KAJIAN PERDAMAIAN DAN KEBIJAKAN
THE HABIBIE CENTER Edisi 06/Maret 2014
PETA KEKERASAN DI INDONESIA (SEPTEMBER-DESEMBER 2013) DAN KONFLIK ANTARKELOMPOK DI INDONESIA
ACEH
KALIMANTAN TIMUR KALIMANTAN BARAT
SULAWESI TENGAH
KALIMANTAN TENGAH LAMPUNG
MALUKU UTARA
PAPUA BARAT
MALUKU
JABODETABEK
PAPUA
NTB
NTT
Program Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center ini diterbitkan melalui program SNPK, yang bertujuan menyediakan data dan analisis kekerasan yang akurat dan cepat bagi pemerintah dan masyarakat sipil di Indonesia dalam mendukung penyusunan kebijakan dan program dalam bidang konflik yang berbasis data. Program ini didanai oleh The Korea Economic Transitions and Peacebulding Trust Fund dan diimplementasikan sejak 2012 melalui kerjasama antara The Habibie Center, Kedeputian I Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra), dan Bank Dunia. Sebagai bagian dari program SNPK, saat ini sedang dibangun database untuk mencatat seluruh insiden kekerasan yang terjadi di provinsi sasaran secara reguler. Database SNPK adalah milik Kemenkokesra, yang bisa diakses pada www.snpk-indonesia.com. Database ini untuk sementara mencakup tigabelas provinsi di Indonesia: Aceh, Lampung, Kalimantan Barat, kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Papua, Papua Barat, NTT, NTB dan Jabodetabek. Seperti ditunjukkan oleh penelitian-penelitian di bidang konflik sebelumnya, surat kabar lokal di Indonesia merupakan sumber informasi yang paling tepat untuk mengumpulkan data kekerasan secara sistematis dan kontinu. Mengikuti hal itu, SNPK membangun database menggunakan 49 surat kabar lokal di tigabelas provinsi sasaran, meski sumber-sumber lain juga dipergunakan secara rutin untuk proses verifikasi. Agar analisis data dapat berjalan maksimal, database menggunakan definisi kekerasan secara luas, yaitu: sebuah tindakan yang mengakibatkan dampak fisik secara langsung. Untuk setiap insiden kekerasan, sejumlah variabel kunci dicatat dalam database, termasuk: tanggal dan lokasi kejadian; dampak fisik terhadap manusia dan harta benda; pemicu dan bentuk kekerasan; aktor yang terlibat dan senjata yang digunakan; serta upaya penghentian kekerasan dan hasilnya. Kajian Perdamaian dan Kebijakan ini dipublikasikan oleh The Habibie Center secara berkala setiap 4 bulan sekali dengan tujuan menjelaskan tren dan pola baru yang muncul di provinsi sasaran program SNPK. Isi Kajian Perdamaian dan Kebijakan ini merupakan pandangan tim SNPK-The Habibie Center.
Ringkasan Eksekutif •
Program Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) mengamati secara sistematis dan kontinu Provinsi Aceh, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Jakarta - Bogor - Depok - Tangerang - Bekasi (Jabodetabek). Sebagai bagian dari program SNPK, Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center ini bertujuan menggambarkan tren kekerasan yang dipantau dalam periode September-Desember 2013 dan mengkaji isu konflik antarkelompok di Indonesia. Pada empat bulan terakhir tahun 2013 tercatat 2.977 insiden kekerasan yang menyebabkan 331 tewas, 2.346 cedera, 281 korban pemerkosaan, dan 526 bangunan rusak.1 Kekerasan pada empat bulan terakhir ini didominasi oleh Kriminalitas (58.7%), diikuti oleh Konflik Kekerasan (27.1%). Jenis kekerasan yang juga dipantau adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga/KDRT (7.5%) dan Kekerasan Aparat (6.5%). Di empat bulan terakhir tahun 2013 terdapat beberapa insiden yang menjadi sorotan dan penting untuk diperhatian yaitu berlanjutnya konflik lahan antarwarga di NTT dan demonstrasi yang berlangsung selama empat bulan silih berganti terjadi di daerah Jabodetabek seperti di Bekasi dan Tanggerang yang berakhir dengan insiden-insiden kekerasan. Di samping itu kekerasan dalam Pemilukada kembali terjadi di Aceh dan di Maluku Utara. Sedangkan di hari terakhir tahun 2013, terjadi baku tembak antara pihak kepolisian dan pihak yang ditengarai sebagai teroris di daerah Tanggerang Selatan, Banten yang mengakibatkan lima orang tewas. Secara umum di periode empat bulan terakhir ini konflik lahan (54%) masih mendominasi insiden-insiden yang terjadi dalam konflik sumber daya. NTT masih merupakan wilayah yang rawan konflik lahan dengan 14 insiden dan dampak 5 tewas, 24 cedera dan 142 bangunan rusak. Pada periode ini dampak kerusakan bangunan akibat konflik lahan di NTT menyumbang peningkatan keseluruhan dampak kerusakan bangunan dalam konflik sumber daya sebesar 123% dari periode sebelumnya. Konflik lahan yang memiliki dampak mematikan di NTT terkait sengeketa lahan batas desa terjadi di antara warga Wulublolon dan Warga Lohayong di Menanga, Solor Timur, Flores Timur. SNPK mencatat dua insiden di antara kedua desa tersbut yang menewaskan tiga orang, mencederai tujuh orang dan merusak 139 bangunan.
•
1 Angka ini berdasarkan data yang diunduh dari www.snpk-indonesia.com pada 19 Februari 2014 dan dapat berubah karena setiap bulannya dilakukan proses pemutakhiran data.
•
•
•
•
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
•
•
•
1
Selama empat bulan berturut-turut terjadi demonstrasi buruh terkait tuntutan kenaikan Upah Minimum Propinsi (UMP) di daerah Jabodetabek yang berujung dengan insiden kekerasan. Insiden kekerasan akibat kekerasan demonstrasi menuntut kenaikan UPM ini menyumbang cedera sebanyak 35.7% dari keseluruhan insiden kekerasan Tata Kelola Pemerintahan sebanyak 93 insiden dengan dampak 70 cedera dan 50 bangunan rusak. Insiden demonstrasi ini sebenarnya dapat diantisipasi karena di setiap bulan September-Desember menjadi agenda tahunan untuk menentukan permasalahan UPM ini. Kekerasan terkait Pemilukada kembali muncul di daerah Aceh untuk tingkat pemilihan kabupaten dan di Maluku Utara pada tingkat pemilihan Gubernur. SNPK mencatat terjadi total 11 insiden kekerasan dengan dampak 22 orang cedera dan tiga bangunan rusak dalam pemilukada di Kabupaten Pidie Jaya dan Kota Subulussalam di provinsi Aceh. Sedangkan, Pemilihan Gubernur yang berlangsung dua putaran di Maluku Utara tercatat mengakibatkan total 18 insiden kekerasan yang berdampak satu orang tewas, 27 cedera dan lima bangunan rusak. Data SNPK sendiri mencatat 58 insiden konflik pemilihan dan jabatan yang menewaskan satu orang, mencederai 88 orang dan 88 bangunan rusak dalam periode September-Desember 2013 ini. Di hari terakhir tahun 2013 terjadi insiden kekerasan terkait terorisme yang mengakibatkan enam angota kelompok tertuga teroris tewas. Insiden baku tembak antara pihak kepolisian dan kelompok terduga teroris ini terjadi di Ciputat, Tangerang Selatan. Insiden kekerasan ini juga terkait dengan tindak kriminalitas tujuh hari sebelumnya, 24 Desember 2013, dimana terjadi perampokan bank BRI dengan hasil rampasan sebesar 570 juta rupiah. Tindak kriminal ini diduga kuat terkait dengan gerakan kelompok teroris di Ciputat untuk membiayai operasi kelompok terduga teroris tersebut. Kajian Perdamaian dan Kebijakan kali ini memfokuskan fenomena konflik antarkelompok berbasis identitas sebagai isu utama. Berdasarkan data SNPK, konflik antarkelompok yang berkepanjangan di beberapa wilayah di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan pada tahun 2003. Akan tetapi, tren kekerasan cenderung meningkat pasca tahun 2005 dengan skala yang lebih kecil, terlokalisir, dan bersifat episodik. Ini menunjukan konflik-konflik antarkelompok berbasis identitas masih cukup potensial kembali terjadi di Indonesia Data SNPK juga menunjukkan pergeseran isu yang melatarbelakangi konflik antarkelompok pada periode The Habibie Center
•
•
•
•
•
2005-2013. Kekerasan pada masa konflik komunal berkepanjangan (1998-2004) dipicu oleh masalah antaragama dan antaretnik, sedangkan pada masa setelahnya kekerasan lebih banyak terjadi karena isu antarkampung dan antaretnik. Dari penelusuran data SNPK sepanjang 2005-2013, kekerasan terkait konflik antarkelompok berbasis identitas tercatat sebanyak 610 insiden yang mengakibatkan 182 tewas, 2.271 cedera, dan 1.916 bangunan rusak. Mayoritas dampak kekerasan konflik antarkelompok terjadi akibat insiden-insiden besar. Tak hanya itu, sebagian besar kekerasan antarkelompok terjadi dengan mobilisasi massa, seperti bentrokan dan kerusuhan. Berdasarkan data SNPK kekerasan antarkelompok berbasis identitas kerap dipicu oleh beberapa persoalan, yakni aksi balasan terhadap insiden-insiden kekerasan berskala kecil (penganiayaan, pengeroyokan, dan perkelahian) yang terjadi sebelumnya; respon atas aksi kriminalitas (seperti pencurian dan perampokan); penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap diskriminatif; persoalan harga diri, ketersinggungan, dan tindakan asusila/pelecehan; ketidakpuasan terhadap upaya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan. Jika dilihat persebaran wilayah, kekerasan antarkelompok berbasis identitas dominan terjadi di tiga provinsi, yakni Papua, NTB, dan Lampung. Intensitas insiden paling tinggi ada di Provinsi Papua dan NTB, sedangkan Provinsi Lampung menjadi wilayah yang rerata insiden dengan dampak tewas tertinggi jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain. Beberapa kasus penting terkait fenonema kekerasan antarkelompok berbasis identitas yang dibahas pada kajian ini adalah konflik antarsuku di Mimika, Papua, konflik antarkampung di Lombok Tengah, NTB, dan konflik multietnik di Lampung Selatan, Lampung. Dalam menganalisis kasus-kasus penting tersebut, tim peneliti SNPK-THC mengawali dengan analisis data SNPK tahun 2005-2013, kemudian didukung oleh studi pustaka, wawancara pakar dan aktivis, serta studi lapangan di Lombok Tengah dan Lampung Selatan pada awal Februari 2014. Dari beberapa kasus kekerasan di tiga wilayah (Papua, NTB, dan Lampung) tersebut, tim peneliti SNPK-THC mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh pada kekerasan, diantaranya Pertama, Faktor sosial-budaya, yakni adanya solidaritas mekanik yang kuat dan dendam mendalam, serta sterotype negatif di tengah kelompok masyarakat; Kedua, Faktor ekonomi, seperti persaingan akses terhadap sumber daya dan ketimpangan antarakelompok masyarakat; Ketiga, Faktor migrasi penduduk; Keempat, Faktor pola penanganan, seperti lambannya respon aparat pemerintahan dan upaya perdamaian tidak efektif. Persoalan struktural seperti kebijakan pemerintah juga turut mempengaruhi dinamika konflik antarkelompok. Tim peneliti SNPK-THC mengidentifikasikan dua kebijakan pemerintah yang penting diperhatikan terkait kebijakan pembangunan dan penanganan konflik.
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
•
•
Pertama, dari hasil studi tim SNPK-THC terdapat kebijakan-kebijakan pembangunan yang cenderung mengesampingkan dimensi kohesi sosial di dalam kelompok-kelompok masyarakat yang membuka peluang munculnya konflik di tengah masyarakat, seperti kebijakan transmigrasi di Lampung Selatan, Lampung, kebijakan diskriminatif terhadap lapangan pekerjaan di Lombok Tengah, NTB dan ketidakpekaan pemerintah terhadap arus migrasi penduduk menuju Mimika, Papua. Kedua, terkait kebijakan penanganan konflik di tingkat lokal. Dari hasil studi tim SNPK-THC, penanganan konflik masih sangat menitikberatkan pada upaya penghentian kekerasan. Padahal jika merujuk pada UU No.7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, aspek pencegahan dan pemulihan tidak bisa dilepaskan dari upaya penyelesaian konflik sosial di masyarakat Dari hasil studi tim SNPK-THC, kekerasan terkait konflik antarkelompok berbasis identitas perlu penanganan yang tepat dan komprehensif. Aspek pencegahan dan pemulihan konflik kekerasan antarkelompok perlu dikedepankan. Hal ini harus pula diikuti dengan upaya penegakan hukum yang tegas terhadap para pelaku kekerasan. Di samping itu, upaya penanganan konflik juga dapat didukung oleh keberadaan forumforum kemasyarakatan (representasi setiap elemen kelompok) yang bekerja optimal untuk meredam dan menyelesaikan konflik kekerasan antarkelompok. Tokohtokoh masyarakat (adat dan agama) juga harus dilibatkan untuk mengurangi potensi terjadinya kekerasan. Penyelesaian konflik yang juga tidak bisa dilepaskan dari upaya perbaikan strategi pembangunan di tingkat daerah. Tak hanya itu, upaya menghilangkan segregasi sosial di tengah kelompok masyarakat dapat menjadi solusi dalam penyelesaikan konflik. Upaya tersebut dapat dilakukan pemerintah dengan menghilangkan permukiman-permukiman warga berdasarkan identitas kelompok etnis tertentu dan menciptakan ruang-ruang publik yang dapat membuat kelompok-kelompok masyarakat dari beragam identitas (etnis, agama, dan desa/kampung) saling berinteraksi. ---
2
The Habibie Center
Bagian 1. Pola dan Tren Kekerasan di Tigabelas Provinsi
Gambar 2. Perbandingan Insiden dan Dampak Kekerasan di 13 Provinsi (Mei-Agustus dan September-Desember 2013)
Dalam periode empat bulan terkahir di tahun 2013 terdapat 2.977 insiden kekerasan dengan dampak 331 tewas, 2.346 cedera, 281 korban pemerkosaan, dan 526 bangunan rusak (Gambar 1).2 Sepanjang bulan September-Desember tersebut beberapa insiden kekerasan yang penting untuk diperhatikan adalah seperti terus berlanjutnya konflik lahan antarwarga di NTT. Pada periode ini isu perburuhan menjadi sorotan karena demonstrasi yang berlangsung selama empat bulan silih berganti terjadi di daerah Jabodetabek seperti di Bekasi dan Tanggerang yang berujung pada beberapa insiden kekerasan. Selain itu kekerasan dalam Pemilukada juga kembali terjadi di Aceh pada tingkat kabupaten dan di Maluku Utara pada pemilihan gubernur putaran kedua. Sedangkan di penghujung tahun 2013, terjadi baku tembak antara pihak kepolisian dan pihak yang ditengarai sebagai teroris di daerah Tanggerang Selatan, Banten yang mengakibatkan lima orang tewas.
Terakhir, korban cedera terkait konflik pemilihan dan jabatan mengalami kenaikan sebanyak 41%. Jumlah korban cedera pada kategori ini meningkat di bulan Oktober 2013 pada pemilihan bupati di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh dan di bulan November 2013 akibat konflik pemilihan gubernur putaran kedua di Maluku Utara.
Bila dibandingkan dengan periode empat bulan sebelumnya, data SNPK memperlihatkan penurunan tren insiden kekerasan, sekitar 5% pada bulan SeptemberDesember 2013 (Gambar 2). Semua dampak insiden kekerasan juga mengalami penurunan pada periode ini, kecuali dampak bangunan rusak yang melonjak 38% dari periode sebelumnya. Naiknya dampak bangunan rusak tersebut salah satunya disebabkan oleh bentrokan yang terkait sengketa lahan di NTT pada bulan November 2013 dengan dampak kerusakan 139 bangunan. Variasi peningkatan juga terjadi di beberapa isu lain seperti konflik identitas, dimana jumlah insidennya naik sekitar 22%. Kenaikan jumlah insiden ini disebabkan insiden kekerasan antarpelajar bertambah dua kali lipat lebih dari pada periode Mei-Agustus 2013 lalu.
Data SNPK membagi jenis kekerasan menjadi empat kategori, yaitu konflik kekerasan, kriminalitas, KDRT, dan kekerasan aparat (Tabel 1). Pada Periode SeptemberDesember 2013 ini kategori dengan insiden terbanyak adalah kriminalitas 58.7%, Konflik Kekerasan 27.1%, KDRT 7.5% dan Kekerasan Aparat 6.5%. Secara konsisten sepanjang tahun 2013 kekerasan didominasi oleh kriminalitas dan konflik kekerasan.
Gambar 1. Insiden dan Dampak Kekerasan di 13 Provinsi (Januari 2012-Desember 2013)
2 Sejak 20 Agustus 2013, database SNPK telah mencakup empat provinsi tambahan, yakni Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
3
The Habibie Center
1.a. Konflik Kekerasan
Tabel 1. Insiden dan Dampak Kekerasan Menurut Jenis Kekerasan di 13 Provinsi (September-Desember 2013) Jenis Kekerasan
Jumlah Insiden
Tewas Cedera Pemerkosaan Bangunan Rusak
Konflik
808
62
883
0
353
- Sumber Daya
109
13
100
0
181
93
0
70
0
50
58
1
88
0
13
- Identitas
121
17
106
0
67
- Main Hakim Sendiri
358
22
440
0
34
- Separatisme
8
6
26
0
3
- Lainnya
61
3
53
0
5
Kekerasan Aparat
194
25
205
1
0
- Tata Kelola Pemerintahan - Pemilihan dan Jabatan
Kriminalitas
Pada periode September-Desember 2013 data SNPK mencatat 109 insiden kekerasan terkait isu sumber daya dengan dampak 13 orang tewas, 100 cedera, dan 181 bangunan rusak. Dari total insiden tersebut, 62 insiden (57%) diantaranya terjadi karena konflik lahan. Sepanjang tahun 2013, sebagian besar konflik sumberdaya terjadi akibat konflik lahan (54%). Provinsi NTT merupakan wilayah yang kerap mengalami konflik lahan dan memiliki kecenderungan meningkat setiap tahunnya (Gambar 3). Sepanjang September-Desember ini tercatat 14 insiden konflik lahan dengan dampak lima tewas, 24 cedera dan 142 bangunan rusak. Konflik lahan di NTT ini mengakibatkan keseluruhan kerusakan bangunan dalam konflik sumber daya naik sebanyak 123% dari periode sebelumnya. Dari 14 insiden kekerasan akibat lahan di NTT, 12 diantaranya terjadi antara warga dan warga. Konflik lahan antarwarga di NTT biasanya terkait kepemilikan individu seperti lahan pertanian/garapan dan lahan domestik (tetangga, keluarga, dan warisan) serta konflik kepemilikan komunal seperti sengketa tanah ulayat dan batas wilayah desa. Faktor eksternal yang mendorong konflik kepemilikan baik individu maupun komunal adalah perubahan sosial ekonomi yang terjadi di NTT dan faktor kebijakan terkait lahan.3
Dampak Kekerasan
1.750
212
1.086
244
173
KDRT
225
32
172
36
0
Total
2.977
331
2.346
281
526
Dua insiden kekerasan akibat konflik lahan di NTT yang menjadi sorotan adalah bentrok antara warga Wulublolon dengan Warga Lohayong, di Menanga, Solor Timur, Flores Timur. Insiden di hari pertama, 4 November 2013, mengakibatkan satu orang cedera dan satu rumah terbakar. Insiden kembali terulang keesokan harinya, 5 November 2013, dengan dampak yang mematikan dimana tiga orang tewas, tujuh orang terluka dan 139 rusak akibat dibakar. Dalam bentrokan yang tejadi dua hari tersebut diketahui kedua belah pihak menggunakan senjata tajam yaitu parang, panah, dan bom rakitan.
Definisi Mengingat luasnya cakupan insiden kekerasan maka program SNPK menggunakan beberapa definisi penting untuk membedakan jenis kekerasan, yaitu: Konflik kekerasan adalah jenis kekerasan yang terjadi karena adanya sengketa yang melatarbelakangi atau diperselisihkan dan pihak tertentu yang menjadi sasaran. Definisi konflik kekerasan tersebut mencakup insideninsiden berskala kecil yang hanya melibatkan beberapa individu dan/atau insiden besar antarkelompok. Kriminalitas dengan kekerasan adalah insiden kekerasan yang terjadi tanpa adanya sengketa yang diperselisihkan sebelumnya dan target tertentu.
Insiden kekerasan antara warga Wulublolon dan Warga Lohayong merupakan sengketa lahan terkait kepemilikan komunal karena kedua desa saling klaim lahan di perbatasan kedua desa. Sengketa lahan antara kedua desa bertetangga tersebut sudah berlangsung semenjak 1970an dan sempat terjadi beberapa kali dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Permasalahan lahan juga pernah muncul tahun 2005 saat salah satu desa membangun gapura di batas desa yang disengketakan (Kompas, 7 November 2013). Pada tahun 2007 sengketa lahan batas desa antara warga Wulublolon dan warga Lahoyong kembali terjadi tetapi berhasil diredam. Namun demikian, menurut Matias Enay, ketua komisi B DPRD Flores Timur, redanya konflik antara kedua desa tersebut tidak dibarengi dengan penyelesaian sengketa lahan batas desa (Flores Pos, 6 November 2011). Tolan Herin, seorang
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah seluruh tindakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh anggota keluarga terhadap anggota keluarga lainnya, di mana anggota keluarga tersebut tinggal satu atap/satu rumah, termasuk di dalamnya kekerasan yang dilakukan anggota keluarga terhadap pembantu rumah tangga. Kekerasan aparat adalah seluruh tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan formal dalam merespon tindak kriminalitas. Tindakan tersebut termasuk kekerasan yang dianggap sesuai dengan atau melebihi wewenang mereka.
3 Lihat Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC Edisi 05/November 2013, hal 10.
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
4
The Habibie Center
buruh atas penetapan nilai UMP. Pihak buruh kemudian melakukan aksi demonstrasi seperti yang terjadi pada tiga insiden di Jabodetabek. Walaupun ketidakpuasan atas penetapan nilai UMP dapat diajukan buruh maupun pengusaha melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), pihak buruh masih melihat demonstrasi sebagai alat yang efektif untuk menyikapi penetapan UMP. Berbagai aksi demonstrasi buruh juga dapat diartikan sebagai kurangnya kepercayaan kepada mekanisme Dewan Pengupahan Propinsi dan upaya hukum ke PTUN. Di beberapa daerah kantong buruh terjadi demonstrasi buruh dalam bentuk aksi penutupan pintu tol Bitung, Curug, Tangerang, Banten. Massa buruh yang menolak hasil penetapan UMP melakukan aksi orasi sambil menuju jalan tol. Dalam demonstrasi tersebut massa juga melempari petugas kepolisian dengan batu. Merespon massa buruh yang mulai melakukan tindakan anarkis, petugas kepolisian menembakkan gas air mata sehingga membuat para demonstran berhamburan menghindar.
Gambar 3. Konflik Lahan di NTT dan Keterlibatan Aktor Warga di NTT (2009-2013)
tokoh di Solor mengatakan pada tahun 2011 nyaris pecah bentrokan antara warga Wulublolon dan Warga Lohayong namun berhasil dicegah oleh aparat Polri dan TNI (Kompas, 6 November 2013).
Kekerasan terkait penetapan UMP juga terjadi karena aparat keamanan kurang profesional dalam merespon aksi-aksi demonstrasi serikat buruh. Aparat keamanan yang seharusnya bertanggung jawab pada pengamanan demonstrasi buruh justru digantikan oleh organisasi kemasyarakatan yang menghadang dan mencegah demonstrasi buruh, seperti yang terjadi di daerah Bekasi pada 31 Oktober 2013. Ribuan massa buruh yang menginginkan kenaikan UMP sebesar Rp 3,7 juta bentrok dengan organisasi kepemudaaan Pemuda Pancasila. Setidaknya 10 orang terluka dalam insiden bentrokan tersebut. Setelah sempat berhenti, ribuan massa buruh yang sama melanjutkan aksi pada sore hari. Demonstrasi pada sore hari tersebut kembali memicu bentrokan karena massa buruh dihadang oleh para anggota Pemuda Pancasila. Pada bentrokan kedua ini terdapat 15 orang korban cedera. Pada akhirnya ketegangan yang berujung bentrokan terjadi bukan antara buruh dengan aparat keamanan namun bentrokan horizontal antara buruh dengan anggota organisasi kemasyarakatan. Munculnya aksi tandingan dari organisasi kemasyarakatan, Pemuda Pancasila, terhadap demo buruh harusnya menjadi peringatan bagi aparat keamanan untuk lebih memaksimalkan perannya dalam pengamanan demonstrasi dan mencegah munculnya bentrokan horizontal.
