PMRI MENYENANGKAN DAN DEMOKRATIS * Rahmah Johar♣
PENDAHULUAN Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) telah mulai diujicobakan di sekolah sejak tahun 2001 oleh empat LPTK. Sampai sekarang telah terlibat 20 LPTK di Indonesia. Kegiatan yang dilakukan PMRI daiantaranya adalah memberikan workshop PMRI, mendampingi guru ke sekolah, melaksanakan penelitian, dan mengembangkan bahan ajar (Johar, 2010). Dalam setiap kesempatan baik lisan maupun tulisan, Bapak R.K Sembiring selaku ketua PMRI menyampaikan bahwa melalui PMRI kita mengajarkan budaya demokrasi. Berdasarkan pengalaman penulis menerapkan PMRI di SD/MI Aceh, siswa dan guru aktif, siswa bebas mengemukakan pendapat, dan diakhir pelajaran siswa menanyakan “kapan lagi belajar seperti ini”?. Apakah ini yang disebut pembelajaran yang menyenangkan dan demokratis? Makalah ini akan membahas tentang PMRI yang dikaitkan dengan pembelajaran yang menyenangkan dan demokratis, disertai dengan contoh. PEMBAHASAN A. Sejarah PMRI, Karakteristik, dan Perkembangannya Sejak tahun 1971, Institut Freudenthal di Belanda mengembangkan suatu pendekatan terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan pendekatan realistik. Pendekatan ini dicetuskan oleh Profesor Hans Freudenthal, seorang ahli pendidikan matematika Belanda. Pendekatan pembelajaran ini akhirnya diberi nama Realistic Mathematics Education (RME). Menurut Freudenthal (dalam Gravemeijer, 1994), RME memiliki karakteristik, yakni: (1) mengawali pembelajaran matematika dengan masalah nyata (terkait dengan kehidupan sehari-hari siswa atau dapat dibayangkan siswa), (2) menggunakan model penyelesaian masalah yang dikonstruksi oleh siswa melalui bimbingan guru, (3) menggunakan kontribusi siswa melalui “aneka jawaban’ dan “aneka cara”, (4) memaksimalkan interaksi antara siswa-siswa, siswa-guru, dan siswa-sumber belajar, dan (5) mengaitkan materi matematika dengan topik matematika lainnya (intertwin). Pengembangan RME sebenarnya menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa bukanlah makhluk pasif yang hanya menerima sesuatu yang sudah jadi. Ia adalah makhluk yang berkembang di mana ia mampu untuk berinteraksi dengan dunia luar. Oleh sebab itu, Freudenthal berpendapat pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri.
* ♣
Disajikan pada Seminar Nasional PMRI di Hotel Novotel Soeci Medan tanggal 18 Mei 2010 Dosen Jurusan Pendidikan Matematika FKIP Universitas Syiah Kuala dan Ketua P4MRI Unsyiah
1
Menurut Gravemeijer (2010), RME is a domain specific instruction theory that offers guidelines for supporting the intended reinvention process. In relation to this, there is a need to focus on the mental activities of the students, and how they relate to the mathematics goals the teacher want to achieve. RME tries to relate with the experiental reality of the student. It is an important role in the choice of context problems. Soal-soal atau permasalahan matematika yang disajikan pada umumnya diangkat dari berbagai situasi (konteks), yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar. Melalui proses matematisasi dari pemecahan masalah itu, yaitu dimulai dari penyelesaian yang terkait dengan konteks (context-link solution), dan secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman matematika mereka ke tingkat yang lebih formal, para siswa belajar konsep matematika. Apabila hal ini dapat dilakukan oleh seorang guru dalam setiap pembelajaran yang ia sajikan, maka akan dapat mendorong siswa untuk berinteraksi di kelas, melakukan berbagai aktivitas yang berhubungan dengan matematika, sehingga dapat mengarahkan anak pada level berpikir matematis yang lebih tinggi (www.duniaguru.com). Perbedaan