PERAN EKONOMI SYARIAH DAN KEGAGALAN EKONOMI NEOKLASIK DI INDONESIA
Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Perencanaan dan Manajemen SDM
Oleh : Prof. Sayuti Hasibuan, Ph. D
Disampaikan pada Sidang Senat Terbuka Universitas Muhammadiyah Surakarta Rabu, 5 Maret 2008
1
Bismillahirrohmanirrohim Yang saya hormati, Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Diktilitbang; Koordinator Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah; Rektor/Ketua Senat, Sekretaris Senat, dan segenap Anggota Senat Universitas Muhammadiyah Surakarta; Para Pejabat Sipil dan Militer; Para Wakil Rektor, Dekan dan Pembantu Dekan, Direktur dan Pembantu Direktur, Ketua Program dan Sekretaris Program, Ketua Lembaga, Kepala Biro, segenap Staf Program Pascasarjana, beserta Civitas Akademika Universitas Muhammadiyah Surakarta; Para tamu undangan, sahabat, handai taulan yang saya hormati,serta segenap hadirin yang berbahagia. Assalamu’alaikum wr. wb., Puji syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia kepada kita semua untuk dapat mengukuti pidato pengukuhan saya sebagai Guru Besar yang disampaikan pada Sidang Senat Terbuka Universitas Muhammadiyah Surakarta pada hari Rabu, 5 Maret 2008. Selanjutnya saya mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia khususnya Sekretaris Jenderal Pendidikan Nasional Bapak Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika,M.S. dan Bapak Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Bapak Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA yang melalui Surat Keputusan Nomor: 62493 / A2.7/KP/2006 telah menetapkan saya dalam jabatan dosen Guru Besar dalam mata kuliah / bidang Ilmu Perencanaan SDM / Manajemen SDM. Pada kesempatan ini saya kan menyampaikan pidato pengukuhanyang berjudul: ”Peran Ekonomi Syariah dan Kegagalan Ekonomi Neoklasik di Indonesia
2
Hadirin yang saya hormati, Satu pertanyaan yang wajar dikemukakan ialah kenapa tulisan-tulisan akademis mengenai ekonomi syariah “ yang dapat dijadikan referensi “ terasa amat kurang di Indonesia saat ini? Apakah para ekonom Indonesia pada umumnya kurang mengenal konsep-konsep pokok ekonomi syariah ? Ataukah ekonomi neoklasik atau konvensional begitu dominan kedudukannya baik secara akademis maupun dari segi pembentukan kebijakan negara sehingga menggeser perhatian utama dari ekonomi syariah ? Barangkali tidak jauh dari kebenaran bila dikatakan bahwa peran ekonomi konvensional begitu dominan secara akademis maupun dari segi pembentukan kebijakan sehingga para ekonom Indonesia tidak melihat pentingnya mengeluarkan banyak energi bagi pengembangan ekonomi syariah. Secara akademis pengajaran ilmu ekonomi di Indonesia didominasi oleh pengajaran ekonomi neoklassik yang merupakan basis teoritis dari apa yang dapat disebut sebagai ekonomi konvensional. Jarang sekali fakultas ekonomi di Indonesia memasukkan ekonomi syariah dalam kurikulum pokok sistem perkuliahannya. Segala sesuatu ini berarti bahwa peran ekonomi neoklasik dalam pengaturan kehidupan ekonomi di Indonesia semakin tidak tergoyahkan. Apalagi pembentukan kebijakan dan pengajaran ekonomi berbasis ekonomi konvensional di universitasuniversitas di Indonesia didukung sepenuhnya oleh lembaga lembaga ekonomi internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, maka kedudukan konsep-konsep ekonomi konvensional dalam pemikiran dan praxis kebijakan ekonomi seolah-olah tidak tergoyahkan. Posisi yang demikian kuat mulai goyah setelah Indonesia mengalami krisis multidimensi berkepanjangan sejak tahun 1997. Krisis moneter di Muangthai pada akhir tahun 1997 yang menjadi sumber awal krisis di Indonesia, sesungguhnya adalah suatu kejadian relatif kecil secara internasional dibandingkan dengan depresi yang melanda dunia pada tahun 1920-an dan tahun 1930-an. Namun dampak dari krisis di Muangthai adalah krisis multidimensi di Indonesia yang setelah lebih dari sembilan tahun Indonesia belum berhasil mengatasinya. Sudah banyak langkah yang ditempuh untuk keluar dari krisis tetapi kenyataan yang
3
dihadapi ialah bahwa kondisi kehidupan ekonomi masyarakat belum bisa diperbaiki secara berarti. Secara singkat dapatlah disampaikan bahwa ditinjau dari segi peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat, pembangunan ekonomi yang dilaksanakan selama ini mengalami kegagalan yang menyedihkan. Adalah tesis dari makalah ini bahwa kegagalan pembangunan ekonomi di Indonesia utamanya adalah karena resep-resep yang dipergunakan dalam membangun ekonomi Indonesia adalah resep-resep ekonomi neoklassik yang memiliki ciri-ciri yang tidak mendukung terwujudnya sasaran-sasaran kesejahteraan rakyat . Ciri-ciri pokok yang mendasari ekonomi neoklasik adalah individualisme dan materialisme. Aplikasi faham-faham ini dalam membangun ekonomi ternyata gagal dalam mewujudkan cita-cita kesejahteranaan yang terkandung dalam visi pembangunan sosial-ekonomi Indonesia sebagaiman yang terkandung dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945. Selanjutnya, juga menjadi tesis makalah ini adalah bahwa bilamana Indonesia menginginkan cita-cita pembangunan ekonomi terwujud, maka resep-resep yang digunakan mestilah resep-resep berbasis kepada kemanusiaan yang adil dan beradab dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Nama yang diberikan untuk ekonomi yang demikian adalah ekonomi syariah. Dalam kaitan ini, sebagai dosen mata kuliah Dasar-Dasar Ekonomi Islam, saya sambut baik terbitnya buku teks, Ekonomi Islam, yang ditulis oleh tim dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, yang bekerja sama dengan Bank Indonesia, yang merupakan tambahan penting terhadap literatur yang ada; walaupun harus dikatakan bahwa masalah pokok yang dihadapi oleh ekonomi bangsa saat ini, secara sistem, adalah beralih dari sistem materialistik-cumindividulistik sekuler dan ribawi ke sistem syariah; dan seyoginyalah sebuah buku teks ekonomi Islam memuat masalah=masalah aktual yang dapat dipelajari mahasiswa. Hadirin yang saya hormati, Dapat dicermati berbagai indikasi kegagalan pembangunan perekonomian Indonesia. Ini merupakan bagian pertama dari pidato ini.
4
Masalah Lapangan Kerja Produktif Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, antara lain disebutkan bahwa pemerintahan negara dibentuk “untuk memajukan kesejahteraan umum”. Banyak ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur kesejahteraan umum. Lapangan kerja merupakan salah satu ukuran utama yang dapat dan perlu dimanfaatkan. Lapangan kerja produktif yang mencukupi merupakan sarana utama bagi masyarakat untuk memperoleh pendapatan dengan halal. Lapangan kerja menyangkut harga diri, dan pengangguran yang berkepanjangan akan berarti hilangnya harga diri selain dari menurunnya tingkat hidup bagi yang bersangkutan. Oleh karena itu pengangguran haruslah dihapuskan utamanya dengan mengambil kebijakan negara yang tepat dalam memperluas lapangan kerja produktif. Ditinjau dari segi penghapusan pengangguran maka dapatlah disampaikan bahwa pembangunan perekonomian Indonesia sampai dengan saat ini masih jauh dari keberhasilan. Sebaliknya diketahui semakin meningkatnya pengangguran walaupun telah dicapai berbagai kemajuan di bidang pertumbuhan ekonomi dan ukuran-ukuran yang sejalan dengan pertumbuhan. Hal demikian terlihat dari pengalaman selama pelaksanaan pembangunan dalam Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I). “Selama 25 tahun pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai rata-rata 6,8 % per-tahun”. (Republik Indonesia, (1994)) . Ekspor Indonesia meningkat cukup tinggi khususnya ekspor non-migas. “Nilai keseluruhan ekspor meningkat menjadi sekitar 43 kali, yaitu dari US$ 872 juta pada tahun 1968 diperkirakan menjadi US$ 37,2 miliar pada tahun 1993/94. Peningkatan pesat ini terutama berasal dari ekspor nonmigas yang meningkat menjadi sekitar 50 kali, yakni dari US$ 569 juta pada tahun 1968 diperkirakan menjadi US$ 28,2 miliar pada tahun 1993/94, dan peranannya mencapai 75,8 % dari nilai seluruh ekspor”. (Republik Indonesia, 1994). Investasi juga cukup tinggi. “Dalam PJP I pinjaman luar negeri pemerintah meningkat dari US$ 266 juta pada tahun 1968 diperkirakan menjadi US$ 5,9 miliar pada tahun 1993/94. … Pemasukan modal (neto) swasta meningkat dari US$ 65 juta pada tahun 1968 diperkirakan menjadi US$ 6,7 miliar 5
pada tahun 1993/94, dan penanaman modal asing (neto) meningkat dari US$ 10 juta pada tahun 1968 diperkirakan menjadi US$ 2,0 miliar pada tahun 1993/94. “(Republik Indonesia, 1994). Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan ekonomi ajaib (The World Bank, 1993). Namun pada saat bersamaan pengangguran juga meningkat. Pada tahun 1980, pengangguran terbuka berjumlah hanya 891 ribu orang atau 1,7 % dari angkatan kerja. Pada tahun 1990 jumlah pengangguran meningkat menjadi 2.365 ribu orang atau meningkat dengan 10.3 % per-tahun. Pada tahun 1995, pengangguran terbuka meningkat lagi menjadi 3,2 % dari angkatan kerja atau 6.304 ribu orang atau 21,7% setiap tahun. Pada tahun 2000 ke atas, keadaan cenderung bertambah suram. Menurut perhitungan Bappenas, sebagaimana yang dimuat di Harian Kompas tanggal 5 September 2006, pertambahan angkatan kerja tahun 2000 adalah 0,94 juta orang, tahun 2001:3,18 juta, tahun 2002:1,97 juta, tahun 2003:1,85 juta, tahun 2004:1,34 juta, tahun 2005:1,83 juta orang. Rata-rata per-tahun tambahan orang yang membutuhkan pekerjaan adalah 1,85 juta orang. Kemampuan perekonomian memberi lapangan pekerjaan rata-rata per-tahun selama enam tahun tersebut adalah 211 ribu orang untuk tiap kenaikan 1% dari pertumbuhan ekonomi. Jadi kalau seluruh orang yang membutuhkan pekerjaan mau ditampung dalam perekonomian bangsa maka perekonomian perlu tumbuh dengan 1,85 juta: 0,211 juta = 8,76% per-tahun rata-rata. Pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan BI dalam iklan di Kompas adalah 6% pada tahun 2007 dan berkisar antara 5,7% - 6,7% atau rata-rata 6,2% pada tahun 2008. Dengan hitungan-hitungan ini, maka kecuali Allah menghendaki lain, pengangguran dan kemiskinan semakin meluas. Ditambah dengan kenaikan harga bahan-bahan pokok seperti harga minyak goreng, kehidupan sosial ekonomi masyarakat semakin menghimpit. Keadaan akan semakin sulit dengan masih besarnya separuh pengangguran dalam perekonomian, yaitu angkatan kerja yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu. Dari berbagai sumber BPS, diketahui bahwa persentase separuh pengangguran ini adalah 36,5 % pada tahun 1980, 36,6 % pada tahun 1990,dan 36,9 % pada tahun 1995 pada saat pertumbuhan ekonomi tinggi. Pada
6
