PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR UNIVERSITAS NGURAH RAI Prof. Dr. Azhari A Samudra, M.Si JUDUL : PERTIMBANGAN KEARIFAN LOKAL DALAM PERSPEKTIF ADMINISTRASI PUBLIK DAN PUBLIC FINANCE
•
Plato (428-‐‑348 SM) : bahwa tidak ada kebijakan pemerintah yang baik sampai filosof menjadi raja, atau raja menjadi filosof. Karena itu, berusahalah anda menjadi filosof agar negara ini menjadi baik.
•
Edgar N Gladen (dalam Kettl, 1996) mengajukan pertanyaan apakah profesi tertua? Jawabannya, “the oldest proffesion is not prostitution but administration”
1. Pengantar Bali adalah salah satu propinsi yang unik dibanding dengan propinsi lain karena memiliki kelebihan yang berbeda. Perbedaan itu telah terlihat pada ikhwal sebelum kemerdekaan Republik ini eksis. Sejarah mencatat bahwa satu-‐‑satunya propinsi yang paling otonom pada masa sebelum kemerdekaan ialah Bali (Soebekti, 1964:65). Menurut Soebekti, Propinsi Bali juga memiliki konsep kebersamaan yang homogen, memiliki ragam filsafat tentang kehidupan, yang dalam implementasinya dapat dikatakan melebihi etnis lain. Dengan kehinduan mereka yang sejati, masyarakat Bali mudah membentuk diri dalam komunal-‐‑komunal dan segera mampu mengambil kebijakan dengan tanggap, cepat dalam konsep musyawarah. Pengaruh luar yang begitu membahana, tidak menyibakkan kesopanan, moral dan etika masyarakat Bali. Seperti halnya masyarakat Jepang yang kuat dengan ketradisiannya, maka masyarakat Bali tidak bergeming dengan membajirnya pengaruh asing yang silih berganti menggoda untuk menghancurkan sebuah tradisi mapan. Unik tersebut dapat pula diungkapkan bahwa berbagai keputusan lokal yang telah menjadi kebiasaan yang bermula dari adat-‐‑istiadat dan terangkat menuju kearifan lokal (local wisdom) yang terjaga dan terpelihara dengan baik. Di Bali, berbagai kebijakan publik yang telah diberlakukan secara nasional perlu dicermati dan disesuaikan dengan kebiasaan-‐‑kebiasaan lokal. Sebagai contoh, polisi lalu lintas jalan raya tidak mampu untuk menegakkan kebijakan untuk memakai helm, manakala sebagian anggota masyarakat telah memakai udeng-‐‑udeng. Mereka tidak berdaya untuk menyetop dan menghentikan pengendara kendaraan bermotor. Padahal kita sama-‐‑sama tahu, bahwa kebijakan mengenai helm dibuat dalam bentuk Undang-‐‑
à Pertimbangan Kearifan lokal…Prof. Dr. Azhari AS,M.Si
1
undang yang berlaku untuk seluruh wilayah Republik ini. Kebiasan ini disebut dengan kearifan lokal (local wisdom). Di Bali, kita tidak akan pernah menemukan bangunan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pohon kelapa atau pura, karena sudah menjadi ketetapan dan penghormatan terhadap rumah suci. Karena itu mungkin saja kita tidak akan menemukan jembatan layang yang dikonsep dengan ketinggian sama atau lebih dibandingkan dengan pura. Ketentuan tradisi seperti ini disebut juga dengan local wisdom. Di seantero Bali, para pecalang yang merupakan polisi adat yang dibanggakan masyarakat lebih berkuasa dibanding polisi lalu lintas jalan raya. Mereka juga dalam hal-‐‑hal tertentu lebih berkuasa dibandingkan dengan pemerintah lokal (kota/kabupaten) misalnya di dalam pemungutan retribusi parkir. Menurut Peraturan Daerah tentang perparkiran, pemerintah kota/kabupaten memiliki tupoksi untuk memungut retribusi parkir dan mendistribusikan kepada pemerintah tingkat bawah hasil pungutan tersebut dalam bentuk sistem bagi hasil. Pada kenyataannya justru pecalanglah yang menetapkan sistem bagi hasil dan bentuk setoran sisa kepada pemerintah daerah. Peran pecalang telah terangkat menjadi local wisdom. Karena itu di Bali jugalah Undang-‐‑undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (UU APP) terbentur, tertunda untuk segera diberlakukan, karena masyarakat Bali menganggap hal ini hanyalah sebagai suatu seni (art) saja (lihat http://suaranurani.wordpress.com/2008/09/18/kearifan-‐‑lokal-‐‑ bali-‐‑me-‐‑ nentang-‐‑uu-‐‑ anti-‐‑pornografi/). Lihatlah, bagaimana kebijakan publik selalu berbenturan dengan kearifan lokal (local wisdom), dan kebijakan publik tidak berdaya – tak punya kharisma – untuk menghentikan local wisdom. Mengapa demikian? Jawabannya hanya satu, karena kita di pusat, tidak memulai merencanakan kebijakan dari bawah (bottom-‐‑up), atau dengan kata lain konsep otonomi itu barulah sebatas wacana saja, atau implementasi kebijakan publik hanyalah dipandang sebelah mata oleh pengambil kebijakan (Lihat Nugroho, 2009). 2. Konsep Kearifan Lokal (Local Wisdom) Dalam kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-‐‑gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognitif) untuk
à Pertimbangan Kearifan lokal…Prof. Dr. Azhari AS,M.Si
2
bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai ‘kearifan/kebijaksanaan’. Local secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-‐‑pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut settting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-‐‑hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-‐‑nilai. Nilai-‐‑nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah-‐‑laku mereka. Teezzi, Marchettini, dan Rosini (dalam NA Ridwan 2007 : 3), mengatakan bahwa akhir dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Dalam masyarakat kita, kearifan-‐‑kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-‐‑kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-‐‑hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-‐‑kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-‐‑nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-‐‑ nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat kita yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-‐‑hari. Proses sedimentasi ini membutuhkan waktu yang sangat panjang, dari satu generasi ke generasi berikut. Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari proses trial and error dari berbagai macam pengetahuan empiris maupun non-‐‑empiris atau yang estetik maupun intuitif. Akhirnya kearifan lokal lebih menggambarkan satu fenomena spesifik yang biasanya akan menjadi ciri khas komunitas pada masyarakat Bali. Sartini (2004) menjelaskan dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang pengertian local genius ini (lihat Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut
à Pertimbangan Kearifan lokal…Prof. Dr. Azhari AS,M.Si
3
mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-‐‑19). Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-‐‑41) menyatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-‐‑cirinya adalah: 1. mampu bertahan terhadap budaya luar, 2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-‐‑unsur budaya luar, 3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, 4. mempunyai kemampuan mengendalikan, 5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya. I Ketut Gobyah dalam “Berpijak pada Kearifan Lokal” dalam http://www. balipos.co.id, didownload 17/9/2003, mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-‐‑nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-‐‑menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. S. Swarsi Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam Iun, http://www.balipos.co.id mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-‐‑nilai, etika, cara-‐‑cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. Dalam penjelasan tentang ‘urf, Pikiran Rakyat terbitan 6 Maret 2003 menjelaskan bahwa tentang kearifan berarti ada yang memiliki kearifan (al-‐‑ ‘addah al-‐‑ma’rifah), yang dilawankan dengan al-‐‑‘addah al-‐‑jahiliyyah. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. Kekurangpahaman akan kearifan lokal dapat menyebabkan pertikaian yang diakhiri dengan kemelut panjang. Hal ini terjadi pada pemindahan makam Mbah Priok pada waktu yang lalu sehingga memakan belasan orang meninggal dunia. Perseteruan ini dalam konsep kebijakan publik disebut myopia administration, yaitu bila suatu peraturan telah dilaksanakan, maka besok hari bila masyarakat melanggar harus segera dihukum, tanpa sosialisasi aturan itu. (lihat Nugroho, 2009). Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang
à Pertimbangan Kearifan lokal…Prof. Dr. Azhari AS,M.Si
4
berulang-‐‑ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-‐‑menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik akan hanya terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan. Fungsi Kearifan Lokal Menurut Prof. Nyoman Sirtha dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam http://www.balipos.co.id, bentuk-‐‑bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-‐‑istiadat, hukum adat, dan aturan-‐‑aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-‐‑macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam-‐‑macam. Balipos terbitan 4 September 2003 memuat tulisan “Pola Perilaku Orang Bali Merujuk Unsur Tradisi”, antara lain memberikan informasi tentang beberapa fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu: 1. Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam. 2. Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate. 3. Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji. 4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan. 5. Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat. 6. Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian. 7. Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan penyucian roh leluhur. 8. Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron client. 9. Dan satu lagi saya perlu tambahkan, bermakna otonom karena memiliki nilai sakral untuk mendorong daerah menuju masyarakat yang otonom. Dari penjelasan fungsi-‐‑fungsi tersebut tampak betapa luas ranah keraifan lokal, mulai dari yang sifatnya sangat teologis sampai yang sangat pragmatis dan teknis. Elly Burhainy Faizal dalam SP Daily tanggal 31 Oktober 2003 dalam http://www. papuaindependent.com mencontohkan beberapa kekayaan budaya, kearifan lokal di Nusantara yang terkait dengan pemanfaatan alam yang pantas digali lebih lanjut makna dan fungsinya serta kondisinya sekarang dan yang akan datang. Misalnya pada
à Pertimbangan Kearifan lokal…Prof. Dr. Azhari AS,M.Si
5
masyarakat Bali, dikenal istilah awig-‐‑awig yakni kearifan lokal yang merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-‐‑menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan. Dari awig-‐‑awig kita dapat memacu menuju daerah yang otonom menuju konsep social welfare, masyarakat Bali yang sejahtera. 3. Tantangan Ke Depan Ada banyak hal untuk menjelaskan bagaimana pengaruh hubungan lintas budaya, eknomi, administrasi publik dan globalisasi mempengaruhi kearifan lokal. Dalam perspektif nilai hal tersebut dapat dilihat misalnya dalam nilai etis, apa yang dianggap baik pada budaya masa lalu belum tentu demikian untuk masa sekarang. Apa yang dianggap wajar dan diterima pada budaya masa lalu mungkin sekarang dianggap aneh, atau sebaliknya. Kita dapat melihat bagaimana orang menanggapi cara berpakaian jaman sekarang, dengan model pakaian (agak) terbuka itu dianggap wajar, tetapi tidak demikian dengan orang dulu. Begitu juga bagaimana laki-‐‑laki dan perempuan bergaul, berbeda baik menurut pengertian budaya orang dulu dengan orang sekarang. Hal-‐‑hal tersebut menunjukkan betapa kearifan lokal itu mendapat banyak tantangan dengan adanya pengaruh budaya asing. Peluang penggalian dan analisis dapat juga dilihat dari aspek nilai lain di bawah ini (Sartini, 2004). Dalam konteks nilai religi, hubungan antara religi dan perkembangan budaya juga menunjukkan hal serupa. Bagaimana keberagamaan (bereligi) orang Bali berubah akibat pengaruh luar. Antara lain pergeseran ini menyebabkan penampilan budaya Bali menjadi berbeda antara dulu dan sekarang dan yang akan datang. Informasi populer tentang hal ini dapat dilihat pada tulisan dengan judul Antara Agama dan Budaya dalam http://www. iloveblue. com/balifunky/artikel_nali/detail/1099.htm. Dalam konteks nilai intelektual misalnya masalah kesehatan dalam penyembuhan penyakit, Nusantara sangat kaya dari pangalaman intelektual tentang pengobatan dengan obat tradisional sampai yang memanfaatkan kekuatan supranatural. Ada banyak peluang untuk pengembangan wacana kearifan lokal Nusantara. Dari beragam bentuk dan fungsinya dapat dilihat pada pemaparan di bagian depan tulisan ini. Di samping itu kearifan lokal dapat didekati dari nilai-‐‑nilai yang berkembang di dalamnya seperti nilai religius, nilai etis, estetis, intelektual atau bahkan nilai lain seperti ekonomi, teknologi dan lainnya. Maka kekayaan kearifan lokal menjadi lahan yang
à Pertimbangan Kearifan lokal…Prof. Dr. Azhari AS,M.Si
6
cukup subur untuk digali, diwacanakan dan dianalisis mengingat faktor perkembangan budaya terjadi dengan begitu pesatnya. Dalam tulisan ini, saya ingin menyoroti bagaimana kedudukan local wisdom dalam implementasi kebijakan publik di Indonesia, dan apa upaya yang harus dilakukan ke depan agar tidak berbenturan dengan kearifan lokal? serta apakah kearifan lokal dapat memainkan perannya untuk mendongkrak (leverage) keuangan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social welfare)? 4. Kearifan Local Dalam Wacana Kebijakan Publik Teori-‐‑teori ilmu administrasi yang berkembang dewasa ini paling sedikit telah sampai pada empat hal penting, yaitu menggeser paradigma rule government menuju good governance (Richard Aronson, 1985), mengubah pola pelayanan birokratisasi menjadi pendekatan servqual (Eliansen & Koiman, 1993), terjadinya perubahan paradigma public expenditure menjadi public revenue (Eric Ian Lane, 1985) serta pengukuran kinerja yang berlandaskan pada faktor finance belaka menunju pengukuran kinerja organisasi yang ekselen (Shingeo, Ohno, Crosby dan Ishikawa, 1995). Salah satu inti dari good governance ialah pelibatan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Sekalipun konsep ini sesungguhnya konsep lama dengan nama bottom-‐‑up, namun dalam implementasinya Indonesia adalah salah satu negara yang dianggap belum serius dalam menerapkan konsep bottom up. Alhasil dalam implementasi program pemerintah, seringkali tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan. Osborne dan Gaebler (2007) menggambarkan hendaknya pemerintah sekarang ini memahami bahwa pemerintahan mereka adalah pemerintah milik masyarakat yang mengalihkan wewenang kontrol yang dimilikinya ke tangan masyarakat. Masyarakat diberdayakan sehingga mampu mengontrol pelayanan yang diberikan oleh birokrasi pemerintah. Dengan adanya kontrol dari masyarakat, pegawai negeri (dan juga pejabat terpilih, politisi) akan memiliki komitmen yang lebih baik, lebih peduli, dan lebih kreatif dalam memecahkan berbagai masalah. Osborne juga menganggap bahwa pemerintahan sekarang ini haruslah merupakan sebuah pemerintahan yang cepat tanggap yang disebut dengan pemerintah antisipatif, sebuah pemerintahan yang berpikir ke depan. Dalam hal ini pimpinan instansi pemerintah mencoba mencegah timbulnya masalah daripada memberikan pelayanan untuk menghilangkan masalah. Mereka menggunakan perencanaan strategis, pemberian visi masa depan, dan berbagai metode lain untuk melihat masa depan.
