Kajian ISU-ISU STRATEGIS DI BIDANG SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA DEPUTI BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN
PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA JAKARTA, 2015
Kajian ISU-ISU STRATEGIS DI BIDANG SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
Penyusun: Tim Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara Kontributor: Agus Dwiyanto (Pakar Kebijakan Publik) Refly Harun (Pakar Hukum Tata Negara) Denny Indrayana (Pakar Hukum Tata Negara UGM) Gandjar Laksmana Bonaprapta (Pakar Hukum Pidana UI) Zainal Arifin Mochtar (Pakar Hukum Administrasi Negara UGM) Nandang Alamsah (Pakar Hukum Administrasi Negara UNPAD) Kania Dewi (Pakar Hukum Administrasi Negara UNPAD) Deddy Mulyadi (Pakar Administrasi Negara STIA LAN Bandung) Noorsyamsa Djumara (Pakar Administrasi Negara STIA LAN Bandung) Sri Winarsi (Pakar Hukum Administrasi Negara UNAIR) Abimanyu (BKD Prov. Jawa Timur) Dahono Nuswantoro (Inspektorat Prov. Jawa Timur)
Diterbitkan oleh : Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat Telp. (021) 3868201-05 Fax. (021) 3524304
Kajian Isu-isu Strategis di bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara – Jakarta : PKSANHAN - LAN, 2015 70 hlm. ISBN : 978-602-72295-1-8 ii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Kajian tentang isu-isu strategis di bidang sistem dan hukum administrasi negara merupakan upaya untuk merespon secara cepat (quick response) atas dinamika praktek dalam implementasi kebijakan di bidang sistem dan hukum administrasi negara di Indonesia. Kajian ini mempunyai durasi waktu yang pendek dan dilakukan beberapa kali dalam 1 (satu) tahun anggaran disesuaikan dengan kebutuhan untuk merespon dinamika tersebut. Pada tahun anggaran 2015, dilaksanakan 3 (tiga) kegiatan yang dipandang penting (urgent) untuk disikapi yakni sebagai berikut: 1. Implementasi UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan; 2. Demokratisasi lokal: pilkada serentak dan pemerintahan daerah di masa transisi; dan 3. Strategi pengembangan kompetensi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dalam rangka implementasi UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Kajian tentang isu-isu strategis di bidang sistem dan hukum administrasi negara ini dilakukan dengan tujuan menganalisis dan menyusun policy brief terkait isu-isu aktual yang strategis dibidang sistem dan hukum administrasi negara. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai dari Kajian tentang isu-isu strategis di bidang sistem dan hukum administrasi negara ini adalah tersedianya rekomendasi kebijakan yang memuat alternatif solusi penyelesaian masalah-masalah aktual di bidang sistem dan hukum administrasi negara. A. Implementasi UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU AP”) yang diberlakukan sejak tanggal 17 Oktober 2014, memuat perubahan penting dalam penyelenggaran birokrasi pemerintahan. Perubahan penting dalam penyelenggaraan birokrasi antara lain mengenai kewenangan pemerintahan. Kewenangan pemerintahan adalah kekuasaan badan/atau pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik. Kewenangan tersebut diperoleh melalui atribusi, delegasi dan/atau mandat. iii
UU AP diharapkan dapat menjadi acuan penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan memberikan pelindungan hukum bagi aparatur pemerintahan sebagai akibat ditetapkannya sebuah kebijakan/tindakan. Selain itu, melalui UU AP ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan. Munculnya UU AP ditanggapi beragam oleh beberapa pihak terutama oleh pihak-pihak dari kalangan praktisi pemerintahan (hukum administrasi/hukum pidana) dan aparat penegak hukum. Hal ini dikarenakan ada beberapa disharmoni norma dalam UU AP yang berpotensi menimbulkan permasalahan mendasar dalam implementasinya atau justru membuat undang-undang tersebut tidak dapat diimplementasikan. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain sebagai berikut : 1. Ketidakjelasan status kewenangan Plt. maupun Plh. yang bersumber dari mandat. Plt maupun Plh tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian (mutasi, promosi maupun demosi), dan alokasi anggaran, termasuk dalam hal ini adalah tidak boleh mengubah perencanaan strategis. Dalam praktek, hal ini sering menimbulkan permasalahan. Pejabat tidak berani mengambil keputusan, karena batas antara strategis dan rutin, sangatlah tipis. Dikhawatirkan hal ini dapat mengganggu pelayanan publik dan kinerja organisasi. Selain itu, tanggung jawab Plt. atau Plh. yang harus melaporkan kepada pejabat yang memberi mandat, akan mengakibatkan rentang kendali birokrasi menjadi panjang. Sedangkan berdasarkan Pasal 14 ayat (7) UU AP bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak berwenang mengambil Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran. Kewenangan pelaksana tugas (Plt.) memang dibatasi pada hal-hal yang bersifat rutin atau day-to day (tidak strategis) karena ia hanya bersifat sebagai pelanjut roda pemerintahan bukan KDH Defenitif. Adanya batasan kewenangan tersebut nantinya akan berakibat pada terhambatnya roda pemerintahan; 2. Ketidakjelasan jenis dan cakupan sengketa kewenangan. Dalam UU AP tidak jelas batasannya. Apakah mungkin, semua sengketa kewenangan tersebut akan diselesaikan oleh Presiden (jika tidak ada titik temu), karena mekanisme sengketa kewenangan dalam lingkup pemerintahan diselesaikan melalui alur koordinasi, kesepakatan dan iv
pada ujungnya berakhir di Presiden; 3. Ketidakjelasan batasan dan mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan yang rasional. Dalam UU AP diatur mekanisme penyelesaian sengketa atas kebijakan atau tindakan aparatur pemerintahan diselesaikan melalui PTUN. Secara konsep, kebijakan tidak bisa dipidanakan dan kesalahan administrasi dalam kebijakan diselesaikan secara mekanisme administrasi (administrative beroef) hingga peradilan administrasi. Berkembang pula pemikiran bahwa terkait sengketa hukum atas kebijakan diselesaikan dahulu melalui peradilan administrasi (premium remidium), jika ada pidana, maka baru kemudian dilimpahkan ke peradilan umum (ultimum remidium); 4. Ketidakjelasan batasan dan ruang lingkup akibat hukum dari larangan penyalahgunaan wewenang. Pengawasan larangan penyalahgunaan wewenang dilakukan oleh aparat pengawasan internal pemerintahan (APIP), yang hasilnya dapat menyatakan bahwa tidak ada kesalahan administratif hingga adanya kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian negara. Dalam UU AP, jika terjadi kondisi paling buruk (terdapat kesalahan administrasi/maladministrasi dan/atau kerugian negara), maka mekanisme yang ditempuh adalah pengembalian kerugian negara baik oleh pribadi maupun institusi, sesuai jenis kerugian negara yang terjadi; 5. Ketidakjelasan jaminan keamanan implementasi diskresi, dalam arti diskresi yang ditempuh oleh pejabat pemerintahan sangat ‘rawan’ dan tidak aman bagi pejabat yang bersangkutan. Di lingkup pemerintah pusat maupun pemerintah daerah telah terbukti beberapa pejabat yang masuk penjara akibat kebijakan yang diambil pada masa jabatannya. Hal ini terjadi karena: (a) semua sektor dalam birokrasi sudah ada peraturan sektoralnya, sehingga mempersempit ruang untuk diskresi; (b) Hampir semua inovasi pastinya memerlukan payung diskresi sebagai dasar pengaman pengambilan keputusan atau tindakan; (c) reformasi birokrasi yang mengutamakan pelayanan publik belum sinergi dengan ketaatan administrasi dan regulasi yang menjadi dasar diskresi, (d) Kewenangan diskresi aparat pemerintah, bisa menjadi solusi alternatif dalam merespon hambatan dalam pelayanan publik, namun juga memiliki implikasi adanya penyimpangan kewenangan (abuse of power); dan (e) Kewenangan untuk mengambil diskresi sangat terbatas. Para pejabat birokrasi tidak berani mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan, sehingga v
kegiatan pelayanan publik menjadi sangat rule-driven dan rigid; 6. Ruang upaya Administratif yang tidak logis. Badan atau Pejabat Pemerintahan wajib menyelesaikan Keberatan dan Banding tersebut paling lambat 10 (sepuluh) hari sejak Keberatan atau Banding diterima. Jika terlambat, maka Keberatan atau Banding tersebut, dinyatakan diterima. Batasan waktu 10 (sepuluh) hari tersebut bersifat rigid dan limitatif. Tidak ada alasan apapun untuk mentolerir keterlambatan. Hal ini dikhawatirkan dapat dijadikan alasan bagi pihak-pihak untuk menggugat Kebijakan atau Tindakan Badan atau Aparat Pemerintahan demi kepentingan mereka; 7. Ketidakjelasan implementasi Ketentuan Peralihan. Pengajuan gugatan sengketa Administrasi Pemerintahan yang sudah didaftarkan pada pengadilan umum tetapi belum diperiksa, dengan berlakunya undang-undang ini dialihkan dan diselesaikan oleh PTUN. Artinya, semua perkara terkait kebijakan atau tindakan aparat pemerintahan yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan maupun baru didaftarkan ke Pengadilan Umum (termasuk Tipikor), harus dialihkan penanganannya ke PTUN; 8. Disharmoni materi dan implementasi UU AP dengan beberapa regulasi lain seperti UU KUHP, UU Tipikor, UU BPK, dan UU Perbendaharaan Negara, meliputi: (a) Penyalahgunaan wewenang yang berdampak kerugian negara (korupsi atau sekedar maladministrasi); (b) Penyelesaian sengketa yang terkait dengan yurisdiksi peradilan (kewenangan PTUN atau peradilan umum termasuk Tipikor); (c) Kewenangan Plt. yang tidak boleh mengambil kebijakan strategis; (d) Siapa yang dimaksud dengan aparat pengawasan intern pemerintah --- yang selama ini dimaknai sebagai APIP --- yang akan bertugas mengawasi penyalahgunaan wewenang dari kebijakan atau tindakan aparatur yang berdampak paling fatal menimbulkan kerugian negara sekalipun (dimana eksistensi fungsional BPK?); dan (e) Implementasi ketentuan peralihan UU AP (apakah berlaku untuk perkara dengan tempus delicti sebelum 17 Oktober 2014 atau tidak dan penegasan kompetensi absolut PTUN untuk menangani perkara kebijakan aparatur pemerintahan). Permasalahan yang muncul terkait implementasi UU AP harus segera ditangani karena akan mempengaruhi proses penyelenggaraan pemerintahan. Oleh sebab itu, berikut disampaikan beberapa alternatif penyelesaian masalah yang dapat/perlu dilakukan, sebagai berikut: 1. Perlu disusun segera PP yang mengatur tentang cakupan tugas dan mekanisme koordinasi pelaksanaan kewenangan yang bersumber vi
dari atribusi, delegasi maupun mandat. 2. Perlu diatur secara khusus PP yang mengatur tentang diskresi bagi Plt. Kepala Daerah selama masa transisi pemerintahan. Diskresi dimaksud dibenarkan berdasarkan UU AP dengan dasar adanya pertentangan antar Undang-Undang; 3. Perlu disusun segera PP yang mengatur mengenai mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan. Dalam PP tersebut, Presiden dapat mendelegasikan sengketa kewenangan kepada Menteri atau Kepala Daerah. Hal ini dimaksudkan agar tidak semua penyelesaian sengketa harus diselesaikan oleh Presiden; 4. Perlu dibahas dan disepakati dalam Forum Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan dan Kepolisian RI (disingkat Mahkumjakpol) plus BPK dan KPK tentang penyelesaian sengketa kewenangan antara ranah pidana dengan ranah administrasi pemerintahan/birokrasi. Ke depan, perlu harmonisasi antara UU AP dengan Undang-Undang yang terkait dengan dampak hukum larangan penyalahgunaan wewenang tersebut. Dalam hal ini diperlukan sinkronisasi dan penyamaan persepsi terhadap pengertian dan indikator kerugian negara yang ada pada beberapa peraturan perundang-undangan; 5. Perlu PP yang secara khusus mengatur dan menjelaskan makna dan mekanisme diskresi berdasarkan UU AP. Perlu disusun sebuah standar operasional prosedur (SOP) terkait penanganan Keberatan maupun Banding administrasi yang wajib diberlakukan di seluruh instansi Pemerintah. Penyusunan SOP ini juga diwajibkan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf h UU AP. Perlu dibahas dan disepakati dalam Forum Mahkumjakpol plus KPK tentang SOP penanganan banding. Jika perlu ada MOU antara para pihak tersebut; 6. Presiden memimpin langsung forum yang melibatkan Ketua MA, Ketua KPK plus Mahkumjakpol untuk menyepakati perihal mekanisme penyelesaian sengketa. Selanjutnya, Ketua MA diharapkan dapat membuat edaran bagi para hakim untuk melaksanakannya; 7. Sebagai tindak lanjut atas kesepakatan tersebut, presiden dapat menunjuk Menkopolhukam atau Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) sebagai koordinator monitoring atas implementasinya. Begitu pula dengan Kapolri dan Jaksa Agung untuk memerintahkan kepada Penyidik dan Jaksa agar melaksanakan UU AP terkait perkara dengan obyek hukumnya (kebijakan atau tindakan aparatur pemerintahan); vii
8. Menginstruksikan kepada Kejaksaan, Kepolisian & BPKP --- institusi di ranah eksekutif --- untuk mengaudit kasus-kasus tindak pidana (pidana umum maupun korupsi) yang menjerat pejabat atau mantan pejabat yang sekarang sedang ditangani di tahap penyelidikan maupun penyidikan dan mengklasifikasikan perkara-perkara yang termasuk ranah Administrasi Pemerintahan, Pidana ataupun Tipikor. Berdasarkan pembahasan di atas dan memperhatikan alternatifalternatif penyelesaian masalah dalam implementasi UU AP, Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara – Deputi Bidang Kajian Kebijakan merekomendasikan prioritas kebijakan dan tindakan yang perlu segera dilakukan adalah : 1. Presiden menginstruksikan kepada Kejaksaan, Kepolisian dan BPKP institusi di ranah eksekutif- untuk melakukan audit terhadap kasuskasus tindak pidana yang sedang ditangani di tahap penyelidikan maupun penyidikan (pidana umum maupun korupsi), yang menjerat pejabat atau mantan pejabat yang sekarang dan mengklasifikasikan perkara-perkara tersebut termasuk ranah Administrasi Pemerintahan, pidana umum ataukah Tipikor; 2. Perlu segera diaktifkannya kembali Forum Mahkumjakpol plus BPK dan KPK untuk mencari kesekapatan mekanisme penanganan kasuskasus yang diduga terkait kerugian negara, apakah menggunakan ranah hukum pidana (KUHP atau UU Tipikor) atau hukum administrasi negara (UU AP). B. Transisi Pemerintahan di masa Pilkada Serentak Sebanyak 269 kepala daerah habis atau sengaja “dihabiskan” masa jabatannya pada akhir 2015. Hal ini sesuai dengan amanat Perpu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2015 dan terakhir diubah dengan UU No. 8 Tahun 2015. Klausul mengenai Pemilukada serentak tertuang dalam Pasal 3 ayat (1) Perpu No. 1 Tahun 2014 : Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, Pemilukada serentak berpotensi memunculkan masalah, antara lain: (1) terjadi kekosongan kepala daerah definitif pada Pemilukada serentak tahap awal (transisi I), dimana ada kepala daerah yang sudah habis masa jabatannya sebelum Pemilukada bulan Desember tahun 2015, sehingga harus dilantik pelaksana tugas (Plt) untuk mengisi kekosongan tersebut; (2) pemajuan/pemotongan masa viii