tahun 2000, separuh pengangguran adalah 36,7% dan pada tahun 2004 separuh pengangguran adalah 32,2 %. (Badan Pusat Statistik, 1983, 1992, 1996). Perlu diperhatikan angka pengangguran menyangkut jumlah manusia, angka riil; bukan ukuran uang yaitu pendapatan atau konsumsi yang diukur dengan uang, seperti halnya ukuran kemiskinan yang bisa naik turun dengan naik turunnya inflasi dan jumlah dana yang disalurkan untuk mengatasi kemiskinan absolut. Bagaimanapun kemiskinan cenderung meningkat dengan semakin meningkatnya pengangguran. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa langkah-langkah yang diambil oleh pemerintahan negara selama ini telah gagal meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Kesenjangan Peran Dunia Usaha Kegagalan penyediaan lapangan kerja produktif dalam jangka panjang secara memadai dan berkelanjutan merupakan satu indikasi umum yang amat penting mengenai tidak atau kurang terwujudnya “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Indikasi ini menunjuk kepada marjinalisasi sebagian besar pengusaha dalam perekonomian bangsa dan kepada super-kayanya sebagain kecil pengusaha. Pada tahun 2003, umpamanya, menurut angka-angka yang ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (PJMN) 2004-2009, usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (UMKMK) yang berjumlah 42,4 juta unit atau 99,9% dari jumlah seluruh unit usaha di Indonesia menghasilkan 56,7 % dari seluruh Produk Domestik Bruto dan menyerap 79,0 juta tenaga kerja atau 99,5 % dari seluruh tenaga kerja. Unit usaha besar yang merupakan hanya 0,1 % dari seluruh unit usaha menghasilkan 43,3 % dari PDB dan 0,5 % dari seluruh lapangan kerja yang ada pada waktu itu. Kesenjangan yang tercipta dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat dengan struktur perekonomian yang demikian tentulah amat besar. Investasi Padat Modal Masalah lapangan kerja dan pengangguran dan kesenjangan dunia usaha terkait akrab dengan kebijakan pemerintah, khususnya kebijakan investasi. Terdapat
7
kesenjangan antar-sektor yang besar dalam investasi. Dalam Repelita V (1989/901993/94), umpamanya, jumlah investasi diperkirakan Rp.334,4 triliun. Dari jumlah ini sektor pertanian hanya kebagian 2,98 % pada hal pada waktu itu (1994) sektor pertanian menampung 48,15 % dari angkatan kerja yang berjumlah 82 juta orang lebih. Jasa-jasa yang mempekerjakan 13,27 % dari angkatan kerja hanya memperoleh 4,48 %. Industri pengolahan yang mempekerjakan 13,21 % dari angkatan kerja memperoleh dana invesatasi sebesar 34 %. Jadi sektor pertanian dan sektor jasa-jasa yang memperkerjakan lebih 60 % dari angkata kerjan hanya memperoleh sekitar 7,5 % dari investasi! Dilain pihak lembaga-lembaga keuangan yang menampung hanya 0,76 % dari angkatan kerja memperoleh investasi sebesar 10,94 %. Secara keseluruhan sektor –sektor diluar pertanian dan jasa-jasa yang mempekerjakan kurang dari 40 % angkatan kerja menikmati lebih dari 92 % investasi (Centre for Technical Services- Indonesian-German Technical Cooperation dan Bappenas, BookII Economic Sectors Data and Indicators, Jakarta, 1996, Tabel 1 dan Tabel 2). Dana investasi tidak diarahkan ke sektor padat karya tetapi ke sektor padat modal. Pola investasi demikian sangat anti-lapangan kerja dan anti-keadilan tetapi pro-kesenjangan. Rendahnya Produktivitas Total Masyarakat Meningkatnya pengangguran selama PJP I, besarnya kesenjangan peran antara pengusaha besar yang amat sedikit dan para pengusaha yang tergolong kedalam UKMK, relatif kecilnya investasi disektor-sektor yang banyak menyerap tenaga kerja seperti di sektor pertanian, semuanya menunjuk kepada kurang berperannya SDM Indonesia sebagai sumber pertumbuhan dalam pembangunan Indonesia. Salah satu studi yang dilakukan oleh penulis ini beberapa tahun yang lalu memperlihatkan bahwa selama tahun tahun 1972 s/d 1990, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, sebesar 7,2 %. Dari pertumbuhan ini, unsur modal menyumbang 5,1 %, unsur teanga kerja menyumbang 2,1 % dan produktivitas total masyarakat atau Total Factor Productivity (TFP) menyumbang 0 %. Dengan lain perkataan para SDM Indonesia selaku pelaku pembangunan disemua sektor secara rata-rata, mengandalkan kepada pertambahan input baru
8
baik modal maupun tenaga kerja dalam mengupayakan kemajuan masyarakat Indonesia. Para pelaku ini secara rata-rata cenderung tidak efisien dalam menggunakan sumber-sumber yang tersedia. Meningkatnya Kejahatan Lebih dari itu, kejahatan termasuk korupsi, besar dan kecil, disektor negara maupun swasta, cenderung meningkat. Secara umum indeks kejahatan di Indonesia, pada tahun-tahun sebelum pergantian pemerintahan di tahun 1998, dengan tahun dasar 1985=100, adalah 110,8 pada tahun 1993, 110,5 pada tahun 1994, 116,0 pada tahun 1995, 112,3 pada tahun 1996 dan 108,8 tahun 1997. Khusus untuk kasus penyuapan sebagai salah satu bentuk korupsi maka indeks ini adalah 76,5 pada tahun 1993, 100,0 pada tahun 1994, 129,4 pada tahun 1995, 535,3 pada tahun 1996, dan 352,9 pada tahun 1997 dengan tahun dasar 1985=100. (Badan Pusat Statistik, Statistik Kriminal, Jakarta 1997, hal. 28). Rendahnya Posisi Indonesia Dalam Indeks Pembangunan Manusia Dunia Secara umum dan internasional dapatlah disampaikan bahwa pembangunan yang dilaksanakan selama ini telah gagal menempatkan Indonesia dalam posisi sesuai dengan jumlah penduduknya yang besar, yang no.4 di dunia. Indikasi yang penting mengenai hal ini adalah apa yang disebut sebagai indeks pembangunan manusia (human development index) sebagaimana yang dikembangkangkan dan diriset setiap tahun oleh sebuah badan PBB (UNDP). Pada tahun 2004, dari 177 negara di dunia, Indonesia menempati no. 108. Posisi ini sudah sedikit membaik dari posisi tahun sebelumnya yaitu 110. Posisi no. 1 ditempati oleh Norwegia. Human Development Index mengukur tiga katagori pencapaian manusia yaitu tingkat kesehatan penduduk, tingkat pencapaian pendidikan dan tingkat pencapaian di bidang ekonomi. Pencapaian di bidang kesehatan, sebagaimana diukur oleh umur rata-rata penduduk, maka Indonesia mencatat rata-rata umur penduduk 67,2 tahun pada tahun 2004 dan Norwegia mencatat 79,6 tahun. Di bidang pendidikan, persentase penduduk yang memasuki sekolah, menurut golongan umur, adalah 100 % di Norwegia; sedangkan di Indonesia persentase ini hanyalah 68%. Selama
9
tahun 1996-2004, sejumlah 28 % anak-anak Indonesia dibawah umur lima tahun mengalami kekurangan gizi yang ditandai berat badan dibawah standar. Sebesar 23 % penduduk Indonesia pada tahun 2004, belum memperoleh sumber air bersih yang memadai.
Yang erat kaitannya dengan masalah pengangguran adalah
masalah kemiskinan pendapatan. Dengan ukuran US$ 1 per kapita per hari sebagai ukuran kemiskinan maka 7.5 % penduduk Indonesia rata-rata selama tahun 19902003 berada di bawah garis kemiskinan. Bilamana ukuran kemiskinan dinaikkan menjadi US$ 2 pendapatan per-kapita per hari, maka dalam periode yang sama jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 52,4%. (UNDP, 2006). Prospek masa depan tidaklah cerah. Menurut laporan ADB-UNDP-UNESCAP yang berjudul ”The Millennium Development Goal, Progress Report in Asia and the Pacific”, Indonesia bersama dengan Pakistan dan Bangladesh, diproyeksikan gagal mencapai MDG (medium development goal) mereka yaitu mengurangi menjadi setengah tingkat kemiskinan pada tahun 2015. (Harian Kompas, 2006). Memang pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per-kapita Indonesia meningkat tiap tahun. Tetapi itu tidak banyak artinya sebab peningkatan ini berarti semakin jauh jurang pemisah antara yang menganggur dengan yang tidak menganggur dan antara yang kaya dan yang miskin. Ini berarti, “mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 semakin jauh dari kenyataan. Hadirin yang saya hormati, Dapatlah disimpulkan bahwa ditinjau secara struktural, pembangunan sosialekonomi Indonesia pasca-kemerdekaan, kebijakan-kebijakan pembangunan yang ditempuh selama ini telah tidak berhasil mewujudkan lapangan kerja produktif yang mencukupi begi kesejahteraan rakyat, telah tidak berhasil mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, telah mendorong terjadinya kejahatan berbagai ragam dan telah gagal menempatkan mutu SDM Indonesia ketempat yang terhormat secara internasioanal.
10
Dengan mengemukakan kelemahan-kelemahan ini dalam
usaha pembangunan
bangsa selama ini, tidaklah berarti ini mengurangi rasa syukur kita bahwa Republik Indonesia yang diroklamirkan pada tahun 1945 masih tetap utuh berdiri sampai dengan saat ini. Dilain pihak rasa syukur itu mengharuskan adanya upaya mencari tahu kenapa terdapat kelemahan-kelemahan demikian agar dapat diambil langkah-langkah perbaikan kemasa depan. Hadirin yang saya hormati, Apa Sebab Indonesia Sebegitu Jauh Gagal Dalam Mengupayakan Kesejahteraan Rakyatnya Sesuai Tuntutan Nilai-Nilai Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ? Tinjauan mengenai sebab-sebab ini merupakan bagian kedua dari pidato ini. Pengingkaran Terhadap Hukum Sebab-Akibat Kegagalan ini disebabkan digunakannya paradigma operasional ekonomi neoklasik materialisme dan individualisme dalam perencanaan dan pelaksanaan operasional pembangunan sosial ekonomi Indonesia selama ini. Paradigma operasional demikian berdampak negatif kepada pemanfaatan sepenuhnya SDM bangsa dalam mengupayakan berbagai tujuan yang mau dicapai karena tidak konsisten dengan resep-resep yang telah ditetapkan. Tetapi kenapa harus gagal ? Ini oleh karena adanya pengingkaran terhadap hukum sebab-akibat. Dibidang sosial-kemanusiaan, berbeda dengan bidang fisik- alam, kemauan manusia menjadi sebab awal banyak gejala. Negara-negara Barat, umpamanya, masing- masing memiliki kemauan kolektif dan mereka sudah menemukan resep-resep yang cocok merealisasikan kemauan kolektif ini. Indonesia dengan nilai-nilai yang terkandung didalam Undang-Undang Dasar 1945, nyatanya belum menemukan resep yang cocok. Bahkan dapat dikatakan bagian dari para pemimpin Indonesia termasuk yang di birokrasi, ternyata belum faham benar kemauan kolektif bangsanya dan kalaupun faham, tidak atau kurang menguasai cara-cara merealisasikan kemauan ini. Tidaklah mengherankan bilamana strategi pembangunan yang diusung, sadar atau tidak, telah mengingkari hukum sebab11
akibat dengan melaksanakan faham materialisme dan individualisme yang sesungguhnya tidak dikehendaki bahkan ditentang sejak awal oleh para pendiri Republik. Faham Ekonomi Neoklasik Sebagaimana sudah diindikasikan sebelumnya, kegagalan ini berkaitan dengan faham sosial-ekonomi yang dianut sebagai dasar operasional penentuan kebijakan dalam pembangunan, khususnya dalam pembangunan ekonomi. Faham ini dapatlah disebut sebagai faham ekonomi neoklasik. Yang dimaksud dengan faham ekonomi neoklasik adalah suatu pendekatan umum dalam ekonomi dengan fokus kepada konsep-konsep dasar tertentu mengenai kelakuan manusia agar terwujud suatu alokasi sumber-sumber yang efisien.
