Pangan
20
Status Gizi
21
Stimulasi Psikososial
22
Perkembangan Kognitif
26
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi dan Perkembangan Kognitif Anak
29
SIMPULAN DAN SARAN
30
Simpulan
30
Saran
31
DAFTAR PUSTAKA
31
RIWAYAT HIDUP
35
ii
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Variabel dan indikator yang digunakan Kelompok pangan beserta jenis-jenis makanannya Aspek perkembangan kognitif yang diukur dan contoh item Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan zat gizi Karakteristik keluarga berdasarkan status gizi TB/U Sebaran jumlah anggota keluarga berdasarkan status gizi TB/U Sebaran pekerjaan orang tua berdasarkan status gizi TB/U Sebaran karakteristik anak berdasarkan status gizi TB/U Sebaran praktek pemberian makan berdasarkan status gizi TB/U Sebaran jadwal makan anak berdasarkan status gizi TB/U Sebaran sikap ibu dalam pemberian makan berdasarkan status gizi TB/U Sebaran pola asuh makan berdasarkan jenis kelamin anak Sebaran pola asuh makan berdasarkan status gizi TB/U Konsumsi dan tingkat kecukupan gizi berdasarkan status gizi TB/U Sebaran tingkat kecukupan gizi berdasarkan status gizi TB/U Sebaran skor keragaman pangan berdasarkan status gizi TB/U Sebaran status gizi TB/U berdasarkan kepemilikan KMS Sebaran aspek stimulasi psikososial berdasarkan status gizi TB/U Sebaran stimulasi psikososial berdasarkan status gizi TB/U Sebaran stimulasi psikososial berdasarkan keikutsertaan anak dalam PAUD Sebaran stimulasi psikososial berdasarkan jenis kelamin Sebaran stimulasi psikososial berdasarkan kepemilikan KMS Sebaran perkembangan kognitif anak berdasarkan status gizi TB/U Sebaran perkembangan kognitif anak berdasarkan kepemilikan KMS Sebaran perkembangan kognitif anak berdasarkan keikutsertaan anak dalam PAUD Sebaran perkembangan kognitif anak berdasarkan jenis kelamin
6 7 8 9 11 11 12 13 14 16 17 18 18 19 20 20 21 22 25 25 26 26 27 27 28 28
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan zat gizi anak usia 2-5 tahun meningkat karena masih berada pada masa pertumbuhan cepat dan aktivitasnya tinggi. Demikian juga anak sudah mempunyai pilihan terhadap makanan yang disukai termasuk makanan jajanan.Oleh karena itu, jumlah dan variasi makanan harus mendapatkan perhatian secara khusus dari ibu atau pengasuh anak, terutama dalam ―memenangkan‖ pilihan anak agar memilih makanan yang bergizi seimbang (Kemenkes 2014). Keragaman pangan adalah pengukuran jumlah makanan individu atau kelompok pangan yang dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu. Hal ini dapat mencerminkan akses rumah tangga terhadap berbagai makanan dan juga dapat bertindak sebagai acuan untuk kecukupan gizi individu. Skor keragaman pangan individu memberikan cerminan yang baik dari kualitas makanan ―kecukupan gizi dari makanan individu― contohnya makanan yang beragam lebih mungkin untuk memenuhi asupan zat gizi esensial (Sutherland et al. 2012; Ruel 2014; Vakili et al. 2013). Banyaknya jumlah maupun jenis pangan yang dikonsumsi seseorang akan memberikan dampak pada banyaknya jumlah dan jenis asupan zat gizi yang diterima oleh tubuh orang tersebut. Konsumsi zat gizi dalam susunan makanan harus sesuai dengan angka kecukupan yang dianjurkan dari masing-masing zat gizi sehingga tercapai tingkat konsumsi zat gizi yang optimal (Amelia 2008). Konsumsi pangan adalah jumlah makanan dan minuman yang dimakan atau diminum penduduk/seseorang dalam satuan gram per kapita per hari. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pangan dalam rumah tangga terutama pada ibu hamil dan anak balita akan berakibat pada kekurangan gizi yang berdampak pada lahirnya generasi muda yang tidak berkualitas. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta tangkas dan cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik, dan status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah dan kualitas asupan pangan yang dikonsumsi. Data riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan pada tahun 2007 dan 2010 secara konsisten menunjukkan bahwa rata-rata asupan kalori dan protein anak balita masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG). Akibat dari keadaan tersebut, anak balita perempuan dan anak balita laki-laki Indonesia mempunyai tinggi badan masing-masing 6.7 cm dan 7.3 cm lebih pendek daripada standar rujukan WHO 2005 (Bappenas 2011). Indikator status gizi berdasarkan indeks TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Misalnya: kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek (Riskesdas 2013). Gangguan pertumbuhan yang dicirikan dengan rendahnya tinggi badan menurut umur (stunting) pada anak di bawah usia lima tahun (balita) di Indonesia mencapai 35,7 persen (Riskesdas 2010). Prevalensi stunting pada balita di
2
Provinsi Jawa Barat, mencapai 35,4 persen pada tahun 2007 dan menurun menjadi 33,7 persen pada tahun 2010. Persentase itu masih di bawah angka balita stunting nasional (35,7%), tetapi masih tergolong masalah kesehatan masyarakat yang tinggi menurut acuan WHO, karena masih di atas 30 persen. Ada 3 faktor utama yang saling terkait memengaruhi besarnya masalah gizi dan kesehatan masyarakat. Pertama, ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga, yaitu kemampuan keluarga untuk menyediakan makanan yang berkaitan dengan daya beli keluarga. Kedua, pola asuhan gizi keluarga (pola asuh makan) yaitu kemampuan keluarga untuk memberikan makanan kepada bayi dan anak, khususnya menyusui secara eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI. Ketiga, akses terhadap pelayanan kesehatan berkualitas, yaitu pemanfaatan fasilitas kesehatan dan upaya kesehatan berbasis masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif seperti penimbangan balita di posyandu, pemeriksaan kehamilan, pemeriksaan kesehatan bayi dan balita, suplementasi vitamin A dan MP ASI, imunisasi, dan sebagainya (Depkes 2007). Pola asuh makan menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi besarnya masalah gizi dan kesehatan masyarakat. Pola pemberian makanan (pola asuh makan) dan pakaian, sekolah, pola asuh dan pola didik di rumah juga banyak dipengaruhi nilai budaya keluarga (Supartini 2004). Menurut WHO et al. (2008) Pola asuh makan anak secara langsung memengaruhi status gizi anak di bawah dua tahun dan berdampak pada kelangsungan hidup anak. Pola asuh yang kurang baik di Indonesia ditunjukkan dengan masih rendahnya dukungan ibu dalam memonitor pertumbuhan dan perkembangan balitanya. Hal ini tergambar dari kunjungan balita ke Posyandu, yaitu hanya sekitar 70.2%, sedangkan Posyandu memiliki fungsi utama, yaitu memantau pertumbuhan balita melalui penimbangan rutin setiap bulannya. Sementara itu, diperoleh sekitar 59% keluarga yang belum menerapkan pola makan yang beraneka ragam pada balitanya (Riskesdas 2010). Pola asuh makan anak berkaitan dengan pemberian makan yang dapat memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Faktor lain yang dapat mendukung perkembangan anak adalah stimulasi, stimulasi merupakan hal penting dalam tumbuh kembang anak (Yulia 2007). Soedjatmiko (2008) mendefinisikan stimulasi sebagai kegiatan bermain sejak bayi baru lahir yang dilakukan dengan penuh kasih sayang, setiap hari, bervariasi, dan berkelanjutan, untuk merangsang otak kiri dan kanan melalui sistem indera untuk merangsang kemampuan berpikir, berkomunikasi, emosi, menikmati musik dan ruang, serta berbagai kemampuan lainnya. Stimulasi psikososial adalah stimulasi pendidikan dalam rangka mengembangkan kemampuan kognitif, fisik, dan motorik, serta sosial-emosional anak (Depdiknas 2002). Kompetensi kognitif dapat didefinisikan sebagai kemampuan memproses banyak informasi secara efisien dan memprogram perilaku yang menguntungkan bukan saja saat ini namun juga di kemudian hari (Lely & Soetjiningsih 2000). Stimulasi pada tahun-tahun pertama kehidupan anak sangat memengaruhi struktur fisik otak anak, dan hal tersebut sulit diperbaiki pada masa-masa kehidupan selanjutnya. Hal ini berarti bahwa anak yang tidak mendapat stimulasi psikososial, seperti jarang diajak bermain atau jarang disentuh akan mengalami berbagai penyimpangan perilaku. Penyimpangan tersebut dalam bentuk hilangnya citra diri yang berakibat pada rendah diri, sangat penakut, dan
3 tidak mandiri, atau sebaliknya menjadi anak yang tidak memiliki rasa malu dan terlalu agresif (Rusdiana 2010). Perkembangan intelektual paling cepat lajunya pada usia empat sampai lima tahun pertama kehidupan (Padmonodewo 1993). Karena itu, masa usia pra-sekolah merupakan masa yang paling baik untuk memberikan program pengayaan lingkungan guna memaksimalkan perkembangan intelektualnya di masa yang akan datang. Dengan demikian, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pola asuh makan, stimulasi psikososial dan perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah (3-5 tahun).
Tujuan Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis hubungan pola asuh makan, stimulasi psikososial, dan perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah di Subang, Jawa Barat. Tujuan khusus Tujuan khusus penelitian ini, meliputi: 1. Menganalisis asupan energi dan protein, serta skor keragaman pangan. 2. Menganalisis pola asuh makan anak. Menganalisis status gizi anak menurut TB/U. 3. 4. Menganalisis stimulasi psikososial dan perkembangan kognitif anak. 5. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi dan perkembangan kognitif anak.
Hipotesis
1. 2. 3.
Hipotesis pada penelitian ini, yaitu: Terdapat hubungan positif antara status gizi dengan pola asuh makan dan skor keragaman pangan. Terdapat hubungan positif antara perkembangan kognitif anak dengan stimulasi psikososial. Terdapat hubungan positif antara perkembangan kognitif anak dengan status gizi.
Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat meminimalkan status kurang gizi pada balita dengan pola asuh makan yang baik dan konsumsi pangan yang sesuai anjuran berdasarkan skor keragaman pangan. Selain itu, dapat meningkatkan stimulasi psikososial dan perkembangan kognitif yang diberikan orang tua dalam pola asuh agar anak dapat berkembang dengan baik sesuai dengan usianya.
4
KERANGKA PEMIKIRAN Konsumsi pangan terdiri dari asupan zat gizi anak dan skor keragaman pangan. Konsumsi pangan dipengaruhi oleh karakteristik keluarga (besar keluarga, usia orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan pendapatan per kapita) dan karakteristik anak (umur, jenis kelamin). Karakteristik keluarga memengaruhi konsumsi pangan karena besar keluarga akan menjadi pertimbangan saat pemberian makan anak, pekerjaan orang tua yang akan memengaruhi pendapatan per kapita menjadi salah satu batasan dalam konsumsi pangan yang beragam, bergizi, berimbang, dan aman, pendidikan orang tua yang rendah akan berpengaruh terhadap praktek pemberian makan anak. Oleh karena itu, karakteristik keluarga meliputi pendidikan dan pekerjaan orang tua memengaruhi pola asuh makan yang ibu lakukan kepada anak. Karakteristik anak meliputi umur dan jenis kelamin memengaruhi konsumsi pangan. Umur anak memengaruhi konsumsi pangan karena disesuaikan berdasarkan kebutuhan anak. Jenis kelamin anak pun akan memengaruhi konsumsi karena perempuan dan laki-laki memiliki kebutuhan dan kecukupan gizi yang berbeda. Konsumsi pangan dapat memengaruhi status gizi seseorang. Konsumsi zat gizi yang cukup sesuai dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk setiap individu akan diperoleh status gizi yang baik pada seseorang. Sebaliknya, jika konsumsi zat gizi berlebih atau kekurangan akan menimbulkan status gizi lebih atau kurang pada seseorang khususnya pada anak. Status gizi pun dipengaruhi oleh genetik. Konsumsi pangan dipengaruhi oleh pola asuh makan yang diberikan oleh orang tua atau pengasuh. Pola asuh makan terdiri dari praktek pemberian makan pada anak, jadwal makan anak, dan sikap ibu/pengasuh dalam pemberian makan anak. Bila pola asuh makan ibu baik, konsumsi pangan anak pun akan baik. Stimulasi psikososial adalah rangsangan yang diberikan ibu yang diterima oleh anak dalam mempelajari atau memahami suatu hal. Stimulasi psikososial meliputi stimulasi belajar, stimulasi bahasa, lingkungan fisik, kehangatan dan penerimaan, stimulasi akademik, modeling, variasi stimulasi pada anak, dan hukuman positif. Stimulasi psikososial dapat dipengaruhi oleh konsumsi pangan yang baik. Stimulasi psikososial dipengaruhi oleh karakteristik anak (usia, jenis kelamin, keikutsertaan dalam PAUD, kepemilikan KMS). Keikutsertaan anak dalam PAUD akan memudahkan anak dalam memahami stimulasi psikososial yang diberikan oleh ibu. Stimulasi psikososial juga dapat dipengaruhi oleh status gizi anak. Status gizi kurang pada anak tidak hanya dapat memengaruhi pertumbuhan anak tetapi juga memengaruhi perkembangan anak. Stimulasi psikososial yang diberikan oleh ibu juga akan berpengaruh terhadap perkembangan kognitif pada anak. Karakteristik keluarga (pendidikan orang tua) dan karakteristik anak juga akan memengaruhi perkembangan kognitif pada anak. Begitu juga status gizi, semakin baik status gizi, perkembangan kognitif anak pun akan semakin baik.