jabatan kepala daerah, dimana ada kepala daerah yang belum habis masa jabatannya pada Pemilukada bulan Desember tahun 2015; dan (3) kembali terjadi kekosongan kepala daerah dan pemajuan/pemotongan masa jabatan kepala daerah pada Pemilukada serentak secara nasional, dimana kepala daerah hasil Pemilukada Tahun 2020 sudah berakhir jabatannya pada tahun 2025, sehingga harus diangkat pelaksana tugas untuk mengisi kekosongan kepala daerah selama 2 tahun menunggu Pemilukada tahun 2027. Kepala daerah hasil Pemilukada tahun 2023 hanya menjabat selama 4 tahun karena harus mengikuti Pemilukada serentak di tahun 2027. Namun, pengangkatan Plt atau Pj kepala daerah pada kondisi pemilukada serentak bukan hanya berimplikasi pada persoalan teknis administratif belaka, tetapi juga akan berakibat pada hal-hal sebagai berikut: 1. Lamanya masa jabatan Plt atau Pj kepala daerah, baik untuk masa transisi I, transisi II maupun transisi III. Pada siklus normal pelaksanaan pemilukada mulai dari pendaftaran sampai dengan pengumuman pemenang calon sudah memakan waktu yang cukup panjang, terlebih apabila calon yang kalah mengajukan keberatan hasil Pemilukada ke Mahkamah Konstitusi maka akan menambah masa jabatan Plt atau Pj. Pada masa transisi I dan II, masa jabatan kepala daerah mungkin akan lebih aman, artinya tidak melebihi jangka waktu 1 tahun (dengan catatan tidak ada sengketa hasil pemilukada). Namun untuk masa transisi III sebagaimana diungkapkan sebelumnya, masa jabatan Plt atau Pj pasti akan melebihi 2 (dua) tahun; 2. Keterbatasan kewenangan Plt atau Pj. Batas kewenangan Plt atau Pj telah diatur dalam PP No. 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yaitu: (a) dilarang melakukan mutasi pegawai; (b) dilarang membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perijinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya; (c) dilarang membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya; dan (d) dilarang membuat kebijakan yang penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan. Namun keempat larangan tersebut dapat dikecualikan apabila ada ijin dari Menteri Dalam Negeri (Pasal 132 A ayat 2 PP No. 49 Tahun 2008). Selanjutnya, di dalam Pasal 14 ayat (7) ix
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan: “bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran. Lebih jelas lagi, dalam Pasal 17 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 disebutkan bahwa pejabat pemerintah dilarang menyalahgunakan wewenang meliputi larangan melampaui wewenang, larangan mencampuradukkan wewenang, dan larangan bertindak sewenang-wenang. Kewenangan Plt atau Pj memang dibatasi pada hal-hal yang bersifat strategis karena ia hanya bersifat sebagai pelanjut roda pemerintahan, bukan kepala daerah definitif. Pemberian batasan kewenangan tersebut nantinya akan berakibat pada terhambatnya roda pemerintahan, apalagi beberapa daerah akan dipimpin oleh Plt atau Pj lebih dari dua tahun. Di Kabupaten Sintang misalnya, kekosongan Kepala Daerah sudah terjadi sejak 26 Agustus 2015 dan sejak tanggal tersebut kekosongan kepemimpinan di Kabupaten Sintang diisi oleh seorang Penjabat Bupati yang akan menjabat selama lebih dari 3 bulan sampai dengan bulan Desember 2015. Selanjutnya, apabila disimulasikan, kekosongan yang sama akan terjadi lagi di Kabupaten Sintang dengan jangka waktu kekosongan yang relatif lama yaitu selama 2 tahun. 3. Terjadinya ‘rangkap jabatan’ ASN. Terminologi rangkap jabatan yang dimaksud disini bukan rangkap jabatan sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, dan PP No. 47 Tahun 2005 tentang PNS yang Rangkap Jabatan. Pada Pasal 3 ayat (3) UU No. 43 Tahun 1999 disebutkan “Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik”. Sedangkan pada Pasal 4 ayat (3) PP No. 53 Tahun 2010 disebutkan “PNS dilarang tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau beekrja untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional. Pada Pasal 4 ayat (4) disebutkan “PNS dilarang bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing. Pengangkatan Plt atau Pj kepala daerah biasanya dari PNS dengan jabatan tinggi pratama (bupati/walikota) dan PNS dengan jabatan tinggi madya (gubernur). Menurut Pasal 19 UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN: 1) Jabatan tinggi pratama meliputi: direktur, kepala biro, asisten deputi, sekretaris direktoral jenderal, sekretaris, inspektorat jenderal, sekretaris kepala badan, kepala pusat, x
inspektur, kepala balai besar, asisten sekretariat daerah provinsi, sekretaris daerah kabupaten/kota, kepala dinas/kepala badan provinsi, sekretaris DPRD, dan jabatan lain yang setara. 2) Jabatan tinggi madya meliputi: sekretaris jenderal kementerian, sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal lembaga non struktural, kepala badan, staf ahli menteri, kepala Sekretariat Presiden, kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara. Pejabat yang menduduki jabatan-jabatan tersebut memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat besar, sehingga ketika yang bersangkutan ditunjuk menjadi Plt atau Pj gubernur/bupati/walikota tentu sedikit banyak akan mengganggu kinerja jabatan ‘utama’ yang diembannya. Permasalahan yang muncul terkait implementasi kebijakan Pemilukada serentak, harus segera ditangani karena akan mempengaruhi proses penyelenggaraan pemerintahan daerah secara keseluruhan. Oleh sebab itu, berikut disampaikan beberapa alternatif penyelesaian masalah yang dapat/perlu dilakukan. 1. Perlu diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri sebagai tindak lanjut PP No. 49 Tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah khususnya terkait empat larangan bagi Plt atau Pj kepala daerah. Dalam Permendagri tersebut memuat definisi, ruang lingkup dan hal-hal penting lain terkait pengaturan organisasi, SDM dan anggaran mengingat nanti terdapat Plt atau Pj lebih dari 2 (dua) tahun; 2. Perlu diterbitkan PP yang mengatur penjabaran diskresi bagi Plt. kepala daerah selama transisi pemerintahan. Diskresi dimaksud dibenarkan berdasarkan UU AP dengan dasar adanya pertentangan antar UU; 3. Perlu pengaturan pengangkatan jabatan Plt atau Pj kepala daerah, dimungkinkan jabatan tinggi madya yang berasal dari luar Kementerian Dalam Negeri; 4. Perlu pengaturan mengenai aspek kompetensi PNS yang akan diangkat menjadi Plt atau Pj kepala daerah, bukan hanya berdasarkan pada pangkat/golongan PNS yang bersangkutan. Berdasarkan pembahasan atas alternatif-alternatif penyelesaian masalah dalam implementasi kebijakan pemilukada serentak, maka Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara – Deputi Bidang Kajian Kebijakan merekomendasikan prioritas kebijakan dan tindakan yang perlu segera dilakukan adalah : xi
1. Perlu pengaturan tindak lanjut PP No. 49 Tahun 2008 mengingat lamanya masa jabatan larangan Plt atau Pj kepala daerah, atau dengan kata lain perlu percepatan penerbitan pp pengganti pp 49/2008 dalam rangka penjabaran uu 23/2014, yang memuat definisi, ruang lingkup dan hal-hal penting lain terkait pengaturan organisasi, SDM dan anggaran mengingat nanti terdapat Plt atau Pj lebih dari 2 (dua) tahun; 2. Perlu penegasan aspek kompetensi calon Plt atau Pj kepala daerah agar yang bersangkutan dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik C. Strategi pengembangan kompetensi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dalam rangka implementasi UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Sejak diberlakukannya UU AP, maka tugas APIP mempunyai perubahan yang sangat mendasar. Tidak hanya dalam aspek administratif saja, namun APIP juga berwenang untuk melakukan audit yang masuk ke ranah perhitungan keuangan negara dan termasuk pula mengkaji ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan tindakan dan/atau kebijakan Pejabat Pemerintahan. Lebih jauh lagi, pasca UU AP, maka SDM APIP dituntut untuk dapat menghasilkan kesimpulan apakah kesalahan yang terjadi masuk ranah pidana atau hanya permasalahan administratif saja. Fakta yang dihadapi saat ini, SDM APIP masih dihadapkan pada sejumlah tantangan seperti persoalan tumpang tindihnya pengawasan, hubungan dengan Aparat Penegak Hukum dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku auditor eksternal, kurangnya komitmen tindak lanjut atas hasil pengawasan, kurang jelasnya pembagian tugas antar lembaga pengawasan, serta minimnya kompetensi yang dimiliki oleh SDM APIP. Dalam konteks implementasi UU AP, yang diharapkan dapat menjadi payung hukum bagi ASN agar kinerjanya tidak ‘dipidanakan’, maka tantangan-tantangan tersebut harus dapat dicarikan solusi stratejik yang tepat sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kegiatan isu strategis ini merupakan salah satu upaya PKSANHAN LAN untuk memberikan solusi stratejik dari aspek pengembangan kompetensi yang diperlukan oleh SDM APIP dalam rangka pelaksanaan UU AP. Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: xii
1. Problematika apa saja yang dihadapi SDM APIP dalam melaksankan pengawasan intern pemerintah berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014? 2. Kompetensi apa saja yang diperlukan oleh SDM APIP? 3. Strategi apa yang perlu dilakukan untuk mengembangkan kompetensi SDM APIP untuk mendukung pelaksanaan UU No. 30 Tahun 2014? 4. Apa rekomendasi kebijakan untuk mengembangkan kompetensi SDM APIP ke depan? Permasalahan mendasar terkait APIP sebagaimana diatur dalam UU AP, mencakup beberapa hal sebagai berikut : 1. Ada ketidakjelasan siapa yang dimaksud dengan aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud dalam UU AP. Jika aparat dimaksud adalah APIP sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), maka BPK tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa kebijakan atau tindakan pemerintahan yang akan berdampak pada adanya kesalahan administratif dan/atau menimbulkan kerugian negara. Karena, BPK sebagai auditor eksternal, bukan termasuk dalam pengertian APIP sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerinthan tersebut; 2. Penyalahgunaan wewenang yang menjadi kompetensi APIP berdasarkan UU AP diatur juga dalam ranah hukum pidana. Dari koridor hukum pidana dan tindak pidana korupsi, penyalahgunaan wewenang diatur juga dalam Pasal 421 KUHP dan Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Berdasarkan Pasal 421 KUHP (Buku Kedua Kejahatan, Bab XXVIII, Kejahatan Jabatan), seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Pasal 3 UU Tipikor, juga mengatur bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling xiii
singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00. 3. Kerugian negara sebagai kompetensi APIP berdasarkan UU AP diatur dalam beberapa regulasi lainnya. Pengertian kerugian negara diatur dalam Ketentuan Umum UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara). Salah satu ciri kerugian negara dalam UU Perbendaharaan Negara adalah adanya unsur perbuatan melawan hukum (PMH). Begitu dinyatakan ada kerugian negara, berarti ada PMH yang bisa menjadi pintu masuk ke ranah pidana. 4. Belum ada kejelasan mengenai mekanisme pengembalian kerugian negara jika dibebankan kepada badan pemerintahan --- dalam hal ada salah administrasi, ada kerugian negara, tapi tidak ada kesalahan administratif ---. Mekanisme di Kemenkeu saat ini, sepertinya belum ada untuk penanggungan atas pembayaran kerugian negara oleh instansi pemerintah. Di sisi lain, secara khusus mengenai perhitungan dan pemeriksaan keuangan negara serta pengembalian kerugian negara diatur dalam UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK). Secara umum, berdasarkan uraian di atas, ditemukan adanya disharmonisasi regulasi, antara UU AP dengan KUHP, UU Tipikor, UU Perbendaharaan Negara dan UU BPK. Implikasinya, menjadi subyektifitas Aparat Penegak Hukum, untuk memilih dan meyakini tindakan tersebut akan dibawa ke ranah administrasi atau korupsi. Pengawasan larangan penyalahgunaan wewenang dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah, yang hasilnya dapat menyatakan bahwa tidak ada kesalahan administratif hingga adanya kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian negara. Kompetensi SDM APIP yang perlu dikembangkan dalam rangka melaksanakan UU AP adalah sebagai berikut : 1. SDM APIP harus mempunyai kemampuan untuk menghitung kerugian negara; 2. SDM APIP harus mempunyai kemampuan untuk menilai kebijakan atau tindakan Pejabat Pemerintahan, dari aspek administratif, auditif dan ekonomis; 3. SDM APIP harus mempunyai kemampuan untuk menilai aspek penyalahgunaan wewenang (conflict of interest) dalam pelaksanaan kebijakan atau tindakan Pejabat Pemerintahan; xiv
4. SDM APIP harus mempunyai kompetensi untuk berkoordinasi dengan Aparat Penegak Hukum dan Auditor Eksternal dalam pelaksanaan pengawasan kebijakan atau tindakan Pejabat Pemerintahan. Untuk itu, perlu dilakukan beberapa upaya stratejik dengan melibatkan beberapa instansi terkait, sebagai berikut: 1. Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementerian PAN dan RB serta BPKP sebagai instansi pembina Jabatan Fungsional Auditor, perlu merumuskan ulang standar kompetensi Auditor disesuaikan dengan norma dalam UU AP. Terkait dengan hal ini, maka perlu dilakukan perubahan atas Permenpan dan RB No. Per/05/M.PAN/03/2008 tentang Standar Audit APIP; 2. LAN sebagai instansi pembina Diklat ASN --- termasuk SDM APIP --, perlu berkoordinasi dengan BPKP untuk merumuskan standar Diklat untuk mengembangkan kompetensi SDM APIP sesuai dengan UU AP dan berdasarkan standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada angka 1.
xv
xvi
SAMBUTAN KEPALA LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
Dalam sistem administrasi negara, kebijakan sebagai instrumentasi penyelenggaraan pemerintahan, memegang peranan penting untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Namun demikian, tidak kalah penting adalah peran pemerintah untuk mengawal pelaksanaan kebijakan tersebut. Seiring dinamika kekinian yang terjadi dalam masyarakat, implementasi kebijakan yang bersifat dinamis akan melahirkan isu-isu strategis dan permasalahan yang harus direspon secara cepat (quick response). Sebagai lembaga pemerintah yang bertanggung jawab secara fungsional dalam bidang pengembangan administrasi negara, LAN senantiasa perlu untuk melakukan pengkajian dan merumuskan rekomendasi serta solusi terkait isu-isu strategis dalam praktek sistem administrasi negara di Indonesia. Melaui kegiatan kajian isu-isu strategis diharapkan dapat dirumuskan rekomendasi kebijakan yang memuat alternatif solusi penyelesaian masalah aktual di bidang administrasi negara. Selain itu, hasil kajian isu-isu strategis ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi pejabat publik dan penyelenggara negara dalam merumuskan kebijakan maupun untuk mengevaluasi implementasi kebijakan. Berpijak pada berbagai peraturan perundang-undangan di bidang administrasi negara yang diterbitkan dalam beberapa tahun belakangan ini, sifat kegiatan kajian ini dilakukan dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama dan rekomendasinya harus segera disampaikan kepada pihak xvii
terkait, sebagai wujud kontribusi nyata LAN dalam pembangunan dan pengembangan administrasi negara di Indonesia. Atas hal tersebut, saya menyambut baik dilaksanakannya kegiatan “Kajian Isu-isu Strategis” ini. Melalui identifikasi isu yang tepat dan bersifat aktualstrategis, diharapkan dapat membantu pemerintah untuk merumuskan langkah dalam mengimplementasikan kebijakan. Saya berharap semoga hasil Kajian ini bermanfaat bagi pembangunan dan pengembangan sistem administrasi negara Republik Indonesia.