Yang amat penting adalah bahwa
efisiensi alokasi sumber daya masyarakat ditentukan oleh tindakan-tindakan individu. Dalam kaitan ini faham ekonomi neoklasik membuat anggapan bahwa manusia memiliki preferensi-preferensi yang rasional yang dapat diidentifikasi, diberi nilai dan bahwa setiap individu memiliki informasi penuh mengenai apa yang ia kehendaki, mengenai harga-harga,
produk, dan informasi-informasi lainnya
yang relevan, baik informasi kini, masa yang lalu maupun masa depan sehingga tercipta kemampuan bagi individu-individu untuk memaksimumkan kegunaan bagi dirinya dan bagi perusahaan-perusahaan memaksimumkan keuntungan. Dengan anggapan mengenai prilaku manusia dan dengan anggapan bahwa adanya pasar dengan persaingan sempurna maka diciptakanlah sebuah struktur teoritis bagaimana efisiensi alokasi sumber daya bisa diwujudkan di masyarakat. Rumahtangga rumah-tangga dalam batas-batas kemampuan keuangan mereka dan dengan harga-harga yang berlaku, akan membeli sekumpulan komoditas dan jasa dalam upaya meraih manfaat yang maksimal. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan akan membeli suatu kombinasi masukan tenaga kerja dan modal termasuk teknologi, yang akan menciptakan keuntungan yang maksimal bagi mereka. Dengan adanya pasar bebas dengan persaingan sempurna baik pada pasar unsurunsur produksi maupun pada pasar barang-barang konsumsi, maka terciptalah
12
suatu pasar dengan persaingan penuh. Tercipta pulalah suatu keseimbangan umum antara penawaran dan permintaan dan efisiensi dalam alokasi sumber daya masyarakat. Keadaan demikian disebut Pareto optimum yaitu suatu situasi di mana tidak seorangpun dapat memperbaiki posisi ekonominya tanpa merugikan setidaktidaknya satu orang lain dalam masyarakat. Tenaga kerja akan memperoleh bagian yang adil dari produksi nasional sesuai dengan kontribusinya. Pemilik modal juga akan memperoleh bagian yang adil. Tidak ada eksploitasi manusia oleh manusia. Pemerintah perlu mengintervensi untuk mengatasi berbagai friksi di pasar termasuk kelemahan struktur pasar dan informasi. Ide-ide demikian mengenai ekonomi neoklasik dapat dibaca pada sebuah teks ekonomi yang memadai seperti yang ditulis oleh Case dan Fair (Case and Fair, 1992). Individualisme Di mana letak individualisme dalam pola berfikir faham neoklasik ? Dengan individualisme disini diartikan “The tendency to magnify individual liberty, as against external authority, and individual activity, as against associated activity” (Catholic Encyclopedia). Dengan pengertian demikian mengenai individuaisme, maka
dapat
dikatakan
bahwa
ekonomi
neoklasik
mengejawantahkan
individualisme dalam bentuknya yang ekstrim. Sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya, seluruh struktur teoritis disiplin ekonomi neoklasik berlandaskan kepada anggapan bahwa para individu memiliki pengetahuan sempurna sehingga setiap individu mampu memaksimumkan kenikmatan dalam bentuk kegunaan atau “utility”. Setiap individu memiliki kebebasan penuh untuk memilih baik di bidang konsumsi maupun produksi. Sejalan dengan itu setiap individu memiliki kebebasan penuh untuk membentuk idenya sendiri atau berpendapat dan kebebasan penuh untuk bertindak dalam berbagai bidang kehidupan lainnya seperti dalam bidang politik, di bidang sosial dan di bidang keagamaan. Di bidang politik, menurut John Stuart Mill, intervensi pemerintah dalam urusan-urusan masyarakat perlulah ditekan menjadi seminimum mungkin. Setelah menjelaskan, dalam salah satu tulisannya, berbagai alasan kenapa tidak dikehendaki campur tangan pemerintah dalam urusan masyarakat, Mill menyimpulkan “Laisser-faire, in short, should be 13
the general practice: every departure from it, unless required by some great good, is a certain evil” (Mill, 1909). Faham individualisme ekstrim sebagaimana yang terdapat dalam ekonomi neoklasik dapat dikatakan berlawanan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Yang perlu dimajukan melalui kebijakan pemerintahan negara adalah “kesejahteraan umum” dan bukan kesejahteraan orang per orang. Memang menurut faham Ketuhanan Yang Maha Esa dari sebagian terbesar rakyat Indonesia, setiap individu akan bertanggung jawab langsung kepada-Nya di akhirat mengenai tindakannya selama di dunia, tetapi selama hidup di dunia setiap individu diwajibkan untuk turut serta dalam memajukan kesejahteraan umum. Dengan lain kata perlu ada keseimbangan di antara kepentingan individu dan kepentingan keseluruhan. Dari segi faham keagamaan, adanya keseimbangan merupakan suatu keharusan. “Thus, the basic distinguishing feature of the Islamic system is represented in its being based on a spiritual understanding of life and a moral sense of life. A major point of this system is the taking into consideration of both the individual and society, and the securing of a balance between life of the individual and social life. The individual is not considered the central principle in legislating and governing, nor is the large social existence the only thing to which the state pays attention and for whose sake it enacts its laws”. (asSadr, 2007). Hadirin yang saya hormati, Faham Individualisme Dan Birokrasi Apa yang disampaikan Mill mengenai hubungan yang individualistis antara pemerintah dan masyarakat menyangkut masyarakat di luar pemerintah. Apakah hubungan yang individualistis ini juga menyangkut hubungan dengan masyarakat di dalam organisasi pemerintah, yaitu para pegawai pemerintah? Untuk menjawab pertanyaan ini perlulah diteliti karya-karya intelektual Max Weber. Menurut sebuah studi mengenai karya-karya Max Weber di bidang sosiologi, perspektif
14
intelektual Max Weber mengenai individualisme ialah bahwa individualisme tidak boleh dibatasi hanya pada individu yang memaksimumkan keuntungan keuangan tetapi individualisme perlu diaplikasikan kepada individu secara totalitas. “Weber believed ideas about economic conduct could have a power of their own, in addition to, as well as in conjunction with, the unquestioned importance of economic interest”. (Bendix, 1962). Sesungguhnya akan mengherankan bilamana Weber tidak menganggap indidvidualisme tidak merupakan faktor penting dalam keseluruhan perilaku manusia bila diperhatikan pandangannya mengenai kapitalisme yang ideal. Menurut Weber, kapitalisme yang ideal akan ditandai oleh “private ownership, profit, competition, laissez faire”. (Eiwell, 2007). Karakter individulistik demikian dari ekonomi neoklasik tercermin dalam birokrasi Weber. Menurut Weber birokrasi yang ideal ditandai dengan sistem “hierarchy, impersonality, written rules of conduct, achievement, specialized division of labor, and efficiency”. Kecenderungan kecenderungan individualistik demikian di kalangan para pegawai suatu organisasi cenderung mengubah organisasi tersebut menjadi oligarki atau dikuasai dan diatur oleh sejumlah kecil orang, oleh pejabat pejabat di lingkaran atas organisasi. Kecenderungan-kecenderungan individualistik demikian akan mempersulit upaya-upaya peningkatan efisiensi oleh karena efisiensi membutuhkan partisipasi yang efisien pada semua tingkatan dalam berbagai dimensi kegiatan. Individualisme, Paradoks Arrow, Efisiensi Dan Produktivitas Sesungguhnya terdapat alasan kuat untuk mempercayai bahwa efisiensi dan produktivitas dalam penggunaan sumber-sumber hampir tidak mungkin tercapai terutama pada saat seperti sekarang ini yang ditandai oleh suatu revolusi informasi dan perubahan cepat. Ini disebabkan berlakunya teorema ketidakmungkinan Arrow. “Arrow’s theorem states that there is no general way to aggregate preferences without running into some kind of irrationality or unfairness”. (Geanakoplos, 2001). Penjelasan matematika teorema ini dapat dijumpai dalam tulisan Geanakoplos. Tetapi secara sederhana, bukti ini dapat dikemukakan sebagai berikut. Anggap ada dua orang/pihak, K dan Y yang harus menentukan urutan prioritas dari tiga pilihan yatu A, B dan C. Mana di antara ketiga pilihan yang dianggap sebagai 15
prioritas utama? Umpamakan K membuat ranking A>B>C. Jadi bagi si K, A> C. Sedangkan Y membuat pilihan B>C>A. Pilihan-pilihan ini harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain dilakukan secara bebas oleh masing-masing pihak, tidak ada tekanan bahwa pilihan seseorang harus diikuti (semua orang ikut memilih) dan pilihan harus bersifat transitif, artinya kalau dikatakan A>B>C, maka mestilah dianggap A>C, sebagaimana pilihan K. Sedangkan menurut Y, yang pilihannya juga memenuhi persyaratan teorema, C>A ; berlawanan dengan apa yang disusun oleh K. Disini jelas terlihat adanya suatu paradoks. Tentu kalau jumlah orang yang terlibat banyak dan pilihan juga berjumlah banyak, seperti halnya
dalam
suatu
sistem
pelaksanaan
pembangunan,
apalagi
dalam
pembangunan Indonesia yang penduduknya penuh kebhinekaan dan jumlahnya besar serta tersebar di daerah geografis yang luas yang mencakup daratan dengan belasan ribu pulau dan lautan, yang kekayaan alamnya banyak diincar oleh tetangga-tetangga yang materialistik,
maka dapat dibayangkan berapa banyak
paradoks yang akan muncul dalam sistem pelaksanaan. Paradoks-paradoks inilah yang pada dasarnya yang tidak memungkinkan terwujudnya efisiensi dan produktivitas dalam pemanfaatan sumber-sumber ekonomi (Hasibuan, 2005). Dalam kaitan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja maka semakin sedikit paradoks semakin besar dampak pertumbuhan ekonomi terhadap lapangan kerja. Semakin banyak paradoks dalam sistem manjemen perekonomian semakin sedikit dampak pertumbuhan ekonomi bagi lapangan kerja. Jadi kalau diinginkan adanya perluasan lapangan kerja produktif yang lebih besar dari tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu, maka paradoks-paradoks perlu dihapuskan sejauh mungkin. Tetapi dalam kaitan dengan konsep organisasi Max Weber, kenapa harus muncul paradoks? Dalam konsep Weber, hierarki berarti bahwa “Every official’s responsibilities and authority are part of a hierarchy of authority. Higher offices are assigned the duty of supervision, lower offices, the right of appeal ”.Furthermore, official business is conducted in accordance with stipulated rules characterized by three interrelated rules “(a) the duty of each official to do certain types of work is delimited in terms of impersonal criteria; (b) the official is given the authority
16
