PLAGIASI DAN KEJUJURAN ILMIAH
Tri Tarwiyani S. Fil. M. Phil, Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Riau Kepulauan Batam
Dunia pendidikan Indonesia saat ini sedang menghadapi “shok terapi”. Hal ini cukup membuat kaget bagi siapapun yang mendengarnya. Mulai dari isu karya ilmiah fiktif, karya ilmiah palsu hingga plagiasi. Sebuah isu yang cukup hangat diperbincangkan seiring dengan adanya Surat Edaran Dirjen Dikti Kemendikbud No.152/E/T/2012 tentang Publikasi Karya Ilmiah. Dalam Surat Edaran tadi disebutkan, syarat kelulusan S1, S2, dan S3 dengan membuat karya ilmiah. Dimana karya ilmiah tadi harus diterbitkan di dalam jurnal. Baik jurnal nasional maupun jurnal internasional. Lulusan S1 juga harus telah menghasilkan sebuah makalah yang diterbitkan dalam jurnal imiah. Lulusan S2 harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional, diutamakan jurnal tersebut telah diakreditasi Dikti. Lulusan S3 harus telah menghasilkan makalah yang diterbitkan pada jurnal internasional. Kebijakan ini rencananya akan diberlakukan mulai kelulusan Agustus 2012. Diakui, budaya menulis masyarakat Indonesia masih minim, sehingga persyaratan tersebut menjadi “momok” yang cukup menakutkan. Meskipun pada akhirnya keputusan ini kemudian direfisi, tetapi isu persyaratan ini seolah-olah telah menjadikan kita “tersadar” akan tuntutan untuk menghasilkan sebuah karya ilmiah yang harus benar-benar berasal dari tulisan dan hasil karya kita sendiri. Hal ini karena salah satu syarat sebuah karya ilmiah adalah harus orisinal atau asli. Karya ilmiah, menurut Mulyana dalam tulisannya menyatakan bahwa orisisnalitas atau keaslian penelitian mengandung makna bahwa karya tersebut harus memiliki nilai kualitas dalam hal keaslian, objektivitas, dan keaslian. Asli menurrut Mulyana, tidak selalu berarti bahwa semua ide atau gagasan serta pengetahuan yang disampaikan dalam karyanya tersebut murni hasil dari pemikirannya sendiri. Keaslian disini lebih dititik beratkan pada kejujuran dalam mengemukakan tulisannya. Menulis memang tidak sulit tetapi juga bukan sesuatu yang mudah, apalagi jika tulisan tersebut merupakan sebuah “karya ilmiah”. Tingkat kesulitannya tentu akan berbeda jika
dibandingkan dengan jenis-jenis tulisan lain seperti novel atau cerita fiksi lainnya. Tulisan karya ilmiah mempunyai standar tersendiri terlebih lagi jika karya tersebut harus dimuat di dalam jurnal, tentu karya ilmiah ini harus memenuhi persyaratan jurnal tersebut. Koesmawan, guru besar bidang manajemen STIE Ahmad Dahlan menyatakan bahwa ciri-ciri sebuah karya ilmiah antara lain, sistematik yaitu runtut mulai dari pendahuluan, perumusan masalah, teori data sampai pada kesimpulan. Kedua, jelas tujuannya, dalam arti tujuan dari tulisan tersebut jelas, pesan-pesan yang dibawanya juga jelas. Ketiga, universal dalam arti berlaku umum, tidak hanya untuk kepentingan tertentu. Keempat, asli dalam arti karya ilmiah tersebut benar-benar merupakan hasil pemikiran dari sang penulis. Kelima, jujur dan rendah hati, dalam arti adanya kesadaran pada diri si penulis bahwa sebuah pemikiran tidak selalu merupakan kebenaran yang abadi dan mutlak sifatnya. Keenam, berawal dari sumbersumber yang tepat. Tuntutan-tuntutan pembuatan karya ilmiah tersebut dirasakan sangat berat ditambah lagi jika dikaitkan dengan adanya tengat waktu tertentu. Alasan-alasan ini pada akhirnya mendorong munculnya tindakan plagiasi. Plagiasi adalah salah satu isu yang seringkali dikaitkan dengan hasil sebuah karya ilmiah. Isu plagiasi ini telah mengakibatkan salah satu universitas mendapatkan sanksi yang harus ditanggung oleh semua dosen universitas tersebut. Sanksinya adalah mereka tidak diperbolehkan mengajukan kepangkatan selama satu tahun. Menurut saya, sanksi ini terasa