POLICY BRIEF
PKSANHAN II PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Penguatan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Pasca UU Administrasi Pemerintahan LATAR BELAKANG Disahkannya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) yang berlaku efektif sejak tanggal 17 Oktober 2014 membawa perubahan besar dalam manajemen penyelenggaraan pemerintahan, baik dari aspek sumber daya manusia (SDM) aparatur, kelembagaan maupun dimensi ketatalaksanaannya. UU AP dibentuk untuk memberikan jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi Aparat Pemerintah dalam mengambil kebijakan. Diharapkan tidak ada kriminalisasi atas kebijakan yang diambil oleh aparatur pemerintahan sepanjang ditetapkan dalam batas kewenangannya dan dibuat untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, serta tidak ada niat jahat (mens rea) yang secara terang dan tidak terbantahkan masuk dalam tindak pidana korupsi. Salah satu perubahan dalam UU AP adalah dalam konteks pelaksanaan fungsi pengawasan di birokrasi pemerintahan, khususnya terkait dengan kedudukan dan peran dari Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) sebagai instrumen penting untuk mewujudkan organisasi yang bersih dan bebas dari korupsi (clean governance). Sebagai internal auditor, maka APIP seyogyanya dapat menjalankan fungsi sebagai katalis pertama pencegahan korupsi serta berbagai bentuk penyimpangan lainnya. Dengan fungsi pembinaan yang melekat pada APIP, diharapkan APIP dapat mengawal serta terlibat langsung dalam setiap langkah pelaksanaan kegiatan organisasi, sejak tahap perencanaan, pelaksanaan dan monitoring-evaluasi. Untuk itu, seharusnya APIP lebih mengedepankan tindakan preventif daripada represif, yakni mencegah sedini mungkin potensi terjadinya penyimpangan, maladministrasi maupun korupsi di birokrasi. KEDUDUKAN DAN PERAN STRATEGIS APIP Berdasarkan UU AP, maka APIP mempunyai tugas pokok yang terkait erat dengan pencegahan dan pemberantasan korupsi, yaitu melakukan pengawasan larangan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Untuk itu, APIP harus mampu untuk menilai bahwa keputusan dan/atau tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan itu masuk dalam kategori : (1) melampaui wewenang; (2) mencampuradukkan wewenang; dan/atau (3) bertindak sewenang-wenang. Keputusan dan/atau tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan termasuk dalam kategori melampaui wewenang, jika: (1) melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya wewenang; (2) melampaui batas wilayah berlakunya wewenang; dan/atau (3)
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk keputusan dan/atau tindakan aparatur pemerintahan masuk dalam kategori mencampuradukkan wewenang, jika: (1) di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan; dan/atau (2) bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan. Sedangkan keputusan dan/atau tindakan aparatur pemerintahan masuk dalam kategori bertindak sewenang-wenang, jika: (1) tanpa dasar kewenangan; dan/atau (2) bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Tindaklanjut dari kewenangan tersebut, APIP harus dapat mengklasifikasikan hasil pengawasan atas keputusan dan/atau tindakan aparatur pemerintahan dalam jenis: 1) tidak terdapat kesalahan; 2) terdapat kesalahan administratif. Jika ditemukan kesalahan ini, dilakukan tindak lanjut dalam bentuk penyempurnaan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau 3) terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara. Eksistensi APIP diperkuat pula berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Berdasarkan Undang-Undang tersebut, masyarakat dapat menyampaikan pengaduan atas dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) di instansi Daerah kepada APIP dan/atau Aparat Penegak Hukum (APH). APIP wajib melakukan pemeriksaan atas dugaan penyimpangan yang diadukan oleh masyarakat tersebut. Kata wajib disini, bukan hanya bermakna “keharusan” untuk menindaklanjuti, namun juga membawa konsekuensi adanya perlindungan terhadap pelapor (justice blower system) serta “keharusan” memberikan informasi bagi masyarakat pelapor mengenai progress pengaduan yang disampaikan. Jika berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh APH ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat administratif, proses lebih lanjut diserahkan kepada APIP. Sedangkan jika ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat pidana, proses lebih lanjut