necessary to carry out his assigned functions; (c) the means of compulsion at his disposal are strictly limited, and the conditions under which their employment is legitimate are clearly defined” (Bendix, 1962). Jadi dengan konsep organisasi yang demikian akan sulit bagi setiap pejabat untuk melakukan inovasi dalam memberi respons terhadap perubahan yang terjadi. Setiap pejabat diletakkan dalam sebuah “cubicle”, yang tidak memerlukan kerjasama orang lain dan tidak ada motivasi untuk saling berkonsultasi baik secara horizontal maupun vertikal. Hierarki berakibat pada fragmantasi dalam motivasi, identifikasi, kepercayaan, kerjasama, dan informasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Leibenstein. “Fragmented motivation, Fragmented identification, Fragmented trust, Fragmented commitment, Fragmented cooperation, Fragmented information on objective”. (Leibenstein, 1987). Jadi secara struktur, koordinasi dan inovasi amat sulit dilakukan dan oleh karena itu produktivitas dan efisiensi sulit diwujudkan. Hadirin yang saya hormati, Materialisme Dan Tuhan Yang Maha Esa Dengan materialisme saya maksudkan apa yang pada umumnya diartikan oleh kaum materialis. “Materialism, of the kind accepted by many philosophers and scientists, is a general view about what actually exists. Put bluntly the view is just this: Everything that actually exists is material, or physical” (Moser, P.K., Trout, J.D., Editors, 1995). Arti demikian dari faham materialisme secara langsung menolak adanya Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karena itu berlawanan dengan UndangUndang Dasar 1945. Democritus, yang dianggap sebagai orang pertama yang mengembangkan faham materialisme secara sistematis mengajarkan bahwa “out of nothing comes nothing”. “The soul is a complex of very fine, smooth, round, and fiery atoms: these are highly mobile and penetrate the whole body, to which they impart life”. (Catholic Encyclopedia, 1997). Kaum beragama, khususnya yang beragma Islam, jelas tidak bisa menerima konsep demikian mengenai ruh. Al- Qur’an menyampaikan: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “ Ruh
17
itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (Al Qur’an: 17:85). Hadirin yang saya hormati, Mungkin para ekonom keberatan bilamana dikatakan bahwa ekonomi neoklasik memiliki pandangan dunia yang materialistik. Keberatan ini didasarkan kepada pendapat bahwa apa yang disebut kegunaan atau “utility” bisa saja mencakup halhal yang bersifat spiritual, umpamanya kenikmatan spiritual. Bilamana seseorang memilih untuk menghabiskan waktunya beribadah di mesjid atau seseorang menghabiskan sebagian besar uangnya untuk kepentingan amal, maka hal ini dapat diterima dalam pemikiran ekonomi neoklasik. Penerimaan ini didasarkan kepada prinsip bahwa orang bebas memilih cara yang mereka anggap sesuai dengan mereka punya “taste” atau keinginan. ” Taste” merupakan konsep yang mencakup dalam ekonomi neoklasik apapun pilihan yang dilakukan oleh para individu. Jadi secara filsafat tidak bisa dikatakan bahwa ekonomi neoklasik bersifat materialistik dalam pandangan dunianya. Tetapi secara praktis riil dapatlah dikatakan bahwa ekonomi neoklasik memang bersifat materialistik. Alfred Marshall, salah seorang ekonom neoklasik terkemuka, umpamanya mendefinisikan kekayaan atau “wealth” sebagai terdiri dari kekayaan materi dan kekayaan non-materi. Tetapi kekayaan non-materi yang dimaksud adalah kekayaan yang bisa menunjang peningkatan kekayaan materi. “In the second class are those immaterial goods which belong to him, are external to him, and serve directly as the means of enabling him to acquire material goods. Thus it excludes all his own personal qualities and faculties, even those which enable him to earn his living; because they are Internal. And it excludes his personal friendships, in so far as they have no direct business value. But it includes his business and professional connections, the organization of his business, and – where such things exist—the property in slaves, in labour dues, etc”. (Marshall,1950) Jadi unsur-unsur non-materi yang dianggap sebagai kekayaan adalah unsur-unsur yang bermanfaat dalam meningkatkan kekayaan materi. Dapat ditanyakan bagaimana menggolongkan keterampilan dan ilmu yang dimiliki oleh seseorang. Marshall beranggapan bahwa hal-hal ini merupakan kekayaan tetapi kekayaan 18
yang bersifat pribadi, “personal wealth”. Marshall menegaskan bahwa yang diartikan dengan kekayaan adalah kekayaan materi yang berada di luar diri seseorang walaupun pada saat tertentu dapat saja dimasukkan unsur yang berada dalam diri seseorang. “Wealth” simply should always mean external wealth only. But little harm, and some good seems likely to arise from the occasional use of the phrase” material and personal wealth”. (Marshall, 1950). Juga dalam hal barang-barang yang bersifat abstrak, pengetahuan saintifik tidaklah dapat dianggap sebagai kekayaan nasional. “German economists often lay stress on the non-material elements of national wealth, and it is right to do this in some problems relating to national wealth, but not in all”. (Marshall, 1950). Jadi secara pragmatis dapatlah ditegaskan bahwa ekonomi neoklasik bersifat materialistik dalam pandangan dunianya. Pandangan dunia materialistik yang kuat ini tercermin dalam salah satu konsep pokok ekonomi neoklasik, pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi suatu negara diartikan sebagai pertambahan barang dan jasa atau pendapatan nasional yang dialami oleh bangsa tersebut dalam periode tertentu. “What is national income? It is the loose name we give for the money measure of the over-all annual flow of goods and services in an economy”. (Samuelson, 1958). Pendapatan nasional mencerminkan cara-cara para individu memilih untuk memaksimumkan manfaat atau kegunaan masa kini maupun masa depan. Para individu dapat memilih mengeluarkan uang mereka untuk pendidikan, kesehatan atau untuk jasa-jasa panti pijat dan untuk berbagai jenis barang. Sistem politik yang sejalan dengan kebebasan memilih di bidang ekonomi adalah suatu sistem politik yang demokratis, di mana para individu, melalui sebuah pemilihan umum, memilih wakil-wakil mereka yang akan menentukan pengeluaran pemerintah. Semua ini sejalan saja dengan pemikiran neoklasik sehingga pendapatan nasional atau pendapatan per-kapita merefleksikan kesejahteraan. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, semakin tinggi pula pendapatan per-kapita dan semakin sejahtera para individu secara rata-rata. Kesejahteraan suatu negara adalah pertambahan kesejahteraan masing-masing
19
individu; ini mencerminkan pandangan pemikiran faham individualisme mengenai masyarakat di mana keseluruhan sama dengan petambahan dari bagian bagian. Hadirin yang saya hormati, Pandangan Dunia Dan Model Manusia Secara singkat dapatlah dikemukakan bahwa faham ekonomi neoklasik memiliki pandangan
dunia
bahwa
masyarakat
manusia
adalah
masyarakat
yang
individualistis dan atomistis. Berfungsinya pasar bebas akan mengkoordinasikan keputusan individu-individu yang menyangkut alokasi sumber yang mereka miliki. Para individu dianggap rasional sepenuhnya dan memiliki informasi yang sempurna dalam membuat pilihan-pilihan. Segala sesuatu ini didukung oleh kebebasan penuh bagi para individu membuat pilihan-pilihan di bidang politik, sosial dan budaya dengan tujuan memaksimumkan kenikmatan materialistis. Memajukan kepentingan orang lain atau “altruism” mungkin saja merupakan bagian dari pilihan-pilihan yang dibuat; tetapi kalau pertimbangan demikian dimasukkan maka itu adalah dalam rangka mengurangi biaya. Secara filsafat faham
ekonomi
neoklasik
menganggap
dirinya
bebas
nilai.
Ilmu
yang
dikembangkan adalah ilmu positif dan kalimat-kalimat selalu dibedakan antara kalimat yang bersifat normatif atau “ought statements” dan kalimat-kalimat yang positif atau “is statements”. Orientasi filisofis yang demikian tercermin di dalam agenda, tujuan, penelitian, tema dan praktek-praktek metodologi ekonomi neoklasik. (Mair and Miller, 1991). Jelaslah bahwa pandangan demikian mengenai individu manusia dan masyarakat manusia tidak sejalan bahkan bertentangan dengan pandangan mengenai manusia dan masyarakat manusia sebagaimana yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Manusia ideal yang terdapat dalam Pembukaan adalah manusia yang aturan hidup pokoknya didasarkan kepada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab dan bukan manusia yang aturan hidupnya didasarkan kepada memaksimumkan kenikmatan materialistis dengan biaya yang minimum yang diperoleh melalui persaingan sempurna sebagaimana yang diidealisasikan oleh
20
faham ekonomi neoklasik. Bung Hatta menegaskan, didepan civitas akademika Universitas Sun Yat Sen di Kanton, Republik Rakyat Cina, 11 Oktober 1957, sebagai berikut. ” Tuhan orang Islam adalah Allah Yang Pengasih dan Penyayang serta Maha Adil, orang Islam mempunyai kewajiban untuk melaksanakan di atas dunia ini suatu masyarakat, yang bedasarkan kasih sayang, rasa persaudaraan, tolong menolong serta keadilan sosial, merasakan damai dalam jiwanya. Oleh karena Islam berarti pula damai, maka wajiblah bagi orang Islam untuk menegakkan perdamaian itu di luar lingkungannya yang kecil, keluar dari batas negara negara dan kebangsaan. Ia harus menuju kepada persaudaraan segala bangsa.” (Luthfi, 2007). Yang diutamakan adalah “kesejahteraan umum” yang dicapai melali kebersamaan, tanpa mengorbankan kepentingan atau hak-hak dasar individu. Diperlukan kebijakan dan langkah-langkah yang tepat agar terwujud keseimbangan diatara dua kepentingan ini. Walau bagaimanapun, kepentingan umum lebih besar dari pertambahan kepentingan para individu yang membentuk suatu masyarakat manusia.
Ini membawa kita kepada diskusi mengenai
produktivitas total masyarakat dari sebuah organisasi manusia. Hadirin yang saya hormati, Produktivitas Total Masyarakat : Sebuah Kerangka Teoritis Awal Tetapi bagaimanakah bisa diketahui bahwa kesejahteraan umum ini yang dicapai melalui kebersamaan sudah berhasil didekati secara teknis? Masing-masing bangsa memiliki definisi sendiri mengenai apa yang dimaksud dengan kejejahteraan umum. Juga masing-masing masyarakat bangsa memiliki aturan-aturan sendiri mengenai bagaimana kebersamaan itu harus dilaksanakan. Tetapi semua masyarakat bangsa manusia akan sepakat bila dikemukakan bahwa apapun yang mau diupayakan oleh bangsa tersebut, maka sumber daya yang dimiliki perlulah dimanfaatkan
seefektif
dan
seefisien
mungkin.
Disinilah
letak
relevansi
produktivitas total masyarakat atau total factor productivity sebagai salah satu ukuran umum sejauh mana sebuah masyarakat berhasil mencapai kesejahteraan umum, sesuai dengan yang didefinisikan.
