Editor: Doni Koesoema
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA Penulis: Achmad Ikrom Achmad Taufik A. Febri Hendri AA Hadi Prayitno Ridwan Darmawan, Rohidin Sudarno, Supangat Rohani,
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Network for Education Watch Indonesia 2015
Policy Brief & Recommendations
Kebijakan Pendidikan Wajib Belajar 12 Tahun
M
embentuk manusia Indonesia yang cerdas dan mampu berpartisipasi secara aktif dalam tataran dunia global merupakan amanat dari Konstitusi. Amanat ini diejawantahkan dalam pasal Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (2) dan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta peraturan di bawahnya yang menjamin hak dasar memperoleh pendidikan bermutu bagi setiap warga Indonesia dan Pemerintah membiayainya. UU Sisdiknas hanya memberikan batasan kewenangan pemerintah dalam membiayai pendidikan dasar sampai tingkat SMP. Padahal, untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang cerdas, dan selaras dengan janji Nawacita Presiden Jokowidodo, kita membutuhkan peningkatan kualitas pendidikan, terutama meningkatkan akses pendidikan warga negara pada jenjang SMA. Sayangnya, dasar hukum untuk pendidikan dasar yang wajib dan dibiayai Negara ini belum ada. Usaha masyarakat sipil untuk mengadakan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi agar membatalkan pembatasan usia pendidikan dasar yang dibiayai pemerintah hanya sampai jenjang SMP sudah kandas dengan dikeluarkannya keputusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.92/PUU-XII/2014. Keputusan MK ini
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
menyatakan bahwa tentang kriteria usia pendidikan dasar yang dibiayai Pemerintah merupakan sebuah persoalan hukum yang sifatnya terbuka dan tergantung dari para pembuat hukum, yaitu terutama Legislatif dan Pemerintah. Karena itu, pelaku utama yang mampu mewujudkan kebijakan pendidikan dasar 12 tahun sekarang berada di tangan anggota Parlemen dan Pemerintah. Pemerintah dan Parlemen perlu segera membangun kesepakatan bersama agar pendidikan dasar sampai tingkat SMU yang menjadi hak setiap warga dapat terwujud dan Negara membiayainya dengan mengesahkan sebuah Undang-Undang untuk melaksanakan amanat mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Program seperti Pendidikan Menengah Universal, Kartu Indonesia Pintar dan alokasi dana BOS untuk membantu meningkatkan akses siswa Indonesia pada jenjang pendidikan menengah, meskipun baik, bukanlah sebuah kebijakan yang dapat berlangsung terus menerus. Karena itu, pemerintah perlu bekerjasama dengan Parlemen dan anggota legislatif yang lainnya untuk merevisi UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas sehingga kriteria pendidikan dasar bisa diubah dari jenjang SMP ke SMA. Dalam jangka pendek, untuk mendesak pemerintah daerah (Gubernur, walikota, bupati) mendukung program Wajib Belajar 12 Tahun, pemerintah bisa bekerjasama dengan Pemda untuk merealisasikan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar sehingga masing-masing daerah dapat melaksanakan program Wajib Belajar 12 tahun dengan menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dalam waktu yang sama, Pemerintah memfasilitasi inisiatif publik dari masyarakat sipil yang ingin terlibat dalam memberikan kesempatan pendidikan bermutu bagi setiap warga negara sesuai dengan cakupan bidang dan tugasnya sehingga pendidikan menengah universal bisa dinikmati oleh semua warga negara tanpa kecuali.
iv
Ringkasan dan Rekomendasi
P
rogram wajib belajar memiliki dasar legal dalam Undang-Undang Dasar 1945. Mukadimah UUD 1945 mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia serta seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (2) menyatakan bahwa “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Untuk merealisasikan ini, pemerintah mengesahkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas menyatakan bahwa, “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.” Agar efektif dapat dilaksanakan sampai tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota, Pemerintah juga telah memperkuat dasar hukum pelaksaan Wajib Belajar 12 tahun melalui PP No. 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar. Dalam PP ini ditegaskan bahwa Wajib Belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggungjawab Pemerintah dan pemerintah daerah. Pasal 7 Ayat 4 dalam PP Wajar menyatakan “Pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
untuk meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah”. Kata “dapat” dalam pasal tersebut, di satu sisi dapat memberi ruang bagi Pemerintah Daerah untuk memilih melaksanakan penetapan kebijakan untuk meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah. Namun di lain pihak, tidak ada kewajiban dari Pemerintah Daerah untuk mengusahakan akses dan pembiayaan pendidikan dasar sampai jenjang menengah. Tidak kuatnya jaminan hukum bagi pelaksanaan Wajar 12 sebagai hak pendidikan warganegara membuat beberapa warga negara berusaha mengajukan Judicial Review atas UU Sisdiknas yang membatasi jenjang usia pendidikan dasar hanya sampai 12 tahun atau wajib belajar 9 tahun. Pada 05 September 2014 warga mengajukan Permohonan Judicial Review UU Sidiknas ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan ini pada intinya mempersoalkan dasar konstitusional pemberlakuan Program Wajib Belajar 12 Tahun. Para pemohon memandang bahwa program Wajib Belajar 9 Tahun yang kini dijalankan pemerintah telah usang dan ketinggalan zaman. Para Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 6 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sepanjang tidak diubah ketentuan batas usia wajib belajar dari “tujuh tahun sampai dengan 15 tahun” menjadi “tujuh tahun sampai dengan 18 Tahun”. Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya “menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya”. Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa terhadap permohonan para Pemohonan yang mendalilkan dan memohon di dalam petitumnya untuk memaknai “yang berusia tujuh sampai dengan delapan belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar dan menengah” berarti meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah, Mahkamah berpendirian bahwa program pendidikan minimal yang harus diikuti warga Negara Indonesia merupakan
vi
Ringkasan dan Rekomendasi
tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah merupakan kebijakan hukum yang terbuka (open legal policy) bagi pemerintah dan pemerintah daerah”. (Paragraf (3.10.9), hal.52 Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.92/PUU-XII/2014). Pendirian Mahkamah tersebut didasarkan pada pendapat Mahkamah yang menyatakan bahwa “Pasal 34 UU No.20/2003 yang menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya sebagai bagian dari kebijakan pendidikan di Indonesia dalam mencapai pendidikan untuk semua (education for all). Frase “menjamin” artinya pemerintah dan pemerintah daerah harus merencanakan, menyiapkan untuk membiayai dan memfasilitasi terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar. Untuk terlaksananya jaminan tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan nasional pelaksanaan program wajib belajar yang dicantumkan dalam Rencana Kerja Pemerintah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Rencana Strategis Bidang Pendidikan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang. Menurut Mahkamah Konsitusi, bahwa “Ketentuan Pasal 7 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar menegaskan bahwa pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan untuk meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah. Pengaturan lebih lanjut pelaksanaan program wajib belajar sampai pendidikan menengah tersebut diatur melalui peraturan daerah sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Keputusan MK sesungguhnya menegaskan siapa pelaku utama yang dapat merealisasikan Kebijakan Pendidikan Dasar 12, yaitu Pemerintah Pusat (Presiden, Menteri) dan Pemerintah Daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati). Sinergi antara pelaku utama ini diperlukan agar pendidikan dasar 12 tahun dapat memperoleh
vii
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
dasar hukum yang kuat dan kepastian bahwa anak-anak Indonesia sampai usia 21 tahun memperoleh pendidikan dasar yang baik dan berkualitas. Beberapa program untuk mengawali pendidikan dasar 12 tahun sudah dilakukan oleh Pemerintah, misalnya melalui program Pendidikan Menengah Universal (PMU) melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 20 Tahun 2013. PMU disebut sebagai program rintisan wajib belajar 12 tahun. Program rintisan ini muncul untuk meningkatkan kemampuan daya saing bangsa dan menyambut bonus demografi. Selain PMU pemerintah juga memberikan skema pembiayaan lain agar akses siswa dari keluarga miskin tetap dapat mengakses pendidikan melalui Program Indonesia Pintar (PIP), Kartu Indonesia Pintar (PIP) dan Bantuan Operasional Siswa (BOS), dan Bantuan Operasional Siswa Daerah (Bosda). Pendekatan ini tentu saja sudah dapat membantu percepatan akses pendidikan dasar 12 tahun bagi keluarga miskin. Namun program ini kurang dapat bersifat masif karena tidak didukung secara langsung dengan penganggaran dari Pemerintah Pusat dan Daerah agar ada jaminan tentang akses setiap warga negara dalam mengenyap pendidikan yang bermutu. Penganggaran akan bersifat masif dan dengan demikian siswa miskin yang tidak dapat memperoleh akses pendidikan 12 tahun dapat dibiayai sehingga mereka dapat memperoleh hak-hak pendidikan yang dijamin oleh Konstitusi. Dengan pendekatan ini, kita tidak dapat melihat secara kuat dampak-dampak nyata dari kinerja pemerintah pusat dan daerah dalam mencerdaskan putra-putri bangsa. Selain itu, adanya inisiatif masyarakat sipil, melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan inisiatif lain belum mampu merengkuh seluruh siswa Indonesia berusia sampai dengan 21 tahun untuk mengenyam pendidikan dasar yang berkualitas. Terlepas dari apakah belum adanya dasar hukum yang menyertai, Pemerintah Pusat tetap memiliki kewajiban untuk bekerjasama
viii
Ringkasan dan Rekomendasi
dengan Parlemen dalam rangka memberikan dasar hukum yang kokoh tentang pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun melalui revisi Undang-Undang terkait. Adanya dasar hukum yang kokoh akan semakin mempercepat proses pencerdasan bangsa, sehingga jalan-jalan ini harusnya menjadi perhatian dan konsentrasi utama Pemerintah Pusat. Sementara itu, agar tidak semakin banyak anakanak Indonesia menjadi korban karena tiadanya perlindungan hukum yang menjaga hak asasi warga negara untuk memperoleh pendidikan yang layak dan berkualitas, Pemerintah perlu bekerjasama dengan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan Kebijakan Wajib Belajar 12 tahun melalui payung hukum Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008. Agar PP ini efektif, Pemerintah perlu merevisi PP ini pada klausul yang menyatakan bahwa Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pembiayaan pendidikan dasar sampai pada jenjang pendidikan menengah dengan merevisinya menjadi Pemerintah Daerah wajib melaksanakan pembiayaan pendidikan dasar sampai jenjang menengah untuk melindungi hak-hak warga negara dalam memperoleh pendidikan yang setara dan berkualitas.
Butir-Butir Rekomendasi Kebijakan Wajib Belajar 12 Tahun memiliki implikasi dari berbagai macam sisi, seperti tatanan regulasi, tata kelola sekolah, kebutuhan tenaga pengajar, penganggaran, revitalisasi peranan pendidikan non formal, dan pendekatan pendidikan inklusif. Untuk itu NEW Indonesia memberikan beberapa rekomendasi terkait dengan bidang-bidang tersebut:
1. Penataan Regulasi a. Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat segera melakukan revisi terhadap UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
ix
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Pendidikan Nasional karena sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi tuntutan kehidupan lokal, nasional dan global, khususnya terkait dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat perihal pentingnya Negara utamanya Pemerintah meningkatkan program wajib belajar dari 9 tahun menjadi 12 tahun. b. Bagi Pemerintah (Pusat), sebagai bentuk respon cepat atas putusan MK Nomor 92/PUU-XII/2004, yang memandatkan bahwa kebijakan program wajib belajar 12 tahun adalah kebijakan hukum terbuka bagi Pemerintah, perlu segera melakukan revisi atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Beberapa di antaranya atau utamanya revisi tersebut dilakukan terhadap: • Pasal 1 Ayat (2). “Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat”, diubah menjadi “Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan yang lebih tinggi, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat dan sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah (MA) atau bentuk lain yang sederajat”. • Pemerintah juga perlu menambahkan satu ayat lagi di dalam Pasal 1 tersebut, yakni di antara ayat 6 dan 7 dengan menambahkan, “Sekolah Menengah Atas yang selanjutnya disebut SMA adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan
x
Ringkasan dan Rekomendasi
pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar sebagai pendidikan lanjutan dari SD,MI, SMP, MTS atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP, MTS. Sekolah Menengah Kejuruan yang selanjutnya disebut SMK adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan dasar sebagai pendidikan lanjutan dari SD,MI,SMP, MTS atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP,MTS. Madrasah Aliyah selanjutnya disebut MA adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan Agama Islam pada jenjang pendidikan dasar sebagai pendidikan lanjutan dari SMP,MTS atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP,MTS.” • Pasal 3 ayat (2). “Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur formal dilaksanakan minimal pada jenjang pendidikan dasar yang meliputi SD, MI, SMP, MTs, dan bentuk lain yang sederajat”. Diubah menjadi, “Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur formal dilaksanakan minimal pada jenjang pendidikan dasar yang meliputi SD, MI, SMP, MTs,SMA,SMK,MA dan bentuk lain yang sederajat”. • Pasal 7 ayat 4 “Pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan untuk meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah”. Diubah menjadi “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menetapkan kebijakan untuk menyelenggarakan pendidikan wajib belajar yang mencakup pendidikan menengah”
xi
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
2. Tata Kelola Sekolah a. Mencabut atau memperbaiki Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar. Hal ini sangat krusial karena akan membawa efek perhatian bagi seluruh pemangku kepentingan pendidikan khususnya sekolah. Pemerintah daerah bisa membantu dalam rangka proses pengawasan dan mendorong tata kelola sekolah yang lebih baik. b. Perlunya kebijakan lokal sebagai pendukung pelaksanaan akuntabilitas sekolah. Meskipun ditingkat nasional sudah ada aturan yang mendukung, namun di daerah perlu ada payung hukum tambahan untuk memastikan bahwa pungutan yang terjadi di sekolah merupakan kejahatan dan ada sangsi hukumnya. Di level tertentu bahkan bisa masuk ke ranah hukum. Kebijakan lokal dimaksud bisa berupa Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Kepala Daerah (Perkada), Keputusan Kepala SKPD (SK Kepala Dinas), sampai keputusan kesepakatan di tingkat Sekolah (Berita acara kesepakatan atau Surat Kepala Sekolah). c. Mendorong partisipasi dan praktek transparansi pengelolaan keuangan sekolah. Sebagai upaya mengurangi praktek pungutan di sekolah, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat perlu mendorong kembali upaya transparansi pengelolaan keuangan sekolah dengn membuat pedolan tentang transparansi dan larangan praktek pungutan di sekolah. Bentuknya adalah adanya pedoman tentang transparansi dan larangan praktekpraktek pungutan sekolah. Pedoman ini berisi sangsi hukum bagi yang melanggar. d. Penguatan kapasitas sekolah SD dalam mengelola sekolah, berupa penguatan kapasitas pengelola keuangan. Isu
xii
Ringkasan dan Rekomendasi
transparansi masih menjadi tantangan bagi pihak sekolah terutama di SD. Salah satu penyebabnya adalah kapasitas pengelola keuangan. Berbeda dengan tingkat SMP dan SMA yang telah mempunyai tata usaha (TU) atau staf administrasi yang bisa dipekerjakan, situasi di SD belum mendukung. Salah satu alternatifnya adalah melakukan penguatan kapasitas pengelolaan keuangan tingkat SD khususnya untuk bendahara sekolah atau guru yang ditunjuk menjadi pengelola keuangan. Bentuk penguatan dimaksud di antaranya adalah pelatihan administrasi keuangan, workshop khusus, kunjungan belajar, assistensi keuangan, dst. Stakeholder yang ada di sekolah perlu menyadari bahwa sekolah adalah badan publik, sehingga pengelolaan keuangan sekolah juga perlu menganut prinsip-prinsip keterbukaan. Sekolah tidak perlu merasa risih, jika pengelolaan keuangan sudah dilakukan dengan baik. Penyadaran bersama tentang pentingnya transparansi pengelolaan keuangan di sekolah harus terus dilakukan. Transparansi dimaksud diantaranya mendorong pembuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) berbasis Partisipasi Masyarakat. Melaporkan penggunaan dana yang bisa diakses orang tua dan peserta didik (misalnya melalui papan pengumuman, majalah dinding, atau surat kepada orang tua murid tentang pertanggungjawaban penggunaan dana). e. Guna menguatkan kualitas layanan pendidikan, pemerintah perlu mengefektifkan kembali peran pengawas dan komite Sekolah. Peran pengawas sekolah sangat relevan untuk melakukan pengawasan sekaligus peningkatan kapasitas bagi pengelola keuangan. Sehingga pengawas, setidaknya memiliki jadwal rutin untuk melakukan kunjungan ke sekolah (minimal per semester). Selain kunjungan rutin, pengawas sekolah bisa menjadi mitra untuk peningkatan kapasitas bagi pengelola keuangan. Agenda kunjungan pengawas sekolah harus jelas dan diketahui bersama (jika perlu gunakan berita
xiii
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
acara pengawasan) sehingga sekolah juga mendapatkan feedback dan langkah perbaikan, tidak sekedar informal pertemuan di sekolah, rumah makan dan tempat ngopi). Sekecil apapun pungutan akan sangat mempengaruhi performance dari sekolah. Sehingga pengawas dapat memberikan feedback yang mendorong akuntabilitas sekolah karena akan berpengaruh pada performance sekolah yang bersangkutan. Sedangkan komite sekolah, dapat melakukan perannya sebagai perwakilan orang tua murid untuk menampung keluhan dan aspirasi perbaikan (meskipun bisa juga langsung ke sekolah), menyalurkan keluhan dan menjadi mitra sekaligus pengawas pelaksanaan kegiatan sekolah. Komite sekolah bukan stempel kebijakan kepala sekolah, tetapi menjadi perwakilan aktif orang tua murid dan peserta didik yang mendorong peningkatan kualitas pendidikan dan pengajaran di sekolah.
3. Pemenuhan Kebutuhan Guru a. Pemerintah pusat dan daerah harus mengoptimalkan pendataan guru di seluruh satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah b. Optimalisasi penggunaan data guru ditujukan untuk menata dan meredistribusi guru sehingga manajemen guru menjadi lebih efisien. c. Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran yang cukup untuk menyediakan guru sesuai standar dimasing-masing sekolah. Dan secara bertahap mengurangi keberadaan GTT di sekolah dengan melakukan pemerataan dan rekrutmen guru. d. Dibutuhkan regulasi yang mengatur insentif dan insentif terkait dengan kehadiran guru disekolah. Ketidakhadiran dan
xiv
Ringkasan dan Rekomendasi
kehadiran guru diyakini berpengaruh terhadap kehadiran siswa kesekolah. Pada gilirannya akan mempengaruhi partisipasi pendidikan dan pencapaian target wajib belajar 12 tahun.
4. Peran Pendidikan Non-Formal a. Pemerintah mendukung keterlibatan masyarakat sebagai bagian dari sebuah sistem pendidikan yang berperan dalam menyelenggarakan jenjang pendidikan PKBM paket C (SLTA). b. Pemerintah perlu memberikan dorongan untuk memaksimalkan keterlibatan masyarakat dengan memberikan stimulus 50 juta setiap PKBM untuk mengembangkan 17.035 unit PKBM sesuai prediksi perkembangan. c. Diperlukan pendekatan budaya dengan memanfaatkan kearifan lokal dalam rangka mengantisipasi kemungkinan adanya siswa putus sekolah. Pendidikan berbasis masyarakat sangat dimungkinkan di daerah-daerah yang menjadikan masyarakat secara adat atau budaya dapat berkontribusi terhadap pelaksanaan pendidikan di daerahnya masingmasing. Jadi Pemerintah perlu merencanakan pendidikan yang berbasis kearifan lokal khususnya dalam hal pendidikan bagi anak yang putus sekolah. d. Pemberian dukungan beasiswa secara proporsional pada siswa laki-laki dan perempuan yang sedang belajar di jenjang pendidikan PKBM paket C (SLTA). e. Penciptaan suasana sekolah yang nyaman bagi siswa sehingga siswa merasa betah berada di jenjang pendidikan PKBM paket C (SLTA). f. Peningkatan kompetensi profesional para guru/fasilitator PKBM paket C yang dapat menciptakan suasana
xv
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan dan non diskriminatif. g. Penyadaran terhadap berbagai lapisan masyarakat terutama para orang tua pentingnya melanjutkan pendidikan khususnya jenjang pendidikan PKBM paket C (SLTA). h. Penyediaan sarana dan prasarana pada jenjang pendidikan PKBM paket C (SLTA) hingga terwujudnya mimpi PKBM sejumlah 17.035 pada tahun 2030. i. Memfasilitasi anak putus sekolah dengan Mendirikan sekolah alternatif. Misalnya seperti pengembangan sekolah alam, Sekolah MATER di Depok, Sekolah SBM di Yogya serta SMASH (Sekolah berbasisi Masjid) Dompet Dhuafa dan Institut kemandiriran Dompet Dhuafa. j. Perlunya pendampingan pemerintah untuk mutu tata kelola dengan mempertimbangkan: Pertama, penataan konsep yang tepat tentang program-program Pendidikan Non Formal. Kedua, perencanaan program PNF berbasis kebutuhan nyata warga sasaran. Ketiga, penyelenggaraan dan pengelolaan PNF secara tekun dan berkelanjutan dengan prinsip-prinsip manajemen yang tepat guna disertai proses akreditasi yang baik.
