CLDS
Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof. Jawahir Thontowi, SH, Ph.D Contributed by Administrator Sunday, 25 December 2011 Last Updated Thursday, 10 December 2015
MENUJU ILMU HUKUM BERKEADILAN Bismillahhirrahmanirrahim Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Yang Terhormat, Ketua Pengurus Yayasan Badan Wakaf UII Senat dan Para Guru besar di lingkungan UII Rektor, Wakil Rektor I, II, dan III UII Para Dekan, Wakil Dekan, Ketua Lembaga dan Pusat Studi di Lingkungan UII Segenap Civitas Akademika Universitas Islam Indonesia, Para hadirin dan tamu undangan sipil dan militer yang saya muliakan. Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas Hidayah, Taufiq dan Inayah-Nya, sehingga pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum, di Universitas Islam Indonesia dapat terselenggara. Shalawat dan salam tercurah kepada Baginda Nabi Agung Muhammad SAW, yang diutus ke muka bumi untuk menyempurnakan akhlak mulia. [[1]] Seorang yang berjasa besar dalam membalikan zaman kegelapan masyarakat Arab Jahiliyah, hingga tegaknya kebenaran dan keadilan. Tidak mengherankan, jika Michael Hart menempatkan ketokohan Nabi Muhammad saw, sebagai pribadi yang sangat berpengaruh dalam sejarah kehidupan manusia (Muhammad is the most influental single figure in the human history).[2] Pidato pengukuhan Guru Besar ini, merupakan kristalisasi pengembaraan akademik (academic journey) di bidang ilmu hukum. Sejak 25 tahun lalu diberi amanah untuk mengajar hukum internasional di FH UII, dan sejak tahun 2000-an ikut mengajar Antopologi Hukum dan Sosologi Hukum. Dalam memahami dan mengamalkan hukum tidak lepas dari tiga unsur yaitu hukum substantif (legal substantive) struktur dan proses hukum (legal struktur and procedure), dan budaya hukum (legal culture).[3] Ketiga komponen tersebut secara universal, berlaku dalam hukum internasional, hukum nasional. Hukum hukum lokal (Peraturan Daerah berbasis Adat dan Peraturan Daerah berbasis Syari’at Islam) telah menjadi kecenderungan baru.[4] 1. Dominasi Mahzab Positivisme Awal Ketidak adilan Dalam kehidupan manusia, baik ketika berada dalam masyarakat tanpa Negara (society without state) maupun masyarakat dalam tatanan negara moderen (nation-states) hukum berkeadilan senantiasa menjadi asa yang tidak akan pernah sirna. Keterkaitan antara proses pembuatan hukum oleh kekuasaan legislatif (legislative power), penerapan hukum oleh lembaga eksekutif (executive power) dan proses bagaimana fungsi kekuasaan judikatif (judicial power) membuat putusan yang adil berdasarkan peraturan hukum yang benar. Bukan sekedar kekuasaan untuk melegalkan pencurian atau kekuasaan. Sindiran atas hukum koruptif tersebut, dilecehkan dengan Tiga Kekuasaan melakukan pencurian (Trias Poli-Thieves).[5] One God, One Earth and One Humanity adalah hakikat hukum sebenarnya yang diwujudkan hanya dalam satu Prodi yaitu Ilmu Hukum. Pengelompokan, hukum publik (hukum pidana, hukum tatanegara, hukum internasional, hukum administrasi, dan hukum hak asasi manusia), dan hukum privat (terkait dengan urusan hukum perdata, keluarga, waris, hukum perdagangaan, dan juga hukum perniagaan).[6] Cakupan penerapan hukum, mencakup hukum internasional dan masyarakat hukum suatu Negara (hukum nasional dan hukum lokal) lebih pada penggolongan yang saling berkaitan dalam obyek metode dan juga outcome.[7] Teori Hukum Alam (nature law theory) menekankan pentingnya hukum dan moral, termasuk hukum keagamaan sangat berkaitan terutama ketika bicara persoalan keadilan. Empat abad sebelum Masehi (427 – 347), Plato yang lahir di Yunani mengajarkan ajaran yang sama yang bersumber dari Tuhan telah mendorong internasionalisasi. Tuhan sebagai sumber hukum dan sumber kebenaran yang tulus.[8] Lihat pandangan Thomas Van Aquinas, hukum dan moralitas tersebut bersumber pada ajaran agama. Namun, gagasan ini terpatahkan ketika suatu doktrin keagamaan tidak bersinergis dengan perkembangan sain dan tekonologi moderen. Gagasan sekularisasi agama dengan ilmu pengetahuan identik dengan pemisahan agama dari negara meawali luruhnya jiwa keagamaan dalam ilmu pengetahuan. Hugo De Grotius (10 April 1583 – 28 Agustus 1645), adalah pencetus sekularisasi ilmu pengetahuan, yang kemudian diikuti oleh sekularisasi yang memisahkan agama dari negara.[9] Sejak zaman renaissance, Pemikiran Hukum Alam (Natural Law) mendapatkan perlawanan gencar pemikiran Hukum Positivisme, John Austin[10], Jeremy Bentham[11], dan Hans Kelsen[12] dan pengikutnya. Suatu pemikiran yang sangat berpengaruh hingga kini, yang memandang peraturan dikatakan hukum (law) manakala terdiri dari putusan-putusan, atau perintah-perintah (commands) dan larangan-larangan (restriction) dibuat oleh yang berwewenang (authoritative), dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh aparat berwenang dan memiliki sanksi. Wajah pemikiran positivistik ini, tidak memihak kepentingan masyarakat kecil. Oliver Goldsmith mengatakan, law grinds the the poor, the rich governs the law.[13] Pemikiran hukum positivisme ini juga telah mendapatkan perlawanan dari ahli-ahli hukum pro-socio-legal jurisprudence. Karl Van Verbach dan Von Savigny[14], dengan teori sejarah dan kebudayaannya, dan Eugene Ehrlich dengan teori living law. Mereka berpendapat bahwa hukum tidak dapat berdiri sendiri, terbentuk bukan dari ruangan yang hampa, melainkan dipengaruhi ajaran agama, sejarah, budaya, nilai-nilai sosial yang hidup, ekonomi dan politik. Penentang positivisme lainnya adalah paradigma berpikir studi hukum kritis (critical legal studies) Robert Unger, post-modernisme, paradigma socio-legal, dan hermanetik. Terakhir, yang peduli memahami hukum berkeadilan adalah gerakan hukum klinis (clinical legal studies).[15] Bencana pemisahan agama dengan ilmu pengetahuan dan kenegaraan, berakibat status hukum disejajarkan kedalam rumpun profesi dan ilmu terapan (profession and applied science), yang berbeda dari Ilmu politik, Ilmu pemerintahan, sosiologi, antropologi, psikologi, sebagai kelompok Sosial. Sedangkan art, sejarah, filsafat, bahasa, sastra, dan agama sebagai kelompok rumpun ilmu humaniora.[16] Kondisi penegakan hukum yang tidak menggembirakan tersebut, tidak seluruhnya dapat dipersalahkan kepada aparat penegak, polisi, jaksa dan pengadilan. Tetapi, justru model pendidikan hukum yang hanya mendesain kurikulumnya untuk mendorong Sarjana-Sarjana Hukum yang mahir hanya dengan menggunakan kaca mata kuda, atau hukum identik atau peraturan UU (wet). Sementara mereka mengalahkan hati nurani dan nilai-nilai keadilan atau kepantasan, dan dirudung oleh konflik sosial yang penuh ketimpangan.[17] Karena itu, menjadi sangat mustahil hukum berkeadilan membumi (down to earth) manakala pengajar hukum saat ini hanya menyampaikan konsep keadilan beberapa menit saja didalam perkuliahan.[18] Krisis hukum di https://clds.law.uii.ac.id
Powered by Joomla!
Generated: 7 March, 2017, 08:26
CLDS
tingkat hukum nasional saat ini, adalah juga cerminan ketidakadilan dari krisis yang intimidatif dalam penegakan hukum internasional. Pidato pengukuhan berjudul: MENUJU ILMU HUKUM BERKEADILAN menjadi sangat relevan. Di satu pihak, pidato ini merupakan refleksi subyektif seorang pengajar Ilmu Hukum di UII tercinta ini, sehingga baik aspek pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat, dan da’wah Islam diyakini adanya hubungan pengaruh antara hukum internasional dengan hukum nasional. Dipihak lain, hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional ibarat cermin, yang dapat merefleksikan baik buruknya wajah hukum nasional. Hadirin, Dewan Senat, Guru besar dan Tamu Undangan yang dimuliakan, Hukum berfungsi sebagai pengawasan masyarakat (social control) Talcot Parson, pengendali perubahan masyarakat (law is the tool of social engineering) Roscoe Pound, mencegah dan mengendalikan anggota masyarakat dari perbuatan menimbulkan pelanggaran, kejahatan, menyelesaikan sengketa di dalam dan luar pengadilan (dispute settelement mechanism). Dalam Penelitian penulis (1998) ditemukan hukum berfungsi untuk memelihara dan mempertahankan harga diri pribadi (self-respect) untuk kehormatan kolektif keluarga (collective family honour).[19] Secara lebih luas, fungsi hukum juga dapat digunakan untuk mempertahankan martabat suku dan bangsa-bangsa seperti PBB dan tindakannya selama ini. Dalam disertasi tersebut ditemukan adanya putusan pengadilan sesat atas beberapa orang terpidana yang tidak bersalah. Salah satu sebabnya adalah sistem peradilan pidana KUHP tidak cukup memadai untuk mengungkap kebenaran materiil ditengah-tengah nilainilai dan atau tradisi Siri’ yang memuat adanya kejahatan persekongkolan keluarga. Dipihak lain, sikap masyarakat yang permisif juga dapat mendorong putusan hakim sesat, terkait dengan kasus Sengkon-Karta di Purwakarta dan Lingah dan Pacah. Mereka sama-sama menjadi korban dari putusan pengadilan akibat terpidana tidak menggunakan upaya hukum banding atau kasasi.[20] Putusan peradilan sesat, tidak mudah dikoreksi tersebut mengindikasikan bahwa betapa sulitnya hukum berkeadilan ditegakan. Dalam masyarakat Bugis dan Makasar yang memberlakukan dua sistem hukum, sistem peradilan pidana dan sebagian mengadopsi hukum adat tidak berfungsi efektif dalam mencegah tegaknya penggunaan kekerasan pembunuhan. Adanya kejahatan “persekongkolan keluarga―, untuk saling menutupi kebenaran dengan pengakuan dan keterangan berkesesuian. Memang dipahami jika penegak hukum gagal menegakan hukum berkeadilan ketika dalam proses hukum adalah wilayah di luar ilmu hukum di kampus. Penyimpangan Ilmu hukum berkeadilan sebagaimana temuan penelitian diatas, juga terjadi dalam lingkup hukum internasional yang intimidatif dan hukum nasional yang koruptif. Ilmu hukum berkeadilan adalah musuh supremasi politik. Praktek kejahatan persekongkolan anggota keluarga, suku dan negara dapat dengan mudah menghancurkan supremasi hukum. Ilmu hukum berkeadilan, disatu pihak memiliki misi utama melakukan pengujian pada konsistensi antara kebenaran fakta, logika, dan filsafat hukum. Di pihak lain, ilmu hukum berkeadilan didukung oleh institusi penegak hukum yang tidak menempatkan supremasi politik diatas dari supremasi hukum dengan mengutamakan kesetaraan peluang, dan kepuasan masyarakat secara individual, kolektif, materiil dan spiritual.[21]Praktek kejahatan Persekongkolan (conspiracy crime) adalah suatu perbuatan disengaja, dalam arti sempit dilakukan ‘keluarga’ atau kerabat, dan atau lebih luas suku bangsa, organisasi, Parpol, Negara, dan Persekutuan Negara, dengan maksud agar harga diri atau martabat, dan atau kepentingan bersama, dapat dipertahankan.