E di Ke si ro yo ka n
Pj : Litbang
Jln. Rebab No 79 A Pasar II Padang Bulan Medan
Edisi Februari 2017
BULETIN VERITAS
Profil KDAS
Rumah Diskusi KDAS
Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial (KDAS) berdiri pada tahun 2002, setelah mengalami proses pematangan setahun sebelumnya. Pematangan selama setahun ini menjadi semacam seleksi alami tersendiri bagi mereka yang pada akhirnya mengambil jalan berbeda. Melalui pertemuan -pertemuan dan diskusi - diskusi, akhirnya mereka yang bertahan sepakat membuat suatu komunitas yang mengikat. Akhirnya pada tanggal 1 September 2002 Kelompok Diskusi dan Aksi sosial (KDAS) dideklarasikan di puncak gunung Sinabung. Sebagai landasan dan arah perjuangannya, KDAS memiliki visi untuk menghasilkan subjeksubjek sadar yang menjadi motivator dan motor transformasi bangsa yang bercirikan Takut akan Tuhan, kerakyatan dan demokrasi. Dalam rangka mencapai visi tersebut, ada dua misi yang di kerjakan KDAS: mengkonsolidasikan setiap elemen masyarakat khususnya kaum muda dalam proses penyadaran kritis menuju transformasi bangsa yang lebih baik dan juga melakukan upayaupaya menjadi oposan permanen.
landasan dan arah per-
KDAS concern dalam diskusi-diskusi dan aksi sosial.
juangannya, KDAS memiliki
Tema-tema pokok yang dikaji adalah pendidikan, politik,
visi untuk menghasilkan
ekonomi, teologi, kesehatan, sosial-budaya dan filsafat.
subjek-subjek sadar yang men-
Struktur kepengurusan KDAS selalu mengalami perubahan
jadi motivator dan motor
setiap tahunnya, tergantung pada kebutuhan komunitas yang
transformasi bangsa yang
diputuskan saat Rapat Umum Anggota (RUA). Untuk periode
bercirikan Takut akan Tuhan,
ini, struktur kepengurusan terdiri dari Badan Pengurus Hari-
kerakyatan dan demokrasi.
an (BPH) : Ketua, Sekretaris-bendahara, dan tiga divisi yaitu Divisi Diskusi, Divisi Litbang, dan Divisi Jaringan dan Aksi.
Sesuai dengan visinya, KDAS juga mejalin kerjasama dengan organisasi pro-demokrasi (Prodem) lainnya dalam rangka merespon setiap penindasan dan ketidakadilan. Adapun kerja sama yang dilakukan bisa bersifat taktis dan strategis sesuai dengan tuntutan keadaan.
Edisi Februari 2017
2
BULETIN VERITAS
Opini
“TANAH KARO SIMALEM” Oleh : Bintang Kasih. S*
Sapa embun dan hempasan angin dingin, kicauan bahagia para burung dan aroma lembab tanah sehabis hujan (Petrichor) adalah pagi bahagia yang selalu tersaji di desa Kutakepar, kecamatan Tiga Panah, kabupaten Karo, Sumatera Utara. Hijaunya dedaunan dari jajaran pohon yang juga bahagia menyambut pagi dan suguhan indah memikat bukit-bukit, melengkapi rasa bahagia. Jelas syukur terucap dari hati ini. Nama tersebut benar-benar menggambarkan keadaan yang sebenarnya, Simalem yang artinya menyembuhkan. Benar, Tanah Karo Simalem, tanah yang menyembuhkan, menyejukkan dan menjanjikan kebahagiaan. Sejak menginjakkan kaki disini pada 29 Februari lalu, ada begitu banyak cerita luar biasa yang tersaji, kadang menyisakan tawa atau malah berujung dengan titian air yang jatuh dari pelupuk mata. Di desa yang belum dilengkapi dengan sinyal internet ini, agaknya membuat waktu yang terlewati lebih bermanfaat. Terbukti, dari 4 minggu pertama yang telah berlalu, 5 hutang buku bacaan berhasil terbayar lunas. Sedikit berefleksi juga bahwa ternyata hidup bisa tetap berjalan tanpa internet, hantu yang selama ini sudah meraja untuk terus diakses 24 jam dalam sehari. Menghabiskan waktu secara apatis dengan bercumbu pada internet, dunia maya, media sosial dan lainnya yang merupakan cikal bakal dan tunas-tunas penghalang kedekatan dengan orang-orang sekitar (Dunia nyata), kata lainnya menjauhkan orang yang dekat. Ya, benar begitu. Tapi ternyata, keadaan yang ada membuktikan bahwa hidup juga tidak kolot dan mati kutu tanpa internet, bahkan warna dan rasa yang diberikan lebih baik dari yang pernah terbayangkan. Intinya, hidup tidak akan mati tanpa internet. Ditanah yang penduduknya mayoritas bersuku Karo ini, banyak pengetahuan baru yang dapat dicecap, ditambah lagi dengan perawakan penduduk yang sangat ramah dan suka berbagi segala hal yang mereka tahu. Cerita tambah sempurna dengan penyambutan dan penerimaan mereka yang sangat luar biasa. Entah mengapa, rasa canggung dan aneh sedikitpun tidak pernah terlintas dibenak ini, meskipun dalam kesehariannya hal yang terdengar dan tersaji sangat berbeda dari kehidupan biasa, mulai dari bahasa, kebiasaan, gaya hidup dan hal lainnya. Semua mengalir dengan sempurnanya, dari hari ke hari bahkan hingga bulan berganti. Hidup yang sangat sangat baik untuk dinikmati, apalagi disetiap harinya selalu saja
Edisi Februari 2017
3
BULETIN VERITAS
Opini
datang pemberian yang menyejukkan hati, mulai dari sepiring buah jeruk, alpukat, sayur-mayur dan masih banyak lagi. Masyarakat desa memang sangat suka berbagi dan memiliki rasa kepedulian terhadap sesama yang cukup tinggi, bahkan kepada orang yang baru dikenal hitungan hari. Keadaan ini sangat-sangat berbeda dengan kehidupan kota yang apatis dan jauh dari kehidupan tolong-menolong yang harmonis, bahkan tak jarang ada keluarga yang tidak mengenal siapa tetangga sebelah rumahnya. Miris! Hidup Berbudaya dan Sederhana Masyarakat Karo di tanah ini, sampai sekarang masih hidup dengan hiasan kebudayaan dan warisan leluhur yang sangat unik. “Menjaga, melestarikan dan mewariskan kebudayaan adalah tanggung jawab setiap kita, karena budaya adalah sejarah dan identitas diri yang tentunya juga merupakan identitas bangsa ini”, ungkap seorang tetua adat di desa ini. Menjadi kesempatan besar juga bagi siapapun yang datang untuk bisa mengenal dan belajar lebih lagi tentang Karo. Mulai dari bahasa, kebiasaan sehari-hari, hari-hari besar yang selalu dirayakan, salah satu contohnya : Kerja Tahun/ Merdang Merdem (Gendang guro-guro aron, mburo ate tedeh), yaitu : Sebuah perayaan atau pesta panen tahunan dan ucapan syukur yang diadakan setiap tahun, juga merupakan momen berkumpulnya seluruh anggota keluarga. Selain itu, yang tak terlupakan adalah makanan khas turun temurun yang sampai sekarang masih ada disana, diantaranya : Tasak Telu, Terites/ Pagit-Pagit, Cimpa, Kidu-kidu, Cipera dan masih banyak lagi. Ditempat yang secara geografis terletak di daerah pegunungan dan bukit, membuat hampir seluruh masyarakat di desa ini bertani. Menanam buah-buahan dan sayur-mayur untuk memenuhi kebutuhan kehidupan, mulai dari kebutuhan untuk makan, sekolah, sosial dll. Mereka menanam Sawi, Wortel, Cabe, Tomat, Bawang, Jeruk, Alpukat dan masih banyak lagi. Semua diusahakan demi memenuhi tuntutan hidup yang semakin hari semakin sulit. Tanah, ya tanah yang subur adalah modal utamanya. Untuk itu, mereka sangat berusaha menjaga kesuburan tanah dan menyeimbangkan daya dukung alam dengan tidak melakukan pencemaran atau perusakan lainnya. Sungguh hidup yang sangat mulia. Hal lain yang sangat mengagumkan dan seringnya membuat siapa saja tertegun tanpa bisa berkatakata termasuk penulis sendiri ialah kesederhanaan kehidupan yang mereka jalani. Ya, mereka hidup dengan sangat sederhana dan berani berkata cukup. Berani berkata cukup adalah hal yang tampaknya sulit untuk dilakukan oleh orang-orang pada zaman ini. Terbukti, maraknya kasus-kasus perampasan tanah, korupsi yang semakin merajalela, penghisapan hak-hak kaum miskin oleh segelintir penguasa dan bentukbentuk praktik tindakan keserakahan lainnya adalah akibat dari kerakusan orang-orang yang tidak berani berkata cukup. Mari merenung.