5. Penganggaran a. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia seyogyanya melakukan penyempurnaan Rencana Strategis; Revisi tersebut harus dilakukan sebelum berakhirnya tahun 2015 dengan memasukkan secara tegas pendidikan dasar 12 tahun sebagai target prioritas, supaya konsisten dengan amanat Perpres No.2 tentang RPJMN 2015-2019. b. Kementerian Keuangan segera melakukan optimalisasi
xvi
Ringkasan dan Rekomendasi
penerimaan Negara yang bersumber dari pajak dan penerimaan Negara bukan pajak agar kebutuhan anggaran pendidikan dasar 12 tahun dapat dipenuhi seluruhnya; Potret ketersediaan anggaran dalam APBN sampai tahun 2015 diprediksikan tidak akan mampu memenuhi estimasi kebutuhan pembiayaan pendidikan setiap tahun. Oleh karena itu Presiden melalui Kementerian Keuangan Republik Indonesia harus meningkatkan penerimaan Negara melalui penetapan rasio pajak minimal 14 persen dari PDB, dan memastikan perusahaan pengelola industri berbasis sumberdaya alam taat untuk membayar PNBP yang sampai hari ini baru terealisasi 30 persen dari potensi sesungguhnya. c. Kementerian Keuangan Republik Indonesia melakukan ear-marking penerimaan dari PNBP SDA dengan proporsi yang lebih memadai untuk membiayai pemenuhan layanan pendidikan d. Isu penting lainnya adalah memperjelas sumber pembiayaan pendidikan melalui penambahan ear-marking PNBP Migas dan PNBP Pertambangan untuk diredistribusikan kepada belanja pendidikan dasar 12 tahun. Ear-marking ini juga berlaku bagi pemerintah provinsi, kabupaten dan kota sebagai penerima dua skema DBH tersebut sebagai upaya untuk akselerasi pencapaian target nasional. e. Kelompok Masyarakat Sipil secara pro-aktif mengawal proses revisi Renstra Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2015-2019, serta melakukan pengawasan secara berjenjang terhadap realisasi kebijakan anggaran pendidikan, khususnya terkait pemenuhan pendidikan dasar 12 tahun.
xvii
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
6. Pendidikan Inklusif a. Pemerintah harus memiliki komitmen mewujudkan semua sekolah Inklusif di Indonesia selambat-lambatnya pada tahun 2030 untuk menyongsong masa satu abad kemerdekaan. Ini dapat dilakukan dengan mempercepat proses pengesahan RUU Penyandang Disabilitas untuk menggantikan UU Penyandang Cacat 1997 yang sudah tidak mampu mengakomodasi perkembangan zaman. b. Pemerintah harus membentuk tim peneliti dan evaluasi (monitoring) pengembangan pendidikan inklusif yang berkualitas, mulai soal kurikulum, methodologi pengajaran, dan menyiapkan payung hukum yang lebih akomodatif. c. Pemerintah harus terus mensosialisasikan dan menambah sekolah percontohan inklusif tiap tahunnya hingga tahun 2030 sehingga semua sekolah melaksanakan semangat inklusif. d. Penanganan sekolah inklusif bisa dilakukan dengan membangun kerjasama dengan masyarakat di sekitar sekolah sehingga tidak hanya guru kelas yang bertanggungjawab, melainkan masyarakatpun bisa ikut terlibat dalam mendorong pendidikan inklusif di ingkungan di mana mereka tinggal. e. LSM dan masyarakat harus terus ikut memantau dan turut memberi usulan untuk menyempurnakan sistem pendidikan inklusif.
xviii
daftar isi Policy Brief & Recommendations— iii Ringkasan dan Rekomendasi—v Pengantar Menuju Wajib Belajar 12 Tahun — 1 Peta Regulasi Kebijakan Pendidikan untuk Program Wajib Belajar 12 Tahun — 7 A. Pemetaan Regulasi —8 B. Judicial Review dan Putusan Mahkamah Konstitusi —12 C. Kesimpulan —20 D. Rekomendasi —21 Mendorong Tata Kelola Sekolah Bebas Pungutan dalam Rangka Pencapaian Wajar 12 Tahun — 25 A. Latar Belakang Ekonomi —26 B. Pembenahan Tata Kelola Sekolah atas Pungutan —34 C. Dampak dan Modus Pungutan —40 D. Kesimpulan dan Rekomendasi —44 Pemenuhan Kebutuhan Guru dalam Pencapaian Target Wajib Belajar 12 Tahun — 49 A. Kebutuhan Guru —50 B. Perhitungan Dan Proyeksi Kebutuhan Guru —51 C. Faktor yang menentukan pemenuhan kebutuhan guru Pendidikan Dasar —63 D. Kesimpulan dan Rekmendasi —69
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Peran Pendidikan Non Formal dalam Pemenuhan Wajib Belajar 12 Tahun — 71 A. Dasar Regulasi —72 B. Model Pendidikan Non Formal —75 C. Faktor Penyebab Pemenuhan Wajar 12 Tahun —81 D. Harapan pada Pendidikan Non Formal —83 E. Strategi Wajib Belajar 12 Tahun Hingga 2030 —90 F. Contoh Sekolah Non Formal Alternatif —92 G. Rekomendasi —94 Pendidikan Inklusif untuk Indonesia Tanpa Diskriminasi — 97 A. Pengantar —97 B. Pengertian Inklusif dan Pendidikan Inklusif —101 C. Ruang Lingkup Pendidikan Inklusif —102 D. Kebijakan Pemerintah Tentang Pendidikan Inklusif —104 E. Konsekuensi pendidikan inklusif —111 F. Penerapan pendidikan inklusif di lapangan —117 G. Penutup/ringkasan —119 Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun — 123 A. Pengantar —123 B. Realitas Anggaran Pendidikan —125 C. Kerangka Kebijakan Pembiayaan Pendidikan —134 D. Langkah-Langkah Strategis —141 E. Rekomendasi: —144 DAFTAR ISI — 147 Tentang Penulis dan Editor — 151
xx
Pengantar
Menuju Wajib Belajar 12 Tahun
K
ualitas pendidikan sebuah bangsa akan menentukan ketahanan bangsa tersebut di masa depan dalam menghadapi berbagai macam tantangan zaman. Karena itu, para pendiri bangsa ini, melalui Undang-Undang Dasar 1945 telah memastikan bahwa arah ke depan bangsa ini pasca kemerdekaan adalah untuk mendidik manusia Indonesia agar cerdas, adil, cinta damai, dan mampu terlibat dalam percaturan dunia. Tantangan global, seperti pendidikan untuk semua, telah mewajibkan bangsa Indonesia sebagai bagian dari keluarga bangsabangsa untuk memastikan pendidikan yang terbuka dan dapat diakes oleh semua warga negara Indonesia tanpa terkecuali. Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan pemerintah untuk melaksanakan tugas luhur ini dalam sebuah Undang-Undang yang mengelola sistem pendidikan nasional. Jaminan negara atas akses dan hak pendidikan terwujud dalam UU Sisdiknas 2003 yang menyatakan bahwa Pemerintah menjamin pendidikan dasar bagi seluruh rakyat Indonesia. Pendidikan dasar dimaknai sebagai wajib belajar 9 tahun, atau sampai anak bersekolah di SMP. Sampai saat ini, jaminan wajib belajar 12 tahun belum memiliki dasar hukum yang kuat. Mandat UU Sisdiknas hanya menjamin
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
pendidikan dasar sampai usia 15 tahun. Padahal, tantangan dan kemajuan zaman menuntut kita untuk meningkatkan kualitas pendidikan minimal warga negara menjadi minimal Sekolah Menengah Atas sudah merupakan kemendesakan. Hampir seluruh komposisi tenaga kerja di Indonesia berisi para lulusan Sekolah Dasar. Menurut data BPS 2013, penduduk usia kerja di atas 15 tahun memiliki latar belakang pendidikan dasar (SD/SMP) sebesar 65,70 persen, lulusan pendidikan menengah 24,51% d a n sebesar 9,79 persen lulusan pendidikan tinggi. Data tersebut tidak banyak berubah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, penyerapaan tenaga kerja hingga Februari 2015 masih didominasi penduduk bekerja berpendidikan rendah, yaitu sekolah dasar (SD) ke bawah yakni 54,6 juta orang atau 45,29 persen dan sekolah menengah pertama (SMP) 21,5 juta jiwa atau 17,77 persen. Sedangkan penduduk yang berpendidikan tinggi hanya 13,1 juta orang mencakup 3,1 juta jiwa (2,60 persen) berpendidikan diploma, dan 10 juta orang (8,29 persen) berpendidikan universitas. Tantangan global di bidang ekonomi juga perlu menjadi perhatian kita. ASEAN akan menerapkan ASEAN economic community atau komunitas ekonomi ASEAN pada tahun 2015. Kawasan ASEAN akan menjadi pasar terbuka yang berbasis produksi, sehingga aliran barang, jasa, dan investasi akan bergerak bebas, sesuai dengan kesepakatan ASEAN. Kualitas pendidikan warga negara akan menentukan daya saing kita di tingkat ASEAN dan global. Tantangan global mengharuskan bangsa Indonesia untuk meningkatkan kualitas tingkat pendidikan warga negara, dari Wajib Belajar 9 tahun menjadi Wajib belajar 12 tahun. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan layanan, perluasan, dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan sampai dengan jenjang pendidikan menengah yang bermutu bagi setiap warga Negara Indonesia usia sampai dengan usia 18 tahun.
2
Pengantar
Kebijakan menuju Wajib Belajar (Wajar) 12 Tahun tidak berarti menghilangkan atau mengabaikan tantangan yang masih tersisa dari program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang belum terselesaikan di mana masih ada anak-anak usia pendidikan dasar dan menengah yang belum mendapat pelayanan pendidikan, masih ada anak-anak yang mengalami putus sekolah. UNESCO telah menetapkan bahwa pendidikan dasar yang gratis (free) dan wajib (compulsory) menjadi pokok perhatian bangsabangsa yang mengikatkan diri pada komunitas pendidikan global tersebut. Indonesia merupakan salahs atu negara yang menjadi anggota dari UNESCO. Karena itu, Indonesia memiliki tanggungjawab untuk menyukseskan program wajib belajar untuk semua, terutama memberikan perhatian pada pendidikan menengah yang inklusif, setara dan mempromosikan semangat pembelajar sepanjang hayat. Pemerintah telah mencoba menanggapi persoalan ini dengan mengembangkan program Pendidikan Menengah Universal dan membuat Peraturan Pemerintah yang memungkinkan Pemerintah Daerah mengembangkan kebijakan pendidikan wajib belajar 12 tahun. Kebijakan ini patut diapresiasi karena Pemerintah telah memberikan perhatian pada pengembangan pendidikan dasar 12 tahun dan mendorong pemerintah daerah untuk mendorong hal serupa. Namun, dorongan dan kebijakan Pendidikan Menengah Universal (PMU) memiliki kekurangan daya dorong, karena kebijakan Wajib Belajar 12 tahun belum menjadi sesuatu yang wajib, seperti diharapkan oleh bangsa-bangsa yang tergabung dalam UNESCO. Bila negara mewajibkan, negara memiliki tanggungjawab dalam memberikan pembiayaan melalui anggaran pendidikan. Kewajiban negara mengembangkan pendidikan nasional adalah mandat dalam UUD 1945. Karena itu, beberapa masyarakat sipil menuntut adanya perubahan dan revisi dari UU Sisdiknas 2003 yang hanya memberikan batasan pendidikan dasar pada siswa dengan usia
3
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
sampai 15 tahun. Selain definisi usia ini bertentangan dengan definisi tentang usia anak dalan UU Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun, kewajiban negara dalam memberikan layanan pendidikan bermutu bagi warga negara hanya diberikan pada mereka yang berusia sampai 15 tahun. Sedangkan mereka yang berada di pendidikan menengah, meskipun sudah memperoleh perhatian, namun tetap kurang mampu mendesakkan tanggungjawab pendidikan yang menjadi kewajiban Pemerintah. Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak Judicial Review warga negara untuk membatalkan pasal 6 ayat 1 UU Sisdiknas 2003 yang hanya memberikan jaminan pendidikan pada siswa Indonesia sampai usia 15 tahun semakin membebaskan Negara dan peran pemerintah dalam memberikan dan menyediakan pendidikan gratis dan wajib pada warga Indonesia. Dampak dari keputusan MK adalah bahwa pendidikan menengah hanya akan berfungsi efektif dengan mengandalkan kebaikan dan kemurahan hati Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dengan cara ini, pemerataan akses dan kualitas pendidikan juga berada dalam situasi yang tidak menentu. Kebijakan Pendidikan Wajib Belajar 12 tahun merupakan sebuah kemendesakan. Pasca keputusan MK, pemerintah, pemerintah daerah dan parlemen perlu segera duduk bersama untuk membahas masa depan pendidikan bangsa ini dengan lebih baik. Dari sisi regulasi, UU Sisdiknas 2003 perlu direvisi sehingga mandat Konstitusi tetap dapat relevan di tengah kemajuan dan tantagan global. Selain itu, seluruh kebijakan yang sudah ada, yang mendukung kebijakan pendidikan wajib belajar 12 tahun perlu tetap dipertahankan dan dikembangkan dengan lebih baik sehingga masing-masing Pemerintahan Daerah dapat semakin memiliki satu visi sama yaitu memberikan perhatian dan prioritas pada program Wajib Belajar 12 tahun yang tercermin dalam alokasi anggaran dan program kebijakan pendidikan yang seluruhnya mengarah pada pendidikan dasar 12 tahun bagi tiap warga negara.
4
Pengantar
Selain mempergunakan tatanan hukum yang sudah ada untuk mengembangkan pendidikan dasar 12 tahun, pemerintah juga perlu belajar dari Pemerintah Daerah yang sudah melaksanakan pendidikan dasar 12 dan belajar dari mereka. Ada banyak praktik baik yang bisa dicontoh dan dikembangkan, sehingga masing-masing pemerintah daerah dapat semakin ikut serta dalam pengembangan pendidikan dasar sampai 12 tahun. Pengembangan pendidikan dasar 12 tahun juga memerlukan berbagai macam kajian, seperti pengelolaan tenaga guru, akses pendidikan seperti ketersediaan ruang-ruang kelas dan sekolah yang dekat dengan siswa, serta postur penganggaran yang realistis dengan postur anggaran pemerintah pusat dan daerah. Partisipasi masyarakat dalam keberhasilan program pendidikan 12 tahun sangat besar. Karena itu, berbagai macam bentuk pertisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam pendidikan formal, non formal, dan informal perlu dikelola sedemikian rupa sehingga partisipasi masyarakat ini semakin mendukung capaian program pendidikan 12 tahun.
5
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
6
Peta Regulasi Kebijakan Pendidikan
untuk Program Wajib Belajar 12 Tahun
P
rogram Wajib Belajar 12 Tahun belum memiliki dasar hukum yang kuat dalam tatanan regulasi yang mengatur kebijakan pendidikan. Pemetaan regulasi menuju Wajib Belajar 12 Tahun diperlukan agar impian pendidikan dasar 12 tahun segera terwujud. Program wajib belajar memiliki dasar legal dalam Undang-Undang Dasar 1945. Mukadimah UUD 1945 mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia serta seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Mencerdaskan kehidupan bangsa diwujudkan dengan memberikan jaminan pada setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28C ayat 1 dan pasal 31 ayat 1 menegaskan bahwa Negara menjamin hak warga Negara untuk memperoleh pendidikan di mana setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar,
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan manusia.
A. Pemetaan Regulasi Implementasi tugas menyelenggarakan pendidikan dieksplisitkan dalam pasal 31 Ayat (3) UUD 1945 di mana ditegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Berdasarkan mandat tersebut, para pembuat Undang-Undang, yakni pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Undang-Undang Sisdiknas mengatur dengan tegas ketentuan tentang kewajiban pendidikan dasar bagi warga negara, yaitu mereka yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (Pasal 6 ayat 1). Ini berarti anak-anak Indonesia wajib menjalani pendidikan dasar dari jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bentuk pendidikan dasar berupa Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI), sekolah lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madarasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat. Kriteria penentuan usia wajib belajar dan jenjang pendidikan yang masuk kategori pendidikan dasar sebagaimana dimandatkan oleh UUD 1945 merupakan kelanjutan dari program wajib belajar 9 Tahun yang telah digariskan oleh Pemerintahan Orde Baru sejak Tahun 1994. Orde Baru melalui Garis-Garis Besar Halauan Negara (GBHN) 1993 mengharuskan
8
Peta Regulasi Kebijakan Pendidikan
pemerintah untuk memperluas kesempatan pendidikan baik pendidikan dasar, pendidikan menengah kejuruan, maupun pendidikan professional, melalui jalur sekolah dan jalur luar sekolah. Perluasan kesempatan pendidikan ini diwujudkan dengan meningkatkan usia wajib belajar dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Apa yang dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka menjamin dan membiayai pendidikan dasar sejalan dan sebangun dengan spirit Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Untuk menjamin Hak Asasi Manusia, termasuk di dalamnya hak atas pendidikan, pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). UU HAM hanya menegaskan pengakuan Negara atas pengakuan tentang hak atas pendidikan untuk semua. UU HAM tidak menjelaskan lebih detail tentang kriteria pendidikan dasar sebagaimana diatur dalam DUHAM. Pada 2005 Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya sebagai turunan DUHAM melalui UU No.11 Tahun 2005. UU ini mengadopsi langsung sekaligus menjabarkan lebih detil tentang kewajiban dan komitmen Negara pihak untuk merealisakan secara progresif pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap hak atas pendidikan. Jenjang pendidikan sebagaimana ditegaskan di dalam DUHAM, dikutip kembali dalam ketentuan Pasal 13 Ayat (2) Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Ada perbedaan antara UUD 1945 dan Piagam DUHAM. Piagam DUHAM menyebutkan tiga jenjang pendidikan yaitu pendidikan dasar, pendidikan teknikal dan professional, serta pendidikan tinggi. Pendidikan dasar dalam DUHAM dimaknai sebagai usia wajib belajar yang dimulai dari usia tujuh tahun sampai dengan delapan belas tahun. Deklarasi DUHAM menganut faham pendidikan dasar 12 tahun. Sebaliknya, UUD 1945 hanya
9
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
menegaskan bahwa pemerintah perlu menyelenggarakan pendidikan dasar dan Negara wajib membiayainya. Sampai berapa usia wajib belajar tidak ditulis secara eksplisit dalam UUD 1945. Eksplisitasi kriteria usia wajib belajar diatur melalui UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 6 Ayat (1) menjelaskan usia wajib belajar untuk pendidikan dasar adalah usia 7 (tujuh) tahun sampai dengan usia 15 (lima belas) tahun. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 14 yang membagi 3 jenjang pendidikan formal, di mana usia 7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun adalah usia masa sekolah di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama atau sederajat. Harapan terwujudnya wajib belajar 12 semakin kecil ketika pasal 34 UU Sisdiknas menegaskan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah hanya menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Ini semakin meneguhkan bahwa UU Sisdiknas secara paradigmatik memang hanya mengakomodasi program wajib belajar 9 Tahun. Pada 2008, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Di sini ada titik harapan tentang wajib belajar 12 tahun. Pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Pusat, memberikan kebebasan kepada Pemerintahan Daerah untuk menyelenggarakan program wajib belajar 12 tahun atau perluasan dari program wajib belajar 12 tahun sebagaimana yang dijalankan oleh Pemerintah Pusat melalui kebijakan yang terkandung di dalam UU Sisdiknas. Pasal 7 Ayat 4 menyatakan “Pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan untuk meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah”. Kata “dapat” dalam pasal tersebut memberi ruang bagi Pemerintah Daerah untuk memilih melaksanakan penetapan kebijakan untuk meningkatkan
10
Peta Regulasi Kebijakan Pendidikan
jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah atau tidak melakukannya. Jadi tidak ada kewajiban bagi pemerintah daerah untuk melaksanakan peningkatan program wajib belajar ke jenjang pendidikan menengah. PP Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar tersebut telah mendorong beberapa daerah untuk meningkatkan program wajib belajar 9 tahun menjadi program wajib belajar 12 tahun, yakni ke jenjang pendidikan menengah. Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Barat, misalnya melalui Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2009 menetapkan Program Wajib Belajar 12 (dua Belas) Tahun. Sepuluh tahun sesudah disahkannya UU Sisdiknas, pemerintah meluncurkan program Pendidikan Menengah Universal (PMU) melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 20 Tahun 2013. PMU disebut sebagai program rintisan wajib belajar 12 tahun. Program rintisan ini muncul untuk meningkatkan kemampuan daya saing bangsa. Dalam konsideran butir a Peraturan Menteri dinyatakan “bahwa dalam rangka menjaga kesinambungan pendidikan warga negara Republik Indonesia dan memperkuat daya saing bangsa, Pemerintah perlu mengambil langkah strategis untuk melaksanakan Pendidikan Menengah Universal; program Pendidikan Menengah Universal dimaksudkan sebagai program rintisan wajib belajar 12 tahun. Alasan bonus demografis dan APK pendidikan menengah juga menjadi alasan diluncurkannya PMU. Dasar pokok pertimbangannya adalah rendahnya APK pendidikan menengah yang hanya sebesar 78,7%, selain itu, kebijakan ini untuk mengantisipasi booming anak muda produktif (bonus demografi) pada tahun 2035. Meskipun menjadi program rintisan Wajar 12 Tahun, Program PMU tidak mencerminkan konsep pendidikan gratis (free) dan wajib (compulsory). Program ini terbatas pada konsep universalitas yang bertujuan memberikan akses seluas
11
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
luasnya bagi warga Negara untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi setingkat SMA/SMK/MA dan sederajat. Karena itu, tidak ada kewajiban pemerintah dalam rangka pembiayaan pendidikan menengah gratis atau cuma-cuma sebagaimana program wajib belajar pendidikan dasar.
B. Judicial Review dan Putusan Mahkamah Konstitusi Tidak kuatnya jaminan hukum bagi pelaksanaan Wajar 12 sebagai hak pendidikan warganegara membuat beberapa warga negara berusaha mengajukan Judicial Review atas UU Sisdiknas yang membatasi jenjang usia pendidikan dasar hanya sampai 12 tahun atau wajib belajar 9 tahun. Tuntutan warga negara diwakili oleh Tim Advokasi Wajar 12 Tahun, terdiri dari 10 Lembaga Swadaya Masyarakat (NEW Indonesia atau Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia/JPPI, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice/IHCS, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat/P3M, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil/ASPPUK, Yayasan Aulia, Yayasan Insan Sembada, Yayasan Pembinaan Anak dan Remaja Indonesia/ YAPARI, Yayasan LAKPESDAM, Asosiasi Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita, Perhimpuanan Peningkatan Keberdayaan Masyarakat, dan Yayasan Cerdas Bangsa serta 5 orang Pemohon Perseorangan Warga Negara Indonesia). Mereka semua, baik pemohon lembaga maupun perseorangan adalah lembaga dan orang-orang yang memiliki perhatian besar pada isu-isu pendidikan dan hak atas pendidikan. Pada 05 September 2014 warga mengajukan Permohonan Judicial Review UU Sidiknas di Mahkamah Konstitusi. Gugatan ini pada intinya mempersoalkan dasar konstitusional pemberlakuan Program Wajib Belajar 12 Tahun. Para pemohon memandang bahwa program Wajib Belajar 9 Tahun yang kini
12
Peta Regulasi Kebijakan Pendidikan
dijalankan pemerintah telah usang dan ketinggalan zaman. Para Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 6 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sepanjang tidak diubah ketentuan batas usia wajib belajar dari “tujuh tahun sampai dengan 15 tahun” menjadi “tujuh tahun sampai dengan 18 Tahun”. Mahkamah Konsitusi telah menanggapi permohonan JR ini dan Majelis Hakim Panel telah menggelar sidang pendahuluan sebanyak dua kali, yakni sidang pendahuluan pertama pada tanggal 07 Oktober 2014 dan sidang perbaikan permohonan pada tanggal 21 Oktober 2014. Sejak saat itu, Mahkamah Konstitusi belum pernah lagi memanggil para pihak atau pihak Pemohon dalam perkara Uji Materi UU Sisdiknas tersebut. Namun, pada 05 Oktober 2015, Pihak Kepaniteraan MK telah mengabarkan kepada Tim Advokasi Wajar 12 Tahun bahwa Mahkamah Konstitusi akan segera menyidangkan kembali Perkara Uji Materi UU Sisdiknas yakni pada 07 Oktober 2015 dengan agenda mendengarkan Putusan. Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya “menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya”. Pada pokoknya Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa terhadap permohonan para Pemohonan yang mendalilkan dan memohon di dalam petitumnya untuk memaknai “yang berusia tujuh sampai dengan delapan belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar dan menengah” berarti meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah, Mahkamah berpendirian bahwa program pendidikan minimal yang harus diikuti warga Negara Indonesia merupakan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah merupakan kebijakan hukum yang terbuka (open legal policy) bagi pemerintah dan pemerintah daerah”. (Paragraf (3.10.9), hal.52 Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.92/PUU-XII/2014).