5
Karakteristik Keluarga Besar keluarga Usia orang tua Pendidikan orang tua Pekerjaan orang tua Pendapatan per kapita
Pola Asuh Makan Praktek pemberian makan anak Jadwal makan anak Sikap ibu dalam pemberian makan anak
Stimulasi Psikososial Stimulasi belajar Stimulasi bahasa Lingkungan fisik Kehangatan dan penerimaan Stimulasi akademik Modeling Variasi stimulasi kepada anak Hukuman positif
Karakteristik Anak Umur Jenis kelamin Keikutsertaan anak dalam PAUD Kepemilikan KMS Konsumsi Pangan Asupan energi dan protein anak Tingkat kecukupan energi protein Skor keragaman pangan
Status Gizi Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U)
Genetik Status Kesehatan
Perkembangan Kognitif Anak Keterangan: = Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti = Hubungan yang dianalisis = Hubungan yang tidak dianalisis Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan pola asuh makan, stimulasi psikososial dan perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah
6
METODE Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Data penelitian ini diambil berdasarkan sebagian data yang berasal dari penelitian yang berjudul Growth, Cognitive Development and Psychosocial Stimulation of Preschool Children in Poor Farmer and Non-Farmer Households (Khomsan dkk. 2013). Lokasi penelitian dilaksanakan di Subang, Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan dua desa dari lima desa yang diteliti pada penelitian besar, yaitu Desa Tambakan dan Desa Jalan Cagak. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni hingga September 2014.
Jumlah dan Cara Pemilihan Contoh Jumlah sampel pada penelitian yang berjudul Growth, Cognitive Development and Psychosocial Stimulation of Preschool Children in Poor Farmer and Non-Farmer Households, yaitu sebanyak 399 orang anak. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak usia pra-sekolah (3-5 tahun) yang terdiri dari 175 orang anak, 88 orang berasal dari Desa Tambakan dan 87 orang berasal dari Desa Jalan Cagak, Subang, Jawa Barat. Sampel diambil secara acak berdasarkan kepemilikan KMS dan keikutsertaan anak dalam PAUD dengan mempertimbangkan selisih dari dua desa tersebut.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang meliputi karakteristik keluarga, karakteristik anak, pola asuh makan anak, konsumsi pangan, stimulasi psikososial, dan status gizi anak. Karakteristik keluarga, karakteristik anak, pola asuh makan anak, dan konsumsi pangan dikumpulkan dengan wawancara menggunakan kuesioner. Data status gizi anak TB/U dengan pengukuran data antropometri berupa tinggi badan anak pada saat itu. Tabel 1 Variabel dan indikator yang digunakan Variabel Karakteristik keluarga
Karakteristik anak
Indikator Besar keluarga Usia orang tua Pendidikan orang tua Pekerjaan orang tua Pendapatan per kapita Umur Jenis kelamin Keikutsertaan anak dalam PAUD Kepemilikan KMS
7 Tabel 1 Variabel dan indikator yang digunakan (lanjutan) Variabel Pola asuh makan
Konsumsi pangan
Status gizi Stimulasi psikososial (HOME)
Indikator Praktek pemberian makan anak Jadwal makan anak Sikap ibu dalam pemberian makan anak Asupan energi dan protein anak Tingkat kecukupan energi protein Skor keragaman pangan Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) Stimulasi belajar Stimulasi bahasa Lingkungan fisik Kehangatan dan penerimaan Stimulasi akademik Modeling Variasi stimulasi kepada anak Hukuman positif
Stimulasi psikososial diukur menggunakan instrumen Home Observation for Measurement of the Environment (HOME) untuk usia 3-6 tahun, dikembangkan oleh Caldwel dan Bradley (1984). Instrumen ini terdiri dari 55 buah pernyataan yang berhubungan dengan 8 aspek. Setiap pernyataan terdiri dari pernyataanpernyataan positif dan diberikan nilai 1 jika jawaban ―iya‖ dan 0 jika jawaban ―tidak‖. Tabel 2 Kelompok pangan beserta jenis-jenis makanannya No. 1 2
3 4 5 6 7 8 9 10
Kelompok pangan Serealia, akar-akaran, dan umbi-umbian
Jenis makanan Beras, gandum, jagung, ubi kayu, ubi Buah-buahan dan sayuran yang kaya vitamin A Daun acacia, bayam, paprika (vitamin A>130 RE/100 g) merah, kol Cina, wortel, daun jambu, daun singkong, daun krisan, daun kacang tunggak, adas, sawi, mangga, papaya, dll) Buah-buahan lain Apel, pisang, jeruk, pir Sayuran lain Kol, brokoli, jamur, mentimun, terong, kembang kol Kacang-kacangan dan biji-bijian Kacang polong, kacang tanah, kacang kedelai Minyak dan lemak Lemak nabati, lemak babi, mentega Daging, unggas, ikan Daging sapi, daging babi, ayam, kalkun, ikan, kerang Produk susu Susu, yoghurt, keju, es krim Telur Lainnya (permen, keripik, soda, bumbu) dll Tidak dimasukkan dalam skor keragaman pangan tetapi masuk dalam perhitungan energi
Sumber: Kennedy dan Nantel (2006)
8
Skor keragaman pangan diketahui dengan mengelompokkan jenis-jenis makanan ke dalam kelompok pangan. Pangan-pangan dilihat berdasarkan asupan makan setiap individu menggunakan food recall 1 x 24 jam. Pengukuran skor keragaman pangan untuk anak usia 2-6 tahun dibagi ke dalam 10 kelompok pangan, dapat dilihat pada Tabel 2. Skor ―1‖ diberikan jika dalam sehari contoh mengonsumsi salah satu atau lebih jenis pangan pada setiap kelompok pangan, dan ―0‖ jika contoh tidak mengonsumsi jenis-jenis makanan pada setiap kelompok pangan. Perkembangan kognitif anak diukur menggunakan instrument perkembangan anak yang dikembangkan oleh Indonesia Departement of National Education. Pengukuran perkembangan kognitif pada penelitian ini dibagi ke dalam tiga kelompok umur, yaitu kelompok dengan umur 2.5 – 3.4 tahun, 3.5 – 4.4 tahun, dan 4.5 – 5.4 tahun. Aspek yang diukur pada perkembangan kognitif meliputi: aspek penggunaan simbol, pemahaman identitas, pemahaman sebabakibat, kemampuan mengklasifikasi, pemahaman angka, dan pemahaman konsep (Tabel 3). Semua aspek diilustrasikan berdasarkan perkembangan tugas-tugas dalam periode preoperasional dari perkembangan kognitif Piaget. Pengukuran perkembangan kognitif dikumpulkan menggunakan alat pembelajaran dalam bentuk permainan yang dibuat berdasarkan konsep yang diukur. Umumnya menggunakan alat yang meliputi balok kayu, kertas origami, berbagai bentuk geometris, kartu berwarna, gambar labirin, kertas, pensil, dan krayon. Sebelum pengumpulan data, enumerator diinformasikan dan dilatih terkait bagaimana melakukan permainan edukatif seperti ini. Tabel 3 Aspek perkembangan kognitif yang diukur dan contoh item Aspek yang diukur Penggunaan simbol
Pemahaman identitas
Pemahaman sebab-akibat
Kemampuan mengklasifikasi Pemahaman angka Pemahaman konsep
Contoh item Menggambar orang dengan bagian-bagian tubuhnya, menyebutkan variasi warna, menyebutkan perbedaan ukuran antara sapi dan tikus, menyebutkan bentuk-bentuk geometris, meniru pola tertentu dengan menggabungkan titik. Membedakan jenis kelamin dari orang lain, mengenali nama, mengetahui namanya, mengenali umurnya. Menanyakan informasi menggunakan pertanyaan ―mengapa‖ dan ―bagaimana‖, contoh: ―mengapa kamu harus mandi setiap hari?‖ dan ―bagaimana melempar bola?‖ Mengkasifikasi bentuk-bentuk geometris dan warna Pemahaman penjumlahan dan pengurangan dengan kombinasi angka 1-10 Pemahaman konsep dari suatu tempat dan waktu, mengenali posisi dari sesuatu hal tertentu.
9 Pengolahan dan Analisis Data Proses pengolahan data dimulai dari cleaning dan selanjutnya dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2007 dan Statistical Packages for the Social Sciences (SPSS) versi 16.0. Data yang dihasilkan dalam bentuk data nominal, ordinal, dan rasio. Data nominal berupa pekerjaan dan jenis kelamin orang tua. Data ordinal berupa pendidikan orang tua. Data dalam bentuk rasio meliputi usia anak dan orang tua, pendapatan orang tua, pola asuh makan, asupan zat gizi anak, status gizi anak, stimulasi psikososial, dan perkembangan kognitif pada anak. Status gizi anak dianalisis menggunakan kategori tinggi badan menurut umur (TB/U). Standar yang digunakan untuk mengetahui status gizi anak di bawah lima tahun ialah National Center for Health Statistics (NCHS)/World Health Organization (WHO). Pengolahan data stimulasi psikososial dengan menjumlahkan nilai pada setiap aspek/dimensi. Setiap butir dalam aspeknya merupakan pernyataan positif dan diberi nilai 1 jika jawaban ―iya‖ dan 0 jika jawaban ―tidak‖ dan selanjutnya total nilai yang diperoleh dikategorikan rendah (0-29), sedang (30-45), dan tinggi (46-55). Nilai tertinggi dari masing-masing dimensi dan total nilai yang diperoleh mengindikasikan pemberian stimulasi psikososial yang semakin baik dari responden. Pengukuran pola asuh makan dinilai dari setiap pertanyaan. Setiap pertanyaan memiliki beberapa pilihan. Pilihan yang paling tepat memiliki nilai tertinggi. Nilai tertinggi berbeda untuk setiap pertanyaan, yaitu ―2‖ atau ―3‖ dan nilai terendah, yaitu ―1‖. Setiap nilai dari pertanyaan dari masing-masing variabel akan dijumlahkan dan dikonversi ke dalam persentase untuk dikategorikan, yaitu rendah (<60%), sedang (60-80%), dan tinggi (>80%) (Khomsan 2000). Data perkembangan kognitif diukur dengan menentukan jawaban yang tepat dan kemudian diberi nilai. Nilai tertinggi dari masing-masing tugas memperlihatkan perkembangan kognitif yang baik dari seorang anak. Tabel 4 Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan zat gizi Energi dan Zat Gizi Energi dan protein
Klasifikasi Tingkat Kecukupan a. Kurang (<80% angka kebutuhan) b. Baik (80-110% angka kebutuhan) c. Lebih (≥110% angka kebutuhan)
Sumber: Hardinsyah & Tambunan 2004
Tingkat kecukupan energi dan zat gizi terhadap kebutuhan energi dan zat gizi dihitung dengan membandingkan jumlah energi dan zat gizi yang dikonsumsi dengan kebutuhan energi dan zat gizi contoh yang dinyatakan dalam persen. Kemudian diklasifikasikan ke dalam kategori yang sesuai klasifikasi tingkat kecukupan energi dan zat gizi disajikan pada Tabel 4. Skor keragaman pangan diolah dengan memberi nilai 1 untuk setiap kelompok pangan jika dalam satu hari ada satu atau lebih jenis pangan yang dikonsumsi dan bernilai 0 jika tidak ada jenis pangan yang dikonsumsi dalam satu hari. Data dianalisis deskriptif dan inferensia dan dipresentasikan dalam bentuk tabel dan grafik. Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan variabelvariabel yang menggunakan kuesioner dalam bentuk frequency distribution,
10
means, standard deviation dari setiap variabel. Analisis statistik inferensia yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji beda Independent Sample T-test dan uji beda Mann Whitney serta uji korelasi Spearman dan uji Chi-square.