Edisi Februari 2017
4
BULETIN VERITAS
Opini
Cerita dibalik kisah Itulah sederetan kisah yang ada di desa berpenduduk kurang lebih 150 kepala keluarga ini. Beberapa bulan hidup dan tinggal disini, kisah dan kebenaran yang awalnya tidak terlihat akhirnya terungkap satu per satu. Salah satunya : kisah beberapa ibu-ibu yang harus berganti status menjadi janda karena ditinggal oleh suami dengan alasan yang tidak jelas. Tidak sedikit jumlahnya. Bahkan yang lebih sulitnya lagi, ibu tersebut harus menghidupi beberapa anak yang sudah masuk usia sekolah dengan pekerjaan yang tidak tetap dan penghasilan yang juga demikian. Salah satu pekerjaan yang bisa dilakukan adalah menjadi “Aron”. Yaitu pekerjaan harian membantu seorang pemilik ladang dengan upahan biasanya Rp.50.000/ hari. Mencangkul, menanam benih, memanen hasil, membersihkan hama dan rumput, itulah beberapa pekerjaan yang biasanya dilakukan seorang aron dari jam 7 pagi sampai jam 6 sore. Tidak setiap hari pemilik ladang membutuhkan aron. Disinilah letak masalahnya, ibu-ibu aron tanpa pekerjaan tetap tersebut harus menanti panggilan dari si pemilik ladang yang tidak bisa dipastikan kapan waktunya. Yang lebih mengiris hati dari itu ialah curahan hati dari anak-anak nande (Ibu) aron tersebut. Mereka bercerita dengan lantang dan bebasnya, seolah memang sudah sangat lama menantikan seseorang yang bersedia mendengarkan curahan hati mereka. Penulis mendengarkan dengan seksama, mulai dari yang berusia muda bahkan yang sangat belia, tak lebih dari 3 tahun tampaknya. Ya, penulis sangat mengerti apa yang mereka rasakan, disaat anak-anak lain dapat hidup dan tumbuh dengan kasih sayang lengkap dari ayah dan ibu, mereka malah harus menerima hidup yang tidak mudah tanpa ada sosok ayah yang menguatkan. Dalam hati ini berkata “Aku sudah terlebih dulu merasakannya, dik. Kuatlah, masa depanmu tidak semata hancur hanya karena ayah tak ada” sambil menundukkan kepala dan menghapus sebulir air yang mengalir dari pelupuk mata. Hidup disini benar-benar mengajarkan banyak hal baru dan mengubah paradigma diri egois yang selama ini terpatri kuat dipikiran. Jika ingin belajar mengucap syukur dan mampu memaknai arti kehidupan yang sebenarnya, pergilah ke desa dan temui mereka. (Kutakepar Simalem, Mei 2016) * Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat USU dan aktif di Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial (KDAS)
Edisi Februari 2017
5
BULETIN VERITAS
Opini
Korban yang Terabaikan Oleh: Rie Vay Pakpahan.*
Gunung Sinabung mulai erupsi sudah terhitung cukup lama yaitu sekitar 5 tahun, menyebabkan masyarakat yang ada disekitar gunung harus dievakuasi. Mereka dievakuasi oleh pemerintah Kabupaten Karo ke tempat yang lebih aman. Tetapi mereka di pengungsian tidak beberapa lama mereka kembali lagi ke kampung halamannya dikarenakan gunung tidak lagi menyemburkan abu vulkanik dan tidak lagi berbahaya bagi ma -syarakat. Tapi yang terakhir ini, Gunung Sinabung terus-terusan mengeluarkan abu vulkanik dan juga mengeluarkan semburan lahar yang mengakibatkan beberapa rumah di sebagian desa hancur dan tertanam oleh lahar sehingga tidak bisa lagi ditinggali. Untuk itu pemerintah memindahkan mereka ke tempat lain. Sekarang mereka tinggal di tempat baru yang dinamakan relokasi Siosar. Namun itu hanya beberapa desa saja, di sebagian desa masih ada yang tinggal di pengungsian dikarenakan desa mereka tidak terkena lahar, tetapi terkena awan panas dan debu vulkanik. Mereka yang berada di posko pengungsian sekarang sudah cukup lama, sekitar 1 tahun 5 bulan terhitung dari bulan Juni 2015. Di pengungsian mereka mendapat makan dan minum dari pemerintah. Selain peme-rintah, pihak swasta juga sering datang untuk memberikan bantuan baik itu makanan maupun kebutuhan lainnya seperti kamar mandi dan beberapa peralatan tidur. Tetapi muncul persoalan baru dimana mereka juga membutuhkan keperluan sehari-hari baik itu untuk uang sekolah anak-anak mereka sehingga mereka harus mencari cara bagaimana untuk mendapatkannya. Untuk itu masyarakat mengambil inisiatif, yaitu para orang tua kembali ke kampung untuk mengolah kembali ladang mereka. Mereka mengambil resiko ini untuk bertahan hidup dikarenakan tuntutan ekonomi yang memaksa. Padahal dengan kembali ke kampung mereka mengambil resiko yang sangat tinggi. Dimana bisa saja terjadi awan panas, debu vulkanik yang kadang-kadang menyembur dan yang paling berbahaya jika sewaktu-waktu Gunung Sinabung meletus. Mereka mempertaruhkan nyawa mereka demi keluar-ganya. Penulis juga menemukan beberapa tanggapan dari masyarakat bahwa mereka tidak lagi takut mati, tetapi yang paling mereka takutkan adalah jika mereka tidak bisa lagi menyekolahkan anak -anak mereka dan menghidupi keluarganya. Dengan kembalinya ke kampung, mereka terpaksa meninggalkan anak-anak mereka di posko
Edisi Februari 2017
6
BULETIN VERITAS
Opini
pengungsian. Dikarenakan mereka masih sekolah dan tidak cukup kuat untuk lari ketika sewaktu-waktu hal yang tidak terduga terjadi. Kondisi ini membuat anak-anak itu bertarung sendirian tanpa dampingan dari orang tuanya. Anak-anak ini secara tidak langsung dipaksa untuk menjaga dirinya dan harus mampu memanajemen dirinya sendiri. Mereka tidak lagi merasakan kasih sayang dari orang tua seperti kebanyakan orang. Mereka seolah-olah dibiarkan berjuang sendiri atau bahkan dilepaskan begitu saja tanpa bekal apa-apa meskipun tidak dengan keinginan orang tua mereka. Padahal orang tua harus ambil andil dalam pembentukan karakter anak-anak karena berpengaruh terhadap masa depan si anak. Untuk itu pengawasan dari orang tua harus ditingkatkan, sebab anak-anak adalah gene-rasi penerus bangsa. Dan ketika mereka dibiarkan tanpa pengawasan, maka sama saja dengan merusak generasi bangsa. Di tengah bencana ini anak yang seharusnya merasakan kehangatan kasih sayang orang tuanya, terpaksa berjuang sendiri tanpa pengawasan. Mereka tidak lagi merasakan apa itu arti dari kasih sayang orang tua sebab mereka tidak mendapatkannya di posko pengungsian. Hal ini menimbulkan dilema, dimana kebutuhan ekonomi yang harus dipenuhi oleh orang tua memaksa mereka harus meninggalkan anaknya di pengungsian lantaran sekolah. Di lain sisi anak-anak masih membutuhkan dampingan/pengawasan dari orang tua mereka. Kondisi ini juga diperparah oleh ketidakjelasan pemerintah dalam membuat kebijakan, padahal Gunung Sinabung erupsi sudah tergolong lama. Pemerintah saat ini dirasa sangat lambat dalam menangani bencana Sinabung ini. Hal ini nampak belum adanya realisasi peraturan bentukan peme-rintah dalam mengatasi masalah ekonomi ma-syarakat yang terkena dampak erupsi Sinabung. Pemerintah sebagai lembaga negara yang bertanggung jawab terhadap masyarakatnya, sudah seharusnya memberikan perhatian yang serius dalam penanganan hal ini karena menyangkut generasi penerus bangsa. Dampak bagi anak-anak Anak-anak yang berada di posko pengungsian harus merelakan waktu bermain mereka karena harus bisa memanajemen waktu. Bahkan mereka harus mengurus diri mereka sendiri tanpa pengawasan dan bimbingan dari orang tua. Mereka disuguhkan dengan beban yang sangat besar harus bisa mengontrol dan berdiri sendiri. Padahal mereka masih anak-anak yang membutuhkan kasih sayang dan perhatian yang besar dari orang tua, sebab masa anak-anak adalah masa mencari jati diri dan proses pembentukan karakter. Juga pada masa remaja adalah masa yang paling labil dan sangat rentan dari pengaruh sekitarnya termasuk teman-temannya. Tanpa adanya pengawasan dari orang tua bisa jadi menimbulkan dampak negatif tehadap dirinya. Di posko pengungsian mereka bahkan bekerja sebagai aron (pekerja harian di ladang orang) untuk menambah jajan mereka, karena uang yang diberikan oleh orang tuanya yang kurang. Mereka biasanya bekerja sebagai aron setengah hari lantaran mereka harus sekolah. Pagi sekitaran jam 08.00 mereka sudah
Edisi Februari 2017
7
BULETIN VERITAS
Opini
bekerja dan siap pada jam 11.30. Penulis juga mendapati di posko pengungsian, anak-anak remaja yang sering keluar malam tanpa batas waktu pulang. Mereka bebas untuk keluar dari posko pengungsian tanpa adanya pengawasan dari orang tua. Hal inilah yang membuat perilaku anak-anak yang semakin menyimpang. Beberapa kejadian lainnya juga yang terjadi ialah adanya perkelahian sesama mereka, anak-anak sekolah yang merokok dan ada beberapa kasus pencurian. Ketidakhadiran orang tua mereka menjadikan mereka bebas untuk melakukan apapun meskipun hal itu negatif. Jika hal ini tetap dibiarkan maka akan berdampak besar. Dimana yang paling tragis mereka akan menjadi calon-calon pelaku kejahatan. Padahal mereka adalah calon -calon penerus bangsa ini yang akan merubah bangsa ini kearah yang lebih baik jika diperlakukan dengan baik sejak awal. Anak-anak ini merupakan korban ketidakpedulian pemerintah dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat pengungsi Gunung Sinabung. Lepas tanggungjawab Pemerintah untuk saat ini dinilai lambat dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi masyarakat korban Gunung Sinabung. Dimana masih banyak persolan yang tak kunjung usai ditambah lagi kebijakan pemerintah yang kurang tepat sasaran dan proses yang sangat lama. Misalkan saja dengan kebijakan pemerintah tentang huntara (hunian sementara), yang mana pemerintah menyediakan hunian sementara bagi masyarakat dan setelah gunung dikatakan stabil maka mereka bisa kembali ke kampung halaman mereka. Namun saat ini implementasi kebijakan ini belum ada. Pemerintah dirasakan melakukan pelepasan tanggungjawab, karena masyarakat hanya diberikan makan dan minum tanpa memperhatikan kebutuhan yang lain. Saat ini masyarakat berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan untuk sekolah anak-anaknya dan kebutuhan lainnya. Kebijakan pemerintah saat ini bisa dianalogikan seperti orang yang sakit parah mencari sendiri rumah sakit, padahal seharusnya orang lain ataupun keluarganya yang seharusnya membawa si sakit kerumah sakit. Hal inilah yang dirasakan masyarakat, mereka merasa dibiarkan untuk menghadapi persoalan mereka. Untuk itu pemerintah diharapkan segera menyelesaikan permasalahan di atas. Sebab ketika kita berbicara tentang bagaimana dampaknya bagi anak-anak tidak hanya yang dirasakan dalam waktu dekat ini, tetapi bagaimana mereka beberapa tahun mendatang. Sebab mereka adalah orang-orang yang akan memikul tanggung jawab besar terhadap kemajuan bangsa ini.*** * Penulis adalah mahasiswa Ilmu Administrasi Negara USU dan aktif di Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial. ***Dimuat pada harian Analisa pada hari selasa, 1 November 2016
Edisi Februari 2017
8
BULETIN VERITAS
Puisi
Kelam
Oleh : Berton Pakpahan
HENING !! sebab jiwa jiwa sudah berhenti menangis.
Sambil terduduk di teras kehidupan ini, aku seruput kopi hitamku Dan menatap jauh simpul simpul kehidupan yang teralit Menerawang kembali ke masa lampau yang kelam
dibayangi oleh masa kelam dulu
Meskipun gelapnya malam terkikis oleh sinar sang Rembulan Namun bayang bayang kegelapan itu sudahkah berlalu ? Akupun berdialog dengan diriku sendiri, bertanya-tanya dan jawaban tetap jua tak kutemukan Namun hanya sedikit yang dapat kusimpulkan,
Lewat pengalaman pengalaman, Lemah tak berdaya dan aku tersentak serta buku buku yang kubaca dari lamunku. Sejarah itu milik penguasa, Aku tahu, bahkan lebih tau bagaima- dan kita yang lemah tak punya kuasa untuk berkata na tekanan itu Jiwa jiwa tertindas dan termaki Hingga akhirnya doa-doa pun tiada memiliki arti
Hidup sudah jauh dari kata ADIL !!!