21
Yang dimaksud dengan produktivitas total masyarakat atau “total factor productivity” adalah bagian dari pertumbuhan produk per-kapita yang tidak bisa dijelaskan oleh pertumbuhan input per-kapita. Dalam studi historisnya yang amat detail mengenai pertumbuhan ekonomi di negeri-negeri yang saat ini sudah maju secara ekonomi, Simon Kuznets, seorang pemenang hadiah Nobel ekonomi menyimpulkan bahwa sebagian terbesar dari pertumbuhan ekonomi yang dialami bukan datang dari pertumbuhan input tetapi bersumber dari pertumbuhan produktivitas. Kuznets mengemukakan “that the distinctive feature of modern economic growth of per capita product, is for the most part attributable to a high rate of growth in productivity”. Dalam salah satu kalkulasinya, Kuznets memberi contoh “an annual rate of combined inputs per capita of 0.55%, compared with a growth rate of per capita product of 2.97%”. (Kuznets, 1976). Dengan lain perkataan pertumbuhan unsur-unsur modal dan tenaga kerja secara bersama-sama hanya menyumbang 18% kepada peningkatan produk per-kapita. Selebihnya yaitu 82% dari kenaikan produk per-kapita datang dari peningkatan produktivitas. Peranan utama dari produktifitas total masyarakat per kapita dalam menyumbang kepada pertumbuhan produk per kapita kelihatannya sudah cukup terbukti, walaupun harus dikemukakan bahwa masih terdapat perbedaan pendapat yang muncul oleh karena masalah-masalah teknis yang berpengaruh terhadap hasil-hasil kalkulasi dan kesimpulan yang diperoleh seperti cara menghitung stok modal , periode waktu yang dipilih dalam perhitungan, dan faktor-faktor lain. Namun isu pokok pada saat ini adalah apa yang menyebabkan meningkatnya produktifitas per kapita? Satu konklusi umum yang dapat disampaikan pada saat ini adalah bahwa peningkatan ini bukan utamanya disebabkan oleh faktor-faktor produksi yang bersifat materi. Kuznets menekankan pentingnya peran negara dalam memfasilitasi arus dan aplikasi dari ilmu yang bermanfaat (“ useful knowledge”) bagi kesejahteraan masyarakat, di samping peran negara dalam menyediakan infrastruktur dan penyelesaian konflik antar kelompok. Kuznets (1976). Ilmu yang bermanfaat merupakan bagian dari modal manusia atau modal yang tidak dapat dipegang.
22
Bagaimanapun sebuah studi yang banyak disitir, yang meneliti mengenai faktor faktor yang berada di belakang perbedaan yang besar dalam output per capita anatara Barat (negara - negara Eropah Barat dan keturunan mereka) dan Timur (Cina, Pakistan, India, Bangladesh, Indonesia, Jepang, Birma, Filipina, Korea Selatan, Taiwan dan Thailand) menyimpulkan bahwa faktor faktor ini bukanlah perbedaan
tingkat
tabungan
(yang
akan
memungkinkan
negara
negara
memperoleh alat alat modal) ; bukan juga perbedaan dalam tingkat pengetahuan teknis (Presscot,1997). Rasio output per capita antara Barat dan Timur besar adanya dan berkisar antara 2,1 dan 7,5 antara tahun 1820 dan 1992 (Presscot, 1997). Bagaimanapun secara umum dapat disampaikan semakin baik sebuah masyarakat memanfaatkan SDMnya, semakin besar kemungkinan bahwa modal berbasis manusia akan merupakan bagian yang semakin besar dari input-input yang digunakan dalam proses produksi dan semakin tinggi produktifitas total. Kesejahteraan ekonomi masyarakat akan semakin terwujud. Disinilah relevansi ekonomi syariah yaitu dalam rangka meningkatkan pemanfaatan SDM dan produktifitas suatu masyarakat. Hadirin yang saya hormati, Ekonomi Syariah Dan Produktivitas Total Masyarakat Dalam kaitan dengan upaya mewujudkan “ negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur” dan “ untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagaimana yang diikrarkan dalam Pembukaan
Undang Undang Dasar 1945, maka sistem ekonomi yang perlu
digunakan adalah sistem yang berbasiskan manusia yaitu ekonomi syariah. Ini amat berbeda dengan sistem yang sekarang digunakan yaitu yang berbasis materi yaitu ekonomi neoklasik. Tujuan sistem ekonomi syariah adalah maksimisasi kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat. Untuk mencapai kesejahteraan yang maksimum ini, maka kegiatan ekonomi di dunia perlu menciptakan maksimisasi produktifitas total masyarakat yang tinggi sekaligus bermoral melalui pemanfaatan SDM sepenuhnya. Tetapi apakah maksimisasi produktifitas total masyarakat ini
23
sejalan dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa ? Bagi umat Islam hal ini kiranya merupakan sebuah tuntutan dari ajaran agama tersebut. Produktivitas masyarakat diartikan sebagai kinerja masyarakat per satuan waktu, lima tahun umpamanya. Agar kinerja ini tinggi adanya dan sekaligus bermoral maka pemanfaatan waktu sebagai unsur yang sesungguhnya terbatas, perlulah dilakukan dengan efektifitas dan efisiensi tinggi dan hal ini amat ditekankan dalam sistem keimanan umat Islam dan tentunya dalam sistem berfikir ekonomi syariah. Ini ditegaskan
dalam
Al-Qur’an,
Surat
103
Al’ASR,
yang
terjemahannya
adalah:”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keruguan, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasihati supaya menetapi kesabaran.” Nabi Muhammad (saw) dalam salah satu hadistnya, menasihatkan Maimunah, seorang mantan budak, yang menerima hadiah sebuah kambing tetapi kambing tersebut mati, ““ Why don’t you take the skin ? You can make use of it after you cleanse it.” The people answered: “ but this is carcass “. Prophet Muhammad (pboh) answered “What is forbidden is to eat it. “Khan (1996). Dapatlah disampaikan bahwa dari segi ajaran Islam, produktifitas total masyarakat merupakan variabel yang perlu dan harus dimaksimumkan, secara teknis, dalam suatu kebijakan sosial-ekonomi. Semakin tinggi produktifitas total masyarakat, yang diperoleh dengan proses-proses yang halal, adil dan penuh kebersamaan, semakin kuat dan berkelanjutan organisasi bersangkutan. Dengan lain perkataan, ekonomi syariah bukan saja konsisten secara prinsip dengan nilainilai
pokok
dalam
Pembukaan
Undang-UndangDasar
1945
tetapi
juga
menyediakan seperangkat paradigma operasional yang apabila dipatuhi akan memaksimumkan kemampuan manusia Indonesia untuk mengupayakan tujuantujuan nasionalnya. Basis dari upaya maksimisasi kemampuan atau produktifitas total masyarakat ini adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab. .
24
Hadirin yang saya hormati, Dari apa yang disampaikan pada bagian kedua ini dapatlah dikemukakan bahwa faham operasional materialisme dan individualisme serta faham operasional mengenai manusia tidak sejalan bahkan bertentangan dengan nilai-nilai dalam Undang Undang Dasar 1945. Terdapat inkonsistensi yang berat diantara apa yang dilaksanakan dengan apa yang semestinya dilaksanakan dalam kebijakan pembangunan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bilamana terjadi kegagalan-kegagalan dalam dalam perwujudan cita-cita sosial ekonomi bangsa. Hadirin yang saya hormati, Tetapi apakah benar secara operasional terdapat inkonsistensi ? Untuk menjawab pertanyaan ini dibutuhkan penelitian dan penetapan metode yang digunakan dalam penelitian. Penelitian dan hasil-hasilnya merupakan bagian ketiga dan keempat pidato ini. Metode Penelitian Pendekatan Manusia Dan Hukum Sebab-Akibat Penggunaan
Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pembukaannya, sebagai
pangkal tolak penelitian mengandung suatu anggapan bahwa dalam ilmu-ilmu sosial sebagaimana adanya ilmu-ilmu ekonomi, maka pendekatan yang tepat untuk digunakan adalah pendekatan manusia. Hal ini disebabkan berlakunya hukum sebab-akibat yang perlu dimulai dengan mengidentifikasi tujuan dan motivasimotivasi pokok sekolompok manusia yang ekonominya akan diteliti. Pendekatan inilah yang sudah dilakukan dalam penelitian ekonomi neoklasik, faham yang digunakan di Barat. Tetapi kenapa pendekatan manusia ini suatu yang mutlak perlu dalam kaitan dengan hukum sebab-akibat? Hal ini disebabkan, hukum sebab-akibat yang berlaku umum dalam hal ilmu-ilmu alam seperti fisika, tidak bisa berlaku umum
25
dalam hal manusia oleh karena perbedaan-perbedaan dalam tujuan dan motivasi motivasi pokok kehidupan yang berbeda
bagi berbagai kelompok manusia.
Memang mungkin ada kesamaan hukum-hukum yang berlaku dalam berbagai kelompok manusia tetapi secara prinsip penelitian mengenai ekonomi dan gejalagejala sosial lainnya perlulah didekati kelompok per kelompok manusia yang memiliki kesamaan dalam tujuan dan motivasi-motivasi pokok kehidupannya. Barulah bisa diperoleh “regularities” yang menyangkut keadaan kelompok manusia yang dipelajari ekonominya. Walaupun demikian, sistem ekonomi Indonesia yang berbasiskan Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab dapat memanfaatkan hikmah-hikmah yang terdapat dalam berbagai sistem pemikiran ekonomi seperti sistem ekonomi neoklasik. Persfektif Filsafat, Hukum Sebab-Akibat Dan Perubahan Persfektif filsafat yang digunakan dalam penelitian ini ialah perspektif yang berdasarkan kepada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, khususnya perspektif Islam. Setiap kejadian atau gejala pasti ada sebabnya. Ini merupakan aksioma pokok dari hukum sebab-akibat. Ini merupakan dimensi ilmiah dari setiap gejala. Namun yang menentukan segala sesuatu pada akhirnya adalah kemauan Tuhan Yang Maha Esa. Ini merupakan segi filsafat dari setiap kejadian. Dalam hubungan ini dianggap bahwa sumber utama perubahan berada dalam diri manusia. Terjadinya perubahan yang dikehendaki manusia tergantung kepada hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Kalau hubungan ini baik maka ia akan mampu membawa perubahan dalam dirinya yang pada tahap berikutnya akan membawa perubahan di alam lingkungan. Kalau hubungan ini kurang baik maka ia akan menghadapi tantangan dalam mewujudkan perubahan. Pertumbuhan ekonomi sebagai unsur luar dan sumber utama perubahan berlawanan dengan prinsip Ketuhananan Yang Maha Esa. Perubahan sejati hanya bisa diwujudkan melalui perubahan yang terdapat dalam diri manusia. Surah 13: Al Ra’ad ayat 11 dari Al-Qur’an menyebutkan “…Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah (sic) keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Lebih lanjut dapat disampaikan bahwa nilai dasar yang termuat dalam 26
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menolak faham cinta diri yang ekstrim sebagaimana yang terdapat dalam faham individualisme. Yang dibutuhkan adalah adanya keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan keseluruhan. Tetapi bagaimana keseimbangan ini harus diwujudkan ? Keseimbangan ini diwujudkan melalui kosultasi, musyawarah yang juga merupakan salah satu prinsip yang termuat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Di dalam AlQur’an diisyaratkan adanya keharusan musyawarah dalam manajemen urusan manusia yaitu pada Ayat 38 , Surah 42 dari Al Qur’an, surah mana juga diberi nama “ Asy Syura « atau Musyawarah. Jangka Waktu Penelitian Untuk melaksanakan tujuan utama penelitian ini, saya akan teliti Repelita- Repelita yang ada sejak tahun 1950. Namun konsentrasi akan diberikan pada periode sesudah tahun 1969 sampai dengan saat ini. Dalam kaitan ini maka akan diteliti Repelita terakhir yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional, 20042009. Saya melihat Repelita-Repelita secara filosofi semuanya sama. Kita akan diskusikan terlebih dahulu bagaimana
pendekatan individualistik digunakan
dalam pelaksanaan Repelita dan kemudian diskusikan aspek materialistik dari pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan dalam pembangunan dan diskusi mengenai kedua hal ini akan diikuti diskusi pandangan Repelita mengenai manusia sebagai sumber pertumbuhan.
