PISANG KATE SUMBER PANGAN DAN ENERGI YANG TERABAIKAN
Penulis
Muhidin, Si Leomo dan Tresjia C. Rakian Penyunting
Gus R. Sadimantara
Unhalu Press
PISANG KATE
SUMBER PANGAN DAN ENERGI YANG TERABAIKAN
Penulis
Muhidin, Sitti Leomo dan Tresjia C. Rakian Penyunting Gusti R. Sadimantara
Unhalu Press
PISANG KATE
SUMBER PANGAN DAN ENERGI YANG TERABAIKAN
Muhidin Sitti Leomo Tresjia C. Rakian
PISANG KATE
SUMBER PANGAN DAN ENERGI YANG TERABAIKAN Penyunting:
Gusti R. Sadimantara
Unhalu Press Kendari, 2015
PISANG KATE SUMBER PANGAN DAN ENERGI YANG TERABAIKAN Penulis
:
Muhidin, Sitti Leomo dan Tresjia C. Rakian
Editor
:
Gusti R. Sadimantara
Desain Cover dan Tata Letak La Mudi & Firmansyah Labir Diterbitkan oleh Unhalu Press Kampus Hijau Bumi Tridharma Jalan H.E.A. Mokodompit, Kendari 93231 Email:
[email protected],
[email protected] Cetakan Pertama : September 2015 Pisang Kate Sumber Pangan dan Energi Yang Terabaikan Muhidin, Sitti Leomo dan Tresjia C. Rakian xi +94 hlm, 15,5 x 23 cm ISBN : 978-602-8161-79-4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 1. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
iv
KATA PENGANTAR Pisang merupakan komoditas strategis dan memiliki prospek cerah untuk dikembangan secara ekonomis. Pisang memiliki banyak kegunaan, baik sebagai bahan pangan maupun sebagai sumber energi. Konsumsi pisang selama beberapa tahun terakhir ini meningkat tajam dan permintaan (demand) akan pisang juga naik secara signifikan. Namun naiknya tingkat konsumsi dan permintaan pisang ini, belum dapat sepenuhnya dimanfaatkan petani produsen pisang. Hal ini disebabkan karena keragaan produksi pisang selama beberapa tahun terakhir belum menunjukan adanya peningkatan. Hal ini disebabkan karena makin terbatasnya lahan, rendahnya produktivitas yang diperolah dibandingkan dengan potensi produksinya, serta lemahnya sistem tataniaga pisang yang belum berpihak kepada petani produsen. Peluang pasar ini harus dapat dimanfaatkan secara optimal melalui peningkatan produksi, baik melalui peningkatan produktivitas maupun melalui perluasan areal tanam. Selama tiga tahun terakhir ini terdapat kecenderungan luasan areal tanam pisang menurun secara signifikan. Penurunan terjadi akibat adanya alih lahan baik karena alih komoditas maupun karena alih usaha. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi keterbatasan lahan yang dapat dipergunakan untuk menanam pisang adalah dengan memanfaatkan lahan-lahan terbuka di bawah tegakan tanaman perkebunan atau kehutanan, terutama pada tanaman yang masih muda atau tanaman belum menghasilkan, dimana dan kanopi tanaman belum saling menaungi atau menutupi. Permasalahannya adalah secara alami tanaman pisang menghendaki cahaya penuh (sun lover) agar dapat tumbuh dan berproduksi secara normal dan optimal. Pada kondisi kekurangan cahaya, pertumbuhan pisang akan terhambat. Oleh sebab itu perlu dikembangkan kultivar pisang yang toleran terhadap naungan atau toleran terhadap intensitas cahaya rendah, sehingga dapat dapat dibudidayakan di bawah tegakan tanaman perkebunan/kehutanan. Pengembangan dan perakitan pisang toleran naungan karenanya menjadi sangat strategis, apalagi jika pisang yang dikembangkan berasal dari pisang lokal yang telah teradaptasi pada lingkungan marjinal, baik karena kekeringan maupun karena rendahnya tingkat kesuburan, sehingga nantinya dapat dikembangkan
pada daerah dengan curah hujan terbatas dan pada kondisi lahan sub optimal baik karena faktor kesuburan tanah maupun karena faktor iklim. Buku ini dirangkum dari hasil penelitian penulis dan penelitian berbagai pihak yang relevan, dalam rangka pengembangan pisang kate yang selama ini terabaikan, menjadi sumber pangan dan energi, sehingga terjadi manfaat ganda. Pada satu sisi terjadi pemanfaatan sumber daya lahan di bawah tegakan tanaman perkebunan dan kehutanan. Pada sisi lain terjadi peningkatan produksi pisang yang nantinya akan bermuara pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani, utamanya petani produsen. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada berbagai pihak yang telah membantu dan berkontribusi sehingga buku ini dapat diselesaikan. Kami juga menyampaikan penghargaan kepada pihak Universitas Halu Oleo Press (Unhalu Press) atas kesediannya untuk menerbitkan buku ini. Semoga buku ini berguna bagi khalayak ramai, terutama para pihak yang selama ini memiliki keperdulian dan perhatian terhadap pengembangan komoditas pisang. Terima kasih. Hormat kami Penulis
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR……………………………………………………….. DAFTAR ISI…………………………………………………………………. DAFTAR GAMBAR………………………………………………........... DAFTAR TABEL…………………………………………………………….
v vi ix x
BAGIAN I
PENDAHULUAN ………………………… 1.1 Latar Belakang.................... 1.2 Potensi Produksi Pisang ……………… 1.3 Kegunaan Pisang ……........................... 1.4 Manfaat Pisang Dari Segi Kesehatan .... 1.5 Permasalahan Budidaya Pisang …………
1 2 3 7 10 11
BAGIAN II MORFOLOGI PISANG…………………………… 2.1 Asal Usul Pisang …………………… 2.2 Jenis Jenis Pisang …………………………. 2.3 Taksonomi Pisang ……...……......... 2.4 Botani Pisang …………………………
14 14 15 16 17
BAGIAN III BUDIDAYA PISANG................................ 3.1 Syarat Tumbuh ……………………………….. 3.2 Pembibitan ……………………………………… 3.3 Persiapan Lahan ……...……………………… 3.4 Penanaman dan Waktu Tanam ............ 3.5 Pemeliharaan Tanaman ......................
26 26 28 33 33 35
BAGIAN IV PISANG SEBAGAI TANAMAN SISIPAN 4.1 Pisang Interplanting .………………........... 4.2 Pengaruh Naungan …………………………..
38 39 42
BAGIAN V
48 48 48 56 62 63 65 67
KARAKTERISASI PISANG KATE............. 5.1 Identifikasi……………………………………….. 5.2 Karakterisasi...……………………............... 5.3 Deskripsi Pisang Kate ......................... 5.4 Karakter Vegetatif Pisang Kate ............. 5.5 Karakter Bunga Pisang Kate ................. 5.6 Karakter Buah Pisang Kate ................. 5.7 Total Karakter.....................................
BAGIAN VI PENUTUP ............................................... Muhidin, Sitti Leomo dan Tresjia C. Rakian, 2015| Pisang Kate
|
69
DAFTAR PUSTAKA …….……………………........................ INDEKS …………………………………………............................
Muhidin, Sitti Leomo dan Tresjia C. Rakian, 2015| Pisang Kate
|
72 80
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1.
Pohon Industri Pisang ………………………………..
Gambar 2.1.
Botani Tanaman Pisang.................................. 18
Gambar 2.2.
Tipe dan Model Daun Tanaman Pisang Kate....
21
Gambar 2.3.
Tipe Tandan Buah dan Sisir Pisang Kate ......
23
Gambar 3.1.
Metode Perbanyakan Bibit Pisang ................
30
Gambar 4.1.
Habitus Pisang Kate Lokal Asal Sulawesi 39 Tenggara ....................................................
Gambar 5.1.
Hasil Pengelompokan Plasma Nutfah Pisang Kate Lokal Asal Sultra Berdasarkan Karakter Pertumbuhan Vegatatif……………………………
Gambar 5.2.
Hasil Pengelompokan Plasma Nutfah Pisang 63 Kate Lokal Asal Sultra Berdasarkan Karakter Sifat-Sifat Bunga……………………………………….
Gambar 5.3.
Perbedaan Karakter Bunga Pada Berbagai 64 Kultivar Pisang Kate Lokal Asal Sultra……………
Gambar 5.4.
Hasil Pengelompokan Plasma Nutfah Pisang 65 Kate Lokal Asal Sultra Berdasarkan Karakter Sifat-Sifat Buah………………………………………….
Gambar 5.5.
Perbedaan Karakter Buah Pada Berbagai 66 Kultivar Pisang Kate Lokal Asal Sultra…………..
Gambar 5.6.
Hasil Pengelompokan Plasma Nutfah Pisang 67 Kate Lokal Asal Sultra Berdasarkan Total Karakter………………………………………………….
Muhidin, Sitti Leomo dan Tresjia C. Rakian, 2015| Pisang Kate
|
9
62
DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Total Panen dan Produksi Pisang di Indonesia Tahun 2009-2014 .........................
15
Tabel 3.1. Jadwal Pemupukan dan Dosis Pemupukan Pada Tanaman Pisang ..................................
36
Tabel 5.1. Kriteria Skoring dan Klasifikasi Pisang Aksesi Pisang.........................................................
55
Tabel 5.2. Deskripsi Karakter Vegetatif Kultivar Pisang Kate Lokal Asal Sulawesi Tenggara………………
57
Tabel 5.3. Deskripsi Karakter Sifat Buah Kultivar Pisang Kate Lokal Asal Sulawesi Tenggara…. ………….
57
Tabel 5.4. Deskripsi Karakter Karangan Bungan Kultivar Pisang Kate Lokal Asal Sulawesi Tenggara …..
58
Tabel 5.5. Deskripsi Karakter Vegetatif dan Sifat Buah Pisang Kate Asal Sulawesi Tenggara ...........
60
Tabel 5.6. Deskripsi Karakter Bunga Pisang Kate Asal Sulawesi Tenggara........................................
61
Muhidin, Sitti Leomo dan Tresjia C. Rakian, 2015| Pisang Kate
|
BAGIAN I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pisang merupakan komoditas buah tropis yang sangat populer dan berpotensi tinggi untuk dikelola secara intensif dan berorientasi agribisnis. Pisang memiliki banyak manfaat untuk keperluan manusia. Selain
buah,
bagian
lain
dari
tanaman
pisang
juga
dapat
dimanfaatkan bunganya untuk dijadikan sayur, daunnya untuk pembungkus, batangnya untuk tali pengikat, kulitnya untuk pakan ternak, bahkan bonggolnya pun dapat dikonsumsi sebagai sayur. Buah pisang selain memiliki cita rasa yang lezat, juga mengandung gizi yang cukup tinggi dan berkhasiat sebagai obat. Pisang dapat berperan sebagai bahan pangan substitusi makanan pokok karena mengandung kalori, protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan tubuh manusia. Potensi pengembangan pisang juga sangat besar
karena daya
adaptasinya yang luas terhadap berbagai kondisi agroklimat, dan berpotensi untuk dikembangkan secara komersial sebagai komoditas ekspor.
Potensi pasar ekspor pisang sangat besar dan meningkat
setiap tahun,
namun peluang ini belum sepenuhnya dapat
dimanfaatkan. Potensi pasar pisang dalam negeri juga sangat besar, meningkat tajam akibat adanya peningkatan pendapatan dan kualitas hidup masyarakat serta akibat adanya berbagai kemajuan dalam teknik pengolahan dan pemanfaatan pisang. Produksi pisang Indonesia pada tahun 2000 mencapai 3,2 juta ton
(Sunarjono,
2002) dengan sentra produksi utama berada di
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
1
Pulau Jawa dan Sumatera.
Kemudian produksinya
meningkat
mencapai 5,45 juta ton pada tahun 2007, menjadi 6, 68 juta
ton
pada tahun 2014 (Kementan, 2015). Dari jumlah produksi tersebut, diperkirakan sekitar 4,0 juta ton diantaranya merupakan jenis pisang meja atau pisang untuk dikonsumsi segar. Apabila diasumsikan sekitar 60 % (150 juta) dari jumlah penduduk Indonesia (250 juta) menyukai pisang, maka besarnya tingkat konsumsi
pisang per kapita di
Indonesai hanya sebesar 26,75 kg/tahun atau setara dengan 73,25 gram hari-1. Sementara berat pisang ambon kuning saja rata-rata per buah dapat mencapai 75 gram. Ini berarti kemampuan penyediaan buah pisang untuk konsumsi buah meja saja,
masih
rendah dan masih terdapat peluang untuk ditingkatkan produksinya. Belum lagi jika ditambah dengan penggunaan pisang untuk bahan industri dan bahan olahan pisang, yang diperkirakan sama besarnya dengan kebutuhan untuk pisang meja atau yang dikonsumsi segar. Oleh karena itu terdapat potensi pasar pisang dalam negeri yang sangat besar dan terbuka luas, yang perlu diupayakan pemenuhannya melalui peningkatan produksi. Peningkatan produksi pisang dalam negeri banyak mengalami hambatan dan kendala.
Selain karena belum diterapkannya teknik
budidaya sesuai anjuran, adanya serangan hama dan penyakit, juga makin terbatasnya lahan yang dapat digunakan untuk pertanaman pisang. Rata-rata produksi pisang nasional hanya sebesar 10,0 ton ha-1 dari potensi produksi sebesar 35 ton ha-1 (Balitbangtan, 2008; Kementan, 2015). Lahan-lahan yang tersedia umumnya telah digunakan untuk tegalan atau kebun dengan mengembangkan berbagai komoditas perkebunan atau kehutanan. Untuk mengatasi Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
2
permasalahan ini maka perlu dilakukan berbagai perbaikan dan terobosan teknologi produksi, agar terjadi peningkatan produksi, produktivitas dan mutu pisang, serta dapat memberikan pendapatan yang signifikan kepada petani. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah dengan pengembangan pisang sebagai tanaman sela (sisipan) di antara tegakan tanaman perkebunan/kehutanan dalam pola tumpang sari dan inter planting. Kultivar pisang yang dapat dipilih adalah pisang yang toleran terhadap naungan, berpotensi produksi tinggi, adaptif terhadap berbagai kondisi agroekologi, serta dengan habitus tanaman tipe rendah (kate) melalui model pendekatan pertanian integratif. 1.2. Potensi Produksi Pisang Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan produksi bahan pangan terutama bahan pangan sumber karbohidrat. Sumber daya alam ini jika dapat dimanfaatkan secara optimal, maka akan menjadi aset nasional yang dapat menjamin ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup dan dengan kualitas yang memadai serta dapat menunjang penguatan ketahanan pangan rumah tangga.
Akan tetapi sampai saat ini
pemanfaatan sumber pangan karbohidrat selain beras,
belum
dilakukan secara optimal. Penganekaragaman pangan dan diversifikasi pangan merupakan salah satu alternatf dan jalan keluar untuk memecahkan masalah pemenuhan kebutuhan pangan, khususnya pangan sumber karbohidrat. Pisang merupakan salah satu buah tropis yang tumbuh di Indonesia dan potensial dimanfaatkan sebagai sumber pangan Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
3
karbohidrat.