Jakarta, Desember 2015 Kepala Lembaga Administrasi Negara
Adi Suryanto
xviii
KATA PENGANTAR
Kajian
isu-isu
strategis
merupakan
upaya
institusional
Lembaga
Administrasi Negara (LAN) untuk merespon secara cepat (quick response) atas dinamika praktek dalam implementasi kebijakan di bidang sistem dan hukum administrasi negara di Indonesia. Praktek penyelenggaraan administrasi negara yang sangat dinamis, memerlukan pengkajian dan perumusan rekomendasi yang waktu pelaksanaan kegiatannya disesuaikan dengan kebutuhan (kondisional) serta tidak berdurasi 1 (satu) tahun anggaran. Salah satu bentuk reformasi administrasi negara di Indonesia ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Regulasi dimaksud telah membawa perubahan besar dalam penataan bidang sumber daya manusia, kelembagaan maupun ketatalaksanaan penyelenggaraan pemerintahan negara. Atas dasar itu, LAN memandang perlu melakukan kajian terhadap potensi permasalahan stratejik yang timbul sebagai akibatnya ditetapkannya kebijakan tersebut. Pada Tahun Anggaran 2015, Deputi Bidang Kajian Kebijakan LAN cq. Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara (PKSHAN) telah melaksanakan 3 (tiga) kajian isu-isu strategis yang terdiri atas : (1) Implementasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan; (2) Transisi Pemerintahan di Masa Pilkada Serentak; dan xix
(3) Strategi Pengembangan
Kompetensi Aparat Pengawasan Intern
Pemerintah (APIP) . Melalui kegiatan kajian isu strategis tersebut, telah dihasilkan beberapa alternatif rekomendasi kebijakan yang diharapkan dapat menjadi solusi atas potensi permasalahan yang timbul sebagai dampak dari implementasi beberapa regulasi di bidang sistem dan hukum administrasi negara. Ucapan terima kasih, kami sampaikan kepada semua pihak, khususnya kontributur dan nara sumber dari kalangan instansi Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Daerah maupun perguruan tinggi (akademisi) yang telah bekerjasama dalam diskusi, memberikan data/informasi yang diperlukan serta menyumbangkan gagasan dan pemikiran yang sangat bermanfaat bagi penyusunan laporan hasil kajian isu-isu strategis ini. Semoga laporan hasil kajian isu-isu strategis ini dapat memberi manfaat bagi stakeholders, baik di lingkungan pemerintahan, akademisi maupun masyarakat. Jakarta, Desember 2015 Deputi Bidang Kajian Kebijakan Lembaga Administrasi Negara
Sri Hadiati W.K.
xx
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………………... RINGKASAN EKSEKUTIF ……………………………………………………………… SAMBUTAN KEPALA LEMBAGA ADMNISTRASI NEGARA…………….... KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………... DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………. BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………………. A. Latar Belakang ………………………………………………………………………. B. Tujuan dan Sasaran ……………………………………………………………….. C. Indikator Kinerja …………………………………………………………………… D. Waktu Pelaksanaan ……………………………………………………………….. E. Anggaran ………………………………………………………………………………. F. Sistematika Laporan ……………………………………………………………… BAB II IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN ………………………………... A. Latar Belakang ………………………………………………………………………. B. Perumusan Masalah ……………………………………………………………… C. Tujuan Kegiatan ……………………………………………………………………. D. Pokok Pembahasan ……………………………………………………………….. E. Isu dan Rekomendasi …………………………………………………………….. F. Rekomendasi Stratejik yang Mendasar …………………………………... BAB III TRANSISI PEMERINTAHAN DI MASA PILKADA SERENTAK . A. Latar Belakang ………………………………………………………………………. B. Perumusan Masalah ……………………………………………………………… C. Tujuan Kegiatan ……………………………………………………………………. D. Pokok Pembahasan ……………………………………………………………….. E. Metode Pelaksanaan Kegiatan dan Narasumber ……………………... F. Pertanyaan dan Hasil Diskusi ………………………………………………… G. Analisis …………………………………………………………………………………. H. Alternatif Upaya Penyelesaian Masalah ………………………………….. I. Rekomendasi Pilihan Kebijakan ……………………………………………... BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN KOMPETENSI APARAT PENGAWASAN INTERN PEMERINTAH (APIP) DALAM RANGKA IMPLEMENTASI UU NO. 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN ………………………………………………………………………… A. Latar Belakang ……………………………………………………………………… B. Perumusan Masalah ……………………………………………………………… C. Tujuan Kegiatan ……………………………………………………………………. D. Pokok Pembahasan ……………………………………………………………….. E. Narasumber ………………………………………………………………………….. xxi
i iii xvii xix xxi 1 1 2 2 2 2 3 5 5 6 8 9 10 21 23 23 24 24 25 25 26 36 42 43
45 45 48 49 49 49
F. Tinjauan Konsep Kompetensi dan Pengawasan Intern ……………. G. Tinjauan Normatif Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) …………………………………………………………………………………… H. Hasil Diskusi ………………………………………………………………………….. I. Rekomendasi ………………………………………………………………………… BAB V REKOMENDASI HASIL KAJIAN …………………………………………... A. Implementasi Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan ……………………………………………………. B. Transisi Pemerintahan di Masa Pilkada Serentak ……………………. C. Strategi Pengembangan Kompetensi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Dalam Rangka Implementasi UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan …………………… DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………….
xxii
50 54 58 61 63 63 66 66 69
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kajian tentang isu-isu strategis di bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara Bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara merupakan upaya untuk merespon secara cepat (quick response) atas dinamika praktek dalam implementasi kebijakan di bidang sistem dan hukum administrasi negara di Indonesia. Untuk itu, kajian ini mempunyai durasi waktu yang pendek dan dilakukan beberapa kali dalam 1 (satu) tahun anggaran disesuaikan dengan kebutuhan untuk merespon dinamika tersebut di atas. Jika dimungkinkan, rekomendasi kebijakan atau policy brief kajian isu strategis ini disampaikan kepada para pemangku kepentingan (stakeholders) pada saat berakhirnya masing-masing kegiatan tersebut. Pada tahun anggaran 2015, dilaksanakan 3 (tiga) kegiatan yang dipandang penting (urgent) untuk disikapi yakni sebagai berikut: 1. Implementasi UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan; 2. Transisi Pemerintahan di Masa Pilkada Serentak; dan 3. Strategi pengembangan kompetensi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dalam rangka implementasi UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
1
B. Tujuan dan Sasaran Kajian tentang Isu-isu Strategis di Bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara ini akan dilakukan dengan tujuan menganalisis dan menyusun policy brief terkait isu-isu aktual yang strategis di bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara Sasaran yang ingin dicapai dari Kajian tentang Isu-isu Strategis di Bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara ini adalah tersedianya rekomendasi kebijakan yang memuat alternatif solusi penyelesaian masalah-masalah aktual di bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara. C. Indikator Kinerja Indikator kinerja kegiatan kajian ini adalah tersedianya 1 (satu) paket laporan Kajian tentang Isu-isu Strategis di Bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara. D. Waktu Pelaksanaan Kegiatan kajian isu-isu strategis ini dilaksanakan selama 10 (sepuluh) bulan dalam tahun anggaran 2015. E. Anggaran Anggaran yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan kajian isu-isu strategis ini sebesar Rp. 191.604.000 yang dibebankan pada APBN LAN.
2
F. Sistematika Laporan BAB I
Pendahuluan berisi Latar Belakang, Tujuan dan Sasaran, Indikator
Kerja,
Waktu
Pelaksanaan,
Anggaran,
dan
Sistematika Laporan BAB II
Implementasi Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan yang berisi Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Kegiatan, Pokok Pembahasan, Isu dan Rekomendasi, dan Rekomendasi Stratejik yang Mendasar BAB III
Transisi Pemerintahan di Masa Pilkada Serentak yang berisi Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan
Kegiatan,
Pokok Pembahasan, Metode Pelaksanaan Kegiatan dan Narasumber, Pertanyaan dan Hasil
Diskusi, Analisis,
Alternatif Upaya Penyelesaian Masalah, dan Rekomendasi Pilihan Kebijakan BAB IV
Strategi Pengembangan Kompetensi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dalam rangka Implementasi UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang berisi Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Kegiatan, Pokok
Pembahasan,
Narasumber,
Tinjauan
Konsep
Kompetensi dan Pengawasan Intern, Tinjauan Normatif APIP, Hasil Diskusi, dan Rekomendasi BAB V
Rekomendasi Hasil Kajian yang berisi Implementasi UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administasi Pemerintahan, Transisi Pemerintahan di Masa Pilkada Serentak, dan Strategi Pengembangan Kompetensi APIP dalam rangka Implementasi
UU
Nomor
Administrasi Pemerintahan. 3
30
Tahun
2014
tentang
4
BAB II IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
A. Latar Belakang Undang-Undang
No.
30
Tahun
2014
tentang
Administrasi
Pemerintahan (UU AP) yang diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2014 lalu memuat perubahan penting dalam penyelenggaran birokrasi pemerintahan. Pada hakekatnya UU AP bertujuan untuk : 1. menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan; 2. menciptakan kepastian hukum; 3. mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang; 4. menjamin akuntabilitas badan dan/atau pejabat pemerintahan; 5. memberikan pelindungan hukum kepada warga masyarakat dan aparatur pemerintahan; 6. melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menerapkan AUPB; dan 7. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada warga masyarakat. UU AP merupakan pedoman bagi penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan memberikan pelindungan hukum bagi aparatur pemerintahan sebagai akibat ditetapkannya sebuah kebijakan/ tindakan.
Dengan diberlakukannya UU AP diharapkan tidak ada
kriminalisasi bagi Aparatur Pemerintah atas kebijakan yang ditetapkan maupun terhadap tindakan yang dilakukan.
5
Dalam prakteknya, hingga saat ini norma dalam UU AP belum dijadikan sebagai dasar bagi aparatur pemerintah maupun aparat penegak hukum. Hal ini disebabkan karena adanya disharmoni peraturan perundang-undangan, multi tafsir norma, hingga belum adanya komitmen bersama untuk mengimplementasikan UU AP sebagaimana mestinya. Kondisi tersebut membuat kesan UU AP seakan mati suri. Jika permasalahan di atas tidak segera diatasi (quick response policy), maka tujuan mulia dari UU AP tidak akan tercapai, bahkan UU AP hanya akan menjadi dokumen tertulis semata. Terkait hal tersebut, Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara – Lembaga Administrasi Negara (PKSHAN – LAN) melakukan kegiatan kajian isu strategis tentang implementasi UU AP. Diharapkan, melalui kegiatan ini dapat dirumuskan rekomendasi stratejik sebagai bentuk quick response atas permasalahan dalam pelaksanaan UU AP dimaksud. B. Perumusan Masalah 1. Munculnya UU AP ditanggapi beragam oleh beberapa pihak terutama oleh pihak-pihak dari kalangan praktisi pemerintahan (hukum administrasi/hukum pidana) dan aparat penegak hukum. Tanggapan tersebut terkait bagaimana implementasi beberapa pasal UU AP dihadapan Undang-Undang lainnya, terutama UU Tindak Pidana Korupsi. Misal: a. Beberapa pihak memandang UU AP bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi. Sementara beberapa pihak lain memandang bahwa UU AP memberikan perlindungan
6
kepada aparatur pemerintah dari pemidanaan atas maladministrasi; b. Beberapa
pihak
memandang
penegakan
hukum
UU
Tipikor/pidana harus didahulukan daripada penegakan hukum UU AP atau UU lainnya (misal UU Perpajakan, UU Lingkungan Hidup). Sedangkan praktisi pemerintahan memandang bahwa penegakan hukum UU AP atau UU lainnya (misal UU Perpajakan, UU Lingkungan Hidup) harus didahulukan daripada UU Tipikor/KUHP; c. UU AP mengatur secara khusus hukum acara yang berbeda dengan hukum acara pidana maupun Tipikor. Permasalahan
tersebut
muncul
karena
utamanya
terkait
implementasi beberapa norma dalam UU AP sebagai berikut. a. Larangan Penyalahgunaan wewenang sebagai akibat kesalahan administratif atau bahkan yang berdampak adanya kerugian negara (pasal 17, 18, 19, 20, dan 21); b. Diskresi (Bab VI); c. Hukum acara khusus (Pasal 20 dan 21); d. Ketentuan Peralihan (pasal 85, 86, dan 87). 2. Norma-norma dimaksud dikaitkan dengan penegakan hukum dari sisi hukum pidana, yang diatur dalam KUHP dan UU Tipikor, yang mengatur pula mengenai unsur “penyalahgunaan wewenang” dan “kerugian negara”. Berdasarkan Pasal 421 KUHP (Buku Kedua Kejahatan, Bab XXVIII, Kejahatan Jabatan), seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan 7
atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Terkait penyalahgunaan wewenang, Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga mengatur bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang
lain
atau
suatu
korporasi,
menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun & paling lama 20 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 & paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 3. Terkait ketentuan peralihan, masih menjadi perdebatan apakah UU AP dapat diterapkan untuk kasus yang terjadi setelah ataukah sebelum 17 Oktober 2014?
C. Tujuan Kegiatan 1. Membahas
butir-butir
permasalahan
krusial
dalam
rangka
implementasi UU AP, terlebih apabila dikaitkan dengan adanya perbedaan pendapat dari sudut pandang hukum administrasi dengan hukum pidana. Khususnya terkait penegakan hukum apabila sebuah kebijakan yang dianggap merupakan bentuk penyalahgunaan
wewenang,
apakah
penegakan
hukumnya
menggunakan UU AP ataukah KUHP/UU Tipikor? 2. Menghasilkan
beberapa
pendapat
atau
solusi
yang
dapat
menjembatani perbedaan pandangan hukum yang terjadi, terutama terkait penegakan hukum atas kasus-kasus yang kemungkinan yang 8
akan
terjadi
dalam
praktek
penyelenggaraan
kegiatan
pemerintahan secara empiris. D. Pokok Pembahasan Kegiatan yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan alternatif jawaban atas pokok bahasan diskusi yang dituangkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah pada prinsipnya sebuah kebijakan bisa dipidanakan? 2. Siapakah (lembaga) yang berwenang menentukan bahwa sebuah kasus dengan obyek keputusan/tindakan aparatur pemerintah menjadi ranah PTUN atau Pengadilan Tipikor? 3. Proses hukum manakah yang harus didahulukan apabila terjadi kasus penyalahgunaan wewenang oleh aparatur pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan/tindakan? Hukum Administrasi /Tata Usaha Negara atau Hukum Tindak Pidana /Tipikor? 4. Bagaimana pemahaman terhadap istilah “kerugian negara” dalam konteks UU AP. 5. Lembaga manakah yang dapat menentukan kerugian Negara, apakah BPK saja ataukah juga Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP)? 6. Apa jaminan yang memberikan perlindungan hukum terhadap aparatur
penyelenggara
negara
dalam
mengeluarkan
keputusan/tindakan, termasuk penggunaan diskresi? 7. Apakah pengaturan diskresi dalam UU AP sudah cukup memadai? 8. Apakah UU AP dapat diterapkan untuk kasus yang waktu kejadian (tempus delicti) sebelum 17 Oktober 2015?