13
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Pendirian Mahkamah tersebut didasarkan pada pendapat Mahkamah yang menyatakan bahwa “Pasal 34 UU No.20/2003 yang menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya sebagai bagian dari kebijakan pendidikan di Indonesia dalam mencapai pendidikan untuk semua (education for all). Frasa “menjamin” artinya pemerintah dan pemerintah daerah harus merencanakan, menyiapkan untuk membiayai dan memfasilitasi terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar. Untuk terlaksananya jaminan tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan nasional pelaksanaan program wajib belajar yang dicantumkan dalam Rencana Kerja Pemerintah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Rencana Strategis Bidang Pendidikan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang. Demikian pula bagi pemerintah daerah, penyelenggaraan program wajib belajar dimaksud ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Rencana Strategis Daerah Bidang Pendidikan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah. Terkait dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Pemerintah telah berkoordinasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Program Legislasi Nasional 2015-2019”. (Paragraf (3.10.7) hal. 51 Putusan MK Perkara No. 92/PUU-XII/2014). Menurut Mahkamah Konsitutis, bahwa “Ketentuan Pasal 7 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar menegaskan bahwa pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan untuk meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah. Pengaturan lebih
14
Peta Regulasi Kebijakan Pendidikan
lanjut pelaksanaan program wajib belajar sampai pendidikan menengah tersebut diatur melalui peraturan daerah sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Pembentuk Peraturan Daerah di Provinsi Sumatera Selatan misalnya telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 yang telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Sekolah Gratis di Sumatera Selatan. Dalam peraturan Daerah tersebut dimuat ketentuan bahwa setiap SD/SDLB/MI, SMP/SMPLB/MTS, SMA/SMALB/ MA, SMK, baik negeri maupun swasta mendapatkan biaya operasional sekolah dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Demikian pula misalnya di tingkat kabupaten, pembentuk Peraturan Daerah di Kabupaten Muaro Jambi telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 04 Tahun 2013 tentang SIstem Penyelenggaraan Pendidikan. Dalam Peraturan Daerah tersebut dimuat ketentuan yang menjamin tersedianya dana guna terselengaranya pendidikan bagi masyarakat yang berusia 7 (tujuh) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun”. (Paragraf (3.10.8) Putusan MK Nomor 92/PUU-XII/2014). Atas dasar pertimbangan ini, MK menyatakan bahwa permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Karena itu, di dalam amar putusannya MK menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Tim Wajar 12 tahun menganggap bahwa putusan ML mengandung kecerobohan, terburu-buru dan tidak cermat dalam dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukan oleh Tim Wajar 12 Tahun. Alasan Tim Wajar 12 tahun adalah sebagai berikut: Pertama, meski Mahkamah di dalam putusannya telah menegaskan alasan serta dasar hukum tentang tindakan Mahkamah Konstitusi yang memutus perkara permohonan pengujian UU Sisdiknas tanpa melalui persidangan pleno
15
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
(persidangan mendengarkan keterangan dan/atau risalah MPR, DPR, DPD dan Presiden serta Ahli dan Saksi) sebagaimana praktek hukum acara yang berlaku di MK, seperti terlihat pada Point 3 (tiga) Pertimbangan Hukum, Paragraf (3.8) di dalam pertimbangan atas pokok permohonan, mengutip Pasal 54 UU MK yang menyatakan “Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden” dalam melakukan penguajian atas suatu undang-undang. Dengan kata lain, Mahkamah dapat meminta atau tidak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden, tergantung urgensi dan relevansinya. Oleh karena permasalahan hukum dan permohonan a quo cukup jelas, Mahkamah memutus perkara a quo tanpa mendengar keterangan dan/atau risalah rapat dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden. Akan tetapi, tindakan ataupun pendirian Mahkamah bahwa Mahkamah telah memandang cukup jelas terhadap permasalahan hukum dan permohonan tersebut, justru menimbulkan banyak pertanyaan, karena ternyata Putusan yang telah dibacakan tersebut tidak konprehensif serta menyeluruh, bahkan sangat dangkal memahami isu pendidikan khususnya terkait wajib belajar. Sejak awal seperti tertera di dalam permohonan para pemohon, pemohon sudah menyadari bahwa memang dalam perkembangannya pemerintah dan pemerintah daerah di beberapa daerah pada prakteknya sudah berupaya meningkatkan program wajib belajar ke jenjang pendidikan menengah. Pemohon sudah mengelaborasi bahwa pemerintah melalui Kementerian Pendidikan telah meluncurkan program
16
Peta Regulasi Kebijakan Pendidikan
Pendidikan Menengah Universal sebagai program rintisan wajib belajar 12 Tahun. Di beberapa daerah sudah ada Peraturan Daerah yang memungkinkan diselenggarakannya program wajib belajar 12 Tahun. Namun yang menjadi persoalan adalah bahwa kondisi tersebut belum mencerminkan prinsip pendidikan dasar wajib belajar yang berlandaskan kepada Konstitusi serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta pendirian beberapa organisasi internasional di bawah afiliasi PBB tentang pendidikan yang mengakui bahwa pendidikan dasar harus bersifat wajib dan bebas biaya serta didasarkan pada sifat anti diskriminasi, sehingga perlu adanya tafsir ulang atas konstitusi bahwa Pasal 6 ayat 1 UU 20/2003 yang tidak sejalan dengan prinsip wajib dan bebas biaya tersebut. Kedua, keputusan tersebut ceroboh dan tidak cermat dalam memutuskan hal penting yang bersifat final dan mengikat, Mahkamah Konstitusi telah salah mengutip Peraturan Perundangundangan terutama bahwa yang dikutip tersebut adalah UU yang diujikan yakni UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam salah satu amar putusannya dikatakan bahwa “Ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU 20/2003 menegaskan bahwa pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi pendidikan menengah. Pada ayat (2) dinyatakan bahwa pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTS) atau bentuk lain yang sederajat”. (Halaman, 51, paragraf 3.10.6). Padahal jika kita melihat kepada UU 20/2003 dimaksud, Pasal yang dikutip oleh Mahkamah tersebut jelas sekali adalah ketentuan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), sementara ketentuan Pasal 4 adalah ketentuan mengenai Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, selengkapnya Pasal 4 Ayat (1) dan (2) UU No. 20/2003 berbunyi :
17
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Pasal 4 1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. 2. Pendidikan diselenggarakan dengan satu kesatuan secara sistemik dengan sistem terbuka dan multi makna.
Ketiga, konsistensi Mahkamah Konstitusi dipertanyakan. Mahkamah Konstitusi di dalam Putusan tersebut telah mengutip tentang perlunya sistem pendidikan nasional yang harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan. Mahkamah juga mengaskan bahwa UU 20/2003 telah menentukan prinsipprinsip dalam penyelenggaraan pendidikan , yakni pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa dengan satu kesatuan secara sistemik dengan system terbuka dan multi makna (Lihat, hal. 48 Putusan MK, paragraf 3.10.3). Namun dalam Putusan MK No.92/PUU-XII/2014, MK membiarkan dan bahkan melegitimasi penyelenggaraan pendidikan yang membiarkan anak-anak berusia sampai 18 tahun tidak memperoleh jaminan pendidikan yang bebas dari Negara. Perilaku diskriminatif dan tidak adil ini melanggar HAM, terutama hak-hak anak dalam memperoleh pendidikan berkualitas seperti dijamin dalam Konstitusi kita.
18
Peta Regulasi Kebijakan Pendidikan
Ketentuan Pasal 6 ayat 1 UU 20/2003 diskriminatif bagi anak usia 16 tahun sampai 18 tahun karena mereka sebagai kategori anak tidak mendapatkan hak untuk mengikuti pendidikan dasar dan Negara membiayainya sebagaimana ketentuan bagi anak berusia 7 tahun sampai dengan 15 tahun. Ketentuan larangan perbuatan diskriminatif terhadap anak termaktub dengan jelas di dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Keempat, Putusan tersebut juga janggal. Mahkamah Konstitusi setelah menyatakan bahwa program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga Negara Indonesia merupakan tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) bagi pemerintah dan pemerintah daerah, Mahkamah kemudian melanjutkan dengan; “Hal penting dalam kebijakan (legal policy) tersebut sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundangundangan yaitu asas dapat dilaksanakan (vide, Pasal 5 Huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). MK menyatakan bahwa ssas ini merupakan titik tolak dan tolok ukur untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan. Pemerintah, Pemerintah daerah dan masyarakat mengharapakan jaminan tercapainya hasil atau akibat yang ditimbulkan oleh suatu peraturan perundang-undangan, karena suatu peraturan perundangundangan yang tidak dapat dilaksanakan baik karena sarana, prasarana, sumber daya, dan anggaran yang belum disiapkan secara baik, selain akan menggerogoti marwah lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan juga akan menimbulkan kekecewaan pada harapan masyarakat. Pertimbangan terakhir tersebut tidak jelas mengacu pada siapa, apakah MK bermaksud memberikan catatan atau pesan bagi para pembuat UU atau PP serta Perda dalam membuat
19
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
kebijakan terkait wajib belajar 12 tahun sebagaimana digariskan oleh MK sebagai kebijakan hukum terbuka bagi pemerintah dan pemerintah daerah, atau sebagai bentuk penegasan Mahkamah Konsitusi terhadap penolakan permohonan para Pemohon bahwa MK tidak bisa menentukan bahwa kebijakan wajib belajar 12 tahun yang diinginkan pemohon apakah konstitusional atau tidak, karena MK takut jika putusannya mengabulkan permohonan pemohon, Pemerintah akan terbebani dengan sarana, prasarana, sumber daya dan anggaran yang harus disiapkan untuk menyelenggarakan pendidikan wajib belajar 12 tahun. Padahal, jika saja MK menggelar persidangan yang menghadirkan Presiden, DPR, DPD dan para stakeholder yang bergerak di bidang pendidikan, seyogyanya persoalan tersebut bisa digali dan dielaborasi lebih jauh, apakah pemerintah telah memenuhi syarat untuk menyelenggarakan program wajib belajar 12 tahun sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, serta kebutuhan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tututan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global. Terakhir, Mahkamah Konstitus juga telah melakukan setidaknya membiarkan ketidakpastian hukum bagi para Pemohon, karena memperlambat pembacaan putusan yang sejatinya sebenarnya putusan tersebut telah dihasilkan rumusannya sejak satu hari pasca persidangan pendahuluan kedua, (perbaikan permohonan), yakni berdasarkan sidang Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) tertanggal 22 Oktober 2014 yang lalu, dan masih dipimpin oleh Hakim Ketua Hamdan Zoelfa. Ini sesuai dengan kalimat penutup dalam putusan tersebut.
C. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
20
Peta Regulasi Kebijakan Pendidikan
1. Pendidikan pada hakikatnya merupakan hak asasi setiap warga Negara yang telah dijamin oleh konstitusi dan sumber hukum internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948. Pada saat yang sama, setiap warga Negara berkewajiban untuk mengikuti pendidikan dasar dan Negara wajib untuk membiayainya. 2. Pendidikan dasar merupakan pendidikan fundamental bagi setiap warga Negara yang seharusnya bersifat gratis (free), wajib (compulsory), dan universal. 3. Program wajib belajar 12 Tahun (Usia 7-18 tahun) merupakan kebutuhan obyektif bangsa untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia dewasa ini dan masa mendatang dalam mewujudkan tujuan bernegara yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. 4. Peraturan perundang-undangan yang mendorong program wajib belajar 12 tahun, belum memadai untuk penyelenggaraan pendidikan yang universal dan bermutu serta dalam kerangka menjawab tantangan kehidupan sesuai perkembangan zaman.
D. Rekomendasi 1. Kepada para Pembuat Undang-undang, yakni Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, untuk segera melakukan revisi terhadap UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, karena sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi tuntutan kehidupan lokal, nasional dan global, khususnya terkait dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat perihal pentingnya Negara utamanya Pemerintah meningkatkan program wajib belajar dari 9 tahun menjadi 12 tahun. Hal ini perlu segera dilakukan, mengingat pentingnya persoalan pendidikan ini serta ketiadaan payung
21
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
hukum bagi pemerintah sebagai eksekutor atau pelaksana Undang-undang dalam menjalankan program wajib belajar 12 tahun. 2. Bagi Pemerintah (Pusat), sebagai bentuk respon cepat atas putusan MK Nomor 92/PUU-XII/2004, yang memandatkan bahwa kebijakan program wajib belajar 12 tahun adalah kebijakan hukum terbuka bagi Pemerintah, perlu segera melakukan revisi atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar. Beberapa di antaranya atau utamanya revisi tersebut dilakukan terhadap: a. Pasal 1 Ayat (2). “Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat”, diubah menjadi “Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan yang lebih tinggi, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat dan sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah (MA) atau bentuk lain yang sederajat”. b. Pemerintah juga perlu menambahkan satu ayat lagi di dalam Pasal 1 tersebut, yakni di antara ayat 6 dan 7 dengan menambahkan, “Sekolah Menengah Atas yang selanjutnya disebut SMA adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar sebagai pendidikan lanjutan dari SD,MI, SMP, MTS atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari
22
Peta Regulasi Kebijakan Pendidikan
hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP, MTS. Sekolah Menengah Kejuruan yang selanjutnya disebut SMK adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan dasar sebagai pendidikan lanjutan dari SD,MI,SMP, MTS atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP,MTS. Madrasah Aliyah selanjutnya disebut MA adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan Agama Islam pada jenjang pendidikan dasar sebagai pendidikan lanjutan dari SMP,MTS atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP,MTS.” c. Pasal 3 ayat (2). “Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur formal dilaksanakan minimal pada jenjang pendidikan dasar yang meliputi SD, MI, SMP, MTs, dan bentuk lain yang sederajat”. Diubah menjadi, “Penyelenggaraan wajib belajar pada jalur formal dilaksanakan minimal pada jenjang pendidikan dasar yang meliputi SD, MI, SMP, MTs,SMA,SMK,MA dan bentuk lain yang sederajat”. d. Pasal 7 ayat 4 “Pemerintah daerah dapat menetapkan kebijakan untuk meningkatkan jenjang pendidikan wajib belajar sampai pendidikan menengah”. Diubah menjadi “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menetapkan kebijakan untuk menyelenggarakan pendidikan wajib belajar yang mencakup pendidikan menengah”
23
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
24
Mendorong Tata Kelola Sekolah Bebas Pungutan dalam Rangka Pencapaian Wajar 12 Tahun
M
emperoleh pendidikan bermutu dan gratis adalah hak setiap warga negara. Program Wajar 9 tahun merupakan bentuk tanggungjawab pemerintah dalam memberikan hak-hak dan jaminan pendidikan warga negara. Meski sudah hampir berhasil melaksanakan Wajar 9 tahun, semangat untuk menuju Wajar 12 tahun belum mendapat dukungan optimal dari pemerintah sampai tahun 2013. Hambatan terpenuhinya hak pendidikan warga negara melalui kebijakan Wajar 12 tahun terjadi karena persoalan ekonomi, akuntabilitas sekolah, dan maraknya pungutan liar yang semakin membebani masyarakat. Revitalisasi tata kelola sekolah bisa menjadi kebijakan yang mendorong terwujudnya wajib belajar 12 tahun. Data tentang pemerataan pembangunan pendidikan di daerah menunjukkan bahwa sebanyak 146 kabupaten/kota (29,4%) masih memiliki APM SD di bawah 95%, dan 169 kabupaten/kota (34%) masih memiliki APK SMP dibawah 95%. Dari sisi ekonomi angka partisipasi penduduk usia 13-15 tahun masih tinggi (untuk kuantil 1; 81,0%, kuantil 2;88,8%, kuantil 3;92,3%, kuantil 4;93,9% dan kuantil 5;94,9%).
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
A. Latar Belakang Ekonomi Faktor ekonomi menjadi persoalan serius dalam menyukseskan Wajar baik 9 tahun maupun Wajar 12 tahun. Sekolah menjadi barang mahal yang tidak bisa terjangkau oleh sebagian warga negara. Mengatasi persoalan ekonomi dan pembiayaan tinggi atas penyelenggaraan pendidikan merupakan faktor penting bagi perbaikan pendidikan. Kebijakan pembiayaan pendidikan seharusnya menjadi perhatian tersendiri dalam rangka menghapus secara sistematis beban-beban pendidikan yang sering diterima peserta didik. Beban-beban pendidikan untuk kelompok masyarakat rentan akan menyebabkan kesenjangan baru, bahkan menjadikan mereka terjerembab pada kemiskinan baru, bila pemerintah tidak segera mengatasinya. Beberapa faktor ekonomi penyebab terhentinya pendidikan bagi warga negara di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Angka Putus Sekolah Berdasarkan data kemiskinan terbaru per tanggal 15 September 2015 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 28,59 juta orang atau (11,22%) atau bertambah sebesar 0,86 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2014 sebesar 27,73 juta orang (10,96%). Kemiskinan menjadi salah satu ancaman terbesar atas keberlanjutan pendidikan dasar bagi anak-anak usia belajar terutama kelompok sosial miskin dan marjinal. Tingkat pendapatan yang sangat rendah akan membuat Rumah Tangga Miskin (RTM) akan lebih mengalokasikan belanja out of pocket ke pemenuhan pangan, daripada pendidikan anak-anak dari rumah tangga tersebut.
26
Mendorong Tata Kelola
Berbagai upaya seperti program-program bantuan sekolah, BOS, BOM, tunjangan profesi, sertifikasi, beasiswa pendidikan, DAK dan DBH Pendidikan, DAU Pendidikan serta Dana Otonomi Khusus Pendidikan sudah dilakukan. Namun, permasalahan kemiskinan tetap menjadi salah satu alasan klasik yang menyebabkan masih tingginya angka putus sekolah. Berdasarkan data BPS tahun 2011/ 2012 dengan proyeksi jumlah penduduk tercatat angka putus sekolah adalah sebagai berikut; 0.90 untuk anak SD, 1.57 untuk anak SMP dan 2.20 untuk anak SMA. Nampak seiring dengan Angka Partisikasi Kasar (APK) untuk 3 tahun sebelumnya yakni ;
Tahun
SD/MI/ Paket A
SMP/Mts/ Paket B
SM/SMK/MA/ Paket C
2011
102.57
89.83
64.90
2012
104.33
89.49
68.80
2013
107.71
85.96
66.61
2014*
*(Belum keluar)
Sumber: BPS-RI, Susenas 2003-2013
Ada implikasi yang masih berlanjut dari angka putus sekolah tersebut. Presentase tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya menjadi tinggi yakni sebagai berikut; SD ke SMP (18,34%), SMP ke SMA (6,83%) dan SMA ke jenjang Perguruan Tinggi (51.59%). Jika menghitung target Wajar 12 tahun dari jenjang SD ke SMP dan jenjang SMP ke SMA, maka angka (18,34%) dan (6,83%) adalah angka yang sangat besar untuk mengejar terpenuhinya Wajar 12 tahun. Jika dihitung dengan jumlah penduduk pada tahun yang sama 2012 untuk anak-anak yang tidak/belum bersekolah pada semua usia dari 3-23 tahun, jumlah itu adalah 30.639.393 orang. Ini merupakan jumlah yang mengkhawatirkan bagi
27
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
keberlanjutan dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Terlepas dari jumlah anak yang masih bisa melanjutkan sekolah, permasalahan angka putus sekolah perlu dimaknai sebagai permasalahan krusial yang setiap tahun perlu dicarikan solusi kebijakan dan pelaksanaan dari kebijakan tersebut. Ada sesuatu yang belum berjalan baik terkait proses pembiayaan pendidikan di Indonesia.
2. Pembiayaan Pendidikan Mahal Undang-Undang (UU) No. 20 Tahun 2003 sudah mengamanatkan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN atau APBD di luar pendidikan kedinasan, namun mandat ini belum sepenuhnya dilaksanakan. Amanat 20 persen alokasi APBD untuk pendidikan di daerah belum terwujud. Tidak semua daerah mampu secara konsisten mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBD, terutama dalam rangka menggratiskan biaya pendidikan Wajar 9 tahun, apalagi Wajar 12 tahun. Pemerintah telah mengeluarkan dana untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang angkanya selalu mengalami kenaikan untuk pembiayaan per siswa (SD & SMP) per tahun. Tahun 2015 dana yang dialokasikan untuk BOS Siswa SD mencapai Rp 800.000,- Per siswa/tahun, sedangkan untuk siswa SMP mencapai Rp 1.000.000,- Per siswa/tahun. Meskipun tidak menutupi 100 persen biaya operasional siswa, namun angka ini cukup signifikan membiayai lebih dari 70 persen kebutuhan operasional sekolah. BOS lebih banyak dipergunakan untuk membiayai kebutuhan operasional non personalia.
28
Mendorong Tata Kelola
Perkembangan Dana BOS Tahun 2005-2015 SD/M
SMP/SMPLB/SMPT/Satap 1,000,000
324,000
354,000
235,000
254,500
2005 & 2007&2008 2006
575,000
575,000
400,000
400,000
2009& 2010
2011
710,000
2012
570,000
710,000
800,000
580,000
2013 & 2014
2015
Sumber: Juknis BOS Kemendikbud (Diolah)
Sumber: Juknis BOS Kemendikbud (Diolah) Sejak 2013, Pemerintah bahkan mulai menggulirkan BOS untuk SMA dan sederajat. Besaranya adalah BOS sebesar Rp 1.000.000,‐. Adanya BOS setidaknya mengurangi beban pembiayaan pendidikan yang harus ditanggung oleh peserta didik.
Sejak 2013, Pemerintah bahkan mulai menggulirkan BOS
Permasalahan di hulu terkait dengan pembiayaan pendidikanadalah Standar Satuan Biaya untuk SMA dan sederajat. Besaranya adalah BOS sebesar pendidikan. Meskipun sudah ada aturan melalui Permendiknas No. 69 Tahun 2009 tentang RpBiaya 1.000.000,-. mengurangi beban Standar Operasi Non Adanya Personalia BOS Tahun setidaknya 2009 untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah pembiayaan pendidikan yang harus ditanggung oleh peserta Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Sekolah Dasar Luar didik. Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), namun peraturan tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.19 Tahun 2005 tentang Permasalahan di hulu terkait dengan pembiayaan Standar Nasional Pendidikan dalam rangka menerapkan kebijakan pendidikan dasar Wajar pendidikan adalah Standar Satuan Biayaterdiri pendidikan. 9.Dalam Pasal 62 disebutkan bahwa (1) Pembiayaan Pendidikan atas biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal; (2) Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud Meskipun sudah ada aturan melalui Permendiknas No. 69 pada ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya Tahun 2009kerja tentang Biaya Operasi Non Personalia manusia, dan modal tetap; Standar (3) Biaya personal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya pendidikan yang Sekolah harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk mengikuti Tahun 2009 untuk Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/ proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. Lebih rinci terkait biaya‐biaya; biaya investasi MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah adalah biaya investasi satuan pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana prasarana, pengembangan sumberdaya sekolah, dan modal kerja tetap. Biaya operasi adalah Biaya (SMP/MTs), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah operasi satuan pendidikan terbagi dua bagian, biaya operasi personalia dan biaya operasi non (SMA/MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Sekolah personalia. Untuk personalia meliputi; gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta tunjangan Dasar pada Luargaji. Biasa (SDLB), Sekolah Luaralat tulis yang melekat Sedangkan biaya operasi Menengah non personalia Pertama meliputi; biaya sekolah (ATS), biaya bahan dan alat habis pakai (BAHP), biaya pemeliharaan dan perbaikan Biasa (SMPLB), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), ringan, biaya daya dan jasa, biaya transportasi/ perjalanan dinas, biaya konsumsi, biaya namun peraturan tersebutkurikuler, belum sepenuhnya dilaksanakan. asuransi, biaya pembinaan siswa/ekstra biaya uji kompetensi, biaya praktek kerja industri, dan biaya pelaporan. Sedangkan biaya personal meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dan berkelanjutan seperti telah biaya pakaian, transportasi, buku pribadi, konsumsi, akomodasi biaya pribadi biaya operasi melalui Program Pendidikan Bantuan Operasional No.19lainnya.Meskipun Tahun 2005untuk tentang Standar Nasional Sekolah (BOS) dan Biaya Operasional Madrasah (BOM) telah signifikan mendorong dalam rangka menerapkan kebijakan pendidikan dasar pemenuhan kebutuhan jumlah biaya operasional, namun dalam pelaksanaan BOS dan BOM kerap masih ditemui praktek penyimpangan dan penyalahgunaan.
29
3
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Wajar 9. Dalam Pasal 62 disebutkan bahwa (1) Pembiayaan Pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal; (2) Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya manusia, dan modal kerja tetap; (3) Biaya personal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. Lebih rinci terkait biaya-biaya; biaya investasi adalah biaya investasi satuan pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana prasarana, pengembangan sumberdaya sekolah, dan modal kerja tetap. Biaya operasi adalah Biaya operasi satuan pendidikan terbagi dua bagian, biaya operasi personalia dan biaya operasi non personalia. Untuk personalia meliputi; gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta tunjangan yang melekat pada gaji. Sedangkan biaya operasi non personalia meliputi; biaya alat tulis sekolah (ATS), biaya bahan dan alat habis pakai (BAHP), biaya pemeliharaan dan perbaikan ringan, biaya daya dan jasa, biaya transportasi/ perjalanan dinas, biaya konsumsi, biaya asuransi, biaya pembinaan siswa/ekstra kurikuler, biaya uji kompetensi, biaya praktek kerja industri, dan biaya pelaporan. Sedangkan biaya personal meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan seperti biaya pakaian, transportasi, buku pribadi, konsumsi, akomodasi dan biaya pribadi lainnya. Meskipun untuk biaya operasi melalui Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Biaya Operasional Madrasah (BOM) telah signifikan mendorong pemenuhan kebutuhan jumlah biaya operasional, namun dalam pelaksanaan BOS dan BOM kerap masih ditemui praktek penyimpangan dan penyalahgunaan.