[22] Kejahatan persekongkolan tersebut bertentangan dengan ajaran agama (Islam). Allah SWT mewajibkan manusia untuk saling tolong menolong dalam kebajikan dan tidak tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.[23] Sama halnya, PBB juga mewajibkan Negara-negara tolong menolong dan saling menghormati dan tidak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa.[24] Namun, cita-cita supremasi hukum tidak mudah terimplementasikan mengingat kejahatan persekongkolan acapkali menjadi tembok penghadang keadilan. 2. Hukum Internasional Intimidatif Dalam memahami karakter intimidatif hukum internasional, sangat penting melakukan pendekatan sejarah. Umat manusia yang berakal disarankan belajar sejarah.[25] Peletak batu pertama sosiologi modern, Ibnu Khaldun (27 Mei 1332/732 H – 19 Maret 1406/808H) menggunakan sejarah dalam memahami masyarakat abbasiyah di jazirah Arab dan Afrika.[26] Hukum ibarat dua sisi dalam satu mata uang sebagai cikal bakal hukum (the origin of law). Perang tanding, public fighting adalah model awal bagaimana penyelesaian sengketa secara adil diperoleh. Kisah Qobil dan Habil, adalah wujud penyelesaian konflik[27]. Raja Hammurabi di Babilonia[28], menempatkan “Hukum pembalasan― (lex retalionist), sebagai konstruksi lahirnya sanksi dalam hukum modern. Manusia ibarat serigala yang antara satu dengan lainnya saling menyerang sebagaimana Homo Homini Lupus Thomas Hobbes, merupakan antitesis kesadaran baru,[29] agar masyarakat lebih mencintai dan memilih perdamaian (peacefull settlement). Perjanjian masyarakat atau social contract, merupakan intisari nyata kesadaran manusia untuk hidup bersama mematuhi hukum. Supremasi hukum adalah cita-cita umat manusia, terdiri dari kesepakatankesepakatan yang mengikat mewujud dalam Hukum Dasar (Constitution is the Supremacy Law of the Land) secara konsekuen dan konsisten wajib dipatuhi dan dihormati. Namun, supremasi hukum yang rasional, obyektif, kesetaraan, dan non-diskriminatif tidak sepenuhnya berhasil. Senyawa dasar hukum dan kekerasan atau peperangan digunakan oleh aktor-aktor individu, organisasi Negara-negara yang kuat, kaya, cerdas dan tega hati mempertahankan harga diri dan martabat bangsa. Ada asumsi bahwa Negara-negara yang berdaulat lahir dari hasil peperangan antara kaum penjajah dengan kaum pribumi yang hendak merdeka. Melacak kaitan sejarah sebagai sumber hukum materiel, penggunaan kekerasan dan perang itu sendiri dalam peraturan hukum dan penegakan hukum internasional tidak lepas dari ancaman dan tindakan kekerasan. Charles Darwin, dalam Natural Sellection or the survival of the fittest tak terbantahkan. Fakta sejarah menunjukan validitas kehidupan umat manusia yang berkesinambungan adalah pertarungan yang dimenangkan oleh kelompok terkuat.[30] 2.1. Hukum Versus Peperangan dan Perdamaian Pengaruh perkembangan masyarakat (hukum) internasional tidak luput dari peran Agama-agama Samawi yang membawa mission secret (tugas sucinya) penyebaran kebenaran.[31] Umat manusia melakukan hijrah atau migrasi ke berbagai dunia, apakah karena sebab bencana (perang dan sejenisnya) atau bencana alam diakibatkan oleh konsep Hijrah dan kebebasan memilih (freedom of choice) dalam HAM Barat.[32] Prosentase peperangan di masyarakat pramodern tampak mendominasi jumlah peperangan dan perdamaian. Sebaliknya semakin modern umat manusia, perang dan damai semakin dramatis meningkat meski tidak harus selalu diakhiri oleh perang dunia. Dari catatan selama satu https://clds.law.uii.ac.id
Powered by Joomla!
Generated: 7 March, 2017, 08:26
CLDS
abad (1900-2010), tidak kurang dari 270 Perjanjian Internasional telah disepakati.[33] Sebagaimana halnya, hukum internasional ditegakan sebagian ditegakan dengan kekerasan.[34] Data lapangan menunjukan bahwa, dalam satu abad (1900-2011) telah terjadi sebanyak 149 peperangan, termasuk PD II hingga terakhir data yang diperoleh adalah Invasi AS dan sekutunya ke Afghanistan, Alhamdulillah, PD III tidak tercetus.[35] Tidak salah jika negara-negara yang sama kuat secara militer akan lebih dekat berdamai daripada negara-negara lemah. Menekan timbulnya hukum. Namun, perang dan damai akan dapat menekan timbulnya peperangan dimungkinkan jika umat manusia pandai memanfaatkan sumber daya alam besi, uranium dan senjata untuk pertahanan. Negara-negara yang lalai memanfaatkan biji besi, uranium untuk pertahanan dan keamanan yakinlah mereka akan mudah tertindas. Negara-negara Muslim yang memiliki SDA besi dan uranium terus diintimidasi karena Barat, takut tersaingi.[36] Ketika sejarah dunia berada pada era kegelapan Eropa (the dark age of europe), kejayaan peradaban Islam pada zaman itu luput dari pengakuan sejarah peradaban Barat. Adalah peradaban Islam yang menjadi fasilitator alam pemikiran Yunani di Barat. Hingga kini, kebanyakan Negara-negara Muslim yang memiliki SDA lebih banyak menjadi korban Negara-negara penjajah. Karena sejarah yang dilupakan Barat juga kurang diminati intelektual Muslim.[37] 2.2.Negara-negara Adidaya bersekutu di PBB Para hadirin dan tamu undangan yang saya muliakan, Ketimpangan antara tata tertib dunia dan perdamaian dunia di berbagai belahan dunia saat ini tidak dapat dengan mudah diperbaiki. Hal ini bukan karena kurangnya instrumen hukum kebiasaan dan perjanjian internasional, tetapi karena para pembuat konsep perjanjian internasional hanya mengukur kebutuhan dan keadilan lebih didorong oleh kepentingan antara negara-negara adi-kuasa (Super Power). Piagam Pendirian PBB (Charter of United Nations) 1945, telah menetapkan Dewan Keamanan (Security Council) PBB. Negara-negara pemenang Perang Dunia Kedua (World War II) adalah pembuat dan menjadi penentu nasib PBB. Putusan negara-negara adidaya dengan sekutu-sekutunya (state alliances), menekan negara-negara dunia ketiga anggota PBB untuk mematuhinya meskipun kapasitasnya memang tidak sama. Inkonsistensi hukum internasional juga tampak dalam proses peradilan internasional. Peradilan Ad-Hoc atas kejahahatan Genosida di Nuwremberg tahun 1946 di Austria telah dengan meyakinkan bahwa Nazi Jerman, yang dipimpin oleh Adolf Hitler diputuskan bersalah mereka melakukan pembunuhan besar-besar terhadap kelompok Yahudi. Namun, putusan pengadilan tersebut tidak dieksekusikan karena pimpinan Nazi tidak pernah ditangkap dan dipenjarakan. Sama halnya Peradilan Tokyo (Tokyo Tribunal Ad Hoc) 1948, telah menghukum para serdadu karena terbukti melakukan kejahatan perang (war crime), namun sekali lagi para serdadu yang salah terbebas dari tanggung jawab hukum.[38] Bagaimana nasib Statuta Roma 1998, pendirian Mahkamah Pidana Internasional (MPI)? Saat ini MPI dapat diberlakukan pada negara-negara yang melakukan kejahatan genosida, kejahatan perang, kejahatan agresi dan kejahatan atas kemanusiaan. MPI merupakan suatu peradilan yang sangat tergantung kepada adanya sikap untuk meratifikasi, juga bisa saja kebijakan suatu Negara dapat menutup penyelenggaraan keadilan. Namun, Amerika Serikat, China, Israel, dapat bersekongkol untuk menolak MPI mengingat Negara-negara tersebut belum meratifikasi Statuta Roma tersebut. 2.3. Veto, Ancaman dilegalkan Pencantuman Hak veto dalam Piagam PBB[39] bagi pertanda keistimewaan dan sekaligus ketidakadilan permanen. Sebagai pemenang PD II, mereka berhak memiliki veto bagi kelima anggota negara-negara super power mutlak. Satu anggota tetap DK PBB dapat membatalkan kesepakatan dibuat 192 anggota PBB. Hal ini membuktikan diri bahwa struktur organisasi PBB tidak luput dari ketidakadilan. Celakanya, DK PBB, terdiri dari 5 (lima) negara anggota tetap dengan 10 negara-negara anggota tidak tetap, memainkan fungsi dalam penegakan hukum internasional. Sesungguhnya, dengan hak veto ada untung dan juga ruginya. Negara-negara non-sekutu, seperti Uni Soviet (Rusia), China acapkali memihak pada negara-negara yang berkembang, termasuk Muslim.[40] Meski saat ini hak veto kurang relevan dalam era demokrasi, mengingat nilai-nilai kesetaraan dalam hukum tidak boleh ditinggalkan. Karena sifat pemikiran hukum positivistik cenderung menguatkan supremasi politik, hak veto yang acapkali disalahgunakan dan menimbulkan ketidak adilan. Perbincangan disekitar perubahan Piagam PBB acapkali mengalami kebuntuan karena Negara-negara Adidaya tidak menghendaki. 2.4. Kekerasan dan Ketidakadilan Struktural Ciri hukum internasional intimidatif dan destruktif, semakin hari menunjukan bukti yang gamblang. Penyelesaian dengan kekerasan (violent settlement) jauh lebih mengemuka daripada cara damai. Tahun 2002, Menghukum Afghanistan dengan kekuatan militer karena diduga menyembunyikan Osama bin Laden. Praktek main hakim sendiri (eigenrichting) acapkali digunakan DK PBB dengan kekuatan militer internasional.[41] Amerika Serikat dan Inggris melakukan agresi militer ke Irak. Saddam Hussein diduga memiliki senjata pemusnah massal dan sebagai negara pendukung teroris. Resolusi DK PBB 1441, dengan pertimbangan hukum adanya hak bela diri (anticipate self defence) memberikan pembenaran intervensi kolektif. Negara-negara sekutu berupaya merestorasi kondisi fisik dan psikologis Irak. Tetapi, yang dijumpai masyarakat dan bangsa Irak adalah menjadi negara seribu derita. Kini kondisi Irak tidak terpulihkan, meski negara donor telah membantunya. Sebaliknya, Dewan Keamanan PBB diam tidak bertindak ketika Israel melakukan kejahatan kemanusiaan.[42] Sementara itu, PBB sebagai organisasi penegak hukum internasional tumpul menghadapi Israel. Sebagai negara agresor, dibiarkan tanpa ada sanksi hukum. Penyiksaan dan agresi terhadap rakyat Palestina berbentuk genosida dan massacre di Sabra dan Satilla 1982 dan banyak lagi agresi militer tidak pernah ada upaya untuk membawa ke Mahkamah Peradilan Internasional. Pembiaran PBB terhadap kejahatan Israel adalah wujud kejahatan konspirasi negara-negara sekutu Eropa dan Barat yang menutup rapat lahirnya hukum internasional berkeadilan.[43] Secara kritis Hillary Charlesworth memaparkan bahwa kebijakan Pemerintah dunia perang melawan terorisme bertentangan dengan hukum dan HAM harus ditinggalkan. Keselamatan manusia sebenarnya sangat tergantung pada rasa penghormatan pada HAM.[44] Tak terbantahkan pembunuhan terhadap Osama bin Laden dan Moammar Khadaffi, adalah sebagai tindakan yang berlawanan dengan keadilan. Due process of law yang ditinggalkan inilah, penodaan terhadap citra positif hukum internasional. Pada 2 Mei 2011, NAVI AS melanggar kedaulatan negara memasuki wilayah Abbottabad, Pakistan tanpa izin Pemerintah Pakistan ketika menyerang Osama. Upaya untuk melakukan penangkapan secara hidup mestinya diutamakan, tanpa adanya kesalahan yang dibuktikan. Sebab jaringan terorisme tidak akan pernah akan berhenti, hanya karena negara memamerkan kekuatan dan kekerasan negara. Tentara sekutu NATO https://clds.law.uii.ac.id
Powered by Joomla!