Tidak tuntasnya penanganan masalah batas wilayah kedua desa tersebut di tahun 2005, 2007, 2011 berpengaruh pada insiden bentrokan di November 2013. Berdasarkan analisis terhadap data SNPK periode 1999-2013 tentang sengketa perbatasan desa di NTT, tercatat 27 insiden terjadi dengan dampak sembilan tewas dan 77 cedera. Permasalahan administratif batas wilayah kerap terjadi di daerah lain di Kabupaten Flores Timur, seperti antara Desa Horowura dan Desa Lamahala. Permasalahan administratif wilayah desa ini terkait dengan tidak adanya pemetaan perbatasan desa di tingkat kecamatan dan desa, baik oleh Pemda maupun BPN Flores Timur.4 Selama kurun waktu September-Desember 2013 SNPK mencatat 93 insiden kekerasan Tata Kelola Pemerintahan dengan 70 orang cedera dan 50 bangunan rusak. Jumlah tersebut didominasi oleh insiden sengketa penetapan Upah Minimum Propinsi (UMP). Sebagai contoh, terdapat tiga insiden UMP di Jabodetabek dengan 25 orang cedera. Pada dasarnya UMP tiap tahunnya diputuskan antara bulan September-Desember oleh Gubernur melalui surat keputusan gubernur setelah mendengarkan usulan dari Dewan Pengupahan Propinsi. Karena UMP adalah agenda tahunan maka pemerintah beserta aparat keamanan pada dasarnya bisa mengantisipasi terjadinya tindakantindakan yang mengarah pada kekerasan.5
Data SNPK pada periode September-Desember 2013 mencatat 58 insiden konflik pemilihan dan jabatan yang mengakibatkan satu orang meninggal, 88 orang terluka, dan 13 bangunan rusak. Sebagian besar insiden kekerasan dalam kategori ini terkait dengan pemilihan kepala daerah di tingkat propinsi (24 insiden) dengan satu orang meninggal, dan pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten/kota (22 insiden). Propinsi Aceh dan Maluku Utara adalah dua daerah yang menyumbang paling banyak insiden terkait pemilihan dan jabatan dengan masingmasing 23 dan 14 insiden.
Pada kenyataanya insiden kekerasan terkait penetapan UMP tetap terjadi setiap menjelang ataupun setelah penetapan upah. Salah satu penyebabnya adalah ketidakpuasan para pihak terkait, baik pengusaha maupun 4 Lihat Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC Edisi 05/November 2013, hal 14 dan 16. 5 Anggota Dewan Pengupahan Provinsi terdiri dari pemerintah, perwakilan buruh, pengusaha dan pihak netral dari akademisi yang melakukan pengkajian atas Komponen Hidup Layak (KHL) yang terdiri atas 60 komponen sebagai dasar UMP.
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
5
The Habibie Center
Di Maluku Utara, pemilihan Gubernur berjalan dua putaran. Putaran pertama dilakukan pada 1 Juli 2013 dan putaran kedua dilakukan pada 31 Oktober 2013. Peningkatan jumlah insiden terjadi dari enam insiden dengan enam orang luka dan lima bangunan rusak di putaran pertama, menjadi 12 insiden dengan satu korban tewas dan 21 korban luka-luka di putaran ke dua.
persaingan yang ketat antara calon legislatif memunculkan ketegangan dan gesekan antara calon dan juga partai pengusung calon. Data SNPK mencatat bahwa insiden kekerasan yang terjadi didominasi kekerasan terkait partai lokal yaitu Partai Aceh (PA) dan Partai Nasional Aceh (PNA). Sebagai contoh, insiden perusakan tiang, penurunan, dan perobekan bendera PNA oleh orang yang tidak dikenal di Hotel Lido Graha Lhokseumawe, Desa Blang Kandang, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe, Aceh, pada 16 September 2013. Massa yang terdiri dari 300 orang juga melakukan perusakan terhadap 50 bendera PA di Desa Batuphat Timur, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe, Nangroe Aceh Darussalam pada 19 Desember 2013. Di sisi lain, persaingan juga terjadi antara partai lokal dan partai nasional seperti insiden di Kecamatan Simpang Ulim, Langsa, Aceh, dimana spanduk milik calon anggota legeslatif dari Partai Nasional Demokrat dirusak oleh orang tak dikenal pada 11 September 2013. Perusakan juga terjadi dilakukan oleh orang yang tidak dikenal terhadap baliho calon leglislatif dari partai PAN dan Partai Aceh yang diduga dilakukan oleh lawan politiknya pada 19 Desember 2013
Pemilihan Gubernur Maluku Utara putaran pertama diikuti oleh enam pasang kandidat. Empat kandidat di antaranya merupakan mantan bupati/walikota yang sudah dua kali menjabat Namto Hui Roba (Halmahera Barat), Ahmad Hidayat Mus (Sula), Samsir Andily (Ternate), dan Hein Namotemo (Halmahera Utara). Dua kandidat lainnya, Abdul Gani Kasuba dan Muhajir Albaar, adalah mantan wakil gubernur dan sekretaris daerah kota Ternate. Pemilihan Gubernur di Maluku Utara kali ini memberi ruang yang luas bagi pertarungan antarkandidat karena gubernur sebelumnya sudah menjabat dua periode dan tidak bisa mencalonkan diri lagi. Tidak adanya pemenang pada putaran pertama berkontribusi pada insiden kekerasan yang muncul pada putaran kedua. Hal ini terlihat jelas dari meningkatnya jumlah insiden kekerasan pada pilihan putaran kedua. Pendukung setia para kandidat pada pemilihan pertama, yang sebagian masih belum bisa menerima keputusan KPUD, harus segera memilih menjadi pendukung salah satu dari dua kandidat putaran kedua. Pertarungan yang terbagi rata antara enam kandidat pada pilihan pertama mengerucut pada dua pasang kandidat pada pemilihan putaran kedua. Hal ini menjadikan ketegangan meningkat di antara dua kubu pasangan dan terkadang berakhir dengan insiden kekerasan. Terlebih lagi pada pemilihan putaran kedua, salah satu pasangan kandidat, Abdul Gani Kasuba-Muhammad Natsir Thaib, tidak menerima keputusan KPUD yang memenangkan pasangan Ahmad Hidayat Mus–Hasan Doa. Mereka mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi yang kemudian memutus pemilihan ulang untuk delapan kecamatan di wilayah Kabupaten Sula yang merupakan daerah asal Ahmad Hidayat Mus.
Selama periode September-Desember 2013 konflik terkait identitas terjadi sebanyak 121 insiden yang mengakibatkan 17 tewas, 106 cedera, dan 67 bangunan rusak. Peningkatan jumlah insiden selama periode ini disebabkan bertambahnya kekerasan antarpelajar, terutama di bulan September sebanyak 21 insiden dan Oktober sebanyak 11 insiden, dibandingkan dengan total 17 insiden yang terjadi di empat bulan sebelumnya.6 Dalam pantauan SNPK selama tahun 2013, insiden kekerasan pelajar paling sering terjadi di Jabodetabek (57%). Di bulan Oktober 2013, penggunaan air keras dalam kekerasan antar pelajar menjadi fokus perhatian. Setidaknya tiga insiden penyiraman air keras tercatat dengan dampak 17 orang cedera di bulan tersebut. Di Kampung Melayu, Jakarta Timur, pada 4 Oktober 2013, dua orang pelajar melemparkan air keras kepada pelajarpelajar dari sekolah lainnya yang berada di bus kota dan mengakibatkan 13 orang mengalami luka bakar. Pelaku utama yang berasal dari SMK Boedi Oetomo mengakui dendam dengan pelajar yang berasal dari SMK Karya Guna karena pernah disiram dengan air keras setahun yang lalu. Hal ini mendorong pelaku menggunakan metode yang sama untuk membalas dendam kepada para pelajar dari SMK Karya Guna tersebut (Kompas, 7 Oktober 2013). Insiden kekerasan ini sangat disayangkan karena dari ketigabelas korban yang terkena air keras tidak hanya pelajar yang menjadi target sasaran tetapi juga mengenai penumpang lain salah satunya adalah seorang wanita (www.metro.sindonews.com, 4 Oktober
Di Aceh insiden kekerasan terkait dengan konflik pemilihan dan jabatan di tingkat kabupaten/kota berjumlah 11 kejadian dengan 22 orang cedera dan tiga bangunan rusak. Angka tersebut disumbangkan oleh insiden pemilihan bupati/walikota di Pidie Jaya dan Kota Subulussalam. Semestara itu, insiden kekerasan pemilihan dan jabatan tingkat propinsi berjumlah 10 kejadian dengan satu orang cedera. Insiden tersebut banyak terkait dengan persaingan antarkandidat dan antarpartai dalam pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Insiden kekerasan yang terjadi berupa perusakan baliho foto kandidat, bendera, dan spanduk. Aceh adalah satu-satunya daerah yang memiliki lebih banyak partai peserta Pemilu dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Adanya partai lokal ditambah 12 partai nasional memberi peluang yang banyak pada jumlah kandidat anggota legislatif. Tingkat Kajian Perdamaian dan Kebijakan
6 Tim SNPK-THC juga mengamati kasus kekerasan pelajar ini pada periode Januari-April 2013, dimana terpantau 28 insiden kekerasan dengan korban tewas 2 orang dan 30 orang cedera di daerah Jabodetabek. Lihat Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC Edisi 04/Agustus 2013, hal 6. 6
The Habibie Center
anak muda yang mengendarai sepeda motor dengan knalpot yang bising di Jalan Trikora, Mimika Baru, ditegur oleh kelompok anak muda lainnya. Karena tidak terima ditegur kedua kelompok pemuda tersebut bentrok dan saling lempar batu dan panah. Peristiwa ini membesar saat salah satu anggota kelompok yang berasal dari warga suku Amungme terkena panah. Akibatnya, warga Amungme mendatangi kelompok pemuda yang berada di lokasi yang merupakan wilayah suku Kei. Bentrokan tidak dapat dihindari hingga berlanjut dengan pembakaran rumah. Insiden tersebut memperlihatkan bagaimana sebuah insiden kecil dapat bereskalasi menjadi besar dan melibatkan kelompok masyarakat yang berbeda secara etnik. Oleh karena itu, intervensi untuk menghentikan kekerasan berskala kecil semacam itu sangat penting dilakukan agar tidak meluas dan mengakibatkan kerugian yang lebih besar.
2013). Para penumpang yang tersiram air keras ini mengalami luka bakar pada wajah dan anggota tubuh lainnya.7 Untuk konflik identitas lain akan dibahas di bagian kedua terutama kekerasan antarkelompok seperti konflik antarsuku di Papua, konflik antarkampung di NTB, dan konflik multi etnik di Lampung. Isu terorisme kembali menjadi sorotan penting di hari terakhir tahun 2013. Pada 31 Desember 2013 terjadi aksi baku tembak antara para anggota Densus 88 dengan terduga kelompok teroris yang mengakibatkan enam orang anggota kelompok tersebut terbunuh. Pihak kepolisian mengklaim penggerebekan yang berakhir dengan baku tembak tersebut dikembangkan dari informasi intelijen dan pelacakan terkait kasus teror sebelumnya, yaitu peledakan bom di Vihara Ekayasa dan penembakan polisi (www.voaindonesia.com, 1 Januari 2014).8 Densus 88 akhirnya berhasil mengungkap kelompok teroris di Ciputat ini setelah berhasil menangkap dan mendapatkan informasi dari AN terduga teroris di di Kemrajen, Banyumas, Jawa Tengah. Tim khusus anti teror ini akhirnya berhasil menemukan kelompok terduga teroris di Gang Haji Hasan, Desa Sawah, Kec. Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten. Ada dugaan kuat bahwa kelompok teroris di Ciputat ini berada di bawah garis komando Abu Roban karena ditemukannya sejumlah besar uang yang diduga diberikan oleh jaringan Abu Roban untuk mendukung kelompok teroris Ciputat tersebut (www.kompas.com, 1 Januari 2014). Sejumlah uang yang ditemukan tersebut juga disinyalir merupakan hasil perampokan Bank BRI di Tangerang oleh jaringan kelompok yang sama beberapa waktu sebelumnya (Lihat bagian 1.b Kriminalitas).
1.b. Kriminalitas, KDRT, dan Kekerasan Aparat Empat bulan terakhir tahun 2013 tercatat 1.750 insiden kriminalitas berakibat 212 tewas, 1.086 korban cedera, dan 173 bangunan rusak. Sepanjang 2013 ini terjadi penurunan insiden kriminalitas dari awal tahun sampai dengan akhir tahun. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan periode empat bulan sebelumnya, jumlah korban tewas meningkat 3,5% dan kerusakan bangunan meningkat 99%, sedangkan untuk dampak cedera menurun 9,2%. Insiden kriminalitas masih didominasi oleh penganiayaan (60%) dan perampokan (24.5%). Salah satu insiden perampokan penting terkait dengan serangkaian aksi teror terjadi di Tangerang Selatan. Pada 24 Desember 2013, enam orang terduga teroris merampok Bank BRI untuk mendanai aktivitas kelompok teroris. Aksi perampokan ini berhasil merampas uang 570 juta rupiah setelah melumpuhkan anggota satuan pengaman (Satpam) dan dua karyawan bank. Ada dugaan bahwa perampokan tersebut kemudian berkaitan dengan baku tembak antara Densus 88 dengan kelompok teroris di Ciputat pada 31 Desember 2013.
Dalam kategori main hakim sendiri, data SNPK mencatat 358 insiden kekerasan dengan dampak 22 tewas, 440 cedera, dan 34 bangunan rusak. Bentuk kekerasan main hakim sendiri yang menonjol di periode ini adalah pengeroyokan (92%) dan bentrokan (5%). Insiden pengeroyokan akibat pencurian sebanyak 215 insiden dan mengakibatkan 13 orang tewas dan 266 orang cedera. Pengeroyokan sering terjadi sebagai respon korban terhadap pelaku penghinaan. Setidaknya terdapat 60 insiden dengan tiga korban tewas serta 73 orang cedera akibat pengeroyokan tersebut. Pada periode ini penting juga dicatat beberapa insiden bentrokan sebagai respon atas penghinaan, salah satunya terjadi di Mimika, Papua. Insiden tersebut mengakibatkan tiga cedera dan 16 bangunan rusak. Insiden ini bermula saat sekelompok
Kekerasan dalam KDRT dalam empat bulan terakhir ini terjadi sebanyak 225 insiden dengan dampak kematian 32 orang dan korban cedera 172 orang. Hampir seluruh kekerasan KDRT yang terjadi pada periode ini adalah penganiayaan (99.5%). Dari 31 insiden yang menyebabkan 32 kematian, data SNPK mencatat bahwa 20 korban tewas adalah penganiayaan atau pembunuhan terhadap bayi dan anak-anak yang dilakukan oleh orang tua. Selain itu, data juga mencatat lima korban tewas akibat suami menganiaya istri, tiga korban tewas karena istri membunuh suaminya, dan masing-masing dua korban tewas akibat pertengkaran antara saudara kandung dan anak menganiaya orang tua.9
7 Kejadian serupa terjadi di Kemayoran, Jakarta Pusat dimana 12 pelajar menggunakan air keras menyerang 4 pelajar lainnya yang merupakan musuh dari sekolahnya. Akibat penyerangan ini keempat pelajar tersebut mengalami luka bakar dan satu diantaranya mendapatkan luka robek karena mencoba menghindari penyerangan. Hal ini berulang kembali pada 20 Oktober 2013, dimana tawuran antar pelajar SMK Bhara Trikora dengan lawannya mengunakan air keras dan senjata tajam. 8 Tim THC-SNPK pada periode Mei-Agustus 2013 sebelumnya telah mengidentifikasi setidaknya tiga insiden kekerasan yang dilakukan terduga kelompok teroris terhadap pihak kepolisian. Lihat Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC Edisi 05/November 2013, hal 7.
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
9 Data ini sesuai dengan data dalam Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2012, dari 12.649 kasus yang masuk dari lembaga mitra pengada layanan, kekerasan yang terjadi di ranah personal tercatat 66% atau 8.315 kasus. Ranah personal artinya pelaku adalah orang yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun relasi intim (pacaran) dengan korban. 7
The Habibie Center
Pada periode ini tercatat 194 insiden dengan 25 orang tewas dan 205 orang cedera dalam kategori kekerasan aparat. Jumlah insiden tersebut meningkat 19% dibanding periode sebelumnya. Dari 25 orang yang tewas, 11 insiden dengan 13 korban tewas terjadi karena pelaku tindak kejahatan melawan aparat keamanan dalam proses penangkapan. Sedangkan 12 insiden lainnya dengan 12 korban tewas terjadi karena lari dari pencurian (tujuh tewas), kurir narkoba (dua tewas), perampokan (dua tewas), dan bentrokan dalam penggerebekan perjudian (satu tewas). Insiden kekerasan aparat kemanan paling sering terjadi di wilayah Jabodetabek (36.5%), Lampung (10.8%), NTB (10.8), dan Aceh (9.2%).
Gambar 4. Jumlah Insiden Kekerasan Komunal Terkait Isu Identitas Periode 1998-2013
insiden konflik kekerasan yang dilatarbelakangi oleh isu masyarakat lokal dengan pendatang memang tidak banyak tercatat. Walaupun demikian, persoalan ini penting diperhatikan karena cenderung berskala besar dan bersifat mematikan.
Bagian 2. Kekerasan Antarkelompok di Indonesia Pengantar Di awal transisi rezim Orde Baru menuju Reformasi, konflik komunal berkepanjangan terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, seperti di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah. Deeskalasi kekerasan di beberapa wilayah tersebut sangat signifikan ketika serangkaian perjanjian damai yang difasilitasi pemerintah disepakati oleh para pihak yang berkonflik.
Beberapa kasus penting yang menjadi sorotan publik, seperti kerusuhan bernuansa etnis yang melibatkan etnik Bali di Balinuraga dan etnik lokal di Lampung Selatan tahun 2012. Kekerasan serupa terjadi di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat tahun 2013 yang melibatkan kelompok masyarakat lokal dengan etnik Bali. Selain itu, serangkaian bentrokan antarkampung terus terjadi, seperti antara masyarakat Nunu dan Tavanjuka di Palu, Sulawesi Tengah atau antara kampung Toboko dan Mangga Dua di Ternate, Maluku Utara.
Keberhasilan menghentikan kekerasan berkepanjangan tersebut tidak serta merta menghilangkan potensi munculnya kembali kekerasan. Laporan Pembangunan Dunia 2011 (The World Development Report) mengatakan bahwa negara-negara yang sebelumnya pernah mengalami kekerasan panjang akan cenderung menghadapi tantangan siklus kekerasan berulang (cycle of repeated violence).10 Di dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa bentuk konflik dan kekerasan baru dapat mengancam jalannya pembangunan. Konflik-konflik komunal berbasis identitas masih cukup potensial kembali terjadi di Indonesia. Berdasarkan data SNPK, konflik komunal berkepanjangan di beberapa wilayah di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan pada tahun 2003. Akan tetapi, tren kekerasan cenderung meningkat pasca tahun 2005, walaupun dengan skala yang lebih rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa ketika konflik komunal berkepanjangan berangsurangsur menurun, konflik dengan skala yang lebih kecil, terlokalisir, dan bersifat episodik mengalami peningkatan (Gambar 4).
Gambar 5. Perbandingan Insiden Kekerasan Komunal Terkait Isu Identitas Periode 1998-2004 dan 2005-2013
Bagian kedua Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center kali ini akan membahas lebih mendalam fenomena kekerasan antarkelompok masyarakat (communal violence) berbasis identitas, khususnya konflik antaretnik, konflik antarkampung, dan konflik antarmasyarakat lokal dan pendatang. Beberapa kasus penting, faktor-faktor yang berkontribusi terhadap munculnya kekerasan serta aspek-aspek kebijakan terkait persoalan tersebut akan diuraikan dalam bagian-bagian selanjutnya.
Selain perubahan dari skala dan sifat kekerasan, data SNPK juga menunjukkan pergeseran isu yang melatarbelakangi konflik pada kedua periode tersebut. Kekerasan pada masa konflik komunal berkepanjangan dipicu oleh masalah antaragama dan antaretnik, sedangkan pada masa setelahnya kekerasan lebih banyak terjadi karena isu antarkampung dan antaretnik (Gambar 5).11 Insiden10 Lihat World Development Report 2011 11 Jika ditelusuri lebih jauh, data SNPK sepanjang 2005-2013 mencatat insiden-insiden kekerasan komunal berbasis agama dominan (88%) terjadi di Provinsi Maluku, khususnya di Kota Ambon. Tim SNPK-THC telah membuat kajian mendalam untuk fenomena kekerasan tersebut melalui studi tematik yang
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
berjudul “Segregasi, Kekerasan, dan Kebijakan Rekonstruksi Pasca-Konflik di Ambon” dan akan dipublikasikan pada Maret 2014.
8
The Habibie Center
Gambar 7. Perbandingan Insiden dan Dampak Kekerasan Antarkelompok Periode 2005-2013
Gambar 6. Insiden dan Dampak Kekerasan Antarkelompok Berbasis Identitas Periode 2005-2013
wilayah yang kerap terjadi kekerasan antarkelompok berbasis identitas bukanlah wilayah yang dahulu pernah mengalami konflik berkepanjangan, seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah.
Potret Kekerasan Antarkelompok di Indonesia Data SNPK tahun 2005-2013 menunjukan tren kekerasan antarkelompok berbasis identitas cenderung mengalami peningkatan (Gambar 6). Dalam periode tersebut, data SNPK mencatat 610 insiden kekerasan antarkelompok yang mengakibatkan 182 tewas, 2.271 cedera, dan 1.916 bangunan rusak.
Tabel 2. Bentuk Kekerasan Antarkelompok di Tiga Belas Provinsi Periode 2005-2013
Potret konflik antarkelompok menunjukan mayoritas dampak kekerasan terjadi akibat insiden-insiden besar.12 Dari analisis terhadap data SNPK 2005-2013, insideninsiden besar terjadi sebanyak 79 insiden atau sekitar 13% dari total insiden kekerasan. Insiden-insiden besar tersebut menyumbang lebih dari setengah dari total dampak kekerasan, yakni 65% tewas, 71% cedera, dan 84% bangunan rusak (Gambar 7). Gambaran data tersebut menunjukan bahwa meskipun jumlah insiden-insiden besar relatif sedikit, namun dampak yang ditimbulkan besar. Lebih lanjut, sebagian besar konflik antarkelompok terjadi dengan mobilisasi massa, seperti bentrokan dan kerusuhan (Tabel 2). Jika ditelusuri lebih jauh, rata-rata setiap satu insiden dapat mengakibatkan empat korban cedera dan bangunan rusak serta tiga insiden mengakibatkan satu orang tewas dan. Dampak tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan bentuk insiden lainnya. Di samping itu, hampir 20% insiden dengan pengerahan massa juga melibatkan penggunaan senjata api dan bom rakitan.
Insiden
Tewas
Cedera
Bangunan Rusak
Mobilisasi Massa (Kerusuhan dan Bentrokan
461
145
2.148
1.843
Penganiayaan
62
24
66
12
Perusakan
38
0
15
48
Pengeroyokan
23
10
25
2
Perkelahian
11
3
4
3
Serangan Teror
7
0
0
6
Demonstrasi
4
0
3
2
Sweeping
3
0
10
0
Blokade Total
1
0
0
0
610
182
2.271
1.916
Berdasarkan data SNPK kekerasan antarkelompok berbasis identitas kerap dipicu oleh beberapa persoalan. Pertama aksi balasan terhadap insiden-insiden kekerasan berskala kecil (penganiayaan, pengeroyokan, dan perkelahian) yang terjadi sebelumnya. Tak jarang pula, insiden-insiden berskala kecil tersebut menjadi pemicu bagi kekerasan yang lebih besar, seperti bentrokan dan kerusuhan. Kedua, respon atas aksi kriminalitas, seperti pencurian dan perampokan, yang diduga dilakukan oleh orang-orang dari wilayah atau kampung lain. Hal tersebut acapkali mendorong bentrokan antara masyarakat desa/kampung yang saling bertetangga. Ketiga, penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap diskriminatif yang cenderung dilakukan dengan aksi kekerasan.14 Keempat,
Data SNPK 2005-2013 menunjukan bahwa kekerasan antarkelompok berbasis identitas dominan terjadi di beberapa provinsi, seperti Papua, NTB, dan Lampung (Gambar 8). Intensitas insiden paling tinggi ada di Provinsi Papua dan NTB, sedangkan Provinsi Lampung menjadi wilayah yang rerata insiden dengan dampak tewasnya tertinggi jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain.13 Gambaran data tersebut menunjukan bahwa wilayah12 Data SNPK menyediakan fasilitas untuk menganalisis kekerasan-kekerasan yang terjadi dalam kategori insiden besar (large incidents). Kategori insiden besar adalah insiden yang mengakibatkan setidaknya tiga tewas dan/atau 10 cedera dan/atau 15 bangunan rusak. 13 Data SNPK mencatat nilai rerata insiden dengan dampak terbesar di Provinsi Lampung adalah 1,8. Angka tersebut menunjukan bahwa rata-rata satu insiden kekerasan antarkelompok di Provinsi Lampung mengakibatkan 1,8 orang tewas.