diserahkan kepada APH sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini merupakan pengejawantahan prinsip ultimum remedium, “sanksi pidana merupakan sanksi terakhir (pamungkas) dalam penegagakan hukum”. Berdasarkan UU Pemda, APH melakukan pemeriksaan atas pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat, setelah terlebih dahulu berkoodinasi dengan APIP atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membidangi pengawasan. Merujuk pada ketentuan normatif dalam kedua Undang-Undang tersebut, jelas sekali kewenangan APIP sangatlah besar, bahkan APH harus menghormati dan “kulo nuwun” dulu kepada APIP apabila akan memproses pengaduan masyarakat atas penyimpangan yang diduga dilakukan oleh ASN --- termasuk Pegawai Negeri Sipil di dalamnya ---. Sesuai kewenangan delegasi normatif tersebut, maka APIP berperan strategis untuk mengawal arahan Presiden yang disampaikan di Istana Bogor, 24 Agustus 2015, yakni: 1) Agar kebijakan tidak dipidana dan kesalahan administrasi cukup ditangani APIP sesuai UU AP;
2) Tindakan administrasi pemerintahan terbuka juga dilakukan tuntutan secara perdata, tidak harus dipidanakan, sehingga hanya cukup melakukan pengembalian; 3) Aparat dalam melihat kerugian negara harus konkret bahwa benar-benar atas niat untuk mencuri; 4) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) jika melihat ada indikasi kesalahan administrasi keuangan negara, diberi waktu 60 (enam puluh) hari untuk perbaikan. Dalam masa perbaikan tersebut, Aparat Kepolisian, Kejaksaan, dan APH tidak boleh intervensi; dan 5) tidak boleh melakukan ekspose tersangka sebelum dilakukan penuntutan. Arahan Presiden ini dipertegas lagi pada tanggal 19 Juli 2016, yang pada intinya beliau menyampaikan bahwa diskresi dan tindakan administrasi pemerintahan tidak bisa dipidanakan. Desain kewenangan APIP berdasarkan UU AP dan UU Pemda, telah merubah desain kewenangan APIP sebagaimana diatur dalam PP No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (PP SPIP) dan PP No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Dari yang semula didesain sebagai lembaga audit internal biasa, sekarang mempunyai kewenangan layaknya “penegak hukum” di tingkat birokrasi pemerintahan. PERMASALAHAN Tidak dapat dipungkiri, eksistensi dan implementasi fungsi APIP masih banyak persoalan dan pertanyaan publik. Budaya ewuh pekewuh dan semangat jiwa korsa yang tinggi, ditengarai menjadi kendala psikologis bagi APIP untuk bekerja secara optimal. Hingga saat ini, jarang kita dengar, temuan korupsi di sebuah intansi yang murni berasal dari temuan APIP. Pasca diberlakukannya UU AP, menyimpan berbagai permasalahan penting sebagai berikut: 1) Hingga saat ini, norma dalam UU AP --- termasuk implementasi APIP --- belum berlaku sebagaimana mestinya dan belum dijadikan dasar bagi aparatur pemerintah maupun APH, sehingga Undang-Undang tersebut terkesan mati suri. Hal ini dikarenakan adanya disharmonisasi regulasi, multi tafsir norma, serta belum adanya komitmen bersama untuk mengimplementasikan UU AP sebagaimana mestinya. 2) Ketidakjelasan identifikasi APIP pasca UU AP. Terkait dengan identifikasi APIP --- meskipun disebut dengan nama lain, yakni Aparat Pengawas Internal Pemerintah ----, ditemukan dalam berbagai peraturan perundangundangan yang hingga saat ini masih berlaku, yaitu : a) Berdasarkan ketentuan Pasal 49 PP SPIP, dinyatakan bahwa “APIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) terdiri atas: (1) BPKP;
(2) Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern; (3) Inspektorat Provinsi; dan (4) Inspektorat Kabupaten/Kota. b) Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 11 Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dinyatakan bahwa “APIP atau pengawas intern pada institusi lain yang selanjutnya disebut APIP adalah aparat yang melakukan pengawasan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi c) Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 46 UU Pemda, dinyatakan bahwa “APIP adalah inspektorat jenderal kementerian, unit pengawasan lembaga pemerintah nonkementerian, inspektorat provinsi, dan inspektorat kabupaten/kota.” 3) APIP dikhawatirkan tidak bisa bekerja secara obyektif, karena kedudukannya sebagai bagian internal dari unit organisasi. Reformulasi kedudukan kelembagaan APIP ini menjadi sangat penting, karena kewenangan APIP yang teramat besar sepatutnya diiringi dengan posisi kelembagaan yang dapat men-support pelaksaan fungsi APIP secara optimal, obyektif dan profesional. 