Generated: 7 March, 2017, 08:26
CLDS
membiarkan kelompok sipil masyarakat Libia menembak mati Khadaffi adalah dapat dipersalahkan secara kolektif. Moammar Khadaffi yang telah memohon ampun kepada tim pemburu, tetapi tentara sipil tidak menghiraukan.[45] Pada hukum humaniter, sikap tidak memaafkan tersebut menodai hukum internasional berkeadilan. Anggota keluarga Negaranegara sekutu terhadap Republik Islam Iran adalah bukti praktek kejahatan persekongkolan keluarga negara-negara sekutu di DK PBB. Dari kasus investigasi pemilikan senjata nuklir, hingga penjatuhan sanksi blokade ekonomi, dan pengusiran korps diplomatik Iran, diberbagai negara-negara Eropa bentuk intimidasi terhadap negara ‘pelanggar’. Terkait status Palestina di PBB, AS lah yang pertama mengusulkan Veto Palestina. Penolakan usulan Negara Palestina, sebagai negara anggota penuh PBB telah mengecewakan sebgaian penduduk Muslim.[46] 2.5. Teroris dan Kejahatan Persekongkolan Negara Adidaya Hadirin, Dewan Senat, para Guru besar dan tamu undangan yang mulia, Bilamana kita masih ragu dengan karakter sebagian penegakan hukum yang intimidatif tersebut, kejahatan teroris adalah puncak kejahatan kemanusiaan. Amerika Serikat, China, Rusia, Inggris dan Perancis diposisikan sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB.[47] Isu terorisme internasional yang diawal millenium ketiga ini, pelakunya datang dari negara-negara Muslim telah mampu menyatukan visi masyarakat Barat terhadap kejahatan teroris ini. Sejak 11 September 2001, tragedi kemanusiaan World Trade Center dan Pentagon, tata tertib dunia telah mengalami perubahan. Peta permusuhan dunia sepertinya menjadi segitiga konflik Barat, Islam dan Non-Islam Non-Barat.[48] Masyarakat dunia selama ini tidak pernah sekompak untuk bersatu menghadapi kejahatan yang dimusuhi umat manusia (hostis humani generis)[49] seperti teroris. Konvensi Teroris[50] adalah satu-satunya kesepakatan internasional tercepat. Kurang dari 2 tahun diratifikasi oleh kebanyakan negara-negara anggota PBB. Nasionalisasi Konvensi Teroris yang sangat cepat tersebut tidak luput dari intimidasi AS. Ancaman George W. Bush, berkontribusi besar terhadap negara-negara meratifikasi perjanjian teroris. Ketika itu, pilihanya adalah menjadi pengikut (the followers) bentuk kesetiaan anti teroris, atau menjadi pembangkangan “an enemy― menjadi kawan teroris sebagai pilihan yang diplomatis. Salah satu korban kebijakan politik intimidatif AS adalah Pemerintah Indonesia. Perpu No 1 Tahun 2002, dan UU No 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme disahkan, tak luput infiltrasi negara adikuasa.[51] Fakta menunjukan ketika itu, para penegak hukum, polisi juga hati-hati ketika ingin menangkap teroris mengingat nilai-nilai HAM yang telah menjadi nilai-nilai dalam hukum Indonesia. Sikap masyarakat dan Intelektual Muslim Indonesia terhadap teroris adalah jelas tidak berakar dari tradisi Islam, melainkan import dari negeri-negeri Muslim, Afghanistan yang dulu menjadi laboratorium peperangan antara Soviet dan AS di Afghanistan.[52] Hadirin, Dewan Senat dan Guru besar serta tamu-tamu undangan yang dimuliakan. 3. Karakter Hukum Nasional Koruptif Sebagai refleksi dari sebagian penegakan hukum yang intimidatif, imbasnya sangat jelas ketika hukum nasional Indonesia berkarakter koruptif. Karakter hukum koruptif yang menjauhkan dari keadilan tersebut sekilas dapat ditelusuri. Paling sederhana, perbuatan korupsi tetapi tidak berdosa adalah para pejabat Indonesia dengan mudah dapat mengubah kata atau istilah. Kenalkah bapak ibu, SOETTA ?. Singkatan Ir. Soekarno dan M. Hatta, Presiden RI dan Wakil Presiden RI, yang saat ini diabadikan di bandara internasional Cengkareng. Akronim Soetta, Soekarno-Hatta menjadi kabur makna dan citra positifnya. Kata Curanmor atau pencurian motor menjadi permissif bagi masyarakat, namun kepastian hukum kejahatan pencurian menjadi hilang konteksnya bagi masyarakat yang bukan penegak hukum. Upal, yaitu uang palsu sebagai kejahatan tidak mudah segera diidentifikasi ketika kata tersebut tidak menunjukan makna kejahatan.[53] Penghalusan bahasa dari yang tampak terdengar kasar (coarseness) menjadi lebih halus disebut eupumisme dimungkinkan. Istilah perang atau hukum perang, berubah menjadi hukum humaniter adalah juga fakta.[54] Dalam hukum internasional, penyingkatan bahasa dalam ilmu hukum terkadang ancaman karena dapat menghilangkan kepastian hukumnya. 3.1. Transplantasi Teori Negara Hukum Transplantasi teori hukum yang dijadikan dasar dari negara Indonesia terjadi tanpa ada suatu penilaian akademik yang memadai. Rule of law yang semula dilahirkan oleh Albert Venn Dicey dari rahim sistem hukum common law, diadopsi oleh sistem hukum civil law kontinental positivistik. Konsep rechtstaat (negara hukum) lawan dari negara kekuasaan (machtstaat) yang diadopsi oleh Jerman. Realita historis, rechtstaat yang berjiwa Jerman tersebut nafas dan jiwanya diktator atau autoritarianisme.[55] NAZI Jerman, atas kepemimpinan Adolf Hitler adalah penganut negara hukum yang autoritarian. Tulisan Gottfried Dietze mengkritik negara hukum model Jerman. Bukan saja penggunaan istilah negara hukum yang tidak memiliki kesamaan senyawa dengan nilai-nilai budaya Indonesia, tetapi dapat disintesiskan menjadi ‘negara keluarga’ atau integralistik.[56] Namun, dalam realitasnya the rule of man ternyata lebih kuat alirannya. Untuk itulah, Gottfried Dietze menegaskan agar the rule of law tersebut tidak menyimpang, maka law state seharusnya mengandung makna negara berkeadilan (justice state), bukan saja negara hukum dan hukum negara, tetapi negara yang adil dan hukum berkeadilan.[57] Jimly Asshidiqi mengusung gagasan negara hukum yang demokratis dengan konsep rechstaat di era reformasi. Eksistensi negara hukum Indonesia identik dengan Negara kekuasaan (machstaat) yang mudah disalahgunakan. Pasca-Reformasi politik, sejak amandemen UUD 1945 dilakukan MPR sepuluh tahun lalu (sejak 1999 hingga 2002). Perubahan besar dalam sistem politik dan sistem hukum nasional dalam sistem ketatanegaraan RI, sayangnya tidak berbanding lurus dengan reformasi bidang hukum. Hukum tidak menjadi panglima (supremacy of law) di Negara hukum ini (the rule of law). Arah tentang politik pembangunan hukum nasional tidak terakomodir ke dalam amandemen UUD 1945 menjadi salah satu faktor penyebabnya. Tidak mengherankan jika tumpang tindih muatan materi UU dengan UUD 1945 telah berlangsung. Pasal 28I UUD 1945 NRI, sama persis sebagaimana aturan HAM dalam UU No 28 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia.[58] 3.2.Menguntil dalam Pembuatan UU Lebih utama dikedepankan telah menyandera dari supremasi hukum yang menuntut cara-cara yang jujur, terbuka dan bertanggung jawab. Khususnyta dalam pembentukan peraturan hukum.[59] Pro-kontra tentang tembakau hilang dari UU Kesehatan. Rebeka Ciptaning pernah diinterview terkait hilangnya pasal tembakau tersebut, tetapi jejak selanjutnya tak terlacak. Terakhir ini, ditemukan sdr Adrian, Biro Hukum DPR RI yang diduga ‘menghilangkan Pasal 113 tentang tembakau tersebut.[60] Praktek mafia ―jual beli― pasal dalam proses pembentukan UU, terjadi pada pemilihan Deputy Gubernur 2004, Hatta Yamdhu dan beberapa tokoh Parpol akhirnya terkena hukuman. Sekitar tahun2008, dibuat Perpu BI, yang salah satu prakteknya adalah Pasal 29, menyatakan bahwa Menteri Keuangan dan BI tidak dihukum terkai https://clds.law.uii.ac.id
Powered by Joomla!