30
Mendorong Tata Kelola
Berdasarkan Penelitian lain yang diselenggarakan PATTIRO tahun 2011 tentang BOS di 10 Kabupaten/Kota, masih terdapat selisih signifikan antara kebutuhan Standar Biaya Operasi Nonpersonalia dengan besaran Biaya BOS. Besaran selisih biaya tersebut untuk SD/MI antara Rp 124.900,(Kota Semarang) dan tertinggi Rp 554.200,-(Kabupaten Jayapura), sedangkan untuk SMP/MTS antara Rp 67.550,(Kota Semarang), dan tertinggi Rp 594.400,- (Kabupaten Jayapura, Papua). Selisih biaya antara biaya operasional dan yang ditanggung BOS, menjadi salah satu sebab munculnya potensi pungutan untuk pemenuhan kebutuhan biaya tersebut. Adapun gambaran selisih biaya operasional yang dibayarkan peserta didik dan biaya yang ditanggung BOS adalah sebagai berikut:
Sumber: Penelitian PATTIRO-2011
Adanya selisih biaya yang harus dibayarkan oleh peserta didik dan yang ditanggung oleh BOS makin menunjukkan bahwa beban biaya pendidikan yang ditanggung masyarakat juga cukup besar.
31
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Dari data Susenas tahun 2012-2014, rata-rata total biaya pendidikan per kapita per tahun cenderung mengalami kenaikan. Jumlah rata-rata tersebut menggabungkan total biaya pendidikan untuk penduduk pedesaan (rural) dan penduduk perkotaan (urban). Total tahun 2014 (per-september), biaya pendidikan per kapita per tahun mencapai Rp 453.432,- Per kapita/tahun atau meningkat (7,15%). Adapun komponen pengeluaran biaya pendidikan tersebut mencakup biaya-biaya sebagai berikut; Biaya Pendidikan
Sept’ 2012
Sept’ 2013
Sept’ 2014
6,685
6,716
7,227
16,632
19,699
21,602
Iuran Sekolah Lainnya
2,080
2,621
2,740
Buku Pelajaran
3,021
3,365
3,334
Alat-alat Tulis
1,713
1,836
1,859
Uang Kursus
1,260
847
1,024
376,692
421,008
453,432
Sumbangan Pembangunan Sekolah/ Uang Pangkal Uang Sekolah (SPP, BP3, POMG)
Total Biaya Pendidikan Per Kapita Per Tahun
Sumber: BPS RI-Susenas 2012-2014 (Diolah)
Data menunjukkan bahwa komponen biaya pendidikan terbesar adalah uang sekolah yang mencakup Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP), Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3), Persatuan Orangtua Murid dan Guru (POMG). Uang sekolah yang biasa dibayarkan oleh peserta didik dan dibayarkan secara rutin (bulanan) nampak mencolok jika dibandingkan dengan komponen biaya pendidikan yang lain. Bahkan pada Tahun 2014, komponen biaya pendidikan berupa uang sekolah tercatat mencapai Rp 21.602,-. Salah satu hal yang berkaitan adalah bahwa komponen biaya yang lain, tidak selalu dibayarkan
32
Totaal Biaya Pend didikan Per K Kapita Per Tahun
376,692
Sumbe er: BPS RI‐Suse enas 2012‐2014 4 (Diolah)
421,008 8
453,4332
Mendorong Tata Kelola
Data menunjukkan m n bahwa kom mponen biayya pendidikaan terbesar aadalah uang sekolah yan ng mencaakup Sumbaangan Pemb biayaan Pendidikan (SPP), Badan Pembantu P Penyelenggar P ra Pendid dikan(BP3), Persatuan Orangtua O Mu urid dan Gurru (POMG). Uang sekolaah yang biassa setiap atau tidak berkala, bisa jikka dibayaarkan oleh bulan peserta didik dan dibayardibayarkan rkan secara rutin r secara (bulanaan) nampak mencolok diband dingkan den ngan kompo onen biaya p pendidikan y yang lain. B per kegiatan Bahkan padaa Tahun 2014, satu kali selama proses belajar, per tahun atau kompo onen biaya pendidikan p berupa b uang sekolah terccatat mencap pai Rp 21.602,‐. Salah sattu lainnya. uang secara rutin setiaap dibaayarkan hal yang berkaitan n Sedangkan adalah bah hwa komponen kompon nen biaya yang sekolah lain, tidak selalu bayarkan sec oses belajar, p per tahun ata au bulan atau tidak di bisa satu ka dibayarakan per cara berkala, bulan. Dari total li selama pro biaya pendidikan per per ke egiatan lainnyya. Sedangkaan komponen n uang sekollah secara ru utin dibayarakkan per bulan. kapita per tahunper tersebut, jika digambarkandigambarkan dalam grafik Dari total biaya pendidikan p kapita pe er tahun tersebut, jika d n dalam graffik h sebagai ber rikut; adalah adalah sebagai berikut;
Besaran Biaya
Total Biaya B Pen ndidikan n Per Kapita Per Tahun 50 00,000 40 00,000 30 00,000 20 00,000 10 00,000 -
TTotal Biaya Pen ndidikan Per Kapita Perr Tahun
SSept' 2 2012
SSept' 2 2013
SSept' 2 2014
37 76,692
42 21,008
453,432
Sumbe er: BPS RI‐Suse enas 2012‐2014 Sumber: BPS RI-Susenas4 (Diolah) 2012-2014 (Diolah) Grafik diatas meng ggambarkan kenaikan to otal biaya pe endidikan yan ng harus dikkeluarkan ole eh pesertta didik setiiap tahun. Untuk U kalangan miskin dan kurang g mampu, ke enaikan biayya pendid dikan akan berakibat bdi ataspad da prioritas pemenuhan p kebutuhan yang la ain. Jika haru us Grafik menggambarkan kenaikan hhidup total biaya memilih, antara ke ebutuhan paangan, keseh hatan dan te empat tinggaal. Biaya pen ndidikan tenttu pendidikan yang bukan utama harus dikeluarkan oleh eran dalam m peserta menekan biay didik menempati p pilihan yang b a. Pemerintah h perlu berpe ya akan m pendid dikan yang tahun. dikeluarkan oleh kalangan masyaarakat miskin agar bisa lebih terjangkau, t terutama bagi setiap Untuk dan kurang mampu, kelompok miskin dan kurang mampu. Pe embenahan atas a tata kellola pendidikkan di tingkaat kenaikann kemendesa biaya pendidikan akan berakibat akan agar waajar 12 cepat t terwujud. pada prioritas sekolaah merupaka
pemenuhan kebutuhan hidup yang lain. Jika harus memilih, Seiring g dengan has sil Susenas t ahun 2012‐20 014, studi PA ) atas Out of f Pocket (OOP P) TTIRO (2010) yang d dikeluarkan o oleh masyaraakat di 10 Ko en meliputi 6 6 jenis penge eluaran Rumaah antara kebutuhan pangan,ota/Kabupate kesehatan dan tempat tinggal. Tangg ga untuk pe endidikan terdiri atas; (1) Sumbaangan pemb bangunan se Biaya pendidikan tentu SPP) dan iura akan menempati pilihan ekolah yang (uanng pangkkal/uang gedu ung), (2) Uan ng sekolah (S an BP3/POMG G, (3) Iuran se ekolah lainnyya bukan utama. Pemerintah perlu berperan dalam menekan (ketrampilan, esku ul, les, tes, ds sb), (4) Buku u pelajaran, f foto kopi ba han pelajara n, (5) alat‐alaat pulpen, pens sil, penghapu us, penggaris s, kalkulator,, jangka, raut tan, dsb), (6) Uang kursu us tulis (p biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh masyarakat agar (bahassa, ketrampilan komputter, alat mu usik, pelajaraan, dan kettrampilan laiin). Penelitiaan bisa lebih terutama bagi miskin di dan (2010) PATTIRO m terjangkau, mencatat besaran OOP dii kota lebih besar b kelompok jika dibandingkan kabupaten. besaraan rata‐rata Pembenahan a antara Kota dan Kabupa Rp pendidikan 252.148,‐‐/bulan (tahu un Sedangkan kurang mampu. atas ten tatasebesar kelola di tingkat sekolah merupakan kemendesakan agar wajar 12 cepat terwujud.
33
5
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Seiring dengan hasil Susenas tahun 2012-2014, studi PATTIRO (2010) atas Out of Pocket (OOP) yang dikeluarkan oleh masyarakat di 10 Kota/Kabupaten meliputi 6 jenis pengeluaran Rumah Tangga untuk pendidikan terdiri atas; (1) Sumbangan pembangunan sekolah (uang pangkal/uang gedung), (2) Uang sekolah (SPP) dan iuran BP3/POMG, (3) Iuran sekolah lainnya (ketrampilan, eskul, les, tes, dsb), (4) Buku pelajaran, foto kopi bahan pelajaran, (5) alat-alat tulis (pulpen, pensil, penghapus, penggaris, kalkulator, jangka, rautan, dsb), (6) Uang kursus (bahasa, ketrampilan komputer, alat musik, pelajaran, dan ketrampilan lain). Penelitian PATTIRO (2010) mencatat besaran OOP di kota lebih besar jika dibandingkan di kabupaten. Sedangkan besaran ratarata antara Kota dan Kabupaten sebesar Rp 252.148,-/bulan (tahun 2007), dan Rp 202.689,-/bulan (tahun 2009). Untuk sekolah di Kota, biaya OOP bisa mencapai lebih dari Rp 4 Juta per tahun.
B. Pembenahan Tata Kelola Sekolah atas Pungutan Pihak sekolah sebagai penerima manfaat sekaligus service provider dari program-program pendidikan yang dijalankan oleh pemerintah dan pemerintah daerah memegang peranan penting dalam pengembangan kualitas tata kelola sekolah. Sekolah memiliki fungsi strategis dalam proses perencanaan, penetapan
34
Mendorong Tata Kelola
alokasi, penyaluran, penggunaan dan pertanggungjawaban atas kebijakan berbagai program bantuan (BOS, BOM, Bantuan Pendidikan, dst). Fungsi ini menjadikan sekolah sebagai pihak yang rentan bila tidak disertai kemampuan kapasitas dan tata kelola yang baik. Kerentanan dimaksud adalah menyangkut kapasitas sekolah dalam menjalankan aturan-aturan pelaksanaan program dan kegiatan pendidikan. Pihak sekolah dituntut untuk melakukan upaya-upaya yang sehat dalam merencanakan dan mengelola pertanggungjawaban program dan kegiatan pendidikan yang diamanatkan kepadanya. Sebagai pemangku kepentingan, sekolah dituntut untuk melakukan pembenahan dan menyelesaikan masalah. Ini menjadi tantangan tersendiri. Salah satu tantangan, misalnya dalam pengelolaan dana BOS, adalah larangan penggunaan dana BOS untuk transportasi rutin dan pembayaran bonus untuk guru. Adanya larangan ini, menyebabkan sekolah tidak bisa memberikan tugas tambahan untuk guru, tambahan kegiatan ekstra kurikuler, dan tugas kegiatan lain selain tugas utama guru. Hal ini dikarenakan dalam alokasi dana BOS tidak memperbolehkan pemberian honor kesejahteraan terkait tugas tambahan tersebut. Dampak lain adanya larangan alokasi penggunaan dana BOS untuk kesejahteraan guru di luar tugas tambahan adalah timbulnya praktek pungutan. Meskipun tidak bisa digeneralisir dan menjadi sebab adanya pungutan, ada persoalan mendasar terkait dengan pungutan di sekolah. Akhir tahun 2011 tepatnya 30 Desember 2011, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Permendikbud Nomor 60 Tahun 2011 tentang Larangan Pungutan Biaya Pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Namun kurang dari 6 bulan, kebijakan tersebut diubah menjadi Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada
35
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Satuan Pendidikan Dasar pada 28 Juni 2012. Hal ini makin melengkapi ‘ketidaktegasan’ pemerintah dalam melihat konteks permasalahan terkait pungutan atau sumbangan. Dari sisi regulasi, terjadi kegamangan di mana pihak pemerintah pusat dan daerah belum siap untuk menerapkan larangan secara tegas menyangkut pungutan. Semangat yang dimunculkan dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tidak diikuti dengan aturan pendukung, misalnya ketegasan atas sangsi dan prinsip keadilan. Meskipun yang dimaksud pungutan memenuhi prinsip keadilan dalam Permendikbud adalah pendanaan pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing pihak; Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Namun jika prasyarat dasar atas prinsip keadilan adalah transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana pendidikan belum diterapkan maka akan muncul tafsir ‘karet’ yang akan melegalkan praktekpraktek pungutan atau sumbangan. Adalah sebuah ironi, persoalan pungutan selalu menjadi celah dilematis antara aspek pemenuhan ketersediaan standar pendidikan oleh pihak internal sekolah, dinas pendidikan dan pemerintah secara umum dan eksternal oleh orangtua/wali murid dan warga masyarakat. Sisi lain terutama menyangkut pemenuhan pendidikan bermutu dan pendidikan gratis, antara biaya strategis dan operasional sekolah, antara kegiatan intra dan ekstra, mementingkan kebutuhan inklusif atau ekslusif. Semua persoalan biaya dan pengelolaan biaya yang menjadi sisi dilematis akan terus berkembang sepanjang persoalan pelaksanaan kebijakan dan tata kelola sekolah tidak dibenahi secara baik. Tata kelola sekolah menjadi salah satu titik krusial terkait permasalahan pendidikan di Indonesia. Berbicara tata kelola sekolah tidak lepas dari kebijakan pendidikan di tingkat sekolah. Kebijakan pendidikan di sekolah juga sering kali
36
Mendorong Tata Kelola
tersandung pada persoalan laten terkait dengan pungutan. Ujung dari permasalahan pungutan adalah beban masyarakat makin bertambah. Dalam situasi sulit, masyarakat khususnya orang tua/ wali murid memiliki kerentanan dalam menyikapi banyaknya pungutan yang harus mereka bayarkan. Masyarakat memiliki sisi dilematis ketika mempersoalkan berbagai macam pungutan baik yang legal maupun ilegal. Anak-anak mereka tidak memiliki ‘bargaining’ untuk menolak pungutan apalagi dampak psikologis yang harus didapatkan ketika tidak mampu membayar di tengah peserta didik lainnya. Sedangkan orang tua/ wali murid menjadi bahan gunjingan dan menjadi ‘public enemy’ karena mencoreng nama baik guru atau sekolah. Situasisituasi ini memerlukan penanganan khusus untuk mendorong tata kelola sekolah yang lebih baik. Persoalan pembagian urusan pembiayaan pendidikan sudah diatur dalam PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai turunan dari UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pemerintah pusat bertanggung jawab atas penyediaan pendanaan semua level pendidikan dan program, serta penyediaan sumber daya untuk pendidikan tinggi dan subsidi silang (pendidikan usia dini, sekolah dasar dan menengah, dan pendidikan nonformal). Sementara pemerintah Propinsi memiliki tanggungjawab pendanaan tingkat menengah dan pendidikan vokasional, serta pendidikan khusus. Propinsi juga bisa menyediakan tambahan sumber daya atau subsidi untuk PAUD, pendidikan dasar dan non-formal, serta pendidikan tinggi. Sedangkan untuk pemerintah kabupaten/ kota bertanggung jawab atas penyediaan sumber daya PAUD, pendidikan dasar dan pendidikan non formal. Kebijakan ini ditindaklanjuti dengan PP No. 48 Tahun 2008 tentang Pembiayaan Pendidikan terutama Pasal 2 ayat (1) yang menyebutkan pendanaan pendidikan menjadi tanggung
37
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
jawab bersama antara pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Sedangkan Pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa biaya pendidikan meliputi 3 hal yakni biaya satuan pendidikan, biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan serta biaya pribadi peserta didik. Lebih lanjut turunan biaya–biaya tersebut (termasuk biaya investasi) dapat bersumber dari masyarakat. Sumber pendanaan yang berasal dari masyarakat inilah yang membuka peluang adanya berbagai macam tarikan atau pungutan dari penyelenggara pendidikan pada peserta didik. Dengan alasan biaya tinggi, peserta dan orang tua didik berada dalam posisi dilematis dan terpaksa ‘memaklumi’ adanya pungutan dengan berbagai macam alasan dan kesepakatan. Lebih dari itu, kebijakan pungutan ini juga diperkuat dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar. Permendikbud secara tegas menyatakan bahwa sumber biaya pendidikan pada satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah selain APBN dan APBD dapat juga berasal dari sumbangan dari peserta didik atau orangtua/ walinya (Pasal 5. Huruf c). Hal yang relatif sama juga disebutkan pada pasal berikutnya bahwa sumber biaya pendidikan pada satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat adalah berupa pungutan, dan/atau sumbangan dari peserta didik atau orang tua/walinya (Pasal 6. Huruf b). Ada suatu pola pendekatan yang salah dalam hal ini. Akan timbul banyak masalah menyangkut pungutan atau sumbangan. Ada situasi dan korelasi kekuasaan yang tidak seimbang antara sekolah dan peserta didik khususnya pada satuan pendidikan dasar. Daya tawar atas penolakan pungutan bisa menjadi lemah karena belum didukung penanganan keluhan atas pungutan tersebut. Mekanisme hukuman bagi sekolah yang melanggar tidak cukup jelas sehingga tidak dapat menjadi efek jera bila
38
Mendorong Tata Kelola
sekolah masih melakukan pungutan. Situasi ini diperparah dengan ketidakcukupan dana untuk membiaya operasional sekolah. Penyebab lain adalah kebijakan pengelolaan kewenangan pendidikan antara pemerintah pusat dan daerah. Sebelum polemik Sekolah Berstandar Internasional, pemetaan atas kewenangan dan tanggung jawab di setiap jenjang pendidikan belum terbagi secara tuntas. Idealnya pelimpahan kewenangan juga diikuti dengan pelimpahan anggaran. Pemerintah pusat sampai saat ini masih mengelola berbagai macam bantuan sosial, beasiswa, pembangunan sekolah, penyaluran dana-dana khusus, penyaluran kegiatan teknis sampai ke lingkup satuan pendidikan (sekolah). Selain bantuan program dan kegiatan yang langsung di kelola kementerian tingkat pusat, Dana Penyesuaian yang masih dikelola Pusat yang diperuntukkan untuk daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan pemerintah pusat dan mempercepat pembangunan di daerah di antaranya adalah dana tambahan Penghasilan Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD), Dana Insentif Daerah (DID), Tunjangan Profesi Guru (TPG), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID), DP Cukai, Kurang Bayar Sarana Prasarana Infrastruktur Papua Barat, DP DAU, dan DP DAK. Kewenangan pendidikan yang dimiliki daerah tidak diimbangi dengan kewenangan pengelolaan anggaran yang memadahi, sehingga daerah-daerah miskin dan terpencil akan kesulitan untuk mengejar kesenjangan dan ketimpangan pendidikan tersebut. Faktor lain adalah tata kelola pendidikan di daerah. Ini menjadi penyebab utama era desentralisasi. Munculnya kepemimpinan daerah yang memiliki komitmen pada persoalan pendidikan menjadikan satu daerah akan berkembang dinamis dalam pengelolaan pendidikan. Komitmen Kepala Daerah yang visioner biasanya ditandai dengan munculnya inisiatif kebijakan
39
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
kebijakan pendidikan yang langsung mencoba menyelesaikan permasalahan dasar pendidikan, di antaranya pada aspek penyediaan sarana prasarana, pendidik, operasional dan manajemen. Seiring dengan bertumbuhnya aspek penyediaan pendidikan, terdapat pula upaya peningkatan mutu pendidikan, seperti peningkatan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan, program-program pendukung, lingkungan pendidikan dan lintas kerjasama antar pihak untuk mendukung programprogram pendidikan. Kebijakan pendidikan ini disertai dengan alokasi anggaran pendidikan yang memadai untuk mendukung program kerja dan kegiatan pendidikan.
C. Dampak dan Modus Pungutan Pengalaman PATTIRO melalui Survei Citizen Report Card (CRC) atau Kartu Penilaian Warga yakni Survei Penilaian atas pelayanan publik yang diterima oleh warga masyarakat di suatu wilayah dari penyedia layanan/ pemerintah masih menunjukkan indikasi adanya pungutan pendidikan. Program ini pertama kali dikembangkan di Bangalore, India tahun 1993. Survei ini menilai pelayanan publik dari beberapa aspek di antaranya aspek ketersediaan pelayanan, keberterimaan pelayanan, performa kinerja pelayanan (termasuk petugas), kualitas sampai ke kepuasan layanan di lebih dari 30 Kota/ Kabupaten di Indonesia sejak tahun 2006 sampai awal tahun 2014. Hasil survei menunjukkan masih adanya kecenderungan pungutan yang harus dibayar oleh peserta didik. Berbagai biaya tersebut di antaranya adalah biaya ekstrakurikuler, praktek, komite, penyediaan peralatan (komputer dan alat bantu belajar), tambahan perlengkapan sekolah, pengecatan, sumbangan kematian dan kelahiran, buku dan photocopi buku pelajaran, sampai ke acara-acara keagamaan seperti peringatan hari besar keagamaan, infak, qurban dan semacamnya.
40
Mendorong Tata Kelola
Kegiatan ekstrakurikuler sangat tergantung pada kebijakan sekolah. Setidaknya ada beberapa contoh kegiatan ekstrakurikuler yang dapat menjadi alasan untuk melakukan pungutan. Kegiatan ekstrakurikuler dibagi berdasarkan jenisnya menjadi ; (1) Krida seperti kepramukaan, Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS), Palang Merah Remaja (PMR), Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), OSIS, dst. (2) Kegiatan karya ilmiah seperti Karya Ilmiah Remaja (KIR), penguasaan dan pendalaman ilmu pengetahuan, penelitian, penulisan karya ilmiah lain dan sejenisnya, dan yang terakhir (3) adalah kegiatan ekstrakurikuler berupa latihan/olah bakat/prestasi meliputi pengembangan bakat olah raga, seni, budaya, cinta alam, jurnalistik, teater, keagamaan, musik, marching band, marawis, dst. Semakin luasnya cakupan kegiatan ekstrakurikuler, pada tahun 2013 pemerintah mengatur kegiatan ekstrakurikuler dalam kurikulum 2013. Pembenahan ini diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 81 A Tahun 2013, di mana dalam kurikulum 2013 kegiatan ekstrakurikuler dikelompokkan mejadi dua; yakni ekstrakurikuler wajib dan ekstrakurikuler pilihan. Kegiatan kepramukaan ditetapkan sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib dari sedkolah dasar (SD/ MI) hingga sekolah menengah atas (SMA/SMK) melalui kerjasama dengan organisasi kepramukaan setempat. Sedangkan kegiatan ekstrakurikuler pilihan di antaranya OSIS, UKS, dan PMR serta kegiatan ekstrakurikuler berbentuk kelompok atau klub yang dikembangkan berkenaan dengan konten suatu mata pelajaran, misalnya klub olahraga (bola, voli, basket, bulu tangkis, dst) atau ekstrakurikuler yang dikembangkan dari peserta didik seperti klub tari, paskibra, menyanyi, melukis, teater, kesenian, klub diskusi, sastra, drama, klub bela diri, silat, karate, judo, klub pecinta komputer, otomotif, elektronika, matematika, bahasa inggris, klub pecinta alam, pertanian, daur ulang, pekerja sosial, polisi lalu lintas, perkumpulan pengelola tempat ibadah, rohis dan kelompok peduli yatim.
41
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler berpotensi menimbulkan pungutan baik yang “legal maupun ilegal”. Namun ini semua tidak dapat langsung dibuktikan. Berbagai modus pungutan atas kegiatan ekstrakurikuler di antaranya adalah sebagai berikut; (1) pembayaran sekali/ Dalam modus ini, kegiatan ekstrakurikuler sudah termasuk dalam uaang pangkal (uang sumbangan saat pertama kali peserta didik masuk sekolah); (2) kegiatan ekstrakurikuler pembayaran berkala, dilakukan per bulan; 3 bulan, semester atau per tahun. Biasanya berjenis kegiatan ekstrakurikuler pilihan berbentuk kelompok seperti klub olah raga, seni, dan peminatan khusus lainnya. Pungutan akan dilakukan saat penerimaan raport semesteran, atau langsung oleh panitia pelaksana saat peserta didik belum melakukan pembayaran;(3) pembayaran sewaktu-waktu, kegiatan ekstrakurikuler pilihan sesuai dengan even atau kegiatan dalam rangka peringatan peristiwa besar, perlombaan, atau bersifat kunjungan. Kegiatan ekstrakurikuler kompetisi antar kelas, antar sekolah, promosi antar sekolah merupakan aktivitas yang membutuhkan biaya tambahan. Pembayaran dilakukan sewaktu-waktu, di mana sekolah berargumen bahwa dana yang disediakan sekolah tidak mencukupi untuk melakukan pembayaran trainer/pelatih, narasumber, pihak ketiga dan kebutuhan perlengkapan dan peralatan yang belum memadahi; (4) Pembayaran mendadak. Modus ini dilakukan ketika kegiatan ekstrakurikuler menjadi pilihan yang sifatnya mendadak. Modus awalnya berupa sumbangan sukarela kemudian menjadi kebiasaan yang secara informal menjadi kebiasaan sekolah. Seperti persiapan perpisahan sekolah yang ditempelkan pada kegiatan ekstrakurikuler pilihan lain. Biasanya juga ditambahkan pungutan mendadak, misalnya pelatih ekstrakurikuler mendadak ulang tahun, hajatan, pindah kerja, atau kegiatan sumbangan keagamaan dalam rangka suatu peristiwa penting yang dilekatkan pada kegiatan ekstrakurikuler pilihan lainnya.