yang mencolok antara pendekatan realistik dengan pendekatan lainnya adalah terletak pada adanya lintasan belajar (learning trajectory) yang harus dirancang guru dalam pebelajaran matematika. Lintasan belajar ini menggambarkan matematika bukan sebagai barang jadi (ready-made), melainkan sebagai kegiatan (acted –out). Dalam pembelajaran matematika yang umumnya dilakukan oleh para guru, diberikan terlebih dahulu materi matematika (rumus, pengertian, atau algoritma) setelah itu diberikan contoh penerapannya dalam masalah lain yang terkadang berbentuk soal cerita. Masalah tersebut sekedar substitusi, soal rutin, atau penerapan rumus Johar (2007) menjelaskan bahwa pendekatan realistik justru sebaliknya, lintasan belajar dimulai dari masalah nyata, lalu siswa menemukan solusi informal dari masalah nyata (berupa model/gambar/sketsa/pola), selanjutnya siswa memperoleh kemampuan matematika yang lebih tinggi/luas/rumit (seperti rumus, pengertian, dan algoritma). Aktivitas menyelesaikan masalah nyata diberikan lebih banyak pada awal pembelajaran. Lintasan belajar ini digambarkan seperti gunung es (ice-berg) di bawah. PENJUMLAHAN < 100
2
Dari gambar gunung es di atas, untuk menemukan prosedur menjumlahkan bilangan dua angka, pembelajaran diawali dengan berbagai aktivitas yang terkait langsung dengan kehidupan sehari-hari, seperti menjumlahkan penumpang dari gerbong-gerbong kereta api. Selanjutnya melalui sajian visual atau tiruan benda nyata yang mengikuti struktur tertentu. Berikutnya penjumlahan bilangan yang dituliskan pada kartu bilangan yang menggunakan struktur sepuluh atau struktur lima, dan satuan. Terakhir siswa menemukan cara menjumlahkan dengan bantuan garis bilangan (number line) dengan lompat sepuluh atau teknik puluhan dengan puluhan, satuan dengan satuan, dan sebagainya. Sehingga, untuk menyelesaikan 47 + 28, dalam pembelajaran diharapkan muncul beberapa strategi siswa, seperti 47+20+8, atau 40+20+7+8, atau 47+10+10+3+5, dan sebagainya. Di Indonesia, RME dikenal dengan PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia), karena menggunakan konteks Indonesia. PMRI diprakarai oleh matematikawan dan ahli pendidikan matematika Indonesia. Dengan perjuangan beliau PMRI didukung oleh Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) dengan konsultan dari Belanda. PMRI mulai diujicobakan pada beberapa SD/MI di Surabaya, Yogyakarta, dan Bandung pada tahun 2001. Sejak tahun 2008, PMRI sudah disosialisaikan pada guru SMP. Sampai saat ini sebanyak 20 LPTK di Indonesia telah mensosialisasikan PMRI yang bermitra dengan SD/MI atau SMP/MTs. Kegiatan yang dilakukan PMRI adalah memberikan workshop PMRI, mendampingi guru ke sekolah, melaksanakan penelitian, dan mengembangkan bahan ajar (Johar, 2010). Tahun ini, Balitbang Kemendiknas turut memberikan dukungan terhadap sosialisasi PMRI dengan kegiatan diantaranya adalah pelatihan untuk guru, penulisan bahan ajar, pengkajian kurikulum, penelitian, dan penyusunan evaluasi ujian akhir SD/MI.
B. PMRI Menyenangkan Coba renungkan, kapan kita melontarkan kata ”senang” terhadap suatu pembelajaran matematika?. Apa yang menyebabkan kita senang? Perhatikan ilustrasi berikut. Guru kelas II SD/MI tentu pernah meminta siswa kelas II SD untuk menetukan hasil dari 47+28 dengan mengisi titik-titik berikut 47 = … + …. 28 = …. + …. + …. = …. + …. = ….. Menurut pembaca, siswa senang atau tidak dengan tugas di atas? Bandingkan dengan tugas berikut: Guru meminta siswa kelas II SD untuk menentukan hasil dari 47+28 dengan berbagai cara. Pembelajaran didahului dengan memberikan pengalaman kepada siswa dengan berbagai alternatif strategi dan alat bantu seperti berikut.
