ANOTASI HUKUM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI NEGARA NO. 29/PID.Sus/ 2011/PN.NGR ATAS NAMA TERDAKWA Prof.Dr. drg. I GEDE WINASA Oleh : Abdul Fickar Hadjar, SH., MH I. KASUS POSISI Terdakwa Prof.DR.drg. I GEDE WINASA pada waktu-waktu setidaknya antara tahun 2004 s/d 2008 secara melawan hukum melakukan / telah menyalahgunakan kewenangannya selaku Bupati Jembrana, meng “acc” (menyetujui) permohoan panjar, menyetujui dan menandatangani Kontrak Perjanjian dan permohonan dana yang diajukan Kepala Dinas PULH & Dirut Perusda, dan menyetujui penunjukan langsung yang tidak sesuai peruntukannya sesuai KEPPRES No. 80 Tahun 2003 dan perubahannya, sehingga jumlah seluruh pembayaran “pengadaan mesin pengolah sampah organik” yang melebihi nilai/harga dalam kontrak dan mengakibatkan negara ic Pemda Jembrana dirugikansejumlah Rp.2.029.455.626,038,Terdakwa Prof.DR.drg. I GEDE WINASA pada waktu-waktu setidaknya antara tahun 2004 s/d 2008 selaku penyelenggara negara Bupati Kabupaten Jembrana, telah menerima hadiah dari Kayuzuki Tsurumi sejumlah Rp.1.040.598.000,- padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenagan yang berhubungan dengan jabatannya sebagai Bupati Jembrana, sehingga tampak itikad tidak baik Kayuzuki Tsurumi untuk memark up / menggelembungkan harga mesin pengolah sampah menjadi Rp.3.930.687.635,padahal harga riil Rp.1.901.223.008,62,- , sehingga Kayuzuki Tsurumi mendapat lkeuntungan sejumlah Rp.2.029.455.626,038,II. Tentang Dakwaan A. Konstruksi Dakwaan Terdakwa dalam perkara ini didakwa dengan dakwaan yang bersifat subsideritas (primairsubsidiair): Primair: Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP. Subsidiair: Pasal 3 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Psl 64 ayat (1) KUHP. Lebih Subsidiair: Pasal 11 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Jika diperhatikan secara cermat, dakwaan disusun secara subsidair, dari ketiga dakwaan tersebut tindak pidana yang didakwakan Penuntut Umum seluruhnya merupakan tindak pidana korupsi. Pada kasus ini merupakan dugaan tindak pidana yang terjadi berkenaan dengan tindakan-tindakan dan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh terdakwa selaku Bupati Jembrana.
Menurut hemat kami, penggunaan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi pada Dakwaan Kesatu Primer adalah berlebihan (redundent). Karena bagaimanapun tindakan meng “acc” (menyetujui) permohoan panjar, menyetujui dan menandatangani Kontrak Perjanjian dan permohonan dana yang diajukan Kepala Dinas PULH & Dirut Perusda, dan menyetujui penunjukan langsung yang tidak sesuai peruntukannya sesuai KEPPRES No. 80 Tahun 2003 dan perubahannya di Kabupaten Jembrana, hanya dapat dilakukan oleh TERDAKWA sebagai BUPATI JEMBRANA ataupun penyelenggara negara atau pejabat pegawai negeri lainnya dilingkungan Pemda Jembrana. Oleh karenanya lebih tepat dikualifisir sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang jabatan publik (Vide Pasal 3 joPasl 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001). Menebar jaring dalam memerangkap ikan besar adalah hal yang wajib dilakukan, namun harus dipikirkan pada masa yang akan datang apakah pengunaan pasal yang belebihan dalam dakwaan tidak justru mengurangi kredibilitas dakwaan itu sendiri. B. Uraian mengenai “tindak pidana” dalam Dakwaan Dalam Pasal 143 ayat (1) huruf b KUHAP ditentukan bahwa, dakwaan memuat “uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan”. Apabila Surat Dakwaan dalam perkara ini dicermati, maka ada dua rumusan tindak pidana yang dijadikan pangkal tolak