Medan, 2016 Hening kembali menyisiri ruang dan waktu Hingga terus mendesak, namun pada kenyataan tak mampu terbebas dari kekelaman dimasa lampau dan aku berfikir, Mungkin aku tak akan pernah lagi meraih masa depan yang kuimpikan Sebab teras-teras kehidupan sudah
Edisi Februari 2017
9
BULETIN VERITAS
Opini
TIDAK ADA RUANG UNTUK PUNGLI Oleh : Dani Damanik*
Maraknya kasus pungli yang terjadi di negeri ini memang sungguh ironis. Perbuatan yang sangat merugikan tersebut seperti penyakit kronis yang sudah menahun hingga tak ada harapan lagi untuk menyembuhkannya. Pungutan liar sampai-sampai dianggap hal yang lumrah dan menjadi upeti rutin bagi oknum pelaku perbuatan pungli dengan menyalahgunakan kekuasaannya untuk mempersulit seseorang dalam hal urusan publik tentu dalam ranah pelayanan publik. Berbeda pula dalam ranah pungli yang dilakukan oleh sekelompok preman yang lebih sering memalak dengan menggunakan ancaman fisik. Nah, aparat pemerintah yang melakukan pungli tak ubahnya seorang preman pemalak uang rakyat. Pungutan liar merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau Pegawai Negeri atau Pejabat Negara dengan cara meminta pembayaran sejumlah uang yang tidak sesuai atau tidak berdasarkan peraturan yang berkaitan dengan pembayaran tersebut. Hal ini sering disamakan dengan perbuatan pemerasan, penipuan atau korupsi. Dalam ranah penyelenggaraan pelayanan publik, pungutan liar ini seringkali disebabkan oleh tingginya tingkat ketidakpastian pelayanan sebagai akibat adanya prosedur pelayanan yang panjang dan melelahkan sehingga masyarakat menyerah dan mengambil jalan pintas dengan memberikan sesuatu kepada oknum pelaku pungli berupa uang pelicin dengan harapan segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan publiknya dapat dipermudah dan cepat selesai. Hal ini yang menyebabkan masyarakat cenderung semakin toleran terhadap praktik pungutan liar dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Sejak Januari-September 2016, Ombusdman menerima banyak laporan terkait dengan suap dan pungli pada layanan publik di sejumlah lembaga pemerintahan dan berbagai sektor. Laporan dugaan maladministrasi berdasarkan sektor paling banyak terjadi di sektor penegakan hukum (51%), sektor kepegawaian dalam bentuk penundaan berlarut dengan jumlah 11 laporan per hari, sektor kepegawaian (42%) melanggar prosedur dengan rata-rata empat laporan setiap harinya. Sedangkan sektor pendidikan paling banyak praktek suap dan pungli (45%) dengan dua laporan per hari. Laporan maladministrasi berdasarkan institusi, kepolisian (45%) dalam bentuk penundaan berlarut dengan 11 laporan per hari, institusi pemerintahan (42%) dalam bentuk kesalahan prosedur sebanyak lima laporan per hari dan praktek suap dan pungli di instansi pemerintah daerah (53%) dengan rata-rata dua laporan setiap harinya Apa yang terjadi berdasarkan data diatas sangat tidak bisa untuk ditolerir. Beberapa sektor telah disusupi praktik pungli, bahkan sektor pendidikan menjadi salah satu lahan basah untuk praktik pemerasan ini. Bayangkan saja jika sektor pendidikan pun berlaku praktik pungli bagaimana nasib pendidikan bangsa ini ke depannya yang katanya ingin “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Adanya malah menciutkan keingi-
Edisi Februari 2017
10
BULETIN VERITAS
Opini
nan masyarakat kecil untuk bersekolah karena dihadapkan dengan kenyataan bahwa pungli membuat pendidikan menjadi eksklusif. Dibentuknya Satgas Saber Pungli Ternyata pemerintahan Jokowi-Kalla masih peka melihat permasalahan pungli ini yang memang sangat meresahkan masyarakat. Dengan ikut langsung melakukan operasi tangkap tangan terhadap pelaku pungli yang terjadi di Kementerian Perhubungan baru-baru ini, Pak Presiden menjadi saksi mata secara langsung. Tak butuh waktu lama bagi pemerintah bergerak cepat untuk membentuk Satgas sapu bersih pungli. Satgas saber pungli tersebut diperkuat dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2016. Satgas saber pungli ini ditugaskan untuk memberantas praktik pungutan liar secara efektif dan efisien. Caranya, dengan mengoptimalkan pemanfaatan personel, satuan kerja dan sarana prasarana, baik yang berada di kementerian/lembaga atau pemerintah daerah. Satgas itu memiliki empat fungsi, yakni intelijen, pencegahan dan sosialisasi, penindakan, serta yustisi. Selain itu, satgas Saber Pungli juga berwenang melakukan operasi tangkap tangan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf d.(www.kompas.com) Hal ini merupakan langkah yang sangat bagus dan patut diapresiasi karena pemerintah sudah menunjukkan komitmennya dalam pemberantasan praktik pungli melalui pembentukan satgas saber pungli tersebut. Namun yang menjadi kendala ke depannya adalah bagaimana pemerintah mampu mengefektifkan fungsi dari satgas tersebut. Dikarenakan juga beberapa lembaga terkait memiliki fungsi yang sama seperti lembaga Ombudsman dan Inspektorat (pengawas internal) dan lain-lain. Ditakutkan kedepannya malah terjadi tumpang tindih kewenangan antar lembaga pengawas yang ada. Dibutuhkan Peran Aktif Masyarakat Untuk memperkecil peluang oknum melakukan pungli, masyarakat juga bisa berperan aktif dalam mengawasi dan melaporkan langsung peristiwa pungli yang dialami. Misalnya dengan melaporkan praktik pungli secara online melalui situs saberpungli.id. Pemerintah juga menyediakan layanan SMS/call center di nomor 1193. Masyarakat tinggal menyampaikan secara singkat di mana, kapan dan siapa yang melakukan pungli itu. Apabila kesulitan dengan cara diatas, disediakan pula saluran hotline di nomor telepon 193. Masyarakat yang menemui atau menjadi korban pungli juga dapat mengadukannya langsung ke nomor tersebut. Dengan demikian, tidak hanya tugas dari Satgas Saber Pungli saja untuk memberantas pungli nantinya. Masyarakat pun perlu terlibat dalam melaporkan praktik pungli. Mari beramai-ramai merekam dan melaporkan apabila praktik pungli terjadi disekitar anda. Pemerintah telah menjamin kerahasiaan identitas setiap pelapor pungli, jadi tidak perlu takut dan ragu. Dengan ikut berpartisipasi secara langsung mengawasi dan melaporkan, maka tidak akan ada ruang untuk pungli.! ***Penulis adalah mahasiswa Ilmu Administrasi Negara FISIP USU 2013 & aktif di KDAS
Edisi Februari 2017
11
BULETIN VERITAS
Opini
Menimbang Arah Pendidikan Kita Oleh : Berton Pakpahan*
Babak baru dalam dunia Pendidikan kita sudah dimulai, Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) di Perguruan Tinggi Negeri melalui beberapa jalur sudah berlalu. Puluhan ribu siswa yang tamat SMA akan melanjutkan mimpi mereka untuk dapat kuliah. Melalui data dari sekitar 2.986.047 siswa yang lulus UN, yang bertarung untuk duduk di bangku PTN ada sekitar 750.208 melalui jalur SNMPTN dan 721.326 melalui jalur SBMPTN. Akan tetapi total yang lulus dan diterima dari keseluruhan hanya 241.982 dengan rincian 115.178 melalui jalur SNMPTN dan 126.804 melalui jalur SBMPTN. Jumlah tersebut hanya 16,44% dari jumlah pendaftar dan hanya 8,10% dari jumlah siswa yang tamat sma sederajat. Selebihnya 91,90% akan kemana? memang secara teknis masih ada PTS yang akan menampung mereka akan tetapi secara finansial kebanyakan tidak mampu dan memilih untuk tidak kuliah. Apakah hanya sebatas persaingan ? Sudah sepatutnya kita mempertanyakan keadaan ini, dimana dari jutaan siswa yang tamat setiap tahunnya dari SMA sederajat hanya 8,10% saja yang mampu mengenyam Pendidikan Tinggi Negeri. Keadaan ini menciptakan pertanyaan, sebenarnya yang berhak untuk mendapatkan kesempatan duduk dan mengenyam bangku Pendidikan itu siapa ? bukankah dalam undang undang dasar 45 pasal 1 mengatakan tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran. Undang-undang ini secara langsung mensyaratkan bahwa setiap anggota masyarakat berhak untuk mengenyam Pendidikan Tinggi dan diperlakukan sama sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan Masyarakat.