tidak relevan, pasalnya tidak semua dosen melakukan plagiasi. Namun mereka harus ikut menanggung perbuatan dari segelintir orang yang tidak bertanggungjawab. Akan tetapi bukan itu yang ingin saya bahas di sini. Saya bermaksud untuk menyoroti persoalan plagiasi itu sendiri. Apakah plagiasi itu? Apakah plagiasi hanya sebuah tindakan mengambil ide atau pemikiran orang lain dan kemudian mengklaim ide atau pemikiran tersebut sebagai miliknya sendiri? Bagaimana jika karya itu milik kita sendiri kemudian kita publikasikan secara berulang-ulang? Apakah hal ini juga disebut tindakan plagiasi? Adakah hubungan tindakan plagiasi dengan kejujuran ilmiah, seperti judul artikel ini? Jika ada hubungannya lalu bagaimana hubungan antara keduanya? Kita akan mencoba menjawab persoalan ini satu persatu. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 17 tahun 2010 dinyatakan bahwa plagiat adalah perbuatan
secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai. Sementara itu, plagiator menurut peraturan ini dinyatakan sebagai orang perseorangan atau kelompok orang pelaku plagiat, masing-masing bertindak untuk diri sendiri, untuk kelompok atau untuk dan atas nama suatu badan. Tindakan plagiasi dalam peraturan ini meliputi (a) mengacu dan/atau mengutip istilah, kata-kata dan/atau kalimat, data dan/atau informasi dari suatu sumber tanpa menyebutkan sumber dalam catatan kutipan dan/atau tanpa menyatakan sumber secara memadai; (b) mengacu dan/atau mengutip secara acak istilah, katakata dan/atau kalimat, data dan/atau informasi dari suatu sumber tanpa menyebutkan sumber dalam catatan kutipan dan/atau tanpa tanpa menyatakan sumber secara memadai; (c) menngunakan sumber gagasan, pendapat, pandangan, atau teori tanpa menyatakan sumber secara memadai; (d) merumuskan dengan kata-kata dan/atau kalimat sendiri dari sumber katakata dan/atau kalimat, gagasan, pendapat, pandangan, atau teori tanpa menyatakan sumber secara memadai; (e) menyerahkan suatu karya ilmiah yang dihasilkan dan/atau telah dipublikasikan oleh pihak lain sebagai karya ilmiahnnya tanpa menyatakan sumber secara memadai. Sanksi-sanksi atas tindakan plagiasi di antaranya, bagi mahasiswa yang terbukti melakukan tindakan plagiasi akan mendapat sanksi seperti teguran, peringatan tertulis, penundaan pemberian sebagian hak mahasiswa, pembatalan nilai satu atau beberapa mata kuliah, pemberhentian dari status mahasiswa, pembatalan ijizah jika mahasiswa terebut telah lulus dari suatu program. Sementara bila sang plagiat adalah seorang dosen atau peneliti atau tenaga kependidikan, maka yang bersangkutan juga menerima teguran, peringatan tertulis, penundaan pemberian hak dosen/peneliti/tenaga kependidikan, penurunan pangkat dan jabatan akademik/fungsional,pencabutan hak untuk diusulkan sebagai guru besar/profesor/ahli peneliti utama bagi yang memenuhi syarat, pemberhentian dari status sebagai dosen/peneliti/tenaga kependidikan, atau sanksi yang berupa pembatalan ijazah yang diperoleh dari perguruan tinggi yang bersangkutan. Jika dosen/peneliti/tenaga kependidikan tersebut menyandang gelar guru besar atau profesor atau ahli peneliti utama maka yang bersangkutan akan diberi sanksi tambahan berupa pemberhentian dari jabatan guru besar/profesor/ahli peneliti utama. Plagiasi juga dapat terjadi dengan cara mengambil karya lama kita sendiri. Plagiasi jenis ini menurut Prof. Dr. Ir Koesmawan, M. Sc., MBA., DBA., seorang Guru Besar Bidang
Manajemen-STIE Ahmad Dahlan, merupakan jenis plagiasi yang paling “rendah kadar dosanya”. Plagiasi ini disebut juga sebagai self plagiatism yaitu kita membuat karangan baru yang sebenarnya tidak ada hal baru dalam pemikiran kita. Plagiasi menjadi sebuah persoalan ketika
plagiasi
dikaitkan
dengan
keaslian
sebuah
karya
ilmiah.