Definisi Operasional Subjek adalah anak usia pra-sekolah (3-5 tahun) Karakteristik subjek adalah usia, jenis kelamin, keikutsertaan subjek dalam PAUD, dan kepemilikan KMS. Status gizi adalah keadaan gizi subjek sesuai dengan kategori tinggi badan menurut umur (TB/U). Konsumsi energi dan zat gizi adalah jumlah energi dan protein dari makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh subjek. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi adalah perbandingan jumlah energi danzat gizi yang dikonsumsi subjek dengan kecukupan energi dan zat gizi subjek dandinyatakan dalam persen. Stimulasi psikososial adalah stimulasi pendidikan dalam rangka mengembangkan kemampuan kognitif, fisik, dan motorik, serta sosial-emosional anak. Pola asuh makan adalah pola asuh orang tua atau pengasuh dalam pemberian makan anak. Skor keragaman pangan adalah skor yang ditunjukkan untuk mengetahui keberagaman konsumsi subjek melalui food recall 1 x 24 jam. Kelompok pangan adalah kelompok-kelompok untuk setiap jenis makanan yang dikonsumsi subjek. Perkembangan kognitif adalah perkembangan kemampuan dari subjek dalam memahami, menganalisis, dan mengklasifikasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Keluarga Karakteristik keluarga yang diamati adalah besar keluarga, usia orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan pendapatan per kapita. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami, isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (PP 21 tahun 1994). Jumlah anggota keluarga untuk anak dengan status gizi normal dan pendek memiliki perbedaan, yaitu rata-rata besar keluarga pada anak dengan status gizi pendek lebih besar daripada anak dengan status gizi normal. Sebagian besar usia ayah maupun ibu baik pada anak dengan status gizi normal ataupun pendek berada pada rentang usia dewasa awal (20-39 tahun). Rata-rata usia ayah dan ibu tidak berbeda antara anak dengan status gizi normal maupun pendek.
11 Tabel 5 Karakteristik keluarga berdasarkan status gizi TB/U Status gizi
Karakteristik Keluarga Jumlah anggota rumah tangga Usia Ayah Ibu Pendidikan (tahun) Ayah Ibu Pendapatan
Normal 4.5 ± 1.2
Pendek 5.0 ± 1.5
36.0 ± 7.0 31.2 ± 5.9
36.6 ± 7.9 31.1 ± 6.5
8.4 ± 2.6 8.3 ± 2.5 272 276 ± 126 264
7.9 ± 2.7 7.5 ± 2.6 259 441 ± 125 994
Pendidikan pertama anak berasal dari keluarga. Berdasarkan lama pendidikan orang tua, ayah maupun ibu pada anak dengan status gizi normal lebih tinggi daripada anak dengan status gizi pendek. Tetapi lama pendidikan orang tua pada anak dengan status gizi normal maupun pendek tidak mencapai dari 12 tahun. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengumumkan perpanjangan program wajib belajar dari 9 ke 12 tahun (Cerdan 2013). Sebagian besar pendidikan ayah dan ibu masuk pada tingkat SD baik pada anak dengan status gizi normal maupun pendek. Hasil uji beda menggunakan uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan antara pendidikan ayah pada anak normal dengan anak pendek (p>0.05). Begitu pun untuk pendidikan ibu, tidak ada perbedaan antara anak normal dengan anak pendek (p>0.05). Orang tua yang berpendidikan rendah, cenderung mempunyai pemahaman yang terbatas tentang cara mengasuh anaknya agar dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal (Susilaningrum dkk 2013). Jika melihat dari pendapatan per kapita, anak dengan status gizi normal memiliki pendapatan per kapita dari keluarga lebih tinggi dibandingkan anak dengan status gizi pendek. Tabel 6 Sebaran jumlah anggota keluarga berdasarkan status gizi TB/U Jumlah Anggota Keluarga ≤ 4 (kecil) 5-8 (sedang) ≥ 8 (besar) Total Mean ± sd
Status gizi Normal n 67 44 4 115
Pendek % 58.3 38.3 3.5 100
4.5 ± 1.2
n 29 27 4 60
% 48.3 45.0 6.7 100 5.0 ± 1.5
Sebagian besar jumlah anggota keluarga baik anak dengan status gizi normal ataupun pendek berada pada kategori keluarga kecil (≤ 4), yaitu sebesar 58.3% dan 48.3%. Jumlah anggota keluarga dengan kategori keluarga kecil (48.3%) dan sedang (45.0%) tidak berbeda jauh untuk anak dengan status gizi pendek. Besar keluarga dengan kategori keluarga besar (≥ 8), yaitu 6.7% anak dengan status gizi pendek lebih besar dibandingkan anak dengan status gizi normal. Hal ini dapat diduga menjadi salah satu penyebab mengapa anak mengalami kependekan karena semakin banyak jumlah anggota keluarga pendistribusian konsumsi pangan akan semakin sedikit. Hal ini sesuai dengan penelitian Tanziha dkk. (2007) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
12
negatif antara jumlah anggota rumah tangga dengan kejadian lapar. Meningkatnya jumlah anggota rumah tangga memengaruhi pemilihan bahan pangan kepada yang lebih murah. Menurut Suhardjo (2010), meningkatnya jumlah anggota keluarga tanpa diimbangi dengan peningkatan pendapatan, maka pendistribusian konsumsi pangan akan semakin sedikit sehingga konsumsi pangan keluarga tersebut tidak cukup untuk mencegah kejadian kurang gizi. Pekerjaan orang tua merupakan sesuatu yang dilakukan oleh setiap orang tua untuk mendapatkan nafkah (Nachiyah 2012). Pekerjaan akan memengaruhi pendapatan keluarga yang akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan anak. Pekerjaan ayah dan ibu tersebar di beberapa bidang, yaitu petani, pedagang, buruh tani, buruh non-tani, jasa, dan tidak bekerja. Sebanyak 22.9% pada anak normal, ayah bekerja sebagai burun non-tani, sedangkan sebanyak 21.4% pada anak pendek ayah bekerja sebagai jasa (tukang ojek, tukang cukur, calo, dsb) dan lainnya (satpam, karyawan, wiraswasta, dsb). Sebagian besar ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga baik pada anak normal maupun pendek (78.6% dan 76.3%), dan sebagian yang lain tersebar sebagai petani, pedagang, buruh tani, buruh non-tani, jasa, dan lainnya (guru honorer). Tabel 7 Sebaran pekerjaan orang tua berdasarkan status gizi TB/U Status gizi Pekerjaan Pekerjaan ayah Petani Pedagang Buruh tani Buruh non tani Jasa IRT Lainnya Pekerjaan ibu Petani Pedagang Buruh tani Buruh non tani Jasa IRT Lainnya
Normal
Pendek
n
%
n
%
11 22 15 24 20 1 12
10.5 21.0 14.3 22.9 19.0 1.0 11.4
2 10 9 11 12 0 12
3.6 17.9 16.1 19.6 21.4 0 21.4
0 9 1 3 6 88 5
0 8.0 0.9 2.7 5.4 78.6 4.5
1 5 2 3 1 45 2
1.7 8.5 3.4 5.1 1.7 76.3 3.4
Karakteristik Anak Subjek dalam penelitian ini adalah anak usia pra-sekolah dengan rentang usia 3-5 tahun. Karakteristik subjek yang diamati, meliputi usia, jenis kelamin, keikutsertaan anak dalam PAUD dan kepemilikan KMS. Subjek yang diamati sebanyak 175 orang dari dua desa yang berbeda, Desa Tambakan dan Desa Jalan Cagak. Sebagian besar usia subjek pada anak normal berada pada rentang 4-4.9 tahun, yaitu sebanyak 59.1%, sedangkan pada anak pendek sebagian usia subjek berada pada rentang 3-3.9 tahun, yaitu 50.0%. Subjek berjenis kelamin laki-laki
13 lebih banyak dibandingkan subjek berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 54.8% pada anak normal dan 51.7% pada anak pendek. Tabel 8 Sebaran karakteristik anak berdasarkan status gizi TB/U Status gizi Karakteristik
Normal n
Usia 3-3.9 tahun 4-4.9 tahun 5 tahun Total Mean ± sd Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total Keikutsertaan dalam PAUD PAUD Non-PAUD Total Kepemilikan KMS KMS Non-KMS Total
Pendek %
n
%
43 68 4 115
37.4 59.1 3.5 100 4.12 ± 0.56
30 27 3 60
50.0 45.0 5.0 100 3.95 ± 0.67
63 52 115
54.8 45.2 100
31 29 60
51.7 48.3 100
40 75 115
34.8 65.2 100
13 47 60
21.7 78.3 100
53 62 115
46.1 53.9 100
28 32 60
46.7 53.3 100
Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 14). Dalam penelitian ini, anak-anak yang mengikuti PAUD masih tergolong kurang karena sebagian besar anak tidak mengikuti PAUD, yaitu 65.2% anak normal dan 78.3% anak pendek. Berdasarkan Apriana (2009) masih banyaknya jumlah responden yang tidak mengikuti PAUD menunjukkan bahwa motivasi orang tua untuk mengikutsertakan anaknya dalam program PAUD disebabkan adanya anggapan bahwa anak berusia 3 tahun atau kurang masih perlu memusatkan kegiatannya di rumah dengan orang tua dan keluarga lainnya. Selain itu, anak di bawah usia 4 tahun belum dapat membedakan perilaku yang baik dan buruk. Anggapan seperti ini membuat orang tua takut membaurkan anaknya terlalu dalam dengan orang-orang yang baru dikenalnya, karena takut berpengaruh dengan hal-hal yang buruk (Apriana 2009). Menurut Mustika dan Arifah (2011), orang tua yang tidak mengikutsertakan anaknya ke PAUD mengeluhkan bahwa anaknya kurang mandiri, kurang aktif dan bersemangat dalam mengikuti berbagai kegiatan, sedangkan orang tua yang mengikutsertakan anaknya ke PAUD mengungkapkan bahwa anaknya senang berinteraksi dengan orang lain, aktif dan bersemangat. Pertumbuhan anak hendaknya dipantau secara teratur. Pemantauan pertumbuhan anak di bawah lima tahun dapat dilakukan sendiri di rumah, Posyandu, atau Puskesmas dengan menggunakan Kartu Menuju Sehat (KMS).
14
Kepemilikan KMS anak balita yang dijumpai masih di bawah 50%, yaitu 46.1% pada anak normal dan 46.7% pada anak pendek. Padahal salah satu indikator kesehatan anak dalam Riskesdas 2013 untuk anak 0-59 bulan, ialah kepemilikan KMS. Menurut Riskesdas (2010), semakin tinggi umur anak semakin rendah kepemilikan KMS.