4) SDM APIP belum mempunyai kompetensi teknis untuk melaksanakan kewenangan APIP sebagaimana diatur dalam UU AP dan UU Pemda. Kewenangan APIP pasca UU AP mempunyai perubahan yang sangat mendasar. Tidak hanya dalam aspek administratif saja, namun APIP juga berwenang untuk melakukan audit yang masuk ke ranah perhitungan keuangan negara dan termasuk pula mengkaji ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan tindaka dan/atau kebijakan Pejabat Pemerintahan. Lebih jauh lagi, pasca UU AP, maka SDM APIP dituntut untuk dapat menghasilkan kesimpulan apakah kesalahan yang terjadi masuk ranah pidana atau hanya permasalahan administratif saja. Untuk itu, perlu diidentifikasi kompetensi teknis apa saja yang dibutuhkan dan metode pengembangan kapasitas (capacity building) bagi SDM APIP. Selain kompetensi teknis di bidang auditif, beberapa kompetensi yang dipandang perlu dimiliki oleh APIP pasca pemberlakuan UU AP, adalah : (a) Kompetensi teknis hukum, khususnya untuk mencermati suatu keputusan dan/atau tindakan Aparatur Pemerintahan masuk dalam klasifikasi ranah administrasi atau ranah pidana. Termasuk dalam hal ini adalah kompetensi untuk melakukan “penyelidikan” maupun “penyidikan” atas dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilaporkan oleh masyarakat; (b) Kompetensi menghitung kerugian negara.
REKOMENDASI KEBIJAKAN Berdasarkan hasil kajian serta pembahasan para Narasumber, Lembaga Administrasi Negara (LAN) cq. Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara (PKSHAN) merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut untuk memperkuat kedudukan dan peran APIP pasca pemberlakukan UU AP. 1) Perlu dilakukan harmonisasi regulasi pasca diberlakukannya UU AP yang diperkuat dengan UU Pemda. Khususnya revisi terhadap PP No. 60 Tahun 2008 dan PP No. 79 Tahun 2005, terkait dengan pengertian dan identifikasi APIP serta mekanisme kerja APIP di tingkat nasional yang harus sinergi dengan APIP di tingkat lokal; 2) Masih terkait dengan aspek kebijakan, dalam rencana pembentukan UU tentang Sistem Pengawasan, perlu kiranya dikuat dan dipertegas kedudukan APIP sebagaimana dimaksud dalam UU AP dan UU Pemda. Diharapkan pembentukan UU tentang Sistem Pengawasan menjadi solusi atas problem disharmonisasi regulasi terkait APIP tersebut; 3) APIP perlu diperkuat struktur dan personalianya untuk memahami unsur melawan hukum perdata, administrasi negara, dan pidana serta penyelesaiannya menurut sistem hukum dan peraturan perundang-undangan. Untuk itu, Lembaga Administrasi Negara sebagai instansi yang bertanggung jawab dalam bidang pengkajian serta pendidikan dan pelatihan (Diklat) ASN berdasarkan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, perlu menyusun Diklat Teknis bagi Auditor berkoordinasi dengan BPKP dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam Diklat dimaksud, peserta akan dibekali kompetensi-kompetensi teknis di bidang hukum, keuangan negara, investigatif dan tentu saja bidang auditif; 4) Perlu dibangun mekanisme kerja (SOP) yang sinergis antara APIP sebagai internal auditor dengan BPK selaku eksternal auditor dan lembaga penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan KPK); 5) Secara kelembagaan, APIP berkedudukan di internal instansi pemerintahan, namun secara fungsional pelaksanaan tugas dan fungsinya dikoordinasikan oleh BPKP; dan 6) Terkait dengan upaya pencegahan korupsi, APIP secara intensif melakukan berbagai upaya pencegahan, diantaranya melalui Program Pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan Program Pengendalian Gratifikasi di instansi masingmasing. Rekomendasi penguatan APIP secara kelembagaan maupun SDM Aparatur, sebagaimana diuraikan di atas, akan lebih kuat jika diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagai bentuk pelaksanaan UU AP sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan Pasal 8 UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
---oOo--Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara Deputi Bidang Kajian Kebijakan Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat
DAFTAR REFERENSI A. Daftar Peraturan Perundang-undangan 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. 5. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. B. Daftar Referensi Lain 1. Prosiding Seminar “Penguatan Peran APIP dalam Pemberantasan Korupsi Pasca UU Administrasi Pemerintahan”, LAN 10 Agustus 2016. 2. Situs Sekretariat Kabinet, 19 Juli 2016.