Generated: 7 March, 2017, 08:26
CLDS
kebijakannya. Tahun 2011, ada 15 UU yang diprioritaskan, khusus UU OIK, ada kabar burung tentang ‘amplop-amplop berterbangan’. BI diduga terlibat dalam pemasukan uang ke DPR. Namun, tidak ada tindak lanjut. Dalam Pembuatan RUU Investasi Asing, RUU Anti Monopoli, RUU Kepailitan, RUU Pertambangan dan RUU SDA tampaknya tidak luput dari praktek ―titip menitip― Kekuatan asing atau pemilik modal, terkadang mentargetkan pasal-pasal tertentu harus dihapus atau dipertahankan sesuai dengan transaksi ―jual beli pasal― yang telah berlaku. Karakter pembuatan peraturan koruptif dijumpai dalam pekerjaan lembaga legislatif. 3.3. Amandemen dan Pembatalan UU MK RI ? Sikap DPR yang kurang peduli pada nasib rakyat tampil dalam perseteruan antara DPD dengan DPR atas usulan perubahan UU Nomor 5 tahun 1960, tentang Pokok-Pokok Agraria, yang saat ini kurang efektif. Dari kajian akademik UUPA tidak memiliki kemampuan efektif untuk merespon kebutuhan masyarakat dan zaman yang berubah. UUPA tidak berfungsi efektif terhadap keberadaan petani-petani yang tidak lagi memiliki tanah-tanah pertanian. Selain itu, UUPA yang dasar pembentukannya didasarkan pada hukum adat tidak berfungsi efektif. Tanah-tanah adat, seperti tanah ulayat atau tanah tembawang masyarakat hukum adat di berbagai masyarakat persekutuan hukum adat di berbagai daerah telah berpindah kepemilikannya menjadi pemilik perorangan. Terakhir, UUPA juga tidak lagi mampu mengakomodir kebutuhan-kebutuhan tanah untuk Hak Guna Usaha atau Hak Guna Pakai, utamanya tidak memberikan kepastian hukum bagi pengusaha-pengusaha asing (investor).[61] Sayang, DPR belum tersentuh hatinya sehingga UUPA yang tidak lagi responsif untuk kasus tertentu dibiarkan berlaku. Dari sampel 80 UU (1999-2009) yang telah disahkan dijumpai sekitar 18 UU yang tidak mencantumkan Pancasila dalam dasar pertimbangan UU tersebut. UU No 26 Tahun 2002, tentang Peradilan HAM. Tiadanya penyebutan nilai-nilai dasar Pancasila itu berarti hilangnya pedoman yang menjadi ukuran ada tidaknya kebenaran dan keadilan yang mengikat bagi suatu peraturan hukum berbentuk UU.[62] Ketidak pastian rumah hukum Pancasila, dalam Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011, membuktikan Pancasila bukan lagi sebagai sumber dari segala hukum negara (staat fundamental norm). Uji inkonsistensi produk DPR sebanyak 135 UU telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Hakim-hakim MK RI menegaskan bahwa banyaknya uji materiel UU terhadap UUD 1945 menunjukan bahwa UU saat ini melanggar nilai-nilai Pancasila. Keterkaitan antara instrumen hukum, berbentuk UU yang kurang mengartikulasikan kebenaran dan keadilan.[63] 3.4. Presiden Tersandera Persekongkolan Parpol Sebagai pelaksana UUD 1945, Presiden berkewajiban menjalankan supremasi hukum. Mengingat UUD 1945 merupakan hukum tertinggi, maka supremasi politik mestinya tidak mendahului supremasi hukum. Presiden terjebak dalam jeratan politik mitra koalisi tidak terlalu berlebihan, dibuktikan melalui bagi-bagi kekuasaan. Dalam konteks korupsi, Partai Demokrat dimana Presiden SBY sebagai Ketua Dewan Penasehat, ternyata ada oknum pejabat negara diduga terlibat masalah korupsi.[64] Kebijakan Pemerintah Pusat, yang tampak tebang pilih tersebut juga telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakpuasan sebagian besar masyarakat DIY. Hingga kini RUUDIY tidak dapat disahkan. Presiden menghendaki sistem pemilihan Kepala Daerah dipilih langsung sesuai Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, sehingga model penetapan dipandang kurang mengakomodir nilai-nilai demokrasi. Keadaan DIY memiliki jaminan konstitusional berbeda (Pasal 18B ayat (1)). Usulan penetapan Sri Sultan HB X dan Paku Alam bukan tanpa alasan. Keberagaman yang seharusnya tidak hanya membuka ruang dialogis antara Pemerintah Pusat dengan Fraksi-fraksi DPR RI, DPD, dan masyarakat DIY melainkan fungsi efektifitas RUUK DIY jauh lebih memiliki kedekatan kultural dengan masyarakat Yogyakarta.[65] Secara historis, sumber hukum materiil mendukung model pengisian Gubernur Sri Sultan Hamengku Buwono IX, 5 September 1945, dan Piagam Kedudukan Presiden Soekarno, 6 September 1945 telah menjadi dokumen politik; (2). Dalam konteks filosofis dan historis, ijab qabul terdokumentasi ke dalam bilateral agreement, Sri Sultan HB dan Paku Alam mewakili Kepala Nagari Yogyakarta Hadiningrat, dan dipihak lain Belanda, Jepang dan Soekarno-Hatta mewakili negeri masing-masing; (3). Analogi hukum dapat dirujuk sebagai contoh yaitu Vatikan sebagai Tahta Suci (The Holy See) di Roma, diakui masyarakat internasional. Bukan sekedar pusat organisasi keagamaan umat Katolik dunia, tapi juga sebagai subyek hukum internasional. Status subyek hukum internasional, timbul akibat Lateran Treaty disepakati sejak tahun 1929. Meski dipandang telah usang, tetapi masih mengikat masyarakat internasional; (4).Keadilan mencerminkan selain substansi aturan hukum memberikan kepuasan bagi kepentingan banyak (the greatest happines principle), dilakukan dengan benar (doing the right thing), kesetaraan (equality), dan perbuatan bajik (The Common Good).[66] Terkait dengan kedudukan Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Otonomi Khusus Papua tak seorangpun mengungkit adanya pelecehan terhadap nilai-nilai demokrasi. Kestimewaan Aceh dan Papua memiliki keunikan yang tidak dijumpai di tempat Provinsi lain. Keunikan Aceh dalam makna kebhinekaan diwujudkan dalam UU Nomor 18 Tahun 2002, telah dengan jelas mengakui status keistimewaan Pemerintahan Aceh, khususnya dalam bidang kewenangan peradilan (judicial power). Peradilan berbasis syariat (Agama Islam) sesungguhnya bertentangan dengan lima urusan Pemerintah Pusat, sebagai prinsip dari NKRI.[67] Namun, karena masyarakat Aceh secara kultural menghendaki keistimewaan demi dan berdasarkan suatu musyawarah mufakat, sebagaimana dijiwai oleh Sila keempat Pancasila. Penegakan syariat Islam di Tanah Rencong merupakan pengecualian.[68] Status Otonomi Khusus Papua dengan ciri keistimewaan pada lembaga legislatif. UU Nomor 21 Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus Papua telah menerima kehadiran wakil-wakil Majelis Rakyat Papua (MRP) dan utusan perempuan (jender) menjadi anggota DPRD tingkat provinsi, tanpa adanya pemilihan langsung oleh rakyat. Upaya pemerintah pusat untuk mengakomodir aspirasi masyarakat Aceh dan masyarakat Papua ke dalam suatu instrumen hukum berbentuk undang-undang, tidak lahir dari sesuatu yang kosong. Dalam konteks masyarakat Papua, justru ketimpangan ekonomi yang bermuara dari instrumen hukum tidak akomodatif dengan aspirasi daerah.[69] Dalam kacamata politik hukum, kebijakan Presiden terhadap penguatan sifat khusus dan istimewa Aceh dan Papua, membuktikan pentingnya proses politik yang lejitimit bagi supremasi hukum.[70] Tidaklah menafikan bahwa unsur-unsur motif politik hendaknya menjadi bahan pertimbangan bagi lahirnya peraturan hukum yang lejitimit. Motif dan maksud politis untuk mengurangi dan meminimalisir konflik vertikal yang telah lama berlangsung antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, khusus Aceh dengan Papua. Jalan keluar melalui instrumen hukum, tampaknya bukan alternatif akuntabel sehingga sisa-sisa konflik di Aceh dan Papua masih saja menjadi ancaman bagi NKRI jika salah https://clds.law.uii.ac.id
Powered by Joomla!
Generated: 7 March, 2017, 08:26
CLDS
urus.[71] 3.5. KPK Tersandera Kejahatan Persekongkolan Penguasa Kejahatan persekongkolan dalam penegakan hukum korupsi dapat ditengarai dari ada tidaknya pengingkaran atas kebenaran faktual, ilmu hukum dan kebenaran filsafat. Korupsi bukan sekedar kejahatan yang dapat merugikan negara, tetapi lebih merupakan strategi untuk mempertahankan dominasi atas negara serta mengontrol alokasi sumber daya publik.[72] Untuk sekedar sampel, sederet kasus kejahatan korupsi yang sempat diproses oleh Pengadilan Tipikor tidak menutup kemungkinan adanya kejahatan persekongkilan atas dasar kekuasaan dan kepentingan mempertahankan kekuasaan. Sederet kasus, Antasari Azhar (Ketua KPK), Susno Duaji (Kabareskrim Polri), Gayus Tambunan (PNS Pajak), Nazaruddin Zulkarnain (Bendahara Umum Partai Demokrat), 42 Anggota DPR, Nunun Nurbaeti (Istri Wakapolri), Miranda Gultom, Neneng (Isteri Nazaruddin), serta Wa Ode (Anggota PAN Komisi XII DPR) adalah langkah progresif KPK. Namun, aroma kejahatan persekongkolan tersebut sarat muatan politik tak terbantahkan. Di satu pihak, kasus Antasari Azhar dan Susno Duaji tampak lebih ditargetkan sebagai kambing hitam yang dijadikan korban untuk menutupi pelaku kejahatan besar, sebagai aktor intelektualnya. Sikap dan nyali keberanian luar biasa dari kedua terpidana tersebut oleh karena jika dibesarkan dapat menyeret pihak-pihak tertentu. Adapun mereka mudah ditumbangkan dari segi hukum. Pertama, kedua pejabat negara ini bukan malaikat dan hanya manusia biasa yang tidak kebal dari disa dan kesalahan. Kerentanan untuk dijadikan ‘kambing hitam’ cukup tersedia, baik karena alasan hukum pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP) maupun kesetiaan politik. Termasuk Susno Duaji yang tidak luput dari fakta menerima uang ketika Pilkada di Jawa Barat, mengindikasikan kekuasaan politik menyandera dirinya.[73] Di pihak lain, alasan juridis dualis yang digunakan pengadilan cukup membuat putusan yang salah atas mereka sehingga terbuka upaya hukum. Namun, secara budaya, upaya hukum sekalipun Novum tersedia[74], dapat mengubah putusan memulihkan citra dan nasib baik teramat sulit. Boleh jadi, hukum konspiratif terberat adalah karena hukum adat tumpas kelor. Agar nyali kebersamaan untuk melakukan perlawanan untuk membuka aib musuh-musuh besar tidak ada peluang. Sebab, jika ditumpas kelor tidak ada harapan bagi mereka ini untuk mampu menyembunyikan keburukan pemimpinnya (mikul dhuwur mendem jero). Kelompok kedua, Gayus Tambunan (32 tahun) dan Nazaruddin (33 tahun) lebih tampak sebagai aktor yang koruptif dalam keuangan negara, yang tidak luput dari kejahatan persekongkolan.[75] Kesamaan dominan adalah elit-elit muda yang terampil, tetapi mereka ini juga tidak lepas dari tangan-tangan dengan kekuatan yang tidak nampak. Di satu pihak, memang mereka ini merefleksikan elit muda berhati dajjal, keuangan adalah yang maha kuasanya dan selalu siap mengumpulkan upetinya. Di pihak lain, mereka bersedia menjadi tumbal sebagai tanggung jawab hukum untuk menutupi tangan-tangan kekuasaan yang harus disembunyikan. Dugaan persekongkolan terjadi ketika kasus-kasus penegakan kejahatan korupsi tersebut mengungkap kebenaran faktual, ilmu hukum dan filsafat. Secara faktual, KPK awal mulanya hanya memproses Gayus dan Nazaruddin. Padahal peran mereka sebagai PNS maupun sebagai Bendahara Partai mustahil tidak diketahui atasan mereka. Ketua Partai Demokrat (AU) dan pimpinan lainnya (AM) seharusnya menjadi target KPK. Tetapi, hingga kini termasuk AS, terbebas dari bidikan KPK. Sikap demikian, bukan saja dipandang tebang pilih, tetapi tidak mematuhi asas hukum, bahwa kejahatan korupsi umumnya dilakukan secara berjamaah, atau ada perencanaan (SS) dan juga kerjasama jika pelaku langsung yang hanya jadi target, dan pelaku otak dibiarkan, maka KPK sebenarnya telah mengingkari kebenaran teori hukum. Namun, jika pelaku otak dibebaskan dengan maksud kesengajaan, maka sah hukum persekongkolan terjadi dengan harapan mereka berdua mengaku, dan dapat menutup pelaku sebenarnya (to take the shield for somebody else).[76] Kelompok ketiga, kejahatan persekongkolan dalam penegakan korupsi terkait kasus Nunun (yang baru ditangkap). Sejak awal, sikap KPK terhadap Nunun memang agak unik. Keunikan itu, disebabkan KPK tidak menangkap Mantan Deputy BI sebagai penyebab awal terjadinya suapmenyuap. Lebih ironis lagi, Wa Ode sendiri dihadapkan pada adu kekuatan antar anggota-anggota Banggar DPR.[77] Tanpa kewaspadaan yang dini, integritas KPK bisa dipertaruhkan. Namun, Nunun, Wa Ode dan Miranda Gultom adalah manusia biasa dan bukan malaikat. Kesalahan, kekurangan, kelemahan dan lupa bukan hal yang bisa. Namun, akan menjadi luar biasa, jika KPK yang semuanya lelaki itu tidak menetapkan pelaku kejahatan korupsi yang merugikan negara tersebut didekati oleh Anggota Banggar DPR. Memperhatikan proses peradilan korupsi, sejak kasus Antasari Azhar, Susno Duaji, Gayus Tambunan, Nazaruddin, Nunun Nurbaeti, tampaknya tidak luput dari aroma kejahatan persekongkolan. Sederet kasus Antasari Azhar[78], dan kasus lainnya tersebut adalah langkah progresif penegakan hukum kejahatan korupsi oleh KPK. Namun, aroma persekongkolan dalam kepentingan kejahatan korupsi ini tidaklah murni urusan hukum, tetapi sarat muatan politik. Persekongkolan kepentingan politik telah terjadi, baik untuk kepentingan menyelamatkan martabat Negara atau kekuasaan, atau martabat partai politik. Kasus Antasari Azhar (AA) menjadi terdakwa lebih merupakan akibat dari KPK sebagai musuh bersama (common enemy). Rentannya AA sebagai kambing hitam persekongkolan kepentingan dapat dipahami dari dua hal. Pertama, AA sebagai KPK berbahaya karena dapat menimbulkan guncangan kekuasaan jika nyali keberaniannya tidak dipatahkan. Kedua, AA dan SD manusia biasa, bukan malaikat yang tidak terlalu sulit untuk dijadikan kambing hitam. Kegaduhan politik yang mengancam kekuasaan puncak, tampaknya menjadi logis jika hukuman budaya, tradisi tumpas kelor diberlakukan. Kejahatan Persekongkolan dalam penegakan korupsi dapat ditelusuri oleh pengingkaran atas kebenaran fakta, kebenaran ilmu pengetahuan, dan kebenaran filosofis. UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Kejahatan Khusus Korupsi, sebagai instrumen hukum luar biasa secara faktual tidak menunjukan adanya rasa kegentingan (the sense of urgency), perasaan krisis luar biasa (the sense of crisis) dan luar biasa (extra ordinary). Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Penyuapan di UNAC[79] tidak cukup bukti menjiwai UU Korupsi, sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime). Jika UU tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan korupsi sebagai insrumen hukum khusus (lex specialis) atau UU kejahatan yang bersifat luar biasa, tentu saja sanksi hukuman yang ada didalamnya tidak lebih seperti yang diatur oleh KUHP selama 15-20 tahun. Anomali UU adalah mencantumkan ancaman hukuman mati, jika korupsi tersebut dilakukan dalam keadaan bencana, baik bencana alam atau bencana kemanusiaan.[80] Sifat kejahatan korupsi yang luar biasa tersebut didukung oleh UU No 30 Tahun 2002 tentang pendirian KPK. Mengapa perang melawan korupsi memerlukan instrumen hukum abnormal atau luar biasa? Korupsi tidak sekedar kejahatan sistemik dan kejahatan politik yang mengancam mati https://clds.law.uii.ac.id
Powered by Joomla!