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
Bentuk Kekerasan
14 Seperti serangkaian aksi kekerasan sebagai respon penolakan pembangunan “Patung Naga” di Pusat Kota Singkawang, Kalimantan Barat yang dilakukan oleh kelompok Melayu (termasuk FPI setempat) pada tahun 2010. Bahkan di beberapa insiden, kekerasan tidak lagi melibatkan kelompok Melayu dan pemerintah setempat, melainkan meluas menjadi antara kelompok pro-pembangunan patung tersebut yang diwakili kelompok Tionghoa dan Dayak dan kelom9
The Habibie Center
Gambar 8. Insiden dan Dampak Kekerasan Antarkelompok di 13 Provinsi Periode 2005-2013
Gambar 9. Insiden dan Dampak Kekerasan Antarkelompok Suku di Mimika, Papua Periode 2006-2013
persoalan harga diri, ketersinggungan, dan tindakan asusila/pelecehan. Hal ini kerap terjadi dalam hubungan antarindividu antara masyarakat yang berbeda secara identitas, namun acapkali meluas menjadi isu komunal ketika informasi tersebut disebarluaskan ke kelompok masyarakat. Persoalan tersebut semakin pelik ketika tindakan-tindakan penghinaan atau pelecehan dilakukan oleh anggota masyarakat dari kelompok identitas (etnik atau kampung) yang memiliki riwayat konflik dengan kelompok lainnya. Kelima, ketidakpuasan terhadap upaya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan. Hal-hal tersebut kerap memicu aksi-aksi kekerasan dalam waktu panjang.15
Konflik antarsuku di Papua Kekerasan antarkelompok masyarakat berbasis identitas merupakan permasalahan krusial di Papua. Data SNPK sepanjang tahun 2006-2013 mencatat 116 insiden kekerasan yang mengakibatkan 88 tewas, 1.358 cedera, dan 75 bangunan rusak. Dari jumlah tersebut, sebagian besar insiden dan dampak terkait dengan kekerasan etnik/suku, yakni 107 insiden, 74 tewas, 1.157 cedera, dan 60 bangunan rusak. Jika dilihat persebaran wilayah, konsentrasi kekerasan berada di Kabupaten Mimika, khususnya Kecamatan Kuala Kencana, Mimika Baru, dan Tembagapura. Di Kabupaten tersebut tercatat 98 insiden yang mengakibatkan 70 tewas, 999 cedera, dan 58 bangunan rusak.
Gambaran Kasus Kekerasan Antarkelompok
Dalam kurun waktu delapan tahun terakhir, data SNPK mencatat kekerasan antarkelompok suku terus terjadi dengan intensitas yang beragam (Gambar 9). Pada tahun 2013 tujuh insiden terjadi yang mengakibatkan sembilan tewas, 11 cedera, dan enam bangunan rusak.
Beberapa kasus penting dibahas dalam kajian perdamaian dan kebijakan ini. Hal ini bertujuan untuk memperkuat analisis terhadap fenonema kekerasan antarkelompok berbasis identitas, terutama faktor-faktor yang berkontribusi terhadap munculnya kekerasan tersebut. Berdasarkan data SNPK 2005-2013, tiga wilayah yang penting untuk dibahas secara mendalam terkait kekerasan antarkelompok adalah Papua (konflik antarsuku), NTB (konflik antarkampung), dan Lampung (konflik multietnik). Jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah pantauan SNPK lain, ketiga wilayah tersebut menyumbang sebagian besar insiden dan dampak kekerasan antarkelompok (Gambar 9). Kajian kekerasan antarkelompok ini diawali dengan analisis data SNPK tahun 2005-2013, kemudian didukung oleh studi pustaka, wawancara pakar dan aktivis, serta studi lapangan di Lombok Tengah dan Lampung Selatan pada awal Februari 2014.16
Jika ditelusuri lebih jauh, kekerasan antarkelompok berbasis identitas di Kabupaten Mimika seringkali melibatkan masyarakat yang berasal dari suku-suku asli di Papua, seperti suku Dani, suku Amungme, suku Kamoro, suku Damal, suku Nduga, suku Moni, dan suku Mee. Kasus kekerasan terus berulang di sejumlah wilayah, seperti kekerasan antara kelompok suku Dani dari Kampung Harapan/Atas dan suku Amungme dari Kampung Amole/ Bawah di wilayah Mimika Baru; warga suku Amungme dari Kampung Banti dan suku Dani yang mendiami Kampung Kimbeli di wilayah Tembagapura; dan warga suku DaniNduga dan Amungme-Damal di wilayah Kuala Kencana. Keberadaan kelompok-kelompok suku asli Papua yang bermukim di Kabupaten Mimika tidak dapat dilepaskan dari adanya arus migrasi yang cukup besar. Migrasi ini dilakukan oleh orang asli Papua yang banyak berasal dari daerah pegunungan (misalnya suku Dani dari Wamena dan suku Damal dari Lembah Baliem) menuju Mimika yang mulai meningkat semenjak 1980an hingga kini.17
pok kontra-pembangunan, yakni kelompok Melayu. 15 Lihat Kajian Perdamaian dan Kebijakan THC Edisi 3/April 2013 16 Khusus kasus Papua, kajian dilakukan melalui studi literatur dan wawancara informan penting (seperti peneliti dan aktivis) di Jakarta karena kekerasan antarkelompok di Papua telah dikaji oleh beberapa lembaga, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Papua Center UI, dan juga Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Unika Atmajaya Jakarta.
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
17 Tak hanya orang asli Papua, para pendatang non-Papua (seperti orang dari Pulau Kei, Maluku Tenggara) juga menjadikan Mimika sebagai tujuan migrasi mereka.
10
The Habibie Center
Faktor ekonomi menjadi salah satu alasan perpindahan penduduk tersebut dimana keberadaan aktivitas perusahaan pertambangan PT. Freeport Indonesia dengan segala fasilitas pendukungnya turut mendorong migrasi penduduk asli Papua ke Mimika. Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukan bahwa jumlah penduduk meningkat sekitar 4% setiap tahun dan Kecamatan Mimika Baru menjadi wilayah yang paling padat. Data BPS Kabupaten Mimika juga mencatat bahwa peningkatan jumlah penduduk di Mimika lebih dipengaruhi faktor migrasi dibandingkan angka kelahiran dan kematian. Fenomena migrasi tersebut yang mengubah komposisi kelompok suku di Mimika, tidak lagi didominasi suku-suku asli Mimika (seperti suku Amungme dan Kamoro), namun juga kelompok-kelompok suku pendatang. Secara perlahan, konflik antara kelompok-kelompok suku (lokal-pendatang atau sesama pendatang) terjadi di Mimika, bahkan kerap berujung pada munculnya kekerasan.
sebagian warga suku Dani menolak, sedangkan warga yang lain (termasuk keluarga korban tewas) telah menyetujui. Di pihak lain, kelompok warga Amungme sepakat untuk melakukan perdamaian. Akhirnya, setelah negosiasi yang cukup alot pada Rabu sore (6 Juni 2012) kedua kelompok yang bertikai bersedia berdamai dengan mediasi dari pihak kepolisian dengan melakukan ritual patah panah.19 Namun, perdamaian tersebut tidak mampu menghentikan munculnya kembali kekerasan. Tokoh suku Amungme, Yoel Yolamal, mengatakan konflik sulit dihindari karena korban tewas hanya berasal dari pihak suku Dani (tempo. co, 18 Juni 2012). Bentrokan antarkedua kelompok kembali terjadi pada 13 Juni 2012. Insiden tersebut mengakibatkan 11 warga suku Dani dan 10 warga suku Amungme mengalami cedera. Pihak kepolisian berhasil menghentikan bentrokan dengan menembakkan gas air mata ke arah dua kelompok warga. Pasca-bentrokan tersebut kedua belah pihak warga masih berjaga-jaga di wilayah perbatasan kampung dengan tetap melakukan upaya provokasi kepada musuh mereka ketika pihak kepolisian mengendurkan pengamanan. Selang dua hari (15 Juni 2012), bentrokan kembali terjadi di lokasi yang hampir sama, yakni sekitar perbatasan kedua kampung. Insiden tersebut mengakibatkan 12 cedera dari kedua belah pihak. Pasca-bentrokan tersebut, pengerahan personil Kepolisian Resor Mimika terus dilakukan, namun tidak mampu menghentikan mobilisasi massa yang semakin massif. Bentrokan besar pun tak terelakkan pada 18 Juni 2012. Tiga orang tewas dan 11 cedera akibat insiden tersebut. Pada insiden ini, seorang warga dan anak salah satu tokoh suku Damal tewas terkena panah.20 Bentrokan besar tersebut memicu empat insiden beruntun yang terjadi pada 20, 21, 22, 23 Juni 2012. Akhirnya, rentetan insiden kekerasan tersebut berhenti setelah dilakukan kesepakatan damai antara kedua belah pihak (terutama keluarga korban tewas) yang dijembatani oleh pemerintah daerah dan DPRD Mimika, kepolisian, berbagai tokoh adat serta para pemuka agama pada 25 Juni 2012. Kesepakatan damai tersebut diikuti oleh ritual adat, seperti belah kayu adat, patah panah, dan pemanahan terhadap babi yang dilakukan oleh perwakilan kelompok yang bertikai.
Salah satu kasus penting konflik antarsuku, yakni rangkaian insiden kekerasan yang terjadi pada Juni 2012, dimana sembilan insiden bentrokan18 terjadi hampir selama satu bulan yang melibatkan kelompok suku Dani dari kampung Harapan/Atas dan suku Amungme dari kampung Amole/ Bawah. Rangkaian insiden tersebut mengakibatkan lima tewas, 192 cedera, dan dua bangunan rusak. Bentrok antarwarga dua kelompok suku ini dipicu oleh tewasnya salah satu warga suku Dani dari Kampung Harapan bernama Rony Ongomang dalam kecelakaan lalu lintas pada 21 Mei 2012. Kecelakan lalu lintas tersebut diduga melibatkan warga Amungme dari Kampung Amole (tempo. co, 6 Juni 2012). Kelompok suku Dani menduga kematian Rony Ongomang bukan akibat kecelakaan lalu lintas, melainkan karena dibunuh oleh warga suku Amungme. Informasi tersebut kemudian meluas di kalangan warga suku Dani sehingga mereka mulai mempersenjatai diri dengan panah. Di pihak lain, warga suku Amungme juga sudah mempersenjatai diri ketika mendapatkan informasi bahwa warga suku Dani hendak melakukan penyerangan. Bentrokan antara dua kelompok ini pun pecah pada 2 Juni 2012 di daerah perbatasan kedua kampung yang mengakibatkan seorang warga suku Dani tewas, yakni Demianus Ongomang dan 13 cedera. Kematian Demianus Ongomang semakin membuat amarah warga suku Dani memuncak. Perdamaian lewat ritual adat (seperti patah panah) yang coba difasilitasi oleh pihak Kepolisian Resor Mimika pasca-bentrokan tersebut tidak membuahkan hasil karena warga suku Dani mengganggap dua korban tewas hanya berasal dari kampung mereka. Pasca-bentrokan tersebut, aksi provokasi (seperti saling melempar anak panah) terus dilakukan oleh kedua kelompok hingga kembali terjadi bentrokan pada 5 Juni 2012. Bentrokan kali ini mengakibatkan 14 orang cedera. Pasca-bentrokan kedua, pihak kepolisian kembali memfasilitasi perdamaian di antara kedua kelompok. Proses perdamaian pun mengalami kesulitan karena 18
Konflik Antarkampung di Nusa Tenggara Barat (NTB) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu wilayah yang cukup rentan terjadi kekerasan antarkelompok masyarakat. Sepanjang tahun 2005-2013, data SNPK mencatat telah terjadi 119 insiden kekerasan 19 Dalam tradisi suku-suku di Papua, prosesi patah panah merupakan bagian dari upaya perdamaian setelah perang suku. Patah panah menyimbolkan adanya penghentian kekerasan di antara pihak-pihak yang berperang. Selain patah panah, upaya perdamaian juga diikuti upacara memanah babi sebagai simbol tidak adanya dendam di antara pihak-pihak yang berperang, ritual belah kayu, dan pembayaran terhadap korban perang. Biasanya, ritual-ritual tersebut dilakukan secara bersamaan dalam upaya perdamaian. Namun, jika korban hanya berasal dari satu kelompok, maka hanya dilakukan ritual patah panah sebagai upaya penyelesaian perang suku. 20 Keterlibatan anak kepala suku Damal dalam bentrok tersebut diduga karena membela kelompok suku Amungme untuk menghadapi kelompok suku Dani (www.tempo.co, 20 Juni 2012)
Insiden bentrokan seperti ini biasa disebut dengan istilah perang suku.
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
11
The Habibie Center
antarkelompok yang mengakibatkan 30 tewas, 289 cedera, dan 603 bangunan rusak. Insiden dan dampak kekerasan di NTB didominasi oleh konflik antar desa/kampung dengan 113 insiden yang mengakibatkan 28 tewas, 286 cedera, dan 116 bangunan rusak.21 Jika dibandingkan dengan wilayah pantauan progam SNPK yang lain, NTB merupakan wilayah dengan insiden dan dampak kekerasan terkait konflik antarkampung yang paling besar. Dari catatan data SNPK, tahun 2013 merupakan periode dimana insiden-insiden kekerasan terkait konflik antarkampung mengalami intensitas tertinggi di NTB dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi tersebut menunjukan bahwa kekerasan terkait konflik antarkampung di NTB masih menjadi persoalan serius yang patut diperhatikan.
Gambar 10. Pesebaran Wilayah Terkait Kekerasan Antarkampung di NTB Periode 2005-2013
Kabupaten Lombok Tengah merupakan wilayah yang memiliki intensitas insiden dan dampak kekerasan yang paling besar di NTB (Gambar 10).22 Kekerasan antarkampung di Lombok Tengah terkonsentrasi di Kecamatan Pujut, terutama di lima desa, yakni Ketara, Sengkol, Kawo, Tana Awo, dan Batujai. Biasanya, kekerasan terjadi antara warga Desa Ketara dan warga kampungkampung lain (Sengkol, Kawo, Batujai, dan Tana Awo).23
tewas adalah warga mereka.25 Kabar kematian warga tersebut menyebar dengan cepat ke seluruh warga Desa Ketara. Esok harinya, setelah pemakaman korban tewas, ratusan warga Ketara yang telah berkumpul melakukan penyerangan ke Desa Kawo. Di sisi lain, warga Kawo juga sudah mempersiapkan diri dengan persenjataan (seperti parang dan senapan angin) setelah mengetahui adanya rencana penyerangan warga Ketara. Pada sore hari, bentrokan antara warga kedua desa tersebut terjadi. Insiden tersebut mengakibatkan dua warga cedera dan lima bangunan rusak. Aparat Kepolisian Resor Lombok Tengah dan pasukan Brigade Mobil (Brimob) Kepolisian Daerah NTB yang bersiaga di lokasi bentrokan mengalami kesulitan untuk menghentikan bentrokan karena terjadi di areal persawahan dan tersebar di sejumlah titik (Liputan6. com, 17 Mei 2012). Bentrokan mulai berhenti menjelang malam ketika aparat melakukan tindakan tegas dengan memberikan tembakan peringatan dan tembakan gas air mata pada titik-titik konsentrasi massa.
Rangkaian insiden kekerasan yang cukup menjadi sorotan publik adalah empat insiden kekerasan yang melibatkan warga desa/kampung Ketara dan Kawo selama Mei hingga Juni 2012. Rangkaian insiden tersebut diawali insiden pengeroyokan yang dilakukan oleh warga Desa Kawo terhadap tiga terduga pelaku pencurian hingga tewas pada 16 Mei 2012 (Lombok Post, 17 Mei 2012).24 Aksi pengeroyokan tersebut memicu amarah warga Ketara (tetangga Desa Kawo) karena salah satu korban 21 Salah satu aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setempat menuturkan bahwa kekerasan antarkampung di wilayah Lombok Tengah telah terjadi sejak Orde Baru, namun semenjak era reformasi insiden-insiden kekerasan semakin sering terdengar oleh masyarakat luas karena banyak diliput media (wawancara, 20 Januari 2014). 22 Selain konflik antarkampung, persoalan pengangguran adalah masalah yang cukup serius di Lombok Tengah. Data BPS Provinsi NTB 2013 menunjukan bahwa sebanyak 25.387 orang menganggur di Lombok Tengah. Angka ini cukup besar dibandingkan kabupaten/kota lain di NTB. Salah satu faktor yang mempengaruhi maraknya pengangguran di Lombok Tengah adalah ketersediaan lapangan kerja yang minim (Lombok Tengah Dalam Angka 2013). Di samping itu, sebagian besar penduduk masih menggantungkan hidup pada kegiatan pertanian tadah hujan sebagai mata pencaharian. Kegiatan pertanian tersebut tidak dapat berjalan optimal ketika musim kemarau, terlebih dengan kondisi tanah yang kering. Hal-hal tersebut yang mempengaruhi persoalan pengangguran di Lombok Tengah. 23 Berdasarkan komposisi etnis/suku dan agama, penduduk kabupaten Lombok Tengah relatif homogen. Sebagian besar penduduk berasal dari suku Sasak dan beragama Islam. Meskipun relatif homegen, demarkasi identitas cukup jelas berdasarkan desa-desa yang ada di Lombok Tengah. Biasanya, tiap-tiap warga saling mengidentifikasi identitas mereka berdasarkan asal desa. 24 Persoalan pencurian tak hanya kerap menimbulkan kekerasan (seperti penghakiman massal), namun masalah tersebut dapat melebar menjadi perang antardesa. Dalam konteks Pulau Lombok, MacDougall (2007, hal. 383) menyebutkan bahwa kematian para pelaku pencurian di tangan massa kerap menimbulkan aksi balasan dari warga desa asal pelaku tersebut. Hal ini disebabkan adanya perlakuan yang penuh respek dan juga pemberian kedudukan terhormat kepada para pelaku pencurian. Bahkan, ketika para pencuri tersebut tewas, jenazah mereka akan diperlakukan bak pahlawan yang baru pulang dari medan perang.
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
Pada 18 Mei 2012, bentrokan antara dua kelompok warga desa tersebut kembali terjadi di lokasi yang hampir sama dengan insiden sebelumnya. Kali ini, ratusan warga Desa Ketara yang masih dendam kembali menyerang warga Desa Kawo sekitar puku 17.00 WITA (Elshinta.com, 18 Mei 2012). Mereka mempersenjatai diri dengan senjata tajam, seperti parang, tombak, dan panah. Warga Desa Ketara berupaya untuk menerobos masuk ke dalam Desa Kawo. Sementara itu, ratusan warga Desa Kawo berkonsentrasi di jalan menuju desa mereka dengan dilengkapi senjata api rakitan (seperti senapan angin yang telah dimodifikasi), meriam rakitan, dan senjata tajam. Bentrokan antara kedua kelompok tersebut tidak dapat dihindari. Akibat bentrokan, dua orang cedera dan lima bangunan milik warga Desa Kawo rusak. Bahkan, wartawan yang tengah meliput bentrokan tersebut juga sempat menjadi sasaran serangan warga Desa Ketara yang tidak ingin adanya liputan media. Bentrokan baru mereda setelah aparat kepolisian dibantu dua peleton TNI melakukan barikade 25 Menurut warga Desa Kawo, tiga orang tersebut diduga melakukan pencurian sepeda motor di rumah salah satu warga sehingga dihakimi massa (wawancara, 5 Februari 2014). Sedangkan warga Ketara meyakini bahwa mereka tidak hendak mencuri, melainkan hendak midang atau bertemu pacar di Desa Kawo (wawancara, 4 Februari 2014). 12
The Habibie Center
dengan pagar betis di sekitar perbatasan Desa Kawo untuk memecah konsentrasi massa dari kedua kelompok.
asal transmigran yaitu dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bali. Selain kelompok etnik yang hadir melalui proses transmigrasi pemerintah, kelompok etnik juga datang dari Banten dan daerah Sumatera lainnya.
Pascabentrokan tersebut, upaya perdamaian yang dimediasi oleh pemerintah daerah Kabupaten Lombok Tengah dilakukan. Bertempat di pendopo kantor bupati, kedua kelompok warga desa bersepakat untuk tidak melakukan aksi saling serang lagi. Kedua kelompok mendorong adanya tindakan hukum bagi para pelaku kekerasan. Meskipun demikan, aparat kepolisian tetap berjaga di wilayah perbatasan kedua desa untuk mencegah adanya kekerasan susulan.
Untuk di daerah Lampung Selatan sendiri kelompokkelompok etnik tersebut hidup bersama dua kelompok adat lokal besar yaitu Saibatin dan Pepadun. Transmigran Bali yang menetap di desa Balinuraga diketahui pada tahun 1958 didatangkan bersama kelompok transmigran Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat untuk dengan penempatan di daerah Seputih Banyak, Way Seputih 1, Palas dan Sidomulyo.27 Transmigrasi yang terjadi pada periode Pra Repelita ini memobilisasi 5.201 KK dan 21.676 Jiwa yang berasal dari lima daerah asal transmigran tersebut. Sidomulyo merupakan kecamatan di Lampung Selatan yang menjadi daerah penempatan warga Bali dan Balinuraga merupakan desa bentukan transmigrasi didalamnya. Pemerintah dengan program transmigrasinya telah mendapatkan persetujuan masyarakat adat yang memiliki tanah di areal tersebut (wawancara kedua dengan tokoh adat Lampung Selatan, 7 Februari 2014). Beberapa tokoh masyarakat adat Lampung Selatan juga mengatakan bahwa pada masa pembentukan daerah transmigrasi warga lokal dan masyarakat adat Lampung Selatan menerima para pendatang dengan tangan terbuka.
Pada 7 Juni 2012, bentrokan kembali terjadi antara warga kedua desa. Insiden ini dipicu kecurigaan warga Ketara tiga hari sebelum bentrokan yang melihat warga Kawo yang hendak memanen kedelai di areal sawah (berbatasan dengan Desa Ketara) mendapat pengawalan kelompok Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa (Pamswakarsa) yang berasal dari luar Desa Kawo. Warga Ketara menduga pengawalan tersebut merupakan upaya penggalangan kekuatan untuk menyerang desa mereka. Tak mau desa mereka diserang terlebih dahulu, ratusan warga Ketara menyerang Desa Kawo pada pagi hari. Bentrokan berlangsung hingga siang hari. Pada sore hari, aparat gabungan dari Kodim 1620 Wira Bhakti, Brimob Polda NTB, dan Kepolisian Resor Lombok Tengah berhasil menghentikan bentrokan. Akibat insiden tersebut, 15 orang mengalami luka dan sembilan bangunan rusak. Untuk menghindari bentrokan susulan, aparat TNI dan kepolisian ditempatkan di perbatasan kedua desa selama hampir satu bulan.
Komposisi demografis yang terbentuk dari proses pembangunan melalui transmigrasi memiliki potensi konflik yang besar bila tidak dapat dikelola dengan baik oleh pemerintah. Salah satu masalah dalam proses transmigrasi seperti yang terjadi di Lampung Selatan adalah tidak diperhitungkannya aspek sosial dan budaya dalam penempatan transmigran dan pengaturan hubungan sosial di antara berbagai kelompok etnik. Hal ini dapat dilihat dari proses selama 56 tahun dimana muncul konflik di antara warga etnik Bali dengan warga lokal Lampung dan etnik lainnya yang terlibat dalam kekerasan di Balinuraga pada tahun Oktober 2012 yang lalu.28
Jika dilihat dari segi dampak, bentrokan terakhir ini lebih masif karena kedua desa sudah lebih siap dibandingkan bentrokan sebelumnya. Warga Desa Kawo sudah mempersiapkan senjata api rakitan dalam jumlah besar sedangkan warga Ketara melakukan mobilisasi massa dengan mengundang warga asal Ketara yang berdomisili di desa-desa lain, seperti Desa Prabu, Rembitan, dan Kuta. Kejadian terakhir ini menyebabkan warga Desa Kawo bersepakat kalau terjadi penyerangan lagi oleh warga Ketara ke desa mereka, mereka akan melakukan tindakan ofensif dengan menyerang Desa Katara (wawancara dengan tokoh Desa Kawo, 5 Februari 2014).