Selain
sebagai
sumber
karbohidrat,
pisang
juga
mempunyai kandungan gizi yang baik yaitu provitamin A (Blade et al., 2003; Englberger et al., 2003; Englberger et al., 2012; Wall, 2006; Davey et al., 2009; Pereira, 2009; Ekesa et al., 2013a. Ekesa et al., 2013b), Vitamin B (Kumar et al., 2012; Abiodun-Solanke dan Falade, 2010; Adeyemi dan Oladiji, 2009) dan vitamin C (Wall, 2006; Kumar et al., 2013) serta mineral seperti kalium, magnesium, fosfor, besi dan kalsium yang penting bagi tubuh (Wall, 2006; Anhwange et al., 2009; Okorie et al., 2015; Keunggulan pisang sebagai sumber karbohidrat, vitamin dan mineral juga didukung oleh luas panen dan jumlah produksinya yang terus meningkat. Indonesia merupakan salah satu pusat keragaman genetik pisang, baik untuk pisang segar, olahan dan pisang liar. Lebih dari 200 jenis pisang terdapat di Indonesia (Deptan, 2007). Tingginya tingkat keragaman genetik ini sangat berguna dan dapat memberi peluang kepada Indonesia untuk mengembangkan jenis-jenis pisang sesuai kebutuhan konsumen yang terus meningkat . Pisang merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki potensi dan nilai ekonomi yang tinggi baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pisang di Indonesia menduduki tempat yang pertama diantara jenis buah-buahan lainnya, baik dari segi sebaran, luas pertanaman, maupun dari segi produksi. Pisang merupakan salah satu komoditas tanaman buah-buahan dengan tingkat permintaan yang tinggi karena memiliki banyak manfaat. Secara nasional kisaran produksi pisang berdasarkan Statistik Hortikultura Indonesia Tahun 2014 (Kementan, 2015) selama lima tahun terakhir ini tidak banyak berubah dan berada pada kisaran enam juta ton setiap tahun. Namun luas areal panen pisang sejak Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
4
tahun 2012 cenderung menurun, sehingga peningkatan produksi terjadi akibat naiknya tingkat produktivitas (Tabel 1.1). Pisang sebagian besar dihasilkan dari pertanaman kebun rakyat, sementara kontribusi dan produksi pisang dari perusahaan dan perkebunan besar masih sangat rendah. Tabel 1.1.
Total Panen dan Produksi Pisang di Indonesia Tahun 2009-2014
Sumber : Statistik Hortikultura Indonesia 2014 (Kementan, 2015)
Pisang disamping dikonsumsi dalam bentuk segar juga dimanfaatkan sebagai bahan industri olahan pisang misalnya industri kripik, sale dan tepung pisang.
Perkembangan kebun rakyat dan
industri olahan pisang di daerah sentra produksi, dapat memberi peluang baik secara langsung maupun tidak langsung, perluasan kesempatan kerja dan kesempatan
berusaha.
terhadap Pisang
banyak mengandung vitamin dan mineral yang sangat esensial bagi kesehatan. Buah pisang berperan penting dalam pemenuhan gizi manusia sebagai sumber energi, serat pangan, dan vitamin. Bahkan pada beberapa daerah di Kawasan Timur Indonesia, pisang menjadi Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
5
makanan pokok subsitusi beras seperti yang terjadi di beberapa negara di Afrika. Sentra produksi pisang di Indonesia tersebar di 16 provinsi dan 70 kabupaten. Luas panen pisang cenderung berfluktuasi dengan produktivitas antara 11-16 ton ha-1 (Deptan, 2007). Sentra utama produksi pisang tetap berada di Pulau Jawa dengan penghasil utama daerah Jawa Barat dan Jawa Timur. Sedangkan di Luar Jawa, sentra produksi pisang terbesar berada di Sulawesi Selatan. Usaha tani pisang dilaksanakan oleh hampir sekitar 21,5 juta rumah tangga tani (Deptan, 2007). Usahatani dan budidaya pisang umumnya belum menerapkan inovasi teknologi secara optimal, karena sebagian besar pertanaman pisang merupakan usaha pekarangan skala kecil (0,5-1,0 ha) dengan input produksi dan distribusi minimal.
Oleh karena itu mutu dan
produktivitasnya pun masih rendah. Disamping itu kehilangan hasil pra panen dan pasca panen masih cukup tinggi. Berdasarkan total produksi, pisang menduduki tempat pertama dibandingkan dengan total produksi mangga (1,5 juta ton), jeruk (1,5 juta ton), durian (741 ribu ton), dan manggis (79 ribu ton). Dari rata-rata produksi pisang nasional, sekitar 63% produksi pisang berasal dari pulau Jawa, kemudian Sumatera 18%, Kalimantan 6%, Sulawesi 6%, Bali dan Nusa Tenggara sekitar 8% (Kementan, 2014). Beberapa perusahaan mulai terjun ke bisnis pisang dengan membuka perkebunan pisang. Perkebunan pisang di Indonesia terdiri dari dua kategore yaitu skala menengah dengan luasan areal mencapai 100 ha dan skala besar dengan luasan areal 2.000-5.000 ha (Suhartanto et al., 2012).
Produk pisang yang dihasilkan oleh
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
6
perkebunan besar umumnya untuk dipasarkan ke luar negeri. Lokasi perkebunan pisang tersebut diantaranya di Halmahera Maluku Utara (PT. Global Agronusa lndonesia), Lampung (Multi Agro Corp dan PT. Nusantara Tropical Fruit),
(PT.Chiquita Banana Corp), Riau (PT.
Khatulistiwa Agro Birna), dan di Jakarta (PT. Polytani dan PT. Fitotek Unggul) (Ria,
1996; Jaya, 1996; Hadini, 2006). Produktivitas yang
dihasilkan dari perkebunan besar dapat mencapai 100 ton ha-1 dan jenis pisang yang diusahakan umumnya kultivar Cavendish untuk tujuan ekspor (Suhartanto et al., 2012). 1.3. Kegunaan Pisang Pisang adalah buah yang sangat bergizi yang merupakan sumber vitamin, mineral dan juga karbohidrat. Pisang dijadikan buah meja, sale pisang, pure pisang dan tepung pisang. Kulit pisang dapat dimanfaatkan untuk membuat cuka melalui proses fermentasi alkohol dan asam cuka. Daun pisang dipakai sebagi pembungkus berbagai macam makanan tradisional Indonesia. Batang pisang abaca diolah menjadi serat untuk pakaian, kertas dsb. Batang pisang yang telah dipotong kecil dan daun pisang dapat dijadikan makanan ternak ruminansia (domba, kambing) pada saat musim kemarau dimana rumput tidak/kurang tersedia. Secara tradisional, air umbi batang pisang dapat dimanfaatkan sebagai obat disentri (Kumar et al., 2012) dan pendarahan usus besar, sedangkan air batang pisang digunakan sebagai
obat
penawar
racun
(Pushpangadan
et
al.,
2009;
Kemennegristek, 2013; Venkatesh et al., 2013). Pisang banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan hidup manusia. Seluruh bagian dari tanaman pisang dapat dimanfaatkan Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
7
untuk berbagai keperluan, mulai dari bonggol, batang, daun, buah dan bunga (Prabawati et al., 2008). Berdasarkan pohon industrinya penggunaan dan kegunaan pisang sangat luas (Deptan, 2007; Suhartanto et al., 2012) seperti nampak pada Gambar 1.1. 1.3.1. Batang Pisang Batang pisang banyak dimanfaatkan masyarakat karena berserat. Setelah dikupas tiap lembar dapat dimanfaatkan sebagai pembungkus untuk bibit tanaman sayuran dan setelah dikeringkan dapat digunakan sebagai bahan kompos. 1.3.2. Bonggol Bonggol pisang adalah umbi batang pisang, di beberapa daerah, bonggol batang pisang yang muda dapat dimanfaatkan untuk sayur dan dijadikan olahan keripik. 1.3.3. Bunga Bunga pisang disebut juga jantung pisang, karena bentuknya seperti jantung. Biasanya dimanfaatkan untuk membuat sayur, karena memiliki kandungan protein dan vitamin. Selain dibuat sayur, bunga pisang dapat pula diolah menjadi manisan dan acar. 1.3.4. Daun Masyarakat pedesaan memanfaatkan daun pisang sebagai bahan pembungkus terutama untuk memebungkus kue dan makanan tradisional. Daun yang tua setelah dicacah, biasa digunakan untuk pakan ternak seperti kambing, kerbau atau sapi, karena banyak mengandung unsur yang diperlukan oleh hewan. Bila daun pisang berlebihan dapat pula dimanfaatkan menjadi kompos. Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
8
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
9
Gambar 1.1. Pohon Industri Pisang (Deptan, 2007; Suhartanto et al., 2012)
1.3.5. Buah Buah pisang selain dimanfaatkan sebagai sumber vitamin dan mineral, juga dapat di manfaatkan menjadi produk olahan antara lain pisang sale, tepung pisang, jam, sari buah, keripik, dan berbagai jenis olahan kue moderen dan tradisional. Selain sebagai sumber vitamin dan mineral, buah pisang juga sangat berguna untuk mengatasi masalah anemia (Kumar et al., 2012) dan tekanan darah, memiliki energi instan karena banyak mengandung glukosa, kaya serat untuk membantu diet, mencegah terjadinya stroke, mengontrol suhu tubuh terutama bagi ibu hamil dan menyusui dan dapat menetralkan asam lambung. 1.4. Manfaat Pisang Dari Segi Kesehatan Pisang merupakan salah satu jenis buah tropis yang kaya akan kalori. Pada setiap 100 gram buah pisang mengandung energi sebesar 90 kalori. Selain itu pisang
juga mengandung serat, anti-oksidan,
mineral dan vitamin yang sangat dibutuhkan tubuh (Blade et al., 2003). Buah pisang masak dan lembut sangat mudah dicerna dan segera menghasilkan gula seperti fruktosa dan sukrosa untuk meningkatkan kebugaran tubuh dan menggantikan energi yang hilang (Englberger et al., 2006; Englberger et al., 2011; Ekesa et al., 2013a; Ekesa et al., 2013b; Ekesa et al., 2013c). Oleh karena kualitas ini, maka buah pisang terkenal sebagai buah-buahan yang dikonsumsi para atlit untuk menghasilkan energi instan. Buah pisang juga direkomendasikan sebagai makanan tambahan (supplement food) untuk penanganan gizi buruk pada balita (Englberger et al., 2003; Ekesa et al., 2013a; Ekesa, 2014). Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
10
Buah pisang mengandung serat tinggi (7% DRA per 100 g) dan dapat melancarkan pencernaan sehingga dapat mengurangi terjadinya masalah konstipasi. Buah pisang juga banyak mengandung senyawa flavon dan anti oksidan seperti lutein, zea-xanthin, alpha dan beta-carotenes (Englberger et al., 2006; Ekesa et al., 2012). Senyawa-senyawa ini dapat melindungi tubuh dari senyawa radikal bebas dan oksigen reaktif yang sangat berperan dalam proses penuaan dan berbagai proses penyakit degeneratif. Pisang merupakan sumber vitamin-B6 (pyridoxine) dan dapat menyediakan sekitar 28% dari kebutuhan harian vitamin B-6. Pyridoxine merupakan vitamin B-complex penting, yang berguna untuk mengatasi masalah neuritis,
anemia dan mengurangi kadar
homocystine di dalam tubuh. Homocystine merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya serangan jantung dan stroke ringan. Pisang juga mengandung vitamin C (± 8,7 mg per 100g), yang berfungsi untuk meningkatkan ketahanan tubuh terhadap infeksi. Buah pisang segar juga banyak mengandung mineral seperti besi, magnesium dan mangan (Tabel 1.2). Magnesium berguna untuk memperkuat tulang dan mencegah terjadinya serangan jantung. Mangan berperan sebagai co-factor antioksidan, sementara senyawa besi merupakan unsur esensial dalam produksi sel-sel darah merah. 1.5. Permasalahan Budidaya Pisang Bertambahnya permintaan pasar terhadap buah pisang belum dapat diimbangi dengan peningkatan produksi pisang. Beberapa kendala atau permasalahan menyebabkan kurang berkembangnya produksi pisang di Indonesia. Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
11
Tabel 1.2. Komposisi dan Kandungan Nutrisi Buah Pisang (USDA, 2007)
Beberapa permasalahan pengembangan produksi pisang di Indonesia menurut Pusat Kajian Hortikultura Tropika LPPM IPB (Suhartanto et al. 2012) adalah sebagai berikut : 1. Pola pembudidayaan yang belum jelas dan teratur. 2. Kurangnya penerapan teknologi budidaya pisang secara benar pada tingkat petani. 3. Kultivar pisang yang di tanam masih beragam.
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
12
4. Ketersediaan dan penggunaan bibit pisang yang sehat dari kultivar unggul masih terbatas. 5. Penyebaran hama dan penyakit penting tanaman pisang yang cukup luas di sentra produksi pisang.
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
13
BAGIAN II MORFOLOGI PISANG 2.1 Asal Usul Pisang Tanaman pisang diyakini berasal dari Asia Tenggara, terutama dari Malaysia, Indonesia, Filipina, Bornea dan Papua (Stover dan Simmonds,
1987; Robinson dan Sauco, 2010).
Pada kawasan ini
terdapat keragaman jenis pisang yang tinggi. Kemudian karena merupakan asal-usul pisang dan pusat keragaman genetik pisang maka didirikanlah Southeast Asian International Banana Germplasm Resource Center (IBPGR) berpusat di Kota Davao, Filipina dengan tujuan utama untuk melakukan koleksi plasma nutfah pisang yang terdapat di Asia Tenggara (Pascua et al.,1996; Hadini, 2006), serta sebagai sarana untuk konservasi, pertukaran dan pengembangan pisang untuk kemakuran umat manusia. Semua pisang yang dikenal dan dikoleksi berasal dari dua spesies diploid, yaitu Musa acuminata (AA) dan Musa balbisiana (BB), yang hasil silangan alaminya diberi nama Musa paradisiaca. Pisang yang dibudidayakan pada umumnya adalah diploid
(AA), triploid
(AAA, AAB, ABB group), serta beberapa kultivar baru tetraploid (AAAA) (Israeli dan Lahav, 1986; Hadini, 2006). Jenis pisang yang mempunyai genom A tergolong pada jenis pisang makan “edible banana”. Jenis ini lazim digolongkan dalam Musa acuminata, yang di dalamnya terdapat jenis diploid A, triploid A dan tetraploid A. Pisang olahan “cooking banana” digolongkan dalam jenis M. balbisiana. Golongan pisang ini yang mempunyai genom A berkombinasi dengan Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
14
genom B, yang di dalamnya terdapat jenis diploid AB, triploid B, triploid AAB, triploid ABB dan tetraploid ABBB.
Pisang Cavendish
termasuk dalam golongan M. acuminata dengan genom AAA (Stover dan Simmonds, 1987). 2.2. Jenis Jenis Pisang Pisang meskipun bermacam-macam jenisnya, umumnya dibagi dalam empat ketegori atau kelompok yaitu : 1. Pisang yang dimakan buahnya tanpa dimasak
(dessert
banana) yaitu M. paradisiaca var Sapientum, M. nana atau disebut juga M. cavendishii, M. sinensis. Misalnya pisang ambon, susu, raja, cavendish, barangan dan mas. 2. Pisang yang dimakan setelah buahnya dimasak (cooking banana) yaitu M. paradisiaca forma typical atau disebut juga M. paradisiaca normalis. Misalnya pisang nangka, tanduk dan kepok. 3. Pisang berbiji yaitu M. brachycarpa yang di Indonesia dimanfaatkan daunnya. Misalnya pisang batu dan klutuk. 4. Pisang yang diambil seratnya misalnya pisang manila (abaca). Jenis pisang yang mempunyai genom A tergolong pada jenis pisang makan “edible banana”.
