LAPORAN BEDAH KASUS Tindak Pidana Korupsi Perizinan Bidang Kehutanan
Penilaian dan Pengesahan Rencana Kerja Tahunan IUPHHK HT 12 Perusahaan Tanaman Industri tahun 2005-2006 di Provinsi Riau NOMOR REGISTER PERKARA: 21/Pid.Sus/ 2012/PN-PBR ATAS NAMA TERDAKWA DRS. H. BURHANUDDIN HUSIN, MM
BAGIAN I PENDAHULUAN A. RESUME KASUS POSISI Drs. H Burhanuddin Husin MM divonis 2 tahun 6 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Pekanbaru karena terbukti bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi kehutanan berupa pengesahan Rencana Kerja Tahunan (RKT) untuk 12 perusahaan di bidang usaha hutan tanaman industri di Propinsi Riau, saat terpidana menjabat sebagai Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau periode 2005-2006. Vonis majelis hakim berbeda jauh dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa 6 tahun penjara. Sidang perdana pada 11 Juni 2012. Sidang telah ditaja 20 kali: tiga kali bulan Juni (11-19- 20), tujuh kali di bulan Juli (11-17-18-23-24-30-31), empat kali di bulan September (05-12-17,24), empat kali dibulan Oktober (01-24). Total 45 saksi telah diperiksa majelis hakim: 11 saksi korporasi, 29 orang saksi pejabat pemerintahan, 4 ahli dari Penuntut Umum, dan 1 ahli dari terdakwa.1 Jaksa Penuntut Umum mendakwa Burhanuddin Husin dengan dakwaan subsidiaritas. Dakwaan primer melanggar pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUH Pidana jo. Pasal 65 ayat (1) KUH Pidana. Dakwaan subsider melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) KUH Pidana. Meski mengajukan dua dakwaan, JPU menuntut terdakwa dengan dakwaan primer. Intinya Burhanuddin Husin telah melakukan serangkaian perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara saat mensahkan RKT Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (UPHHKHT) untuk korporasi pemegang IUPHHK-HT di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Siak. RKT syarat utama perusahaan dapat menebang hutan. Korporasi-korporasi yang memiliki IUPHHKHT di Kabuten Pelalawan dan Kabupaten Siak mengajukan surat permohonan penilaian dan pengesahan Usulan Rencana Kerja Tahunan (URKT) UPHHKHT kepada terdakwa sebagai dasar melakukan penebangan kayu hutan alam di areal IUPHHKHT dengan alasan guna penyiapan lahan atau land clearing yang isinya antara lain memuat rencana penebangan dan target produksi penebangan hutan alam. Tembusan juga diberikan pada Drs Edi Suriandi, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan dan Amin Budiadi, Kepala Dinas Kehutanan Siak. 1
Lihat: www.riaucorruptiontrial.wordpress.com
Page 1 of 61
Edi Suriandi di Pelalawan dan Amin Budiadi di Siak lantas melakukan survei untuk mengetahui potensi tegakan kayu hutan alam di areal IUPHHKHT yang dimohonkan penilaian dan pengesahan RKT. Hasil survei berisi hutan alam di atas 5m3/ha lantas disampaikan pada terdakwa. Terdakwa menerima hasil survei itu memerintahkan Fadrizal Labay, Kasubdin Pengembangan Kehutanan Dinas Kehutanan Propinsi Riau, lantas Fadrizal Labay memerintahkan Frederik Suli untuk koordinasi dengan Purna Irwansyah MM. Purnama Irwansyah membuat nota dinas tentang penghitungan potensi tegakan kayu hutan alam pada areal yang dimohonkan penilaian dan pengesahan URKT UPHHKHT oleh korporasi. Isi Nota dinas menyimpulkan dalam blok RKT yang diusulkan terdapat potensi kayu hutan alam Terdakwa mengetahui IUPHHKHT yang diterbitkan Bupati Pelalawan H Tengku Azmun Jaafar dan Bupati Siak Arwin As bertentangan dengan Kepmenhut. Terdakwa mengetahui URKT yang dimohonkan penilaian dan pengesahan tersebut berisi rencana penebangan kayu hutan alam yang memiliki potensi tegakan lebih dari 5m3/ha, yang seharusnya menurut Kepmenhut tidak boleh ditebang, tetap mengesahkah URKT-UPHHKHT yang diajukan oleh korporasi Setelah RKT terbit PT Mitra Tani Nusa Sejati, PT Selaras Abadi Utama, CV Alam Lestari, PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Uniseraya, PT Rimba Mutiara Permai, PT Trio Mas FDI, PT Madukoro (Pelalawan), dan PT Seraya Sumber Lestari, PT Rimba Mandau Lestari, PT Bina Daya Bintara, PT National Timber and Forest Product (Siak) melakukan penebangan kayu hutan alam melebihi tegakan kayu lebih dari 5m3/ha. Penebangan hutan alam bertentangan dengan Keputusan Menteri Kehutanan; 1. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000 tanggal 6 November 2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman; 2. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 21/Kpts-II/2001 tanggal 31 Januari 2001 tentang Kriteria dan Standar Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman pada Hutan Produksi; 3. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 151/Kpts-II/2003 tanggal 2 Mei 2003 tentang Rencana Kerja, Rencana Lima Tahun, Rencana Kerja Tahunan dan Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2002 tanggal 8 Juni 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan. 5. Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan; dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 32/Kpts-II/2003 tanggal 5 Februari 2003 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam atau Hutan Tanaman melalui Penawaran dalam Pelelangan. Akibat perbuatan perbuatan terdakwa mengesahkan rkt hutan alam tersebut telah memperkaya atau menguntungkan delapan korporasi di Pelalawan senilai total Rp 410 .703.937.368, dan korporasi di Siak total Rp 193.324.468.492. Perbuatan terdakwa juga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara total Rp 519.580.718.790
Page 2 of 61
B. LATAR BELAKANG BEDAH KASUS KORUPSI PERIZINAN KEHUTANAN a. Tujuan Bedah Kasus Pelaksanaan kegiatan bedah kasus tindak pidana korupsi ini merupakan bagian pengawasan publik terhadap kinerja hakim dan penegak hukum dalam menangani perkara tindak pidana korupsi. Disadari bahwa analisis dan evaluasi terhadap proses dan materi persidangan pada perkara tindak pidana korupsi dapat memberikan masukan yang bermanfaat dalam meningkatkan kinerja pengadilan. Namun, dalam kenyataannya, kesadaran untuk melakukan analisis dan mengevaluasi tersebut, khususnya di komunitas hukum, masih sangat rendah, yang salah satu penyebabnya adalah belum terbukanya akses secara luas terhadap materi persidangan. Oleh karena itu, untuk mendorong hakim dan penegak hukum agar dapat bekerja secara independen dan profesional, dibutuhkan keterlibatan aktif dari pemangku kepentingan seperti akademisi, praktisi hukum, lembaga swadaya masyarakat (yang memfokuskan diri di isu anti korupsi), dan lain-lain, untuk melakukan pengawasan terhadap penanganan perkara tindak pidana korupsi, salah satunya adalah melakukan bedah kasus tindak pidana korupsi secara berkelanjutan. Melalui program pendanaan yang disalurkan oleh USAID/MSI, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaksanakan program pengawasan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan melakukan bedah kasus terhadap perkara tindak pidana korupsi dengan komposisi: 1. Ada 3 (tiga) perkara tindak pidana korupsi pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta; 2. Ada 1 (satu) perkara tindak pidana korupsi pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pekanbaru; dan 3. Ada 1 (satu) perkara tindak pidana korupsi pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Surabaya. Tujuan pelaksanaan bedah kasus ini adalah untuk meningkatkan kinerja Pengadilan Tindak Pidana Korupsi melalui penguatan pengawasan publik, pelibatan pemangku kepentingan secara luas, penyusunan analisis dan evaluasi terhadap materi dan proses persidangan tindak pidana korupsi, dan penyusunan rekomendasi kepada pihak yang berkepentingan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung (MA), dan Komisi Yudisial (KY).
b. Justifikasi Pemilihan Kasus Justifikasi bisa juga titik perhatian kasus. Putusan majelis hakim yang memvonis terdakwa 2,6 dinilai jauh dari semangat dan upaya hakim memberantas korupsi. Putusan majelis hakim tidak memberi keadilan pada hutan yang telah dirusak perusahaan akibat izin yang diterbitkan terdakwa.
Page 3 of 61
Dalam perkara tersebut tiga majelis hakim berbeda pendapat terkait apakah terdakwa melanggar dakwaan primer atau dakwaan subsider? Ketua majelis Hakim Isnurul Syamsul Arif dan hakim anggota Krosbin (keduanya hakim karir) memvonis terdakwa dengan dakwaan subsider. Hakim ad hoc Rakhman Silaen yang melakukan dissenting opinion sebaliknya, terdakwa terbukti dalam dakwaan primer dan sejalan dengan tuntutan Jaksa Penuntu Umum. Pilihan hakim pada dakwaan subsider dalam pertimbangannya terlihat membingungkan, inkonsiten dan tidak mengikuti yurisprudensi dalam perkara korupsi kehutanan di Riau, padahal yurisprudensi salah satu sumber hukum Indonesia. Yang terlihat, hakim hanya berpikiran terdakwa harus dihukum, meskipun hukumannya ringan. Namun, pilihan majelis hakim tidak luput dari dasar dakwaan jaksa penuntut umum dengan bentuk dakwaan subsider. Selanjutnya, ada persoalan mendasar beschiking yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan. C. METODOLOGI EKSAMINASI a. Fokus Eksaminasi Bedah kasus ini titik fokus pada 3 (tiga) aspek, modus tindak pidana korupsi, analisis hukum terhadap berkas perkara, dan analisis hukum terhadap rekaman persidangan.
Modus Tindak Pidana Korupsi Perizinan Kehutanan Modus utama terlihat dari peran terdakwa dan perusahaan. Sejak awal perusahaan menyadari bahwa izin yang mereka ajukan berupa URKT berada di areal hutan alam, bukan di atas areal hutan tanaman. Setelah URKT masuk ke Dinas Kehutanan, terdakwa meminta staf melakukan telaah dan survey. Hasil temuan staf menemukan URKT berada di hutan alam yang bertentangan dengan beschiking Menteri Kehutanan. Meski mengetahui URKT di atas hutan alam, terdakwa dengan sengaja tetap memberikan pengesahan berupa tandatangan RKT. Selanjutnya perusahaan menebang kayu dari hutan alam. Dari modus tersebut, peran aktor memperlihatkan ada unsur kesengajaan berupa tidak mematuhi beschiking Kementerian Kehutanan.
Analisa Hukum atas Berkas Perkara Berkas perkara berupa putusan, dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum menjadi kajian utama dalam melakukan analisi dan eksaminer. Analisis mendalam dibedah oleh Examiner. Eksaminer sesuai dengan keahlian di bidangnya masing-masing membedah lebih dalam dengan menggunakan pendekatan teoretis dan praktis atau istilah lainnya menggunakan pendekatan filosopis, yuridis, sosilogis dan responsive. Intinya analisis berkars perkara, akan menemukan serangkain kejanggalan dalam putusan majelis hakim.
Analisa atas Temuan Rekaman Video
Page 4 of 61
Rekaman Video sidang menjadi bahan berikutnya untuk menilai dan menelaah lebih dalam proses selama persidangan berlangsung. Terdakwa, Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim dan Pengunjung menjadi bahan analisa termasuk pertanyaan yang diajukan majelis hakim terhadap terdakwa. Sisi ini hendak melihat kejanggalan selama proses persidanangan berlangsung. b. Pendekatan Analisa Untuk melakukan analisis terhadap hal-hal yang dijelaskan dalam focus pelaksanaan bedah kasus di atas, MaPPI menggunakan 3 (tiga) pendekatan sebagai pisau analisis dalam kegiatan bedah kasus ini, yaitu pendekatan hukum pidana materiil, pendekatan hukum pidana formil (hukum acara pidana), dan pendekatan teknis dan perilaku. 1) Penerapan Hukum Pidana Formil Hukum Pidana Materiil digunakan untuk melakukan analisis terhadap materi persidangan yaitu untuk melihat bagaimana asas-asas hukum pidana diterapkan oleh penegak hukum dalam perkara tindak pidana korupsi. Adapun yang dijadikan acuan adalah teori-teori yang berkembang dalam hukum pidana maupun pengaturan hal tersebut dalam peraturan perundang-undangan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan sebagainya. 2) Penerapan Hukum Pidana Materil Hukum Pidana Formil digunakan untuk melakukan analisis terhadap penerapan hukum pidana materiil oleh penegak hukum. Dalam istilah yang lebih sederhana, hukum pidana formil mengatur bagaimana proses acara pidana dijalankan oleh penegak hukum, yang dalam hal ini coba dibatasi pada tahap penyidikan, penuntutan, dan persidangan. Yang dijadikan acuan dalam menggunakan pendekatan ini adalah teori-teori yang berkembang dalam hukum acara pidana dan memadukannya dengan berbagai pengaturan hukum acara pidana di peraturan perundang undangan seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), dan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. 3) Perilaku Jaksa, Hakim, Advokat, Terdakwa dan Para Pihak dalam Persidangan, dst Pendekatan Teknis akan difokuskan pada bagaimana seharusnya Penuntut Umum, Majelis Hakim, dan Advokat/Penasehat Hukum bertindak dalam hubungannya dengan pencarian kebenaran materiil dalam persidangan tindak pidana korupsi, misalnya pengajuan pertanyaan kepada Terdakwa/ Saksi/Ahli, pengajuan alat bukti dan barang bukti dalam persidangan, dan sebagainya. Mengenai pendekatan perilaku, analisis akan difokuskan bagaimana Penuntut Umum, Majelis Hakim, dan Advokat menjalankan kode etik di masing-masing institusi ketika menjalankan perannya dalam suatu persidangan tindak pidana korupsi. Pendekatan perilaku ini tentu tidak dapat dilepaskan dengan kedua pendekatan di atas (hukum pidana materiil dan hukum pidana formil/hukum acara pidana) mengingat ketiga pendekatan ini bersinggungan satu sama lain. Melalui analisis dengan menggunakan
Page 5 of 61
pendekatan perilaku ini, akan diperoleh suatu rekomendasi terhadap pelaksanaan kode etik dan pedoman perilaku sehingga Penuntut Umum, Majelis Hakim, dan Advokat dapat meningkatkan kualitas ketika menangani perkara tindak pidana korupsi. c. Pembentukan Panel Bedah Kasus Analis mengajukan nama-nama menjadi examiner yang telah disetujui oleh MaPPI, USAID/MSI, dan KPK untuk melakukan pembahasan terhadap 3 (tiga) isu di atas, yang terdiri dari: 1. Dr Saifuddin Syukur, SH, MCL Dr Saifuddin Syukur, SH, MCL, dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Islam Riau juga Ketua Pusat Kajian dan Pengembangan Produk Hukum Daerah Universitas Islam Riau. Doktor (Ph.D) yang beliau raih di Fakulty of Law, University of New Delhi tahun 2005 pada bedah kasus ini membedah dari sisi beschiking Kemenhut yang saling berbenturan untuk pemanfaatan hutan alam, satu sisi hutan alam dilarang untuk untuk izin hutan tanaman, sisi lain hutan tanaman berada di atas hutan alam. secara normative dan praktek mengkaji beschiking kemenhut dari aspek hukum administrasi Negara. 2. Suryadi, SH Suryadi SH, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, pada bedah kasus ini membedah terkait kelemahan dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum serta putusan majelis hakim yang ditelisik dari sisi aturan normative dan hukum progresif yang melihat sisi Filosofis, yuridis dan sosiologis 3. Muslim, SP Muslim, Koordinator Jikalahari. Dalam bedah kasus ini Muslim menelisik fakta lapangan perusakan hutan serta penghitungan kerugian Negara dengan pendekatan ekologisekonomis. d. Diskusi Panel Eksaminasi dan Focus Group Discussion Pembahasan terhadap materi kasus dilakukan antara Analis, Senior Analis, Examiner, dan Narasumber dalam 3 (tiga) diskusi terarah/Focus Group Discussion (FGD), yang terbagi atas: 1. FGD I Ditaja pada 12 April 2013 di Hotel Amaris. Dalam FGD I, examiner menyampaikan pandangan dan analisis awal terhadap materi persidangan yang telah disampaikan dalam bentuk berkas perkara dan rekaman persidangan. Examiner mempresentasikan analisis mereka untuk selanjutnya didiskusikan dengan peserta FGD. Terakhir, Analis memfasilitasi examiner untuk membagi tugas di antara mereka, menentukan jadwal pelaksanaan FGD II, dan mengingatkan output yang harus dihasilkan di akhir FGD III yaitu berupa anotasi hukum dan analisis rekaman persidangan bagi masing-masing examiner dan laporan bedah kasus dan matriks bedah kasus yang harus dihasilkan sebagai satu tim. 2. FGD II Ditaja pada 29 April 2013 di Hotel Amaris Pekanbaru. Pada FGD II, Examiner kembali mempresentasikan pandangan dan analisis mereka terhadap kasus yang sedang dibedah. Selanjutnya, analisis examiner ditanggapi oleh beberapa narasumber yang
Page 6 of 61
dihadirkan dalam FGD untuk memberikan masukan terhadap analisis tersebut. Adapun yang dihadirkan sebagai narasumber pada FGD II adalah: a. Prof Bambang Hero Saharjo, M.Agr, Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB). Beliau dihadirkan sebagai ahli untuk menghitung kerugian Negara dari sektor Ekologis-Ekonomis. Ini penting lantaran, selama ini Jaksa Penuntut Umum hanya menggunakan pendekatatan penghitungan PSDH DR untuk kasus korupsi perizinanan sector kehutanan. Sebaiknya Jaksa KPK menggunakan penghitungan Ekologis-Ekonomis, sebab RKT perusahaan illegal atau bertentangan dengan beschiking Kemenhut. b. DR Saifuddin Syukur, SH. MCL, dosen tetap Universitas Islam Riau (UIR). Beliau ahli hukum tata Negara dan hukum administrasi Negara. Beliau hadir sebagai ahli untuk menilai beschiking kemenhut yang saling berbenturan. Selanjutnya, Analis memfasilitasi examiner untuk membahas masukan yang diberikan oleh narasumber, membagi tugas di antara examiner, menentukan pelaksanaan FGD III, dan mengingatkan kembali mengenai output yang harus dihasilkan di akhir FGD III. 3. FGD III Ditaja pada 15 Juni 2013 di Hotel Amaris. Sebelum pelaksanaan FGD III, ketiga examiner telah menyampaikan anotasi hukum dan laporan analisis rekaman persidangan kepada Analis. Selanjutnya, Analis menggabungkan output yang dihasilkan oleh examiner menjadi sebuah draft Laporan Bedah Kasus dan draft Matriks Bedah Kasus atas perkara yang sedang dibedah. Setelah itu, Analis mengirimkan output tersebut kepada examiner dan Senior Analis untuk mendapatkan masukan sebelum dibahas pada FGD III. Pada FGD III, Analis, Senior Analis, dan Examiner membahas draft Laporan Bedah Kasus dan Matriks Bedah Kasus yang telah disusun oleh Analis berdasarkan analisis examiner untuk difinalisasi menjadi analisa akhir. Analisis Akhir dari tim yang membahas perkara a quo. Selanjutnya, Analis akan memfasilitasi examiner untuk memeriksa dan menyepakati draft presentasi (berbentuk power point presentation) untuk disampaikan pada Media Briefing dan Workshop Nasional dan menunjuk seorang examiner untuk mewakili tim dalam presentasi di kedua kegiatan tersebut. D. Diseminasi Hasil Eksaminasi Terhadap hasil analisis yang dilakukan oleh examiner, MaPPI akan menyebarluaskan dokumen tersebut dalam berbagai kegiatan diseminasi, di antaranya: 1. Media Briefing Media Briefing diselenggarakan oleh MaPPI dengan bantuan Analis untuk memastikan keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan secara luas. Media Briefing bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada jurnalis dan menyebarluaskan Analisis Akhir
Page 7 of 61
Bedah Kasus yang telah dibedah sebelumnya. Selanjutnya, MaPPI dan perwakilan dari examiner akan mempresentasikan Analisis Akhir tersebut kepada para peserta dan menerbitkan press release. 2. Workshop Nasional Workshop Nasional diselenggarakan dengan tujuan untuk menyebarluaskan Analisis Akhir dari kelima kasus yang dibedah dalam kegiatan Bedah Kasus ini secara langsung kepada pemangku kepentingan utama seperti KPK, Kejaksaan Agung/Kejaksaan Tinggi/Kejaksaan Negeri, Mahkamah Agung/Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri, dan masyarakat.