Generated: 7 March, 2017, 08:26
CLDS
hidupnya negara, tetapi kejahatan kemanusiaan yang merampok hak-hak ekonomi publik yang berdampak atas hancurnya SDA. Kekuasaan negara yang disebut korup dan kesewenangan kleptokrat. Jika, Korupsi ini diibaratkan Dajjal, makhluk yang hanya beriman kepada keuangan maha kuasa, bukan ketuhanan yang maha esa. penguasan Dajjal inilah yang melahirkan zaman edan ‘nek ora edan ora keduman’, begitulah apa yang pernah disiratkan futurolog Ronggo Warsito.[81] Dari segi asas hukum, abnormal legal situation, situasi yang gila mustahil dapat dikembalikan kepada kondisi normal (normal legal instrument), melainkan harus dilawan dengan hukum yang abnormal, atau extraordinary law. KPK lahir sebagai institusi extra-ordinary function di bumi Indonesia yang dipadang mampu memerangi kejahatan korupsi.[82] Dalam perjalanannya selama hampir 10 tahun ini, KPK telah menjadi obyek common enemy, musuh bersama. Keberadaan KPK yang superbody ini tidak akan mampu keluar dari sandera supremasi politik, manakala tidak melakukan terobosan yang strategis. Rentannya melakukan amandemen UU No 31 Tahun 1999 dan UU No 30 Tahun 2003, dengan harapan substansi dan struktur KPK menjadi lebih kuat, dan tidak mudah disandera kepentingan politik, DPR, Pemerintah dan pemilik modal. Setidaknya terdapat beberapa asas dan peraturan hukum yang secara langsung memperlihatkan inkonsistensi penegakan hukum terhadap PBJP yang antara lain: penyimpangan terhadap asas kesetaraan di depan hukum Pasal 27 UUD 1945 (equality before the law), tebang pilih (discriminative) akibat keberadaan (akibat UU Nomor 31/1999 tentang Tindak Pidana Koruspi, juncto UU Nomor 20/2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU Nomor 30/2002 tentang KPK) dan Peraturan Pemerintah lainnya, Instruksi Presiden RI Nomor 5 Tahun 2004 tentang Pencepatan Pemberantasan Korupsi. Keputusan Presiden Nomor 59 tahun 2004 tentang Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada Pengadilan Negeri. Kedua, kesan tebang pilih akibat adanya keharusan izin Presiden untuk pemeriksaan, penyelidikan dan penyidikan menjadi penghambat. Proses pengeluaran izin oleh Presiden itu juga acapkali menjadi penghambat proses penegakan hukum bagi polisi, jaksa dan KPK dan bahkan penerbitan surat izin sering kali diterbitkan tidak sesuai dengan pasal 36 ayat (2). Karena banyak surat izin yang diterbitkan oleh Presiden melebihi ketentuan 60 hari.[83] Situasi penerbitan surat izin oleh Presiden yang menjadi penghambat proses penegakan hukum tersebut cukup banyak jumlahnya. Tercatat sekitar 147 kepala daerah, baru 82 surat ijinnya telah disetujui dan 38 orang belum diterbitkan, dan sisanya 27 orang tidak memerlukan surat ijin.―Beberapa kasus yang pernah tertunda proses hukumnya misalnya, Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin yang langsung dijadikan tersangka dan ditahan, sementara Gubernur Bengkulu Agusrin Najamuddin dan Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak, Gubernur Bengkulu, mereka yang didukung Partai Demokrat.[84] Ketiga, terpidana dijatuhi vonis satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. "Keputusan majelis hakim atas hukuman para koruptor itu jelas sangat men-ciderai rasa keadilan masyarakat[85]. Selama tahun 2009, dari 199 perkara korupsi dengan 378 orang terdakwa yang diperiksa dan divonis oleh pengadilan di seluruh Indonesia, sebanyak 224 terdakwa (59,26 persen) divonis bebas oleh pengadilan. Hanya 154 terdakwa (40,74 persen) yang akhirnya divonis bersalah. Dari jumlah yang diputuskan bersalah tersebut terdapat berbagai variasi tingkat hukuman yang diterima oleh para pelaku korupsi. Sebanyak 82 terdakwa (21,69 persen) divonis di bawah satu tahun penjara. Sementara itu, vonis di atas 1,1 tahun hingga dua tahun terdapat 23 terdakwa (6,08 persen). Dan, divonis 2,1 tahun hingga lima tahun sebanyak 26 terdakwa (6,88%) serta divonis 5,1 tahun hingga sepuluh tahun sebanyak enam terdakwa (1,59 persen). Keempat, fakta di lapangan menujukkan betapa banyaknya saksi pelapor, utamanya kalangan kepala dinas, sebagai bawahan kepala Daerah menjadi korban terpidana korupsi. Tidak mudahnya barang bukti yang dijadikan landasan penuntutan oleh Polisi dan Jaksa acapkali dijadikan argumen aparat penegak hukum untuk secara cepat bertindak menindakan lanjuti penyelidikan dan penyidikan, serta penuntutan. Peniup angin atau pemberi informasi penting tentang korupsi Whistle Blower dan saksi pelapor sungguh sangat penting namun karena kurangnya perlidungan mereka menjadi tidak memiliki keberanian untuk melaporkan keadaan sebenarnya. Dalam konteks ini memang selain perlu UU Perlindungan Saksi dan Korban dimaksudkan agar setiap orang yang mendengar atau mengalami sendiri suatu perkara pidana korupsi merasa aman dari berbagai ancaman saat ia memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU 13/2006 maka Saksi, Korban, dan Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana ataupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya, namun yang menarik adalah Penjelasan tentang Pelapor dalam UU 13/2006 yang dapat menikmati status “aman― sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 10 ayat (1) tersebut hanya terbatas pada Pelapor yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana. Melalui mimbar ini, KPK sebagai institusi penegak hukum kejahatan korupsi, tetap tegas, berani untuk dan demi keadilan negara, menetapkan Mantan Deputi BI (MG) sebagai terdakwa. Tetapi, ekstra berhati-hati dengan kejahatan persekongkolan oknum Banggar DPR yang hendak menjadikan Wa’Ode sebagai ‘kambing hitam’ atas perannya seba whistle blower kebenaran. 4. Awal Pengembangan Ilmu Hukum Berkeadilan Dari pemaparan tentang ketimpangan pembuatan, penerapan dan penegakan hukum, baik dalam tingkat hukum internasional intimidatif maupun hukum nasional koruptif, kini saya pikir gagasan ilmu hukum berkeadilan menjadi relevan untuk digagas dan dikembangkan di menara gading, Universitas Islam Indonesia dengan visi rahmatan lil ‘alamin. Pertama, hukum berkeadilan harus holistik atau terpadu (integrated) antara nilai-nilai kebenaran (ontologis), kebenaran ilmunya (epistimologis) dan nilai-nilai manfaat (praxis). Mempertimbangkan kembali teori hukum alam (natural law), termasuk pandangan Thomas van Aguinas, hukum suci (lex devine) hukum alam (lex natural), hukum manusia (lex humana) sangat vital. Ilmu hukum berkeadilan memerlukan orientasi paradigma, pencerahan hukum propetik atau juga ilmu hukum berbasis religious science.[86] Kedua, ilmu hukum berkeadilan berkarakter inklusif. Kesediaan pembelajaran ilmu hukum, yang terbuka dengan kehadiran-kehadiran ilmu-ilmu sosial lain diluar disiplin ilmu hukum. Kompleksitas kehidupan masyarakat yang semakin modern, menjadi sangat naif jika ilmu hukum disejajarkan dengan ilmu terapan (apllied science) yang lepas dari moralitas kebenaran dan keadilan. Jika ilmu hukum yang berkeadilan berkarakter inklusif, maka teori negara hukum (rule of law) harus memiliki senyawa baru yaitu demokratis yang religius. Setelah lima abad Hukum Positivisme yang juga sekarang dianut, ibarat pipa kotor yang meracuni air bersih tanpa disadari bahayanya, hukum memangkas kaum https://clds.law.uii.ac.id
Powered by Joomla!