Jenis ini lazim digolongkan dalam
Musa acuminata, yang di dalamnya terdapat jenis diploid A, triploid A dan tetraploid A. Pisang olahan “cooking banana” digolongkan dalam jenis M. balbisiana. Golongan pisang ini yang mempunyai genom A berkombinasi dengan genom B, yang di dalamnya terdapat jenis diploid AB, triploid B, triploid AAB, triploid ABB dan tetraploid ABBB. Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
15
Pisang Cavendish termasuk dalam golongan M. acuminata dengan genom AAA (Stover dan Simmonds, 1987). 2.3. Taksonomi Pisang Pisang masuk dalam kingdom plantae.
Klasifikasi pisang
secara lengkap Menurut Carolus Linnaeus (Wong et al., 2002; De Langhe, et al. 2005; Li et al., 2010; Liu et al., 2010; Häkkinen, 2013) adalah sebagai berikut : Kingdom Divisi Sub divisi Kelas Famili Genus
: : : : : :
Plantae Spermatophyta Angiospermae Monocotyledoneae Musaceae Musa
Klasifikasi pisang lebih lanjut
menjadi isu dan perdebatan
yang berkepanjangan di antara para ahli taksonomi . Hal ini disebabkan karena Linnaeus mengkalisifikasikan pisang ke dalam dua kelompok besar berdasarkan bagaimana pisang dapat dikonsumsi Musa sapientum untuk dessert bananas dan Musa paradisiaca untuk plantains. Sementara spesies jenis pisang lainnya hasil persilangan di antara keduanya tidak termasuk. Kemudian dilakukan reklasifikasi kembali menurut tiga perbedaan morfologi sehingga menjadi hasil persilangan di antara keduanya.
Semua pisang yang dikenal dan
dikoleksi berasal dari dua spesies diploid, yaitu Musa acuminata (AA) dan Musa balbisiana (BB), yang hasil silangan alaminya diberi nama Musa paradisiaca.
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
16
Pisang yang diperdagangkan secara komersial umumnya berukuran besar, tumbuh secara menahun (perrenial), berbentuk herba, monokotil,
diperbanyak secara vegetatif. Tanaman pisang
merupakan komoditas penting di daerah tropis dataran rendah, meskipun dapat juga tumbuh di daerah sub topis dan telah ditanam di lebih dari 100 negara (Valmayor et al., 2000; Abiodun-Solankea dan Falade, 2010). Buah pisang umumnya dikonsumsi dalam bentuk segar (dessert banana) atau dimasak (cooking banana). Pisang yang paling banyak dipasarkan secara komersial adalah jenis pisang yang dimakan segar (dessert banana) dan jenis pisang ini banyak diperdagangkan antar negara. Sementara pisang jenis kedua umumnya dikonsumsi sebagai bahan pangan menjadi makanan pokok dan ini
banyak terjadi
terutama di negara–negara Afrika, Amerika Latin dan beberapa wilayah di Asia Tenggara (Robinson dan Sauco, 2010) termasuk juga terjadi di Kawasan Sulawesi dan Papua. 2.4. Botani Pisang Bagian tanaman pisang yang berada di atas permukaan tanah terdiri atas buah yang merupakan rangkaian sisir pisang asli yang disebut tandan, sisir-sisir pisang palsu dan jantung pisang. Kemudian batang (pseudostem). permukaan
tanah
Bagian tanaman pisang yang di bawah terdiri
bonggol
(corm)
dan
perakaran
(Gambar 2.1).
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
17
Gambar 2.1. Botani Tanaman Pisang (Sumber OECD, 2010) 2.4.1. Akar Sistem perakaran pisang merupakan akar serabut, akar diproduksi
dari
mulai
mengeluarkan jantung.
bibit
pisang
ditanam
hingga
tanaman
Akar keluar dari bagian bonggol yang
berbatasan dengan pangkal batang palsu (Turner et al., 2003). Akar primer muncul 2-4 helai dengan diameter berukuran 5-8 mm. Pada saat baru keluar, akar berwarna putih dan berubah warna menjadi keabu-abuan atau coklat ketika tua atau mati (Robinson dan Souco, 2010).
Pada 3 bulan pertama, akar primer yang terbentuk dapat
mencapai ± 110 akar primer. Akar keluar dari bonggol secara bersamaan 3-4 helai dan akar primer tidak terbentuk lagi saat tanaman memasuki fase pembungaan atau mulai mengeluarkan Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
18
jantung. Bonggol dapat mengeluarkan akar primer sebanyak 200-500 akar (Robinson dan Sauco. 2010). Akar
primer
dapat
bertahan
hidup
selama
4-6
bulan
tergantung kondisi lingkungan sekitar perakaran. Akar sekunder dapat bertahan hidup selama 8 minggu, akar tersier selama 5 minggu dan akar rambut sekitar 3 minggu (Turner et al. 2003). Sebagian besar perakaran pisang (90%) terdistribusi pada kawasan sejauh satu meter dari rumpun pisang dan sekitar
70% dari total massa perakaran
terakumulasi di lapisan olah tanah pada kedalaman permukaan tanah.
0-40 cm dari
Tingkat produktivitas pisang berhubungan erat
dengan tingkat kesuburan tanah, kondisi iklim dan teknik budidaya yang diterapkan (Turner et al., 2003). 2.4.2. Bonggol (corm). Bonggol pisang merupakan organ batang yang sesungguhnya dari tanaman pisang. Bonggol pisang biasanya terpendam di dalam tanah. Bonggol pisang dapat terus membesar sesuai dengan pertambahan
umur tanaman. Pada tanaman pisang dewasa lebar
bonggol pisang dapat mencapai ± 30 cm (Stover dan Simmonds, 1987). Akar dan anakan keluar dari bonggol pisang yang terpendam di dalam tanah (Nakasone dan Paull, 1998). Sementara daun dan buah berasal dari bagian yang berada di atas tanah (Stover dan Simmonds, 1987). Seluruh bagian bonggol pisang umumnya terbenam di dalam tanah, sehingga semua akar yang keluar dari bonggol akan mengalami Bagian
pertumbuhan dan perkembangannya di dalam tanah.
tengah
atas
bonggol
merupakan
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
tempat
terjadinya 19
pertumbuhan dan menjadi titik tumbuh. Pada fase vegetatif, titik tumbuh nampak datar dan memasuki fase generatif,
bagian titik
tumbuh kemudian meruncing ke atas, yang merupakan indikasi bahwa bakal bunga sudah mulai terbentuk (Stover dan Simmonds, 1987). 2.4.3. Batang semu (Pseudostem). Batang pisang yang umum dikenal sebenarnya merupakan batang semu, yang merupakan susunan tangkai daun atau pelepah, yang berpangkal pada bonggol dan berujung sebagai lamina daun. Susunan pelepah daun sangat rapat dan saling tumpang tindih dan menutupi (overlap)
dari bagian dalam sampai bagian terluar
(Nakasone dan Paull, 1998).
Konfigurasi antara tiap pelepah daun
tersusun secara melingkar, kompak, rapat dan tebal,
membentuk
batang tanaman yang disebut pseudostem atau batang palsu (Stover dan Simmonds, 1987). Pertambahan tinggi atau panjang batang ini sejalan dengan bertambahnya daun. Tinggi tanaman maksimum terjadi pada saat tanaman memasuki fase pembungaan atau mulai mengeluarkan jantung.
Batang pisang umumnya mampu memikul beban berat
tandan pisang bahkan lebih dari 50 kg. Batang pisang karena lunak dan tersusun dari air (95%), maka dibutuhkan penyangga atau penopang agar tidak rebah saat berbuah atau akibat hembusan angin kencang (Robinson dan Sauco, 2010).
Jumlah pelepah pisang yang
membentuk batang palsu pada saat buah siap dipanen dapat mencapai
20
pelepah pisang dan dapat memiliki lingkar batang
mencapai 80 cm.
Tinggi batang pisang bervariasi dari jenis yang
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
20
pendek (1,2 meter) hingga yang tinggi mencapai 3,5 m (Muhidin et al., 2014). 2.4. 4. Daun. Daun pisang terbentuk mulai dari awal pertumbuhan atau awal tanam sampai mendekati fase pembungaan dan keluarnya jantung pisang.
Daun pisang keluar dari bagian meristem bonggol pisang
(Robinson dan Sauco, 2010).
Kecepatan keluarnya daun dipengaruhi
oleh fase pertumbuhan tanaman, tingkat kesuburan tanah dan musim.
Semakin cepat pertumbuhan tanaman, maka akan semakin
cepat pula daun terbentuk dan jumlahnya pun semakin banyak (Gambar 2.2).
Gambar 2.2. Tipe dan Model Daun Tanaman Pisang Kate (Muhidin et al., 2014) Filotaksis atau susunan daun-daun pisang akan berubah sesuai dengan pertumbuhan tanaman. Pada saat tanaman masih kecil, Filotaksis daun biasanya akan mengikuti rumus 1/3, 2/5, dan 3/7. Pada saat tanaman besar dan mendekati fase generatif menjadi 4/9 (Stover dan Simmonds, 1987). Filotaksi daun berhubungan dengan Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
21
sudut yang terbentuk antar tepi pelepah daun yang berurutan dan sudut yang terbentuk akan semakin besar dengan meningkatnya umur tanaman. Banyaknya daun pisang yang terbentuk dari mulai tanam hingga mendekati fase generatif berbeda-beda namun diperkirakan sebanyak ± 40-43 helai daun. Banyaknya daun yang terbentuk pada umur 1-2 bulan rata-rata sebanyak 4-5 daun per bulan, pada umur 35 rata-rata sebanyak 6-7 daun per bulan dan pada saat berumur di atas 5 bulan, daun yang terbentuk menurun menjadi hanya 1-2 daun per bulan. Menurut Stover dan Simmond (1987) umur daun pisang berkisar 130-180 hari. Umur satu helai daun pisang sekitar 90-105 hari (Muhidin et al., 2014).
Ukuran daun pisang Cavendish lebar
antara 0,7 – 1,0 m dan panjang 1,5 – 2,9 m (Robinson dan Sauco, 2010).
Jumlah daun pada saat keluar jantung antara 10-15 helai.
Jumlah daun pada saat keluar jantung berkorelasi positif dengan berat tandan pada saat dipanen (Nakasone dan Paull, 1998). 2.4.5. Jantung dan tandan (Bud dan Bunch). Pada bunga jantan pisang yang bersifat steril umumnya tidak ditemukan biji di dalam daging buahnya. Primordia bunga atau bakal buah pisang mulai terbentuk pada saat tanaman berumur sekitar 3 bulan setelah tanam.
Kondisi ini ditandai dengan bagian ujung
meristem naik dari bagian atas bonggol pisang dan akan terus naik di dalam batang pisang yang berakhir dengan keluarnya jantung pisang. Waktu tercepat yang dibutuhkan dari tanam hingga keluar jantung yaitu 9 bulan (Muhidin et al., 2014) Banyaknya jumlah sisir pisang sudah terbentuk ketika bakal buah masih berada di dalam batang Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
22
pisang sebelum jantung keluar, dan dilanjutkan dengan pembesaran dan pengisian daging buah (Stover dan Simmond, 1987). Waktu yang dibutuhkan dari mulai jantung pisang keluar hingga terbukanya sisir pertama membutuhkan waktu 7 hari dan membukanya tiap sisir ± 1,5 sisir tiap hari (Gambar 2.3). Perpanjangan jari pisang terjadi hingga 30 hari setelah sisir pisang terbuka dan pengisian daging buah bertambah secara linier hingga buah siap panen pada umur 12-14 minggu setelah keluar jantung. Perpanjangan jari pisang mencapai 50-64% hingga 14 hari setelah sisir terbuka dan pengisian daging buah terjadi secara linier hingga buah siap dipanen (Stover dan Simmonds, 1987; Muhidin et al., 2014).
Gambar 2.3. Tipe Tandan Buah dan Sisir Pisang Kate (Muhidin et al., 2014) Jumlah sisir setiap tandan pisang berbeda-beda tergantung pada jenis pisang dan pada jenis pisang yang sama, dapat berbedabeda tergantung pada kondisi lingkungan dan teknik budidaya yang diterapkan . Potensi sisir dapat mencapai 15 sisir tiap tandan, bahkan Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
23
dapat lebih pada kondisi dan keadaan tertentu. Jumlah jari pisang sebanyak 14-32 buah tiap sisirnya. Buah pisang yang masak di pohon memerlukan waktu ± 18 minggu setelah jantung pisang keluar, sedangkan umur panennya yaitu 12-14 minggu setelah jantung pisang keluar (Muhidin et al., 2014). 2.4.6. Anakan (sucker atau follower). Anakan biasanya digunakan untuk bahan material tanam. Bahan material tanam pisang umumnya berasal dari anakan terutama anakan-pedang dan bibit kultur jaringan.
Tanaman pisang selama
fase hidupnya dapat menghasilkan 20 anakan pedang.
Anakan
pertama sudah mulai terbentuk saat tanaman berumur dua bulan setelah tanam dan setelah itu anakan akan terus terbentuk hingga panen. Anakan yang dihasilkan dari tanaman yang belum panen atau masih di bawah asuhan tanaman induk disebut anakan pedang. Anakan yang keluar dari induk yang telah dipanen atau tidak dibawah asuhan tanaman induk disebut anakan air.
Anakan pedang
mempunyai ciri-ciri batang semu dari pangkal mengerucut ke ujung, kekar, lamina daun sempit seperti pedang.
Anakan air batangnya
tidak mengerucut, kurang kokoh dan lamina daunnya lebar. Bonggol anakan pedang lebih besar dibandingkan dengan anakan air. Anakan pedang lazim digunakan sebagai material tanam. Anakan yang akan digunakan sebagai bibit atau material tanam biasanya berumur 1-3 bulan. Pisang cavendis banyak dipilih untuk dibudidayakan karena jenis pisang ini paling disukai konsumen baik dalam maupun luar negeri. Selain itu apabila panen melimpah, pisang Cavendish dapat Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
24
digunakan sebagai bahan baku untuk industri pisang olahan seperti keripik pisang dan tepung.
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
25
BAGIAN III BUDIDAYA PISANG 3.1. Syarat Tumbuh Pisang termasuk jenis tanaman yang dapat tumbuh dimana saja, namun agar produktivitasnya maksimal maka sebaiknya pisang ditanam di
daerah dataran rendah (Suyanti dan Supriadi, 2008).
Pisang tumbuh dan berkembang baik pada daerah beriklim tropika basah dengan udara lembab dan panas.
Pisang masih dapat
berkembang baik di dataran tinggi sampai pada ketinggian 1300 m di atas permukaan laut (Trubus, 2012), namun pada dataran tinggi, umur berbuah pisang relatif lebih lama dan kulit buahnya menjadi lebih tebal. Tanaman
pisang
menghendaki
topografi
datar
dengan
kemiringan kurang dari 8 persen. Suhu untuk pertanaman pisang berkisar
antara 21,0-29,5
o
C (Wijayanto, 2012). Pertumbuhan
tanaman mulai terjadi pada suhu udara 18oC dan mencapai optimal pada suhu udara 27oC.
Namun pada suhu lebih dari 38
pertumbuhan tanaman akan terhenti
o
C
(Trubus, 2012). Curah hujan
yang sesuai untuk pertanaman pisang berkisar antara 1,520–3,800 mm tahun-1 dengan bulan kering tidak lebih dari 3 bulan. Pertumbuhan optimal akan terjadi pada curah hujan lebih dari 2.000 mm tahun-1 dengan penyebaran merata sepanjang tahun.
Pada
daerah dengan bulan kering lebih dari 5 bulan, pisang masih dapat tumbuh selama terdapat persediaan air atau persediaan air tanahnya tidak lebih dari 150 cm di bawah permukaan tanah (Trubus, 2012). Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
26
Pada kondisi tanpa air, pisang sebenarnya masih dapat tetap tumbuh karena air disuplai dari batangnya yang mengandung air tetapi produksi yang dihasilkan sangat sedikit (Robinson and Souco, 2010; Kemenegristek, 2013). Oleh sebab itu, penanaman pisang biasanya dilakukan di guludan atau dibumbun agar tidak terjadi genangan air. Pisang meskipun dapat tumbuh dan berbuah pada berbagai kondisi tanah, namun tetap menghendaki kondisi tanah subur dan sesuai untuk pertumbuhannya.
