Petikan Pembelajaran Inkuiri Nasional
Petikan Pembelajaran Inkuiri Nasional Membuka Jalan bagi Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Jakarta, 2016
iv
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Judul
: Petikan Pembelajaran Inkuiri Nasional — Membuka Jalan bagi Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Cetakan
: Pertama, 2016
Penulis
: Atikah Nuraini
Desain Isi dan Sampul
: Satoejari
Ukuran Buku : 20 x 27 cm ISBN
: 978-602-74201-3-7
______________________________________________________________ Diterbitkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jl. Latuharhary No. 4B, Menteng, Jakarta Pusat 10310
Daftar Isi
Daftar Singkatan . ...................................................................... vii Kata Pengantar Komisioner Inkuiri ........................................ ix Bagian 1 Pengantar: Inkuiri Nasional sebagai terobosan................................
1
Pelanggaran HAM tidak bisa diurus sepertiMemadamkan Kebakaran . ............................................................................. 2 Apa dan Mengapa Inkuiri Nasional?.............................................. 4 Dimana saja Inkuiri pernah dilakukan?......................................... 8 Persoalan Masyarakat Adat sebagai Pilihan Inkuiri Nasional...... 20 Bagian 2 Langkah demi Langkah Menyelenggarakan Inkuiri Nasional........... 25 Ringkasan Langkah demi Langkah................................................ Menajamkan Gagasan dan Menyusun Kerangka Acuan (Terms of Reference)............................................................... Membentuk Tim dan Membagi Peran............................................ Membangun Kolaborasi dan Mengelola Sumber Daya................. Melakukan Pengkajian dan Penelitian . ........................................ Dengar Keterangan Umum (Public Hearings)............................... Meminta tanggapan Pihak-pihak yang Diadukan.......................... Menyelenggarakan Pendidikan Publik........................................... Menyusun Laporan dan Rekomendasi...........................................
26 29 34 42 46 52 64 70 77
v
vi
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Bagian 3 12 Petikan Pembelajaran Inkuiri Nasional....................................... 81 Pembelajaran 1 Pembelajaran 2
Tak Henti Lakukan Terobosan........................ 82 Pemanfaatan Momentum dan Ruang Politik yang Tepat........................................................ 86 Pembelajaran 3 Memastikan Kepercayaan Korban dan Mitra. 89 Pembelajaran 4 Maksimalisasi Mandat dan Kombinasi Metode............................................................. 91 Pembelajaran 5 Perspektif Gender........................................... 93 Pembelajaran 6 Perlindungan dan Keamanan Korban . ......... 96 Pembelajaran 7 Sumberdaya Berkali-Kali Lipat ..................... 98 Pembelajaran 8 Kerja Sama Antar-Kementerian dan Lembaga.......................................................... 100 Pembelajaran 9 Mengenali Dampak Perubahan...................... 103 Pembelajaran 10 Pendidikan Bagi Masyarakat ......................... 107 Pembelajaran 11 Partisipasi dan Keterlibatan Komunitas........ 110 Pembelajaran 12 Dokumentasi, Informasi, dan Pengelolaan Pengetahuan .................................................. 112
Penutup: Menuntaskan Perjalanan ...................................... 115 Daftar Pustaka............................................................................. 117 Penghargaan dan Ucapan Terima Kasih................................. 118
Daftar Singkatan
AMAN APBN Bappenas BPN BUMN CAT CEDAW
DKU DPR DPRD Dsb. DUHAM ELSAM ESDM GN-PSDA HAM HREOC HGU HPH HTI HuMa IAIN INFIS JKPP JSA Kanwil
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Pertanahan Nasional Badan Usaha Milik Negara Convention Against Torture Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau Konvensi Internasional Penghapusan Diskriminasi terhada Perempuan Dengar Keterangan Umum Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan sebagainya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Energi dan Sumber Daya Mineral Gerakan Nasional-Penyelamatan Sumber Daya Alam Hak Asasi Manusia Human Rights and Equal Opportunity Commission Hak Guna Usaha Hak Pengusahaan Hutan Hutan Tanaman Industri Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis Institut Agama Islam Negeri Indonesia Nature Film Society Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif Jan Swasthya Abhiyan Kantor Wilayah
vii
viii
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Kadis Kasi KDRT Kemitraan Komnas Komnas HAM Komnas Perempuan KPK KtP KUHAP LP LSM LPSK MA MHA MK MoU NHRC NKB No. PBB Pemda Pemkab Perda Perhutani PRT PT RI RRI RRI SAINS SDA SUHAKAM s.d. Tap MPR TVRI UNDP UU UUD UUPA WHO
Kepala Dinas Kepala Seksi Kekerasan Dalam Rumah Tangga Partnership for Governance Reform Komisi Nasional Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan Komisi Pemberantasan Korupsi Kekerasan terhadap Perempuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Lembaga Pemasyarakatan Lembaga Swadaya Masyarakat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Mahkamah Agung Masyarakat Hukum Adat Mahkamah Konstitusi Memorandum of Understanding National Human Rights Commission Nota Kesepemahaman Bersama Nomor Perserikatan Bangsa-Bangsa Pemerintah Daerah Pemerintah Kabupten Peraturan Daerah Perusahaan Hutan dan Negara Indonesia Pekerja Rumah Tanggga Perseroan Terbatas Republik Indonesia Regional Research Institute Radio Republik Indonesia Sajogyo Institute Sumber Daya Alam Suruhanjaya Hak Asasi Manusia Malaysia Sampai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Televisi Republik Indonesia The United Nations Development Programme Undang Undang Undang-Undang Dasar Undang-Undang Pokok Agraria World Health Organization
Kata Pengantar Komisioner Inkuiri
P
uluhan juta warga masyarakat hukum adat (MHA) di Indonesia menghadapi masalah ketidakpastian hak atas wilayah adatnya, terutama mereka yang tinggal di wilayah-wilayah yang ditunjuk dan/atau ditetapkan pemerintah sebagai kawasan hutan. Sebagian proses penunjukan dan/atau penetapan telah dimulai dalam masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, namun sebagian besar dalam masa pemerintahan Suharto dan berlanjut sampai saat ini. Ketidakpastian hak atas wilayah adat tersebut berwujud pada pengabaian keberadaan dan hak-hak MHA, sampai penggusuran/ pemindahan paksa MHA dari wilayahnya. Ditambah, dalam proses memperjuangkan hak-haknya, ribuan warga MHA kehilangan hak hidupnya, mengalami penganiayaan, kehilangan mata pencaharian dan kaum perempuannya terpaksa bekerja di luar wilayah adatnya. Buku-buku Laporan Inkuiri Nasional menjadi dokumentasi atas tuturantuturan mereka yang selama ini menjadi korban dan jarang didengar. Buku ini merupakan satu dari empat buku yang diterbitkan oleh Komnas HAM berdasarkan hasil pelaksanaan ”Inkuri Nasional Komnas HAM tentang Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan”. Inkuiri Nasional telah berhasil menyelenggarakan rangkaian kegiatan penelitian etnografis, kajian kebijakan, Dengar Keterangan Umum (DKU), di daerah dan di tingkat nasional, serta pendidikan publik melalui berbagai media sejak Agustus 2014 sampai Januari 2015. Beberapa kegiatan lanjutan, antara lain, pembahasan penyelesaian kasus-kasus dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta pembahasan rancangan Keputusan Presiden tentang Satgas Penghormatan dan Perlindungan MHA.
ix
x
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Ada empat puluh kasus MHA yang dipilih untuk diteliti dan didengar dalam DKU yang tersebar di tujuh wilayah: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali - Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Kasus-kasus tersebut dipilih berdasarkan wilayah dan tipologi permasalahan yang didasarkan pada fungsi hutan (konservasi, produksi, produksi yang dapat dikonversi, dan pinjam pakai untuk pertambangan). Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan seluruh organisasi masyarakat sipil pendukung Inkuiri Nasional merasa perlu untuk mendokumentasikan pelaksanaan Inkuiri Nasional, tidak saja soal temuan, analisis, dan rekomendasi-rekomendasi kebijakan, tetapi juga aspek pengalaman dalam pelaksanan inkuiri, data, dan fakta yang terungkap di dalam inkuiri nasional ini. Empat buku yang dihasilkan dari Inkuiri Nasional Komnas HAM terdiri dari: 1. Buku I adalah “Laporan Inkuiri Nasional Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tentang Hak Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan”, berisi Inkuiri Nasional sebagai pendekatan, MHA, Kebijakan Pertanahan, Kehutanan dan HAM di Indonesia, Temuan, Analisis, dan Rekomendasi; 2. Buku II adalah tentang “Pelanggaran Hak Perempuan Adat dalam Pengelolaan Kehutanan”, yang memuat Temuan Umum dan Khusus, Analisa Pelanggaran HAM yang dialami perempuan adat, Kesimpulan, dan Rekomendasi; 3. Buku III adalah tentang “Konflik Agraria Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan”. Buku ini memuat narasi etnografik kasus-kasus MHA yang dipilih untuk diteliti dan didengar keterangannya dalam DKU. Buku ini menjadi dokumen penting atas hasil pengungkapan narasi dari empat puluh kasus MHA di kawasan hutan dan “bekas” kawasan hutan yang dibagi dalam bab-bab berdasarkan region yang kami tetapkan, yaitu Sumatera, Jawa, Bali Nusra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua; 4. Buku IV adalah tentang “Petikan Pembelajaran Inkuiri Nasional sebagai Pembuka Jalan untuk Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia”. Buku ini memuat uraian tentang Inkuiri Nasional sebagai terobosan, Langkah-langkah Penyelenggaraan, Petikan Pembelajaran, dan Penutup. Inkuiri Nasional Komnas HAM terlaksana atas kerja sama dengan Komnas Perempuan dan didukung penuh oleh organisasi masyarakat sipil yaitu: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Sajogyo Institute, Samdhana Istitute, HuMa, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP),
KATA P EN G ANTAR
ELSAM, Epistema Institute, INFIS, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, Ford Foundation, Rights and Resources Innitiative (RRI) dan UNDP. Pelibatan organisasi tersebut bertujuan untuk memperkuat pemahaman persoalan dari berbagai sudut pandang dan upaya menggalang sumber daya serta jaringan untuk keberhasilan pelaksanaan Inkuiri Nasional. Dalam proses pelaksanaan DKU, Komnas HAM juga mendapat dukungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Kementerian Hukum dan HAM. Inkuiri Nasional adalah cara Komnas HAM untuk mengembangkan upaya menyelesaian pelanggaran HAM yang tersebar luas dan sistematik. Inkuiri Nasional menggali persoalan serta mendengarkan keterangan dari berbagai pihak dengan jumlah yang memadai dan keterwakilan yang proporsional. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kebenaran data, fakta, dan informasi melalui DKU, penelitian, dan analisis. Inkuiri Nasional adalah metode yang telah digunakan oleh beberapa Negara di Asia-Pasifik. Metode ini lebih komprehensif karena tidak hanya bertujuan untuk menuju penyelesaian tetapi juga di dalamnya mengandung upaya pendidikan publik untuk mencegah berulang kembalinya pelanggaran HAM sejenis dan pemulihan korban. Masyarakat umum bisa terlibat dalam kegiatan inkuiri ini. Bahkan, masyarakat yang selama ini ‘tidak tersentuh’ Negara bisa hadir dan terlibat. Hadirnya komunitas MHA dalam DKU adalah juga menjadi mekanisme pemulihan dari pelanggaran HAM yang selama ini mereka rasakan. Inkuiri Nasional adalah terobosan metodologi untuk mendekati persoalan pelanggaran HAM dan menyusun rekomendasi kebijakan secara partisipatif. Inkuiri Nasional mendengarkan kesaksian, pengalaman dan kebutuhan perlindungan MHA. Inkuiri Nasional untuk hak MHA sangat penting karena menjadi cara untuk mendekati dan memberikan kontribusi pada penyelesaian kerumitan pelanggaran hak MHA di Indonesia. Minimnya pengakuan hukum terhadap MHA dan realitas pengambilalihan wilayah adat menjadi isu utama dalam temuan Inkuiri Nasional. Inkuiri Nasional menemukan praktik pembatasan akses MHA atas tanah adat mereka sebagai dampak dari penerbitan izin-izin pengelolaan hutan kepada korporasi dan penetapan pengelolaan wilayah-wilayah tersebut oleh institusi pemerintah.
xi
xii
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Bagi MHA, hutan adalah bagian dari wilayah hidup, hutan adalah sumber kehidupan dan faktor penentu eksistensi mereka. Di sana hidup dan tumbuh aneka ragam tumbuh-tumbuhan, hewan, sumber dan gantungan hidup, dan elemen penting spritualitas mereka. Hutan juga menjadi sumber obat-obatan tradisional mereka. Dengan demikian hilang dan rusaknya hutan adalah hilang dan rusaknya kehidupan mereka. Pelanggaran hak MHA terjadi karena tata kelola dan kebijakan Negara terhadap MHA, wilayahnya dan sumber daya alamnya cenderung kapitalistik yang menempatkan manusia sebagai makhluk ekonomi dan hutan sebagai sumber ekonomi semata. Proses perencanaan tata kelola kehutanan sejak masa penjajahan Pemerintah Hindia Belanda sampai saat ini minim partisipasi masyarakat, termasuk perempuan adat. Proses peralihan hak dan fungsi hutan yang telah terjadi sejak awal abad 19 tidak hanya merusak fungsi hutan, tetapi berdampak pada berkembangnya konflik vertikal dan horisontal, konflik antara MHA dan pendatang dan konflik antara sesama MHA sendiri. Proses Reformasi yang diharapkan dapat mengoreksi kekeliruan masa lalu ternyata belum berhasil mengubah sektor pertanahan dan kehutanan secara menyeluruh. Permasalahan bertambah rumit ketika aparat Pemerintah, termasuk POLRI, terlibat dalam konflik dan tidak bersikap netral dalam sebagian besar konflik yang terjadi. Mereka seringkali hanya mengandalkan pembuktian tertulis untuk setiap klaim hak atas sebidang tanah. Padahal Pemerintah belum banyak menerbitkan bukti-bukti tertulis atas kepemilikan adat sehingga yang masyarakat miliki dan/atau ketahui hanya pengakuan antara MHA dan bukti-bukti alam. Ketika konflik sudah tidak seimbang, kekerasan seringkali dianggap sebagai cara penyelesaian konflik yang jamak. Komisioner Inkuiri Nasional Komnas HAM mencermati semangat Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyatakan komitmennya untuk mewujudkan penghormatan dan perlindungan hak-hak MHA. Saat Inkuiri Nasional berlangsung, kami telah menyampaikan rekomendasi kepada Tim Rumah Transisi tentang program prioritas Satgas MHA yang akan dibentuk. Kami menghargai semangat dan itikad baik Pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla, namun kami menyayangkan bahwa Satgas tersebut belum terbentuk sampai disusunnya Laporan ini. Berbagai konflik atas wilayah-wilayah adat yang tersebar luas dan sudah semakin rumit tidak dapat diselesaikan oleh Kementerian dan/atau Lembaga Negara yang ada
KATA P EN G ANTAR
karena conflict of interests, sehingga kehadiran Satgas MHA mutlak dibutuhkan. Proses pembangunan dengan penekanan pada pembangunan infrastruktur dan pengelolaan sumber daya alam serta pelestarian lingkungan hidup membutuhkan kepastian hak penguasaan atas tanah dan sumber daya alam lainnya. Pelaksanaan pembangunan tanpa penyelesaian terlebih dulu masalah tumpang-tindih hak atas tanah MHA tentu akan menambah rumit masalah. Negara sebagai pemangku utama kewajiban penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM semestinya memprioritaskan penyelesaian masalah ini sebelum ada kegiatan pembangunan lebih lanjut. Penyelesaian masalah hak MHA atas wilayahnya di kawasan hutan merupakan agenda penting yang sewajarnya diprioritaskan Pemerintah karena sejalan dengan janji Presiden dan Wakil Presiden dalam Nawacita. Kemampuan bangsa Indonesia menyelesaikan permasalahan hak asasi manusia sebagai akibat dari kebijakan pemerintahan terdahulu sedang diuji. Jalan menuju penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia sudah dirintis melalui Inkuiri Nasional ini. Proses selanjutnya ada di tangan Pemerintah. Negara sepatutnya hadir dengan menyelesaikan permasalahan yang sudah lebih seabad berlangsung. Masyarakat Hukum Adat berhak atas keadilan. Indonesia, tanah air kita semua. Mari kita wujudkan keadilan di Indonesia.
Jakarta, Desember 2015. Ttd. Komisioner Inkuiri,
Sandrayati Moniaga – Koordinator Enny Soeprapto – Anggota Hariadi Kartodihardjo – Anggota Saur Tumiur Situmorang – Anggota
xiii
Bagian 1 Pengantar: Inkuiri Nasional sebagai terobosan
1
2
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Pelanggaran HAM tidak bisa diurus seperti Memadamkan Kebakaran
K
omnas HAM telah memasuki usia lebih dari 22 tahun pada tahun 2015, dan dalam waktu yang panjang Komnas HAM telah menerima dan menindaklanjuti ribuan laporan dan pengaduan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia. Komnas HAM menjadi tumpuan berbagai pelanggaran HAM yang diadukan sehingga menuntut Komnas HAM untuk membangun mekanisme pengaduan dan penyelesaian kasus-kasus secara efektif. Dengan mandat yang ada, boleh dikatakan Komnas HAM memang memberi kontribusi dan warnadalam penyelesaian berbagai konflik dan pelanggaran HAM di berbagai wilayah di Nusantara. Terlebih lagi di 5 (lima) tahun pertama. Pada masa-masa awal pembentukannya, Komnas HAM berhasil menjejak dan mendapat simpati luar biasa di tengah belenggu kekuasaan yang otoritarian. Meski demikian, dalam berbagai evaluasi kinerjanya baik internal maupun eksternal banyak kritik tentang bagaimana lembaga ini menangani kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut. Kritik tersebut berangkat dari posisi yang diambil Komnas HAM yang kerap kali bertindak sebagai “pemadam kebakaran.” Dalam penanganan kasus, Komnas HAM lebih banyak merespon peristiwa-peristiwa yang terjadi dan pendekatan yang digunakan sama sekali tidak menyentuh akar masalah. Keluaran berupa rekomendasi pun tidak efektif untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Dalam banyak perbincangan di kalangan masyarakat, Komnas HAM juga dipandang kurang melibatkan partisipasi publik khususnya kelompok korban. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa kelemahan tidak berada pada internal institusi Komnas HAM semata. Sejak awal berdirinya lembaga ini menghadapi banyaknya tekanan politik dari penguasa negara. Belum lagi mandat yang tidak mencukupi. Komnas HAM kerap tersandung lemahnya wewenang untuk menindaklanjuti kasus-kasus yang diadukan dan dilaporkan, terutama untuk kasus-kasus yang melibatkan atau diakibatkan oleh kebijakan dan perilaku aparatur negara. Hal lain yang juga berpengaruh, lembaga ini tidak memiliki sumber daya dan dana yang mencukupi untuk beroperasi sebagaimana layaknya sebuah institusi nasional yang dibiayai oleh Negara.
B ag i a n 1
P e ng a nta r : I nku i ri N a s i o na l s e b ag a i te ro b o s a n
Foto Gedung Komnas HAM (belum ada)
Situasi ini menantang Komnas HAM untuk membangun sistem, cara-cara dan metode yang “Kelemahan itu lebih baik bagaimana pencegahan dan penanganan terutama adalah kasus-kasus pelanggaran HAM dilakukan. Harapan posisi yang diambil masyarakat yang begitu tinggi selama lebih dari 2 Komnas HAM sebagai (dua) dekade menempatkan Komnas HAM pada “pemadam kebakaran”, posisi amat penting bagi perubahan dan tegaknya kurang melibatkan HAM. Lihat saja laporan masyarakat yang dituangkan partisipasi masyarakat, lewat pengaduan dan audiensi yang mengharapkan tidak melibatkan Komnas HAM menangani kasus-kasus yang mereka korban, dan proses alami. Belum lagi berbagai pernyataan yang muncul penyelesaian yang di media massa serta demo dan aksi massa yang tidak menyentuh akar tidak henti-hentinya berdatangan ke kantor Komnas masalah dan bersifat HAM. Demi perbaikan dan peningkatan kinerja di instan”. masa datang, Komnas HAM harus segera mengambil langkah strategis dan memilih sejumlah isu sebagai prioritas. Pendekatan dalam menangani kasus mungkin perlu diubah dan berbagai terobosan perlu dilakukan. Hal itu sudah barang tentu menuntut perbaikan internal di tubuh Komnas HAM. Langkah ini penting agar Komnas HAM mampu menghadapi tantangan masa kini dan masa datang.
3
4
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam Inkuiri Nasional ini, Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), mengatakan: “Selama ini Negara tidak hadir dalam kehidupan sebagian besar masyarakat adat. Kalaupun hadir bentuknya adalah aparat keamanan dan buldozer yang akan menggusur ruang hidup sebagian besar masyarakat adat kita. Sudah banyak laporan kasus yang dialami oleh masyarakat adat ke AMAN. Saya kira AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), Komnas HAM dan kawan-kawan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) sudah seperti pemadam kebakaran dalam konflik yang merugikan masyarakat adat. Oleh karenanya Inkuiri Nasional ini diharapkan bisa ikut menjadi solusi dari serangkaian konflik yang merugikan masyarakat adat. Selama ini kita sering melakukan perubahan dalam UU yang bersifat sektoral, seperti UU Lingkungan Hidup, UU Pesisir, dan Pulau Pulau Kecil. Namun, tampaknya UU sektoral itu sulit ditegakkan. Karena 2/3 bagian wilayah di negeri ini ternyata dikuasai oleh Kementerian Kehutanan dan 1/3 lainnya oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Celakanya di lapangan saat terjadi konflik masyarakat adat, mereka tidak pernah hadir. Dalam konteks inilah Inkuiri Nasional tentang Hak Masyarakat Adat atas wilayahnya di Kawasan Hutan menjadi penting. Agar bisa menghadirkan masyarakat adat di negeri ini, karena masyarakat adat sering kali baru hadir dan tampak bila terjadi konflik. Saya berharap rekomendasi harus disampaikan ke semua calon presiden. Jika mereka tidak mau melaksanakan rekomendasi itu, maka mereka tidak layak dipilih sebagai Presiden Republik Indonesia.” (Wawancara dalam DKU Wilayah Sulawesi, 27 Agustus 2014)
Apa dan Mengapa Inkuiri Nasional? Memeriksa ratusan kasus yang membentang lebih dari empat dekade bukanlah perkara mudah. Perkara-perkara tersebut diadukan dari berbagai penjuru Nusantara. Ada pengadu yang datang langsung, ada pula yang menyurat ke kantor Komnas HAM. Selain itu, Masih banyak kasus-kasus yang juga muncul dan diberitakan oleh media yang menuntut Komnas HAM untuk tanggap menanganinya.
B ag i a n 1
“Inkuiri nasional suatu penyelidikan menyeluruh atau penelitian sistematis terhadap masalah hak asasi manusia yang bersifat sistemik dan masif dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
P e ng a nta r : I nku i ri N a s i o na l s e b ag a i te ro b o s a n
Belajar dari pengalaman tersebut selama dua tahun ke belakang, Anggota Komnas HAM periode 2012 – 2017 mulai membangun inisiatif dan cara-cara baru untuk kerja-kerja yang lebih efektif. Salah satu inisiatif yang dilakukan adalah menyelenggarakan “Inkuiri Nasional” yang mengangkat satu masalah strategis untuk mendapatkan perhatian penanganan dan penyelesaiannya. Dengan menggunakan isu ini, Komnas HAM mencoba membuat pendekatan baru dalam kerja-kerjanya, yaitu pendekatan sistematis dan komprehensif dan bukan pendekatan yang bersifat instan dan parsial.
Inkuiri Nasional adalah suatu penyelidikan menyeluruh atau penelitian sistematis terhadap masalah hak asasi manusia yang bersifat sistemik dan masif dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Berbeda dengan kebanyakan penyelidikan lainnya, model ini harus dilaksanakan dengan cara yang transparan dan bersifat publik. Kerja-kerjanya mencakup penelusuran bukti-bukti umum dari para saksi dan ahli, yang diarahkan menuju penyelidikan yang bersifat menyeluruh untuk menemukan pola sistematis pelanggaran hak asasi manusia. Di dalamnya diperlukan beragam keahlian yang luas di dalam institusi, yang mencakup para peneliti, pendidik, dan orang-orang dengan pengalaman dalam bidang pengembangan kebijakan. Melalui Inkuiri Nasional, Komnas HAM tidak hanya ditantang untuk mengungkap peristiwa pelanggaran hak asasi manusia, namun juga menggali penyebab dan akar masalahnya, baik penyebab ekonomi, sosial, politik, kelembagaan, maupun faktor-faktor lainnya. Dengan kata lain, luas dalam lingkup dan rumit dalam analisis. Selain itu, Komnas HAM dipaksa untuk melibatkan partisipasi publik karena boleh dibilang partisipasi publik merupakan “jantung dari Inkuiri Nasional.” Hal ini diperlukan untuk mengatasi hambatan kerja, memperoleh dukungan dan kepercayaan, membangun kredibilitas, dan memperluas wawasan masyarakat tentang apa yang terjadi. Satu alasan mengapa metodologi Inkuiri Nasional begitu kreatif karena menerapkan semua fungsi-fungsi Komnas HAM, dalam cara yang komprehensif, dan terpadu melalui sebuah proses tunggal. Model ini menerapkan beragam fungsi Komnas HAM, seperti investigasi, analisis, pelaporan, menyiapkan rekomendasi, penumbuhan kesadaran masyarakat, dan pendidikan hak asasi manusia. Sebuah Inkuiri Nasional biasanya menghasilkan satu atau beberapa laporan yang memasukkan
5
6
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
bukti-bukti yang diperoleh, beserta analisis situasi, temuan fakta dan rekomendasinya. Rekomendasi harus disusun secara luas, ditujukan kepada banyak pihak yang bertanggung jawab terhadap persoalan pelanggaran HAM terkait, baik dari kalangan negara maupun nonnegara. Selain itu rekomendasi juga dapat dialamatkan kepada perseorangan yang mempunyai bagian penting untuk diperankan di dalam komunitas.Adanya rekomendasi ini dapat berdampak lebih besar dibandingkan dengan pengaduanpengaduan individual. Hasilnya dapat tetap berupa rekomendasi yang menyediakan ganti rugi atau upaya hukum bagi perseorangan, namun fokus utamanya bertumpu pada pola pelanggaran sistematis. Untuk alasan tersebut, maka Inkuiri Nasional mempunyai nilai pendidikan yang tinggi karena mampu mengenalkan, mengungkap, dan menerangkan suatu situasi kompleks kepada masyarakat luas, menawarkan sebuah analisis berbasis hukum HAM dan menyediakan rekomendasi untuk ditanggapi secara sistematis. Inkuiri Nasional adalah cara yang baik untuk menangani situasi pelanggaran HAM yang kompleks yang tengah dihadapi oleh Komnas HAM. Sebagaimana disebutkan sebelumnya model ini berbeda dengan fungsi-fungsi lain yang dijalankan oleh sebuah Komnas HAM, bahkan bila fungsi-fungsi tersebut digabungkan. Model ini memaksa siapa pun penyelenggaranya untuk menemukan pola-pola pelanggaran yang diungkapkan pengaduan dalam skala luas dan jumlah besar. Kemudian jalan keluarnya memerlukan pendekatan menyeluruh. Matheus Pilin (Direktur Yayasan Pancur Kasih) menyebutkan: “Inkuiri ini adalah jalan baru. Menurut saya yang menarik adalah memastikan bahwa persoalan terkait pelanggaranpelanggaran hak asasi manusia utamanya yang terjadi dalam konteks apa hak-hak mereka, hak-hak masyarakat adat dalam kawasan hutan itu, bisa terinformasikan ke publik Dengan begitu kemudian [publik] sebetulnya punya harapan untuk mendapatkan penguatan-penguatan dalam konteks itu. Masyarakat adat memang harus berdaulat atas wilayah mereka atas apa, atas kehidupan mereka. Dan sekarang secara konstitusional sebenarnya Putusan MK No. 35 Tahun 2012 itu sebetulnya membuka ruang jalan baru bagi masyarakat adat untuk mengembalikan kehidupan mereka sebagaimana yang mereka perjuangkan selama ini.” (Wawancara dalam Diskusi Publik Wilayah Kalimantan, 30 September 2014)
B ag i a n 1
P e ng a nta r : I nku i ri N a s i o na l s e b ag a i te ro b o s a n
Inkuiri Nasional menangani situasi pelanggaran HAM yang mempengaruhi seluruh negara atau bagian signifikan dari negara tersebut pada periode yang panjang. Kerja ini mencakup dimensi ruang yang luas dan dimensi waktu yang panjang. Metode ini mampu melihat pola historis dari pelanggaran HAM, seperti praktik-praktik yang telah melekat selama bertahun-tahun dalam sejarah dan budaya sebuah negara dan hal tersebut sangat sulit untuk diinvestigasi aksi-aksi perseorangan secara terpisah. Kerumitan dari situasi yang diinvestigasi memerlukan adanya tanggapan dari pihak-pihak yang berbeda, tidak hanya Pemerintah. Proses Inkuiri Nasional memungkinkan adanya identifikasi dari semua yang mempunyai peran di masa lalu, masa kini atau masa depan. Hal itu berhubungan dengan situasi dan tanggung jawab penyebab atau akar masalah, serta dampak atau konsekuensinya. Brian Burdekin, Penasihat Khusus untuk bidang Institusi HAM Nasional, Komisaris Tinggi HAM PBB, menyebutkan: “Di Indonesia, ada masalah dengan keterbatasan (geografis). Komnas HAM, terbiasa menerima pengaduan individu. Karena itu perlu mengubah sistemnya, melihat masalah secara sistematis dan mengupayakan suatu Inkuiri Nasional. Sehingga, tidak terikat terhadap kasus per kasus, tetapi mengundang orang untuk datang dan terlibat di dalamnya. Sehingga, kita mendapatkan informasi. Komnas HAM diberikan hak oleh undang-undang.” (Pelatihan Inkuiri Nasional, Februari 2014) Salah satu dampak penting dari Inkuiri Nasional ini adalah masyarakat yang tidak menyadari peran Komnas HAM akan mengetahui apa peran dan mandat Komnas HAM. Selain itu memberi pemahaman bahwa metode yang dikembangkan bukan hanya penerimaan pengaduan yang sifatnya kasus per kasus secara individu. Akan tetapi, melihat suatu persoalan secara sistematis dan menerima semua bukti serta kesaksian dari pengaduan tersebut, baik lisan maupun tertulis, sehingga bisa melihat permasalahan secara menyeluruh dan mengusulkan perubahan. Dengan demikian, Komnas HAM melakukan tugas penyelidikan dan pada saat yang sama memberikan nasihat atau saran kepada pemerintah. Untuk memastikan agar upaya tersebut berjalan dengan baik sehingga Komnas HAM membutuhkan jalan masuk yang tepat dengan memilih topik strategis yang relevan. Dalam konteks tersebut topik tentang hak-hak masyarakat adat dianggap sebagai topik yang strategis dari segi momentum dan kebutuhan.
7
8
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Dimana saja Inkuiri pernah dilakukan? Proses Inkuiri Nasional telah dikembangkan oleh beberapa Komnas HAM di kawasan Asia Pasifik. Hal tersebut dinilai sangat bermanfaat dalam mendukung penyelidikan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi dengan pola sistematis dan kompleks. Manual Inkuiri Nasional yang disusun oleh Raoul Wallenberg Institute menyebutkan bahwa sejumlah negara yang telah berhasil melakukan Inkuiri Nasional. Pengalaman negara-negara lain tersebut patut dicatat sebagai bahan pembelajara. Beberapa yang menarik yang diceritakan, antara lain.
A
ustralia pada tahun 1995—1997 telah melakukan Inkuiri Nasional tentang pemisahan anak-anak Aborigin dari keluarganya. Inkuiri Nasional ini dilakukan oleh HREOC – Human Rights and Equal Opportunity Commission, Australia. Dari Laporan yang dikeluarkan pada tahun 1997, yang berjudul “Pulangkan Mereka” (Bringing them home), HREOC mendokumentasikan pengalaman historis Inkuiri Nasional yang berlangsung selama dua tahun terhadap salah satu praktik pelanggaran HAM sistematis yang paling serius yang pernah terjadi di Australia, terhadap orang Aborigin Australia dan penghuni Kepulauan Selat Torres. Praktik ini sah secara hukum dan dijalankan di seluruh negara bagian dan wilayah Australia, menurut kebijakan asimilasi yang disepakati secara nasional. Kebijakan ini mengatur agar orang-orang Aborigin dan penghuni Kepulauan Selat Torres terserap oleh masyarakat Australia yang dominan sehingga kehilangan budaya nenek moyang dan identitas mereka. Selama 200 tahun, sejak pendudukan Eropa pertama kali sampai tahun 1970, puluhan ribu anak-anak penduduk asli dipindahkan secara paksa dari keluarga dan komunitas mereka di Australia. Mereka dikenal dengan istilah “generasi yang dirampas” (the stolen generations). Penduduk asli Australia telah lama menganggap kebijakan dan praktik ini sebagai salah satu kejahatan terberat yang dilakukan terhadap mereka dan mengakibatkan penderitaan yang mereka alami. Mulailah menceritakan kisah mereka ke masyarakat yang lebih luas dan mencari kebenaran dan keadilan. Mereka juga mencari informasi melalui dokumen-dokumen, maupun bantuan pemerintah untuk bisa mempertemukan kembali anggota keluarga yang terpisah. Pada tahun 1994, pada konferensi “Kembali ke Rumah” (Going Home) yang diadakan di Darwin, lebih dari 600 peserta menceritakan kisah mereka dan mendiskusikan proses rekonsiliasi bagi mereka yang terpengaruh
B ag i a n 1
P e ng a nta r : I nku i ri N a s i o na l s e b ag a i te ro b o s a n
praktik ini. Pada tahun 1995, Kejaksaan Agung Australia meminta HREOC untuk mengadakan Inkuiri terhadap kebijakan, peraturan perundang-undangan dan praktik pemerintah yang menyebabkan terjadinya “Generasi yang Dirampas.”