Page 8 of 61
BAGIAN II ANALISA KASUS / ANOTASI PERKARA A. TEMUAN DAN ANALISA MODUS TINDAK PIDANA KORUPSI PERIZINAN KEHUTANAN 1.Tinjauan Modus Tindak Pidana Korupsi Sektor Kehutanan Indonesian Corruption Watch (ICW), Transparency International Indonesia, kerap mempublikasi hasil kajian terkait modus, pola dan praktek tindak pidana korupsi perizinanan kehutanan, salah satunya di Propinsi Riau.
Tabel: Praktek atau Pola Korupsi Sektor Kehutanan Meski ICW dan TII memakai istilah Praktek dan Pola, hasil temuan mereka sama-sama mengkonfirmasi bahwa praktek dan pola korupsi di sektor kehutanan di Riau dimulai dari tahap atau rantai perizinan. TII bahkan menyebut bermula dari rantai peraturan. Praktek dan pola korupsinya berlangsung di semua tahapan yang dimulai suap oleh pengusaha. Pengusaha dalam praktek dan pola terlihat aktif melakukan suap kepada pejabat publik.
Tabel: modus korupsi perizinan kehutanan versi KPK. Garis merah menunjukkan modus perbuatan melawan hukum
Page 9 of 61
Temuan ICW dan TII tak jauh berbeda dengan modus yang ditemukan KPK dalam korupsi sektor kehutanan. Temuan KPK dalam Kasus korupsi perizinan IUPHHK HT terpidana Azmun Jaafar (Bupati Pelalawan) dan Arwin As Bupati Siak) KPK menemukan modus korupsi terlihat sebelum IUPHHK HT diterbitkan oleh Bupati. Pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah dan Kepmenhut dimulai sejak perusahaan memasukkan permohonan IUPHHKHT. Areal atau lokasi yang dimohonkan oleh perusahaan memang berada di atas hutan alam. Artinya perusahaan sengaja mengajukan IUPHHKHT yang bertentangan dengan Kepmenhut. Kemudian Bupati setelah menerima permohonan izin memerintahkan Dinas Kehutanan Kabupaten melakukan survei lapangan untuk melihat apakah areal perusahaan di atas hutan alam. Dishut melaporkan kepada Bupati hasil survei benar di atas hutan alam dan IUPHHK HT berada di atas hutan alam, bukan padang alang-alang, semak belukar atau hutan tidak produktif. Bupati meski mengetahui permohanan IUPHHKHT bertentangan dengan PP dan Kepmenhut tetap memberikan izin UPHHK HT di atas hutan alam, bukan di atas hutan tanaman. Berdasarkan Putusan Pengadilan, motif utama Bupati mengeluarkan IUPHHKHT karena perusahaan memberi sejumlah uang kepada Bupati. Setelah perusahaan memperoleh IUPHHK HT dari Bupati, selanjutnya untuk melakukan penebangan, perusahaan wajib mengajukan RKT kepada Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau. Setelah memperoleh IUPHHKHT dari Bupati, perusahaan harus memperoleh RKT dari Dinas Kehutanan Propinsi Riau untuk melakukan penebangan. Meski IUPHHKHT bertentangan dengan hukum atau illegal, atas dasar IUPHHKHT illegal tersebut Kepala Dinas Kehutanan menerbitkan RKT. Motif menerbitkan RKT yang illegal bermacam-macam. Kasus terpidana Asral Rachman (Kadishut Riau periode 2003-2004) menerima sejumlah uang dari perusahaan saat sebelum RKT terbit. Kasus terpidana Syuhada Tasman (Kadishut Riau periode 2004-2005) juga menerima sejumlah uang dari perusahaan sebelum menerbitkan RKT. Dua kepala dinas kehutanan tersebut menerbitkan RKT dengan modus utama sengaja menerbitkan KRT yang bertentangan dengan beschiking Kemenhut karena perusahaan memberi sejumlah uang kepada dua terpidana tersebut. 2. Modus Tindak Pidana Korupsi dalam Perkara Burhanuddin Husin a. Pelanggaran sistematis Perizinan sektor kehutanan Dari total 45 saksi yang telah diperiksa majelis hakim: 11 saksi korporasi, 29 orang saksi pejabat pemerintahan, 4 ahli dari Penuntut Umum, dan 1 ahli dari terdakwa. Para saksi fakta—11 saksi korporasi, 29 saksi pejabat pemerintah, 4 ahli—mengakui URKT dan RKT memang berada di atas hutan alam. Sebelum URKT diajukan ke Dinas Kehutanan, korporasi sadar areal berada di atas hutan alam. Berikut gambaran modus pelanggaran sistematis perizinan URKT dan RKT sektor kehutanan: 1. Kesaksian Direktur-Direktur Perusahaan
Page 10 of 61
Modus ini penting untuk melihat bagaimana kejahatan berlangsung yang dilakukan oleh korporasi melalui direktur-direkturnya. Berikut ringkasan table kesaksian direktur perusahaan :
Dalam catatan riau corruption trial terlihat jelas bahwa delapan orang direktur perusahaan yang diajukan Penuntut Umum sebagai saksi membenarkan areal perusahaan mereka berupa hutan alam, sedangkan izinnya untuk hutan tanaman. Hutan alam tersebut di land clearing untuk ditanami hutan tanaman. Hasil kayu alam dijual dan mereka mendapat sejumlah keuntungan dari penjualan tersebut. Mereka adalah Soe Erwin Direktur PT Mitra Tani Nusa Sejati dan PT Rimba Mutiara Permai berlokasi di Pelalawan. Supendi Direktur PT Uniseraya dan PT Triomas FDI di Pelalawan serta PT Bina Daya Bintara dan PT Seraya Sumber Lestari di Siak. Guno Widagdo Direktur PT Merbau Pelalawan Lestari di Pelalawan. Ficky ZZ Direktur PT Bina Daya Bintara di Siak. Samuel Soengjadi Direktur PT Seraya Sumber Lestari dan PT Bina Daya Bintara di Siak. Heriyanto Direktur PT National Timber and Forest Product di Siak. Soenarijo Direktur PT National Timber and Forest Product di Siak. Said Edi Direksi CV Alam Lestari pun mengakui areal perusahaannya berupa hutan alam. Said Edi juga Direktur PT Persada Karya Sejati (PKS). Ia katakan di depan persidangan bahwa PT PKS melakukan kegiatan operasional di lapangan menebang kayu alam di areal beberapa perusahaan di Pelalawan. Perusahaan tersebut: PT Madukoro, CV Alam Lestari, dan PT Selaras Abadi Utama. Ketiga perusahaan ini merupakan mitra kerja PT PKS. Saksi fakta di persidangan mengungkapkan kayu alam yang ditebang dijual ke RAPP untuk keperluan bubur kertas. Said Edi Direktur PT Persada Karya Sejati (PKS) yang melakukan kegiatan operasional di areal milik PT Madukoro, CV Alam Lestari dan PT
Page 11 of 61
Selaras Abadi Utama mengatakan bahwa hasil kayu alam perusahaan-perusahaan tersebut dijual ke PT RAPP. PT PKS sendiri saat awal pendiriannya tahun 2003 dipegang oleh Rosman selaku direktur. Rosman adalah Manager Forestry PT RAPP. Rosman digantikan oleh Said Edi pada tahun 2006. Menurut keterangan Budi Surlani staf dinas kehutanan Pelalawan, PT Madukoro didirikan atas permintaan Tengku Azmun Jaafar, Bupati Pelalawan saat itu. PT Putri Lindung Bulan, CV Tuah Negeri, PT Bhakti Praja Mulia, PT Mutiara Lestari, CV Alam Lestari milik keluarga Azmun Jaafar. Perusahaan-perusahaan tersebut didirikan untuk mengurus izin hutan tanaman. Pada akhirnya perusahaan-perusahaan ini berkasus karena menebang hutan alam. Setelah izin prinsip hutan tanaman terbit, perusahaan-perusahaan tersebut, kecuali PT Madukoro, langsung di take over oleh PT PKS. Perusahaan yang ditake over PT PKS, kata Budi Surlani, mendapat fee hingga Rp 3 miliar. Pemilik PT PKS saat itu adalah Rosman Manager Forestry PT RAPP. Budi Surlani di depan persidangan mengaku mengenal Rosman. Saat perusahaan-perusahaan tersebut hendak di take over, Budi bilang Azmun minta ia untuk menghubungi Rosman. Lim Wi Lin Direktur Keuangan PT RAPP turut memberikan keterangan di persidangan Burhanuddin Husin. Sebagai orang dalam di PT RAPP, ia mengakui PT RAPP melakukan kerjasama dengan PT PKS untuk menjalankan perusahaannya. PT RAPP juga pernah melakukan land clearing di lahan milik PT Selaras Abadi Utama, CV Alam Lestari, CV Tuah Negeri, PT Mutiara Lestari, dan PT Putri Lindung Bulan. Perusahaanperusahaan tersebut melakukan hubungan mitra kerjasama dengan PT PKS. PT RAPP bahkan pernah membayarkan PSDH dan DR untuk perusahaan-perusahaan tersebut dan hasil kayunya dibawa oleh PT RAPP. Perusahaan-perusahaan pun mendapat fee dari PT RAPP. “Alasan utama RAPP melakukan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan pemegang izin tersebut, karena kekurangan pasokan kayu untuk bubur kertas. Ditebang kayu alam untuk ditanam kayu akasia. Hasilnya dijual ke RAPP untuk diolah menjadi kertas,” kata Lim Wi Lin, Direktur Keuangan PT RAPP. Keterlibatan PT RAPP diungkapkan pula oleh Soenarijo Direktur PT National Timber and Forest Product di depan persidangan. Ia katakan perusahaannya dikerjakan oleh PT Cahaya Mas Lestari Jaya anak perusahaan PT RAPP. Direktur PT Cahaya Mas Lestari Jaya adalah Rosman, Manager Forestry PT RAPP. Baik Lim Wi Lin maupun Soenarijo sama-sama mengungkapkan bahwa PT RAPP membayar sejumlah fee ke perusahaan atas kayu alam yang dibeli. Misal PT Mitra Tani Nusa Sejati, kata Lim Wi Lin, mendapat fee sebesar Rp 21 miiar dari land clearing hutan alam tersebut. Soenarijo Direktur PT National Timber and Forest Product juga mendapat fee Rp 700-800 juta dari PT Cahaya Mas Lestari Jaya, anak perusahaan PT RAPP.
Page 12 of 61
2. Kesaksian Pegawai Dinas Kehutanan Berikut table ringkasan kesaksian pegawai dinas kehutanan yang melakukan survey terhadap kebenaran kayu alam ditebang perusahaan.
Saksi fakta di persidangan mengungkapkan mereka mendapat sejumlah bayaran atas kerja melakukan survey di areal perusahaan. Surakhmat tim survei PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Mitra Tani Nusa Sejati, PT Madukoro, PT Uniseraya, PT Selaras Abadi Utama mengatakan mendapat honor dari perusahaan tersebut sebesar Rp 400 ribu per hari. Wahyu Idris tim survei PT Rimba Mutiara Permai mendapat honor dari perusahaan senilai Rp 2,5-3,5 juta per orang. Sandra Wibawa tim survei PT Seraya Sumber Lestari katakan dapat honor dari perusahaan senilai Rp 15-20 juta untuk semua anggota tim survei. Amin Budiadi Kadishut Siak mengakui terima Rp 85 juta dari perusahaan yang pernah dibuat pertimbangan teknisnya. Edi Suriandi Kadishut Pelalawan juga mengatakan ada terima dana dari perusahaan pada proses pengesahan RKT. Para petugas P2LHP pun mendapat honor dari perusahaan atas kerja mereka di lapangan. Hal ini diakui oleh Fachrudin P2LHP PT Mitra Tani Nusa Sejati dan Selaras Abadi Utama, Tri Rahayu Widodo P2LHP PT Merbau Pelalawan Lestari, Amrizal P2LHP PT Triomas FDI, Djamalis P2LHP PT Uniseraya, Irianto P2LHP CV Alam Lestari, Andi Stevanus Aritonang P2LHP PT National Timber and Forest Product, Kusriantono P2LHP PT Rimba Mandau Lestari, Winarto P2LHP PT Seraya Sumber Lestari, Ajis P2LHP PT Bina Daya Bintara dan Balai Kayang Mandiri.
Page 13 of 61
Uang yang diterima dari keterangan mereka tidak sama jumlahnya. Amrizal bersaksi mendapat uang transport Rp 1 juta per bulan selama 3 tahun dari PT Triomas FDI. Djamalis mendapat honor Rp 500 ribu sekali turun ke lapangan dari PT Uniseraya. Irianto mendapat honor Rp 500 ribu sekali turun ke lapangan dari CV Alam Lestari. Abdul Haris KCDK Siak mengaku terima uang dari Agus Syamsir, staf Dishut Siak senilai Ro 250-300 ribu per bulan. Uang tersebut diterimanya selama 2 tahun. Sebagai KCDK, Abdul Haris bertugas mengesahkan PSDH dan DR yang dibayarkan perusahaan. Menurut dakwaan Jaksa Penuntut umum modusnya sebagai berikut: Korporasi-korporasi yang memiliki IUPHHKHT di Kabuten Pelalawan dan Kabupaten Siak— IUPHHKHT bertentangan dengan hukum--mengajukan surat permohonan penilaian dan pengesahan Usulan Rencana Kerja Tahunan (URKT) UPHHKHT kepada terdakwa sebagai dasar melakukan penebangan kayu hutan alam di areal IUPHHKHT dengan alasan guna penyiapan lahan atau land clearing yang isinya antara lain memuat rencana penebangan dan target produksi penebangan hutan alam. Tembusan juga diberikan pada Drs Edi Suriandi, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan dan Amin Budiadi, Kepala Dinas Kehutanan Siak. Edi Suriandi di Pelalawan dan Amin Budiadi di Siak lantas melakukan survei untuk mengetahui potensi tegakan kayu hutan alam di areal IUPHHKHT yang dimohonkan penilaian dan pengesahan RKT. Hasil survei berisi hutan alam di atas 5m3/ha lantas disampaikan pada terdakwa. Terdakwa menerima hasil survei itu memerintahkan Fadrizal Labay, Kasubdin Pengembangan Kehutanan Dinas Kehutanan Propinsi Riau, lantas Fadrizal Labay memerintahkan Frederik Suli untuk koordinasi dengan Purnama Irwansyah MM. Purnama Irwansyah membuat nota dinas tentang penghitungan potensi tegakan kayu hutan alam pada areal yang dimohonkan penilaian dan pengesahan URKT UPHHKHT oleh korporasi. Isi Nota dinas menyimpulkan dalam blok RKT yang diusulkan terdapat potensi kayu hutan alam. Terdakwa mengetahui IUPHHKHT yang diterbitkan Bupati Pelalawan H Tengku Azmun Jaafar dan Bupati Siak Arwin As bertentangan dengan Kepmenhut. Terdakwa juga mengetahui URKT yang dimohonkan penilaian dan pengesahan tersebut berisi rencana penebangan kayu hutan alam yang memiliki potensi tegakan lebih dari 5m3/ha, yang seharusnya menurut Kepmenhut tidak boleh ditebang, tetap mengesahkah URKTUPHHKHT yang diajukan oleh korporasi. Menurut Ahli Suhariyanto, seharusnya Kepala Dinas Kehutanan menghentikan URKT tersebut. Setelah RKT terbit PT Mitra Tani Nusa Sejati, PT Selaras Abadi Utama, CV Alam Lestari, PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Uniseraya, PT Rimba Mutiara Permai, PT Trio Mas FDI, PT Madukoro (Pelalawan), dan PT Seraya Sumber Lestari, PT Rimba Mandau Lestari, PT Bina Daya Bintara, PT National Timber and Forest Product (Siak) melakukan penebangan kayu hutan alam melebihi tegakan kayu lebih dari 5m3/ha.
Page 14 of 61
Pemebangan hutan alam bertentangan dengan Keputusan Menteri Kehutanan; 1. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000 tanggal 6 November 2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman; 2. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 21/Kpts-II/2001 tanggal 31 Januari 2001 tentang Kriteria dan Standar Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman pada Hutan Produksi; 3. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 151/Kpts-II/2003 tanggal 2 Mei 2003 tentang Rencana Kerja, Rencana Lima Tahun, Rencana Kerja Tahunan dan Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2002 tanggal 8 Juni 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan. 5. Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan; dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 32/Kpts-II/2003 tanggal 5 Februari 2003 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam atau Hutan Tanaman melalui Penawaran dalam Pelelangan. Akibat perbuatan perbuatan terdakwa mengesahkan rkt hutan alam tersebut telah memperkaya atau menguntungkan delapan korporasi di Pelalawan senilai total Rp 410 .703.937.368, dan korporasi di Siak total Rp 193.324.468.492. Perbuatan terdakwa juga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara total Rp 519.580.718.790.