Edisi Februari 2017
12
BULETIN VERITAS
Opini
Pemerintah mungkin akan membuat alasan bahwa Negara hanya bertanggung jawab terhadap pendidikan sampai 9 tahun, selebihnya adalah tanggung jawab dari Masyarakat untuk menyekolahkan anakanak mereka. Pemerintah terkesan tutup mata
melihat persoalan ini, seakan-akan pendidikan bukan
tanggung jawab bersama. Padahal UU No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Nah, apabila masyarakat tidak mendapatkan haknya lantas apa yang akan terjadi? Jelas yang akan terjadi adalah ketimpangan sosial yang berkelanjutan. Melihat keadaan negara yang mengenyampingkan hak pendidikan setiap warga negaranya. Saat ini, kita bisa beranggapan bahwa pendidikan kita adalah semacam sebuah kompetisi, dimana yang memenangkan pertandingan adalah yang terkuat dan yang paling mampu. Sementara yang terlemah dan tak mampu terkesan diabaikan dan tidak di perhitungkan. Mereka dianggap sebagai kaum yang bodoh dan tidak penting. Padahal seperti dikatakan di awal bahwa sudah menjadi hak individu untuk mendapatkan pendidikan untuk bisa mengembangkan potensi yang ada dalam diri individu tadi. Hal lain yang menjadi sorotan kita adalah setelah kompetisi sudah dimenangkan oleh yang paling kuat dan paling mampu, tidak membuat mereka mendapatkan hak-hak mereka. Sistem pendidikan kita terkesan seperti perusahaan besar yang meraup untung dari peserta didik, juga menjadi pusat penyedia jasa tenaga kerja. Dimana setiap mahasiswa sedang dilatih dan diarahkan untuk menjadi tenaga kerja di berbagai perusahaan-perusahaan. Kemana arah sebenarnya ? Sementara kita masih percaya bahwa keberlangsungan hidup suatu bangsa terletak pada kualitas dan tingkat pendidikannya. Sehingga untuk dapat merealisasikan suatu bangsa yang beradab maka yang perlu dibenahi adalah meningkatkan kualitas pendidikan baik dalam segi pengajaran dan cita-cita. Keduanya harus sejalan sehingga dari adanya sebuah cita-cita bersama dan pengajaran yang adil akan menciptakan sebuah sistem pendidikan yang bervisi kerakyatan. Dalam segi pengajaran, kita memiliki tiga krisis yang paling dasar yang tidak dimiliki indonesia dan sudah seharusnya untuk kita benahi, yaitu krisis kepercayaan diri, krisis moralitas dan krisis intelektualitas. 1) krisis kepercayaan diri, saya menempatkan krisis kepercayaan diri di tempat paling pertama bukan tanpa alasan. Karena sejauh ini sebagai salah satu peserta didik, saya belum pernah melihat dosen, lembaga pendidikan dan pemerintah berusaha untuk membangun sebuah sistem pendidikan yang membangun kesadaran kritis bagi peserta didiknya. Kebanyakan dari mereka selalu menanamkan pola pikir yang kaku, dimana selalu saja hubungan antar murid dan guru tidak bersahabat sehingga menimbulkan rasa ketidakpercayaan diri yang tinggi dan takut untuk melangkah lebih maju. Hal seperti ini apabila terus
Edisi Februari 2017
13
BULETIN VERITAS
Opini
berlanjut dan tidak dibenahi akan merusak mental bangsa sehingga akan menjadi bangsa yang tidak mandiri. 2) Krisis moralitas. Negara kita sedang dilanda krisis moralitas yang sangat akut, moral bangsa sedang dipertanyakan karena sekarang dapat kita lihat sangat banyak berita dan kejadian di sekitar kita yang sangat jauh dari norma yang berlaku dimasyarakat. Seperti seks bebas, perjudian, narkoba, kasus bunuh diri dan pembunuhan yang melibatkan orang orang yang mengenyam bangku pendidikan tinggi. Sudah tentu moral bangsa patut dipertanyakan, karena kita mengetahui bahwa moral sangat berpengaruh terhadap perjalanan sebuah bangsa yang beradab. 3) Krisis intelektualitas. Hal terakhir yang menjadi sorotan adalah krisis intelektualitas. Dimana sejauh ini kita sangat minim dengan karya-karya ilmiah yang didapat melalui penelitian dan juga pengabdian dimasyarakat. Padahal dalam tridarma perguruan tinggi jelas dikatakan bahwa Universitas melakukan tiga tugas utamanya yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian. Mahasiswa sudah sangat jarang turun dalam mendampingi masyarakat untuk menghadapi masalah mereka. Kita hanya kebanyakan berkecimpung dalam dunia teori sementara orang lain masih mengharapkan kehadiran kaum intelek untuk menjawab permasalahan-permasalahan mereka. Ketiga krisis ini terjadi sebagai akibat dari sistem pendidikan dengan pola pengajaran yang kaku dan tanpa cita-cita. Seharusnya kita harus merancang sebuah sistem pendidikan yang bervisi kerakyatan dengan pola pengajaran yang kritis. Visi kerakyatan yang dimaksud adalah pendidikan seharusnya menjadi hak-hak setiap manusia dan mementingkan prinsip kemanusiaan, dimana setiap manusia diberlakukan sama sebagai subjek subjek sadar yang nantinya mampu menjawab realitas yang mereka hadapi. Pola pengajaran kritis yang dimaksud adalah adanya sebuah pola pengajaran yang melibatkan semua peserta dan terbuka. Disini si guru dan si murid melakukan diskusi, kemudian aksi (tindakan), melakukan refleksi, dan berlanjut pada pemberian praksis (proses mengubah keadaan). Sebagai penutup, pendidikan seharusnya menjadi hak segala elemen masyarakat. Disana mereka dibimbing untuk menjadi manusia seutuhnya, yang mampu menjawab realitas dan memiliki mental mandiri. Dan juga tidak boleh lupa memperbaiki moralitas dan wawasan yang berkualitas serta memihak pada keadilan .
***Penulis adalah mahasiswa Sosiologi USU dan aktif di Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial.
Edisi Februari 2017
14
BULETIN VERITAS
Opini
Menyoal Peran Pendidik Oleh : Goklas Wisely*
Pendidikan adalah suatu wadah aktualisasi seorang manusia untuk berproses dalam mengenal dirinya sebagai manusia, mengenal kondisi lingkungan dan menggunakan potensi yang ia miliki guna mengubah kondisi tersebut kearah yang lebih baik. Pengertian semacam ini sering dinamakan pendidikan sebagai sarana pembebasan. Didalam masyarakat tentu memiliki permasalahan yang timbul oleh beragam sebab -sebab. Ada yang terjadi dalam bentuk horizontal : antara masyarakat dengan masyarakat dan ada juga dalam bentuk vertikal : masyarakat dengan penguasa dan pengusaha. Untuk itu pendidikan memainkan peranannya untuk menyadarkan masyarakat akan realitas yang sedang terjadi saat ini. Maka dari itu jauh-jauh hari seorang bapak pendidik kita, Ki Hajar Dewantara tidak hanya menggagas sebuah konsep pendidikan yang ideal melainkan juga menerapkannya di Indonesia dengan sekolah Taman Siswa yang ia dirikan. Hal ini menandakan begitu penting-nya pendidikan untuk masyarakat. Didalam bukunya Emong dan Among menawarkan suatu metode momong, among dan ngemong yang berarti pendidikan itu bersifat mengasuh. Artinya peserta didik ibaratkan seorang bayi dan pendidik adalah seorang ibu kandung yang begitu mencintai anaknya. Beliau mengatakan metode pendidikan seperti inilah yang sesuai dengan masyarakat Indonesia bukan pendidikan ala Barat yang dikatakannya merupakan pendidikan model penjajahan ataupun meminjam istilah Paulo Freire pendidikan “gaya bank”. Lantas apakah metode yang digagas oleh bapak pendidikan kita sudah diterapkan di Indonesia ?.
Potret Pendidikan Indonesia Akhir-akhir ini kita tahu bahwa dunia pendidikan kita masih mengalami persoalan serius seperti, pelecehan seksual (amoral), tingkat putus sekolah yang tinggi, kualitas guru yang menurun sampai pada pemerataan pendidikan yang masih timpang antara kota dan desa. Melihat hal ini pemerintah sebagai elemen yang memiliki tanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan bangsa mengeluarkan beberapa kebijakan salah satunya ialah program Kartu Indonesia Pintar. Salah satu tujuan program ini ialah untuk
Edisi Februari 2017
15
BULETIN VERITAS
Opini
meningkatkan partisipasi di pendidikan dasar dan menengah. Namun hingga saat ini program KIP itu sendiri dalam implementasinya menjumpai beberapa hambatan dalam menjaring anak-anak miskin untuk sekolah. Semangat Belajar Menurun Hambatan terbesar datang dari siswa itu sendiri. Penyelenggara program KIP mengatakan rata-rata anak sangat susah dijumpai karna telanjur bekerja (mengenal uang) dan mengubah alamat berdomisili. Hal ini menjadi batu sandungan untuk mensukseskan program KIP tersebut. Adapun disisi lain tingkat putus sekolah SD dan SMP juga banyak terjadi, seperti Jawa Barat (8.080 siswa), Jawa Timur (3.240 siswa), Sumut (7.621), Sulsel (4.452) untuk SD (Kompas, 8 Oktober 2016). Bayangkan untuk tingkatan dasar saja udah banyak yang berhenti, tentu ini akan membuat Indonesia krisis Demografi. Namun yang perlu diperhatikan secara seksama menurut penulis ialah mengapa sampai seorang siswa lebih memilih bekerja dibandingkan sekolah?. Disatu sisi mungkin pengaruh ekonomi menjadi faktor penyebab utama. Anak-anak yang putus sekolah banyak berangkat dari kelas tidak berada. Namun disisi lain sebuah kemungkinan besar juga pendidikan tidak menjawab apa yang menjadi persoalan anak tersebut. Bagaimana mungkin seorang anak kita harapkan dapat bersekolah dan berprestasi disaat perut mereka tak bersisi?. Belum lagi kondisi orangtua yang begitu kesulitan dalam mencari nafkah membuat sang anak tentunya lebih memilih bekerja untuk mencukupi kehidupan sehari-hari dibandingkan belajar matematika dan lainnya yang baginya tidak dapat menjawab persoalan kehidupan yang ia hadapi saat itu juga. Adapun alienasi secara laten pastinya timbul dalam diri anak tersebut saat pergaulan bersama siswa lainnya dikarenakan lingkungan sekolah yang condong bersifat materialis ataupun hedonis. Tentu didalam pergaulan anak tersebut mengalamai keterasingan. Kedua hal ini-lah yang perlu kita perhatikan. Disinilah peranan pendidik seharus ekstra dan secara kreatif dalam menyikapi anomali tersebut.
Peran Penting Pendidik Bercermin dari persoalaan diatas, disinilah peran penting seorang pendidik harus dijalankan. Pertama, komunikasi personal antar pendidik dan peserta didik harus intens dilakukan. Pendidik harus peka akan apa persoalan yang sedang dihadapi oleh seorang murid. Tak jarang dalam pemikiran siswa zaman sekarang menganggap guru sebagai sosok yang ditakuti. Nah, hal ini lah yang harus mulai di retas oleh para pendidik. Pendidik idealnya menjadi sosok yang dapat membuat seorang murid nyaman, sehingga ke
Edisi Februari 2017
16
BULETIN VERITAS
Opini
-kakuan dalam berkomunikasi dapat dicairkan sedemikian rupa. Jika murid sudah menganggap pendidik sebagai seorang sahabat hingga secara lepas dapat menceritakan kondisi yang bersifat personal, disaat itulah pendidik berhasil untuk meretas kekakuan tersebut. Kedua, menciptakan ruang kelas yang memiliki budaya kolektifitas bukan semata-mata kompetitif. Disini pendidik berperan dalam menciptakan suasana solidaritas yang masif hingga setiap siswa menganggap siswa lainnya sebagai sebuah keluarga. Ada sebuah slogan “ family is not based on DNA. It’s based on love”. Artinya keluarga yang diciptakan bukanlah karena hubungan darah melainkan oleh cinta kasih. Jika slogan ini yang terjadi diruang-ruang kelas tentu akan sangat membantu menyikapi persoalan personal yang dihadapi seorang siswa. Akan banyak hal yang berubah. Penulis membayangkan didalam ruang kelas ada seorang yang putus sekolah dihampiri oleh teman sekelasnya untuk mendorong siswa tersebut sekolah kembali dengan dana yang secara kolektif siswa kumpulkan. Sungguh suasana yang indah bukan?. Namun untuk menciptakan kedua hal diatas bukanlah sebuah PR yang mudah bagi seorang pendidik. Pertama-pertama pendidik tentu harus merendahkan hatinya, tidak menganggap jabatannya sebagai guru menjadi sebuah kekuasaan untuk menguasai dan menganggap murid sebagai orang yang sedang dikuasai. Inilah yang sering disebut meng-objekkan seorang peserta didik. Alhasil pendidikan dalam ruang -ruang persekolahan tak ubahnya seperti kelas militer yang menciptakan budaya takut secara akut. Terakhir budaya dialogis menjadi sirna, guru terus menjelaskan dan murid menjadi pendengar yang budiman, tanya menjadi senyap dan berakhir dengan tumpulnya kreatifitas. Jika pola pikir ini masih melekat pada pendidik maka sampai kapanpun minat siswa untuk belajar tidak akan menaik. Tak heran siswa mengatakan sekolah membosankan. Untuk itu pendidik adalah aktor yang sangat penting sebagai ujung tombak dalam mewujudkan cita-cita bangsa yang tertuang didalam UUD yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Ditangan pendidiklah kaum muda yang nantinya akan menjadi pemimpin bangsa ini dipertaruhkan. Maka dari itu kesadaran pendidik akan sangat menentukan bangsa ini untuk keluar dari beragam persoalan. Semoga saja pendidik memiliki kesadaran kritis akan kondisi ini. Semoga***. ***Penulis adalah mahasiswa Ilmu Administrasi Negara USU dan aktif di Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial.