à Pertimbangan Kearifan lokal…Prof. Dr. Azhari AS,M.Si
7
Sekarang kita menyaksikan kejadian nyata, pemerintah ditingkat pusat yang terdiri dari banyak departemen dan kementerian berjalan sendiri-‐‑sendiri, tidak terkoordinasi. Di tingkat propinsi dan kota/kabupaten kecendrungan inipun terjadi pula, dimana setiap dinas juga berjalan sendiri-‐‑ sendiri tanpa koordinasi. Pemerintah di tingkat pusat dan ditingkat daerah tidak membentuk sistem nilai dengan baik, cendrung tidak memelihara dan tidak mengembangkan sistem yang dapat menyelesaikan berbagai masalah. Dengan demikian partisipasi masyarakat tidak terbentuk. Partisipasi masyarakat hanya terlihat pada sistem politik yang terwujud dalam bentuk kepartaian belaka. Partisipasi adalah prinsip bahwa setiap orang memiliki hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan di setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Keterlibatan dalam pengambilan keputusan ini dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung. Dampak tidak terbentuknya partisipasi aktif masyarakat adalah tidak terakomodasinya berbagai argumen masyarakat, dan tidak terwakilinya kepentingan-‐‑kepentingan level bawah. Karena itu, kitapun akan dapat melihat berbagai keputusan yang telah disusun dengan proses akumulasi sebagaimana Dunn (2004) dan Nugroho (2008) menjelaskan, ternyata tidak dapat diimplementasikan dengan baik. Buruknya, sebagian hasil kebijakan publik berupa Undang-‐‑undang tidak dapat diimplementasikan dengan baik. Setiap kebijakan akhirnya cenderung dipaksakan. Misalnya kita dapat melihat Undang-‐‑undang Sisdik yang tidak menyuarakan berbagai usulan dari setiap perguruan tinggi, Undang-‐‑ undang Penistaan Agama, Undang-‐‑undang-‐‑undang perpajakan yang datangnya selalu dari atas. Uji materil pasal-‐‑pasal dalam Undang-‐‑undang belakangan yang diajukan oleh berbagai institusi kepada Komisi Yudisial menunjukkan bahwa masyarakat mulai kritis terhadap setiap keputusan berupa kebijakan publik yang diambil hanya berdasarkan keinginan kalangan atas. Benturan implementasi sering terjadi dikalangan bawah ketika kebijakan mulai diimplementasikan. Implementasi kebijakan yang mandul, yang menghabiskan energi dan pikiran hampir terjadi di semua sektor termasuk kebijakan dalam Undang-‐‑undang Perpajakan yang dipaksakan dengan tarif tinggi. Indonesia adalah termasuk salah satu negara yang menerapkan tarif pajak tertinggi di dunia. Bandingkan dengan USA yang menerapkan tarif tertinggi 33% terhadap PPh, Indonesia ternyata lebih tinggi lagi mencapai 35%. Penerapan kebijakan NPWP terhadap penduduk yang bekerja dan penghasilannya di bawah PTKP merupakan kebijakan yang inefisiensi dan menghabiskan kertas untuk melakukan tax report setiap bulan dan setiap tahunnya. Pantaslah kemudian, kita menjadi terkenal sebagai negara yang boros sekaligus tidak berpihak pada rakyat kecil.
à Pertimbangan Kearifan lokal…Prof. Dr. Azhari AS,M.Si
8
Di berbagai propinsi terdapat banyak culture yang telah berkembang dan mapan semenjak bumi pertiwi ini ada. Culture mulai dikalahkan dengan berbagai kebijakan publik yang muncul belakangan ini. Ketika rumah-‐‑rumah adat dipunahkan, ketika seorang pemimpin bersalah masuk penjara dan ketika rasa malu, moral dan nilai-‐‑nilai tidak lagi menjadi tameng di waktu mengkorupsi, sebagai orang timur telah bertahun ditinggalkan. Akuntabilitas terbuang, walau dengung adanya sebuah ingin menjadi negara yang good governance seringkali digembar-‐‑gemborkan. Orang yang bersalah di negeri ini boleh kembali duduk dipemerintahan (bandingkan dengan Korea dan Jepang sebagai negara timur). Cara-‐‑cara pengambilan keputusan dengan musyawarah juga telah mulai ditinggalkan, orang cendrung mengambil keputusan secara individual dan dipaksakan karena adanya interest tertentu. Kita merasakan kebijakan publik tidak memihak kepada moral dan nilai-‐‑nilai, tidak memihak kepada rakyat kecil, karena kita tahu setiap pengambilan kebijakan publik mengalami pressure dari faktor eksternal. Dengan demikian kita melihat kebijakan publik mengalami problem serius dalam implementasinya di Indonesia. Apa langkah-‐‑langkah kita ke depan? Bali sesungguhnya tidak memerlukan ‘Otonomi Khusus’, tapi yang diperlukan ialah suatu ‘kebijakan kekhasan’, yakni Kebijakan publik tingkat nasional yang mampu untuk memayungi kearifan lokal (local wisdom). Sebagaimana diketahui, sebagian propinsi di Indonesia memiliki kekhasan, Bali adalah salah satu contoh yang memiliki kekhasan itu. Kekhasan itu terbentuk dalam nilai-‐‑nilai luhur yang terwujud jauh sebelum Indonesia merdeka. Unsur budaya daerah Bali yang potensial ini (local genius) telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Sesuai dengan pendapat Ayatrohaedi (1986) local genius ini mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-‐‑unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, serta mempunyai kemampuan mengendalikan, dan mampu memberi arah pada perkembangan budaya. Sesungguhnya kearifan lokal dapat beriringan sejalan dengan kebijakan publik. Sebagai contoh, kearifan lokal dapat berjalan dengan kebijakan publik dapat dilihat pada masyarakat Minang, Sumatera Barat. Dalam hal ini sebuah kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah lokal ternyata mampu mendukung local wisdom yaitu memotivasi masyarakat perantauan dengan ‘gebu minang dan pulang basamo’ dalam rangka untuk membangun ‘nagari’ yang tertinggal dalam pembangunan (diunduh dari http://majalahsaran.wordpress.com/ 2009/08/31/ aneka-‐‑harapan-‐‑masyarakat-‐‑ saniangbaka-‐‑terhadap-‐‑pulang-‐‑basamo-‐‑2010).