Generated: 7 March, 2017, 08:26
CLDS
miskin dan mengangkat orang kaya. Oliver Goldsmith, the law grinds the poor, the richs govern the law adalah kinerja wajah hukum tanpa dukungan ilmu pengetahuan. Ketiga, hukum berkeadilan berkarakter kesetaraan dalam perbedaan kapasitas. Kesetaraan dalam penerapan hukum mutlak sebagai conditio sine quanon terhadap keadilan. Kesetaraan tidaklah identik dengan sama rata dan sama rasa, tetapi lebih ditentukan oleh adanya kesamaan peluang, kesempatan, dan juga kesamaan derajat kemampuan, dan pertanggung jawaban. Keempat, hukum berkeadilan berkarakter transplantatif. Suatu sistem hukum nasional tidak kebal dari pengaruh luar kedaulatan negara, dalam membuat, menerapkan dan menegakannya. Pencangkokan dalam hukum secara eksekutif dari sistem hukum common law dan continental[87], termasuk dari sumber hukum internasional, hukum adat, hukum agama menjadi satu kesatuan yang singkron dalam sistem hukum nasional, yang menjamin kebenaran dan keadilan.Kelima, hukum berkeadilan berkarakter mengakomodir kondisi hukum khusus (lex specialis). Ketentuan hukum umum diberlakukan sebagai asas legalitas, wujud norma hukum negara tetapi dengan mengakui kekhususan juga negara mengakui dan menghormati hukum masyarakat adat sebagai toleransi keanekaragaman hukum. Untuk meneguhkan komitmen terhadap pencapaian visi, misi dan tujuan UII sebagai Rahmatan Lil’alamien, maka dari lubuk hati paling dalam, menuju ilmu hukum berkeadilan, dimaksudkan sebagai wujud partipasipasi yang dapat mengilhami perkembangan Catur Dharma di UII. Tidak saja untuk Program Studi Ilmu hukum berkeadilan untuk FH UII, melainkan seluruh Program Studi di lingkungan UII, “justice for all― guna mendukung dan memposisikan UII dalam peringkat World Class University. Ku persembahkan karya awal ini untuk ibu almamater UII dan ibu pertiwi NKRI, kini dan di masa mendatang dengan Ilmu Hukum Berkeadilan. 5. Penutup Dalam akhir pidato ini, dari lubuk hati paling dalam, perkenankanlah saya menyampaikan terima kasih dan memohon maaf kepada semua pihak, baik yang secara langsung kami sebutkan dalam acara yang mulia ini, atau kepada sejawat yang tidak langsung kami sebutkan namanya satu-demi satu mengingat keterbatasan ini. Secara pribadi, saya juga memohon maaf sebesar-besarnya kepada rekan-rekan sejawat di FH UII, yang ketika itu tahun 1992an, tidak sepandangan karena sikap dan tekad saya melanjutkan studi pada bidang Antropologi Hukum, di the University of Western Australia, Perth Australia Barat. Secara rohaniah, pro-kontra terhadap diri saya di lingkungan UII ketika itu (1990-an) sungguh telah menjadi pelecut signifikan bagi pengelanaan akademik ini, baik di dalam maupun di luar kampus. Sebagaimana halnya, permohonan maaf ini saya sampaikan kepada rekan-rekan sejawat khusus di FH UII, yang ketika tidak setuju dengan kebijakan yang membolehkan diri saya sebagai anggota Komisi Konstitusi RI di Jakarta (2003-2004), selain menjadi Dekan FH UII (2003-2006). Namun, yakinlan sebijih amal ibadah yang pernah rekan-rekan kontribusikan pada diri saya yang dhaif ini, Allah SWT tak akan luput untuk membalasnya dengan pahala berlimpah ganda. Amien Ya Robbal Alamien. Semoga Allah SWT membuka mata dan hati kita untuk dapat hidup berdampingan secara dengan ukhuwah Islam. Alhamdulillah, Wasyukrulilah,Subhanallahu anugrah Guru Besar diperoleh atas izin Allah Swt Tuhan Yang Maha Agung dan berilah kami petunjuk agar kekuatan intelektual, ini juga dijiwai cahaya Ilahi yang penuh ilmu padi. Semakin tua justru semakin merunduk, atas ridha Allah SWT. Seiring dengan itu, terima kasih tak terhingga, atas kesabaran dan ketabahan bantuan materiel dan doa ikhlasnya, yaitu ayahanda K.H. Awa Nawawi BA, dan Ibunda Hj. Zuhroh, sebagai orang tua kandung yang hingga kini mengiringi kebahagiaan dalam upacara pengukuhan ini. Buaian Ibu Almamater Universitas Islam Indonesia tercinta, baik selama belajar sejak tahun 1976 dapat bekerjasama hingga kini di almamater tercinta ini, tidaklah mungkin keberhasilan diperoleh karena dukungan dan kontribusi, Rektor-rektor UII sepanjang jalan dan kenangan sejarah tertoreh, dalam suka dan duka. Dalam hal ini, terima kasih sedalam-dalamnya kepada Rektor UII saat ini, Prof. Dr. Edy Suandi Hamid M.Ecs yang tanpa henti mengingatkan untuk dapat menyampaikan pidato pengukuhan. “Sebagai orang tua, mestinya menjadi contoh bagi yang muda-muda adalah sentilan dan sentilun pak Rektor pada diri saya, sahabat dan kawan diskusinya. Tak kalah pentingnya, ucapan terima kasih dihaturkan kepada Ketua Umum Pengurus Badan Wakaf UII, Dr Ir. Luthfi Hasan. MS yang dengan khas memanggil JO, sebuah panggilan yang penuh keakraban dan persaudaraan. Dalam konteks, ibu pertiwi, saya juga mengucapkan rasa syukur dan penghargaan yang setinggi-tingginya, kepada Kordinator Perguruan Tinggi Swasta, Wilayah V. DIY dan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Muh Nuh, yang telah menyetujui terbitnya Surat Keputusan sebagai Guru Besar November 2009. Dalam tingkat berikutnya, penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada guru-guru yang telah memberikan asa dan mimpi masa depan lebih baik. Sebagai seorang anak desa, kampung Cibalok, desa Tanjung Jaya, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung, untuk menjadi seorang dengan anugrah Guru Besar, tak mungkin tanpa kepiawaian Bapak Tata, Guru SD, KH. Syarifuddin dan Ajengan Oes Ma’mun (Almarhum), Pak Unang Zainal Abidin ketika belajar dari Madrasah Tsanawiyah di Rongga. Beberapa guruku di PHIN, almarhum Drs. H. Asyhuri Dahlan, ialah yang memberikan spirit yang tak pernah lekang untuk dapat berbahasa asing. Dalam kesempatan apapun, ia sering mengatakan, “seseorang tak akan merasa dirinya imperior kompleks jika mampu berbahasa asing. Tidak menafikan jika kemudian dapat tinggal di negara Kangguru untuk belajar hingga tidak akan pulang jika izajah Ph.D tidak ditangan. Terima kasih, disampaikan kepada almarhum H. Dr. Imam Suhadi dan Ibu, yang tidak saja mereka telah menjadi figur dosen yang rapi dan elegan, tetapi dia sosok tauladan yang perlu ditiru karena dia kembali ke alam fana setelah ia membuktikan diri sebagai Ilmuwan Hukum, lulus Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Hasanudin dan seorang yang memiliki integritas tinggi ketika sebelumnya sebagai politikus dari PPP. Dalam era UII mengembangkan orientasi akademiknya tahun 1984, ucapan penghargaan dan terima kasih dihaturkan kepada almarhum, Prof Dr Ace Partadiredja. Bukan tanpa perlawanan dan politik, beliau teguh dan tak ragu untuk melakukan terobosan penting, untuk mengirimkan dosen-dosennya ke luar negeri, Fillipina, Thailand, Belanda, Inggris, dan Australia. Tak mungkin, ada seorang Rektor mengantarkan dosennya, ke sebuah Universitas karena ketakutan jika lulusan UII tidak dapat diterima di Universitas Luar Negeri. Dialah yang membuka diri saya, untuk tetap studi di Australia Barat. Keberhasilan Studi di Australia Barat, juga tidak luput dari orang-orang yang terpelajar dan mulia hati dan jiwanya. Dalam lingkungan akademik, Prof. Francis Auburn dan Prof. James Donovan adalah Dekan, Faculty of Law, the University of Western Australia yang mengawali kerja akademik di dalam bidang Ilmu Hukum. Kemudian diteruskan pada kajian socio-legal jurisprudence, Assos Prof. John Gordon. MA dan Prof. Gregory Acciaioli. MA, yang telah memberikan kontribusi kritis, https://clds.law.uii.ac.id
Powered by Joomla!
Generated: 7 March, 2017, 08:26
CLDS
tajam dan analitik ketika desertasi Doktor dipersiapkan, di Departement of Anthropology. Meski Promotor dan CoPromotor tidak pernah menyetujui jika Desertasi belum memuaskan, rasa gundah gulana dan ketidakpastian selalu menghantuinya. Meski demikian, para penguji dengan nilai masing-masing telah meloloskan desertasi tersebut adalah karya yang pantas dianugrahkan Ph.D, atau Doktor. Ucapan terimakasih kepada Prof. Herman Slaat, Faculty of Law, Neijmegen University, Neijmegen, Netherlands, Prof. Scaglion. MA, Legal Anthropology, at Faculty of Pitsburg, Pensilvenia, USA, dan kepada Prof. Antony Lucas, ahli Sejarah Sulawesi Selatan, Department History, Flinders University, Adeleide, Australia Utara. Terima kasih pula atas keakrabannya semasa studi di UWA, adalah Prof. John Haba, Drs. Asfar Marzuqi yang saat ini mengabdikan ilmunya di LIPI Jakarta, dan Dr. Mahmud Ghaznawi. Ph.D, dan dr. Cahyono Kaelan. Ph.D (Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin). Bantuan mereka bagi kami, yang ketika itu mengalami kesulitan dalam pembiayaan, uluran mereka adalah Bapak Dede Sujatna dan Ibu Koes Sujatna. Mereka kedua orang tua yang secara akademis dan sosial keagamaan membuka jalan untuk mengembangkan da’wah Islam di Kampus, utamanya di Curtin University, dengan membuka Musholla untuk shalat jamah dan jumatan. Disusul dengan gerakan Mahasiswa Islam Australia, di Murdoch University, dan di The University of Western Australia ikut memperkuat gerakan intelektualitas Muslim di Universitas-Universitas Sekuler. Secara khusus, pada masa-masa berat tersebut, keluarga Cak Asmai (Dr. Asmai Ishak. M.Bus. Ph.D), dan keluarga dik Widjiati. SH, Dina, dan Dani, serta Emi penyelamat kelanjutan studi sehingga bagi kami bukan saja penting menorehkan nama dalam karya ini. Satu konco lama, keluarga mas Muchsin (Drs. Muchsin Muthohar. MBA) dan mbak Zahroh juga sampaikan terima kasih atas uluran bantuan ikhlasnya. Tampaknya, sepuluh tahun terakhir, ucapan terima kasih patut saya haturkan kepada senior-senior yang terhormat. Bapak H. E. Zainal Abidin, Ibu Hj. Muryati Marzuki. SH., SU, kanda Sri Wardah. SH., SU, kang Sujitno, kang Aunurohim (H. Aunurrohim. SH., MH). Khusus, ketika kang Masyhud mengusung penulis menjadi Dekan 2003, dealnya adalah sampe’an harus sekolah S2, rupanya ia setuju, dan akhirnya Magister Notaris hingga kini tak akan lepas dari tangannya. Ya, paling tidak SIM jadi dosen S1 FH UII masih cukup panjang untuk kang Ud. Gempa bumi 2006, membuat kita harus hijrah ke kampus UII terpadu di Besi, Sleman sana, suka dan duka akibat bencana tidak memutuskan mata rantai untuk hidup terus beraktifitas di sana. Pilihan kembali ke kampung Taman Siswa FH UII kembali beraktifitas 2007. Sebelum kembali dari kampus Besi, rekan-rekan sepakat menyiapkan Sekoci, bernama CLDS, Centre for Local Laws Development Studies (Pusat Studi Pengembangan Hukum Lokal), FH UII, yang hingga kini beroperasi dengan kembang kempis. Sebagai dharma bakti, dan pengabdian, saya sampaikan terima banyak atas dukungan dan toleransinya kepada Pak Masyhud Asyhari. SH., M.Not, Dr. Arif Setiawan. SH., MH, Nurjihad. SH., MH, Abdul Jamil. SH., MH, dan Drs. Rochidin. M.Ag, Asisten Peneliti Saru Arifin. SH., LLM (FH Universitas Negeri Semarang), dan Pranoto Iskandar (Direktur IMR Cianjur). Sebagai punggawa CLDS, teramat penting untuk disampaikan ucapan