Dalam kaitan ini disampaikan bahwa kegagalan dalam
jangka panjang Repelita mencapai tujuan menghapus pengangguran dan tujuantujuan kemanusiaan lainnya adalah oleh karena berfungsinya ketiga faktor ini. Hadirin yang saya muliakan, Bagian Keempat:Hasil- Hasil Penelitian Paradoks Arrow Dalam Mekanisme Pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPMJ) 2004-2009 bertujan untuk mengupayakan pertumbuhan ekonomi rata-rata selama lima tahun sebesar
27
6,6 % dan pada saat bersamaan mengurangi pengangguran terbuka dari sebesar 9,7 % pada tahun 2005 menjadi 5,1 % dari angkatan kerja pada tahun 2009 (Republik Indonesia, RPMJN 2004—2009, 34-5—34-6.). Masalahnya adalah sasaran-sasaran ini kemungkinan besar tidak akan tercapai. Salah satu alasan utamanya adalah bahwa pendekatan individualistik yang dipergunakan dalam penyususnan rencana dan merekayasa struktur- struktur pelaksanaan. Pendekatan demikian menciptakan paradoks paradoks sebagaimana yang dikemukakan oleh Kenneth Arrow. Ada tiga agenda dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasioanl 20042009 (RPJMN 2004-2009). Agenda-agenda ini adalah mewujudkan Indonesia yang aman dan damai, mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis, meningkatkan kesejahteraan rakyat. Untuk setiap agenda direncanakan berbagai kelompok kegiatan. Setiap kelompok kegiatan dibahas dalam bab tertentu dalam RPJMN. Ada tujuh bab mengenai agenda pertama, tujuh bab mengenai pelaksanaan agenda kedua, dan tujuh belas bab bagi pelaksanaan agenda ketiga (Republik Indonesia, 2005). Yang menonjol dari agenda- agenda ini dan kelompok- kelompok kegiatan yang direncanakan adalah bahwa semua ini tidak memiliki fokus umum bersama. Tidak ada fokus umum untuk ketiga agenda. Jadi masing- masing agenda dikelola secara tersendiri. Juga tidak terdapat fokus umum dalam melaksanakan masingmasing agenda. Ini berarti setiap departemen akan melaksanakan kegiatankegiatannya secara tidak terkait dengan kegiatan- kegiatan departemen pelaksana lainnya.
Umpamanya,
Departemen
Perundutrian
yang
ditugaskan
untuk
melaksanakan Bab 18 “ Meningkatkan Daya Saing Industri Manufaktur” akan melaksanakan kegiatan-kegiatannya tanpa terkait dengan kegiatan departemen pertanian yang ditugaskan untuk melakasanakan Bab 19 “ Revitalisasi Pertanian.” Juga tidak ada fokus umum dalam masing-masing kelompok kegiatan. Umapmanya di sektor pertanian, terdapat 17 program, tetapi setiap program akan bekerja sendiri tanpa ada satu referensi umum yang menjadi acuan dari semua ketujuh belas program. Singkatnya, tidak tersedia kelompok atau ajang kegiatan bersama yang akan menjadi pembicaraan dalam suatu upaya kordinasi baik dalam tahap
28
perencanaan maupun dalam tahap pelaksanaan baik pada tingkat agenda, pada tingkat sektor maupun pada tingkat program.Tanpa adanya ajang atau fokus kegiatan untuk kordinasi, maka paradoks Arrow akan merajalela. Paradoks Arrow Dalam Kenyataan: Beberapa Contoh Tetapi apakah ada bukti bahwa paradoks memang terjadi secara kenyataan di dunia birokrasi? Hal ini dapat ditinjau dari kegagalan- kegagalan kebijakan dan dari situ diambil kesimpulan mengenai paradoks-paradoks yang ada. Satu contoh adalah kegagalan pelaksanaan progran 100 hari dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh majalah Tempo, maka salah satu pertanyaan yang diajukan adalah “ Menurut Anda, apakah Presiden Bambang Yudhoyono telah memenuhi harapan publik dalam seratus hari pemerintahannya?” Dari 780 peserta, 573 atau 73,46 % menjawab “Tidak”. Majalah Tempo (Edisi 31 Januari-6 Februari 2005) Jakarta 2005.. Sesungguhnya akan mengherankan bilamana jawaban yang diberikan adalah positif sebab program 100 hari mengalami kekurangan- kekurangan yang sama dengan program umum pembangunan. Dalam seratus hari pertama direncanakan untuk mengambil tindakan untuk membantu realisasi ketiga agenda yaitu mewujudkan Indonesia yang aman dan damai, Indonesia yang adil dan demokratis dan Indonesia yang sejahtera. Namun dapat ditanyakan apa fokus dari ketiga agenda ini dalam seratus hari pertama? Oleh karena jangka pelaksanaan amat singkat, yaitu 100 hari, maka fokus ini perlu amat tajam dan jelas. Tanpa fokus yang demikian maka tidak ada ajang identifikasi bersama, tidak ada komitmen dan motivasi bersama, tidak bisa tercipta saling percaya, dan tidak ada kesamaan informasi mengenai tujuan yang mau dicapai. Paradoks Arrow dibiarkan merajalela. Bukti lain dari berfungsinya paradoks Arrow dapat diperhatikan dari kinerja industri minyak sawit Indonesia. Dalam satu studi investigasi yang dilakukan Harian Kompas pada bulan Februari 2006 dilaporkan “ Apa yang terjadi sekarang ini membuktikan Indonesia selalu kalah langkah dan industri sawit Indonesia belum sepenuhnya mampu berkembang menjadi industri tangguh yang mampu
29
menjawab tantangan yang ada. Kalangan industri juga mengeluhkan belum jelasnya arah kebijakan pemerintah. Jika tidak bergerak cepat, dikhawatirkan bukan hanya hutan dan keanekaragaman hayati yang rusak, tetapi Indonesia hanya akan terus menjadi pemasok bahan baku dan buruh bagi Malaysia.” Harian Kompas (25 Februari 2006). Ketidak-jelasan kebijakan pemerintah
tidak
memungkinkan berbagai pihak menciptakan agenda bersama, khususnya pemerintah dan kalangan industri. Studi juga melaporkan bebagai paradoks yang dihadapi di lapangan seperti masalah tanah, masalah bibit, masalah- masalah sosial yang berkaitan dengan petani dan lingkungan hidup. Dengan singkat dapatlah disampaikan tidak efektifnya pelaksanaan rencana pembanguna di Indonesia adalah disebabkan, antara lain oleh kelemahan paradigmatis dalam proses perencanaan dan pelaksanaan dalam bentuk pendekatan individualistik yang digunakan dalam penyusunan rencana dan mekanisme pelaksanaannya. Pertumbuhan Ekonomi Tinggi Dan Kegagalan Mencapai Sasaran Lapangan Kerja Rencana Pembangunan Jangka Mnenengah Nasional yang sekarang sebagaimana rencana-rencana pembangunan sebelumnya memberi tekanan pada pencapaian sasaran materialistik dalam bentuk pertumbuhan ekonomi tinggi. RPJMN 20042009 bertujuan untuk mencapai rata-rata pertumbuhan sebesar 6,6 % per tahun. Tekanan pada sasaran materialistik ini disampaikan dalam Bab 34 : Kerangka Ekonomi Makro dan Pembiayaan Pembangunan. Dalam bab ini disampaikan bahwa semua agenda diarahkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang telah menjadi sasaran dengan harapan bahwa pengangguran akan dapat diturunkan dari 9,7 % dari angkatan kerja pada tahun 2005 menjadi 5,1 % pada tahun 2009. Apakah sasaran lapangan kerja dapat dicapai. ? Kecuali Allah menghendaki lain, atas dasar pengalaman jangka panjang 1968-1993/94 mengenai pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan variabel variabel ekonomi lainnya, maka sasaran ini tidak akan tercapai. Hal-hal ini sudah disampaikan diawal tulisan ini di mana pertumbuhan ekonomi adalah 6,8 % per tahun, ekspor meningkat, investasi meningkat, termasuk investasi asing, dan Indonesia digolongkan kedalam HPAS
30
(High Performing Asian Economies) dalan salah satu studi Bank Dunia. The World Bank (1993). Tetapi pada saat bersamaan pengangguran terus meningkat dari 1,7 % dari angkatan kerja pada tahun 1980 sehingga mencapai hampir 11 % pada saat ini. Sejalan dengan itu pengangguran terselubung juga tetap tinggi dan mencapai sekitar 36,5 % pada saat ini. Baik pengangguran terbuka maupun terselubung merupakan sumber dari kemiskinan yang berkelanjutan. Walaupun dalam tahun 2007 (Februari), menurut data BPS, pengangguran terbuka ada kecenderungan menurun sedikit, yaitu menjadi 9,75 % dari 10,4% pada Februari 2006, atas dasar tren yang ada diperkirakan sasaran pengurangan pengangguran terbuka pada tahun 2009 menjadi 5,1 % dari angkatan kerja sulit tercapai. Selain itu ada masalah keberlanjutan penurunan pengangguran, terbuka maupun terselubung, yang hanya bisa dilihat dalam jangka panjang. Tentu diharapkan tren penurunan akan berlanjut. Perlakuan Terhadap SDM Dapatlah disampaikan bahwa pertumbuhan tinggi yang dialami oleh perekonomian Indonesia bukan saja tidak berkelanjutan tetapi juga gagal menghasilkan perubahan dalam arti menghapus pengangguran dan kemiskinan. Tetapi kenapa dialami kegagalan ini walaupun dicapai pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi ? Kegagalan ini berkaitan dengan sifat input yang mendorong pertumbuhan itu. Bila diteliti komposisi input pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk menjawab pertanyaan berapa persen dari input ini adalah pertumbuhan unsur modal, unsur tenaga kerja dan unsur produktifitas total masyarakat, maka akan diperoleh suatu pandangan mengenai peran SDM dalam proses pertumbuhan ini. Sebagaimana sudah disampaikan terdahulu, dalam periode 1972-1990, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata rata adalah 7,2 % per tahun. Dari pertumbuhan ini 5,1 % bersumber dari pertumbuhan modal, 2,1 % bersumber dari pertumbuhan tenaga kerja, dan 0,0 % berasal dari pertumbuhan produktifitas total masyarakat. Yang dialami dalam berbagai pelaksanaan Repelita I sampai dengan Repelita V, adalah dominannya peran modal dalam pertumbuhan ekonomi yang dialami dan minimnya peran produktivtas total masyarakat. Yang terbaik yang dicapai oleh 31