42
Mendorong Tata Kelola
Modus pembenaran atas pungutan pada kegiatan ekstrakurikuler yang dilakukan di antaranya; (1) sudah mendapat persetujuan dari komite sekolah, (2) sesuai dengan program yang telah dicanangkan pihak sekolah, dinas atau pemerintah daerah, (3) kesepakatan rapat orang tua wali murid, (4) sudah menjadi tradisi sekolah, (5) sesuai edaran dinas atau kepala daerah, (6) membawa nama baik sekolah dan daerah, (7) mengajarkan anak pada nilai-nilai tertentu (agama), (8) jumlahnya tidak seberapa, jika agak besar bisa dicicil dan tidak memberatkan, (9) orang tua lain sudah setuju, (10) kegiatan berpengaruh pada nilai rapor atau kelulusan, dan (11) buat kenang-kenangan. Jumlah nominal pungutan sangat tergantung pada lingkungan sekolah, kebiasaan dan bentuk kegiatan ekstrakurikuler yang diadakan. Bentuk ekstrakurikuler yang bervariasi dan memiliki kekhususan (tidak semua peserta didik ikut), menyebabkan jumlah nominal dianggap wajar. Besaran itu mulai Rp 1.000,-, Rp 2.000,-, Rp 3.000,-, Rp 5.000,-, Rp 10.000,-, Rp 20.000,- sd Rp 50.000,- untuk setiap kali kegiatan ekstrakurikuler, dengan waktu kegiatan dalam 1 minggu antara 1-2 hari. Kegiatan ekstrakurikuler bisa menjadi semakin melenceng dari tujuannya ketika ada aspek psikologis yang muncul sebab seringkali guru pengasuh ekstrakurikuler juga adalah guru mata pelajaran atau guru kelas. Situasi ini menciptakan ekslusivisme peserta didik dan orang tua peserta didik yang merasa ‘aman’ karena telah ‘membayar’ pada pengasuh ekstrakurikuler. Terlebih ketika jenis ekstrakurikuler itu menonjolkan kegiatan dan perlengkapan yang ‘mahal’. Siswa yang menjadi peserta dari ekstrakurikuler tersebut memiliki kebanggaan tersendiri meskipun harus ‘membayar lebih’. Kedua pihak merasa dalam posisi benar dan wajar. Padahal kecenderungan kegiatan ekstrakurikuler seperti ini telah melahirkan kebanggaan semu. Tujuan utama dalam belajar dikalahkan kegiatan ekstrakurikuler.
43
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Di beberapa sekolah, dalam studi PATTIRO, praktek pungutan menjadi ‘biasa’ dan mendapat pemakluman. Ironisnya, sekolah, terutama guru bidang tertentu, menilai pungutan dianggap sebagai hal wajar. Bentuk kewajaran akan sangat kentara ketika berhubungan dengan sumbangan atas peringatan hari-hari besar agama, sumbangan keagamaan seperti infak, shodaqoh dan semacamnya. Yang menarik, sumbangan atau pungutan tersebut dilakukan melalui surat edaran. Jenis dan jumlah besaran ditetapkan, sampai ada semacam ‘sangsi’ sosial yang bisa diterima peserta didik jika tidak memberikan sumbangan tersebut. Ada kalanya sumbangan dihubungkan dengan penilaian proses belajar-mengajar. Situasi ini tidak hanya terjadi di Pulau Jawa tapi juga sudah meluas ke luar Pulau Jawa. Berbagai efek dan dampak lanjutan atas pungutan-pungutan yang tidak transparan menimbulkan kesenjangan dan kecemburuan tersendiri bagi peserta didik maupun orang tua yang memiliki keterbatasan dana untuk bisa bergabung, bahkan mereka merasa dikucilkan. Ketika pungutan dianggap wajar dan biasa, stigma mutu akan selalu dikaitkan dengan pembiayaan lebih. Pihak sekolah selalu punya alasan untuk selalu menarik pungutan baik legal maupun ilegal. Sekolah menjadi sebuah lingkungan moral yang tidak kondusif, jauh dari transparansi, menghilangkan semangat saling membantu. Padahal, lembaga pendidikan semestinya lebih mengutamakan integritas moral, menumbuhkan budaya hormat dan menjadi contoh perilaku jujur.
D. Kesimpulan dan Rekomendasi Dalam rangka mencapai Wajar 12 tahun, terkait dengan tata kelola sekolah yang baik khususnya dalam rangka mengurangi pungutan sekolah dapat diambil kesimpulan sebagai berikut;
44
Mendorong Tata Kelola
1. Tata kelola sekolah yang baik akan berkontribusi positif pada pencapaian Wajar 12 tahun. Masalah pendidikan termasuk adanya pungutan tidak bisa dilepaskan dari masalah manajemen atau tata kelola Sekolah. Perubahan cukup mendasar di dunia pendidikan sekitar 1 dekade terakhir seiring dengan adanya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional adalah tata kelola, kurikulum dan kemudian diikuti dengan perubahan teknis lainnya. Tata kelola sekolah yang baik, harus bisa mensinergikan kesepuluh komponen (Pendidik, Peserta Didik, Tenaga Kependidikan, Paket Instruksi Pendidikan, Metode Pengajaran, kurikulum Pendidikan, Alat Instruksi dan Pendukung, Fasilitas Pendidikan, Anggaran Pendidikan, dan Evaluasi Pendidikan) berjalan selaras. Dengan berjalannya kesepuluh komponen utama, setidaknya permasalahan pungutan bisa dikurangi. 2. Pemerintah dan pemerintah daerah memiliki tanggung jawab utama menyelaraskan kebijakan, anggaran, sumber daya dan sarana prasarana pendukung guna menjawab tuntutan Wajar 12 tahun. Dari aspek tata kelola pendidikan, perubahan cukup mendasar adalah berubahnya sentralisasi pendidikan menjadi desentralisasi. Meskipun belum semua kebijakan ‘didesentralisasi’ namun perubahan ini cukup membawa perubahan signifikan yang membawa dampak bagi daerah untuk menyukseskan pengelolaan pendidikan ditingkat daerah. Untuk sebagian daerah dengan infrastruktur dan kapasitas sumber daya yang memadaii akan lebih mudah melakukan akselerasi dan otonomi pendidikan tertentu. Ini berbeda dengan daerah yang memiliki infrastruktur dan kapasitas sumber daya terbatas, apalagi daerah yang baru berdiri sebagai daerah otonomi baru. 3. Desentralisasi pendidikan yang tengah bergulir memberi peluang bagi daerah untuk mengembangkan pendidikan dan pengajaran yang selaras dengan kebutuhan dan situasi masyarakat setempat. Begitupun dalam hal
45
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
penyelenggaraan. Hubungan kewenangan yang makin dekat akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses peningkatan kualitas pendidikan di daerahnya. Namun demikian, praktek-praktek terkait pungutan di sekolah harus menjadi perhatian bersama terutama Pemerintah baik pusat maupun daerah. 4. Pemenuhan akses dan standar kualitas pelayanan pendidikan di daerah masih rendah. Meskipun sudah ada Permendikbud Nomor 23 Tahun 2013 yang menetapkan bahwa setiap kabupaten dan kota wajib memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) sekurang-kurangnya dalam waktu 3 tahun setelah SPM tersebut disahkan. Sampai tahun 2013 baru ada sebanyak 68,7% SD/MI dan 62,5% SMP/MTs yang terakreditasi minimal B. Ini berarti kualitas pendidikan dasar masih rendah. Hal yang hampir sama juga pada kualitas layanan pendidikan di jenjang pendidikan menengah.
Untuk itu, kami memberikan rekomendasi untuk mengatasi persoalan tata kelola sekolah agar dapat menjadi pendorong tercapainya Wajar 12 tahun sebagai berikut; 1. Mencabut atau memperbaiki Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendi dikan Pada Satuan Pendidikan Dasar. Hal ini sangat krusial karena akan membawa efek perhatian bagi seluruh pemangku kepentingan pendidikan khususnya sekolah. Peme rintah daerah bisa membantu dalam rangka proses pengawasan dan mendorong tata kelola sekolah yang lebih baik. 2. Perlunya kebijakan lokal sebagai pendukung pelaksanaan akuntabilitas sekolah. Meskipun ditingkat nasional sudah ada aturan yang mendukung, namun di daerah perlu ada payung hukum tambahan untuk memastikan bahwa pungutan yang terjadi di sekolah merupakan kejahatan
46
Mendorong Tata Kelola
dan ada sangsi hukumnya. Di level tertentu bahkan bisa masuk ke ranah hukum. Kebijakan lokal dimaksud bisa berupa Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Kepala Daerah (Perkada), Keputusan Kepala SKPD (SK Kepala Dinas), sampai keputusan kesepakatan di tingkat Sekolah (Berita acara kesepakatan atau Surat Kepala Sekolah). 3. Mendorong partisipasi dan praktek transparansi pengelolaan keuangan sekolah. Sebagai upaya mengurangi praktek pungutan di sekolah, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat perlu mendorong kembali upaya transparansi pengelolaan keuangan sekolah dengn membuat pedolan tentang transparansi dan larangan praktek pungutan di sekolah. Bentuknya adalah adanya pedoman tentang transparansi dan larangan praktekpraktek pungutan sekolah. Pedoman ini berisi sangsi hukum bagi yang melanggar. 4. Penguatan kapasitas sekolah SD dalam mengelola sekolah, berupa penguatan kapasitas pengelola keuangan. Isu transparansi masih menjadi tantangan bagi pihak sekolah terutama di SD. Salah satu penyebabnya adalah kapasitas pengelola keuangan. Berbeda dengan tingkat SMP dan SMA yang telah mempunyai tata usaha (TU) atau staf administrasi yang bisa dipekerjakan, situasi di SD belum mendukung. Salah satu alternatifnya adalah melakukan penguatan kapasitas pengelolaan keuangan tingkat SD khususnya untuk bendahara sekolah atau guru yang ditunjuk menjadi pengelola keuangan. Bentuk penguatan dimaksud di antaranya adalah pelatihan administrasi keuangan, workshop khusus, kunjungan belajar, assistensi keuangan, dst. Stakeholder yang ada di sekolah perlu menyadari bahwa sekolah adalah badan publik, sehingga pengelolaan keuangan sekolah juga perlu menganut prinsip-prinsip keterbukaan. Sekolah tidak perlu merasa risih, jika pengelolaan keuangan sudah dilakukan dengan baik. Ppenyadaran bersama
47
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
tentang pentingnya transparansi pengelolaan keuangan di sekolah harus terus dilakukan. Transparansi dimaksud diantaranya mendorong pembuatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS) berbasis Partisipasi Masyarakat. Melaporkan penggunaan dana yang bisa diakses orang tua dan peserta didik (misalnya melalui papan pengumuman, majalah dinding, atau surat kepada orang tua murid tentang pertanggungjawaban penggunaan dana). 5. Guna menguatkan kualitas layanan pendidikan, maka perlu mengefektifkan kembali peran pengawas dan komite Sekolah. Peran pengawas sekolah sangat relevan untuk melakukan pengawasan sekaligus peningkatan kapasitas bagi pengelola keuangan. Sehingga pengawas, setidaknya memiliki jadwal rutin untuk melakukan kunjungan ke sekolah (minimal per semester). Selain kunjungan rutin, pengawas sekolah bisa menjadi mitra untuk peningkatan kapasitas bagi pengelola keuangan. Agenda kunjungan pengawas sekolah harus jelas dan diketahui bersama (jika perlu gunakan berita acara pengawasan) sehingga sekolah juga mendapatkan feedback dan langkah perbaikan. (tidak sekedar informal pertemuan di sekolah, rumah makan dan tempat ngopi). Sekecil apapun pungutan akan sangat mempengaruhi performance dari sekolah. Sehingga pengawas dapat memberikan feedback yang mendorong akuntabilitas sekolah karena akan berpengaruh pada performance sekolah yang bersangkutan.Sedangkan komite sekolah, dapat melakukan perannya sebagai perwakilan orang tua murid untuk menampung keluhan dan aspirasi perbaikan (meskipun bisa juga langsung ke sekolah), menyalurkan keluhan dan menjadi mitra sekaligus pengawas pelaksanaan kegiatan sekolah. Komite sekolah bukan stempel kebijakan kepala sekolah, tetapi menjadi perwakilan aktif orang tua murid dan peserta didik yang mendorong peningkatan kualitas pendidikan dan pengajaran di sekolah.
48
Pemenuhan Kebutuhan Guru
dalam Pencapaian Target Wajib Belajar 12 Tahun
S
alah satu tujuan pendirian negara republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencapai tujuan ini negara memandang pendidikan sebagai sektor strategis dan mendapat prioritas kebijakan negara. Salah satu kebijakan tersebut adalah program wajib belajar. Tulisan ini akan membahas tentang pemenuhan kebutuhan guru dalam konteks wajib belajar 12 tahun. Tulisan dibatasi pada pemenuhan wajib belajar 12 tahun pada sekolah formal di bawah naungan Kemdikbud. Bagian pertama tulisan ini akan membahas tentang standar kebutuhan guru ditingkat sekolah, daerah dan nasional. Bagian kedua membahas tentang faktor yang mempengaruhi pemenuhan kebutuhan guru tersebut. Tulisan ini ditutup dengan kesimpulan dan saran terkait dengan wajib belajar 12 tahun.
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
A. Kebutuhan Guru Wajib belajar bertujuan untuk memastikan dan mewajibkan penduduk usia sekolah dapat mengenyam pendidikan dasar. Dasar hukum wajib belajar jenjang pendidikan dasar tercantum dalam UUD 1945 tepatnya pasal 32 ayat (2). Selain itu, kebijakan turunannya juga diatur dalam pasal 6 ayat (2), pasal 7 ayat (2) dan pasal 34 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Pemerintah juga telah menetapkan PP No. 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar sebagai acuan lebih lanjut atas program tersebut. Wajib belajar pendidikan dasar sampai usia 15 tahun dinilai kurang memadai. Bangsa Indonesia membutuhkan perluasan wajib belajar pada jenjang pendidikan lebih tinggi, minimal sampai pada jenjang pendidikan menengah. Hal ini disebabkan karena meningkatnya populasi penduduk serta kebutuhan persaingan bangsa Indonesia dengan bangsa lain dalam beberapa dekade ke depan. Perluasan kebijakan ini tentu memiliki berbagai implikasi kebutuhan seperti penyediaan infrastruktur, guru, sarana pendidikan, guru, kelembagaan, birokrasi dan anggaran. Wajib belajar akan mendorong peningkatan akses warga negara atas pelayanan pendidikan menengah dan pemerintah harus menyediakan munculnya permintaan tersebut. Keberhasilan perluasan cakupan wajib belajar tidak hanya ditentukan oleh meningkatnya permintaan (demand) masyarakat atas pelayanan pendidikan menengah akan tetapi juga ditentukan oleh kesiapan pemerintah menyediakan pelayanan pendidikan menengah bermutu dan berkeadilan. Salah satu hal penting yang harus disediakan pemerintah terkait perluasan cakupan wajib belajar adalah penyediaan guru di masing-masing satuan pendidikan menengah. Tidak ada artinya meningkatkan permintaan dan akses masyarakat
50
Pemenuhan Kebutuhan Guru
atas pendidikan menengah serta penyediaan infrastruktur pendidikan tanpa kehadiran guru di depan kelas. Kegiatan belajar mengajar tidak dapat berjalan dengan baik dan efektif tanpa kehadiran dan kecukupan guru di sekolah. Menghadirikan guru kedepan kelas di masing-masing sekolah tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak faktor penghambat dan rumitnya sistem manajemen guru di Indonesia yang perlu diurai agar kebutuhan guru dapat terpenuhi. Sebagian faktor tersebut terkait dengan internal sektor pendidikan Indonesia namun sebagian lagi sangat berkaitan dengan sistem yang berlaku di luar sektor pendidikan.
B. Perhitungan Dan Proyeksi Kebutuhan Guru 1. Metode Perhitungan kebutuhan Guru Penyediaan guru pada jenjang pendidikan dasar dan menengah merupakan kewajiban pemerintah pusat dan daerah. Berapakah jumlah guru yang harus disediakan pemerintah agar program wajib belajar 12 tahun dapat berjalan dengan baik? Jawaban pertanyaan ini dapat diperoleh dengan menghitung kebutuhan guru ideal mulai di tingkat sekolah, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Perhitungan kebutuhan guru di tingkat sekolah didasarkan pada dua variabel utama, pertama adalah jumlah rombel yang terdapat di sekolah tersebut serta kedua adalah beban kerja guru per minggu. Aturan yang menjadi dasar perhitungan adalah Permendikbud No. 23 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Permendikbud No. 10 Tahun 2010 SPM Pendidikan Dasar Kabupaten/Kota.
51
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
a. Metode Perhitungan Kebutuhan guru SD/MI Perhitungan kebutuhan guru didasarkan pada Permendiknas No. 10 Tahun 2010 tentang SPM (Standar Pelayanan Minimal) Bidang Pendidikan. Berdasarkan regulasi ini, perhitungan guru ditingkat SD adalah : 1). Jumlah peserta didik maksimal 32 orang; 2). 1 orang guru untuk 32 peserta didik per rombel; 3). Untuk daerah khusus, minimal ada 4 orang guru kelas/satuan pendidikan; 4). Untuk non daerah khusus, minimal ada 6 orang guru kelas/satuan pendidikan; 5). Guru agama, penjas dan mulok perhitungan guru mata pelajaran;
mengikuti
Berdasarkan prinsip ini maka dihitung kelebihan dan kekurangan guru di suatu SD, yakni : Kelebihan atau kekurangan guru SD = Guru yang ada – Kebutuhan guru kelas Perhitungan kebutuhan guru kelas di SD didasarkan pada guru yang tersedia, jumlah siswa sesuai APK dan rasio siswa-guru. Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah apakah sekolah tersebut berada pada daerah khusus. Jika sekolah berada di daerah khusus maka sekolah tersebut mengikuti SPM khusus juga yang berbeda dengan SPM sekolah daerah biasa. Jika sekolah berada di daerah khusus dan jumlah guru kurang dari empat serta rombel kecil atau sama dengan 6 maka sekolah tersebut telah memenuhi SPM = 4.
52
Pemenuhan Kebutuhan Guru
Jika jumlah guru dan rombel tidak sesuai dengan kriteria tersebut maka yang perlu dilihat selanjutnya adalah melihat jumlah rombel disekolah tersebut. Pertimbangan jumlah rombel juga berlaku bagi sekolah biasa yang tidak berada di daerah khusus. Jika jumlah rombel lebih kecil dibanding jumlah guru maka guru yang berada di sekolah tersebut harus diredistribusi antar sekolah ke jenjang yang sama. Jika jumlah rombel lebih besar dengan jumlah guru maka perlu dilihat apakah rombel tersebut memiliki jumlah yang sama dengan guru atau lebih besar dengan jumlah guru. Jika jumlah rombel sama besar dengan jumlah guru maka kebutuhan ideal guru di sekolah tersebut telah terpenuhi (sesuai dengan SPM). Namun jika jumlah guru kurang dari 6 maka kebutuhan guru yang dipenuhi sehingga terdapat 6 guru di sekolah tersebut sesuai SPM. Jika tidak, hal itu adalah kondisi minimal dalam pencapaian SPM.
Sumber: Direktorat P2TK Ditjen Dikdas Kemdikbud, 2014
53
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
b. Metode Perhitungan Kebutuhan Guru SMP/MTs Prinsip perhitungan guru mata pelajaran tingkat SMP berdasarkan Permendikbud No. 10 Tahun 2010 adalah : 1. Setiap rombel dalam mengikuti mata pelajaran tertentu diampu oleh 1 (satu) orang guru; 2. Jumlah guru dihitung berdasarkan jumlah tatap muka (JTM) per minggu yang terjadi di sekolah dibagi wajib mengajar guru (24); 3. JTM dihitung dengan cara menjumlahkan rombel per tingkat kali jumlah jam mata pelajaran per minggu per tingkat yang ada dalam struktur kurikulum; 4. Wajib mengajar yang digunakan adalah 24 jam tatap muka per minggu; 5. Guru mata pelajaran hanya mengampu 1 (Satu) jenis mata pelajaran yang sesuai dengan sertifikat pendidik dan atau latar belakang pendidikan yang dimilikinya; Tersedia 1 orang guru bimbingan konseling untuk 150 – 250 peserta didik.
Sumber: Direktorat P2TK Ditjen Dikdas Kemdikbud, 2014
54
Pemenuhan Kebutuhan Guru
Proses perhitungan guru mata pelajaran pada suatau SMP didasarkan pada tiga data yakni jumlah rombel (JR), jumlah guru per mapel (G) dan struktur kurikulum (JPM - Jam pelajaran per minggu). Langkah pertama yang dilakukan adalah menghitung JTM dengan cara mengalikan JR dengan JPM. Langkah selanjutnya menghitung kebutuhan guru dengan cara membagi JTM dengan 24. Angka 24 berasal dari beban kerja guru per minggu yakni sebesar 24 per guru perminggu. Jika kebutuhan guru (KG) sudah sama banyak dengan guru yang tersedia dsekolah tersebut (G) maka hal tersebut adalah kondisi ideal di mana kebutuhan guru telah terpenuhi sepenuhnya. Jika hal tersebut tidak terpenuhi, pihak Dinas Pendidikan kabupaten/kota melakukan redistribusi guru mapel yang sama antar sekolah pada jenjang yang sama (jenjang SMP). Jika redisitribusi berhasil di mana sekolah kelebihan guru dapat meredistribusikan gurunya ke sekolah yang kekurangan guru sehingga kebutuhan guru dan guru yang ada di sekolah tersebut bernilai yang sama maka kondisi tersebut dinilai sekolah kondisi ideal. Bila setelah redistribusi guru mapel yang sama pada jenjang yang sama belum berhasil meratakan distribusi guru maka Dinas Pendidikan kabupaten/kota dapat melakukan redistribusi guru mapel yang sama dari jenjang yang berbeda. Misalnya, sebuah SMP membutuhkan guru Bahasa Inggris dan tidak dapat dipenuhi oleh guru SMP lainnya. Hal ini dapat dipenuhi oleh guru mata pelajaran Bahasa Inggris ditingkat SMA/ MA dengan syarat bahwa guru tersebut juga kekurangan pencapaian 24 jam mengajar disekolahnya (SMA asal).
