PEMBELAJARAN MATEMATIKA HUMANISTIK DAN KAITANNYA DENGAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA (PMRI) * Rahmah Johar♣
PENDAHULUAN Suatu ungkapan dalam bahasa akan kehilangan makna yang sebenarnya atau memperoleh makna yang tidak dimaksudkan, apabila ditangkap terlepas dari konteksnya. Demikian pula dalam mempelajari matematika. Jika matematika dipahami terlepas dari konteks kehidupan dan peradaban manusia, matematika akan tereduksi menjadi sekumpulan lambang dan rumus-rumus serta seperangkat teknik kalkulasi dan penalaran yang kering, sehingga sama sekali tidak menarik. Matematika adalah bagian dari kehidupan dan peradaban manusia dan oleh karenanya bercorak manusiawi. Implikasi yang penting dari kenyataan ini adalah melaksanakan pembelajaran matematika humanistik sejak dini kepada siswa. Penerapan pembelajaran matematika humanistik relevan dengan tuntutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yaitu menuntut kemahiran siswa dalam penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah. Selain itu dalam kurikulum juga dituliskan bahwa hendaknya pembelajaran diawali dengan menyajikan masalah kontekstual (contextual problem). Dikaitkan dengan pendekatan pembelajaran, pembalajaran matematika humanistik sangat relevan dengan karakteristik PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia). Tulisan ini akan membahas pembelajaran matematika humanistik, PMRI, dan contoh penerapan pembelajaran matematika humanistik di sekolah.
PEMBAHASAN A. Matematika Humanistik Matematika humanistik mencakup dua aspek, yaitu pembelajaran matematika secara manusiawi dan pembelajaran matematika yang manusiawi (Susilo, 2004). Aspek yang pertama tersebut berkaitan dengan proses pembelajaran matematika yang
* ♣
Disajikan pada Seminar Pendidikan Matematika di Lab. School Darussalam tanggal 21 Juni 2009 Dosen Jurusan Pendidikan Matematika FKIP Universitas Syiah Kuala dan Ketua P4MRI Unsyiah
1
menempatkan
siswa
(pebelajar)
sebagai
subjek
yang
sedang
membangun
pengetahuannya dengan memahami kondisi-kondisi, baik dalam diri subjek itu sendiri maupun di lingkungan sekitarnya. Pengetahuan matematika terbentuk tidak dengan menerima saja apa yang diajarkan dan menghafalkan rumus-rumus dan metode-metode yang diberikan, melainkan dengan membangun makna dari apa yang sedang dipelajari. Siswa aktif mencari, menyelidiki, menguji, merumuskan, membuktikan, mengaplikasikan, menjelaskan, dan memberikan interpretasi terhadap apa yang sedang dipelajari, dengan mengumpulkan dan menggunakan informasi baru untuk mengubah, melengkapi, atau menyempurnakan pemahaman yang telah tertanam sebelumnya dan dengan memanfaatkan keleluasaan yang diberikan untuk melakukan eksperimen-eksperimen, termasuk kemungkinan untuk berbuat salah dan belajar dari kesalahan. Sedangkan guru lebih berperan sebagai fasilitator dan motivator. Sistem pembelajaran matematika secara manusiawi itu diharapkan dapat ikut memberikan sumbangan positif dalam pembentukan nilai-nilai kemanusiaan dalam diri para siswanya. Selain memahami dan menguasai matematika, mereka juga berlatih bekerja secara mandiri maupun dalam kelompok, bersikap kritis, kreatif, dan konsisten, mampu berfikir logis dan sistematis, dapat menghargai pendapat orang lain, juga kalau pendapat itu berbeda dengan pendapatnya sendiri, bertindak jujur dan bertanggung jawab, percaya diri, dapat belajar dari kesalahannya, dan sebagainya. Dengan demikian, proses pembelajaran matematika ikut memberikan sumbangan dalam usaha besar manusia di bidang pendidikan dan pengajaran, yaitu “memanusiakan manusia muda”, untuk membantu para subjek didik sedemikian rupa sehingga mereka mampu berpikir, menilai, bersikap, dan bertindak sebagai manusia. Aspek
kedua
matematika
humanistik
lebih
berkaitan
dengan
usaha
merekonstruksi kurikulum sekolah, sehingga matematika dipelajari dan dialami sebagai bagian dari kehidupan manusia. Kaitan matematika dengan dunia nyata dan dengan mata pelajaran lainnya perlu dijabarkan secara konkret dalam kurikulum. Pendekatan pemecahan masalah yang kreatif dan imajinatif perlu mendapat tempat yang memadai. Yang tak kalah penting adalah orientasi historis dalam pembelajaran matematika yang memberikan peluang bagi para siswa untuk mengapresiasikan dimensi manusia yang menggerakkan setiap penemuan dalam matematika, seperti kompetisi, kerja sama, dorongan untuk memperoleh gambaran yang bulat dan mneyeluruh, dan dengan
2
demikian mengalami bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan dan peradaban manusia (Johar, 2006).
B. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) Pendekatan realistik dalam pengajaran matematika atau sering dikenal sebagai Pendidikan Matematika Realistik (PMR) mengacu pada Realistic Mathematics Education (RME). Pendekatan ini berawal dari keinginan para ahli pendidikan Belanda (Netherland) untuk mengembangan kurikulum sekolah, terutama kelas 1 sampai kelas 6. Para tokoh pendidikan Belanda yang dimotori oleh Hans Freudenthal dari Freudenthal Institute (dulunya bernama IOWA Institute) memunculkan gagasan bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang membumi (realistic), termasuk pendidikan matematika agar dekat dengan kehidupan sehari-hari. Gagasan ini dikenal dengan Realistic Mathematics Education (RME) (Johar, 2001). Selanjutnya Freudenthal menjelaskan bahwa dalam pendekatan realistik, matematika dipandang sebagai aktivitas manusia. Tentang ide matematika sebagai aktivitas manusia dikemukakannya sebagai berikut. It is an activity of solving problems, of looking for problems, but it is also an activity of organizing a subject matter. This can be a matter from reality wich has to be organized according to mathematical patterns if problems from reality have to be solved. It can also be a mathematical matter, new or old results, of your own or others, which have to be organized according to new ideas, to be better understood, in a boarder context, or by an axiomatic approach. (Freudenthal dalam Gravemeijer, 1994). Aktivitas dalam kutipan di atas disebut “matematisasi”. Maksudnya, matematika dipandang sebagai aktivitas menyelesaikan masalah, mencari masalah, dan aktivitas dalam mengorganisasikan materi pelajaran. Masalah ini bisa berasal dari realitas yang telah diatur/diorganisasikan sesuai dengan pola-pola matematika. Dapat juga berasal dari diri sendiri atau orang lain, baru atau lama yang telah diorganisasikan menurut ide baru untuk pemahaman yang lebih baik dalam konteks yang lebih luas. Jadi, matematika dipandang sebagai aktivitas manusia. Belajar matematika dimaksudkan sebagai mengerjakan matematika, dimana menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari sebagai bagian utamanya. Variasi dari masalah kontekstual ini diintegrasikan dalam kurikulum dari awal. Oleh karena itu, fokus utama pendidikan
3
matematika bukan hanya hasil (produk), tetapi juga proses memperoleh hasil (Johar, 2001 dan Johar, 2006) Selanjutnya
Freudenthal (dalam Gravemeijer, 1994) menambahkan bahwa
pendidikan matematika untuk anak (young children) berkaitan dengan semua realitas dalam kehidupan sehari-hari. Perlu ditegaskan bahwa masalah realistik yang dihadapkan pada siswa tidak harus selalu masalah dunia nyata, namun dapat berupa masalah dunia formal matematika yang dapat mereka bayangkan melalui media pembelajaran, atau model (Heuvel-Panhuizen, 1998). Selanjutnya, disamping matematisasi masalah yang “real” bagi siswa, disediakan juga ruangan untuk matematisasi konsep, notasi, dan prosedur penyelesaian masalah. Oleh karena itu, akhirnya Treffers (dalam Gravemeijer, 1994) membedakannya menjadi matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal seperti diuraikan sebelumnya. Adapun karakteristik PMR menurut Gravemeijer (1994) dan de Lange (1987) adalah sebagai berikut. 