Tabel: Setelah IUPHHKHT terbit korporasi harus mendapatkan RKT. Garis merah menunjukkan RKT yang bertentangan dengan aturan kepmenhut Berdasarkan kesaksian direktur perusahaan, pegawai dinas kehutanan terlihat dengan jelas bahwa motif utama perusahaan mengajukan IUPHHKHT dan RKT di atas hutan alam meski dengan cara melanggar aturan karena keuntungan ekonomi yang besar. Lihat keuntungan besar perusahaan dalam table berikut ini:
Page 15 of 61
b. Beschiking Kemenhut saling berbenturan Beschiking Kemenhut selain mengatur perizinan hutan alam, juga mengatur perizinan hutan tanaman untuk industry kayu dan pulp and paper. Pengaturan tersebut diatur dalam bentuk Kepmenhut sebagai berikut: 1. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000 tanggal 6 November 2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman; 2. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 21/Kpts-II/2001 tanggal 31 Januari 2001 tentang Kriteria dan Standar Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman pada Hutan Produksi; 3. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 151/Kpts-II/2003 tanggal 2 Mei 2003 tentang Rencana Kerja, Rencana Lima Tahun, Rencana Kerja Tahunan dan Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2002 tanggal 8 Juni 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan. 5. Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan; dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 32/Kpts-II/2003 tanggal 5 Februari 2003 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam atau Hutan Tanaman melalui Penawaran dalam Pelelangan. Intinya IUPHHK HT tidak boleh di atas lahan hutan alam. Untuk penebangan hutan alam ada izin tersendiri namanya IUPHHK HA. Untuk memperoleh IUPHHK HA kriterianya
Page 16 of 61
sangat ketat. Namun, untuk IUPHHK HT cukup di padang alang-alang atau bukan di atas hutan alam. Namun, dalam perjalanan Kepmenhut sering berubah-ubah terkait pemanfaatan hutan alam. Hal tersebut bisa dilihat dari keterangan terdakwa dan pertimbangan majelis hakim terkait Kepmenhut yang saling berbenturan, yaitu; 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
URKT IUPHHKHT yang IUPHHKHT diterbitkan Bupati Pelalawan dan Siak secara substansial tidak sesuai dengan Kepmenhut No.10.1/Kpts-II/2000 jo Kepmenhut No 21/Kpts-II/2001 tentang pedoman pemberian izin UPHHKHT yaitu areal yang diberikan masih berupa hutan alam yang potensi tegakan kayunya melebihi 5 m3/ ha. Keputusan IUPHHK HT Pelalawan dan Kabupaten Siak mengandung cacat yuridis subtantif, namun IUPHHK HT tersebut masih berlaku atau belum dibatalkan pihak yang memiliki wewenang dalam hal ini Menteri Kehutanan. Majelis hakim tidak sependapat dengan Ahli Ir Sugeng Widodo yang menerangkan IUPHHK HT harus dicabut Bupati jika lahan potensi tegakannya melebihi 5m3/ha atau berada di hutan alam atau melanggar Kepmenhut No 10.1/kPTS-II/2000. Karena menurut majelis hakim izin tersebut masih berlaku, terbukti sebelum pengesahan RKT oleh terdakwa izin IUPHHKHT masih berlaku. Menteri telah menerbitkan Permenhut No P.03/Menhut-II/2005 tentang pedoman verifikasi izin pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dan atau pada hutan tanaman yang diterbitkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota. Dalam pelaksanaanya telah diverifikasi terhadap IUPHHKHT. Dalam nota pembelaan terdakwa terungkap tahun 2003 Kemenhut telah mengeluarkan kebijakan tentang percepatan pembangunan Hutan Tanaman untuk pemenuhan Bahan Baku Industri Pulp dan Kertas dengan dikeluarkannya Kepmenhut No: SK.101/MenhutII/2004. Telah terjadi perubahan kebijakan dengan terbitnya Kepmenhut No. SK 101/Menhut-II/ 2004 tanggal 24 Maret 2004, walau tidak langsung menghapus ketentuan Kepmenhut No SK 10.1/Menhut-II/2000. Namun, Kemenhut telah membenarkan proses penyiapan lahan (land clearing) dengan melakukan penebangan huta alam. IUPHHKHT belum dicabut, bahkan sebagian telah diverifikasi dan terbit pembaharuan izin oleh Menhut dan ada program jangka pendek berupa percepatan pembangunan HTI sampai 2009 membenarkan kayu hasil land clearing pada hutan alam. Maka pengesahan RKT terdakwa meski secara hukum bertentangan dengan Kepmenhut No SK 10.1/MenhutII/2000, namun sesuai Kepmenhut No sk.101/Menhut-II/2004, perbuatan terdakwa dapat dibenarkan. Walau secara normatif perbuatan terdakwa dibenarkan, pengakuan tedakwa RKT sepenuhnya dilimpahkan pada pejabat tekhnis. Terdakwa tinggal teken. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan pembiaran dilakukan terdakwa tidak mampu kontrol penebangan hutan alam. Perbuatan terdakwa dapat dikualifikasikan penyalahgunaan wewenang yang juga merupakan bagian dari perbuatan melawan hukum.
Perbuatan terdakwa cacat yuridis secara substantif melanggar Kepmenhut No 10.1/Menhut-II/2000. Namun majelis hakim membenarkan perbuatan terdakwa sesuai Kepmenhut No sk.101/Menhut-II/2004, dan IUPHHKHT belum dicabut Menhut malah ada pembaharuan izin Menhut. Artinya perubahan Beschiking Kepmenhut yang saling
Page 17 of 61
berbenturan terkait pemanfaatan hutan alam untuk industry pulp and paper menunjukkan areal berbahaya dalam proses perizinan sektor kehutanan. c. Modus titik lemah Pasal 2 dan Pasal 3 KPK membuat alur korupsi dalam proes usaha kehutanan. Tindak Pidana Korupsi sektor kehutanan masuk dalam wilayah KPK jika dalam proses tahapan dan rantai perizinan ada unsur melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, suap dan kerugian keuangan Negara bila dilakukan oleh pejabat Negara yang memang punya fungsi supervise, regulasi dan perizinan. Dalam kasus ini Jaksa KPK menggunakan dakwaan subsidiaritas, primer menggunakan Pasal 2 dan subsiber menggunakan pasal 3. Ini menunjukkan KPK ragu apakah terdakwa melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang? Modus utama yang terlihat adalah ada celah membebaskan atau meringankan terdakwa terkait pilihan “perbuatan melawan hukum” atau “penyalahgunaan wewenang”. Titik lemah UU Tipikor ada pada hukuman minimal berbeda pasal 2 dan pasal 3. Kelemahan ini ada cela bagi majelis hakim untuk meringakan atau membebaskan terdakwa dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
1) TEMUAN DAN ANALISIS DAKWAAN DAN TUNTUTAN a. TERKAIT DAKWAAN BENTUK SUBSIDAIR Berdasarkan Pasal 143 KUHAP mengenai syarat surat dakwaan, ditentukan dua syarat harus dipenuhi dalam surat dakwaan. a. Harus memenuhin syarat formal berupa; (i) surat dakwaan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umum/jaksa, dan (ii) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka b. Harus memenuhi syarat materil berupa; (i) uraian cermat, jelas, dan lengkap mengenai tinda pidana yang didakwakan, (ii) menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (tempus delicti dan locus delicti) Dalam surat dakwaan setebal 48 halaman, Jaksa Penuntut Umum telah memenuhi syarat formal dan syarat materil, hal tersebut tergambar dan terlihat jelas dalam surat dakwaan. Atas perbuatan terdakwa, Jaksa Penuntut Umum mendakwa dengan dakwaan Subsidair, sebagai berikut; Dakwaan Primer: Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUH Pidana jo. Pasal 65 ayat (1) KUH Pidana Dakwaan Subsidiair: Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor
Page 18 of 61
20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) KUH Pidana. Bentuk dakwaan Subsidair terdiri dari dua atau beberapa dakwaan yang disusun dan dijejerkan secara berurutan (berturut-turut), mulai dari dakwaan tindak pidana “yang terberat” sampai kepada dakwaan tindak pidana “yang ringan”. Artinya hanya satu dakwaan yang akan dibuktikan. Inti dari dakwaan Subsidair adalah hanya satu saja hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa dan memberi kebebasan hakim untuk memilih dakwaan mana yang diangga terbukti. Pidana penjara dakwaan Primer Pasal 2 ayat paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 20 tahun, denda paling sedikit Rp 200 juta, paling banyak Rp 1 Milyar. Pidana penjara dakwaan Subsider Pasal 3 paling singkat 1 (satu) tahun, paling lama 20 tahun, denda paling sedikit Rp 50 juta, paling banyak Rp 1 Miliar. Lazimnya, bentuk dakwaan subsidair diajukan apabila peristiwa pidana yang terjadi karena menimbulkan suatu akibat dan akibat yang ditimbulkan meliputi atau bertitik singgung dengan beberapa ketentuan pasal pidana yang hampir saling berdekatan cara melakukan tindak pidana tersebut. Menurut M Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi kedua, menyebutkan dalam menyusun dakwaan subsidair fakta bahwa tindak pidana dilakukan terdakwa telah menyentuh beberapa ketentuan pidana asal akan tetapi jaksa penuntut umum ragu, dan tidak berani menentukan secara pasti bahwa akibat itu telah mengena terhadap satu pasal pidana tertentu. Akibatnya Jaksa tak mau mengambil resiko yang memungkinkan terdakwa tidak terbukti kesalahannya jika hanya bertumpu atas satu dakwaan saja. Intinya jaksa memasang jerat, dengan perhitungan salah satu jerat yang dipasang akan mengena terdakwa. Keraguan Jaksa Penuntut Umum terlihat pada unsur dalam dakwaan primer dan subsidair terkait “perbuatan melawan hukum” dengan “penyalahgunaan wewenang”. Meski dalam persidangan pembacaan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum setebal 431 halaman terhadap terdakwa dengan percaya diri Jaksa penuntut umum menyatakan terdakwa Burhanuddin Husin terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana diancan pidana dalam dakwaan Primer, menjatuhkan pidana penjara 6 (enam) tahun , dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dan pidana denda sebesar Rp 250 juta, subsidiair 5 (lima) bulan kurungan, dengan perintah supaya terdakwa tetap dalam tahanan, dengan barang bukti sebanyak 640 berkas surat. Namun, pada akhirnya majelis hakim ternyata membebaskan terdakwa dari dakwaan primair, karena berdasarkan pemeriksaan majelis hakim, terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh JPU. Dalam Hukum Pidana unsure Delik adalah unsure yang terpenting dalam pengungkapan sebuah kasus dalam pidana, yang menurut Moelyatno suatu Delik memiliki unsure-unsur : 1. Perbuatan (manusia),
Page 19 of 61
2. Memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formal), 3. Bersifat melawan hukum (syarat formil). Bahwa selain itu yang terpenting dalam hukum pidana adalah pertanggung jawaban pidana yang memuat tiga hal : 1. Sifat melawan hukum , 2. Adanya kemampuan bertanggung jawab bagi pelaku delik, dan 3. Tidak adanya alasan penghapus pidana. Jika memperhatikan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No.14 tahun1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi ”Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila Pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang dianggap bertanggung jawab bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya” Maka hal tersebut adalah sejalan dengan ketentuan pasal 1 Butir 7 dan pasal 137 serta pasal 140 ayat (1) KUHAP yang pada pokoknya mengandung pengertian antara lain:
Pembuatan surat dakwaan harus secara sempurna; Surat dakwaan adalah dasar dari pemeriksaan hakim.
Hal ini merupakan asas dari hukum acara pidana bahwa surat dakwaan memegang peranan penting sekali dalam proses perkara pidana. Bahwa ruang lingkup pemeriksaan dipersidangan dibatasi oleh fakta yang didakwakan, sehingga hakim dalam menjatuhkan putusannya hanya semata-mata berdasarkan hasil pemeriksaan dan penilaian terhadap fakta yang diuraikan dalam surat dakwaan yang dianggap terbukti. Dengan demikian, surat dakwaan menjadi sangat penting bagi Penuntut Umum sendiri, karena ia merupakan dasar untuk melakukan penuntutan, pembuktian, pembahasan yuridis dalam tuntutan pidana (requisitoir) dan selanjutnya dasar untuk melakukan upaya hukum. Juga penting bagi Terdakwa, karena surat dakwaan merupakan dasar dalam pembelaan dan menyiapkan bukti-bukti tandingan terhadap apa yang telah didakwakan terhadapnya dan demikian pula penting bagi hakim, karena surat dakwaan merupakan dasar untuk pemeriksaan disidang pengadilan dan merupakan dasar putusan yang akan dijatuhkan tentang terbukti tidaknya kesalahan Terdakwa sebagaimana dimuat dalam surat dakwaan. Oleh karena itu pada umumnya surat dakwaan diartikan oleh para ahli hukum, dengan pengertian:
Surat Akte Yang memuat perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, Perumusan mana yang ditarik dan disimpulkan dari hasil pemeriksaan penyidikan dihubungkan dengan rumusan pasal tindak pidana yang dilanggar dan didakwakan pada Terdakwa,
Page 20 of 61
Dan surat dakwaan tersebutlah yang menjadi dasar pemeriksaan bagi hakim dalam sidang Pengadilan (lihat M.Yahya Harahap,SH,Penerapan KUHAP,Jilid 1,halaman 414).
Jika kita memperhatikan hukum positif yang berlaku sekarang ini, masih terdapat ketidak seragaman mengenai penyebutan surat dakwaan, seperti misalnya dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-undang Pokok Kejaksaan (UU No.5/1961) pada itu menyebutkan “Surat Tuduhan”. Tetapi yang jelas, baik surat dakwaan maupun surat tuduhan, makna dan maksudnya adalah sama, yang berbeda adalah landasan berpijak Undang-undangnya. Dengan diberlakukannya KUHAP maka secara resmi dipergunakan istilah “Surat Dakwaan” dan ini berarti surat dakwaan yang tidak mematuhi ketentuan pasal 143 ayat (2) huruf b batal demi hukum sedangkan surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan pasal 143 ayat (2) huruf a dapat dibatalkan. Jika kita memperhatikan surat dakwaan saudara Penuntut Umum sebagaimana yang telah dibacakan dalam persidangan tanggal 11 Juni 2013 dan dihubungkan dengan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 143 ayat (2) terlihat jelas bahwa pada dakwaan tersebut maka dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi secara formil telah benar dan tidak mengandung cacat yuridis. Bahwa menurut Arres Hoge Raad mengenai syarat yang harus dipenuhi oleh surat dakwaan antara lain :
Dalam putusannya 9 Nopember 1948,NJ 1949 nomor 37,dengan catatan dari WP, menentukan bahwa semua unsur dari tindak pidana yang didakwakan Terdakwa itu harus dicantumkan dalam surat dakwaan; Dalam putusannya tanggal 27 juni 1854,W.1667 berpendapat bahwa suatu surat dakwaan yang tidak memuat unsur-unsur dari tindak pidana yang didakwakan terhadap Terdakwa itu harus dinyatakan batal dan pengadilan tidak boleh memutus pelepasan dari segala tuntutan hukum.
Dengan mendasarkan pada pendapat Arres Hoge Raad tersebut, maka dengan demikian jelas bahwa surat dakwaan saudara Penuntut Umum tersebut2 memenuhi pasal 143 ayat (2) KUHAP, sehingga mengakibatkan dakwaan tersebut jelas ,oleh karena itu dakwaan saudara Penuntut Umum harus dinyatakan telah memenuhi ketentuan formil dalam hukum pidana. Dalam konteks penegakan hukum pidana yang berkembang saat ini menurut semestinya Jaksa Penuntut Umum tidak lagi memakai model pendekatan doktrin pidana yang hanya memasang jaring-jaring sebanyak-banyak nya.Karena dari salah satu jaring yang terpasang tersebut pasti akan ada yang dikenakan karena hal ini seiring perkembangan hukum pidana yang terjadi.
22
Baca Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Pekanbaru tahun 2013
Page 21 of 61
Dapat terlihat seolah-olah dakwaan Jaksa ini konsisten dan terkesan mencari-cari kesalahan terdakwa yang hal itu akan berdampak fatal bagi putusan yang akan diambil oleh majelis hakim apalagi jika dicermati dalam dualisme pasal terkait pasal 2 dan 3 Undang-undang Nomor : 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor : 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi yang membawa dampak implikasi pada putusan yang meringankan Terdakwa. Hal tersebut dapat kita bandingkan dari segi ancaman Pidana yang tertera dalam pasal 2 ayat (1) dalam Undang-undang tersebut mempunyai ancaman minimal 4 tahun sedangkan pasal 3 mempunyai ancaman minimal satu tahun, hal ini jika dihubungkan dengan dakwaan Jaksa Penuntut umum diatas maka dakwaan subsidiaritas mempunyai konsekwensi pada pilihan hakim akan menggunakan dakwaan yang akan meringankan terdakwa sebagaimana dalam doktrin pidana jika didakwakan dakwaan terhadap terdakwa pada beberapa pasal maka hakim memilih dakwaan yang paling meringankan terdakwa Undangundang yang diajukan oleh JPU pada perkara aquo juga memungkinkan untuk itu. Semestinya, jika sedari sejak semula Jaksa Penuntut umum yakin menerapkan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor : 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor : 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi maka harus dengan keyakinan dengan bukti-bukti yang ada untuk memastikan dakwaan tersebut dapat dibuktikan dipersidangan.