Dari Desember 1995, Kegiatan dengar keterangan di ibu kota nasional dilakukan di setiap negara bagian dan wilayah dan di berbagai pusat kegiatan lokal. Inkuiri ini mengambil keterangan di 49 kota, selama 99 hari kegiatan dengar keterangan. Keterangan lisan dan tertulis dari 535 orang-orang asli yang terdampak oleh kebijakan pemisahan ini dikumpulkan. Keseluruhan keterangan yang dikumpulkan berjumlah total 777 keterangan dari kalangan perorangan, pemerintah dan organisasi non-pemerintah, maupun kelompok gereja. Metode ini juga menyediakan kemungkinan dilakukannya dengar keterangan tertutup dan keterangan rahasia yang direkam demi untuk melindungi privasi dan keamanan para korban. Seorang pekerja sosial dari penduduk asli disediakan untuk memberikan dukungan kepada mereka yang memberikan keterangan, serta menjadi bentuk pengakuan terhadap kesulitan korban ketika menceritakan pengalaman traumatis yang mereka alami.
9
10
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Dalam rangka Inkuiri Nasional ini HREOC juga melakukan riset tentang aspek-aspek penting yang ada di kerangka acuan, termasuk memeriksa implikasi hukum internasional terhadap kebijakan pemindahan ini dan melakukan analisis terhadap praktik-praktik pemindahan anak-anak penduduk asli yang terjadi saat ini melalui sistem peradilan anak dan proses kesejahteraan anak. Hasil kerja HREOC berkaitan dengan Inkuiri Nasional ini sangatlah massif. Laporan yang dikeluarkan memuat beberapa temuan historis dan memperkirakan antara satu dari sepuluh sampai satu dari tiga anak-anak penduduk asli dipindahkan secara paksa antara tahun 1910 sampai 1970. Mereka kebanyakan dipindahkan lebih karena status mereka sebagai orang asli dan bukan karena bertujuan menciptakan kesejahteraan bagi mereka. Anak-anak ini kerap dipindahkan berkali-kali, ditempatkan di lembaga misi agama dan institusi-institusi yang dikelola gereja, atau dengan orang tua angkat yang bukan penduduk asli. Dalam laporannya, Tim Inkuiri menyebutkan bahwa perampasan paksa dan pemindahan berkali-kali ini secara langsung berkontribusi pada hancurnya kesehatan mental korban. Banyak dari mereka yang menderita akibat kekerasan lisan, fisik, dan seksual yang dilakukan oleh pejabat publik atau sebagai akibat dari tindakan pejabat publik. Ditemukan pula bahwa pejabat yang berwenang dan perorangan yang ditunjuk menjadi wali telah gagal menjalankan tugas mereka merawat anak-anak penduduk asli. Lebih dari satu dekade kemudian, pada tahun 2008, pemerintah federal yang baru dari Partai Buruh membuat pernyataan maaf resmi kepada “Generasi yang Dirampas” sebagai tindakan pertama yang dilakukan di parlemen baru setelah pemilu bulan November 2007. Tom Calma, yang pada saat itu menjabat sebagai Komisioner Keadilan Sosial untuk Orang-Orang Aborigin dan Penghuni Kepulauan Selat Torres mengatakan bahwa permohonan maaf tersebut “menyentuh keinginan terdalam masyarakat Australia untuk memperbaiki apa yang terjadi di masa lalu.” Ketika ditanya pengalamannya memfasilitasi konsultasi antara pemerintah federal dan kelompok “Generasi yang Dirampas” sejak permintaan maaf itu, beliau menyatakan bahwa “pesan yang paling banyak disampaikan dari pertemuan-pertemuan tersebut adalah bahwa hal ini (Permohonan Maaf) harus dilihat sebagai langkah pertama dari adanya hubungan kemitraan.” Pengalaman Inkuiri nasional Australia membuktikan bahwa efektivitas program ini harus diukur dari perspektif jangka panjang. Laporan dan rekomendasi Inkuiri dapat tetap hidup setelah bertahun-tahun, bahkan lebih dari satu dekade, sebelum diimplementasikan. Dalam konteks
B ag i a n 1
P e ng a nta r : I nku i ri N a s i o na l s e b ag a i te ro b o s a n
tersebut, tindak lanjut sangatlah penting, untuk memastikan bahwa persoalan ini tetap mendapat perhatian publik. Peran HREOC dan organisasi lain, seperti organisasi nonpemerintah dan institusi pendidikan, sangat penting untuk mewujudkannya menjadi kenyataan.
I
ndia menyelenggarakan Inkuiri Nasional untuk menyelidiki Hak atas
Pelayanan Kesehatan. Pada tahun 2003–2004, Komisi HAM Nasional India (NHRC – National Human Rights Commission) mengadakan Inkuiri Nasional tentang hak atas pelayanan kesehatan, bekerja sama dengan Jan Swasthya Abhiyan (JSA) atau Gerakan untuk Kesehatan Masyarakat, sebuah koalisi dari sekitar 1000 organisasi nonpemerintah yang bergerak di sektor kesehatan di India. Inkuiri ini dicetuskan setelah adanya permintaan dari JSA untuk mengadakan lima kali dengar keterangan di tingkat lokal dan sekali dengar kesaksian nasional di New Delhi untuk menginvestigasi penolakan sistematis atas pelayanan kesehatan dan deefisiensi institusi pemerintah dan swasta yang berkontribusi pada pelanggaran HAM. Di waktu yang bersamaan, Inkuiri ini mencerminkan pengembangan progresif dari komitmen NHRC untuk menginvestigasi dan mengadvokasi hak atas kesehatan. Distribusi akses yang tidak merata ke fasilitas, pelayanan kesehatan serta pengobatan, dan ketidakseimbangan akut dalam hak atas pangan, telah lama menjadi permasalahan penting dari segi politik, kebijakan dan legislatif bagi Pemerintah Negara Bagian dan Nasional India. Di tingkat internasional, India merupakan negara pihak bagi Kovenan tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Di tingkat domestik, hak atas hidup diakui di dalam Konstitusi India dan telah ditafsirkan secara luas oleh Mahkamah Agung India, yang di dalamnya juga meliputi hak atas pangan. Pemerintah India juga memiliki tanggung jawab konstitusional untuk “meningkatkan tingkat nutrisi dan standar kehidupan serta memperbaiki kesehatan publik” sebagai salah satu kewajiban utama. Dengan latar belakang ini, sejak tahun 2000, NHRC telah membuat program-program yang bertujuan untuk memastikan bahwa pemerintah memenuhi kewajibannya berdasarkan hukum nasional dan internasional. Pada bulan April 2000, NHRC membentuk Kelompok Penasihat Inti yang terdiri atas ahli-ahli kesehatan untuk membantu menyusun sebuah Rencana Aksi Nasional untuk meningkatkan pelayanan kesehatan secara sistematis di seluruh India. Hal ini mengarah pada dilakukannya sejumlah konsultasi besar pada tahun 2000—2001 yang melahirkan konsultasi regional tentang kesehatan
11
12
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
publik dan HAM, yang merupakan kerja sama antara Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) dan Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga India.
Konsultasi regional mengumpulkan beragam spektrum pemangku kepentingan, termasuk para pembuat kebijakan, ahli kesehatan publik, praktisi hukum dan pegiat HAM, dan pada akhirnya melahirkan laporan dan serangkaian rekomendasi untuk pemerintah. Ketika mulai melakukan inkuiri tentang hak atas pelayanan kesehatan, NHRC berhasil mengumpulkan dukungan dari jejaring ahli-ahli kesehatan, dengan pengalaman riset konsultatif dan investigatif dari kerja-kerja sebelumnya. Selain itu mereka juga menggunakan momentum tekanan
B ag i a n 1
P e ng a nta r : I nku i ri N a s i o na l s e b ag a i te ro b o s a n
eksternal kelembagaan dan sosial yang ada terhadap pemerintah untuk bertindak. Selama Inkuiri, NHRC bertujuan untuk mendefinisikan dan menganalisis “hak atas pelayanan kesehatan” dalam konteks sistem pelayanan kesehatan di tingkat negara bagian dan nasional, sebagai dasar untuk serangkaian rekomendasi untuk mengakui hak atas kesehatan, gambaran tentang isi dan tindakan yang diperlukan untuk realisasi hak ini bagi penduduk India. Mereka juga membayangkan kegiatan tindak lanjut penting yang direncanakan berdasarkan kerangka acuan Inkuiri sejak awal. Peran NHRC adalah memimpin Inkuiri Nasional, mulai dari meluncurkan, mendanai, membuat kerangka kerja semi-yudisial untuk dengar keterangan. Selain itu juga memastikan keterlibatan pejabat kesehatan publik dan dari JSA sendiri. Kewenangan semiyudisial yang dimiliki NHRC merupakan ciri khas khusus dari Inkuiri ini. NHRC memiliki kewenangan untuk mengeluarkan perintah kepada otoritas negara bagian dan federal, juga kapasitas untuk memastikan proses pemulihan dan penanganan pengaduan pelanggaran yang diajukan selama dengar keterangan. Adapun JSA berperan memfasilitasi partisipasi publik selama dengar keterangan dan menyediakan data riset utama dengan cara merekam, menggabungkan dan menyajikan informasi tentang persoalan dan kasus-kasus penolakan pelayanan kesehatan. NHRC dan JSA berkolaborasi untuk membangun muatan inkuiri dan cara-cara untuk “mengoperasionalisasi” hak atas pelayanan kesehatan. Mereka bekerja sama untuk berbagi beban anggaran dan memanfaatkan keahlian masing-masing, khususnya keahlian JSA tentang pelayanan kesehatan dan keahlian NHRC tentang HAM. NHRC meluncurkan promosi dan publikasi tentang dengar keterangan melalui pemberitahuan publik di surat kabar dan pengumuman resmi kepada badan-badan pemerintah dan organisasi nonpemerintah. Pemerintah negara bagian dan pihak-pihak berwenang lainnya diundang untuk mengirimkan perwakilan seniornya ke acara dengar keterangan. Mereka mengundang perorangan dan wakil-wakil masyarakat, yaitu orang-orang yang telah mengalami penolakan pelayanan kesehatan, agar menceritakan kisah mereka dan berpartisipasi dalam acara dengar keterangan. JSA mengatur dukungan perjalanan dan akomodasi untuk para pengamat pada saat dengar keterangan dan menyelenggarakan serangkaian lokakarya pendidikan, forum-forum, dan acara-acara peningkatan kesadaran untuk memastikan dilibatkannya berbagai spektrum peserta selama dengar keterangan.
13
14
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Setiap acara dengar keterangan dihadiri oleh perwakilan NHRC dan JSA, pejabat kesehatan senior dari negara bagian dan pemerintah pusat, perwakilan NHRC dari negara bagian, perwakilan yang memberikan keterangan tentang pelanggaran, perwakilan dan pengamat organisasi nonpemerintah dan organisasi masyarakat sipil lainnya serta pengamat dari masyarakat umum.Lima kegiatan di tingkat regional diadakan di utara (Lucknow), barat (Bhopal), timur (Ranchi), selatan (Chennai), dan timur laut (Guwahati), dengan jarak satu bulan antara acara yang satu dengan lainnya, dari bulan Juli sampai November 2004. Dalam setiap acara tersebut, yang berlangsung sepanjang hari, Tim Inkuirimendengarkanketerangan dari perorangan dan organisasi yang mewakili mereka, yang berkisah tentang pengalaman penderitaan mereka akibat penolakan terhadap hak mereka atas pelayanan dan perawatan kesehatan. Lebih dari 1000 orang dari kelompok masyarakat marginal memberikan keterangan.
M
ongolia menyelenggarakan Inkuiri Nasional untuk menyelidiki
Hak untuk Bebas dari Penyiksaan. Negara ini telah menjadi negara pihak Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat (CAT) pada tanggal 2 November 2000. Tindakan Penyiksaan dilarang menurut Konstitusi dan KUHAP Mongolia. Meskipun hukum Mongolia menyebutkan beberapa kali tentang penyiksaan, tetapi banyak hal-hal penting dalam hukum yang berlaku yang tidak sejalan dengan CAT. Komisi HAM Nasional Mongolia (NHRC) menerima banyak pengaduan tentang penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya, terutama terjadi pada saat tersangka berada di tahanan kepolisian. Selain itu NHRC juga mengetahui kasus-kasus dugaan penyiksaan lainnya yang dialami oleh tersangka pembunuhan dan tindak pidana serius lainnya yang dilaporkan oleh media atau kasusnya dibawa ke pengadilan. Melihat jumlah bukti yang kian bertambah terkait dengan praktik penyiksaan yang sistematis, pada tahun 2004 NHRC memutuskan untuk mengadakan Inkuiri Nasional tentang Hak untuk Bebas dari Penyiksaan. Tujuan penyelidikan yang berlangsung setahun penuh ini adalah untuk memantau sejauh mana implementasi dari kewajiban yang timbul karena menjadi negara pihak pada CAT. Kerangka acuan kegiatan meliputi investigasi pengaduan individu tentang penyiksaan dan memeriksa peraturan, kebijakan, dan prosedur terkait penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya. Inkuiri ini juga berupaya mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi pada pelanggaran
B ag i a n 1
P e ng a nta r : I nku i ri N a s i o na l s e b ag a i te ro b o s a n
HAM dan tindakan tidak sah lainnya, untuk selanjutnya membuat rekomendasi untuk diimplementasikan oleh parlemen, pemerintah, dan pengadilan.
Inkuiri Nasional di Mongolia dibuka oleh Ketua Komisioner Suren Tserendorj. Pelaksanaan tugas Inkuiri sehari-hari, termasuk memimpin acara dengar keterangan, ditangani oleh Komisioner Dashdorj Jadamba. NHRC memiliki jumlah staf dan anggaran yang sangat terbatas sehingga mereka harus membatasi kegiatannya hanya di 9 (Sembilan) dari 21 aimags (provinsi) di Mongolia. Riset awal mengidentifikasi kesembilan daerah ini sebagai daerah yang prevalensi dugaan penyiksaannya paling tinggi. Selain itu juga dilakukan sejumlah kegiatan untuk mengumpulkan bukti-bukti dan keterangan dari korban, hakim, aparat penegak hukum, jaksa penuntut umum dan pengacara pembela, pegiat organisasi nonpemerintah, dan masyarakat umum. Tim Inkuiri bertemu dengan kurang lebih 600 pejabat kehakiman, termasuk hakim, jaksa dan
15
16
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
aparat penegak hukum. Selain itu mengirimkan survei wawancara ke sekitar 1400 tahanan dan menerima 1338 tanggapan lengkap. Survei ini merupakan alat yang penting untuk memperoleh bukti dari orang-orang yang paling berisiko mengalami penyiksaan. Mereka menerima dan menginvestigasi lebih dari 50 pengaduan tentang penyiksaan. Selanjutnya merekajuga melakukan wawancara dengan sejumlah tahanan kepolisian, di ibu kota nasional dan di ibu kota provinsi. Untuk melengkapi data, mereka mengadakan kunjungan pemantauan ke penjara dan ke fasilitas tahanan kepolisian serta mempersiapkan beberapa studi kasus tentang “peristiwa penyiksaan.” Mengenai hasil dari inkuiri ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan penegak hukum mengenai pengalaman mereka dengan penyiksaan. Para hakim bersaksi bahwa ada banyak kejadian dimana tertuduh menarik kesaksian atau pengakuan mereka pada saat sidang karena “dibuat di bawah paksaan dan tekanan dari penyidik.” Pengacara pembela memberikan kesaksian bahwa intimidasi dan pemukulan, perlakuan kejam, serta pengakuan yang dipaksa merupakan praktik umum dalam proses peradilan pidana. Sebaliknya, kantor jaksa penuntut menyatakan “pelanggaran seperti itu jarang terjadi.” Dari 1338 tahanan yang menjawab survei, 39.9 persen berkata bahwa mereka mengaku di bawah tekanan dan ancaman lisan dan 32 persen di bawah paksaan dan kekerasan. Situasi ini terutama terjadi di tempat penahanan Gants Khudag dan Tuv Aimag, dimana 44.6 persen responden mengatakan bahwa mereka mengaku di bawah tekanan dan ancaman dan 36.7 persen di bawah paksaan dan kekerasan. Dengan demikian jelas bahwa melalui Inkuiri ini ditemukan bukti-bukti adanya praktik penyiksaan dan perlakuan buruk secara sistematis yang sudah endemik di dalam proses peradilan pidana Mongolia. Temuan-temuan Inkuiri menunjukkan beberapa hal, antara lain Penyiksaan terhadap tersangka, tertuduh, dan saksi terjadi tidak hanya dalam tempat tahanan dan penjara yang dilakukan oleh polisi, badan intelijen dan sipir; adanya pengakuan yang dipaksakan di bawah tekanan; adanya sistem “insentif” yang mendorong dan menghargai aparat penegak hukum yang mendapatkan jumlah pengakuan tertinggi; pembelengguan dan pemborgolan tahanan yang diperpanjang durasinya dalam waktu lama; kondisi fasilitas penahanan yang buruk; adanya beban tambahan hukuman di atas hukuman yang ada sebagai cara untuk mendapatkan pengakuan; dan batas waktu yang pendek untuk prapersidangan. Di luar itu, laporan Inkuiri juga mencakup studi kasus yang menjelaskan jenis-jenis penyiksaan yang dilaporkan oleh mereka
B ag i a n 1
P e ng a nta r : I nku i ri N a s i o na l s e b ag a i te ro b o s a n
yang bersaksi di depan tim Inkuiri dan mendeskripsikan kapan sebagian besar pelanggaran terjadi dalam proses peradilan pidana. Tim Inkuiri telah menemukan sejumlah ketentuan dalam hukum domestik yang tidak selaras dengan kewajiban dan standar perjanjian internasional. Selain itu tim mencatat bahwa “hukum pidana dan hukum acara pidana tidak selaras dengan perjanjian internasional yang melarang penyiksaan dan tidak bisa digunakan untuk mencegah penyiksaan dan perlakuan buruk.” Selanjutnya Tim membuat rekomendasi untuk. a) menghilangkan ketidakselarasan antara hukum domestik dan kewajiban perjanjian internasional menurut Konvensi AntiPenyiksaan. b) mengatasi kekurangan peraturan, prosedur, dan praktik yang mengakibatkan terjadinya penyiksaan dan pelanggaran HAM lainnya. c) membuat disinsentif atau hukuman bagi aparat penegak hukum yang menggunakan penyiksaan sebagai cara untuk memperoleh pengakuan. d) meningkatkan akuntabilitas dan kerangka penuntutan bagi pejabat publik. e) memberikan batas waktu untuk masa penahanan dan mengurangi keperluan memberikan masa tahanan. f) meningkatkan kondisi penahanan, termasuk meningkatkan pelayanan medis di tempat tahanan dan mengizinkan serta mendorong lebih banyak kunjungan ke tempat-tempat tahanan. g) memastikan adanya proses penyidikan yang adil dan cepat terhadap tuduhan penyiksaan. h) menyediakan rehabilitasi dan kompensasi yang lebih layak untuk korban penyiksaan. i) membuat perubahan sistem di Mongolia melalui pembentukan mekanisme pemantauan independen di semua tahapan sistem peradilan pidana, termasuk penyidikan, penahanan, dan pemenjaraan. j) memasukkan penyiksaan dalam pendidikan hukum. Laporan dan rekomendasi Inkuiri telah mendapatkan perhatian luar biasa dari kalangan politik, yudikatif, dan masyarakat Mongolia. Parlemen Mongolia, pemerintah, Mahkamah Agung dan pengadilan lain, aparat penegak hukum dan peradilan pidana, pengacara dan organisasi nonpemerintah, semuanya terlibat. Laporan Inkuiri ini diajukan ke Parlemen Mongolia dan Parlemen membahas laporan ini selama dua hari, kemudian segera memberikan tanggapan yang substansial.
17
18
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Respons yang paling terlihat terutama ditujukan kepada Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman untuk mereformasi praktik dan prosedur mereka. Parlemen juga menyerukan pembentukan kelompok kerja tingkat tinggi untuk meninjau dan merekomendasi hukum domestik, memastikan kepatuhan Mongolia terhadap kewajiban menurut CAT. Selain itu, Parlemen mengalokasikan 1.5 miliar tughrik Mongolia (sekitar 1.3 juta Dollar AS) untuk memperbaiki kondisi tempat-tempat tahanan. Terakhir, Parlemen juga menyerukan alokasi dana yang signifikan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan forensik petugas penyidik dan memberikan pelatihan kepada aparat penegak hukum tentang cara-cara alternatif untuk mengumpulkan bukti. Selama pembahasan berlangsung, NHRC memberikan nasihat kepada Parlemen untuk isi ketetapannya. Setelah pembahasan laporan ini di Parlemen, Kepala Komisaris Polisi dan Pejabat yang bertugas mengimplementasikan keputusan Pengadilan dipecat. Selain itu, Mahkamah Agung Mongolia mengadopsi Resolusi No. 45 pada tanggal 30 Oktober 2006 yang memberikan penafsiran tentang beberapa pasal di KUHAP dan KUHAPerdata, terutama pasal tentang kompensasi atas kerugian yang disebabkan tindakan tidak sah yang dilakukan oleh petugas penyelidik, penyidik, jaksa penuntut, dan hakim selama proses peradilan pidana.
M
alaysia menyelenggarakan Inkuiri Nasional sejak Desember
2010 sampai dengan Juni 2012. Komisi Hak Asasi Manusia Malaysia (SUHAKAM) menyelenggarakan pertama kali Inkuiri untuk menindaklanjuti pengaduan yang menumpuk dan terus-menerus sejak terbentuknya lembaga ini dari masyarakat adat terkait dengan masalah tanah. Terms of Reference atau Kerangka Acuan yang disusun, yaitu. 1. Memastikan adanya pengakuan secara konstitusional, legal, administratif, dan politis bagi pengakuan hak masyarakat adat atas tanahnya dan efektivitasnya dalam melindungi dan memajukan hak masyarakat adat atas tanahnya. 2. Untuk menyelidiki situasi hak masyarakat adat atas tanahnya dan dampak dari ada atau tidak adanya pengakuan hak masyarakat adat atas tanahnya berkaitan dengan hak-hak ekonomi, sosial, budaya, dan politik mereka, dengan mempertimbangkan hukum internasional dan domestik yang relevan.
B ag i a n 1
P e ng a nta r : I nku i ri N a s i o na l s e b ag a i te ro b o s a n
3. Untuk mengenali berbagai kendala yang menghambat penikmatan penuh hak-hak masyarakat adat atas tanahnya berdasarkan kebutuhan dan ketentuan yang berlaku. 4. Untuk memajukan dan mempromosikan kesadaran, pengetahuan dan pemahaman tentang hak masyarakat adat atas tanah dan cara hidup mereka. Rekomendasi yang dihasilkan dari Inkuiri Nasional yang diselenggarakan oleh SUHAKAM, antara lain. 1. Perlunya Review atau Tinjauan mengenai hukum pertanahan di tingkat nasional dan hukum atau kebijakan yang terkait lainnya, dengan memasukkan fokus atau perspektif HAM di dalamnya serta menangani secara khusus masalah yang dihadapi oleh masyarakat adat terkait dengan klaim tanah mereka. 2. Perumusan strategi dan rencana aksi dengan tujuan melindungi dan memajukan hak masyarakat adat atas tanah mereka sebagai bagian tak terpisahkan dan integral dari perlindungan dan promosi hak-hak manusia lainnya.
19
20
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Inisiatif pertama yang dilakukan oleh SUHAKAM adalah memberitahukan Pemerintah Negara Federal dan Pemerintah Negara Bagian yang bersangkutan mengenai maksud dan tujuan Inkuiri Nasional. Selanjutnya dilakukan sesi konsultasi dengan para pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat dan kelompok masyarakat sipil lainnya untuk menyampaikan masalah-masalah terkait hak masyarakat adat atas tanahnya. Hadir selama sesi konsultasi adalah perwakilan dari Pemerintah Federal dan Negara Bagian untuk memastikan bahwa mereka menerima gambaran yang komprehensif dan adil dari masalah yang diangkat selama sesi konsultasi. SUHAKAM melakukan dengar keterangan atau public hearings di mana kasus-kasus yang diangkat atau akan didengarkan didasarkan pada kriteria tertentu. Seluruh proses Inkuiri Nasional berlangsung selama 18 bulan. Hasil dari proses Inkuiri Nasional ini telah dipublikasikan dalam laporan yang dipisahkan menjadi beberapa bab, termasuk tiga bab terpisah yang berkaitan dengan masalah di Semenanjung Malaysia, Sabah, dan Sarawak. Dalam laporannya, SUHAKAM menguraikan 18 rekomendasi yang berkaitan dengan enam isu utama sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Mengakui hak masyarakat adat atas wilayahnya. Remedi untuk tanah-tanah yang hilang. Menyelesaikan masalah-masalah dan ketidakadilan pembangunan. Mencegah hilangnya tanah-tanah ulayat milik masyarakat adat. Menyelesaikan masalah-masalah administrasi pertanahan. Mengakui tanah sebagai pusat identitas masyarakat adat.
Persoalan Masyarakat Adat sebagai Pilihan Inkuiri Nasional Konflik-konflik yang melibatkan masyarakat adat terkait konflik di kawasan hutan memiliki intensitas yang cukup tinggi dan cenderung tidak terselesaikan. Salah satunya konflik terkait praktik pengambilalihan lahan adat oleh negara melalui Perusahaan Umum Perkebunan dan Tanah Negara yang secara sistematis dan masif terjadi dimana-mana. Di tengah konflik tersebut masyarakat hukum adat tidak terlindungi. Bukan hanya status dan keberadaannya saja yang dipertanyakan, namun hak-hak masyarakat adat pun seringkali diabaikan. Bisa dimaklumi, betapa terombang-ambingnya korban, anggota komunitas adat, manakala mereka gagal mempertahankan tanah-tanah leluhur mereka. Entah mereka harus tinggal dimana,
B ag i a n 1
P e ng a nta r : I nku i ri N a s i o na l s e b ag a i te ro b o s a n
mencari penghidupan kemana, membangun rumah dimana, berladang dan mencari kayu, dan obat-obatan dimana, tidak ada lagi tempat bagi mereka. Mereka kehilangan bukan hanya wilayah tempat tinggal, tetapi juga penghidupan, sejarah, serta masa depan komunitas mereka. Padahal masyarakat tersebut adalah masyarakat hukum adat yang keberadaannya dan hak-haknya diakui dalam, antara lain, UUD 1945, Tap No. IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, UU No. 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, dan UU No. 32/2004 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sandrayati Moniaga, salah seorang Komisioner Inkuiri mengatakan: “Jelas dari proses Inkuiri Nasional ini, semua pihak, termasuk pemerintah, mengakui bahwa masyarakat hukum adat itu memang ada dan yang kedua bahwa wilayah adat mereka itu betul ada. Itu tidak ada perdebatan, yang menjadi perdebatan hanyalah siapa yang berhak mengklaim sebagai masyarakat adat dan pengakuan seperti apa atau apa makna dari pengakuan itu.” (Wawancara dalam DKU Sulawesi, 29 Agustus 2014) Kurangnya pengetahuan mengenai hukum dan administrasi negara membuat komunitas-komunitas adat menjadi sasaran empuk bagi pemangsa lahan-lahan luas yang hendak menjadikannya kebun, tambang, perumahan, atau menghabisi pohon-pohon dan tanamantanaman lain di dalamnya. Kalaupun ada tanggapan atas laporanlaporan yang disampaikan kepada Pemerintah, namun agaknya masyarakat adat tidak bisa berharap banyak untuk adanya rekomendasi perubahan yang lebih baik bagi kehidupan mereka. Tuntutan yang didesakkan oleh Masyarakat adat selama ini pun sebenarnya bukanlah tuntutan yang berlebihan. Mereka hanya ingin agar tanah dan wilayah mereka dikembalikan. Enny Soeprapto, salah seorang Komisioner Inkuiri menjelaskan: “Jadi, aparat keamanan dan aparat pemerintahan itu harus menilai aspirasi yang disampailkan oleh masyarakat hukum adat di Papua ini yang notabene tidak berbeda dengan apa yang disampaikan oleh masyarakat hukum adat di kawasan-kawasan lain yang kami datangi. Itu tidak lain mereka hanya minta satu hal, yaitu kembalikanlah hutan adat kami karena hutan adat itu adalah bagian hidup kami, tempat kami melanjutkan hidup dan itu tidak terpisahkan dari kami. Tidak lebih dari itu sebetulnya.”
21
22
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
(Wawancara dalam DKU wilayah Sulawesi, 29 Agustus 2014) Dalam konteks perampasan hutan-hutan adat tersebut, selama berpuluh-puluh tahun, memang Negara melalui berbagai kebijakannya, telah dengan sengaja menjadi aktor pelanggaran HAM. Praktik ini menyeret beberapa instansi Pemerintah, utamanya Kementerian Kehutanan. Selain itu, praktik lain pengambilalihan lahan adat secara sistematis dan masif adalah pembukaan lahan oleh korporasi untuk usaha pertambangan dan pendirian cagar alam atau pun taman nasional. Dalam konteks persoalan itu sehingga Inkuiri Nasional ini menjadi penting dilakukan. Secara praktis alasan mengapa Komnas HAM memilih masalah hak masyarakat adat sebagai fokus topik Inkuiri nasional, yakni. a) Masyarakat adat termasuk dalam kelompok rentan dan termarginal. b) Masyarakat adat selalu berhubungan/berinteraksi dengan hutan dan tanah ulayat. c) Banyaknya jumlah kasus yang masuk ke Komnas HAM terkait konflik kehutanan yang berhubungan dengan masyarakat adat. d) Belum memadainya peraturan untuk perlindungan terhadap masyarakat adat. e) Perhatian Pemerintah terhadap penyelesaian sengketa agraria masyarakat adat sangat rendah. f) Masih sangat sedikitnya regulasi di tingkat lokal yang mengakomodir kepentingan dan kebutuhan Masyarakat adat. Dengan kata lain, pola pelanggaran yang hendak dibuktikan dari penyelidikan ini, antara lain adanya modus penunjukan kawasan hutan secara sewenang-wenang yang dilanjutkan dengan pemberian ijin-ijin kepada pihak ketiga. Selain itu juga penggunaan tentara untuk mengamankan dan menggunakan polisi (pasca reformasi) telah mempertajam konflik horizontal. Belum lagi soal pengabaian hukum agraria (atau tidak melaksanakan UUPA), dan menggunakan ketidakpastian hukum untuk mendapatkan izin-izin dan konsesi. Dengan melihat situasi tersebut, dalam diskusi mengenai topik-topik Inkuiri Nasional yang dapat dikedepankan, pilihan untuk memberi fokus utama pada Masyarakat Adat pun muncul. Dalam konteks inilah, maka membongkar sistem yang menggerogoti dan menghancurkan hak masyarakat adat serta mengenali pola penghancuran tersebut menjadi tantangan besar bagi Komnas HAM.
B ag i a n 1
P e ng a nta r : I nku i ri N a s i o na l s e b ag a i te ro b o s a n
Selain itu, Inkuiri Nasional Hak MHA atas Wilayahnya di Kawasan Hutan Indonesia dilakukan oleh Komnas HAM sebagai tanggapan atas Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Keputusan MK ini merupakan momentum pemulihan status wilayah adat yang sebelumnya ditunjuk dan/atau ditetapkan secara sepihak oleh Pemerintah sebagai “Hutan Negara.” Inkuiri Nasional ini juga menjadi bagian dari rencana aksi dalam Nota Kesepahaman Bersama (NKB) yang ditandatangani 11 Maret 2013 antara 12 Kementerian dan/atau Lembaga Negara, termasuk Komnas HAM, Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian ESDM. Hariadi Kartodihardjo, salah seorang Komisioner Inkuiri mengatakan. “Pemahaman yang otentik mengenai persoalan manajemen hutan kawasan menjadi sangat penting karena saya kira sebagian di antaranya adalah menyangkut persoalan-persoalan apa penataan batas, penetapan kawasan, yang harus mendapatkan penjelasan yang cukup. Seumpama di antara komisioner ini tidak memiliki pemahaman tentang itu, saya kira tidak akan terungkap dengan baik. Jadi saya merasa sangat senang mendapatkan kesempatan ini dan bisa memberikan kontribusi yang sebaik-baiknya.” (Wawancara dalam DKU wilayah Sumatera, 12 September 2014) Lebih jauh, terkait dengan dasar pijakan konstitusional dan hal-hal yang menjadi kewajiban Negara salah seorang komisioner lainnya, Enny Soeprapto menyebutkan: “Pemerintah harus lebih proaktif walaupun undang-undang pelaksanaan [yang mengatur] Pasal 18B ayat (2) Undang Undang Dasar belum ada. Namun, secara prinsip keberadaan dan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat itu sudah diakui oleh Konstitusi, dan ini tidak perlu menunggu undangundang. Akan tetapi, fakta di lapangan menunjukan bahwa keperluan masyarakat adat itu perlu pengakuan dan perlindungan dan ini harus cepat-cepat diantisipasi dan dilakukan [sebagai] inisiatif oleh Pemda masing-masing dan harus bergerak secara proaktif, tidak perlu menunggu undangundang yang rancangannya masih ada di DPR.” (Wawancara dalam DKU wilayah Jawa, 15 Oktober 2014)
23
24
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Selain alasan kewajiban konstitusional, fakta dan realitas di lapangan menuntut adanya perubahan bagi kehidupan dan perlindungan hak masyarakat adat. Agust Wenehen (Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat) mengatakan. “[Hingga hari ini] Masyarakat adat tetap lemah, lemah dalam menuntut hak-haknya. Ketika mereka lemah, bagaimana mereka [menuntut] kompensasi. Kita lihat bahwa selama ini yang terjadi adalah konflik di antara mereka sendiri, antara masyarakat, maupun mereka dengan perusahaan. Dan di sinilah terjadi konflik yang sifatnya struktural antara masyarakat dengan perusahaan yang di back-up oleh polisi atau pun tentara sebetulnya. Hal-hal dalam putusan MK No. 35 itu sebenarnya mempunyai kekuatan bagi masyarakat sebagai alat atau instrumen dalam menuntut hak-haknya. Namun dalam pengalaman kita, masyarakat itu sebenarnya tidak tahu kemana menuntut hak-haknya itu.” (Wawancara dalam Diskusi Publik wilayah Nusa Tenggara, 11 November 2014)
Bagian 2 Langkah demi Langkah Menyelenggarakan Inkuiri Nasional
25
26
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Ringkasan Langkah demi Langkah
20
Mei 2014 merupakan tanggal yang penting bagi relasi Negara dan masyarakat hukum adat di Indonesia. Pada tanggal itu pertama kalinya Komnas HAM mewujudkan niat sungguhsungguh hendak menyelenggarakan Inkuiri Nasional secara komprehensif sebagai pilihan metode penyelidikan pelanggaran HAM. Tanggal itu dipilih karena mengingatkan seluruh warga Indonesia tentang makna kebangkitan bangsa ketika melawan kolonialisme. Pada masa kini, tanggal itu pun menjadi momentum untuk menunjukkan penghormatan Komnas HAM atas kebangkitan masyarakat hukum adat dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Juga, menjadi tonggak bagi adanya upaya pengungkapan kebenaran atas peristiwa-peristiwa perampasan wilayah masyarakat adat di Nusantara, khususnya mereka yang tinggal di kawasan hutan. Agenda Inkuiri Nasional ini dilaksanakan selama hampir 2 (dua) tahun termasuk persiapan-persiapannya. Langkah-langkah yang dilakukan untuk penyelenggaraan Inkuiri Nasional ini dimulai dengan pemetaan komunitas masyarakat adat dan persoalan kepemilikan hutan adat mereka. Dalam pemetaan masyarakat adat, Tim Inkuiri Nasional mengidentifikasi masalah masyarakat dan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasi hal itu, mencatat kasus-kasus yang dialami dan mengkaji kebijakan berkaitan dengan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Tim juga bertemu dengan anggota masyarakat adat dan menyosialisasikan mengenai Inkuiri Nasional sebelum DKU dilakukan. Bersama-sama dengan anggota masyarakat adat, Tim memutuskan kasus-kasus yang dapat mewakili. Anggota Masyarakat adat berpartisipasi dalam kegiatan Dengar Keterangan Umum (selanjutnya disebut DKU), Penelitian Etnografi, hingga Pendidikan Publik yang memungkinkan mereka untuk membagikan masalah yang mereka hadapi di hadapan publik. Dimulai pada Februari 2014 sampai dengan Desember 2015, Komnas HAM dan mitra-mitranya disibukkan oleh agenda-agenda Inkuiri Nasional. Selama durasi waktu tersebut, pelaksanaan kegiatan dilakukan secara bertahap berdasarkan kebutuhan. Secara rinci Jadwal dan Kegiatan Inkuiri Nasional sebagai berikut.