3
a. Konteks: menjumlahkan penumpang dari gerbonggerbong kereta api
b. Kartu sepuluhan dan satuan:
c. Cara formal: • Menggunakan garis bilangan • Menggunakan strategi sendiri seperti 47+28 = 47+20+8 atau 47+28 = 40+20+7+8 atau 47+28 = 47+10+10+3+5
Johar dkk. (2007) menjelaskan bahwa pembelajaran yang menyenangkan adalah pembelajaran yang dilakukan siswa secara sungguh-sungguh tanpa merasa tertekan dalam melakukannya. Pembelajaran yang menyenangkan tidak identik dengan pembelajaran yang mengedepankan nyanyian. Pembelajaran yang menyenangkan ini terjadi ketika siswa asyik mengerjakan tugas yang disediakan. Ini terjadi jika siswa merasa tertantang dan memperoleh manfaat dari pengerjaan tugas tersebut. Pengalaman penulis ketika mengakhir modelling PMRI di SD adalah meminta siswa menyampaikan refleksi tentang suasana pembelajaran. Beberapa diantara mereka menyampaikan rasa senang, dengan berbagai alasan seperti ”Ibu tidak marah-marah”, ”Kami bisa tempel hasil kerja”, ”Bisa memberikan nilai terhadap kerja kelompok lain”, ”Kami dapat bintang”, ”Bisa tambah tambah”, dan seterusnya. Berdasarkan pengalaman di atas, siswa juga akan merasa senang jika guru memberikan dorongan dan motivasi dengan baik/santun, pekerjaan siswa dihargai, nilai bukan hanya diberikan oleh guru tetapi siswa juga bisa memberikan nilai untuk kawan mereka, dan siswa menjadi mengerti/bisa/terampil. Kembali pada karakteristik PMRI seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu menggunakan kontesk diawal pelajaran, menggunakan model penyelesaian masalah yang dikonstruksi oleh siswa melalui bimbingan guru, dan menggunakan kontribusi siswa melalui “aneka jawaban’ dan “aneka cara” merupakan salah satu alasan yang membuat siswa senang belajar matematika melalui PMRI. 4
C. PMRI merupakan Pembelajaran yang Demokratis Di dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa demokrasi merupakan bentuk dan sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya. Atau gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Selanjutnya Gus Dur (dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi) menjelaskan bahwa landasan demokrasi adalah keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia ingini. Ide demokrasi tidak hanya digunakan dalam pemerintahan, tetapi dapat juga digunakan dalam pembelajaran, sehingga kita mengenal yang namanya pembeljaran yang demokratis. Mulyoto (dalam
http://pendidikanyangdemokratis.blogspot.com/)
menjelaskan bahwa pembelajaran yang demokratis adalah pembelajaran yang di dalamnya terdapat interaksi dua arah antara guru dan siswa. Guru memberikan bahan pembelajaran dengan selalu memberi kesempatan kepada siswa untuk aktif memberikan reaksi, siswa bisa bertanya maupun memberi tanggapan kritis tanpa ada perasaan takut. Bahkan, kalau perlu siswa diperbolehkan menyanggah informasi atau pendapat guru jika memang dia mempunyai informasi atau pendapat yang berbeda. Hasil belajar pada dasarnya merupakan hasil reaksi antara bahan pelajaran, pendapat guru, dan pengalaman siswa sendiri. Dalam pembelajaran, siswa betul-betul sebagai subyek belajar. Bukan sebagai botol kosong yang pasrah untuk diisi dengan berbagai ilmu oleh guru. Saat sekarang, rasanya pembelajaran yang demokratis cukup mendesak untuk diimplementasikan di kelas, setidaknya berdasarkan tiga alasan. Sembiring (2007) menjelaskan bahwa melalui PMRI, matematika disajikan pada murid sebagai suatu proses, menemukan kembali, jadi menuntut kreativitas