d. TERKAIT TUNTUTAN Bahwa terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dituntut berdasarkan surat tuntutan NO.TUT-27/24/10/2012. Supaya Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Pekanbaru yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan : 1. Menyatakan Terdakwa Drs Burhanuddin Husin,MM terbukti bersalah melakukan tindak pidana Korupsi secara bersama-sama sebagaimana diancam pidana dalam pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor : 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana Jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana dalam dakwaan Primair 2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Terdakwa Drs Burhanuddin Husin,MM berupa pidana penjara selama 6 (enam) tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan pidana denda sebesar Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) subsidair 5 (lima) bulan kurungan,dengan perintah supaya teerdakwa tetap dalam tahanan. 3. Menyatakan barang bukti berupa : 1) Uang Tunai Rp.300.000.000,- yang disita dari SUPENDI Direktur PT. BINA DAYA BINTARA dan PT.SERAYA SUMBER LESTARI (AA1) 2) Uang Tunai Rp.300.000.000,- yang disita dari SUPENDI Direktur PT. BINA DAYA BINTARA dan PT.SERAYA SUMBER LESTARI (AA2) 3) Uang Tunai Rp.300.000.000,- yang disita dari SUPENDI Direktur PT. BINA DAYA BINTARA dan PT.SERAYA SUMBER LESTARI (AA3)
Page 22 of 61
4) Uang Tunai Rp.200.000.000,- yang disita dari SUNARIYO Direktur PT. NATIONAL TIMBER AND FOREST PRODUCT. (AA4) 5) Uang Tunai Rp.100.000.000,- yang disita dari FICKY ZZ Direktur PT. BINA DAYA BINTARA (AA5) Dirampas untuk negara Barang bukti berupa : 1. Petikan Keputusan Gubernur Riau Nomor : Kpts.383/VII/2005 Tanggal 9 Agustus 2005 tentang pengangkatan Pejabat Struktural Eselon II dilingkungan Pemerintah Provinsi Riau atas nama Drs. Burhanuddin Husin,MM selaku Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau (L.13a). Dikembalikan pada Terdakwa. 4. Menetapkan agar terdakwa Drs. Burhanuddin Husin,MM dibebani biaya perkara sebesar Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) Jika kita mencermati Tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini maka Jaksa Penuntut Umum dalam membuat Tuntutan kepada terdakwa tampak ragu-ragu dalam menerapkan pasal karena menggunakan bentuk surat Dakwaan Subsidairitas sementara dalam Tuntutan dakwaan primer saja yang diajukan dalam penuntutan hal ini menurut hemat penulis sangat berbahaya karena Jaksa Penuntut umum ragu-ragu dalam membuat tuntutan hal mana dalam dakwaan JPU menerapkan dakwaan primer dan subsider sedangkan dalam tuntutan JPU menuntut sesuai dakwaan primer yaitu pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor : 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana Jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana dalam dakwaan Primair. Hal ini menunjukkan adanya keraguan Saudara Jaksa Penuntut Umum dan mengindikasikan hanya untuk menjerat Terdakwa. sehingga jika dihubungkan dengan fakta persidangan jelas bahwa saksi-saksi yang dihadirkan dapat memastikan dengan jelas terdakwa benar-benar melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan dan dituntut oleh saudara Jaksa Penuntut Umum. Maka sangat jelaslah bahwa terdakwa merupakan Pelaku dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana.dan jika Majelis hakim berpendapat bahwa dakwaan primer yang diajukan JPU tidak dapat diterapkan ataupun tidak terbukti maka konsekwensi dari penerapan hukum pidana Terdakwa harus dilepaskan dan atau dibebaskan. Bila ditarik kesimpulan terkait dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum terlihat: 1. Bahwa telah terjadi ketidak cermatan JPU dalam membuat Tuntutan 2. Bahwa Tuntutan JPU terlihat ragu-ragu dan tidak konsisten hal mana jika dihubungkan dalil teori koherensi sebagaimana dalam kebenaran filsafat yang ditulis jean Paul Sartre
Page 23 of 61
dalam Psikologi Imajiner dihubungkan dengan Tuntutan JPU maka hal ini dapat dikatakan tidak mempunyai nilai kebenaran 3. Bahwa berdasarkan fakta persidangan yang ada dalam persidangan maka terbukti sah dan meyakinkan berdasarkan hukum untuk dapat menyatakan terdakwa bersalah. 4. Bahwa berdasarkan azas kepastian Hukum terhadap perkara ini tidak terdapat kepastian hukum yang jelas karena Dakwaan dan tuntutan dibuat secara subsidiaritas oleh Saudara Jaksa Penuntut Umum dan terlihat hanya berkeinginan menjerat saja padahal telah sama-sama kita ketahui surat dakwaan berfungsi sangat penting dalam pemeriksaan perkara pidana, karena surat dakwaan menjadi dasar dan menentukan batas-batas pemeriksaan bagi hakim. e. MENGHITUNG KERUGIAN NEGARA DARI SEKTOR PSDH DR DAN EKOLOGISEKONOMIS Dalam dakwaan dan tuntutan untuk menghitung kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara Jaksa Penuntut Umum menghadirkan ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Melalui Keterangan Ahli Nasrul Wathon yang menghitung kerugian keuangan negara berdasarkan PSDH-DR dengan metode penghitungan kerugian Negara dihitung dari kubikasi kayu tebangan, lantas ditentukan nilai kayu hasil tebangan. Keterangan Ahli Nasrul Wathon dari BPKP berpendapat bahwa ahli tidak menghitung adanya dampak yang ditimbulkan atas adanya penebangan-penebangan karena di luar kompetensi ahli seperti perubahan alam cuaca dan lain-lain. Ahli hanya menghitung kerugian riil saja. Artinya, JPU KPK hanya menghitung kerugian Negara hanya bersifat riil saja. Padahal Penghitungan Kerugian Negara bukan saja bisa dihitung bersifat riil, tapi juga bersifat potensial. Kerugian dalam praktik Undang-undang Pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam petunjuk BPKP. 3 Menurut Petunjuk (PSP) terbitan BPKP menjelaskan : 1) Pengertian Pemeriksaan khusus yang dimaksud dalam buku petunjuk ini, adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadap kasus penyimpangan yang menimbulkan kerugian keuangan Negara/kekayaan Negara dan/atau perekonomian Negara, sehingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan mengenai ada tidaknya indikasi TPK ataupun perdata pada kasus yang bersangkutan. 2) Sedangkan pengertian kerugian keuangan adalah Negara/kekayaan Negara adalah suatu kerugian Negara yang tidak hanya bersifat riil yaitu benar-benar telah terjadi, namun juga yang bersifat potensial yaitu yang belum terjadi seperti adanya pendapatan Negara yang akan diterima dan lain sebagainya. Karena BPKP memberi petunjuk penghitungan bersifat potensial, seharusnya Jaksa KPK juga bisa meminta BPKP untuk melakukan penghitungan yang bersifat potensial. Harusnya kerugian Negara tidak hanya dihitung dari PSDH DR saja, sebab berdasarkan RKT yang diterbitkan terdakwa bertentangan dengan Keputusan Menhut. Itu berarti RKTnya illegal, 3
Theodorus M Tuanakotta dalam Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam tindak pidana korupsi hal 89
Page 24 of 61
sebab di hutan alam, bukan di hutan tanaman. Areal yang illegal itu bisa dihitung kerugian ekologisnya. Menurut Prof Bambang Hero Saharjo, dekan Fakultas Kehutanan IPB, kerugian ekologis ekonomis masuk dalam penghitungan ril, dan ini sesuai dengan petunjuk BPKP. Salah satu model penghitungan kerugian Negara lainnya (bersifat ril) yang bisa dipakai adalah versi Kementerian Lingkungan Hidup. Pada tahun 2006, Kementerian Lingkungan Hidup mengeluarkan panduan perhitungan ganti kerugian. Dalam penghitungan itu Komponen yang dihitung: Kerugian Ekologis dan Kerugian Ekonomis meliputi: Nilai Kayu alam yang hilang dan nilai pakai lahan yang hilang selama 100 tahun. Perhitungan model Kementerian Lingkungan Hidup ini pernah dipakai oleh Satgas PMH pada tahun 2011 saat menghitung kerugian keuangan Negara untuk kasus dugaan illegal logging 14 perusahaan HTI di Riau. Satgas PMH menghitung kerugian keuangan Negara 14 HTI di Riau mendekati Rp 2.000 Triliun. Tiga dari 14 perusahaan dalam illegal logging Riau yaitu PT Madukoro, PT Merbau Pelalawan Lestari dan PT Rimba Mandau Lestari juga terlibat dalam kasus terdakwa Burhanuddin Husin. Berdasarkan hasil investigasi langsung di lapangan dan berdasarkan analisa laboratorium yang dilakukan Prof Bambang Hero Saharjo, perhitungan beban biaya pemulihan kerusakan lingkungan hidup akibat kerusakan hutan alam salah satunya di IUPHHK-HT PT Merbau Pelalawan Lestari dan penghitungan total yang dilakukan Muslim Rasyid dari Jikalahari di areal RKT adalah sebagai berikut : Estimasi Kerugian Lingkungan Akibat Rencana Kerja Tahunan (RKT) Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (UPHHKHT) yang dikeluarkan Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau periode 2005‐2006. 1. Kerusakan Ekologis Akibat kegiatan konversi hutan alam menjadi hutan tanaman dan tanah rusak, maka sebagai pengganti fungsi tanah pada hutan alam menjadi tanah rusak dan hutan tanaman di IUPHHKHT PT Mitra Tani Nusa Sejati, PT Selaras Abadi Utama, CV Alam Lestari, PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Uniseraya, PT Rimba Mutiara Permai, PT Trio Mas FDI, PT Madukoro, PT Seraya Sumber Lestari, PT Rimba Mandau Lestari, PT Bina Daya Bintara, PT National Timber and Forest Product. Sebagai penyimpan air yang rusak maka perlu dibangun tempat penyimpan air buatan dengan membuat reservoir buatan. Reservoir tersebut harus mempunyai kemampuan menyimpan air sebanyak 401 m3/ha. a. Biaya Pembuatan Reservoir : Untuk menampung air hujan sebanyak 401 m3/ha diperlukan reservoir berukuran lebar 15 m x panjang 20 m x tinggi 1,5 m. Biaya pembangunan diasumsikan per m2 = Rp 100.000,Per hektar tanah yang rusak diperlukan biaya : = [ (2 x 1,5 m x 15 m) + (2 x 1,5 m x 20 m) + (15 m x 20 m)] x Rp 100.000/m2 = 405 m2 x Rp 100.000/ha
Page 25 of 61
= Rp 40.500.000,-/ha Rincian dan total kerugian yang terjadi pada hutan alam menjadi tanah rusak dan hutan tanaman di IUPHHK-HT berdasarkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (UPHHKHT) yang dikeluarkan Burhanudin sebagai Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau periode 2005‐2006. Luas RKT (Ha)
Perusahaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
PT. MITRA TANI NUSA SEJATI PT. MITRA TANI NUSA SEJATI PT. MERBAU PELALAWAN LESTARI PT. RIMABA MUTIARA PERMAI PT. SELARAS ABADI UTAMA PT. UNISERAYA PT. TRIOMAS FDI CV. ALAM LESTARI PT. MADUKORO PT. BINA DAYA BINTARA PT. SERAYA SUMBER LESTARI PT. RIMBA MANDAU LESTARI PT. NATIONAL TIMBER & FOREST PRODUCT Total Biaya Pembuatan Reservoir
2,250 3,000 2,624 5,771 4,032 7,291 2,902 635 5,942 4,872 4,150 3,363 1,920
Biaya pembuatan reservoir (Luas RKT x Rp 40.500.000,/ha/th x 100 tahun) Rp.9,112,500,000,000 Rp.12,150,000,000,000 Rp.10,627,200,000,000 Rp.23,372,550,000,000 Rp.16,329,600,000,000 Rp.29,528,550,000,000 Rp.11,753,100,000,000 Rp.2,571,750,000,000 Rp.24,065,100,000,000 Rp.19,731,600,000,000 Rp.16,807,500,000,000 Rp.13,620,150,000,000 Rp.7,776,000,000,000 Rp.197,445,600,000,000
b. Pengaturan Tata Air Biaya pengaturan tata air didasarkan kepada manfaat air dari daerah aliran sungai (DAS) menurut Manan, Wasis, Rusdiana, Arifjaya dan Purwowidodo (1999) adalah sebesar Rp 22.810.000,-/ha. Rincian dan total kerugian yang terjadi pada hutan alam menjadi tanah rusak dan hutan tanaman di IUPHHK-HT berdasarkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (UPHHKHT) yang dikeluarkan Burhanudin sebagai Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau periode 2005‐2006:
1 2 3 4 5
Perusahaan
Luas RKT (Ha)
PT. MITRA TANI NUSA SEJATI PT. MITRA TANI NUSA SEJATI PT. MERBAU PELALAWAN LESTARI PT. RIMABA MUTIARA PERMAI PT. SELARAS ABADI UTAMA
2,250 3,000 2,624 5,771 4,032
Page 26 of 61
Biaya Pengaturan Tata Air (Luas RKT x Rp 22.810.000,/ha/th x 100 tahun) Rp.5,132,250,000,000 Rp.6,843,000,000,000 Rp.5,985,344,000,000 Rp.13,163,651,000,000 Rp.9,196,992,000,000
6 7 8 9 10 11 12 13
PT. UNISERAYA PT. TRIOMAS FDI CV. ALAM LESTARI PT. MADUKORO PT. BINA DAYA BINTARA PT. SERAYA SUMBER LESTARI PT. RIMBA MANDAU LESTARI PT. NATIONAL TIMBER & FOREST PRODUCT Total Biaya Pengaturan Tata Air
7,291 2,902 635 5,942 4,872 4,150 3,363
Rp.16,630,771,000,000 Rp.6,619,462,000,000 Rp.1,448,435,000,000 Rp.13,553,702,000,000 Rp.11,113,032,000,000 Rp.9,466,150,000,000 Rp.7,671,003,000,000
1,920
Rp.4,379,520,000,000 Rp.111,203,312,000,000
c. Pengendalian Erosi dan Limpasan Biaya pengendalian erosi dan limpasan akibat konversi hutan alam menjadi hutan tanaman dan tanah rusak dengan pembuatan teras dan rorak didasarkan perhitungan Manan et al (1998) yaitu sebesar Rp 6.000.000 per ha. Rincian dan total kerugian yang terjadi pada hutan alam menjadi tanah rusak dan hutan tanaman di IUPHHK-HT berdasarkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (UPHHKHT) yang dikeluarkan Burhanudin sebagai Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau periode 2005‐2006:
13
2,250 3,000 2,624 5,771 4,032 7,291 2,902 635 5,942 4,872 4,150 3,363 1,920
Rp11,520,000,000
Luas RKT (Ha)
Perusahaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Biaya Pengendali Erosi & Limpasan (Luas RKT x Rp.6.000.000,/ha) Rp13,500,000,000 Rp18,000,000,000 Rp15,744,000,000 Rp34,626,000,000 Rp24,192,000,000 Rp43,746,000,000 Rp17,412,000,000 Rp3,810,000,000 Rp35,652,000,000 Rp29,232,000,000 Rp24,900,000,000 Rp20,178,000,000
PT. MITRA TANI NUSA SEJATI PT. MITRA TANI NUSA SEJATI PT. MERBAU PELALAWAN LESTARI PT. RIMABA MUTIARA PERMAI PT. SELARAS ABADI UTAMA PT. UNISERAYA PT. TRIOMAS FDI CV. ALAM LESTARI PT. MADUKORO PT. BINA DAYA BINTARA PT. SERAYA SUMBER LESTARI PT. RIMBA MANDAU LESTARI PT. NATIONAL TIMBER & FOREST PRODUCT Total Biaya Pengendali Erosi dan Limpasan
d. Pembentukan Tanah
Page 27 of 61
Rp.292,512,000,000
Biaya pembentukan tanah akibat rusak karena perusakan didasarkan kepada perhitungan Pangestu dan Ahmad (1998) yaitu sebesar Rp 500.000,-/ha. Rincian dan total kerugian yang terjadi pada hutan alam menjadi tanah rusak dan hutan tanaman di IUPHHK-HT berdasarkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (UPHHKHT) yang dikeluarkan Burhanudin sebagai Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau periode 2005‐2006: Luas RKT (Ha)
Perusahaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
PT. MITRA TANI NUSA SEJATI PT. MITRA TANI NUSA SEJATI PT. MERBAU PELALAWAN LESTARI PT. RIMABA MUTIARA PERMAI PT. SELARAS ABADI UTAMA PT. UNISERAYA PT. TRIOMAS FDI CV. ALAM LESTARI PT. MADUKORO PT. BINA DAYA BINTARA PT. SERAYA SUMBER LESTARI PT. RIMBA MANDAU LESTARI PT. NATIONAL TIMBER & FOREST PRODUCT Total Biaya Pembentukan Tanah
2,250 3,000 2,624 5,771 4,032 7,291 2,902 635 5,942 4,872 4,150 3,363 1,920
Biaya Pembentukan Tanah (Luas RKT x Rp.500.000,/ha) Rp1,125,000,000 Rp1,500,000,000 Rp1,312,000,000 Rp2,885,500,000 Rp2,016,000,000 Rp3,645,500,000 Rp1,451,000,000 Rp317,500,000 Rp2,971,000,000 Rp2,436,000,000 Rp2,075,000,000 Rp1,681,500,000 Rp960,000,000 Rp.24,376,000,000
e. Pendaur Ulang Unsur Hara Biaya pendaur ulang unsur hara yang hilang akibat perusakan tanah didasarkan kepada perhitungan Pangestu dan Ahmad (1998) yaitu sebesar Rp 4.610.000 per ha. Rincian dan total kerugian yang terjadi pada hutan alam menjadi tanah rusak dan hutan tanaman di IUPHHK-HT berdasarkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (UPHHKHT) yang dikeluarkan Burhanudin sebagai Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau periode 2005‐2006:
1 2 3 4
Perusahaan
Luas RKT (Ha)
PT. MITRA TANI NUSA SEJATI PT. MITRA TANI NUSA SEJATI PT. MERBAU PELALAWAN LESTARI PT. RIMABA MUTIARA PERMAI
2,250 3,000 2,624 5,771
Page 28 of 61
Biaya Daur Ulang Unsur Hara (Luas RKT x Rp.4.610.000,/ha) Rp10,350,000,000 Rp13,800,000,000 Rp12,070,400,000 Rp26,546,600,000
5 6 7 8 9 10 11 12 13
PT. SELARAS ABADI UTAMA PT. UNISERAYA PT. TRIOMAS FDI CV. ALAM LESTARI PT. MADUKORO PT. BINA DAYA BINTARA PT. SERAYA SUMBER LESTARI PT. RIMBA MANDAU LESTARI PT. NATIONAL TIMBER & FOREST PRODUCT Total Biaya Pendaur Ulang Unsur Hara
4,032 7,291 2,902 635 5,942 4,872 4,150 3,363
Rp18,547,200,000 Rp33,538,600,000 Rp13,349,200,000 Rp2,921,000,000 Rp27,333,200,000 Rp22,411,200,000 Rp19,090,000,000 Rp15,469,800,000
1,920
Rp8,832,000,000 Rp.224,259,200,000
f. Pengurai Limbah Biaya pengurai limbah yang hilang karena kerusakan lahan menurut perhitungan Pangestus dan Ahmad (1998) yaitu sebesar Rp 435.000 per ha. Rincian dan total kerugian yang terjadi pada hutan alam menjadi tanah rusak dan hutan tanaman di IUPHHK-HT berdasarkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (UPHHKHT) yang dikeluarkan Burhanudin sebagai Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau periode 2005‐2006: Luas RKT (Ha)
Perusahaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
PT. MITRA TANI NUSA SEJATI PT. MITRA TANI NUSA SEJATI PT. MERBAU PELALAWAN LESTARI PT. RIMABA MUTIARA PERMAI PT. SELARAS ABADI UTAMA PT. UNISERAYA PT. TRIOMAS FDI CV. ALAM LESTARI PT. MADUKORO PT. BINA DAYA BINTARA PT. SERAYA SUMBER LESTARI PT. RIMBA MANDAU LESTARI PT. NATIONAL TIMBER & FOREST PRODUCT Total Biaya Pengurai Limbah
2,250 3,000 2,624 5,771 4,032 7,291 2,902 635 5,942 4,872 4,150 3,363 1,920
Biaya Pengurai Limbah (Luas RKT x Rp.435.000,/ha) Rp978,750,000 Rp1,305,000,000 Rp1,141,440,000 Rp2,510,385,000 Rp1,753,920,000 Rp3,171,585,000 Rp1,262,370,000 Rp276,225,000 Rp2,584,770,000 Rp2,119,320,000 Rp1,805,250,000 Rp1,462,905,000 Rp835,200,000 Rp.21,207,120,000
g. Keanekaraganman Hayati Akibat rusaknya lahan karena konversi lahan hutan alam menjadi hutan sekunder dan tanah terbuka maka tidak sedikit keanekaragaman hayati yang hilang untuk itu biaya yang
Page 29 of 61
dibutuhkan untuk memulihkan keanekaragaman hayati menurut perhitungan Pangestu dan Ahmad (1998) yaitu sebesar Rp 2.700.000,- per ha. Rincian dan total kerugian yang terjadi pada hutan alam menjadi tanah rusak dan hutan tanaman di IUPHHK-HT berdasarkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (UPHHKHT) yang dikeluarkan Burhanudin sebagai Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau periode 2005‐2006: Luas RKT (Ha)
Perusahaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
PT. MITRA TANI NUSA SEJATI PT. MITRA TANI NUSA SEJATI PT. MERBAU PELALAWAN LESTARI PT. RIMABA MUTIARA PERMAI PT. SELARAS ABADI UTAMA PT. UNISERAYA PT. TRIOMAS FDI CV. ALAM LESTARI PT. MADUKORO PT. BINA DAYA BINTARA PT. SERAYA SUMBER LESTARI PT. RIMBA MANDAU LESTARI PT. NATIONAL TIMBER & FOREST PRODUCT Total Biaya Keanekaragaman Hayati
2,250 3,000 2,624 5,771 4,032 7,291 2,902 635 5,942 4,872 4,150 3,363 1,920
Biaya Keanekaragaman Hayati (Luas RKT x Rp.2.700.000,-/ha) Rp6,075,000,000 Rp8,100,000,000 Rp7,084,800,000 Rp15,581,700,000 Rp10,886,400,000 Rp19,685,700,000 Rp7,835,400,000 Rp1,714,500,000 Rp16,043,400,000 Rp13,154,400,000 Rp11,205,000,000 Rp9,080,100,000 Rp5,184,000,000 Rp.131,630,400,000