Kekerasan antarkelompok di Balinuraga, Lampung Selatan pada tahun 2012 merupakan kasus konflik yang penting untuk diperhatikan. Pertama, konflik antarkelompok di 27 Berdasarkan catatan buku data Ketransmigrasian tahun 2009, pada tahun 1958 transmigran didatangkan dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat dan Bali untuk program transmigrasi di Lampung dengan penempatan di daerah Seputih Banyak, Way Seputih 1, Palas dan Sidomulyo (hal. 22). Sidomulyo merupakan kecamatan di Lampung Selatan dan Balinuraga merupakan desa bentukan transmigrasi didalamnya semenjak penempatan pada tahun 1958 dan penyerahan dari Pemerintah Pusat ke Pemda yang berlangsung pada tahun 1970 (hal.50). Ini menunjukan bahwa desa Balinuraga merupakan desa bentukan transmigrasi yang diperuntukan untuk warga etnik Bali. Pada tahun 2007, Kecamatan Sidomulyo dimekarkan menjadi kecamatan Way Panji dan secara administratif desa Balinuraga dengan desa Sidoharjo, desa Sidomakmur dan desa Sidoreno menjadi bagian kecamatan Way Panji (BPS Lampung Selatan, Kecamatan Way Panji Dalam Angka Tahun 2007). 28 Setidaknya tercatat sembilan kasus konflik kekerasan di antara warga etnik Bali dan warga lokal Lampung yang terjadi pada tahun 1982, 2005, 2009, 2010 (terjadi 2 kali), 2012 (tiga kali). Lihat dokumen Pernyataan Sikap Warga Masyarakat Lampung Selatan.
Konflik multietnik antara pendatang dan warga lokal di Lampung Selatan Lampung merupakan salah satu daerah dengan beraneka ragam kelompok etnik yang terbentuk melalui proses transmigrasi. Transmigrasi terjadi dalam beberapa periode dimulai dengan periode kolonialisasi (1905-1942), periode pra pelita – zaman Orde Lama (1950-1969), periode Pelita I-VI – zaman Orde Baru (1969/1970-1998/1999) periode pacsa Orde Baru (1999/2000-2009).26 Dari proses transmigrasi selama lebih dari satu abad tercatat daerah 26 Dinas Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Provinsi Lampung. 2009. Buku Data Ketransmigrasian, hal 2-7.
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
13
The Habibie Center
Balinuraga, Lampung Selatan ini memiliki dampak yang mematikan. Dalam tiga kali insiden, 14 korban tewas, 13 cedera, dan 404 bagunan rusak. Kedua, konflik antarkelompok di Lampung Selatan ini tidak hanya terjadi atas dasar penanda identitas antara pendatang (transmigran) melawan penduduk lokal, namun mengambil bentuk penanda identitas lain yaitu etnisitas di antara transmigran warga etnik Bali dengan warga etnik lokal Lampung dan warga etnik pendatang lainnya. Ketiga, Kekerasan yang terjadi di Balinuraga memperlihatkan kompleksitas hubungan multi etnik di antara pendatang dengan penduduk lokal. Setidaknya terdapat tiga bentuk hubungan antarkelompok yang mengemuka di dalam insiden kekerasan di Balinuraga. Hubungan pertama adalah antara pendatang warga etnik Bali dengan warga etnik lokal Lampung Selatan. Hubungan kedua adalah di antara sesama para pendatang yaitu antara warga etnik Bali dengan warga etnik lainnya seperti Jawa dan Banten. Kedua hubungan antarkelompok di Lampung Selatan tersebut bermasalah serta mengalami konflik dari waktu ke waktu dan menemukan titik ledaknya dalam insiden kekerasan di Balinuraga pada Oktober 2012. Insiden kekerasan tersebut memperlihatkan adanya bentuk hubungan antarkelompok ketiga yang bersifat multi etnik dimana warga etnik lokal Lampung bersatu dengan para pendatang dari warga etnik Jawa dan Banten melawan warga etnik Bali.
2014). Inisiatif ini dilakukan oleh pihak warga Agom dengan datang ke Balinuraga agar keributan besar dapat dihindari dan menyelesaikan permasalahan secara informal.29 Dalam prosesnya baik pejabat desa Agom dan perwakilan desa Balinuraga mengatakan kepada Tim SNPK-THC bahwa tanggapan pihak pemimpin desa Balinuraga kurang baik dalam proses permintaan tanggungjawab sehingga tidak ditemukan solusi bagi permasalahan yang ada.30 Pada saat yang bersamaan massa dari berbagai desa Kecamatan Lampung Selatan berkumpul dan semakin malam bertambah banyak datang ke Desa Agom. Akhirnya, kemarahan warga lokal Lampung Selatan memuncak karena tidak ada penyelesaian atas masalah tersebut sehingga terjadilah bentrokan pertama. Bentrokan tersebut terhenti karena listrik padam sehingga lokasi bentrokan dalam keadaan gelap. Keesokan harinya, Minggu 28 Oktober 2012, kembali terjadi bentrokan di antara warga etnik Bali dari Desa Balinuraga dengan etnik lokal Lampung yang berasal dari Desa Agom dan gabungan desa-desa di Kecamatan di Lampung Selatan. Insiden bentrokan kedua mengakibatkan tiga warga etnik lokal Lampung tewas, empat korban cedera dan enam rumah warga Balinuraga mengalami kerusakan. Intensitas kekerasan mencapai titik kulminasinya pada bentrokan hari ketiga, Senin 29 Oktober 2012, dimana puluhan ribu warga etnik lokal Lampung yang berasal dari berbagai desa dan penjuru Provinsi Lampung bergabung menyerang 2000-an warga Bali yang berada di Desa Balinuraga. Mobilisasi puluhan ribu warga etnik lokal Lampung ini didorong oleh motivasi balas dendam karena bentrokan sebelumnya telah mengakibatkan tiga warga etnik lokal Lampung tewas. Pada insiden kali ini warga etnik lainnya seperti Jawa dan Banten ikut serta dalam penyerangan ke desa Balinuraga karena termotivasi oleh rasa dendam yang sama terhadap etnik Bali.
Data SNPK mencatat tiga insiden kekerasan antar warga Desa Balinuraga, Kecamatan Way Panji yang mayoritas warganya adalah etnik Bali dengan warga etnik lokal Lampung dari Desa Agom serta desa-desa yang berasal dari sekitar Kecamatan Way Panji dan dari segenap penjuru Provinsi Lampung, dipicu oleh insiden pelecehan seksual. Sepuluh pemuda Desa Balinuraga melakukan tindakan pelecehan terhadap dua gadis yang sedang melintas dengan sepeda motor. Kedua korban, yang masingmasing berasal dari Desa Agom dan Desa Negeri Pandan, terjatuh dari sepeda motor dan mengalami cedera disaat setelah salah satu pelaku memegang paha salah satu gadis tersebut (www.tempo.co, 2 November 2012). Tidak terima atas insiden pelecehan seksual tersebut warga Desa Agom dengan bantuan warga dari desa-desa kecamatan sekitar Way Panji melakukan penyerangan ke Desa Balinuraga. Bentrokan tidak dapat dihindari di saat gabungan warga desa yang menyerang dihadang oleh warga Balinuraga di perbatasan Desa Sedoreno dan Desa Agom.
Dalam bentrokan kali ini kelompok gabungan kelompok etnik lokal Lampung, Jawa dan Banten berhasil menangkap 10 orang kelompok etnik Bali yang mereka aniaya hingga tewas. Selain itu bentrokan skala besar yang tidak seimbang antara kedua kelompok telah berhasil memaksa warga etnik Bali keluar dari Desa Balinuraga dan mengungsi ke Sekolah Polisi Negara (SPN) Kemiling, Bandar Lampung. Kelompok etnik lokal Lampung berhasil memasuki Desa 29 Sesuai dokumen Surat Pernyataan Perdamaian dalam insiden kekerasan di Desa Napal, langkah yang diambil oleh warga Desa Agom sudah sesuai ketentuan butir ketiga perjanjian perdamaian yang disepakati oleh kedua kelompok etnik; (butir 3) “Kedua belah pihak sepakat apabila orangtua dan/atau keluarga tidak mampu menyelesaikan permasalahan seperti yang tercantum pada angka 2 (dua) maka akan diselesaikan secara kekeluargaan oleh tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemuda dan aparat pemerintah desa setempat.” 30 Menurut perwakilan desa Balinuraga dalam wawancara 4 Februari 2014; “Tanggapan kita yang disini (Desa Balinuraga) mungkin kurang etis, kurang pas, artinya tidak menunjukan jiwa seorang pemimpin. Kalau saya seorang pemimpin kan, waduh terima kasih atas kehadiran Pak Kades menyampaikan, saya tanggung jawab sepenuhnya kalau memang itu terjadi dengan anak-anak kami. Kan semestinya seperti itu bahasa seorang pemimpin. Artinya meredam sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat itu kan. Nah ini mungkin kurang bagus cara berpikirnya, mindsetnya beda dengan kita “Ya kalau urusan anak muda sudah ditanya, justru sepedanya anak-anak sini (balinuraga) yang rusak, yang jadi angka 8” jadi sudah saya tanya anak-anak itu, kan begitu. Nah artinya disini, maksud disana itu (desa Agom) untuk minta pertanggung jawaban tapi dibalas dengan seperti itu otomatis kan kecewa.”
Menurut salah satu pejabat Desa Agom (wawancara 4 Februari 2014) sebelum bentrokan pertama terjadi pada hari Sabtu, 27 Oktober 2012, perwakilan warga Desa Agom mendatangi Desa Balinuraga untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku. Perwakilan Desa Agom meminta biaya pengobatan untuk kedua gadis tersebut. Perwakilan Desa Balinuraga juga mengatakan bahwa perwakilan Desa Agom memang datang untuk meminta biaya pengobatan sebagai bentuk pertanggungjawaban (Wawancara perwakilan Desa Balinuraga, 4 Februari Kajian Perdamaian dan Kebijakan
14
The Habibie Center
Faktor sosial-budaya: solidaritas mekanik, dendam mendalam, dan sterotype di tengah kelompok masyarakat.
Balinuraga lalu mencederai sembilan orang, merusak 396 rumah (diantaranya 288 rumah terbakar dan 2 gedung sekolah), dan merusak 14 kendaraan umum milik warga Desa Balinuraga. Wilayah yang terdapat warga etnik Bali lainnya seperti dusun Napal di kecamatan Sidomulyo tidak diserang karena warga etnik Bali di daerah tersebut sudah menyerah dan tidak terlibat setelah selesainya kasus Napal pada bulan Januari 2012 yang lalu.
Dalam beberapa kasus di Mimika, Papua, ikatan solidaritas mekanik di dalam kelompok suku-suku menjadi instrumen yang memudahkan upaya mobilisasi massa dalam melakukan kekerasan.32 Biasanya, ketika salah seorang anggota dari suku tertentu mengalami permasalahan (seperti, pencurian, penganiayaan, atau ketersinggungan) dengan anggota dari suku lainnya, maka mereka kerap meminta bantuan keluarga atau kerabat sesuku. Bantuan tersebut kerap direspon melalui aksi balasan atau penyerangan dengan memobilisasi massa. Tak hanya itu, pola kekerasan juga kerap meluas, yakni tidak hanya ditujukan kepada pelaku, melainkan juga terhadap kerabat ataupun barang dan bangunan yang dimilikinya. Anggapan bahwa ketika warga dari satu suku tertentu mengalami gangguan dari suku lain, maka hal tersebut menjadi tanggung jawab bersama. Hal inilah yang masih tertambat di dalam masyarakat asli Papua, termasuk di Mimika.
Upaya pencegahan meningkatnya kekerasan sudah dilakukan oleh gabungan aparat keamanan yaitu pihak Kepolisan dan TNI sejumlah 2.100 orang personil pada hari kedua dan ketiga bentrokan (www.kompas, 30 Oktober 2012). Aparat keamanan menerapkan penjagaan berlapis namun berhasil ditembus oleh kurang lebih sepuluh sampai dua puluh ribu massa etnik lokal Lampung pada Senin, 29 Oktober 2012.31 Gabungan pihak keamanan dari Polres dan Polsek di Lampung Selatan, Brimob Polda Lampung dan TNI membentuk lapisan penjagaan di antara massa yang bergerak menuju Desa Balinuraga. Massa gabungan dari berbagai etnik pada hari ketiga melakukan pergerakan taktis dalam menghadapi penjagaan berlapis dengan membagi konsentrasi pada titik jalur masuk ke Desa Balinuraga. Beberapa cara menembus penjagaan berlapis yang dibangun oleh aparat keamanan dilakukan dengan menelusuri jalan alternatif seperti mengambil jalan tikus dan memasuki kebun-kebun jagung. Setelah melewati lapisan terkahir massa gabungan mulai membakar rumahrumah di Balinuraga.
Solidaritas yang kuat tersebut ditambah dengan adanya dendam mendalam terhadap musuh menyebabkan kekerasan semakin rentan terjadi di Mimika. Seringkali, kelompok suku yang anggotanya tewas akibat perang suku akan menuntut balas. Biasanya, keluarga korban tersebut akan meminta kepala perang atau panglima perang dari kelompok suku untuk melakukan perang kembali. Bagi kelompok-kelompok suku asli di Mimika, penyelesaian melalui perang suku33 lebih dipilih sebagai solusi bagi penyelesaian konflik.34 Saat ini, tidak hanya persoalan terkait adat yang menjadi pemicu perang suku, tetapi juga persoalan sepele seperti perselisihan kecil atau cekcok. Ketika perselisihan melibatkan kelompok suku yang memiliki riwayat permusuhan (seperti antara suku Amungme dan Dani di Mimika Baru), maka dengan mudah perang suku akan terjadi.35 Di samping itu, keyakinan
Insiden antara pendatang etnis Bali dan penduduk lokal Lampung di bulan Oktober 2012 ini masih terkait dengan insiden kekerasan sebelumnya pada bulan Januari 2012. Insiden terjadi di Kecamatan Sidomulyo pada 23-24 Januari 2012, dipicu oleh pertikaian pemuda dari dusun Napal, Desa Sidowaluyo dengan tukang parkir yang berasal dari Desa Kota Dalam. Dusun Napal mayoritas warganya adalah etnik Bali sedangkan Desa Kota Dalam mayoritas warganya adalah etnik lokal Lampung. Warga dari kedua kelompok etnik tersebut saling tidak terima sehinga bentrokan tidak dapat dihindari. Pergerakan massa warga Desa Kota Dalam berlanjut pada keesokan harinya. Dua insiden kekerasan ini mengakibatkan dua orang cedera, 60 rumah hancur total, 17 rumah, empat gudang, tujuh warung rusak, enam motor hangus dibakar, dan empat traktor rusak. Kekerasan yang terjadi pada bulan Januari 2012 ini diselesaikan dengan perjanjian damai di antara kedua belah pihak (www.tribunews.com 27 Januari 2012).
32 Faktor solidaritas mekanik tidak hanya berlaku dalam internal kelompok suku tertentu saja, melainkan dapat juga melebar kepada kelompok suku yang memiliki kesamaan kultur. Di beberapa kasus kekerasan di Mimika, seperti pada kekerasan antarkelompok entis/suku pada Oktober 2007 di wilayah Tembagapura, terdapat fenomena aliansi di antara suku Dani dan Damal dalam menghadapai suku Amungme. Pada saat itu, selain memiliki persoalan atau “musuh” yang dianggap sama, yakni suku Amungme, namun faktor lain yang membuat adanya aliansi suku Dani dan Damal adalah solidaritas kekerabatan sesama suku asli pegunungan. 33 Dalam perang suku di Papua (termasuk Mimika), peran kepala atau panglima perang cukup penting. Mereka merupakan pihak yang menentukan perang, termasuk yang mengakomodasi permintaan perang dari keluarga korban tewas. Bagi setiap korban tewas akibat perang, kepala atau panglima perang bertanggung jawab untuk menanggung biaya pemakaman dan santunan terhadap keluarganya. Tak hanya itu, kepala atau panglima perang akan mengundang keluarga-keluarga dalam kelompok suku untuk ikut terlibat dalam perang. Ia juga merupakan salah satu aktor yang berperan dalam proses perdamaian dengan pihak lawan, pemerintah, serta tokoh-tokoh adat dan agama setempat (Wawancara Muridan Widjojo, 1 Februari 2014). 34 Arnold Mampioper (2000) mengidentifikasi tiga hal yang kerap menjadi faktor pemicu perang suku, yakni uang harta kawin, korban perang yang tidak dibayar, dan pelanggaran batas kawasan berburu. 35 Jika perselisihan terjadi antarsesama warga di dalam satu kelompok suku, maka biasanya penyelesaian terlebih dahulu dilakukan dengan upaya membayar denda kepada pihak korban.
Dari beberapa kasus kekerasan di tiga wilayah (Papua, NTB, dan Lampung) tersebut, tim peneliti SNPK-THC mengidentifikasi adanya faktor-faktor yang turut menyumbang terjadinya kekerasan. Beberapa faktor tersebut dapat berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung terhadap fenomena kekerasan antarkelompok. 31 Warga Lokal Lampung melalui Dokumen Pernyataan Sikap Warga Lampung Selatan mengklaim massa yang turut serta menyerang sebesar 20.000 orang. Sedangkan Kabid Humas Polda Lampung menyatakan massa yang berdatangan sebesar 10.000 orang (Kompas, 30 Oktober 2012).
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
15
The Habibie Center
kelompok suku setempat yang menganggap bahwa harus terjadi perimbangan dari segi dampak kekerasan (tewas, cedera, dan bangunan rusak) antara dua belah pihak yang berkonflik semakin mendorong berlarut-larutnya perang suku (Cendrawasih Pos, 22 Oktober 2007).
Ketika harga diri mereka diganggu atau direndahkan, maka biasanya akan direspon dengan perlawanan atau pembalasan terhadap kelompok warga desa lain yang dianggap musuh. Seperti bentrokan pada Mei 2012 antara Desa Kawo dan Ketara, mantan kepala Desa Ketara menganggap bahwa kematian salah satu warga mereka akibat diduga mencuri merupakan suatu penghinaan bagi desa sehingga pembalasan harus dilakukan oleh warga Ketara (wawancara, 4 Februari 2014).
Dendam antara kelompok suku juga tidak hanya akibat perang suku yang terjadi di Mimika, namun juga dapat terkait dengan perang suku di wilayah lain. Seperti perang suku yang cukup besar di wilayah Ilaga, Kabupaten Puncak akibat konflik elit politik dalam pemilukada tahun 201136 turut mendorong perang suku yang terjadi di Mimika. Salah satu tokoh adat Amungme mengatakan bahwa beberapa perang suku di tahun 2012 disebabkan karena adanya upaya pembalasan atas kematian saudara-saudara mereka yang tewas oleh kelompok suku Dani dalam perang suku di Puncak tahun 2011 lalu (wawancara, 11 Februari 2014). Hal tersebut penting diperhatikan bahwa perang suku di Mimika juga dapat terjadi akibat konflik lain di luar wilayah tersebut.
Keberadaan solidaritas di kalangan warga desa juga semakin diperkuat ketika tokoh yang dianggap tetua desa menyetujui untuk melakukan perang atau penyerangan terhadap desa tertentu.38 Biasanya tokoh-tokoh tersebut yang berperan penting untuk melarang atau menyetujui perang. Ketika para tokoh tersebut menyatakan perang, maka warga desa baik anak-anak, pemuda, dan orang tua akan secara cepat termobilisasi. Pada konflik antara Desa Kawo dan Ketara tahun 2012, para tetua Desa Kawo menetapkan warganya harus berperang ketika diserang oleh warga Desa Ketara. Pada saat itu pula, menurut penuturan tokoh pemuda Desa Kawo, semua sumber daya di desa dapat digerakan, mulai dari pengumpulan massa dan dana hingga pemanfaatan peralatan bahan bangunan dari toko-toko di Desa Kawo untuk pembuatan senjata (wawancara, 5 Februari 2014).
Di Lombok Tengah, faktor solidaritas yang kuat juga terlihat pada kasus-kasus kekerasan antarkampung. Solidaritas yang kuat di kalangan warga desa terjadi karena masih melekatnya pemahaman terhadap prinsip tunggal wirang atau prinsip saling membantu. Menurut tokoh masyarakat Desa Batujai, prinsip tunggal wirang masih digunakan warga, termasuk ketika berperang (wawancara, 4 Februari 2014). Sepanjang masih ada hubungan keluarga atau garis keturunan, baik warga yang tinggal di desa maupun di luar desa, maka mereka harus membantu ketika desa sedang mengalami kesulitan, termasuk dalam perang. Dengan prinsip tersebut, upaya memobilisasi warga desa dengan jumlah yang masif relatif lebih mudah dan cepat. Bahkan dalam beberapa bentrokan juga terlihat bahwa massa yang terlibat tidak hanya dari warga desa yang berkonflik, namun juga berasal dari warga desa lain yang memiliki hubungan kekerabatan dengan desa-desa yang sedang berkonflik tersebut. Biasanya, sebelum terjadi bentrokan atau penyerangan, tokoh desa setempat mengundang warga desa lain yang masih mempunyai hubungan/garis keturunan keluarga untuk ikut terlibat secara langsung. Solidaritas warga desa juga bisa terwujud dalam bentuk penggalangan dana untuk pembiayaan bentrokan antardesa. Menurut tokoh pemuda Desa Kawo, saat konflik antara warga Desa Kawo dan Ketara tahun 2012, warga Desa Kawo mampu menggalang dana kurang lebih 500 juta rupiah dari saudara-saudara mereka yang bekerja sebagai TKI di luar negeri (wawancara, 5 Februari 2014). Uang itu digunakan, misalnya, untuk pembelian dan perakitan senjata serta biaya santunan bagi korban bentrokan.
Lebih lanjut, di Lombok Tengah terdapat norma atau aturan tidak tertulis yang menuntut setiap warga desa untuk terlibat pada saat berperang. Ada sanksi sosial yang akan diberikan kepada masyarakat yang tidak ikut terlibat, misalnya dikucilkan dalam kegiatan desa hampir selama satu tahun (wawancara, 4 Februari 2014). Tindakan concertive control39 seperti ini secara efektif “memaksa” warga untuk berpartisipasi karena besarnya tekanan dari warga dan ketakutan dijatuhi sanksi sosial. Seorang pejabat keamanan menyatakan tindakan ini kadang melibatkan pihak perempuan yang “meneror” sebuah keluarga bila ada anggota keluarga laki-lakinya yang tidak ikut serta dalam peperangan melawan warga desa lain (wawancara, 5 Februari 2014). Di samping itu, dendam antara warga kampung/desa yang kerap berseteru menjadi pendorong konflik yang terus tetap ada. Seperti di Lombok Tengah, rasa dendam terbangun ketika warga menyaksikan kondisi korban akibat kekerasan (seperti, tewas atau luka parah). Hal ini karena banyak warga yang kerap membawa korban kekerasan ke desa mereka bukan ke rumah sakit untuk diobati. Korban tewas kerap diarak oleh warga desa sebagai bentuk penghormatan. Amarah warga menjadi semakin besar untuk melakukan aksi balasan ketika menyaksikan korban luka parah atau tewas (wawancara, 20 Januari 2014). Dendam mendalam antara warga desa yang berseteru juga
Selain itu, solidaritas di kalangan warga desa di Lombok Tengah juga sangat mudah terbangun ketika adanya gangguan terhadap prinsip-prinsip khas orang Sasak, seperti merang, bile raweng, dan malu kadang.37
38 Tokoh yang dianggap tetua desa tidak ditetapkan secara formal, namun warga desa di Lombok Tengah menempatkan seseorang menjadi tetua karena beberapa hal, yakni dianggap keturunan bangsawan desa, memiliki pengetahuan budaya/adat yang tinggi, memiliki ilmu kanuragan yang sangat baik, dan aktif dalam kegiatan sosial-keagamaan di desa. 39 Modifikasi dari konsep awal Tompkins dan Cheney (1985) untuk kontrol organisasi.
36 Lihat Catatan Kebijakan THC Edisi 01/Juli 2012 37 Bagi orang Sasak (termasuk warga di Lombok Tengah), prinsip-prinsip tersebut mengandung nilai pembelaan atau perlawanan ketika harga diri dan martabat mereka diganggu oleh pihak lain.