1. Menggunakan konteks (the use of contex) Pembelajaran diawali dengan menggunakan masalah kontekstual, tidak dimulai dengan sistem formal. Konteks adalah lingkungan keseharian siswa yang nyata. Nyata dalam matematika tidak selalu diartikan konkret, dapat juga diartikan dengan sesuatu yang dapat dipahami siswa lewat membayangkan. Jadi, masalah nyata yang diangkat sebagai topik pembelajaran harus merupakan masalah yang ‘dikenal’ siswa. 2. Menggunakan model (the use models, bridging by vertical instruments) Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematika yang dikembangkan sendiri oleh siswa sebagai jembatan antara level pemahaman yang satu ke level pemahaman yang lain dengan menggunakan instrumen-instrumen vertikal seperti model-model, skema-skema, diagram-diagram, simbol-simbol, dan sebagainya. Jadi model dapat berupa model dari situasi nyata dan model untuk arah formal. 3. Menggunakan kontribusi siswa (student contribution) Kontribusi yang besar pada proses belajar mengajar diharapkan datang dari siswa, artinya semua pikiran (konstruksi dan produksi) siswa diperhatikan. Kontribusi dapat berupa “aneka jawab” atau “aneka cara”.
4
4. Interaktivitas (interactivity) Proses belajar mengajar akan berjalan dengan baik jika terjadi interaksi antara siswa-siswa, siswa-guru, guru-lingkungan, sedemikian sehingga setiap siswa mendapatkan manfaat positif dari interaksi tersebut. 5. Terintegrasi dengan topik lainnya (intertwining) Matematika merupakan ilmu yang terstruktur, oleh karena itu keterkaitan dan keterintegrasian antar topik harus dieksplorasi untuk mendukung terjadinya proses belajar mengajar yang lebih bermakna, sehingga memunculkan pemahaman secara serentak. Hal ini memungkinkan terjadinya penghematan waktu. Berdasarkan prinsip PMR di atas, maka pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik hendaknya memberikan kepada siswa situasi masalah yang dapat mereka bayangkan atau memiliki hubungan dengan dunia nyata. Dunia nyata itu dapat berupa pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari atau terkait dengan pengetahuan yang telah dimiliki ataupun benda nyata yang dapat dimanipulasi (Johar, 2002). Soedjadi (2001) menegaskan bahwa sebenarnya PMR merupakan suatu pendekatan yang mengubah urutan sajian bahan ajar. Selama ini terpatri kebiasaan dengan urutan sajian sebagai berikut: (1) diajarkan teori/definisi/teorema, (2) diberikan contoh-contoh, (3) diberikan latihan soal. Dalam latihan soal itu umumnya barulah dihadapi bentuk soal “cerita” yang mungkin terkait dengan terapan matematika atau kehidupan sehari-hari. Tetapi, justru soal “cerita” itulah yang selalu saja tidak mudah dipahami siswa atau diselesaikan siswa. Sebaliknya, dalam PMR realitas dan lingkungan (yang ditulis dalam bentuk soal “cerita”) ditempatkan pada fase awal pembelajaran untuk membangun konsep-konsep tertentu yang selanjutnya juga untuk mencapai simbolisasi atau perumusan umum. Di Indonesia, pembelajaran dengan pendekatan realistik dikembangkan oleh Tim Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (Tim PMRI). Tim ini bekerja sama dengan Tim RME Belanda sejak tahun 1998. PMRI telah disosialisasikan di Aceh sejak awal 2007 oleh tim Pusat Penelitian dan Pengembangan PMRI (P4MRI) Unsyiah. Berdasar uraian di atas tampak bahwa pembelajaran matematika humanistik sangat relevan dengan PMRI, baik dari segi yaitu pembelajaran matematika secara manusiawi dan pembelajaran matematika yang manusiawi. Hal ini terlihat dari karakteritik dari PMRI.