9
E. Isu dan Rekomendasi Munculnya UU AP ditanggapi beragam oleh beberapa pihak terutama dari kalangan praktisi pemerintahan (hukum administrasi/hukum pidana) dan aparat penegak hukum. Hal ini dikarenakan ada beberapa disharmonisasi norma dalam UU AP yang berpotensi menimbulkan permasalahan
mendasar
dalam
implementasinya
atau
bahkan
membuat takut aparatur pemerintah dalam mengimplementasikan Undang-Undang tersebut. Berikut adalah rincian isu, analisis dan rekomendasi stratejik terkait implementasi UU AP. 1. Kewenangan Plt. maupun Plh. yang Bersumber dari Mandat (Bagian Keempat Pasal 14 UU AP beserta penjelasannya) Analisis: Khusus mengenai kewenangan yang bersumber dari Mandat, yang melahirkan Pelaksana Tugas (Plt) dan Pelaksana Harian (Plh). Plt maupun Plh tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian (mutasi, promosi maupun demosi), dan alokasi anggaran. Termasuk dalam hal ini adalah tidak boleh mengubah perencanaan strategis. Dalam praktek, hal ini sering menimbulkan permasalahan. Pejabat tidak berani mengambil keputusan, karena batas antara strategis dan rutin, sangatlah tipis. Dikhawatirkan hal ini dapat mengganggu pelayanan publik dan kinerja organisasi
10
Selain itu, tanggung jawab Plt. atau Plh. yang harus melaporkan kepada pejabat yang memberi mandat, akan mengakibatkan rentang kendali birokrasi menjadi panjang. Sedangkan berdasarkan Pasal 14 ayat (7) UU AP beserta penjelasannya bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh
Wewenang
melalui
mandat
tidak
berwenang
mengambil Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran. Termasuk dalam hal ini adalah Plt tidak boleh melakukan kebijakan atau tindakan yang berdampak besar, termasuk penetapan rencana strategis dan rencana kerja pemerintah. Kewenangan Plt. memang dibatasi pada hal-hal yang bersifat rutin atau day-to day (tidak strategis) karena ia hanya bersifat sebagai pelanjut roda pemerintahan bukan pejabat definitif. Adanya batasan kewenangan tersebut dikhawatirkan dapat menghambat roda pemerintahan. Antisipasi problem mendesak, terkait Pilkada serentak yang berakibat sangat banyak daerah akan dipimpin oleh Plt. dalam waktu yang cukup lama (bisa lebih dari 6 bulan bahkan hingga 2 tahun, sampai dengan terpilihnya Kdh definitif). Dalam hal ini, Plt Gubernur wajib berkoordinasi dan lapor ke Mendagri dan Plt. Bupati lapor kepada Gubernur. Sedangkan sisi lain, masa Pilkada yang berada di semester akhir anggaran, berimplikasi Plt. harus menandatangani dokumen-dokumen perencanaan kegiatan, usulan perencanaan anggaran bahkan sangat mungkin hingga penetapan anggaran definitif (dalam format Perda). 11
Secara umum, meskipun, Plt. Kepala Daerah (KDH) terutama dalam hal transisi pemerintahan, perlu diberikan dasar hukum agar dapat mengambil keputusan strategik, namun tetap harus dibatasi dan dilaporkan kepada pemberi mandat. Rekomendasi: a. Perlu disusun segera PP yang mengatur mengenai cakupan tugas dan mekanisme koordinasi pelaksanaan kewenangan yang bersumber dari atribusi, delegasi maupun mandat. b. Perlu diatur secara khusus, PP yang mengatur mengenai diskresi bagi Plt. KDH selama transisi pemerintahan. Diskresi dimaksud dibenarkan
berdasarkan
UU
AP
dengan
dasar
adanya
pertentangan antar UU. 2. Batasan dan Membangun Mekanisme Penyelesaian Sengketa Kewenangan yang Rasional (Bagian Keenam Pasal 16) Analisis: Mekanisme sengketa kewenangan dalam lingkup pemerintahan diselesaikan melalui alur koordinasi, kesepakatan dan pada ujungnya berakhir di Presiden. Hal ini menimbulkan permasalahan terkait : a. Jenis dan cakupan sengketa kewenangan. Dalam UU AP, tidak jelas batasannya. Apakah mungkin, semua sengketa kewenangan tersebut akan diselesaikan oleh Presiden (jika tidak ada titik temu) b. Perlu kejelasan mekanisme dan prosedur penyelesaian sengketa kewenangan ini. Jika memungkinkan tidak semua penyelesaian kewenangan harus rampung di Presiden. Kalaupun terpaksa 12
demikian, perlu kiranya ada instansi atau unit dilingkup eksekutif yang berwenang memutuskan bersumber delegasi dari Presiden. Diharapkan, tidak semua penyelesaian sengketa yang tidak ada titik temunya harus diselesaikan secara langsung oleh Presiden. Rekomendasi: Perlu disusun segera PP yang mengatur mengenai mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan. Dalam PP tersebut, Presiden dapat mendelegasikan penyelesaian sengketa kewenangan kepada Menteri atau Gubernur. 3. Akibat Hukum dari Larangan Penyalahgunaan Wewenang (Bagian Ketujuh Pasal 20) Analisis: Pengawasan larangan penyalahgunaan wewenang dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah, yang hasilnya dapat menyatakan bahwa tidak ada kesalahan administratif hingga adanya kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian negara. Dalam UU AP, jika terjadi kondisi paling buruk --- ada salah administrasi, ada kerugian negara ---, maka mekanisme adalah pengembalian kerugian negara tersebut baik oleh pribadi maupun institusi. Permasalahan mendasar mencakup: a. Ada ketidakjelasan siapa yang dimaksud dengan aparat pengawasan internal pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam UU AP. Jika aparat dimaksud adalah APIP sebagaimana diatur dalam PP No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian 13
Intern Pemerintah (SPIP), maka menutup kemungkinan BPK untuk memeriksa kebijakan atau tindakan pemerintahan yang akan berdampak pada kerugian negara. Karena, BPK merupakan auditor eksternal, bukan merupakan aparat pengawas internal; b. Dari koridor hukum pidana dan tindak pidana korupsi, penyalahgunaan wewenang diatur juga dalam Pasal 421 KUHP dan Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Berdasarkan Pasal 421 KUHP (Buku Kedua Kejahatan, Bab XXVIII,
Kejahatan
menyalahgunakan
Jabatan), kekuasaan
seorang memaksa
pejabat
yang
seseorang
untuk
melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Pasal 3 UU Tipikor, juga mengatur bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00. c. Pengertian kerugian negara diatur dalam Ketentuan Umum UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara). Salah satu ciri kerugian negara dalam UU Perbendaharaan Negara adalah adanya unsur perbuatan 14
melawan hukum (PMH). Begitu dinyatakan ada kerugian negara, berarti ada PMH yang bisa menjadi pintu masuk ke ranah pidana. d. Belum ada kejelasan mengenai mekanisme pengembalian kerugian negara jika dibebankan kepada badan pemerintahan --dalam hal ada salah administrasi, ada kerugian negara, tapi tidak ada kesalahan administratif ---. Mekanisme di Kemenkeu saat ini, sepertinya belum ada untuk penanggungan atas pembayaran kerugian negara oleh instansi pemerintah. Di sisi lain, secara khusus mengenai perhitungan dan pemeriksaan keuangan negara serta pengembalian kerugian negara diatur dalam UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Secara umum, ada disharmonisasi regulasi, antara UU AP dengan UU KUHP, UU Tipikor, UU Perbendaharaan Negara dan UU BPK. Implikasinya, menjadi subyektifitas Aparat Penegak Hukum, untuk memilih dan meyakini tindakan tersebut akan dibawa ke ranah administrasi atau korupsi. Rekomendasi: Perlu dibahas dan disepakati dalam Forum Mahkumjakpol plus BPK dan KPK. Ke depan (long term), perlu harmonisasi antara UU AP dengan UU yang terkait dengan dampak hukum larangan penyalahgunaan wewenang tersebut. 4. Jaminan Implementasi Diskresi (Bab VI) Analisis: a. Hampir semua inovasi pastinya memerlukan payung diskresi sebagai dasar pengaman pengambilan keputusan atau tindakan; 15
b. Semua sektor dalam birokrasi ada peraturan sektoralnya, sehingga mempersempit ruang untuk diskresi; c. Reformasi birokrasi yang mengutamakan pelayanan publik belum sinergi dengan ketaatan administrasi dan regulasi yang menjadi dasar diskresi; d. Kewenangan diskresi aparat pemerintah, bisa menjadi solusi alternatif dalam merespon hambatan dalam pelayanan publik, namun
juga
memiliki
implikasi
adanya
penyimpangan
kewenangan (abuse of power); e. Kewenangan untuk mengambil diskresi sangat terbatas. Pada pejabat birokrasi tidak berani mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan sehingga kegiatan pelayanan publik menjadi sangat rule-driven dan rigid. Secara regulasi, diskresi yang diatur dalam UU AP, merupakan diskresi
bersyarat
dan
mekanistis
(prosedural).
Harus
memenuhi banyak syarat yaitu untuk mengatasi persoalan konkret, peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Masih ada lagi syarat harus ada itikad baik, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
dan
tidak
menimbulkan
konflik
kepentingan. Di sisi lain, secara mekanisme, diskresi harus dilaporkan dan meminta persetujuan atasan terlebih dahulu apabila diksresi yang
akan
diambil
berkaitan dengan
alokasi
anggaran.
Sedangkan apabila diskresi akan menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak dan/atau terjadi bencana alam, Pejabat Pemerintahan wajib memberitahukan 16
kepada Atasan Pejabat sebelum penggunaan Diskresi dan melaporkan kepada Atasan Pejabat setelah penggunaan Diskresi. Artinya, diskresi berdasarkan UU AP susah untuk dilaksanakan dan bukan sebagaimana diskresi yang ideal. Rekomendasi: Perlu segera adanya arahan Presiden yang bisa menjelaskan mengenai Diskresi beserta rambu-rambunya. Seiring waktu, perlu segera ditetapkan pula PP yang secara khusus mengatur dan menjelaskan makna serta mekanisme diskresi berdasarkan UU AP. 5. Upaya Administratif yang tidak Logis (Pasal 75, 77 dan 78) Analisis: Upaya administratif atas kebijakan atau tindakan badan atau aparat pemerintahan meliputi Keberatan dan Banding. Badan atau Pejabat Pemerintahan wajib menyelesaikan Keberatan dan Banding tersebut paling lambat 10 hari sejak Keberatan atau Banding diterima. Jika terlambat, maka Keberatan atau Banding tersebut, dinyatakan terima. Batasan waktu 10 (sepuluh) hari tersebut bersifat rigid dan limitatif. Tidak ada alasan apapun untuk mentolerir keterlambatan. Hal ini dikhawatirkan dapat dijadikan alasan bagi pihak-pihak untuk menggugat
Kebijakan
atau
Tindakan
Badan
atau
Aparat
Pemerintahan demi kepentingan mereka. Rekomendasi: Perlu disusun sebuah standar operasional prosedur (SOP) terkait penanganan Keberatan maupun Banding administrasi yang wajib diberlakukan di seluruh instansi Pemerintah. 17
Penyusunan SOP ini juga diwajibkan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf h UU AP. 6. Implementasi Ketentuan Peralihan (Pasal 85 ayat (1)) Analisis: Pengajuan gugatan sengketa Administrasi Pemerintahan yang sudah didaftarkan pada pengadilan umum, tetapi belum diperiksa, dengan berlakunya Undang-Undang ini dialihkan dan diselesaikan oleh PTUN. Sedangkan UU AP berlaku sejak tanggal 17 oktober 2014. Artinya, semua perkara terkait kebijakan atau tindakan aparat pemerintahan yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan maupun baru didaftarkan ke Pengadilan Umum (termasuk Tipikor), harus dialihkan penanganannya ke PTUN. Rekomendasi: Perlu dibahas dan disepakati dalam Forum Mahkumjakpol plus KPK. Jika perlu ada MOU antara para pihak tersebut. 7. Mekanisme penyelesaian sengketa (Pasal 21) Analisis: Dalam UU AP diatur mekanisme penyelesaian sengketa atas kebijakan atau tindakan aparatur pemerintahan diselesaikan melalui PTUN. Secara konsep, kebijakan tidak bisa dipidanakan dan kesalahan administrasi dalam kebijakan diselesaikan scara mekanisme administrasi (administrative beroef) hingga peradilan administrasi. berkembang pula bahwa terkait sengketa hukum atas kebijakan diselesaikan
dulu
melalui
peradilan 18
administrasi
(premium
remidium), jika ada pidana, maka baru kemudian dilimpahkan ke peradilan umum (ultimum remidium). Rekomendasi: Presiden memimpin langsung forum yang melibatkan Ketua MA, Ketua KPK plus Mahkumjakpol untuk menyepakati perihal mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan UU AP. Selanjutnya, diharapkan, Ketua MA bisa membuat edaran bagi para hakim untuk melaksanakannya 8. Disharmonisasi Regulasi (sebagai akar masalah implementasi UU AP) Analisis: Dari semua isu-isu tersebut, sebenarnya dilatarbelakangi adanya disharmonisasi regulasi (problem administrasi hukum) yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan menjadikan penegakan hukum dilakukan secara subyektif (berdasarkan keyakinan aparat penegak hukum). Disharmonisasi materi UU AP dengan beberapa regulasi lain, meliputi beberapa hal berikut : a. penyalahgunaan wewenang yang berdampak kerugian negara (korupsi atau sekedar mal-administrasi?); b. penyelesaian sengketa yang terkait dengan yurisdiksi peradilan (kewenangan PTUN atau peradilan umum termasuk Tipikor?); c. kewenangan Plt. yang tidak boleh mengambil kebijakan strategis; d. siapa yang dimaksud dengan aparat pengawasan intern pemerintah --- yang selama ini dimaknai sebagai APIP --- yang 19
akan bertugas mengawasi penyalahgunaan wewenang dari kebijakan atau tindakan aparatur yang berdampak paling fatal menimbulkan kerugian negara sekalipun (dimana eksistensi fungsional BPK?); e. implementasi ketentuan peralihan UU AP (apakah berlaku utk perkara dengan tempus delicti sebelum 17 Oktober 2014 ata tidak dan penegasan kompetensi absolut PTUN utk menangani perkara kebijakan aparatur pemerintahan). Terkait disharmonisasi tersebut, dalam jangka panjang (long term), perlu dilakukan penyesuaian regulasi yang pastinya harus melalui mekanisme legislasi dan memerlukan persetujuan DPR. Jikalau hal tersebut dipandang tidak efektif, sedangkan saat ini merupakan fase urgent dan krusial, perlu dilakukan quick response policy agar ada jaminan hukum bagi aparat birokrasi untuk bertindak (sebagaimana tujuan dasar UU AP). Rekomendasi: Sekali lagi, Presiden dalam forum Mahkumjakpol sebagaimana disampaikan, menegaskan perihal disharmonisasi ini dan perlu disepakati oleh para penegak hukum (lebih baik jika ada MoU). Tindaklanjut atas kesepakatan tersebut, presiden dapat menunjuk Menkopolhukam atau Kepala KSP sebagai koordinator monitoring implementasinya. Begitu juga dengan Kapolri dan Jaksa Agung untuk memerintahkan kepada Penyidik dan Jaksa untuk patuh melaksanakan UU AP terkait perkara dengan obyek hukumnya adalah kebijakan atau tindakan aparatur pemerintahan. 20
Seiring waktu berjalan, penyiapan PP pelaksanaan UU AP tetap disiapkan. F. Rekomendasi Stratejik yang Mendasar Selain rekomendasi di atas, Presiden harus segera menginstruksikan kepada Kejaksaan, Kepolisian dan BPKP --- institusi di ranah eksekutif --, untuk meng-"audit" kasus-kasus tindak pidana (pidana umum maupun korupsi), yang menjerat pejabat atau mantan pejabat yang sekarang sedang ditangani di tahap penyelidikan maupun penyidikan, apakah
perkara-perkara
tersebut
masuk
ranah
Administrasi
Pemerintahan atau pidana umum atau Tipikor? Jika memenuhi persyaratan norma dalam UU AP, maka wajib hukumnya bagi Presiden meminta Kepolisian maupun Kejaksaan agar menyesuaikan dan mentransfer yurisdiksinya ke PTUN (bukan PN atau Tipikor). Hal ini sesuai dengan Pasal Peralihan UU AP yang pada hakekatnya menyatakan untuk perkara-perkara dalam ranah AP, meskipun sdh didaftarkan di Peradilan Umum, tapi belum masuk pemeriksaan perkara --- logikanya apalagi masih tahap penyelidikan atau penyidikan ---, harus dialihkan penanganannya ke PTUN.