dakwaan. Dalam Dakwaan Primair menggunakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Sedangkan dalam Dakwaan Subsidiair menggunakan pangkal tolak Pasal 3 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Dalam kedua rumusan delik tersebut, terdapat perbedaan yang sangat fundamental. Terutama berkenaan dengan adanya unsur “melawan hukum” dalam Pasal 2 ayat (1), dan adanya unsur “menyalahgunakan kewenangan, sarana dan kesempatan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 3 Undang-Undang Korupsi. Kedua unsur ini menyebabkan “uraian tindak pidana” yang ada dalam dakwaan seharusnya berbeda satu sama lain. Namun demikian, dalam Surat Dakwaan perkara ini tidak terdapat perbedaan yang prinsipiel berkenaan uraian perbuatannya antara dakwaan-dakwaan tersebut. Padahal seharusnya karena “melawan hukum” berbeda dengan “penyalahgunaan kewenangan” maka “uraian perbuatan” berkenaan unsur tersebut juga sangat berbeda. Dalam semua dakwaan (Dakwaan Primair dari hal 3 s/d hal 19, Dakwaan Subsidair hal 19 s/d hal 34) tersebut memuat uraian yang sama persis kalimat dan hurufnya (copy paste), hanya ada perbedaan satu kalimat pada Dakwaan Subsidair halaman 26, yang isinya sebagai berikut: “TERDAKWA selaku Bupati Jembrana telah menyalahgunakan kewenangannya, kesempatan atau sarana yang ada pada Terdakwa yang telah mengetahui perjanjian-perjanjian yang dibuat fiktif oleh Drs. I NYOMAN SURYADI selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Lingkungan Hidup (Kadis PULH) Pemerintah Kabupaten Jembrana (selaku pengguna anggaran) dan I NYOMAN GEDE SADGUNA, ST selaku Kepala Seksi Pengawasan dan Pengkajian Instrumen Lingkungan Dinas PULH Kabupaten Jembrana (selaku Pimpro) dan Dirut Perusda I GUSTI
KTUT MULYARTHA, Spi serta menyetujui dan meng acc terhadap permohonan dana panjar an hibah untuk membayar tagihan sesuai Payment Request dari Yuasa Sanghyo Co. Ltd Jepang yang dilakukan secara berlanjut.”
“Uraian” sebagaimana dikemukakan di atas merupakan salah satu uraian yang menurut hemat kami merupakan hal yang diarahkan pada penggambaran baik unsur “melawan hukum” maupun “penyalahgunaan kewenangan” dalam dakwaan-dakwaan tersebut. Cara penyusunan dakwaan seperti ini membuat “dakwaan kabur” (obscuur libel) karena tidak menguraikan perbuatan tentang tindak pidana yang didakwaan secara jelas dan tepat. C. Pengunaan Pasal 64 ayat (1) KUHP dalam Dakwaan Primair, Dakwaan Subsidair dan Dakwaan Lebih Subsidiair. Bahwa baik dalam Dakwaan Primiar, Dakwaan Subsidair maupun Dakwaan Lebih Subsidiair dicantumkan Pasal 64 ayat (1) KUHP. Pasal 64 ayat (1) KUHP menentukan: “Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”. Menurut hemat kami, dalam perbuatan berlanjut (voortgezette handeling) pada dasarnya ada beberapa “tindak pidana” yang satu sama lain saling berhubungan sehingga dipandang sebagai “satu” tindak pidana yang terjadi secara berlajut. Untuk dapat dikatakan ada “perbuatan berlanjut” beberapa tindak pidana tersebut harus terjadi karena satu keputusan kehendak, waktu antara perbuatan yang satu dan yang lain tidak boleh lama, dan perbuatan-perbuatan tersebut sama atau sama jenisnya. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan tersebut merupakan beberapa tindak pidana yang dilakukan dengan tempus dan locus delicti sendiri-sendiri, tetapi karena lahir dari satu keputusan kehendak dipandang sebagai “perbuatan berlanjut” Dalam dakwaan, Terdakwa didakwa sehubungan dengan tindakan meng “acc” (menyetujui) permohoan panjar, menyetujui dan menandatangani Kontrak Perjanjian dan permohonan dana yang diajukan Kepala Dinas PULH & Dirut Perusda, dan menyetujui penunjukan langsung yang tidak sesuai peruntukannya sesuai KEPPRES No. 80 Tahun 2003 dan perubahannya di Kabupaten Jembrana dalam pengadaan mesin pengolah sampah organik yang melebihi nilai/harga dalam kontrak dan mengakibatkan negara ic Pemda Jembrana dirugikan sejumlah Rp.2.029.455.626,038,-. Memang untuk sampai pada pada keputusan pengadaan mesin pengolah sampah organik yang melebihi nilai/harga dalam kontrak dan mengakibatkan kerugian negara ic Pemda Jembrana tersebut, Terdakwa melakukan serangkaian perbuatan yang oleh Penuntut Umum dikualifisir sebagai “melawan hukum”. Namun demikian, masing-masing perbuatan tersebut “bukan perbuatan final yang telah berdiri sendiri-sendiri”. Berdasarkan hal ini maka sebenarnya konstruksi dakwaan yang men-juncto-kan Pasal 64 ayat (1) KUHP tidak akan dapat dibuktikan Penuntut Umum, karena sebenarnya perbuatan yang dilakukan terdakwa hanya satu tindak pidana. Dilihat dari segi pemidanaan, sebenarnya hampir tidak ada perbedaan apakah perbuatan Terdakwa dipandang sebagai delik tunggal, ataupun dipandang sebagai gabungan delik (samenloop), terutama dalam hal “perbuatan berlanjut” (voortgezette handeling). Mengingat hanya dijatuhkan satu pidana, yang jika berbeda-berbeda diterapkan ancaman pidana yang paling berat (absobsi dipertajam). Oleh karena itu, konstruksi dakwaan perkara ini yang mengunakan
ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP, hanya akan menyulitkan dari segi pembuktian, dan tidak mempunyai dampak yang signifikan terhadap pemidanaannya. III.
PUTUSAN HAKIM A. Putusan Majelis Hakim Majelis Hakim berkesimpulan: (1) dakwaan terrhadap Terdakwa Prof.DR.drg. I GEDE WINASA selaku Bupati Jembrana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan baik Dakwaan Primair, Dakwaan Subsidair dan DakwaanSubsidair lagi ;. (2) Membebaskan Terdakwa Prof.DR.drg. I GEDE WINASA dari seluruh dakwaan yang didakwakan; (3) Memulihakan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya; (4) Memerintahkan membebaskan Terdakwa dari tahanan; Argumen pertimbangannya : - Terdakwa tidak “melawan hukum”, karena ternyata ; tindakan TERDAKWA meng “acc” (menyetujui) permohoan panjar, menyetujui dan menandatangani Kontrak Perjanjian dan permohonan dana yang diajukan Kepala Dinas PULH & Dirut Perusda, dan menyetujui penunjukan langsung yang tidak sesuai peruntukannya sesuai KEPPRES No. 80 Tahun 2003 dan perubahannya di Kabupaten Jembrana dalam pengadaan mesin pengolah sampah organik adalah beralasan hukum sebagai bentuk kontrol administrasi atas dasar kedudukan sebagai Kepala Daerah yang mempunyai kewenangan sebagai pemegang kekuasaan umum pengelola keuangan;
IV.
-
Tindakan Terdakwa “tidak bertujuan menguntungkan diri sendiri”, karena tidak terbukti unsur melawan hukum, interprestasi secara a contrario maka tidak ada kerugian negara pada perbuatan Terdakwa atas pelaksanaan program APBD Kabupaten Jembrana tersebut;
-
Terdakwa sebagai Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara tidak terbukti “menerima hadiah atau janji”, karena aliran dana kepada Terdakwa dari Kazuyuki Tsurumi bukanlah bagian dari gratifikasi, melainkan didasarkan atas perjanjian hutang piutang yang merupakan tindakan keperdataan Terdakwa selaku pribadi yang dilindungi undang-undang