Edisi Februari 2017
17
BULETIN VERITAS
Refleksi
KEHIDUPAN SETELAH KEMATIAN TINJAUAN FILOSOFIS Oleh : Chandra Sitepu*
Mengenai peradaban manusia Comte mengemukakan pandangannya tentang “hukum kemajuan manusia” atau “hukum tiga tahap”. Ketiga tahap tersebut menjadi sejarah yang akan dilalui manusia. Pertama adalah Tahap Theologis, tahap dimana manusia menerjemahkan segala fenomena atau gejala di sekitarnya dengan hal-hal yang bersifat adikodrati, hal-hal yang supranatural, ada Tuhan atau ada Dewa yang melakukannya. Kedua adalah Tahap Metafisik, tahap dimana manusia menjelaskan fenomena yang menuju kepada kekuatan-kekuatan metafisik, abstrak seperti pengobatan dukun. Dan tahap yang terakhir, yaitu Tahap Positivis, tahap dimana manusia berpikir rasional dengan melakukan kajian-kajian ilmiah untuk mencoba menjelaskan segala fenomena atau gejala yang terjadi. Namun, sekiranya manusia sudah berada pada Tahap Positivis, sampai akhir ini manusia masih tabu berbicara mengenai kematian. Seperti yang diungkapkan Pascal “Karena umat manusia tidak berhasil mengatasi kematian, kesengsaraan, dan ketidaktahuan, mereka memutuskan untuk tidak memikirkan tentangnya”. Apakah ada jembatan lain setelah kematian? Hal inilah yang menjadi tanda tanya yang selalu ada pada manusia. Setelah raga tiada, masih adakah pikiran? Masih adakah kasih dan cinta? Oleh filsuf Miguel de Unamuno: “Kesadaran akan kematianlah yang membuat manusia dan individu-individu menjadi matang secara spiritual”. Dan Andre Malraux : “Memikirkan kematian, itulah yang membuat orang menjadi manusia”. Juga dalam kebudayaan Jepang ada pemikiran dari guru samurai Yagyu Tajima -no kami yang terkenal: “Barang siapa mengenal kematian, juga mengenal hidup. Dan barang siapa melalaikan kematian, juga melalaikan kehidupan”. “Kematian merupakan suatu cara berada yang membebani manusia dari awal mula keberadaannya: segera setelah seseorang lahir, dia juga sudah cukup tua untuk mati. Pernyataan dari Heidegger ini bermakna bahwa manusia sebagai mahkluk hidup yang sadar dan mengetahui bahwa ia akan dan harus meninggal dunia pada suatu waktu. Karenanya, diantara segala mahkluk hidup, manusia saja yang bisa membayangkan kematiannnya. Manusia bisa membayangkan kematiannya sendiri, meskipun ia sendiri takut terhadap kematian atau ingin membuang jauh dari kesadarannya. Tapi tetaplah fakta bahwa: keberadaan manusia akan berakhir dalam waktu. Kepercayaan akan Dunia Akhirat Dalam semua kebudayaan dan peradaban termasuk di dalamnya agama, terlihat suatu keseragaman universal bahwa adanya kepercayaan universal atau umum akan suatu kehidupan yang akan datang setelah kematian. Dalam setiap periode kebudayaan, mulai dari kebudayaan yang konservatif/primitif hingga ke-
Edisi Februari 2017
18
Refleksi
BULETIN VERITAS
budayaan dunia Barat yang modern dan maju, kematian tidak pernah dinyatakan sebagai sebuah kehancuran atau akhir dari segalanya; akan tetapi sebaliknya, kematian sebagai tranformasi hidup manusia atau kelanjutan keberadaan manusia (eksistensi manusia). “Sejak permulaan pra-sejarah”, kata ahli sejarah kebudayaan A. Aimard, “sampai akhir zaman Kuno, mayat-mayat selalu dirawat secara khusus menurut upacara yang juga khusus, dan dimakamkan dengan benda-benda sehari-hari, teks-teks dan persembahan-persembahan untuk keturunan orang yang mati”. Faham Stoisisme Romawi memberi arti yang manusiawi sekali dari kepercayaan itu, seperti dicatat oleh Seneca: “Bagaikan
rahim
mengandung kita sem-
bilan
tanpa menyimpan kita
di
selama-lamanya tetapi
meletakkan
dunia
dalam
keadaan yang cukup
kuat untuk bernafas dan
menerima kesan-kesan
dari luar, demikian pula
waktu yang berlalu dari
masa kanak-kanak ke
umur tua mematangkan
kita untuk suatu ke-
lahiran kedua. Suatu
permulaan lain, suatu
dunia baru menantikan
kita. Tiap hari yang
kuanggap sebagai yang
terakhir adalah hari ke-
lahiran dari kekeka-
lan”.
semua orang dengan
ini
Singkatnya,
ibu
yang
bulan,
namun
dalamnya
untuk
kita
di
secara sadar dan spontan menghayati bahwa dirinya merupakan kenyataan yang sangat kompleks, dimana “sentral yang memimpin” dari kepribadian dirinya tidak bisa dicampuradukkan dengan raganya. Tetapi ada juga pemahaman yang ingin melenyapkan keyakinan akan kehidupan setelah mati. Oleh Ludvig Feuerbach pada abad ke-19. “Dunia akhirat tidak lain daripada ide tentang manusia sendiri, penenteraman atau ketenangan dari suatu aspirasi dasariah, realisasi sebuah keinginan; dia adalah penghapusan batas-batas yang menghindarkan realisasi dari idenya. Dunia akhirat itu tidak lain adalah gambarnya eksistensi sehari-hari yang diperindahkan dan dimurnikan”. Penjelasan itu adalah aplikasi teori Feuerbach pada gagasannya mengenai Tuhan, Tuhan adalah hasil imajinasi manusia yang merampas dirinya dari apa yang paling baik di dalam dirinya sendiri untuk kemudian diterapkan kepada suatu “ada” yang bersifat imajiner. Mungkin benar bahwa gagasan dunia akhirat cocok dengan suatu kecenderungan yang dalam sekali yang terdapat pada manusia: keinginan untuk megejar kebahagiaan. Akan tetapi,
Edisi Februari 2017
19
BULETIN VERITAS
Refleksi
atas dasar apa obyek dari suatu hasrat boleh dikatakan ilusi belaka hanya karena cocok dengan hasrat tersebut? Apakah kehausan kodrati akan air misalnya, membuat air jatuh ke dalam kategori ilusi belaka dengan alasan bahwa bahwa air itu cocok dengan kehausan? Bagaimana Sekarang? Jika seseorang bertanya pada dirinya sendiri: “Apa yang akan terjadi setelah diri saya meninggalkan dunia ini? Apa makna kematian? Apa akibatnya bagi saya jika sudah tiba giliran saya? Jika ada hidup sesudah mati, apa itu hidup kekal? Maka orang itu normal, karena inilah masalah-masalah inti filsafat, iman, dan kepercayaan sangat fundamental bagi setiap orang yang matang berpikir. Walaupun begitu, apapun katanya kita tetap tinggal dalam ketidaktahuan, mengenai apa dan bagaimana secara konkret hidup dalam dunia akhirat akan terwujud. Namun setidaknya kita mendapat pasti tentang hal-hal berikut ini: 1.
Kebahagiaan yang menanti kita harus bersifat manusiawi, artinya sesuai dengan struktur yang diberikan kepada kita oleh Sang Pencipta kita.
2.
Hal tersebut juga berarti bahwa kebahagiaan tersebut akan bersifat sosial. Artinya, suatu kebahagiaan individualistis, yang tidak bertemu dan tidak berbahagia dengan sesama, tidak cocok dengan kodrat kita.
3.
Karena manusia bukan roh murni, seperti misalnya malaikat, kebahagiaan kekal harus berdimensi jasmaniah, betapa misterius pun cara bagaimana ikatan jiwa kita dengan dunia material akan direalisir.
4.