Pola Asuh Makan Orang tua berpengaruh terhadap perilaku makan anak. Banyak penelitian menunjukkan bahwa orang tua secara sadar maupun tidak sadar telah menuntun kesukaan makan anak dan membentuk gaya yang berpengaruh terhadap dimana, bagaimana, dengan siapa, dan berapa banyak yang ia makan (Soetardjo 2011). Orang tua dan pengasuh merupakan model peran bagi anak pra-sekolah. Bila mereka makan bermacam-macam makanan, anak pun akan mengikuti (Soetardjo 2011). Tingkat pengetahuan gizi yang dipraktikkan pada perencanaan makanan keluarga tampaknya berhubungan dengan sikap positif ibu terhadap diri sendiri, kemampuan ibu dalam memecahkan masalah, dan mengorganisasi keluarga. Uruturutan anak pra-sekolah dalam keluarga tampaknya berpengaruh terhadap pilihan makanan yang diberikan (Soetardjo 2011). Tabel 9 Sebaran praktek pemberian makan berdasarkan status gizi TB/U Status gizi Praktek pemberian makan Mengasuh anak Ibu Nenek Anggota keluarga lain Menyiapkan makan anak Ibu Ibu dan orang lain Orang lain Anak masih sering disuapi atau tidak Kadang-kadang Selalu Tidak pernah Cara ibu menyajikan porsi makan anak Porsi makan sesuai kebutuhan anak Porsi makan dihidangkan sekaligus banyak Situasi saat memberi makan anak Diusahakan disiplin dan tidak boleh bermain Sambil bermain di sekitar rumah
Normal
Pendek
n
%
n
%
106 4 5
92.2 3.5 4.3
56 1 3
93.3 1.7 5.0
104 5 6
90.4 4.3 5.2
51 6 3
85.0 10.0 5.0
77 20 18
67.0 17.4 15.7
47 9 4
78.3 15.0 6.7
105
91.3
57
95.0
10
8.7
3
5.0
73
63.5
41
68.3
42
36.5
19
31.7
Pola asuh makan dalam penelitian ini, meliputi pengasuhan anak, menyiapkan makan anak, anak masih sering disuapi atau tidak, cara ibu menyajikan porsi makan anak, situasi saat memberi makan anak, jadwal makan
15 anak, sikap dan metode ibu dalam memberi makan anak, mengatasi masalah makan anak. Pola asuh makan anak dibagi menjadi tiga bagian, yaitu praktek pemberian makan anak, jadwal makan anak, dan sikap dan metode ibu dalam memberi makan anak. Praktek pemberian makan anak terdiri dari mengasuh anak, menyiapkan makan anak, anak masih sering disuapi atau tidak, cara ibu menyajikan porsi makan anak, dan situasi saat memberi makan anak. Terdapat dua pertanyaan mengenai jadwal makan anak, yaitu penentuan jadwal makan anak dan keteraturan jadwal makan anak. Sikap dan metode ibu dalam memberi makan anak, meliputi cara ibu memperkenalkan makanan pada anak, problema makan anak, sikap ibu jika anak menolak makanan tertentu, sikap ibu jika anak sulit makan, sikap ibu jika anak menghabiskan makanannya, dan penentuan jadwal minum susu anak. Sebagian besar anak diasuh oleh ibunya, yaitu sebesar 92.2% pada anak normal dan 93.3% pada anak pendek. Selain itu, pengasuhan ada yang dilakukan oleh nenek, dan anggota keluarga lain. Ibu, adalah yang paling berhak menggenggam hak asuh anak dibandingkan pihak-pihak lainnya (Al-Fauzan 2009). Penyiapan makan anak pun mayoritas dilakukan oleh ibu, tetapi sebesar 5.2% anak normal dan 5.0% anak pendek, penyiapan makanan masih dilakukan oleh orang lain. Sebagian besar anak kadang-kadang masih disuapi oleh ibu atau pengasuhnya. Alasan ibu masih menyuapi anaknya karena jika ibu menyiapkan makanan, ibu takut anak tidak menghabiskan makanannya dan membuat ruangan saat makan menjadi kotor. Alasan lainnya karena ibu merasa anak umur tiga tahun masih terlalu kecil untuk dibiarkan makan sendiri sehingga masih perlu disuapi (Khomsan dkk. 2013). Ibu telah menyajikan porsi makan sesuai kebutuhan anak. Hal ini sesuai dengan Elida dan Fridayati (2011) yang menyatakan bahwa sikap ibu dalam pengaturan makan keluarga tentang penyajian dan pemberian makan termasuk dalam kategori baik. Begitu pula hasil pada penelitian Werdiningsih dan Astarani (2012) menunjukkan bahwa peran ibu dalam pemenuhan kebutuhan dasar anak tergolong baik. Hal ini menunjukan pola asuh pada anak telah memenuhi kebutuhan anak sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Lebih dari 50% ibu memperhatikan situasi saat memberi makan anak dengan mengusahakan anak tidak boleh bermain. Ada pula ibu yang memberi makan anak sambil anaknya bermain di sekitar rumah. Sejalan dengan hasil penelitian Khomsan dkk. (2013) yang menunjukkan bahwa sebesar 63.6% ibu dari keluarga petani dan 51.9% ibu dari keluarga non-petani memberi makan anak dengan mengusahakan anak tidak boleh bermain. Jadwal makan anak (Tabel 10) sangat penting untuk merepresentasikan kebutuhan zat gizi anak (Khomsan dkk. 2013). Lebih dari 50% penentuan jadwal makan anak ditentukan oleh anak sendiri. Jadwal makan anak yang ditentukan oleh ibu pun cukup banyak. Masing-masing anak normal dan pendek sebanyak 32.2% dan 28.3% memiliki jadwal makan yang teratur, tetapi lebih banyak anak yang memiliki jadwal makan yang tidak teratur. Padahal anak-anak menyukai rutinitas dan membutuhkan konsistensi dalam hidupnya sehingga perlu dibuat jadwal untuk keteraturan anak (Gracinia 2005).
16
Tabel 10 Sebaran jadwal makan anak berdasarkan status gizi TB/U Status gizi Jadwal makan anak Penentuan jadwal makan anak Ibu sendiri Ibu dan orang lain Semau anak sendiri Keteraturan jadwal makan anak Teratur Tidak teratur
Normal
Pendek
n
%
n
%
35 2 78
30.4 1.7 67.8
15 2 43
25.0 3.3 71.7
37 78
32.2 67.8
17 43
28.3 71.7
Tabel 11 menyajikan data sikap ibu dalam pemberian makan anak. Sebagian besar ibu memperkenalkan makanan baru pada anak dengan cara memberikan makanannya tersendiri tidak bersamaan dengan makanan lain. Mayoritas anak tidak mempunyai problema saat makan, tetapi problema yang banyak terjadi, yaitu anak lama menghabiskan makanannya baik pada anak normal maupun pendek. Sebesar 47.8% ibu tetap memberikan makanan yang telah ditolak oleh anak dalam waktu yang berbeda, tetapi sebanyak 29.6% ibu tidak mencoba untuk memberikannya lagi. Ibu yang membuat inovasi makanan baru dengan bahan makanan yang sama lebih tinggi pada anak normal dibandingkan anak pendek. Persentase yang lebih tinggi pada anak normal dapat menggambarkan bahwa ibu dengan anak yang normal lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan pola asuh makan sehingga akan menjadi lebih baik. Hal ini juga didukung dari pendidikan ibu pada anak normal memiliki rata-rata yang lebih tinggi (8.3 ± 2.5) dibandingkan pendidikan ibu pada anak pendek (7.5 ± 2.6). Sikap yang ibu lakukan jika anak sulit makan, yaitu mayoritas ibu membujuk atau merayu anak agar anak mau makan (46.1%). Sejalan dengan penelitian Hapitria, Dasuki, dan Ismail (2011) bahwa upaya membujuk selalu ibu lakukan dengan penuh kasih sayang dan sabar bila anak nakal, nangis atau anak tidak mau makan. Anak akan merasa senang jika apa yang ia lakukan dihargai atau diberi penghargaan oleh ibu atau pengasuhnya. Begitu pula dengan makan, jika anak menghabiskan makanannya, anak akan merasa senang saat ibu memujinya. Memberikan pujian yang benar, akan mendorong anak untuk belajar lebih lagi dan anak menikmati kerjasama yang terjalin antara dirinya dengan orang tua/pendidik. (Hastuti 2013). Reward (hadiah) dan punishment harus diberikan pada situasi yang tepat dengan tujuan mendidik (Aeni 2011). Sebanyak 78.3% ibu telah memberikan apresiasi terhadap anak dengan cara memujinya jika anak menghabiskan makanannya, walaupun masih ada ibu yang diam saja. Ibu diharapkan menghindari pemberian susu secara terjadwal, biarkan anak menentukan jadwal minum susunya sendiri karena anak dapat menentukannya (Prenagen 2013). Terlihat lebih dari 50%, anak yang menentukan jadwal minum susunya sendiri, hanya sebesar 14.8% ibu yang berperan dalam menentukan jadwal minum susu anaknya.
17 Tabel 11 Sebaran sikap ibu dalam pemberian makan berdasarkan status gizi TB/U Status gizi Sikap ibu dalam pemberian makan
Normal n
Cara ibu memperkenalkan makanan baru pada anak Diberikan tersendiri 73 Diberikan bersama makanan yang sudah 42 dikenal Problema makan anak Tidak ada masalah 75 Diemut 10 Lama makannya 16 Harus sambil main 10 Memilih-milih makanan 4 Sikap ibu jika anak menolak makanan tertentu Anak tidak pernah menolak makanan 3 Membuat inovasi makanan baru dengan 23 bahan yang sama Tetap diberikan dalam waktu yang 55 berbeda Tidak diberikan lagi 34 Sikap ibu jika anak sulit makan Anak tidak sulit makan 26 Membujuk atau merayu anak agar mau 53 makan Membiarkan anak makan sesuai 18 keinginannya Memaksa anak untuk makan 18 Sikap ibu jika anak menghabiskan makanannya Memujinya 90 Diam saja 25 Yang menentukan jadwal minum susu anak Ibu 17 Anak 95 Ibu dan orang lain 0 Orang lain 1
Pendek %
n
%
63.5 36.5
41 19
68.3 31.7
65.2 8.7 13.9 8.7 3.5
34 7 10 7 2
56.7 11.7 16.7 11.7 3.3
2.6 20.0
2 9
3.3 15.0
47.8
31
51.7
29.6
18
30.0
22.6 46.1
12 27
20.0 45.0
15.7
11
18.3
15.7
10
16.7
78.3 21.7
42 18
70.0 30.0
14.8 82.6 0 0.9
6 51 1 1
10.0 85.0 1.7 1.7
Berdasarkan jenis kelamin anak (Tabel 12), pola asuh makan yang dilakukan ibu terhadap anaknya tidak memiliki perbedaan signifikan (p>0.05). Sejalan dengan penelitian Khomsan dkk. (2013) yang menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara rata-rata skor pola asuh makan pada anak laki-laki dan perempuan. Pola asuh yang baik telah diberikan ibu pada anak perempuan, yaitu sebesar 60.5% sudah memiliki pola asuh di atas 80%. Sedangkan pada anak laki-laki pola asuh makan yang dilakukan oleh ibu terlihat lebih rendah, yaitu sebagian terdapat pada rentang pola asuh makan sedang (60-80%). Hal ini sesuai dengan penelitian Dewanggi, Hastuti, dan Hernawati (2012) yang memiliki hasil bahwa pola asuh makan yang dilakukan ibu untuk anak laki-laki (60%) lebih rendah dibandingkan anak perempuan (73.3%).