21
22
BAB III TRANSISI PEMERINTAHAN DI MASA PILKADA SERENTAK
A. Latar Belakang Diskursus
mengenai
Pilkada
serentak
sesungguhnya
bukan
merupakan hal baru karena sejak HM Jusuf Kalla (JK) menjabat Wakil Presiden era Presiden SBY, wacana tersebut sudah pernah digulirkan. Namun pendapat tersebut tidak mendapatkan respons positif karena dianggap hanya merupakan pandangan ‘pengusaha’ yang lebih mementingkan
efisiensi
(anggaran)
dibandingkan
perspektif
pembangunan politik yang lebih luas. Pada saat beliau menjabat Wapres di era Presiden Jokowi, Pilkada serentak bukan sekedar wacana, tetapi telah berubah menjadi keputusan politik yang harus diimplementasikan dengan berbagai tantangannya. UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang merupakan dasar hukum pelaksanaan Pilkada serentak di Indonesia1. Pasal 3 ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2014 menyatakan bahwa Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebanyak 269 kepala daerah akan habis atau sengaja “dihabiskan” masa jabatannya pada akhir 2015. 1
Perpu No. 1 Tahun 2014 merupakan respons pemerintahan SBY terhadap kritik berbagai pihak mengenai terbitnya UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang mengembalikan kepada DPRD sebagaimana amanat UU No. 5 Tahun 1974. 23
Implikasi pelaksanaan Pemilukada serentak pada Desember 2015, ternyata bukan hanya terhadap penganggaran (budgeting) semata, namun juga terhadap manajemen pemilukada seperti penyusunan & pemutakhiran daftar pemilih tetap (DPT), pendistribusian logistik, monitoring pelaksanan Pemilukada, hingga pengisian pelaksana tugas (plt) atau penjabat (pj) kepala daerah. Pelaksanaan Pemilukada serentak dilaksanakan dalam 3 tahap, yaitu tahap transisi I (2015-2019), transisi II (2020-2023) dan serentak nasional (2027). Artinya, akan terjadi kekosongan kepala daerah definitif baik pada saat Pemilukada transisi I, II, maupun serentak nasional. Kajian ini menekankan pada pengisian pelaksana tugas (Plt) atau penjabat (Pj) kepala daerah dalam konteks sistem administrasi negara. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan diskusi ini sebagai berikut: 1. Problematika apa saja yang dapat terjadi akibat kekosongan kepala daerah definitif pada saat pelaksanaan Pilkada serentak? 2. Langkah-langkah apa yang dapat ditempuh untuk mengantisipasi terjadinya ekses dari kekosongan jabatan kepala daerah definitif? C. Tujuan Kegiatan Tujuan Kegiatan ini meliputi: 1. Membahas
butir-butir
permasalahan
krusial
dalam
rangka
implementasi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas 24
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang,
khususnya
terkait
kesinambungan
kinerja
pemerintahan daerah selama masa transisi; 2. Mengidentifikasi berbagai problematika yang muncul terkait pelaksanaan Pilkada serentak (umum) dan mengidentifikasi problematika transisi pemerintahan hingga terpilihnya kepala daerah definitif; 3. Menghasilkan masukan berupa ide dan gagasan terkait langkahlangkah
konkret
untuk
memecahkan
dan
mengantisipasi
kekosongan jabatan kepala daerah definitif. D. Pokok Pembahasan Beberapa pokok pembahasan dalam kegiatan ini meliputi: 1. Mengkritisi kerangka hukum (legal framework) kebijakan Pilkada serentak di Indoensia (Hukum Administrasi Negara) 2. Implikasi penunjukkan/pengangkatan pelaksana tugas (plt) bagi pencapaian kinerja pemerintah daerah (Sistem Administrasi Negara) E. Metode Pelaksanaan Kegiatan dan Narasumber Diskusi
ini
menghadirkan
narasumber
yang
implementasi Pilkada serentak kaitannya dengan:
25
relevan
terkait
1. Narasumber I akan membahas kerangka hukum (legal framework) pelaksanaan Pilkada serentak dan implikasinya bagi pembangunan demokrasi lokal; 2. Narasumber
II
akan
mengupas
implikasi
penunjukkan/pengangkatan pelaksana tugas (Plt) kepala daerah pada daerah-daerah tertentu yang terjadi kekosongan kepala daerah definitif. F. Pertanyaan dan Hasil Diskusi Beberapa pertanyaan diskusi yang akan dibahas meliputi: 1. Siapa yang berhak mengangkat pelaksana tugas (Plt) jika terjadi kekosongan jabatan kepala daerah selama masa transisi? 2. Apa saja kualifikasi dari pelaksana tugas yang diangkat? 3. Sampai dimana batas kewenangan pelaksana tugas? 4. Apa yang dilakukan jika selama masa transisi diperlukan suatu kebijakan strategis, namun masih dijabat oleh pelaksana tugas? (misalnya: pengesahan APBD, dan lain-lain) 5. Apa sanksi yang diberikan kepada pelaksana tugas yang melakukan sesuatu diluar kewenangannya? 6. Bagaimana perlindungan hukum bagi pelaksana tugas dalam melaksanakan tugasnya? Berdasarkan masukan dari Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum. (Koordinator Prodi Ilmu Pemerintahan FISIP Unpad) yang disampaikan dalam diskusi terbatas Rabu 26 Agustus 2015 bertempat di STIA-LAN Bandung, maka terkait dengan pertanyaan kegiatan tersebut di atas, dapat dirumuskan sebagai berikut :
26
1. Siapakah yang berhak mengangkat pelaksana tugas (Plt) jika terjadi kekosongan jabatan kepala daerah selama masa transisi? Berdasarkan pada data Kemendagri, Pemilukada serentak 9 Desember 2015 mengakibatkan kekosongan 66 kursi kepala daerah yaitu 7 Gubernur dan 59 Bupati atau Walikota yang habis masa jabatannya sebelum Pilkada dilakukan2. Kekosongan kepala daerah selama masa transisi akan digantikan oleh Pelaksana Tugas (plt). Pengangkatan plt Gubernur diangkat oleh Presiden melalui usulan Menteri Dalam Negeri. Sedangkan pengangkatan Bupati/Walikota diangkat oleh Menteri Dalam Negeri melalui usulan oleh Gubernur. Adapun pengusulan pengangkatan penjabat sesuai dengan Surat Edaran Mendagri Nomor 120/3262/SJ, tanggal 17 Juni 2015, Hal: Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta Pengangkatan Penjabat kepala Daerah sebagai berikut: a. Pimpinan
DPRD
Provinsi
mengusulkan
pemberhentian
Gubernur dan Wakil Gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan melampirkan risalah rapat paripurna dan keputusan
DPRD
Provinsi
tentang
pengumuman
usul
pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur; b. Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota mengusulkan pemberhentian Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau Wakil Walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur dengan melampirkan risalah rapat paripurna dan keputusan DPRD
Kabupaten/
Kota
tentang
pengumuman
usul
pemberhentian Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau Wakil Walikota; 2
http://www.otda.kemendagri.go.id/, diakses tanggal 24 Agustus 2015 27
c. Gubernur menyampaikan usul pemberhentian Bupati dan/ada Wakil Bupati atau Walikota dan/atau Wakil Walikota; d. Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, Gubernur mengusulkan
3
(tiga)
orang
nama
calon
Penjabat
Bupati/Penjabat Walikota kepada Menteri Dalam Negeri yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama, memiliki pengalaman di bidang pemerintahan dan dapat menjaga netralitas PNS di dalam penyelenggaraan Pilkada dengan melampirkan SK Pangkat dan SK Jabatan terakhir serta biodata calon Penjabat BupatilWalikota; e. Waktu pengusulan paling lambat 30 hari sebelum berakhirnya masa jabatan kepala daerah. Berdasarkan pada pasal 173 ayat (2) dan (3) UU No. 8 Tahun 2015 disebutkan bahwa DPRD Provinsi dapat menyampaikan kepada Presiden penetapan Calon Gubernur yang berhalangan tetap atau berhenti atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk diangkat dan disahkan sebagai Gubernur melalui Menteri. DPRD Kabupaten/Kota juga dapat menyampaikan kepada Menteri perihal penetapan Calon Bupati/Walikota Gubernur yang berhalangan tetap atau berhenti atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk diangkat dan disahkan sebagai Bupati/Walikota melalui Gubernur. 2. Apa saja kualifikasi dari pelaksana tugas (Plt) yang diangkat? Kualifikasi dari pelaksana tugas (Plt) yang diangkat berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2015 pasal 201 ayat (8) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur yaitu berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya. 28
Dan pada UU Nomor 8 Tahun 2015 pasal 201 ayat (9) juga disebutkan
bahwa
untuk
mengisi
kekosongan
jabatan
Bupati/Walikota yaitu berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama. Pasal 201 (9) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (10) Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan jabatan tinggi tersebut bisa mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 2014 Pasal 19 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) yaitu : a. Jabatan
Tinggi
kementerian,
Madya
sekretaris
meliputi kementerian,
sekretaris sekretaris
jenderal utama,
sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga nonstruktural, direktur jenderal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara. Jabatan tinggi madya setara dengan eselon I.
29
b. Jabatan tinggi pratama meliputi direktur, kepala biro, asisten deputi, sekretaris direktorat jenderal, sekretaris, inspektorat jenderal, sekretaris kepala badan, kepala pusat, inspektur, kepala balai besar, asisten sekretariat daerah provinsi, sekretaris daerah kabupaten/kota, kepala dinas/kepala badan provinsi, sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan jabatan lain yang setara. Jabatan tinggi pratama setara dengan eselon II. Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 14 ayat (1) dan (2) bahwa : (1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan memperoleh Mandat apabila: a. ditugaskan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan di atasnya; dan b. merupakan pelaksanaan tugas rutin. (2) Pejabat yang melaksanakan tugas rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas: a. pelaksana harian yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara; dan b. pelaksana tugas yang melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap. 3. Sampai dimana batas kewenangan pelaksana tugas? Pasal 132 A ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian
Kepala
Daerah
dan
Wakil
Kepala
Daerah
menyatakan batas kewenangan pelaksana tugas (Plt) adalah sebagai berikut : a. Dilarang melakukan mutasi pegawai; 30
b. Dilarang membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya
dan/atau
mengeluarkan
perijinan
yang
bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya; c. Dilarang membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya; dan d. Dilarang
membuat kebijakan yang bertentangan dengan
kebijakan
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
program
pembangunan pejabat sebelumnya. Namun keempat larangan tersebut dapat dikecualikan bila ada izin dari Menteri Dalam Negeri (Pasal 132 A ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008). Berdasarkan Pasal 14 ayat (7) UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui Mandat tidak berwenang mengambil Keputusan dan/atau Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran. Pasal 17 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 menyatakan bahwa pejabat pemerintah dilarang
menyalahgunakan
wewenang
meliputi
larangan
melampaui wewenang, larangan mencampuradukkan wewenang, dan larangan bertindak sewenang-wenang. Kewenangan pelaksana tugas (plt) dibatasi pada hal-hal yang bersifat strategis karena ia hanya bersifat sebagai pelanjut roda pemerintahan bukan Kepala Daerah Defenitif. Adanya batasan kewenangan tersebut nantinya akan berakibat pada terhambatnya roda pemerintahan, apalagi akan ada beberapa daerah yang akan dipimpin oleh plt selama kurang lebih dua tahun. 31
Akhir
Masa
Jabatan Waktu Pelaksanaan Pilkada Serentak
Kepala Daerah Tahun
2015
Transisi I dan Desember
Januari s.d. Juni 2016 Juli
s.d.
Transisi II
Nasional
2020
2015
Desember Februari
2016 dan Tahun 2017
2017
Tahun 2018 dan 2019
Juni 2018
2022
2027
2023
2. Apa yang dilakukan jika selama masa transisi diperlukan suatu kebijakan strategis, namun masih dijabat oleh pelaksana tugas? Berdasarkan pada Pasal 132A ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 sebenarnya pelaksana tugas (plt) bisa mengambil beberapa tindakan atau kebijakan dengan meminta izin terlebih dahulu kepada Menteri Dalam Negeri. Pemerintah pusat diuntungkan dengan adanya plt karena plt dapat membantu tugas pemerintah pusat dan juga bertanggungjawab kepada pemerintah pusat. Dengan banyak plt yang ditunjuk oleh pemerintah pusat, maka ditakutkan kepentingan politik dari pemerintah pusat masuk melalui plt yang telah diangkat. 3. Apa sanksi yang diberikan kepada pelaksana tugas yang melakukan sesuatu diluar kewenangan? Berdasarkan UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 80 ayat (3) bahwa penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintah sesuai dengan pasal 173, 3
Pasal 17 UU Nomor 30 Tahun 2014 berbunyi : 32
akan dikenai sanksi administratif berat. Sanksinya sesuai dengan pasal 81 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 2014 yaitu: a. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya; b. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya; c. pemberhentian tetap dengan memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa; atau d. pemberhentian tetap tanpa memperoleh hak-hak keuangan dan fasilitas lainnya serta dipublikasikan di media massa. Pemberian sanksi berat dijatuhkan setalah dilakukan proses pemeriksaan internal (Pasal 83 ayat (4) UU Nomor 30 Tahun 2014). 4. Bagaimana perlindungan hukum bagi pelaksana tugas dalam melaksanakan tugasnya? Pelaksana tugas bertanggungjawab kepada pemberi kewenangan. Apabila terjadi sengketa kewenangan, maka berdasarkan pada Pasal 16 ayat (3) dan (4) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan kewenangan
yaitu
apabila
menghasilkan
dalam
penyelesaian
kesepakatan
maka
sengketa
kesepakatan
tersebut mengikat para pihak yang bersengketa sepanjang tidak merugikan keuangan negara, aset negara, dan/atau lingkungan hidup, dan seandainya penyelesaian sengketa kewenangan tidak menghasilkan kesepakatan, maka penyelesaiannya di lingkungan pemerintahan pada tingkat akhir diputuskan oleh Presiden. (1) (2)
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang. Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. larangan melampaui Wewenang; b. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau c. larangan bertindak sewenang-wenang. 33
Adapun Penyelesaian Sengketa Kewenangan yang melibatkan lembaga negara diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi (Pasal 16 ayat (5) UU 30 Tahun 2014). Dan seandainya dalam hal Sengketa Kewenangan menimbulkan kerugian keuangan negara, aset negara, dan/atau lingkungan hidup, sengketa tersebut diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 16 ayat (6) UU 30 Tahun 2014). 5. Siapakah yang berhak mengangkat pelaksana tugas (plt) jika terjadi kekosongan jabatan kepala daerah selama masa transisi? Berdasarkan pada data Kemendagri, Pemilukada serentak 9 Desember 2015 mengakibatkan kekosongan 66 kursi kepala daerah yaitu 7 Gubernur dan 59 Bupati atau Walikota yang habis masa jabatannya sebelum Pilkada dilakukan4. Kekosongan kepala daerah selama masa transisi akan digantikan oleh palaksana tugas (Plt). Pengangkatan plt Gubernur diangkat oleh Presiden melalui usulan Menteri Dalam Negeri. Sedangkan pengangkatan Bupati/Walikota diangkat oleh Menteri Dalam Negeri melalui usulan oleh Gubernur. Adapun pengusulan pengangkatan penjabat sesuai dengan Surat Edaran Mendagri Nomor 120/3262/SJ, tanggal 17 Juni 2015, Hal: Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta Pengangkatan Penjabat kepala Daerah sebagai berikut: a. Pimpinan DPRD Provinsi mengusulkan pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan melampirkan risalah rapat paripurna dan
4
http://www.otda.kemendagri.go.id/, diakses tanggal 24 Agustus 2015 34
keputusan
DPRD
Provinsi
tentang
pengumuman
usul
pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur; b. Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota mengusulkan pemberhentian Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau Wakil Walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur dengan melampirkan risalah rapat paripurna dan keputusan DPRD
Kabupaten/
Kota
tentang
pengumuman
usul
pemberhentian Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau Wakil Walikota; c. Gubernur menyampaikan usul pemberhentian Bupati dan/ada Wakil Bupati atau Walikota dan/atau Wakil Walikota; d. Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, Gubernur mengusulkan
3
(tiga)
orang
nama
calon
Penjabat
Bupati/Penjabat Walikota kepada Menteri Dalam Negeri yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama, memiliki pengalaman di bidang pemerintahan dan dapat menjaga netralitas PNS di dalam penyelenggaraan Pilkada dengan melampirkan SK Pangkat dan SK Jabatan terakhir serta biodata calon Penjabat Bupati/Walikota; e. Waktu pengusulan paling lambat 30 hari sebelum berakhirnya masa jabatan kepala daerah. Berdasarkan pada pasal 173 ayat (2) dan (3) UU No. 8 Tahun 2015 disebutkan bahwa DPRD Provinsi dapat menyampaikan kepada Presiden penetapan Calon Gubernur yang berhalangan tetap atau berhenti atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk diangkat dan disahkan sebagai Gubernur melalui Menteri. DPRD Kabupaten/Kota juga dapat menyampaikan kepada Menteri perihal penetapan Calon 35
Bupati/Walikota Gubernur yang berhalangan tetap atau berhenti atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap untuk diangkat dan disahkan sebagai Bupati/Walikota melalui Gubernur. G. Analisis Seiring perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 menjadi UU Nomor 8 tahun 2015 terdapat perubahan jadwal Pilkada serentak. Perubahan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Akhir Masa Jabatan Kepala Daerah Tahun 2015 dan Januari s.d. Juni 2016 Juli s.d. Desember 2016 dan Tahun 2017 Tahun 2018 dan 2019
Waktu Pelaksanaan Pilkada Serentak Transisi I Transisi II Nasional Desember 2020 2015 2027 Februari 2022 2017 Juni 2018 2023
Berdasarkan data yang dihimpun dari situs www.kpu.go.id, terdapat 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota yang akan mengikuti pilkada serentak tahun ini. Sebagian kepala daerah dari wilayah-wilayah tersebut telah berakhir masa jabatannya dan digantikan oleh pelaksana tugas. Misalnya Gubernur Kalimantan Utara yang masa tugasnya berakhir pada 22 April 2015, dari Irianto Lambire digantikan oleh Triyono Budi Sasongko.5 Sebagian kepala daerah lainnya baru menyudahi masa jabatan maksimal pada pertengahan 2016.