penghargaan terima kasih pada mas Hamdan Budi Setiawan. SH, dikala ada atau tidak ada kegiatan dari kru CLDS. Kehadiran Agung Kurniawan. SH, menambah kantor harus tampil dan kelihatan ada penghuni dan aktifitasnya. Mereka berdua tampaknya akan “naik pangkat― dan jabatan penting meski tak ada sipil efek bagi tunjangan pendapatan. Di satu pihak, mas Hamdan, posisi akan naik selain Sekretaris eksekutif, juga dapat mengatakan sekretaris Professor. Sedangkan mas Agung Kurniawan. SH, sebagai asisten peneliti Professor. Ucapan terima kasih untuk rekan-rekan seangkatan, pak Gendut (Tabroni Machsun. SH., MH), Daeng Rusli (Dr. Rusli Muhammad. SH., MH, Dekan FHUII). Khusus untuk kolega di Departemen Hukum Internasional, mbak Sefri. SH., MH, mbak Dr. Sri Wartini. SH., MH, dan pak Dr. Nandang Sutrisno. LLM., PhD (kini jadi PR I). Dr. Hj. Ni’matul Huda. SH., MH., Direktur Paskasarjana. Khusus, utama dan penting. Biduk nan tua telah jauh mengelana mengarungi bahtera rumah tangga. Dari UII Yogyakarta ke UWA di Australia, dan kembali ke UII dapat terbang ke Jakarta dan kemana-mana, untuk menjadi seminari, dan peneliti, bukan selebriti. Dalam mengarungi perjalanan yang turun naik itu mustahil tanpa cela. Ujian dan godaan acapkali menerpanya, namun berkat wanita shalihah, sang isteri Kasy (panggilan Australianya) menunggu dengan penuh berdoa terhindar dari mara bahaya. Kepangkuannya, kang Tony (panggilan Ausi untuk J. Thontowi) sampaikan terima kasih tak terhingga. Semoga Allah Yang Maha Kuasa melindungi, biduk dan bahtera rumah tangga ini, penuh sakinah, warohmah, dan mawaddah, hingga suatu saat nanti. Bagi Ajib, atau Mujiburrahman telah kutorehkan karya dalam perkataan dalam perbuatan sebagai tauladan kehidupan berumah tangga, sumber ajaran Islam dan Ilmu pengetahuan, agar menjadi pedoman hidup bersama Dian isteri pilihan tercintamu. Meski Bul, panggilan Haidar Buldan anak kedua, berada nan-jauh di sana (studi lanjut di New York University, USA), dalam pidato pengukuhan ini Daddy berdoa untuk kesuksesan-mu, hari ini dan mendatang. Terakhirnya, Aden Muflich Khaitami, anugrah Allah SWT, sebagai anak ketiga dengan nuansa desa Indonesia, buah hati yang memiliki kedekatan dan senyawa sangat komplit. Karakter daddy dan mammy jelas tampak dalam tampilannya. Tetapi juga senyawa intelektual, kata dan perbuatan serta perilaku kombinasi antar mas Ajib dan mas Buldan bersintesis dalam dirimu. Semoga Allah Swt, mengabulkan permohonan Menuju Ilmu Hukum Berkeadilan untuk UII Ibu Almamater tercinta dan Ibu Pertiwi NKRI sebuah negeri yang ke depan harus lebih baik dari hari ini. Amien Ya Robbal Alamien. Billahi Taufiq Walhidayah. Assalammu’alaikum wr. wb [1] Allah mengabadikan akhlak mulia Nabi Muhammad yaitu dalam Al-Qur’an. Al Ahzab : 21 “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.―. [2] Hart, Michael H. The 100 : A Ranking of the Most Influental Persons in History. New York : Carol Publishing Group/Citadel Press; first published in 1978, reprinted with minor revisions 1992. [3] Lihat tulisan Max Webber, Paul Bohannan (1962), dan Lawrence Friedman (1977) dalam Disertasi Jawahir Thontowi. [4] Antropologi hukum lebih menekankan kajian selain pada hubungan antara hukum dengan nilai-nilai budaya, dan norma-norma hukum dalam suatu masyarakat, dan bagaimana masyarakat memilih penyelesaian sengketa didalam dan diluar pengadilan. Saat ini, antropologi hukum juga memasuki ranah lebih luas, oleh karena hak-hak tradisional atau indigeneous people rights yang semula terabaikan oleh hukum nasionalnya. Kini tidak dapat disangkal bahwa konvensi hukum internasional berfungsi dalam menekan Negara-negara untuk mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat. Lihat Rouland Norbert, Legal Anthropology. Athlone Press. 1993. [5] Tulisan yang bernada ‘Sarkastik’ tampak https://clds.law.uii.ac.id
Powered by Joomla!
Generated: 7 March, 2017, 08:26
CLDS
cocok untuk menjelaskan fenomena kekuasaan koruptif. Lihat Budiarto Shambazy dengan mengenalkan istilah Trias Poli Thieves. Kolom Politik – Ekonomi. Kompas. Sabtu, 10 Desember 2011 : 15. [6] Pembagian antara hukum publik dan hukum privat tidak terjadi atau diberlakukan dalam hukum yang berlaku dalam masyarakat tradisional, dan hukum kegamaan. Tidak adanya pengelompokan tersebut mencerminkan bahwa ilmu hukum sifatnya berada dalam satu kesatuan yang jika terdapat pengelompokan harus selalu terintegrasi ke dalam nilai-nilai filosofis dengan kerangka keilmuan yang terpadu. [7] Lihat Peter Cane and Joanne Conaghan (eds), The New Oxford Companion to Law. Oxford: Oxford University Press. Hal : 821. 2008. [8] Plato, The Law. Betty Radiu (ed) diterjemahkan ke Inggris oleh Trevor J. Saunders. Victoria. Australia. Hal : 45. 1982. [9] Perdebatan antara sekularisasi agama dengan Negara terus berlanjut tiada henti, gagasan Nurcholis Madjid pada tahun 1970-an, telah menimbulkan pro-koktra tajam di antara kalangan Muslim moderat dan Mumlim fundamentalisme. Karya Kamal Hasan tergolong pada upaya untuk memposisikan pandangan Nurcholis sebagai gerakan Islam berpengaruh di Indonesia. [10] Tiga dasar teori Austin adalah, the law is command issued by the uncommanded commander—the sovereign; such commands are backed by threats; and a sovereign is one who is habitually obeyed. Lihat : http://en.wikipedia.org/wiki/John_Austin_%28legal_philosopher%29 [11] Pemikiran Jeremy Bentham, it is the greatest happiness of the greatest number that is the measure of right and wrong". Lihat Jeremy Bentham, A Fragment on Government. London. Preface (2nd para). Lihat : http://en.wikipedia.org/wiki/Jeremy_Bentham [12] Pandangan Hans Kelsen, 'legal science' is to be separated from 'legal politics'. Central to the Pure Theory of Law is the notion of a 'basic norm (Grundnorm)' - a hypothetical norm, presupposed by the jurist, from which in a hierarchy all 'lower' norms in a legal system, beginning with constitutional law, are understood to derive their authority or 'bindingness'. Lihat : http://en.wikipedia.org/wiki/Hans_Kelsen [13] Goldsmith, Oliver, The Traveller, 1766. Line 386. [14] Lihat : http://en.wikipedia.org/wiki/Friedrich_Carl_von_Savigny [15] Lihat pengertian Post-modernisme, Socio-legal, dan Hermaneutik: http://id.wikipedia.org/wiki/Postmodernisme ; http://en.wikipedia.org/wiki/Sociology_of_law ; dan http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika [16] Pengelompokan ini diambil dari hasil workshop, oleh Megawati Santoso. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia: Qualification Framework. Kordinator Tim IFQ, Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Drektorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Disampaikan dalam acara Workshop anggota BAN PT, Hotel Acacia 25-26 November 2011. Jakarta. [17] Nilai-nilai kepantasan atau kelayakan yang juga dapat menjadi unsur terciptanya keadilan, para penegak hukum perlu mempertimbangkan nilai barang yang diambil dan digunakan, secara sosial ekonomi barang yang diambil mungkin lebih ekonomis jika digunakan model penyelesaian adat dengan musyawarah. Sehingga secara pendekatan hukum apakah pantas jika pengambil kokoa seharga Rp.12.000, atau kasus Mbah Minah kapas senilai 35.000, atau buah Semangka, senilai Rp 8.000 diproses oleh Kepolisian, Kejaksaan, dan juga Pengadilan, padahal persoalan pelanggaran dan kejahatan lainya lebih besar dan berharga dari itu masih begitu banyak. [18] Dalam kurikulum pembelajaran ilmu hukum, perbincangan tentang keadilan hanya dibahas sekitar pemisahan hukum dalam filsafat hukum. [19] Jawahir Thontowi, Hukum, Kekerasan dan Kearifan Lokal. Yogyakarta. Pustaka Fahima Press. 2007. [20] Hukum salah membuat putusan, juga terjadi dalam kasus Pengadilan Purwakarta. Mereka dibebaskan setelah ada pelaku sebenarnya diketahui hampir sepuluh tahunan, kemudian baru dibebaskan (Majalah GATRA 1995 : 71). Kasus sama dialami oleh Lingah di Kalimantan (Forum Keadilan No 20 Tahun III. 19 Januari 1995). [21] Lihat keadilan dari John Rawls, Theory of Justice. The Belknap Press of Harvard University Press. 1971. [22] Penulis berhutang budi pada pencetus konsep organized vengeance, yang telah mengeksplorasi secara komprehensif hubungan budaya malu dengan timbulnya kejahatan atau pembalasan dendam terorganisir dalam keluarga, yang berpengaruh pada penegakan hukum. Lihat Lincoln Keiser dalam karyanya, Friend by the Day, Enemy by the Night : Organized Vengeance in Kohistany Community. Orlando Holt Rinehard and Winstal Inc. 1991. [23] Al-Quran dalam Surat Al-Maidah dengan tegas memerintahkan manusia untuk saling tolong menolong dalam kebajikan dan melarang tolong menolong dalam dosa dan keingkaran. Nilai-nilai dasar masyarakat Indonesia, dalam Sila kedua ; ‘Keadilan yang beradab’ mengandung nilai gotong-royong, sebagai soko guru dari kehidupan berbangsa dan bernegara. [24] Lihat Piagam PBB 1945 Pasal 1 ayat (2). [25] Lihat Al–Qur’an QS As–Syua’ra, “Sungguh dalam kisah-kisah mereka pelajaran bagi orang-orang yang berakal―. [26] Sejarah suatu disiplin ilmu humanity yang membesar dalam perkembangan taraf hidup secara bertahap, tentang pelajaran siapa aktornya. Karena terjadi dan apa dampaknya. AlQur’an dengan gamblang, menempatkan kesadaran sejarah sebagai pelita yang menerangi jalan berfikir (QS AlQashash) [27] Lihat Al-Qur’an tentang Qobil dan Habil. [28] Coogan, Michael D., A Brief Introduction to the Old Testament, Oxford University Press, 2009 : 424. [29] Islam lebih jauh mengisyaratkan manusia akan perang ketika Allah SWT hendak menciptakan Khalifah di muka bumi, Malaikat bertanya bukankah penciptaan manusia dibumi hanya akan membuat kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi. Juga dalam Surat Al-Isra ‘telah terjadi kerusakan dimuka bumi akibat tangan-tangan manusia’. [30] Charles Darwin, The Origin of Species: with a Special Introduction by Julia Huxley. New York. New American Library. Hal : 83. 1958. [31] Dialog antara seorang Yunani (Athenian) dengan Clenias, dikutip dari karya Plato, The Laws. Betty Radin (ed). Trevor J. Saunders, Victoria. Australia. Penguin Books. 1982 : 45. [32] Baca Montesquieu, The Spirit of Law (1980). Al-Faruqi, The Hijrah as Necessity (1983). Lihat juga Pandangan Marcus Tullius Cicero, dalam J. W. Harts, Legal Phylosophic. Buttwortsh. 1980 : 8. [33] Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_treaties [34] Sebelum zaman kegelapan di Eropa terjadi, yaitu sekitar abad ke-4 lahir ST. Agustine (354 – 430) di Romawi menjadi seorang pendeta yang menulis buku The City of God and His Confession memiliki pandangan bahwa penguasa sebaiknya pendeta telah memicu runtuhnya peradaban Romawi. [35] Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Invasi [36] Lihat Al-Qur’an, QS Al-Hadid : 25. “Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah https://clds.law.uii.ac.id
Powered by Joomla!