18
Tabel 12 Sebaran pola asuh makan berdasarkan jenis kelamin anak Kategori nilai pola asuh makan Rendah (<60%) Sedang (60-80%) Tinggi (>80%) Mean ± sd p-value
Jenis kelamin Laki-Laki n 0 48 46
Perempuan % 0 51.1 48.1
n 0 32 49
80.6 ± 9.7
% 0 39.5 60.5 83.3 ± 9.8
0.105
Permasalahan tumbuh kembang anak salah satu caranya melalui upaya pemberdayaan wanita dan keluarga dan pemanfaatan sumber daya masyarakat, upaya tersebut diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan wanita khususnya ibu rumah tangga dalam pola asuh anak (Mahlia 2008). Pola asuh makan yang dilakukan ibu pada anak normal lebih tinggi dibandingkan pada anak pendek. Terlihat bahwa lebih dari 50% anak normal telah diberikan pola asuh makan yang baik/tinggi oleh ibunya (>80%), meskipun sebesar 50% anak pendek juga memiliki ibu dengan pola asuh makan yang tinggi. Tidak terdapat perbedaan (p>0.05) antara pola asuh makan yang diberikan ibu terhadap anak normal maupun anak pendek. Pola asuh makan anak dengan status gizi normal dan pendek dari kedua desa sudah cukup baik karena tidak terdapat pola asuh makan dengan kategori rendah. Hal ini karena di daerah tersebut sering dilakukan riset sehingga ibu-ibu di kedua desa memiliki pengetahuan yang cukup baik. Salah satu yang dapat mengakibatkan anak menjadi pendek ialah pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan (Riskesdas 2013). Tabel 13 Sebaran pola asuh makan berdasarkan status gizi TB/U Kategori nilai pola asuh makan Rendah (<60%) Sedang (60-80%) Tinggi (>80%) Mean ± sd p-value
Status gizi Normal n 0 51 64
Pendek % 0 44.3 55.7
n 0 30 30
81.6 ± 11.3
% 0 50.0 50.0 81.0 ± 9.6
0.503
Konsumsi Pangan Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi, kedua informasi ini (jenis dan jumlah pangan) merupakan hal yang penting. Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi (Kusharto & Sa’adiyah 2006). Konsumsi pangan berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi dan akses wilayah terhadap sumber makanan. Rumah
19 tangga dengan status ekonomi yang baik akan dapat dan mempunyai kesempatan untuk mengonsumsi makanan dengan kualitas baik daripada kualitas dari mereka dengan status ekonomi yang rendah (Suhanda dkk. 2010). Kelebihan atau kekuragan asupan energi dan zat gizi anak, atau kemungkinan pengaruh keturunan terhadap pertumbuhan, akan terefleksi pada pola pertumbuhannya. Anak yang kurang makan akan menunjukkan penurunan pada grafik berat badan menurut umur (BB/U). Perubahan pada alur grafik berat badan dapat juga menggambarkan pengaruh keturunan terhadap pertumbuhan. Bila kekurangan makan cukup berat dan berlangsung lama, kecepatan pertumbuhan akan berkurang atau pertumbuhan akan terhenti (Almatsier, Soetardjo, Soekatri 2011). Tabel 14 Konsumsi dan tingkat kecukupan gizi berdasarkan status gizi TB/U Energi dan protein Konsumsi Energi (kkal) Protein (g) Tingkat kecukupan gizi Energi (%) Protein (%)
Status gizi
p-value
Normal
Pendek
1101 ± 468 32.7 ± 21.8
884 ± 344 23.0 ± 11.9
0.002 0.002
88.9 118.5
80.9 94.3
0.115 0.106
Tabel 14 menggambarkan konsumsi dan tingkat kecukupan gizi berdasarkan status gizi TB/U. Konsumsi energi dan protein pada anak normal dan anak pendek memiliki perbedaan (p<0.05). Terlihat bahwa rata-rata konsumsi energi dan protein pada anak normal lebih tinggi dibandingkan pada anak pendek. Hal ini sejalan dengan penelitian Hermina dan Prihatini (2011) yang menunjukkan terdapat perbedaan signifikan antara konsumsi energi dan protein anak normal dan anak pendek pada usia 24-59 bulan (p<0.05). Berbeda pada tingkat kecukupan gizi, tidak terdapat perbedaan antara anak normal dengan anak pendek (p>0.05), walaupun persen kecukupan energi maupun protein pada anak normal lebih tinggi dibandingkan dengan anak pendek. Sesuai dengan penelitian Hanum, Khomsan, Heryatno (2014) yang menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara tingkat kecukupan zat gizi dengan status gizi balita. Hal ini diduga karena tingkat kecukapan zat gizi yang diperoleh hanya menggambarkan keadaan konsumsi anak sekarang, sementara status gizi anak sekarang merupakan akumulasi dari kebiasaan makan terdahulu, sehingga konsumsi pada hari tertentu tidak langsung memengaruhi status gizinya. Tingkat kecukupan gizi dapat dikategorikan ke dalam tiga bagian, yaitu kurang (<80%), baik (80-110%), dan lebih (≥110%) (Hardinsyah & Tambunan 2004). Masih terlihat bahwa tingkat kecukupan energi baik pada anak normal maupun pendek masuk dalam kategori kurang. Kategori lebih pada anak normal (24.3%) lebih tinggi dibandingkan pada anak pendek (16.7%). Sedangkan tingkat kecukupan protein, hampir sebagian anak masuk dalam kategori lebih pada anak normal (42.6%), sedangkan pada anak pendek hampir sebagian anak masuk dalam kategori kurang (43.3%). Terlihat bahwa rata-rata tingkat kecukupan energi dan protein anak normal lebih tinggi dibandingkan anak pendek, sehingga tingkat kecukupan energi dan protein anak normal dapat dikatakan lebih baik dibandingkan anak pendek.
20
Tabel 15 Sebaran tingkat kecukupan gizi berdasarkan status gizi TB/U Status gizi Kategori tingkat kecukupan gizi
Normal n
Energi <80% 80-110% ≥110% Mean ± sd p-value Protein <80% 80-110% ≥110% Mean ± sd p-value
Pendek %
n
50 43.5 37 32.2 28 24.3 1101 ± 468
%
29 48.3 21 35.0 10 16.7 884 ± 344 0.115
42 36.5 24 20.9 49 42.6 32.7 ± 21.8
26 43.3 12 20.0 22 36.7 23.0 ± 11.9 0.106
Skor Keragaman Pangan Konsumsi pangan yang beragam memiliki berbagai sumber zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Jumlah zat gizi tersebut disesuaikan dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Setiap zat gizi memiliki peranan penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tubuh seseorang. Jika kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi, pertumbuhan dan perkembangan tubuh akan terhambat. Anak usia di bawah lima tahun (balita) merupakan kelompok usia yang rawan terhadap pangan. Kelompok usia balita memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat sehingga dibutuhkan pangan-pangan dengan zat gizi yang mencukupi kebutuhan (Amelia 2008). Skor keragaman pangan dapat digunakan untuk mengetahui kualitas asupan makanan pada sub-kelompok sebuah populasi yang dikaitkan dengan pedoman gizi. Keragaman pangan berhubungan dengan kecukupan gizi (kebutuhan dasar zat gizi makro dan mikro) dan untuk keseimbangan/variasi makan. Tabel 16 Sebaran skor keragaman pangan berdasarkan status gizi TB/U Status Gizi Kategori skor keragaman pangan Rendah (≤3 KP) Sedang (4 dan 5 KP) Tinggi (≥6 KP) Mean ± sd p-value
Normal n 29 58 28
Pendek
% 25.2 50.4 24.3 4.6 ± 1.4
n 19 27 14
% 31.7 45.0 23.3 4.3 ± 1.4
0.300
Terdapat sepuluh kelompok pangan untuk anak usia 2-6 tahun, yaitu serealia, akar-akaran, dan umbi-umbian; buah-buahan dan sayuran yang kaya vitamin A (vitamin A>130 RE/100 g); buah-buahan lain; sayuran lain; kacangkacangan dan biji-bijian; minyak dan lemak; daging, unggas, ikan; produk susu; telur; dan lainnya (permen, keripik, soda, bumbu, dll). Perhitungan skor
21 keragaman pangan tidak dimasukkan untuk kelompok pangan lainnya, tetapi dimasukkan dalam perhitungan energi. Skor keragaman pangan, baik anak normal (50.4%) maupun anak pendek (45.0%) memiliki konsumsi pangan yang cukup beragam. Terlihat bahwa skor keragaman pangan berada pada kategori sedang. Artinya dalam sehari anak dapat mengonsumsi 4 hingga 5 jenis kelompok pangan. Tetapi skor keragaman pangan yang rendah pada anak pendek (31.7%) lebih tinggi dibandingkan pada anak normal (25.2%). Tidak terdapat perbedaan antara skor keragaman pangan pada anak normal maupun pada anak pendek (p>0.05). Keragaman pangan yang dikonsumsi tidak berkaitan dengan status gizi TB/U, diduga karena skor keragaman pangan ini dihitung pada satu hari saja, sementara status gizi anak sekarang merupakan akumulasi dari kebiasaan makan terdahulu, sehingga keragaman pangan pada satu hari tidak langsung memengaruhi status gizinya.
Status Gizi Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Berat badan anak balita ditimbang menggunakan timbangan digital yang memiliki presisi 0.1 kg, panjang atau tinggi badan diukur menggunakan alat ukur panjang/tinggi dengan presisi 0.1 cm. Variabel BB dan TB/PB anak balita disajikan dalam bentuk tiga indeks antropometri, yaitu BB/U, TB/U, dan BB/TB (Riskesdas 2013). Pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks panjang badan menurut umur atau tinggi badan menurut umur. Pengukuran indeks TB/U untuk anak berumur 0-60 bulan (Kemenkes 2011). Untuk menilai status gizi anak balita, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap anak balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore) menggunakan baku antropometri anak balita WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Zscore dari masing-masing indikator tersebut ditentukan status gizi anak balita dengan batasan sebagai berikut (Riskesdas 2013): Klasifikasi status gizi berdasarkan indeks TB/U: Sangat pendek (Zscore< -3.0 SD), Pendek (Zscore ≥ -3.0 SD s.d Zscore< -2.0 SD), Normal (Zscore ≥ -2.0 SD). Tabel 17 Sebaran status gizi TB/U berdasarkan kepemilikan KMS Status Gizi TB/U Z-score < -3 sd (Sangat pendek) -3 sd ≤ Z-score < -2 sd (Pendek) Z-score ≥ -2 sd (Normal) Mean Z-score ± sd p-value of t-test
Kepemilikan KMS Non-KMS n % n % 0 0 0 0 28 34.6 32 34.0 53 65.4 62 66.0 -1.630 ± 1.017 -1.603 ± 1.009 0.863 KMS
Tabel 17 menyajikan data status gizi TB/U berdasarkan kepemilikan KMS. Tidak terdapat perbedaan status gizi (p>0.05) antara ibu yang memiliki KMS ataupun ibu yang tidak memiliki KMS. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Muqni, Hadju, dan Jafar (2012) yang menunjukkan tidak adanya kaitan antara kepemilikan KMS dengan status gizi anak berdasarkan TB/U.
22
Stimulasi Psikososial Stimulasi psikososial adalah stimulasi pendidikan dalam rangka mengembangkan kemampuan kognitif, fisik, dan motorik, serta sosial-emosional anak (Depdiknas 2002 dalam Oktarina 2010). Dalam perkembangan ada saat-saat ketika anak siap untuk menerima sesuatu dari luar. Kematangan dicapai untuk disempurnakan dengan rangsangan-rangsangan yang tepat. Keadaan ini sering disebut ―masa kritis‖ yang harus dirangsang agar bisa berkembang selanjutnya dengan baik (Gunarsa 2008). Gunarsa (2008) menyatakan bahwa anak yang tidak mengalami dan memperoleh kasih sayang dan kepuasan dari kebutuhan akan mengalami kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan kepada orang lain dan oleh karena itu akan terganggulah hubungan sosial di kemudian hari. Lima tahun pertama dianggap sebagai tahun yang penting untuk menerima rangsangan, termasuk rangsangan-rangsangan untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan potensipotensi mental yang ada sebaik-baiknya. Salah satu dasar untuk menentukan apakah seorang anak telah mengalami perkembangan dengan baik atau tidak, ialah melalui tugas-tugas dalam perkembangan (developmental tasks) sesuai dengan pernyataan Havighurst. Tugas-tugas perkembangan ini bersumber pada tiga hal, yaitu kematangan fisik, rangsangan atau tuntutan dari masyarakat, dan norma pribadi mengenai aspirasi-aspirasinya. Tugas-tugas perkembangan yang mencakup aspek stimulasi psikososial pada penelitian ini dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu stimulasi belajar, stimulasi bahasa, lingkungan fisik, kehangatan dan penerimaan, stimulasi akademik, modeling, variasi stimulasi pada anak, dan hukuman. Aspek-aspek stimulasi psikososial berdasarkan status gizi TB/U dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Sebaran aspek stimulasi psikososial berdasarkan status gizi TB/U Aspek stimulasi psikososial Stimulasi belajar Rendah (0-2) Sedang (3-9) Tinggi (10-11) Mean ± sd p-value Stimulasi bahasa Rendah (0-4) Sedang (5-6) Tinggi (7) Mean ± sd p-value Lingkungan fisik Rendah (0-3) Sedang (4-6) Tinggi (7) Mean ± sd p-value
Status gizi Normal
Pendek
n
%
n
%
51 64 0
44.3 55.7 0
31 29 0
51.7 48.3 0
3.1 ± 2.1
2.6 ± 2.0 0.117
10 43 62
8.7 37.4 53.9
7 21 32
6.2 ± 1.0
11.7 35.0 53.3 6.2 ± 1.1
0.875 32 55 28
27.8 47.8 24.3
33 23 4
4.8 ± 1.8
55.0 38.3 6.7 3.9 ± 1.7
0.001
23 Tabel 18 Sebaran aspek stimulasi psikososial berdasarkan status gizi TB/U (lanjutan) Aspek stimulasi psikososial Kehangatan dan penerimaan Rendah (0-3) Sedang (4-5) Tinggi (6-7) Mean ± sd p-value Stimulasi akademik Rendah (0-2) Sedang (3-4) Tinggi (5) Mean ± sd p-value Modeling Rendah (0-1) Sedang (2-3) Tinggi (4-5) Mean ± sd p-value Variasi stimulasi pada anak Rendah (0-4) Sedang (5-7) Tinggi (8-9) Mean ± sd p-value Hukuman Rendah (0-2) Sedang (3) Tinggi (4) Mean ± sd p-value
Status gizi Normal
Pendek
n
%
n
%
10 49 56
8.7 42.6 48.7
10 28 22
16.7 46.7 36.7
5.2 ± 1.3
4.8 ± 1.4 0.078
22 63 30
19.1 54.8 26.1
16 24 20
3.6 ± 1.3
26.7 40.0 33.3 3.4 ± 1.6
0.806 11 63 41
9.6 54.8 35.7
6 32 22
3.1 ± 1.2
10.0 53.3 36.7 3.0 ± 1.1
0.546 60 51 4
52.2 44.3 3.5
33 24 3
4.5 ± 1.5
55.0 40.0 5.0 4.5 ± 1.7
0.767 8 38 69
7.0 33.0 60.0
0 19 41
3.5 ± 0.7
0 31.7 68.3 3.7 ± 0.5
0.177
Aspek stimulasi belajar, persentase tertinggi (55.7%) pada anak normal termasuk ke dalam kategori sedang. Sedangkan, pada anak pendek presentase tertinggi (51.7%) termasuk ke dalam kategori rendah. Artinya, stimulasi belajar yang ibu berikan lebih baik pada anak normal daripada anak pendek. Namun, uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan untuk stimulasi belajar yang ibu berikan antara anak normal dan anak pendek (p>0.05). Stimulasi bahasa berhubungan dengan praktek ibu atau pengasuh dalam memberikan rangsangan dalam bentuk memperkenalkan kata-kata dan berbicara menggunakan struktur yang benar (Khomsan dkk. 2013). Hasil penelitian ini menunjukkan baik pada anak normal (53.9%), maupun anak pendek (53.3%), stimulasi bahasa yang ibu berikan masuk dalam kategori tinggi. Uji beda MannWhitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan stimulasi bahasa yang ibu berikan pada anak normal dan pendek (p>0.05).