Praktek plagiasi biasa terjadi karena adanya dorongan untuk menyelesaikan persoalan secara cepat, persoalan yang dimaksud di sini terkait dengan penulisan karya ilmiah. Hal ini karena untuk membuat sebuah karya ilmiah yang berbobot, seseorang harus membaca begitu banyak buku dan sumber serta bereksperimen berkali-kali. Tanpa membaca kita tidak mungkin akan dapat menghasilkan tulisan yang baik. Memang tidak dapat dipungkiri, di dalam penulisan sebuah karya ilmiah kita tidak mungkin menulis tanpa terpengaruh atau tanpa mengutip pandangan-pandangan orang atau ahli-ahli sebelumnya. Pengutipan atau pengambilan ide serta pikiran ahli-ahli tersebut terkadang sulit untuk dapat dihindari. Namun demikian, ada etiket atau aturan dalam pengambilan ide atau kutipan seorang. Aturan ini harus dipegang sehingga plagiasi dapat terhindar. Mulyana, dalam tulisannya, berjudul Pencegahan Tindak Plagiarisme dalam Penulisan Skripsi: upaya memperkuat pembentukan karakter dunia akademik, menyatakan kasus duplikasi, penjiplakan atau plagiasi muncul karena nilai kejujuran dan objektivitas terhadap sebuah kutipan dilanggar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Mulyana terhadap penulisan skripsi, ada beberapa jenis duplikasi yaitu duplikasi judul, menyangkut kesamaan atau kemiripan judul. Duplikasi substansi yaitu kesamaan atau kemiripan dalam hal isi serta substansi penelitian. Duplikasi substansi biasanya terjadi karena adanya kesamaan objek kajian. Duplikasi teori, biasanya terjadi karena kesamaan topik atau bidang penelitian. Terakhir adalah duplikasi referensi, terkait dengan kesamaan daftar pustaka. Ini adalah beberapa jenis duplikasi berdasarkan penelitian Mulyana di FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Hakikat terjadinya plagiasi sebenarnya karena tidak adanya kejujuran. Dalam hal ini adalah kejujuran dalam mengutip, salah satu bentuk kejujuran dalam karya ilmiah. Oleh karena itu, untuk menghindari plagiasi maka seseorang harus memegang prinsip kejujuran ini. Prinsip kejujuran mengimpilkasikan bahwa pengutipan jenis apapun atau pengambilan pandangan serta pendapat orang lain harus dicantumkan sumber asli pengutipan atau pengambilan tersebut. Nilai kejujuran menjadi sebuah nilai yang cukup “mahal” dan barang “langka” pada saat sekarang ini. Oleh karena itu Mulyana mengaitkan kejujuran dengan pembangunan
karakter. Secara tidak langsung, kejujuran memang tidak dapat dipisahkan dari karakter seseorang. Jika seseorang sudah terbiasa dengan perilaku jujur, maka kemungkinan kecil dia akan berbohong. Pembohongan dalam sebuah karya ilmiah salah satunya adalah praktek plagiasi, duplikasi atau bahkan munculnya karya ilmiah fiktif, atau dianggap karya ilmiah palsu. Meskipun sebenarnya persoalan tentang kategorisasi plagiasi, duplikasi maupun karya ilmiah fiktif, atau karya ilmiah palsu masih menjadi perdebatan hingga saat sekarang, tetapi tidak ada salahnya, jika kita memulai dari diri kita sendiri untuk selalu bertindak jujur, termasuk dalam hal penulisan karya ilmiah. Selain kejujuran, dengan adanya publikasi, saya kira juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk meminimalisir tindakan plagiasi, terlebih lagi jika publikasi tersebut dilakukan secara on line. So, jika tidak dimulai dari diri kita sendiri, siapa lagi yang akan memulainya. ***