Terakhir, kebahagiaan tersebut perlu bersifat Ilahi, karena hanya Allah sendirilah yang sederajat dengan keterbukaan kita ke arah “ada” dan kebaikan yang mutlak. Manusia, mahkluk paradoks itu, bersifat mutlak secara tendensial (kecenderungan) selama perjalanannya dalam dunia ini. Di dunia akhirat manusia itu akan mengambil bagian dengan Kebaikan dan Kesempurnaan Sang Mutlak, dan demikian beralih dari sikap tendensial, kehausan, kelaparan, ke sikap penghadiran muka demi muka. Itulah .. SURGA.***
*Penulis adalah mahasiswa Sosiologi USU dan Aktif di KDAS
Edisi Februari 2017
20
BULETIN VERITAS
Opini
Menyoal Kebijakan Relokasi Mandiri Penyintas Sinabung Oleh : Rie Vay Pakpahan
Pemerintah daerah merupakan perpanjangan tangan suatu negara untuk mencapai wilayah yang jauh dari jangkauan pemerintahan pusat. Mereka bertangung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan didaerahnya. Pemerintah daerah berwenang dalam pembuatan kebijakan yang dilandaskan oleh otonomi daerah. Maka dengan adanya otonomi daerah kebijakan diharapkan bisa menampung aspirasi masyarakat dan mengatasi permasalahannya. Misalkan saja di kabupaten Karo yang saat ini menghadapi bencana alam erupsi gunung Sinabung. Pemerintah kabupaten Karo dapat membuat peraturan daerah tentang penanggulangan bencana alam. Saat ini kebijakan dalam penangulangan bencana erupsi sinabung masih mengunakan peraturan dari presiden, yaitu Keputusan Presiden no. 21 Tahun 2015 Tentang Satuan Tugas Percepatan Relokasi Korban Terdampak Bencana Erupsi Gunung Sinabung. Isi dari kebijakan ini mengatur tentang relokasi korban sinabung yang dibagi dalam tiga tahap, yaitu; tahap pertama/relokasi Siosar, tahap kedua/relokasi Mandiri dan tahap ketiga/relokasi Huntara. Kebijakan yang telah siap diterapkan oleh pemerintah ialah tahap pertama/relokasi Siosar. Siap disini maksudnya ialah pembangunan rumah penduduk dan pemberian lahan pertanian. Relokasi Siosar ini diberikan kepada tiga desa yang memang desanya tidak bisa ditingali lagi, desa itu antara lain Desa Sukameriah, Berkerah dan Simacem. Dan untuk relokasi Mandiri bagi desa lainnya seperti, Guru Kinayan, Kuta Tonggal, Berastepu dan Gamber masih dalam tahap pelaksanaan. Latar belakang lahirnya kebijakan relokasi Mandiri di sebabkan oleh pemerintah kabupaten Karo mengatakan tidak memiliki lahan yang cukup di Siosar. Untuk itu pemerintah mengambil alternatif dengan menyiapkan dana sekitar 110 juta per keluarga. Biaya ini termasuk untuk pembiayaan pembangunan rumah 59,4 juta dan penyiapan lahan pertanian 50, 6 juta. Dimana dalam peraturannya masyarakat diberikan kebebasan dalam menentukan lahan rumah dan lahan pertanian. Akan tetapi untuk mencairkan dana relokasi mandiri itu sendiri, pemerintah harus terlebih dahulu memeriksa kondisi lahan apakah telah sesuai dengan ketentuan yang telah mereka buat. Jika kita mengkaji tentang alasan pemerintah yang mengatakan kekurangan lahan, hal ini bisa identifikasi. Menurut surat keputusan menteri kehutanan RI Nomor 44/Menhut-11/2005, luas kawasan hutan produksi kabupaten Karo seluas 29.442 Ha. Dengan rincian, hutan produksi terbatas seluas 14.919,66 Ha dan Hutan produksi tetap seluas 14.522,34 Ha. (sumber; www.kabkaro.go.id). Melihat kondisi ini sebenarnya pemerintah Karo memiliki kawasan hutan produksi yang luas. Kawasan ini bisa dipergunakan menjadi tempat hunian maupun lahan pertanian bagi masyarakat. Juga ada
Edisi Februari 2017
21
BULETIN VERITAS
Opini
yang aneh dalam kebijakan relokasi mandiri ini. Jika kita melihat kata mandiri yang berarti keadaan berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Dengan kata lain masyarakat diberikan kebebasan atau kesempatan untuk berdiri sendiri. Padahal masyarakat penyintas yang merupakan korban masih dalam kondisi terpuruk termasuk perekonomian. Masyarakat tentunya masih perlu pendampingan dari pemerintah. Pertanyaannya, bagaimana bisa masyarakat mandiri padahal mereka masih dalam keadaan terpuruk. Kebijakan ini terlihat sangat terburu-buru tanpa proses pengkajian yang dalam. Dari sikap pemerintah yang seperti ini, seolaholah mereka ingin lari dari tanggung jawabnya untuk melindungi segenap warga negaranya. Dampak Kurangnya pengkajian pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan ini menimbulkan berbagai masalah dalam penerapannya. Pertama, ialah kesepakatan/aturan tentang desa dalam desa yang belum ada. Membuat masyarakat yang mengungsi tidak dapat menamai (membuat nama desa tempat tinggal mereka dulu) ke lahan relokasi mandiri tujuan mereka. Dikarenakan masyarakat yang sebelumnya telah tinggal didesa yang menjadi tujuan relokasi mandiri tidak sepakat adanya desa dalam desa. Padahal dalam kebudayaan karo, desa itu merupakan identitas mereka. Desa merupakan warisan dari leluhur mereka. Kondisi ini membuat masyarakat tidak mau untuk tidak membawa nama desanya ketujuan relokasi. Hal ini menimbulkan konflik di masyarakat, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Terjadi kasus di lingga beberapa bulan lalu yang berujung bentrok antara pihak masyarakat dan pihak polisi. Kedua, Harga tanah yang melonjak tinggi bahkan mencapai tiga kali lipat. Hal ini membuat proses pencairan dana mangkrak dikarenakan lahan rumah dan lahan pertanian yang sulit untuk didapatkan oleh masyarakat. Kenaikan harga tanah ini membuat masyarakat penyintas semakin sulit untuk mendapatkan lahan relokasi. Masyarakat pemilik tanah yang menjadi tujuan relokasi mandiri berlomba-lomba untuk menaikkan harga tanahnya. Meskipun dengan harga tinggi masyarakat tetap bersikeras membeli lahan supaya dana relokasi mandiri cair. Ketiga, proses pencairan dana relokasi mandiri yang rumit. Sebelum proses pencarian pemerintah atau tim pendamping harus terlebih dahulu melihat kondisi lahan. Ditahapan inilah prosesnya yang rumit, dimana harus ada pemeriksaan dan pengurusan dokumen ini, itu. Padahal jika dikatakan mandiri seharusnya masyarakat yang menentukan dimana dia mau direlokasi. Dan jika memang pemerintah harus ikut menetukan lahan, kenapa tidak pemerintah itu sendiri yang menyediakan. Maka dari itu, bisa dikatakan masyarakat yang saat ini mengalami penderitaan malah dibebani lagi untuk mencari lahan sendiri dengan pengurusan dokumen yang berbelit-belit.
Edisi Februari 2017
22
BULETIN VERITAS
Opini
Ketidakseriusan Dalam konsep Nawacita Presiden Joko Widodo pada poin pertama berbunyi, menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara. Tetapi, jika kita melihat kebijakan relokasi mandiri ini sangat berlawanan arah dengan konsep Nawacita Presiden. Kebijakan ini bisa diartikan seperti orang sakit disuruh berobat sendiri. Dimana kebijakan ini berpotensi menyengsarakan masyarakat secara perlahan-lahan. Pemerintah bisa dikatakan tidak hadir dalam mengatasi permasalahan namun lari dari permasalahan masyarakat. Masyarakat juga tidak merasa aman dan terlindungi, dimana terbukti masyarakat berpencar dimana-mana dan yang paling parah adalah jatuhnya korban jiwa disebabkan oleh kebijakan ini. Kurang seriusnya pemerintah dalam menangani penyintas gunung sinabung, membuat masyarakat mengambil inisiatif sendiri. Saat ini masyarakat berpencar dimana-dimana. Menurut Barto, sekitar 200 warga penyintas dari beberapa desa bekerja dipasar Induk. Mereka bekerja sebagai buruh angkut, bongkar muat, membantu menjual sayur dan buah, serta juru parkir (Kompas, 21 Oktober 2016). Untuk saat ini pencairan relokasi mandiri dari sekitar 1600 KK yang telah cair sekitar 350 KK. Padahal kebijakan ini dicanangkan tuntas pada Desember tahun ini, namun tidak lama lagi tahun ini akan berakhir. Dalam artian kebijakan ini bisa dikatakan tidak akan terealisasi atau bisa dibilang gagal. Karena saat ini kebanyakan masyarakat masih belum juga mendapatkan lahan yang menjadi tempat relokasi dan sebagian masyarakat masih dalam proses pengurusan administrasinya. Menurut hemat penulis jika relokasi mandiri ini tetap dilaksanakan akan menimbulkan berbagai kerusakan sistem kolegial dan kehilangan tradisi masyarakat. Karena konsep relokasi mandiri ini, masyarakat yang berasal dari satu desa akan berpencar diberbagai daerah. Mereka tidak berkumpul dengan masyarakat yang berasal dari satu desa kedalam satu wilayah. Dengan begitu sistem kebudayaan mereka otomatis juga akan berubah menyesuaikan kebudayaan masyarakat yang menjadi tujuan relokasi. Dan jika pemerintah tidak segera melakukan percepatan penanggulangan bencana sinabung, yang ditakutkan ialah masyarakat akan kembali lagi ke desa. Sebab sumber penghasilan mayoritas masyarakat berasal dari lahan pertanian. Maka dengan kondisi perekonomian mereka saat ini, yang mana pengeluaran mereka besar dari pada penghasilan. Membuat masyarakat akan memilih antara bekerja diladang orang dengan penghasilan yang tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari atau kembali lagi kekampung mengusahakan lahan pertanian mereka. Dan mudah-mudahan hal ini tidak terjadi karena akan membahayakan nyawa mereka sendiri. Semoga*** *Penulis
Edisi Februari 2017
adalah mahasiswa Ilmu Administrasi Negara USU
23
BULETIN VERITAS
Opini
Mengembalikan Integritas Pejabat Publik Oleh: Parjo Rustam Panjaitan*
Pencapaian pembangunan Indonesia saat ini masih jauh dari kata me-muaskan. Pemerintahan silih berganti, tetapi Indonesia seperti jalan di tempat. Pengangguran terus bertambah, kemiskinan semakin sulit dikendalikan, kriminalitas terus meningkat, konflik sosial terjadi di mana-mana. Perusahaan-perusahaan industri dalam negeri semakin sulit bersaing. Bangsa Indonesia jika tidak diwaspadai dari sekarang, tidak hanya akan menjadi negara terbelakang Asia, tetapi lebih jauh menjadi pusat tontonan tentang sebuah bangsa yang terus menerus perlu dikasihani. Sudah berkali-kali kebijakan pembangunan digodok oleh pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan. Tidak sedikit juga dirumuskan formulasi penanganan masalah kesehatan ke tiap-tiap daerah. Di setiap kabupaten/kota sudah sering dilaksanakan penyuluhan guna mencegah tingginya angka kriminalitas. Seperti apa pelaksanaan di lapangan semua kebijakan tersebut sehingga kesejahteraan belum menampakkan dirinya? Sadarkah saat ini negeri kita sedang dilanda oleh nafsu kekuatan duniawi? Pemenuhan keinginan material yang begitu hebat menjadi tolak ukur kebahagiaan hidup manusia. Kebahagiaan semu seperti ini telah menjadi tujuan sebagian besar manusia. Ia akan melakukan apa pun untuk memperoleh kebahagiaan tersebut, sekalipun menyalahi aturan. Tidak terbantahkan bahwa tujuan hidup manusia sekarang ini tidak lagi holistik, serta keluar dari rangkaian proses tatanan humanis. Para penyelenggara negara ternyata ikut mengalami penyakit kronis ini. Di dalam bernegara hal tersebut akan menjadi masalah urgen serta riskan koruptif dalam keberlangsungannya.