à Pertimbangan Kearifan lokal…Prof. Dr. Azhari AS,M.Si
9
Pentingnya sebuah kebijakan publik yang melindungi ‘kekhasan kearifan lokal’ perlu diciptakan oleh pemerintah pusat sebagai payung bagi kebijakan publik untuk tidak berbenturan dengan local wisdom. Hal ini akan memberikan banyak manfaat, diantaranya : a. Menjadi acuan bagi setiap kebijakan publik yang akan diambil. b. Menjadi acuan setiap daerah untuk tidak mengambil keptusan yang kontradiktif dengan kearifan lokal; c. agar kearifan lokal dapat terlindungi, d. agar tidak adanya benturan antara kebijakan pusat dengan kearifan lokal, e. agar kebijakan publik dapat lebih efektif dalam implementasinya, f. agar kebijakan publik mendapat dukungan dari setiap anggota masyarakat, serta g. agar implementasi untuk menuju sebuah negara yang good governance dapat dicapai. h. Agar kearifan lokal dapat mendukung ke arah kemandirian daerah menuju daerah otonom. 5. Kearifan Local Dalam Wacana Public Finance 5.1. Sejarah Bali sebagai Satu-‐‑satunya Propinsi Otonom Sejarah telah mencatat, selama kurun waktu 10 tahun antara tahun 1941-‐‑1951, propinsi Bali dianggap sebagai satu-‐‑satunya propinsi yang sudah otonom. Hal ini dapat dilihat pada hasil penelitian Prof. Dr. R. Tobias Soebekti (1965:12) sewaktu beliau mengajukan disertasi program doktoral di Universitas Indiana, USA pada tahun 1965. Pernyataan Bali sebagai propinsi yang paling otonom itu dapat diamati pada pertemuan yang ke-‐‑112, yang diselenggarakan pada Parlemen Radjiman Widiodiningrat, untuk mengkaji pemberlakuan kembali sistem landrent dalam bentuk pajak pendapatan. Waktu itu I Gusti Gde Raka, seorang wakil dari Bali sangat skeptis mengenai kebijakan untuk menggantikan landrent dengan Pajak Pendapatan. Gde Raka menjelaskan alasannya sebagai berikut: "ʺSaya ingin memperoleh banyak informasi dari pemerintah mengenai pajak ini, oleh karena dengan pembatalan landrent dan diganti dengan Pajak Peralihan akan semakin tidak jelas cara penerapannya. Secara spesifik harus dicatat, bahwa landrent di Bali telah menjadi sumber pendapatan anggaran bagi Self Governing Lands. Banyak sekali orang Bali, khususnya para buruh tani yang dibebaskan dari pajak sebagai konsekuensi dari penggantian sistem landrent ke sistem Pajak Peralihan. Masalahnya kemudian, apakah pemerintah pada saat itu berkeinginan dapat menolong daerah Bali yang sudah otonom itu apabila kekurangan pendapatan?”
à Pertimbangan Kearifan lokal…Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 10
Tobias Soebekti (1964: 12) kembali menjelaskan, “hal ini tampak bahwa pemerintah tidak menyadari akibat dari pertanyaaan I Gusti Gde Raka tersebut. Hal ini terbukti dari pernyataan S.I. Djayadiningrat ; bahwa walaupun landrent di Bali menghasilkan pendapatan utama untuk wilayah otonom tersebut, tapi ada suatu hal yang terlupakan, bahwa suatu saat Pajak Peralihan sebagai pengganti Landrent akan menyebabkan Bali tidak lagi menjadi daerah otonom. Pernyataan S.I. Dyayaningrat telah terbukti, Propinsi Bali tidak lagi menjadi daerah yang paling otonom, tapi saat ini propinsi Bali memiliki tingkat ketergantungan yang cukup tinggi terhadap pemerintah pusat. 5.2. Konsep Social Walfare dan Keuangan Pemerintah Daerah Hakikat keberadaan sebuah negara atau suatu pemerintahan ialah untuk menciptakan msyarakat yang adil dan sejahtera. Dalam literatur public finance negara atau pemerintah memiliki fungsi yang banyak dengan tujuan akhir social welfare (kesejahteraan masyarakat). Untuk mencapai konsep social welfare itu diharapkan setiap pemerintah daerah mampu menggali potensi daerahnya sendiri, menggalakkan partisipasi masyarakat, mengurangi tingkat kemiskinan, mengurangi tingkat korupsi dan meningkatkan kerja pelayanan publik. Semua itu bermuara pada berkurangnya ketergantungan daerah terhadap pusat menuju daerah otonom. Sebab itu pemerintah pusat lalu menyerahkan sebagian discreation kepada daerah untuk mengatur berbagai sumber dan mengamankan sumber-‐‑sumber itu dalam kerangka kesejahteraan sosial. Menurut Musgrave and Musgrave (1991), dalam rangka menuju konsep social welfare, pemerintah memiliki paling sedikit empat fungsi, diantaranya ialah redistribution of income, yakni mengambil sejumlah sumber pendapatan dari masyarakat kaya dan mendistribusikan kembali kepada masyarakat tak mampu. Dengan demikian pemerintah memiliki alasan atas nama keadilan dan kesejahteraan untuk mengatur segala lapisan masyarakat. Untuk menterjemahkan konsep redistribution of income, pemerintah lalu memberlakukan undang-‐‑undang dan peraturan sebagai bentuk dari sebuah kebijakan publik yang sah. Diantaranya ialah bagaimana mengatur agar sebuah propinsi atau pemerintah kota/kabupaten menuju pemerintah yang otonom. Isu discreation ini pada negara-‐‑negara maju dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan pemerintah lokal, mereka mengemasnya dengan nama taxing power. Konsep taxing power pertama kali dijelaskan oleh John Locke dalam Rozeff (2005:1) yang mengatakan bahwa pemerintah tidak dapat menjalankan tampuk kepemerintahannya tanpa biaya yang besar,
à Pertimbangan Kearifan lokal…Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 11
karena itu diperlukan kewenangan besar pula untuk memungut biaya dalam bentuk pajak dan retribusi. Di sinilah letak permasalahannya, dengan kewenangan yang besar itu lalu pemungutan pajak menjadi beban dan sekaligus menakutkan bagi masyarakat. Dalam studinya di Chile, Jaime V. Caro sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Safri Nurmantu (2003:154), mengemukakan 8 alasan mengapa masyarakat tidak mau membayar pajak. Alasannya ialah a). Karena saya tidak menerima manfaat, b). Karena jumlah beban pajak saya terlalu besar, c).karena pemerintah mencuri uang saya, d). Karena para pejabat juga tidak membayar pajak; e). Karena walaupun saya tidak membayar pemerintah tidak akan memberikan sanksi, f). Karena saya tidak tahu bagaimana melaksanakan pembayarannya; g). Karena saya telah mencoba tapi saya tetap tidak mampu; dan h). Karena bila pemerintah menangkap saya, maka baru saya akan membayarnya. Semua alasan