Tanaman pisang tidak menyukai
tanah yang kering, namun juga tidak menyukai air yang terlalu menggenang
secara
terus
menerus.
Akar
tanaman
pisang
memerlukan sirkulasi air dan sirkulasi udara yang baik di dalam tanah, serta menyukai tanah yang memiliki drainase yang baik. Tingkat kemasaman (pH) yang sesuai untuk pertanaman pisang pada kisaran 4,5-7,5 atau pada kondisi tanah masam mendekati netral. Namun kondisi yang terbaik didapat pada kisaran pH 6,0-7,5. Pada tingkat kemasaman yang rendah pisang umumnya lebih tahan terhadap penyakit layu Fusarium atau panama disease. Tanah yang memiliki kandungan pasir yang tinggi, bersifat salin, kekurangan unsur hara dan berdrianase buruk harus dihindari untuk penanaman pisang.
Apabila tanah belum berada pada kondisi yang ideal dan
dikehendaki, maka perlu dilakukan perbaikan. Tanah berpasir dapat diperbaiki dengan penambahan pupuk organik pada sekitar pokok tanaman,
sehingga daya ikat air (retention)
akan meningkat dan
mengurangi terjadinya kehilangan hara akibat adanya perkolasi dan pencucian. Sementara kekurangan unsur hara dapat diperbaiki dengan pemberian pupuk organik secara teratur dan berkala.
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
27
3.2. Pmbibitan Salah faktor yang menentukan keberhasilan pembudidayaan pisang adalah tersedianya bibit yang berkualitas, yaitu bibit sehat dan bebas dari hama penyakit bawaan (seed borne). Selain itu bibit harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan dengan jenis atau kultivar yang diinginkan. Hal ini disebabkan karena terdapat berbagai masam jenis pisang sehingga pemilihan jenis pisang yang akan dibudidayakan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi produksinya (Tushemerehe et al., 2001) Perbanyakan bibit dapat dilakukan secara mikropropagasi dan makropropagasi.
Perbanyakan
secara
mikropropagasi
biasanya
dilakukan melalui perbanyakan tanaman secara kultur jaringan. Bibit yang dihasilkan umumnya lebih seragam, lebih sehat dan dapat menghasilkan bibit dalam jumlah banyak dalam waktu yang singkat. Teknologi perbanyakan dengan kultur jaringan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan besar karena biaya investasi awal yang sangat mahal.
Bibit kultur jaringan hanya memerlukan anakan dengan
jumlah sedikit untuk perbanyakan, anakan dipilih dari tanaman induk yang genjah, produktivitas tinggi dan bebas dari vascular diseases. Kekurangan
perbanyakan
bibit
secara
kultur
jaringan
karena
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mempersiapkannya. Perbanyakan bibit secara makroprapagasi dilakukan dengan menggunakan tunas, anakan atau bonggol yang diperbanyak secara tradisional.
Untuk
menyediakan
bibit
pisang
adalah
dengan
memanfaatkan rumpun pisang sehat. Perbanyakan bibit pisang secara makropropagasi ini dapat dilakukan secara sederhana dan dapat dilakukan oleh masing-masing petani sehingga pembibitan model ini Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
28
dipandang masih layak diterapkan dan dapat mengakomodasi kebutuhan bibit yang beragam jenisnya namun dalam jumlah yang tidak
terlalu
banyak.
Pembibitan
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan anakan dan atau bonggol. Bonggol dapat berasal dari bonggol sehat yang disiapkan untuk dijadikan bibit atau bonggol yang berasal dari tanaman yang sudah dipanen.
Kekurangannya adalah
tidak mudah mendapatkan anakan yang berasal dari induk yang berkualitas dalam jumlah banyak, terinfeksi vascular diseases, daya tumbuh di pembibitan rendah, umur bibit relatif tidak seragam. Kelebihan bibit dari anakan adalah penyiapan bibit relatif lebih cepat, apabila jumlah tanaman induk cukup banyak. 3.2.1. Perbanyakan dengan Anakan (sucker) Anakan yang digunakan sebagai bibit pisang berasal dari pemisahan anakan dan induknya, dapat ditanam langsung di kebun atau dapat pula dibibitkan terlebih dahulu. Bahan pisang asal pemisahan anakan dapat berasal dari anakan-air (water sucker), anakan-pedang (sword sucker) atau anakan-dewasa (maiden sucker) seperti nampak pada Gambar 3.1.
Bibit asal anakan-air berukuran
20-40 cm, kurang baik jika ditanam langsung di lapangan karena bonggolnya masih lunak dan belum berdaun sehingga beresiko mengalami kematian akibat kekeringan. Bibit asal anakan-air dapat dibibitkan terlebih dahulu sampai mencapai ukuran yang dikehendaki seperti ukuran pada bibit anakan-pedang. Sementara bibit asal anakan-dewasa yang berukuran tinggi >100 cm, sudah terlalu besar dan dapat menyulitkan saat dilakukan pemindahan ke lapangan karena
terlalu berat dalam pengangkutan. Bibit tipe ini juga
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
29
umumnya kurang tahan terhadap cekaman lingkungan karena telah memiliki daun sempurna. Bibit yang terbaik yang dapat digunakan adalah yang berasal dari anakan-pedang karena memiliki ukuran yang ideal dengan tinggi 41-100 cmdan daunnya berbentuk seperti pedang dengan ujung runcing.
Gambar 3.1. Metode Perbanyakan Bibit Pisang (Tushemerehe et al., 2001; Deptan, 2014) Bibit anakan setelah dipisahkan harus segera ditanam, jika terlambat akan meningkatkan serangan hama penggerek dan kematian di kebun. Apabila pada saat tanam mengalami kekurangan air dalam waktu yang lama, maka bibit akan layu bahkan dapat mengalmi kematian terutama pada bagian batangnya. Sementara Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
30
bonggol yang tertimbun di dalam tanah masih dapat tumbuh dan memulai pertumbuhan kembali dengan membentuk bonggol baru di atas bonggol yang lama. Untuk menghindari kejadian seperti ini maka sebelum dilakukan penanaman sebaiknya anakan dipotong 5 cm di atas leher bonggol. 3.2.2. Perbanyakan Tanaman dari Bonggol. Bonggol tanaman yang digunakan untuk perbanyakan bibit dapat berasal dari bonggol anakan pisang atau bonggol tanaman yang sudah dipanen. Perbanyakan bibit dengan bonggol yang berasal dari anakan biasa disebut dengan bit anakan atau mini bit. Perbanyakan bibit menggunakan bonggol secara teknis prosedurnya serupa, yang membedakan hanya asal bonggol yang digunakan sebagai sumber bibit, apakah bonggol berasal dari anakan atau dari pohon yang sudah dipanen.
Bahan
yang
digunakan
adalah
anakan
pisang
yang
berdiameter 7-12 cm atau tingginya 40-150 cm (anakanpedang sampai anakan-dewasa).
Pemisahan anakan dari rumpun dilakukan dengan hati-hati menggunakan cangkul agar kondisi bonggol masih utuh dan mata tunas tidak mengalami kerusakan.
Bonggol dibersihkan dari akar dan tanah yang menempel kemudian dipotong berjarak satu centimeter di atas leher bonggol. Kemudian dilakukan desinfeksi dengan perendaman pada air hangat yang mengandung fungisida dan pestisida, kemudian ditiriskan agar kering.
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
31
Bonggol
kemudian
merangsang
disemaikan
munculnya
tunas.
pada Bonggol
bedengan
untuk
disusun
secara
berjajar dengan bagian titik tumbuh tetap mengarah ke atas dan jarak antar bonggol masing-masing 5 cm. Penyemaian dapat dilakukan pada bak semai dengan media serbuk gergaji atau media tanah (campuran tanah, pasir dan pupuk kandang).
Penyemaian dilakukan selama 3-5 minggu atau sampai tunasnya tumbuh.
Kelembaban media tumbuh perlu dijaga
dengan cara penyirama secara rutin dan berkala sesuai kebutuhan. Setelah tunas tumbuh dan mempunyai daun 1-2 lembar kemudian dipisahkan dari bonggol, dengan cara mengangkat bonggol dari media, kemudian dibelah searah membujur dari permukaan atas bonggol sampai dasar bonggol sebanyak tunas yang tumbuh.
Tunas hasil belahan (bit) kemudian disemaikan
sampai
mencapai ukuran yang sesuai untuk dipindahkan ke polibag sebelum dipindahkan ke lapangan. Selama di persemaian bit anakan dipelihara agar dapat tumbuh optimal dan dua bulan kemudian sudah dapat dipindahkan ke lapangan.
Pada perbanyakan bibit dengan menggunakan bonggol yang berasal dari tanaman yang sudah dipanen, prosedurnya juga hampir serupa. Bedanya bonggol yang memiliki mata tunas, dipotong-potong terlebih dahulu dengan ukuran 10cm x 10cm. Kemudian diberi perlakuan desinfeksi dengan fungisida dan pestisida. Setelah itu potongan bonggol bermata tunas, dipindahkan dan ditanam di polibag ukuran 20 cm x 30 cm
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
32
yang berisi media tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1. Setelah ditanam, polibag diletakkan pada tempat yang teduh atau ternaungi selama satu bulan dan pada bulan kedua dipindahkan di tempat yang terbuka.
Perawatan yang utama pada proses pembibitan adalah penyiraman agar kelembaban tanah tetap terjaga, pemupukan secara berkala yang dilakukan setiap dua minggu dan pencegahan serta pengendalian hama dan penyakit.
3.3. Persiapan Lahan Persiapan lahan untuk penanaman pisang disesuaikan dengan pola tanam yang dipilih, apakah bersifat monokultur, polikultur atau sebagai tanaman sisipan pada tanaman perkebunan atau kehutanan. Tahapan persiapan lahan biasanya diawali dengan pembukaan lahan, pengolahan tanah, pembuatan lubang tanam yang disesuaikan dengan jarak tanam dan pola tanam, kemudian dilanjutkan dengan penanaman dan pemeliharaan tanaman. Lahan umumnya dibersihkan dari sisa tanaman sekitar 2-4 minggu sebelum tanam. Lubang tanam yang disiapkan berukuran panjang, lebar dan dalam 50 cm x 50 cm x 50 cm.
Pada saat pembuatan lubang tanam, tanah lapisan atas
dipisah dengan tanah lapisan bawah. Penutupan lubang tanam dilakukan dengan memasukkan tanah lapisan bawah terlebih dahulu. 3.4. Penanaman dan Waktu Tanam Penanaman pisang dilakukan pada awal musim hujan atau sebelum musim hujan berakhir agar bibit yang ditanam dapat terhindar dari kekeringan.
Untuk mendapatkan tanaman dengan
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
33
produksi yang tinggi dan kualitas buah yang baik, serta panen berkelanjutan
secara
berkala,
maka
penanaman
pisang
perlu
dilakukan secara bertahap. Pentahapan
penanaman
dapat
dilakukan
berdasarkan
pembagian blok kebun atau dapat juga dilakukan penanaman dengan jarak tanam lebar. Pada pentahapan penanaman dengan pembagian blok kebun, dilakukan dengan membagi kebun ke dalam empat blok dan penanaman bibit dilakukan setiap tiga bulan. Atau dapat juga dilakukan dengan membagi kebun ke dalam dua blok dan penanaman pisang dilakukan setiap 6 bulan. Pada pentahapan penanaman dengan jarak tanam lebar misalnya 4m x 4m, maka pada penanaman pertama dilakukan penanaman pada jarak 4m x 4m, kemudian beberapa waktu berikutnya dilakukan penanaman kedua dengan jarak tanam 4m x 2m di antara baris tanaman yang telah ada. Pada penanaman ketiga dilakukan penanaman dengan jarak tanam 2m x 2m di antara baris tanaman yang telah ada.
Pengaturan waktu tanam ini bertujuan
untuk mengatur waktu panen agar dapat panen sepanjang tahun dan musim, juga agar pembongkaran tanaman pada tahun ke 5, 9, 13, dan
seterusnya
dapat
dilakukan
dengan
tanpa
menggangu
keberlangsungan panen. Jarak tanam yang dipilih disesuaikan dengan jenis pisang yang akan ditanam. Untuk jenis pisang Mas dan Barangan jarak tanam dapat dipilih 2m x 2m. Jenis pisang Ambon, Giant Cavendish, Raja Sereh, dan Raja Nangka dengan jarak tanam 3m x 3m. Jenis pisang Kepok dan Tanduk 3 mx 3 m atau 3 m x 3,5 m. Sementara untuk jenis pisang kate (Dwarf Cavendish) dapat ditanam dengan jarak Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
34
tanam 1,0-1,5 m. Pada penanaman pisang dalam pola campuran atau tanaman sisipan, jarak tanam pisang yang dipilih disesuaikan dengan jarak tanam komoditas utama. 3.5. Pemeliharaan Tanaman Secara umum kegiatan pemeliharaan pada budidaya pisang dibagi menjadi dua tahap umur tanaman. Pada periode pertumbuhan awal atau pada saat tanaman belum berbuah disebut perawatan tanaman. Pada periode tanaman setelah mulai berbuah disebut dengan perawatan buah. Perawatan tanaman dititik-beratkan pada upaya untuk dapat menumbuhkan tanaman seoptimal mungkin. Perawatan buah difokuskan pada upaya agar buah dapat dipanen dengan kualitas yang seoptimal mungkin. Kegiatan pemeliharaan tanaman pada dua kegiatan ini, fokusnya tetap sama yaitu menjaga agar tanaman dapat tumbuh optimal dan terbebas dari gangguan hama dan penyakit, pemupukan, pemangkasan, pengendalian buah dan penangan persiapan panen dan panen. 3.5.1. Pemupukan Pemupukan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman, mendapatkan pertumbuhan tanaman yang optimum, produksi tinggi dan kualitas buah sesuai standar yang ditetapkan serta memperkuat pertumbuhan tanaman pisang (Suhartanto et al., 2012). Secara umum pola pemberian pupuk berdasarkan rekomendasi Pusat Studi Buah-Buahan Tropika IPB seperti Nampak pada Tabel 3.1.
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
35
Tabel 3.1. Jadwal Pemupukan dan Dosis Pemupukan Pada Tanaman Pisang (Suhartanto et al., 2012) No 1 2 3 4
Jenis Pupuk Organik (kg) Urea (g tan-1) TSP (g tan-1) KCl (g tan-1)
Umur Tanaman (Bulan) 1-4 5-8 9-12 12-66 20 150 100 200
150 100 450
150 100 450
150 100 450
3.5.2. Penjarangan Anakan dan pemangkassan Penjarangan bertujuan agar populasi tanaman tetap terjaga pada jumlah 3-4 tanaman pada setiap rumpun. Penjarangan dilakukan dengan mengurangi jumlah anakan dan menjaga jarak tanam agar produksi tidak menurun. Penjarangan dilakukan dengan menyisakan satu tanaman induk (utama) dan dua tanaman anakan, sehingga dalam satu rumpun hanya terdapat tiga tanaman pisang dengan selisi umur rata-rata 3-4 bulan. Penjarangan dilakukan secara rutin setiap 6-8 bulan. Pemangkasan bertujuan untuk membuang daun-daun yang kering agar kebun kelihatan bersih dan sisa daun-daun tidak menjadi penyebab penularan penyakit. Pemangkasan daun juga bertujuan agar daun-daun tua tidak menutupi anakan dan melindungi buah dari goresan atau kerusakan daun, terutama untuk buah pisang yang akan dipasarkan ke luar negeri. Pada saat pembungaan daun dijaga dan dipertahankan sebanyak 6-8 daun sehat sehingga perkembangan buah dapat berjalan dengan baik.