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
16
The Habibie Center
terinternalisasi kepada anak-anak di desa-desa di Lombok Tengah. Hal tersebut tidak terlepas dari keterlibatan anakanak dalam kekerasan (seperti mempersiapkan logistik senjata) dan juga kerap menyaksikan para korban kekerasan di desa mereka, serta mendengarkan cerita/pengalaman orang dewasa ketika melakukan kekerasan (wawancara, 20 Januari 2014). Indikasi ini terlihat bagaimana sejak kecil anak-anak di desa (seperti di Desa Ketara) sudah bisa mengatakan dengan lugas siapa musuh mereka, bahkan ketika melakukan permainan perang-perangan mereka seakan sudah bisa mempraktekkan tindakan kekerasan. Dendam mendalam ini juga melekat di kalangan pelajar di desa-desa yang kerap berseteru. Tak jarang, para pelajar dari dua desa yang mempunyai riwayat konflik (seperti Desa Ketara dan Sengkol) saling melakukan kekerasan di sekitar sekolah.
Setidaknya terdapat beberapa stereotype yang muncul terhadap kehadiran warga Bali di Lampung Selatan.41 Pertama, Sikap dan perilaku pemuda desa Balinuraga dipandang seringkali membuat resah warga lokal Lampung sehingga terbentuk stereotipe bahwa warga Bali terutama pemudanya adalah pembuat masalah. Salah satu peristiwa dalam interaksi sosial adalah kasus kekerasan di Desa Napal dimana pemuda dari etnik Bali memukul tukang parkir dari warga etnik lokal Lampung yang mencoba menegurnya di lapangan parkir pasar Sidomulyo sehingga memicu insiden kekerasan yang terjadi pada Januari 2012. Kedua, terusiknya harga diri warga etnik lokal Lampung karena ada identifikasi bahwa berulang kali warga etnik Bali dari Balinuraga membuat ulah dan terlibat dalam insiden-insiden kekerasan.42 Bagi warga etnik lokal Lampung, warga Bali terutama yang berasal dari Balinuraga telah menyinggung Phi’il atau harga diri orang Lampung sehingga masalah pelecehan terhadap dua gadis dari desa Agom berubah menjadi dendam terhadap tindakan-tindakan orang-orang Bali (wawancara pertama dengan tokoh adat lokal Lampung Selatan, 5 Februari 2014).43 Hal ini akhirnya menggerakkan warga Lampung Timur untuk ikut serta dalam penyerangan ke Balinuraga. Menurut salah satu tokoh adat di Lampung Selatan, warga Lampung Timur memiliki pengalaman yang sama, yaitu sering mengalami perlakuan menyakitkan dalam interaksi sosial dan pernah terlibat konflik dengan warga Bali.
Dendam yang mendalam tersebut mendorong peningkatan kewaspadaan warga desa. Ini dapat dilihat dari kasus warga Desa Kawo pascabentrokan dengan Desa Ketara 2012, dimana mereka sepakat untuk membentuk Badan Keamanan Desa (BKD) di Desa Kawo yang terdiri dari 34 orang dengan tujuan untuk mengamankan desa dari gangguan pihak lain. Saat ini, anggota BKD lebih aktif melakukan kegiatan pengamanan, seperti ronda atau kegiatan sistem keamanan lingkungan (Siskamling) pada malam hari. Di samping itu, warga desa juga sepakat untuk membentuk pasukan elit desa yang terdiri dari 25 orang perwakilan dari tiap dusun di desa Kawo. Mereka juga mendapatkan pelatihan-pelatihan dari orang-orang yang dituakan di desa, seperti pelatihan ilmu kebal supaya mereka bisa langsung diterjunkan di garis depan ketika ada penyerangan dari desa lain (wawancara, 5 Februari 2014). Menurut salah satu tokoh pemuda Desa Kawo, upaya-upaya tersebut dilakukan agar mereka selalu siap untuk berperang dan tidak ingin mengulang ketidaksiapan mereka saat diserang tahun 2012 yang mengakibatkan banyak warga Kawo menjadi korban (wawancara, 5 Februari 2014).
Ketiga, Dalam insiden penyerangan ditemukan bahwa warga etnik lainnya seperti etnik Jawa dan Banten ikut bergabung dengan warga etnik lokal Lampung. Salah satu faktor penting yang menggerakkan warga etnik lainnya untuk bergabung adalah karena mereka juga pernah mengalami konflik dan bermasalah dengan warga etnik Bali dalam interaksi sehari-hari. Adanya dendam memotivasi kelompok etnik lainnya mengikuti warga etnik lokal Lampung ketika menyerang Balinuraga. Ketiga stereotype dalam kehidupan sosial yang berkembang terhadap warga etnik Bali menjadi justifikasi tindak kekerasan sebagai upaya membalas dan menghukum tanpa memperhatikan peran dan fungsi hukum. Salah satu kendala tidak berjalannya instrumen hukum formal juga diperkuat oleh stereotype yang berkembang di masyarakat Lampung Selatan bahwa ada indikasi kelompok etnik tertentu “dianakemaskan”.44 Ini mendorong masyarakat untuk mengambil jalan main hakim sendiri dalam menyelesaikan masalah di Lampung Selatan.
Dari kasus Lampung Selatan, secara sosial terbentuk stereotype yang berkembang dari pengalamanpengalaman berinteraksi di antara warga etnik lokal Lampung dengan warga etnik Bali. Pengalamanpengalaman didalam hubungan antar kelompok etnik ini pada tahapan selanjutnya digeneralisir berdasarkan identifikasi identitas etnik tertentu. Generalisasi ini setidaknya memotivasi dan memobilisasi puluhan ribu warga lokal Lampung dari berbagai penjuru dan etnik lainnya untuk menyerang desa Balinuraga.40
41 Tim Peneliti The Habibie Center – SNPK menemui kesulitan untuk mendapatkan data dilapangan terutama dari pihak warga etnik Bali karena insiden kekerasan pada tahun 2012 masih menyisakan trauma mendalam bagi warga etnik Bali. Hal ini membuat data yang dimiliki tidak dapat mencakup pandangan-pandangan warga Bali terhadap warga lokal Lampung Selatan dan warga etnik lainnya didalam kehidupan sehari-hari. 42 Lihat catatan kaki 28 43 Tersinggungnya harga diri Phi’il menurut sebagian warga lokal Lampung Selatan karena adanya pandangan bahwa kenapa orang Lampung sudah menerima warga Bali sebagai pendatang tetapi mereka malah membuat onar. 44 Wawancara dengan salah satu pejabat Pemda Lampung Selatan, 6 Februari 2014.
40 Dokumen Pernyataan Sikap Warga Masyarakat Lampung Selatan menyebut pada butir 7 pernyataan sikap mereka bahwa: Mulai saat ini, masyarakat Bali harus mampu bersosialisasi dengan masyarakat Lampung maupun sukusuku lainnya di Lampung Selatan dengan cara: a) Tidak lagi menonjolkan ornament-ornamen kesukuan darimana mereka berasal, b) Tidak lagi memelihara babi, karena sangat mengganggu lingkungan masyarakat yang berbeda keyakinan; c) Tidak bertindak arogan (memaksakan kehendak) dalam menyelesaikan persoalan yang muncul.
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
17
The Habibie Center
Setidaknya ada dampak dari tindak kekerasan yang terjadi akibat stereotype yang berkembang di Lampung Selatan. Pertama, warga etnik Bali di Balinuraga yang tidak berasalah harus menanggung akibatnya. Kelompok rentan kekerasan seperti perempuan dan anak-anak harus merasakan dampaknya seperti pasangan suami istri yang harus melarikan diri selama empat jam dan membawa bayi (Lampung Post, 31 Oktober 2012). Kedua, trauma warga Bali yang tidak bersalah juga menyebar kepada warga Bali yang tinggal di luar Lampung Selatan. Pak Wayan seorang pegawai negeri dari Ibu Kota Bandar Lampung yang bertugas di Lampung Selatan tidak berani bekerja karena trauma dan takut menjadi target sasaran (Soroso,2012)45. Padahal Pak Wayan merupakan warga etnik Bali yang mempromosikan kesenian Lampung di even-even Nasional. Ini menunjukan bahwa insiden kekerasan di Balinuraga memiliki dampak yang besar bagi warga Bali yang tidak terkait dengan perilaku oknumoknum tertentu. Apa yang dialami oleh Pak Wayan juga dikemukakan oleh tokoh masyarakat Bali Pak Made Bagiasa yang menyebutkan bahwa dia dan warga etnik Bali lainnya sebagai warga negara Indonesia yang telah menjadi bagian dari Lampung; “Kami ini warga Lampung, Kartu Tanda Penduduknya juga Lampung” (www.tempo. co, 02 November 2012). Ini menunjukan bahwa terdapat warga etnik Bali yang sudah menyatu dan beradaptasi dengan lingkungan sosial di Lampung.
di lingkungan bandara (seperti menjadi supir travel dan pegawai urusan tiket), maka warga yang berasal dari luar tiga desa tersebut harus masuk menjadi anggota dari kelompok-kelompok Desa Tanah Awo, Ketara, dan Penujak (wawancara, 3 Februari 2014). Mereka akan dikenakan iuran/biaya untuk bisa masuk dan terlibat dalam kegiatan ekonomi di bandara. Tak hanya itu, kelompokkelompok warga dari tiga desa tersebut kerap menuntut pihak bandara agar dilibatkan dalam proses rekruitmen pegawai. Tak jarang, kekerasan terjadi akibat persoalanpersoalan tersebut. Seperti pada Desember 2012, terjadi penyerangan terhadap karyawan bandara oleh sekelompok warga Desa Penujak karena ketidakpuasan terhadap proses rekrutmen pegawai bandara yang tidak melibatkan mereka (Suara NTB, 24 Desember 2012). Permasalahan tersebut patut diperhatikan terlebih ketika wacana diskriminasi terhadap akses pekerjaan tersebut terus meluas dan berpotensi menimbulkan perselisihan yang lebih tajam antara warga desa di Lombok Tengah. Di Mimika, persoalan ekonomi terkait perebutan akses terhadap pendulangan emas juga kerap menimbulkan konflik antar-suku. Perselisihan antarkelompok suku asli di Mimika dan para pendatang juga kerap terkait perebutan sumber daya di sekitar daerah pendulangan emas ilegal di Tembagapura, khususnya di daerah Kampung Banti. Daerah tersebut merupakan salah satu wilayah tujuan utama bagi para pendulang emas ilegal di Mimika.47 Konflik yang kerap berujung kekerasan dengan berbagai pemicu sering terjadi, seperti pencurian dan perampokan material emas hasil pendulangan, sengketa lokasi pendulangan antara pemilik tanah dan para pendulang, perebutan lokasi pendulangan, serta aksi-aksi penganiayaan yang terjadi di sekitar lokasi tersebut.
Faktor ekonomi: persaingan akses terhadap sumber daya dan ketimpangan antarakelompok masyarakat. Persoalan akses terhadap kesempatan kerja dan peluang usaha turut berkontribusi terhadap perselisihan antarwarga kampung di Lombok Tengah, khususnya di sekitar lokasi Bandara Internasional Lombok (BIL). Dalam konteks Lombok Tengah, pembangunan BIL di Kabupaten Lombok Tengah turut memberikan keuntungan terhadap masyarakat setempat, seperti keberadaan infrastruktur yang baik (jalan) dan kesempatan kerja. Namun, di sisi lain, keberadaan bandara tersebut juga menjadi sumber konflik antarkampung. Selama ini ada anggapan di tengah masyarakat bahwa warga yang bisa menjadi karyawan dan membuka usaha di bandara adalah orang-orang dari desa tertentu saja, seperti Desa Tanah Awo, Ketara, dan Penujak,46 sedangkan warga desa lainnya sulit untuk mendapatkan pekerjaan (wawancara, 20 Januari 2014). Menurut penuturan warga Desa Penujak, jika ingin bekerja
Sedangkan di Balinuraga, Lampung Selatan, persoalan ekonomi seperti meningkatnya pendapatan ekonomi dan perubahan kepemilikan tanah mempengaruhi ketimpangan horizontal antara transmigran warga etnik Bali dan warga etnik lokal Lampung. Setelah kurang lebih 56 tahun keberadaan tranmigrasi di Lampung Selatan, perbedaan ekonomi di antara warga etnik Bali dengan warga etnik lokal Lampung mengemuka. Warga etnik Bali dapat mengembangkan kapasitas ekonominya sedangkan warga lokal Lampung Selatan tidak banyak mengalami perubahan. Perubahan ekonomi yang kontras di antara kedua etnik ini terjadi karena beberapa faktor. Pertama, etnik Bali sebagai pendatang memiliki etos kerja yang tinggi agar berhasil di Lampung Selatan. Sedangkan warga etnik lokal Lampung tidak dapat mengatasi perubahan sosial-ekonomi yang dihadapinya karena merasa berada di wilayahnya sendiri.48 Kedua, kondisi dan posisi ekonomi yang berbeda di antara kedua etnik ini berdampak pada pergeseran kepemilikan atas tanah. Warga etnik Bali dalam waktu 56 tahun telah memiliki kemampuan
45 Oyos Saroso HN. 2012. “I Wayan Mochoh, Promotor Musik Tradisi Lampung” dalam Budisantoso Budiman dan Oyos Saroso HN (ed) Merajut Jurnalisme Damai di Lampung, Bandar Lampung, Lampung; Aji Bandar Lampung dan Indepth Publishing, hal 176-179. 46 Desa Tana Awo, Ketara, dan Penujak merupakan tiga desa yang sebagian wilayahnya menjadi areal BIL. Menurut penuturan salah satu supir travel bandara yang berasal dari desa Penujak, pada awal pembebasan lahan mereka dijanjikan untuk bisa bekerja dan menguasai peluang usaha di lokasi bandara (wawancara, 3 Februari 2014). Sebagai gantinya, mereka diharuskan untuk memberikan lahannya (lewat mekanisme jual-beli) untuk kebutuhan bandara. Oleh karena itu, ia menuturkan wajar kalau banyak warga dari tiga desa tersebut mendapatkan kesempatan lebih besar untuk bekerja dan berusaha di areal bandara.
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
47 Wilayah tersebut masih merupakan daerah konsesi pertambangan PT. Freeport Indonesia. 48 Beberapa informan yang berasal dari etnik lokal Lampung mengakui bahwa sebagian besar orang lokal Lampung tidak memiliki motivasi untuk bekerja keras karena berada di wilayahnya sendiri. 18
The Habibie Center
Nduga, Mee, dan Moni. Secara perlahan, pendatang mulai menduduki tanah-tanah di Mimika, baik itu untuk tempat tinggal ataupun kebun. Salah satu tokoh adat Amungme (wawancara, 11 Februari 2014) mengatakan bahwa kedatangan suku-suku dari gunung (seperti suku Dani) ke Mimika yang kemudian menduduki lahan-lahan penduduk lokal kerap menjadi pemicu konflik karena mereka menempati lahan-lahan tersebut tanpa meminta izin kepada penduduk lokal. Salah satu contohnya adalah bentrokan yang melibatkan kelompok suku Amungme dan masyarakat pendatang asli Papua pada Agustus 2010. Bentrokan ini akibat masyarakat dari suku Amungme mengklaim tanah hingga irigasi di sekitar jalan Petrosea adalah miliknya (Cendrawasih Pos, 26 Agustus 2010).
untuk membeli tanah yang dimiliki oleh warga etnik lokal Lampung. Di pihak lain, akibat meningkatnya keperluan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, warga etnik lokal Lampung Selatan menjual tanah yang dimilikinya (wawancara ketiga dengan pemuka adat lokal Lampung Selatan, 6 Februari 2014). Pergeseran kepemilikan tanah ini memperlihatkan selama 56 tahun telah berlangsung perubahan sosio-ekonomi yang signifikan yang disikapi dengan cara yang berbeda oleh kedua kelompok etnik tersebut. Warga Bali mampu meningkatkan status dan kemampuan ekonominya dengan bekerja keras sedangkan warga lokal Lampung mengandalkan kebutuhan ekonominya berdasarkan tanah yang dimiliki yang menyusut dari waktu ke waktu. Ketiga, masuknya perusahaan-perusahaan skala besar yang membutuhkan lahan untuk beroperasi juga berpengaruh dalam memperkecil ruang hidup dan kepemilikan atas tanah warga etnik lokal di Lampung Selatan.
Di Balinuraga, Lampung Selatan, program transmigrasi turut mendorong konflik antara pendatang dan masyarakat lokal. Lebih lanjut, Iwan Nurdin mengatakan “pemerintah mengakomodir transmigran untuk membawa seluruh pranata sosial suatu masyarakat agar merasa nyaman di tempat transmigrasi” (www. lampungtribunnews.com, 8 Januari 2012). Dari observasi di lapangan dapat ditemukan bahwa ornamen-ornamen rumah orang Bali memiliki karakter yang berbeda dengan rumah penduduk desa lainnya. Perbedaan ini tidak dapat dilepaskan karena adanya budaya yang melekat dalam diri pendatang mengenai citra tempat tinggal dimana mereka berasal. Ini dapat mendorong tidak membaurnya warga desa transmigran dengan desa penduduk lokal. Menurut Chodidah Budi Raharjo peran pemerintah dalam menentukan kelompok etnik tertentu yang dimukimkan dengan kelompok etnik lainnya sangat penting dalam mencegah terjadinya benturan budaya (1984)49 seperti yang terjadi di antara warga etnik Bali dan warga etnik lokal Lampung di Lampung Selatan.
Perubahan sosio ekonomi di Lampung Selatan selama 56 tahun ini memiliki dampak baik secara langsung dan tidak langsung terhadap benturan-benturan yang timbul di antara kedua kelompok etnik tersebut. Pertama, meningkatnya status ekonomi warga etnik Bali di Lampung Selatan dipandang sebagian warga etnik lokal Lampung telah membuat mereka menjadi arogan dan mendominasi ruang ekonomi seperti pasar. Kedua, berkembangnya hubungan ekonomi antara warga etnik Bali dengan warga etnik lokal Lampung melalui mekanisme hutang-pinjaman uang. Warga etnik Bali dengan kemampuan ekonominya dapat memberikan pinjaman uang kepada warga etnik lokal Lampung Selatan. Masalah muncul saat warga lokal etnik Lampung merasakan ketidakadilan di dalam proses pinjam meminjam. Ketidakadilan yang dirasakan dari sudut pandang warga etnik lokal Lampung dalam proses pinjaman yang diberikan warga etnik Bali seperti a) bunga yang terlalu tinggi, b) waktu pembayaran yang singkat dan c) penyitaan rumah serta sawah apabila pinjaman tidak dikembalikan (wawancara, 4 Februari 2014). Praktek ekonomi ini akhirnya membentuk pandangan warga etnik Lampung Selatan bahwa warga Bali melakukan prilaku rentenir. Kedua hal tersebut mendorong kemarahan warga etnik lokal Lampung dan etnik lainnya yang juga mengalami nasib yang sama disaat melakukan hubungan ekonomi dengan warga Bali sehingga menjadi salah satu faktor yang memotivasi mereka menyerang Balinuraga. Bahkan salah satu target sasaran perusakan rumah di desa Balinuraga adalah mereka yang dipandang sebagai rentenir oleh warga etnik lokal Lampung dan etnik lainnya.
Akibat ketidakpekaan perbedaan nilai budaya, kebijakan transmigrasi sebelumnya telah mengakibatkan segregasi sosial dan spasial antara transmigran dan penduduk lokal. Made Mudarta melihat bahwa program transmigrasi tidak dibarengi dengan pembekalan untuk pembauran mengenai pengetahuan warga lokal saat memberangkatkan imigran (www.nasional.news.viva. co.id, 2 November 2012). Selain itu Murdata melihat adanya bahwa dalam “pengelompokan transmigran dari suatu wilayah tertentu” seperti yang terjadi di Balinuraga. Pengelompokan dengan membangun desa yang khusus untuk etnik tertentu akan memberikan dampak bagi munculnya segregasi dalam kehidupan warga sehari-hari. Kebijakan ini dapat dirunut dari awal pembentukan Desa Balinuraga dalam Kecamatan Sidomulyo pada tahun 1958 dimana pemerintah tidak memerhatikan aspek perbedaan budaya dan nilai agama di antara warga Bali yang hendak ditempatkan di tengah penduduk lokal Lampung Selatan. Ini juga diperkuat dengan pemekaran Kecamatan Way
Faktor migrasi penduduk Perselisihan antarkelompok suku kerap muncul ketika masyarakat dari suku Amungme yang menganggap diri sebagai orang asli sekaligus tuan tanah di Mimika merasa mulai tertekan dengan keberadaan para pendatang dari kelompok suku seperti Dani, Damal, Kajian Perdamaian dan Kebijakan
49 Chodidah Budi Raharjo. 1984. Benturan Sosial dan Budaya di Daerah Pemukiman Transmigrasi” dalam Transmigrasi, Dari Daerah Asal Sampai Benturan Budaya di Tempat Pemukiman oleh Tim Peneliti Universitas Kristen Satya Wacana; Jakarta, Rajawali Press.
19
The Habibie Center
Panji pada tahun 200750 sehingga semakin menempatkan desa Balinuraga sebagai daerah yang eksklusif.
pencurian (sepeda motor dan ternak) di tengah masyarakat Lombok. Pada awalnya, kehadiran Pamswakarsa bertujuan untuk memburu para pelaku pencuri.53 Seiring berjalannya waktu, Pamswakarsa tidak hanya bertujuan mencari jejak pelaku pencurian, namun juga digunakan untuk kepentingan lain,54 termasuk dalam perang antarkampung di Lombok Tengah. Pada kasus konflik di Desa Kawo dan Ketara, pihak aparat kepolisian (wawancara, 5 Februari 2014) mensinyalir adanya Pamswakarsa yang disewa oleh warga Desa Kawo untuk menghadapi serangan warga Ketara. Indikasi tersebut terlihat dengan banyaknya warga dari luar desa dengan atribut tertentu (seperti rompi) yang ikut membantu mempertahankan Desa Kawo dari aksi penyerangan. Aparat kepolisian menduga keberadaan Pamswakarsa tersebut berasal dari Mataram atau bagian utara Lombok Tengah yang didatangkan khusus untuk terlibat dalam perang antarkampung. Keberadaan Pamswakarsa penting untuk diperhatikan ketika terjadi kasus-kasus kekerasan antarkampung di Lombok Tengah.
Ahli Demografi Sosial Riwanto Tirtosudarmo (2007) melihat bahwa konsepsi perpindahan penduduk tidak dapat dilihat sebagai perpindahan tenaga kerja dan sumber daya manusia saja, tetapi juga sebagai perpindahan manusia dengan kebudayaannya.51 Ini berarti kebijakan transmigrasi sebelumnya tidak memperhitungkan bahwa program transmigrasi akan menimbulkan potensi konflik akibat adanya perbedaan kebudayaan. Dalam konteks Lampung Selatan identitas budaya seperti etnisitas dapat menjadi potensi konflik yang dapat berubah menjadi tindak kekerasan. Faktor pola penanganan: lambannya respon aparat pemerintahan dan upaya perdamaian tidak efektif. Seperti di Lombok Tengah, aparat kepolisian dan pemerintah kabupaten setempat terkesan lamban dalam melokalisir rangkaian insiden kekerasan terkait konflik antarkampung. Salah satu contohnya, insiden pada Mei dan Juni 2012 antara warga Desa Kawo dan Ketara. Persoalan lokasi yang jauh dan waktu insiden bentrokan yang tidak terduga menjadi alasan pihak aparat Kepolisian Resort Lombok Tengah sulit mendeteksi rangkaian insiden yang terjadi (Antaranews.com, 19 Mei 2012). Tak hanya itu, penyerangan warga Desa Ketara terhadap warga Desa Batujai yang melalui jarak kurang lebih 10 kilometer tidak mampu dicegah oleh pihak keamanan dan pemerintah setempat. Menurut penuturan warga Batujai, penyerangan warga Ketara sebenarnya dapat dicegah karena mereka melewati jalanjalan utama di Kecamatan Pujut (wawancara, 4 Februari 2014). Hal-hal tersebut menunjukan bahwa pihak aparat kepolisian terkesan reaktif dalam merespon kasus-kasus kekerasan antarkampung di Lombok Tengah. Padahal jika dicermati lebih dalam, kekerasan antarkampung tersebut dapat dicegah sejak pemicunya terjadi, misalnya perkelahian antarpemuda dari dua desa. Pencegahan juga bisa dilakukan dengan melihat pola mobilisasi massa yang cenderung terkonsentrasi di desa yang kemudian bergerak menuju lokasi bentrokan, seperti sawah atau perbatasan desa.