masyarakat mengacu kepada ketidaktahuan dan beratnya beban pajak (tax burden). Beban pajak ini digambarkan dalam suatu anekdot sebagai berikut: “seorang ibu yang sedang hamil berkelakar sambil menepuk kandungannya, “wahai anakku, baru saja ibu habis minum susu prenagen, masih janin saja kamu sudah dikenakan PPN 10%. Ketika sang ibu meninggal, maka si anakpun menimpali, “ibuku sekarangpun engkau harus menanggung pajak 10% atas pajak kuburanmu, alangkah teganya engkau wahai pemerintahku. Ukuran otonom dari sisi keuangan daerah tidak seharusnya menjadi beban bagi masayarakat. Ada cara lain yang mengacu pada pendapat para pakar keuangan, pajak retribusi daerah. Misalnya Neumark -‐‑ dalam Ray M Sommerfeld et.all. (1983: 3-‐‑5) -‐‑ menjelaskan tentang konsep revenue productivity. Sistem ini mengatakan bahwa sistem yang dianut pemerintah seharusnya dapat menjamin penerimaan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Misalnya pengenaan tarif pajak dan retribusi yang tinggi secara teoritis tidak selalu menghasilkan total penerimaan yang tinggi pula, hal ini tergantung dari respon wajib pajak. Pandangan ini dikenal dengan hipotesis Leviathan yang menjelaskan penerimaan pemerintah dari pajak dan retribusi meningkat bukan disebabkan oleh kenaikan tarif, tetapi naik secara otomatis yang dapat disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi, inflasi atau struktur pajak yang meminimalkan penghindaran pajak, respon harga dan kuantitas barang terhadap pengenaan pajak, maka akan dicapai total penerimaan maksimal (Brennan and Buchanan, 1999:20-‐‑22). Dengan demikian di satu sisi fungsi redistribution of income sangat berkaitan dengan local taxing power yang memberi tekanan pada beban pajak. Sebaliknya hipotesis leviathan berusaha mengurangi tekanan pajak dengan cara mengalakkan pajak-‐‑pajak konsumtif. Konsep leviathan yang terkenal itu diterapkan oleh pemerintah Jerman yang saat ini
à Pertimbangan Kearifan lokal…Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 12
mengimplementasikan pajak-‐‑pajak konsumtif (PPN) kepada masyarakat. Dengan demikian orang-‐‑orang yang konsumtif akan terkena pajak tinggi dan mereka menyumbang lebih 55% pendapat pajak setiap tahunnya. Dari berbagai isu permasalahan di atas, kita perlu mencermati bagaimana redistribution of income itu terjadi di propinsi Bali. Menurut Vailancourt, Bird dan Musgrave menjelaskan redistribution of income ini dapat dilihat tingkat derajat desentralisasi fiskal, taxing power dan tax effort. Dari tabel 1 berikut ini, perhitungan derajat desentralisasi fiskal propinsi Bali selama kurun waktu 5 tahun anggaran, baik rasio terhadap TPD terhadap APBD memiliki selisih perbedaan angka yang kecil. Pendapatan asli daerah sebagai sumber penerimaan murni daerah dengan rasio rata-‐‑rata per TPD 65,92% dan rata-‐‑rata rasio per APBD sebesar 66,94%, sedangkan penerimaan berupa sumbangan atau bantuan dari pemerintah pusat mencapai rasio 33,53% untuk rata-‐‑rata per TPD dan APBD. Hal ini menunjukkan tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pusat masih cukup tinggi.
Tabel 1. Gambaran Derajat Desentralisasi Fiskal Propinsi Bali Tahun 2004-‐‑2008 (dalam juta rupiah) PENERIMAAN
PAD
2004 % terhadap TPD % terhadap APBD 2005 % terhadap TPD % terhadap APBD 2006 % terhadap TPD % terhadap APBD 2007 % terhadap TPD % terhadap APBD 2008 % terhadap TPD % terhadap APBD
BHPBP
SUMB/DAU
LAIN2
TOTAL
TOTAL
TPD
APBD
559,558,657 44,132,414 192,805,720 9,938,965 806,435,756 0.69 0.05 0.24 0.01 -‐‑ 0.69 0.05 0.24 0.01 -‐‑
806,558,657
742,886,075 61,440,427 199,924,000 8,832,000 1,013,082,502 0.73 0.06 0.20 0.01 -‐‑ 0.73 0.06 0.20 0.01 -‐‑
1,013,082,505
729,338,160 68,290,130 353,306,000 -‐‑ 1,150,934,290 0.63 0.06 0.31 -‐‑ -‐‑ 0.63 0.06 0.31 -‐‑ -‐‑
1,150,934,289
834,475,058 88,771,234 436,533,000 8,225,112 1,368,004,404 0.61 0.06 0.32 0.01 -‐‑ 0.61 0.06 0.32 0.01 -‐‑
1,368,004,404
922,656,729 92,320,443 460,129,338 -‐‑ 1,475,106,510 1,475,120,112 0.63 0.06 0.31 -‐‑ -‐‑ 0.63 0.06 0.31 -‐‑ -‐‑
à Pertimbangan Kearifan lokal…Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 13
RATA2 PER TPD
65,92 6,14 27,49 0,45
RATA2 PER APBD
66,94 5,04 27,48 0,54
Sumber: Propinsi Bali dalam Angka, Data BPS dari Tahun 2004-‐‑2009
Disisi lain sebagaimana kita ketahui sumber utama pendapatan asli daerah berasal dari sektor pajak dan retribusi daerah. Di Propinsi Bali sumber PAD rata-‐‑rata terbesar berasal dari pajak (60,70%), dan rata-‐‑rata retribusi (5,22%), atau 65,92% dari total APBD propinsi, sisanya bersumber dari BHBP dan DAU/DAK (33,63%). Sekarang kita memahami, bila sumber pendapatan daerah Bali berasal dari sumbangan pemerintah pusat berkisar sekitar 33,63%, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat ketergantungan Propinsi Bali masih cukup besar. Setiap tahun tingkat ketergantungannya bervariasi. Berdasarkan data yang diperoleh selama kurun waktu 2004-‐‑2008, maka hanya di tahun 2005, propinsi Bali mampu mencapai derajat desentralisasi terbaik yaitu 73,33%, dan yang paling rendah pada tahun 2007 hanya mencapai 61% saja. Hal ini memperlihatkan range yang jauh dibandingkan dengan propinsi DKI Jakarta yang derajat desentralisasinya mencapai angka 96%.1 Dengan kata lain, propinsi DKI Jakarta mendekati propinsi yang otonom bila dilihat dari sisi penerimaan keuangan daerah. Tabel 2. Local Taxing Power propinsi Bali Tahun 2004-‐‑2008
(dalam juta rupiah)
Tahun
PAD
APBD
%
559,558,657 742,886,075
806,558,657 1,013,082,505
0.6938
2006
729,338,160
1,150,934,289
0.6337
2007
834,475,058
1,368,004,404
0.6100
2008
922,656,729
1,475,120,112
0.6255
0,6592
2004 2005
Rata2
0.7333
Sumber: Propinsi Bali dalam Angka, Data BPS dari Tahun 2004-‐‑2009
Masih rendahnya derajat desentralisasi mengindikasikan beberapa hal yakni tax effort pemerintah propinsi Bali belum maksimal, daya bayar pajak 1
Lihat Penelitian Azhari A Samudra, 2008, Kinerja Organisasi Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan Pendekatan Systems Thinking dan System Dynamics, Disertasi, FISIP-‐‑Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 214, tidak dipublikasikan.