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
27
28
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Kegiatan
Jadwal
Proses konsultasi internal Komnas HAM dan dengan para pihak tentang gagasan penyelenggaraan Inkuiri Nasional
Oktober – Desember 2013
Pelatihan Inkuiri Nasional
Februari 2014
Penyusunan Kerangka Acuan (Terms of Reference)
Maret – Mei 2014
Pembentukan Tim dan Membangun Kemitraan
Maret – Mei 2014
Diseminasi Gagasan
Mei – Desember 2014
Briefing atau pertemuan dengan Media
Mei – Desember 2014
Launching atau Peresmian Inkuiri Nasional
20 Mei 2014
Website dan Media Sosial
Mei – Desember 2014
Diskusi Publik
Mei – Desember 2014
Radio/TV talkshow
Mei – Desember 2014
Pemilihan dan Registrasi Kasus-kasus
Mei – Juli 2014
Penelitian Etnografi
Mei –November 2014
Pengkajian Pelanggaran HAM
Mei – Agustus – 2014
Pengkajian Kebijakan
Mei – Agustus 2014
DKU Region Sulawesi
27–29 Agustus 2014
DKU Region Sumatera
10–12 September 2014
Penyampaian rekomendasi dan Pembahasan Tindak Lanjut (khusus tentang Satgas MHA ke Tim Rumah Transisi)
September 2014
DKU Region Kalimantan
1–3 Oktober 2014
DKU Region Jawa
15 Oktober 2014
DKU Region Maluku
29–31 Oktober 2014
DKU Region Nusa Tenggara
12–14 November 2014
DKU Region Papua
26–28 November 2014
DKU Nasional – Perempuan Adat
16 Desember 2014
DKU Nasional – Kebijakan Negara
17 Desember 2014
Penyusunan Laporan Temuan dan Rekomendasi
Januari – November 2015
Penyampaian Rekomendasi dan Pembahasan Tindak Lanjut Satgas MHA
Februari 2015 — sekarang
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
Menajamkan Gagasan dan Menyusun Kerangka Acuan (Terms of Reference) Sebuah Inkuiri Nasional membutuhkan tujuan yang jelas dan kerangka acuan yang baik. Pengembangan dari kedua hal ini merupakan bagian penting dari proses perencanaan. Tujuan-tujuan tersebut terkait dengan apa yang hendak dicapai oleh Komnas HAM melalui inisiatif tersebut. Keduanya akan menjadi landasan bagi pengembangan strategi selanjutnya. Kerangka acuan menetapkan apa yang sebenarnya akan diperiksa dan dilaporkan oleh Inkuiri, sedangkan tujuan mengacu pada apa yang hendak dicapai atau diubah dari masalah yang ada. Secara bersama-sama, tujuan dan kerangka acuan membentuk sebuah landasan mengenai apa yang akan dilakukan oleh Tim atau Panitia Inkuiri. Lagi-lagi Brian Burdekin, menyatakan: “Ketika bicara Inkuiri Nasional, kerangka acuannya harus jelas supaya bisa dimengerti soal dasar peraturan perundangannya. Harus disebutkan bahwa Inkuiri Nasional akan mengatasi permasalahan tentang hukum adat karena ini melanggar HAM dan Konstitusi. Jadi, kita mengacu pada Konstitusi dan instrumen-instrumen HAM. Kalau Anda menyebutkan hal ini [kaitan dengan Konstitusi], maka menjadi penting secara politik, karena kita menggeser permasalahan tidak sekadar pelanggaran HAM. Tapi, pelanggaran terhadap konstitusi. Saran Saya, kita buat parameter Inkuiri Nasional dengan mencantumkan permasalahan yang akan dibahas sejak awal. Termasuk, [peran] masyarakat adat sendiri dan para pendampingnya, serta [apa] tugas dari Komnas HAM dalam permasalahan ini. Ada pengalaman, seorang Ketua Komisioner mengatakan akan menyelenggarakan Inkuiri Nasional ini dan Saya mengatakan harus ada permasalahan politik dan terkait dengan permasalahan Konstitusi yang ada di negara tersebut. Semua itu harus diperjelas di dalam Kerangka Acuan Inkuiri Nasional. Karena, [kerangka acuan] itu yang akan melihat soal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di dalam Inkuiri Nasional ini. Di dalam Inkuiri Nasional mengenai permasalahan masyarakat adat, Anda akan mendapatkan banyak sekali informasi dan kita
29
30
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
bisa menemukan apa yang mungkin bisa kita lakukan, dan sebagainya. Jadi, Saya hanya menyampaikan hal-hal yang dapat mendorong Anda untuk berpikir. Karena Anda paham dengan topik masyarakat adat, bukan berarti paham soal kerangka acuan. Kita akan membahas soal apa saja yang harus masuk di situ. Tentu, Anda tidak bisa datang ke setiap provinsi dan bertemu dengan seluruh masyarakat adat yang ada.” (Pelatihan Inkuiri Nasional, Februari 2014) Manual Inkuiri Nasional menyebutkan bahwa “tujuan inkuiri nasional” adalah pernyataan jelas mengenai apa yang ingin dicapai oleh Inkuiri. Tujuan umumnya merupakan pernyataan yang luas dan umum. Suatu Inkuiri dapat memiliki lebih dari satu tujuan namun tidak boleh terlalu banyak pula. Yang paling utama, tujuan-tujuan tersebut tidak boleh saling bertentangan satu sama lain. Beberapa tujuan yang dipilih dengan cermat dan dinyatakan dengan jelas akan memandu Komnas HAM dan Tim Inkuiri Nasional dalam menentukan proses yang paling tepat. Begitu tujuan telah ditetapkan, Komnas HAM dapat menentukan bagaimana Inkuiri dapat memenuhi tujuan-tujuan tersebut. Tujuan pun merupakan hal yang penting karena memungkinkan Inkuiri untuk dievaluasi. Tujuan membentuk dasar bagi evaluasi dan melalui evaluasi dapat diperiksa sejauh mana Inkuiri berhasil mencapai tujuantujuannya.
Contoh Tujuan Inkuiri Nasional Di dalam Terms of Reference atau Kerangka acuannya, Komnas HAM menyebutkan bahwa terdapat 6 (enam) tujuan utama yang hendak dicapai dalam pelaksanaan Inkuiri Nasional Masyarakat Adat atas Wilayahnya di kawasan hutan, yaitu. 1.
2. 3.
4.
Melakukan penyelidikan mengenai apa yang terjadi, sifat-sifat dan jangkauan atas pola pelanggaran HAM pada isu masyarakat adat terkait konflik agraria; Menganalisis penyebab utama yang mendasari terjadinya sebuah pola pelanggaran HAM pada isu masyarakat adat terkait konflik agraria; Memberikan informasi yang cukup kepada pemangku kewajiban mengenai permasalahan masyarakat adat terkait konflik agraria sekaligus untuk lebih menyadari secara mendalam permasalahan yang ada; Memberikan edukasi melalui pemeriksaan permasalahan untuk meningkatkan pemahaman mengenai HAM secara umum dan komitmen demi kepatuhan terhadap HAM yang lebih baik;
B ag i a n 2
5.
6.
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
Menyusun rekomendasi bagi tindakan pemulihan atas pola pelanggaran HAM dan mencegah pelanggaran yang terjadi pada masa yang akan datang; Melakukan pemberdayaan masyarakat adat selaku korban pelanggaran HAM.
Kerangka Acuan Inkuiri Nasional juga menetapkan kasus-kasus yang akan diangkat di dalam Dengar Keterangan berdasarkan pertimbangan sebagai berikut. • • • • •
Mewakili keragaman dan keluasan pelanggaran HAM terhadap MHA; Adanya dokumentasi yang memadai yang mendukung kelengkapan informasi kasus; Adanya korban/saksi yang bersedia memberikan keterangan; Adanya ruang politik lokal yang mendukung untuk upaya penyelesaian kasus; Mewakili keragaman fungsi hutan.
Kerangka acuan adalah sebuah pernyataan yang jelas mengenai apa yang secara khusus akan dinilai dan dilakukan dalam Inkuiri Nasional. Kerangka acuan mempunyai fungsi ke dalam dan ke luar. Secara internal atau ke dalam, kerangka tersebut membantu Tim untuk fokus pada daftar hal-hal yang akan ditangani oleh Inkuiri. Secara eksternal, kerangka tersebut membantu untuk menyoroti konteks permasalahan yang tengah diinvestigasi. Kerangka acuan umumnya terdiri atas sebuah daftar pendek poin-poin yang menginstruksikan pemeriksaan oleh Tim Inkuiri. Daftar tersebut juga dapat berisi rangkaian proses dan hasil Inkuiri, seperti laporan temuan Inkuiri dan serangkaian rekomendasi tentang bagaimana memberikan pemulihan bagi para korban dan mencegah pelanggaran lebih jauh. Kerangka acuan juga harus menetapkan jadwal serta mendeskripsikan secara umum tentang proses Inkuiri, misalnya, pelaksanaan penelitian, pencarian masukan lisan dan tulisan, pembentukan kesimpulan akan fakta dan penyusunan rekomendasi. Kerangka acuan tidak boleh mengunci Inkuiri ke dalam kotak kecil, sebegitu ketatnya, sehingga Tim Inkuiri tidak dapat menghadapi semua permasalahan yang signifikan yang mungkin muncul selama berlangsungnya penyelidikan. Namun, kerangka tersebut juga tidak boleh terlalu terbuka atau luas sehingga Tim Inkuiri mencoba, atau dipaksa mencoba, untuk melakukan terlalu banyak hal sehingga kehilangan arahnya. Kerangka acuan yang terlalu luas dapat
31
32
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
menyebabkan jadwal Inkuiri menjadi hilang atau diabaikan, biayanya membengkak dan tugas pelaporan menjadi begitu menumpuk.
Isi Kerangka Acuan • • • • • • • •
Permasalahan yang akan ditangani Informasi yang akan dikumpulkan Siapa yang akan melaksanakan Inkuiri Organisasi dan Individu yang terlibat Tugas-tugas yang harus dilakukan Wewenang yang dapat digunakan Bidang-bidang rekomendasi, jenis-jenis rekomendasi Jadwal kegiatan dan tenggat pelaporan
Pada umumnya, berdasarkan pengalaman negara-negara dan organisasi yang pernah menyelenggarakannya, Inkuiri Nasional terbukti mampu menaikkan profil atau isu dari permasalahan yang diangkat. Upaya ini mampu menempatkan masalah yang diselidiki menjadi masalah bersama di tingkat nasional dan mendorong adanya perubahan kebijakan yang sifatnya lebih menyeluruh. Dengan begitu, Inkuiri Nasional berhasil membangun kesadaran banyak orang akan situasi dan masalah yang dihadapi dan ditangani oleh Komisi. Namun, tentu saja keberhasilan tersebut mensyaratkan kemampuan Tim Inkuiri Nasional untuk membangun dan menerapkan metode dengan baik. Kerangka kerja Inkuiri Nasional menyentuh semua dimensi dan menghasilkan metodologi yang tidak bersifat tunggal. Lebih lanjut Brian Burdekin menyatakan: “Saya menyarankan, apakah Anda [Komnas HAM] ingin melaksanakan Inkuiri Nasional atau tidak, maka, Inkuiri Nasional harus diinterpretasikan ulang untuk menyusun kerangka kerja dan memastikan adanya transformasi atau perubahan sikap dan respons negara. Dari yang tadinya pendekatan “amal” atau charity menjadi pendekatan kewajiban. Kedua, kalau ada kelemahan pemahaman atau kebijakan politik dalam menyikapi, maka ini menjadi salah satu pilihan. Kalau Anda tidak mendapatkan sumber dayanya, ini mungkin rumit, biayanya mahal, tapi akan menjadi baik kalau itu bisa dikelola. [Inkuiri]ini baik dalam membangun pandangan publik. [Namun] harus ada kapasitas dalam menumbuhkan profil institusi. Baik kalau masyarakat dapat mengetahui Komisi ini dan prosesnya dapat dilakukan secara terbuka di hadapan publik.
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
Ada beberapa isu yang sensitif yang ditangani dengan Inkuiri Nasional. Bahkan, ada yang membutuhkan [waktu] hingga 20 tahun. Mungkin juga, korban tidak ingin maju. Maka, kalau itu terjadi, kita harus bisa membawa bukti ini ke hadapan publik. Dapat juga dengan menyusunnya dalam rekomendasi. Kita tidak sedang mengharapkan adanya keberhasilan total. Tapi, kita ingin memastikan agar ini bernilai untuk dilakukan. Karena, dalam perjalanan waktu, intinya, Inkuiri Nasional ini bisa dilaksanakan dengan berbagai tujuan. Tapi, yang paling mendasar adalah untuk memperbaiki situasi para korban. Dengan itu, maka beda tujuan, bisa jadi beda cara.” (Pelatihan Inkuiri Nasional, Februari 2014) Inkuiri Nasional ternyata mampu mengungkap dan menemukan informasi baru yang tidak pernah dibahas dan diduga sebelumnya. Temuan-temuan tersebut muncul seiring dengan dilakukannya DKU yang melibatkan masyarakat korban dan pihak-pihak yang diadukan di waktu bersamaan. Pengecekan silang atas informasi dan permintaan klarifikasi yang dilakukan disatu forum dapat memberi dampak signifikan bagi analisis masalah dan penyusunan rekomendasi jalan keluar. Sebagai contoh, dalam Pelaksanaan DKU di wilayah Kalimantan, Sandra Moniaga menyatakan. “DKU regional Kalimantan ini memeriksa enam kasus, ada dua dari Kalbar, kemudian dua dari Kaltim, satu Kalteng, dan satu dari Kalsel. Nah, yang menarik dibandingkan wilayah lain, keenam masyarakat adat yang didengar keterangannya itu menurut berbagai pihak diakui keberadaannya sebagai masyarakat hukum adat dan juga wilayah adatnya. Meskipun tidak secara legal dalam arti belum ada Perda. Masalah Kalimantan Utara ini ada pelajaran penting dimana ada proyek Respen yang dibuat tahun 70-an yang sebenarnya dianggap sebagai satu tindakan yang diduga pelanggaran HAM berat karena ada pemindahan paksa dimana masyarakat tidak dimintakan persetujuannya dengan sukarela untuk pindah dan yang lebih menyedihkan di wilayah-wilayah itu kemudian diterbitkanlah izin-izin untuk perusahaan-perusahaan di bidang kehutanan. Ini hal memang yang harus diperiksa lebih mendalam dan kemudian kalau memang betul ada kesalahan harus ada upaya penyelesaian yang sangat-sangat mendasar, yaitu pemulihan hak-hak masyarakat adat.” (Wawancara dalam DKU wilayah Kalimantan, 3 Oktober 2014)
33
34
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Membentuk Tim dan Membagi Peran Setiap Inkuiri Nasional membutuhkan tim yang tepat, dengan gabungan keterampilan dan pengalaman yang tepat untuk menyukseskan seluruh kegiatannya. Penyelidikan ini merupakan sebuah proyek besar, dengan pendekatan komprehensif terhadap perlindungan dan pemajuan HAM. Itu artinya Inkuiri Nasional memerlukan beragam keterampilan dan keahlian dalam tim Inkuiri. Umumnya, sebuah Inkuiri Nasional akan memerlukan anggota dan staf dengan keterampilan dalam bidang hukum HAM, penelitian, pengembangan kebijakan, investigasi, pendidikan masyarakat, hubungan dengan media, administrasi dan manajemen. Biasanya, terdapat 2 (dua) kelompok di dalam kepanitiaan atau tim kerja Inkuiri Nasional. Pertama, Anggota Komisi Inkuiri– umumnya disebut Komisioner Inkuiri– bertanggung jawab secara kolektif untuk keseluruhan pelaksanaan dan hasil-hasil Inkuiri Nasional. Kedua, Anggota Panitia atau Staf Inkuiri, yang merupakan pelaksana teknis yang menyelenggarakan kegiatan. Mereka merupakan tim yang melaksanakan kerja-kerja lapangan, pengaturan teknis, administratif, logistik, termasuk melakukan penelitian, mengatur DKU, merancang laporan dan mengusulkan rekomendasi untuk dipertimbangkan oleh para anggota Inkuiri. Panitia atau Staf Inkuiri Nasional dipimpin oleh seorang Direktur Eksekutif Inkuiri Nasional.
Membentuk Tim Kerja Inkuiri Nasional Tim Kerja Inkuiri Nasional terdiri atas. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Komisioner Inkuiri Tim substansi Tim kajian Tim penyelenggara Dengar Keterangan Tim Media dan kampanye Tim Pendamping Korban / Pemberi Keterangan Tim dokumentasi dan Penulisan Laporan
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
Komisioner Inkuiri Komisioner Inkuiri merupakan penggerak Inkuiri Nasional. Mereka bertanggung jawab untuk pelaksanaannya mulai dari persiapan, pelaksanaan, pelaporan, dan hingga penyusunan rekomendasi. Secara kolektif mereka memimpin keseluruhan tim, dengan Ketua Komisioner Inkuiri secara individu memimpin para anggota Tim Inkuiri. Komisioner Inkuiri adalah orang-orang yang ditunjuk oleh Pimpinan Komnas HAM dari kalangan anggota Komnas HAM dan atau dari luar anggota Komnas HAM, yang dianggap memenuhi kriteria tertentu untuk berperan sebagai penggerak dan penanggung jawab pelaksanaan Inkuiri nasional berdasarkan pengalaman dan keahlian mereka. Komnas HAM sendiri perlu menentukan dan secara formal menunjuk siapa saja yang akan melaksanakan Inkuiriatas nama institusi.
35
36
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Dalam menentukan siapa saja yang menjadi Komisioner Inkuiri, Komnas HAM memperhatikan kapasitas seseorang yang dibutuhkan dalam melakukan Inkuiri, yakni. a) Memiliki integritas. b) Kemandirian politik (Non-partisan). c) Mempunyai keahlian dan pengalaman setidaknya dalam salah satu bidang yang akan dicakup dalam Inkuiri. d) Berkomitmen kepada jalannya rangkaian proses Inkuiri. e) Bersedia untuk mengalokasikan waktu, pikiran dan tenaga untuk melaksanakan Inkuiri. f) Kemampuan bekerjasama dalam sebuah tim kerja. Keenam kriteria ini saling mendukung satu dengan lainnya. Integritas dan kemandirian politik dari Komisioner Inkuiri berpengaruh pada kredibilitas penyelenggaraan Inkuiri, dampak politik serta penerimaan para pihak terkait dan masyarakat umum terhadap Inkuiri tersebut. Keahlian dan pengalaman merupakan paduan kontribusi yang akan disumbangkan oleh setiap Komisioner bagi pelaksanaan Inkuiri dan bagi laporan serta rekomendasinya. Dalam Tim Inkuiri Nasional yang dibentuk, Komnas HAM menunjuk Komisioner Sandrayati Moniaga untuk memimpin Inkuiri Nasional, selanjutnya secara institusional Komnas Perempuan mewakilkan salah seorang Komisionernya, Saur Tumiur Situmorang, untuk duduk dalam Komisi Inkuiri. Untuk memperkut Tim Komisioner, kemudian dipilih 3 (dua) tokoh yang mewakili bidang yang berbeda yang merepresentasikan kompleksitas persoalan masyarakat adat di kawasan hutan, yaitu Hariadi Kartodihardjo (Guru Besar Institut Pertanian Bogor dan Ahli Manajemen Kehutanan), Enny Soeprapto (Ahli Hukum HAM dan Mantan Komisioner Komnas HAM 2002-2007), Achmad Shodiki (Guru Besar Universitas Brawijaya, Mantan Hakim Konstitusi, dan Ahli Hukum Agraria). Komisioner Achmad Shodiki tidak aktif pada tahap-tahap pertengahan dan akhir Inkuiri Nasional karena alasan kesehatan dan kesibukan mengajar.
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
Komisioner Inkuiri terdiri atas.
Ketua Sandrayati Moniaga (Anggota Komnas HAM RI periode 2013 s.d. 2017).
Anggota 1. 2.
3. 4.
Enny Soeprapto (Anggota Komnas HAM RI periode 2002 s.d. 2007) Hariadi Kartodihardjo (Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Ahli Manajemen Kehutanan, Penasihat KPK untuk Nota Kesepakatan Bersama 12 Kementerian/Lembaga) Saur Tumiur Situmorang (Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan Periode 2010 s.d. 2014, 2014 s.d. 2017). Achmad Shodiki (Guru Besar Universitas Brawijaya, Mantan Hakim Konstitusi, dan Ahli Hukum Agraria)
Panitia Kerja Staf atau Panitia Pelaksana manjadi tulang punggung Inkuiri Nasional. Merekalah yang sehari-hari menyiapkan, menata, mengorganisir, menghubungkan, dan melaksanakan aktivitas berdasarkan agenda Inkuiri Nasional. Mereka bukan hanya tenaga administrasi, teknis, dan logistik semata, namun juga memiliki beban untuk menyiapkan berbagai kebutuhan yang berkaitan dengan substansi, pendidikan, kehumasan, pengorganisasian dan penelitian. Beberapa fungsi kerja Inkuiri Nasional dalam kelompok Staf atau Panitia Kerja ini meliputi. Tim Substansi: Tim Substansi yang beranggotakan orang-orang yang memiliki spesialisasi pengetahuan dan atau pengalaman khusus terkait substansi materi Inkuiri Nasional untuk membantu komisioner Inkuiri, mendalami dan memastikan materi tersebut sesuai dengan bidang ilmu, kebijakan nasional, dan perkembangan internasional. Dalam hal ini mereka yang berpengalaman dan atau memiliki keahlian di hukum dan HAM, masyarakat adat, manajemen kehutanan, agraria, dan hak asasi perempuan. Direktur Eksekutif: Sekretariat Inkuiriperlu dipimpin oleh seorang Manajer atau Direktur Eksekutif Inkuiri Nasional. Orang yang memegang jabatan tersebut haruslah mempunyai keterampilan mengelola semua bidang pekerjaan Inkuiri, memiliki kemampuan kepemimpinan, manajerial dan mengelola tim secara efektif. Dengan sifat kolaboratif dan keterbukaan di dalam proses inkuiri, maka memimpin tim Inkuiri
37
38
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Nasional merupakan sebuah peran yang rumit dengan banyak tanggung jawab dan fungsi yang berbeda. Direktur Eksekutif bisa dijabat oleh internal Komnas HAM atau merekrut dari luar. Kandidat yang dipilih ialah figur yang memahami mandat dan cara kerja sebuah Institusi Nasional HAM serta memiliki kecukupan pengetahuan tentang kerjakerja di bidang HAM. Idealnya seorang Direktur Eksekutif juga piawai dalam melakukan penggalian dana untuk memastikan sumber daya tersedia untuk menjalankan program tersebut. Tim Peneliti: Tim Peneliti beranggotakan orang-orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam penelitian/pengkajian terhadap kasus yang sedang diselidiki. Merekalah yang membantu Komisioner Inkuiri untuk memperoleh profil kasus, menganalisis bentuk-bentuk kekerasan, dan pelanggaran HAM serta mengenali saksi korban utama. Mereka juga ditantang untuk mampu mngenali pola dan akar masalah. Terdapat 3 (tiga) tim pengkajian dan penelitian dalam Inkuiri Nasional ini, yakni tim kajian etnografi, kajian pelanggaran HAM, dan satu tim lainnya yang mengkaji kebijakan dan peraturan perundang-undangan. Tim Penulis: Inkuiri Nasional pastilah membutuhkan tim penulis yang berpengalaman. Hal ini mengingat produk akhir Inkuiri Nasional adalah keluarnya Laporan Inkuiri yang mampu merangkum seluruh temuan dan rekomendasi Inkuiri Nasional. Sebuah laporan Inkuiri Nasional harus ditulis dengan baik dan meyakinkan. Di satu sisi, gaya penulisan harus langsung pada intinya dan jelas, dapat dipahami oleh beragam pembaca. Namun di sisi lain, laporan harus cermat secara akademis, berlandaskan pada bukti yang diperoleh dari penyelidikan dan dipaparkan dengan argumentasi yang kuat dan handal. Itulah sebabnya para penulis laporan harus seorang komunikator yang baik sekaligus peneliti yang mumpuni. Tim Media dan Kehumasan: Panitia inkuiri yang bertanggung jawab untuk kehumasan berperan dalam membangun hubungan dengan pihak luar, baik media, dunia pendidikan, pemerintah, maupun kelompok korban. Mereka harus mampu merangkul anak-anak muda untuk terlibat. Tugas dari tim ini adalah menyiapkan kerja-kerja kampanye, promosi, diseminasi, sosialisasi, dan penyebaran gagasan Inkuiri Nasional kepada kalangan yang luas. Mereka bisa menjadi pihak yang membangun kontak dengan media, menyiapkan materi dan paket siaran, hingga menyediakan juru bicara. Mereka memonitor perkembangan wacana dari topik yang tengah diangkat. Mereka juga diharapkan mampu membantu Komisioner Inkuiri untuk mengusung rekomendasi-rekomendasi Inkuiri.
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
Panitia Wilayah/Lokal: Untuk mendukung kerja-kerja DKU yang diselenggarakan di tingkat wilayah, Tim Inkuiri Nasional perlu memastikan adanya panitia lokal atau wilayah. Panitia lokal inilah yang menyiapkan seluruh teknis acara DKU yang diselenggarakan. Anggota panitia lokal pada dasarnya direkrut dari staf Komnas HAM di daerah atau dapat juga melibatkan staf dan jaringan organisasi-organisasi mitra di daerah atau relawan dari kelompok mahasiswa. Dengan adanya panitia wilayah ini maka tim inkuiri memiliki kaki-kaki dan fondasi yang kuat di wilayah. Hal ini juga memudahkan kerja-kerja teknis untuk menyiapkan logistik, administrasi, dan pendampingan korban di daerah. Selain itu, panitia lokal ini terbukti diperlukan untuk membantu tim media menyosialisasikan kegiatan inkuiri ini kepada para pihak terkait di wilayahnya, baik media lokal maupun kalangan universitas dan masyarakat umum. Tim Pendamping Korban/Pemberi Keterangan: Di antara angggota Tim Inkuiri Nasional, kehadiran dan peran Pendamping korban merupakan salah satu yang paling penting. Keberadaan mereka diperlukan untuk memastikan keamanan dan kepercayaan korban dan komunitas masyarakat adat yang terlibat. Anggota tim ini bisa saja dari kalangan lembaga pendamping, tokoh adat, tokoh agama, pendidik, maupun pengorganisir rakyat. Kehadiran mereka diperlukan untuk mendampingi para korban yang akan memberikan keterangan. Mereka juga dapat memberikan keterangan lebih lanjut jika diperlukan. Selain itu, kehadiran mereka akan memberikan rasa aman dan nyaman bagi pemberi keterangan. Mereka juga bisa menjelaskan dalam bahasa lokal korban tentang tujuan, proses, prosedur, risiko, dan segala informasi yang berkaitan dengan kegiatan ini kepada korban, khususnya korban yang sangat sederhana, tidak berbahasa Indonesia, dan mengalami kesulitan memahami masalah. Mengingat kemungkinan trauma yang dialami oleh para korban pada saat memberikan keterangan di hadapan publik, tim pendamping dipandang perlu melibatkan staf pendamping korban dengan kualifikasi dan pengalaman konseling atau pendampingan korban. Tim Dokumentasi dan Rapporteur: Tim Dokumentasi dan Rapporteur bekerja untuk membantu komisioner Inkuiri mendokumentasikan seluruh proses mulai dari awal hingga akhir. Arti penting dokumentasi ini tidak dapat diabaikan terutama dalam hal menyusun temuan, rekomendasi yang kemudian digunakan dalam penulisan laporan. Tanpa dokumentasi yang baik maka laporan akan sangat sulit disusun lengkap dan akurat. Pendokumentasian dapat dilakukan dalam bentuk foto,
39
40
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
audio, dan video. Selain itu salah satu tugas dari tim dokumentasi adalah memastikan adanya catatan proses atau notulensi dari setiap DKU. Oleh karenanya, tim dokumentasi haruslah dipastikan ikut di dalam setiap proses DKU. Selain tim dokumentasi yang mencatat proses, DKU juga harus dilengkapi dengan tim Rapporteur yang bertugas mencatat berbagai temuan-temuan DKU dan menyiapkan poin-poin rekomendasi. Catatan dari Rapporteur itulah nanti yang akan digunakan untuk penyampaian temuan dan rekomendasi awal. Temuan dan Rekomendasi awal biasanya disampaikan kepada publik setiap kali DKU berakhir. Bagaimana pun, tidak akan pernah ada Inkuiri Nasional yang menjadi satu-satunya pekerjaan yang dilakukan oleh sebuah Komisi Nasional HAM. Ketika proses Inkuiri tengah berjalan, Komnas HAM pada saat yang sama masih harus menerima dan menangani pengaduan, memberikan laporan dan masukan ke DPR dan Pemerintah, menanggapi berbagai inisiatif penyelesaian pelanggaran HAM, melakukan kegiatan pendidikan dan penyuluhan, dan sebagainya. Inkuiri Nasional adalah pekerjaan yang besar dan sangat signifikan. Kerja-kerja dalamnya tidak dapat dilakukan secara parsial dan paruh waktu. Pekerjaan ini bisa jadi menarik energi dan sumber daya terbaik Komnas HAM secara besar-besaran. Dengan konsekuensi tersebut, Inkuiri ini akan menyebabkan banyak staf dialihkan dari kegiatan rutin mereka ke pekerjaan Inkuiri. Oleh karena itu, keputusan mengenai alokasi staf haruslah menimbang beragam tanggung jawab dan prioritas lembaga. Komnas HAM perlumenyiapkan danmencari keseimbangan susunan personil yang tepat, baik dalam hal kuantitas dan kualitas, dengan memperhitungkan dampak penunjukkan tersebut pada bidang lain dari pekerjaannya. Namun demikian, dimungkinkan bagi Komnas HAM untuk merekrut sumber daya dari luar untuk menjadi anggota tim yang mendukung kerja-kerja Inkuiri Nasional. Mengingat penyelidikan ini mengandung risiko, maka di samping mempertimbangkan kompetensinya, pemilihan anggota panitia dari luar harus diperhitungkan secara hati-hati dan dipastikan bahwa penunjukkannya menggunakan rujukan yang dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya, apakah staf tersebut berasal dari kalangan mitra dan diusulkan oleh mitra. Dari Pengalaman Komnas HAM jumlah staf internal yang tergabung di dalam kepanitiaan seimbang dengan dukungan mitra dari luar. Untuk Inkuiri Nasional ini, Komnas HAM merekrut Atikah Nuraini sebagai Direktur Eksekutif yang mengelola dan mengordinasikan keseluruhan agenda Inkuiri Nasional.
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
Secara Ringkas, susunan Tim Inkuiri Nasional pada awal pembentukannya terdiri atas.