dan inisiatif dari mereka. Pada gilirannya, murid diusahakan bekerja berkelompok sehingga diskusi diransang, dan saling menghargai pendapat menjadi tumbuh. Siswa dibimbing oleh guru untuk menemukan sendiri apakah jawaban mereka benar atau salah. Para guru didorong untuk ”tidak” memutuskan sendiri jawaban yang benar atau salah. Jadi lewat PMRI, kita tidak saja mereformasi pendidikan matematika di tanah air tapi juga mengajarkan budaya demokrasi. Itulah salah satu kelebihan PMRI/RME dibandingkan dengan metode yang lain. 5
Sebagai contoh, guru memulai pelajaran dengan menyampaikan konteks “membuat menara”. Siswa juga diminta bercerita tentang menara yang pernah dilihat dan kegunaan menara tersebut. Guru menjelaskan bahwa menara yang akan dibuat berguna untuk berlindung dari tsunami. Oleh karena itu siswa diminta membuat menara setinggi mungkin. Guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok Sebelumnya guru mempersiapkan berbagai kotak bekas atau benda-benda ruang yang bekas, yang akan dibagikan pada setiap kelompok. Wakil setiap kelompok menceritakan alasan mereka membuat menara. Beberapa menara yang dibuat siswa SDIT Nurul Ishlah Banda Aceh (sekolah mitra PMRI Unsyiah) dapat dilihat pada foto berikut.
siswa membuat menara setinggi mungkin lalu mengidentifikasi benda-benda ruang yang digunakan
Siswa mengukur tinggi menara dengan: manikmanik, buku, atau jengkal Siswa juga diberi kesempatan untuk menggambarkan menara yang mereka buat dari perspektif yang mereka inginkan, seperti terlihat pada hasil karya siswa SDIT Nurul Ishlah Banda Aceh berikut
6
Pada pembelajaran ini terlihat bahwa siswa menyelesaikan masalah yang bermakna, karena dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa (mudah dibayangkan siswa), pembelajaran juga berlangsung interaktif, adanya kebebasan berfikir dan berpendapat, dan menemukan suatu konsep tentang tinggi benda, sehingga pembelajaran matematika berlangsung secara humanistik dan realistik (Johar, 2009).
PENUTUP Upaya untuk melaksanakan pembelajaran matematika agar matematika bermakna dan disenangi siswa perlu terus dilanjutkan. Pelaksanaan pembelajaran hendaknya berlangsung demokratis Untuk itu diperlukan “kerja keras” guru, terutama dalam mencari konteks dan “sabar” membimbing/menfasilitasi siswa ketika menyelesaikan permasalah melalui penemuan. Suatu hal yang paling penting adalah keinginan guru untuk berubah, dari paradigma mengajar ke paradigma belajar.
DAFTAR PUSTAKA Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Gravemeijer, K.P.E. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Technipress: Culemborg, Netherland. Gus Dur (dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi), diakses tanggal 15 Mei 2010 Johar, Rahmah dkk. (2007) Modul Pembelajaran Matematika SD I. FKIP Unsyiah. Johar, Rahmah (2009). Pembelajaran Matematika Realistik dan kaitannya dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Makalah disampaikan pada Seminar Pendidikan Matematika di Lab. School Darussalam tanggal 21 Juni 2009. ________ (2010). PMRI in Aceh. In R. K Sembiring, K. Hoogland & M. Dolk (Eds), A Decade of PMRI in Indonesia, Bandung, Utrecht: APS International Mulyoto. Demokrasi dalam Pembelajaran: Tidak Bisa Ditawar-Tawar Lagi (dalam http://pendidikanyangdemokratis.blogspot.com/, diakses tanggal 14 Mei 2010) Sembiring (2007) Perkembangan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dan Workshop PMRI di Unsyiah. Banda Aceh, 9-10 April 2007.
7