Tentang PERTIMBANGAN HUKUM PUTUSAN 1. Pertimbangan Hukum tentang Unsur “Melawan Hukum” Pada halaman 253 Majelis Hakim perkara ini memberi pertimbangan hukum dalam mengartikan unsur “melawan hukum” sebagai berikut: Menimbang, bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut Majelis Hakim terlebih dahulu akan menguraikan pengertian melawan hukum sebagaimana juga diuraikan Tim Penuntut Umum dengan merujuk pendapat-pendapat ahli hukum pidana diantaranya berpendapat bawa: melakukan tindak pidana berarti melakukan suatu tindakan yangf memenuhi rumusan delik yang bersifat melawan hukum dan dapat diperhitungkan pada pelaku. Hal ini bersesuaian
dengan azas hukum pidana yang pada pokoknya adalah untuk mencari ebenaran materiil atau kebenaran sejati (materiel waarheid) hal mana sesuai dengan Yurisprodensi No. 72/K/Kr/1970 tangal 27-5-1972, yang menggariskan ....dst. Selanjutnya terhadap tujuan pokok mencari kebenaran materiil tentu tidak lepas dari kebenaran hukum pidana sebagai hukum publik yang lebih mengedepankan kepentingan masyarakat luas DKL kepentingan publik dalam kepastian hukumnya adalah menjadi prioritas dalam penegakannya . Hal mana sesuai Yurisprodensi MARI No. 42/K/Kr/1965 tangal 8-1-1966 yang pada pokoknya...dst., sehingga tidak jauh berbeda dengan penjelasan UU RI No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU RI No. 20 tahun 2001 juga memberikan batasan tentang pengertian sifat melawan hukum dalam pengertian formil maupun materiil, dimana walaupun menurut ketentuan formil tidak dlarang, namun jika nilai kepatutan dalam masyarakat terlanggar makatelah termasuk dalam sifat melawan hukum dalam dakwaan ini; Menurut hemat kami, dalam memberi pengertian terhadap unsur “melawan hukum” Majelis Hakim perkara ini mengikuti ajaran melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif. Praktek peradilan memang menunjukkan adanya pergeseran paradigma ketika memberi arti tentang unsur “dengan melawan hukum”. Mulanya melawan hukum diartikan secara formiel (bertentangan dengan perundang-undangan) tetapi kemudian bergeser kearah materil, yaitu juga bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Selanjutnya, melawan hukum materil juga diartikan pada pengertian dalam fungsinya yang positif, yaitu melawan hukum dalam arti sekalipun tidak bertentangan dengan perundangundangan (melawan hukum formiel), tetapi sepanjang perbuatan Terdakwa adalah “tindakantindakan yang bersifat perbuatan tercela, tidak sesuai dengan rasa keadilan, bertentangan dengan kewajiban hukum pelakunya, bertentangan dengan kesusilaan, atau bertentangan suatu kepatutan”, sudah dapat dikatakan melawan hukum (melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif). Di sisi lain dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, khususnya kalimat yang menjadi dasar pemberlakuan ajaran melawan hukum materiel dalam fungsinya yang positif, telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum. Namun perlu diingat dalam sistem hukum Indonesia, selalu menjadi keyakinan bahwa “hukum” tidak selalu identik dengan “undang-undang”. Suatu ‘aturan undangundang’ dapat kehilangan kekuatan mengikatnya sehingga tidak dapat dikatakan sebagai ‘aturan hukum’, termasuk jika hal itu oleh Putusan Mahkamah Konstitusi dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Demikian pula hanya, apabila suatu “aturan undang-undang” yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan hukum pidana. Ajaran melawan hukum materiel hanya dapat diterapkan dalam fungsinya yang negatif, dan tidak dapat diterapkan dalam fungsinya yang positif. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 2 UndangUndang No. 31 tahun 1999 bertentangan dengan ilmu pengetahuan hukum pidana, sehingga cukup alasan praktek peradilan untuk menyatakan ketentuan tersebut bukan sebagai “aturan hukum yang mengikat”.