Penanggung Jawab: Sandrayati Moniaga (Pelapor Khusus Masyarakat Hukum Adat) Panitia Pengarah : • • • • •
Anshori Sinungan (Wakil Ketua Komnas HAM 2013—2014) Roichatul Aswidah (Koordinator Subkomisi Pengkajian dan Penelitian) Nurkhoiron (Koordinator Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan) Nurkholis (Koordinator Subkomisi Mediasi) Maneger Nasution (Koordinator Subkomisi Pemantauan)
Koordinator: Atikah Nuraini
Sekretaris Tim: Yossa A.P. Nainggolan
Narasumber Ahli: Hariadi Kartodihardjo, Saur Tumiur Situmorang, Achmad Sodiki, Enny Soeprapto
Anggota Tim Pengkajian dan Pelaporan: Fauziah Rasad, Noer Fauzi Rachman, Myrna Safitri, Martua T. Sirait, Rikardo Simarmata, Abdon Nababan, Siti Noor Laila
Dengar Keterangan Umum: Imelda Saragih, Iriena Haryati, Budhy Latif, Mimin Dwi Hartono, Rukka Sombolingi
Database: Eko Dahana Djajakarta, Ryan Karisma, Widiyanto, Eko Cahyono, Farid, Wahyu Wagiman
Kampanye dan Sosialisasi: Yuli Asmini, Banu Abdilah, Ratnawati Tobing, Mina Susetra, Luluk Uliyah, Ari Yurino
Dokumentasi: Dian Andi Nur Aziz, Hasbi Berliani, Aflina Musfainah
Administrasi: Winarni Rejeki, Tito Febismanto
41
42
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Membangun Kolaborasi dan Mengelola Sumber Daya Selain personil – Inkuiri Nasional adalah pekerjaan yang membutuhkan pembiayaan yang besar. Dana yang besar tersebut dibutuhkan untuk membiayai seluruh rangkaian kegiatan yang lamanya bisa sampai bertahun-tahun. Sebuah Inkuiri Nasional rata-rata diselenggarakan lebih dari 12 bulan. Susunan anggaran idealnya mengakomodir perkiraan kebutuhan sebagaimana ditetapkan di dalam tujuan dan kerangka acuan. Anggaran haruslah realistis, mencerminkan biaya aktual yang akan dikeluarkan. Sumber-sumber pendanaan untuk memenuhi kebutuhan penganggaran, baik dana yang sudah tersediamaupun dana yang secara realistis akandiakses, harus diidentifikasi lalu dipastikan sebelum Inkuiri dimulai. Penetapan sumber dan alokasi pendanaan diputuskan oleh forum pengambilan keputusan tertinggi di dalam Tim Inkuiri tersebut. Salah seorang pejabat Komnas HAM Australia yang juga mantan ketua HREOC, Chris Sidoti berbagi pengalamannya dan menyampaikan bahwa: “Soal anggaran dan sumber daya manusia Inkuiri Nasional dapat dirancang menurut sumber daya yang anda miliki. Dari pengalamankami, saya dan Brian Burdekin pernah bekerja dengan staf yang sedikit dan pernah juga dengan banyak staf. Bulan lalu, kami melakukannya di wilayah yang kecil dengan hanya 6 staf. Masalahnya, untuk organisasi ini bukan soal apakah bisa atau tidak untuk melakukan. Tapi, mau atau tidak. Kemudian, kondisi geografi Indonesia yang perlu diperhatikan. Malaysia mungkin kecil. Kami juga besar. Salah satu Inkuiri Nasional yang pernah kami laksanakan di daerah pedesaan soal pendidikan, salah satu cara yang kami lakukan adalah merekrut staf lokal. Soal mekanisme koordinasi, ini tantangan dan peluang. Karenanya, kalau anda memiliki kelompok yang berminat dengan masyarakat adat, itu bisa bergabung dan membahas serta bertukar ide. Mungkin, sebulan atau dua bulan membahas ini. Tapi, kita harus mempertimbangkan hasil jangka panjang hasil di antara kelompok tersebut.” (Pelatihan Inkuiri Nasional, Februari 2014) Mendapatkan semua sumber daya tersebut merupakan salah satu tugas awal dalam memulai sebuah Inkuiri Nasional. Suatu Inkuiri tidak bisa dimulai, kecuali dan sampai dengan, Komnas HAM memiliki sumber daya yang dibutuhkannya atau diyakini bahwa sumber daya tersebut
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
dapat diperoleh pada waktu yang diperlukan. Adapun pos-pos biaya utama dalam anggaran, yaitu. Skema Pembiayaan Honorarium
Honor Komisioner dan staf Inkuiri (dari luar Komnas HAM), Honor narasumber ahli, Honor penulis, Honor dokumentasi, Honor Narasumber, dll.
Perjalanan dan akomodasi
Transportasi antar kota, transportasi lokal, akomodasi dan tunjangan perjalanan untuk pemberi keterangan, panitia, komisioner, pendamping, peneliti, dll.
Dengar Keterangan Umum
menyewa tempat (bila diperlukan), publisitas, konsumsi, penyewaan alat, protokoler, pengamanan.
Biaya sekretariat
Sewa kantor (kalau diperlukan), alat tulis kantor, listrik, komunikasi antarpanitia, kurir, sarana kerja.
Sumber referensi
Buku dan publikasi lainnya yang tidak dimiliki perpustakaan Komnas HAM
Peralatan
komputer, telepon seluler, printer, fotokopi, peralatan perekam
Komunikasi Publik
akses internet, situs web, komunikasi telfon video kampanye
Publikasi
Penyusunan dan cetak laporan, cetak peta, dan bahanbahan kampanye, banner, foto, rekaman video, dll.
Acara
Pertemuan pemulihan bagi para korban, talkshow, diskusi publik, audiensi, pengumpulan data, peluncuran, dan seminar
Pertemuan antarlembaga
biaya rapat, biaya transportasi lokal
Anggaran juga harus mencakup ketersediaan dana cadangan. Inkuiri Nasional yang terencana dengan baik pun akan menghadapi berbagai kemungkinan di luar dugaan. Terkadang ada pengeluaran tertentu di dalam anggaran yang melampaui perkiraan. Misalnya, ada permasalahan yang memerlukan investigasi lebih jauh dari yang telah direncanakan dan oleh karenanyacadangan dana dibutuhkan untuk menutupi kebutuhan tak terduga ini. Umumnya sudah lazim untuk memasukkan persediaan cadangan sampai dengan 10 persen dari total anggaran.
43
44
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Komnas HAM dapat memutuskan untuk menutup biaya Inkuiri dengan mengambil dari anggaran rutinnya. Sumber pendanaan utama pelaksanaan kegiatan Inkuiri yang diselenggarakan oleh Komnas HAM berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang termuat dalam mata anggaran yang melekat pada Subkomisi-Subkomisi dan Sekretariat Jenderal Komnas HAM. Tim Inkuiri akan dipaksa untuk menyesuaikan anggarannya dengan model perencanaan penganggaran dan pencairan dana sesuai dengan ketentuan APBN. Tanpa mengikuti pola tersebut, mustahil Inkuiri Nasional ini dapat dibiayai menggunakan dana dari Negara. Selain itu, dapat juga dikumpulkan dana lain yang berasal dari luar Komnas HAM dalam bentuk hibah, baik dari lembaga donor maupun kontribusi kelembagaan dari organisasi mitra. Oleh karena itu, Komnas perlu mengidentifikasi dana secara jelas dan transparan sehingga tidak ada konflik internal di kemudian hari. Pada intinya, perencanaan penganggaran hendaknya disusun pada awal dan informasi mengenai kebutuhan tersebut dibagikan kepada mitra-mitra. Dengan demikian, organisasi mitra dapat menyesuaikan dengan programnya masingmasing yang bersinggungan dan relevan dengan agenda Inkuiri Nasional. Pendek kata, tugas untuk fundraising (pencarian dana) ini merupakan tugas prioritas yang harus melibatkan Komnas HAM hingga level tertinggi.
Kolaborasi dengan Mitra Mengingat begitu besarnya upaya dan dampak Inkuiri Nasional ini sehingga kolaborasi atau kerja sama perlu dilakukan dengan sejumlah lembaga pendukung. Kolaborasi tersebut dilakukan terkait dengan dukungan substansi, sumber daya manusia, sumber dana, hingga dukungan pengadaan tempat. Bagaimana Tim Inkuiri bekerja sama erat dengan sejumlah lembaga mitra merupakan pembelajaran penting yang menentukan keberhasilan agenda ini. Kesamaan kerja itu pun mau tidak mau harus dituangkan dalam peranperan yang jelas. Misalnya, untuk pendekatan dan pendampingan korban menjadi tanggung jawab AMAN, sedangkan penelitian dikelola oleh Sajogyo Institute dan HuMa. JKPP (Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif) menyumbangkan keahlian dan koleksi peta-peta mereka, sementara INFIS (Indonesia Nature Film Society) secara khusus bekerja untuk mendokumentasikan seluruh proses dalam film dokumenter. Organisasi
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
lain ada yang menyumbang dana, tenaga, dan data. Dalam hal perubahan kebijakan Peran Kementerian Kehutanan dalam membagi data dan kesediaan mereka untuk terus hadir dan membagi informasi menjadi kekuatan dalam seluruh proses inkuiri ini. Bahkan perlu dicatat bahwa dalam Inkuiri Nasional ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) sangat kooperatif dan memberikan dukungan penuh, terutama selama DKU berlangsung. Hal itu mereka tunjukkan dengan secara konsisten menghadirkan Pejabat Kementerian LHK dari Kantor Pusat maupun dari Kantor-kantor BPKH terkait. Selain itu pihak Pemerintah Daerah, TNI dan Kepolisian, Korporasi bersedia hadir dengan biaya dari mereka masing-masing. Secara ringkas, beberapa lembaga penting tersebut, antara lain. 1. Mitra Penyelenggara dan Berbagi Sumberdaya dan dana: Komnas Perempuan, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Sajogyo Institute (SaIns), Jaringan Sosial Pemetaan Partisipatif (JSPP), Perkumpulan HuMa, Samdhana Institute, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Kemitraan (Partnership for Governance Reform), Epistema Institute, INFIS (Indonesia Nature Film Society), ICCO, United Nations Development Programme (UNDP), Ford Foundation, dan Rights and Resources Initiative (RRI). 2. Kementrian dan Lembaga, antara lain Kementrian Hukum dan HAM, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Yudisial, Pemerintah Kota Ambon, Pemerintah Kota Palu, Pemerintah Kabupaten Lebak, dan pihakpihak lain yang telah bersedia hadir dan terlibat dalam Dengar Keterangan Umum. 3. Universitas dan Lembaga Pendidikan Tinggi, seperti Universitas Pattimura IAIN Ambon, Universitas Cendrawasih, dan Universitas Tanjungpura. 4. Lembaga Penyiaran Publik, seperti TVRI Palu, RRI Palu, RRI Medan, dan TV Ruai.
45
46
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Melakukan Pengkajian dan Penelitian Suatu Inkuiri Nasional umumnya mempunyai tiga sumber informasi utama, yaitu (1) pengaduan kasus-kasus yang diterima langsung oleh Komnas HAM, (2) Riset yang dilakukan sendiri atau ditugaskan kepada pihak lain, dan (3) Bukti dan keterangan yang diperoleh dari para pemberi keterangan dan pihak-pihak yang diadukan. Dalam kerja-kerja inkuiri ini Komnas HAM menggunakan ketiga sumber informasi tersebut secara paralel dan saling melengkapi satu sama lain. Pengaduan ke Komnas HAM dijadikan sebagai data awal yang kemudian diperdalam melalui riset lapangan dan riset pustaka. Selanjutnya melalui DKU, Komnas HAM melengkapi data dan informasi tersebut dari pihak-pihak yang memberikan keterangannya secara langsung. Berkaitan dengan penelitian yang dilakukan dalam Inkuiri Nasional, tujuan penelitian tersebut untuk menemukenali dan melengkapi informasi yang dibutuhkan oleh Komisioner Inkuiri. Tugas pertama, yaitu untuk melakukan sebuah kajian pustaka untuk mengetahui data apa yang sudah ada dan penelitian apa yang telah dilakukan. Informasi ini dievaluasi berdasarkan relevansinya dengan Inkuiri. Informasi yang ada kemudian dianalisis untuk mencari kesenjangan yang perlu diisi oleh Tim Inkuiri. Data-data yang dikumpulkan dalam penelitian, antara lain. •
• •
Data keras, berupa statistik yang mengungkapkan sifat masalah yang tengah diinvestigasi, orang-orang yang terdampak, dan sifat dari dampak tersebut terhadap orang-orang tersebut. Cerita-cerita korban dari lapangan berupa kisah-kisah individual maupun komunitas. Pengkajian dan hasil analisis peraturan perundang-undangan serta analisis kebijakan dan program pemerintah terkait.
Sejak awal, Tim Inkuiri perlu menentukan penelitian apa yang perlu dilakukan dan siapa yang akan melakukannya. Riset itu bisa saja berupa penelitian yang ada dengan data terkini. Penggunaan data terkini diperlukan agar analisis dan temuan yang ada nantinya menghasilkan rekomendasinya yang kokoh. Beberapa jenis data terkini yang diperlukan, antara lain update tentang peta wilayah adat, proyek-proyek pembangunan yang bersinggungan dengan wilayah adat, data demografis anggota masyarakat adat, hingga izin-izin konsesi yang tumpang tindih dengan wilayah adat.
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
Pertanyaan-pertanyaan penelitian harus diidentifikasi sedini mungkin sebelum penelitian dilakukan. Selain itu jadwal Inkuiri untuk memastikan bahwa penelitian dapat dilaksanakan dan diselesaikan jauh sebelum Tim Inkuiri harus menuliskan laporannya, menyusun rekomendasi, dan menyampaikannya kepada pihak yang relevan. Penelitian dalam Inkuiri Nasional bukan sekadar penelitian untuk studi akademis semata. Akan tetapi, inkuiri ini juga merupakan sebuah proses yang menggunakan suara-suara korban untuk didengar di hadapan publik agar pengalaman mereka diketahui dan diakui. Di dalam Penelitian Etnografi, misalnya, suara-suara korban dihargai sebagai suara-suara yang bebas. Ruang tersebut disediakan bagi para korban untuk menyuarakan sejarah dan pengalaman mereka. Inkuiri perlu mempertimbangkan apakah penelitian lebih baik dilakukan secara internal, oleh staf Komnas HAM, atau dapat dilakukan atau dikolaborasikan secara eksternal dengan menugaskan para akademisi atau peneliti lainnya. Ada manfaat yang nyata dengan melaksanakan penelitian oleh staf Komnas HAM, yaitu. •
Penelitian akan dilakukan di bawah pengawasan langsung dari staf peneliti senior Komnas HAM, sehingga lebih mudah dikelola dan disesuaikan dengan kebutuhan Komnas HAM.
•
Akan lebih mudah memastikan bahwa mereka akan menerima informasi yang dibutuhkan dalam bentuk yang paling sesuai dengan format atau kebutuhan mereka.
•
Tim Komnas HAM dapat lebih memastikan penyelesaian riset yang tepat waktu.
47
48
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
•
Komnas HAM akan mendapatkan manfaat jangka panjang dari peningkatan pengalaman para penelitinya serta peningkatan keahlian mereka sebagai hasil dari melaksanakan riset untuk Inkuiri ini.
Akan tetapi, bisa saja Staf Komnas HAM sendiri belum memiliki keahlian yang mencukupi untuk melakukan suatu riset yang sangat spesifik topiknya (misalnya, berkaitan dengan manajemen kehutanan). Selain itu belum tentu mereka punya waktu untuk melaksanakan riset ini. Jika menghadapi situasi seperti ini maka Tim Inkuiri harus melakukan kolaborasi dengan pihak luar yang bisa direkrut dari peneliti profesional atau lembaga-lembaga penelitian. Jika Komnas HAM melakukan dengan lembaga-lembaga Non-Pemerintah yang memiliki mandat melakukan penelitian maka itu akan lebih baik. Dengan demikian, tugas-tugas penelitian dapat diserahkan kepada mitra. Akan tetapi, perlu dipastikan pula bahwa peneliti yang dikontrak tersebut mempunyai keahlian, kompetensi dan pengalaman yang diperlukan untuk tugas tersebut. Selain itu harus dipastikan pula mereka dapat melakukan dan menyelesaikan penelitian secara tepat waktu dan sesuai dengan anggaran yang tersedia. Sebagian besar Inkuiri nasional dilakukan dengan jadwal yang ketat dan anggaran terbatas sehingga berisiko tidak memenuhi tenggat waktu dan biaya penelitian. Di dalam pengalaman Inkuiri Nasional ini, tim menyusun kerangka penelitian untuk 3 (tiga) bidang kategori, yaitu (1) Pengkajian dugaan pelanggaran hak asasi manusia, (2) Penelitian etnografi masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan, (3) Penelitian atau kajian kebijakan di bidang kehutanan dan masyarakat adat. Penelitian (1) dan (3) dikerjakan sendiri oleh Komnas HAM, sedangkan Penelitian (2) dikerjakan oleh Sajogyo Institute beserta tim lapangannya.
1. Pengkajian dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Pengkajian Dugaan Pelanggaran HAM dalam kasus-kasus hak masyarakat adat di kawasan hutan dilakukan secara khusus oleh Subkomisi Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM untuk mendukung Inkuiri Nasional. Data-data awal untuk pengkajian ini diambil dari kasus-kasus yang diadukan dan diregistrasi oleh Komnas HAM serta bahan-bahan yang disampaikan oleh AMAN dan HuMa. Tujuan dari pengkajian ini, yakni untuk memeriksa apakah di dalam kasus-kasus tersebut ditemukan adanya dugaan pelanggaran HAM berdasarkan
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
Undang-Undang 39 tahun 1999 dan Peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk undang-undang ratifikasi instrumen-instrumen HAM internasional. Tim Pengkajian telah memeriksa fakta-fakta pelanggaran yang meliputi: Kapan dan dimana peristiwa terjadi, siapa yang menjadi korban, siapa aktor pelaku, tindakan apa yang dialami oleh korban dan mengapa peristiwa itu terjadi, serta bentuk-bentuk tindakan pelanggaran yang dialami. Selain fakta-fakta peristiwa, tim juga mengecek dampak peristiwa tersebut terhadap korban dan komunitasnya, serta hak-hak apa saja yang dilanggar menurut ketentuan Hukum Nasional dan Instrumen HAM internasional. Dengan pengkajian ini, Komisioner Inkuiri mendapat gambaran awal mengenai latar belakang peristiwa dan dugaan pelanggaran HAM-nya. Selama kurang lebih 3 (tiga) bulan, Tim ini melakukan kajian terhadap 40 kasus masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan yang mewakili 7 region wilayah di Indonesia. Bahan inilah yang selanjutnya digunakan oleh Komisioner Inkuiri untuk mendalami masalah dalam setiap Dengar Keterangan Umum.
2. Penelitian Etnografi Penelitian Etnografi dilakukan untuk memahami sejarah, asal-usul, tradisi dan kehidupan sehari-hari masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan dari perspektif masyarakat adat sendiri. Penelitian ini menekankan pengamatan mendalam terhadap masyarakat adat yang ikut serta di dalam Inkuiri Nasional. Proses penulisan naskah dilakukan oleh asesor dan tutor melalui rangkaian pertemuan kampung, wawancara tokoh kunci, dan diskusi terfokus bersama komunitas masyarakat adat di masing-masing lokasi. Asesor adalah penggerak masyarakat adat yang dipilih dan ditetapkan oleh AMAN di wilayah masing- masing. Kegiatan yang diinisiasi dan dikoordinasikan penyelenggaraannya oleh Sajogyo Institute ini berjalan sekitar 8 (delapan) bulan. Melalui proses ini Sajogyo Institute berharap dapat berkontribusi pada peningkatan kapasitas penelitian sosial bagi penggerak komunitas dan gerakan masyarakat adat pada umumnya. Dari pengamatan mendalam dan diskusi kampung itu, maka dapat dihasilkan naskah-naskah yang dituliskan dengan format dan gaya etnografi. Naskah-naskah ini yang kemudian juga menjadi bahan pendukung bagi proses DKU. Salah
49
50
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
seorang pendamping masyarakat adat dan Asesor Penelitian Etnografi dari wilayah Sulawesi, M. Nasrum, menyatakan : “Kegiatan Inkuiri Nasional yang dilaksanakan oleh Komnas HAM tentang hak masyarakat hukum adat atas wilayahnya dalam kawasan hutan merupakan suatu terobosan baru dalam melakukan pendokumentasian dan mengungkap praktik perampasan hak masyarakat hukum adat atas wilayah kelolanya oleh negara. Inkuiri Nasional sendiri merupakan hal yang baru bagi saya, apalagi dengan metode yang digunakan dalam mengungkap berbagai perampasan hak masyarakat hukum adat oleh Komnas HAM yakni melalui riset aksi dengan penulisan etnografi. Riset Aksi dengan penulisan etnografi semakin memperkaya strategi dan metode di Komnas HAM dalam mengungkap berbagai praktek pelanggaran HAM oleh negara terhadap masyarakat khususnya di sektor agraria. Untuk itu, ke depannya perlu semakin ditingkatkan upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dengan metode seperti ini. Selain itu, hasil riset aksi idealnya disatukan menjadi sebuah bahan bacaan yang bisa diakses oleh publik agar mereka memahami praktik kejahatan negara terhadap masyarakat sipil.” (Wawancara tertulis pasca DKU, Desember 2014) Naskah-naskah Etnografi yang ditulis oleh Tim Peneliti tersebut selain digunakan sebagai bahan bagi Komisioner Inkuiri dalam DKU, kemudian juga dibukukan agar menjadi pengetahuan bersama yang dapat diakses tidak hanya oleh masyarakat adat itu sendiri tapi juga oleh publik secara luas.
3. Pengkajian Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya dalam Peraturan perundang-undangan mengenai Kehutanan, Pertanahan dan Lingkungan Hidup Peraturan perundang-undangan mengenai kehutanan seharusnya mampu menghormati, melindungi, dan memenuhi hak masyarakat adat, khususnya pengakuan wilayah adat, yang klaimnya tumpang-tindih dengan wilayah yang ditunjuk oleh Pemerintah sebagai kawasan hutan.
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
Namun pada kenyataannya, banyak konflik klaim antara wilayah adat dan kawasan hutan, yang menunjukkan belum mampunya peraturan perundang-undangan tersebut menghormati, melindungi, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat atas wilayahnya. Untuk mendalami persoalan tersebut maka Subkomisi Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM melakukan pengkajian khusus di bidang tersebut. Pengkajian tersebut akan menjawab pertanyaan bagaimana peraturan perundang-undangan mengenai kehutanan, pertanahan dan lingkungan hidup menyediakan pengaturan yang memadai untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak masyarakat adat atas wilayahnya. Pengkajian sepenuhnya dilakukan oleh Tim dari Subkomisi Pengkajian dan berlangsung selama kurang lebih 8 (delapan) bulan. Pengkajian ini menyimpulkan bahwa sebagian peraturan perundangundangan mengenai kehutanan, pertanahan, dan lingkungan hidup sudah mengatur mengenai penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak masyarakat adat atas wilayahnya. Namun demikian, peraturan-peraturan tersebut belum cukup memadai sehingga menyebabkan berbagai konflik wilayah antara masyarakat dengan pemerintah, termasuk dengan kalangan usaha pengelolaan hutan. Berdasarkan kajian ini, Komnas HAM merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut. -
Perlu dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan mengenai kehutanan agar mampu menghormati, melindungi, dan memenuhi hak masyarakat adat atas wilayahnya.
-
Menyusun terciptanya konsep pertanahan nasional yang mengakomodasi hak masyarakat adat atas wilayahnya, yang kemudian dilegalisasi melalui peraturan perundang-undangan.
-
Mengintegrasikan konsep perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak masyarakat adat atas wilayahnya, melalui upaya harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan hidup.
51
52
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Dengar Keterangan Umum (Public Hearings) Dengar Keterangan Umum (DKU) merupakan metode yang membedakan Inkuiri Nasional dengan model penyelidikan lain yang digunakan oleh Komnas HAM dan menjadi bagian penting untuk mencapai tujuan Inkuiri Nasional. Jika diibaratkan sebagai pertunjukan, dapat dikatakan DKU sebagai “panggung” dari Inkuiri Nasional ini. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendengarkan suara korban secara langsung berkaitan dengan pelanggaran HAM yang mereka alami. Selain itu, juga memberikan ruang bagi pengungkapan fakta-fakta peristiwa yang terjadi dan mendapatkan klarifikasi terhadap berbagai pengaduan yang diterima oleh Komnas HAM dari pihak-pihak yang diadukan. Sebuah Forum DKU akan menghadirkan para korban, saksi ahli, dan pihak-pihak yang diadukan dalam suatu peristiwa pelanggaran HAM. Tim Inkuiri perlu merencanakan DKU sebaik mungkin untuk memastikan agar inkuiri ini dapat mendengar segala hal yang diperlukan dari berbagai pihak yang relevan. Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah jangka waktu tertentu dalam rentang kerja Inkuiri Nasional. Biasanya setelah tim data mengumpulkan informasi dan pernyataan dari para korban dan komunitasnya, kemudian Komisioner Inkuiri merencanakan DKU. Proses ini bukan hanya digunakan sebagai alat investigasi atau penyelidikan, tetapi juga menjadi alat pendidikan umum. Secara ringkas, Forum DKU ini diselenggarakan dengan tujuan, antara lain. 1. Menyediakan sebuah forum bagi korban yang mengukuhkan pengalaman mereka dan menawarkan kesempatan untuk menceritakan pengalaman mereka. Forum ini memberikan dasar bagi pengakuan atas kekerasan dan/atau pelanggaran HAM yang dialami. 2. Proses pendidikan dan klarifikasi berkaitan dengan konteks, penyebab, dan dampak pelanggaran HAM yang terjadi. 3. Mengangkat kembali kasus-kasus kunci terkait dengan penyebab, dampak, dan konteks peristiwa yang terjadi serta mengenali polanya. 4. Mendorong partisipasi dan kepentingan masyarakat luas dalam proses pengungkapan kasus-kasus pelanggaran HAM dan akar masalahnya. 5. Membangkitkan dukungan Umum dan momentum yang cukup untuk memastikan bahwa para pejabat daerah dan nasional harus mengambil upaya serius menangani kasus-kasus tersebut.
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
Prinsip-Prinsip DKU 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7.
Do No Harm (keamanan korban menjadi prioritas). Partisipasi korban dan saksi, panitia, komisioner inkuiri, narasumber, dan semua orang yang terlibat didasari sukarela. Bukan proses ‘interogatif’ seperti pengadilan. Apa bila ada pelaku yang bersedia memberi keterangan perlu diberi informasi tentang hak-haknya. Ada hak jawab (secara tertulis disampaikan pada Komisioner Inkuiri) apabila ada pernyataan yang ingin disanggah. Komisioner Inkuiri menghakimi dan tidak mencari kebenaran dari proses ‘DKU’, melainkan menyajikan kebenaran yang telah menjadi temuan Komnas HAM. Penghormatan dan penguatan korban.
53
54
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Langkah-langkah Menyelenggarakan DKU 1. Panitia inkuiri mengorganisir sebuah tim yang terdiri dari mitramitra strategis dan relawan untuk menjadi panitia lokal yang mengorganisir DKU. 2. Dari pendokumentasian kasus, Panitia inkuiri mengidentifikasi kasus/peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang hendak diangkat ke DKU. Selain itu juga diidentifikasi calon-calon pemberi keterangan, termasuk melakukan pendekatan, menjelaskan mengenai tujuan DKU, meminta persetujuan, dan menyiapkan daftar pertanyaan dan menggali cerita mereka. 3. Panitia Lokal berkoordinasi dengan AMAN dan para pendamping korban untuk mengundang korban dan saksi dalam Forum DKU. Undangan tersebut disampaikan dengan memperhitungkan panjangnya acara, kesiapan saksi serta logistik yang dibutuhkan. Jika memungkinkan, Panitia juga dapat mengupayakan dan mengundang saksi ahli yang relevan dengan kebutuhan. 4. Forum DKU diselenggarakan antara 1—3 hari (tergantung jumlah pemberi keterangan dan jumlah kasus yang diangkat). Sebagai contoh, di 6 (enam) kota dimana DKU diselenggarkan, yaitu Palu, Medan, Kalimantan, Mataram, Ambon, dan Abepura, Forum DKU diselenggarakan selama 3 (tiga) hari, sedangkan di Lebak, hanya 1 (satu) hari. DKU mengundang masyarakat luas, baik dari kalangan pemerintah, akademisi, organisasi masyarakat, tokoh-tokoh adat, maupun kalangan lain yang relevan. Kegiatan ini bersifat terbuka. 5. Dalam setiap DKU, Panitia Inkuiri menghadirkan pemberi keterangan dari kalangan korban atau anggota masyarakat adat yang mengalami pelanggaran HAM, serta pemberi keterangan dari kalangan Lembaga Pemerintah, Aparat Keamanan, Perusahaan dan pihak-pihak lain yang relevan. 6. Sebelum DKU dilaksanakan dilakukan sosialisasi dan kampanye dalam bentuk diskusi publik, pemutaran film, talkshow, pertemuan dengan media, mahasiswa, dan masyarakat umum untuk mendiseminasikan Inkuiri Nasional dan Forum DKU ini. 7. Panitia Lokal bertanggung jawab membuat laporan serta transkrip DKU yang akan digunakan dalam penyusunan laporan. Laporan ini akan memperkaya Laporan Akhir Inkuiri Nasional. Jika memungkinkan laporan dilengkapi dengan rekaman video/foto yang akan diunggah ke situs Inkuiri Nasional.
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
Boleh dibilang, DKU memang tampak seperti sebuah pertunjukan. Di dalam forum tersebut kadang muncul suara-suara menyindir, menyangkal, menolak, marah, sedih, lesu, atau justru teriakan menggelegar penuh semangat juang. Kadang muncul tangis, air mata, kemarahan, keharuan, ketakutan, atau tawa terpingkal-pingkal. Berbagai ekspresi muncul di dalamnya dan harus dikelola agar tujuan untuk menyajikan informasi dan cerita itu dapat tercapai secara maksimal. Komisioner Inkuiri dituntut untuk pandai-pandai mengatur peran dan seimbang dalam memberi ruang penyampaian keterangan dan klarifikasi saksi-saksi. Secara umum untuk dapat berpartisipasi dalam DKU, Pemberi Keterangan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut ini. 1. Seorang anggota masyarakat adat dan korban/penyintas atau saksi atau yang mengetahui adanya pelanggaran HAM yang terjadi dalam kasus atau di wilayah dimana DKU akan dilakukan. 2. Bersedia hadir di tempat DKU dan mengikuti proses DKU secara penuh. 3. Bersedia secara sukarela (tanpa dipaksa) untuk memberi keterangan berdasarkan pengalaman sendiri atau kejadian yang disaksikan sendiri. 4. Berkompeten dan dapat mengungkapkan identitas dirisecara jelas. 5. Pengalamannya mewakili komunitas adatnya, jika ada banyak korban yang juga mengalami hal yang serupa. 6. Untuk pemberi keterangan dari pihak-pihak yang diadukan adalah pejabat atau petugas yang berwenang memberi keterangan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam jabatan yang dipegangnya. 7. Pernyataannya kredibel dan akan menguatkan kebenaran. 8. Disepakati Komisioner Inkuiri.
Keselamatan dan Keamanan Pemberi Keterangan Dalam memilih para pemberi keterangan, panitia inkuiri memperhitungkan pertimbangan tertinggi padakeamanan pemberi keterangan. Segala risiko yang dapat muncul karena keikutsertaan mereka dalam DKU perlu dipertimbangkan secara matang-matang. Beberapa hal yang mungkin terjadi, antara lain. -
Pemberi keterangan yang pernah mengalami kekerasan bisa jadi akan mengalami trauma kembali akibat menceritakan kisahkisahnya.
55
56
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
- - -
Pemberi keterangan ketakutan akan mengalami kekerasan baru ketika mereka pulang ke tempatnya masing-masing. Pemberi keterangan mengalami pengejaran, persekusi, hingga kekerasan baru ketika kembali ke kampung atau komunitasnya. Pemberi keterangan ditolak atau disisihkan oleh komunitasnya.
Risiko-risiko di atas sangat mungkin terjadi dan panitia sebisa mungkin mempertimbangkan kembali kemungkinan keikutsertaan mereka. Prinsip utama bahwa DKU ini tidak boleh merugikan narasumber atau pemberi keterangan merupakan prinsip yang harus dipegang. Jika tidak, bukan hanya para pemberi keterangan yang mendapat bahaya atau kerugian, tetapi juga kredibilitas inkuiri tidak dapat diandalkan. Salah seorang Pendamping Korban dan Asesor Penelitian Etnografi dari Sumatra Utara, Wina Khairina, menyatakan: Saya kira Inkuiri Nasional itu positifnya ada publikasi nasional. [Selain itu] saya kira mendorong moratorium kemarin sebuah terobosan baru. Tapi kasus-kasus hukum yang sedang berjalan tidak maksimal advokasinya. Semende misalnya, 4 orang korban justru inkracht di Mahkamah Agung (MA) lalu kemudian ada teror-teror akan kembali dikriminalkan masyarakat yang lain. Saya kira ini juga karena kapasitas pengorganisasian lembaga pendampingnya yang jumlahnya terbatas dan jangkauannya jauh. (Wawancara tertulis pasca DKU, Desember 2014) Dalam situasi demikian, panitia mengambil langkah-langkah pencegahan dan pengamanan semaksimal mungkin, antara lain. -
Memastikan para pemberi keterangan mengerti dan memahami tujuan Inkuiri Nasional dan forum DKU, mekanismenya, hingga risiko-risiko yang mungkin akan mereka hadapi. Dengan menjelaskan tujuan dan apa yang harus mereka lakukan serta apa yang menjadi risikonya sehingga mereka dapat memutuskan apakah mereka akan tetap memberikan keterangan secara sukarela atau tidak.
-
Menyembunyikan atau menyamarkan identitas pemberi keterangan bagi mereka yang berkeinginan memberi keterangan, namun khawatir dengan keselamatan mereka.
-
Menyediakan ruang kesaksian tertutup sehingga nama dan sosok pemberi keterangan tidak dikenali.
-
Memberikan keterangan dalam sesi atau forum terpisah dan tertutup (tidak di hadapan publik).
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
-
Pemberi keterangan yang akan bepergian atau melakukan perjalanan (datang dan pulang) didampingi atau ditemani oleh pendamping yang dapat diandalkan.
-
Bekerja sama dengan pihak-pihak yang berwenang dalam memberikan perlindungan bagi para saksi dan korban, seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Kepolisian jika diperlukan. Dalam hal bekerja sama dengan LPSK, panitia sudah menyiapkan form laporan yang dilengkapi identitas pemberi keterangan yang siap disampaikan ke LPSK jika dalam keadaan bahaya dan membutuhkan respons cepat.