h. Sumberdaya Genetik Biaya pemulihan akibat hilangnya sumberdaya genetik adalah sebesar Rp 410.000,- per ha (Pangestu dan Ahmad, 1998). Rincian dan total kerugian yang terjadi pada hutan alam menjadi tanah rusak dan hutan tanaman di IUPHHK-HT berdasarkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (UPHHKHT) yang dikeluarkan Burhanudin sebagai Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau periode 2005‐2006:
1 2 3 4 5 6
Perusahaan
Luas RKT (Ha)
PT. MITRA TANI NUSA SEJATI PT. MITRA TANI NUSA SEJATI PT. MERBAU PELALAWAN LESTARI PT. RIMABA MUTIARA PERMAI PT. SELARAS ABADI UTAMA PT. UNISERAYA
2,250 3,000 2,624 5,771 4,032 7,291
Page 30 of 61
Biaya Sumberdaya Genetik (Luas RKT x Rp.410.000,/ha) Rp922,500,000 Rp1,230,000,000 Rp1,075,840,000 Rp2,366,110,000 Rp1,653,120,000 Rp2,989,310,000
7 8 9 10 11 12 13
PT. TRIOMAS FDI CV. ALAM LESTARI PT. MADUKORO PT. BINA DAYA BINTARA PT. SERAYA SUMBER LESTARI PT. RIMBA MANDAU LESTARI PT. NATIONAL TIMBER & FOREST PRODUCT Total Biaya Sumberdaya Genetik
2,902 635 5,942 4,872 4,150 3,363
Rp1,189,820,000 Rp260,350,000 Rp2,436,220,000 Rp1,997,520,000 Rp1,701,500,000 Rp1,378,830,000
1,920
Rp787,200,000 Rp.19,988,320,000
i. Pelepasan Karbon Akibat adanya konversi hutan alam menjadi tanah rusak dan hutan tanaman maka menurut Wasis, (2003) telah hilang karbon pada hutan tropik sebanyak 359 ton/ha, dan biaya yang dibutuhkan untuk pemulihan Rp 90.000,- per ton per ha. Rincian dan total kerugian yang terjadi pada hutan alam menjadi tanah rusak dan hutan tanaman di IUPHHK-HT berdasarkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (UPHHKHT) yang dikeluarkan Burhanudin sebagai Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau periode 2005‐2006: Luas RKT (Ha)
Perusahaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
PT. MITRA TANI NUSA SEJATI PT. MITRA TANI NUSA SEJATI PT. MERBAU PELALAWAN LESTARI PT. RIMABA MUTIARA PERMAI PT. SELARAS ABADI UTAMA PT. UNISERAYA PT. TRIOMAS FDI CV. ALAM LESTARI PT. MADUKORO PT. BINA DAYA BINTARA PT. SERAYA SUMBER LESTARI PT. RIMBA MANDAU LESTARI PT. NATIONAL TIMBER & FOREST PRODUCT Total Biaya Pelepasan Karbon
2. Kerusakan Ekonomi a. Nilai Kayu Tegakan Hutan
Page 31 of 61
2,250 3,000 2,624 5,771 4,032 7,291 2,902 635 5,942 4,872 4,150 3,363 1,920
Biaya Pelepasan karbon (Luas RKT x 359 ton/ha x Rp 90.000,-/ha) Rp72,697,500,000 Rp96,930,000,000 Rp84,781,440,000 Rp186,461,010,000 Rp130,273,920,000 Rp235,572,210,000 Rp93,763,620,000 Rp20,516,850,000 Rp191,986,020,000 Rp157,414,320,000 Rp134,086,500,000 Rp108,658,530,000 Rp62,035,200,000 Rp.1,575,177,120,000
Menurut Darusman (2003) nilai kayu hutan alam sebesar Rp 3.300.000,-/m3. Akibat pengambilan kayu/ log untuk BBS dan kayu pertukangan dari kegiatan konversi hutan alam menjadi tanah rusak dan hutan tanaman di IUPHHK-HT berdasarkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (UPHHKHT) yang dikeluarkan Burhanudin sebagai Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau periode 2005‐2006:
Perusahaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
2,250 3,000 2,624 5,771 4,032 7,291 2,902 635 5,942 4,872 4,150 3,363
Potensi Tgk (M3/Ha) 130.55 139.78 160.00 113.78 99.40 107.45 99.44 172.29 156.72 130.00 130.00 130.00
Nilai Kayu Tegakan (Luas RKT x Potensi tgk x Rp 3.300.000,-/m3) Rp969,333,750,000 Rp1,383,822,000,000 Rp1,385,472,000,000 Rp2,166,860,454,000 Rp1,322,576,640,000 Rp2,585,279,235,000 Rp952,297,104,000 Rp361,033,695,000 Rp3,073,059,792,000 Rp2,090,088,000,000 Rp1,780,350,000,000 Rp1,442,727,000,000
1,920
130.00
Rp823,680,000,000
Luas (Ha)
PT. MITRA TANI NUSA SEJATI PT. MITRA TANI NUSA SEJATI PT. MERBAU PELALAWAN LESTARI PT. RIMABA MUTIARA PERMAI PT. SELARAS ABADI UTAMA PT. UNISERAYA PT. TRIOMAS FDI CV. ALAM LESTARI PT. MADUKORO PT. BINA DAYA BINTARA PT. SERAYA SUMBER LESTARI PT. RIMBA MANDAU LESTARI PT. NATIONAL TIMBER & FOREST PRODUCT Total Potensi Tegakan
Rp.20,336,579,670,000
b. Nilai Pakai Lahan Pada bagian kerusakan ekonomi ini terdapat parameter penting yang patut dipertimbangkan yaitu hilangnya umur pakai lahan selama 100 tahun. Untuk itu seandainya lahan tersebut digunakan untuk menanam tanaman semusim. Menurut penelitian Tim Demfam IPB (2002) adalah Rp 32.000.000,- /ha. Rincian dan total kerugian yang terjadi pada perusakan hutan alam menjadi tanah rusak dan hutan tanaman di IUPHHK-HT berdasarkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (UPHHKHT) yang dikeluarkan Burhanudin sebagai Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau periode 2005‐2006:
1 2 3 4 5 6
Perusahaan
Luas RKT (Ha)
PT. MITRA TANI NUSA SEJATI PT. MITRA TANI NUSA SEJATI PT. MERBAU PELALAWAN LESTARI PT. RIMABA MUTIARA PERMAI PT. SELARAS ABADI UTAMA PT. UNISERAYA
2,250 3,000 2,624 5,771 4,032 7,291
Page 32 of 61
Biaya Pelepasan Karbon (Luas RKT x Rp 32.000.000,/ha/th x 100 th Rp7,200,000,000,000 Rp9,600,000,000,000 Rp8,396,800,000,000 Rp18,467,200,000,000 Rp12,902,400,000,000 Rp23,331,200,000,000
7 8 9 10 11 12 13
PT. TRIOMAS FDI CV. ALAM LESTARI PT. MADUKORO PT. BINA DAYA BINTARA PT. SERAYA SUMBER LESTARI PT. RIMBA MANDAU LESTARI PT. NATIONAL TIMBER & FOREST PRODUCT Total Nilai Pakai Lahan
2,902 635 5,942 4,872 4,150 3,363
Rp9,286,400,000,000 Rp2,032,000,000,000 Rp19,014,400,000,000 Rp15,590,400,000,000 Rp13,280,000,000,000 Rp10,761,600,000,000
1,920
Rp6,144,000,000,000 Rp.156,006,400,000,000
3. Pemulihan ekologi Sebenarnya mustahil untuk mengembalikan lahan yang rusak kembali pulih seperti sediakala, karena ekosistem hutan alam klimaks yang terbentuk merupakan hasil suksesi vegetasi selama jutaan tahun. Biaya pemulihan untuk mengaktifkan fungsi ekologi yang hilang di areal Rencana Kerja Tahunan (RKT) Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (UPHHKHT) yang dikeluarkan Burhanudin sebagai Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau periode 2005‐2006 adalah : No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Rincian Penyediaan air melalui pembangunan reservoir Pengendalian limpasan dan erosi Pembentukan tanah Pendaur ulang unsur hara Pengurai limbah Keanekaragaman hayati Sumberdaya genetik Pelepasan karbon Jumlah
Jumlah (Rp) Rp.197,445,600,000,000,Rp.292,512,000,000,Rp.24,376,000,000,Rp.224,259,200,000,Rp.21,207,120,000,Rp.131,630,400,000,Rp.19,988,320,000,Rp.1,575,177,120,000,Rp.199,734,750,160,000,-
Total yang biaya kerugian yang terjadi pada hutan alam menjadi tanah rusak dan hutan tanaman di IUPHHK-HT berdasarkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (UPHHKHT) yang dikeluarkan Burhanudin sebagai Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau periode 2005‐2006:
No. 1. 2. 3.
Rincian Kerusakan ekologi Kerusakan ekonomi Pemulihan ekologi Jumlah
Jumlah (Rp) Rp.310,938,062,160,000 Rp.176,342,979,670,000 Rp.199,734,750,160,000 Rp.687,015,791,990,000
Estimasi Total kerugian Perusakan Ekologis akibat di areal RKT yang bertentangan dengan hukum : Rp.687,015,791,990,000 atau setidaknya Rp 687 Triliun. Bandingkan dengan
Page 33 of 61
penghitungan PSDH DR yang dilakukan oleh BPKP total Rp 519.580.718.790 atau setidaknya hanya Rp 519 miliar. Setidaknya dengan Jaksa Penuntut Umum melakukan penghitungan kerugian Negara di sector Ekologis-Ekonomis, bisa mempengaruhi keyakinan majelis hakim agar menghukum terdakwa lebih berat. Ini juga untuk memberi rasa keadilan bagi hutan yang sudah rusak akibat perbuatan terdakwa. f.
PENAMBAHAN KETERANGAN AHLI Keterangan Ahli yang didatangkan oleh jaksa KPK terlalu sedikit. Dalam dakwaan JPU KPK menghadirkan empat ahli, tiga dari kehutanan, satu dari BPKP. Melihat pertimbangan majelis hakim memilih dakwaan subsider dibanding dakwaan primer dalam pertimbangan majelis hakim tidak ditemukan reasoning hukum yang jelas. Majelis hakim hanya melakukan pertimbangan “suka-suka” terkait unsur “perbuatan melawan hukum” dengan “penyalahgunaan wewenang” . Dan pertimbangan utama majelis hakim meringankan terdakwa karena perbuatan RKT yang diterbitkan terdakwa belum dicabut Menhut. Karena masuk pada wilayah keahlian tertentu di bidang hukum administrasi Negara, hukum pidana sebaiknya Jaksa Penuntut Umum menambah keterangan ahli. Sebaiknya jaksa KPK mendatangkan ahli minimal 3 (tiga) orang Ahli, 1 (satu) orang dari bidang kelimuan Ilmu Hukum bidang Kajian Hukum Pidana, 2 (dua) orang bidang Hukum Administrasi Negara. Ini agar bisa memberikan keyakinan pada majelis hakim bahwa tidak ada multitafsir dalam unsur-unsur sebagaimana yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum.
A. TEMUAN DAN ANALISIS PUTUSAN Dr M Syamsudin, SH, MH dalam bukunya Kontruksi Baru Budaya Hukum Hakim berbasis Hukum Progresif. Dalam buku tersebut Syamsudin meneliti kasus korupsi di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tipikor. Kritik sentral buku tersebut ada pada Hakim yang memutus perkara. Proses pembuatan putusan oleh hakim pengadilan, terutama dalam perkara pidana, merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit dilakukan sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman dan kebijaksanaan. Menurut Artidjo Alkotsar, sebagai figure sentral penegak hukum, para hakim memiliki kewajiban moral dan tanggungjawab professional untuk menguasai knowledge, memiliki skill berupa legal technical capacity dan kapasitas moral standar. Dengan adanya kecukupan pengetahuan dan keterampilan tekhnis, para hakim dalam memutus suatu perkara akan dapat memberikan pertimbangan hukum (legal reasoning) yang tepat dan benar. Jika suatu putusan pengadilan tidak cukup mempertimbangkan tentang hal-hal yang relevan yuridis dan sah muncul di persidangan, maka akan terasa adanya kejanggalan yang akan menimbulkan matinya akal sehat. Putusan pengadilan yang tidak logis akan dirasakan pula oleh masyarakat yang paling awam, karena putusan pengadilan menyangkut nurani kemanusiaan. Penegak hukum bukanlah budak kata-kata yang dibuat pembentuk undang-udang, melainkan lebih dari itu mewujudkan keadilan berdasarkan norma hukum dan akal sehat.
Page 34 of 61
Jika hakim menggunakan pemaknaan sempit tentang unsur-unsur tindak pidana korupsi, ada kecenderungan putusan tidak bersalah (bebas) dan atau jikalau dijatuhi vonis pidana, sanksinya ringan sangat ringan. Sebaliknya, jika hakim mengikuti pemaknaan luas tentang unsur-unsur tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa, terdapat kecenderungan putusan bersalah (dipidana). Terhadap putusan pemidanaan ini ada yang menjatuhkan sanksi pidannya bervariasi, yaitu sangat ringan, ringan, sedang, berat dan sangat berat. Namun kecenderungan hakim menjatuhkan pidana dengan kategori ringan. Penafsiran luas adalah penafsiran yang memaknai TPK secara materil yang memasukkan unsur kepatutan dan perbuatan tercela yang bersumber dari ketentuan hukum yang tidak tertulis. Penafsiran sempit adalah penafsiran yang memaknai TPK hanya berdasarkan aturan perundanga-undangan tertulis dan mengabaikan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Pada praktik menunjukkan, terdapat hubungan yang sangat erat antara karakteristik penafsiran hukum dan putusan hakim. Baik tidaknya atau berbobot tidaknya kualitas putusan hakim salah satunya dapat dilihat dari bagaimana hakim menafsirkan suatu rumusan pasal tertentu dalam undang-undang, dikaitkan dengan perkara yang akan diputus serta kontekstualisasinya dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Data perbandingan putusan majelis hakim yang menangani perkara korupsi di Pengadilan Umum dan Pengadilan Tipikor menunjukkan sejak berdiri tahun 2004-2009, pengadilan Tipikor berhasil menyelesaikan perkara korupsi sebanyak 145 perkara. Semuanya diputus dipidana. Pengadilan Tipikor tidak mengenal vonis percobaan maupun vonis di bawah satu tahun penjara. Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis penjara rata-rata 50,90 bulan penjara atau 4,24 tahun penjara. Perkara korupsi yang diputus hakim di Pengadilan Umum berdasarkan statistik sejak 20052009 menunjukkan bahwa perkara korupsi yang diperiksan dan diputus oleh majelis hakim di pengadilan umum selama 2005-2009 jika diperbandingkan antara yang diputus tidak bersalah dan yang diputus bersalah adalah 349 : 413 atau 45, 81 % : 54,19 % dari total perkara 762. Pengadilan umum menjatuhkan sanksi pidana penjara terhadap terdakwa korupsi pada kategori sanksi pidana yang sangat ringan. Kondisi ini jelas berbanding terbalik dengan penanganan perkara yang ditangani pengadilan Tipikor. Selama tahun 2004-2009 pengadilan Tipikor berhasil memeriksa dan memutus perkara Tipikor sebanyak 105 perkara. Dari jumlah itu seluruhnya divonis bersalah dan tidak ada satupun yang divonis bebas dan lepas. Di pengadilan Tipikor rata-rata perkara Tipikor divonis 4,4 tahun penjara. Di pengadilan Umum 2005-2009 perkara Tipikor kecenderungannya divonis ringan, yakni dibawah satu tahun penjara. Penelitian tersebut menunjukkan kualitas putusan hakim pada Pengadilan Umum yang menangani perkara korupsi dengan vonis ringan belum berhasil menunjukkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Artinya hakim karir di Pengadilan Umum belum menunjukkan upaya pemberantasan korupsi.
Page 35 of 61
Putusan Mejlis Hakim terhadap terpidana Burhanuddin Husin pada Pengadilan Tipikor Pekanbaru memperlihatkan bahwa hakim karir memang belum menunjukkan upaya pemberantasan korupsi. Meskipun para hakim dalam menafsirkan makna korupsi, batas-batas, unsur-unsur dan juga vonisnya selalu mengacu dan sangat terikat pada batasan-batasan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang terkait korupsi. Sebab dalam memeriksa perkara korupsi hakim terikat pada surat dakwaan yang diajukan JPU. Pada 24 Oktober 2012, Majelis hakim memvonis Burhanuddin Husin 2 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 100 juta. Burhanuddin Husin divonis lebih ringan dari terpidana dalam kasus kehutanan sebelumnya—terpidana Asral Rahman (5 tahun) dan terpidana Syuhada Tasman (4 tahun)—yang sama-sama terlibat kasus korupsi kehutanan saat jabat Kadishut Riau. Lantaran majelis hakim tak mengenakan dakwaan primer. “Dakwaan primer tak dapat digunakan karena salah satu unsurnya tak terpenuhi,” kata Isnurul. Hakim Krosbin Lumban Gaol juga sepakat dengan pendapat Isnurul. Meskipun Rahman Silaen, Hakim Anggota dua (hakim ad hoc) lakukan disenting opinion—karena, kata Silaen, semua unsur melakukan perbuatan melawan hukum dalam dakwaan primer bisa dibuktikan. Majelis hakim Menurut Isnurul dan Krosbin, pada unsur Perbuatan Melawan Hukum dengan mengesahkan 12 Reknacana Kerja Tahunan (RKT), Boy sudah tak dapat dikategorikan melakukan perbuatan melawan hukum. Pertama, Menhut telah menerbitkan Permenhut No P03/Menhut II/ 2005 tentang pedoman verifikasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Usaha Kayu pada Hutan Alam (IUPPPHKHA) dan atau Izin Usaha Pemanfatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHKHT) yang ditebitkan Gubernur, Bupati dan Walikota dalam pelaksanaanya telah dilakukan verfikasi. Dalam persidangan, Burhanuddin Husin juga telah menunjukan adanya beberapa perusahaan yang sudah diverifikasi oleh Kepmenhut dan izinya masih berjalan hingga sekarang karena setelah diverifikasi dikeluarkan izin pembaharuan rentang tahun 20062007. Perkara Tipikor Burhanuddin Husin ditangani tiga majelis Hakim. Isnurul Syamsul Arif, SH MH dan Krosbin Lumban Gaol, SH, MH (hakim karir) dan Rakhman Silaen SH, MH (Hakim ad hoc). Petikan putusan majelis hakim: 1. Menyatakan terdakwa Drs. H Burhanuddin Husin, MM tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diancam dalam pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke- 1 KUHPidana jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana dalam dakwaan Primair 2. Membebaskan terdakwa Drs H Burhanuddin Husin, MM dari dakwaan tersebut 3. Menyatakan terdakwa Drs H Burhanuddin Husin, MM terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah BERSAMA-SAMA MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI 4. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Drs H Burhanuddin Husin, MM berupa pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan, dan pidana denda Rp 100.000.000
Page 36 of 61
5. 6. 7. 8.
(seratus juta rupiah) sebesar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan kurungan Menetapkan masa selama terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan Menetapkan terdakwa tetap dalam tahanan Menyatakan barang bukti berupa: vide putusan...dst Menetapkan agar terdakwa Drs H Burhanuddin Husin, MM membayar biaya perkara sebesar Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah)
Sebagaimana kaidah hukum, suatu putusan pidana, idealnya harus memenuhi unsur yuridis, sosiologis, dan filosofis. Hakim akan menggunakan metode analisis yuridis komprehensif untuk memecahkan hukum dari perkara yang ditanganinya. Aspek yuridis sebagai pendekatan pertama dan utama, yaitu sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Pendekatan filosofis, yaitu berintikan pada kebenaran dan rasa keadilan, sedangkan pendekatan sosiologis, yaitu sesuai dengan tata nilai budaya yang berlaku di masyarakat. Perihal pentingnya suatu putusan pidana harus memenuhi tiga unsur, yaitu yuridis, sosiologis, dan filosofis sebagaimana Soerjono Soekanto mengemukakan alasannya sebagai berikut: o o
Apabila hanya mementingkan aspek yuridisnya, maka putusannya menjadi tidak hidup; Apabila hanya mementingkan aspek sosiologisnya, maka putusannya menjadi sarana pemaksa dan apabila hanya mementingkan aspek filosofisnya, maka putusannya menjadi tidak realistik. Dr M Syamsudin, SH, MH dalam bukunya Kontruksi Baru Budaya Hukum Hakim berbasis Hukum Progresif dalam bukunya halaman 208-209 mengurai sebenarnya dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan, hakim dapat menghukum atau membebaskan terdakwa, hal itu bukan bergantung pada undang-undang, melainkan pada “mau-maunya/selera” hakim. Jika sang hakim berkehendak menghukum terdakwa, ia dapat menggunakan perspektif tertentu dan mencarikan dalil, undang-undang yang dapat dijadikan pembenar. Sebaliknya, jika hakim berkehendak membebaskan terdakwa, ia dapat memilih perspektif, dalil, dan undang-undang yang lain lagi. Pilihan hakim atas perspektif itu secara formal dapat disusun dengan sangat logis, sehingga secara formal pula “terasa” benar. Karena sifatnya nisbi dan bergantung pada perspektif tertentu, andai hakim akan membuat putusan yang sebaliknya, dapat dibuat argument yang secara yuridis formal juga logis dengan cara mengganti perspektif, dalil dan undangudang yang dijadikan argumennya. Dengan kebebasannya memilih perspektif secara sepihak, terbuka kemungkinan bagi hakim untuk mengeosiasikan atau menawarkan putusan sambil minta imbalan tertentu, baik melalui transaksi uang maupun transaksi politik. Apapun putusan yang dikehendaki dapat dibangunkan logikanya yang dapat diterima. Kalau tidak terjadi hal yang luar biasa, transaksi judicial corruption dapat mudah lolos karena dalam putusan dan memilih perspektif, hakim dapat berlindung di bawah prinsip “kebebasan hakim” untuk membuat putusan atas nama keyakinannya.