Lambannya penanganan juga terjadi dalam kasuskasus kekerasan antarkelompok suku di Mimika, Papua. Sejauh ini, upaya penanganan, seperti yang dilakukan pihak kepolisian dan pemerintah daerah setempat, masih sangat reaktif dengan kekerasan-kekerasan besar. Padahal, menurut tokoh adat Amungme, pihak aparat keamanan seharusnya dapat mencegah terjadinya perang kalau segera melakukan tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan yang kerap menjadi pemicu bentrokan antara kelompok suku di Mimika (wawancara, 11 Februari 2014). Ketika perang telah terjadi, tindakan yang dilakukan aparat keamanan terkesan lamban, tidak secara cepat melokalisir wilayah dan menemui tokohtokoh adat setempat. Salah satu tokoh adat Kamoro mengatakan bahwa pihak kepolisian sebenarnya bisa cepat menghentikan perang yang baru terjadi jika langsung menemui tokoh-tokoh kelompok suku yang berkonflik dan memisahkan kedua kelompok tersebut dari lokasi peperangan. Upaya tersebut dianggap penting oleh tokoh adat Kamoro untuk mengurangi potensi korban dan perang yang berlarut-larut. Selama ini aparat keamanan lebih memilih upaya pengerahan personil dalam jumlah banyak yang memerlukan waktu lama untuk sampai ke lokasi perang (wawancara, 11 Februari 2014). Lebih lanjut, upaya-upaya perdamaian terhadap kasuskasus kekerasan antarkampung di Lombok Tengah masih menekankan pada aspek penghentian kekerasan. Hal
Lebih lanjut, berlarut-larutnya proses penyelesaian konflik antarkampung juga dipengaruhi oleh keberadaan Pamswakarsa di Lombok Tengah.52 Pascareformasi Pamswakarsa mulai marak ketika aparat kepolisian dianggap tidak mampu mengatasi maraknya kasus
53 Bujak (Pemburu Jejak) dan Amphibi merupakan organisasi pamswakarsa yang cukup terkenal di Pulau Lombok pada era transisi Orde Baru ke Reformasi. Organisasi Pamswakarsa tersebut beranggotakan para pemuda lintas desa di Lombok. 54 Saat ini, keberadaan pamswakarsa banyak digunakan untuk kepentingan politik (seperti melakukan intimidasi untuk memilih salah satu calon bupati/walikota). Tak hanya itu, mereka juga digunakan untuk kepentingan ekonomi, seperti yang terjadi di wilayah Kuta, Lombok Tengah dimana masyarakat mendapat intimidasi dari Pamswakarsa yang diduga disewa oleh pengusaha yang hendak melakukan pembebasan tanah untuk kebutuhan pariwisata (wawancara, 5 Februari 2014). Di samping itu, partisipasi oraganisasi/kelompok Pamswakarsa dalam membantu pengamanan telah dilegitimasi sebagai bagian dari kebijakan “Empat Pilar Kamtibmas”, yang terdiri dari Kepolisian, TNI, Satpol PP, dan Pamswakarsa. Pernyataan Kapolda NTB dalam Harian Umum Nurani Rakyat, 24 Januari 2014, ”Kapolda Launching Empat Pilar Kamtibmas”.
50 Daftar Kecamatan dan Kabupaten yang Pembentukannya Didorong oleh Pembangunan Transmigrasi di Propinsi Lampung, lihat Buku Data Ketransmigrasian Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Lampung tahun 2009, halaman 74. 51 Riwanto Tirtosudarmo.2007. Mencari Indonesia, Demografi Politik Paska Soeharto; Jakarta, Penerbit LIPI Press. 52 Tak hanya di Pulau Lombok, fenomena Pamswakarsa juga marak di Jakarta pasca Orde Baru tumbang. Fenomena ini dapat dilihat pada saat Sidang Istimewa MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat ) tahun 1998. Pada saat itu, massa Pamswakarsa (berasal dari beberapa organisasi kepemudaan dan ormas Islam) yang pro terhadap sidang istimewa terlibat bentrok dengan kelompok mahasiswa yang menolak sidang tersebut (lihat, Ryter, 1998; dan Kingsbury, 2003).
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
20
The Habibie Center
inilah yang kemudian membuka ruang bagi kemunculan kekerasan-kekerasan lainnya. Salah seorang aktivis sosial di Lombok Tengah mengatakan bahwa selama ini pendekatan yang digunakan untuk menangani konflikkonflik antarkampung masih bersifat parsial dan tidak menyentuh akar masalah yang melatarbelakanginya, seperti contohnya trauma mendalam para korban kekerasan di desa (wawancara, 20 Januari 2014). Tak hanya itu, kebanyakan perdamaian terjadi tidak dilanutkan dengan penegakan hukum bagi para pelaku kekerasan, sehingga mengakibat dendam tetap menyala di antara warga desa yang berkonflik di Lombok Tengah. Menurut penuturan tokoh pemuda Desa Kawo, sampai saat ini pemerintah dan kepolisian tidak pernah menindak tegas pelaku kekerasan yang telah melukai dan membakar rumah warga Kawo (wawancara, 5 Februari 2014).
upaya penyelesaian konflik kekerasan yang terjadi pada Oktober 2012 juga mendapatkan penolakan dari sebagian masyarakat adat lokal Lampung Selatan. Perjanjian ini disepakati oleh Raja Bali I Gusti Ngurah Arya dan lembaga formal adat bentukan pemerintah daerah Lampung Selatan (www.detik.com, 4 November 2012). Pertama, ada indikasi konflik dipicu oleh kepentingan elit politik di tingkat atas yang saling bertikai memperebutkan pengaruh. Pembentukan institusi formal lembaga masyarakat adat oleh pemerintah dengan tujuan menjembatani dan mengakomodasi berbagai kelompok masyarakat adat di Lampung Selatan menuai kontroversi tersendiri.56 Beberapa tokoh adat yang diwakili oleh para pangeran adat dari marga yang ada di Lampung Selatan tidak semuanya menyetujui dan menerima institusi adat bentukan pemerintah Lampung Selatan. Hal ini menunjukan adanya masalah representasi bahwa ada sebagian pihak dari masyarakat adat Lampung Selatan tidak merasa diri dan kelompoknya terwakili oleh institusi formal masyarakat adat yang dibentuk pemerintah. Ini berarti jalur mediasi melalui institusi masyarakat adat tidak sepenuhnya dapat mewakili kepentingan dan suara tuntutan kelompok-kelompok masyarakat adat yang ada di Lampung Selatan.
Hal serupa juga terjadi di Mimika, serangkaian perdamaian yang biasa dimediasi oleh pihak kepolisian bekerja sama dengan para pemangku jabatan lainnya masih bersifat reaktif dan cenderung hanya efektif menghentikan beberapa insiden kekerasan antarkelompok suku.55 Akar persoalan belum diperhatikan, misalnya persaingan antara penduduk lokal dengan pendatang, akses terhadap sumber ekonomi, dan juga maraknya aksi kriminalitas, akses terhadap kegiatan pendulangan emas yang kerap memicu kekerasan. Persoalan semakin sulit, ketika pola penanganan hanya bergantung pada upaya atau intervensi pemerintah. Kondisi ini berbeda dengan masa dimana masyarakat sipil cukup efektif menangani kasus kekerasan di Mimika. Sekitar tahun 1990-an di Mimika peran lembaga masyarakat, seperti LEMASA (Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme) cukup aktif sebagai mediator konflik serta perekat suku-suku lainnya. Sangat disayangkan, menurut Muridan Widjojo, saat ini keberadaan lembaga-lembaga masyarakat di Mimika tidak lagi fokus sebagai mediator konflik, namun lebih fokus kepada pelaksanaan kegiatan program-program kemitraan PT. Freeport dan bantuan pemerintah pusat dan daerah (wawancara, 1 Februari 2014).
Kedua, selain masalah keterwakilan elemen dan kelompok masyarakat di Lampung Selatan, sosialisasi perdamaian paska insiden Napal tidak dilakukan sebar ke wilayah lainnya di Lampung Selatan. Baik pihak warga etnik Bali dan warga lokal Lampung Selatan di akar rumput tidak merasakan adanya sosialisasi yang menyeluruh mengenai perjanjian perdamaian di Desa Napal. Bahkan perjanjian pada 4 November 2012 yang dilaksanakan oleh pihak pemerintah Provinsi Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan menuai kontroversi karena dianggap tidak mewakili masyarakat bawah Lampung Selatan. Dalam surat pernyataan sikap, warga masyarakat Lampung Selatan menolak perjanjian tersebut.57 Akhirnya pemerintah Provinsi Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan memenuhi tuntutan tersebut dengan menyelenggarakan deklarasi damai bersama dan pernyataan permintaan maaf dari orang Bali ditempat terbuka pada tanggal 21 November 2012.58
Upaya perdamaian yang tidak efektif menyentuh masyarakat lapisan bawah (grassroots) juga terjadi di Lampung Selatan. Kesepakatan perdamaian yang dilakukan setelah insiden kekerasan di dusun Napal Januari 2012 antara kedua kelompok etnik tidak cukup kuat menjadi pengikat agar kekerasan serupa tidak berulang kembali. Kekerasan yang lebih besar terjadi pada bulan Oktober 2012 di Desa Balinuraga. Ada beberapa penyebab penanganan dan mediasi konflik tidak cukup efektif di antara warga etnik Bali dan warga lokal Lampung. Selain itu perjanjian damai pada 4 November 2012 sebagai
56 Dokumen Pernyataan Sikap Warga Masyarakat Lampung Selatan menyebut pada butir 3 dan 6 pernyataan sikap mereka bahwa: “Mengecam semua pihak, Pejabat, Pengamat Sosial, Akademisi, Aktivis Sosial maupun pihak-pihak yang tidak mengerti permasalahan yang terjadi sebenarnya, terkesan selalu memojokkan kami masyarakat Lampung, bahwa kami terkesan kejam, sadis dan senang tawuran, padahal mereka tidak mengerti permasalahan yang terjadi sebenarnya” (butir 3). Posisi-posisi strategis organisasi-organisasi kepemudaan ataupun organisasi kemasyarakatan yang bisa mempersatukan hubungan antar etnis di Lampung Selatan, harus di pimpin oleh warga Lampung Selatan yang lebih mengerti dengan permaslahan-permasalahan sosial di Lampung Selatan. 57 Dokumen Pernyataan Sikap Warga Masyarakat Lampung Selatan menyebut pada butir 1 pernyataan sikap mereka bahwa: “Kami warga masyarakat Lampung Selatan khususnya warga Lampung menolak perjanjian damai tersebut, karena terkesan dilakukan secara tergesa-gesa dan tidak memperhatikan keterwakilan warga masyarakat Lampung Secara umum yang bertikai serta tidak memperhatikan permasalahan-permasalahan selama ini yang terjadi”. 58 Dokumen Pernyataan Sikap Warga Masyarakat Lampung Selatan menyebut pada butir 2 pernyataan sikap mereka bahwa: “Menuntut permohonan maaf warga masyarakat Balinuraga dan masyarakat Bali secara umum harus dilakukan secara terbuka di tengah-tengah masyarakat Lampung Selatan, bu-
55 Menurut tokoh adat Amungme, selain upaya mediasi dari aparat pemerintah, hal yang penting juga diperhatikan dalam setiap upaya perdamaian perang suku adalah kesungguhan kelompok-kelompok suku yang bertikai untuk berdamai. Jika tidak, maka perdamaian tersebut akan sia-sia karena akan terjadi perang lanjutan. Ia mencontohkan ketika dua pihak yang berkonflik saling memanah babi dalam ritual perdamaian dan babi yang dipanah tidak langsung mati, maka itu pertanda bahwa masih ada dendam. Hal inilah yang penting dilihat oleh aparat pemerintah dan para pemangku kebijakan setempat (wawancara, 11 Februari 2014).
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
21
The Habibie Center
Ketiga, baik perjanjian perdamaian yang terjadi di Desa Napal Januari 2012 dan di Desa Balinuraga pada November 2012, pihak-pihak tertentu di masyarakat bawah merasakan bahwa proses perdamaian itu sendiri tidak dilakukan oleh pihak-pihak yang secara langsung terlibat pertikaian dan bentrokan kekerasan. Sehingga baik pihak warga etnik Bali dan warga etnik lokal Lampung yang secara langsung bertikai dan terlibat bentrok tidak secara langsung merumuskan perdamaian sesuai kebutuhan dan aspirasi mereka.59
Dalam beberapa kebijakan pembangunan pemerintah beberapa persoalan turut berkontribusi pada munculnya potensi konflik antarkelompok masyarakat. Persoalan yang cukup menonjol terkait strategi pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah. Dari hasil studi tim SNPKTHC terdapat kebijakan-kebijakan pembangunan yang cenderung mengesampingkan dimensi kohesi sosial di dalam kelompok-kelompok masyarakat yang membuka peluang munculnya konflik di tengah masyarakat. Dalam kasus Balinuraga, Lampung Selatan, kebijakan transmigrasi tahun 1958 yang dilakukan pemerintah pusat dengan menempatkan para kelompok-kelompok transmigran berdasarkan kesamaan identitas (seperti, etnis dan asal daerah) membuka ruang munculnya sekat-sekat di tengah masyarakat. Kondisi tersebut dipersulit dengan minimnya upaya-upaya pemerintah daerah setempat untuk menjembatani hubungan sosial antara kelompokkelompok transmigran (khususnya Bali) dan masyarakat lokal.
Terakhir, penanganan konflik antara warga etnik Bali dan warga etnik lokal Lampung dianggap tidak menyeluruh karena penyelesaian melalui perdamaian hanya menyentuh tahap penghentian konflik sedangkan pemulihan pascakonflik belum dilakukan secara komprehensif. Dari hasil observasi interaksi antara warga etnik Bali dan warga etnik lokal Lampung diperoleh adanya trauma dan dendam yang dapat kembali muncul kepermukaan bila tidak ditangani secara serius oleh pemerintah Lampung Selatan. Tahap pemulihan pascakonflik hanya sampai bagian rekonsiliasi melalui perdamaian di antara kedua belah pihak. Pemerintah daerah Lampung Selatan perlu untuk melakukan langkah rehabilitasi yang dengan menggarisbawahi Pasal 38 UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang meliputi aspek pemulihan psikologis korban konflik dan pelindungan kelompok rentan, penguatan relasi sosial yan adil untuk kesejahteraan. Langkah ini perlu dipertimbangkan mengingat ada kelompok-kelompok di lapisan masyarakat bawah yang perlu mendapatkan bantuan pemulihan secara psikologis untuk menghilangkan trauma dan dendam mendalam.
Seiring berjalannya waktu, pengelompokan masyarakat semakin menguat akibat minimnya interaksi sosial di antara mereka. Di samping itu, terdapat pula stigma dan juga prasangka negatif yang terbangun di antara kelompok transmigran Bali dan masyarakat lokal. Dari kasus Balinuraga, Lampung Selatan, terlihat bahwa kebijakan transmigrasi dengan strategi mengelompokan para transmigran berdasarkan identitas telah menciptakan ruang-ruang konflik di tengah masyarakat. Lebih lanjut, persoalan strategi pembangunan juga mengemuka dalam kasus kekerasan antarkelompok suku di Mimika, Papua. Hasil studi tim SNPK-THC menunjukan bahwa pemerintah (nasional dan daerah) tidak mempersiapkan dengan baik strategi menghadapi adanya migrasi penduduk yang masif ke wilayah Mimika akibat keberadaan aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT. Freeport. Hal tersebut menjadi penting karena migrasi para pendatang (asli dan non-Papua) secara perlahan memberikan tekanan ekonomi, sosial, dan budaya bagi masyarakat asli, terutama kelompok suku Amungme dan Kamoro. Kondisi ini yang menjadi salah satu pendorong maraknya perang suku di Mimika. Dalam hal ini, pemerintah lebih merespon ledakan para pendatang dengan melakukan kebijakan pemekaran dengan alasan wilayah yang telah memenuhi syarat (seperti jumlah penduduk). Kebijakan tersebut tidak menjadi strategi yang tepat kalau tidak diikuti oleh upaya-upaya penyelesaian masalah yang lebih mendasar, seperti sengketa kepemilikan lahan. Dalam kasus kekerasan antarkelompok suku di Mimika, Papua, terlihat bahwa pemerintah tidak cukup adaptif dalam menghadapi persoalan terkait dampak pembangunan yang ada.
Problem Kebijakan Pembangunan dan Penanganan Konflik Antarkelompok di Indonesia Berdasarkan hasil studi tim SNPK-THC, konflik antarkelompok di Indonesia tidak hanya terkait persoalan perbedaan identitas, seperti etnik, suku, agama, dan desa/kampung. Persoalan struktural seperti kebijakan pemerintah juga turut mempengaruhi dinamika konflik antarkelompok. Tim SNPK-THC mengidentifikasikan terdapat dua kebijakan pemerintah yang penting diperhatikan dalam kekerasan antarkelompok, yakni terkait kebijakan pembangunan dan penanganan konflik. kan hanya dilakukan di depan para pejabat dan di luar Lampugn Selatan (hotel berbintang) serta dimuat oleh semua Media elektronik maupun media cetak berskala Nasional. 59 Salah satu informan misalnya mengatakan bahwa sebenarnya proses penyelesaian antar adat yang dilakukan oleh warga etnik Bali dari Balinuraga dengan warga masyarakat adat lokal Lampung di tingkat masyarakat langsung sudah berjalan tanpa perantara pemerintah dan lembaga adat lokal Lampung yang dibentuk pemerintah. Namun dalam perjalanan proses perdamaian, pihak-pihak masyarakat adat yang sebelumnya sudah terlibat proses perdamaian tidak diikutkan dalam proses perdamaian yang dilakukan oleh pemerintah lokal Lampung melalui institusi adat yang dibentuk secara formal. Lebih lanjut lagi masyarakat bawah mengatakan pendapatnya dalam proses perdamaian yang dimediasi lembaga adat bentukan pemerintah: “Nah inilah yang kemudian masyarakat dibawah tidak mau menandatangani perdamaian...berontak. Siapa yang berperang, siapa yang bermasalah, siapa yang berdamai?”
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
Pada kasus kekerasan antarkampung di Lombok Tengah, NTB, strategi pembangunan yang dilakukan pemerintah setempat di satu sisi cukup berhasil untuk mengurangi angka pengangguran dengan membuka peluang kerja di area BIL. Namun demikan, strategi tersebut sangat berpotensi memunculkan konflik baru antarwarga desa 22
The Habibie Center
di Lombok Tengah karena strategi yang digunakan cukup diskriminatif, para pekerja yang bisa mengakses peluang kerja dan usaha di areal bandara adalah kelompok warga yang lahan-lahannya dibebaskan untuk keperluan pembangunan bandara. Warga di luar kelompok desa tersebut relatif sulit untuk dapat masuk atau mengakses peluang ekonomi di areal bandara. Hal inilah yang memunculkan kecemburuan-kecemburuan yang dapat menciptakan perselisihan di antara warga-warga desa di Lombok Tengah. Dalam kasus kekerasan antarkampung di Lombok Tengah, NTB, strategi pembangunan yang dilakukan pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi pengangguran justru dapat menumbuhkan benih-benih konflik baru.
Ada dua alasan mengapa hal ini menjadi penting. Pertama, reaksi dan empati atas dasar identitas tertentu dapat menyebar dalam skala yang lebih besar. Organisasi masyarakat dari provinsi Bali misalnya hendak mengirim pasukan mendatangi Lampung bila masalah tidak diselesaikan segera (www.okezone.com, 31 Oktober 2012).60 Kedua, sebagai negara yang berdaulat, sudah semestinya permasalahan ini dilihat pemerintah sebagai permasalahan antar warga negara bukan antar kelompok etnik di Lampung. Ini berarti secara institusional pemerintah Lampung dan aparat penegak hukum pada tingkat provinsi dan kabupaten sebagai pihak yang mewakili negara untuk menyelesaikan konflik dan kekerasan di dalam wilayah administrasi Lampung itu sendiri. Mengingat warga Bali yang ada di Lampung sudah merupakan warga negara dan bagian yang tidak terpisahkan baik ke dalam administrasi pemerintah daerah dan masyarakat Lampung. Dengan kata lain, konflik dengan potensi identitas tertentu (suku/ agama/ras/antargolongan) seharusnya diselesaikan oleh pemerintah dengan menempatkan identitas primodial kelompok-kelompok yang bertikai dibawah identitas warga negara. Dengan cara seperti ini peran lembaga pemerintah dan institusi hukum akan lebih efektif menyelesaikan konflik.
Persoalan struktural lain dalam fenomena kekerasan antarkelompok di Indonesia adalah kebijakan penanganan konflik di tingkat lokal. Dari hasil studi tim SNPK-THC, penanganan konflik masih sangat menitikberatkan pada upaya penghentian kekerasan. Padahal jika merujuk pada UU No.7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, aspek pencegahan dan pemulihan tidak bisa dilepaskan dari upaya penyelesaian konflik sosial di masyarakat. Dari aspek pencegahan, terdapat dua hal penting yang menjadi sorotan dalam kasus-kasus kekerasan antarkelompok, yakni terkait upaya meredam potensi konflik dan sistem peringatan dini. Berdasarkan kasus-kasus kekerasan antarkelompok, upaya pemerintah beserta pemangku jabatan lain cukup minim untuk meredam potensi konflik. Seringkali, pemerintah baru bereaksi ketika konflik pecah menjadi kekerasan. Padahal, indikasi-indikasi akan terjadi kekerasan antarkelompok (seperti perkelahian antar kelompok pemuda dua desa dan tindakan-tindakan kriminalitas) dapat dilihat, terlebih di wilayah-wilayah yang sering terjadi bentrokan. Pemerintah setempat acap kali menganggap sepele pemicu kekerasan dan lebih menjadikan persoalan tersebut sebagai masalah hukum yang merupakan ranah kepolisian. Sensitivitas pemerintah terhadap potensi konflik (pemicu dan sumber) penting diperhatikan dalam upaya membangun sistem pencegahan yang baik.
Lemahnya upaya meredam potensi konflik juga karena keberadaan forum-forum kemasyarakatan yang dibentuk secara formal (seperti FKUB atau forum adat lokal) tidak optimal dalam bekerja. Di beberapa wilayah, seperti di Lampung Selatan dan juga Lombok Tengah, keberadaan forum-forum tersebut tidak cukup efektif dalam upaya meredam konflik. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yakni permasalahan keterwakilan dari kelompokkelompok masyarakat di dalam forum, tidak adanya pertemuan secara rutin yang membahas permasalahan terkini di masyarakat, dan tidak adanya mekanisme yang jelas terkait hak dan tanggung jawab yang melekat pada anggota forum. Akibatnya, forum-forum tersebut tidak dapat membangun mekanisme pencegahan dan penyelesaian konflik yang lebih mengutamakan musyawarah dengan menggunakan mekanisme lokal.
Kebijakan penanganan konflik di Lampung Selatan juga dapat menjadi pelajaran berharaga. Kepentingan elit politik dalam penyelesaian konflik antarkelompok di antara warga etnik Bali dan warga lokal Lampung Selatan semakin mempertajam bentuk konflik identitas etnik. Ini dapat terlihat dari penolakan pada perjanjian damai yang dibuat pada 4 November 2012 yang disepakati oleh Raja Bali dan lembaga formal adat Lampung Selatan. Selain itu kehadiran Gubernur Bali dan bereaksinya sejumlah organisasi masyarakat Bali yang berasal dari provinsi Bali menunjukan bahwa terbangunnya identifikasi dan empati atas dasar acuan etnik di antara elit politik dan warga Bali di daerah asal. Hal ini sebaiknya dihindari dalam proses perdamaian yang hendak dilaksanakan sehingga tidak mempertegas identifikasi dan empati berdasarkan identitas tertentu. Kajian Perdamaian dan Kebijakan
Aspek pencegahan lain yang menjadi sorotan dalam kekerasan antarkelompok masyarakat adalah tidak terbangunnya suatu sistem peringatan/deteksi dini. Hasil studi tim SNPK-THC menunjukan keberadaan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat/FKDM (berdasarkan Permendagri Nomor 12 tahun 2006) di daerah belum dapat mengelola informasi terkait potensi konflik yang ada di tengah masyarakat. Kepala Kesbangpol Lombok Tengah mengatakan bahwa belum optimalnya FKDM di daerah karena tidak terbangunnya sistem informasi soal deteksi dini dan bahkan banyak pihak mengeluh tidak tahu harus melakukan apa atas informasi terkait potensi 60 Simpati terhadap kelompok dengan acuan identitas ini pernah terjadi di Ambon dimana Laskar Jihad berhasil memobilisasi mereka yang mengidentifikasi diri dan bersimpati dengan kelompok agama tertentu datang untuk membantu kelompok muslim dari daerah di luar Ambon. Lihat Gerry van Klinken. 2007. Communal Violence and Democratization in Indonesia; Small Town Wars. New York; Routledge terutama bab 6. 23
The Habibie Center
konflik yang diterima oleh anggota FKDM (wawancara, 4 Februari 2014). Hal yang patut diperhatikan adalah ketika sudah dibentuk forum-forum deteksi dini, maka sistem peringatan dini penting untuk secara linear dibangun karena jika dilakukan terpisah, maka upaya pencegahan kekerasan tidak akan berjalan optimal.