Pemulihan dan Persiapan bagi Pemberi Keterangan Suasana DKU yang terbuka untuk publik dapat menyebabkan ketidaknyamanan bagi pemberi keterangan. Tidak semua pemberi keterangan nyaman menceritakan kisah mereka di depan khalayak yang luas dan diliput banyak media. Untuk itu persiapan dan pertemuan untuk pemulihan harus dipersiapkan agar mereka tidak mengalami guncangan. Tim Inkuiri Nasional melakukan 1—2 hari workshop persiapan bagi para pemberi keterangan sebelum DKU dimulai untuk menyiapkan mental dan pengetahuan mereka ketika berbicara di hadapan publik. Workshop persiapan tersebut selain menyiapkan mental para pemberi keterangan, juga memeriksa sejauh mana pemberi keterangan memahami dan mengetahui berbagai informasi yang dibutuhkan mengenai sejarah, asalusul, riwayat, dan kejadian yang dialami komunitas adatnya masingmasing. Kalau Pemberi Keterangan bisa baca tulis, mereka diminta menuliskan terlebih dahulu cerita mereka agar segala sesuatu yang mereka sampaikan di dalam forum DKU terstruktur, rapi, dan sistematis. Hal-hal yang perlu mereka sampaikan dalam DKU, antara lain. • • • • • •
Asal usul dan sejarah masyarakat adat. Tradisi, upacara dan tatanan dalam komunitas. Lokasi masyarakat adat, luas kawasan, peruntukan kawasan. Awal konflik dengan Negara dan Pihak lain. Peristiwa pelanggaran dan kekerasan yang dialami. Khusus Perempuan Adat yang memberikan keterangan adalah mengenai kondisi perempuan adat yang tinggal di kawasan hutan (peran, fungsi, apa yang mereka alami, dampak bagi keluarga dan komunitas.
57
58
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Di dalam workshop pemulihan ini, Panitia inkuiri akan menyediakan 1—2 orang fasilitator yang memandu proses pemulihan. Metode pemulihan adalah metode pemulihan berbasis kolektif. Artinya, proses bercerita dan saling memulihkan akan dilakukan dalam kelompok, baik kelompok sesama komunitas adatnya maupun komunitas keseluruhan pemberi keterangan. Dalam proses ini, fasilitator dan panitia juga dapat memastikan bahwa pemberi keterangan adalah mereka yang sudah mengalami transformasi. Korban yang masih “marah”, trauma, depresi dan sulit mengendalikan emosinya sebisa mungkin tidak memberi keterangan di hadapan komisioner Inkuiri dan masyarakat umum nantinya.
Hari 1 – pagi Perkenalan dan Penjelasan tentang Workshop dan Inkuiri Nasional (60 menit) Model Pemulihan berbasis kolektif (120 menit) a.
Fasilitator memulai dengan proses partisipatif secara bersama-sama mengajak peserta menceritakan kisah kehidupan mereka. Metode yang digunakan adalah “sungai kehidupan,” atau bisa juga fasilitator menggunakan metode “alur waktu.” Pada intinya peserta diajak untuk menelusuri kehidupan mereka mulai dari titik mana saja sejak kecil hingga dewasa dan masa sekarang. Fasilitator meminta peserta mengenali titik-titik penting dalam kehidupan peserta, misalnya: saatsaat yang membahagiakan, saat yang menyedihkan, gambaran tentang keluarga, gambaran tentang komunitas, wilayah dimana mereka tinggal, apa yang membuat mereka bahagia, menderita, bertahan, dsb.
B ag i a n 2
b.
c.
d.
e.
f.
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
Proses ini dilakukan secara individual dan semua orang di dalam ruangan diminta untuk hening selama sekitar 30 menit, bekerja sendiri-sendiri. Fasilitator pelan-pelan juga meminta peserta mengenali kejadiankejadian kekerasan yang mereka alami, situasi dimana mereka menemukan diri mereka sekarang, mimpi-mimpi mereka, dan harapan mereka tentang masa depan. Selanjutnya fasilitator mengajak peserta berbagi cerita masingmasing. Bisa dimulai dari mereka yang paling terbuka. Peserta lain diminta untuk menyimak cerita rekan-rekannya. Fasilitator memberikan pertanyaan-pertanyaan pemancing untuk melanjutkan cerita. Di dalam proses ini fasilitator harus bersabar, terbuka, dan menunjukkan minat yang sungguh-sunggu terhadap segala informasi yang dibagikan, meskipun mungkin kadang-kadang tidak relevan untuk saat itu. Setelah selesai maka fasilitator menutup sesi dengan mengajak seluruh peserta untuk saling memberikan penguatan satu sama lain.
Hari 1 – siang: Menyusun Materi DKU Pada hari 1 siang, peserta diajak untuk mulai menyiapkan materi apa yang hendak disampaikan dalam Forum DKU. a.
b.
c.
Fasilitator membagi peserta untuk duduk dalam kelompok/ komunitas adatnya masing-masing. Fasilitator menegaskan pentingnya menyampaikan keterangan dan bahwa keterangan yang diberikan tersebut akan sangat berpengaruh pada upaya DKU yang akan dilakukan dan proses pengungkapan kebenaran yang tengah diperjuangkan. Tiap kelompok biasanya terdiri dari 2 calon pemberi keterangan (perempuan dan laki-laki) dan 1 – 3 orang pendamping. Pendamping bisa dari anggota masyarakat adat, pengorganisir komunitas, tokoh adat, tokoh agama, atau siapa pun yang memahami masalah di komunitas adat tersebut dan dikenal baik oleh calon pemberi keterangan. Fasilitator meminta agar tiap kelompok mendiskusikan dan menuliskan dalam apa yang menjadi masalah komunitas adat masingmasing. Topik-topik yang harus disusun meliputi: - Asal usul dan sejarah masyarakat adat. - Tradisi, upacara dan tatanan dalam komunitas. - Lokasi masyarakat adat, luas kawasan, peruntukan kawasan. - Awal perampasan tanah dan konflik dengan Negara dan Pihak lain. - Peristiwa pelanggaran dan kekerasan yang dialami.
59
60
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
d.
e.
f.
g.
- Khusus Perempuan Adat yang memberikan keterangan adalah mengenai kondisi perempuan adat yang tinggal di kawasan hutan (peran, fungsi, apa yang mereka alami, dampak bagi keluarga dan komunitas). Fasilitator menyediakan peta untuk memastikan calon pemberi keterangan memahami dimana wilayah mereka masing-masing dan mampu menunjukkannya bisa ditanyakan. Fasilitator meminta tiap kelompok untuk menyiapkan siapa yang harus menyampaikan apa terkait dengan topik-topik yang sudah disiapkan tersebut. Fasilitator harus memastikan bahwa tiap kelompok menyiapkan presentasinya untuk keseluruhan topik tersebut maksimum 30 menit per pemberi keterangan. Dengan demikian untuk satu kasus masyarakat adat tersedia waktu 60 menit. Fasilitator meminta peserta untuk menyiapkan sesi esok harinya yang akan berupa sidang atau presentasi latihan untuk memberikan keterangan di hadapan pemeran Komisioner Inkuiri dan masyarakat umum. Dijelaskan pula bahwa pada sesi yang sesungguhnya nanti peserta akan diminta klarifikasinya jika ada keterangan yang tidak jelas. Selain itu mereka juga akan berhadapan langsung dengan para pihak yang diadukan. Fasilitator meminta panitia untuk mendapatkan “persetujuan (informed conset)” dari mereka untuk yang akan menyampaikan keterangan dalam DKU. Mereka bisa mengubah pikiran atau membatalkan persetujuan mereka jika mereka tidak bersedia.
Hari 2 – Pagi dan Siang: Latihan Menyampaikan Keterangan a.
b.
Fasilitator menyampaikan tujuan sesi dan bagaimana proses DKU akan dilakukan, termasuk denah/posisi, prosedur, dan tata tertib DKU. Fasilitator meminta panitia lain 2-3 orang untuk menjadi Komisioner Inkuiri dan menanggapi latihan presentasi tersebut. Latihan ini diupayakan sedekat mungkin dengan forum yang sebenarnya. Fasilitator meminta peserta untuk mulai melakukan latihan. Pemeran Komisioner Inkuiri akan memimpin sesi dan memanggil caloncalon pemberi keterangan berdasarkan urutan komunitasnya. Tiap komunitas diwakili 2 (dua) orang pemberi keterangan yang diupayakan laki-laki dan perempuan. Tiap pemberi keterangan mendapatkan waktu untuk menyampaikan cerita mereka selama 15 menit. Dengan demikian, setiap kasus mendapat waktu 30 menit (dalam sesi sebenarnya mereka akan mendapatkan waktu sampai dengan 30 menit masing-masing pemberi keterangan). Selanjutnya pemeran Komisioner Inkuiri akan memberikan tanggapan dan masukan untuk perbaikan penyajian tersebut. Untuk total 6 kasus diperlukan waktu sekitar 3 jam latihan.
B ag i a n 2
c.
d.
e.
f.
g.
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
Pemeran Komisioner Inkuiri bisa meminta mereka menunjukkan dimana lokasi persisnya wilayah mereka dalam peta yang sudah disiapkan sebelumnya. Oleh karena itu sangat penting bagi para pemberi keterangan untuk memahami peta wilayah yang sebisa mungkin cocok dengan peta yang dikeluarkan oleh pihak kehutanan. Di akhir Komisioner akan meminta anggota masyarakat adat untuk menyampaikan kembali apa yang menjadi harapan mereka. Di sesi siang, dilakukan latihan satu kali lagi untuk perbaikan. Pemeran Komisioner Inkuiri memastikan bahwa pemberi keterangan menguasai materi yang dibahas dan peta yang disajikan. Setelah proses berlangsung selama 2 (dua) putaran, fasilitator meminta pendapat peserta bagaimana kesiapan mereka untuk Forum DKU keesokan harinya. Jika memungkinkan calon pemberi keterangan diajak untuk melihat lokasi DKU agar mereka mengetahui dimana posisi mereka dan bagaimana proses DKU akan berlangsung. Khusus untuk pemberi keterangan yang tidak bersedia menampakkan diri, disediakan tempat khusus yang tertutup. Fasilitator memastikan agar Panitia menyiapkan pengamanan dan akomodasi yang memadai, termasuk pintu khusus untuk keluar masuknya pemberi keterangan dan terhindar dari gangguan pihak lain.
Perlakuan yang Adil Bagi Semua Pihak Komnas HAM sebagai penyelenggara Inkuiri Nasional mengantisipasi adanya kebutuhan pengacara dan tim hukum. Kebutuhan tersebut muncul dari adanya risiko yang akan dihadapi pemberi keterangan manakala menyebutkan nama pelaku. Pemberi keterangan dapat dituduh mencemarkan nama baik dan mengalami kriminalisasi. Situasi tersebut haruslah ditangani dengan baik. Inkuiri ini bukan pengadilan dan tidak diwajibkan untuk mematuhi batasan hukum formal, namun persoalan tentang perlakuan yang adil (termasuk di dalamnya hak jawab) merupakan bagian yang harus dilindungi. Masalah teknis dan prosedural perlu ditetapkan, misalnya, siapa saja yang diharapkan hadir? Bagaimana memastikan DKU sebagai proses yang aman bagi para pemberi keterangan baik korban maupun saksisaksi lainnya? Apakah mereka yang dituduh sebagai pelaku bisa hadir? Pengalaman-pengalaman DKU dari Inkuiri Nasional di negara-negara lainnya, misalnya para korban dan saksi diberi saran dan informasi untuk memahami risiko penyebutan nama pelaku. Namun, Tim Inkuiri juga harus menyiapkan pembela atau pendamping hukum jika pemberi keterangan mendapatkan ancaman atau gugatan balik dari pihak yang merasa dirugikan karena penyebutan nama atau informasi tersebut.
61
62
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
BANNER
KOMISIONER INKUIRI
RAPPORTEUR
BILIK TERTUTUP P MA IHAK DA SYAR PENG N P AKA AD U EN DA T ADA MP ING T
TAMU UMUM
G AN Y AK AN PIH ADUK DI
63
64
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Meminta tanggapan Pihak-pihak yang Diadukan Tibalah hari manakala DKU dilaksanakan. Seluruh pihak yang terlibat hadir di dalam ruangan DKU dan Komisioner Inkuiri bersiap mendengarkan kasus-kasus yang perlu ditangani. Selama proses DKU di 7 (tujuh) wilayah, Komnas HAM mencatat begitu banyaknya pihakpihak yang diadukan hadir dan bersedia memberikan klarifikasi atas kasus-kasus yang dihadapi oleh Masyarakat adat. Secara keseluruhan 7 (tujuh) DKU tersebut lebih dari 200-an institusi hadir. Setelah para korban menyampaikan keterangannya, detik-detik yang tidak kalah mendebarkan terjadi, tatkala mata publik mengarah pada para pihak yang harus bertanggung jawab karena dianggap pihak yang terlibat sebagai ‘pelaku’ pengambilalihan lahan. Dalam momen tersebut publik tidak saja disuguhkan berbagai alasan yang sifatnya konfirmasi. Namun, di sisi lain, ada kesan bahwa para pihak yang diantaranya adalah para pembuat kebijakan, tidak mengetahui eksistensi masyarakat adat yang sebenarnya sudah lama tinggal di kawasan hutan yang mereka kelola atau mereka administrasikan. Dapat diduga, ada kesenjangan antara para pihak yang dianggap terlibat sebagi ‘pelaku’ dengan pengetahuan yang mereka miliki tentang masyarakat adat. Lebih lanjut, publik dibuat terbelalak manakala para pihak tersebut menyodorkan fakta-fakta bahwa selama ini sebagian besar pengelolalan kawasan hutan tidak pernah melibatkan masyarakat adat dalam penyusunan kebijakan. Ada proses yang dilupakan, dimana para pembuat kebijakan tidak mengikutsertakan masyarakat adat untuk berkontribusi dalam menyusun kebijakan. Kondisi ini jelas sangat bertentangan dengan prinsip tata kelola sumber daya alam yang baik, sebagaimana dikemukakan Hariadi Kartodiharjo yang menyebutkan bahwa: “... tata kelola (sumber daya alam) ditandai dengan sikap publik menghormati kepastian hukum, transparansi, dan aliran informasi yang bebas, keikutsertaan warga negara dalam pengambilan keputusan secara signifikan, kesetaraan, akuntabilitas yang tinggi.…” (Wawancara dalam DKU Papua, 28 November 2014) Memang DKU bukan kegiatan biasa. Pada akhirnya, momentum ini bisa menjadi inisiator bagi adanya ‘kolaborasi’ penyusunan kebijakan kehutanan yang lebih partisipatif. Sebelumnya, hampir tidak pernah ada
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
lembaga di negeri ini yang berani menggugat atau mempertanyakan kebijakan atau perilaku suatu institusi Pemerintah atau pun perusahaan pemodal besar. Mereka yang direstui oleh Pemerintah seakan bebas melakukan apapun tanpa bisa dimintai pertanggungjawaban. Sementara pihak-pihak yang dirugikan tidak punya jalur untuk menuntut kembali apa yang sudah dirampas dari mereka. Kalaupun ada, jalur tersebut macet atau tertutup bagi mereka.
Pihak-pihak yang diadukan diminta hadir bukan hanya untuk memenuhi undangan Komnas HAM dalam seremoni DKU. Namun, mereka diundang untuk mendengarkan cerita-cerita kerugian dan penderitaan
65
66
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
dari para korban yang memberikan keterangan sebagai akibat dari kebijakan dan tindakan yang dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat yang ada saat ini ataupun sebelumnya. Mereka juga diminta menanggapi dan mengklarifikasi cerita-cerita korban itu. Dalam kegiatan DKU di wilayah Nusa Tenggara, salah seorang Komisioner Inkuiri Enny Soeprapto mengatakan. “DKU di Kota Mataram ini adalah yang ke-6. [Di sini] jadi makin jelas permasalahan dasar yang menyebabkan terjadinya konflik. MHA yang bersangkutan sudah ada di wilayah adat tersebut sejak lama dan menganggap [diri mereka] bagian dari wilayah adat tersebut.... Kuncinya di situ. Ada yang positif mendukung dan memiliki kemauan politik secara formal mendukung keberadaaan MHA. Tapi ada juga pihak-pihak yang sama sekali tidak mau mengakui keberadaan MHA yang hadir. Yang bisa dilakukan adalah bahwa MHA ini sudah mendambakan terpulihnya rasa keadilan dengan secepatnya dilakukan formalisasi keberadaan mereka yaitu (melalui) Perda yang diatur dengan Perkab.” (Wawancara dalam DKU wilayah Nusa Tenggara, 14 November 2014) Bagi sejumlah kalangan, terutama Pemerintah, kebiasaan mendengar ini sangat jarang dilakukan. Pengalaman DKU memaksa para pejabat untuk mulai mendengarkan suara-suara kelompok orangyang terdampak oleh kebijakan yang mereka buat. Begitu lama hak masyarakat adat, utamanya hak masyarakat adat atas tanah mereka luput dari perhatian Pemerintah. Lebih dari empat dekade Pemerintah memalingkan muka ke arah lain. Barulah setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi No (?) 2012, masyarakat adat mulai mendapat perhatian lebih. Ada pengakuan konstitusional atas hutan-hutan adat mereka. Inkuiri Nasional ini tidak mungkin bisa berjalan baik jika pihak-pihak yang diadukan tidak bersedia hadir. Oleh karena itu, Tim Inkuiri harus memastikan kesediaan mereka dan kehadiran mereka. Alasan lain mengapa Inkuiri Nasional perlu mengundang dan melibatkan pihakpihak yang diadukan adalah supaya ada keseimbangan dalam mendapatkan keterangan dan juga keadilan untuk masing-masing pihak yang tengah bersengketa. Sandrayati Moniaga pada awal peluncuran Inkuiri Nasional mengatakan.
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
“Kurangnya perhatian itulah yang memicu banyak terjadinya konflik agraria. Karena itu, pemerintah perlu memikirkan langkah konkret untuk menuntaskan masalah yang bersinggungan dengan masyarakat hukum adat. Komnas HAM telah membentuk Inkuiri Nasional tentang Hak Masyarakat Hukum Adat atas wilayahnya di kawasan hutan. Komisioner Inkuiri Nasional merupakan perwakilan dari berbagai pihak terkait yaitu Komnas HAM, Komnas Perempuan, akademisi dan pakar di bidang masyarakat hukum adat, agraria, hukum dan HAM. Inkuiri Nasional bertujuan menyusun data yang komprehensif terkait hak masyarakat adat dan permasalahannya. Sejak awal 2014, Inkuiri Nasional sudah melakukan penelitian tentang konflik agraria, pelanggaran HAM, dan etnografi masyarakat hukum adat terkait. Ujungnya [ketika] pemerintah tidak memberikan pengakuan terhadap hak tersebut sehingga memicu konflik agraria di masyarakat yang terus berlarut sampai sekarang. Oleh karenanya, Inkuiri Nasional dibentuk dalam rangka membantu pemerintah untuk menuntaskan berbagai macam konflik yang bersinggungan dengan hak masyarakat hukum adat. Diharapkan, pemerintahan baru dapat menerbitkan kebijakan yang memperhatikan hak masyarakat hukum adat. Selama ini pemerintah tidak pernah mengoreksi itu, makanya konflik agraria terus bermunculan.” (Wawancara dalam peresmian Inkuiri Nasional, 20 Mei 2014) Ketika Komnas HAM menyampaikan pemberitahuan kepada pihak-pihak tersebut, berbagai reaksi bermunculan. Undangan klarifikasi yang tidak disangka-sangka itu ternyata mengakibatkan pihak-pihak yang diadukan menjadi terkejut, resah, dan sebagian tampak gugup ketika proses DKU berjalan. Beberapa bertanya-tanya. Ada pula yang secara terbuka menunjukkan sikap bertahan atau sebaliknya menyerang atau mempersalahkan pihak masyarakat adat. Akan tetapi tidak sedikit pula yang menunjukkan keseriusan, mempersiapkan dokumen, peta, suratsurat, hingga bukti-bukti kepemilikan atau pengusahaan. Komisioner Sandra Moniaga menambahkan: “Kami melihat ada keseriusan, yang pertama dari masyarakat dan yang kedua dari pihak-pihak yang diadukan, yang diundang. Saya lihat mungkin 90 persen hadir pihak-pihak yang diadukan itu, meskipun mereka kurang jelas apa yang harus mereka siapkan. Mungkin ada kelemahan dari kami [sebagai
67
68
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
pengundang]. Artinya apa? Artinya ini mengindikasikan bahwa sebenarnya para pihak, pertama sangat semangat untuk berbagi cerita, dan yang kedua dalam proses diskusi hampir semua pihak bersemangat dalam menyelesaikan konflik yang ada. (Wawancara dalam DKU wilayah Kalimantan, 3 Oktober 2014) Berkaitan dengan tindak lanjut pasca-DKU dan Inkuiri Nasional untuk wilayah Jawa, Sandra Moniaga juga menyatakan bahwa: “Temuan yang paling penting, Pemkab di dua kabupaten mempunyai komitmen kuat untuk mengeluarkan regulasi yang mengakui dan menghormati keberadaan mereka dan wilayah adatnya. Itu salah satu yang penting. Yang kedua, temuan penting lainnya adalah ketidakmautahuan dari kalangan Pemkab dan kalangan Taman Nasional tentang sejarah panjang dari relasi penetapan kawasan hutan dan masyarakat Kasepuhan di Lebak dan Sukabumi yang kemudian memunculkan kebijakan yang parsial awalnya. Tapi syukurlah sudah ada komitmen untuk mengoreksi itu. Kalau ke Pemerintah Pusat, Kementerian Kehutanan, rekomendasi saya ada satu [yaitu] berupaya untuk merevisi Undang-Undang No. 59 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati yang belum didasarkan konservasi berbasis rakyat. Karena temuan kita di sini dan di daerah-daerah lain tidak ada Taman Nasional yang tidak ada manusia di dalamnya, itu yang pertama. Yang kedua, kepada pihak TNGHS (Taman Nasional Gunung Halimun Salak) dan juga tentunya taman nasional lain untuk mengembangkan SOP atau Standar Operasional Prosedur tentang bagaimana relasi dengan masyarakat adat yang harusnya kemudian disebarluaskan atau dikembangkan. Ini bukan hanya menjadi kebiasaan individual begitu, tapi bagaimana sikap Taman Nasional dari mulai Kepala Balai sampai dengan Polhut, sampai ke petugasnya sama dalam menyikapi masyarakat adat. Mestinya bisa ada satu penyelesaian yang komprehensif untuk masalah masyaralat adat Kasepuhan dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dengan memikirkan model-model pengelolaan taman nasional yang lebih partisipatif, jadi bagaimana konservasi itu betul-betul melibatkan masyarakat bukan hanya sebagai pelengkap, penyerta, tapi menjadi aktor-aktor utama di beberapa lokasi.” (Wawancara dalam DKU wilayah Jawa, 15 Oktober 2014)
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
Dari keseluruhan proses Inkuiri Nasional memang tidak semua pihak mendukung ataupun menolak. Namun banyak pula di antara pihak Pemerintah daerah yang justru tidak tahu-menahu dengan keberadaan masyarakat adat di wilayah mereka. Salah seorang Pemberi Keterangan, yaitu Kepala Bagian Hukum, Pemerintah Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan mengatakan: “....Terkait masyarakat adat dan definisi tetap tentang itu belum ada. Tetapi kalau Pemerintah Kabupaten Sinjai mengatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang pernah saya hidup di sana dengan berbagai jenis–jenis pengertian hukum adat, masyarakat adat dan melihat definisi masyarakat adat sebelumnya. Setelah kita coba kaitkan maka tidak ada satupun yang menunjukkan adanya masyarakat adat di kawasan yang dimaksud. Tetapi kami pemerintah Kabupaten Sinjai selalu ingin terbuka. [Kami] mengundang bapak-bapak dan ibu-ibu untuk datang kesana.Benarkah klaim itu ada.Itu kami terbuka, kalau 2 (dua) minggu bapak tinggal di sana, menyaksikan kehidupan sosio kulturalnya dan menemukanya mungkin kita bisa sharing lebih lanjut, karena kami di Sinjai misalnya, paling tidak ada 2 (dua) orang di sana. Pertama paling tidak memiliki pranata hukum adat yang tersisa dan terpelihara sampai hari ini [dan]ada batasan-batasan wilayah dibikin selama ini, atau ada hal sosial dan ekonomi yang terjadi selama ini....” (Pernyataan dala DKU Wilayah Sulawesi, 28 Agustus 2014) Ketika melibatkan dan meminta tanggapan dari Pihak-pihak yang diadukan, Panitia Inkuiri Nasional juga perlu memperhitungkan berbagai prosedur dan juga dampaknya. Prosedur mengundang lembaga-lembaga yang diadukan biasanya berbelit, rumit, dan birokratis. Hal ini terutama bila menyangkut institusi negara, baik dari Pemerintah maupun Aparat keamanan. Selain itu, Pejabat yang hadir kerapkali tidak mewakili kasus yang ditangani ataupun diwakilkan ke Pejabat yang lebih rendah. Sehingga banyak pejabat yang tidak punya kompetensi untuk menanggapi kasus-kasus tersebut atau menyatakan bahwa kasus tersebut terjadi sebelum mereka ditunjuk atau menduduki posisi saat itu. Pengalaman tersebut memberi pelajaran, salah satunya berupa kebutuhan untuk membangun kerja sama sejak awal dengan institusi tersebut sehingga pejabat yang ditunjuk yang mengepalai bidang tersebut memahami apa yang menjadi tujuan dari Inkuiri Nasional. Selain itu Komnas HAM juga bisa memeriksa apa tanggapan mereka
69
70
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
terhadap kasus-kasus yang melibatkan institusi atau pejabat mereka. Dengan demikian nantinya rekomendasi itu pun akan lebih berdampak langsung pada pihak-pihak yang bertanggung jawab. Sejalan dengan pendamping korban lainnya dari Sulawesi Selatan, Anies Syahrir menyatakan. “Menurut saya, Rekomendasi Akhir barangkali ada baiknya jika disampaikan kepada peserta, baik saksi perwakilan masyarakat adat, maupun pihak terlapor (Dinas Kehutanan atau perusahaan). Jika memang ada rekomendasi dari National Inkuiri tersebut, Dinas Kehutanan harus melaksanakan, dan mestinya ada sanksi tegas jika tidak dijalankan. Misalnya, Komnas HAM memberi tenggat waktu kepada Dinas Kehutanan untuk melaksanakan rekomendasi tersebut. Dan jika tetap tidak dilaksanakan dalam batas waktu yang ditentukan, harus diberi teguran. Mengenai dampak positif dari kegiatan ini, saya rasa yang paling penting adalah, kita telah membuka cakrawala dan pemahaman banyak orang: kita telah menyadarkan masyarakat adat akan hak-hak mereka, dan memperkenalkan mereka dengan komunitas masyarakat adat lain, sehingga mereka menjadi lebih kuat ketika tahu bahwa di tempat lain ada komunitas seperti mereka yang mengalami nasib sama. Kita juga telah memberi pemahaman kepada para terlapor tentang konsep masyarakat adat. (Wawancara tertulis pasca DKU, Desember 2014)
Menyelenggarakan Pendidikan Publik Telah disebutkan sebelumnya bahwa aspek pendidikan sangat kental dalam Inkuiri Nasional. Inisiatif ini sangat berguna untuk mengangkat tema–tema HAM untuk penyadaran masyarakat, bahkan lebih jauh dianggap dapat mengangkat tema–tema yang dianggap tidak memiliki dimensi HAM. Inkuiri Nasional memungkinkan pengungkapan dimensi hukum, ekonomi, sosiologis, antropologis, hingga spiritual dengan analisis dan rekomendasi yang luas. Pelibatan publik dalam Inkuiri Nasional akan mampu membuat tema yang dipilih menjadi dikenali, dan dimensi–dimensi yang melingkupinya dipahami dengan baikoleh masyarakat. Panitia Inkuiri mempromosikan dan memberikan pemahaman tentang arti pentingnya penyelenggaraan Inkuiri Nasional dengan melakukan audiensi atau dialog dengan
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
berbagai kalangan, menerbitkan newslettter, brosur, memproduksi video-video pendek, hingga menyurati berbagai kementerian/lembaga negara terkait. Beberapa lembaga Pemerintah yang sejak awal dilibatkan secara intensif dalam dialog-dialog tersebut,antara lain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, dan Kementerian Dalam Negeri. Enny Soeprapto dalam salah satu kegiatan DKU menyatakan bahwa: “Perlu terobosan-terobosan, perlu informasi-informasi, perlu penyuluhan-penyuluhan kepada aparat penegak hukum agar tidak hanya berpikir secara positivis saja dan mengandalkan kepada hukum positif yang ada, ada aspek-aspek lain. Karena yang legal belum tentu legitimate. Karena ciri legitimasi itu ada perwakilan. Ini pelatihan-pelatihan perlu dilakukan, lalu instruksi-instruksi, petunjuk apa pun sehingga dalam penanganan masalah [masyakarat adat ini]…ada aspek ekonomi, sosial, budaya.” (Wawancara dalam DKU wilayah Nusa Tenggara, 14 November 2014) Unsur pendidikan publik sangat kuat dalam Inkuiri Nasional karena; pertama, pelibatan media yang intensif, diawali dengan adanya media briefing, konferensi pers, dan peliputan kegiatan. Kedua, penyelenggaraan DKU yang bersifat terbuka untuk masyarakat umum. Pada DKU, masyarakat selaku peserta akan dapat melihat bagaimana kasus masyarakat adat dalam perspektif pemberi keterangan, serta respons dari pemangku kewajiban dan pendalaman yang dilakukan oleh Komisioner Inkuiri. Ketiga, adanya rekomendasi umum yang disampaikan secara terbuka sebagai temuan sementara DKU. Bagian penting lain dari kampanye dan pendidikan adalah pendokumentasian dengan video dalam bentuk film-film pendek yang menceritakan kehidupan masyarakat adat dan sudah diunggah ke internet. Tim Inkuiri juga mendokumentasikan seluruh proses DKU di tingkat wilayah dalam format video pendek. Hal ini memberi ruang kampanye yang lebih besar bagi masyarakat luas. Salah seorang Anggota Tim Inkuiri yang bertugas menangani dokumentasi, Een Irawan Putra, menyatakan.
71
72
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
“Inkuiri menurut saya bagus sekali. Semua sudah berjalan dengan sangat baik. Hanya saja saya mungkin salah satu dari sekian banyak orang (sepertinya para korban juga) menunggu seperti apa follow-up inkuiri. Apa perbedaan setelah adanya inkuiri terhadap kasus-kasus yang terjadi. Informasi ini yang belum diterima. Apakah memang sudah ada perubahan yang tidak saya ketahui atau memang belum ada respons dari pemerintah terhadap hasil inkuiri. Follow-up media (dari hasilhasil rekaman pengakuan para pelaku dan korban) juga belum ada. Rencana pembuatan video tentang para korban dan penyelesaian kasusnya sampai sekarang belum bisa kita realisasikan.” (Wawancara tertulis pasca DKU, Desember 2014) Berikut ini link dari sejumlah video pendek dari kasus dan proses penyelenggaraan Inkuiri Nasional Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan: Website
http://www.inkuiriadat.org
Media sosial
Twitter: @inkuiriadat Facebook: www.facebook. com./grup/inkuriadat
Video
Karunsi’e Dongi https://www.youtube.com/watch?v=6fKgVQ41e5Q&index=1&lis t=UUY5TFYdGCDcZjeA7nxUM1wA Tau Taa Wana https://www.youtube.com/watch?v=uJh4ov8mxYw&index=2&li st=UUY5TFYdGCDcZjeA7nxUM1wA DKU Sulawesi https://www.youtube.com/watch?v=Ekcm0HlJmjo&list=UUY5T FYdGCDcZjeA7nxUM1wA Malind http://youtu.be/9caNowvwflY Walani Mee dan Moni http://youtu.be/KnVfoQkf4P4 Kasepuhan https://www.youtube.com/watch?v=x68UEwDCqGg Kasepuhan Jawa Barat dan Banten: https://www.youtube.com/watch?v=0m70MQ774dA
73
74
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Pandumaan Sipituhuta http://www.youtube.com/watch?v=Tn-9DBmDx2I Semende, Dusun Banding Agung http://www.youtube.com/watch?v=hQu-kR5WHh4&list=UUY5T FYdGCDcZjeA7nxUM1wA KepulauanAru https://www.youtube.com/watch?v=_YafYhkpHY&list=UUY5TFYdGCDcZjeA7nxUM1wA Tobelo Dalam https://www.youtube.com/watch?v=IkwBuTx2GaE&feature=yo utu.be DKU Maluku https://www.youtube.com/watch?v=YwnRAkrVbII&list=UUY5TF YdGCDcZjeA7nxUM1wA DKU Nusra https://www.youtube.com/watch?v=KxvktLpVKtQ&list=UUY5TF YdGCDcZjeA7nxUM1wA Cek Bocek Selesek Reen Suri https://www.youtube.com/watch?v=4vCFHQFo9xQ&feature=yo utu.be Dayak Semunying Jaya http://www.youtube.com/watch?v=oP4h0q9VXVg&list=UUY5TF YdGCDcZjeA7nxUM1wA Dayak Muara Tae http://www.youtube.com/watch?v=14H12jGi8rA&list=UUY5TFY dGCDcZjeA7nxUM1wA
Kegiatan pendidikan lain yang dilakukan dalam rangka mendukung DKU, yaitu Dialog atau Diskusi Publik. Kegiatan ini dilaksanakan sehari sebelum DKU berlangsung dengan melibatkan narasumber yang berasal dari masyarakat hukum adat atau pendampingnya, Komnas HAM, akademisi, dan/atau pakar dibidangnya. Pelaksanaan Dialog Publik bersifat terbuka dan memungkinkan terjadinya dialog interaktif dengan publik selaku peserta dialog. Dari dialog publik ini terlihat bahwa isu hak masyarakat adat, masih belum mendapat perhatian dan belum menjadi kepedulian bersama. Dengan demikian upaya untuk peningkatan kesadaran menjadi penting. Selain Dialog Publik, Tim mengadakan kegiatan pemutaran film bertema hak masyarakat adat yang dilakukan juga sebagai rangkaian kegiatan DKU. Pemutaran film
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
yang dilakukandi beberapa kampus dan berbagai komunitas ini bertujuan meningkatkan kesadaran publik akan isu hak masyarakat adat. Untuk mendukung DKU, berbagai kegiatan kegiatan kampanye dan sosialisasi dilakukan dengan menggunakan berbagai format dan alat kampanye. Alat-alat kampanye tersebut, antara lain, brosur, newsletter, logo, T-shirt, poster, dan baliho. Inkuiri Nasional Komnas HAM juga membuat website dan akun dalam media sosial. Dalam konteks Inkuiri Nasional, upaya pembuatan sarana publikasi ini dapat dikategorikan sebagai upaya mengenalkan dan mengangkat tema yang kurang mendapat perhatian publik. Tim juga menyelenggarakan stakeholders meeting sebagai sarana untuk membangun pemahaman bersama dengan para pihak tentang hak masyarakat adat di kawasan hutan. Termasuk dalam pertemuan ini, yakni pemerintah selaku pemangku kebijakan dan terduga pelaku, juga dengan masyarakat sipil selaku korban maupun pendamping korban. Terakhir, berkaitan dengan media. Peran penting media dalam proses Inkuiri Nasional disadari sejak awal mengingat media memiliki peran memengaruhi opini dan memberikan informasi publik secara luas. Pelibatan media bertujuan agar media terlibat aktif dalam mengangkat isu hak masyarakat hukum adat di kawasan hutan dengan pengetahuan dan pemahaman yang tepat. Pelibatan ini dimulai dengan kelas jurnalis yang bertujuan agar para jurnalis memiliki pengetahuan dasar tentang hak masyarakat hukum adat. Road show media dan Media briefing dilakukan sebelum kegiatan DKU berlangsung, sedangkan konferensi pers diselenggarakan hampir pada setiap pelaksaan kegiatan Inkuiri Nasional. Inkuiri Nasional Komnas HAM juga bekerja sama dengan media elektronik.