Page 37 of 61
“Mau-maunya/selera hakim” dan “terasa” benar tergambar dalam pertimbangan majelis hakim dalam perkara terdakwa Burhanuddin Husin. Alasan utamanya pertimbangan majelis hakim ambigu dan tidak konsisten serta mengabaikan yurisprudensi dalam perkara yang sama. c. PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM MEMBINGUNGKAN, INKONSISTEN DAN MENGABAIKAN YURISPRUDENSI DALAM PERKARA YANG SAMA 1. Terkait “Memperkaya Diri Sendiri” dan “Menguntungkan diri sendiri” Sebelum memutuskan majelis hakim melakukan pertimbangan apakah terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan kepadanya. Terdakwa diajukan ke persidangan dengan dakwaan berbentuk subsidair. Intinya dakwaan primer tidak terbukti, dakwaan subsider terbukti. Dalam dakwaan Primer terdakwa didakwa Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUH Pidana jo. Pasal 65 ayat (1) KUH Pidana. Dalam dakwaan Subsidiair terdakwa didakwa Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) KUH Pidana. Pertimbangan majelis hakim dalam dakwaan primer:
Tidak terpenuhinya salah satu unsur dalam dakwaan primer, terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan primer. Ia harus dibebaskan dari dakwaan tersebut.
Page 38 of 61
Pertimbangan
Majelis
hakim
dalam
dakwaan
subsider:
Menurut pertimbangan majelis hakim, dengan terpenuhinya unsur-unsur dalam dakwaan subside tersebut, maka terdakwa terbukti secara sah telah melakukan tindak pidana “Bersama-sama Melakukan Tindak Pidana Korupsi”. Salah satu unsur tidak terpenuhi dalam dakwaan primer yaitu unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi (lihat warna kuning) karena perusahaan telah membayar PSDH DR, belum ada IUPHHK HT yang dibatalkan dan terdakwa tidak memperoleh keuntungan pribadi. Namun dalam pertimbangan unsur dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi (lihat bold warna hijau), meski terdakwa tidak memperoleh keuntungan pribadi tidak terpenting akibat perbuatan terdakwa telah menguntungkan orang lain atau suatu korporasi. Jelas pertimbangan majelis hakim membingungkan. Sebab dalam penjelasan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak ada menjelaskan terkait unsur-unsur “memperkaya diri sendiri……” dan “menguntungkan diri sendiri….”
Page 39 of 61
Ada beberapa referensi untuk menjelaskan persamaan “memperkaya diri sendiri” dan “menguntungkan diri sendiri”. R Wiyonno, dalam Pembahasan UU Pemberantasan Tipikor, menjelaskan yang dimaksud dengan “memperkaya” adalah perbuatan yang dilakukan untuk menjadi lebih kaya lagi . Yang dimaksud dengan “menguntungkan” sama artinya dengan mendapatkan untung, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dari pengeluaran, terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang diperolehnya. Cifor dalam Panduan Investigasi dan Penuntutan dengan Pendekatan Hukum Terpadu. “Memperkaya diri sendiri” adalah upaya mengumpulkan kekayaan yang tidak setara dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan dari sumber yang tidak sah (Sukardi 2009). Pengertian lain perbuatan yang dilakukan untuk lebih kaya, sedangkan berdasarkan putusan pengadilan negeri Tangerang tanggal 13 Mei 1992 No 18/Pid/B-1992/PN/TNG memperkaya adalah menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya atau yang sudah kaya bertambah kaya (Wiyono 2006). Sedangkan “menguntungkan diri sendiri” adalah upaya untuk mengumpulkan kekayaan yang tidak setara dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan dari sumber yang tidak sah (Sukardi 2009). Pengertian lain adalah dengan mendapatkan keuntungan, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dari pengeluaran. Dari rumusan tersebut terlihat jelas bahwa, “memperkaya diri sendiri” dan “menguntungkan diri sendiri” tidak ada perbedaan, justru sama-sama adanya penambahan kekayaan. Menurut Dr H Juni Sjafrien Jahja, SH MH dalam Say No To Korupsi! Menyebut memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dilihat dari konstruksi yuridis dalam undangundang pemberantasan korupsi yang dianut di Indonesia sangat meluaskan jangkauannya. Walaupun pelaku tindak pidana tidak mendapat sesuatu keuntungan sama sekali tetapi harus mempertanggungjawabkan kerugian keuangan Negara yang timbul karenanya. Ini menunjukkan majelis hakim inkonsisten dalam menjelaskan unsur memperkaya dan menguntungkan. Karena memperkaya dan menguntungkan tidak ada bedanya, seharusnya majelis hakim menggunakan unsur memperkaya diri sendiri, karena dalam frasa memperkaya sudah masuk unsur menguntungkan. 2. Terkait “Perbuatan Melawan hukum” dan “menyalahgunakan wewenang” Secara teoritis terdapat perbedaan konsep dan parameter “perbuatan melawan hukum” dengan “penyalahgunaan wewenang”. Dalam praktek kerap dicampur adukkan. Menurut Minarno, secara implisit “penyalahgunaan wewenang” inhaeren (sama) dengan melawan hukum, karena penyalahgunaan wewenang esensinya merupakan perbuatan
Page 40 of 61
melawan hukum. Unsur perbuatan melawan hukum merupakan genusnya, unsur penyalahgunaan wewenang spesiesnya. Meskipun penyalahgunaan wewenang dan melawan hukum inhaeren tidaklah berarti jika unsur melawan hukum dapat dibuktikan , lantas secara mutatis mutandis unsur penyalahgunaan wewenang juga terbukti. Atau sebaliknya. Penggunaan unsur melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang sebagai dakwaan terhadap “pejabat atau pegawai negeri”, haruslah dipilih pasal 3. Namun Pasal 2 juga bisa dipakai karena unsur setiap orang. Bahwa lebih muda membuktikan delik yang tercantum dalam perumusan Pasal 3 daripada Pasal 2. Hanya dalam satu hal saja perumusan Pasal 3 lebih sulit daripada pasal 2, yaitu dengan adanya kata-kata “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” yang menunjukkan bahwa subjek delik pada Pasal 3 harus memenuhi kualitas sebagai pejabat atau mempunya kedudukan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa ketentuan pasal 3 ini adalah luas dalam rumusnya karena mempergunakan istilah umum “menyalahgunakan” dan tidak mengadakan perincian seperti halnya dengan Pasal 52 KUHP dengan kata ‘oleh karena melakukan tindak pidana…yang diperolehnya dalam jabatannya.’ Penjelasan ini sebenarnya belum membuat terang atau jelas apa yang dimaksud dengan “kedududkan” itu. Menurut Sudarto, istilah “kedudukan” di samping perkataan “jabatan” adalah meragukan. Jika “kedudukan” ini diartikan “fungsi” pada umumnya, maka seorang direktur bank swasta juga punya kedudukan. Sudarto juga mengemukakan bahwa “badan (korporasi) di situ tidak hanya badan swasta, misalnya PT, Yayasan, dan sebagainya, tetapi juga badan pemerintah, misalnya kantor, jawatan/dinas, dan sebagainya (Prof Andi Hamzah dalam Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Hal 179-180) Penjelasan Pasal 2 dan pasal 3 terkait unsur setiap orang dalam pertimbangan majelis hakim tidak ada perbedaan, hakim menyatakan telah terpenuhi. Artinya setiap orang masuk dalam kategori tesebut. Dalam pertimbangan dakwaan Primer majelis hakim terbukti bahwa perbuatan penyalahgunaan wewenang berupa pembiaran adalah inhaeren dengan perbuatan melawan hukum, dan majelis hakim menyatakan perbuatan melawan hukum terpenuhi. Dalam pertimbangan dakwaan subsider majelis pada unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanaya karena jabatan atau kedududkan” mempertimbangkan: …terdakwa tidak melakukan penilaian sebagaimana yang diamanatkan kepadanya. Ia sepenuhnya mempercayakan begitu saja penilaia itu dilakukan oleh pejabat tekhnis dibawahnya, bahkan di persidangan diakuai terdakwa ia sama sekali tidak memahami peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tugasnya melakukan penilaian dan pengesahan RKT tersebut, artinya meskipun terdakwa telah menandatangani pengesahan RKT pada hakekatnya ia tidak melakukan sesuatu perihal menilai dan mengesahkan RKT dimaksud. Perbuatan terdakwa
Page 41 of 61
termasuk penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam unsur ketiga dalam dakwaan subside dengan demikian unsur ini terpenuhi. Pertimbangan majelis hakim keliru dan tidak memperhatikan urutan peristiwa dan prosedur sebelum RKT disahkan. Dalam Surat Tuntutan dalam dakwaan primer gambaran kronologis bahwa terdakwa bukan membiarkan, tapi sengaja melakukan perbuatan melawan hukum:
Korporasi-korporasi yang memiliki IUPHHKHT di Kabuten Pelalawan dan Kabupaten Siak mengajukan surat permohonan penilaian dan pengesahan Usulan Rencana Kerja Tahunan (URKT) UPHHKHT kepada terdakwa sebagai dasar melakukan penebangan kayu hutan alam di areal IUPHHKHT dengan alasan guna penyiapan lahan atau land clearing yang isinya antara lain memuat rencana penebangan dan target produksi penebangan hutan alam. Tembusan juga diberikan pada Drs Edi Suriandi, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan dan Amin Budiadi, Kepala Dinas Kehutanan Siak Edi Suriandi di Pelalawan dan Amin Budiadi di Siak lantas melakukan survei untuk mengetahui potensi tegakan kayu hutan alam di areal IUPHHKHT yang dimohonkan penilaian dan pengesahan RKT. Hasil survei berisi hutan alam di atas 5m3/ha lantas disampaikan pada terdakwa Terdakwa menerima hasil survei itu memerintahkan Fadrizal Labay, Kasubdin Pengembangan Kehutanan Dinas Kehutanan Propinsi Riau, lantas Fadrizal Labay memerintahkan Frederik Suli untuk koordinasi dengan Purna Irwansyah MM Purnama Irwansyah membuat nota dinas tentang penghitungan potensi tegakan kayu hutan alam pada areal yang dimohonkan penilaian dan pengesahan URKT UPHHKHT oleh korporasi. Isi Nota dinas menyimpulkan dalam blok RKT yang diusulkan terdapat potensi kayu hutan alam Terdakwa mengetahui IUPHHKHT yang diterbitkan Bupati Pelalawan H Tengku Azmun Jaafar dan Bupati Siak Arwin As bertentangan dengan Kepmenhut Terdakwa mengetahui URKT yang dimohonkan penilaian dan pengesahan tersebut berisi rencana penebangan kayu hutan alam yang memiliki potensi tegakan lebih dari 5m3/ha, yang seharusnya menurut Kepmenhut tidak boleh ditebang, tetap mengesahkah URKT-UPHHKHT yang diajukan oleh korporasi Atas dasar pengesahan RKT tersebut Korporasi-korporasi melakukan penebangan kayu hutan alam atau menebang melebihi tegakan kayu lebih dari 5m3/ha Atas perbuatan terdakwa mengesahkan rkt hutan alam tersebut telah memperkaya atau menguntungkan sembilan korporasi di Pelalawan senilai total Rp 410 .703.937.368, dan korporasi di Siak total Rp 193.324.468.492 Perbuatan terdakwa juga merugikan keuangan negara atau perekonomian negara total Rp 519.580.718.790
Perhatikan angka 3, 5 dan 6, terlihat jelas bahwa terdakwa sempat membaca surat tembusan, lantas memerintahkan staf untuk menganalisis, lantas staf menemukan URKT perusahaan mencakup hutan alam dan bertentangan dengan Kepmenhut, dan terdakwa menyadari dan sengaja mengetahui bahwa URKT bertentangan dengan Kepmenhut, namun tetap melanjutkan mengesahkan.
Page 42 of 61
Ringkasnya, ada unsur kesengajaan terdakwa melakukan perbuatan melawan hukum berupa melanggar keputusan Menhut, padahal salah satu kewenangan Kepala Dinas Kehutanan waktu itu tidak memberikan izin jika melanggar aturan. Bukan factor pembiaran sebagaimana pertimbangan majelis hakim. Jadi jelas perbuatan terdakwa sepantasnya Perbuatan melawan hukum, karena berdasarkan penilaian staf Dinas Kehutatanan ditemukan URKT bertentangan dengan Kepmenhut sebagaiman dalam dakwaan jaksa penuntut Umum. 3. Disparitas Putusan Hakim mengabaikan Yurisprudensi dalam perkara yang sama
Laporan penelitian Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI tahun 2010 bertajuk Kedudukan dan Relevansi Yurisprudensi untuk Mengurangi Disparitas Putusan Pengadilan menyimpulkan laporan Terjadinya disparitas putusan Hakim bukanlah disebabkan karena ketidakjelasan tentang pengertian dan pengaturan mengenai kriteria unsur “memperkaya“ dan atau “menguntungkan“ diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, akan tetapi disebabkan kurangnya sikap progresif aparat penegak hukum, khususnya Hakim (berupa komitmen, determinasi, dan keberanian) melawan korupsi yang telah merugikan keuangan negara. Semestinya demi kepentingan negara / rakyat, maka setiap aparat penegak hukum khususnya Hakim harus mencanangkan suatu perubahan sikap, dengan melakukan inovasi bahwa Hakim Indonesia adalah Hakim yang memiliki nurani (conscience of the court) dan nurani itu adalah anti korupsi. Dengan demikian putusan Hakim dalam menjatuhkan pemidanaan, senantiasa berada dalam batas minimum dan maksimum ancaman pidana, sehingga bisa dicapai suatu "keserasian dalam pertimbangan" (consonant of consideration) yang menghasilkan suatu "kesamaan dalam pemidanaan" (parity in sentence)”. Oliver Wendel Holmes, bekas Hakim Agung Amerika Serikat yang terkenal, pernah memberikan perumusan tentang hakikat hukum yang kemudian menjadi terkenal, yaitu: "hukum itu adalah apa yang menurut perkiraan orang diputuskan oleh pengadilan". Jadi menurut Holmes, hukum itu bukannya yang tercantum di dalam perundang-undangan, melainkan perkiraan orang mengenai apa yang nantinya akan diucapkan oleh Hakim dalam putusannya. Pendapat Holmes ini berharga untuk diperhatikan dalam rangka pembicaraan mengenai efektifitas peraturan hukum ini. Sebab, apa yang dikemukakan oleh Holmes itu mengandung arti, bahwa ada hubungan antara tafsiran orang mengenai apa yang merupakan hukum dengan keputusan-keputusan Hakim. Sekalipun misalnya perbuatan itu diancam dengan pidana 10 (sepuluh) tahun, akan tetapi Hakim "hanya" menjatuhkan pidana 5 (lima) bulan, maka hal ini akan mampu "membuat hukum baru di dalam pemikiran orang-orang", bahwa perbuatan atau kejahatan itu sebetulnya pidananya adalah 5 bulan. Mereka akan memperhitungkan, bahwa batas ancaman hukuman pidana 120 (seratus dupuluh) bulan itu pada akhirnya hanya dijatuhi hukuman 5 (lima) bulan saja. Dengan menambahkan masalah konsistensi dalam pelaksanaan hukum tersebut dalam hubungan dengan efektivitas peraturan hukum, maka muncul pula peranan Hakim sebagai salah satu mata rantai yang penting dalam turut membina efektifitas tersebut.
Page 43 of 61
Yurisprudensi atau putusan hakim dalam perkara yang sama, merupakan salah satu sumber hukum formal dalam hukum. Yurisprudensi yang esensi pembentukan hukumnya melalui putusan pengadilan. Di Indonesia Yurisprudensi melalui putusan pengadilan, diakui sebagai dokumen hukum, mendapat posisi terhormat sebagai salah satu sumber hukum, dijadikan dasar serta acuan pula oleh hakim-hakim lain/berikutnya dalam menangani kasus yang serupa atau sejenis. Pertimbangan putusan hakim berdasarkan yurisprudensi bahwa dalam memutus perkara untuk memberikan suatu putusan (vonis), hakim mengikuti putusan-putusan hakim terdahulu apabila menemukan dan memerlukan penanganan atas kasus yang sama dan yurisprudensi ini akan menjadi yurisprudensi tetap apabila secara terus menerus dipakai sebagai acuan oleh hakim berikutnya dalam memutus kasus yang sama (sejenis). Kekuasaan Kehakiman di Indonesia berdasarkan Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, merupakan kekuasaan merdeka menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Hakim di Indonesia menganut aliran rechtsvinding dimana hakim diberikan keleluasaan, berdasarkan Undang-Undang, untuk menyelaraskan hukum yang ada dalam UndangUndang. Hal ini untuk mencegah hukum tertinggal dari fenomena kemajuan zaman dimana delik atau peristiwa hukum yang terjadi mungkin belum diatur dalam Undang-Undang. Beberapa alasan pentingnya yurisprudensi, yaitu: o menciptakan standar hukum; o menciptakan kesatuan landasan hukum yang sama; o menciptakan kepastian hukum; o mencegah terjadinya disparitas putusan pengadilan; Dalam kasus korupsi perizinan IUPHHK dan RKT di Provinsi Riau sudah ada 5 (lima) putusan hakim berkekuatan hukum tetap. Dua Bupati, tiga Kepala Dinas Kehutanan saat ini masih dalam penjara. Kasus Korupsi Perizinan IUPHHK HT dan RKT pertama kali masuk dalam persidangan pada tahun 2008 dengan terpidana Tengku Azmun Jaafar Bupati Pelalawan hingga tahun 2012.
Page 44 of 61
Dalam putusan majelis terpidana Azmun Jaafar, Asral Rahman, Arwin AS, dan Syuhada Tasman majelis hakim menyatakan perbuatan terdakwa telah memenuhi semua unsur Pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satunya terlihat dalam pertimbangan majelis hakim: Menimbang, bahwa dengan memperhatikan uraian pengertian “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” dapat disimpulkan bahwa pengertian tersebut mengandung arti telah terjadi adanya penambahan sejumlah uang atau harta benda. Disamping itu unsur ini juga bersifat alternatif sehingga cukup dibuktikan satu saja. ……telah terpenuhi dan terbukti. (Putusan No 16/PID.B/TPK/2010/PN.JKTPST atas nama Asral Rachman, halaman 674) Menimbang bahwa unsur melakukan perbuatan memkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi ini bersifat alternatif yang artinya perbuatan dengan tujuan menguntungkan tersebut bisa ditujukan untuk diri sendiri atau untuk orang lain atau korporasi….telah terpenuhi. (Putusan No: 10/PID.SUS/2011/PN.PBR atas nama terpidana Arwin As, halaman 339) Artinya pertimbangan majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan dakwaan Primer tidak terpenhui minim argumentasi dan tidak sesuai dengan yurisprudensi dalam perkara yang sama. Pilihan “alternative” majelis hakim jauh dari semangat pemberantasan korupsi sebagaimana dalam penjelasan umum UU Tipikor…mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan Negara, tapi juga melanggar hak-hak social dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Putusan ini menunjukkan kurangnya sikap progresif aparat penegak hukum, khususnya Hakim (berupa komitmen, determinasi, dan keberanian) melawan korupsi yang telah merugikan keuangan negara. d. MAJELIS HAKIM TIDAK CERMAT MENGANALISIS TERKAIT WAKTU PENGESAHAN RKTOLEH TERDAKWA, VERIFIKASI MENHUT DAN SK PEMBARUAN MENHUT TERKATI IUPHHKHT
Majelis Hakim menyatakan pembuktian unsur “melakukan perbuatan melawan hukum” telah terpenuhi. Dengan pertimbangan; 1. URKT IUPHHKHT yang IUPHHKHT diterbitkan Bupati Pelalawan dan Siak secara substansial tidak sesuai dengan Kepmenhut No.10.1/Kpts-II/2000 jo Kepmenhut No 21/Kpts-II/2001 tentang pedoman pemberian izin UPHHKHT yaitu areal yang diberikan masih berupa hutan alam yang potensi tegakan kayunya melebihi 5 m3/ ha.