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
36
3.5.3. Pemeliharaan Buah Kegiatan pemeliharaan buah yang lazim dilakukan adalah pemotongan
jantung
pisang.
Pemotongan
jantung
pisang
dimaksudkan agar pertumbuhan pada ujung bunga terhenti dan fotosintesis yang dihasilkan dapat digunakan sepenuhnya untuk pembesaran buah pisang. Jantung pisang dipotong pada tangkainya berjarak 25 cm dari sisir buah terakhir. Setelah sisir pisang mengembang sempurna, tandan pisang dibungkus menggunakan kantong plastik bening agar buah tidak terserang hama dan terjaga sampai waktu panen. 3.5.4. Panen. Panen buah pisang dilakukan saat buah mencapai tingkat kematangan.
Buah pisang bersifat klimakterik sehingga proses
pemasakan buah dilakukan setelah buah dipanen pada kondisi matang Prabawati et al. (200). Pisang dapat dipanen 11-14 minggu setelah keluar jantung atau 9-11 minggu setelah sisir pisang terakhir terbuka. Panen juga dilakukan pada sisir pisang kedua dari bawah sudah mencapai diameter minimal 3 cm.
Oleh karena itu perlu
dilakukan pengawasan dan pengontrolan secara berkala terhadap buah agar dapat dilakukan panen tepat waktu. Panen dilakukan dengan cara yang benar dan hati-hati, agar kulit buah pisang tidak rusak atau tergores karena akan mengurangi mutu pisang, apalagi kalau buah pisang tersebut ditujukan untuk pasar luar negeri.
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
37
BAGIAN IV PISANG SEBAGAI TANAMAN SISIPAN 4.1. Pisang Interplanting Pisang umumnya menghendaki cahaya penuh (sun lover) agar dapat tumbuh dan berproduksi secara normal dan optimal. Pada kondisi kekurangan cahaya, pertumbuhan pisang akan terhambat. Oleh sebab itu, akibat keterbatasan lahan, petani umumnya menanam pisang sebagai tanaman pagar, karena lahan yang tersedia sudah ditanami dengan komoditas lain yang dianggap lebih penting dan dianggap sebagai komoditas utama seperti komoditas tanaman perkebunan atau kehutanan. Pengembangan dan perakitan pisang yang toleran naungan terutama tanaman pisang tipe pendek menjadi sangat strategis. Apalagi kalau sumber plasma nutfah pisang toleran naungan ini berasal dari pisang lokal yang telah beradaptasi pada lingkungan marjinal, baik karena kekeringan maupun karena rendahnya tingkat kesuburan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar lahan potensial untuk pengembangan pisang berupa lahan kering, karena berada di daerah
dengan
curah
evapotranspirasi tinggi
hujan
relatif
rendah,
dengan
tingkat
dan kemampuan tanahnya untuk mengikat
(retensi) air juga rendah. Pengembangan pisang yang adaptif terhadap kondisi sub optimal karenanya merupakan alternatif terbaik untuk meningkatkan produksi pisang (Muhidin et al., 2014) Pisang kate toleran naungan dapat ditanam di bawah tegakan tanaman perkebunan atau kehutanan. Maraknya kegiatan penanaman Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
38
kembali hutan-hutan atau lahan kritis dan peremajaan tanaman perkebunan serta revitalisasi peran dan fungsi lahan pekarangan akan memberi peluang besar untuk pengembangan pisang kate. Melalui kegiatan ini akan terjadi keuntungan ganda dalam bentuk penekanan biaya pemeliharaan pada tanaman pokok utama dan terjadinya peningkatan produksi pisang (Sadimantara dan Muhidin, 2009). Penanaman pisang sebagai tanaman pagar juga disebabkan karena tanaman pisang menghendaki tempat terbuka dan tidak ternaungi. Penanaman pisang pada tempat ternaung menurut Muhidin et al. (2014) dapat memperlambat waktu panen lebih dari dua bulan dan dapat menekan produksi.
Oleh karena itu penggunaan klon
pisang kate toleran naungan, akan memiliki potensi dan peluang yang sangat besar bagi petani untuk meningkatkan pendapatan petani. Penanaman pisang
tipe pendek menurut Rubatzky dan Yamaguchi
(1995), makin disukai dibandingkan tipe besar karena kemudahan budidayanya namun tidak berpengaruh buruk terhadap daya produksi (Gambar 4.1)
Gambar 4.1. Habitus Pisang Kate Lokal Asal Sulawesi Tenggara (Muhidin et al., 2014) Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
39
Pengembangan pisang kate dapat dilakukan pada barisan gawangan di antara barisan tanaman perkebunan atau kehutanan yang masih kecil, saat kanopi tanaman belum menutup seluruh areal. Setiap tahun diperkirakan terdapat hampir satu juta hektar lahan diremajakan dengan tanaman perkebunan atau kehutanan. Apabila seperempat saja atau 250.000 ha lahan ini dapat ditanami dengan pisang kate dan dengan tingkat produktivitas sebesar 10 ton ha -1, maka akan terdapat tambahan produksi pisang sebesar 2,5 juta ton pisang per tahun atau hampir separuh dari tingkat produksi pisang nasional. Pada sisi yang lain dengan meningkatnya permintaan akan bahan kayu olahan, untuk industri, perumahan maupun furniture telah meningkatkan kegiatan eksploitasi dan penebangan kayu. Eksploitasi dan penebangan kayu ini harus diimbangi dengan upaya penanaman kembali agar dapat dicapai tingkat produksi yang lestari. Penanaman kayu memerlukan waktu relatif lama mulai dari tanam sampai panen, tergantung asal dan jenis bibit yang digunakan. Pada tanaman jati, apabila digunakan bibit jati lokal, maka paling cepat panen baru dapat dilakukan setelah umur 20 tahun. Apabila menggunakan jati klonal maka umur mulai panen dapat dipersingkat menjadi 10-15 tahun. Selama tanaman jati ini belum dapat dipanen maka perlu perawatan dan pemeliharaan secara intensif. Selama kanopi tanaman jati belum saling menutup, maka di antara gawangannya dapat ditanami pisang kate sebagai tanaman sela. Beberapa keuntungan akan diperoleh antara lain dapat menambah pendapatan yang dapat digunakan untuk mengurangi biaya
pemeliharaan
tanaman
jati,
meningkatkan
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
intensitas 40
pemanfaatan lahan, meningkatkan konservasi tanah dan dapat meningkatkan
persediaan
bahan
pangan
sehingga
mencegah
terjadinya kerawanan pangan. Pisang kate tipe pendek merupakan tipe ideal (ideal type) yang dikehendaki untuk budidaya pada lahan sempit dengan intensitas cahaya terbatas, karena populasinya dapat lebih tinggi dibandingkan dengan tipe pisang normal atau pisang biasa karena kerapatan tanaman atau populasi per satuan luas lebih tinggi. Oleh karena itu pengembangan model pertanian berbasis pisang kate dalam pola agroforestri ini sangat penting dilakukan
karena
lingkungan,
merupakan
menggabungkan
sistem sistem
pertanian pertanian
yang yang
ramah berbasis
ekologi dan berkonsep keberlanjutan hasil pertanian yang tinggi serta dapat menguntungkan secara ekonomi. Penciri pertanian ramah lingkungan antara lain adanya (1) pengendalian erosi dan aliran permukaan untuk mitigasi degradasi lahan, (2) bebas dari cemaran polutan yang berasal dari luar usahatani; (3) rendah emisi
gas rumah kaca, dan (4) produk
pertanian bebas residu dan aman konsumsi. Sistem pertanian yang memanfaatkan secara optimal (efisien) karbon yang dikandung oleh produk dan bahan sisa tanaman (by product ) untuk memberikan nilai tambah,
meningkatkan
kesuburan
tanah,
menghemat
dan
mengurangi penggunaan air dan sering juga disebut sebagai sistem pertanian.
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
41
4.2. Pengaruh Naungan 4.2.1. Pengaruh Naungan Terhadap Pertumbuhan Perananan radiasi surya bagi tumbuhan tanaman dapat dibagi dalam dua cara yaitu efek kuantatif dan efek kualitatif. Secara kuantitatif total radiasi diperlukan untuk aktivitas fotosintesis agar diperoleh asimilat semaksimal mungkin, sedangkan secara kualitatif berperan terhadap fotomorfogenesis.
Respon tanaman terhadap
naungan akan bergantung pada jenis tanamannya karena ada tanaman yang senang terhadap radiasi langsung dan ada yang senang pada keadaan terlindung. Radiasi surya yang sampai ke tanaman akan mempengaruhi tanaman dalam tiga hal yaitu (a) mempengaruhi laju pertumbuhan, (b)
mempengaruhi
laju
transpirasi
atau
kehilangan
air
yang
mengakibatkan timbulnya kebutuhan air tanaman, dan (c) pada suatu periode kritis dalam pertumbuhan, tingkat energi yang tinggi dapat menyebabkan pembakaran (Squire, 1993). Kemampuan tanaman untuk beradaptasi terhadap kondisi lingkungan ditentukan sifat genetik tanaman tersebut. Secara genetik tanaman yang tahan terhadap naungan mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan (Mohr dan Schoopfer, 1995).
Smith (1982) mengelompokan tanaman menjadi tiga
golongan yaitu tanaman yang suka cahaya (sun plant), tanaman suka naungan (shade plant) dan tanaman yang tahan terhadap naungan (facultative shade). Ketahanan tanaman terhadap intensitas radiasi rendah dapat melalui mekanisme adaptasi penghindaran (avoidance) dan toleransi (Levitt, 1980). Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
42
Perlakuan naungan menyebabkan perubahan iklim mikro di sekitar tanaman. Radiasi surya yang datang dan radiasi balik dari permukaan daun akan terhalangi sebagian, akibatnya intensitas radiasi yang diterima sedikit lebih rendah dibandingkan dengan di luar naungan (Muhidin et al., 2013). Disamping itu naungan akan mengurangi sirkulasi udara dari dan ke tajuk tanaman, akibatnya kelembaban pada pagi hari lebih rendah daripada siang hari dan kelembaban di bawah naungan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di luar naungan (Seemen, 1979). Proses
fotosintesis
meningkat
dengan
makin
tingginya
intensitas radiasi surya sehingga laju pertumbuhan dan hasil juga semakin tinggi.
Faktor tanaman yang paling berperan terhadap
pemanfaatan radisi surya adalah indeks luas daun (ILD) dalam kaitannya dengan persentase radiasi surya yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Bila indeks luas daun terlalu kecil maka radiasi surya yang terintersepsi sangat sedikit, sebagian besar radiasi yang sampai ke permukaan tanah kemudian dipantulkan, diserap dan dipancarkan sehingga suhu menjadi tinggi. Sebaliknya jika ILD terlalu besar, yang berarti daun saling menaungi, sebagian besar
radiasi surya yang
sampai ke permukaan tanah dapat diserap tanaman. Namun, daundaun yang ternaungi
tidak terjangkau dan akhirnya menjadi
konsumer dan parasit bagi tanaman sehingga laju pertumbuhan tanaman menjadi lambat. Pada ILD yang optimum, semakin tinggi intensitas radiasi surya, maka laju pertumbuhan tanaman semakin meningkat (Las, 1982). Tanaman
yang
tumbuh
pada
kondisi
ternaungi
sering
menunjukkan tanda-tanda etiolasi (Muhidin et al., 2013). Salisbury Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
43
dan Ross (1995) menyatakan bahwa etiolasi dipengaruhi oleh aktivitas fitokrom yang dipengaruhi oleh cahaya. Kejadian etiolasi secara alami terjadi pada tanaman yang berada pada tegakan hutan tropis, atau berada di perairan laut seperti ganggang yang hanya mendapat cahaya rendah kurang dari 100 fc.
Perbedaan
tanggap
terhadap
radiasi surya yang tiba di permukaan tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor genetik.
Bentuk daun dari berbagai genotipe akan
menyebabkan perbedaan penerimaan energi cahaya. Apabila ruang tajuk dibagi ke dalam beberapa bagian, cahaya yang jatuh pada permukaan bawah semakin sedikit jika letak daun dalam bidang vertikal/mendekati permukaan tanah,
akibatnya laju fotosintesis
daun-daun lapisan tajuk bagian bawah akan semakin rendah (Gent, 1995). Naungan akan mengurangi intensitas radiasi surya dan berpengaruh terhadap perubahan suhu udara maksimum, suhu tanah dan kelembaban nisbi. Suhu bukan merupakan energi yang efektif untuk pertumbuhan tanaman,
tetapi dengan cahaya, suhu akan
menentukan kegiatan fisiologis, translokasi dan akumulasi asimilat (Gardner et al., 1991). 4.2.2. Mekanisme Adaptasi Tanaman terhadap Naungan Mekanisme adaptasi terhadap stress lingkungan terdiri dari dua yaitu penghindaran (avoidance) dan toleransi (Levitt, 1972). Pada stress cahaya rendah, mekanisme penghindaran dilakukan dengan
cara
mendapatkan
cahaya
lebih
banyak,
sedangkan
mekanisme toleransi dilakukan dengan cara mendapatkan intensitas
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
44
cahaya rendah dengan efisien.
Kedua mekanisme tersebut dapat
dilakukan dengan perbaikan karakter morfologi dan fisiologi tanaman 4.2.3. Respon Tanaman Terhadap Naungan Naungan menyebabkan penurunan pertumbuhan, akumulasi bahan kering dan produksi. Seperti dilaporkan oleh Las (1982) bahwa naungan 40% pada tanaman padi dapat menurunkan jumlah tunas, bobot kering tanaman,
bobot beras dan bobot gabah.
Pengaruh
naungan tersebut juga terjadi pada tanaman selain padi dan kedelai. Naungan menyebabkan perubahan partisi bahan kering. Pada jenis rumput-rumputan, naungan menyebabkan bahan kering lebih banyak digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan luas daun dan panjang batang, menurunkan bahan kering untuk pertumbuhan akar. Contohnya ialah peningkatan indeks luas daun, nisbah tajuk/akar, penurunan berat jenis daun, ketebalan daun dan berat kering tajuk (Kephart et al., 1972; Allard et al., 1991). Pada jagung kerapatan tanaman sangat mempengaruhi partisi bahan kering antara bagian vegetatif dan reproduktif (Gardner dan Garder,1983; William et al., 1968). Naungan mempengaruhi respirasi gelap, titik jenuh dan titik kompensasi cahaya dan kerapatan stomata
(Marler, 1994), dan
mengurangi sintesis rubisco, enzim yang berfungsi sebagai katalisator dalam fiksasi CO2
(Mae et al., 1983). Navaro et al., (1994 ) dan
Thomas et al. (2001) melaporkan bahwa laju fotosintesis pada tanaman pisang yang ternaungi
hampir separuh lebih rendah
dibandingkan dengan tanaman pisang tanpa
naungan. Hasil
penelitian Israeli et al. (1995) menunjukan bahwa penaungan pada Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
45
tanaman
pisang
dapat
menurunkan
potensi
fotosintesis
dan
memperlambat waktu pembungaan 6-15 hari dibandingkan dengan tanpa naungan. Meskipun demikian pemberian naungan seringkali dikehendaki karena dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air dan memperbaiki kualitas buah serta memperbaiki kondisi iklim mikro di sekitar tanaman (Tanny et al., 2006), 4.2.4. Karakter Morfologi Tanaman Tahan Naungan Penelitian untuk mengetahui karakter morfologi tanaman yang baik untuk cahaya penuh telah banyak dilakukan.