55
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Jika redistribusi guru antar jenjang tidak berhasil maka selanjutnya dihitung berapa banyak sekolah yang mengalami kelebihan dan kekurangan guru. Data perhitungan ini selanjutnya dimasukkan dalam proyeksi kebutuhan guru kabupaten/kota. Dalam konteks ini, Pemerintah provinsi dapat memfasilitasi redistribusi guru antar kabupaten/kota. Jika hal ini tidak berjalan dengan baik atau tidak efektif maka pilihan akhirnya adalah melakukan rekrutmen guru baru untuk sekolah tersebut. Perhitungan Kebutuhan Guru Mata Pelajaran SMP/MTs
Keterangan :
�� � �
������ ∑ ��� � ���2�� ∑ �2� � ������ ∑ ��� ��� �� 24 24
Keterangan : : Kebutuhan Guru KG : Kebutuhan Guru JTM :: Jumlah Tatap Muka per jenis guru per minggu Jumlah Tatap Muka per jenis guru per minggu JTM MP : Alokasi jam mata pelajaran per minggu pada mata pelajaran tertentu MP : Alokasi jam mata pelajaran per minggu pada mata pelajaran tertentu di satu tingkat di satu tingkat ∑K : jumlah Kelas/rombongan belajar pada suatu tingkat yang mengikuti pelajaran tertentu ∑ � : jumlah Kelas/rombongan belajar pada suatu tingkat yang mengikuti 24 : wajib mengajar per minggu, digunakan angka 24 1,2,3 : pelajaran tertentu tingkat 1, 2 dan 3
KG
24
: wajib mengajar per minggu, digunakan angka 24
Berdasarkan prinsip dan metode perhitungan di atas 1,2,3 : tingkat 1, 2 dan 3 maka kebutuhan ideal guru SMP (tahun 2013) adalah sekitar 401.115 orang. Dari kebutuhan ideal tersebut, Berdasarkan prinsip dan metode perhitungan diatas maka kebutuhan ideal guru SMP (tahun tersedia guru SMP sebanyak 500.548 guru termasuk 2013) adalah sekitar 401.115 orang. Dari kebutuhan ideal tersebut, tersedia guru SMP sebanyak guru GTT. Jadi terdapat kelebihan guru sekitar 99.443 500.548 guru termasuk guru GTT. Jadi terdapat kelebihan guru sekitar 99.443 orang. orang.
Jika GTT tidak dimasukkan dalam perhitungan maka guru yang tersedia adalah sekitar 378.377 orang. Dengan demikian kekurangan guru SMP perhitungan sekitar 22.238 orang. Jika GTT terdapat tidak dimasukkan dalam makaPerhitungan guru ini didasarkan beban mengajar guru yang terdapat pada kurikulum KTSP (Kurikulum guru yang tersedia adalah sekitar 378.377 orang. Dengan 2006). demikian terdapat kekurangan guru SMP sekitar 22.238 Kekurangan guru SMP terbesar terdapat pada guru mata pelajaran sebanyak 14 ribu orang. 56 Kemudian diikuti oleh guru seni dan guru bahasa inggris berturut‐turut sebesar 9.172 dan 7.347 orang guru.
Pemenuhan Kebutuhan Guru
orang. Perhitungan guru ini didasarkan beban mengajar guru yang terdapat pada kurikulum KTSP (Kurikulum 2006). Kekurangan guru SMP terbesar terdapat pada guru mata pelajaran sebanyak 14 ribu orang. Kemudian diikuti oleh guru seni dan guru bahasa inggris berturutturut sebesar 9.172 dan 7.347 orang guru. Jika perhitungan dibatasi pada SMP Negeri saja maka kebutuhan guru ideal adalah sekitar 302.365 orang guru. Guru yang tersedia adalah sekitar 374.011 orang termasuk GTT yang berarti sekolah ini kelebihan guru sekitar 71.646 orang. Jika GTT tidak dimasukkan dalam perhitungan maka terdapat kekurangan guru sebesar 18.258 orang. Sama dengan Pendidikan SMP secara keseluruhan, SMP Negeri mengalami kekurangan guru mata pelajaran TIK, Seni dan Bahasa Inggris berturutturut sebanyak 13 ribu, 7 ribu dan 5 ribu orang. c. Metode Perhitungan Kebutuhan Guru Tingkat SMA/ SMK/MA Prinsip, metode dan rumus perhitungan kebutuhan guru di SMA/SMK/MA tidak jauh berbeda dengan SMP/ MTs. Perhitungan didasarkan pada variabel rombongan belajar yang terdapat pada SMA/SMK/MA serta beban mengajar perminggu untuk guru tiap mata pelajaran. Beban mengajar guru SMA/SMK/MA sama dengan beban mengajar guru SMP/MTs yakni sebanyak 24 jam tatap muka perminggu sebagaimana diatur dalam Permendiknas No. 39 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru Dan Pengawas Tingkat Satuan Pendidikan
57
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
d. Perhitungan Kebutuhan Guru Tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi dan Nasional Perhitungan kebutuhan guru ditingkat Kabupaten/ Kota didasarkan pada perhitungan kebutuhan guru di tingkat sekolah di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Kebutuhan guru pendidikan dasar dihitung berdasarkan kebutuhan guru yang terdapat di seluruh SD/MI dan SMP/MTs (Negeri dan Swasta) yang terdapat di wilayah tersebut. Begitu juga dengan kebutuhan guru pendidikan menengah juga didasarkan pada penjumlahan kebutuhan guru diseluruh SMA/SMK/MA diwilayah tersebut. Perhitungan kebutuhan guru disemua jenjang pendidikan selanjutnya dilakukan untuk perhitungan kebutuhan guru ditingkat provinsi dan nasional. Berdasarkan, hasil inilah kemudian kebutuhan guru ditingkat nasional dapat diketahui. Perhitungan kebutuhan guru sejauh didasarkan pada jumlah rombel yang terdapat di sekolah. Dengan demikian, perhitungan berdasarkan basis ini belum memperhitungkan penduduk usia sekolah yang belum atau putus sekolah. Oleh karena itu, untuk menghitung kebutuhan guru ideal maka perlu dilakukan perhitungan kebutuhan guru berdasarkan rasio guru murid pada setiap jenjang pendidikan.
2. Perhitungan dan Proyeksi a. Perhitungan dan Proyeksi Kebutuhan Guru SD Perhitungan
58
Pemenuhan Kebutuhan Guru
Pada tahun 2013, Indonesia memiliki 1.404.298 orang guru SD (Negeri dan Swasta). Kebutuhan guru ideal SD ditaksir mencapai 1.391.079 orang. Dengan demikian terdapat kelebihan guru SD sebanyak 13.219 orang1. Meski jumlah guru SD berlebih, akan tetapi kelebihan ini disebabkan karena adanya GTT (Guru Tidak Tetap). Seharusnya, guru yang mengajar adalah guru PNS. Guru PNS dan guru tetap yayasan berjumlah 946.595. Sisanya, adalah 457.703 orang merupakan guru GTT atau guru honorer. Jika guru honorer tidak dimasukan dalam perhitungan kebutuhan guru, maka SD diseluruh Indonesia kekurangan 444.484 orang. Guru SD terdiri dari guru kelas, guru Penjas dan guru Mulok. Di antara tiga kelompok guru, guru kelas merupakan kelompok guru yang paling kurang jika GTT tidak dimasukkan dalam perhitungan guru. SD dis eluruh Indonesia kekurangan 282.224 orang guru kelas. Sementara kekurangan guru Penjas dan guru Mulok berturut-turut adalah sekitar 100.032 orang dan 62.228 orang. Kekurangan guru inilah yang wajib dipenuhi oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. b. Perhitungan dan Proyeksi Kebutuhan Guru SMP Perhitungan Berdasarkan prinsip dan metode perhitungan di atas maka kebutuhan ideal guru SMP (tahun 2013) adalah sekitar 401.115 orang. Dari kebutuhan ideal tersebut, tersedia guru SMP sebanyak 500.548 guru termasuk guru GTT. Jadi terdapat kelebihan guru sekitar 99.443 orang. Sumber : Direktorat P2TK Ditjen Pendidikan Dasar Kemdikbud, 2014
1
59
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Jika GTT tidak dimasukkan dalam perhitungan maka guru yang tersedia adalah sekitar 378.377 orang. Dengan demikian terdapat kekurangan guru SMP sekitar 22.238 orang. Perhitungan guru ini didasarkan beban mengajar guru yang terdapat pada kurikulum KTSP (Kurikulum 2006). Kekurangan guru SMP terbesar terdapat pada guru mata pelajaran sebanyak 14 ribu orang. Kemudian diikuti oleh guru seni dan guru Bahasa Inggris berturutturut sebesar 9.172 dan 7.347 orang guru. Jika perhitungan dibatasi pada SMP Negeri saja maka kebutuhan guru ideal adalah sekitar 302.365 orang guru. Guru yang tersedia adalah sekitar 374.011 orang termasuk GTT yang berarti sekolah ini kelebihan guru sekitar 71.646 orang. Jika GTT tidak dimasukkan dalam perhitungan maka terdapat kekurangan guru sebesar 18.258 orang. Sama dengan Pendidikan SMP secara keseluruhan, SMP Negeri mengalami kekurangan guru mata pelajaran TIK, Seni dan Bahasa Inggris berturutturut sebanyak 13 ribu, 7 ribu dan 5 ribu orang.
c. Perhitungan dan Proyeksi Guru SMA/SMK Perhitungan Pada tahun 2013 terdapat 441.308 orang guru terdapat di SMA dan SMK. Dari total guru tersebut, sebanyak 260.101 guru berada di SMA dan 181.207 berada di SMK2. Berdasarkan status guru, sebanyak 151.660 guru SMA adalah guru PNS. Sisanya, 108 441 guru berstatus Sumber : Direktorat P2TK Ditjen Pendidikan Menengah Kemdikbud, 2014
2
60
Pemenuhan Kebutuhan Guru
non PNS. Sementara itu di SMK terdapat 77.078 guru berstatus PNS Dan 104.129 guru berstatus non PNS. Perhitungan kebutuhan guru ideal seperti perhitungan kebutuhan guru ideal ditingkat SD dan SMP pada bagian sebelumnya tidak diperoleh. Sebagaimana diketahui, bahwa perhitungan kebutuhan guru ideal pada jenjang SD dan SMP didasarkan pada data kebutuhan guru di tingkat sekolah. Sementara itu, data siswa, rombel dan guru berada pada Dapodikmen dan sampai tulisan ini dibuat belum bisa diperoleh. Akan tetapi, berdasarkan pernyataan publik Dirjen Pendidikan kebutuhan guru ditingkat SMA dan SMK untuk pemenuhan PMU adalah sebesar 12 ribu setiap tahunnya. Perhitungan ini didasarkan pada asumsi satu guru akan mengajar dua mata pelajaran. Pasalnya, jika satu guru mengajar satu mata pelajaran, jumlahnya akan melonjak drastis dan pemerintah akan kesulitan memenuhinya3. Proyeksi Untuk melihat berapa jumlah guru yang dibutuhkan di masing-masing jenjang pendidikan maka perlu dilakukan proyeksi kebutuhan guru mulai dari tahun 2015 sampai dengan 2030. Proyeksi tidak dilakukan dengan menggunakan rumus perhitungan guru yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya. Alasannya adalah keterbatasan akses data guru dan murid di setiap satuan pendidikan. Sebagaimana diketahui perhitungan kebutuhan guru pada bagian sebelumnya didasarkan Sumber: (http://bola.kompas.com/read/2012/09/04/16132399/Untuk. PMU.Butuh.Minimal.12.000. Guru.SMA/SMK). 3
61
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
pada perhitungan data Dapodik, baik Dapodikdas ataupun Dapodikmen, yang memiliki data berbasis sekolah. Proyeksi kebutuhan guru selama 15 tahun kedepan didasarkan pada asumsi : 1). Seluruh penduduk usia sekolah mengikuti seluruh satuan pendidikan di tiap jenjang pendidikan. Dengan kata lain, proyeksi mengasumsikan APS (Angka Partisipasi sekolah) dan APM (Angka Partisipasi Murid) masing-masing kelompok umur dan jenjang pendidikan adalah 100 persen setiap tahun pada periode proyeksi. 2). Pertumbuhan penduduk pada masing-masing kelompok usia memiliki pertumbuhan sebesar 2,5 persen 3). Rasio guru murid konstan setiap tahunnya dan memiliki nilai berbeda antar jenjang satuan pendidikan. Kebutuhan guru setiap tahunnya dihitung berdasarkan jumlah penduduk dikelompok usia tertentu dibagi dengan rasio guru murid. Berdasarkan perhitungan ini maka diperoleh proyeksi kebutuhan guru untuk masing-masing satuan pendidikan selama 15 tahun kedepan. Berdasarkan perhitungan proyeksi maka, pada tahun 2015 terdapat kebutuhan guru SD/MI sebanyak 1,95 juta guru. Jumlah kebutuhan ini terus meningkat menjadi 2,82 juta pada tahun 2030. Sementara itu pada jenjang SMP/MTs, kebutuhan guru jika APS atau APM 100 persen pada tahun 2015 dibutuhkan guru sebanyak
62
Pemenuhan Kebutuhan Guru
1,21 juta orang. Kebutuhan ini meningkatn menjadi 2,75 juta orang guru pada tahun 2030. Begitu juga dengan jenjang pendidikan menengah (SMA/SMK/MA). Untuk mencapai APS atau APM 100 persen maka dibutuhkan guru sebanyak 1,03 juta orang pada tahun 2015. Nilai ini terus meningkat menjadi 1,49 juta orang pada tahun 2030.
C. Faktor yang menentukan pemenuhan kebutuhan guru Pendidikan Dasar Analisis dan proyeksi kebutuhan guru sebelumnya mengungkapkan betapa besarnya jumlah guru yang harus disediakan oleh pemerintah pusat dan daerah serta swasta untuk menuntaskan wajib belajar 12 tahun. Hal ini tidaklah mudah karena banyak faktor dan tantangan menyediakan guru dalam jumlah besar dan mendistribusikannya keseluruh wilayah Indonesia. Apa saja masalah dan faktor yang mempengaruhi pemenuhan kebutuhan guru untuk pemenuhan wajib belajar 12 tahun? Beberapa faktor menentukan pemenuhan kebutuhan guru dijenjang pendidikan dasar : 1. Belum tersedianya data yang akurat tentang guru4. Meski bagian sebelumnya telah dijelaskan analisis dan proyeksi kebutuhan guru akan tetapi perhitungan tersebut masih didasarkan pada data makro. Dibutuhkan pemutakhiran data guru dimasing-masing satuan pendidikan pada setiap jenjang untuk memastikan bahwa satuan pendidikan tersebut telah memiliki guru sesuai dengan standar. Kegagalan Pemerataan Guru, Febri Hendri AA dkk, 2014, ICW)
4
63
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Kemdikbud telah memiliki sistem pendataan guru yang terdapat dalam Dapodik (Data Pokok Pendidikan). Sistem ini telah memiliki data guru dan bahkan siswa dimasingmasing sekolah. Dapodik dapat menentukan kebutuhan guru berdasarkan rumus perhitungan kebutuhan guru yang terdapat pada bagian sebelumnya. Tidak hanya itu, Dapodik juga dapat mengidentifikasi apakah seorang guru pada sebuah tingkat SMP dan SMA dapat memenuhi beban kerja minimal sebesar 24 jam tatap muka perminggu. Jika tidak terpenuhi Dapodik juga bisa menyarankan satuan pendidikan mana yang dapat digunakan guru tersebut untuk mengajar sehingga beban kerja 24 jam tata muka perminggu dapat terpenuhi. Meski telah ada Dapodik, namun akurasi data ini sangat bergantung pada pemutakhiran data oleh pihak sekolah dan pemerintah daerah. Jika pihak sekolah dan pemerintah daerah selalu memutakhiran data siswa, rombel dan guru dengan baik maka akurasi data Dapodik akan lebih tinggi dan dapat diandalkan. Akan tetapi, jika pemutakhiran data terlambat atau tidak pernah dilakukan sama sekali maka Dapodik sulit diandalkan untuk dijadikan sebagai basis perhitungan kebutuhan guru. Permasalah di tingkat sekolah adalah tidak adanya tenaga yang dapat diandalkan untuk memperbarui data Dapodik. Di sekolah terpencil misalnya sekolah tidak dapat mengupdate data karena akses terhadap listrik atau internet. Oleh karena itu, perkembangan data siswa dan guru di sekolah terpencil bergantung pada data yang diberikan sekolah tersebut pada Dinas Pendidikan di tingkat kecamatan atau kabupaten/ kota. Permasalahan lain terkait dengan update data Dapodik juga terletak pada persinggungan kepentingan daerah dan guru.
64
Pemenuhan Kebutuhan Guru
Dapodik dapat dijadikan ukuran dalam menentukan apakah guru telah memenuhi kriteria layak penerima sertifikasi. Kriteria ini didasarkan pada ukuran 24 jam tatap muka per minggu. Besarnya kepentingan guru dan pemerintah daerah akan hal ini maka seringkali mereka menghindari mengisi atau mengupdate perkembangan data pada Dapodik. 2. Hal lain yang penting dalam pemenuhan kebutuhan guru dalam mencapai target wajib belajar 12 tahun adalah penataan dan pemerataan guru. Jika rekrutmen guru dipaksakan pada kondisi guru tidak merata maka yang akan terjadi adalah inefisiensi guru pada sekolah tertentu terutama sekolah perkotaan. Sebagaimana diketahui, bahwa distribusi guru Indonesia terutama di jenjang pendidikan dasar tidak merata baik antar sekolah maupun antar daerah. Guru lebih banyak mengajar sekolah didaerah perkotaan dan cenderung menghindari mengajar disekolah pedesaan. Mengajar disekolah pedesaan, terpencil dan jauh dari keluarga dianggap sebagai pembuangan, sanksi dan memberatkan bagi guru senior. Terdapat 11 persen guru PNS di SD dan 27 persen guru SMP yang harus dipindahkan dari sekolah dia mengajar ke sekolah lain yang kekurangan guru5. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen sistem guru masih belum efektif dan berpotensi memicu efisiensi jika pemerintah tetap memaksakan merekrut guru PNS dalam kondisi seperti ini. Tidak meratanya ketersediaan guru antar sekolah dalam kecamatan, kabupaten/kota atau antar provinsi telah menjadi dilema tersendiri dalam perhitungan kebutuhan 5 Memperkuat Manajemen Guru untuk Meningkatkan Efisiensi dan Manfaat Belanja Publik, Naskah Kebijakan El Samaray dkk, Bank Dunia 2013)
65
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
guru. Perhitungan guru yang didasarkan pada jumlah guru dibagi dengan rasio murid justru akan memicu efisiensi anggaran karena banyak guru disekolah kelebihan guru terutama sekolah perkotaan yang tidak akan dapat memenuhi beban kerja 24 jam tatap muka per minggu. Dengan kata lain, rekrutmen di tengah buruknya distribusi guru adalah sebuah pemborosan anggaran. 3. Pemerintah belum mampu menyediakan alokasi anggaran untuk merekrut guru PNS lebih banyak. Sebagaimana diketahui, rekrutmen guru CPNS mewajibkan pemerintah untuk mengalokasikan dana untuk membayar gaji, tunjangan dan pensiun guru tersebut. Untuk mencapai agar wajib belajar 12 tahun terpenuhi ditahun 2015 misalnya dibutuhkan guru PNS sebanyak 2,67 juta orang. Jumlah kebutuhan ini meningkat menjadi 4,05 juta orang guru pada tahun 20306. Kalau seorang guru diasumsikan mendapatkan gaji dan tunjangan serta iuran pensiun sebesar Rp 3 juta per bulan, maka dibutuhkan alokasi dana sebesar Rp 36 juta untuk guru tersebut selama setahun. Jika seluruh guru direkrut dan dibiayai negara maka dibutuhkan anggaran sebesar Rp 96 triliun untuk membayar gaji dan tunjangan guru selama tahun 2015. Nilai ini menjadi meningkat menjadi Rp 145 triliun pada tahun 2030 untuk membiayai gaji, tunjangan dan pensiun serta asumsi pendapatan paling rendah. Estimasi ini belum memperhitungkan tunjangan sertifikasi guru. Jika tunjangan ini diberikan maka alokasi anggaran untuk membiayai guru – dan menyukseskan wajib belajar menjadi dua kali lipat. Nilai ini tentu berat bagi pemerintah yang seringkali menghadapi kesulitan pendanaan dalam belanja negara. Oleh karena itu, pemerintah belum mampu Kegagalan Pemerataan Guru, Febri Hendri AA dkk, ICW 2014)
6
66
Pemenuhan Kebutuhan Guru
menyediakan guru untuk menyukseskan wajib belajar 12 tahun karena membutuhkan biaya yang tinggi. Akibatnya, rekrutmen guru menjadi terbatas. Pemerintah hanya mampu menyediakan rekrutmen CPNS guru sebesar 10 persen dari total kebutuhan sekolah saat itu dan bukan total kebutuhan untuk mewajibkan seluruh warga negara mengikuti pendidikan sampai jenjang pendidikan menengah. 4. Akibat rendahnya kuota rekrutmen CPNS diberikan pemerintah mengakibatkan sekolah mengalami kekurangan guru. Kekurangan ini harus diatasi oleh sekolah atau pemerintah daerah agar guru tersedia di masing-masing sekolah sesuai standar. Untuk mencapai hal tersebut pihak sekolah akhirnya merekrut guru honorer atau guru tidak tetap untuk mengisi kekosongan tersebut. Pada awalnya, pengisian kekosongan tenaga pendidik di sekolah kekurangan guru memang mengatasi masalah dengan baik. Akan tetapi, rekrutmen guru honorer telah membawa dampak buruk terhadap sistem manajemen guru. Hal ini terjadi lantaran guru honorer direkrut tidak sepenuhya kebutuhan guru akan tetapi disebabkan karena faktor lain seperti faktor kekerabatan, pertemanan atau balas budi kepala daerah pada tim suskses dalam pilkada. Selain itu, guru honorer masih dinilai masyarakat sebagai batu loncatan untuk menjadi guru CPNS. Mereka rela digaji seadanya dengan harapan suatu hari kedepan pemerintah berbaik hati merekrut mereka menjadi CPNS. Rekrutmen guru honorer juga didukung oleh penyediaan angaran dana operasional pendidikan yang berasal dari pemerintah pusat dan daerah. Penggunaan dana
67
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
operasional untuk membayar honor para guru tersebut. Pihak sekolah seakan mendapat dukungan merekrut dan mampu membiayai para guru honorer untuk mengisi kekosongan guru disekolah mereka. Pemerintah pusat patut disalahkan terkait rekrutmen guru honorer di berbagai sekolah. Hal ini disebabkan karena pemerintah pusat tidak konsisten dengan kebijakan yang telah dibuatnya. Pemerintah pusat misalnya, telah melarang adanya rekrutmen tenaga honorer di berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah sejak tahun 2006. Namun, pelarangan ini tidak disertai dengan solusi yang konkrit. Seharusnya pemerintah pusat mengalokasikan dana untuk membiayai rekrutmen guru CPNS untuk menggantikan posisi guru honorer. Tanpa pengisian kekosongan ini pihak sekolah tidak dapat menyediakan guru bagi pelayanan pendidikan di sekolah. Hal ini berakibat pada kemauan siswa untuk mau mengikuti pelajar di sekolah tersebut. 5. Faktor lainnya yang juga menentukan keberhasilan wajib belajar 12 tahun adalah tingkat ketidakhadiran guru disekolah. Meski guru sudah berhasil direkrut dan cukup tersedia disekolah, namun ternyata tidak semua guru hadir didepan kelas mengajar maka hal tersebut juga berdampak terhadap kehadiran siswa7. Siswa menjadi malas belajar atau tidak mau datang ke sekolah dan pada akhirnya putus sekolah. Ketidakhadiran guru didepan kelas disebabkan karena berbagai faktor seperti jenis kelamin, lama guru mengajar, dan moda transportasi yang digunakan guru kesekolah. Guru laki-laki memiliki peluang 1,5 kali lebih besar tidak hadir ke sekolah. Begitu juga dengan guru senior dan guru 7 Studi Ketidakhadiran Guru Disekolah, Phillip Mc Kenzie dkk ACER dan SMERU 2014)
68
Pemenuhan Kebutuhan Guru
yang baru direkrut. Guru yang baru direkrut memiliki lebih besar peluangnya hadir didepan kelas dibanding dengan guru senior. Dan guru yang menggunakan transportasi sepeda, jalan kaki, atau publik memiliki peluang kehadiran dua kali lebih besar dari guru yang menggunakan kendaraan pribadi ke sekolah.