perekonomian Indonesia dari segi pertumbuhan produktifitas total masyarakat adalah dalam periode Repelita I, 1969/70-1973/74, sewaktu pertumbuhan ekonomi adalah rata-rata 10,3 % per tahun dan dari pertumbuhan ini tambahan modal berperan 7,9 %, tambahan tenaga kerja 1,9 % dan produktifitas total masyarakat 0,5 %. (Hasibuan, 1996). Sebagai perbandingan dari pengalaman pembangunan berbagai bangsa di dunia, antara tahun 1930 s/d 1980, negara-negara maju (13 negara) mencatat 2,7 % bersumber dari pertumbuhan produktivitas total masyarakat dari pertumbuhan ekonomi yang dialami sebesar 5,4 % ; negaranegara berkembang (20 negara) mencatat 2,0% dari pertumbuhan ekonomi 6,3%; dan negara-negara komunis (8 negara) 2,5 % dari pertumbuhan ekonomi sebesar 8,2 %. (Chenery,et.al , 1986). Dapatlah disimpulkan bahwa penelahaan sumber sumber pertumbuhan ekonomi dalam berbagai periode diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini terutama didorong oleh pertumbuhan jumlah input dan bukan pertumbuhan produktifitas total masyarakat per satuan input. Kalau terdapat peningkatan output per satuan input, pertumbuhan ekonomi pastilah lebih tinggi dari yang sudah dialami dengan pengorbanan input modal dan tenaga kerja yang sama. Dalam situasi demikian, produktifitas total masyarakat akan membentuk bagian lebih besar dalam komposisi input pertumbuhan ekonomi. Manusia Pasif Dalam RPJMN 2004-2009 Bagaimana perlakuan terhadap manusia dalam rencana pembangunan yang sekarang? Dalam konsep produksi dan organisasi neoklasik, manusia tidaklah dianggap sebagai agen aktif dalam proses produksi. Sebaliknya manusia dianggap sebagai input pasif yang biayanya perlu diminimumkan dalam upaya maksimisasi keuntungan.dan mendorong pertumbuhan. Konsep manusia pasif inilah yang tertanam dalam RPJMN 2004-2009. Kalau ditanya
berapa persen kontribusi
manusia dan kontribusi modal dalam pertumbuhan rata- rata 6,6 % yang direncanakan dalam lima tahun 2005-2009, maka tidak diperoleh jawaban dari
32
rencana tersebut. Konsep SDM sebagai sumber pertumbuhan tidak terdapat dalam RPJMN tersebut. Konsep pasif demikian mengenai SDM tercermin dalam cara penyusunan rencana. Pertama terdapat pemisahan antara perencanaan dan pelaksanaan. Ada sekelompok orang yang tugasnya adalah menyusun rencana dan sekelompok manusia lain yang bertugas untuk melaksanakan rencana. Kelompok orang yang menciptakan rencana utamanya adalah Presiden dengan bantuan aktif dari badan perencanaan yaitu Bappenas. Jadi Bab 1 sampai dengan Bab 34 dari RPJMN memberikan sasaran-sasaran normatif serta kegiatan kegiatan yang diperlukan dalam berbagai sektor. Bab 35 memberikan norma dan petunjuk petunjuk umum bagaimana rencana harus dilaksanakan. Para pelaksana adalah para menteri dan pejabat-pejabat
teknis
dalam
berbagai
badan
pemerintahan
termasuk
pemerintahan daerah. Oleh karena tidak ada fokus operasional untuk masingmasing satuan pelaksana dan juga tidak ada fokus umum yang mengikat Presiden dan para menteri dan pelaksana lainnya, maka tidak ada alternatif kecuali kembali kepada Presiden untuk semua keputusan yang besar maupun yang kecil. Sistem pengambilan keputusan tidak bisa lain selain sistem komando dan kontrol. Inovasi amatlah sulit berkembang dalam sistem demikian. Selanjutnya dalam sistem demikian amat sulit bahkan tidak mungkin mengadakan dialog berkelanjutan di antara berbagai pemangku kepentingan dalam sesuatu program. Umpamanya, untuk memajukan lapangan kerja di sektor industri diperlukan dialog yang berkelanjutan antara pemerintah dengan berbagai kelompok industri di masyarakat. Agar dialog bermakna dan membawa hasil, maka perlu ada fokus mengenai sasaran bersama yang ingin diupayakan Pandangan mengenai peran SDM sebagai agen aktif dalam proses berproduksi berikut susunan teknis organisasi yang mendorong dialog pada gilirannya akan mendorong terciptanya modal sosial dalam masing-masing organisasi pelaksana maupun dalam hibungan dengan dunia luar.
33
Hadirin yang saya muliakan, Tibalah saatnya saya menyampaikan beberapa pemikiran mengenai implikasi, keterbatasan dan kesimpulan yang merupakan bagian kelima dari pidato ini. Beberapa Implikasi Apa yang dapat dikatakan mengenai pengelolaan sosial ekonomi dari perspektif nilai-nilai pokok dalam Undang-Undang Dasar 1945 ? Pertama adalah membuang faham materialisme dan individualisme sebagai landasan operasional kebijakan dan menggantikan faham-faham ini dengan faham operasional kemanusiaan yang adil dan eradab atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam kaitan ini maka dibutuhkan sebuah visi jangka panjang pembangunan Indonesia. Pada berbagai kesempatan, antara lain dalam buku, ”Meraih Keunggulan Indonesia—Strategi Alternatif Pembangunan Bangsa”, saya mengusulkan agar visi operasional jangka panjang ini adalah terwujudnya masyarakat moral berdaya saing tinggi. Yang kedua, Indonesia perlu meninggalkan pendekatan individualistik dalam mengatur pelaksanaan dan menggantikannya dengan pendekatan kebersamaan. Salah satu bentuk kebersamaan itu adalah kerjasama tim atas dasar musyawarah. Dalam tim keseimbangan antara kepentingan perorangan anggota tim dan kepentingan keseluruhan mengambil bentuk konkrit. Yang ketiga, SDM perlu dilihat sebagai sumber utama pertumbuhan dan kemampuannya dikembangkan sepenuhnya sesuai fungsi manusia sebagai wakil Tuhan Yang Maha Esa dibumi. Hak-hak dasarnya perlu dipelihara. Ini berarti bukan saja setiap warga negara Indonesia perlu memperoleh kulitas hidup sebagaimana yang dimintakan oleh Undang-Undang Dasar 1945, tetapi juga dalam masyarakat Indonesia yang bermoral tidak boleh ada kesenjangan yang ekstrim sebagaimana yang dialami selama ini. Ketiga hal yang disampaikan diatas berarti bahwa praktek perencanaan dan pelaksanaan pembangunan , baik di pemerintahan maupun pada masyarakat sipil
34
dan bisnis, perlu ada perubahan mendasar. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, basis idiologi operasional praktek-praktek ini adalah individualisme yang diterjemahkan kedalam praktek keterpisahan. Pada pemerintah pusat, umpamanya, Bappenas merencanakan dan departemen-departemen melaksanakan. Ini perlu diubah menjadi paradigma operasional kebersamaan dan musyawarah. Dengan paradigma kebersamaan dan musyawarah, sekarang perencanaan dan pelaksanaan tidak dipisah tetapi menyatu. Perencanaan dan pelaksanaan dilakukan bersamaan pada setiap lembaga sesuai fungsi dalam mewujudkan Indonesia yang berdaya saing tinggi dan bermoral.
Presiden melakukan perencanaan dan
pelaksanaan. Departemen-departemen dan lembaga lembaga lain juga melakukan perencanaann dan pelakasanaan. Dearah-daerah juga melakukan perencanaan dan pelaksanaan . Seluruh komponen bangsa melakukan perencanaan dan pelaksanaan sesuai bidangnya. Semuanya mealaksanakan perencanaan
dan pelaksanaan
menuju satu sasaran sama dalam jangka pamjang: Indonesia yang terhormat dan disegani disegala bidang kehidupan sesuai jumlah penduduknya yang nomor 4 besar didunia. Sistem perencanaan demikian dapat disebut sistem manajemen strategis atau sistem perencanaan strategis. Untuk ini semua badan-badan perencanaan seperti Bappenas dan Bappeda-Bappeda perlu mengalami reformasi operasional. Paling tidak mereka perlu memiliki kemampuan menyusun ”roadmap”, baik jangka panjang maupun jangka menengah, dalam membantu bangsa mewujudkan visinya. Keterbatasan Keterbatasan-keterbatasan dasar perlu disampaikan dalam studi ini. Saya hanya memilih bahan bacaan yang saya anggap pokok mengenai topik-topik yang disampaikan dalam literatur. Banyak bahan bacaan yang belum dimasukkan. Juga perlu disampaikan mengenai keterbatasan yang ada yang menyangkut konsep produktifitas total masyarakat. Walaupun terdapat kesepakatan mengenai peran utama produktifitas, pada saat ini belum terlihat suatu pendekatan untuk menjelaskan sebab dan akibat dari produktifitas total masyarakat atau TFP.
35
Adalah merupakan sebuah hipotesa yang terselubung dari makalah ini bahwa TFP tidak bisa dijelaskan dengan menggunakan pandangan dunia dan pandangan mengenai manusia sebagaimana yang terdapat dalam faham ekonomi neoklasik. Pendekatan yang bagaimana yang harus ditempuh, ini adalah suatu tantangan selanjutnya. Kesimpulan Sebagai
kesimpulan
dapatlah
disampaikan
bahwa
bilamana
Indonesia
menginginkan suatu pembanguanan sosial-ekonomi yang konsisten dengan nilai nilai pokok UUD 1945, maka perlulah ditinggalkan paradigma operasional berbasis pada materialisme dan individualisme dalam mendefinisikan dan mengelola program-program
pembangunan
bangsa.
Pendekakan
individualistik
tidak
memungkinkan dilaksanakannya konsultasi dan kordinasi yang sistemik dalam pelaksanaan program. Penggunaan paradigma materialistik dalam bentuk pertumbuhan ekonomi tinggi
sebagai idiologi operasional untuk membawa
perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik bagi seluruh rakyat bukan saja sudah gagal tetapi juga tidak sejalan dengan faham Ketuhanan Yang Maha Esa. Peningkatan pengangguran dan dengan itu kesenjangan dan kemiskinan belum terlihat penyelesaian yang berkelanjutan. Penekanan pada sasaran-sasaran materialistik selama ini dalam proses pembangunan telah mengakibatkan diberikannya prioritas rendah dalam anggaran publik bagi pengembangan SDM dan ditempuhnya berbagai kebijakan yang tidak memanfaatkan sepenuhnya potensi utama bangsa yaitu potensi SDMnya; yang segala sesuatunya berakibat pada rendahnya produktifitas total masyarakat sebagai masukan menyeluruh dalam proses pembangunan. Untuk masa depan maka tidak ada alternatif kecuali menempuh strategi dan kebijakan berbasis pada Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab dalam upaya mewujudkan bangsa dan masyarakat
yang
bermoral
dan
berdaya
saing
tinggi,
dan
sekaligus
memaksimumkan kemampuan bangsa merealisasikan cita-citanya. Dalam kaitan ini maka pemanfaatan paradigma operasional ekonomi syariah dalam manajemen pembangunan bangsa merupakan suatu keharusan. 36
Hadirin yang mulia, Tidak ada kata terlambat untuk suatu ucapan terima kasih sebab tidak seorangpun dalam kehidupan ini dapat menganggap dirinya sebagai sebuah pulau yang terpisah dari kehidupan manusia lain baik dari segi waktu maupun georafi. Dalam kaitan ini izinkan saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada banyak pihak yang telah menyumbang kepada pendidikan saya selama ini sekaligus mengenang mereka. Sewaktu di SD di Medan, di zaman penjajahan Jepang, saya teringat kepada guruguru saya antara lain Bapak Badarudin Hasibuan Alm. yang telah memberikan pelajaran awal ilmu hitung.