Janning et al.
(1979) menyatakan bahwa karakter morfologi yang baik pada cahaya penuh antara lain (1) batang pendek dan kuat, (2) jumlah anakan yang tinggi dengan susunan menyebar, (3)
batang yang kompak atau tidak
daun tegak yang memungkinkan peningkatan
penetrasi cahaya dan distribusi cahaya lebih baik, (4) daun pendek dan tegak lebih tersebar pada kanopi sehingga penaungan mutualis berkurang dan cahaya dapat digunakan dengan efisien, (5) Senescen yang lambat pada 2-3 daun teratas sehingga fotosintesis aktif dan pengisian biji berlangsung sampai matang penuh, (5) daun bendera tegak dan agak panjang merupakan sumber fotosintat yang baik dan langsung ke malai. Sementara pengetahuan tentang karakter morfologi tanaman yang baik pada intensitas cahaya rendah masih terbatas, demikian juga untuk tanaman pisang. Berdasarkan pola kecepatan asimilasi, daun tegak dan yang linear terhadap perubahan intensitas cahaya dan pola kecepatan asimilasi daun datar yang mencapai maksimum pada intensitas cahaya rendah, dapat diduga bahwa susunan daun Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
46
yang baik untuk cahaya rendah adalah yang memiliki daun atas tegak dan memiliki daun bawah datar (Rosenberg, 1974) seperti yang terdapat pada tanaman pisang lokal tipe pendek.
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
47
BAGIAN V KARAKTERISASI PISANG KATE 5.1. Identifikasi Karakterisasi pisang kate dilakukan berdasarkan plasma nutfah pisang kate yang hasil koleksi dan inventarisasi dari seluruh wilayah di Sulawesi Tenggara. Berdasarkan hasil pengamatan dan evaluasi sifat masing-masing kultivar pisang kate lokal yang berasal dari 8 kabupaten dan kota di Sulawesi Tenggara,
meliputi Kabupaten
Bombana, Konawe Selatan, Buton, Buton Utara,
Muna, Wakatobi,
Kota Kendari dan Kota Bau-Bau, diperoleh sebanyak 56 kultivar pisang kate tipe lokal. Karakterisasi dilakukan untuk mengetahui perbedaan karakter kultivar atau aksesi pisang kate lokal asal Sulawesi Tenggara. 5.2. Karakterisasi. Karakterisasi pisang kate dilakukan berdasarkan karakter morfologi dan agronomi terutama bunga dan buah. Setiap kultivar pisang kate lokal asal Sulawesi Tenggara dideskripsikan berdasarkan metode pengelompokkan kategori dan ciri yang dikembangkan oleh International Board for Plant Genetics Resources (IBPGR) Centre sebagai berikut: 5.2.1. Bagian vegetatif 1. Tinggi batang semu: 3 = pendek (1,8 – 2,0 m); 5 = sedang (2,4 – 2,6 m); 7 = tinggi (3,0 – 3,2 m)
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
48
2. Tumbuhnya anakan terhadap tanaman induk: 3 = terbuka; 5 = sedang; 7 = padat 3. Bercak pada batang semu (adanya daerah hitam atau coklat) 0 = tidak ada; 3 = sedikit; 5 = sedang; 7 = banyak 4. Pigmentasi merah atau ungu pada batang semu dan helaian daun 0 = tidak ada; 3 = sedikit; 5 = sedang; 7 = banyak 5. Adanya lilin pada batang semu dan helaian daun 0 = tidak ada; 3 = sedikit; 5 = sedang; 7 = banyak 6. Bentuk pangkal helaian daun 1 = bentuk baji/pasak; 2 = membulat; 3 = bertelinga 7. Bentuk helaian daun (perbandingan panjang terhadap lebar) 3 = pendek (2,2 – 2,4); 5 = sedang (2,7 – 2,9); 7 = panjang (3,2 – 3,4) 8. Warna getah tanaman; 1 = pucat/putih; 2 = pink 9. Tepi tangkai daun 1 = melebar/membentang: 2 = tegak/lurus; 3 = menggulung Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
49
5.2.2. Karangan bunga dan buah 1. Sudut aksis karangan bunga betina 3 = tegak; 5 = mendatar; 7 = menggantung 2. Adanya rambut pada ibu tangkai bunga 0 = gundul; 3 = berambut halus; dan 7 = berambut kasar 3. Jumlah kelompok buah (sisir) 3 = sedikit (6 – 7 sisir); 5 = sedang (8 – 9 sisir); dan 7 = banyak (10 – 11 sisir) 4. Warna 1 = 2 = 3 = 4
tenda bunga majemuk pada bunga jantan hijau; putih; putih agak kuning sampai orange dan/atau merah muda; dan = yang lain
5. Bentuk kuncup bunga 1 = sempit – lanset; 2 = lanset; dan 3 = bulat telur 6. Ujung kuncup bunga jantan 1 = tumpul; dan 2 = runcing 7. Adanya lilin pada daun pelindung bunga jantan 0 = tidak ada; 3 = sedikit; 5 = sedang; dan 7 = tebal
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
50
8. Susunan bunga jantan 1 = 1 baris; dan 2 = 2 baris 9. Warna 1 = 2 = 3 =
kulit buah yang belum masak hijau; pink; dan yang lain
10. Tekstur kulit buah yang belum masak 1 = gundul/glabrous; 2 = glaucous; dan 3 = berambut 11. Tekstur kulit buah yang masak 1 = gundul/glabrous; 2 = glaucous; dan 3 = berambut 12. Warna kulit buah masak 1 = hijau; 2 = hijau – kuning; 3 = kuning; 4 = orange; dan 5 = yang lain 13. Perekahan buah masak 0 = tidak merekah; dan + = merekah dengan alur memanjang 14. Penyisipan/penempatan pangkal buah 0 = duduk (tidak ada tangkai buah); 3 = bertangkai pendek; dan 7 = bertangkai panjang 15. Bentuk buah (perbandingan panjang termasuk tangkai bunga) 3 = pendek (2 – 3); 5 = sedang (4 – 5); dan 7 = panjang (6 – 7)
dan lebar, tidak
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
51
16. Bentuk penampang melintang buah 1 = membulat rata; 2 = agak bersegi; dan 3 = sangat bersegi (beralur) 17. Ujung 1 = 2 = 3 =
buah tumpul; agak mengkerut (leher botol); dan sangat mengkerut
18. Warna 1 = 2 = 3 = 4 =
daging buah masak seperti susu; kuning; orange – kuning; yang lain
19. Sifat daging buah saat masak 1 = manis dan beraroma; 2 = manis dan asam; 3 = bertepung dan asam; dan 4 = yang lain 20. Susunan bakal biji dalam ruang bakal biji 1 = dua baris; 2 = 2 – 4 baris; 3 = > 4 baris; dan 4 = yang lain 21. Bekas 0 = 3 = 5 = 7 =
daun pelindung pada aksis jantan tidak terdapat kuncup jantan; pendek tidak menonjol sedikit; sedang; dan menonjol
22. Penyirapan kuncup jantan 0 = tidak terdapat kuncup jantan; 1 = menggulung, tidak menyirap; 2 = agak menyirap; dan 3 = sangat menyirap Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
52
23. Ketahanan daun pelindung bunga jantan 0 = mudah gugur (tidak tahan); dan + = tahan, mengering pada aksis jantan 24. Bentuk 0 = 3 = 5 = 7 = 25. Ujung 0 = 3 = 5 = 7 =
daun pelindung bunga jantan tidak ada kuncup jantan; lanset (paling besar < 0,28 panjangnya dari pangkal); sedang (paling lebar 0,28 – 0,30 panjangnya dari pangkal); bulat telur (paling lebar > 0,30 panjangnya dari pangkal)
daun pelindung bunga jantan tidak ada kuncup jantan; runcing; sedang; dan tumpul
26. Aksis jantan 0 = tidak ada; dan + = ada 27. Sudut 0 = 3 = 5 = 7 = 28. Warna 0 = 1 = 2 = 3 = 4 =
aksis karangan bunga jantan tidak ada aksis jantan; tegak; mendatar; dan menggantung luar daun pelindung bunga jantan tidak ada kuncup jantan; hijau – kuning; merah – ungu coklat – perunggu; dan yang lain
29. Warna bagian dalam daun pelindung bunga jantan 0 = tidak ada kuncup jantan; 1 = merah muda/pink pucat atau ungu memudar ke arah pangkal; 3 = merah tua terang sampai ke pangkal; 4 = kuning – perunggu; dan 5 = yang lain Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
53
30. Warna 0 = 1 = 2 = 3 = 4 = 5 =
bunga jantan tidak ada bunga jantan; putih susu; sedikit merah muda; pink kuat/memerah; pucuknya kuning – orange pada tepala majemuk; yang lain
31. Tekstur daun pelindung bunga jantan 1 = tumpul/berombak tumpul; dan 2 = halus dan mengkilat 32. Warna 0 = 1 = 2 = 3 =
kepala putik (dicatat untuk bunga jantan) tidak ada bunga jantan; seperti susu/kuning pucat/pink pucat; orange – kuning kuat; dan yang lain
33. Fertilitas bunga jantan 0 = pollen steril (tak ada bunga jantan); dan + = pollen fertil. Selanjutnya untuk mengklasifikasikan
kultivar pisang kate
berdasarkan komponen dan susunan genomnya maka digunakan kriteria yang dikembangkan oleh Stover dan Simmond (1987) seperti pada Tabel 5.1. Setiap karakter yang diamati diberi skore 1 untuk M. acuminata
dan
5
untuk
M.balbisiana,
sedangkan
sifat
antara/intermediat dari keduanya diberi skor 2, 3, atau 4.
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
54
Tabel 5.1. Kriteria Skoring dan Klasifikasi Pisang Aksesi Pisang (Simmonds dan Shephrds, 1955; Stover dan Simmonds, 1987; Valmayor et al., 2000) No
Karakter
Musa Balbisiana
Ada bercak coklat atau hitam
Terang atau tidak ada bercak Tepinya tertutup/tidak bersayap/menutupi batang semu Glabrous
1
Warna semu
2
Petiolar
3
Peduncle
Tepinya terbuka/ bersayap / tidak menutupi batang semu Seperti rambut
4
Pedicels
Pendek
Panjang
5
Ovule
Dua baris yang teratur
6
Daun pelindung rasio Penggulungan daun pelindung Bentuk daun pelindung Ujung daun pelindung Warna daun pelindung
Tinggi (<0,28)
4 baris yang tidak teratur Rendah (>30) Rendah (>30)
Terlepas dan menggulung ke belakang Lanset– hampir ovale
Terangkat dan menggulung Ovale
Tajam
Tumpul
Luar: merah, ungu, atau kuning Dalam: pink, ungu, atau kuning Pucat – kuning ke arah pangkal
Luar: coklat – ungu Dalam: krem terang
Nampak jelas
Kurang kelas
Mengkerut
Tidak mengkerut
Putih crem
Merah pink
7 8 9 10
11 12 13 14 15
batang
Musa Acuminata
Warna daun pelindung saat layu Bekas daun pelindung Tepal dari bunga jantan Warna bunga jantan Warna stigma
Orange cerah
dan
kuning
tidak
Pucat merata sampai pangkal
Crem, agak kuning, atau agak pink
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
55
Selanjutnya ke 15 skor dari satu kultivar tersebut dijumlahkan dan nilainya digunakan untuk menentukan penggolongan kultivar menurut Silayoi dan Chomchalow (1987) sebagai berikut:
15 25 45 55 65
– – – – –
24 44 54 64 74
bergenotipe bergenotipe bergenotipe bergenotipe bergenotipe
AA sampai AAA, AAB, AAB samapi AB, ABB, dan ABBB.
5.3. Deskripsi Pisang Kate Hasil karakterisasi lapang menunjukkan bahwa sebagian besar tanaman hasil observasi memiliki pola pertumbuhan vegetatif, sifatsifat bunga dan buah yang hampir serupa, meskipun terdapat perbedaan kondisi lingkungan tumbuh. Hasil deskripsi dan evaluasi sifat masing-masing kultivar pisang kate lokal yang berasal dari 8 kabupaten dan kota asal Sulawesi Tenggara, meliputi Kabupaten Bombana, Konawe Selatan, Buton, Buton
Utara, Muna, Wakatobi,
Kota Kendari dan Kota Bau-Bau Nampak pada Tabel 5.2.
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
56
Tabel 5.2.
Deskripsi Karakter Vegetatif Kultivar Pisang Kate Lokal Asal Sulawesi Tenggara (Muhidin et al. 2014).
No
Karakter Vegetataif
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kultivar Pisang Kate Lokal KD
BB
KS
BT
BU
KB
Tinggi Batang Semu
3
3
3
3
3
3
3
3
Tumbuhnya anakan
5
5
5
7
5
7
7
7
Bercak batang semu Pigmentasi batang dan helaian daun
3
0
5
3
3
3
5
5
3
3
3
5
5
3
3
3
Adanya lilin Pangkal daun
3
3
3
5
3
3
3
3
1
1
2
1
1
1
1
1
Bentuk helaian daun
3
3
3
3
3
3
3
3
Warna getah
1
1
1
1
1
1
3
1
2
1
2
2
2
2
2
1
helaian
Tepi Tangkai Daun
MN WK
Ket : KD KS BU MN
Tabel 5.3.
: : : :
Kota Kendari Kabupaten Konawe Selatan Kabupaten Buton Utara Kabupaten Muna
Karakter Sifat Buah
1
Jumlah sisir Warna kulit buah saat masak Warna kulit buah belum masak Tekstur kulit buah yang belum masak Tekstur kulit buah masak
3 4 5
: : : :
Kabupaten Bombana Kabupaten Buton Kota Bau-Bau Kabupaten Wakatobi
Deskripsi Karakter Sifat Buah Kultivar Pisang Kate Lokal Asal Sulawesi Tenggara (Muhidin et al. 2014).
No
2
BB BT KB WK
Kultivar Pisang Kate Lokal KD
BB
KS
BT
BU
KB
3
3
3
3
3
3
5
3
2
2
2
3
2
2
2
2
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
1
2
2
1
2
2
2
2
2
1
1
2
2
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
MN WK
57
6 7 8 9 10 11 12
Perekahan masak Penyisipan buah
buah
0
0
0
0
0
0
0
0
3
3
3
3
3
3
3
3
Bentuk buah Bentuk penampang melintang buah
5
5
5
5
5
5
5
5
1
1
1
2
1
1
1
1
Ujung buah Warna daging buah masak Sifat daging buah masak
1
1
1
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
pangkal
Ket : KD KS BU MN
: : : :
Tabel 5.4. No
1 2 3
4 5 6 7
Kota Kendari Kabupaten Konawe Selatan Kabupaten Buton Utara Kabupaten Muna
BB BT KB WK
: : : :
Kabupaten Bombana Kabupaten Buton Kota Bau-Bau Kabupaten Wakatobi
Deskripsi Karakter Karangan Bungan Kultivar Pisang Kate Lokal Asal Sulawesi Tenggara (Muhidin et al. 2014).