Page 45 of 61
2. Keputusan IUPHHK HT Pelalawan dan Kabupaten Siak mengandung cacat yuridis subtantif, namun IUPHHK HT tersebut masih berlaku atau belum dibatalkan pihak yang memiliki wewenang dalam hal ini Menteri Kehutanan. 3. Majelis hakim tidak sependapat dengan Ahli Ir Sugeng Widodo yang menerangkan IUPHHK HT harus dicabut Bupati jika lahan potensi tegakannya melebihi 5m3/ha atau berada di hutan alam atau melanggar Kepmenhut No 10.1/kPTS-II/2000. Karena menurut majelis hakim izin tersebut masih berlaku, terbukti sebelum pengesahan RKT oleh terdakwa izin IUPHHKHT masih berlaku. 4. Menteri telah menerbitkan Permenhut No P.03/Menhut-II/2005 tentang pedoman verifikasi izin pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dan atau pada hutan tanaman yang diterbitkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota. Dalam pelaksanaanya telah diverifikasi terhadap IUPHHKHT. 5. Dalam nota pembelaan terdakwa terungkap tahun 2003 Kemenhut telah mengeluarkan kebijakan tentang percepatan pembangunan Hutan Tanaman untuk pemenuhan Bahan Baku Industri Pulp dan Kertas dengan dikeluarkannya Kepmenhut No: SK.101/Menhut-II/2004. 6. Telah terjadi perubahan kebijakan dengan terbitnya Kepmenhut No. SK 101/Menhut-II/ 2004 tanggal 24 Maret 2004, walau tidak langsung menghapus ketentuan Kepmenhut No SK 10.1/Menhut-II/2000. Namun, Kemenhut telah membenarkan proses penyiapan lahan (land clearing) dengan melakukan penebangan huta alam. 7. IUPHHKHT belum dicabut, bahkan sebagian telah diverifikasi dan terbit pembaharuan izin oleh Menhut dan ada program jangka pendek berupa percepatan pembangunan HTI sampai 2009 membenarkan kayu hasil land clearing pada hutan alam. Maka pengesahan RKT terdakwa meski secara hukum bertentangan dengan Kepmenhut No SK 10.1/Menhut-II/2000, namun sesuai Kepmenhut No sk.101/Menhut-II/2004, perbuatan terdakwa dapat dibenarkan. 8. Walau secara normatif perbuatan terdakwa dibenarkan, pengakuan tedakwa RKT sepenuhnya dilimpahkan pada pejabat tekhnis. Terdakwa tinggal teken. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan pembiaran dilakukan terdakwa tidak mampu kontrol penebangan hutan alam. Perbuatan terdakwa dapat dikualifikasikan penyalahgunaan wewenang yang juga merupakan bagian dari perbuatan melawan hukum. Inti pertimbangan majelis hakim: 1. Perbuatan terdakwa cacat yuridis secara substantif melanggar Kepmenhut No 10.1/Menhut-II/2000. Namun majelis hakim membenarkan perbuatan terdakwa sesuai Kepmenhut No sk.101/Menhut-II/2004, dan IUPHHKHT belum dicabut Menhut malah ada pembaharuan izin Menhut. 2. Perbuatan terdakwa dapat dikualifikasi penyalahgunaan wewenang karena terdakwa melakukan pembiaran tidak mampu mengontrol penebangan hutan alam Bahwa unsur “Perbuatan Melawan Hukum” menurut pertimbangan majelis hakim telah terpenuhi, menurut kami sudah tepat. Namun, alasan Majelis hakim tidak memperhatikan secara runut waktu pengesahan RKT oleh terdakwa, Verifikasi Menhut terhadap IUPHHK HT,
Page 46 of 61
dan SK Pembaharuan dari Menhut. Majelis hakim hanya mendasari pertimbangannya pada Pledooi terdakwa. Padahal dalam pledooi terdakwa Burhanuddin Husin halaman 22-23 menerangkan salah satu dasar penilaian dan pengesahan RKT tahun 2006 oleh Terdakwa adanya surat dispensasi dari Departemen Kehutanan yang ditandatangani langsung oleh Menteri Kehutanan kepada Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau, yaitu: Surat Nomor: S.439/Menhut-VI/2006 tanggal 17 Juli 2006 yang isinya: Sehubungan dengan surat PT Riau Andalan Pul and Paper Nomor : 26/RAPP-J/V/2006 tanggal 8 Mei 2006. Pada pokoknya:
Bahwa sesuai dengan peraturan Menhut No P.03/Menhut-II/2005 jo P.05/MenhutII/2005, IUPHHK HT yang dikeluarkan oleh Bupati Pelalawan, Bupati Siak, Bupati Indragiri Hulu yang berjumlah 8 (delapan) perusahaan yakni PT Mitra Taninusa Sejati, PT Citra Sumber Sejahtera, PT Rimba Mutiara Permai, PT National Timber and Forest Product, PT Bina Daya Bintara, PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Mitra Kembang Selaras, PT Bukit Betabuh Sei Indah, sedang dalam proses verifikasi oleh Departemen Kehutanan. Sambil menunggu penyelesaian proses verifikasi dan untuk menghindari terhentinya kegiatan pembangunan HTI yang meliputi pembukaan lahan, penanaman, dan pemberian kesempatan kerja masyarakat di sekitar hutan, maka pada prinsipnya kami dapat menyetujui kepada 8 (delapan) perusahaan dimaksud, untuk diberi pelayanan administrasi berupa pengesahan Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman untuk tahun 2006. Sesuai Keputusan Menhut No 151/Kpts-II/2003 jo No SK.45/Menhut/II/2004, Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman hanya diberikan 1 (satu) kali. Berdasarkan butir 1 s/d 3 di atas, kepada 8 (delapan) perusahaan tersebut dapat diberikan pelayanan administrasi berupa BK UPHHKHT HT untuk tahun 2006.
Surat Nomor : S.554/Menhut-VI/2006 tanggal 29 Agustus 2006 yang isinya “ Sehubungan dengan surat PT Arara Abadi No 11/AA-JKT/VI/2006 tanggal 31 Mei 2006. Pada pokoknya:
Bahwa sesuai dengan peraturan Menhut No P.03/Menhut-II/2005 jo P.05/MenhutII/2005, IUPHHK HT yang dikeluarkan oleh Bupati Pelalawan, Bupati Siak, Bupati Indragiri Hulu atas nama PT Balai Kayang Mandiri, PT PT Rimba Mandau Lestari, PT Rimba Rokan Perkasa dan PT Bina Daya Bentala, sedang dalam proses verifikasi oleh Departemen Kehutanan. Sambil menunggu penyelesaian proses verifikasi dan untuk menghindari stagnasi kegiatan di lapangan yang berdampak social terutama ketenagakerjaan (PHK), dan mencegah terjadinya okupasi kawasan hutan dan illegal logging, maka pada prinsipnya kami dapat menyetujui kepada 4 (empat) perusahaan dimaksud untuk diberi pelayanan administrasi berupa pengesahan BK UPHHK HT untuk tahun 2006.
Page 47 of 61
Sesuai keputusan Menhut No 151/Kpts-II/2003 jo No SK.45/Menhut/II/2004, Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman hanya diberikan 1 (satu) kali. Berdasarkan butir 1 s/d 3 di atas, kepada 4(empat) perusahaan tersebut dapat diberikan pelayanan administrasi berupa BK UPHHKHT HT untuk tahun 2006.
Dari Pledoi di atas tergambar bahwa dua kali Menhut mengirim surat ke Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau. Surat pertama tertanggal 17 Juli 2006 dan surat kedua tertanggal 29 Agustus 2006. Inti kedua surat perihal: 1. Menhut sedang memverifikasi perusahaan 2. Kadishut memberikan layanan Administrasi berupa BK UPHHKHT untuk tahun 2006. Artinya Menhut sedang memverifikasi 12 perusahaan. Khusus untuk kasus terdakwa Burhanuddin Husin hanya ada 6 (enam) perusahaan yang masuk dalam daftar verifikasi:
Lantas, setelah Menhut melakukan verifikasi, selanjutnya Menhut menerbitkan Pembaruan izin. Khusus dalam kasus Burhanuddin Husin hanya ada 8 (delapan perusahaan) yang diberikan SK Permbaruan oleh Menhut:
Melihat dari table tanggal surat Menhut terkait verifikasi dan pembaharuan izin, terlihat bahwa Terdakwa Burhanuddin Husin Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau telah menerbitkan RKT UPHHKHT sebelum ada surat dari Menhut terkait Verifikasi dan Pembaharuan izin. Artinya RKT UPHHKHT sudah terbit sebelum adanya verifikasi dari Menhut. Hanya ada satu perusahaan yang diterbitkan terdakwa di atas bulan Juli 2006 yaitu PT National Timber Forest and Product pada tanggal 1 September 2006.
Page 48 of 61
Note: RKT yang diteken terdakwa Burhanuddin Husin Dan pembaharuan izin terbit setelah terdakwa tidak lagi menjabat sebagai Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau. Menurut keterangan terdakwa dalam Pledoinya terdakwa menjabat sebagai Kadishut Riau pada tanggal 10 Agustus 2005 sampai dengan tanggal 6 September 2006. Sementara izin Pembaharuan Menhut terbit 22 Desember 2006 hingga Mei 2007.
Artinya hakim tidak cermat dan runut memperhatikan perusahaan mana saja yang sedang diverifikasi Menhut lantas terbit pembaruan izin. e. TELAAHAN ATAS BESCHIKING SALING BERBENTURAN YAITU KEPMENHUT NO 10.1/MENHUT-II/2000 BERBENTURAN DENGAN KEPMENHUT NO SK.101/MENHUTII/2004. MANA YANG BENAR DARI SISI HUKUM ADMINSTRASI? Kebijakan dibidang kehutanan di Indonesia, jika dilihat dari konsideran dan asas yang termuat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, haruslah: 1. Memposisikan hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia; 2. Memeperlakukan hutan sebagai kekayaan yang dikuasai oleh Negara yang dapat memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia; 3. Keberadaan hutan wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang;
Page 49 of 61
4. Sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, hutan yang cenderung menurun kondisinya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat; Disamping itu, dalam perumusan kebijakan dan/atau pengelolaan kehutanan asas dan tujuan yang harus dijadikan sebagai sandaran tidak boleh terlepas dari prinsip-prinsip antara lain: manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan, serta bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan: 1. menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; 2. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; 3. meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; 4. meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan 5. menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu semua kebijakan yang dibuat yang berkaitan dengan sumber daya hutan haruslah memperhatikan dan tidak boleh menyimpang dari pokok pikiran, asas dan tujuantujuan tersebut. 1. Jenis/Kategori Produk Hukum. Kedua “Keputusan” tersebut diatas selayaknya disebut “Peraturan”, karena sifat berlakunya yang umum (lihat perubahan terminologi yang dipakai oleh UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang merubah “Keputusan Presiden” menjadi “Peraturan Presiden” sebagai salah satu bentuk jenis dan hirarki peraturan perundangan. Demikian pula UU No. 12 tahun 2011 yang menggantikan UU No. 10 tahun 2004). Sebuah keputusan (beschikking) seharusnya berupa penetapan yang bersifat individual, konkrit, dan final, yang tidak terpenuhi oleh dua Kepmenhut diatas. 2. Substansi Pengaturan. Kedua “keputusan” yang masing-masing dibuat pada masa Nur Mahmudi Ismail dan M. Prakosa sebagai Menteri Kehutanan itu juga cacat hukum dan oleh karenanya batal demi hukum (minimal ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang hutan alam) karena substansi yang diaturnya menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini terkait dengan terminologi/konsep/istilah/pengetian HUTAN ALAM yang diatur dalam dua Kepmenhut tersebut sesungguhnya tidak dikenal dalam UU Kehutanan maupun PP tentang Perlindungan Hutan. Kepmenhut No. 10.1/Kpts-II/2000 juga dalam
Page 50 of 61
ketentuan umumnya bahkan tidak memuat pengertian/penjelasan tentang HUTAN ALAM. Akan tetapi istilah tersebut tiba-tiba muncul dalam Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan: “Guna mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)4, maka usaha hutan tanaman diselenggarakan tidak pada kawasan hutan alam yang masih memungkinkan terjadinya suksesi alami, memberikan manfaat langsung bagi masyarakat setempat, serta harus mempertimbangkan pasar yang akan menyerap hasil kayunya. Sementara Pasal 3 ayat (6) ditentukan: Pada prinsipnya tidak dibenarkan melakukan penebangan hutan alam di dalam Usaha Hutan Tanaman, kecuali untuk kepentingan pembangunan sarana dan prasarana yang tidak dapat dihindari dengan luas maksimum 1 % dari seluruh luas Usaha Hutan Tanaman melalui peraturan yang berlaku. Yang lebih kontroversial adalah Kepmenhut NO: SK. 101/Menhut-II/2004, yang tiba-tiba dalam Ketentuan Umum angka 1 menegaskan: “Hutan Alam adalah suatu lapangan yang bertumbuhan pohon-pohon alami yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya”. “Legitimasi” untuk perambahan hutan alam dalam Kepmenhut kemudian ditegaskan 5 dalam Pasal 3 ayat (2) yang menyatakan: Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada hutan produksi yang telah ditetapkan sebagai areal kerja HPHT yang kondisinya berupa (terdiri dari) lahan kosong dan atau padang alang-alang dan atau semak belukar dan atau berupa areal hutan alam dengan menerapkan sistem pemanfaatan hutan tanaman lestari dan tanamannya ditujukan sebagai bahan baku industri pulp dan kertas. Istilah HUTAN ALAM sejatinya hanya ditemukan dalam penjelasan6 UU No. 41 tahun 1999 dengan redaksional sebagai berikut: A. Penjelasan Umum, Pragraf 15, kalimat terakhir: Untuk menjaga kualitas lingkungan maka di dalam pemanfaatan hutan sejauh mungkin dihindari terjadinya konversi dari hutan alam yang masih produktif menjadi hutan tanaman. B. Pasal 28 ayat (1) Par 3: Pemanfaatan hasil hutan pada hutan produksi dapat berupa usaha pemanfaatan hutan alam dan usaha pemanfaatan hutan tanaman. C. Pasal 28 ayat (1) Par 5: Usaha pemanfaatan hutan tanaman diutamakan dilaksanakan pada hutan yang tidak produktif dalam rangka mempertahankan hutan alam. D. Pasal 35 Ayat (1): Dana reboisasi adalah dana yang dipungut dari pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan. Dana tersebut digunakan hanya untuk membiayai kegiatan reboisasi dan rehabilitasi serta kegiatan pendukungnya. 4
Usaha Hutan Tanaman bertujuan untuk menghasilkan produk utama berupa hasil hutan kayu guna memenuhi kebutuhan masyarakat dan bahan baku industri perkayuan, meningkatkan kualitas lingkungan melalui kegiatan reboisasi untuk memperluas kesempatan bekerja dan berusaha bagi masyarakat khususnya masyarakat di sekitar dan atau di dalam kawasan hutan. 5 Percepatan pembangunan hutan tanaman bagi pemenuhan bahan baku industri pulp dan kertas terdiri atas kegiatan-kegiatan perencanaan, penyiapan lahan (land clearing) dan pemanfaatan kayu hasil kegiatan land clearing, pembuatan jaringan jalan, pembibitan, penanaman dan pemeliharaan tanaman. 6 Penjelasan tidak memberikan/mengandung norma hukum.
Page 51 of 61
Dilihat dari isi dan pokok pikiran yang termuat di dalam konsideran serta asas dan tujuan yang termuat dalam UU Kehutanan, maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya UU Kehutanan dan PP tentang Perlindungan Hutan tidak mengenal konsep HUTAN ALAM. Penyebutannya dalam penjelasan umum dan penjelasan Pasal 28 UU tersebut justru lebih ditekankan pada usaha mempertahankan, bukan sebaliknya. Oleh karena itu pantas dipertanyakan keberadaan kedua Kepmenhut tersebut diatas, khususnya Kepmenhut No. 101/2004, yang jelas-jelas bertentangan dengan Kepmenhut sebelumnya dan dengan semangat yang termuat dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Kiranya persoalan ini bisa pula menjadi perhatian untuk dipantau, karena apa-apa yang terjadi dihilir pasti disebabkan oleh kebijakan yang ada di hulunya. Lebih baik mengevaluasi kebijakan yang dibuat pemerintah dari pada menguraikan benang kusut yang ditimbulkannya. f. Hakim tidak cermat menyebut jumah perusahaan dan KPK sebaiknya menetapkan tersangka lainnya sebagaimana kualifikasi dalam pasal 55 ayat ke 1 ke-1 1. Hakim tidak cermat dan teliti menyebut jumlah perusahaan terkait isi pertimbangan dan pembuktian pasal 55 ayat 1 ke-1. Yaitu: a. IUPHHK HT dan RKT Pelalawan Pada halaman 547 putusan majelis hakim menyebut ada delapan perusahaan yang turut serta melakukan, yaitu:
Namun pada halaman 550 putusan majelis hakim ada enam perusahaan yang turut serta melakukan, yaitu:
b. IUPHHKHT dan RKT Kabupaten Siak
Page 52 of 61
Pada halaman 548 petikan putusan majelis hakim menyebut ada 4 perusahaan yang turut serta melakukan, yaitu:
Namun pada halaman 551 petikan putusan majelis hakim, ada enam perusahaan yang turut serta melakukan, yaitu:
Terkesan majelis hakim hanya melakukan copy paste terhadap salinan putusan terkait penyebutan jumlah perusahaan. Majelis hakim tidak cermat menyebut jumlah perusahaan, apakah yang turut serta melakukan (medeplegen): 1. Di kabupaten Pelalawan delapan perusahaan atau enam perusahaan? Faktanya menurut dakwaan jaksa penuntut umum, keterangan saksi dan keterangan terdakwa ada 8 perusahaan yang RKTnya disahkan oleh terdakwa. 2. Di Kabupaten Siak 4 perusahaan atau enam perusahaan? Faktanya menurut dakwaan jaksa penuntut umum, keterangan saksi dan keterangan terdakwa ada 4 perusahaan yang RKTnya disahkan oleh terdakwa. 2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebaiknya segera menetapkan Edi Suriandi, Amin Budyadi dan 12 perusahaan HTI sebagai tersangka Bahwa majelis hakim dalam pertimbangannya berkesimpulan kualfikasi “turut serta melakukan (medeplegen) dalam pasal 55 ayat ke-1 telah terpenuhi, menurut majelis hakim: dengan demikian dalam perkara a quo dalam mewujudkan niatnya untuk melakukan tindak pidana terkait dengan pengesahan URKT perusahaan-perusahaan yang dilayah kerjanya di Kabupaten Pelalawan dan Siak tidak beridir sendiri melainkan dilakukan secara bersamasama dengan saksi Tengku Azmun Jaafar, Saksi Edi Suriandi (Pelalawan), Saksi H Arwin As, Saksi Amin Budyadi serta perusahaan-perusahaan yang mengajukan URKT. Sejalan dengan pendapat DR Mia Amiati Iskandar, SH MH dalam bukunya berjudul Perluasan Penyertaan Dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut UNCATOC 2000 dan UNCAC 2003, pada halaman 24 dan 340 menyebut: “Karena tidaklah arif dan bijaksana suatu kejahatan yang dilakukan bersama-sama (sesame warga Negara Indonesia dan atau bersama-sama warga neraga asing)
Page 53 of 61
yang merugikan Negara dimana hanya segelintir pelaku diseret ke meja hijau dan yang harus mempertanggungjawabkannya. Hal ini akan bertentangan dengan filosofi kepastian hukum serta doktrin-doktrin ajaran mengenai perbuatan pidana, penyertaan perbuatan pidana, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana yang tidak lain bertujuan meraih kesebandingan hukum dalam penegakan hukum.” “Penerapan korporasi selain sebagai entitas binsis yang melakukan kejahatan korupsi sebenarnya memiliki dimensi tanggungjawab yang simple apabila memang penegak hukum hendak menerapkannya. Hal mana terkait dengan pembuktian adanya peristiwa pidana yang dapat menuai tanggungjawab korporasi.” Kami sependapat dengan pertimbangan majelis hakim berdasarkan fakta hukum selama proses persidangan tidak akan ada penilaian dan pengesahan RKT jika tidak diajukan URKT oleh perusahaan. Fakta hukum juga membuktikan bahwa URKT yang diajukan perusahaan memang berada di atas hutam alam. artinya perusahaan sejak awal sudah mengetahui areal HTI berada di atas hutan alam. Dan hal tersebut bertentangan dengan keputusan menteri kehutanan.