à Pertimbangan Kearifan lokal…Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 14
masyarakat mungkin rendah, tingkat penyelewengan pajak mungkin tinggi, atau pemerintah propinsi mungkin belum mampu menekan pengeluaran rutin dan pembangunan. Tax effort itu sendiri ialah upaya pemerintah lokal untuk meningkatkan penerimaan daerah dari sektor pajak dan retribusi.2 Menurut Devas, PDRB bagi sebagian besar ahli perpajakan dianggap sebagai pengukur yang lazim digunakan. Untuk melihat tax effort propinsi Bali, dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 3. Perbandingan Penerimaan Pajak dan PDRB Propinsi Bali Tahun 2004-‐‑2008
(dalam ribuan rupiah)
Tahun
PAD
%
PDRB -‐‑ADHB
%
2004
559,558,657
-‐‑
167,910
-‐‑
2005
742,886,075 729,338,160 834,475,058 922,656,729
0,33
196,640 220,618 305,213 368,129
0,17
2006 2007 2008 Rata2
-‐‑0,02 0,14 0,11 0,14
0,12 0,38 0,21 0,22
Sumber : Hasil Olahan Data
Elastisitas Penerimaan Pajak terhadap PDRB (Harga Berlaku) =
22,00 %
14,00 %
= 1,571
Dalam penghitungan ini tax effort dipengaruhi oleh nilai PDRB-‐‑ ADHB. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa upaya fiskal (tax effort) propinsi memiliki nilai 1,57i%. Nilai ini diperoleh dengan membandingkan rata-‐‑rata PAD dibagi dengan rata PDRB-‐‑ADHB. Dengan demikian dapat diketahui perhitungan elastisitas PAD terhadap PDRB Harga Berlaku. Data di atas menjelaskan bahwa pertumbuhan PDRB atas dasar harga berlaku 2
Menurut Devas et.all, 1989 (dalam buku Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, Penerbit UI Press, Jakarta), terdapat tiga tolok ukur di dalam mengukur keberhasilan daerah untuk meningkatkan penerimaannya yaitu hasil, efektivitas dan efisiensi. Hasil (yield) menyangkut tentang upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak (tax effort) karena hasil itu membandingkan antara jumlah pajak yang dipungut dengan produk domestik regional bruto (PDRB), hal. 61.
à Pertimbangan Kearifan lokal…Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 15
ikut mempengaruhi penerimaan pajak. Artinya apabila PDRB naik 1,0 % maka penerimaan pajak akan meningkat sebesar 1,571%. Angka di atas juga menunjukkan bahwa angka penerimaan pajak elastis terhadap PDRB harga berlaku. Dengan demikian kesimpulan yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4 Derajat Desentralisasi Fiskal dan Posisi Fiskal Propinsi Bali Tahun 2004-‐‑2008 INDIKATOR
HASIL
1. Derajat Desentralisasi Fiskal
PAD / TPD BHPBP / TPD Sumbangan / TPD
0,6694 0,3252 0,0054
2. Upaya / Posisi Fiskal (tax effort)*)
Elastisitas PAD terhadap PDRB (ADHB)
1,5710
Sumber : Hasil Olahan Data.
Hasil tax effort yang diperoleh oleh Propinsi Bali cukup baik karena berada di atas 1%. Sebagai perbandingan, Stotsky dan Mariam (1997:1) dalam studinya tahun 1990-‐‑1995 di 43 negara Sub Sahara Afrika menjelaskan bahwa tax effort negara-‐‑negara bagian tersebut sangat rendah, di bawah 1%. Hal ini disebabkan oleh upaya atau usaha untuk menggali pajak-‐‑pajaknya juga rendah. Upaya optimalisasi pajak negara-‐‑negara tersebut dilakukan dengan upaya meningkatkan tarif pajak, mengkaji ulang peraturan pajak, insentif petugas pajak dan sebagainya. Tidak satupun ada upaya pemerintah dalam bentuk sosialisasi dan menggencarkan berbagai informasi dalam bidang perpajakan dan retribusi. Inti pokok pada persoalan ini ialah bagaimana pemerintah daerah harus mampu mengatur penerimaan dan mengurangi ketergantungannya terhadap pusat dengan memampukan metode yang ada dan dikombinasikan dengan kearifan lokal dalam rangka menuju social welfare. Hal ini sejalan dengan pendapat Simanjuntak (2001), yaitu semakin berkurangnya ketergantungan daerah terhadap bantuan pusat, maka semakin dicapai derajat desentralisasi fiskal. Dalam hal ini derajat desentralisasi fiskal tidak hanya memfokuskan pada sisi kewenangan dalam pengelolaan penerimaan saja, melainkan juga membahas mengenai kewenangan dalam pengelolaan pengeluaran sehingga lebih berdaya dan berhasil guna terhadap penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Sebab itulah, untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dari sektor pajak daerah dan retribusi diperlukan a). perencanaan organisasi yang matang, b).sistem kelembagaan dan perangkat hukum yang kuat c). ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten, d). Kemampuan
à Pertimbangan Kearifan lokal…Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 16
pemerintah propinsi Bali untuk melakukan Sosialisasi dengan didukung masyarakat luas. Hal ini merupakan faktor penting serta prioritas yang dibutuhkan pemerintah propinsi Bali saat ini. 5.3. Dukungan Local Wisdom Sebagaimana melihat masa jayanya Bali di awal kemerdekaan sebagai sebuah propinsi yang paling otonom, maka kini kita banyak cara untuk menjadi sebuah propinsi yang mandiri, apalagi Bali didukung oleh masyarakat yang homogen, trampil, create dengan berbagai idea. Sampai saat ini, masyarakat Bali tidak pernah berpikir untuk mendatangkan sejumlah investor ke wilayahnya sebagaimana konsep PMA/ PMDN yang pernah dicetuskan oleh rezim Soeharto pada tahun 1968. Karena kita tahu bahwa investor asing yang datang bila tidak ditenggarai akan menyebabkan kerusakan alam dan mempengaruhi budaya secara negatif. Di tahun 1968 itu pemerintah berharap banyak agar kita bangkit dari keterpurukan ekonomi, maka alhasil setelah itu banyak investor yang mampu menyerap jutaan tenaga kerja dengan cara mengekplorasi berbagai sumber. Setelah masa-‐‑masa kejayaan minyak bumi (oil boomber), maka di tahun 1983 Prof. Dr. Soemitro, bagawan ekonomi -‐‑ memberikan lampu kuning kepada rezim Soeharto bahwa masa-‐‑masa indah oil boomber sudah berakhir. Segera pemerintahan Soeharto mengambil kebijakan baru, yakni menggalakkan kemandirian dari sektor perpajakan. Tahun 1984, pemerintah memberlakukan PPh dan PPN yang sekarang ini kita dapat melihat bahwa tanpa 2 jenis pajak itu pemerintah Indonesia akan sakit. Pajak yang tinggi tanpa diimbangi dengan kebijakan moneter yang baik (lihat kasus-‐‑kasus perbankan termasuk Century, IMF, korupsi Pejabat di Bank Indonesia) negara ini tidak akan pernah bangkit dari keterpurukan. Hal yang menarik pada propinsi Bali yang tidak punya sumber-‐‑ sumber bagi hasil seperti tambang, namun demikian walaupun tidak memiliki hasil tambang Bali tidaklah serumit yang dibayangkan. Secara tersirat rezim Soeharto memelihara Bali dengan kebijakan menggalakan sektor pariwisata. Jadi, pada tahun 1983 itu ada dua kebijakan publik yang diungkapkan yakni pemberlakuan pajak baru dalam bentuk PPh dan PPN yang dikenal dengan reformasi perpajakan serta kebijakan publik dalam bidang parawisata untuk propinsi Bali. Melalui sektor pariwisata Bali membangkitkan citra Indonesia, tapi di sisi lain citra Bali sebagai sebuah propinsi paling otonom belumlah pulih. Bali tidak punya pendapatan yang besar, kemampuan Bali dengan derajat desentralisasi yang hanya mencapai rata-‐‑rata 66,94% termasuk kategori sedang.