24
Lingkungan fisik berkaitan dengan bagaimana ibu atau pengasuh menyediakan lingkungan fisik yang aman dan nyaman untuk anak mereka. Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa pada anak normal, presentase tertinggi ibu atau pengasuh menyediakan lingkungan fisik dalam kategori sedang (47.8%), sedangkan pada anak pendek, presentase tertinggi masuk dalam kategori kurang (55.0%). Uji beda Mann-Whitney menunjukkan terdapat perbedaan signifikan antara lingkungan fisik yang ibu atau pengasuh sediakan terhadap anak normal dan anak pendek (p<0.05). Kehangatan dan penerimaan lebih kepada ibu atau pengasuh mengekspresikan kasih sayang kepada anak-anak mereka dalam bentuk pemberian pujian, pelukan dan belaian, mengarahkan mereka, serta memberikan tanggapan positif kepada perilaku anak (Khomsan dkk. 2013). Presentase tertinggi (48.7%) pada anak normal masuk dalam kategori tinggi, sedangkan pada anak pendek presentase tertinggi (46.7%) masuk dalam kategori sedang. Kehangatan dan penerimaan yang dilakukan oleh ibu atau pengasuh lebih baik pada anak normal daripada anak pendek. Namun, uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kehangatan dan penerimaan pada anak normal dan anak pendek (p>0.05). Stimulasi akademik berhubungan dengan waktu yang diluangkan ibu untuk mengajarkan anak mereka apapun yang terkait dengan aspek kognitif, seperti warna, surat, angka, nyanyian, dan konsep spasial (Khomsan dkk. 2013). Stimulasi akademik yang diberikan ibu, baik pada anak normal, maupun anak pendek, memiliki presentase tertinggi pada kategori sedang, yaitu masing-masing 54.8% dan 40.0%. Uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara stimulasi akademik yang diberikan ibu pada anak normal dan anak pendek (p>0.05). Modeling berhubungan dengan perilaku dari ibu dalam menerapkan praktek, contohnya mengatur jadwal nonton TV dan membeli jajanan, memperkenalkan perilaku yang dilakukan ketika menghadapi tamu, dan bagaimana cara untuk mengungkapkan kekecewaan dan kemarahan (Khomsan dkk. 2013). Hasil pada Tabel 18 menunjukkan bahwa presentase tertinggi pada anak normal (54.8%) dan anak pendek (53.3%) berada pada kategori sedang. Tetapi terlihat bahwa skor rata-rata anak normal lebih tinggi dibandingkan anak pendek, artinya praktek modeling pada anak normal lebih baik daripada anak pendek. Namun, uji beda Mann-Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan antara anak normal dan anak pendek (p>0.05) karena nilai rata-ratanya pun tidak terlalu berbeda jauh. Variasi stimulasi pada anak berhubungan dengan perilaku ibu atau pengasuh dalam menyediakan berbagai pengenalan lingkungan sosial yang lebih luas untuk anak mereka (Khomsan dkk. 2013). Baik pada anak normal (52.2%), maupun anak pendek (55.0%) dapat dilihat bahwa presentase tertinggi keduanya masuk dalam kategori rendah. Terlihat bahwa skor rata-rata antara anak normal dan anak pendek tidak ada perbedaan signifikan, sesuai dengan uji beda MannWhitney yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan antara variasi stimulasi pada anak normal dan anak pendek. Hukuman berhubungan dengan perilaku ibu atau pengasuh ketika menghadapi sikap anak apakah akan diberikan hukuman atau tidak ketika anak berperilaku tidak semestinya (Khomsan dkk. 2013). Hasil pada penelitian ini
25 menunjukkan, baik anak normal (60.0%), maupun anak pendek (68.3%) menerima hukuman dengan kategori tinggi. Terlihat bahwa skor rata-rata pada anak pendek lebih tinggi dibandingkan dengan anak normal. Artinya, hukuman lebih sering diberikan pada anak pendek dibandingkan pada anak normal. Namun, berdasarkan uji Mann-Whitney tidak terdapat perbedaan signifikan antara anak normal dan anak pendek (p>0.05). Tabel 19 Sebaran stimulasi psikososial berdasarkan status gizi TB/U Status gizi Kategori nilai stimulasi psikososial 0-29 (rendah) 30-45 (sedang) 46-55 (tinggi) Mean ± sd p-value
Normal n 27 84 4
Pendek n % 20 33.3 39 65.0 1 1.7 31.7 ± 6.4
% 23.5 73.0 3.5 33.8 ± 6.8 0.039
Secara keseluruhan (Tabel 19), sebagian besar stimulasi psikososial yang diberikan/dilakukan oleh ibu berada pada kategori sedang, baik itu pada anak normal (73.0%) maupun pada anak pendek (65.0%). Rata-rata nilai stimulasi psikososial pada anak normal lebih tinggi dibandingkan dengan anak pendek. Nilai stimulasi psikososial dengan kategori tinggi pada anak normal lebih banyak (3.5%) dibandingkan dengan anak pendek (1.7%). Berdasarkan uji Mann-Whitney, terdapat perbedaan signifikan antara stimulasi psikososial yang ibu berikan pada anak normal dan anak pendek (p<0.05). Tabel 20 Sebaran stimulasi psikososial berdasarkan keikutsertaan anak dalam PAUD Kategori nilai stimulasi psikososial 0-29 (rendah) 30-45 (sedang) 46-55 (tinggi) Mean ± sd p-value
Keikutsertaan anak dalam PAUD PAUD Non-PAUD n % n % 2 3.8 44 35.8 47 88.7 77 62.6 4 7.5 2 1.6 36.4 ± 5.1 32.1 ± 6.5 0.000
Terlihat bahwa stimulasi psikososial anak yang mengikuti PAUD lebih tinggi daripada anak yang tidak mengikuti PAUD pada kategori sedang. Pada anak non-PAUD, terdapat 35.8% anak dengan stimulasi psikososial rendah. Stimulasi psikososial berdasarkan keikutsertaan anak dalam PAUD memiliki perbedaan yang signifikan (p<0.05) menggunakan uji Mann-Whitney. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Khomsan dkk. (2013) yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara anak yang mengikuti PAUD dan anak non-PAUD.
26
Tabel 21 Sebaran stimulasi psikososial berdasarkan jenis kelamin Jenis kelamin Kategori nilai stimulasi psikososial
Laki-Laki n 25 69 0
0-29 (rendah) 30-45 (sedang) 46-55 (tinggi) Mean ± sd p-value
Perempuan n % 21 25.9 54 66.7 6 7.4 33.9 ± 7.5
% 26.3 70.3 0 32.9 ± 5.4 0.504
Berdasarkan jenis kelamin (Tabel 21), tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.05) antara stimulasi psikososial pada anak laki-laki dan anak perempuan. Hal ini diduga karena stimulasi psikososial yang ibu berikan/lakukan kepada anak baik anak laki-laki ataupun perempuan sama karena ibu memiliki tugas untuk mengarahkan/mengasuh anaknya dan tidak memandang apakah anaknya itu perempuan atau laki-laki. Hasil yang sama terlihat pada stimulasi psikososial berdasarkan kepemilikan KMS (p>0.05). Hasil ini diduga bahwa KMS hanya memperlihatkan pertumbuhan anak saja tidak melihat perkembangan anak melalui stimulasi psikososial yang ibu berikan/lakukan. Tabel 22 Sebaran stimulasi psikososial berdasarkan kepemilikan KMS Kategori nilai stimulasi psikososial 0-29 (rendah) 30-45 (sedang) 46-55 (tinggi) Mean ± sd p-value
Kepemilikan KMS Non-KMS n % n % 21 25.6 25 26.6 60 73.2 64 68.1 1 1.2 5 5.3 33.2 ± 6.2 33.5 ± 6.7 0.887 KMS
Perkembangan Kognitif Kemampuan kognitif merupakan salah satu dimensi dari perkembangan yang memiliki peran yang besar terhadap kecerdasan. Menurut Dariyo (2007) perkembangan kognitif tidak lepas dari fakor genetik dan lingkungan. Jean Piaget (1896-1980), pakar psikologi dari Swiss, mengatakan bahwa anak dapat membangun secara aktif dunia kognitif mereka sendiri. Dalam pandangan Piaget, terdapat dua proses yang mendasari perkembangan dunia individu, yaitu pengorganisasian dan penyesuaian (adaptasi). Jean Piaget merancang model yang mendeskripsikan bagaimana manusia memahami dunianya dengan mengumpulkan dan mengorganisasikan informasi. Menurut Piaget seperti yang dikutip Woolfolk (2009) perkembangan kognitif dipengaruhi oleh maturasi (kematangan), aktivitas dan transmisi sosial. Maturasi atau kematangan berkaitan dengan perubahan biologis yang terprogram secara genetik. Aktivitas berkaitan dengan kemampuan untuk menangani lingkungan dan belajar darinya. Transmisi sosial berkaitan dengan interaksi dengan orang-orang di sekitar dan belajar darinya.