E. ANALISIS TERHADAP REKAMAN PERSIDANGAN Sidang perdana pada 11 Juni 2012. Sidang telah ditaja 20 kali: tiga kali bulan Juni (11-19- 20), tujuh kali di bulan Juli (11-17-18-23-24-30-31), empat kali di bulan September (05-12-17,24), empat kali dibulan Oktober (01-24). Total 45 saksi telah diperiksa majelis hakim: 11 saksi korporasi, 29 orang saksi PNS Dinas Kehutanan, 4 ahli dari Penuntut Umum, dan 1 ahli dari terdakwa. Dalam rekaman persidangan, semua saksi fakta yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum dan diperiksa oleh Majelis hakim tidak ada yang mencabut keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Semua saksi membenarkan isi pemeriksaan sebagaimana tercantum dalam BAP. Namun ada beberapa temuan terkait prilaku hakim, jaksa penuntut umum dan pengunjung selama proses persidangan berlangsung. Berikut beberapa temuan rekaman proses persidangan terkait prilaku hakim: a. Pelanggaran Tata Tertib Persidangan 1. Persidangan tanggal 11 Juli 2012: Dari lima saksi yang diajukan JPU, satu saksi tidak hadir dan hakim tidak menanyakan apakah saksi telah dipanggil secara sah oleh JPU. Pukul 11:20 Hakim Ketua Isnurul tertidur sekitar setengah menit. Ditengah proses pemeriksaan sidang, dari empat saksi hanya tiga yang diperiksa majelis hakim. Kemudian sidang ditunda minggu depan oleh majelis hakim, alasan majelis hakim beberapa sidang korupsi juga akan digelar, seperti korupsi terkait PON di Riau. Saksi yang tidak jadi diperiksa adalah Surakhman dan akan diperiksa pada sidang berikutnya. Ada beberapa pengunjung kelihatan duduk, saat majelis hakim memasuki ruang sidang. 2. Persidangan tanggal 17 Juli 2012:
Page 54 of 61
3.
4.
5.
6.
7. 8. 9.
10.
11. 12.
Dari lima saksi, dua saksi tidak hadir yaitu Konstan Jondir Silalahi dan Abdullah Habib. Hakim tidak menanyakan kesehatan saksi dan Hakim tidak menanyakan pada JPU terhadap saksi yang tidak hadir apakah saksi telah dipanggil secara sah oleh JPU. Pukul 10:12 hand phone salah satu pengunjung berdering mengganggu jalannya persidangan. Pukul 11:53 Hakim tegur dua pengunjung yang duduk di samping istri terdakwa karena meminum jus di ruang sidang. Persidangan tanggal 18 Juli 2012 Dari 4 saksi, I saksi tidak hadir. Hakim tidak menanyakan pada JPU terhadap saksi yang tidak hadir apakah saksi telah dipanggil secara sah oleh JPU. Pukul 13:30 handphone pengunjung berdering. Pukul 13:32, Isnurul Hakim Ketua tertidur sekitar 10 detik. Pukul 14: 35 hand phone pengunjung ada yang berdering kembali. Pukul 14:58, Hakim tegur pengunjung yang baca Koran. Persidangan tanggal 23 Juli 2012. Sidang kembali molor. Semula dijadwalkan pukul 09.00 telat hingga pukul 13.10. Sidang hanya periksa dua saksi; Edi Suriandi dan Frederik Suli karena waktu sudah pukul 17.00 dan dekat dengan buka puasa. Hakim Ketua, Isnurul, tertidur (sekitar 30 detik) sebanyak 3 kali interval pukul 13.00 hingga 13.30. Ada pengunjung tidak berdiri saat majelis hakim memasuki ruang sidang. Persidangan tanggal 24 Juli 2012 Dari tujuh saksi, satu tidak hadir. Hakim tidak menanyakan kesehatan saksi. Isnurul Hakim Ketua tertidur sebentar-sebentar (pukul 10.43, pukul 10:50). Hakim Ketua menggunakan handphone (pukul 10:45, pukul 10:48). Jaksa Andi Suharlis menggunakan HP (11.58). Persidangan tanggal 30 Juli 2012 Persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi, semula digelar pukul 09.00, mundur hingga 10.08. Sidang terlambat karena terdakwa terlambat tiba di persidangan. Pukul 11:12 handphone pengunjung berdering. Pukul 12:21 hakim menskor sidang, sidang baru dilanjutkan kembali pukul 16:07. Hakim tidak menanyakan kesehatan saksi. Hakim tidak menanyakan apakah saksi telah dipanggil secara sah oleh JPU. Persidangan tanggal 09 Agustus 2012 Isnurul Hakim Ketua tertidur pukul 10:20. Persidangan tanggal 14 Agustus 2012. Sidang yang dijadwalkan pagi, molor hingga sore. Pukul 16.05 sidang baru dimulai. Persidangan tanggal 12 September 2012 Sidang mulai pukul 13:55. Pukul 14:38, Isnurul Hakim Ketua tertidur sekitar setengah menit. Pukul 14:48 handphone pengunjung berdering. Ada pergantian majelis hakim yaitu Suryadi gantikan Rahman Silaen. Majelis hakim tidak menyebut alasan pergantian. Namun pada sidang berikutnya Rahman Silaen kembali menjadi majelis hakim. Persidangan tanggal 24 September 2012 Sidang mulai pukul 11:15. Pukul 12:09 sidang diskor sejenak karena azan zuhur. Pukul 12:15 Isnurul Hakim Ketua terpejam sekitar satu menit. Persidangan tanggal 29 September 2012 Sidang di mulai pukul 10:55, pada pukul 11:30 Hakim Ketua Isnurul tertidur. Persidangan tanggal 24 Oktober 2012 Sidang pembacaan putusan majelis hakim sesuai jadwal pukul 10.00, namun molor hingga malam hari. Sidang baru dimulai pukul 20.59. dan sidang berakhir pukul 22.30.
Page 55 of 61
Rekaman persidangan di atas bila diakumulasikan terlihat: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Ketua Majelis Hakim Isrul tertidur Handphone pengunjung berdering Pengunjung minus jus dalam persidangan Penunjung tidak berdiri saat majelis hakim memasuki ruang sidang Pengunjung baca koran selama proses sidang berlangsung Sidang sering molor atau telat dari jadwal yang sudah ditentukan Saksi tidak disumpah majelis hakim Hakim tidak menanyakan kesehatan kepada saksi Jaksa menggunakan Handphone Terdakwa telat datang ke sidang Ada pergantian anggota majelis hakim dari Krosbin Lumban Gaol ke Suryadi Sidang pembacaan putusan digelar malam hari yang sesuai jadwal harusnya digelar pagi hari
Majelis hakim terlihat tegas menegur pengunjung saat pengunjung sedang membaca Koran, minum jus dan handphone berdering selama proses persidangan. Ini harus diapresiasi terkait ketegasan majelis hakim terhadap pengunjung yang tidak mematuhi etika. Meski tegas terhadap pengunjung, majelis hakim membiarkan jaksa penuntut umum memainkan handphone saat sidang berlangsung. Selain itu, Ketua Majelis Hakim Isnurul sering tertidur selama sidang berlangsung dalam rentang waktu detik dan menit. Majelis hakim dan jaksa penuntut umum yang melanggar kode etik dibiarkan saja oleh majelis hakim lainnya. Ketentuan mengenai tata tertib persidangan dapat dilihat dalam Pasal 217 dan Pasal 218 KUHAP beserta penjelasannya. Dalam penjelasan Pasal 218 disebutkan kewajiban pengunjung sidang, yaitu “... setiap orang wajib menghormati martabat lembaga ini, khususnya bagi mereka yang berada di ruang sidang sewaktu persidangan sedang berlangsung bersikap hormat secara wajar dan sopan serta tingkah laku yang tidak menyebabkan kegaduhan atau terhalangnya persidangan.” Untuk menjaga ketertiban ruang sidang, hakim ketua sidang wajib memelihara tata tertib di persidangan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 217 ayat (1) KUHAP. b. Hakim tidak cermat dan teliti menyebut jumlah perusahaan terkait isi pertimbangan dan pembuktian pasal 55 ayat 1 ke-1. Dalam Rekaman terlihat saat anggota majelis hakim Krosbin Lumban Gaol membacakan pertimbangan Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHAP terkait penyertaa: 1. IUPHHK HT dan RKT Pelalawan Pada menit rekaman ke 1;21;22 hakim menyebut delapan perusahaan. Namun pada rekaman menit ke 1;28;47 terhadap enam perusahaan. Berdasarkan putusan tertulis halaman 547 putusan majelis hakim juga menyebut hal yang sama ada delapan perusahaan yang turut serta melakukan, yaitu:
Page 56 of 61
Namun pada halaman 550 putusan majelis hakim ada enam perusahaan yang turut serta melakukan, yaitu:
2. IUPHHKHT dan RKT Kabupaten Siak Pada rekaman ke menit 1;29;07 hakim menyebut empat perusahaan. Namun pada rekaman menit ke 1;30;24 terhadap enam perusahaan. Berdasarkan putusan tertulis halaman 548 petikan putusan majelis hakim menyebut ada 4 perusahaan yang turut serta melakukan, yaitu:
Namun pada halaman 551 petikan putusan majelis hakim, ada enam perusahaan yang turut serta melakukan, yaitu:
Page 57 of 61
Majelis hakim seharusnya teilit dan cermat dalam penyebutan fakta. Hal tersebut tegaskan disebutkan dalam Pasal 182 KUHAP ayat ke (4) berbunyi: Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Selama proses persidangan keterangan saksi, keterangan terdakwa, dakwaan dan tuntutan jelas menyebut ada delapan perusahaan di Kabupaten Pelalawan dan ada empat perusahaan di Kabupaten Siak. Pasal 197 juga tegaskan menyebutkan terkait fakta. Pasal 197 ayat ke (1) huruf d berbunyi: Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. Terkesan majelis hakim hanya melakukan copy paste terhadap salinan putusan terkait penyebutan jumlah perusahaan. Majelis hakim tidak cermat menyebut jumlah perusahaan, apakah yang turut serta melakukan (medeplegen): 3. Di kabupaten Pelalawan delapan perusahaan atau enam perusahaan? Faktanya menurut dakwaan jaksa penuntut umum, keterangan saksi dan keterangan terdakwa ada 8 perusahaan yang RKTnya disahkan oleh terdakwa. 4. Di Kabupaten Siak 4 perusahaan atau enam perusahaan? Faktanya menurut dakwaan jaksa penuntut umum, keterangan saksi dan keterangan terdakwa ada 4 perusahaan yang RKTnya disahkan oleh terdakwa.
F. CATATAN/KRITIK TERHADAP KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERKAITAN DENGAN KASUS YANG DIEKSAMINASI Majelis eksaminasi menemukan sejumlah kelemahan atau kritikan terhadap aturan yang berkaitan dengan korupsi perizinan sektor kehutanan: a. Perlu revisi atau perbaikan Pasal 2 dan 3 UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. a. Ini terlihat pada pidana penjara Pasal 2 ayat paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 20 tahun, denda paling sedikit Rp 200 juta, paling banyak Rp 1 Milyar. Dan pidana penjara Pasal 3 paling singkat 1 (satu) tahun, paling lama 20 tahun, denda paling sedikit Rp 50 juta, paling banyak Rp 1 Miliar. Pidana penjara minimum 1 (satu) tahun dalam pasal 3 tidak mencerminkan semangat bahwa korupsi kejahatan extraordinary crime. Celah ini bisa digunakan hakim untuk membebaskan atau meringankan terdakwa. b. Tafsir “perbuatan melawan hukum” dan “penyalahgunaan wewenang”. Tafsir ini masih didebatkan oleh majelis hakim dalam perkara ini. Majelis hakim berpikiran, jika yang melakukan tindak pidana korupsi, maka pasal 3 adalah pasal yang tepat untuk menjerat terdakwa. Padahal pasal 3 bukan saja bisa dikenakan untuk pejabat Negara, namun setiap orang.
Page 58 of 61
b. Beschiking Kemenhut terkait pemanfaatan hutan alam saling berbenturan dengan pemanfaatan hutan tanaman. Hutan tanaman tidak boleh di areal hutan alam, sisi lain hutan alam bisa untuk areal hutan tanaman. Ini menimbulkan multitafsir. Akibatnya, meski RKT perusahaan illegal, karena ada kebijakan kepmenhut RKT tersebut bisa legal kembali, itu terlihat dari verifikasi legalitas yang dilakukan oleh Kepmenhut. Salah satunya, Kepmenhut No. 101/2004, yang jelas-jelas bertentangan dengan Kepmenhut sebelumnya dan dengan semangat yang termuat dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.
Page 59 of 61
BAGIAN PENUTUP A. KESIMPULAN Hasil analisa dan temuan bedah kasus putusan majelis hakim terkati korupsi perizinan RKT sector kehutanan, bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Jaksa Penuntut Umum tidak konsisten dalam merumuskan dakwaan dan tuntutan. Keraguan tersebut terlihat dari strategi Jaksa Penuntut Umum menerapkan dakwaan dengan menggunakan dakwaan subsidiaritas. Namun, dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum membuktikan terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana tertera dalam dakwaan primer. 2. Jaksa Penuntut Umum sebaiknya menggunakan penghitungan kerugian Negara dengan pendekatan penghitungan Ekologis-Ekonomis, sebab RKT yang diterbitkan terdakwa bertentangan dengan sejumlah kepmenhut. Estimasi Total kerugian Perusakan Ekologis akibat di areal RKT yang bertentangan dengan hukum : Rp.687,015,791,990,000 atau setidaknya Rp 687 Triliun. Bandingkan dengan penghitungan PSDH DR yang dilakukan oleh BPKP total Rp 519.580.718.790 atau setidaknya hanya Rp 519 miliar. Setidaknya dengan Jaksa Penuntut Umum melakukan penghitungan kerugian Negara di sector Ekologis-Ekonomis, bisa mempengaruhi keyakinan majelis hakim agar menghukum terdakwa lebih berat. Ini juga untuk memberi rasa keadilan bagi hutan yang sudah rusak akibat perbuatan terdakwa. Sebab memulihkan hutan yang telah rusak butuh waktu ratusan tahun. 3. Majelis hakim tidak cermat menganalisis terkait waktu pengesahan RKT oleh terdakwa, verifikasi Menhut dan SK Pembaharuan terkait IUPHHK HT. 4. Pertimbangan majelis hakim terkait “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” dan “dengan tujuang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi” saling kontradiksi. Terlihat dalam pertimbangan majelis hakim. Majelis hakim memilih dakwaan subsider karena terdakwa meskipun tidak menguntungkan diri sendiri, namun terbukti menguntungkan korporasi. Dan majelis hakim menolak dakwaan primer karena terdakwa tidak terbukti memperkaya diri sendiri, namun terbukti memperkaya korporasi. 5. Terjadi disparitas putusan majelis hakim dengan perkara terpidana yang sama yaitu terpidana Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau Asral Rahman (5 tahun penjara) periode 2003-2004 dan terpidana Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau Syuhada Tasman (4 tahun penjara) periode 2004-2005. Dua putusan ini majelis hakim menjatuhkan hukuman pasal 2 UU Tipikor. Namun, dalam putusan terpidana Burhanuddin Husin majelis hakim menerapkan pasal 3 UU Tipikor. Artinya vonis majelis hakim lebih rendah dibanding vonis dalam kasus yang sejenis. 6. Putusan Majelis hakim tidak sejalan dengan filosophy yang termuat dalam konsideran UU Tipikor serta rasa keadilan masyarakat. Meski majelis hakim menghukum terdakwa dengan pasal 3 UU Tipikor , secara normative hukumannya 2 tahun 6 bulan dimungkinkan karena ancaman 1 tahun, bila dihubungkan dengan rasa keadilan masyarakat sangat tidak adil karena berhubungan kasus kerusakan kehutanan dan tidak adil dengan para terpidana lain pada kasus yang sama. 7. Bahwa ada tersangka lain dalam yang sebaiknya ditetapkan tersangka oleh KPK
B. REKOMENDASI Rekomendasi hasil analisa, temuan dan kesimpulan tersebut di atas sebagai berikut:
Page 60 of 61
1. Mahkah Agung supaya membuat kebijakan melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) terkait: a. Penjatuhan pidana korupsi terkait kehutanan dengan menerapkan hukuman minimal yang dijatuhkan sepertiga dari ancaman hukuman maksimal b. Penghitungan ancaman maksimal tersebut harus berbentuk kumulasi dengan ancaman yang ada dalam undang-undang terkait (UU Tipikor dan Kehutanan) 2. Hukuman lebih diperberat terkait korupsi sector kehutanan tidak hanya sekedar merugikan keuangan Negara (korupsi perpajakan atau pengadaan barang dan jasa), tapi juga pasti menyebabkan: a. Hilangnya sumber kehidupan untuk generasi sekarang dan yang akan datang, karena pemulihan kerusakan alam butuh waktu 350 tahun b. Merusak ekosistem dan keseimbangan alam c. Menafikan adanya hak asasi makhluk hidup c. Perlu pemantapan kualitas Jaksa Penuntut Umum dan Hakim d. Jaksa Penuntut Umum menggunakan penghitungan kerugian Negara korupsi perizinanan sector kehutanan dengan pendekatan penghitungan kerugian Ekologis-Ekonomis. e. Hakim dan Jaksa yang memeriksa kasus Burhanuddin Husin kiranya diperiksa oleh institusi yang berwenang. f. Desakan agar Korporasi dan PNS yang terlibat dalam kasus korupsi terpidana Burhanuddin Husin diproses secara hukum oleh KPK. g. Seluruh pengesahan RKT dalam kasus terpidana Burhanuddin Husin batal demi hukum dan mesti dicabut oleh Kementerian Kehutanan h. Perlu pemantauan korupsi kehutanan di Propinsi Riau secara berkelanjutan
i.
KPK sebaiknya segera menetapkan tersangka lainnya yaitu Amin Budyadi, Edi Suriandi dan 12 perusahaan HTI.
Page 61 of 61