à Pertimbangan Kearifan lokal…Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 17
Ditinjau dari sistem nilai-‐‑nilai yang ada semestinya Bali mampu untuk bangkit lebih jauh. Nilai-‐‑nilai yang dibentuk di dalam masyarakat belum sepenuhnya mempunyai korelasi terhadap ilmu administrasi, ekonomi dan mampu menopang sistem ekonomi daerah. Sistem Administrasi dan ekonomi yang diwujudkan dalam bentuk propinsi yang otonom tidak memiliki sistem nilai yang kokoh. Lihatlah kebijakan-‐‑ kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah daerah dalam wujud pajak daerah, retribusi daerah tidak didasarkan atas pelibatan (involve) bagian terbesar dari anggota masyarakat. Keputusan dibuat sepihak atas usulan pemerintah daerah kepada DPRD, lalu tidak lama Dewan mengesahkan dalam bentuk peraturan daerah. Pendekatan ini dalam implementasi kebijakan publik disebut dengan model Edward III, yang implementasinya dilakukan dengan cara paksaan. Model yang dikembangkan saat ini ialah model Elmore dengan pendekatan behavior yang lebih cenderung pada pendekatan nilai-‐‑nilai (diusulkan oleh Richard Elmore dkk, 1979). Model ini sangat terkenal sampai saat ini, karena model kebijakan publik ini mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakan itu. Kebjakan publik yang dibuat harus sesuai dengan harapan dan keinginan publik yang menjadi targetnya. Kebijakan ini diprakarsai oleh masyarakat baik secara langsung ataupun lewat LSM-‐‑LSM (Nugroho, 2008: 447). Di zaman penjajahan Belanda, yang pertama kali dibuat ialah membentuk sistem-‐‑sistem nilai berupa dukungan dari masyarakat dan pemerintahan desa. Metode ini disebut dengan rincikan yang pertama kali dilakukan tahun 1896 di Periangan Bandung, kemudian melebar ke seluruh pulau Jawa, Madura dan Bali. Rincikan melibatkan pemilik tanah, petugas theodolit, kepala desa dalam pengukuran tanah. Kemudian berdasarkan kesepakatan masyarakat, pemerintah desa dan pemerintah Belanda ditetapkanlah klas tanah. Selanjutnya pemerintah Belanda lalu mengumumkan dalam bentuk plakat-‐‑plakat (Soebekti, 1965). Sekarang kita mengenal istilah ini dengan nama bottom-‐‑up dan kemudian menyosialisasikannya. Dengan demikian sistem nilai telah terbentuk dengan baik. Sebab itu bila kita menanyakan kepada orang-‐‑orang tua yang masih hidup, pastilah mereka bisa menjelaskan landrente atau Ipeda yang pernah berlaku di zaman dulu. Di zaman sekarang, banyak anggota masyarakat yang bingung. Pemerintah memberlakukan retribusi parkir, juga ada pajak parkir. Mereka bertanya apa bedanya? Lalu yang agak mengerti menjawab, kalau retribusi parkir biasanya petugasnya berpakaian warna orange, umurnya sudah tua dan parkirnya di pinggi jalan. Kalau pajak parkir petugasnya kebanyakan cewek cakep-‐‑cakep, pakaiannya warna biru muda, bertugas di depan mal-‐‑
à Pertimbangan Kearifan lokal…Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 18
mal dan bayaran parkirnya lebih mahal. Jawaban ini masih tetap membingungkan. Kenapa hal itu terjadi? Karena kita belum membentuk sistem nilai. Di Bali, nilai-‐‑nilai mudah tumbuh dengan baik, dukungan masyarakat besar. Bila mereka sudah memberikan kontribusi dukungan yang besar maka program pemerintah mudah berjalan dengan baik. Hal ini sangat tergantung pada metode pendekatan yang akan diambil. Dari local wisdom yang merupakan threat dari sebuah kebijakan publik dapat dijadikan opportunty untuk meningkatkan penerimaan daerah. Mari kita ambil suatu contoh. Di Sumatera Barat, pemerintah lokal mampu membuat kebijakan yang mendukung local wisdom yaitu memotivasi masyarakat perantauan Minang dengan ‘gebu minang dan pulang basamo’ dalam rangka untuk meningkatkan penerimaan daerah. Berjuta-‐‑juta mayarakat Minang yang ada di perantauan mengirimkan sebagian pendapatan mereka untuk pembangunan daerah yang dampaknya ikut menaikkan arus sirkulasi uang di propinsi itu dan sekaligus juga menaikkan penerimaan daerah. Sebab itu local wisdom seharusnya dapat dijadikan sebagai pemicu peningkatan penerimaan daerah dari sektor pajak dan retribusi daerah. Local wisdom yg tidak mampu dimanfaatkan oleh pemerintah daerah justru dapat menjadi bumerang, misalnya ketidakberdayaan pemerintah daerah di dalam meningkatkan pemungutan retribusi daerah. Pemanfaatan pecalang bagi pemerintah daerah kota/kabupaten perlu dianalisis yang bermanfaat untuk membentuk sistem niali baru perlu segera dilakukan. Upaya ini dimaksudkan agar terdapat dukungan dari lapisan masyarakat (local wisdom). 6. Rekomendasi Pada akhirnya perlu kiranya diberikan beberapa rekomendasi penting, sebagai berikut: a). Perlu kiranya segera dirumuskan keberadaan Undang-‐‑undang tentang Kearifan Lokal (local wisdom). Manfaat yang diperoleh dengan keberadaan undang-‐‑undang ini ialah agar setiap local wisdom yang ada di setiap propinsi dapat dipayungi oleh undang-‐‑undang ini; untuk menghindari benturan dalam implementasi kebijakan publik; diperolehnya dukungan dari segenap lapisan masyarakat; terpeliharanya moral, etika dan nilai-‐‑nilai masyarakat; dengan dukungan lapisan bawah dapat meningkatkan partisipasi masyarakat sebagai bagian dari konsep good governance. b). Propinsi Bali perlu kiranya menyusun rencana pemanfaatan local wisdom dalam konsep win-‐‑win solution untuk memacu propinsi Bali menjadi daerah yang mandiri.