Edisi Februari 2017
24
BULETIN VERITAS
Opini
Negara sederhananya terbentuk untuk membuat tatanan lebih terarah, serta memiliki master plan lebih jelas. Di mana tiga unsur penting pelaksana fungsi strategis negaraya itu eksekutif, legislatif dan yudikatif yang menjadi penentu negara hendak dibawa kemana. Tidak lupa dalam benak kita, bahwa sebagian besar pelaksana negara tersebut merupakan kader partai politik. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politik menyebutkan lima fungsi utama parpol, yaitu sebagai wadah pendidikan politik, persatuan dan kesatuan, penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik, partisipasi politik, dan perekrutan politik. Artinya, parpol harus menjadi filter untuk menyeleksi orang yang bersih dan menempatkannya sebagai pejabat publik yang baik. Keberhasilan demokrasi di tanah air, salah satu kunci utamanya disumbangkan oleh bagaimana menghadirkan parpol yang demokratis. Terlebih peran parpol sangat strategis dan vital dalam hal mencetak kader pemimpin, baik pada tingkat lokal maupun nasional. Begitu mulianya secara ideal visi misi partai politik, yakni sebagai wadah eksperimen belajar menjadi pemimpin yang melayani rakyat. Pidana kerja sosial Kejahatan korupsi secara nyata telah merusak seluruh sendi-sendi kehidupan bernegara. Walaupun sudah ada dasar hukum yang jelas untuk mewadahi proses pemberantasan korupsi, perbuatan korupsi tetap ada dan bertambah dengan beragam model. Peraturan yang silih berganti dirasa kurang bekerja efektif dalam menuntaskan kejahatan yang satu ini. Begitu besarnya dampak yang ditimbulkan sehingga mendorong masyarakat dunia ikut untuk melakukan perang melawan korupsi dengan bentuk perlakuan kreatif mereka. Oleh sebab itu, tak terbantahkan bahwa korupsi telah menjadi racun dan menjadi perhatian setiap bangsabangsa di dunia ini. Pendekatan dalam penanggulangan kejahatan korupsi harus dilakukan dengan langkah-langkah yang berbeda. Kategori kejahatan ini harus di tangani oleh orang-orang yang mampu berfikir darurat dalam perumusan solusi penanganannya. Pemberantasan selayaknya ditangani dengan formulasi kritis berisi kajian multi dimensi struktur mendalam. Sudah dilakukan berbagai kajian oleh lembaga-lembaga baik nasional maupun internasional yang berujung dengan kata kesepakatan melawan korupsi. Pemidanaan memang mustahil menghapuskan kejahatan secara spontan. Setidaknya pemidanaan menyebabkan turbulensi kuat di tingkat individu, menuju kepada bentuk sikap ketaatan terhadap segala bentuk produk legislasi tatanan negara. Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memperkenalkan bentuk pemidanaan baru, yaitu pidana kerja sosial. Merupakan suatu kekuatan baru dari yudikatif serta diharapkan memberikan efek signifikan bagi upaya pencegahan korupsi. Pidana kerja sosial merupakan salah satu jenis pidana baru dalam Rancangan KUHP Indonesia.
Edisi Februari 2017
25
BULETIN VERITAS
Opini
Hingga saat ini produk hukum tersebut masih berstatus draf rancangan dari bulan September 2015 kemarin. Pidana kerja sosial muncul dikarenakan adanya upaya untuk menanggulangi kejahatan dengan tidak hanya mengandalkan penerapan pidana hukum semata, tetapi melihat akar lahirnya persoalan kejahatan dari permasalahan sosial. Pidana ini sebenarnya meniru yang sudah dijalankan di beberapa negara seperti Belanda dan Inggris, yaitu untuk membuat orang menjadi malu meski tidak harus terhina. Contoh model penerapan pidana kerja sosial terhadap terpidana korupsi, akan mempertemukan pelaku (koruptor) dengan korban (misalnya anak panti asuhan) dalam kasus korupsi bansos. Interaksi dan partisipasi antara keduanya akan terjadi. Kita dapat bayangkan seorang mantan pejabat tinggi negara yang notabene terpidana korupsi mesti melayani anak-anak terlantar di sebuah panti asuhan. Mulai dari menyiapkan makanan, mendidik mereka dengan budi pekerti bahkan memotivasi agar menjadi manusia yang berguna bagi dirinya dan orang lain. Sang koruptor akan tahu bagaimana susahnya perjalanan hidup masyarakat strata sosial paling bawah. Begitulah sampel bentuk pidana sosial yang sudah diwacanakan. Belum terdengar wacana seperti apa bentuk pidana sosial terhadap kasus lain, semoga saja sedang digodok oleh pihak yang berwenang. Badan legislasi merupakan salah satu pendobrak terkuat penentu terwujudnya produk hukum tersebut. Akankah ada keseriusan dari wakil kita di DPR RI untuk membahas kembali draf rancangannya di Senayan? Hanya merekalah (DPR RI) yang mampu menjawab. Bentuk pidana social diharapkan sanggup menciptakan kekuatan modal sosial. Social capital sangat tangguh untuk membina hubungan birokrat dengan masyarakat ke arah kondisi saling percaya dan terbuka. Sesuai perkataan Francis Fukuyama (2003), modal sosial menjadikan masyarakat dan pemerintah bersekutu mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan dan di dalamnya diikat oleh nilai-nilai yang tumbuh dan dipatuhi. Situasi tersebutlah yang akan menjadi resep kunci bagi keberhasilan pembangunan di segala bidang kehidupan, terutama bagi kestabilan pembangunan ekonomi dan demokrasi. *** * Penulis adalah Mahasiswa Ekonomi USU, aktif di KDAS (Kelompok Diskusi Aksi dan Sosial) ***Dimuat pada harian Analisa pada hari Kamis, 8 Desember 2016
Edisi Februari 2017
26
BULETIN VERITAS
Puisi
Sajak Oleh : Goklas Sihotang
Sajak ,, engkaulah wakil suara-suara kepedihan ini Kala air mata tercucur deras menghujani pertiwi Beribu-ribu anak dijalanan mencari nasi Diatas aspal dibawah bangunan-bangunan tinggi
Sajak , lihatlah dibawah topi jerami Pak tani tak lagi dapat menuai padi Sebab diatas tanah ini kini berdiri pabrik-pabrik industri Kaum buruh kerja dari pagi hingga malam hari Tenaganya diperas diatas cukong yang menari-nari
Sajak , penderitaaan ini akan ada didalam dirimu Sebab penderitaan ini akan membentur tembok kuasa wakil rakyatku Sebab penderitaan ini akan membawa kabar buruk bagi penguasa negeriku Sebab penderitaan ini akan menciptakan pemberontakan pada bangsaku Dan Aku akan ada selalu bersamamu 14 July 2016
Edisi Februari 2017
27
Opini Puisi
BULETIN VERITAS Ketenangan Dalam Kegelapan Oleh : Romasta simbolon*
Aku terbangun dari tidur panjangku
Tak ku sangka ternyata orang
Tampak setitik cahaya me-
besar itu memelihara anjing yang
nyilaukan mataku.
buas
Kucoba untuk menutup
Anjing-anjing yang menurut pada
arah cahaya itu
majikanya
Namun, cahaya itu malah
Setiap mereka yang melawan
semakin besar membuat
Setiap mereka yang yang berontak
seluruh tempat itu
Akan dimakan hidup-hidup oleh
kelihatan
anjing itu
Tiba-tiba derai air
Aku pikir, aku menjadi salah satu
mataku turun tak henti-
penonton ditempat itu
henti Ketenanganku yang selama ini, diputar balikkan Aku kecewa kenapa cahaya itu membangunkanku Membuatku terkaget ketika setapak kakiku berdiri disitu, ditempat itu
Aku tersentak dan tersadar tenyata aku bagian dari mereka Yang menjadi budak, dan tertindas oleh orang besar itu
Kakiku gemetar tak sanggup untuk berdiri
Aku juga tersentak ternyata aku juga menagis darah
Tubuhku rasanya mati daya
Barulah kusadari……
Tak mengerti……… Mengapa mereka menangis darah
Ternyata terang itu mengecewakan
Mengapa mereka menangis di tempat yang indah ini
Terang itu membuka rahasia yang belum aku pahami
Tak ku sadari ternyata karena dia Dia yang berpakaian rapi , kemeja lengkap dengan
Terang itu membuatku seribu kali berfikir untuk tetap hidup
dasi ,tak lupa mengenakan jas Duduk dengan sandaran emas dan permata
Karena sesungguhnya aku tak mau bagian dari mereka
Tempat yang sangat nyaman untuk dirinya, pikirku
Aku berpikir untuk kembali ke kegelapan
Aku melihat orang besar tersebut menindas,
Merasakan ketenangan dan kedamaian
bahkan memperbudak mereka
Karena aku mengiginkan ketenangan,
Aku melihat orang besar itu tertawa lepas ketika melihat orang lain menangis dan merintih Tetapi mengapa mereka semua diam ? Mengapa mereka tidak memberontak?
*Penulis adalah mahasiswa Sosiologi USU
Mengapa mereka tidak melawan ?
Edisi Februari 2017
28
BULETIN VERITAS
Cerpen
jeruji pikiran Oleh : Yustari Sinaga*
Apa yang kulihat, apa yang kupandang, dan apa yang terjadi tepat di depanku saat itu,, adalah hal yang kupandang sebelah mata dan paling ku hindari selama ini. Aku kecewa,, menyesal,, dan berfikir seandainya waktu bisa kuputar kembali..... tidak akan kuputuskan mengambil pilihan itu...
Keep togetherness dengan mereka orang-orang pemberontak,,, yang hanya membuang waktu dengan membuat kemacetan dan membuat emosi orang banyak, Oh,,,menari di depan umum dengan berbagai alunan lagu diiringi musik indah,,,, Arrgghhhhh,,,, itu bukan style yang ku punya... Aku geram dengan pilihan itu.. aku malu ... Aku seakan melihat diriku sedang tersesat... namun tidak tau apa yang harus ku lakukan...! aku sudah terlanjur berada pada lingkaran aksi itu,,,, Detik demi detik berlalu,, bersama perasaan kecewa yang tiba-tiba lenyap saat kata-kata itu menembus telinga dan hatiku....