Kembali kepada kasus ini, tampaknya dalam mempertimbangkan terbukti tidaknya unsur “melawan hukum” Majelis Hakim perkara ini justru menerapkan melawan hukum formil. Dalam hal ini ternyata dari pertimbangan hukumnya, sebagai berikut: Halaman 279 : Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan diatas yang pada pokoknya terhadap perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa meliputi tanda “acc” (menyetujui) permohoan panjar, tanda” mengetahui”pada Surat Perjanjian (Kontrak) kegiatan adalah dipandang beralasan dan berdasarkan hukum serta bertujuan untuksampai dan terealisasinya tahapan akhir pekerjaan memberikan cukup alasan bagi Majelis Hakim untuk menilai dan berpendapat perbuatan yang dilakukan TERDAKWA sebagai dipertimbangkan diatas adalah beralasan hukum sebagai bentuk kontrol administrasi atas dasar kedudukan sebagai Kepala Daerah yang mempunyai kewenangan sebagai Pemegang Kekuasaan Umum Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) PP No. 105 Tahun 2002 tentangPengelolaan dan Pertanggung Jawaban Keuangan Daerah...dst........ Halaman 280: Menimbang, bahwa berdasarkan fakta persidangan permohonan penunjukan langsung untuk pengadaan mesin pengolah sampah yang berkaitan dengan mekanisme pengadaan Barang dan Jasa oleh Instansi Pemerintahsebagaimana KepresNo. 80 tahun 2003 adalah diajukan oleh Kepala Dinas PULH kepada TERDAKWA dengan mengemukakan alasan-alasannya tertentu. Bahwa setelah Majelis Hakim mencermati isi Perjanjian Kerja (Kontrak) No. 04/K/PP.KOM/X/2006 (pihakertama) /58/PB/X/2006 (pihak Kedua) tertanggal 10 Oktober 2006 tentang Pengadaan Mesin Pengolah Sampah Organik antara PPTK Dinas PULH Kab. Jembrana dengan CV. PURI BENING, Mnajelis Hakim berpendapat bahwa persetujuan TERDAKWA selaku Bupati Jembrana (Pemerintah) atas penggunaan metode “penunjukan langsung” dalam pemilihan penyediaan barang pada kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 17 ayat (3) Kepres No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya ...dst...... Halaman 301 Menimbang, bahwa dengan tetap memperhatikan posisi dan sudut pandang berbeda baik dari JPU maupun Terdakwa & Phnya yang kesemuanya harus diyakini mengarah pada tujuan yang sama yaitu mencari ebenaran materiil, maka pada akhirnya Majelis Hakim dengan mendasarkan kepada uraian pertimbangan diatas dimana unsur “secara melawan hukum” tidak terpenuhi dalam perbuatan yang didakwakan kepada diri TERDAKWA yang juga meliputi unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” , walaupun tampak adanya aliran dana yang ditransfer ke rekening TERDAKWA (a/n I GEDE WINASA) Rek BCA Cab Negara No. 2360231993 sebesar Rp.853.098.000,....dst.............................................................................................................. namun apakah dapat menyebabkan perubahan pertambahan kekayaan atau cukup menambah kekayaan TERDAKWA atau orang lain atau korporasi, belum ada fakta persidangan yang menerangkan mengenai hal tsb., maka dengan tanpa mempertimbangkan unsur-unsur selebihnya telah cukup memberikan alasan bagi Majelis Hakim untuk berpendapat sependapat dengan JPU maupun TERDAKWA bahwa dakwaan Primair tidak terbukti.
Pertimbangan ini menunjukkan Majelis Hakim memandang melawan hukum semata-mata apabila perbuatan bertentangan dengan perundang-undangan, yaitu PP No. 105 Tahun 2002 tentangPengelolaan dan Pertanggung Jawaban Keuangan Daerah dan Kepres No. 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya, , dan sama sekali dalam pertimbanganya tidak ternyata bahwa pandanganya tentang pengertian unsur “melawan hukum” (materiil) sebagaimana telah dikemukakannya dalam pertimbangan sebelumnya. Karenanya menurut kami, telah terjadi inkonsistensi dalam pertimbangan hukumnya. Penegasian (pengingkaran) Keterangan Ahli BPKP Sifat inkonsistensi pertimbangan hukum Majelsi hakim ini juga diperkuat dengan penegasian (pengingkaran) terhadap keterangan Ahli RETE MARTINUS dari Perwakilan BPKP Propinsi BALI, yang mempunyai kewenangan mengaudit ada tidaknya kerugian negara dalam kasus aquo. Beberapa fakta hukum yang terungkap dipersidangan yangdikemukakan Ahli sebagai berikut (putusan Halaman 133 s/d halaman 138), yaitu fakta adanya kelemahan-kelemahan dalam proses pengadaan mesin pengolahan sampah organik di Kabupaten Jembrana, sebagai berikut: 1. Kelemahan pada pembuatan kontrak pengadaan mesin antara Perusda dengan PT. Yuasa Sangyo, yaitu : Ketidak jelasan mesin seperti apa yang akan diadakan, tidak jelas spesifikasinya, dan tidak jelas kapasitasnya, tidak jelas termin pembayarannya, tidakjelas jangka waktu pelaksanan pekerjaan, tidak jelas kapan penyerahannya, tidak diatur jaminan teknis hasil pekerjaan, tidak jelas ketentuan kelaikannya, tidak diatur sangsi apabila wanprestasi, tidak jelas jika terjadi kegagalan, tidak jelas tentang perlindungan tenaga kerja, tidak jelas taturan tentang tanggung jawab terhadap lingkungan tidak sesuai dengan ketentuan Kepres 80 Tahun 2003; 2. Mesin yang dipasang sesungguhnya dikerjakan oleh PT. Sankyu Indonesia yang melakukan perjanjian dengan PT. Yuasa Sangyo, dengan kewajiban PT. Sankyu Indonesia untuk menambah beberapa unsur komponen mesin lokal (indonesia) dalam pemasangan mesin, selain itu juga unsur komponen lokal dikerjakan oleh PT. Sanshine Jepang; 3.