27 Instrumen perkembangan kognitif anak dibagi menjadi tiga kategori usia, yaitu 2 tahun 6 bulan - 3 tahun 5 bulan, 3 tahun 6 bulan - 4 tahun 5 bulan, dan 4 tahun 6 bulan – 5 tahun 5 bulan. Setiap kategori memiliki indikator yang berbedabeda. Aspek dalam perkembangan kognitif juga dibagi menjadi enam bagian, yaitu penggunaan simbol, pemahaman identitas, pemahaman sebab-akibat, kemampuan mengklasifikasi, pemahaman angka, dan pemahaman konsep. Tabel 23 Sebaran perkembangan kognitif anak berdasarkan status gizi TB/U Kategori nilai perkembangan kognitif Rendah (<60%) Sedang (60-80%) Tinggi (>80%) Mean ± sd p-value
Status gizi Normal n 59 38 18
Pendek
% 51.3 33.0 15.7 59.1 ± 20.3
n 38 14 8
% 63.3 23.3 13.3 55.4 ± 19.7
0.252
Berdasarkan status gizi TB/U (Tabel 23), sebagian besar perkembangan kognitif anak masuk ke dalam kategori rendah (<60%), baik anak normal maupun anak pendek. Namun, rata-rata perkembangan kognitif anak normal lebih tinggi dibandingkan dengan anak pendek, artinya perkembangan kognitif anak normal dapat dikatakan lebih baik dibandingkan dengan anak pendek. Hasil uji beda Mann-Whitney, tidak terdapat perbedaan signifikan untuk perkembangan kognitif antara anak normal dengan anak pendek (p>0.05). Hasil ini bertentangan dengan penelitian Sokolovic et al. (2014) dan Warsito dkk. (2012) yang menunjukkan terdapat perbedaan signifikan antara perkembangan kognitif anak normal dengan anak pendek. Hal ini diduga karena untuk beberapa fungsi kognitif, efek malnutrisi (stunting khususnya) semakin menurun sejalannya dengan usia, tetapi tingkat perkembangan kognitif terutama pada proses eksekutif dan persepsi visuospasial dapat sangat berpengaruh selama masa kanak-kanak (Kar, Rao, & Chandramouli 2008). Tabel 24 Sebaran perkembangan kognitif anak berdasarkan kepemilikan KMS Kategori nilai perkembangan kognitif Rendah (<60%) Sedang (60-80%) Tinggi (>80%) Mean ± sd p-value
Kepemilikan KMS KMS n 44 27 10
Non-KMS
% 54.3 33.3 12.3 56.9 ± 18.5
n 53 25 16
% 56.4 26.6 17.0 58.6 ± 21.5
0.571
Begitu pun sebaran perkembangan kognitif berdasarkan kepemilikan KMS (Tabel 24), tidak terdapat perbedaan antara anak yang memiliki KMS dengan anak yang tidak memiliki KMS (p>0.05). Hasil yang sama ditunjukkan pada penelitian Khomsan dkk. (2013) bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara perkembangan kognitif anak yang memiliki KMS dengan non-KMS. Anak yang memiliki KMS dan tidak memiliki KMS mempunyai kesempatan yang sama untuk mencapai perkembangan kognitif yang optimal. Hal ini dapat diduga karena
28
anak yang memiliki KMS ataupun tidak memiliki KMS memiliki proses perkembangan kognitif yang sama sesuai usianya masing-masing karena partisipasi dalam Posyandu tidak hanya diikuti oleh ibu yang memiliki KMS tetapi ibu yang tidak memiliki KMS pun ikut serta sehingga kepemilikan KMS tidak sesuai dijadikan perbandingan untuk nilai perkembangan kognitif anak. Selain itu, KMS hanya melihat pertumbuhan anak dan tidak untuk perkembangan anak. Tabel 25 Sebaran perkembangan kognitif anak berdasarkan keikutsertaan anak dalam PAUD Kategori nilai perkembangan kognitif Rendah (<60%) Sedang (60-80%) Tinggi (>80%) Mean ± sd p-value
n 20 21 12
Keikutsertaan anak dalam PAUD PAUD Non-PAUD % n % 37.7 77 63.1 39.6 31 25.4 22.6 14 11.5 66.9 ± 17.8 53.8 ± 19.8 0.000
Studi menunjukkan bahwa kinerja pendidikan yang buruk, penurunan lama pendidikan dan penurunan pendapatan ketika dewasa semuanya dapat dikaitkan dengan anak-anak muda yang bertubuh pendek (stunting). Oleh karena itu, anak-anak memperoleh manfaat terbesar jika program-program PAUD bersifat holistik, yang mengintegrasikan intervensi psikososial dan kesiapan bersekolah dengan intervensi kesehatan dan gizi (UNICEF 2012). Rata-rata perkembangan kognitif anak yang mengikuti PAUD lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak mengikuti PAUD. Terlihat bahwa sebagian besar anak nonPAUD memiliki nilai perkembangan kognitif yang rendah, sedangkan pada anak PAUD nilai perkembangan kognitif lebih banyak pada kategori sedang. Terdapat perbedaan signifikan antara perkembangan kognitif anak PAUD dengan anak nonPAUD (p<0.05). Hasil ini menunjukkan adanya pengaruh sekolah terhadap perkembangan kognitif anak. Anak yang mengikuti pendidikan pra-sekolah umumnya sudah dikenalkan dengan alat permainan edukatif (APE) yang dapat merangsang perkembangan kognitifnya (Hastuti, Alfiasari, & Chandriyani 2010). Tabel 26 Sebaran perkembangan kognitif anak berdasarkan jenis kelamin Kategori nilai perkembangan kognitif Rendah (<60%) Sedang (60-80%) Tinggi (>80%) Mean ± sd p-value
Jenis kelamin Laki-Laki n 54 30 10
Perempuan
% 57.4 31.9 10.6 56.0 ± 18.0
n 43 22 16
% 53.1 27.2 19.8 59.9 ± 22.3
0.216
Berdasarkan jenis kelamin (Tabel 26), tidak terdapat perbedaan antara perkembangan kognitif anak laki-laki dengan anak perempuan (p>0.05). Hasil yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara anak lakilaki dan perempuan juga terlihat dalam penelitian Ardila et al. (2011) yang
29 menunjukkan hasil perbedaan jenis kelamin pada kemampuan bahasa dan kemampuan kognitif lainnya tidak signifikan atau sangat kecil perbedaannya.
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi dan Perkembangan Kognitif Anak Status gizi adalah status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrien. Nutrien (unsur gizi) merupakan istilah yang dipakai secara umum pada setiap zat yang dicerna, diserap, dan digunakan untuk mendorong kelangsungan faal tubuh. Nutrien dapat dipilah menjadi protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin, dan air. Nutrien esensial diperlukan untuk mempertahankan kehidupan dan tidak dapat disintesis sendiri oleh tubuh sehingga harus diperoleh dari makanan (Beck 2011). Status gizi dengan indikator TB/U (tinggi badan menurut umur) lebih menggambarkan status gizi masa lalu. Ukuran antropometri untuk tinggi badan menggambarkan pertumbuhan skeletal yang berlangsung lama, oleh karena itu pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi. Analisa dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan secara signifikan terhadap status gizi. Berdasarkan uji korelasi spearman diketahui bahwa skor keragaman pangan memiliki hubungan yang signifikan terhadap status gizi (r=0.164; p-value=0.030). Semakin tinggi skor keragaman pangan semakin baik status gizi TB/U pada anak-anak (India - F=10.759, p=0.000 and Iran- F=5.825, p=0.001). Pada kedua negara, anak pendek dan sangat pendek mendapatkan skor rata-rata total makanan yang rendah daripada anak yang memiliki status gizi normal dan tinggi (Hooshmand & Udipi 2013). Menurut FAO dan FMFH (2001), beragam zat gizi ditemukan dalam beragam pangan, kita membutuhkan jenis pangan yang beragam untuk memenuhi semua kebutuhan. Perkembangan anak dapat dipahami sebagai perkembangan fisik, kognitif, sosial, dan pematangan emosional manusia dari anak dilahirkan hingga dewasa, sebuah proses yang dipengaruhi oleh interaksi antara proses biologis dan lingkungan. Dari pengaruh lingkungan, keluarga memiliki dampak yang besar terhadap perkembangan anak (Harden 2004). Dilakukan analisa terhadap faktor-faktor yang berhubungan secara signifikan terhadap perkembangan kognitif anak. Berdasarkan uji korelasi Spearman diketahui bahwa stimulasi psikososial berhubungan signifikan terhadap perkembangan kognitif anak (r=0.337; p-value=0.000). Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Hastuti, Alfiasari, dan Chandriyani (2010) yang menunjukkan terdapat hubungan antara stimulasi psikososial dengan pekembangan kognitif anak (r=0.391; p-value=0.000). Hasil yang sama juga terlihat pada penelitian Walker et al. (2005) yang menyatakan terdapat hubungan yang signifikan antara stimulasi psikososial dengan perkembangan kognitif anak. Artinya pemberian stimulasi psikososial yang optimal akan meningkatkan perkembangan kognitif anak. Dilakukan uji korelasi Speaman terhadap kedelapan aspek stimulasi psikososial dengan perkembangan kognitif anak. Terdapat hubungan yang signifikan antara stimulasi belajar (r=0.385; p-value=0.000), stimulasi bahasa (r=0.247; p-value=0.001), stimulasi akademik (r=0.182; pvalue=0.016), modeling (r=0.162; p-value=0.033), dan variasi stimulasi pada anak
30
(r=0.159; p-value=0.036) dengan perkembangan kognitif anak. Semakin awal stimulasi psikososial diberikan, semakin baik capaian perkembangan anak. Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Apriana 2009). Keikutsertaan anak dalam PAUD diuji hubungannya menggunakan uji Chi-square yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara keikutsertaan anak dalam PAUD dengan perkembangan kognitif anak (p-value=0.007). Hasil ini pun sejalan dengan penelitian Khomsan dkk. (2013) bahwa keikutsertaan anak dalam PAUD memiliki hubungan yang signifikan dengan perkembangan kognitif anak (r=0.228). Begitu pula pada penelitian Apriana (2009) yang menyatakan terdapat hubungan yang signifikan antara keikutsertaan anak dalam PAUD dengan perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah. Anak-anak yang mengikuti PAUD memiliki perkembangan kognitif lebih baik dibandingkan anak yang tidak mengikuti PAUD. Proses pendidikan yang dilaksanakan di PAUD secara optimal akan meningkatkan perkembangan kognitif pada anak.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Asupan energi dan protein anak normal lebih tinggi dibandingkan dengan anak pendek, terdapat perbedaan yang signifikan asupan energi dan protein anak normal dengan anak pendek. Tetapi tidak terdapat perbedaan signifikan untuk tingkat kecukupannya. Skor keragaman pangan baik pada anak normal maupun anak pendek, presentase tertinggi masuk dalam kategori sedang (4-5 kelompok pangan). Tidak terdapat perbedaan signifikan skor keragaman anak normal dengan anak pendek. Pola asuh makan yang dilakukan ibu pada anak normal lebih tinggi dibandingkan pada anak pendek. Terlihat bahwa lebih dari 50% anak normal telah diberikan pola asuh makan yang baik/tinggi oleh ibunya (>80%), meskipun sebesar 50% anak pendek juga memiliki ibu dengan pola asuh makan yang tinggi. Tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.05) antara pola asuh makan yang diberikan ibu terhadap anak normal maupun anak pendek. Sebagian besar anak memiliki status gizi normal berdasarkan indeks TB/U. Berdasarkan kepemilikan KMS, rata-rata status gizi anak berada pada kategori normal. Tidak terdapat perbedaan signifikan status gizi anak yang memiliki KMS dan non-KMS. Aspek stimulasi psikososial yang memiliki perbedaan signifikan antara anak normal dan anak pendek ialah lingkungan fisik, sedangkan aspek yang lain tidak memiliki perbedaan signifikan antara anak normal dan anak pendek. Secara keseluruhan, stimulasi psikososial memiliki perbedaan signifikan berdasarkan status gizi TB/U. Lalu, berdasarkan status gizi TB/U, perkembangan kognitif anak masih tergolong rendah. Tetapi rata-rata skor perkembangan kognitif anak normal lebih tinggi dibandingkan anak pendek, dapat dikatakan perkembangan kognitif
31 anak normal lebih baik daripada anak pendek. Walaupun begitu tidak terdapat perbedaan signifikan antara perkembangan kognitif anak normal dengan anak pendek. Faktor yang berhubungan dengan status gizi, yaitu skor keragaman pangan. Sedangkan faktor yang berhubungan dengan perkembangan kognitif anak, meliputi keikutsertaan anak dalam PAUD dan stimulasi psikososial. Aspek stimulasi psikososial yang memiliki hubungan signifikan terhadap perkembangan kognitif anak, meliputi stimulasi belajar, stimulasi bahasa, stimulasi akademik, modeling, dan variasi stimulasi pada anak.
Saran Perlunya orang tua memperhatikan tumbuh kembang anak sehingga anak terhindar dari stunting dan mempunyai perkembangan kognitif yang baik. Perlu penelitian pada anak usia sekolah mengenai dampak stunting terhadap prestasi belajar anak dan pengaruh status gizi (BB/U) terhadap tes hasil belajar anak.