D. Kesimpulan dan Rekmendasi Kesimpulan Kebutuhan guru dijenjang pendidikan dasar dan menengah terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2030 kebutuhan guru PNS dan guru tetap yayasan untuk semua jenjang pendidikan mencapai 4,05 juta orang. Jumlah ini untuk mengantisipasi agar angka partisipasi pendidikan, APS dan APM, mencapai 100 persen atau dengan kata lain, program wajib belajar 12 tahun dapat berjalan dengan baik. Pemenuhan kebutuhan tersebut sangat sulit dipenuhi karena alasan ketersediaan anggaran yakni masih belum optimalnya pendataan guru, distribusi guru belum merata, sekolah masih merekrut guru honorer atau tenaga kontrak, pemerintah kurang memiliki alokasi dana untuk membayar gaji, tunjangan, dan pensiun guru. Selain itu, ketidakhadiran guru disekolah juga ditenggarai menjadi salah satu penyebab kurang optimalnya pencapaian target wajib belajar 12 tahun tersebut. Dibutuhkan konsensus bersama antara guru dan pemerintah terkait dengan hal ini. Dari sisi pemeritah, jika mengurangi kriteria 24 jam tatap muka akan meningkatkan kebutuhan guru nasional. Peningkatan guru ini berarti membutuhkan anggaran yang besar pula.
69
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Terlepas dari masalah tersebut, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan UU Sisdiknas, pemerintah pusat dan daerah memiliki kewajiban untuk membiayai kebutuhan ini. Jika hal ini tidak terpenuhi maka pemerintah berada pada posisi mengabaikan UUD 1945 dan juga UU Sisdiknas karena tidak mampu menyediakan guru bagi seluruh sekolah untuk rakyat Indonesia usia sekolah. Rekomendasi Untuk mencapai wajib belajar 12 tahun terutama pada aspek penyediaan guru, ada beberapa rekomendasi: 1. Pemerintah pusat dan daerah harus mengoptimalkan pendataan guru di seluruh satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah 2. Optimalisasi penggunaan data guru ditujukan untuk menata dan meredistribusi guru sehingga manajemen guru menjadi lebih efisien. 3. Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran yang cukup untuk menyediakan guru sesuai standar dimasing-masing sekolah. Dan secara bertahap mengurangi keberadaan GTT di sekolah dengan melakukan pemerataan dan rekrutmen guru. 4. Dibutuhkan regulasi yang mengatur insentif dan insentif terkait dengan kehadiran guru disekolah. Ketidakhadiran dan kehadiran guru diyakini berpengaruh terhadap kehadiran siswa kesekolah. Pada gilirannya akan mempengaruhi partisipasi pendidikan dan pencapaian target wajib belajar 12 tahun.
70
Peran Pendidikan Non Formal
dalam Pemenuhan Wajib Belajar 12 Tahun
K
esuksesan pemerintah dalam program buta aksara dan pendidikan di level sekolah dasar dan menengah pertama (SMP), ternyata tidak berbanding lurus pada level menengah atas (SMA). Hal ini bisa dilihat pada upaya pemerintah untuk wajib belajar (WAJAR) 12 tahun hingga 2015 masih di angka 61.65 persen. Tulisan ini akan memusatkan perhatian dan analisis pada penggalian peranan pendidikan non formal dalam mendorong tercapainya Wajib Belajar 12 tahun, analisis persoalan, strategi pemerintah, dan contoh pendidikan non formal paket yang berbasis mutu. Tulisan akan ditutup dengan rekomendasi penting bagi Pemerintah. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) saat ini berjumlah 9.430 (Sembilan ribu empat ratus tiga puluh) unit. Yang menjadi masalah adalah bagaimana sumbangan PKBM dalam penuntasan WAJAR 12 Tahun hingga 2030?
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
A. Dasar Regulasi Ada beberapa hal yang mendukung WAJAR 12 tahun. Dari regulasi, Wajar 12 tahun didukung melalui Konsitusi, dan berbagai produk perundang-undangan yang relevan dengan pendidikan, seperti Undang-Undang Perlindungan Anak no 23/2002 (yang kemudian direvisi UU no 35/2014), UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kumpulan peraturan tersebut ternyata belum dapat mewujudkan harapan wajib belajar 12 tahun, karena persentasi masih di 61.65 persen. Untuk menuntaskan target program 12 tahun harus ada kerjasama serius antara program pendidikan formal dalam hal ini SMA/SMK/MA dengan program pendidikan non formal. Dalam Undang-Undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, yang kemudian direvisi UU no 35/2014 tentang Hak dan Kewajiban anak disebutkan bahwa: 1. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 2. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. 3. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. 4. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. 5. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
72
Peran Pendidikan Non Formal
6. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya 7. Khusus bagi anak yang menyandang disabilitas juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus Faktanya, apa yang ada di dalam Undang-Undang tidaklah secara otomatis terjadi di dalam kenyataan. Data Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional menunjukkan jumlah anak putus sekolah di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2006 jumlahnya 899.786 anak. Setahun kemudian bertambah sekitar 20 persen menjadi 899.986 anak dari jumlah penduduk kelompok sekolah yang bersekolah 55,318,077 anak. Data tahun 2012 jumlah siswa yang berumur 7 – 12 tahun yang tidak sekolah ada sejumlah 2.12 atau sebesar 2.000.000 (dua juta) anak. Ini akan menjadi semakin besar jika umurnya dinaikan hingga berumur – 15 (lima belas) tahun yang tidak sekolah yaitu sebesar 10.48 persen atau 2 juta anak plus 280 ribu. Kondisi anak usia sekolah kita memang masih di bawah rata-rata jika dilihat dari score HDI
73
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Menurut Kementerian Pendidikan Nasional, untuk program Wajar 9 Tahun Angka Partisipasi Kasar kita baru sebesar 98,11 persen atau 12,7 juta anak. Realisasi data UNICEF menyebutkan dalam 20 tahun terakhir rasio bersih anak usia sekolah di tanah air mencapai 94 persen. Meski demikian, di tanah air hingga kini masih sangat banyak anak-anak usia 7-15 tahun atau usia sekolah yang belum sempat mengenyam pendidikan. Tingginya anak usia sekolah yang tidak bersekolah dan angka putus sekolah di tanah air membuat tingkat Indonesia turun dalam indeks pembangunan pendidikan untuk semua (education for all) dari badan dunia yang mengurusi pendidikan, UNESCO. Tahun 2011 sebanyak 527.850 anak atau 1,7 persen dari 31,5 juta anak sekolah dasar putus sekolah. Kondisi demikian membuat peringkat Indonesia turun ke posisi 69 dari 127 negara. Tahun lalu peringkat Indonesia ada pada posisi 65. Faktor lain adalah tingginya angka buta huruf nasional yang masih lebih tinggi dari 7 persen turut mempengaruhi peringkat Indonesia. Kondisi APS dapat digambarkan sebagai berikut:
74
Peran Pendidikan Non Formal
Menurut data terbaru dari Kemdikbud pada 2014, jumlah siswa putus sekolah setiap tahun ada sekitar 4,5 juta. Dari jumlah ini, ada 1,6 juta siswa SMA yang putus sekolah. Situasi ini tentu saja sangat memprihatinkan. Harus ada intervensi untuk mengembalikan mereka dalam proses pendidikan.
B. Model Pendidikan Non Formal Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 13 menjelaskan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Ketiga jalur pendidikan tersebut satu kesatuan sub sistem untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan formal yaitu pendidikan yang dilaksanakan terstruktur dan berjenjang serta ketat. Pendidikan informal adalah pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar, sejak seseorang lahir sampai mati, di dalam keluarga, dalam pekerjaan atau pengalaman sehari-hari. Sementara pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Menurut Hamojoyo, pendidikan nonformal adalah usaha yang terorganisir secara sistematis dan kontinyu di luar sistem persekolahan melalui hubungan sosial untuk membimbing individu, kelompok, dan masyarakat agar memiliki sikap dan cita-cita sosial (yang efektif) guna meningkatkan taraf hidup di bidang materiil, sosial, dan mental dalam rangka usaha mewujudkan kesejahteraan social” (Hasbullah, 2015:134). Pasal 26, ayat 2 UU Sisdiknas dinyatakan bahwa “pendidikan non formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik
75
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional.” Ini berarti bahwa pendidikan non formal mendapatkan keleluasaan untuk mengembangkan SDM masyarakat dan memasyarakatkan budaya baca dalam memperkuat dan meningkatkan kualitas pengetahuan dan keterampilan yang berguna untuk kehidupan masyarakat. Pendidikan luar sekolah diadakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (di luar sistem pendidikan formal). Yang ingin dihasilkan adalah agar proses pendidikan luar sekolah (PLS) dapat diterapkan. Ini berarti PLS seharusnya menunjang proses kehidupan sosial seseorang di dalam masyarakat. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim serta satuan pendidikan yang sejenis. Kursus dan pelatihan diselenggarakan untuk memberikan bekal ketrampilan dan kecakapan hidup, dan untuk mengembangkan diri. Lembaga pendidikan nonformal seringkali muncul dan berkembang karena adanya kebutuhan akan pentingnya pendidikan dan pengetahuan yang kian pesat dan kompleks. Pendidikan nonformal muncul karena tidak tersedianya jenis program pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan melalui jalur pendidikan formal. Karena itu, program Pendidikan Nonformal
76
Peran Pendidikan Non Formal
(PNF) diarahkan untuk memberikan pelayanan pendidikan (dalam rangka pemeratan dan percepatan wajib belajar pendidikan dasar) kepada masyarakat yang belum sekolah, putus sekolah dan buta aksara, agar memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi diri dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan, ketrampilan dan sikap kepribadian mandiri. Program Pendidikan Nonformal (PNF) diarahkan untuk memberikan pelayanan pendidikan (dalam rangka pemeratan dan percepatan wajib belajar pendidikan dasar) kepada masyarakat yang belum sekolah, putus sekolah, dan buta aksara, agar memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi diri dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap kepribadian mandiri. Sebagian dari program pendidikan luar sekolah dapat digunakan sebagi alternatif solusi untuk mengurangi angka anak putus sekolah. Ayat 3 Pasal 26 dalam UU Sisdiknas menyatakan, bahwa “pendidikan non formal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.” Jenis pendidikan non formal yang dikembangkan dan dilaksanakan begitu luas dan beragam. Ini memungkinkan masyarakat mengakses program pendidikan non formal sesuai dengan kebutuhan aktual dan potensi yang dimiliki oleh masing-masing warga belajar, termasuk juga dalam memasyarakatkan budaya baca lewat program pendirian Taman Bacaan Masyarakat (TBM). TBM ini memiliki kontribusi sangat apik dalam menurunkan tingkat buta huruf di Indonesia yang dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut
77
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Masing-masing jenis program dikembangkan sesuai dengan tuntutan permintaan masyarakat. Program-program tersebut dikuatkan lagi dengan wadah lembaga pendidikan non formal seperti dinyatakan pada ayat 4, yaitu bahwa “satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim serta satuan pendidikan yang sejenis.” Kegiatan kursus dan pelatihan juga dikembangkan agar individu mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pasal 26 ayat 5 menyatakan bahwa “kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, dan usaha mandiri, dan atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.” Sumber hukum rujukan untuk Pendidikan Non Formal, selain UU Sisdiknas adalah (1) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. (2) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar
78
Peran Pendidikan Non Formal
Pendidikan Dasar. (3) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (4) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 36 Tahun 2010 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal. (5) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 49 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Nonformal Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) didesain sebagai tempat belajar yang lebih fleksibel tidak seperti sekolah formal yang ketat dan juga informal yang hampir tidak memiliki desain. PKBM memiliki waktu yang tidak terlalu ketat terhadap pelaksanaan pembelajaran. PKBM didirikan oleh masyarakat dan langsung dimanfaatkan oleh masyarakat. Fungsi PKBM selain sebagai pusat tempat pembelajaran, juga sebagai wadah berdirinya TBM. Integrasi tempat tersebut diharapkan mampu membangun kesadaran masyarakat untuk membudayakan membaca. Sasaran PNF adalah mereka yang masih membutuhkan tambahan pengetahuan dan ketrampilan untuk meningkatkan dirinya sesuai dengan motto pendidikan seumur hidup (lifelong education). Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan non formal menawarkan kesempatan yang sebaik mungkin kepada semua usia dalam mengembangkan potensinya. Oleh karena itu pendidikan non formal yang termasuk di dalamnya pendidikan kepemudaan berperan dalam memberikan pelayanan pendidikan dalam rangka pembangunan bangsa dan melakukan pendidikan bagi warga masyarakat sebagai investasi sumber daya manusia pada pembangunan nasional di masa yang akan datang Keterlibatan pemuda dan masyarakat umumnya dalam pembangunan sebuah sistem pendidikan sebagai penyeleng
79
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
garan masih rendah. Padahal perubahan pola pikir dan paradigma bahwa pendidikan itu penting sebagai bekal masa depan bangsa perlu dilakukan. Adapun keterlibatan secara langsung unsur masyarakat dalam menyelenggarakan proses pendidikan yang berbasis masyarakat dapat dilakukan dengan mendirikan dan menyelenggarakan satuan pendidikan nonformal yang dikelola dan dikembangkan sendiri oleh masyarakat dan bekerjasama dengan pemerintah melalui satuan kerja pendidikan nonformal dan informal. Implementasi pendidikan nonformal di Indonesia sangat beragam, mulai dari usia tingkat prasekolah, pada umur produktif masa sekolah, sampai pada konsep pendidikan sepanjang hayat life long education. Pendidikan nonformal memiliki peran penting dalam menumbuhkan dan mengembangkan pengetahuan dan pendidikan di Indonesia, khususnya pada hal yang bersifat praktis dan mudah untuk diaplikasikan. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaan Pendidikan Nonformal di Indonesia. Perkembangan dan pertumbuhan PKBM di lapisan masyarakat dewasa ini telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini dapat dilihat dari maraknya ijin yang diajukan kepada Dinas Pendidikan melalui Bagian Pelaksana Pendidikan Luar Sekolah untuk mendirikan dan mengembangkan satuan pendidikan nonformal sejenis PKBM dengan karakteristik yang berbeda-beda pada tiap PKBM yang akan didirikan tersebut. Namun, kesamaan yang pada umumnya muncul adalah kekhawatiran pada pendiri dan penyelenggara PKBM terhadap tingginya angka putus sekolah yang salah satu imbas dari pelaksanaan Ujian Nasional. Hal lain yang menjadi pemicu berdiri dan berkembangnya PKBM yaitu rendahnya minat masyarakat awam untuk melanjutkan pendidikan formal
80
Peran Pendidikan Non Formal
ke jenjang yang lebih tinggi, sehingga dengan keberadaan PKBM dapat menjembatani masyarakat awam yang hendak melanjutkan pendidikan (kesetaraan) ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Program yang ada dalam Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yaitu: Kegiatan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), Kelompok Belajar Paket A setara SD, Kelompok Belajar Paket B setara SMP, dan Kelompok Belajar Paket C setara SMA, Kegiatan kursus
C. Faktor Penyebab Pemenuhan Wajar 12 Tahun Kondisi jumlah anak yang putus sekolah hingga 2015 adalah sebesar 4.489.000. Dari jumlah itu, 1,6 juta di antaranya adalah siswa usia sekolah menenang. Penyebab mereka tidak melanjutkan pendidikan tidaklah hanya semata-mata ekonomi. Penyebab anak putus sekolah digolongkan dalam dua kategori yaitu: 1. Faktor internal a) Tidak ada motivasi diri untuk melanjutkan lebih tinggi. b) Malas untuk pergi sekolah karena merasa minder atau karena adanya ejekan dari teman lainnya. c) Tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungan sekolahnya baik saat berinteraksi dengan siswa lain, menjalin komunikasi, berteman, maupun saat bercanda bersama. 2. Faktor eksternal : a) Faktor ekonomi keluarga. Kebiasaan keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah menyuruh atau melibatkan anak untuk bekerja dalam rangka menambah income keluarga.
81
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
b) Faktor geografis terkait akses, di mana jarak antara rumah tempat tinggal dengan sekolah yang cukup jauh, sehingga menyebabkan anak sering terlambat, bolos dan malas masuk sekolah dan akhirnya menjadi putus sekolah. Hal ini terutama pada daerah yang luas, di mana tempat tinggal penduduk tersebar pada berbagai pelosok, menurut data tahu 2012 menunjukkan bahwa 35% siswa SLTA (SMA/SMK/MA) menempuh perjalanan 4 (empat) kilometer lebih dari rumah kesekolahnya c) Faktor sosial-budaya masyarakat, terutama kepercayaan kalau anak perempuan tidak perlu sekolah lebih tinggi. d) Hubungan orang tua kurang harmonis. Hubungan keluarga tidak harmonis dapat berupa perceraian orang tua, hubungan antar keluarga tidak saling peduli. Keadaan ini merupakan dasar anak mengalami permasalahan yang serius dan hambatan dalam pendidikan sehingga mengakibatkan anak mengalami putus sekolah. e) Perhatian orang tua yang kurang peduli pada anak yang efeknya misalnya terjadi kenakalan remaja sehingga diberhentikan atau putus sekolah. f) Suasana sekolah yang tidak nyaman dan tidak memberikan motivasi yang efektif kepada siswa yang mempunyai potensi untuk putus sekolah, misalnya hukuman bagi anak yang sudah menikah dikeluarkan dari sekolah g) Pengaruh lingkungan pergaulan. Ada juga siswa yang putus sekolah karena ikut-ikutan dengan teman yang telah labih dahulu putus sekolah. Apa lagi bila melihat teman yang putus sekolah terlibat dalam suatu pekerjaan yang menghasilkan uang maka ia akan ikut teman tersebut.
82
Peran Pendidikan Non Formal
h) Masalah relevansi, yaitu lemahnya pendidikan kita dalam membangun relasi dengan dunia kerja yang dikenal dengan DUDI (Dunia usaha dan Dunia Industri). Ini membuat orang tua tidak percaya untuk menyekolahkan hingga level SMA Penyebab anak putus sekolah bisa bervariasi, mulai dari masalah sosial budaya, geografis dan ekonomi. Faktor sosial budaya antara lain motivasi rendah, menjaga adik, malu, tidak naik kelas dan nikah muda. Dari faktor geografis antara lain daerah perbukitan dan jarak sekolah yang jauh dari rumah. Dari faktor ekonomi antara lain tidak ada biaya, bekerja, membantu orang tua. Dilihat dari harapan pemerintah dalam Rencana Strategis 20152019 yang ditetapkan oleh Permendikbud No. 22 tahun 2015 di mana Harapan angka putus sekolah khusus SMA dan Paket C dari 1.20 persen di tahun 2015 menjadi 0.80 persen di 2019 dan dikuatkan dengan target pemerintah angka siswa SMP yang melanjutkan sekolah ke jenjang SMA dan sederajat adalah dari 81.50 persen di tahun 2015 menjadi 88.00 di 2019, dibutuhka strategi khusus untuk mencapai itu.