Dari dokumen-dokumen kontrak mereka (PT. Yuasa Sangyo, PT. Sankyu Indonesia dan PT. Sanshine Jepang) harga mesin sebenarnya sampai terpasang dan siap beroperasi adalah Rp.1.901.233.008,62 (satu milyar sembilan ratus satu juta dua ratus tigapuluhtiga ribu delapan rupiah enampuluh dua sen);
4. Dari pengembangan audit ditemukan pembayaran Perusda kepada PT. Yuasa Sangyo sejumlah Rp.3.930.678.635,- atau equivalen Y 51.154.253, padahal Nilai Kontrak hanya Y 43.016.546,Perbedaan ini BUKAN selisih Kurs; 5. Selisih kelebihan pembayaran ditemukan Rp.2.029.455.626,38 (Rp.3.930.678.635,- dikurangi Rp.1.901.233.008,62);
6.
Ada Nota Bupati Jembrana yang menyetujui pembayaran kepada PT.Yuasa Sangyo melalui APBD adalah penyimpangan;
7.
Penyimpangan itu ditutupi dengan KontrakPengadaan antara Dinas PULH dengan CV Puri Bening, tetapi kenyataannya CV Puri Bening tidak mendapatkan pembayaran, karena pembayarannya diberikan kepada PT. Yuasa Sangyo;
8. Ada ditemukan dokumen yang membayarkan sejumlah Rp.2,3 milyar kepada PT. Yuasa Sangyo, dimana Kazuyuki Tsurumi (PT. Yuasa Sangyo) memerintahkan untuk mentransfer Rp.800.000.000,- ke Rekening TERDAKWA dan Rp.1,4 milyar ke rekening lain; 9. Meskipun sistem mengatur Bupati sebagaipemegang kebijakan pengelilaan keuangan daerah, tetapi dalampelaksanaan dana APBD yang sudah diberikan kepada SKPD, maka pengguna anggrannya ada di SKPD selaku pengelola anggaran; - Seharusnya jiak Perusda ingin mengadakan mesin pengolah sampah seperti di Kabupaten Jembrana, maka acuannya adalah Kepres 80/2003 tentang pengadaan barang/jasa yang pengadaannya harus melalui pelelangan; S - Selisih pembayaran merupakan kerugian negara. Dengan fakta-fakta yang dikemukakan dimuka persidangan oleh saksi ahli yang mengaudit seluruh proses rangkaian pengadaan mesin pengolah sampah di Kabupaten Jembrana, maka jelas Majelis Hakim telah melakukan kekeliruan dalam mempertimbangkan unsur “melawan hukum” dari dakwaan primair.