75
76
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
( #('
!* +8 -) +./0 .52.. : /82.. 6 0 7 89: "(+,( " 7 !
! 6 !$" 0 7 3 * ; . "!'
)* +, -) +./0 .12.. 3 .124. .124. 3 .52..
.52.. 3 /.2.. /.2.. 3 /424. !
/424. 3 /024. " # /024. 3 /12.. $ !
* +6 -) +./0 .52.. 3 /+24. % !
/+24. 3 /424. " # /424. 3 /624. & !
! 4 5 4 ' 0
# " 7 "9 .1/4 04/6 1+4,
.18+ 8,4/ 04.4
' !()* (+,.12.. 3 //24. & $ !
. /
0$ 12 /+24. 3 /424. " # /62.. 3 /12..
30 3
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
Menyusun Laporan dan Rekomendasi Terbitnya Laporan dan Publikasi sebagai produk akhir merupakan keluaran yang paling jelas dari proses Inkuiri Nasional. Menyusun laporan yang akurat dan ditulis dengan baik bukanlah satu-satunya tujuan, tetapi bukan berarti Laporan Inkuiri Nasional bisa disajikan secara asal-asalan. Laporan yang baik akan membantu memastikan masyarakat memiliki pemahaman yang lebih baik tentang situasi atau persoalan HAM yang sedang diperiksa dan mempelajari kesimpulan dan temuan-temuannya. Selain itu laporan yang baik juga memasukkan rekomendasi secara terperinci agar nantinya bisa diimplementasikan oleh lembaga dan institusi yang relevan. Laporan Inkuiri pastilah ditulis di akhir, tetapi kerangkanya dapat direncanakan jauh-jauh hari sejak masa persiapan. Sangat penting bagi Tim untuk harus menentukan siapa yang bertanggung jawab menulis tersebut dan membuat rekomendasi karena proses ini akan mengumpulkan banyak sekali informasi – data statistik, bahan-bahan deskriptif, temuan penelitian, analisis, dan lain-lain. Tim Penyusun laporan dituntut kemampuannya memahami substansi masalah dan memiliki keterampilan menulis dan menuangkan berbagai temuan dan analisisnya dalam laporan. Tim juga harus mengelola dan memeriksa bahan-bahan, mulai dari melakukan pemilihan kasus, pemilahan dokumen, pengelolaan dan pemanfaatan seluruh keterangan lisan dan tertulis, hingga merangkai kasus-kasus tersebut menjadi kerangka yang dapat dipahami polanya. Setelah itu mereka pun harus menuliskannya dengan gaya tulisan yang bisa dipahami banyak orang dan akurasi data yang dapat dipertanggungjawabkan.
Format dan Sistematika Laporan Laporan dan Publikasi hasil Inkuiri Nasional disusun dalam beragam bentuk keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi. Publikasi tersebut terdiri atas: •
Buku 1 Laporan Inkuiri Nasional Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan o Buku 1 tersedia dalam format bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. o Selain itu juga tersebut format booklet yang merupakan ringkasan Laporan.
77
78
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
•
Buku 2 Pelanggaran Hak Perempuan Adat dalam Pengelolaan Kehutanan
•
Buku 3 Konflik Agraria Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan
•
Buku 4 Petikan Pembelajaran Inkuiri Nasional: Membuka Jalan Bagi Penyelesaian Pelanggaran HAM
Setiap buku menggunakan struktur dan ilustrasi yang disiapkan oleh satu tim yang sama. Walaupun penanggung jawab penulisan masingmasing buku terdiri dari orang yang berbeda-beda, namun gaya penulisan diupayakan sama dan selaras.
Menyiapkan Rekomendasi Jika ada bagian yang paling dinantikan oleh publik dari hasil Inkuiri Nasional ini, pastilah rekomendasi-rekomendasi yang disusun oleh Komisioner Inkuiri berdasarkan temuan-temuan di lapangan dan DKU. Salah satu temuan penting yang dimasukkan dalam laporan dan menjadi alasan inkuiri ini dilakukan. Selain itu, Inkuiri menjadi alternatif solusi atas banyaknya peraturan dan kebijakan yang saling tumpang tindih dan tidak diimplementasikan atau saling berlawanan. Inkuiri ini juga diharapkan mampu mengatasi persoalan tersebut dan karenanya menjadi penting bagaimana temuan dan rekomendasi yang disusun bisa dialamatkan kepada pihak yang tepat. Hariadi Kartodihardjo dalam DKU untuk wilayah Maluku menyebutkan bahwa: “Semua hal yang terkait permasalahan ini-itu kuncinya kebijakan Pemerintah karena ini adalah sumber daya alam yang dikuasai negara. Saya melihat birokrasinya itu belum memungkinkan untuk melihat kenyataan di lapangan sebagai permasalahan mereka, tetapi lebih kepada menjalankan proses pekerjaan-pekerjaan yang bisa dipertanggungjawabkan baik secara administratif maupun keuangan [saja]. Oleh karena itu, dalam penyelesaian permasalahan ini kita harus masuk dalam roh pelaksanaan birokrasi di Indonesia. Itu yang saya kira menjadi akar masalah. Uniknya Maluku ini menurut saya karena pulau kecil dan saya menegaskan juga kemarin bahwa ternyata Undang-Undang tentang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tidak ada yang menggunakannya sebagai dasar pelaksanaan kebijakan. [Karena] itu menjadi sangat penting untuk diimplementasikan. Karena persoalannya adalah tata kelola terkait dengan administrasi, korupsi, dan seterusnya,saya
B ag i a n 2
L a n g k a h d e m i L a ng k a h M e ny e le ngga ra k a n I nku i ri N a s i o na l
memang mengusulkan bahwa Maluku menjadi salah satu lokasi provinsi yang menjadi sasaran pelaksanaan program NKB-KPK yang rencananya akan dilakukan pada Januari 2015.” (Wawancara dalam DKU wilayah Maluku, 31 Oktober 2014) Berbagai rekomendasi yang disusun oleh Tim Inkuiri harus mengarah pada perubahan kebijakan. Perbaikan undang-undang dan peraturanperaturan tetap diperlukan bagi kepastian dan tegaknya hukum. Bukan hukum yang menindas, tetapi hukum yang lebih berkeadilan. Karena bagaimana pun undang-undang tidak akan mengubah hati seseorang, tetapi ia akan membatasi orang yang tidak punya hati. Hukum mungkin tidak akan membuat orang menjadi baik, tetapi sekurang-kurangnya hukum membatas dan menghukum mereka yang berniat dan berbuat jahat dan menindas. Dalam titik tersebut, Inkuiri Nasional ini telah berhasil menemukan “jantung” masalahnya dan menjadikannya sebagai sasaran utama perubahan.
Kepada Siapa Laporan Disampaikan? Panitia Inkuiri memiliki kewajiban hukum, moril dan politis untuk melaporkan hasil kerjanya kepada Negara dan kepada masyarakat. Secara kelembagaan laporan harus disampaikankepada Pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Pusat lewat Presiden dan Kementerian/ Lembaga yang terkait, serta Pemerintah Daerah. Akan tetapi karena dasar hukum pendirian Komnas HAM menyatakan bahwa lembaga ini harus melaporkan kegiatannya ke Parlemen, maka hasil-hasil inkuiri ini pun nantinya harus disampaikan kepada DPR. Selain ke pihak Negara, Laporan juga disampaikan kepada komunitas masyarakat adat, khususnya para korban yang mengalami kerugian. Mereka adalah inti perhatian inkuiri ini, karena perubahan yang diupayakan pada dasarnya didedikasikan bagi mereka. Juga, tidak mungkin kegiatan ini dapat berlangsung tanpa keterlibatan, kerelaan, dukungan dan partisipasi mereka. Terakhir, Tim juga menargetkan pihak-pihak lain yang merupakan pemangku kepentingan sebagai pihak yang layak mendapatkan laporan dan hasil-hasil inkuiri agar mereka mendapatkan pengetahuan dan terdorong meningkatkan tuntutan politik terhadap Pemerintah agar lebih serius menghormati hak-hak masyarakat adat.
79
Bagian 3 12 Petikan Pembelajaran Inkuiri Nasional
81
82
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
P
embelajaran atau Lesson learned adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman individual maupun kolektif yang dibagikan dan bermanfaat bagi pihak lain. Pembelajaran dapat diperoleh dari proses maupun dampak yang dihasilkan oleh kerja-kerja yang dilakukan, yang memiliki makna tertentu dan menjadi digunakan atau dicontoh kembali. Pembelajaran tentu saja bisa merupakan pengalaman positif maupun negatif yang hadir dari perjalanan program. Tim Inkuiri memandang perlu upaya untuk menyarikan pengalaman ini sebagai catatan pembelajaran. Inkuiri Nasional ini merupakan langkah baru dan karenanya setiap tahapan harus bisa dijadikan pembelajaran. Hal ini penting agar Tim berikutnya bisa menilai apa saja yang harus disiapkan jika akan melakukannya kembali, membantu melihat program ini secara lebih luas, memeriksa keberhasilan dan kegagalannya, serta juga bisa mengantisipasi berbagai perubahan yang tak terduga. Memetik pembelajaran tentunya tidak dapat hanya diambil dari sudut pandang tim internal saja. Oleh karena itu, berbagai poin pembelajaran ini diupayakan agar mendengar suara-suara anggota tim lainnya, termasuk mereka yang di lapangan yang tahu betul suara-suara dari bawah. Dengan adanya rangkuman petikan pembelajaran ini sekurangkurangnya Komnas HAM memiliki dokumentasi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas staf dalam melakukan Inkuiri Nasional.
Pembelajaran 1 Tak Henti Lakukan Terobosan Cara kerja yang dipilih Komnas HAM, yaitu mencari jalan bagi penyelesaian persoalan pelanggaran HAM melalui Inkuiri Nasional, bukanlah cara biasa. Biasanya penyelidikan pelanggaran HAM dilakukan untuk peristiwa atau kasus-kasus spesifik, di wilayah dan waktu yang juga tertentu. Selain itu, suatu penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM biasanya hanya dilakukan oleh Komisioner dan Staf dari Subkomisi tertentu atau gabungan dari beberapa Subkomisi. Mandat yang digunakan pun spesifik hanya mandat pemantauan pelanggaran HAM. Akan tetapi ini jalan yang sama sekali berbeda. Yang menarik dari model Inkuiri Nasional adalah menempatkan proses ini bukan hanya terobosan bagi penyelidikan. Model ini juga memberi ruang bagi proses mediasi bagi pihak-pihak. Kemudian, yang paling penting dan mendasar adanya pengungkapan kebenaran. Mereka, para korban, yang tadinya tidak pernah bicara dan bercerita di hadapan publik kini memiliki ruang untuk
B ag i a n 3
12
1 2 P e ti k a n P e m b e la j a ra n I nku i ri N a s i o na l
Petikan pembelajaran Inkuiri Nasional
1! Tak Henti Lakukan Terobosan 2! Pemanfaaan Momentum dan Ruang Politik yang Tepat 3! Memastikan Kepercayaan Korban dan Mitra 4! Maksimalisasi Mandat dan Kombinasi Metode 5! Perspektif Gender 6! Perlindungan dan Keamanan Korban 7! Sumber daya Berkali-kali lipat 8! Kerjasama antar Kementerian dan Lembaga 9! Mengenali Dampak Perubahan 10! Pendidikan bagi Masyarakat 11! Partisipasi dan Keterlibatan Komunitas 12! Dokumentasi, Informasi dan Pengelolaan Pengetahuan
menyampaikan keluhan dan persoalannya. Ruang yang langka ini sengaja disediakan agar cerita yang mereka sampaikan dapat didengar publik dan menjadi pembelajaran bersama. Komisioner Inkuiri, Hariadi Kartodihardjo dalam DKU di Papua menyatakan:
83
84
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
“[Inkuiri Nasional] ini seluruhnya terkait dengan pengungkapan [kebenaran] secara jelas. Oleh karena itu, perhatian kemudian adalah bagaimana pada saat kita melihat kebijakan dan persoalan kehutanan termasuk sumber daya alam itu selalu dikaitkan dengan persoalan manusia, persoalan hak-hak masyarakat baik lokal maupun masyarakat adat. Saya kira itu hal yang penting di sini. Secara khusus, [dalam konteks Papua] ini mengungkap suatu kenyataan bahwa [dalam] pengelolaan sumber daya alam hutan, tambang, kebun menunjukkan sesungguhnya masyarakat ini apa dihargai haknya atau tidak. Fakta seperti ini biasanya jarang sekali dipikirkan oleh kawankawan yang bidangnya sekadar pada kebijakan dan manajemen hutan.” (Wawancara dalam DKU wilayah Papua, 28 November 2014) Inisiatif melakukan Inkuiri Nasional ini bukan hanya didukung oleh kalangan masyarakat sipil dan pemerintah. Namun, pihak lembaga yudisial juga memandang upaya ini sebagai langkah positif. Sebagai contoh, bahkan pada awal proses inkuiri pun, Prof. Achmad Sodiki, Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga menjadi salah satu Komisioner Inkuiri menyatakan: “Hak masyarakat adat sebenarnya sudah diakui oleh Konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945). Artinya, ada kewajiban Negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat, karena itu kewajiban Konstitusi. Tapi kenyatan di lapangan bisa berbeda. Seringkali UUD sudah baik, tapi ditelikung oleh undang-undang di bawahnya, dalam konteks ini Undang-Undang Kehutanan. Pengingkaran hak-hak adat atas wilayahnya di kawasan hutan kemungkinan terjadi saat pembahasan Undang-Undang Kehutanan itu, masuk kepentingan lain yang sejak awal sudah ingin menyingkirkan hak-hak masyarakat adat. Oleh karena itu, pengetahuan masyarakat atas haknya itu penting. Karena dengan mengetahui hak-haknya tersebut, masyarakat adat akan memperjuangkannya. Sehubungan dengan inilah upaya Komnas HAM melalui Inkuiri Nasional tentang masyarakat adat perlu mendapatkan apresiasi.” (Wawancara dalam Diskusi Publik Wilayah Sulawesi, 26 Agustus 2014)
B ag i a n 3
1 2 P e ti k a n P e m b e la j a ra n I nku i ri N a s i o na l
Lebih jauh, berkaitan dengan dampak dari terobosan yang dilakukan Komnas HAM melalui inkuiri ini bagi masyarakat adat dan bagi masyarakat secara luas, salah seorang Akademisi yang terlibat dalam Inkuiri Nasional di wilayah Maluku, Oktavianus Lawalata (Dekan Fakultas Hukum Universitas Patimura) menambahkan. “Pertama-tama saya mengajukan penyesalan kenapa Inkuiri ini baru sekarang dilakukan untuk seluruh Indonesia, padahal sebetulnya persoalan tentang masyarakat hukum adat ini persoalan dari sudah dulu kala. Dengan adanya ini, bisa membuat banyak orang tahu. Sekali pun tadi peserta tidak cukup sesuai undangan, tetapi dari sekian banyak orang yang ikut, mereka pasti pulang akan menyampaikan kepada yang lain, khusus[nya] kepada masyarakat hukum adat. [Hal ini] agar mereka bisa saling mengingatkan untuk memperhatikan hak mereka dan memperjuangkan hak-hak mereka dengan melapor ke Komnas ataupun bekerja sama dengan para LSM yang berkecimpung dalam masyarakat adat.” (Wawancara dalam Diskusi Publik wilayah Maluku, 28 Oktober 2014) Pembelajaran yang diperoleh dari pemilihan metode ini,bagaimana Komnas HAM melampaui keterbatasannya selama ini dalam hal memaksimalkan mandat. Inkuiri Nasional berhasil menyatukan keragaman jenis kegiatan, keterlibatan pihak-pihak, mobilisasi sumber daya manusia, pengumpulan dana, dan masih banyak lagi. Selain itu Terobosan yang paling mendasar dari inisiatif ini, tidak bisa tidak, terlihat dari kemampuan untuk menggali akar masalah dan melihat masalah dari perspektif yang lebih luas. Penyelesaian kasus per kasus bukan menjadi satu-satunya tujuan. Kasus-kasus yang diangkat adalah model atau contoh yang dianggap mewakili situasi yang lebih besar. Noer Fauzi Rachman dari Sajogyo Institute mengatakan. “Pelanggaran HAM luas dan sistemik yang dialami masyarakat adat terjadi karena pelaksanaan undang-undang. Mahkamah Konstitusi mengoreksi Undang-Undang Kehutanan pada 16 Mei 2013, dan memutuskan ‘hutan adat bukan hutan negara.’ Dampak Undang-Undang Kehutanan ini [telah] menimbulkan konflik di mana-mana. Anehnya, luasan masalah besar, tetapi pemerintah tetap tak mengakui masyarakat adat. Kenyataan ada, mereka lihat. Tapi tak bisa kasih pengakuan hukum. Ini
85
86
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
janggal. Ada apa? Ternyata, ini adalah kelanjutan praktik era kolonial, dimana peraturan-peraturan kolonial diteruskan kala nasionalisasi. “ (Wawancara dalam Diskusi Publik wilayah Sulawesi, 26 Agustus 2014)
Pembelajaran 2 Pemanfaatan Momentum dan Ruang Politik yang Tepat Proses penggantian Presiden pada tahun 2014 menjadi momentum yang sangat tepat untuk memberikan masukan untuk perubahan kebijakan. Proses DKU yang berjalan pada masa transisi berhasil menjadi sarana memengaruhi kebijakan dan mendidik para birokrat. Tim Inkuiri Nasional berhasil merumuskan rekomendasi tentang pentingnya pembentukan kelembagaan dan uraian tugas pokok Satuan Tugas (Satgas) untuk Masyarakat Hukum Adat. Di tengah-tengah berlangsungnya proses Inkuiri Nasional yang belum selesai, masukan tersebut disampaikan kepada Tim Rumah Transisi Presiden terpilih Jokowi-JK. Rekomendasi Tim Inkuiri Nasional bergulir terus, yang kemudian bersambut dengan rekomendasi dari AMAN dan pembentukan Satgas tersebut sedang diproses oleh Presiden Jokowi. Momentum tersebut menjadi lebih kuat karena Presiden Jokowi juga tengah memilih Menteri-menteri baru juga. Sebagai contoh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), misalnya, sangat terbuka dengan masukan Tim Inkuiri Nasional yang telah merekomendasikan penyelesaian untuk kasus-kasus yang telah diperiksa dalam proses DKU untuk ditangani secara intensif oleh Kementerian LHK. Kementerian LHK telah membentuk Tim Penanganan Pengaduan Kasus-Kasus Lingkungan Hidup dan Kehutanan (TP2KLHK) Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: 24/Menhut-II/2015 yang diterbitkan pada 15 Januari 2015. Selain berkaitan dengan program kerjanya maka 40 Kasus yang telah diangkat dalam Forum DKU selama Inkuiri Nasional telah disampaikan kepada TP2KLHK tersebut untuk segera ditindaklanjuti. Arti penting momentum dan ruang politik yang tepat adalah salah satu kunci paling penting bagi keberhasilan Inkuiri Nasional. Panitia Inkuiri menemukan pembelajaran bagaimana menggunakan momentum ini
B ag i a n 3
1 2 P e ti k a n P e m b e la j a ra n I nku i ri N a s i o na l
secara efektif dengan menyasar pada lembaga dan pejabat yang tepat. Jelas bahwa Pemerintahan Jokowi-JK berkomitmen terhadap perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat yang juga telah dengan tegas dicantumkan di dalam Nawacita atau visi-misi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Komitmen terhadap perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat tersebut telah diuraikan ke dalam 6 (enam) poin, yang terkait dengan peninjauan dan penyesuaian seluruh peraturan perundang-undangan, antara lain: 1. Pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemajuan hak-hak masyarakat adat, khususnya yang berkaitan dengan hak-hak atas sumber-sumber agraria, sebagaimana telah diamanatkan oleh TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam, dan sesuai dengan norma-norma hukum yang telah ditetapkan dalam Putusan MK 35/2012. 2. Melanjutkan proses legislasi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat; 3. Memastikan proses-proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumber daya alam seperti RUU Pertanahan sesuai dengan normanorma pengakuan dan perlindugan hak-hak masyarakat adat sebagaimana diamanatkan di dalam Putusan MK 35/2012; 4. Mendorong penyusunan undang-undang terkait dengan penyelesaian konflik agraria; 5. Membentuk komisi independen yang diberi mandat khusus oleh Presiden untuk bekerja secara intens untuk mempersiapkan berbagai kebijakan dan kelembagaan yang akan mengurus hal-hal yang terkait dengan pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat adat; 6. Memastikan penerapan UU Desa berjalan, khususnya mempersiapkan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam mengoperasionalisasi pengakuan hak-hak masyarakat adat untuk dapat ditetapkan menjadi UU Desa. Namun, momentum hanya akan jadi momentum bila tidak ditangkap dan diraih untuk kemudian diupayakan hasilnya. Pengaturan pengukuhan kawasan hutan adalah salah satu dari sekian banyak isu inkuiri nasional yang sangat mungkin dijadikan agenda dalam rangka perubahan kebijakan. Agenda lain yang penting untuk ditindaklanjuti, yakni mendapatkan terobosan kebijakan dalam rangka menyusun peraturan pengembalian lahan masyarakat adat yang selama ini sudah diambilalihkan.
87
88
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Segala unsur yang harus terpenuhi dalam proses awal penyusunan kebijakan tercakup dalam proses Inkuiri Nasional, yakni adanya evaluasi terhadap kebijakan, para pihak yang saling berkepentingan, dan aspirasi yang dilontarkan para pihak yang kelak menjadi materi-materi dalam agenda kebijakan. Hal baru yang patut dikemukakan dari proses Inkuiri adalah bahwa proses ‘cikal bakal’ perbaikan atau penyusunan kebijakan dilakukan secara bersama–sama, dalam arti materi-materi peraturan/ kebijakan merupakan hasil sebuah metode kolaborasi semua pihak. Namun, kuncinya tetap di tangan Presiden. Oleh karenanya penting bagi Komnas HAM untuk memanfaatkan ruang politik yang tersedia. Pada aspek penyusunan kebijakan, sistem kolaborasi masih dicarikan formulanya mengingat proses ini sangat ideal untuk diterapkan terutama di negara-negara penganut sistem demokrasi.Noer Fauzi Rachman menyatakan. “Dengan Inkuiri Nasional ini, penelitian dilakukan di wilayahwilayah adat dari era kolonial sampai kala pemerintah Indonesia memberikan status pada kawasan, yang berujung konflik agraria berkepanjangan. Pemerintah seperti lupa atau menyangkal, karena terus menerus jadi kebiasaan. Jadi harus ada pengakuan keliru untuk memperbaiki keadaan. Kita harus bikin pemerintah bertobat. Ini mekanisme mengungkap kesalahan. Namun, hasil Inkuiri Nasional ini bukan hanya mengungkap kebenaran juga untuk bekerja bersama pemerintahan baru. Sebab, Joko Widodo-Jusuf Kalla, sudah berjanji akan mengkaji ulang dan menyelaraskan undangundang yang bertentangan satu sama lain serta mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Presiden terpilih juga berjanji memproses lanjut RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Bahkan, Pemerintah baru akan membuat mekanisme khusus guna penyelesaian konflik agraria lewat komisi atau badan independen di bawah Presiden.” (Wawancara dalam Diskusi Publik wilayah Sulawesi, 26 Agustus 2014)
B ag i a n 3
1 2 P e ti k a n P e m b e la j a ra n I nku i ri N a s i o na l
Pembelajaran 3 Memastikan Kepercayaan Korban dan Mitra Dalam riwayat kehidupan masyarakat adat, masalah tanah dan wilayah, bisa jadi persoalan hidup dan mati. Dari kacamata masyarakat umum, mungkin mereka sepintas nampak tidak berdaya, tidak terdidik, tidak bersuara. Namun, jangan salah sangka karena pada dasarnya mereka tidak pernah berhenti melawan. Inilah yang terlihat nyata dari upaya masyarakat adat Kasepuhan dan Kenegerian Kuntu ketikamembawa kasus mereka ke Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materil UndangUndang Kehutanan. Mereka sebagai pihak yang dirugikan oleh kebijakan legal yang dikeluarkan oleh Negara. Kasus-kasus semacam itu, dan ratusan bahkan mungkin ribuan kasus lainnya, juga berkali-kali dilaporkan ke Komnas HAM. Namun, belum ada penyelesaian yang sifatnya komprehensif yang berpihak pada masyarakat adat. Komnas HAM sendiri, sebagai organisasi yang memiliki mandat mulai dari pemantauan, penyuluhan, pengkajian hingga mediasi kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, belum sepenuhnya mampu mendorong ke arah kondisi yang lebih kondusif bagi pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Namun demikian, institusi ini tidak lelah mencari jalan keluar atas situasi tersebut. Hal ini yang juga membuat kepercayaan publik dan para korban masih mendapatkan ruangnya. Inkuiri Nasional, pembuka dari apa yang akan dilakukan kemudian. Ketika pertama kalinya agenda ini hendak diluncurkan, segala sesuatunya nyaris tidak mungkin. Terlalu besar dan terlalu rumit jalan yang harus ditempuh. Sepertinya ini tidak akan pernah terjadi. Ini benarbenar gagasan yang tampaknya tidak akan pernah bisa dilaksanakan. Namun kenyataan berkata sebaliknya, sesungguhnya Komnas HAM memiliki senjata sakti. Bukan berupa peluru, tetapi kepercayaan dari para korban. Apa yang diungkapkan oleh korban bahwa: “Kita tidak akan menyerah. Meski hari ini kita kalah, tapi kita tidak akan goyah” haruslah menjadi api yang menyala-nyala dan menghidupi spirit kerja Tim Inkuiri. Pembelajaran pertama untuk membangun kepercayaan dengan komunitas-komunitas adat, yakni dengan terus-menerus membangun dialog yang setara. Berkolaborasi dengan AMAN merupakan salah satu cara yang kemudian dilakukan oleh Komisi ini. AMAN sebagai representasi dari komunitas masyarakat adat di Nusantara menjadi
89
90
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
jembatan yang menghubungkan Komnas HAM dengan para kelompok korban. Dari sanalah kepercayaan terbangun dan terus-menerus diperkuat dengan memperluas ruang bicara bagi korban. Sekjen AMAN Abdon Nababan mengatakan selama ini masyarakat adat menjadi orang asing di tanahnya sendiri. Namun, bukan berarti mereka diam dan menerima begitu saja. “Masyarakat adat menjadi masyarakat kelas dua. Kalau dulu masyarakat adat dijajah kolonial Belanda, namun sekarang dijajah bangsa sendiri. [Namun] Inkuiri nasional sangat strategis membangun basis moral dan akan memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Karena memang selama ini kepercayaan sudah hampir hilang. Selama ini pemerintah hadir dengan wajah garang menindas masyarakat adat melalui aparatnya. Konflik yang sering terjadi dalam masyarakat adat karena kehadiran aparat yang justru melindungi kepentingan perusahaan. Mestinya negara dengan pelayanan, sekarang tidak. Wajah negara datang dengan kekerasan dengan buldozer. [Oleh karena itu sekarang] masyarakat adat siap membantu Komnas HAM menjalankan Inkuiri nasional ini dengan memberikan data-data yang akurat di lapangan. Kami mendukung Komnas HAM dalam melaksanakan inkuiri nasional. (Wawancara dalam DKU wilayah Sumatera, 10 September 2014) Tim Inkuiri juga mencatat bahwa kepercayaan pihak-pihak lain, baik yang diadukan maupun yang menjadi mitra Komnas HAM, juga penting di dalam proses ini. Pembelajaran lain dari proses ini terutama Pemerintah, aparat keamanan, akademisi, hingga pihak-pihak perusahaan merupakan kalangan yang harus diyakinkan untuk hadir dan terlibat. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi Tim Inkuiri. Sebagai contoh, bisa dibilang selama puluhan tahun berkuasanya rezim otoritarian, kalangan militer, polisi, dan lembaga keamanan lainnya, termasuk aktor-aktor keamananan nonnegara sering kali digunakan untuk mengamankan “objek vital” di kawasan yang kaya sumber daya alam, dan di waktu bersamaan harus berhadapan dengan masyarakat adat. Hal itu kerap menimbulkan benturan dan mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang serius dan sistematis. Inkuiri ini tidak sedang “mengacungkan telunjuk” mencari kesalahankesalahan lembaga maupun individu pejabat di lapangan atau pun mereka yang mengambil keputusan. Akan tetapi, inkuiri ini hendak mengoreksi sekaligus mencari jalan keluar dari kesalahan legal dan
B ag i a n 3
1 2 P e ti k a n P e m b e la j a ra n I nku i ri N a s i o na l
kemacetan prosedural yang menyebabkan hak-hak masyarakat terlanggar. Oleh karenanya, reformasi lembaga-lembaga yang sering melakukan pelanggaran dan kekerasan penting dilakukan untuk mencegah keberulangan pelanggaran HAM, meningkatkan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga di bidang keamanan, dan memperkuat penegakan hukum. Lainnya, pembelajaran penting dari upaya meraih kepercayaan korban dan mitra adalah prinsip “keterbukaan” dalam kerja-kerja Inkuiri Nasional. Keterbukaan proses ini tergambar dari berbagai proses yang dilakukan yang hampir keseluruhannya terbuka untuk umum dan membuka ruang partisipasi seluas-luasnya. Perencanaan, rancangan, dan substansi yang dibahas pun sudah dikonsultasikan dengan pihakpihak terkait sejak awal kegiatan. Langkah ini jelas dapat meningkatkan legitimasi dan kepercayaan korban dan mitra kepada Tim Inkuiri. Memang sebuah kerja besar dengan tuntutan perubahan yang fundamental tentu tidak bisa diselesaikan dalam waktu segera. Hasilnya pun belum tentu akan bisa dinikmati dalam waktu dekat. Namun pada saat laporan ini ditulis, kabar gembira datang dari banyak penjuru. Di Lebak, misalnya, Perda Masyarakat Adat Kasepuhan sudah disahkan. Begitu pula di Sulawesi Selatan, masyarakat adat Kajang sudah diakui dalam Peraturan Daerah. Dengan adanya status pengakuan tersebut maka menjadi semakin terbuka jalan bagi masyarakat adat untuk mengklaim wilayah hutan mereka. Jelas ini adalah terobosan penting yang ikut menentukan nasib masyarakat adat di Indonesia.
Pembelajaran 4 Maksimalisasi Mandat dan Kombinasi Metode Tujuan dan fungsi Komnas HAM telah diatur di dalam Undnag-Undang 39 tahun 1999, yang menyebutkan bahwa Komnas HAM bertujuan: (a) Pengembangkan kondisi yang konduktif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan Piagam PBB, serta Deklarasi Universal HAM; dan (b) Meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM guna perkembangan pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan (Pasal 75). Selanjutnya pada Pasal 76 dinyatakan bahwa: (1) Untuk mencapai tujuannya Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang HAM.