5
Pelantikan penjabat Gubernur Provinsi Kaltara menarik karena terjadi pergantian dari pelaksana tugas (plt) ke pelaksana tugas (plt) pula. Hal ini dikarenakan Kaltara merupakan daerah otonom baru yang belum memiliki pejabat definitif. Irianto Lambrie menjabat Penjabat Gubernur satu periode pada 22 April 2013 sampai 22 April 2014. Kemudian diperpanjang kembali pada 22 April 2014 hingga 22 April 2015. Selanjutnya digantikan Triyono Budi Sasongko melanjutkan tanggung jawab 36
Pada Pemilukada transisi I yang akan dilangsungkan bulan Desember 2015 akan diikuti oleh 9 provinsi (Pemilukada Gubernur & Wagub), 36 kota (Pemilukada Walikota dan Wakil Walikota), dan 224 kabupaten (Pemilukada Bupati dan Wakil Bupati) di seluruh Indonesia. Hal ini berarti akan terdapat kekosongan 269 jabatan kepala daerah di seluruh Indonesia. Secara umum, Pemilukada
serentak berpotensi
memunculkan masalah, antara lain: 1. Terjadi kekosongan kepala daerah definitif pada Pemilukada serentak tahap awal (transisi I),6 dimana ada kepala daerah yang sudah habis masa jabatannya sebelum Pemilukada bulan Desember tahun 2015, sehingga harus dilantik pelaksana tugas (plt) untuk mengisi kekosongan tersebut; 2. Pemajuan/pemotongan masa jabatan kepala daerah, dimana ada kepala daerah yang belum habis masa jabatannya pada Pemilukada bulan Desember tahun 2015, dan 3) Kembali terjadi kekosongan kepala daerah dan pemajuan/pemotongan masa jabatan kepala daerah pada Pemilukada serentak secara nasional, dimana kepala daerah hasil Pemilukada Tahun 2020 sudah berakhir jabatannya pada tahun 2025, sehingga harus diangkat pelaksana tugas untuk mengisi kekosongan kepala daerah selama 2 tahun menunggu Pemilukada tahun 2027. Kepala daerah hasil Pemilukada tahun 2023 hanya menjabat selama 4 tahun karena harus mengikuti Pemilukada serentak di tahun 2027. Menyikapi kondisi tersebut, pengangkatan pelaksana tugas (plt) atau penjabat (pj) kepala daerah merupakan solusi yang ditempuh untuk
6
sebagai Pj Gubernur Kaltara sejak pelantikan 22 April 2015 hingga pelantikan Gubernur Kaltara Definitif. Pilkada serentak terdiri dari 3 tahap: Pilkada Serentak Transisi I (2015-2019), Pilkada Serentak Transisi II (2020-2023), dan Pilkada Serentak Nasional (2027) 37
mengisi kekosongan jabatan dimaksud. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Pasal 9 dinyatakan sebagai berikut : (8) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (9) Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, dalam Pasal 131 angka 3 dan 4 PP No. 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah disebutkan : (3) Dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerah berhenti atau diberhentikan secara bersamaan dalam masa jabatannya, rapat paripurna DPRD memutuskan dan menugaskan KPUD untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah paling lambat 6 (enam) bulan, terhitung sejak ditetapkannya penjabat kepala daerah. (4) Dalam hal terjadi kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sekretaris daerah melaksanakan tugas seharihari kepala daerah sampai dengan Presiden mengangkat penjabat kepala daerah”. Mekanisme pengangkatan plt atau pj kepala daerah tertuang dalam SE Mendagri No. 120/3262/SJ tanggal 17 Juni 2015 hal Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah:
38
1. Pimpinan DPRD Provinsi mengusukan pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan
melampirkan
keputusan
DPRD
Provinsi
tentang
pengumuman usul pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur; 2. Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota mengusulkan pemberhentian Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau Wakil Walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur dengan melampirkan risalah rapat paripurna dan keputusan DPRD Kabupaten/Kota tentang pengumuman usul pemberhentian Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau Wakil Walikota; 3. Gubernur menyampaikan usul pemberhentian Bupati dan/atau Wakil Bupati atau Walikota dan/atau Wakil Walikota; 4. Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, Gubernur mengusulkan 3 (tiga) orang nama calon Penjabat Bupati/Penjabat Walikota kepada Menteri Dalam Negeri yang berasal dari jabatan tinggi pratama, memiliki pengalaman di bidang pemerintahan dan dapat menjaga netralitas PNS di dalam penyelenggaraan Pilkada dengan melampirkan SK Pangkat dan SK Jabatan terakhir serta biodata calon Penjabat Bupati/Walikota; 5. Waktu pengusulan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum berakhirnya masa jabatan kepala daerah. Pengangkatan Plt atau Pj kepala daerah pada kondisi pemilukada serentak bukan hanya berimplikasi pada persoalan teknis administratif tetapi juga akan berakibat pada hal-hal sebagai berikut: 1. Lamanya masa jabatan plt atau pj kepala daerah baik untuk masa transisi I, transisi II maupun transisi III. Pada siklus normal 39
pelaksanaan pemilukada mulai dari pendaftaran sampai dengan pengumuman pemenang calon sudah memakan waktu yang cukup panjang, terlebih apabila calon yang kalah mengajukan keberatan hasil pemilukada ke Mahkamah Konstitusi maka akan menambah masa jabatan plt atau pj. Pada masa transisi I dan II, masa jabatan kepala daerah mungkin akan lebih aman, artinya tidak melebihi jangka waktu 1 tahun (dengan catatan tidak ada sengketa hasil pemilukada). Namun untuk masa transisi III sebagaimana diungkapkan sebelumnya, masa jabatan plt atau pj pasti akan melebihi 2 tahun; 2. Keterbatasan kewenangan plt atau pj. Batas kewenangan plt atau pj telah diatur dalam PP No. 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yaitu: a. Dilarang melakukan mutasi pegawai; b. Dilarang membatalkan perijinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya
dan/atau
mengeluarkan
perijinan
yang
bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya; c. Dilarang membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya; dan d. Dilarang
membuat
kebijakan
yang
penyelenggaraan
pemerintahan dan program pembangunan. Namun keempat larangan tersebut dapat dikecualikan apabila ada ijin dari Menteri Dalam Negeri (Pasal 132 A ayat 2 PP No. 49 Tahun 2008). Selanjutnya, di dalam Pasal 14 ayat (7) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan: “bahwa Badan dan/atau 40
Pejabat Pemerintahan yang memperoleh Wewenang melalui mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran. Lebih jelas lagi, dalam Pasal 17 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014 disebutkan bahwa pejabat pemerintah dilarang menyalahgunakan wewenang meliputi larangan melampaui wewenang, larangan mencampuradukkan wewenang, dan larangan bertindak sewenangwenang. Kewenangan plt atau pj memang dibatasi pada hal-hal yang bersifat strategis karena ia hanya bersifat sebagai pelanjut roda pemerintahan, bukan kepala daerah definitif. Pemberian batasan kewenangan tersebut nantinya akan berakibat pada terhambatnya roda pemerintahan, apalagi beberapa daerah akan dipimpin oleh plt atau pj lebih dari dua tahun. 3. Terjadinya ‘rangkap jabatan’ ASN. Terminologi rangkap jabatan yang dimaksud disini bukan rangkap jabatan sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, dan PP No. 47 Tahun 2005 tentang PNS yang Rangkap Jabatan. Pada Pasal 3 ayat (3) UU No. 43 Tahun 1999 disebutkan “Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik”. Sedangkan pada Pasal 4 ayat (3) PP No. 53 Tahun 2010 disebutkan “PNS dilarang tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau beekrja untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional. Pada Pasal 4 ayat (4) disebutkan “PNS dilarang bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing. Pengangkatan plt atau pj kepala daerah biasanya dari PNS dengan 41
jabatan tinggi pratama (bupati/walikota) dan PNS dengan jabatan tinggi madya (gubernur). Menurut Pasal 19 UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN: 1) Jabatan tinggi pratama meliputi: direktur, kepala biro, asisten deputi, sekretaris direktoral jenderal, sekretaris, inspektorat jenderal, sekretaris kepala badan, kepala pusat, inspektur, kepala balai besar, asisten
sekretariat
daerah
provinsi,
sekretaris
daerah
kabupaten/kota, kepala dinas/kepala badan provinsi, sekretaris DPRD, dan jabatan lain yang setara. 2) Jabatan tinggi madya meliputi: sekretaris jenderal kementerian, sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal lembaga non struktural, kepala badan, staf ahli menteri, kepala Sekretariat Presiden, kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara. Pejabat yang menduduki jabatan-jabatan tersebut memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat besar, sehingga ketika yang bersangkutan ditunjuk menjadi plt atau pj gubernur/bupati/walikota tentu sedikit banyak akan mengganggu kinerja jabatan ‘utama’ yang diembannya. H. Alternatif Upaya Penyelesaian Masalah Permasalahan pemilukada
yang
muncul
terkait
implementasi
serentak
harus
segera
ditangani
kebijakan
karena
akan
mempengaruhi proses penyelenggaraan pemerintahan daerah secara keseluruhan. Oleh sebab itu, berikut disampaikan beberapa alternatif penyelesaian masalah yang dapat/perlu dilakukan, sebagai berikut : 1. Perlu diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri sebagai tindak lanjut PP No. 49 Tahun 2008 tentang Pemilihan, Pengesahan 42
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah khususnya terkait empat larangan bagi plt atau pj kepala daerah. Dalam Permendagri tersebut memuat definisi, ruang lingkup dan hal-hal penting lain terkait pengaturan organisasi, SDM dan anggaran mengingat nanti terdapat plt atau pj lebih dari 2 tahun; 2. Perlu diterbitkan PP yang mengatur penjabaran diskresi bagi Plt. kepala daerah selama transisi pemerintahan. Diskresi dimaksud dibenarkan berdasarkan UU AP dengan dasar adanya pertentangan antar Undang-Undang; 3. Perlu pengaturan pengangkatan jabatan Plt atau Pj kepala daerah, dimungkinkan jabatan tinggi madya yang berasal dari luar Kementerian Dalam Negeri; 4. Perlu pengaturan mengenai aspek kompetensi PNS yang akan diangkat menjadi Plt atau Pj kepala daerah, bukan hanya berdasarkan pada pangkat/golongan PNS yang bersangkutan. I. Rekomendasi Pilihan Kebijakan Berdasarkan pembahasan atas alternatif-alternatif penyelesaian masalah dalam implementasi kebijakan pemilukada serentak, maka Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara – Deputi Bidang Kajian Kebijakan merekomendasikan prioritas kebijakan dan tindakan yang perlu segera dilakukan adalah : 1. Perlu pengaturan tindak lanjut PP No. 49 Tahun 2008 mengingat lamanya masa jabatan larangan plt atau pj kepala daerah;
43
2. Perlu penegasan aspek kompetensi calon plt atau pj kepala daerah agar yang bersangkutan dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik.
44
BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN KOMPETENSI APARAT PENGAWASAN INTERN PEMERINTAH (APIP) DALAM RANGKA IMPLEMENTASI UU NO. 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
A. Latar Belakang Era reformasi yang berlangsung sejak tahun 1998 mengamanatkan perubahan mendasar di segala bidang kehidupan bernegara, termasuk pengelolaan kepegawaian negara. Terbitnya UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 4 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
merupakan
salah
satu
milestone
dalam
rangka
mereformasi kepegawaian atau yang sering disebut birokrasi (reformasi birokrasi).