Karakter Karngan Bunga Sudut aksis bunga betina Rambut Ibu tangkai Bunga Warna tenda bunga jantan Bentuk kuncup bunga Ujung kuncup bunga jantan Lilin daun pelindung bunga jantan Susunan bunga jantan Bekas daun pelindung bunga jantan Penyiripan bunga jantan
Kultivar Pisang Kate Lokal KD
BB
KS
BT
BU
KB
7
7
7
7
7
7
7
3
0
3
0
0
0
3
3
3
4
2
4
4
4
2
4
4
1
1
1
2
1
2
2
1
2
2
2
2
2
2
2
2
3
5
3
6
3
3
3
5
1
1
1
1
1
1
1
1
7
5
7
7
7
7
5
5
2
1
2
1
1
2
2
2
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
MN WK
58
8 9 10 11 12 13 14 15 16 11 12 13 14 15
16
Ketahanan daun pelindung bunga jantan Bentuk daun pelindung bunga jantan Ujung daun pelindung bunga jantan Sudut aksis bunga jantan Warna luar daun pelindung bunga jantan Warna dalam daun pelindung bunga jantan
2
2
2
2
2
2
1
2
3
3
3
5
3
3
3
3
5
5
5
5
5
5
3
3
7
7
7
7
7
7
7
7
2
2
2
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
1
1
3
4
5
4
4
4
4
4
5
1
2
1
1
1
1
1
2
1
1
1
1
1
1
3
1
7
7
7
7
7
7
7
7
2
2
2
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
1
1
3
Warna bunga jantan Tekstur daun pelindung bunga jantan
4
5
4
4
4
4
4
5
1
2
1
1
1
1
1
2
Warna kepala putik
1
1
1
1
1
1
3
1
Warna bunga jantan Tekstur daun pelindung bunga jantan Warna kepala putik Sudut aksis bunga jantan Warna luar daun pelindung bunga jantan Warna dalam daun pelindung bunga jantan
Ket : KD KS BU MN
: : : :
Kota Kendari Kabupaten Konawe Selatan Kabupaten Buton Utara Kabupaten Muna
BB BT KB WK
: : : :
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
Kabupaten Bombana Kabupaten Buton Kota Bau-Bau Kabupaten Wakatobi
59
Berdasarkan hasil eksplorasi dan karakterisasi pisang kate asal Sulawesi Tenggara, diketahui bahwa tanaman pisang tipe pendek memiliki karakter morfologi yang relatif seragam baik pada karakter vegetatif maupun karakter generatif seperti terlihat pada Tabel 5.5 dan 5.6. Tabel 5.5.
No A.
Deskripsi Karakter Vegetatif dan Sifat Buah Pisang Kate Asal Sulawesi Tenggara (Muhidin, 2010; Muhidin et al. 2014). Karakter Morfologi
Skor
Keterangan
Bagian Vegetatif a. Tinggi batang semu
3
b. c. d. e. f. g.
5 3 3 3 1 3
pendek (1,8 – 2,0 m); sedang; sedikit; sedikit; sedikit bentuk baji/pasak sedang (2,7 – 2,9);
1 2
pucat/putih; tegak/lurus
3 1 2 2 0 3 5
sedikit (6 – 7 sisir); Hijau glaucous glaucous Hijau ke kuningan Tidak merekah Bertangkai pendek Sedang (4-5)
1 1 1 1
tumpul tumpul Seperti susu Manis dan beraroma
Tumbuhnya anakan Bercak batang semu Batang dan helaian daun Adanya lilin Pangkal helaian daun Bentuk helaian daun (perbandingan panjang dan lebar daun) h. Warna getah i. Tepi tangkai daun B.
Sifat Buah a. Jumlah sisir b.Warna kulit buah belum masak c. Tekstur kulit buah belum masak d. Tekstur kulit buah masak e. Warna kulit buah masak f. Perekahan Buah masak g. Penyisipan pangkal buah h. Bentuk buah (perbandingan panjang dan lebar) i. Bentuk penampang melintang buah j. Ujung buah k. Warna daging buah masak l. Sifat daging buah saat masak
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
60
Tabel 5.6. No
Deskripsi Karakter Bunga Pisang Kate Asal Sulawesi Tenggara (Muhidin, 2010; Muhidin et al. 2014). Karakter Morfologi
Karangan Bunga a. Sudut aksis bunga betina b. Rambut ibu tangkai bunga c. Warna tenda bunga majemuk bunga jantan d. Bentuk kuncup bunga e. Ujung kuncup bunga jantan f. Lilin daun pelindung bunga jantan g. Susunan bunga jantan h. Bekas daun pelindung bunga jantan i. Penyiripan bunga jantan j. Ketahanan daun pelindung bunga jantan k. Bentuk daun pelindung bunga jantan
Skor
Keterangan
7 0 4
Menggantung gundul yang lain
1 2 3
sempit – lanset runcing sedikit;
1 7
1 baris menonjol
2 +
l. Ujung daun pelindung bunga jantan m. Sudut aksis bunga jantan n. Warna luar daun pelindung bunga jantan o. Warna dalam daun pelindung bunga jantan p. Warna bunga jantan
5
agak menyirap tahan, mengering pada aksis jantan lanset (paling besar < 0,28 panjangnya dari pangkal); sedang
7 2
menggantung merah – ungu
3
q. Tekstur daun pelindung bunga jantan r. Warna kepala putik
1
merah tua terang sampai ke pangkal pucuknya kuning – orange pada tepala majemuk tumpul/berombak tumpul spt susu/kuning pucat/pink pucat
3
4
1
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
61
5.4. Karakter Vegetatif Pisang Kate Berdasarkan karakter pertumbuhan vegetatif yang terdiri dari 9 karakter meliputi tinggi tanaman, tipe pertumbuhan anakan, bercak dan pigmentasi pada batang semu, lapisan lilin, karakter daun, serta warna getah tanaman
nampak bahwa plasma nutfah pisang kate
lokal Sultra memiliki kekerabatan yang tinggi dengan nilai koefisien kekerabatan > 80% dan berada dalam satu kelompok kecuali plasma nutfah pisang kate yang berasal dari Kabupaten Bombana. Di dalam kelompok besar tersebut, plasma nutfah pisang kate asal Kabupaten Bombana berada di luar kluster (Gambar 5.1) Karakter khas plasma nutfah pisang kate asal Kabupaten Bombana yang membedakan dengan yang lainnya adalah pada karakter warna getah dan tipe tangkai daun. Kemiripan
S im ila r it y 8 2 ,0 1
8 8 ,0 1
9 4 ,0 0
1 0 0 ,0 0 KD
KB
BT
BU
KS
W K
MN
BB
V a r ia b le s
Variabel
Gambar 5.1.
Hasil Pengelompokan Plasma Nutfah Pisang Kate Lokal Asal Sultra Berdasarkan Karekter Pertumbuhan Vegetatif (Muhidin et al., 2014; Muhidin et al., 2015)
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
62
5.5. Karakter Bunga Pisang Kate Berdasarkan karakter pembungaan yang terdiri dari 16 karakter meliputi sifat dan karakter bunga, tipe dan warna bunga, serta tekstur pelindung daun pelindung bunga, nampak bahwa plasma nutfah pisang kate lokal asal Sultra juga memiliki kekerabatan yang tinggi dengan nilai koefisien kekerabatan > 86% dan berada dalam satu kelompok kecuali plasma nutfah pisang kate yang berasal dari Kabupaten Wakatobi seperti nampak pada Gambar 5.2. Kemiripan
S im ila rit y 8 6 ,7 5
9 1 ,1 7
9 5 ,5 8
1 0 0 ,0 0 KD
KS
BU
BT
BB
KB
MN
WK
V a ria b le s
Variabel
Gambar 5.2.
Hasil Pengelompokan Plasma Nutfah Pisang Kate Lokal Asal Sultra Berdasarkan Karakter Sifat-Sifat Bunga Muhidin et al., 2014; Muhidin et al., 2015)
. Plasma nutfah pisang kate asal Kabupaten Wakatobi berada di luar kluster dan berbeda dengan kelompok lainnya terutama pada karakter sudut aksis bunga, ketersediaan lapisan lilin pada bunga dan warna bunga jantan seperti terlihat pada Gambar 5.3.
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
63
Gambar 5.3.
Perbedaan Karakter Bunga Pada Berbagai Kultivar Pisang Kate Lokal Asal Sultra Muhidin et al., 2014; Muhidin et al., 2015)
. Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
64
5.6.. Karakter Buah Pisang Kate Berdasarkan karakter sifat-sifat yang terdiri dari 12 karakter jumlah sisir buah per tandan, warna buah saat belum masak dan saat masak, warna daging buah serta sifat daging buah masak, nampak bahwa plasma nutfah pisang kate asal Sulawesi Tenggara lokal memiliki kekerabatan yang tinggi dengan nilai koefisien kekerabatan > 95% dan berada dalam satu kelompok kecuali plasma nutfah pisang kate yang berasal dari Kabupaten Buton. Karakter khas plasma nutfah pisang kate asal Kabupaten Buton, Bombana yang membedakan dengan yang lainnya adalah pada karakter jumlah sisir buah per tandan dan tekstur buah pada saat belum matang. Kekerabatan antar plasma nutfah pisang kate secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 5.4 dan Gambar 5.5 Kemiripan
Similarity 95,47
96,98
98,49
100,00 KD
WK
BU
KB
BB
KS
MN
BT
Variables
Variabel
Gambar 5.4 Hasil Pengelompokan Plasma Nutfah Pisang Kate Lokal Asal Sultra Berdasarkan Karakter Sifat-Sifat Buah (Muhidin et al., 2014; Muhidin et al., 2015)
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
65
Gambar 5.5.
Perbedaan Karakter Buah Pada Berbagai Kultivar Pisang Kate Lokal Asal Sultra (Muhidin et al., 2014; Muhidin et al., 2015)
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
66
5.7. Total Karakter Berdasarkan total karakter yang meliputi sifat-sifat vegetatif tanaman, bunga dan buah, secara umum nampak bahwa plasma nutfah
pisang kate asal Sulawesi Tenggara memiliki
kekerabatan
yang tinggi dan ditunjukan dengan nilai koefisien kekerabatan > 90% dan berada dalam satu kelompok kecuali plasma nutfah pisang kate yang berasal dari Kabupaten Muna dan Kabupaten Wakatobi. Kekerabatan antar plasna nutfah pisang kate secara keselurahan berdasarkan total karakter dapat dilihat pada Gambar 5.6. Kemiripan Sim ilarity 90,40
93,60
96,80
100,00 KD
BU
KS
BT
KB
BB
MN
WK
Variables
Variabel
Gambar 5.6.
Hasil Pengelompokan Plasma Nutfah Pisang Kate Lokal Asal Sultra Berdasarkan Total Karakter (Muhidin et al., 2014; Muhidin et al., 2015)
. Penampilan morfologi tanaman masih sangat berguna untuk pemuliaan tanaman pisang kate tipe pendek untuk menghasilkan tanaman yang toleran terhadap kondisi naungan. Kekerabatan plasma nutfah pisang kate lokal asal Sulawesi Tenggara cukup tinggi dan Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
67
ditunjukan dengan nilai koefisien kemiripan yang lebih besar dari 80 persen. Dengan demikian plasma nutfah pisang kate asal Sulawesi Tenggara memiliki sifat-sifat yang hampir serupa, meskipun kondisi lingkungan tumbuhnya berbeda-beda.
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
68
BAGIAN VI PENUTUP Pisang merupakan komoditas yang sangat strategis dan memiliki potensi ekonomi yang tinggi untuk dikembangkan secara merata. Kebutuhan pisang dari tahun ke tahun cenderung meningkat, baik di dalam maupun di luar negeri. Peningkatan permintaan pisang di dalam negeri di dorong oleh peningkatan pendapatan dan kesadaran akan banyaknya manfaat dan kegunaan pisang. Selain itu juga meningkatnya industri olahan makanan dengan menggunakan pisang sebagai bahan baku juga meningkat tajam.
Sementara
peningkatan permintaan pasar pisang di luar negeri terjadi akibat makin terdiversifikasinya produk berbahan pisang, juga karena meningkatnya konsumsi pisang sebagai bahan makan pokok terutama di Afrika dan Amerika Latin. utama
pisang
mengurangi
Akibatnya negera-negara produsen pagu
ekspor
karena
peningkatan
permintaan di dalam negeri. Pada sisi lain kegagalan panen akibat kondisi iklim yang tidak menentu dan juga karena faktor keamanan seperti perang mengakibatkan produksi pisang di beberapa negara produsen utama mengalami penurunan. Kondisi ini secara langsung dan tidak langsung sebenarnya merupakan peluang untuk peningkatan produksi pisang, baik untuk kebutuhan dalam negeri mupun luar negeri. Namun peluang ini belum dapat
dimanfaatkan sepenuhnya.
Hal ini
disebabkan makin
terbatasnya lahan yang dapat digunakan untuk penanaman pisang. Selain itu juga karena faktor teknis budidaya yang belum maksimal, Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
69
terbatasnya ketersediaam klon dan kultivar unggul pisang yang dapat beradaptasi pada berbagai kondisi agroklimat, serta terbatasnya permodalan petani dan lemahnya sistem jejaring (networking) yang dimiliki petani. Pada kondisi demikian pengembangan pisang menghadapi berbagai kendala dan permasalahan sehingga perlu dicarikan solusi dan pemecahannya.
Salah satu alternatif yang dapat ditempuh
adalah dengan mengembangkan pisang menggunakan kultivar atau jenis pisang yang selama ini terabaikan yaitu pisang kate. Pengembangan pisang kate sebagai alternatif pengembangan pisang akan memiliki beberapa keuntungan, antara lain (1) pisang kate memiliki cita rasa dan aroma yang mirip dengan pisang ambon, sehingga akseptibilitas konsumen untuk mengkonsumsinya sangat mudah, (2) pisang kate memiliki habitas yang rendah sehingga populasi tanaman per satuan luas dapat lebih banyak dibandingkan dengan pisang lain pada umumnya. Pada satu sisi lain lahan yang tersedia dan benar-benar dapat digunakan untuk pertanaman pisang terbatas, karena lahan yang ada umumnya telah dipergunakan untuk menanam tanaman perkebunan, ladang campuran atau tanaman kehutanan. Sementara pada sisi yang lain terdapat banyak lahan-lahan yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman di bawah tegakan tanaman perkebunan atau kehutanan. Setiap tahun banyak terdapat lahan-lahan perkebunan yang diremajakan, lahan-lahan reboisasi dan lahan pada komoditas perkebunan/kehuatana yang masih muda dan belum menghasilkan. Ketiga kondisi keadaan lahan ini sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk produksi pisang, apalagi pisang kate, selama tersedia kultivar Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
70
atau klon pisang yang berhabitus rendah (kate) dan toleran untuk dikembangkan pada kondisi kekurangan cahaya atau pada intensitas cahay
rendah
karena
ada
naungan
alami
tegakan
tanaman
perkebunan atau kehutanan. Oleh karena itu pengembangan pisang kate sebagai sumber pangan dan energi yang terabaikan, pada pola tumpang sari atau tanaman campuran sangat lah strategis sehingga perlu dilakukan kajian lebih mendalam lagi agar dapat diberdayakan secara lebih maksimal.