“Ambil sisi positifnya aja ya dik” Ya,,, kata-kata itu, membuat Mataku tersentak.....! hatiku meleleh..! dan perlahan membawa bibir ini tersenyum......!! Akupun berputar,,, membawa diriku mengelilingi setiap sisi keadaan disaat itu, dan melihat sisi yang belum kulihat selama ini.. Logika ku beradu... mentranslate sedikit demi sedikit keadaan yang terjadi di depanku saat itu.. Ya,, kejadian di depan mataku.... Yang membawaku memandang jauh ke dalam diriku,, Hingga aku menyadari,, betapa beruntungnya mereka yang sudah lama melihat dan mengenal semua keindahan ini. . . Perduli orang lain diluar diri mereka, hidup bebas tanpa batasan atas apa yang ingin dilakukan,, Dan,,, semua itu dilakukan hanya untuk kebaikan..!! tidak perduli pandangan orang yang berfikir bahwa semua itu sungguh tolol,,! Tapi dengan keyakinan mereka yang kuat,, mereka lakukan apa yang memang seharusnya dilakukan oleh pejuang-pejuang negara yang sesungguhnya..yang memperhatikan aspek besar yang
Edisi Februari 2017
29
BULETIN VERITAS
Cerpen
“kasat mata” itu.... ya,, merekalah future changers Negara ini..... Dan,,,, oh,, betapa lamanya aku tersadar dari tidur panjangku,, betapa lamanya aku berada dalam jeruji besi diriku yang menghalangiku memandang keluar dan melihat kehidupan sesungguhnya.... ku flashback lagi diriku yang dulu,,aku paling anti dengan kegiatan seperti itu..... dan akuuu,,,, aku malu dengan mindset ku selama ini.. batasan-batasan itu, jeruju-jeruji besi yang menghambat pola pikirku,,,, oh..... telah membentukku menjadi pribadi yang membatasi diri dalam memandang dunia,, dan telah menjadikanku sebagai pribadi yang malu untuk hal yang diluar logikaku... ya,,, itulah aku yang selama ini... dan mungkin juga masih sampai pada saat ini.. “Mencoba melangkah keluar”, itulah kata yang seharusnya diukir di pipiku.. Apa yang kulihat selama ini, apa yang kuanggap benar tentang kehidupan, semuanya benar-benar berbeda. Aku,,seakan baru membuka mata dari tidur panjangku. tidak pernah aku membayangkan betapa lamanya aku berada dalam kenyamanan itu, sampai aku lupa betapa banyak hal yang telah kulewatkan . Aku bingung, kaget dan merasa tidak mengenal dunia ini ketika aku melihat kenyataan yang seharusnya ku ketahui sejak dulu. Aku melihat diriku seperti seekor anak rajawali yang di_erami oleh induk ayam hingga aku beranjak dewasa, yang selalu kagum melihat burung rajawali yang terbang tinggi dengan kekuatan sayapnya, namun tidak pernah sadar bahwa akupun seekor burung rajawali yang bisa terbang dan memiliki kekuatan sayap itu. Yang ku tahu, aku adalah anak ayam yang hidup bagaimana anak ayam harus hidup, dan tidak pernah berfikir dan berani mencoba untuk terbang, karena apa yang kulihat dan yang tertanam di fikiranku ketika aku hadir dan memandang dunia ini setelah keluar dari cangkang itu telah membentukku dan memberitahu kalau aku hanyalah seekor anak ayam. Kebohongan itu telah membuatku tidak mengenal siapa diriku yang sesungguhnya. Pandangan sempit yang tertanam di fikiranku telah membuatku kehilangan banyak kesempatan untuk melihat apa yang seharusnya kulihat dan kurasakan sejak lama. Hingga pada akhirnya,,,,, aku mendapati diriku tidak menikmati kehidupanku sebagai seekor anak ayam. Bukan karena rasa iri kepada burung rajawali atau tidak bersyukur dengan kehidupanku di tengah anak ayam,, namun hanya karena hatiku yang tidak tenang dan membawaku pergi ke tepi jurang, memandang ke bawah,, lebih dekat dan lebih dekat lagi dengan tepi jurang, hingga akupun terjatuh.... ya, terjatuh....!!! Aku terkejut..... takut.... dan merasa kalau apa yang kulakukan beberapa detik yang lalu sungguh hal ter-
Edisi Februari 2017
30
BULETIN VERITAS
Cerpen
konyol, dan terbodoh yang pernah ku lakukan. Tidak ada harapan,,,,, hanya penyesalan yang menguasai pikiranku,,!!
namun tiba-tiba... terlintas bayangan burung rajawali dalam pikiranku. Ketangguhannya dibalik
Kepakan sayap yang kuat, yang membawa burung rajawali kemanapun ia mau, melintasi gunung dan samudera, dan melihat banyak hal yang belum ku lihat selama ini... membuatku memandang diriku, lebih dan lebih dalam lagi, dari sisi yang belum pernah kulihat selama ini. Aku punya sayap,,, Tapi yang kutahu sayap itu tidaklah sekuat sayap rajawali.... Dan kekagumanku pada burung rajawali,, membuatku bermimpi “andaikanku adalah rajawali,,, “ Yaaa,,, mimpiku dalam keadaanku saat itu, memaksa airmata membasahi pipiku.. Dengan ribuan sesal dan kekecewaan dalam keadaan yang kuanggap adalah hari terakhir di hidupku, aku hanya ingin untuk mencoba mengepakkan sayap yang kumiliki, seperti yang dilakukan oleh burung rajawali yang ku kagumi selama ini, di akhir hidupku saat itu. Perlahan tapi pasti,,, dengan rasa ragu yang ada di hatiku, ku kepakkan sayap itu sambil menutup mata dan menantikan kalau kalau tubuh ini akan menyentuh tanah. Ku bayangkan rasa sakit yang akan membuatku kehilangan semuanya,,, namun rasa damai yang ku alami. Aku bingung,,,, Lalu ku beranikan membuka mata,,,,, Aku... aku melihat apa yang selama ini hanyalah kekagumanku,, akhirnya ku alami sendiri dalam diriku. Ya,,,, kekuatan sayap itu..... ternyata akupun memilikinya. Aku kagum,, dan merasa kalau semua itu hanya mimpi.... Tapi tidak....!! kali ini aku benar-benar dalam sadarku,, Kini, aku baru saja memulai langkah baruku dengan status yang lebih jelas...!!! keluar dari jeruji besi yang menahanku selama ini,,,, memberiku warna yang sesungguhnya.. Dengan cerita baru yang baru saja dimulai, jeruji besi pembatas pandangan itu pun telah hancur!! “ Belum terbiasa “ ,,, Itu bukanlah penghambat lagi bagiku untuk memandang dunia ini,, Yaa,,, mungkin sulit Tapi,, yang pasti yang ku tau adalah Tidak ada kata terlambat selagi masih sempat... ^^ Dan intinya, aku senang pernah mengambil langkah itu ... langkah yang awalnya ku anggap sebagai langkah yang salah..
*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Administrasi Negara USU
Edisi Februari 2017
31
BULETIN VERITAS
Opini Puisi
Api Perjuangan Takkan Pernah Padam Oleh : Agustina Sitanggang*
Kau menjatuhkan kami Namun kami mau tegak kembali Kau menyudutkan kami Namun kami berhasil mengelak dari kekejaman itu Kau mengecilkan kami Namun kami berbesar hati Kau meninabobokan kami dengan curhatan konyol mu itu Kau mengajarkan kami dengan teori-teori pembodohan mu itu Tapi ingat cukong buncit yang biadab, elit-elit politik Kami tidak akan tertidur lelap dan akan tetap melawan Kami tidak akan terlelap atas teori pembodohanmu itu Ada saatnya kami akan menghancurkanmu Karena api perjuangan takkan pernah padam HANYA ADA SATU KATA LAWAN *penulis adalah mahasiswa Sosiologi USU
Edisi Februari 2017
32
BULETIN VERITAS
Opini Puisi
Entahlah, bagaimana ini ? Oleh : Henny Manullang
Suara-suara rakyat tak di dengar, seakan terpasung dan terpaksa bungkam Cangkul-cangkul petani desaku pun mulai mengeras dan menumpul Tanah yang dulunya subur seperti surga kini tlah berubah bagaikan neraka Kini telah ditimbuni aspal, sawah yang dulunya hijau kini berubah jadi bagunan elit Dengan seribu janji-janji yang dijanjikan, dengan sejuta ucapan yang terucapkan Dengan santun rakyat dicekik dan dengan sopan rakyat disapa Dengan senyum rakyat diluluhlantahkan, ahhhh,,,, entahlah, Bagaimana ini? Pembangunan itu semata-mata berwajah infrastruktur, perindustrian, pembangunan fasilitas Program pembangunan itu menjajah masyarakat desa ku Waktu demi waktu berganti, namun kami tak juga menemukan jawaban itu Kata-kata itu hanya bualan semata, hanya janji-janji busuk belaka Kualitas SDM yang selalu didegradasi, mematikan semangat masyarakat negriku Janji itu ibarat cinta yang disemaikan di lahan yang tandus dan kering Ia bahkan tidak searah dan lalu kering dan layu ditengah kurangnya kasih sayang Perlahan mati ditengah kurangnya perhatian. *Penulis adalah mahasiswa Sosiologi USU
Edisi Februari 2017
33
Sepatah Dua Patah Kata dari Penulis
“Kemungkinan "idealis" hanya ada sewaktu berdiri tegak di kampus namun setelah DUDUK berubah jadi "idealess"_Dani Damanik
„‟..Sadarkan ia dari mimpi panjangnnya dan ajak ia duduk untuk berdiskusi mengenai pembebasan…‟‟_Gokas Sihotang
“...mimpi adalah perlu. Seperti air.. Tanpa menyadarinya, aku, kamu dan kita semua perlu mimpi…”_Bintang Kasih Sitinjak
“...Apalah artinya MANUSIA sebagai mahluk sosial, ketika Dia sanggup untuk menginjak-injak orang lain.”_ Rie Vay Pakpahan
“Lantas
apa yang harus dilakukan. Demikian kita sering bertanya. Kemudian duduk merenung sejenak. Mungkin saja belajar sebanyak mungkin. Kemudian bertanya lagi, setelah belajar banyak mau dikemanain ?...”_Berton Pakpahan
“Terkadang yang kutunggu adalah ketidakpastian. Hanya harapan yang penting untuk kugenggam”_Chandra Sitepu
“bersukacita dan bersyukurlah..! maka ketenangan, kesenangan akan menghampir mu.”_Yustari Sinaga
“Tidak peduli apa yang mereka katakan tentang kamu, sebab perkataan mereka Bukanlah tujuan hidup kita. Percayalah pada Tuhan sebab dia lebih tau dari pada meraka dan percayalah pada kata hatimu maka semua akan berubah bahkan lebih dari yang kamu harapkan.”_Romasta Simbolon
Sekilas Kegiatan KDAS Kamp Pendidikan Kritis (KPK)
Belajar Menulis
Turun Ke Jalan memperingati Hari Tani
Camp di Bukit Lawang
Makan Sama di sekret KDAS
Diskusi di sekret KDAS
Mengajar Bersama Persekutuan Alumni Kristen
Berangkat Aksi Dana Mengamen
Undangan Diskusi
Dengan senang hati, Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial (KDAS) mengundang teman-teman untuk menghadiri diskusi rutin yang dilaksanakan setiap hari Senin dan Jumat pada pukul 17.00 WIB di sekretariat KDAS, Jalan Rebab No 79 A Pasar II Padang Bulan, Medan. Melalui diskusi ini kita akan saling bertukar pikiran yang akan menambah wawasan. Salam Veritas.