4. Pemerintah daerah harus menghilangkan permukiman-permukiman warga yang cenderung berdasarkan identitas kelompok etnis tertentu. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pembauran permukiman penduduk secara bertahap. Hal ini untuk mengurangi menguatnya sentimen kelompok di kalangan masyarakat yang kerap bertikai.
Aspek lain yang kerap dikesampingkan oleh pemerintah adalah terkait upaya pemulihan pascakonflik. Upaya yang kerap dilakukan pemerintah lebih banyak pada rehabilitasi bangunan fisik yang hancur atau pemberian santunan terhadap korban konflik. Namun demikian, rehabilitasi aspek psikologi para korban konflik masih sangat minim dilakukan. Seperti pascakasus Balinuraga, Lampung Selatan, banyak warga baik dari kelompok Bali maupun masyarakat lain mengalami trauma akibat konflik tersebut. Sampai saat ini, upaya rehabilitasi, seperti trauma healing belum terlihat dilakukan oleh pemerintah dan para pemangku jabatan setempat. Pada beberapa kasus kekerasan di Lombok Tengah, upaya rehabilitasi terhadap korban konflik, khususnya anak-anak tidak menjadi perhatian oleh pemerintah (wawancara, 6 Februari 2014) meskipun anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terhadap dampak kekerasan.
5. Pemerintah daerah harus menciptakan ruang-ruang publik yang dapat membuat kelompok-kelompok masyarakat dari beragam identitas (etnis, agama, dan desa/kampung) saling berinteraksi untuk mengurangi tensi perselisihan antara kelompokkelompok yang kerap berkonflik. 6. Pemerintah daerah dan aparat hukum harus menempatkan setiap konflik antarkelompok dalam kerangka warga negara dan hukum. Ini artinya setiap individu atau kelompok bila melanggar aturan hukum dan tindak kekerasan akan ditindak dan diproses secara hukum tanpa mempertimbangkan latar belakang etnik/suku/ agama/ras/antargolongan. Hal ini perlu dilakukan agar hukum dan aparaturnya dihormati dan memiliki wibawa karena keadilan ditegakan tanpa melihat kategori sosial yang melekat bagi pelanggar hukum dan tindak kekerasan. Dengan meletakan identitas primodial dibawah identitas warga negara masyarakat akan lebih memilih proses hukum ketimbang melakukan tindak kekerasan dan main hakim sendiri.
Rekomendasi Dari hasil studi tim SNPK-THC, kekerasan terkait konflik antarkelompok perlu penanganan yang tepat dan komprehensip. Hal ini untuk mengurangi potensi dan berulangnya kekerasan antarkelompok di Indonesia. Untuk itu, tim SNPK-THC merekomendasikan beberapa hal, yakni:
7. Pemerintah perlu menciptakan sistem peringatan dini yang baik. Pemerintah daerah diharapkan dapat membuat sistem peringatan dini yang dapat digunakan secara efektif dalam mendeteksi potensi/ gejala konflik kekerasan antarkelompok masyarakat. Hal ini dapat dimulai dengan menciptakan sistem informasi yang baik dalam merespon isu-isu konflik antarkelompok di masyarakat.
1. Aspek pencegahan konflik kekerasan antarkelompok perlu dikedepankan. Aspek pencegahan ini dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dengan melakukan pertemuan rutin dengan para pemangku jabatan, tokoh masyarakat untuk membahas isu atau masalah-masalah terkini di daerah. Tak hanya itu, pemerintah juga dapat mengefektifkan program-programnya untuk mengurangi potensi konflik antarkelompok di masyarakat.
8. Peran forum-forum kemasyarakatan untuk meredam dan menyelesaikan konflik kekekerasan antarkelompok perlu dioptimalkan. Upaya ini dapat dilakukan dengan mendorong forum-forum tersebut untuk lebih aktif dalam melakukan kampanyekampanye perdamaian dan juga merumuskan caracara penyelesaiakan konflik yang berdasarkan pada mekanisme lokal.
2. Pemerintah (pusat dan daerah) sebaiknya memperbaiki strategi pembangunan yang digunakan dengan mengedepankan kepekaan terhadap potensi konflik yang melekat di tengah kelomopok-kelompok masyarakat. Selain itu, strategi pembangunan yang diterapkan pemerintah juga harus dapat beradaptasi dengan dinamika konflik yang ada di daerah.
9. Tokoh-tokoh masyarakat yang mempunyai pengaruh di kelompok-kelompok perlu dilibatkan untuk mengurangi potensi terjadinya kekerasan. Jika kekerasan telah terjadi, keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat harus didorong untuk segera menjadi mediator penyelesaian konflik antarkelompok.
3. Pemerintah harus menciptakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi masyarakat. Hal ini penting dilakukan karena pengangguran dan kemiskinan kerap mendorong kelompok masyarakat untuk lebih mudah tersulut dan terlibat dalam aksi-aksi kekerasan antarkelompok.
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
10. Pemerintah dan masyarakat sebaiknya membentuk forum atau wadah musyawarah bersama yang
24
The Habibie Center
diterima hampir seluruh kelompok. Forum atau wadah ini berisi perwakilan tokoh-tokoh masyarakat, adat, agama, dan perwakilan pemerintah. Tujuan pembentukan forum atau wadah tersebut adalah sebagai ruang pertemuan kelompok-kelompok masyarakat untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi sehingga dapat meminimalisir perselisihan yang kerap menjadi kekerasan.
PENDAPAT PAKAR: Untuk memperkaya perspektif mengenai kekerasan terkait konflik antarkelompok, tim SNPK-THC menyajikan artikel dari Riwanto Tirtosudarmo (Peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
11. Pemerintah harus melakukan upaya-upaya pemulihan terhadap korban konflik tidak hanya fisik tetapi juga psikologis. Hal ini penting untuk mengurangi trauma mendalam yang dialami oleh para korban konflik.
Arsitektur Kekerasan Antarkelompok 2005-2013 Riwanto Tirtosudarmo1
12. Aparat keamanan harus : • Meningkatkan fungsi inteligennya untuk mendeteksi secara dini upaya mobilisasi massa dalam kasus-kasus kekerasan antarkelompok
Kekerasan antarkelompok adalah istilah lain dari konflik komunal atau sering secara popular disebut juga sebagai konflik horizontal. Francis Stewart (2002) berpendapat bahwa konflik horizontal berhubungan dengan apa yang disebutnya sebagai ketidaksetaraan horizontal (horizontal inequality).2 Keidaksetaraan horizontal adalah ketidaksetaraan antarkelompok dimana pengertian kelompok disini memiliki makna yang bersifat kultural (culturally defined or constructed group). Dalam konteks Indonesia, makna kultural ini sering diartikan sebagai identitas etnik dan agama.
• Melakukan penegakan hukum yang tegas terhadap para pelaku (termasuk provokator) kekerasan dalam kasus-kasus konflik antarkelompok • Melakukan penegakan hukum terhadap para pelaku kriminalitas di tengah masyarakat yang kerap memicu kekerasan antarkelompok • Melakukan tindakan hukum yang tegas terhadap kelompok-kelompok tertentu, misalnya Pamswakarsa, yang terindikasi terlibat dalam kegiatan-kegiatan kekerasan antarkelompok.
Perhatian peneliti terhadap fenomena konflik yang terjadi di Indonesia meningkat pasca lengsernya Suharto pada 21 Mei 1998. Salah satu teori mengatakan bahwa munculnya berbagai konflik setelah lengsernya Suharto adalah karena ibarat Panci yang terbuka tutupnya sehingga ketika airnya mendidih meluap keluar. Selama Suharto berkuasa seperti Panci yang tertutup, keresahan masyarakat ditekan (repressed) melalui berbagai kebijakan, antara lain dilarangnya orang membicarakan secara terbuka halhal yang berkaitan dengan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). SARA adalah sebuah formula politik yang diciptakan oleh pemerintah Suharto untuk meredam kemungkinan terjadinya konflik horizontal. Begitu kekuasaan Suharto luruh, konflik horizontal tidak mungkin dibendung lagi. Konflik Sambas, Sampit, Poso dan Ambon adalah kekerasan antarkelompok atau konflik horizontal yang terjadi bersamaan dan setelah Suharto lengser.3
13. Pemerintah pusat harus memperjelas mandat UU No.7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Hal ini agar pemerintah daerah dapat menerjemahkan dan mengimplementasikan mandat undang-undang tersebut.
---
Meskipun ”Teori Panci” tidak sepenuhnya benar, fenomena konflik kekerasan memang melonjak jumlahnya bersamaan dengan lengsernya Suharto. Dalam salah satu publikasi UNSFIR (United Nations for Supporting Indonesian Recovery) yang ditulis oleh Ashutos Varsney et al. (2004) diperlihatkan secara rinci pola-pola kekerasan 1 Peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2 Lihat Francis Stewart, 2002, “Horizontal Inequalities: A neglected dimension of development”. QEH Working Paper Series No. 81. Oxford: Queen Elizabeth House, University of Oxford. 3 Konflik Sambas terjadi antara bulan Desember 1997 sampai Februari 1998, sehingga tidak dapat dikatakan sebagai konflik pasca-Soeharto karena terjadi pada saat Suharto masih berkuasa. Ulasan rinci tentang hal ini lihat Riwanto Tirtosudarmo, 1997, “Economic Development, Migration and Ethnic Conflict in Indonesia: A Preliminary Observation”. Soujourn, Vol. 12, No. 2 (October), pp. 293-328.
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
25
The Habibie Center
antarkelompok (collective violence) di Indonesia sejak tahun 1990 hingga tahun 2003.4 Dengan merentang waktu sejak 1990, studi tersebut menunjukan bagaimanapola-pola kekerasan antarkelompok terjadi jauh sebelum jatuhnya Suharto hingga pasca kejatuhannya. Selama tigabelas tahun data insiden kekerasan antar kelompok UNSFIR menunjukan adanya peningkatan drastis sejak 1998 hingga 2003, dengan puncaknya pada tahun 2000.
karena kegagalan pemerintah dalam menegakkan hukum (law enforcement) secara adil dalam masyarakat. Istilah “pembiaran” yang dimaksudkan bahwa pemerintah dianggap membiarkan insiden kekerasan itu terjadi sesungguhnya tidak terlalu tepat dan kata “pembiaran” perlu mendapatkan kualifikasi. Aparat keamanan dalam banyak kasus sesungguhnya tidak sekedar membiarkan sebuah insiden kekerasan antarkelompok terjadi didepan matanya namun melalui keputusan-keputusan yang diambilnya, misalnya dengan mengulur waktu pemberian izin sebuah pertemuan atau rencana aksi unjuuk rasa, telah secara aktif terlibat dalam proses terjadinya sebuah kekerasan antarkelompok.6
Data UNSFIR sejalan dengan data SPNK (Sistim Nasional Pemantauan Kekerasan) The Habibie Center (THC) periode 1998-2013 yang mencatat peningkatan insiden kekerasan komunal sejak tahun 1998 dan mencapai puncaknya pada tahun 2000 (Lihat Gambar 4, hal.8). Insiden kekerasan antarkelompok ini setelah tahun 2000 kemudian mengalami penurunan dan mencapai titik terendah pada tahun 2005.
Kedua, insiden kekerasan yang terjadi antarkelompok, sesuai dengan pendapat dari Frances Stewart, merupakan dampak dari adanya ketidaksetaraan horizontal antara dua kelompok yang memiliki identitas kultural berbeda (etnis, agama, migran-non migran, juga lokalitas – misalnya kampung). Ketidaksetaraan yang bersifat horizontal ini dapat menyangkut aspek demografi, ekonomi, politik maupun sosial dan biasanya telah berlangsung lama. Insiden kekerasan sesungguhnya bersifat akumulatif yang pada suatu saat mencapai klimaks – seperti kasus konflik Lampung dan Sumbawa yang melibatkan migran Bali.
Walaupun insiden kekerasan antarkelompok sejak 2005 hingga 2013 tidak mengalami peningkatan mencolok seperti terjadi sekitar awal tahun 2000an namun secara umum terjadi peningkatan dari waktu ke waktu, terutama sejak 2008. Bagaimana sesungguhnya arsitektur kekerasan antarkelompok 2005-2013 dan adakah perbedaan yang signifikan dengan yang terjadi pada tahun 1998-2003? Tahun 2005-2013 berada pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memerintah selama dua periode (2004-2009 dan 2009-2014). Jika melihat kecendrungan pada periode pemerintahan SBY yang pertama (2004-2009) grafik relatif merata (lihat gambar 4, hal.8). Pada periode ini insiden kekerasan hanya sedikit mencuat pada tahun 2006 dan kemudian menurun pada tahun 2008. Sejak tahun 2009 insiden kekerasan tercatat diatas 100 insiden pertahun menandakan peningkatan dengan adanya sedikit fluktuasi tiap tahunnya. Secara umum bisa dikatakan bahwa meningkatnya insiden kekerasan antarkelompok pada masa pemerintahan Presiden SBY ke-2 sejalan dengan hasil berbagai survei yang menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah semakin menurun hampir di semua bidang. Ketidakpuasan masyarakat cukup mencolok dalam penegakan HAM oleh pemerintah karena dianggap gagal dalam melindungi kelompok-kelompok minoritas dari ancaman dan serangan dari kelompok-kelompok yang lebih kuat.5
Ketiga, insiden kekerasan tidak jarang dimulai oleh peristiwa pertengkaran yang bersifat individual dan trivial. Dari peristiwa pertengkaran yang kecil ini menjalar menjadi insiden kekerasan yang besar, biasanya karena campur tangan elit lokal yang melihat peluang untuk memobilisasi sentimen (etnis, agama, lokalitas) dari penduduk untuk tujuan-tujuan mereka yang bersifat ekonomi dan politik. Para “ethnic entrepreneurs” ini hampir selalu memainkan peran terpenting dalam banyak kasus insiden kekerasan antarkelompok. Keempat, tidak ada jaminan bahwa insiden kekerasan antarkelompok di suatu tempat tidak akan terulang kembali di masa depan meskipun sebuah kesepakatan damai secara formal telah dilakukan oleh pihak-pihak yang bertikai. Hal ini bisa terjadi karena faktor utama yang mendorong terjadinya insiden kekerasan antarkelompok, yaitu ketidaksetaraan horizontal belum dihilangkan. Kelima, insiden kekerasan yang umumnya terjadi di luar Jawa menunjukkan bahwa hubungan-hubungan antarkelompok dari penduduk yang memiliki identitas kultural yang berbeda – dalam banyak hal akibat proses migrasi yang semakin meningkat jumlahnya dan semakin beragam arahnya – terbukti masih sangat rentan dan belum mencapai tingkat kestabilan sosial yang cukup atau belum mencapai ekuilibrium-nya. Saat ini, Papua merupakan wilayah yang secara khusus harus mendapatkan prioritas dalam kaitan dengan kekerasan antarkelompok ini.
Meskipun, sebagaimana juga ditunjukkan oleh Tim Kajian Perdamamaian dan Kebijakan THC, bahwa latarbelakang terjadinya insiden kekerasan antarkelompok pada periode 2005-2013 lebih beragam dibandingkan dengan yang terjadi sekitar tahun 2000an, namun arsitektur keduanya tidak jauh berbeda. Perbedaan secara umum terletak pada tingkat eskalasi dan intensitasnya. Arsitektur kekerasan antarkelompok pada periode 2005-2013 memiliki enam karakteristik utama sebagai berikut: Pertama, pada tingkat makro insiden kekerasan ini terjadi
Keenam, karakteristik arsitektur kekerasan antarkelompok yang terjadi pada 2005-2013 perlu mendapatkan
4 Lihat Ashutos Varsney et al. 2004, “Patterns of Collective Violence in Indonesia (1990-2003)”. UNSFIR Working Paper 04/03. 5 Tentang hal ini lihat laporan-laporan Setara Institute (2012, 2013), juga data dari Failed States Index (2012).
6 Lihat juga laporan tahunan The Wahid Institute (2014) dimana ditunjukkan tingginya keterlibatan aktor negara dalam insiden kekerasan terhadap kelompok minoritas keagamaan.
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
26
The Habibie Center
perhatian dari semua pihak, terutama pemerintah, karena jika tidak eskalasi insiden kekerasan antarkelompok akan meningkat di tahun 2014 mengingat tingginya temperatur politik nasional maupun lokal menjelang, pada saat maupun setelah dilangsungkannya PILEG (April) dan PILPRES (Juni). Memperlakukan warganegara tanpa memandang latarbelakang etnis, agama, asal usul, migran-non migran dan lokalitasnya – sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi sudah seharusnya menjadi PROTAP mulai dari Presiden sampai Kepala Desa, apalagi yang bertanggungjawab di bidang keamanan, di seluruh wilayah Indonesia.
Archipelagic in geography, eclectic in civilization, and heterogonous in culture, Indonesia flourishes when it accepts and capitalizes on its diversity and disintegrates when it denies and suppresses it.7 Sejarah politik Indonesia sejak kemerdekaan hingga hari ini sesungguhnya mencerminkan apa yang telah lama diamati oleh Cliffort Geertz yaitu terus berlangsungnya ketegangan antara “pusat’ dan “daerah” dan antara penekanan terhadap “kesatuan” yang menekankan sentralisme dan “persatuan”. yang menekankan desentralisme8. Dalam konteks sejarah politik pasca 1965 sentralisme adalah paham yang dianut oleh rejim Ordebaru dan desentralisme adalah paham yang dianut oleh rejim pemerintahan pasca-Orde Baru.
Apakah lesson learned yang dapat kita petik dari keenam karakteristik yang merupakan elemen-elemen pokok dari arsitektur kekerasan antarkelompok 2005-2013 tersebut diatas? Secara umum dapat dikatakan bahwa selama ini para pengambil keputusan di negeri ini telah melupakan dua realitas utama yang menjadi penyangga utama eksistensi dari sebuah Negara-bangsa yang bernama Indonesia. Indonesia sebagai sebuah Negarabangsa berpijak pada, penyangga pertama yaitu realitas geografis yang berbentuk archipelago (nusantara) dan, penyanggakedua yaitu realitas sosio-kultural yaitu sebuah masyarakat yang memiliki keragaman identitas kebudayaan yang tinggi.
Dugaan Clifford Geertz bahwa Indonesia akan berantakan (disintegrated) jika mengabaikan keberagaman terbukti dengan jatuhnya rejim Suharto pada tahun 1998. Pasca Suharto kita melihat pendulum bergerak kearah desentralisme dengan diterapkannya otonomi daerah. Sayangnya pemberian otonomi daerah bukan diberikan pada provinsi sebagaimana telah dirancang sebelumnya namun ke tingkat kabupaten yang justru banyak menimbulkan persoalan.9 Salah satu persoalan yang benar-benar tidak diantisipasi oleh para perancang otonomi daerah adalah apa yang kemudian disebut sebagai pemekaran wilayah. Pemekaran wilayah merupakan sebuah proses yang oleh penulis disebut sebagai “disintegrasi dari dalam” (disintegration from within).10
Realitas geografis Indonesia sebagai Negara Kepulauan (archipelago) seharusnya mendorong pembangunan infrastruktur yang maritime based economy dan bukan land based economy. Implikasi sosial politik dari terpusatnya pembangunan di Jawa adalah terus berlangsungnya eksploitasi kekayaan alam (natural resources) dari pulaupulau di luar Jawa. Berbagai konflik komunal yang hampir seluruhnya berlangsung di berbagai lokasi di luar Jawa secara atau tidak langsung memiliki hubungan dengan extractive industries terutama mining dan logging. Bukanlah rahasia lagi jika konflik lahan yang saat ini banyak melibatkan masyarakat adat, konflik antarkelompok pada pemilukada dan pemekaran wilayah; langsung atau tidak langsung erat kaitannya dengan eksploitasi kekayaan alam oleh para pengusaha swasta, nasional maupun internasional, yang didalamnya melibatkan peran elit lokal dan pejabat pemerintah daerah?
Kekerasan antarkelompok tampaknya akan terus membayangi upaya konsolidasi demokrasi pasca reformasi. Struktur dan format negara-bangsa yang belum bertumpu pada dua penyangga utamanya, yaitu realitas geografis dan realitas kultural sebagaimana secara singkat telah diuraikan diatas, niscaya akan terus membuat bandul pendulum terus berayun sebelum equilibrium politik pasca reformasi tercapai.
---
Selain realitas geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan realitas sosial-kebudayaan dari bangsa Indonesia yang bersifat majemuk juga mengandaikan sebuah konfigurasi negara-bangsa yang berbentuk “An archipelagic state”, Negara Maritim. Sebagai sebuah Negara Maritim yang besar, Indonesia memerlukan sebuah format hubungan antara pusat dan daerah serta antara daerah-daerah yang memungkinkan terejawantahkannya motto Negara Republik Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika. Dalam kaitan ini saya ingin mengutip pendapat Cliffod Geertz – seorang ahli antropologi Amerika (almarhum) yang mendapatkan bintang mahaputra dari pemerintah Indonesia karena dianggap berjasa bagi Indonesia yang dalam salah satu tulisannya mengatakan sebagai berikut: Kajian Perdamaian dan Kebijakan
7 Dikutip dari JAC Mackie (1980) “Integrating and Centrifugal Factors in Indonesia’s Politics since 1945”, dalam Indonesia: The making of a Nation, Vol 2 of Indonesia: Australian Perspectives, pp. 669-84. Canberra: Research School of Pacific Studies, Australian National University. 8 Penekanan yang berlebiha terhadap “kesatuan” pernah disndir oleh Mohamad Hatta dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Persatuan dan bukan persatean”, Daulat Rakyat, no. 22, Tahun 1932. 9 Ryaas Rasyid sebagai arsitek otonomi daerah pada awalnya merencanakan pemberian otonomi daerah ke tingkat propinsi, namun karena kekhawatiran pihak militer akan munculnya separatism, otonomi diberikan pada tingkat kabpaten. Pembahasan tentang isu ini lihat tulisan Riwanto Tirtosudarmo (2010) “Mungkinkah Indonesia Pecah jika Otonomi diberikan ke Provinsi?”, makalah disampaikan pada Seminar Dinamika Politik Lokal di Percik Salatiga. 10 Lihat Riwanto Tirtosudarmo (2005) “Indonesia: A disintegration from within?”, paper presented at CRISE (Center for Research on Inequality, Security and Ethnicity) workshop, Oxford University, 29-30 June 2005.
27
The Habibie Center
Edisi berikutnya akan menganalisis data Januari-Mei 2014 dan terbit pada bulan Juni 2014. Jika memerlukan informasi lebih lanjut silakan hubungi
[email protected] Kajian Perdamaian dan Kebijakan SNPK dapat diakses melalui website www.snpk-indonesia.com
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
28
The Habibie Center
The Habibie Center didirikan oleh Bacharuddin Jusuf Habibie dan keluarga sebagai organisasi independen, non-pemerintah dan nonprofit sejak tahun 1999. Visi The Habibie Center adalah menciptakan masyarakat demokratis secara struktural berdasarkan moralitas dan integritas nilai-nilai budaya dan agama. Misi The Habibie Center adalah pertama, untuk mendirikan masyarakat demokratis secara struktural dan kultural yang mengakui, menghormati dan mempromosikan hak asasi manusia, melakukan studi dan advokasi isu-isu tentang perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia dan kedua, untuk meningkatkan manajemen sumber daya manusia yang efektif dan sosialisasi teknologi.