Generated: 7 March, 2017, 08:26
CLDS
Maha Kuat lagi Maha Perkasa.― [37] Para aktor sejarah yang tidak terabadikan adalah zaman kejayaan Islam di Jazirah Arab (570 -632), disaat terjadinya masa kegelapan di Eropa, perang Salib, hingga zaman keemasan Eropa lahir. Tidak banyak dicatat, kecuali tiga peristiwa Islamiyah menaklukan Spanyol (711 – 712), Ummayah jatuh oleh Abassiyah, Baghdad ibukota Abassiyah Fatunul II ke Turki (107), Al-Azhar University di masa Bani Fatimiyah (908), filsafat dan pemikir lain Hanayu Ibnu Ishak (808), Al-Razi (925), Saadi’ah (942), Al-Farabi (950), Ibnu Sina (980), Al-Ghazali (1093), dan Ibnu Lusydi (1126). [38] Lihat Anthony Cassese, International Criminal Law. New York. Oxford University Press. 2003 : 329-333. [39] Lihat Pasal 27 Piagam PBB. [40] Coate, Roger. A, The United Nations and Changing World Politics, Second Edition, with Thomas Weiss and David Forsythe. Boulder: Westview Press. 2007 : 213-223. [41] Jawahir Thontowi, Perang Teluk Babak Dua Tanpa Keadilan dalam Islam, Neo Imperialisme dan Terorisme. Yogyakarta. UII Press. 2002 : 179 – 189. [42] Lihat Resolution 1441 (2002) “Recognizing the threat Iraq’s non-compliance with Cou resolutions and proliferation of weapons of mass destruction and long-range missiles poses to international peace and security―. http://www.un.org/Docs/scres/2002/sc2002.htm diakses 6 Desember 2011. [43] Lihat Hassan El-Najjar and Michael Bokerelli, Israeli aggression in the past and present. Interactive Editorial. Al-Jazeerah. 15 Juni 2003. Website : http://www.aljazeerah.info/Editorials/2003%20Editorials/MayAugust%202003/Israeli%20aggression%20in%20the%20past%20and%20present,%20By%20Hassan%20ElNajjar%20and%20Michael%20Bokerelli.htm [44] Lihat Human Rights 2003 : The Year in Review. Melbourne. Monash University. The Castan Center. 2004 : 130. [45] Lihat pendapat Moreno O-Campo, Jaksa atau penuntut utama pada International Criminal Court terhadap kejahatan perang NATO, dalam Damien McElroy, Libya: NATO to be investigated by ICC for war crimes. The Telegraph. London. 2 November 2011. [46] Lihat pernyataan Barrack Obama mengenai penggunaan Hak Veto Amerika Serikat terhadap keinginan Palestina untuk menjadi anggota tetap PBB. http://www.time.com/time/world/article/0,8599,2096499,00.html diakses 6 Desember 2011. [47] Lihat struktur keanggotaan tetap DK PBB dan 10 anggota tidak tetap, http://www.un.org/sc/members.asp diakses 6 Desember 2011. Lihat pula dasar hukum DK PBB, http://en.wikipedia.org/wiki/Chapter_V_of_the_UN_Charter [48] Keraguan atas luluh lantahnya gedung WTC dan Pentagon akibat teroris bom diragukan banyak pihak, dan karena itu diduga ada persekongkolan jahat dalam internal Pemerintah AS. Beberapa penulis antara lain, David Ray Griffin, The 9/11 Commission Report : Omission and Distortion. Kanada. Arris Books. 2005 : 227 – 282. [49] Lihat penjelasannya dalam : http://en.wikipedia.org/wiki/Hostis_humani_generis [50] Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Comprehensive_Convention_on_International_Terrorism. [51] Walter Laqueur, dengan tegas mengatakan “Terrorism was a respons to injustice―. Para teroris umumnya tertekan oleh tindakan yang mengecewakan yang tidak dapat ditoleransi, kemiskinan, putus asa, tahanan politik. Walter Laqueur, Terrorism in twenty-first century. New York – London. The Continum International Publishing. 2003 : 11. Terrorisme muncul sebagai akibat dari ketidak adilan struktural negara-negara Muslim yang tergolong diperlakukan tidak adil oleh hukum internasional. Jawahir Thontowi, “Akar Terorisme― dalam Islam dan Terorisme : Dari Minyak hingga hegemoni Amerika. Yogyakarta. UCY Press. 2003 : 157 – 171. Jawahir Thontowi, Islam, Neo Imperialisme dan Terorisme. Yogyakarta. UII Press. 2002 : 139 – 160. [52] Penulis berterima kasih atas kepercayaan menjadi Pembicara di Castan Center of Human Rights, Monash University Australia. dalam The Islamic Perspective of the War on Terrorism and Current Indonesian Responses dalam Human Rights 2003 : The Year in Review. The Castan Centre for Human Rights Law. Monash University. Australia. 2003 : 77-113. [53] Gluckman, Max, The Judicial Process and Reasonable Men : In Law and Society. Campbell, C.M,. Willes, Paul eds, Martin Robertson. 1979. [54] Sejarah perkembangan hukum humaniter. Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/International_humanitarian_law [55] AV Dicey, An Introduction to the Study of the Law of the Constitution. London : Macmillan, 10th edt. 1959 : 81. [56] Lihat perdebatan negara integralistik, Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik : Sumber, Unsur, dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945. Jakarta. Pustaka Utama Grafiti. 1994. [57] Gottfried Dietze, Two Concept of the Rule of Law. United States of America. Liberty Press. Hal 12. 1973. Cherril Saunders. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Indonesia. 2008. [58] Banyak pihak, termasuk Komisi Konstitusi (2003-2004) berpendapat bahwa amandemen UUD 1945 telah melahirkan hal-hal positif bagi kemajuan sistem ketatanegaraan RI, tetapi juga menimbulkan inkonsistensi di dalamnya oleh karena dalam proses perubahannya tidak memiliki grand design, semacam Naskah Akademik sebagai pedoman yang dalam mengarahkan tercapaianya tujuan dan target dari perubahan itu sendiri. [59] UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana diubah dengan UU No 12 Tahun 2011, dengan jelas proses pembentukan UU lebih terarah dengan mewajibkan adanya Naskah Akademik. Namun, tangan-tangan penguntil tidak terdeteksi oleh sistem pengawasan legislatif. [60] Pemberitaan Metro TV pada 30 November 2011 jam 11.20. [61] Lihat Naskah Akademik tentang Perubahan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Pokok Agraria. Diajukan berkat kerjasama antara DPD RI dengan CLDS FH UII, Yogyakarta, tahun 2008. [62] Lihat Jawahir Thontowi, Mengembalikan Rumah Hukum Pancasila. Disampaikan pada Konggres Pancasila II. Diselenggarakan atas kerjaasama antara Pusat Studi Pancasila UGM dengan Universitas Udayana Denpasar, di Bali. 2010. Lihat pula, Aktualisasi Nilai-Nilai Dasar Pancasila: Upaya Mencegah Disorientasi nilai-nilai Dasar Pancasila dalam Pembentukan Peraturan Hukum. Disampaikan dalam FGD Uji Konsistensi dan Koherensi Nilai-nilai Pancasila. Diselenggarakan oleh PSP UGM. [63] Lihat hasil Penelitian dilakukan oleh Tim Penelitia Pusat Studi Pancasila, UGM, dan hasil FGD UGM, 6 November 2011. [64] Lihat Kompas, Senin 12 Desember 2011. Laporan Tahunan, Koalisi, Korupsi dan Yudhoyono. [65] Supremasi politik atas supremasi hukum tampak ketika Presiden SBY bertahan untuk menyeragamkan praktek demokrasi Pilkada di DIY. Sesungguhnya tidak mudah menandingi argumentasi model Penetapan. [66] Kajian komprehensif tentang keadilan hukum dan filsafat dapat dilihat dalam Michael J. Sandel, What’s The Right Thing To Do. New York, Farrar, Straus and Giraoux, 2007. [67] Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, ditegaskan bahwa lima (5) urusan Pemerintah Pusat adalah pertahanan dan keamanan, hubungan luar negeri, keuangan dan perpajakan, urusan penegakan hukum, dan urusan https://clds.law.uii.ac.id
Powered by Joomla!
Generated: 7 March, 2017, 08:26
CLDS
keagamaan. [68] Terus terang bahwa tidak sedikit UU, sebagai produk legislasi di tingkat nasional tidak menempatkan Pancasila, sebagai sumber dari segala sumber hukum dijadikan dasar pertimbangan dalam Konsideran suatu peraturan perundang-undangan. Lihat tulisan Jawahir Thontowi dan juga Penelitian Pusat Studi Pancasila, UGM kerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI, Oktober 2011. [69] Usmand Hamid, Integrasikan Keadilan di Papua. Kompas, Rabu 23 November 2011. Lihat juga Jajak Pendapat Kompas, Senin 31 Oktober 2011. [70] Lihat Cranston Ross, Legal Foundation of the Welfare State. London: Weidenfeld and Nicolson.1985. dan juga Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia. Jakarta. LP3ES. 1998. [71] Dari dua kasus tersebut, jalan keluar yang dibuat tidak melalui jalan yang sama. Implementasi keistimewaan Pemerintah Provinsi Aceh tidak saja didasarkan kepada UU Nomor 18 Tahun 2001, tetap juga diperkuat dengan MoU Helsinki Agustus 2007 yang difasilitasi oleh Wakil Presiden, Yusuf Kalla dan Menteri Hukum dan HAM RI. Sedangkan proses pembentukan UU Otonomi Khusus Papua, dilakukan lebih intensif melibatkan anggota DPR yang sangat aspiratif. [72] Lihat Danang Widoyoko, Oligarki, Korupsi dan KPK. Harian Seputar Indonesia. Rabu, 7 Desember 2011. [73] Lihat Harian Seputar Indonesia, Polisi dinilai masih tersandera kekuasaan. 7 Desember 2011. [74] Lihat Kompas, Pengajuan PK oleh Penasehat hukum Maqdir Ismail. [75] Lihat Harian Seputar Indonesia, PNS Muda Simpan Uang Miliaran. 7 Desember 2011. [76] Jawahir Thontowi, Hukum Kekerasan dan Kearifan Lokal: Penyelesaian Sengketa di Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Pustaka Fahima. 2007. [77] Dorongan sebagian anggota DPR dan masyarakat kepada Wa Ode untuk membongkar mafia anggaran. Kompas, Rabu 14 Desember 2011: 3. [78] Lihat Jawahir Thontowi, Antasari dalam Pemberantasan Korupsi dalam buku Penegakan Hukum dan Diplomasi Pemerintahan SBY. Yogyakarta: Leutika. 2009. [79] Lihat Ratifikasi UNAC dalam UU No 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003. [80] Lihat Pasal 2 ayat (2) UU No 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. [81] Ronggo Warsito adalah figur yang pertama kali memperkenalkan istilah Zaman Edan dalam Serat Kalatida, sebagai ungkapan kekecewaan kepada pribadi-pribadi yang ‘hobi’ mencari keuntungan pribadi. Sindiran dari karya ramalannya masih relevan hingga zaman modern ini. Lihat : http://id.wikipedia.org/wiki/Rangga_Warsita [82] Lihat Jawahir Thontowi, Superbody KPK dalam Pemberantasan Korupsi dalam buku Penegakan Hukum dan Diplomasi Pemerintahan SBY. Yogyakarta: Leutika. 2009. [83] ICW : Demokrat Lindungi Kepala Daerah Korupsi. 25 Oktober 2010. [84] Pengusutan Kasus Kepala Daerah Tebang Pilih. 27 Oktober 2010. http://www.suarakaryaonline.com/news.html?id=264893 [85] Hukuman Koruptor Terlalu Ringan. http://bataviase.co.id/detailberita10541506.html [86] Belakangan ini FH UII mengembangkan pemikiran hukum propetik, dan FH Universitas Brawijaya mencobanya dari pendekatan Sains Religiousitas. [87] Lihat Jawahir Thontowi, Pengembangan Ilmu Hukum Berbasis Religious Science: Dekonstruksi Filosofis Pemikiran Hukum Positivistik. Makalah disampaikan di sekolah S3 FH Universitas Brawijaya. Malang. 13 Agustus 2011.
https://clds.law.uii.ac.id
Powered by Joomla!
Generated: 7 March, 2017, 08:26