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
71
DAFTAR PUSTAKA Abiodun-Solanke, A.O and K.O. Falade. 2010.A Review of the uses and methods of processing banana dan plantain (Musa spp) into storable food products. J. Agris Res and Dev 9 (2) : 85-166 Adeyemi, O. S. and A. T. Oladiji. 2009. Compositional changes in banana (Musa ssp.) fruits during ripening. African Journal of Biotechnology 8 (5) : 858-859. Allard, G., C.J. Nelson, and S.G. Pallardy. 1991. Shade effects on growth of tall fescue: I. Leaf anatomy and dry partitioning. Crop. Sci. 31:163-167. Anhwange, B.A., T.J Ugye and T.D. Nyiaataghe. 2009. Chemical Composition of Musa sepientum (Banana) Peels. EJEAFChe, 8 (6) : 437-442 Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (Balitbangtan). 2008. Teknologi Budidaya Pisang. Balai Penelitian dan pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 33p. Blades, B. L., Dufficy, L., Englberger, L., Daniells, J. W., Coyne, T., Hamill, S., Wills, R. B. H. 2003. Bananas and plantains as a source of provitamin A. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition (12) : 9-9 Davey, MW, Van den Bergh, I, Markham, R, Swennen, R and Keulemans, J. 2009. Genetic variability in Musa fruit provitamin A carotenoids, lutein and mineral micronutrient contents. Food Chemistry 115(3):806-813 De Langhe, E.D., M. Pillay and A. Tenkouano. 2005. Integrating morphological and molecular taxonomy in Musa: the African plantains (Musa spp. AAB group). Pl. Syst. Evol. 255:225236. Deptan, 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Pisang. Departemen Pertanian Republik Indonesia Ekesa, B.N., M. Poulaert., M. W. Davey., J. Kimiywe, I. Van den Bergh, G. Blomme and C. Dhuique-Mayer. 2012. Bioaccessibility Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
72
of provitamin A carotenoids in bananas (Musa spp.) and derived dishes in African countries. Food Chemistry 133: 1471–1477. Ekesa, B.N., J. Kimiywe., M. Davey., C. Dhuique-Mayer., I. Van den Bergh and G. Blomme. 2013a. Contribution of bananas and plantains to the diet and nutrition of Musa-dependent households with preschoolers within Beni and Bukavu territories; Eastern Democratic Republic of Congo. Chapter 24. p. 202-209. In: Banana Systems in the Humid Highlands of Sub-Saharan Africa - Enhancing Resilience and Productivity CABI. Ekesa. B.N., C. Miroir., G. Blomme., I. Van den Bergh I and M.W. Davey. 2013b. Retention of provitamin A carotenoids during post-harvest ripening and processing of three popular Musa cultivars in South-Western Uganda. Acta Horticulturae 986: 319330. Ekesa, B.N., J. Kimiywe, I. Van den Bergh., G. Blomme., C. DhuiqueMayer and M. Davey. 2013c. Content and retention of provitamin A carotenoids following ripening and local processing of four popular Musa cultivars from Eastern Democratic Republic of Congo. Sustainable Agriculture Research 2(2): 60– 75. Ekesa, B.N. 2014. Vitamin A Banana/Plantain- Biofortification. The 2nd Global Conference on Biofortification: Getting Nutritious Foods to People. March 31 to 1 April 2014. Kigali. Rwanda. Englberger L., I. Darnton-Hill, T. Coyne, M. H. Fitzgerald and G. C. Marks. 2003. Carotenoid - rich bananas: A potential food source for alleviating vitamin A deficiency. Food and Nutrition Bulletin 24(4): 303-312. Englberger. L., J. Schierle., W. Aalbersberg., P. Hofmann., J. Humphries and A. Huang. 2006. Carotenoid and vitamin content of Karat and other Micronesian banana cultivars. International Journal of Food Sciences and Nutrition 57(5-6): 399-418. Englberger, L., A. Lorens., M. Pretrick., B. Raynor., J. Currie., A. Corsi., L. Kaufer., R.I. Naik., R. Spegal and H.V. Kuhnlein. 2011. Approaches and lessons learned for promoting dietary improvement in Pohnpei, Micronesia. p224-253. In: Combating micronutrient deficiencies: food-based approaches. CABI, Wallingford, United Kingdom. Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
73
Englberger, L.. 2012. Revisiting the vitamin A fiasco: going local in Micronesia. p.126-133. In: Burlingame, B. and S. Dernini (eds.). Proceedings of Biodiversity and sustainable diets united against hunger, 3–5 November 2010. Sustainable diets and biodiversity: Directions and solutions for policy, research and action. FAO, Rome, Italy. Gardner, W.R and H.R. Gardner. 1983. Principles of water management under drought condition. Agrics. Water. Manag. 7:143-155. Gardner, F.P., R.B. Pearce and R.L. Mitchell. 1991. Physiological Crop Plant. John and Willey Son. New York. Gent, M.P.N. 1995. Canopy light interception, gas exchange and biomass reduced height isolines of winter wheat. Crop. Sci. 35:1636-1640. Hadini, H. 2006. Deskripsi dan Klasifikasi Pisang Lokal Asal Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Agriplus Vol 16 (2) : 149-157 Häkkinen, M. 2013. Reappraisal of sectional taxonomy in Musa (Musaceae). (Taxon) 62:809-813. Israeli, Y. and E. Lahav, 1986. Banana. .ln: S.P. Monselise (Ed), Handbook of fruit set and development. CRC Press, Florida. Israeli, Y., Z. Plaut, and A. Schwartz. 1995. Effect of shade on banana morphology, growth and production. Scientia Horticulturae, Volume 62, Issues 1-2, April 1995, Pages 45-56 Janning, P. R., W.R. Coffman and H. E. Kaufman. Improvement. IRRI. Philipines.
1979.
Rice
Jaya U., 1996. Perkebunan cavendish terbesar dan termodern di Indonesia. Trubus 318 : 4-7 Kementerian Negara Riset Teknologi (Kemennegristek). 2013. Pisang (Musa Sp). Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi Bidang Pendayagunaan dan pemsyarakatan Ilmu dan Teknologi Jakarta. 10p Kementerian Pertanian (Kementan). 2014. Outlook Komoditi Pisang. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. Sekretarian Jenderal. Kementerian pertanian. Jakarta. 74p Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
74
Kementerian Pertanian (Kementan). 2015. Statistika Produksi Hortikultura 2014. Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian Indonesia. Jakarta. 315p Kephart, K.D., D.R. Buxton, and S.E. Taylor. 1972. Growth of C3 and C4 Perennial grasses reduced irradiance. Crop Sci. 32:1033-1038. Kumar, K.P.S., D. Bhowmik., S. Duraivel and, M. Umadevi. 2012. Traditional and Medicinal Uses of Banana. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry 1 (3) : 51-63 Kumar, G.V., K. A. Kumar., G. R. R. Patel and and S. Manjappa . 2013. Determination of vitamin C in some fruits and vegetables in Davanagere city, (Karanataka) – India. Int. J. of Pharm. & Life Sci. (IJPLS) 4 (3) : 2489-2491 Las. I. 1982. Efisiensi Radiasi Surya dan pengaruh Naungan Fisik terhadapPadi Gogo. Tesis Fakultas Pasca Sarjana IPB. Bogor. Levit, J. 1972. Response of plant to enviromental stress. Academic Press. NY. 570p. Levit, J. 1980. Response of plant to environmental stress. Academic Press. NY. 570 p Li, L.-F., M. Häkkinen., Y.-M. Yuan and X.–J. Ge., M et al. 2010. Molecular phylogeny and systematics of the banana family (Musaceae) inferred from multiple nuclear and chloroplast DNA fragments, with a special reference to the genus Musa. Molec. Phylogenet. Evol. 57:1-10. Liu, A-Z., W. J. Kress and D.-Z Li. 2010. 2010. Phylogenetic analyses of the banana family (Musaceae) based on nuclear ribosomal (ITS) and chloroplast (trnL-F) evidence. (Taxon) 59:20-28. Mae, T.A. Makino and K. Ohira. 1983. Change of ribulosa bisphosphate carboxylase synthesized and degraded during the life span of rice (Oriza sativa). Palnt and Cell. Physiol. 26:1079-1086. Marler, T.L. 1994. Developmental Light Level Effect of Growth, Morphology and Leaf Physiology of Young Carambola Trees. Journal American Society of Horticulture Science, 199 (4) :711718. Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
75
Mohr, H and P. Schoopfer. 1995.Plant physiology. Translator Gudrum and David W. Lawlor, Springer-Verlag.NY. 629p. Muhidin. 2010. Seleksi dan karakterisasi Ketahanan Pisang Kate Khas Sulawesi Teggara Terhadap Naungan. AGRIPLUS. ISSN : 0854-0128. Edisi Vol. 19 No. 01 Maret 2010. Muhidin., K. Jusoff, E. Syam’un., Y. Musa., Kaimuddin, Meisanti, G.R. Sadimantara and B. L. Rianda. 2013. The Development of Upland Red Rice under Shade Trees. World Applied Sciences Journal 24 (1): 23-30, 2013 Muhidin. G.R. Sadimantara dan Sitti Leomo. 2014. Uji Potensi Tanaman Pisang Kate (Dwarf Banana Cavendish) Toleran Naungan Pada Sistem Tanam Tumpang Sari. Laporan penelitian Unggulan Perguruan Tinggi Universitas Halu Oleo. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Halu Oleo Kendari. Muhidin, G.R. Sadimantara dan Sitti Leomo. 2015. Pengembangan Pisang Kate (Dwarf Banana Cavendish) Sebagai Bahan Pangan Alternatif. Prosiding Seminar Nasional Swasembada Pangan Indonesia Menuju Swasembada Pangan dalam Tiga Tahun Kedepan Tinjauan Konseptual, Teoritis dan Empiris. ISBN : 978-602-8161-76-3.. Kendari, 9 Maret 2015 Nakasone, H. Y and R.E. Paull. 1998. Tropical Fruits. CAB International, Wallingford, England. 445pp. Navaro, C., C. Teison., F. Cote and J. Ganry. 1994. Effects of light intensity and CO2 concentration on growth of banana plants (Musa AAA, cultivar ‘Petite Naine’) in vitro and subsequent growth following acclimatization. Scientia Horticultura, Vol. 34. Issue 1-2 December 1994. Page 41-54. OECD (2010), “Section 2 - Bananas and plantains (Musa spp.)”, in Safety Assessment of Transgenic Organisms, Volume 4: OECD Consensus Documents, OECD Publishing. http://dx.doi.org/10.1787/9789264096158-6-en Okorie, D.O., C.O. Eleazu and P. Nwosu. 2015. Nutrient and Heavy Metal Composition of Plantain (Musa paradisiaca) and Banana (Musa paradisiaca) Peels. J Nutr Food Sci 5(3) : 1-3 Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
76
Pascua, O.C., M.C. Sabornido, and N.D. Beltran, 1996. Philippine banana cultivar: their morfological and agronomic characters. Davao Eksperimen Station, Philippines. Pereira, L.C. 2009. Provitamin A Carotenoids Content in Musa Fruit: Genetic and Ecological Distribution and Rapid Pre-Screening. MSc Thesis, Institut Supérieur d’Agriculture de Lille, France. Prabawati, S. Suyanti dan Dondy A Setyabudi. Penyunting Wisnu Broto. 2008. Teknologi Pascapanen dan Teknik Pengolahan Pisang. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 54p Pushpangadan, P., J. Kaur and J. Sharma. 1989. Plantain Or Edible Banana (Musa X Paradisica Var – Sapiemtum) Some Known Folk Uses In India. Ancient Science of Life 9 (1) :20-24 Ria. A., 1996. 12 Pisang Komersial. Trubus 318: l0-12. Robinson, J.C and V.G. Sauco. 2010. Bananas and Plantain. 2 nd Edition. CAB International Publisher. United Kingdoms. 320p. Rosenberg, N.J.1974. Microclimate; The biological environment. Jhon and Wiley Sons, New York. 315p. Rubatzky, V. E and M. Yamaguchi. 1995. World Vegetables : Principles, production and nutritives value. Van Nostrand Reinhold. NY. Sadimantara dan Muhidin. 2009. Karakterisasi Morfologi Plasma Nutfah Pisang Kate (Dwarf Banana) Lokal Asal Sulawesi Tenggara. AGRIPLUS. ISSN : 0854-0128. Edisi Vol. 17 No. 02 Juni 2009 Salisbury , T.B. and C.W. Ross. Willey Son. NY.
1995. Plant Physiology. Jhon and
Seemen, J. 1979. Green house climate. In J. Seemen, Y.I. Chircov.J.Lamos, B. Primaoult (eds). Agrometeorology. Springer-Verlag. New York. Silayoi, B and Chomchalow. 1987. Cytotaxonomic and Morphological Studies of Thai Banana Cultivar. In Pearsley, G. J. and De Langhe, E.A. Eds., Proc. Banana and Plaintain Bredding Strategies. ACIAR Proc. No. 21 Canbera. Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
77
Simmonds, N.W. and K. Shepherd. 1955. The taxonomy and origins of the cultivated banana. J. Linn. Soc. (Botany) 55:302-312. Smith, H. 1982. Light quality, photo perception and plant strategy. Ann. Rev.Plant. Physiol. 33:481-518. Squire, G. R. 1993. Tropical crop production. Wallingfolr. Nairobi. Kenya.
CAB International
Stover, R.H., and N.W. Simmonds, 1987. Bananas. Third edition. John Wiley and Sons, New York. Suhartanto, M. R., Sobir dan Heri Harti. 2012. Buku Ajar : Teknologi Sehat Budidaya Pisang : Dari benih Sampai Pasca Panen. Penerbit Pusat Kajian Hortikultura Tropik LPPM IPB. Bogor 54p Sunarjono, H., 2002. Budidaya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan. Penerbit. PT. Penebar Swadaya Jakarta. Suyanti dan A. Supriyadi. 2008. Pisang : Budidaya, Pengolahan, Prospek Pasar. Penerbit Penebar Swadaya Jakarta. 132p. Tanny, J., L. Haijun, and S. Cohen. 2006. Airflow characteristics, energy balance and eddy covariance measurements in a banana screenhouse. Agricultural and Forest Meteorology, Volume 139, Issues 1-2, 21 September 2006, Pages 105-118 Thomas D.S and D.W. Turner. 2001. Banana (Musa sp.) leaf gas exchange and chlorophyll fluorescence in response to soil drought, shading and lamina folding. Scientia Horticulturae, Volume 90, Issues 1-2, 29 October 2001, Pages 93-108. Trubus. 2012. Seri Agribisnis : Berkebun Pisang Secara Intensif. Penerbit PT Penebar Swadaya Jakarta. 45p Turner, D. W and and F. E. Rosales (eds). 2003. Banana Root System: towards a better understandingfor its productive management. Proceedings of an international symposium held in San José, Costa Rica, 3-5 November 2003 Tushemerehe. W.K., I. N. Kashaija., W. Tinzaara., C. Nankinga and N. Stephen . 2001. Banana Production Manual: A Guide to Successful Banana Production In Uganda. National Agricultural Research Organisation (NARO). Kampala Uganda. 78p Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
78
United Stated Department of Agriculture (USDA). 2007. Mineral composition of Banana Peels. Departemen Pertanian Amerika Serikat. Washington DC Valmayor R, V., S.H. Jamaluddin, B. Silayoi, S. Kusumo, L.D. Danh., O.C. Pascua and R.R. C. Espino. 2000. Banana Cultivar Names and Synonyms in Southeast Asia. International Network for the Improvement of Banana and Plantain – Asia and the Pacipic Office. Los Banos, Laguna. Phillipines. Venkatesh., V. Krishna., K.K. Girish., K. Pradeepa., S.S.R. Kumar. 2013. Antibacterial Activity of Ethanol Extract of Musa Paradisiaca Cv. Puttabale And Musa Acuminate Cv. Grand Naine Wall, M.M. 2006. Ascorbic acid, vitamin A, and mineral composition of banana (Musa sp.) and papaya (Carica papaya) cultivars grown in Hawaii. Journal of Food Composition and Analysis 19 : 434– 445 Wijayanto, N. 2012. Budidaya Pisang (Musa paradisiaca). Technical Report Jurusan Budidaya Pertanian IPB. Vol 2 : 26-29. William W.A., R.S. Looms, W.G. Duncan, A. Dovrat, and F. Nunes A. 1968. Canopy architecture at various population density and the growth and grain yield of corn. Crop. Sci. 8:303-308.
Muhidin, Tresjia C Rakian, Sitti Leomo, 2015| Pisang Kate
79
978-602-8161-79-4