Program Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) The Habibie Center (THC) PROJECT SUPERVISOR: Rahimah Abdulrahim (Direktur Eksekutif The Habibie Center) Hadi Kuntjara (Deputi Operasional The Habibie Center) TIM PENELITI: Imron Rasyid M. Hasan Ansori Rudi Sukandar Sopar Peranto Fathun Karib Sofyan Cholid Johari Efendi Foto sampul oleh Nurochman SNPK-THC 2014 The Habibie Center building Jl. Kemang Selatan No.98, Jakarta Selatan 12560 Telp. 62 21 780 8125 / 62 21 781 7211 Fax. 62 21 780 8125/62 21 781 7212 E-mail:
[email protected] www.habibiecenter.or.id facebook.com/habibiecenter
@habibiecenter
PUBLIKASI KAMI
ACEH
NAD
KALIMANTAN BARAT
SULAWESI TENGAH
KALIMANTAN BARAT
MALUKU UTARA
SULAWESI TENGAH
Catatan Kebijakan
KALIMANTAN BARAT
MALUKU UTARA PAPUA BARAT
MALUKU UTARA PAPUA BARAT
KALIMANTAN TIMUR
KALIMANTAN BARAT
SULAWESI TENGAH
MALUKU UTARA
MALUKU
MALUKU
JABODETABEK
PAPUA
KALIMANTAN BARAT
PAPUA
PAPUA
NTT
NTT
MALUKU
JABODETABEK
PAPUA
NTT
Fenomena kekerasan pelajar diperburuk oleh lemahnya pemantauan/pengawasan sekolah terhadap tindakan Ringkasan Eksekutif Program Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) kekerasan pelajar serta tidak memadainya mekanisme
Konflik kekerasan Pemilukada terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) dan Papua. Di Provinsi NAD terjadi 111 insiden dan di Provinsi Papua terjadi 8 insiden. Sebagian besar insiden terjadi antara para pendukung partai politik. Eskalasi kekerasan menjelang Pemilukada di NAD sudah terjadi sejak Oktober 2011. Akar konflik tersebut diduga karena perselisihan antara Gubernur petahana Irwandi Yusuf dengan Partai Aceh. Pada periode ini dampak yang tercatat adalah 48 cedera dan 14 bangunan rusak. Sedangkan di Papua, konflik kekerasan Pemilukada mengakibatkan 19 tewas, 115 cedera dan 130 bangunan rusak. Konflik kekerasan Pemilukada ini memerlukan penanganan tegas dari aparat keamanan agar konsolidasi demokrasi dalam jangka panjang tidak terganggu. Di sisi lain, partai politik harus memperkuat fungsinya sebagai agregator kepentingan dan saluran komunikasi konstituen agar bisa meredam potensi kekerasan. Kapasitas penyelenggara Pemilukada
kompleks. Kekerasan tersebutnilaidipicu oleh secaramasalah strukturalyang berdasarkan moralitas dan integritas nilai budaya dan agama. Misi dan The Habibie Center adalah aksi balas dendam ketersinggungan, persoalan pertama, untuk mendirikan masyarakat demokratis secara identitas dan rivalitas antar-sekolah/kampus, serta struktural dan kultural yang mengakui, menghormati dan hubungan asimetris junior-senior dalam mempromosikan hak asasi antara manusia, melakukan di studi dansekolah/ advokasi isu-isu tentang perkembangan demokrasi dan hak kampus. asasi manusia dan kedua, untuk meningkatkan manajemen sumber daya manusia yang efektif dan sosialisasi teknologi.
Dalam kategori isu identitas, antar-suku • Kajian •Perdamaian dan Kebijakan ini perang bertujuan di Mimika Lanny yang Jaya, Papua mengakibatkan menggambarkan tren dan kekerasan dipantau pada enam tewas danmembahas 87 cedera. itu, periode Mei-Agustus 2012 dan secaraDisamping khusus penting juga Kajian memperhatikan kekerasan kasus kekerasan pelajar. ini diharapkan dapat terkait hak-hak minoritas, misalnya insiden kekerasan memberi masukan pengambil kebijakan di tingkat terkait bagi tuduhan atas aliran sesat di Aceh yang nasional maupun lokal, serta lembaga masyarakat sipil 1 Angkadalam ini berdasarkan data yang diunduh dari www.snpk-indonesia. yang bergerak bidang manajemen konflik.
1 Angka ini berdasarkan data SNPK yang diterima THC pada 17 Oktober 2012 dan dapat berubah karena proses pemutakhiran data.
1
PAPUA
NTB
NTT
Edisi 05/November 2013
Edisi 01/Juli 2012
• dan Program Sistem Disamping Nasional Pemantauan Kekerasan konseling. itu, lemahnya melakukan pemantauan sistematis dan kontinu di pelaporan dalam menyelenggarakan dansecara mengawasi jalannya (SNPK) memantau secara sistematis dan kontinu di Provinsi Aceh Darussalam (NAD), Kalimantan pengawasan Dinas/Kementerian Pendidikan membuat Pemilukada perluNanggroe ditingkatkan. Provinsi Aceh, Kalimantan Barat, Maluku, Maluku memperhatikan kekerasanPapua, yang dilakukan Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Papua, sekolah kurang Utara, Sulawesi Tengah, Papua Barat, Isu lain yang penting pada periode ini adalah sengketa oleh pelajar.Nusa Kekerasan pelajar ini juga dipengaruhi oleh Papua Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan JakartaTenggara Timur (NTT), dan Jakarta-Bogortanah, yang tercatat menonjol di Provinsi Maluku. orang tua dalam mengawasi anak-anak Sebagai (Jabodetabek). Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). SengketaBogor-Depok-Tangerang-Bekasi tanah terjadi hampir di seluruh wilayah Pada lemahnya peran di media dipercaya Mei-Agustus tahun 2012 yang tercatat 2.344 insiden mereka. Kekerasan bagian dari program SNPK, menciptakan Kajian Perdamaian Maluku periode sejak berpuluh-puluh lalu. Dalam kekerasanThe merupakan kekerasan yangsaja mengakibatkan 291 tewas, 2.406 dan Kebijakan Habibie norma Center umum ini bertujuan satu dekade terakhir telah terjadi sebanyak 175 cedera pandangan bahwa menggambarkan kekerasan yang perbedaan.tren Kekerasan pelajar jugadipantau • ini, kekerasan dalam menghadapi 272 bangunan rusak.1 Pada periode insiden dan kekerasan yang mengakibatkan 45 tewas, pada periodepenanganan September-Desember 2012 dan lambatnya aparat kemanan didominasi olehbangunan insiden konflik (65%). Jenis kekerasan lain terkait dengan 374 cedera, dan 388 rusak. Terdapat tiga membahas isu-isu penting di setiap provinsi sanksi terhadap pelaku kekerasan. yang dipantau adalah kriminalitas (26%), kekerasan dalam dan tidak tegasnya akar masalah sengketa tanah yang terus berulang sepanjang tahun 2012. tangga/KDRT dan kekerasan aparat tersebutrumah yaitu batas wilayah(6%) antar-desa/negeri, klaim(3%). Berdasarkan analisis mengenai fenomena kekerasan • Pada periode September-Desember 2012 tercatat kepemilikan tumpang tindihnya wilayah adat adalah pelajar, kajian ini memandang bahwa persoalan kekerasan Pada adat, periode ini, insiden yang perlu diperhatikan 2.364 insiden kekerasan yang menyebabkan 284 dengan wilayah Akarsengketa masalah sumber tanah inidaya, dan pelajar ini harus diselesaikan secara komprehensif. Kajian kekerasanadminsitratif. terkait identitas, tewas, 2.039 cedera, dan 312 bangunan rusak. perlu segera diselesaikan hingga karenaterkait seringidentitas ini memberikan rekomendasi sekolah isu separatisme. Insidentuntas kekerasan Kekerasan pada diantaranya: periode ini (1)didominasi oleh kali berujung padadicermati kekerasan. Kemampuan lembaga pemutusan kekerasan yang perlu adalah perang suku di Papua yang sebaiknya melakukan kriminalitas (58%),rantai diikuti oleh dengan konflik (31%). adat dan pemerintah daerah serta sinergi antara momenadanya orientasi yang bebas kekerasan dan SNPK mengakibatkan tujuh tewas dan 335 cedera, serta menciptakanKarena perubahan struktur database keduanya perlu ditingkatkan konflik kelompok/geng di dalam sekolah/kampus; bentrokan di Malukudalam yang mengelola mengakibatkan 49 cedera. membubarkan pada bulan September 2012, jumlah insiden dan dan menyelesaikan masalah tanah. Aparat23 keamanan dampak sebaiknya kriminalitas menjadi dialog sangat rutin besar. Jenis mewadahi Konflik sumber daya mengakibatkan tewas, meningkat (2) sekolah/kampus juga harus bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan kekerasanuntuk lain meminimalisir yang turut dipantau diantaranya permusuhan/ empat kali lipat dibandingkan periode Januari-April antar-sekolah/kampus sebagai 2012. wujudDampak dari penegakan hukum. Rumah Tangga/KDRT (8%) dan pemerintahDalam sebaiknya membuat peraturan tewas dalam kategori ini didominasi oleh rivalitas; (3) Kekerasan Aparat (4%).1 pendidikan lebih mendorong institusi emas di menjelaskan Pulau Buru, Maluku, Catatan sengketa kebijakantambang ini bertujuan tren yang yang dapatKekerasan kekerasan pelajar; (4) pemerintah juga dalam kekerasan yang dipantau pada periode Januari-April mengakibatkan 11 tewas dan 22 cedera. Sengketa tanah, memperhatikan • Beberapa insiden yang penting diperhatikan antar kementerian/ 2012 dan mengulas secara detail kedua isu dan di atas. baik antar-warga maupun antara warga perusahaan, sebaiknya meningkatkan periode ini koordinasi adalah kekerasan terkait sengketa sumber daya,menggali konflik identitas dan konflik Catatan mengakibatkan kebijakan ini sembilan diharapkan untuk permasalahan dan terkait tewasdapat dan 16memberi cedera. Beberapa lembaga lainnya separatisme. Insiden pentingkekerasan dalam sengketa • masukaninsiden bagi pengambil kebijakan di tingkat lokal dalam menangani lain terjadi di Papua yang berkaitan dengan isu merumuskanisukebijakan sumber daya terjadi dalam bentuk bentrokan maupunseparatisme nasional serta lembaga masyarakat sipil disarankan menerapkan self-censorship dan mengakibatkan 12 tewas dan 26 cedera. pelajar; (5) media emaspandangan di Gunungumum Botak, Buru, yang bergerak dalam bidang manajemen konflik. secara bijakdi areal untuk tambang mengurangi Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center Maluku mengakibatkan sembilan tewas dan bahwa kekerasan dapat dipergunakan dalam menyikapi sembilan cedera. Masih dalam kategori sengketa (THC) kali ini juga mengupas fenomena kekerasan pelajar perbedaan; sumber (6) aparat keamanan daya adalah disarankan kekerasan bertindak terkait sengketa yang telah terjadi sejak lama. Berdasarkan data SNPK, tegas terhadap pelaku kekerasan tetapi tanah antar-warga Portotetap dan memegang Haria, di Maluku pada periode Januari 2005-Agustus 2012 terjadi 1.303 peraturan yang berlaku; dan (7) pendidikan karakter Tengah, Maluku yang mengakibatkan tiga tewas insiden kekerasan pelajar oleh yang Bacharuddin mengakibatkan 100 tewas The Habibie Center didirikan Jusuf sebaiknya diperkuat di dalam kurikulum pendidikan agar dan sengketa antar-warga Lewobunga dan Habibie keluarga sebagai organisasipelajar independen, non-perhatian dandan 1.286 cedera. Kekerasan menjadi tercipta generasi yang toleran dan menghargai Lewonara di Adonara Timur, NTTnilai-nilai mengakibatkan pemerintah danpihak non-profit tahun 1999. dan Visi menyangkut The berbagai karenasejak selalu berulang dua tewas, 29 cedera, dan 21 bangunan rusak. kemanusiaan. Habibie Center adalah menciptakan masyarakat demokratis
Pada periode Januari-April 2012 terjadi 2.408 insiden kekerasan yang mengakibatkan 302 tewas, 2.044 cedera, dan 682 bangunan rusak di sembilan provinsi yang dipantau dalam program Sistem Pemantauan Kekerasan Nasional (National Violence Monitoring System-NVMS). Dari total insiden kekerasan tersebut, 61% berasal dari konflik kekerasan. Jenis kekerasan lain yang dipantau adalah kriminalitas (28%), kekerasan dalam rumah tangga/KDRT (8%) dan kekerasan aparat (4%). Total insiden tahun 2012 menurun sebanyak 6% dibandingkan dengan ratarata Januari-April tahun 2006-2008, namun korban tewas meningkat 13% dan kerusakan bangunan naik drastis 115%. Meningkatnya korban tewas tahun 2012 terutama disebabkan oleh konflik kekerasan Pemilukada, sedangkan kerusakan bangunan sebagian besar berasal dari konflik kekerasan antaretnik. Korban cedera paling besar berasal dari insiden kekerasan terkait demonstrasi menolak rencana pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM).
MALUKU
JABODETABEK
LAMPUNG
Peta Kekerasan di Indonesia (Mei-Agustus 2013) Peta Kekerasan di Indonesia (Mei-Agustus 2012) Peta Kekerasan di Indonesia (September-Desember 2012) Peta Kekerasan di Indonesia (Januari-April 2013) dan Konflik Lahan Antarwarga di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kekerasan dalam Pemilukada dan Isu-isu Penting Sepanjang Tahun 2012
Peta Kekerasan di Indonesia (Januari-AprilRingkasan 2012)Eksekutif RINGKASAN EKSEKUTIF
PAPUA BARAT
KALIMANTAN TENGAH
Kajian Perdamaian dan Kebijakan Kajian Perdamaian dan Kebijakan Kajian Perdamaian dan Kebijakan Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center The Habibie Center The Habibie Center The Habibie Center Edisi 02/November 2012 Edisi 03/April 2013 Edisi 04/Agustus 2013 MALUKU
MALUKU UTARA
SULAWESI TENGAH
PAPUA BARAT
NTT
Pemantauan Konflik Kekerasan di Indonesia
Catatan Kebijakan
SULAWESI TENGAH
PAPUA BARAT JABODETABEK
JABODETABEK
ACEH
ACEH
NAD
Kajian Perdamaian dan KebijakanThe Habibie Center
mengakibatkan tiga tewas dan 10 cedera. Insiden Ringkasan f berlatar belakangEksekuti isu antar-agama dalam bentuk serangan, baku Sistem tembakNasional aparat Pemantauan dengan pelaku • Program Kekerasan terorisme di Sulawesi (SNPK) memantauTengah secara mengakibatkan sistematis dan kontinu • delapanProvinsi tewas dan 11Kalimantan cedera. DiBarat, PapuaMaluku, Insiden Maluku Aceh, terkait Utara, isu separatisme di Kabupaten Sulawesi Tengah, Papua,Mimika, Papua Barat, Kabupaten dan Jakarta-BogorKota Nusa Lanny TenggaraJaya Timur(Papua) (NTT), dan Manokwari (Papua Barat) mengakibatkan tujuhSebagai Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). tewas dan 45 cedera. bagian dari program SNPK, Kajian Perdamaian dan Kebijakan HabibieTHC Center ini bertujuan Kajian Perdamaian danThe Kebijakan menyoroti menggambarkan tren kekerasan yangisudipantau beberapa insiden kekerasan berdasarkan dalam periode 2013 serta isu utama yang terjadiJanuari-April di setiap provinsi yangmembahas di kekerasan dalam Pemilukada pantau isu sepanjang tahun 2012. Di Provinsi(local Aceh,electoral violence). terkait Pemilukada menjadi isu konflik kekerasan penting. Kekerasan dalam Pemilukada tahun 2012 2.056 • Pada periode Januari-April 2013 tercatat naik tigainsiden belas kali lipat dibandingkan Pemilukada kekerasan yang menyebabkan 241 tewas, tahun 2006. dan 1.650 Pemilukada cedera, 208 tingkat korban provinsi pemerkosaan, dan kabupaten/kota yang dilaksanakan pada 9pada Aprilperiode 234 bangunan rusak. Kekerasan 2012 tersebut diliputi persoalan kontestasi di diikuti ini didominasi oleh Kriminalitas (58%), tingkat oleh elit yang kekerasan di Konflikmempengaruhi Kekerasan (28%). Jenis kekerasan tingkat lain akaryang rumput. penyerangan turutInsiden dipantau diantaranyadan Kekerasan perusakan properti terjadi, baik pada(9%) Pemilukada Dalam Rumah Tangga/KDRT dan Kekerasan di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/ 1 Aparat (5%). kota. Insiden kekerasan lain di Provinsi Aceh adalah kekerasan terkait minoritas. • Beberapa insiden yanghak-hak penting diperhati kan dalam Beberapa insideninikekerasan terhadap terkait pengikut periode adalah kekerasan sengketa • ajaran yang dianggap sesatik terjadi di Kabupaten sumber daya, konfl identitas, dan konflik terkait Aceh Barat dan Bireuen. isu separati sme. Insiden penting dalam sengketa sumber daya adalah penyerangan 20 warga Jabodetabek: Insiden yang di penting terhadap rumahkekerasan seorang warga Desa Langga diperhatikan adalah kekerasan pelajar Lete, Wewewa Barat, Sumba Barat dan Daya, NTT. kekerasan Organisasi Insidenanggota/simpatisan dipicu oleh sengketa tanah antara pelaku Masyarakat (Ormas). Kekerasan pelajar enam dan tewas dan korban yang mengakibatkan kelompok sepanjang tahun 2012 danOrmas sembilan cedera. Sengketa tanahtelah di berbagai pelajar merenggut jiwa dan luka-luka. Kekerasan wilayah di NTT telah terjadi sejak lama. Data pentingSNPK diperhatikan terjadi dunia mencatat karena 155 insiden yangdimengakibatkan pendidikan yang174mempersiapkan generasi rusak 50 tewas, cedera, dan 108 bangunan muda terdidik. Ditahun sisi lain, berbagai kekerasan sepanjang 2005-2012. kelompok Ormas juga memperlihatkan lemahnya penegakan hukum. • Korban tewas akibat insiden separatisme di Papua berjumlah 13 orang, sembilan di antaranya Provinsianggota Kalimantan Isu dibanding penting pada TNI. IniBarat: meningkat tujuh tewas tahun 2012 antara anggota pada adalah periodebentrokan sebelumnya. Salah satu insiden Front Pembela dan masyarakat adatanggota penting Islam adalah(FPI) penyerangan terhadap Dayak. Insiden memang jarang terjadi, TNI danseperti warga ini sipil oleh kelompok bersenjata di tetapi penting diperhatikan karena pada masa 1pernah Angka ini berdasarkan data di yang diunduhini. dari www.snpklalu indonesia.com terjadi konflik besar provinsi pada 17 Mei 2013.
Kecamatan Sinak, Kabupaten Puncak, Papua pada Ringkasan Eksekutif bulan Februari. Insiden ini mengakibatkan tujuh • Program Pemantauan Kekerasan anggota TNI danSistem empatNasional warga sipil tewas. (SNPK) memantau secara sistematis dan Dalam kontinu kategori Provinsi isu identiAceh, tas, perang antar-suku Lampung, Kalimantan • di Kabupaten Mimika, Papua mengakibatkan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, sembilan tewasMaluku dan 11 cedera. Salah satu Papua, Maluku, Utara, Sulawesi Tengah, insidenPapua penting adalah perang antar-suku antara Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Kelompok Kei yangBarat berasal(NTB), dari Maluku Tenggara dan Tenggara Jakarta-Bogordan Suku Kamoro pada Bulan(Jabodetabek). Februari yangSebagai Depok-Tangerang-Bekasi dipicu kemati salah satu anggota Kei. bagianandari program SNPK,kelompok Kajian Perdamaian Di samping itu, yang The pentiHabibie ng juga Center diperhati dan Kebijakan inikan bertujuan adalah menggambarkan kekerasan terkait minoritas, trenhak-hak kekerasan yang dipantau seperti dalam insiden kekerasan yang dialami Jemaah periode Mei-Agustus 2013 serta membahas Ahmadiyah di Kecamatan Pondok Gede, Kota isu konflik lahan antarwarga. Bekasi, Jawa Barat. Insiden tersebut menunjukkan • Pada periode Mei-Agustus 2013 tercatat semakin berkurangnya sikap toleran dalam 2.947 insiden kekerasan yang menyebabkan 353 tewas, • masyarakat. Data SNPK juga mencatat tiga insiden 274 dikorban pemerkosaan, terkait 2.532 tindakcedera, terorisme Kabupaten Poso, dan 388 bangunan rusak.1 Kekerasan Sulawesi Tengah. Berdasarkan data SNPKpada 2005-periode ini didominasi oleh Kriminalitas (57%), diikuti 2012, tren tindak terorisme di Poso cenderung oleh pada Konflikbulan Kekerasan (30%).Desember. Jenis kekerasan meningkat Juli hingga lainpemerintah yang turut (Pusat dipantau Kekerasan Untuk itu dandiantaranya Daerah) perlu Dalam Rumah Tangga/KDRT (8%)menjaga dan Kekerasan memberikan perhatian lebih guna Aparatdi(5%). perdamaian wilayah Poso. • Beberapa yang penting diperhatikan Kajian Perdamaianinsiden dan Kebijakan The Habibie ini adalah konflik lahan, Center dalam (THC) periode pada kuartal pertama 2013 kekerasan ini terkait penolakan menempatkan kekerasanrencana dalampengurangan Pemilukada subsidi BBM, kekerasan (local electoral violence) dalam sebagaiPemilukada, isu utama. konflik terkait isu separatisme, dan Menjelang Pemilu Nasional 2014, isuserangkaian kekerasan teror • aparat satu insiden dalam terhadap Pemilukada yangkepolisian. terjadi diSalah beberapa kerusuhan pada bulan Juni yang daerah penting memicuadalah kekhawati ran beberapa pihak menyebabkan tewas Kekhawati di wilayahranRegister terutama pemerintahsatupusat. 45 Sungai Buaya,dalam Kabupaten Mesuji, Lampung. terhadap kekerasan Pemilukada ini Insiden merupakan aksi balasan yang bersama faktor tersebut lainnya seperti biaya Pemilukada dilakukan dari kelompok terhadap yang mahal danperambah meningkatnya korupsiYadi para Wayan dasar Ana. Kekerasan terkait konflik • kepala kelompok daerah menjadi bagi pemerintah di Mesuji telah terjadi lama. Data pusat lahan melalui Kementerian Dalamsejak Negeri SNPK mencatat 51 insiden yang mengakibatkan (Kemendagri) menggulirkan wacana perubahan tewas, kepala 38 cedera, dan 24 bangunan sistem 15 pemilihan daerah secara langsung rusak 2013. menjadisepanjang pemilihan2005-Agustus perwakilan di DPRD. Inisiatif ini sudah diajukan di Komisi II DPR RI dan dibahas • RUU Serangkaian insiden demonstransi anarkis terkait dalam Pemilukada. penolakan rencana pemerintah mengurangi subsidi BBM juga menjadi perhatian pada periode 1 Angka ini berdasarkan data yang diunduh dari www.snpkindonesia.com pada 19 September 2013.
ini. Sepanjang Mei-Juni 2013, sebanyak 33 insiden demonstransi anarkis yang menyebabkan 43 cedera. Insiden-insiden tersebut marak terjadi di wilayah Jabodetabek, Maluku Utara, dan NTB. Kekerasan terkait Pemilukada yang cukup menonjol adalah dua insiden bentrokan antara pendukung dua pasangan calon Bupati Sumba Barat Daya. Dua insiden tersebut mengakibatkan tiga tewas, satu cedera, dan 19 bangunan rusak. Insiden tersebut dipicu oleh penolakan pendukung calon bupati Kornelis Kodi Mete-Daud Lende Umbu Moto terhadap hasil keputusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan pasangan calon Markus Dairo Tallu-Ndara Tanggu Kaha memenangkan Pemilukada sesuai hasil rekapitulasi KPUD Sumba Barat Daya. Insiden konflik terkait isu separatisme masih didominasi kontak senjata antara kelompok bersenjata yang diduga Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan aparat keamanan, seperti pada aksi kontak senjata di Kampung Jigonikme, Kabupaten Puncak Jaya yang mengakibatkan dua warga sipil dan satu anggota TNI tewas. Disamping itu, terjadi pula kekerasan terhadap warga sipil yang diduga dilakukan oleh OPM. Pada periode ini juga tercatat insiden-insiden demonstrasi anarkis yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa maupun Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Pada periode ini, serangkaian teror terhadap aparat kepolisian cukup menonjol, seperti dua insiden penembakan terhadap aparat kepolisian di Ciputat dan Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan, Banten. Aksi penembakan tersebut mengakibatkan tiga polisi tewas. Pada bagian kedua Kajian Perdamaian dan Kebijakan ini, konflik lahan antarwarga menjadi fokus utama sebagai fenomena yang memperlihatkan bagaimana terhalangnya individu atau kelompok dalam mengakses lahan. Berdasarkan data SNPK sepanjang tahun 2005-Agustus 2013, konflik lahan antarwarga menunjukkan kecenderungan meningkat. Tercatat sebanyak 338 insiden kekerasan terkait konflik lahan antarwarga yang mengakibatkan 92 tewas, 628 cedera, dan 614 bangunan rusak.
com pada 23 Maret 2013.
1
Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center
1
The Habibie Center
Kajian Perdamaian dan Kebijakan
Kajian Perdamaian dan Kebijakan