5
C. Contoh Pembelajaran Matematika Humanistik Pada bagian ini diuraikan contoh penerapan pembelajaran matematika humanistik. Pembelajaran diawali dengan penyajian masalah kontekstual, siswa menemukan solusi dari masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri, melalui interaksi di kelas, sehingga pengetahuan matematika dibangun sendiri oleh siswa.
1. Tujuan: siswa dapat menggunakan satuan pengukuran panjang tidak baku untuk mengukur tinggi menara (SD kelas I) Guru memulai pelajaran dengan menyampaikan konteks “membuat menara”. Siswa juga diminta bercerita tentang menara yang pernah dilihat dan kegunaan menara tersebut. Guru menjelaskan bahwa menara yang akan dibuat berguna untuk berlindung dari tsunami. Oleh karena itu siswa diminta membuat menara setinggi mungkin. Guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok Sebelumnya guru mempersiapkan berbagai kotak bekas atau benda-benda ruang yang bekas, yang akan dibagikan pada setiap kelompok. Wakil setiap kelompok menceritakan alasan mereka membuat menara. Beberapa menara yang dibuat siswa SDIT Nurul Ishlah Banda Aceh (sekolah mitra PMRI Unsyiah) dapat dilihat pada foto berikut.
siswa membuat menara setinggi mungkin lalu mengidentifikasi benda-benda ruang yang digunakan
Siswa mengukur tinggi menara dengan: manikmanik, buku, atau jengkal
6
Siswa juga diberi kesempatan untuk menggambarkan menara yang mereka buat dari perspektif yang mereka inginkan, seperti terlihat pada hasil karya siswa SDIT Nurul Ishlah Banda Aceh berikut
Pada pembelajaran ini terlihat bahwa siswa menyelesaikan masalah yang bermakna, karena dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa (mudah dibayangkan siswa), pembelajaran juga berlangsung interaktif, adanya kebebasan berfikir dan berpendapat, dan menemukan suatu konsep tentang tinggi benda, sehingga pembelajaran matematika berlangsung secara humanistik dan realistik.
2. Tujuan: menemukan rumus gradien garis (SMP Kelas VIII) Guru meminta siswa memperhatikan bentuk atap kedua rumah adat berikut.
Rumah Bolon Rumah adat Sumatera Utara
Rumah Pewaris Rumah adat Sulawesi Utara
7
Selanjutnya guru mengajukan pertanyaan: “Pada atap rumah yang manakah air hujan lebih cepat turun (mencapai tanah)?”, “Atap rumah manakah yang kemiringannya lebih besar?” Jelaskan! Dapatkah kamu menentukan kemiringan dari atap rumah tersebut?. Untuk sampai pada pengetahuan formal matematika, yaitu menemukan rumus gradien garis, guru menggiring siswa dengan langkah seperti terlihat pada tabel berikut. Tabel 1. Skenario Penyusunan Rumus Gradien dan Kaitannya dengan Aktivitas Penalaran Pertanyaan/suruhan Guru Aktivitas Penalaran 1. Guru menggambar bermacam kemiringan kayu Mengajukan pertanyaan yang disandarkan pada tembok, yang disertai analitis, kreatif, kritis, dan praktis; mengamati pola dengan ukuran, seperti berikut. dan keteraturan; mengajukan hipotesis
6
6 4
2 2
Gambar 1
2
3
Gambar 2
Gambar 3
4
Gambar 4
- Pada gambar yang manakah posisi kayu memiliki kemiringan paling besar? Jelaskan! - Pada gambar yang manakah posisi kayu memiliki kemiringan paling kecil? Jelaskan! - Adakah posisi kayu yang memiliki kemiringan sama?” Jelaskan! Mengajukan pertanyaan 2. Untuk menggiring siswa menemukan gradien garis, analitis, kreatif, kritis, dan guru membuat beberapa garis pada grafik cartesius praktis; mengamati pola dan keteraturan; mengajukan hipotesis; mengaitkan konsep gradien dengan garis lurus dan koordinat; membuktikan hipotesis (1)
(2)
(3)
Selanjutnya guru mengajukan pertanyaan berikut. - Manakah garis yang mempunyai kemiringan “paling besar”, “paling kecil”, dan sama?” - “ukuran-ukuran apa saja yang mempengaruhi kemiringan garis?” - “Dapatkah kamu menghitung kemiringan garis tersebut, bagaimana kamu menentukannya”? 3. Guru mengajukan pertanyaan “menantang” tentang Menyajikan penalaran yang
8
gradien garis vertikal (AB) dan horizontal (CD), cacat; mengajukan pertanyaan analitis, kreatif, seperti gambar berikut. dan kritis; mengajukan B hipotesis; membuktikan hipotesis A
C
D
4. Guru bersama siswa menyusun rumus umum gradien Menggunakan penalaran garis untuk membuat generalisasi matematika; membentuk jaringan pengetahuan matematika, dan menuju pada memori matematika.