2. Pertimbangan Hukum tentang Unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” Dalam mempertimbangkan apa yang dimaksud unsur “dengan tujuan menguntungkan dirisendiri atau orang lain atau suatu korporasi”Majelis Hakim mengacu kepada pertimbangan hukum “unsur melawan hukum” yaitu: Halaman 301 Menimbang, bahwa dengan tetap memperhatikan posisi dan sudut pandang berbeda baik dari JPU maupun Terdakwa & Phnya yang kesemuanya harus diyakini mengarah pada tujuan yang sama yaitu mencari ebenaran materiil, maka pada akhirnya Majelis Hakim dengan mendasarkan kepada uraian pertimbangan diatas dimana unsur “secara melawan hukum” tidak terpenuhi dalam perbuatan yang didakwakan kepada diri TERDAKWA yang juga meliputi unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” , walaupun tampak adanya aliran dana yang ditransfer ke rekening TERDAKWA (a/n I GEDE WINASA) Rek BCA Cab Negara No. 2360231993 sebesar Rp.853.098.000,....dst.............................................................................................................. namun apakah dapat menyebabkan perubahan pertambahan kekayaan atau cukup menambah kekayaan TERDAKWA atau orang lain atau korporasi, belum ada fakta persidangan yang menerangkan mengenai hal
tsb., maka dengan tanpa mempertimbangkan unsur-unsur selebihnya telah cukup memberikan alasan bagi Majelis Hakim untuk berpendapat sependapat dengan JPU maupun TERDAKWA bahwa dakwaan Primair tidak terbukti. Halaman 309 Oleh karenanya jika unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” sudah dipandang tidak terpenuhi, maka memberikan cukup alasan pula bagi Majelis Hakim untukmenlai dan berpendapat bahwa “unsur dengan tujuan menguntungkan dirisendiri atau orang lain atau suatu korporasi” menjadi tidak terpenuhi pula; Catatan annator Bahwa pertimbangan hukum mengenai “unsur dengan tujuan menguntungkan dirisendiri atau orang lain atau suatu korporasi” ini Majelis Hakim sama sekali tidak mempertimbangkan faktafakta yang ditemukan oleh SaksiAhli dari Perwakilan BPKP Bali, yaitu: 1. Adanya dokumen-dokumen kontrak mereka (PT. Yuasa Sangyo, PT. Sankyu Indonesia dan PT. Sanshine Jepang) yang menunjukan harga mesin sebenarnya sampai terpasang dan siap beroperasi adalah Rp.1.901.233.008,62 (satu milyar sembilan ratus satu juta dua ratus tigapuluhtiga ribu delapan rupiah enampuluh dua sen); 2.
Ditemukan adanya Selisih kelebihan pembayaran sejumlah Rp.2.029.455.626,38 (Rp.3.930.678.635,- dikurangi Rp.1.901.233.008,62) yang menguntungkan PT. Yuasa Sankyu Indonesia yang kemudian diketahui adanya aliran dana yang ditransfer ke rekening TERDAKWA (a/n I GEDE WINASA) Rek BCA Cab Negara No. 2360231993 sebesar Rp.853.098.000,-
3. Pertimbangan Hukum tentang Unsur “Menerima Hadiah atau Janji” Dalam mempertimbangkan unsur “Menerima Hadiah mengemukakan pertimbangan hukum sebagai berikut:
atau
Janji”
Majelis
Hakim
Halaman 314 Menimbang bahwa berdasarkan fakta persidangan dana Rp.853.089.000,- yang ditransfer ke rekening milik TERDAKWA karena antara TERDAKWA Igde Winase dengan Kazuyuki Tssumi pernah mempunyai ikatan hubungan keperdataan pada bulan Januari 2008 dalam hal erjanjian Jual beli tanah di daerah Kecamatan Pakutatan Kabupaten Jembtrana untuk pembangunan Villabagi manula khusus orang Jepang seluas 2 Hektar; Bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim seharusnya juga mempertimbangkan bahwa Kazuyuki Tsurumi adalah pemilik PT. Yuasa Sangyo yang notabene menjadi Partner Kabupaten Jembrana dalam pengadaan mesin sampah yang ditunjuk langsung oleh Keputusan Terdakwa selaku Bupati Kabupaten Jembrana. Demikian juga berdasarlkan keterangan Saksi I GDE NGURAH PATRIANA KRISNA yang juga putra TERDAKWA (Halaman 134) Kazuyuki Tsurami juga merupakan partner bisnis dari putera TERDAKWA dalam sebuah usaha PT. Krisna Sentana Buana.
Dengan fakta-fakta ini dapat diketahui secara nyata adanya konflik kepentingan yang kental diantara TERDAKWA dan Kazuyuki Tsurumi. Oleh karenanya sangat mungkin hubungan keperdataan diantara keduanya merupakan kerjasama yang penuh kepentingan. Karenanya Transfer uang kepada rekening TERDAKWA patut diduga sebagai penerimaan hadian dari rekan “bisnis”.
[1] Disampaikan pada Sidang Examinasi Focus Grouf Discussion, ICW, Jakarta, 24 Februari
2012; [2] Praktisi hukum, Staf Pengajar FH Universitas Trisakti Jakarta & FH UIKHA Bogor.