91
92
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Sudah barang tentu Inkuiri Nasional diselenggarakan dalam rangka memenuhi mandat dan fungsi Komnas HAM sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut. Namun demikian, sebagaimana dinyatakan sebelumnya Inkuiri Nasional adalah sebuah model atau terobosan baru dari pelaksanaan mandat Komnas HAM. Inkuiri ini memaksimalkan seluruh fungsi dalam satu kesempatan dan menembus eksklusivitas Subkomisi dengan mandatnya masing-masing. Dalam arti seluruh mandat Komnas HAM bekerja dan beroperasi sebagai satu kesatuan untuk menempuh jalan penyelesaian bagi masalah yang tengah ditangani. Dapat dikatakan, Inkuiri Nasional merupakan gabungan antara penyelidikan, kajian, penelitian, pendidikan, dan penyuluhan, mediasi, dan mendorongperubahan kebijakan. Dengan format tersebut inkuiri ini telah berhasil mendorong dan menerapkan keseluruhan mandat Komnas HAM untuk menangani persoalan perlindungan hakhak masyarakat adat atas wilayahnya di kawasan hutan. Maksimalisasi mandat ini juga terwujud dari adanya kerja sama antarsubkomisi terutama dalam penelusuran dan pemantauan kasus-kasus, pelaksanaan kajian dan penelitian, pelaksanaan pendidikan, dan penyuluhan, yang keseluruhannya dilakukan oleh staf-staf dari masingmasing Subkomisi. Komisioner Sandra Moniaga menyatakan: “Selama ini Komnas HAM telah menerima banyak pengaduan atas kasus-kasus yang terkait konflik agraria dan konflik pertanahan. Di antara kasus konflik agraria yang diterima, sebagian di antaranya merupakan konflik antara masyarakat adat dengan negara dan sektor kehutanan. Kami melihat bahwa kasus-kasus yang ada bukanlah kasus yang berdiri sendiri, tetapi merupakan kasus-kasus yang menyebar di seluruh Indonesia dan tidak bisa diselesaikan satu per satu. Karena itu untuk menyelesaikannya dibutuhkan respons dari pemerintah secara menyeluruh. Dari fakta tersebut kami menyepakati bahwa Inkuri Nasional merupakan metode yang paling cocok untuk mengangkat persoalan ini dan mendorong atau merekomendasikan solusi-solusi yang dapat menyelesaikan persoalan ini secara lebih menyeluruh.” (Wawancara dalam DKU wilayah Maluku, 31 Oktober 2014) Selain mengoptimalkan mandat Komnas HAM, Inkuiri Nasional ini juga memilih jalur terbuka dalam membangun metode kerja. Sebagai contoh, berbagai kajian dan penelitian dilakukan dalam sejumlah variasi. Berbeda dengan model kajian yang biasa dilakukan oleh Komnas HAM yang lebih besifat formal dan legal, Inkuiri Nasional membuka ruang
B ag i a n 3
1 2 P e ti k a n P e m b e la j a ra n I nku i ri N a s i o na l
bagi adanya penelitian etnografi. Selain itu, dalam hal pengumpulan data, bukan hanya registrasi kasus secara tertulis dalam bentuk pengaduan dan dilanjutkan dengan pemantauan lapangan, Inkuiri Nasional ini menggunakan model Dengar Keterangan Umum (DKU) yang dinyatakan secara terbuka di hadapan publik. DKU dilakukan dengan mengambil sejumlah sample atau representasi masyarakat adat yang mewakili masalahnya masing-masing. Tentu saja tujuan utama dari Inkuiri Nasional, bukan semata-mata pada penyelesaian kasus-per kasus. Akan tetapi, yang dibidik adalah perubahan kebijakan di sektor kehutanan dan sumber daya alam lainnya yang mempengaruhi hajat hidup masyarakat adat secara keseluruhan. Tidak bisa diabaikan bahwa pembelajaran penting dari proses ini, yakni peran dari Komisioner Inkuiri. Kejelian memilih Komisioner Inkuiri sangat memengaruhi keberhasilan seluruh proses inkuiri. Selama lebih dari setahun para Komisioner Inkuiri telah memberikan komitmen dan keteladanan luar biasa. Mereka telah mengeluarkan segenap kemampuan terbaik mereka untuk menjaga agar seluruh proses inkuiri ini berjalan sesuai rencana. Memimpin dan menggerakkan sebuah Tim Inkuiri Nasional bukan tanpa resiko. Lebih-lebih karena masalah yang dihadapi sangat krusial dan “mengganggu” kenyamanan sejumlah kalangan yang mendapatkan keuntungan dari kebijakan yang tidak adil tersebut. Tanpa Komisioner Inkuiri yang solid dengan visi yang sama, yaitu memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, bisa jadi hasil-hasil Inkuiri akan berbeda.
Pembelajaran 5 Perspektif Gender Mengintegrasikan gender dan program-program pembangunan telah menjadi komitmen dunia internasional selama beberapa dekade ini. Indonesia sendiri telah menjadi negara pihak dari Konvensi Internasional Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, serta sejumlah perjanjian internasional lainnya yang menegaskan pentingnya keadilan gender. Perspektif gender berarti merespons kebutuhan prioritas akses dan dampaknya bagi laki-laki dan perempuan. Dalam konteks sumber daya alam, pembahasan soal gender memperhatikan kesenjangan yang ada di antara laki-laki dan perempuan berkaitan dengan hak-hak, tanggung jawab, akses dan penguasaan terhadap sumber daya alam serta pengambilan keputusan, baik di tingkat keluarga, di komunitas dan di tingkat nasional. Bahkan di kalangan masyarakat adat itu sendiri pun
93
94
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
persoalan gender mulai mendapat perhatian dan dianalisis secara khusus. Inkuiri Nasional yang diselenggarakan oleh Komnas HAM sejak awal menggandeng Komnas Perempuan sebagai mitra utama dan pihak yang secara khusus memantau, menangani kasus-kasus, dan mencari pemecahan berkaitan dengan kesenjangan, ketidakadilan, hingga kekerasan berbasis gender. Komnas Perempuan, bahkan duduk sebagai anggota Komisi Inkuiri dan mengirimkan salah seorang Komisionernya, Saur Tumiur Situmorang, untuk menjadi Komisioner Inkuiri. Khusus untuk DKU di wilayah Papua, Komnas Perempuan mengirimkan mantan Komisionernya, Arimbi Heroepoetri sebagai Komisioner Inkuiri. Mereka memiliki peran khusus untuk memeriksa lebih teliti seberapa besar dampak dan kerugian yang dialami oleh perempuan terkait dengan perampasan lahan dan tanah-tanah milik masyarakat adat di kawasan hutan. Selain itu, Komisioner dari Komnas Perempuan juga meneliti dampak dan juga kemajuan peraturan dan kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah bagi kaum perempuan adat. Berdasarkan pengalaman Inkuiri Nasional ini, dari lebih dari 80 orang pemberi keterangan, hampir setengahnya perempuan adat. Di 7 (tujuh) wilayah, kecuali Papua, masyarakat adat yang terlibat mengirimkan Saksi-saksi dari anggota masyarakat adat, baik perempuan maupun laki-laki. Hanya di Papua, Tim Inkuiri mengalami kesulitan untuk mendapatkan keterangan dari perempuan adat. Begitu juga dengan di wilayah Jawa, pemberi keterangan dari masyarakat adat Kasepuhan minim partisipasi perempuan. Selain keterlibatan dalam DKU di tingkat wilayah, Inkuiri ini juga melibatkan anggota perempuan masyarakat adat dalam DKU di tingkat Nasional yang secara khusus membahas hak perempuan adat dalam pengelolaan kehutanan dan menghadirkan keterangan dari korban yang seluruhnya perempuan. Inkuiri ini juga menyediakan satu edisi khusus laporan yang membahas pelanggaran hak-hak perempuan dat dalam pengelolaan kehutanan yang dituliskan oleh tim Komnas Perempuan. Diskursus bagaimana integrasi gender dalam Inkuiri Nasional ini semakin menguat dengan adanya diskusi yang mendalam mengenai kasus-kasus berdimensi gender yang kental dan bagaimana pemulihan korban dipertimbangkan. Apakah pemulihan tersebut hanya sebatas pemulihan perempuan korban dalam memenuhi hak-haknya terkait dengan tanggung jawabnya dalam keluarga atau komunitas adat, dan atau sampai kepada pengasuhan anaknya maupun peran-perannya dalam komunitas adat. Pembahasan juga termasuk memperlihatkan
B ag i a n 3
1 2 P e ti k a n P e m b e la j a ra n I nku i ri N a s i o na l
Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) yang dialami oleh perempuan adat pada sebuah wilayah dengan melihat siklus/daur hidupnya. Tim menemukan bahwa studi lapangan etnografi yang dilakukan dapat menemukenali siklus/daur hidup perempuan adat, dan pada akhirnya membantu pada tahapan analisis pola pelanggaran HAM berbasis gender. Sebagai contoh, seperti yang disampaikan oleh Komisioner Inkuiri Saur Tumiur Situmorang: “Yang penting adalah bagaimana melihat kasus kekerasan seperti KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) yang khas dialami oleh perempuan adat bukan [sebagai] KDRT secara umum. Untuk melihat pola kekerasan seperti itu maka harus dilihat laki-laki dan perempuan adat yang saling berbeda, termasuk adanya ritual-ritual adat. Ritual penting ditanyakan dalam masyarakat adat karena dari situ kita bisa melihat diskriminasi dan pola-pola kekerasan yang ada.” (Wawancara dalam DKU wilayah Sumatera, 12 September 2014) Lebih lanjut dinyatakan pula oleh Komisioner Saur Situmorang bahwa: “Dari kasus-kasus yang diangkat itu sebetulnya pola kekerasan terhadap perempuan terlihat secara jelas, bahwa ketika terjadi konflik sumber daya alam dalam hal ini hutan, maka terjadi pencerabutan akses kehidupan dari perempuan karena kehidupan perempuan itu tidak bisa dipisahkan dari hutan dan tanah. Dalam masyarakat adat itu tanggung jawab untuk penyediaan pangan adalah pada perempuan, maka untuk penyediaan pangan itu perempuan dekat hubungannya dengan hutan. Dari hutan mereka mengambil bahan pangan, sayuran, bahan kerajinan dan lain-lain. Secara umum terjadi bahwa Kementerian Kehutanan mengakui bahwa belum ada mekanisme yang mereka buat untuk memastikan partisipasi perempuan dalam pembuatan kebijakan terkait peralihan fungsi lahan dan hutan adat. Jadi itu belum ada.Sehingga perempuan kerap kali tidak mengetahui apa yang terjadi terhadap lahan dan hutan adat mereka. Padahal seperti yang kita ketahui dalam masyarakat adat, kehidupan perempuan tidak dapat dipisahkan dari lahan dan hutan.Tadi juga terlihat bahwa mereka mengambil kayu bakar dari sana, mengambil bahan pangan dari sana, obat-obatan dari sana. Karena mereka tidak dilibatkan, jadi mereka tidak tahu sebetulnya mau apa di sana”. (Wawancara dalam DKU wilayah Sulawesi, 29 Agustus 2014)
95
96
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Pembelajaran 6 Perlindungan dan Keamanan Korban Perlindungan saksi dan korban adalah salah satu prasyarat untuk membangun kepercayaan korban, terutama dalam konteks pelanggaran HAM dimana pelakunya masih berkuasa. Inkuiri Nasional harus menjadi proses yang adil, dimana pemberi keterangan bukan cuma jadi alat, tetapi juga perlu disediakan proses pemulihan. Itulah sebabnya dalam situasi dimana iklim politik dan keamanannya belum dapat dijamin, sebaiknya Inkuiri Nasional berhati-hati dengan tidak melakukan DKU secara terbuka. Meski Saat ini Indonesia telah memiliki Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang telah mengembangkan kerangka mekanisme perlindungan saksi dan korban, namun kebutuhan spesifik korban kekerasan dan mereka yang mengalami ancaman harus tetap diupayakan oleh penyelenggara Inkuiri Nasional. Selama proses ini berlangsung, khususnya pada sesi-sesi DKU, korban memang tidak sepenuhnya aman. Ancaman datang luar biasa, baik dari kalangan perusahaan, pejabat dan penegak hukum, mapun pihak-pihak lain yang mengambil keuntungan dari konflik sumber daya alam di kawasan hutan. Ancaman tersebut datang bukan hanya dalam bentuk ucapan yang bernada mengancam, tapi juga mengawasi gerak gerik, hingga mengikuti sampai ke tempat acara maupun tempat tinggal. Itulah sebabnya Tim Inkuiri harus memastikan penginapan dan akomodasi yang aman bagi para pemberi keterangan. Rachmi Diyah Larasati salah seorang Peneliti Etnografi dari Sajogyo Institute menyatakan: “Saya pikir perlindungan terhadap hak asasi manusia terutama dalam kasus tanah, hutan dan air bagi masyarakat adat, merupakan sebuah proses yang sangat penting karena paling tidak secara etika Negara dan pihak-pihak terkait, terutama pihak penyelenggara menunjukkan sebuah konsep “rumah” dan keterlibatan mereka sebagai warga Negara dan hak-hak apa yang harus mereka dapatkan. Untuk proses pelaksanaan ini sendiri di region Sulawesi, saya pikir hari pertama lancar, walaupun secara jujur saya melihat bahwa ada semacam intimidasi dari pihak luar. Saya kurang tahu apa dan siapa mereka, tetapi secara persiapan ada hal-hal yang saya pikir secara etika sangat baik karena memberi sebuah konsep rumah kepada masyarakat adat didalam berikut serta menentukan kehidupan mereka.”
B ag i a n 3
1 2 P e ti k a n P e m b e la j a ra n I nku i ri N a s i o na l
(Wawancara dalam DKU wilayah Sulawesi, 29 Agustus 2014) Di dalam protokol dan format acara DKU, Komisioner Inkuiri dan Tim Inkuiri telah mengupayakan perlindungan tersebut semaksimal mungkin. Beberapa bentuk perlindungan yang diupayakan adalah: •
Menyediakan ruang kesaksian tertutup bagi narasumber yang tidak bersedia tampil di publik. Model lain adalah keterangan diberikan dalam kesempatan di luar sidang DKU.
•
Panitia meminta LPSK untuk menjaga penuh selama proses DKU. Duduk di tempat yang disediakan khusus dengan para pemberi keterangan, serta menyiapkan lembar permohonan perlindungan bagi mereka yang mengalami ancaman fisik da psikis.
•
Tim menyediakan penginapan dan akomodasi yang diupayakan steril dari gangguan pihak luar, antarjemput khusus, dan pendamping yang khusus mendampingi pemberi keterangan.
•
Sesuai dengan tata tertib sidang DKU, media tidak dapat mengambil gambar pemberi keterangan serta tidak dapat mewawancarai secara langsung.
Komisioner Inkuiri juga berusaha untuk memberikan perlindungan bagi korban/saksi berpotensi terancam karena bersaksi di depan umum. Dalam hal resiko lebih tinggi daripada perlindungan yang dapat disediakan oleh Komisioner Inkuiri, maka Keterangan dapat dibatalkan. Kerahasiaan juga dapat ditawarkan sebagai bentuk perlindungan yang lebih rendah (termasuk menutupi nama saksi /korban atau informasi identitas lainnya dari dokumen, penggunaan nama samaran atau sesi tertutup. Anies Syahrir, salah seorang Pendamping menyatakan: “Desain ruang sidang sangat tidak nyaman dan tidak kondusif, karena memungkinkan saksi dan terlapor saling menatap muka dan mengenali. Bahkan oleh saksi yang meminta privasi lebih, dari dalam ruang tertutup juga masih bisa dilihat oleh saksi. Kami sangat menyesalkan bahwa, karena tidak adanya sekat pembatas, terlapor bisa mendatangi saksi begitu persidangan selesai. Yang juga menjadi kekecewaan temanteman asesor kemarin di Palu adalah, rencana desain ruangan yang diperlihatkan saat simulasi berbeda jauh dengan ruangan sidang yang sesungguhnya. Keamanan hotel yang kita gunakan sangat tidak mendukung. Tamu dari luar (intel yang mengintai) bebas berkeliaran di dalam hotel, dari lantai satu ke lantai lainnya. Memang tidak ada dampak fisik dari hal ini, tapi ternyata sangat mempengaruhi psikologis saksi, sehingga pada
97
98
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
saat persidangan, kesaksian yang mereka berikan tidak maksimal, dan tidak lagi semantap waktu kita masih simulasi.” (Wawancara tertulis pasca DKU, Desember 2014) Pembelajaran dari proses ini nyaris tidak mungkin mendapatkan lokasi DKU yang sesuai dengan yang diinginkan oleh tim. Lebih-lebih lagi bisa lokasi DKU tersebut “meminjam” kantor milik Pemerintah. Terdapat sejumlah keterbatasan fisik dan sarana yang tidak memungkinkan rencana DKU berjalan dengan sempurna. Misalnya, berkaitan dengan “ruang aman” bagi pemberi keterangan. Tidak semua kantor menyediakannya, begitu juga dengan tempat bagi keterangan tertutup. Tim harus menyiapkan sendiri sarana tersebut dengan keterbatasan perlengkapan yang ada. Problem lainnya adalah akses menuju lokasi DKU seringkali tidak cukup strategis bagi masyarakat umum.
Pembelajaran 7 Sumberdaya Berkali-Kali Lipat Sudah bisa dipastikan bahwa Inkuiri Nasional adalah program dengan biaya dan dana besar. Agenda Inkuiri nasional sangat padat dengan rupa-rupa kegiatan yang beragam, cakupan wilayah luas dan berbagai elemen lembaga yang dilibatkan. Hal ini sudah barang tentu mensyaratkan sumber daya yang memadai. Belum lagi karena kegiatan ini berskala nasional sehingga tim dituntut untuk memperluas gaung dan dampaknya ke seluruh tanah air melalui berbagai jalur komunikasi publik yang dapat diterima hingga ke pelosok tanah air. Komnas HAM sebagai lembaga yang dibiayai oleh negara tidak dapat berkelit dari belitan struktur pendanaan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang rumit dan kaku. Dalam konteks ini maka persoalan pembiayaan Inkuiri Nasional menjadi persoalan berat yang harus ditanggung oleh Tim sejak awal perencanaan programnya. Tidak mudah menggunakan dana APBN jika perencanaan dan pelaksanaan program berjalan begitu cepat dan menuntut fleksibilitas tinggi. Anggaran Negara memiliki logika dan prosedurnya sendiri untuk memastikan agar akuntabilitas dapat dipenuhi. Oleh karena itu, pengajuan begitu panjang, birokratis dan kerap berbelit-belit. Selain itu proses pencairan anggaran tidak dapat dilakukan secara cepat, sementara jadwal agenda Inkuiri Nasional sangat ketat.
B ag i a n 3
1 2 P e ti k a n P e m b e la j a ra n I nku i ri N a s i o na l
Dengan demikian, jumlah dana yang begitu besar yang dibutuhkan juga tidak mungkin dipenuhi hanya dari sumber anggaran negara. Tim harus membangun kolaborasi dan kemitraan dengan lembaga-lembaga lain untuk menyumbangkan dana, tenaga, dan pemikiran mereka bagi pelaksanaan Inkuiri Nasional ini. Pembelajaran ini sangat penting terutama jika Inkuiri Nasional akan diselenggarakan lagi. Tim Inkuiri harus bisa memastikan ada dukungan yang kuat secara institusional dari lembaga-lembaga di luar Komnas HAM, baik dari kalangan Pemerintah maupun Non-Pemerintah. Ketersediaan dana tersebut harus dipastikan dalam bentuk perencanaan anggaran yang disusun setahun sebelumnya. Pendeknya, dukungan dari dana Pemerintah dengan masing-masing mata anggarannya tidak bisa diabaikan arti pentingnya. Selain itu dukungan juga tidak hanya diperoleh dari lembaga-lembaga dalam negeri tapi juga dari lembaga-lembaga luar negeri yang memiliki komitmen dan visi yang sejalan dengan tujuantujuan Inkuiri Nasional. Dari sisi perencanaan program dan anggaran, agenda Inkuiri Nasional, tidak bisa tidak, harus disiapkan atau disusun minimal satu tahun sebelumnya. Hal ini terutama berkaitan dengan penyediaan sumber dana dan personil. Dengan kenyataan tersebut, jika berkaca pada apa yang telah dilakukan oleh Tim Inkuiri Komnas HAM sehingga bisa dikatakan bahwa berhasil menyelesaikannya program ini dengan hanya sekitar 3 (tiga) bulan persiapan, pastilah sebuah keajaiban dan hanya kemampuan bekerja secara kolaboratif yang dapat menjelaskannya. Bentuk kolaborasi pada dasarnya adalah berbagi suka dan derita, berbagi mimpi dan visi, serta sumber daya dan dana. Kolaborasi dapat diberikan dalam bentuk kontribusi dana berdasarkan kesesuaian program, sumber daya manusia yang membantu tim, data atau informasi tentang kasus-kasus, peta, dokumentasi foto, dan video, hingga pendampingan korban dan pemberi keterangan. Selain itu juga dukungan juga bisa diberikan secara kelembagaan dalam bentuk penyediaan tempat, eksposure dan liputan, hingga informasi yang bersifat klarifikasi. Tim Inkuiri telah memanfaatkan lembaga yang memiliki kelompok pengacara atau pembela hukum untuk menjadi pendamping. Ini diperlukan terutama untuk membantu pemberi keterangan dari risiko mengalami gugatan balik dan tindakan kriminalisasi pasca-DKU. Salah satu nilai kemanfaatan dan pembelajaran yang dapat dipetik adalah kolaborasi yang dibangun dalam Inkuiri Nasional timbul menguatnya kepercayaan, pengetahuan, jaringan, dan kerja sama yang
99
100
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
saling menguntungkan antara Komnas HAM dengan organisasiorganisasi yang menjadi pemangku kepentingan dari program ini. Hal ini tentunya tidak dapat dilepaskan dari kesepakatan jangka panjang yang dibuat oleh Komnas HAM dengan lembaga-lembaga tersebut. Salah satunya dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang sudah membuat Nota Kesepakatan Bersama (MOU – Memorandum of Understanding) sejak 17 Maret 2009. Dalam kesepakatan kolaboratif tersebut dinyatakan: “Kedua belah pihak... merumuskan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka Pengarusutamaan Pendekatan berbasis HAM untuk Masyarakat Adat di Indonesia. Salah satu langkah yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak adalah menyosialisasikan Deklarasi Universal PBB tentang Hak-hak Masyarakat Hukum Adat, menyelenggarakan pertukaran informasi secara teratur, melakukan kajian tentang keberadaan masyarakat adat dan hak asasinya di Indonesia, mengembangkan mekanisme penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak masyarakat adat, serta mendorong ratifikasi Protokol Opsional Kovenan Hak ekonomi, Sosial, dan Budaya.”
Pembelajaran 8 Kerja Sama Antar-Kementerian dan Lembaga Persoalan pengelolaan hutan tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Perlu kerja sama yang solid antarkementerian dan lembaga agar persoalan-persoalan nasional tersebut bisa diselesaikan secara komprehensif dengan mengoptimalkan peran masing-masing lembaga. Dalam konteks tersebut pada 11 Maret 2013 lalu, dengan dikoordinasikan oleh KPK, Nota Kesempatan Bersama (NKB) telah ditandatangani 12 Kementerian/Lembaga, yang dimaksudkan untuk menyelesaikan akar masalah sektor sumber daya alam atau sektor kehutanan. Ke-12 instansi itu antara lain Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Keuangan, Badan Pertanahan Nasional, Badan Informasi Geospasial, Komnas HAM, dan Bappenas. NKB ini berlaku sejak ditandatangani 2016 dan dilaksanakan secara keseluruhan di 18 provinsi.
B ag i a n 3
1 2 P e ti k a n P e m b e la j a ra n I nku i ri N a s i o na l
Dalam perkembangannya NKB semakin bertambah dan karenanya dukungan kelembagaan tersebut semestinya dimanfaatkan bagi kerjakerja Inkuiri Nasional selanjutnya. Inkuiri Nasional ini diselenggarakan oleh Komnas HAM tentunya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan kerja sama kelembagaan tersebut. Adanya NKB merupakan wadah strategis untuk mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi Inkuiri Nasional. Selain itu, kerja sama untuk meminta klarifikasi dan dukungan antarlembaga juga lebih mudah dilakukan. Dalam DKU di wilayah Sumatera, salah seorang Komisioner Inkuiri Hariadi Kartodihardjo menyampaikan. “Hampir serupa dengan sebelumnya ya, jadi masyarakat sangat antusias dan banyak kehadiran dari pihak Pemda, [Pemerintah] Pusat, dan perusahaan. Ada hal-hal yang spesifik saya kira karena Sumatra ini relatif dinamis pembangunannya tinggi, ada aspek-aspek yang terkait dengan perkebunan. Kemudian baru saja kita lihat apa Aceh mempresentasikan pengaduan dan seterusnya.Seperti itu yang membuat kita sesungguhnya ada variasi bagaimana memecahkan permasalahan hak asasi manusia di masyarakat ini. Saya sendiri menanyakan sebetulnya pada saat status IUP, pelepasan belum ada, kemudian HGU juga belum ada, itu seperti apa? Nah saya tanyakan ke berbagai pihak kemarin, semua pihak termasuk BPN mengatakan itu tidak sah. Nah pertanyaan kemudian yang menjadi tantangan adalah bagi Kementerian Kehutanan.Apakah bagi perusahaan yang tidak sah itu akan diberi suatu area hutan yang dilepaskan? Nah saya kira yang sangat penting adalah kepastian penghentian kerja perusahaan ini di lapangan dan itu kemarin itu harus diperhatikan oleh pemerintah daerah, terutama pemerintah kabupaten yang terkait dengan penghentian ini sebelum persoalan-persoalan terkait masalah pertanahan ini selesai.” (Wawancara dalam DKU wilayah Sumatera, 12 September 2014) Selain itu, Komisioner lainnya, Sandra Moniaga, dalam DKU Wilayah Nusa Tenggara, juga memperkuat dengan pernyataan. “Yang menarik kalau untuk di Nusa Tenggara ada Pemerintah daerah yang sangat responsif dan ada pihak Kementerian Kehutanan yang responsif. Temuan yang menarik adalah Pihak Balai Besar Kehutanan dan Sumber Daya Alam (BKSDA) yang merupakan staf Kementerian Kehutanan bisa melihat klaim
101
102
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
masyarakat yang memang berada di wilayah yang juga diklaim oleh Kementerian Kehutanan. Beliau merintis pendekatan yang komprehensif bahkan melebihi mandat beliau. Bahkan meminta maaf untuk kejadian akibat penembakan oleh Polisi. Dan itu betul-betul menjadi dasar adanya kepercayaan baru masyarakat kepada negara. Usaha tersebut dianggap positif oleh masyarakat, oleh Pemkab sendiri dan oleh BPKH. Menurut saya ini prioritas karena langkahnya nggak jauh lagi. Bisa jadi pelajaran penting bagi daerah-daerah lain. Ada beberapa daerah yang sudah bisa mulai bergerak seperti Taman Nasional Gunung Rinjani. Menurut saya, sudah ada modal di sana. Pemerintah ada, dan masyarakat juga bisa menceritakan...Yang penting ada suatu pendidikan di dalam lingkungan Kementerian Kehutanan kepada staf-stafnya di Taman Nasional dan di BPKH tentang Keputusan MK 35, tentang HAM, tentang Konstitusi. Sehingga ketika mereka bekerja mereka tidak hanya terjebak pada penegakan Undang-Undang No. 41 versi lama. Jika hal itu dilakukan dengan fasilitator model Pak Wiratno itu bisa cepat. Untuk daerah lain Kemendagri harus turun tangan, untuk kasus di Sumbawa.” (Wawancara dalam DKU wilayah Nusa Tenggara, 14 November 2014) Selama inkuiri ini berlangsung Panitia juga mencatat pentingnya pembelajaran dalam hal kerja sama yang sifatnya lebih terstruktur dengan Lembaga pengampu isu, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kementerian Hukum dan HAM. Sebagaimana telah disampaikan dalam bab sebelumnya Kemitraan dengan Kementerian Hukum dan HAM ditunjukkan dari kesediaan lembaga ini “meminjamkan” atau mneyediakan ruang auditoriumnya untuk dijadikan lokasi DKU. Secara konsisten di 5 (lima) wilayah dimana DKU diselenggarakan (terkecuali di Lebak dan Pontianak), Institusi ini menyediakan ruangannya untuk digunakan secara penuh dan cumacuma. Kerja sama yang baik ini tentu sangat membantu tim dalam teknis penyelenggaraan DKU. Bisa dibayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh Panitia jika harus menyewa hotel atau gedung pertemuan lainnya. Namun demikian, bukan berarti hal ini tidak memiliki kelemahan. Pembelajaran yang diperoleh dari kerja sama ini adalah Panitia harus mengantisipasi keterbatasan infrastruktur yang tersedia karena menggunakan sarana milik Negara. Tidak seluruh rencana teknis dapat diakomodir. Dalam hal pengaturan posisi atau
B ag i a n 3
1 2 P e ti k a n P e m b e la j a ra n I nku i ri N a s i o na l
lay-out DKU, misalnya. Ruang khusus korban, ruang keterangan tertutup, pintu khusus, yang kesemuanya dibutuhkan untuk pengamanan, terbukti tidak mungkin disediakan. Panitia juga mencatat kerja sama kemitraan yang sangat baik antara Komnas HAM dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk memastikan keberhasilan inkuiri ini. Sejak awal lembaga ini melalui direktorat teknisnya mendukung dan membantu penuh kegiatan ini, dalam hal penyediaan data geospasial, perizinan, dan informasi teknis lainnya. Selain itu, pejabat Kementrian di tingkat Pusat dan Daerah juga hadir di setiap DKU untuk memberikan klarifikasi dan informasi lebih lanjut terkait kasus-kasus yang diangkat.
Pembelajaran 9 Mengenali Dampak Perubahan Sesungguhnya inkuiri ini memberi dampak pada semua lini. Dampak tersebut tidak hanya bagi mereka yang mengalami persoalan pelanggaran HAM selama puluhan tahun, namun juga mereka yang secara sadar atau tidak melakukan tindakan pelanggaran dan penindasan tersebut. Di dalam Inkuiri ini, kesalahan suatu kebijakan ditemukan, kemudian disadari sebagai pembelajaran bersama yang di masa depan harus dikoreksi. Negara, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tampaknya mulai menyadari dan pelan-pelan membuka diri untuk adanya revisi atau perbaikan kebijakan. Selain itu sejumlah kasus yang diangkat kemudian dipahami bersama untuk dicarikan jalan keluarnya masing-masing. Belum lagi keseriusan NKB-KPK dalam menangani persoalan ini memberikan dampak signifikan bagi percepatan penyelesaian masalah-masalah di kawasan hutan. Salah seorang korban yang memberi keterangan menyatakan: “Kami mengupayakan ini karena kami ingin memastikan bahwa segala sesuatu di negeri ini haruslah berubah. Perubahan itu memang sudah saatnya dilakukan dan kami ingin menjadi bagian dari perubahan tersebut. (Wawancara dalam DKU wilayah Kalimantan, 3 Oktober 2014) Salah satu tujuan dari Inkuiri Nasional dan DKU adalah menyediakan ruang bicara yang aman bagi para pemberi keterangan untuk menyampaikan atau mengekspresikan pengalaman pelanggaran HAM yang mereka alami. Proses ini harus memberdayakan bagi mereka dan
103
104
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
membantu mereka mengatasi luka dan penderitaan. Panitia Inkuiri melakukan 20 wawancara dengan peserta Inkuiri Nasional,yang terdiri dari anggota masyarakat adat dan pendamping, tentang bagaimana pengalaman mereka terlibat dalam kegiatan ini berkontribusi bagi pengembangan diri dan perjuangan mereka. Secara ringkas, partisipasi dalam Inkuiri Nasional memberi dampak pribadi maupun kelompok. Dalam hal pengembangan pribadi, masyarakat adat mengalami perluasan dan pengembangan kapasitas diri sendiri, mulai dari peningkatan rasa percaya diri, keberanian, kemampuan mengartikulasikan masalah dan kebutuhan, pemahaman tentang hak-hak, hingga keterampilan membangun argumentasi atas masalah yang mereka hadapi. Masyarakat adat didorong untuk membangun konsep dan kesadaran diri yang lebih besar bersama masyarakat sekeliling mereka. Mereka yang sebelumnya berjuang dengan rendah diri, rasa takut, atau merasa terbatas pada label tertentu yang dilekatkan oleh masyarakat umum maupun negara (semisal terasing, pedalaman, perambah hutan, terbelakang) mulai mampu berdiri tegak untuk mempertahankan hak-hak mereka. Beberapa di antara mereka juga mendapat kesempatan untuk menuturkan dan menuliskan kisah mereka dalam format kajian etnografi. Berkaitan dengan Pengembangan metode dan strategi perjuangan, secara bersama-sama masyarakat adat berlatih menjelajahi pilihan yang tersedia bagi perlawanan yang tengah mereka perjuangan. Melalui jaringan, koneksi, dan solidaritas baru yang dibangun bersma mereka menemukan makna dalam kelompok besar. Keputusan MK No. 35 tahun 2012 juga dilihat sebagai kemenangan bersama sekaligus tantangan bersama untuk mewujudkannya. Trisno Susilo, salah seorang Pendamping dari Kalimantan Selatan menyatakan. “Keikutsertaan kami dalam inkuiri jelas mampu memperbaiki mentalitas kami. Karena dalam kegiatan tersebut kami bertemu dengan tokoh sekaligus pelaku dari kebijakan di negeri ini. Untuk itu kami sangat berterima kasih. Dengan itu juga kami berusaha selalu berkomunikasi tentang perjalanan dan dinamika proses penyelesaian kasus dengan banyak orang. Baik teman-teman dari AMAN sendiri, Komnas HAM, dan Kementerian yang terkait sehingga kami memahami proses itu demikian peliknya. Hanya yang kami sayangkan, pihak Pemda masih acuh terhadap perkembangan hukum yang berlaku. Tanah yang kami persengketakan juga tetap digarap perusahaan. Kebun, rumah
B ag i a n 3
1 2 P e ti k a n P e m b e la j a ra n I nku i ri N a s i o na l
dan lahan pertanian yang dulu dirusak dan digusur.... Sekarang telah dibuatkan perumahan karyawan, dan dibuat kebun perusahaan. Hal tersebut membuat kami sangat sedih dan gundah. Usul kami agar bisa dibuatkan satu rekomendasi khusus dari inkuiri yang ditandatangani yang bisa memberi keyakinan kepada pihak Pemda untuk membuat kebijakan sesuai kajian dari inkuiri (atau bagaimana teknisnya) dengan berbekal rekomendasi tersebut dari organisasi dan lembaga adat lebih nyaman bergerak karena ada landasan yang bisa dipertanggungjawabkan.” (Wawancara tertulis pasca DKU, Desember 2014) Perlahan, seiring dengan semakin meningkatnya kepercayaan diri mereka, penjelasan dan tuntutan mereka pun semakin jelas. Inkuiri berhasil membuat mereka tidak hanya mampu tampil, tetapi juga mampu mengartikulasikan kebutuhan dan tuntutan mereka. Dalam DKU di wilayah Sulawesi, salah seorang pendamping masyarakat adat di Sulawesi Selatan, Anies Syahrir, mengatakan: “Kalau di Sulawesi Selatan sendiri, hasil perbincangan saya dengan teman-teman AMAN, [di tingkat Pemerintah] sama sekali belum ada hasil/dampak dari Inkuiri Nasional ini. Mengenai dampak positif dari kegiatan ini, saya rasa yang paling penting adalah, kita telah membuka cakrawala dan pemahaman banyak orang: kita telah menyadarkan masyarakat adat akan hak-hak mereka, dan memperkenalkan mereka dengan komunitas masyarakat adat lain, sehingga mereka menjadi lebih kuat ketika tahu bahwa di tempat lain ada komunitas seperti mereka yang mengalami nasib sama. Kita juga telah memberi pemahaman kepada para terlapor tentang konsep masyarakat adat.” (Wawancara tertulis pasca DKU, Desember 2014) Dalam DKU di wilayah Kalimantan, salah seorang Pendamping Masyarakat Adat, Margaretha Seting Beraan-Pendamping, Kalimantan Timur menambahkan: “Sejauh ini perkembangan yang kita lihat dari kebijakan nasional cukup menggembirakan. Termasuk bidang pengaduan masyarakat di Kementerian. Aku pikir ini adalah tindak lanjut dari inkuiri ya. Tapi di tingkat daerah sepertinya tidak terlalu ada perkembangan. Perusahaan hanya berhenti sementara setelah itu mereka operasi lagi. Dan Pemkab sepertinya diam-
105
106
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
diam aja. Tidak ada pendekatan ke masyarakat. Tidak ada juga perusahaan di tingkat daerah misalnya pencabutan izin atau sanksi ke perusahaan. Inkuiri kemarin bagus dimana keterangan para saksi dan perusahaan didengar sekaligus oleh [pihak-pihak] yang berkaitan dengan kasus. Ini penting sebagai bagian dari mengungkapkan konflik dan mencari akar konflik tersebut. Beberapa perbaikan yang perlu dilakukan adalah membantu dengan lebih baik para korban menyampaikan dengan sistematis masalah utamanya. Yang kemarin sudah bagus tapi masih ketinggalan beberapa yang penting. Mungkin karena para saksi agak grogi. Sedangkan para perusahaann kurang partisipasinya. Mereka harus dihadirkan dengan cukup memaksa. Tindak lanjut yang penting adalah penegakan hukum di daerah. Karena perusahaan terbukti bersalah dari keterangan mereka harusnya ada penindakan langsung pascainkuiri. Itu yang saya rasa paling kurang karena setelah inkuiri sepertinya tidak ada apa-apa dengan mereka...” (Wawancara tertulis pasca DKU, Desember 2014) Dampak lain yang tidak kalah pentingnya untuk dicatat, yakni dorongan untuk mulai melakukan pengorganisasian komunitas adat. Dalam Kegiatan DKU di Wilayah Papua, Komisioner Sandra Moniaga menyebutkan: “Selain begitu banyak pembangunan, tapi yang perlu dicatat juga bahwa hampir 95% wilayah Papua adalah kawasan hutan. Nah oleh karena itu, apa yang harus dilakukan oleh masyarakat dan tentunya bersama Pemda ya adalah mempercepat proses pemetaan atas wilayah adat tersebut dan memperjelas batas antarwilayah adat dan meneguhkan secara damai di antara mereka. Ada kesepakatan damai diantara masyarakat adat itu sendiri. Itu pemetaan soal wilayah. Yang kedua, masyarakat itu harus bisa menguatkan organisasi mereka, lembaga-lembaga adat mereka. Selama ini sebagian memang sangat tradisional, dalam pengertian masih ada kepala suku yang dominan. Untuk saat sekarang menjadi tidak relevan karena banyak anak muda yang sudah sekolah, banyak anak-anak muda yang pintar dan perempuan juga. Oleh karena itu, mereka perlu menguatkan organisasinya sesuai perkembangan yang ada sehingga mereka juga bisa tetap solid. Ketiga, mereka harus mulai diajak menguatkan diri untuk memutuskan pembangunan seperti apa
B ag i a n 3
1 2 P e ti k a n P e m b e la j a ra n I nku i ri N a s i o na l
yang mereka inginkan buat wilayahnya dan untuk mereka. Mereka ingin menjadi seperti apa, mereka berhak untuk tidak berubah, tapi mereka juga berhak untuak mempunyai mimpi. Nah ini yang perlu menjadi dibangun dan disepakati bersama di setiap wilayah.“ (Wawancara dalam DKU wilayah Papua, 28 November 2014) Dalam kaitannya dengan manajemen program, Tim Inkuiri menilai bahwa kebutuhan akan adanya tools atau alat monitoring dan evaluasi sangat penting diputuskan sejak awal. Hal ini akan membantu menilai apa saja yang sudah berhasil dilakukan, dicapai, dan diubah. Selain itu juga membantu proses refleksi tentang apa-apa saja yang harus diperbaiki, baik dari segi cara-cara maupun sasaran program. Adanya perubahan adalah tujuan dari keseluruhan kerja ini. Oleh karena itu, jika tidak tersedia sarana untuk mengukur perubahan maka akan sangat sulit untuk memastikan bahwa inkuiri nasional ini berhasil memenuhi tujuannya.