Salah satu bentuk reform yang terkandung
dalam Undang-Undang ini adalah diakomodirnya aspek kompetensi dalam pengelolaan kepegawaian khususnya dalam proses promosi pegawai ke dalam jabatan yang lebih tinggi, selain aspek administratif. Sejak diundangkan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU No. 8 Tahun 4 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999, maka kompetensi dimaknai sebagai kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh seorang ASN berupa pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku yang diperlukan dalam melaksanakan tugas jabatannya. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 2014 tersebut, maka ASN berkewajiban memiliki standar kompetensi yang meliputi kompetensi teknis, manajerial dan sosio kultural. Kompetensi 45
melekat dalam jabatan, baik jabatan manajerial, jabatan fungsional, maupun jabatan administrasi. Sementara itu, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) adalah Instansi Pemerintah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi melakukan pengawasan, dan terdiri atas: 1) Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang bertanggung jawab kepada Presiden;
2)
Inspektorat
Jenderal
(Itjen)/Inspektorat
Utama
(Ittama)/Inspektorat yang bertanggung jawab kepada Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND); 3) Inspektorat Pemerintah Provinsi yang bertanggung jawab kepada Gubernur, dan; 4) Inspektorat Pemerintah Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota. Oleh karena itu, pembahasan kompetensi APIP berarti menyangkut kemampuan orang-orang yang bekerja di lembaga-lembaga sebagaimana tersebut di atas, terutama pejabat struktural dan pejabat fungsional tertentu (auditor). Secara khusus mengenai kompetensi SDM APIP diatur dalam Permenpan dan RB No. Per/05/M.PAN/03/2008 tentang Standar Audit APIP. Kompetensi pejabat pengawas/auditor yang diperlukan meliputi kompetensi teknis, kompetensi intelektual, dan kompetensi etik. Kompetensi teknis yang harus dimiliki auditor meliputi auditing, akuntansi, administrasi pemerintahan, dan komunikasi. Dalam hal kompetensi teknis, di samping wajib memiliki keahlian tentang Standar Audit, kebijakan, prosedur dan praktik-praktik audit, auditor harus
memiliki
keahlian
yang
memadai
tentang
lingkungan
pemerintahan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi unit yang dilayani oleh APIP. Dalam hal auditor melakukan audit terhadap sistem 46
keuangan, catatan akuntansi dan laporan keuangan, maka auditor wajib mempunyai keahlian atau mendapatkan pelatihan di bidang akuntansi sektor publik dan ilmu-ilmu lainnya yang terkait dengan akuntabilitas auditi. Sedangkan dalam hal kompetensi intelektual, Auditor harus menggunakan keahlian profesionalnya dengan cermat dan seksama (due professional care) dan secara hati-hati (prudent) dalam setiap penugasan. Due professional care dapat diterapkan dalam pertimbangan profesional (professional judgement), meskipun dapat saja terjadi penarikan kesimpulan yang tidak tepat ketika audit sudah dilakukan dengan seksama. Adapun dalam hal kompetensi etik, Auditor harus mematuhi Kode Etik yang ditetapkan. Pelaksanaan audit harus mengacu kepada Standar Audit, dan auditor wajib mematuhi Kode Etik yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Standar Audit yang telah ditetapkan. Berdasarkan
UU
No.
30
Tahun
2014
tentang
Administrasi
Pemerintahan (UU AP), maka tugas pejabat pengawas/auditor dalam konteks
pengawasan
internal
pemerintah
yakni
melakukan
pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan Wewenang (larangan melampaui Wewenang, larangan mencampuradukkan Wewenang, dan larangan bertindak sewenang-wenang) dan menyampaikan hasil pengawasan kepada pimpinan (Pasal 20 ayat (1) dan (2)). Laporan hasil pengawasan tersebut berupa kesimpulan tidak terdapat kesalahan, terdapat kesalahan administratif, atau terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara. Lebih jauh lagi, SDM APIP dituntut untuk dapat menghasilkan kesimpulan apakah kesalahan yang terjadi masuk ranah pidana atau hanya permasalahan administratif saja. 47
Untuk menghasilkan kesimpulan yang obyektif, SDM APIP dituntut memenuhi
standar
kompetensi
yang
harus
dikuasai
dalam
memperlancar tugas dan tanggung jawabnya. Meminjam pendapat Rothwell,
standar
kompetensi
aparatur
meliputi
kompetensi
manajerial, kompetensi strategis, kompetensi teknis, dan kompetensi sosial. Sementara Djamaluddin Antjok menambahkan satu kompetensi yaitu kompetensi etik (LAN, 2004). Fakta yang dihadapi saat ini, SDM APIP masih dihadapkan pada sejumlah tantangan seperti persoalan tumpang tindihnya pengawasan, kurangnya komitmen tindak lanjut atas hasil pengawasan, kurang jelasnya pembagian tugas antar lembaga pengawasan, serta minimnya kompetensi yang dimiliki. Dalam konteks implementasi UU AP, yang notabene menjadi harapan ASN agar kinerjanya tidak ‘dipidanakan’, maka tantangan-tantangan tersebut harus dapat dicarikan solusi yang tepat. Kegiatan isu strategis ini merupakan salah satu upaya PKSANHAN LAN untuk memberikan solusi stratejik dari aspek pengembangan kompetensi yang diperlukan oleh SDM APIP dalam rangka pelaksanaan UU AP. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Problematika apa saja yang dihadapi SDM APIP dalam melaksankan pengawasan intern pemerintah berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014? 2. Kompetensi apa saja yang diperlukan oleh SDM APIP? 48
3. Strategi apa yang perlu dilakukan untuk mengembangkan kompetensi SDM APIP untuk mendukung pelaksanaan UU No. 30 Tahun 2014? 4. Apa rekomendasi kebijakan untuk mengembangkan kompetensi SDM APIP ke depan? C. Tujuan Kegiatan Tujuan kegiatan ini meliputi: 1. Membahas
butir-butir
permasalahan
krusial
dalam
rangka
implementasi UU No. 30 Tahun 2014 terkait dengan pelaksanaan tugas APIP. 2. Mengidentifikasi berbagai problematika (gap) yang muncul terkait pengawasan oleh SDM APIP selama ini (existing condition) dan perubahan peran SDM APIP berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014. 3. Menyusun policy brief tentang strategi pengembangan kompetensi SDM APIP dalam rangka melaksanakan UU AP. D. Pokok Pembahasan Beberapa pokok bahasan kegiatan ini meliputi: 1. Mengkaji kerangka hukum (legal framework) kebijakan APIP; 2. Merumuskan kompetensi SDM APIP berdasarkan UU AP. E. Narasumber Untuk memperoleh masukan substantif, dalam pelaksanaan kajian ini dilakukan dengan metode diskusi yang menghadirkan narasumber yang relevan terkait pengembangan kompetensi SDM APIP.
49
Narasumber dimaksud adalah : 1. Inspektorat Provinsi Jawa Timur; 2. Kepala Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Jawa Timur; dan 3. Ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara Universitas Airlangga. F. Tinjauan Konsep Kompetensi dan Pengawasan Intern 1. Jenis Kompetensi Menurut Lembaga Administrasi Negara7, kompetensi terdiri atas: a. Kompetensi Teknik (technical competence) yaitu kompetensi mengenai bidang yang menjadi tugas pokok organisasi. Definisi yang sama dimuat dalam PP No 101/2000 tentang DIklat Jabatan PNS, bahwa kompetensi teknis adalah kemampuan PNS dalam bidang teknis tertentu untuk pelaksanaan tugas masing-masing. Bagi PNS yang belum memenuhi persyaratan kompetensi jabatan perlu mengikuti Diklat teknis yang berkaitan dengan persyaratan kompetensi jabatan masing-masing. b. Kompetensi
Manajerial
(managerial
competence)
adalah
kompetensi yang berhubungan dengan berbagai kemampuan manajerial yang dibutuhkan dalam menangani tugas organisasi. Kompetensi
manajerial
meliputi
kemampuan
menerapkan
konsep dan teknik perencanaan, pengorganisasian, pengendalian dan evaluasi kinerja unit organisasi, juga kemampuan dalam melaksanakan prinsip good governance dalam manajemen pemerintahan
7
dan
pembangunan
LAN RI. 2003. Sistem Administrasi Negara Kesatuan RI. LAN: Jakarta. 50
termasuk
bagaimana
mendayagunakan kemanfaatan sumberdaya pembangunan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas. c. Kompetensi Sosial (Social Competence), yaitu kemampuan melakukan komunikasi yang dibutuhkan oleh organisasi dalam pelaksanaan tugas pokoknya. Kompetensi sosial dapat terlihat di lingkungan internal seperti memotivasi SDM dan atau peran serta masyarakat guna meningkatkan produktivitas kerja, atau yang berkaitan dengan lingkungan eksternal seperti melaksanakan pola kemitraan, kolaborasi dan pengembangan jaringan kerja dengan berbagai lembaga dalam rangka meningkatkan citra dan kinerja organisasi, termasuk bagaimana menunjukkan kepekaan terhadap hak asasi manusia, nilai-nilai sosial budaya dan sikap tanggap terhadap aspirasi dan dinamika masyarakat d. Kompetensi
intelektual/Strategis
(intellectual/strategic
competence), yaitu kemampuan untuk berpikir secara strategis dengan visi jauh ke depan. Kompetensi intelektual ini meliputi kemampuan merumuskan visi, misi, dan strategi dalam rangka mencapai tujuan organisasi sebagai bagian integral dari pembangunan Nasional, merumuskan dan memberi masukan untuk pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang logis dan sistematis, juga kemampuan dalam hal memahami paradigma pembangunan yang relevan dalam upaya mewujudkan good governance dan mencapai tujuan berbangsa dan bernegara, serta kemampuan dalam menjelaskan kedudukan, tugas, fungsi organisasi
instansi
dalam
hubungannya
Administrasi Negara Republik Indonesia.
51
dengan
Sistem
2. Metodologi Analisis Kompetensi Tidak seperti pendekatan tradisional untuk menganalisis pekerjaan, yang mengidentifikasikan tugas, pengetahuan, keterampilan yang berhubungan dengan suatu pekerjan, pendekatan kompetensi mempertimbangakan bagaimana pengetahuan dan keterampilan tersebut
digunakan.
Pendekatan
kompetensi
juga mencoba
mengidentifikasikan faktor tersembunyi yang sering kali sangat penting
untuk
kinerja
superior.
Pendekatan
kompetensi
menggunakan beberapa metodologi untuk membantu supervisor mengidentifikasikan
contooh-contoh
dari
apa
yang
mereka
maksudkan dengan sikap dan bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi efektivitas kerja. Menurut Mathis & Jackson8 beberapa metodologi tersedia dan digunakan untuk menentukan kompetensi, pada umumnya dengan “behavioral event interview”9 yaitu terdiri dari proses sebagai berikut : a. Suatu sistem senior manajer mengidentifikasikan bidang-bidang hasil kinerja masa depan yang penting untuk rencana strategis dan bisnis dari organisasi. konsep ini dapat lebih luas dari pada yang digunakan dimasa lampau. b. Grup
panel
dibentuk,
terdiri
dari
orang-orang
yang
berpengatahuan tentang pekerjaan-pekerjaan di organisasi 8 9
Mathis Robert L. dan Jackson John H. 2006, Human Resource Management, alih bahasa. Salemba Empat. Jakarta. Behavioral Event Interview adalah teknik wawancara yang terstruktur dan bersifat menggali untuk mencari, mengumpulkan dan menguji setiap bukti tentang kompetensi seseorang berdasarkan prinsip: Kinerja masa lalu merupakan indikator terbaik untuk menilai apakah seseorang memiliki kompetensi yang dibutuhkan. Perilaku masa lalumerupakan indikator terbaik untuk memprediksi perilaku yang menghasilkan kinerja di masa datang. 52
tersebut. Grup ini dapat beranggotakan baik pegawai yang berkinerja rendah maupun tinggi, supervisor, manajer, trainer, dan lainnya. c. Seorang fasilitator dari sumber daya manusia atau seorang konsultan luar mewawancarai anggota panel tersebut untuk mendapatkan contoh-contoh spesifik dari kelakuan pekerjaan dan kehadiran sebenarnya dalam pekerjaan. Selama wawancara orang-orang tersebut juga ditanyai tentang pikiran dan perasaannya selama setiap kejadian yang digambarkan. d. Menggunakan
kejadian-kejadian
tersebut,
sang
fasilitator
membuat uraian rinci dari setiap kompetensi. Fase deskriptif ini harus jelas dan spesifik, sehingga pegawai, supervisor, manajer dan lainnya dalam organsiasi mempunyai pengertian yang lebih jelas
mengenai
kompetensi
yang
berhubungan
dengan
pekerjaan. e. Kompetensi-kompetensi tersebut diurutkan dan level yang dibutuhkan untuk mencapainya diidentifikasikan. Kemudian kompetensi dirincikan untuk setiap pekerjaan. f. Akhirnya standar kinerja diidentifikasikan dan dihubungkan dengan pekerjaan. Proses seleksi, pelatihan, pendidikan dan kompetensi yang sesuai terfokus pada kompetensi harus dibuat dan diimplementasikan. Menurut Mathis & Jackson, kompetensi yang digunakan dalam organisasi bervariasi sekali. 3. Pengawasan Intern Pengawasan intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, pemantauan, evaluasi, dan kegiatan pengawasan lainnya berupa asistensi, sosialisasi dan konsultansi terhadap penyelenggaraan 53
tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik. G. Tinjauan Normatif Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) adalah Instansi Pemerintah yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pengawasan intern yang bertujuan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih bebas korupsi, kolusi, serta nepotisme. Kehadiran APIP merupakan suatu upaya untuk melakukan reformasi birokrasi agar tercapai tata kelola pemerintahan yang baik. APIP
yang
efektif10
sekurang-kurangnya
harus
memberikan
keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah. Selain itu harus dapat memberikan peringatan dini dan meningkatkan efektivitas manajemen resiko dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah; dan terakhir adalah
memelihara
dan
meningkatkan
kualitas
tata
kelola
penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah. APIP mempunyai tugas melaksanakan pengawasan intern (internal audit) di lingkungan pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah, terdiri
atas
BPKP,
Inspektorat
Jenderal
Kementerian,
Inspektorat/unit pengawas intern pada Kementerian Negara, 10Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, Pasal
11 54
Inspektorat
Utama/Inspektorat
Kementerian,
Inspektorat/unit
Lembaga
Pemerintah
pengawasan
intern
Non pada
Kesekretariatan Lembaga Tinggi Negara dan Lembaga Negara, Inspektorat Provinsi/ Kabupaten/Kota, dan unit pengawasan intern pada Badan Hukum Pemerintah lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dalam Pasal 17 ayat (1) mengatur tentang pelarangan bagi “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan untuk menyalahgunakan wewenang. Larangan penyalahgunaan tersebut ada 3, meliputi : 1. Larangan melampaui wewenang (Pasal 18 ayat (1): Suatu keputusan dan/atau tindakan wewenang apabila
dikatakan melampaui
11:
a. melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya wewenang; b. melampaui batas wilayah berlakunya wewenang; dan/atau c. bertentangan
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan; d. dilakukan secara sewenang-wenang (tanpa dasar Kewenangan; dan/atau bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap) tidak sah apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. 2. Larangan mencampuradukkan wewenang (Pasal 18 ayat (2); Kategori mencampuradukan wewenang adalah sebagai berikut:
11
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 18 dan 19 55
a. Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukannya : di luar cakupan
bidang atau materi wewenang yang diberikan;
dan/atau b. Bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan Keputusan
dan/atau
Tindakan
yang
ditetapkan
dan/atau
dilakukan dengan mencampuradukkan Wewenang (di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan; dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan) dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (Pasal 19 ayat (2) UU 30 Tahun 2014). 3. Larangan bertindak sewenang-wenang (Pasal 18 ayat (3): Kategori tindakan sewenang-wenang adalah sebagai berikut : a. tanpa dasar Kewenangan; dan/atau b. bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap Pengawasan
terhadap
larangan
penyalahgunaan
Wewenang
dilakukan oleh APIP. Hasil pengawasan intern ada 3, berupa (Pasal 20): 1. Tidak terdapat kesalahan. 2. Terdapat kesalahan administratif. Jika terdapat kesalahan administratif dilakukan tindak lanjut dalam bentuk penyempurnaan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan Negara (Pasal 20 ayat (2) UU 30 Tahun 2014). Jika
hasil
pengawasan
APIP
berupa
terdapat
kesalahan
administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara 56
dilakukan pengembalian kerugian keuangan negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diputuskan dan diterbitkannya hasil pengawasan. a. Pengembalian kerugian negara dibebankan kepada Pejabat Pemerintahan,
apabila
kesalahan
administratif
yang
menimbulkan kerugian keuangan Negara terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang; b. Pengembalian kerugian keuangan negara paling lama 10 (sepuluh)
hari
kerja
terhitung
sejak
diputuskan
dan
diterbitkannya hasil pengawasan. Selanjutnya dijelaskan dalam pasal 21 UU AP bahwa: 1. Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan; 2. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan; dan/atau 3. Pengadilan wajib memutus permohonan dari Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan; 4. Terhadap putusan Pengadilan dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara; 5. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara wajib memutus permohonan banding sebagaimana dimaksud paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak permohonan banding diajukan; 6. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara tersebut bersifat final dan mengikat 57
Sedangkan APIP dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa; Aparat Pengawasan Internal Pemerintah adalah Inspektorat jenderal kementerian, unit pengawasan lembaga pemerintah non kementerian, inspektorat provinsi dan inspektorat kabupaten/kota. Pada bagian penjelasan UU pemerintahan daerah ini menjelaskan bahwa
untuk
memperkuat
otonomi
daerah
adalah
adanya
mekanisme pembinaan, pengawasan, pemberdayaan serta sanksi yang jelas dan tegas. Adanya pembinaan dan pengawasan serta sanksi yang tegas dan jelas tersebut memerlukan adanya kejelasan tugas pembinaan, pengawasan dari Kementerian yang melakukan pembinaan dan pengawasan umum serta kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang melaksanakan pengawasan teknis Sinergi antara pembinaan dan pengawasan umum dengan pembinaan dan pengawasan teknis akan
memberdayakan Daerah dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. H. Hasil Diskusi Siapa yang dimaksud dengan aparat pengawasan intern pemerintah --yang selama ini dimaknai sebagai APIP --- yang akan bertugas mengawasi penyalahgunaan wewenang dari kebijakan atau tindakan aparatur yang berdampak paling fatal menimbulkan kerugian negara sekalipun (dimana eksistensi fungsional BPK?). Pengawasan larangan penyalahgunaan wewenang dilakukan oleh aparat pengawasan internal pemerintahan, yang hasilnya dapat menyatakan bahwa tidak ada kesalahan administratif hingga adanya kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian negara. 58
Dalam UU AP, jika terjadi kondisi paling buruk --- ada salah administrasi, ada kerugian negara ---, maka mekanisme adalah pengembalian kerugian negara tersebut baik oleh pribadi maupun institusi. Permasalahan mendasar mencakup beberapa hal sebagai berikut : 1. Ada ketidakjelasan siapa yang dimaksud dengan aparat pengawasan internal pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam UU AP. Jika aparat dimaksud adalah APIP sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), maka BPK tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa kebijakan atau tindakan pemerintahan yang akan berdampak pada adanya kesalahan administratif dan/atau menimbuilkan kerugian negara. Karena, BPK sebagai auditor eksternal, bukan termasuk dalam pengertian APIP sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerinthan tersebut; 2. Penyalahgunaan wewenang yang menjadi kompetensi APIP berdasarkan UU AP diatur juga dalam ranah hukum pidana. Dari koridor hukum pidana dan tindak pidana korupsi, penyalahgunaan wewenang diatur juga dalam Pasal 421 KUHP dan Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Berdasarkan Pasal 421 KUHP (Buku Kedua Kejahatan, Bab XXVIII, Kejahatan Jabatan), seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. 59
Pasal 3 UU Tipikor, juga mengatur bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00. 3. Kerugian negara sebagai kompetensi APIP berdasarkan UU AP diatur dalam beberapa regulasi lainnya. Pengertian kerugian negara diatur dalam Ketentuan Umum UU No. 1 Tahun 20014 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara). Salah satu ciri kerugian negara dalam UU Perbendaharaan Negara adalah adanya unsur perbuatan melawan hukum (PMH). Begitu dinyatakan ada kerugian negara, berarti ada PMH yang bisa menjadi pintu masuk ke ranah pidana. 4. Belum ada kejelasan mengenai mekanisme pengembalian kerugian negara jika dibebankan kepada badan pemerintahan --- dalam hal ada salah administrasi, ada kerugian negara, tapi tidak ada kesalahan administratif ---. Mekanisme di Kemenkeu saat ini, sepertinya belum ada untuk penanggungan atas pembayaran kerugian negara oleh instansi pemerintah. Di sisi lain, secara khusus mengenai perhitungan dan pemeriksaan keuangan negara serta pengembalian kerugian negara diatur dalam UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK).