à Pertimbangan Kearifan lokal…Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 19
Pemerintah dapat memanfaatkan local wisdom yang ada dengan cara memanfaatkan dukungan masyarakat melalui konsep musyawarah, partisipasi masyarakat untuk mensosialisasikan kebijakan peningkatan penerimaan daerah. Contoh ini dapat dilihat pada masyarakat Minang. Bali dapat mencontoh dalam bentuk lain, misalnya dukungan pecalang dalam koordinasi penuh dari pemerintah untuk terus meningkatkan penerimaan penerimaan daerah yang tidak hanya dari retribusi parkir, tapi anjuran/ajakan mereka terhadap pengusaha dan anggota masyarakat untuk lebih giat di dalam meningkatkan sektor ekonomi dan pembayaran pajak retribusi hotel, restoran. Tinggal caranya, bagaimana pemerintah daerah segera mengemas berbagai ide dan create dalam bentuk kerjasama yang saling menguntungkan. DAFTAR PUSTAKA A. Halim and Abdullah S, 2004, Local Original Revenue (PAD) as a Source of Development Financing, makalah disampaikan pada konfrensi International Regional Science Association ke-‐‑6 di Jogyakarta. Adeney, Bernard T., 1995, Etika Sosial Lintas Budaya, Kanisius, Yogyakarta. Al-‐‑Hadar Smith, “Syariah dan Tradisi Syi’ah Ternate”, dalam http://alhuda. or.id/ rub_budaya.htm, didownload 7/15/04. Ans, “Pola Perilaku Orang Bali Merujuk Unsur Tradisional”, dalam http:// www. balipos.co.id, 4 September 2003. Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius), Pustaka Jaya, Jakarta. Bayu Dwi Mardana, “Menyingkap Fajar Sejarah Nusantara, dalam http:// www. sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2003/1018/bud2.html. di download 7/15/04. Davey, KJ., 1988, Pembiayaan Pemerintahan Daerah: Praktek-‐‑praktek Internasional dan Relevansinya bagi Dunia Ketiga, (Jakarta: UI-‐‑ Press). Dresthasuta, “Agama dan Budaya”, dalam http://www.iloveblue.com/ bali_funky /artikel_nali/detail/1099.htm, didownload 7/15/04. Dunn, William N., 2004, Public policy Analysis; An Introduction, New Jersey. Elly Burhainy Faizal, (SP Daily) 31 Oktober 2003 dalam http://www.Papua independent.com
à Pertimbangan Kearifan lokal…Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 20
Fuad Hassan, “Pokok-‐‑pokok Bahasan Mengenai Budaya Nusantara Indonesia”, dalam http://kongres.budpar.go.id/news/article/ Pokok -‐‑ pokok_bahasan. htm didownload 7/15/04 Geoffrey Brennan and James M. Buchanan., 1999, Tax Limits and the Logic of Constitutional Restriction in Democratic Choice and Taxation “A Theoretical and Empirical Analysis”, Cambridge University Press. Hadi Soesastro dalam Jacob Oetama, 2000, Indonesia Abd XI di Tengah Kepungan Perubahan Global, Penerbit Harian Kompas, Jakarta . Hairudin Harun, “Weltanschaung Melayu dalam era Teknologi Informasi: Komputer menjadi Teras atau Puncak Tewasnya Pemikiran Tradisional Melayu?, dalam http://www.chass. utoronto.ca/epc/srb/ cyber/haroutmal. html, didownload 7/8/04. I Ketut Gobyah, “Berpijak pada Kearifan Lokal”, dalam http://www.balipos. co.id , didownload 17/9/03. Irfan Salim, “Islam dan Akulturasi Budaya Lokal”, dalam http://media. isnet.org/islam/gtc/Akulturasi.html, didownload 7/15/04. Iun, “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali”, dalam http://www.balipos. co.id Jhon HY Ronald and William L Waugh Jr, 1985, State and Local Tax Policies, Greenwood Press, London. Koenjaraningrat, 1990, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta. Koentjaraningrat, 1999, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta. Lauer, Robert H, 1993, Perspektif tentang Perubahan Sosial, alih bahasa: Alimandan, Rineka Cipta, Jakarta. Rozeff, Michael S, 2005, How the Power to Tax Destroys, Working paper, email
[email protected]. Niels, Mulder , 1985, Pribadi dan Masyarakat di Jawa, Sinar Harapan, Jakarta. Nugroho, Riant., 2008, Public Policy, Penerbit Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, Jakarta. Osborne, David dan Ted Gaebler, 1992, Reinventing Government, Arlington: Addison Wesley. Pianpanussak, Jukraphun, “Local wisdom in the ritual of Karen Community”, dalam http://www.chiangmai.ac .th/abstract1999/ cgs/abstract/cgs990029. html. Didownload 7/21/04. Ridwan, Nurma Ali, Landasan Kelimuan Kearifan Lokal, Ibda, Jurnal Studi Islam dan Budaya Vol. 5 No.1 Jan-‐‑Juni 2007, , P3M STAIN Purwokerto. Samudra, Azhari A, 2008, Kinerja Organisasi Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan Pendekatan
à Pertimbangan Kearifan lokal…Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 21
Systems Thinking dan System Dynamics, Disertasi, FISIP-‐‑Universitas Indonesia, Jakarta, tidak dipublikasikan Sartini, Menggali Kearifan Lokal Nusantara, Sebuah Kajian Filsafati, Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Jilid 37 No. 2, Universitas Gajahmada, Yogyakarta. Seabrook, Jeremy, “ Localizing Cultures”, dalam http://globalpolicy. igc.org/ globaliz/cultural/2004/0013jeremyseabrook.htm, didownload 7/19/04 Sidik, Machfud, 2002, Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal (antara Teori dan Implikasinya di Indonesia), Makalah Seminar, 13 Maret. Simanjuntak, Robert A, 2001, Local Taxation Policy in The Decentralizing Era, LPEM-‐‑UI, USAID Working paper. Smith Al-‐‑Hadar, 2005, Sejarah dan Tradisi Syi’ah Ternate di http://alhuda. or.id /rub_budaya.htm. Sommerfeld, Ray M, Hershel M Anderson and Horace R. Brock, 1983, An Introduction to Taxation, New York,Harcourt Brace Jovanovic Inc. Stotsky, Janet Gale and Walde Marriam, 1997, Tax Effort in Sub-‐‑Saharan Africa, International Monetary Fund (IMF), Working Paper Soebekti, R.Tobias, 1964, Some Facets of the Income Tax Administration in Indonesia with reference to those in the United States, disertasi untuk mengambil gelar doktor di University Indiana, September 1964, (tidak dipublikasikan), hal 65. Soerjanto Poespowardojo, 1993, Strategi Kebudayaan Suatu Pendekatan Filosofis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Soerjo Wicaksono, dalam http://www.Jawapalace.org/kami.html. Tiezzi E, N. Marchettini, & M. Rossini, Extending the Environmental Wisdom beyond the Local Scenario: Ecodynamic Analysis and the Learning Community. http://library.witpress.com/pages/ paperinfo. asp. Pikiran Rakyat, 2003, “‘urf……”, , terbitan 6 Maret 2003 Ray M Sommerfeld et.all. 1983, An Introduction Taxation, Harcourt Brace Jovanovic, Inc. New York. Reksohadiprojo, Sukanto, 2001, Ekonomika Publik, Edisi Pertama, BPFE, Yogyakarta. Musgrave, Richard A and Peggy B Musgrave, 1991, Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek, Edisi ke-‐‑5, Penerbit Erlangga, Jakarta. Van Peursen, 1976, Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta. http://majalahsaran.wordpress.com/2009/08/31/aneka-‐‑harapan-‐‑masyarakat-‐‑ saniangbaka-‐‑terhadap-‐‑pulang-‐‑basamo-‐‑2010. Diunduh tanggal 17 Mei 2010. http://suaranurani.wordpress.com/2008/09/18/kearifan-‐‑lokal-‐‑bali-‐‑menentang -‐‑uu-‐‑anti-‐‑pornografi/).
à Pertimbangan Kearifan lokal…Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 22
4.000.000.000 3.500.000.000 3.000.000.000 2.500.000.000 2.000.000.000 1.500.000.000 1.000.000.000 500.000.000 0
Pedesaaan
91/992/993/994/995/996/997/998/999/92000 89/990/9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 *)
Perkotaan
Perkebunan
Perhutanan
Pertambangan
à Pertimbangan Kearifan lokal…Prof. Dr. Azhari AS,M.Si 23