Pembelajaran 10 Pendidikan Bagi Masyarakat Panitia Inkuiri Nasional mengemas dan mengelola keseluruhan informasi tentang Inkuiri untuk disajikan ke masyarakat umum melalui media cetak, website, dan media elektronik lainnya. Boleh dibilang Inkuiri Nasional sangat bergantung pada media massa umum untuk menyampaikan pesannya kepada masyarakat luas. Media memainkan peranan penting dalam membangun dukungan bagi upaya mendorong pengakuan terhadap status masyarakat adatdan memberi tekanan bagi implementasi rekomendasi-rekomendasi Inkuiri nasional. Idealnya, Tim Inkuiri Nasional memang didampingi oleh penasihat atau konsultan ahli media yang dikenal baik dan dipercaya oleh media. Orang-orang itu adalah mereka yang dapat menempatkan berita-berita positif, mengalihkan berita negatif, mengoreksi kesalahan-kesalahan dalam pemberitaan, menanggapi kritik dan, yang paling utama, memastikan adanya liputan yang baik. Ahli media yang direkrut secara penuh ini diharapkan memiliki hubungan luas dan berkelanjutan dengan pihak Media. Dalam kerja-kerja promosi dan diseminasi yang berkaitan dengan media ini tim inkuiri dibantu oleh Tim dari Intermatrix. Intermatrix membantu Tim menghubungkan dengan media-media yang
107
108
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
relevan melakukan monitoring media, dan menyiapkan berbagai event dengan media. Hanya saja dalam proses yang telah berjalan, Panitia menemukan bahwa selama berlangsungnya Inkuiri Nasional pelibatan jaringan dukungan media tidak sepenuhnya berhasil. Strategi komunikasi dengan media nampaknya kurang efektif. Hal ini berdampak pada kurangnya gaung wacana tersebut di masyarakat. Reportase mengenai kegiatan ini ada, namun tidak terlalu banyak. Bahkan meskipun telah dilakukan sejumlah media briefing, menyiapkan release dan menyelenggarakan konferensi pers, tampaknya media tidak menunjukkan minatnya. Evaluasi menunjukkan liputan rutin biasanya hanya dari media yang bekerja di isu lingkungan, sementara di bidang HAM, politik, dan hukum sangat kurang. Selain itu, kurangnya pelibatan media lokal juga menyebabkan DKU yang diselenggarakan di provinsi tidak mendapat liputan yang maksimal. Pembelajaran penting dari pengalaman ini, pentingnya menyiapkan tim media yang kuat dan bekerja sebelum launching atau peluncuran inkuiri dilakukan. Jika inkuiri ini hendak dilakukan lagi maka harus ada semacam “pemanasan” oleh tim dengan kalangan media untuk mengangkat isu-isu dan kasus-kasus yang dibahas, termasuk kasus yang diangkat di DKU. Selain itu masukan berita haruslah diolah oleh satu tim yang kuat dan khusus. Diupayakan setiap minggu ada tulisan yang terbit di media terkait dengan masalah ini. Selain ahli media, sebaiknya Inkuiri Nasional memiliki tim yang kuat dalam hal melakukan diseminasi atau pendidikan publik. Fasilitator, pelatih, ahli komunikasi direkrut untuk membantu menyampaikan kepada masyarakat luas mengenai apa, mengapa, apa arti penting dan arti strategis tema hak masyarakat adat di kawasan hutan bagi masyarakat. Tim inilah yang menyelenggarakan diskusi, seminar, lokakarya, pelatihan dengan berbagai kalangan, baik universitas, lembaga adat, komunitas-komunitas anak muda, kalangan pemerintah, maupun berbagai elemen strategis lainnya dalam masyarakat. Diseminasi tentu dapat dilakukan dengan berbagai cara, termasuk memlalui pemutaran film, menghadirkan narasumber, hingga menyiapkan testimoni korban. Dengan cara ini maka masyarakat terlibat dan memperoleh informasi yang cukup tentang Inkuiri Nasional. Masyarakat adat sebagai pemangku kepentingan utama dari agenda ini pun mendapatkan kekuatan untuk membangun organisasi dan komunitas adat mereka.
B ag i a n 3
1 2 P e ti k a n P e m b e la j a ra n I nku i ri N a s i o na l
Tim menemukan pembelajaran bahwa pendidikan publik tidak dapat dikelola secara setengah-setengah. Pendidikan publik haruslah dikelola sejak awal dan diformulasikan secara komprehensif mengenai apa yang akan dilakukan di tingkat nasional dan di tingkat lokal. Bisa jadi modul pendidikan pun harus disusun agar bisa masuk ke sekolah-sekolah atau ke universitas. Diskursus tentang siapa, status, dan hak-hak masyarakat adat perlu diperkenalkan. Tim menemukan juga bahwa kelompok sasaran pendidikan publik semestinyalah didefinisikan untuk memudahkan melihat kembali sejauh mana mencapai hasil-hasilnya. Memang diakui terdapat keterbatasan sumber daya di tingkat nasional dan di daerah untuk mendiseminasikan Inkuiri Nasional. Ketiadaan keterlibatan publik secara maksimal, termasuk reportase badan-badan penyiaran publik dan swasta memperlihatkan bahwa problem pendidikan publik bukan hanya mengontak dan mendapatkan perhatian dan slot siaran, namun juga mengajak lembaga-lembaga tersebut memiliki acara atau program ini. Kolaborasi hendaknya dibangun sejak awal sehingga materi yang akan digaungkan melalui lembaga penyiaran dapat berjalan berkesinambungan. Catatan lain yang ditemukan dalam perjalanan Inkuiri Nasional ini adalah kurang maksimalnya upaya untuk melibatkan universitas dan lembaga pendidikan tinggi. Pihak universitas cukup membuka diri untuk penyelenggaraan diskusi publik, namun pemberitahuan dan permintaan pada waktu singkat tidak memungkinkan untuk membangun kolaborasi yang lebih berdampak. Tidak banyak mahasiswa yang tahu, dikirim, dan dilibatkan dalam kegiatan ini. Bahkan termasuk mahasiswa yang belajar pada isu-isu yang diangkat, misalnya kehutanan, pertanian, hukum, dan sosial politik. Padahal sangat memungkinkan mahasiswa menjadi pihak yang paling strategis untuk dilibatkan untuk penyebaran gagasan dan sebagai relawan. Walaupun demikian, Inkuiri Nasional yang pertama kali digelar ini cukup memberikan dampak bagi kalangan akademisi. Salah seorang Dosen Fakultas Hukum dari Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat Dr. H. Salim menyebutkan: “Kegiatan Inkuiri Nasional ini memberi dampak positif bagi kami terutama para ilmuwan dan mahasiswa. Saya berharap kegiatan ini tidak hanya sampai di sini saja sehingga nanti Komnas HAM memiliki kegiatan yang terus menerus untuk menggali hal ihwal tentang pelanggaran HAM. Kegiatankegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan yang berkaitan dengan perijinan. Sehingga dengan adanya
109
110
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
pengakuan terhadap masyarakat adat ini maka menjadi kuatlah kedudukan mereka. Sehingga mereka tidak bisa diombangambingkan oleh Pemerintah maupun perusahaan yang ada, baik di bidang pertanian, pertambangan, dan peternakan. Karena mereka sudah menggabungkan diri dalam wadah masyarakat hukum adat.“ (Wawancara dalam Diskusi Publik wilayah Nusa Tenggara, 11 November 2014)
Pembelajaran 11 Partisipasi dan Keterlibatan Komunitas Peran komunitas masyarakat adat sebagai Pembela HAM seringkali tidak dikenali atau tidak diakui kapasitas maupun keberadaannya. Masalah pelanggaran HAM dan pencegahan atau penanganannya seringkali dianggap semata-mata masalah negara atau organisasiorganisasi pendamping dan aktivis. Padahal banyak sekali isu kekerasan yang dialami oleh masyarakat adat dan memaksa mereka untuk angkat bicara dan bekerja untuk membela sesama korban pelanggaran HAM. Selain itu kerentanan para komunitas masyarakat adat juga jarang dikenali sehingga sulit untuk dicegah manakala ancaman dan terjadi secara berulang. Melalui Inkuiri Nasional, komunitas masyarakat adat dapat memperdalam dan memperluas wawasan mereka tentang hak-hak mereka sebagai warga negara dan sebagai masyarakat adat yang dilindungi oleh Konstitusi, Hukum Nasional, dan Internasiomal. Dengan pemahaman tersebut diharapkan mereka mampu membela hak-hak mereka yang dirampas. Berkaitan dengan kasus masyarakat adat Semende (Bengkulu) pada proses DKU di wilayah Sumatra, Sandrayati Moniaga menyebutkan: “Ada indikasi pertama dari masyarakat sendiri sudah bisa menunjukan bahwa mereka memang masyarakat hukum adat, [meskipun] mungkin ada kasus di Bengkulu dimana masyarakat adatnya sudah berbaur dengan yang lain. Namun mereka tetap bisa menunjukan bahwa sebagian dari mereka adalah betul masyarakat adat. Nah yang menarik juga sebagian Pemda mengakui, dari Lampung sampai dengan Aceh ada pengakuan tentang keberadaan mereka. Namun yang masih menjadi persoalan adalah soal wilayahnya. Untuk kasus-kasus
B ag i a n 3
1 2 P e ti k a n P e m b e la j a ra n I nku i ri N a s i o na l
yang sudah jelas sangat jelas dimana memang terjadi pelanggaran hukum, pelanggaran-pelanggaran perizinan, harus ada penghentian operasi dari perusahaan-perusahaan tersebut.” (Wawancara dalam DKU wilayah Sumatera, 12 September 2014) Pembelajaran yang dapat dipetik dari sisi partisipasi komunitas sangatlah besar. Inkuiri tidak akan berjalan tanpa adanya partisipasi dari gerakan korban, dalam hal ini adalah gerakan masyarakat adat. Gerakan masyarakat adat telah memasuki babak baru yang menuntut isu sosial dan pembangunan harus dilihat secara kritis. Sikap peduli serta kemampuan untuk mengoreksi berbagai kebijakan yang menyingkirkan mereka perlu dikembangkan sehingga masyarakat sadar untuk berjuang merebut hak-haknya. Komnas HAM meyakini sepenuhnya dengan melakukan Inkuiri Nasional ini sehingga terbuka pengakuan bagi masyarakat adat untuk diakui keberadaannya. Komunitas masyarakat adat dapat terus memberdayakan dirinya sendiri untuk mempertahankan dan merebut, serta mempertahankan hak asasinya yang dirampas karena bagaimana pun aktor utama perjuangan adalah masyarakat itu sendiri. Inti dari pelibatan komunitas tentunya bukan hanya agar suara mereka didengar dalam forum DKU. Akan tetapi, proses ini pada hakikatnya sangat berelasi dengan upaya penyusunan kebijakan yang sifatnya mengedepankan kesetaraan dan keikutsertaan warga negara. Pemberian keterangan lewat testimoni pada hanyalah salah satu ‘cara’ yang secara kasat mata memperlihatkan tidak saja proses dimana aspirasi-aspirasi masyarakat adat ditampung untuk kelak menjadi materi peraturan/kebijakan, namun juga membenturkan aspirasiaspirasi tersebut dengan berbagai tantangan-tantangan, salah satunya tantangan birokrasi yang selama ini dihadapi. Sebagai ilustrasi, tantangan birokrasi pada kebijakan pengukuhan kawasan hutan yang selama ini berorientasi pada penyelesaian atau pemenuhan secara administratif semata dan kemudian dipandang sah (legal) melalui penandatanganan Berita Acara Tata Batas (BATB) oleh Panitia Tata Batas, nyatanya tidak memperdulikan dan melibatkan masyarakat adat yang selama ini sudah tinggal di kawasan hutan. Dengan berbagai kegiatan yang dilakukan selama inkuiri nasional, masyarakat adat dapat terlibat dalam sejumlah tingkatan. Mereka terlibat mulai dari menyampaikan kasus mereka ke Komnas HAM, penulisan dan penelitian etnografi mengenai komunitas adat mereka,
111
112
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
workshop pemulihan da persiapan DKU, hingga Keterangan di hadapan Komisioner Inkuiri dan Publik. Walaupun demikian pelibatan tersebut masih sangat bersifat insidental, tematik, dan tidak memberikan dukungan kepada komunitas untuk melakukan penguatan kapasitas secara berkeseinambungan. Inkuiri Nasional semestinya memberikan perspektif tentang pentingnya mengenali siapa korban pelanggaran HAM dan siapa pembela HAM dan berbagai kerentanan yang mereka hadapi. Selain itu juga membantu mereka memahami apa yang terjadi dengan komunitas dan tanah-tanah adat mereka. Inkuiri juga memberi input tentang strategi menghadapi ancaman maupun upaya-upaya melakukan advokasi dan perlindungan bagi para korban dan pembela HAM.
Pembelajaran 12 Dokumentasi, Informasi, dan Pengelolaan Pengetahuan Dokumentasi atau bukti pelanggaran HAM sangat penting dalam penyelidikan. Dokumentasi tersebut dapat berupa dokumen atau arsiparsip tertulis yang dikumpulkan dan disimpan, namun juga dapat berupa rekaman suara atau gambar para korban yang menyampaikan cerita atau informasi mengenai peristiwa yang mereka alami. Pendokumentasian dalam Inkuiri Nasional merupakan bagian terpenting yang harus dijaga dan dikelola. Dokumentasi menjadi dominan manakala tim harus menyusun laporan dan rekomendasi. Oleh karena itu, diperlukan sebuah sistem pendokumentasian yang dapat menjamin kehandalan data, bertahan dalam waktu lama dan aman sekaligus mudah diakses. Sistem ini juga harus mampu menyajikan data sedemikian rupa sehingga dapat dianalisis, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Data, Informasi, Pengetahuan, dan Pembelajaran menjadi salah satu modal utama perubahan. Secara garis besar pekerjaan Inkuiri nasional adalah mengumpulkan data dan informasi yang dapat diandalkan agar Tim Inkuiri ini dapat menganalisis dan memahami situasi yang tengah diinvestigasi dan menyusun rekomendasi untuk memulihkan pelanggaran. Informasi yang diperoleh harus dapat diandalkan. Informasi yang tidak akurat dapat berujung pada kesimpulan yang salah dan rekomendasi yang tidak efektif. Namun, tidak ada Inkuiri Nasional yang mampu menghimpun semua fakta tentang semua situasi jika tidak ada upaya untuk turun ke
B ag i a n 3
1 2 P e ti k a n P e m b e la j a ra n I nku i ri N a s i o na l
lapangan, bicara langsung dengan narasumber, mengkonsolidasi temuan, memilah, memilih, hingga mengorganisasikannya secara rapi. Selama proses DKU, Tim Inkuiri menemukan bahwa ketiadaan staf atau penanggung jawab untuk mencatat, mengawasi, dan memastikan kelengkapan dokumentasi, baik audio, video, dan catatan proses, sangatlah berdampak besar bagi kualitas hasil pertemuan.Oleh karena itu, jika akan ada upaya lanjutan, tim berikutnya haruslah memastikan ada tim notulensi dan perekam tercatat, audio, dan video yang kuat dalam melakukan pencatatan seluruh proses. Tim ini harus ikut serta di dalam seluruh proses dan dilengkapi dengan perakatan yang memadai. Hasil notulensi tercatat harus disusun dalam format yang sudah dirancang sejak awal. Pelajaran lainnya, adanya penanggung jawab dan tim khusus, hendaknya ada kesepakatan mengenai bentuk dan materi apa saja yang akan didokumentasikan. Manakala bentuk atau format dan kelengkapan dokumentasi tidak tersedia, maka tim mengalami kesulitan ketika hendak menyusun laporan. Tim Inkuiri hanya berhasil medokumentasikan secara lengkap video DKU, sebagian dari rekaman audio, dan sebagian catatan proses dengan kualitas yang berbeda-beda. Kondisi tersebut menyulitkan penyusunan laporan dan pada akhirnya proses pencatatan baru dilakukan seiring dengan penyusunan laporan. Terakhir, siapa yang akan menjadi “pemilik” data tersebut. Ketidakjelasan mengenai kepemilikan data akan mempengaruhi kepercayaan narasumber kepada pengelola data.
113
Penutup: Menuntaskan Perjalanan
T
anpa harus menyimpulkan, mari menutup lembar-lembar petikan pembelajaran ini dengan refleksi. Sandra Moniaga dalam wawancaranya dengan Wimar Witoelar di Perspektif Baru (Edisi ke-948 tanggal 26 Mei 2014 mengatakan: [Sesungguhnya] perubahan lingkungan juga termasuk hak asasi manusia karena Konstitusi kita dan UU No. 39/1999 tentang HAM turut mengakui hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. UU tersebut juga berdampak pada pola pengelolaan. Contoh, “ketika seseorang bertanya, Apabila kawasan tersebut dijadikan hutan industri, apakah mereka bisa tetap kerja atau tidak?” Jawabannya bisa, tetapi kembali lagi apakah sesuai dengan budaya yang selama ini mereka terapkan dan apakah pekerjaan tersebut didasarkan pada prinsip penghormatan hak masyarakat atas tanah miliknya. Selama ini mereka hanya menjadi buruh di atas tanahnya sendiri. Artinya, ada pekerjaan tetapi tidak aman secara jangka panjang bagi mereka. Kalau tanah-tanah itu tetap menjadi milik mereka, maka mereka tetap bisa mengusahakan wanatani misalnya agroforestry, perkebunan, atau ladang yang suatu waktu akan berubah menjadi hutan. Contoh konkret yang mungkin cukup familiar ialah di Krui, Lampung. Di sana ada hutan damar dan ada sawah di dekatnya. Jadi harmonis antara hutan dan pertanian mereka. Di Kalimantan para peladang biasanya mengistirahatkan ladangnya setelah 5-6 tahun dan kemudian ladang tersebut akan menjadi hutan kembali. Kasus yang terjadi sekarang, apakah kebebasan mereka menentukan jenis
115
116
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
tanaman dan menentukan pola bertani masih bisa dijamin ketika hutan dikelola oleh perusahaan atau taman nasional. Dalam tulisan reflektifnya Hariadi Kartodihardjo juga menandaskan lebih lanjut bahwa: “Masyarakat adat/lokal sudah lama melihat jalan buntu untuk mampu keluar dari lubang yang dalam persoalan tata kelola sumber daya alam. Untuk itu, praktik-praktik nyata nyata di lapangan, transaksi-transaksi perizinan, kekuatan-kekuatan sosial politik yang mneyertainya, maupun kapasitas lembaga dan unit kerja Pemerintah, terutama di daerah, perlu digunakan sebagai dasar penetapan strategi pembangunan nasional. Para perencana pembangunan dan penentu kebijakan nasional diharapkan mampu menerjemahkan fakta-fakta di lapangan itu menjadi stretaegi pembangunan dengan subjek utama masyarakat adat/lokal, sehingga tidak terbuai pada angkaangka agregat nasional maupun indikator-indikator makroekonomi yang senantiasa menjanjikan.” Terakhir, Enny Soeprapto mengingatkan semua yang hadir agar mengenang hari itu dimana kesaksian disampaikan oleh mereka yang paling menderita dan dirugikan oleh praktik perampasan tanah dan hutan adat. Dalam sajaknya, dia mengatakan: Mereka... Adalah masyarakat hukum adat Manusia-manusia lugu tanpa kuasa Mereka sudah bicara Sudah coba yang mereka bisa Tidak ada hasil apa-apa Mereka hanya minta kembali yang mereka punya Mereka hanya minta yang menjadi haknya Tidak ingin lebih dari yang mereka minta Jangan mereka terus diabaikan Mereka masih punya harapan Dari mereka yang mau menghormati Dari yang mau melindunginya Dari yang mau mengayominya Dan itu... adalah kita semua (Enny Soeprapto - Abepura, 27 November 2014)
Daftar Pustaka Antonio Pradjasto, dkk, Inkuiri Publik: Upaya Membongkar Pelanggaran HAM Sistematis, Komnas HAM dan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2002. Asia Pacific Forum of National Human Rights Institutions and Raoul Wallenberg Institute of Human Rights and Humanitarian Law, Manual on conducting a National Inquiry into systemic patterns of human rights violations, 2012. Hariadi Kartodihardjo, Lubang dalam Tata Kelola PSDA, Lembar Fakta No. 2 Inkuiri Nasional, Komnas HAM, 2014. The Human Rights and Equal Opportunity Commission (HREOC), Bringing them Home: Report of the National Inquiry into the Separation of Aboriginal and Torres Strait Islander Children from Their Families, 1997 https://www.humanrights.gov.au/sites/ default/files/content/pdf/social_justice/bringing_them_home_ report.pdf Indian National Human Rights Commission, http://nhrc.nic.in/ Documents/Publications/NHRCindia.pdf Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Laporan Tahunan, 1993 – 2012. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Terms of Reference Inkuiri Nasional Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan, 2014. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Wacana HAM, Edisi 2 tahun 2014. Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights, National Human Rights Institutions: History, Principles, Roles, and Reponsibilities, Professional Training Series No 4, United Nations, Geneva, 2010. http://www.ohchr.org/Documents/Publications/ PTS-4Rev1-NHRI_en.pdf Suhakam National Human Rights Commission of Malaysia, Report of the National Inquiry into the Land Rights of Indigenous Peoples, April 2013http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/ publication/2013/07/suhakam-enquiry-full-text2013.pdf Wawancara lisan dan tertulis dengan 20 anggota tim dan partisipan Inkuiri Nasional. 117
Penghargaan dan Ucapan Terima Kasih
K
omisi Nasional Hak Asasi Manusia menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya bagi semua pihak yang menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk penyelesaian keempat buku-buku hasil proses Inkuiri Nasional Komnas HAM ini. Buku “Laporan Inkuiri Nasional Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tentang Hak Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan” ditulis oleh Sandrayati Moniaga, Enny Soeprapto, Dian Andi Nur Aziz, dan Eko Cahyono. Mendapat tinjauan dan saran dari Hariadi Kartodihardjo, Saur Tumiur Situmorang, Atikah Nuraini, Martua T. Sirait, Yossa A. P. Nainggolan, Siti Maimunah, Arimbi Heroepoetri dan Tim Pengarah Inkuiri Nasional Komnas HAM. Infografis yang memperkaya buku ini dibuat oleh Gery Paul Andhika. Buku “Pelanggaran Hak Perempuan Adat dalam Pengelolaan Kehutanan” ditulis oleh: Arimbi Heroepoetri, Aflina Mustafainah, dan Saur Tumiur Situmorang. Dengan masukan dari rekan-rekan Komnas Perempuan yang mencakup: Pimpinan Komnas Perempuan, Sub Komisi Pemantauan, Sub Komisi Pemulihan, Gugus Kerja Papua, dan Gugus Kerja Pekerja Migran. Infografis dalam buku ini disiapkan oleh Atikah Nuraini. Buku “Konflik Agraria Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan” merupakan kumpulan tulisan dari lebih dari empat puluh penulis yang difasilitasi oleh Tim Sajogyo Institute (SaIns). Disunting oleh Eko Cahyono, Ana Mariana, Siti Maimunah, Muntaza Erwas, Yesua Y.D.K Pellokila, Winna Khairina, Saurlin Siagian, Nani Saptariyani, Nurhaya J.Panga, Erasmus Cahyadi, Nia Ramdhaniaty. Buku “Petikan Pembelajaran Inkuiri Nasional sebagai Pembuka Jalan untuk Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia” ditulis oleh Atikah 119
120
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Nuraini. Mendapat saran-saran dari Yuli Asmini, Banu Abdillah, Sandrayati Moniaga dan Yossa A.P. Nainggolan. Infografis dalam buku ini merupakan karya Gery Paul Andhika. Satoejari membantu penyelesaian akhir keempat buku ini dengan merancang grafis dan tata letak. Foto-foto yang menjadi pelengkap narasi dalam buku-buku ini dihasilkan oleh Tim Dokumentasi Inkuiri Nasional, Komnas Perempuan dan INFIS. Penyelaras bahasa untuk keempat buku ini adalah Slamat Trisila. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya bagi seluruh Anggota Tim serta berbagai pihak yang terlibat dalam Inkuiri Nasional Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan Hutan. Penghargaan khusus kepada Atikah Nuraini sebagai koordinator seluruh rangkaian kegiatan, Yossa A.P. Nainggolan sebagai sekretaris Tim, Dian Andi Nur Aziz yang mengkoordinir pendokumentasian seluruh dokumen dan penulisan laporan, Winarni Rejeki membantu administrasi dan keuangan, Tito Febismanto membantu penelitian kasus-kasus yang diperiksa, administrasi surat menyurat serta mengarsipkan seluruh dokumen kegiatan ini, dan Sandrayati Moniaga selaku penanggung jawab Inkuiri Nasional ini. Seluruh anggota Tim dan rekan-rekan yang telah membantu adalah sbb. Abdon Nababan Abdul Muit Abdul Rahman Nur Achmad Sodiki Adi D. Bahri Aflina Mustafainah Agapitus Agung Wibowo Agus Salim Agustinus Ahmad Aji SahdiSutisna Alfonsius Andika Andiko Anna Mariana Anne-Sophie Gindroz Anselmus S. Bolen Ansori Sinungan
Aprilia Uruwaya Ari Yurino Arimbi Heroepoetri Armansyah Dore Atikah Nuraini Bambang Widjojanto Banu Abdillah Benedictus Sarkol Bernardus Koten Boy Raja Marpaung Budhy Latif Budi Rahardjo Chaid Bin Wahid Chalid Muhammad Chatarina Pancer Istiyani Chip Fay Christine Hiskya Dahniar Andriani David Rajagukguk
P e ng ha rg a a n da n U c a pa n T e ri ma K a s i h
Dedy Askary Denny Indrayana Deny Rahadian Depriadi Devi Anggraini Devi Kusumawardhani Dian Andi Nur Aziz Dianto Edy Sutichno Een Irawan Putra Eko Cahyono Eko Dahana Djajakarya Eman Sulaeman Enny Soeprapto Erasmus Cahyadi Erun Erwin Hasibuan Erwin Sipahutar Fachrudin Fadli Faisal Abdul Aziz Farid Faris Bobero Fauzie Mansyur Fauziah Rasad Febriyan Anindita Fritz Ramandey Hadi Darjanto Hafid Abbas Hariadi Kartodihardjo Harun Nuh Hasbi Berliani Hendrik Hendrikus Adam Herdion A. Marantika Hidar Husain Alting Ika Lestari Imam Hanafi Iman Fachruliansyah Imelda Saragih Iriena Haryati Jacky Manuputty
Johan Silalahi Jufri Juni Jusardi Gunawan Jusmalinda Holle Kamal Syahda Kamardi Kasful Anwar Kees de Ruyter Kiswara Santi Komaruddin L. Andri Lalu Prima Lalu Satriawangsa Lenny Lily P. Siregar Livand Bremer Luluk Uliyah M. Arifin M. Nurkhoiron Madjid Aman Mahyudin Rumata Maneger Nasution Mardiana Marisa S. Kamili Martha M. Paty Martua T. Sirait Mashur Masrani Matheus Pilin Melkior Weruen Melly Setiawati Mimin Dwi Hartono Mina Susetra Mochamad Felani Mohamad Syafari Firdaus Monica Ndoen Muhammad Zain Sutrisno Munadi Kilkoda Muntaza Erwas Murni Myrna Safitri Nasrum
121
122
Pet ik an Pembel a ja r a n I n kui r i N a si o n a l
Natalius Pigai Nelly Yusnita Nia Ramdhaniaty Nice Marpaung Nila Dini Noer Fauzi Rachman Nonette Royo Nurhaya Panga Nurhayati Nurlaela K. Lamasitudju Nurul Firmansyah Nurkholis Octavianus Lawalata Olvy Octavianita Omar Fauzan Paulus Paulus Unjing Pipi Rachmi Diyah Larasati Rai Sita Rainny Situmorang Raeminarti Dwi Putri Ratnasari (Jawa) Ratnawati Ratnawati Tobing Richard Rifky Rikardo Simarmata Rio Rovihandono Risman Buamona Riwan Simamora Rizal Mahfud Roichatul Aswidah Rojak Nurhawa Ronald Kebes Ronny Titaheluw Rosita Sari Rukka Sombolingi Ryan Karisma Saharudin Salim Sandrayati Moniaga Saur Tumiur Situmorang
Saurlin Siagian Sita Supomo Siti Maemunah Siti Noor Laila Stefanus Masiun Steve Rhee Supriyadi Suryati Simanjuntak Susi Fauziah Susilaningtyas Sutaryono Syaldi Sahude Tanda Balubun Tanwir Teresa RanteMecer Thobias Bagubao Titie Deasy Tito Febismanto Tongam Panggabean Tono Trisna Harahap Ubaidi Abdul Halim Vera Valinda Vivi Marantika Wahyu Wagiman Widiyanto Wina Khairina Winarni Rejeki Wiratno Y.L. Franky Yamni Yance Arizona Yanes Balubun Yohanes Taka Yossa A.P Nainggolan Yuli Asmini Yuli Toisuta Yunidar Yuniyanti Chuzaifah Yuyun Zulfikar Arma Zulkarnain