60
Secara umum, berdasarkan uraian di atas, ditemukan adanya disharmonisasi regulasi, antara UU AP dengan KUHP, UU Tipikor, UU Perbendaharaan
Negara
dan
UU
BPK.
Implikasinya,
menjadi
subyektifitas Aparat Penegak Hukum, untuk memilih dan meyakini tindakan tersebut akan dibawa ke ranah administrasi atau korupsi. Pengawasan larangan penyalahgunaan wewenang dilakukan oleh aparat pengawasan internal pemerintahan, yang hasilnya dapat menyatakan bahwa tidak ada kesalahan administratif hingga adanya kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian negara. Dalam UU AP, jika terjadi kondisi paling buruk --- ada salah administrasi, ada kerugian negara ---, maka mekanisme adalah pengembalian kerugian negara tersebut baik oleh pribadi maupun institusi. Kedepan (long term), perlu harmonisasi antara UU AP dengan UU yang terkait dengan dampak hukum larangan penyalahgunaan wewenang tersebut. I. Rekomendasi Merujuk pada uraian di atas, maka kompetensi SDM APIP yang perlu dikembangkan dalam rangka melaksanakan UU AP adalah sebagai berikut : 1. SDM APIP harus mempunyai kemampuan untuk menghitung kerugian negara; 2. SDM APIP harus mempunyai kemampuan untuk menilai kebijakan atau tindakan Pejabat Pemerintahan, dari aspek administratif, auditif dan ekonomis;
61
3. SDM APIP harus mempunyai kemampuan untuk menilai aspek penyalahgunaan wewenang (conflict of interest) dalam pelaksanaan kebijakan atau tindakan Pejabat Pemerintahan; 4. SDM APIP harus mempunyai kompetensi untuk berkoordinasi dengan Aparat Penegak Hukum dan Auditor Eksternal dalam pelaksanaan
pengawasan
kebijakan
atau
tindakan
Pejabat
Pemerintahan. Untuk itu, perlu dilakukan beberapa upaya stratejik dengan melibatkan beberapa instansi terkait, sebagai berikut: 1. Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementerian PAN dan RB serta BPKP sebagai instansi pembina Jabatan Fungsional Auditor, perlu merumuskan ulang standar kompetensi Auditor disesuaikan dengan norma dalam UU AP. Terkait dengan hal ini, maka perlu dilakukan perubahan atas Permenpan dan RB No. Per/05/M.PAN/03/2008 tentang Standar Audit APIP; 2. Lembaga Administrasi Negara (LAN) sebagai instansi pembina Diklat ASN --- termasuk SDM APIP ---, perlu berkoordinasi dengan BPKP untuk merumuskan standar Diklat untuk mengembangkan kompetensi SDM APIP sesuai dengan UU AP dan berdasarkan standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada angka 1.
62
BAB V REKOMENDASI HASIL KAJIAN
A. Implementasi Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Berikut kami sampaikan rekomendasi stratejik implementasi UU AP: 1. Kewenangan Plt. maupun Plh. yang Bersumber dari Mandat (Bagian Keempat Pasal 14 UU AP beserta penjelasannya) Perlu diatur secara khusus, PP yang mengatur mengenai diskresi bagi Plt. KDH selama transisi pemerintahan. Diskresi dimaksud dibenarkan berdasarkan UU AP dengan dasar adanya pertentangan antar UU. 2. Batasan dan Membangun Mekanisme Penyelesaian Sengketa Kewenangan yang Rasional (Bagian Keenam Pasal 16) Perlu disusun segera PP yang mengatur mengenai mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan. Dalam PP tersebut, Presiden dapat mendelegasikan penyelesaian sengketa kewenangan kepada Menteri atau Gubernur. 3. Akibat Hukum dari Larangan Penyalahgunaan Wewenang (Bagian Ketujuh Pasal 20) Perlu dibahas dan disepakati dalam Forum Mahkumjakpol plus BPK dan KPK. Ke depan (long term), perlu harmonisasi antara UU AP dengan UU yang terkait dengan dampak hukum larangan penyalahgunaan wewenang tersebut.
63
4. Jaminan Implementasi Diskresi (Bab VI) Perlu segera adanya arahan Presiden yang bisa menjelaskan mengenai Diskresi beserta rambu-rambunya. Seiring waktu, perlu segera ditetapkan pula PP yang secara khusus mengatur dan menjelaskan makna serta mekanisme diskresi berdasarkan UU AP. 5. Upaya Administratif yang tidak Logis (Pasal 75, 77 dan 78) Perlu disusun sebuah standar operasional prosedur (SOP) terkait penanganan Keberatan maupun Banding administrasi yang wajib diberlakukan di seluruh instansi Pemerintah. Penyusunan SOP ini juga diwajibkan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf h UU AP 6. Implementasi Ketentuan Peralihan (Pasal 85 ayat (1)) Perlu dibahas dan disepakati dalam Forum Mahkumjakpol plus KPK. Jika perlu ada MOU antara para pihak tersebut. 7. Mekanisme penyelesaian sengketa (Pasal 21) Presiden memimpin langsung forum yang melibatkan Ketua MA, Ketua KPK plus Mahkumjakpol untuk menyepakati perihal mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan UU AP. Selanjutnya, diharapkan Ketua MA bisa membuat edaran bagi para hakim untuk melaksanakannya. 8. Disharmonisasi Regulasi (sebagai akar masalah implementasi UU AP) Sekali lagi, Presiden dalam forum Mahkumjakpol sebagaimana disampaikan, menegaskan perihal disharmonisasi ini dan perlu disepakati oleh para penegak hukum (lebih baik jika ada MoU).
64
Tindaklanjut atas kesepakatan tersebut, presiden dapat menunjuk Menkopolhukam atau Kepala KSP sebagai koordinator monitoring implementasinya. Begitu juga dengan Kapolri dan Jaksa Agung untuk memerintahkan kepada Penyidik dan Jaksa untuk patuh melaksanakan UU AP terkait perkara dengan obyek hukumnya adalah kebijakan atau tindakan aparatur pemerintahan. Seiring waktu berjalan, penyiapan PP pelaksanaan UU AP tetap disiapkan dan hingga saat ini sudah ada beberapa PP yang akan segera ditetapkan oleh Presiden. Selain rekomendasi di atas, Presiden harus segera menginstruksikan kepada Kejaksaan, Kepolisian dan BPKP --- institusi di ranah eksekutif --, utk meng-"audit" kasus-kasus tindak pidana (pidana umum maupun korupsi), yang menjerat pejabat atau mantan pejabat yang sekarang sedang ditangani di tahap penyelidikan maupun penyidikan, apakah perkara-perkara tersebut masuk ranah Administrasi Pemerintahan atau pidana umum atau Tipikor? Jika memenuhi persyaratan norma dalam UU AP, maka wajib hukumnya bagi Presiden meminta Kepolisian maupun Kejaksaan agar menyesuaikan dan mentransfer yurisdiksinya ke PTUN (bukan PN atau Tipikor). Hal ini sesuai dengan Pasal Peralihan UU AP yang pada hakekatnya menyatakan untuk perkara-perkara dalam ranah AP, meskipun sdh didaftarkan di Peradilan Umum, tapi belum masuk pemeriksaan perkara --- logikanya apalagi masih tahap penyelidikan atau penyidikan ---, harus dialihkan penanganannya ke PTUN.
65
B. Transisi Pemerintahan di Masa Pilkada Serentak Berdasarkan pembahasan atas alternatif-alternatif penyelesaian masalah dalam implementasi kebijakan pemilukada serentak, maka Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara – Deputi Bidang Kajian Kebijakan merekomendasikan prioritas kebijakan dan tindakan yang perlu segera dilakukan adalah : 1. Perlu pengaturan tindak lanjut PP No. 49 Tahun 2008 mengingat lamanya masa jabatan larangan plt atau pj kepala daerah, 2. Perlu penegasan aspek kompetensi calon plt atau pj kepala daerah agar yang bersangkutan dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. C. Strategi Pengembangan Kompetensi Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Dalam Rangka Implementasi UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Secara umum, ada disharmonisasi regulasi, antara UU AP dengan UU KUHP, UU Tipikor, UU Perbendaharaan Negara dan UU BPK. Implikasinya, menjadi subyektifitas Aparat Penegak Hukum, untuk memilih dan meyakini tindakan tersebut akan dibawa ke ranah administrasi atau korupsi. Pengawasan larangan penyalahgunaan wewenang dilakukan oleh aparat pengawasan internal pemerintahan, yang hasilnya dapat menyatakan bahwa tidak ada kesalahan administratif
hingga
adanya
kesalahan
administratif
yang
menimbulkan kerugian negara. Dalam UU AP, jika terjadi kondisi paling buruk --- ada salah administrasi, ada kerugian negara ---, maka mekanisme adalah pengembalian kerugian negara tersebut baik oleh pribadi maupun 66
institusi. Kedepan (long term), perlu harmonisasi antara UU AP dengan UU yang terkait dengan dampak hukum larangan penyalahgunaan wewenang tersebut. Merujuk pada pembahasan di atas, maka kompetensi SDM APIP yang perlu dikembangkan dalam rangka melaksanakan UU AP adalah sebagai berikut : 1. SDM APIP harus mempunyai kemampuan untuk menghitung kerugian negara; 2. SDM APIP harus mempunyai kemampuan untuk menilai kebijakan atau tindakan Pejabat Pemerintahan, dari aspek administratif, auditif dan ekonomis; 3. SDM APIP harus mempunyai kemampuan untuk menilai aspek penyalahgunaan wewenang (conflict of interest) dalam pelaksanaan kebijakan atau tindakan Pejabat Pemerintahan; 4. SDM APIP harus mempunyai kompetensi untuk berkoordinasi dengan Aparat Penegak Hukum dan Auditor Eksternal dalam pelaksanaan
pengawasan
kebijakan
atau
tindakan
Pejabat
Pemerintahan. Untuk itu, perlu dilakukan beberapa upaya stratejik dengan melibatkan beberapa instansi terkait, sebagai berikut: 1. Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementerian PAN dan RB serta BPKP sebagai instansi pembina Jabatan Fungsional Auditor, perlu merumuskan ulang standar kompetensi Auditor disesuaikan dengan norma dalam UU AP. Terkait dengan hal ini, maka perlu dilakukan
perubahan
atas
Permenpan
dan
Per/05/M.PAN/03/2008 tentang Standar Audit APIP;
67
RB
No.
2. Lembaga Administrasi Negara (LAN) sebagai instansi pembina Diklat ASN --- termasuk SDM APIP ---, perlu berkoordinasi dengan BPKP untuk merumuskan standar Diklat untuk mengembangkan kompetensi SDM APIP sesuai dengan UU AP dan berdasarkan standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada angka 1.
68
DAFTAR PUSTAKA A. Daftar Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht). Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. 69
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Negeri Sipil Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : PER/05/M.PAN/03/2008
tentang
Standar
Audit
Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor : 120/3262/SJ Tanggal 17 Juni 2015, Perihal Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah. B. Daftar Buku Deliarnoor, Nandang Alamsah. 2015. Makalah. ”Demokrasi Lokal: Pilkada Serentak dan Pemerintah Daerah di Masa Transisi”. Bandung. Tidak diterbitkan. Lembaga Administrasi Negara, Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta, 2013. Mathis Robert L. dan Jackson John H, Human Resource Management, alih bahasa, Salemba Empat, Jakarta2006. C. Daftar Situs http://www.otda.kemendagri.go.id/, diakses tanggal 24 Agustus 2015. 70