DAFTAR PUSTAKA Aeni AN. 2011. Menanamkan disiplin pada anak melalui dairy activity menurut ajaran Islam. Jurnal Pendidikan Agama Islam. 9(1). Al-Fauzan SS. 2009. Hak pengasuhan anak dalam Islam, demi kebaikan anak [Internet]. [22 September 2014]. Tersedia pada: http://almanhaj.or.id/content/ Almatsier S, Soetardjo S, Soekatri M. 2011. Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Amelia KR. 2008. Studi perencanaan konsumsi pangan anak batita bagi keluarga miskin [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Apriana R. 2009. Hubungan pendidikan anak usia dini (PAUD) dengan perkembangan kognitif anak usia pra-sekolah di kelurahan Tinjomoyo kecamatan Banyumanik Semarang [artikel ilmiah]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2011. Rencana aksi nasional pangan dan gizi 2011-2015. Jakarta (ID): ISBN 978-979-376468-9. Cerdan P. 2013. Membangkitkan generasi emas Indonesia: memperluas wajib belajar dari 9 menjadi 12 tahun [Internet]. [22 September 2014]. Tersedia pada: http://blogs.worldbank.org/eastasiapacific/. Dariyo A. 2007. Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama. Bandung: PT Refika Aditama. [Depdiknas] Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Acuan menu pembelajaran pada pendidikan anak usia dini: menu pembelajaran generik. Jakarta (ID): Depdiknas. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2007. KSM tunas bangsa dukung peningkatan gizi [Internet]. [13 Agustus 2014]. Tersedia pada:
32
http://www.depkes.go.id/article/view/902/ksm-tunas-bangsa-dukungpeningkatan-gizi.html. Dewanggi M, Hastuti D, Hernawati N. 2012. Pengasuhan orang tua dan kemandirian anak usia 3-5 tahun berdasarkan gender di Kampung Adat Urug. Jur, Ilm. Kel.&Kons.5(1):19-28. Elida, Fridayati L. 2011. Penanggulangan gizi buruk melalui analisis sikap dan kebiasaan ibu dalam pengaturan makanan keluarga. Jurnal Gizi dan Pangan. 6(1):84-89. FAO & FMFH. 2001. Mencerdaskan pikiran, mengatasi kelaparan. Roma, Italy (EUR): Viale delle Terme di Caracalla. Gracinia J. 2005. Ajari Aku: Solusi Praktis untuk 30 Perilaku Anak yang Menjengkelkan. Jakarta (ID): Elex Media Komputindo. Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Ed ke-2. New York (US): Oxford University Press. Gunarsa SD. 2008. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta (ID): Gunung Mulia. Hanum F, Khomsan A, Heryatno Y. 2014. Hubungan asupan gizi dan tinggi badan ibu dengan status gizi anak balita. Jurnal Gizi dan Pangan. 9(1):1-6. Hapitria P, Dasuki D, Ismail D. 2011. Positive deviance pada status gizi balita. Berita Kedokteran Masyarakat. 27 (4). Harden BJ. 2004. Safety and stability for foster children: a developmental perspective. Children, Families, and Foster Care. 14 (1). Hardinsyah dan V. Tambunan. 2004. Angka kecukupan energy, protein, lemak, dan serat makanan. Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII ―Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi‖. Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta (ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hastuti D, Alfiasari, Chandriyani. 2010. Nilai anak, stimulasi psikososial, dan perkembangan kognitif anak usia 2-5 tahun pada keluarga rawan pangandi kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Jur. Ilm. Kel. & Kons. 3(1):27-34. Hastuti SR. 2013. Membangun generasi tangguh. Jurnal Pendidikan Penabur. 20(12). Hermina, Prihatini S. 2011. Gambaran keragaman makanan dan sumbangannya terhadap konsumsi energi protein pada anak balita pendek (stunting) di Indonesia. Bul. Penelit. Kesehat. 39(2):62-73. Hoosmand S, Udipi SA. 2013. Dietary diversity and nutritional status of urban primary school children from Iran and India. J Nutr Disorders Ther S12. doi: 10.4172/2161-0509.S12-001. Kar BR, Rao SL, Chandramouli BA. 2008. Cognitive development in children with chronic protein energy malnutrition. Behavioural and Brain Function 4:31.doi:10.1186/1744-9081-4-31. [Kemenkes] Kementerian Kesehatan. 2010. Riskesdas 2010. Jakarta (ID): Kemenkes RI. ______________________. 2011. Standar antropometri penilaian status gizi anak. Jakarta (ID): Kemenkes RI. _______________________. 2013. Riskesdas 2013. Jakarta (ID): Kemenkes RI. _______________________. 2014. Pedoman gizi seimbang. Jakarta (ID): Kemenkes RI.
33 Kennedy G, Nantel G. 2006. Basic guidelines for validation of a simple dietary diversity score as an indicator of dietary nutrient adequacy for nonbreastfeeding children 2-6. Nutrition Planning, Assessment and Evaluation Service Nutrition and Consumer Protection Division Food and Agriculture Organization of the United Nations. Khomsan A, Anwar F, Hernawati N, Suhanda NS, Warsito O, Herawati T. 2013. Growth, Cognitive Development and Psychosocial Stimulation of Preschool Children in Poor Farmer and Non—Farmer Households. Mal J Nutr, 19(3), 325—337. Kusharto CM dan Sa’adiyah NY. 2006. Diktat Penilaian Konsumsi Pangan. Bogor: IPB Press. Lely O, Soetjiningsih. 2000. Aspek kognitif dan psikososial pada anak dengan palsi serebral. Sari Pediatri. 2(2):109-112. Mahlia Y. 2008. Pengaruh karakteristik ibu dan pola asuh makan terhadap pertumbuhan dan perkembangan bayi di Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat [tesis]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara. Muqni AD, Hadju V, Jafar N. 2012. Hubungan berat badan lahir dan pelayanan KIA terhadap status gizi anak balita di Kelurahan Tamamaung, Makassar. Media Gizi Masyarakat Indonesia. 1(2):109-116. Nachiyah S. 2012. Pengaruh pekerjaan orang tua terhadap semangat belajar siswa di MI Nurul Hidayah Trenten Candimulyo Magelang [skripsi]. Salatiga (ID): Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri. Oktarina. 2010. Pengaruh riwayat pemberian ASI, MP-ASI, dan Status gizi serta stimulasi psikososial saat ini terhadap pekembangan kognitif anak [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Padmonodewo S. 1993. Program intervensi dini sebagai saran peningkatan perkembangan anak [disertasi]. Depok (ID): Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Prenagen. 2013. Pentingkah susu untuk anak? [Internet]. [12 Oktober 2014]. Tersedia pada: http://www.prenagen.com/pentingkah-susu-untuk-anak. Ruel MT. 2003. Operationalizing Dietary Diversity: A Review of Measurement Issues and Research Priorities. J. Nutr. 133(11): 39115—39265. Rusdiana. 2010. Peranan pendidikan non-formal dalam pendidikan anak usia dini [Internet]. [13 Agustus 2014]. Tersedia pada: http://www.infodiknas.com/013-peranan-pendidikan-non-formal-dalampendidikan-anak-usia-dini.html. Santrock JW. 2007. Perkembangan Anak, edisi ke-11 jilid 1. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. [SCN] Standing Committee on Nutrition. 2008. Task force on assessment, monitoring, and evaluation. United Nations System. Soedjatmiko. 2008. Pentingnya nutrisi dan stimulasi dini pada bayi dan balita untuk mengembangkan kecerdasan multilevel dan kreativitas anak. Buletin PAUD 7 (3). Sokolovic N, Selvam S, Srinivasan K, Thankachan P, Kurpad AV, Thomas T. 2014. Catch-up growth does not associate with cognitive developmentin Indian school-age children. European Journal of Clinical Nutrition. 68:14–18.
34
Suhanda NS, Amalia L, Khairunisa, Sukandar D. 2010. Food consumption, nutritional and health status among farmer households in Subang, West Java, Indonesia. Journal Nutrition and Food. 5(3):185-196. Suhardjo. 2010. Pemberian makanan pada bayi dan anak. Yogyakarta (ID): Kanisius dan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Bogor. Supartini Y. 2004. Buku ajar konsep dasar keperawatan anak. Jakarta (ID): EGC. Susilaningrum R, Utami S, Seftiani P. 2013. Hubungan pendidikan dan pekerjaan orang tua dengan pola asuh di TK Putra Airlangga. 2-TRIK. 3(2):61-117. Sutherland J, Dangour A, Uauy R, Watson L. 2012. Food Based Strategies for Enhanced Nutritional Status: Dietary Diversification and Biofortification. DFID Programming for Nutrition Outcomes. Tanziha I, Syarief H, Kusharto CM, Hardinsyah, Sukandar D. 2007. Analisis peubah konsumsi pangan dan sosio ekonomi rumahtangga untuk menentukan indikator kelaparan. Media Gizi dan Keluarga. 31(1): 20—29. UNICEF. 2012. Pendidikan dan perkembangan anak usia dini [ulasan]. Unite for Children. Vakili M, Abedi P, Sharifi M, Hosseini M. 2013. Dietary Diversity and Its Related Factors among Adolescents: A Survey in Ahvaz—Iran. Global Journal of Health Science. 5(2). doi: 10.5539/gjhs.v5n2p181. Walker SP, Chang SM, Powell CA, Grantham-McGregor SM. 2005. Effect of early childhood psychosocial stimulation and nutritional supplementation on cognition and education in growth-retarded Jamaican children: prospective cohort study. The Lancet. 366(9499):1804-7.doi: 10.1016/S0140-6736(05)67574-5. Warsito O, Khomsan A, Hernawati N, Anwar F. 2012. Relationship between nutritional status, psychosocial stimulation, ang cognitive development in preschool children in Indonesia. Nutrition Research and Practice. 6(5):451-457. Werdiningsih ATB & Astarani K. 2012. Peran ibu dalam pemenuhan kebutuhan dasar anak terhadap perkembangan anak usia pra-sekolah. Jurnal STIKES. 5(1). WHO/UNICEF/IFPRI/UCDavis/FANTA/AED/USAID. 2008. Indicators for assessing infant and young child feeding practices. Part 1: Definitions. Geneva: World Health Organization. Winarto J. 2011. Teori perkembangan kognitif Jean Piaget dan implementasinya dalam pendidikan.http://edukasi.kompasiana.com/ [27 September 2014]. Woolfolk A. 2009. Educational Psychology, Active Learning Edition, Bagian Pertama, Edisi Bahasa Indonesia. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar. Yulia C. 2007. Studi kasus analisis pertumbuhan dan perkembangan anak usia 311 bulan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
35
RIWAYAT HIDUP Kirana Fajar Rahmah merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Budi Sarwono dan Tina Melinda. Lahir di Bogor, pada tanggal 20 Juli 1993. Penulis menempuh pendidikan di SMA Negeri 3 Bogor dan diterima sebagai mahasiswa IPB melalui jalur UTM (Ujian Talenta Mandiri) Program Studi Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah mengikuti beberapa kepanitiaan dan organisasi. Kepanitiaan yang telah diikuti, meliputi SAMISAENA 2011/2012 dan 2012/2013, Nutrition Fair 2012/2013, Food Fair, MPF dan MPD, Animazi, Duber, Kurma, Pokja SPP, dan sebagainya. Organisasi yang diikuti penulis selama masa kemahasiswaan, meliputi PASKIBRA IPB, BEM FEMA 2011/2012 sebagai anggota dan 2012/2013 sebagai ketua bidang advokasi dan kesejahteraan mahasiswa (Adkesmah), Klub Kulinari sebagai anggota. Penulis pernah mengikuti beberapa seminar nasional, seperti Senzasional dan SEMNAS PAGI. Pengalaman mengajar penulis selama di Departemen Gizi Masyarakat ialah menjadi asisten praktikum Evaluasi Nilai Gizi, Metabolisme Zat Gizi, dan Metodologi Penelitian Gizi. Bulan agustus 2013, penulis menjalani Kuliah Kerja Bersama Masyarakat (KKBM) di Desa Hambaro, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Pada tanggal 3 Maret―23 Maret 2014, penulis melakukan Internship Dietetic (ID) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Topik kajian saat ID ialah kasus penyakit dalam (Acute Myeloid Leukemia (AML) M5 dengan Anemia Gravis, Hospital Clinical Acquires Pheunomonia (HCAP), Acute Kidney Injury (AKI) ec Prarenal, Iskemia Anteroseptal, Massa Orbital dengan Retinopati), kasus penyakit bedah (Perforasi Duodenum and Gallbladder, Pasca Laporotomi Eksplorasi, Adhesiolisis, Kolesistektomi repair Perforasi Duodenum, Pilorus Eksklusi Gastrotomy, Feeding Jejunostomy), dan kasus penyakit anak (Gizi Buruk Marasmik, Massa Subgaleal, suspect Massa Intraabdomen, Konstipasi, Keratitis Bilateral).