Kegiatan pembelajaran gradien di atas diawali dengan penyajian masalah realistik, lalu siswa menyelesaikan masalah realistik tersebut (matematika horizontal) dan siswa digiring untuk membuat generalisasi tentang rumus gradien berdasarkan strategi informal meraka (matematika vertikal). Hal ini sesuai dengan langkah pembelajaran matematika realistik. Selanjutnya, ketika siswa diberi kesempatan untuk mengkonstruksi rumus gradien garis berdasarkan diskusi antar siswa dan guru, berarti guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif mencari, menyelidiki, mengajukan hipotesis, menguji, merumuskan, membuktikan, menjelaskan, dan memberikan interpretasi terhadap apa yang sedang dipelajari, dengan mengumpulkan dan menggunakan informasi baru untuk mengubah, dan saling melengkapi. Dengan demikian guru telah menerapkan pembelajaran matematika humanistik.
PENUTUP Upaya untuk melaksanakan pembelajaran matematika agar matematika bermakna dan disenangi siswa perlu terus dilanjutkan. Pelaksanaan pembelajaran hendaknya berlangsung secara humanistik dan realistik, seiring dengan filsafat konstruktivisme. Untuk itu diperlukan “kerja keras” guru, terutama dalam mencari mkonteks dan “sabar” membimbing/menfasilitasi siswa ketika menyelesaikan permasalah melalui penemuan. Suatu hal yang paling penting adalah keinginan guru untuk berubah, dari paradigma mengajar ke paradigma belajar.
9
DAFTAR PUSTAKA De Lange, Jan. (1995). Assesment: No Change without Problems dalam T.A. Romberg (edt) Reform in School Mathematics. Albany, NY: SUNY Press. Gravemeijer, K.P.E. (1994) Developing Realistics Mathematics Education. Utrecht: CD-β Press, The Netherlands. Heuvel-Panhuizen. (1998). Realistic Mathematics Education, Work in Progress. Makalah disampaikan dalam NORMA-lecture di Kristiansand, Norwegia. Juni, 5-9 1998. Johar, Rahmah (2001) Konstruktivisme atau Realistik? Disampaikan pada Seminar Nasional “Realistic Mathematics Education (RME)” di Jurusan Matematika FMIPA UNESA pada tanggal 24 Februari 2001 ______ (2006). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Realistik dan Relevansinya dengan KBK. Makalah disampaikan pada Pertemuan Guru SD/MI se-Gugus 1 Candung Sumatera Barat di MIN Candung pada Tanggal 2 Maret 2006. Soedjadi (2001). Pemanfaatan Realitas dan Lingkungan dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional RME di UNESA Surabaya. Susilo, Frans (2004) Matematika Humanistik. Majalah BASIS Edisi Khusus “Pendidikan Matematika”. Juli-Agustus 2004: Yogyakarta.
10