Di madrasah Al-Ittihadiyah di Medan saya teringat
kepada Ustadz H. Mahmud Abubakar yang berasal dari Banten dan Ustadz M. Yusuf yang memberi pelajaran mengenai keesaan Tuhan Yang Maha Esa, Tawhid. Sewaktu bersekolah di sekolah menengah berbahasa Inggeris, Khalsa English School, Medan yang diasuh oleh masyarakat India Sikh, diparuh pertama dekade lima puluhan, saya kenang dengan rasa terima kasih antara lain
Mr. Thakur
Singh, Mr. Anthony, Mr. Partap Singh , Mr. Zulkifli Kho Yung Fu dan Mr. Jai Silan yang telah memperkenalkan saya kepada kedalaman pengamatan mengenai kamanusiaan yang tersimpan dalam karya-karya besar Shakespeare seperti Merchant of Venice dan Julius Caeser tetapi juga kepada
keindahan dan
kecanggihan yang tersimpan di dalam matematika, hukum-hukum alam kimiah dan fisika. Di bidang pendidikan formal di fakultas Ekonomi, Universitas HKBP Nommensen, Medan saya mengenang Bapak Silitonga, SH, dan Bapak Muhammad Syarif yang memberi pelajaran hukum ekonomi dan matematika untuk ekonomi; Drs. Van Kempen, dan Drs. Kropveld yang telah mengajarkan teori-teori ekonomi konvensional utamanya yang berasal dari benua Eropa. Terima kasih perlu saya tujukan kepada upaya dan langkah-langkah Prof. Douglas Paauw yang telah mengupayakan beasiswa dari Ford Foundation yang memungkinkan saya dan
37
keluarga belajar di Berkeley, California, Amerika Serikat. Terima kasih ini sekaligus juga tertuju kepada The Ford Foundation dan Universitas HKBP Nommensen, Medan yang telah memberi kepercayaan
kepada saya menerima
beasiswa tersebut. Selama di Berkeley saya banyak belajar dari dosen-dosen ekonom yang amat menguasi bidang-bidang yang mereka ajarkan. Di bidang ekonomi pembangunan, umpamanya, saya teringat kepada Prof. Harvey Leibenstein, dan Prof. Benyamin Higgins. Tentu saya tidak dapat melupakan jasa-jasa dari Professor pembimbing disertasi saya yaitu Prof. Garbarino, Prof. Galenson dan Prof. Malcolm Davisson. Inilah kesempatan yang tepat untuk mengucapkan terima kasih kepada dosendosen tersebut baik yang saya sebut maupun yang tidak. Pemdidikan informal banyak saya peroleh dari keterlibatan pada organisasiorganisasi sosial kemasyarakatan. Pada pemilu pertama di Republik ini, pada tahun 1955, saya ikut terlibat sebagai aktivis mendukung salah satu partai politik peserta pemilu. Sebagai mahasiswa di Nommensen saya mendirikan
HMI
Komisariat Nommensen sekaligus menjadi ketuanya. Tulisan-tulisan dan pidatopidato pemimpin-pemimpin Islam seperti Bapak Muhammad Natsir, Bapak Anwar Haryono, Bapak E. Z. Muttaqin dan Buya Hamka banyak memberi inspirasi kepada saya. Untuk itu semua mereka saya kenang dengan penuh rasa terima kasih. Pendidikan di tempat kerja banyak saya peroleh dari ekonom-ekonom terkemuka Indonesia. Di awal 1970-an, saya diangkat sebagai asisten Bapak Prof. Sumitro Djojohadikusumo, Alm. di Departemen Perdaganagan Republik Indonesia, dengan tugas membantu penyelesaian penampungan SDM ABRI yang harus pensiun pada waktu itu, yang timnya diketuai oleh Bapak Prof. Subroto. Pada tahun 1973, saya diminta turut bergabung ke Bappenas oleh Bapak Prof. Widjojo Nitisastro. Selama hampir seperempat abad, saya memperoleh kesempatan mempelajari dalam praktek manajemen dan perencanaan SDM suatu bangsa. Selama di Bappenas saya juga banyak belajar dari rekan-rekan baik Indonesia maupun asing. Saya teringat
38
antara lain kepada Bapak Sudjatmoko, Alm., Bapak Prof. Saleh Afiff, Alm., Bapak Mayjend. Slamet, Alm., Bapak Sujoto SH, Alm. Dalam pandangan saya, rekanrekan ini adalah pejuang-pejuang yang tulus bagi kemajuan Republik. Dari kalangan orang asing, saya perlu sebut Dr. Ynto Dewitt yang banyak membantu dalam
pengembangan
program-program
bagi
perluasan
lapangan
kerja,
pendidikan dan kesehatan seperti program Inpres Kabupaten, Inpres SD, dan Inpres Kesehatan (Puskesmas). Setelah pensiun dari Bappenas, atas ajakan seorang teman lama dari Nommensen, Dr. Sritua Arief, saya ikut bergabung bersamanya ke Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sejak di Medan Bung Sritua dan saya telah membuat kesepakatan informal bahwa dia berjuang diluar pemerintahan dan saya di dalam pemerintahan. Bung Sritua memajukan pertimbangan, universitas swasta seperti UMS, membutuhkan bantuan tenaga SDM bagi pengembangannya. Sebagaimana tercatat dalam sejarah universitas ini, Bung Sritua termasuk salah seorang pendiri program pascasarjana, khususnya Magister Manajemen. Pada awal berdirinya program beliau ikut memberi kuliah walaupun keadaan kesehatannya kurang dari prima. Beliau wafat tahun 2002. Partisipasi Bung Sritua dan saya di UMS tidak akan berlanjut tanpa dukungan sepenuhnya dari Rektor UMS, Bapak Prof. Dr. Bambang Setiaji dan sebelumnya Bapak Prof. Dochak Latif yang diikuti dengan dukungan simpatik dari pimpinan dan
staf universitas, khususnya pimpinan dan staf Program Pasca Sarjana.
Apresiasi perlu disampaikan kepada Direktur Program Pascasarjana, Prof. Dr. H. Muhammad Wahyuddin M.S, berikut jajaran pimpinan dan Ibu Ir. Khomariah MM. yang telah berhasil mengembangkan Program Pascasarjana ketingkat lebih maju dari masa-masa sebelumnya. Apresiasi dan terima kasih perlu saya sampaikan kepada isteri dan anak-anak saya yang mengisi wadah kasih sayang dan saling mendukung dalam keluarga yang kami bina. Terima kasih khusus perlu disampaikan kepada isteri saya, Dr. Sofia
39
Rangkuti, M.A., yang telah berbaik hati mengetik dan mengetik ulang disertasi saya. Terima kasih dan rasa rindu berikut doa saya tujukan kepada kedua orang tua saya. Ibunda saya, Sawyah Lubis adalah seorang buta huruf Latin tetapi ia bisa ’membaca’ sembarang ayat Al-Qur’an dalam gelap gulita. Ayahanda saya, Hadji Djamil Hashim Hasibuan seorang yang berpandangan kosmopolitan tetapi konsisten. Dia selalu memberi nasihat kepada saya bahwa seorang Muslim mesti sholat dan sholat teratur; kalau tidak berhenti saja jadi Muslim. Ibunda dan Ayahanda membesarkan saya dan dua adik saya, Muhammad Ramzi SH, MA dan Fauziah, dalam suasana ekonomi keluarga yang penuh cobaan, sebagaimana yang dihadapi oleh banyak keluarga Indonesia pada waktu itu. Secara profesional dan keilmuan, saya berdiri diatas pundak-pundak pendahulu dan para senior saya. Kalau ada yang baik dari apa yang saya sampaikan hari ini kepada para hadirin yang saya hormati, maka itu terpulang kepada para pendahulu dan senior ini dan tentu kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pemilik semua ilmu.
Kalau ada yang kurang baik maka itu tanggung jawab saya
sepenuhnya. Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan kesabaran para hadirin serta mohon ma’af yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan dan kekhilafan. Semoga Yang Maha Pengasih dan Penyayang dan Yang Maha Mengerti meluaskan berkah dan hidayahNya kepada kita semua. Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh.
40
Daftar Pustaka as-Sadr, A.M. B., Our Philosophy(2006), Muhammadi Trust of Great Britain and Northern Ireland , www.goecities.com/Athens/Cyprus/8613/writing .html , retrieved December 22, 2006 Bendix, R. Max Weber -- An Intellectual Potrait (1962), Doubleday & Company, Inc.New York Case,K.E., Fair, R.,C. Principles of Economics(1992), Prentice Hall, New York Catholic Encyclopedia on CD-Rom, http://www.newadvent.org/cathen/0776/a.htm, retrieved January 20, 2007 Badan Pusat Statistik ,Sensus Penduduk 1980, 1990, Survei Penduduk Antar-Sensus 1996, Jakarta. Chenery,H., Robinson, S., Syrquin,M., Industrialization And Growth, A Comparative Study, A World Bank Research Publication, Oxford University Press, Washington D.C., 1986 Eiwell, Dr.,F., Max Weber, Presentation, 2006(?), http://www.faculty.rsu.edu/felwell/Theorists/Weber/Presentation/2., retrieved January 22, 2007 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya (1998), Jakarta. Geanakoplos,J, Three Brief Proofs of Arrow’s Impossibility Theorem (2001), Yale University Press, New Haven, USA Harian Kompas, 25 February 2006, Jakarta Hasibuan, S. Meraih Keunggulan Indonesia, Strategi Alternatif Pembangunan Bangsa(2004), Fakultas Ekonomi Universitas Al Azhar Indonesia, Jakarta Hasibuan,S. (1996), Ekonomi Sunber Daya Manusia—Teori Dan Kebijakan (1996), LP3ES, Jakarta
41
Hasibuan, S., Manajemen SDM: Suatu Pendekatan Non-Sekuler(2001) Muhammadiyah University Press , Solo, Indonesia Hasibuan, S. (2005), “ Teori Ketidakmungkinan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, Jurnal Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Budaya Al Azhar Indonesia, Vol.IV, No.3, hal. 01-17 Khan, M. A., Ajaran Nabi Muhammad saw tentang Ekonomi(1996) Trans., 1996, Jakarta. . Kuznets, S., Economic Growth of Nations (1976), Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts.. Leibenstein, H. Inside The Firm (1987) Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts Luthfi, A.M., dari Konstruksi sampai Konstitusi, catatan perjalanan a.m.luthfi, (2007), Konstitusi Press, Jakarta Mair.D., Miller, A., G. Edit., A Modern Guide To Economic Thought (1991), Edward Elger Publishing Limited, England. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, (2007), Jakarta. Marshall, A.(1950), Principles of Economics (1950) , The Macmillan Company, New York. Mill,J.,S., Ashly, W.J.,(Edit.) (1909) The Principles of Political Economy, (1909), Longmans, Green and Co., London http://socserv2.soscimcmaster.ca/econ/ugcm/3ll3/mill/prin/book5/bk5ch11, retrieved December 20, 2006 Moser,P.,K. and Trout, J. D. (Edit.), Contemporary Materialism, A Reader, (A Reader), Routledge, London and New York. Popper, K., The Logic of Scietific Discovery (2002), Routledge, London
42
Presscott,E.C . Needed: A Theory of Total Factor Productivity (1997) Federal Reserve Bank of Minneapolis and University of Minnesota, Minnesota, U.S.A. Pusat Pengkajiandan Pengembangan Ekonomi Islam, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Ekonomi Islam, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008. Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, Jakarta Republik Indonesia , Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam 1994/19951998/1999 (1994), Jakarta Samuelson, P.A., Economics (1958), McGraw-Hill Book Company, New York. Susilo, W., Kemiskinan di Indonesia(Poverty In Indonesia), Harian Kompas, 9 November 2006 Tempo Magazine, Januari , 31-Februari 6, 2005 , Jakarta The World Bank , East Asian Miracle (1993), Oxford University Press, New York. UNDP , Human Development Report 2006,(2006), Oxford University Press, New York -------------------------------------------------------------------------------------------------------
43