D. Harapan pada Pendidikan Non Formal Semangat untuk mewujudkan APK SMA/SMK/MA 55 persen pada tahun 2014 menjadi 67 persen pada tahun 2019 bahkan pada tahun 2020 ditargetkan 94 persen memang tidaklah gampang. Apalagi jika hanya mengandalkan sekolah formal. Keterlibatan pendidikan non formal melalui PKBM dengan program paket C jelas menjadi kebutuhan karena APK SMA Sederajat termasuk Paket C pada 2015 berada pada posisi
83
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
75.70 persen dan akan ditargetkan pada 2019 menjadi 85.71 persen. APM untuk SMA Sederajat termasuk Paket C juga ingin ditingkatkan dari 61.65 persen di tahun 2015 menjadi 67.50 persen pada 2019. PKBM yang melaksanakan program paket C hingga 2015 telah mampu mendampingi jumlah peserta PKBM paket C sebanyak 25.200 dan harapannya akan ada 429.611 jumlah siswa di tahun 2019. Untuk itu, pemerintah perlu membuat program yang menargetkan bahwa di setiap kecamatan ada minimal satu PKBM untuk melaksakan paket C. Keberadaan PKBM di tahun 2015 hanya 7.5 persen dari kabupaten/kota yang ditargetkan menjadi 15.6 persen di tahun 2019. Target jumlah kuantitatif PKBM hingga 2019 memang penting untuk menjamin akses agar siswa yang tidak selesai SMA sederajat dapat mengikuti program paket C. Namun ini harus juga diimbangi dengan mutu pelayanannya, yaitu meningkatnya jumlah PKBM yang akan diakreditasi dari 223 di tahun 2015 menjadi 1.445 di 2019 Dalam memenuhi kebutuhan peningkatan mutu tata kelola, pemerintah membuat sistem pendataan online bagi lembaga PKBM dengan jalur atau prosedur sebagai beikut
84
Peran Pendidikan Non Formal
Dengan melihat kondisi pemenuhan WAJAR 12 tahun di atas maka diperlukan pola strategi kontribusi pendidikan non formal dalam hal ini PKBM sebagai berikut: 1. Pemerintah mendukung dan bantuan finansial bagi yang mendirikan PKBM misalnya dengan memberikan stimulus bantuan operasional 50 juta bagi masing-masing PKBM. Dengan rincian sebagai berikut No
Program Operasional PKBM
Unit Cost
1
Pengembangan Kurikulum PKBM
5,000,000
2
Perbaikan Sarana & Prasarana
15,000,000
3
Kebutuhan Dan Tunjangan Guru
17,500,000
4
Akuntabilitas Keuangan
2,500,000
5
Aktifitas Kesiswaan
5,000,000
6
Komite PKBM
2,500,000
7
Kerjasama Dengan Dunia Bisnis & Industri
2,500,000 50,000,000
85
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
2. Jika pemerintah dalam kebijakan KIP (Kartu Indonesia Pintar) untuk level SMA sederajat menganggarkan Penerima KIP total 1.692.559 di tahun 2015 sama hingga di tahun 2019 demikian pula BOS maka seharusnya Pemerintah mendukung semua yang memiliki kesempatan dengan bantuan finansial termasuk paket C baik melalui BOS dan KIP atau lainnya. 3. Program afirmasi untuk PKBM yang berada di posisi daerah 3T dan yang menangani siswa berkebutuhan khusus. 4. Meningkatkan peran masyarakat untuk pendidikan orang tua tentang kewajiban mendampingai anak mereka melanjutkan ke jenjang setara dengan SMA atau paket C dan tentu diiringi dengan memotivasi siswa agar masih bisa sekolah walau sambil kerja atau aktifitas lainnya untuk ikut paket C. PKBM memiliki peran dalam pengentasan WAJAR12 tahun karena menurut UNESCO ada 3 peran penting di dalamnya: 1. Memberdayakan masyarakat agar mandiri. Artinya PKBM selain menjadikan anak usia sekolah dapat mengenyam pendidikan hingga 12 tahun juga menjadikan mereka siap untuk mandiri dengan keterampilan yang dimilikinya 2. Meningkatkan kualitas hidup mereka dengan memiliki kemampuan praktis dalam menjalani masa depan. Anakanak akan mampu terus mengembangkan dirinya. 3. Mengembangkan dan membangun masyarakat, karena PKBM memang diniatkan untuk menbantu masyarakat terus meningkatkan kualitasnya. Walaupun demikian agar PKBM mampu menjadi bagian yang langgeng (sustainable) dalam menuntaskan Wajib Belajar 12
86
Peran Pendidikan Non Formal
Tahun, maka ada 3 (tiga) fungsi pengembangan PKBM yang harus dimaksimalkan yaitu:
Artinya fokus pada pendidikan hingga selesai minimal 12 tahun (Basic Education) perlu dibekali dengan kemampuan tehnis (Skill Training) yang menjadikan mereka mampu hidup mandiri yang senantiasa diperbaharui sesuai dengan perkembangan terbaru. (Up-date New Info). Dalam perkembangannya jumlah PKBM mengalami peningkatan dari 815 (1999) sampai 3064 (2005). Data PKBM setelah 2005 sampai saat ini dapat dijelaskan secara detail sebagai berikut: Dari jumlah 9.430 PKBM di Indonesia, bentuk dan ragam PKBM sebagai pusat pengembangan masyarakat terus mengalami pengembangan sekedar gambaran dapat dijelaskan sebagai berikut:
87
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Semantara jenis kegaitannya atau program PKBM antara lain:
88
Peran Pendidikan Non Formal
Data keterampilan yang dikembangkan PKBM antara lain:
Ragam produk yang dihasilkan dari kegiatan PKBM digambarkan dalam grafik sebagai berikut:
89
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
E. Strategi Wajib Belajar 12 Tahun Hingga 2030 Jika pada tahun 2020 seperti yang terungkap di renstra kementerian pendidikan dan kebudayaan pada 2015 hingga 2019, akan ada penambahan 900 SLTA atau secara detailnya 450 SMA dan 450 SMK, muncul pertanyaan berapa jumlah penambahan PKBM di tahun yang sama? Kita bisa melakukan prediksi. Sampai tahun 2030 diprediksi akan muncul 7.605 baru jika pemerintah serius untuk membantu masyarakat dalam mewujudkannya. Perhitungannya adalah dengan menganalisis dan melihat perkembangan jumlah PKBM dari 815 di tahun 1999 dan pada tahun 2005 sebanyak 3064, dan ditahun 2015 sekarang ada sebanyak 9.430 maka terjadi kenaikan jumlah PKBM pertahun sebesar 5.3 persen atau naik sekitar 507 unit PKBM per tahun untuk semua wilayah di Indonesia. Prediksi perkembangan PKBM Nasional hingga 2030 adalah sebagai berikut Tahun
Prediksi Jumlah PKBM
2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030
9.430 9.937 10.444 10.951 11.458 11.965 12.472 12.979 13.486 13.993 14.500 15.007 15.514 16.021 16.528 17.035
90
Peran Pendidikan Non Formal
Dalam Strategis pemerintah 2015-2019 Pemerintah merencanakan membantu sejumlah PKBM untuk kelengkapan sarana dan prasarana dengan jumlah yang minim yaitu dari 260 di tahun 2015, 307 di tahun 2016, 307 di tahun 2017, 307 di tahun 2018 dan hanya 102 unit PKBM di tahun 2019. Kondisi ini tentu tidak diharapakan oleh PKBM karena pemerintah harus mendukung terwujudnya mimpi PKBM sejumlah 17.035 pada tahun 2030 agar cita-cita WAJAR 12 tahun terpenuhi. Salah satu hal penting untuk mewujudkannya adalah dengan memunculkan stimulus dana segar bagi setiap pendirian PKBM, misalnya dengan memberikan kontribusi operasional pertahun sebesar 50 juta bagi setiap PKBM yang telah berjalan, dengan demikian kebutuhan dana yang dibutuhakan hingga 2030 tanpa mempertimbangkan inflasi sebagai berikut: Tahun
Jumlah PKBM
Dana Operasional
Total Anggaran
2015
9,430
50,000,000
471,500,000,000
2016
9,937
50,000,000
496,850,000,000
2017
10,444
50,000,000
522,200,000,000
2018
10,951
50,000,000
547,550,000,000
2019
11,458
50,000,000
572,900,000,000
2020
11,965
50,000,000
598,250,000,000
2021
12,472
50,000,000
623,600,000,000
2022
12,979
50,000,000
648,950,000,000
2023
13,486
50,000,000
674,300,000,000
2024
13,993
50,000,000
699,650,000,000
2025
14,500
50,000,000
725,000,000,000
2026
15,007
50,000,000
750,350,000,000
2027
15,514
50,000,000
775,700,000,000
2028
16,021
50,000,000
801,050,000,000
2029
16,528
50,000,000
826,400,000,000
2030
17,035
50,000,000
851,750,000,000 10,114,500,000,000
91
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Pemerintah perlu menyediakan dana sekitar 10 trilyun lebih untuk membantu 17035 PKBM. Kebutuhan anggaran di atas tentu tidak sebanding dengan manfaat atau efek yang diberikan atau bahkan terlalu kecil jika dilihat anggaran yang disiapkan oleh pemerintah sebesar 7.9 triliun pada 2016 saja. Kebutuhan anggaran untuk mencapai PKBM sebanyak 17.035 penting karena untuk memprogramkan pembebasan buta huruf juga pemerintah telah menghabiskan dana yang tidak sedikit yaitu :
F. Contoh Sekolah Non Formal Alternatif Pendidikan Non Formal yang dapat membantu keberhasilan Wajar 12 tahun telah banyak dikembangkan oleh masyarakat. Berikut ada beberapa contoh alternatif sekolah non formal yang mampu membantu pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan dan membantu keberhasilan Wajar 12 Tahun. 1. Sekolah Alam. Sekolah ini didesain khusus untuk pemenuhan potensi siswa semaksimal mungkin dengan seminimal mungkin mengikuti kurikulum pemerintah sehingga akan ada dua ciri kelulusan di dalamnya. Pertama, menghasilkan
92
Peran Pendidikan Non Formal
peserta didik yang lahir dengan penuh potensi yang termaksimalkan dan lulus paket C untuk level SMA. 2. Sekolah MATER di Depok. Sekolah ini fokus pada pelayanan untuk masyarakat marginal, terutama anak jalanan. Sekolah diberikan tanpa menarik biaya (gratis). Sekolah ini untuk memenuhi pendidikan yang tidak bisa mereka peroleh karena aktivitas mereka, seperti mengamen dan seterusnya sebagai bentuk upaya menggantikan sekolah formal dengan kurikulum yang diatur khusus sesuai dengan dunia mereka. 3. Sekolah SBM (Sekolah berbasis Masjid) Mosque Schooling Jogokaryan di Yogya, dengan pendekatan Sekolah non formal Islam yang memfokuskan pada suplemen pelajaran agama walau tidak gratis namun berbayar murah dengan konsentrasi pada kurikulum akhlak dan life skills 4. SMASH (Sekolah Berbasis masjid) Dompet Dhuafa. Sekolah ini memanfaatkan masjid untuk proses pendidikan terinspirasi dari Surat At-Taubah 8. Idenya adalah bahwa Masjid juga dapat dijadikan tempat untuk proses pendidikan. Dalam konteks Indonesia kita melihat potensi PKBM yang berbasis keagamaan dengan menggunakan fasilitas tempat ibadah sebagai berikut:
93
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Wajar dan sangat rasional jika Dompet Dhuafa merasa penting membantu pemerintah dalam mengentaskan WAJAR 12 tahun dengan memanfaatkan fasilitas masjid.
G. Rekomendasi Ada beberapa rekomendasi bagi pengambil kebijakan pendidikan agar Wajar 12 tahun dapat terwujud, yaitu : 1. Pemerintah mendukung keterlibatan masyarakat sebagai bagian dari sebuah sistem pendidikan yang berperan dalam menyelenggarakan jenjang pendidikan PKBM paket C (SLTA). 2. Pemerintah perlu memberikan dorongan untuk memaksimalkan keterlibatan masyarakat dengan memberikan stimulus 50 juta setiap PKBM untuk mengembangkan 17.035 unit PKBM sesuai prediksi perkembangan. 3. Diperlukan pendekatan budaya dengan memanfaatkan kearifan lokal dalam rangka mengantisipasi kemungkinan adanya siswa putus sekolah. Pendidikan berbasis masyarakat sangat dimungkinkan di daerah-daerah yang menjadikan masyarakat secara adat atau budaya dapat berkontribusi terhadap pelaksanaan pendidikan di daerahnya masingmasing. Jadi Pemerintah perlu merencanakan pendidikan yang berbasis kearifan lokal khususnya dalam hal pendidikan bagi anak yang putus sekolah. 4. Pemberian dukungan beasiswa secara proporsional pada siswa laki-laki dan perempuan yang sedang belajar di jenjang pendidikan PKBM paket C (SLTA). 5. Penciptaan suasana sekolah yang nyaman bagi siswa sehingga siswa merasa betah berada di jenjang pendidikan PKBM paket C (SLTA).
94
Peran Pendidikan Non Formal
6. Peningkatan kompetensi profesional para guru/fasilitator PKBM paket C yang dapat menciptakan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan dan non diskriminatif. 7. Penyadaran terhadap berbagai lapisan masyarakat terutama para orang tua pentingnya melanjutkan pendidikan khususnya jenjang pendidikan PKBM paket C (SLTA). 8. Penyediaan sarana dan prasarana pada jenjang pendidikan PKBM paket C (SLTA) hingga terwujudnya mimpi PKBM sejumlah 17.035 pada tahun 2030. 9. Memfasilitasi anak putus sekolah dengan Mendirikan sekolah alternatif. Misalnya seperti pengembangan sekolah alam, Sekolah MATER di Depok, Sekolah SBM di Yogya serta SMASH (Sekolah berbasisi Masjid) Dompet Dhuafa dan Institut kemandiriran Dompet Dhuafa. 10. Perlunya pendampingan pemerintah untuk mutu tata kelola dengan mempertimbangkan: Pertama, penataan konsep yang tepat tentang program-program Pendidikan Non Formal. Kedua, perencanaan program PNF berbasis kebutuhan nyata warga sasaran. Ketiga, penyelenggaraan dan pengelolaan PNF secara tekun dan berkelanjutan dengan prinsip-prinsip manajemen yang tepat guna disertai proses akreditasi yang baik.
95
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
96
Pendidikan Inklusif
untuk Indonesia Tanpa Diskriminasi
Setiap anak butuh belajar dengan dukungan dan lingkungan yang kondusif. Tidak hanya anak normal, penyandang disabilitas juga butuh pengetahuan dan kesempatan yang sama.
A. Pengantar Anak terlahir ke dunia tidak pernah meminta dirinya dilahirkan dalam kondisi “berkelainan”, tuna, terlahir sebagai laki-laki, perempuan, utuh anggotanya atau ada yang kurang dalam dirinya dan menyandang disabilitas. Semua itu adalah anugerah kodrati dari Tuhan. Karena itu, para penyandang disabilitas juga mempunyai hak dan keinginan yang sama sebagaimana anak-anak pada umumnya, ingin bertumbuh, berkembang dan berhasil dalam meniti karir hidupnya. Memberikan hak pendidikan kepada siapapun tanpa pandang bulu adalah bagian dari perlindungan terhadap hak azasi manusia, seperti hak mendapatkan pendidikan berkualitas, hidup produktif, bebas dari diskriminasi serta mendapatkan akses dan kesempatan yang sama di semua aspek kehidupan.
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Di antara hak dasar itu, yang harus dipenuhi adalah hak pendidikan, nimimal pendidikan terhadap anak di usia sekolah. Hak pendidikan anak ini penting karena setiap manusia lahir telah dibekali perangkat potensi kecerdasan otak yang menjadi ciri pembeda dengan mahluk-makhluk yang lain. Potensi tersebut tidak akan berkembang dengan baik kalau tidak melalui proses pendidikan. Setiap anak, termasuk anak dengan disabilitas juga memiliki hak untuk belajar untuk menyempurnakan dirinya agar dapat tumbuh kembang dan mendapatkan kehidupan yang layak. Kesempatan belajar harus diberikan kepada semua generasi dan pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus memenuhi kewajibannya, yaitu memberikan hak pendidikan kepada seluruh warganya, tanpa pengecualian. Namun, peran pemerintah dalam mencerdaskan anak bangsa belum maksimal. Ini terbukti masih kurang dikembangkannya sekolah-sekolah inklusif yang bisa menampung penyandang disabilitas sebagai siswa yang sepadan dengan anak-anak lain. Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa (PSLB) tahun 2007 menyebutkan bahwa jumlah difabel yang sudah mengikuti pendidikan formal baru mencapai 24,7 persen atau 78.689 anak dari populasi anak difabel di Indonesia, yaitu 318.600 anak (Directorat PSLB, 2008). Ini berarti masih terdapat sebanyak 65,3 persen anak difabel yang masih terseklusi dan terabaikan hak pendidikannya. Di tahun 2012 jumlah warga dengan disabilitas cukup besar, yaitu 10 persen dari total populasi (TNP2K, 2012). Versi lain adalah dari WHO yang menyebutkan ada lebih 15 persen penyandang disabilitas di setiap negara berkembang seperti Indonesia (‘World Report on Disability [WHO 2012]). Dari jumlah tersebut, pada 2013 anak berkebutuhan khusus yang telah tertangani dan masuk dalam pendidikan inklusif baru 116.000 anak dari total 300.000 anak, selebihnya masih
98
Pendidikan Inklusif
di bawah asuhan orang tua masing-masing.1 Penyandang disabilitas usia 0-14 tahun mencapai sekitar 4,5 juta jiwa. Lembaga-lembaga Sekolah Luar Biasa (SLB) yang berjumlah 2.456 buah (2012/2013) hanya mampu menampung sebanyak 89.223 siswa2. Angka tersebut bahkan diperkirakan dapat jauh lebih besar mengingat sistem pendataan kependudukan kita sering tidak akurat. Anak-anak ini adalah bagian dari data angka putus sekolah yang bukan hanya pada tingkat pendidikan 12 tahun atau setingkat SLTA, tapi juga SLTP atau setara dengan 9 tahun. Tantangan global mewajibkan kita untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Persaingan sumber daya manusia hanya bisa kita jalani bila pemerintah mampu mencerdaskan warga bangsanya terlebih dahulu. Banyaknya angkatan kerja lulusan SD mewajibkan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, setidaknya sampai tamatan SMA. Peluang kerja buruh pabrik pun sekarang sudah mempersyaratkan minimal SMA. Pendidikan inklusif tanpa diskriminasi harus dapat menjadi kenyataan bagi anak-anak Indonesia. Pendidikan harus dapat diakses oleh siapapun, kapanpun dan di daerah manapun. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa pengecualian, termasuk anak-anak difabel seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Penyelengaraan sistem pendidikan inklusi merupakan salah satu syarat yang harus terpenuhi untuk membangun tatanan masyarakat inklusi (inclusive society), http://ti2014.solider.or.id/info/pendidikan-inklusif-dan-anak-berkebutuh an-khusus/ 2 New Indonesia, Laporan Pendidikan 12 tahun di Komisi X DPR-RI, Agustus 2015 1
99
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
yaitu sebuah tatanan masyarakat yang saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai – nilai keberagaman sebagai bagian dari realitas kehidupan. Pemerintah melalui PP.No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 41(1) telah mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi dengan menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusi harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus. Peran pemerintah dalam mengupayakan pendidikan bagi para penyandang difabel masih belum maksimal. Yang cukup memprihatinkan adalah anak-anak difabel jika ingin menempuh jenjang pendidikan harus berada bersama dengan temanteman senasibnya. Negara seolah menyetujui atau membiarkan pemberlakuan kebijakan terhadap penyandang disabilitas untuk menyingkir dari kehidupan manusia pada umumnya. Upaya ini dilabeli dengan istilah “Sekolah Luar Biasa”, yang pada hakikatnya adalah sebuah penyingkiran atau eksklusi. Situasi ini terjadi karena masyarakat belum siap menerima keberagaman dan memunculkan segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat, jauh dari falsafah bangsa yang berpegang kuat pada “bhineka tunggal ika”. Bila pemerintah masih terus melanjutkan segregasi terhadap penyandang disabilitas, pemerintah sesungguhnya sedang membiarkan 3 persoalan sosial menjadi bom waktu. Pertama, anak penyandang difabel sampai menamatkan jenjang
100
Pendidikan Inklusif
pendidikan setinggi apapun akan merasa inferior saat bertemu anak-anak yang non-disabel (fisik). Mereka akan sulit untuk berkembang mensesuaikan kehidupan masyarakat pada umumnya. Kedua, anak difabel setinggi apapun pendidikannya tetap akan sulit untuk mendapatkan pekerjaannya, kecuali bekerja ditempatnya semula, yaitu mengurus difabel lagi. Ketiga, pandangan negatif masyarakat terhadap anak difabel sebagai “beban sosial” akan makin mengakar kuat, sehingga kalaupun ada perusahaan atau perorangan mempekerjakan mereka, perlakuan itu disasari atas rasa belas kasihan, daripada penghargaa terhadap individu dan kemampuannya.
B. Pengertian Inklusif dan Pendidikan Inklusif Secara etimologis kata inklusif berasal dari kata include yang berarti menjadi bagian dari sesuatu [being a part of something], menyatu dalam kesatuan [being embraced into the whole]. Lawan katanya adalah exclude yang berarti “to keep out, to bar, or to expel” (Villa; Thousand, 2005). Adapun secara Istilah; inklusif memiliki pemahaman yang sangat universal. Istilah inklusif dapat dikaitkan dengan persamaan, keadilan, dan hak individual dalam pembagian sumber-sumber seperti politik, sosial, pendidikan dan ekonomi. Menurut Reid, masing-masing dari aspek-aspek tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan satu sama lain. Dalam konteks pendidikan, inklusi merujuk kepada keadilan dalam mengakses atau memperoleh kesempatan pendidikan bagi setiap warga masyarakat yang mempunyai latar belakang berbeda. Stainback (1990) mendefinisikan Sekolah Inklusif adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa Pendidikan Inklusif adalah Penempatan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
101
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
tingkat ringan, sedang dan berat, secara penuh di kelas reguler. Sedangkan Sapon-Shevin (O’ Neil 1995) menyatakan bahwa Pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar ABK dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Dengan kata lain, pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Stainback, 1980), Salim Choiri, 2009: 88). Fuad Fahrudin mencatat, setidaknya ada tiga unsur dalam pendidikan inklusif; (1) sikap positif atau inklusif terhadap anakanak yang memiliki kelainan, (2) rasa efikasi yang tinggi terhadap pembelajaran, dan (3) kemauan dan kemampuan melakukan adaptasi terhadap pengajaran berdasarkan kebutuhan dan kelainan individu (Loreman: Earle: Chris, 2007).
C. Ruang Lingkup Pendidikan Inklusif Pendidikan inklusif harus diletakkan dalam konteks pengembangan pendidikan secara umum sehingga kehadiran para penyandang disabilitas ini bisa menjadi sumber-sumber pembelajaran bagi lingkungan sekitarnya. Mereka yang biasa bergaul dengan anak-anak penyandang disabilitas dapat mengasah hatinya agar tajam dan peka terhadap keadaan, tidak individualis dan arogan. Seringnya seorang anak berjumpa dan berkomunikasi dengan para penyandang disabilitas dan menempuh pendidikan bersama akan semakin memudahkan mereka menata kehidupan bersama yang lebih bermartabat dan manusiawi. Tujuan Pendidikan Inklusi Pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar
102
Pendidikan Inklusif
dan sengaja. Ki Hajar Dewantara menyebut tujuan pendidikan adalah untuk memerdekaan bangsa. Pendidikan ini mempunyai tiga sifat penting, yaitu berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri.3 Pendidikan secara umum mempunyai tujuan untuk membantu peserta didik agar memperoleh berbagai pengalaman dan dengan pengalaman itu tingkah laku peserta didik bertambah, baik kuantitas maupun kualitas. Tingkah laku yang dimaksud meliputi pengetahuan, keterampilan dan nilai atau norma yang berfungsi sebagai pengendali sikap dan perilaku yang dikemudian hari diharapkan mampu mandiri, tidak bergantung pada orang lain. Jika demikian, pendidikan inklusi diselenggarakan setidaknya dengan tujuan sebagai berikut: 1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk Anak Difabel) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya. 2. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar, sekurang-kurangnya 12 tahun atau setara dengan tamat SLTA sebagai upaya kesiapan menghadapi persaingan global. 3. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah semaksimal mungkin. 4. Menciptakan sistem pendidikan keanekaragaman, tidak diskriminatif.
yang
menghargai
Persoalan penyandang disabilitas melibatkan 3 konsep dasar, yaitu penyandang disabilitas itu sendiri, makna pendidikan bagi mereka dan peranan pemerintah. Anak difabel atau penyandang disabilitas menjadi obyek sekaligus subyek 3 Ignas G Saksono, Tantangan Pendidikan Mencegah Problem Bangsa, Forkoma PMKRI-Yogjakarta, 2010, hal 16.
103
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
pendidikan. Pendidikan bagi mereka membutuhkan sebuah proses perkembangan, penyempurnaan dan pembaharuan terus menerus. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan perlu mendesain kebijakan pendidikan yang ramah dan berkelanjutan terhadap para penyandang disabilitas. Untuk mengembangkan dan mendampingi para penyandang disabilitas serta merumuskan kembali peranan pemerintah dan lembaga pendidikan, ada beberapa hal perlu diperhatikan. 1. Penyandang disabilitas perlu dikenali agar kita semakin mudah memahami apa keinginannya di masa mendatang. Di antara ciri yang harus dikenali adalah kondisi fisik, kemampuan intelektual, kemampuan komunikasi, sosial emosional. 2. Pemerintah perlu menumbuhkan semangat pendidikan inklusif di setiap jenjang pendidikan. Yang dimaksud di sini adalah sebuah proses pendidikan yang menyertakan penyandang disabilitas dalam satu ruang kelas yang sama dengan anak-anak lain non-disabel dalam proses pendidikan. 3. Pemerintah sebagai otoritas pemegang kekuasaan harus bertanggungjawab mewujudkan pendidikan yang inklusif, pendidikan yang ramah, tidak diskriminatif, sekurangkurangnya sampai 12 tahun setara SLTA pada tahun 2030.
D. Kebijakan Pemerintah Tentang Pendidikan Inklusif 1. Layanan pemerintah terhadap para penyandang disabilitas Secara formal Indonesia telah mendeklarasikan pendidikan inklusif pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung dengan
104
Pendidikan Inklusif
harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang disabilitas. Setiap penyandang difabel berhak memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang disabilitas memiliki hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang disabilitas anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat). Penyandang disabilitas di Indonesia belum mendapatkan hak pendidikannya secara baik. Menurut Dirjen Pendidikan Dasar Kemendikbud ada sekitar 184.000 anak penyandang disabilitas belum menikmati indahnya pendidikan layaknya anak dengan kondisi mental dan fisik normal. Sampai saat ini jumlah anak berkebutuhan khusus yang telah tertangani dan masuk dalam pendidikan inklusif baru 116.000 anak dari total 300.000 anak, selebihnya masih di bawah asuhan orang tua masing-masing. Menurut laporan dari WFD (World Federation for the Deaf) terdapat 70 juta komunitas tuna rungu4 di seluruh dunia, di mana 0.5 persen dari mereka yang berusia 10-17 tahun justru memiliki kemampuan baca-tulis yang rendah dibandingkan anak yang mendengar normal usia 9-10 tahun. Hal ini juga terjadi di Indonesia, rata-rata anak-anak tuna rungu sampai dewasa memiliki kemampuan baca-tulis yang rendah 4 Galuh; istilah tuli sudah tidak digunakan lagi dalam peraturan perundangundangan, diganti menjadi tuna rungu. Akan tetapi istilah tersebut justru menciderai para penyandang tuli itu sendiri. Karena menurutnya, tuli itu bukan tuna (cacat), tapi hanya tidak mampu mendengarkan suara saja. Perlu diketahui bahwa mendengarkan suara hanyalah salah satu cara seseorang untuk memahami komunikasi, tapi komunikasi tidak selamanya harus menggunakan suara, bisa menggunakan tulisan atau bahasa yang lain yang dipahami para penyandang tuli. Jadi tuli bukanlah tuna.
105
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
di bawah rata-rata anak yang mendengar normal usia 9-10 tahun. Mereka yang lulus dari SLB maupun lulus SMA umum dan sebagian kecil yang sempat menuntut pendidikan tinggi di Universitas pun mengalami kesulitan dalam memahami bacaan dan tulisan dalam Bahasa Indonesia.5 Sejauh ini pendidikan untuk anak dengan disabilitas disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu sistem pendidikan segregasi, terpadu dan inklusif. a. Pendidikan segregasi Sekolah segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita) dst. b. Pendidikan terpadu Sekolah terpadu adalah sekolah yang memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk mengikuti pendidikan sekolah regular tanpa adanya perlakuan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhannya. Sekolah tetap menggunakan sistem pengajaran regular untuk semua peserta didik. Dengan kata lain, pendidikan terpadu mensyaratkan peserta didik untuk mengikuti sistem yang dituntut sekolah regular. Kelemahan pendidikan terpadu ini bagi penyandang disabilitas adalah bahwa ia tidak mendapatkan perlakuan khusus yang memudahkan dalam mengikuti pelajaran. Kelebihannya adalah bahwa P3M, Laporan Workshop Pendidakan Inklusi di Hotel Kaisar Jakarta.
5
106
Pendidikan Inklusif
penyandang disabilitas bisa leluasa bersosialisasi dengan teman-temannya, bermain, dsb. c. Pendidikan inklusif Pendidikan inklusif merupakan perkembangan atau penyempurnaan dari sekolah terpadu. Di sekolah ini, para penyandang disabilitas diberikan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan khususnya dengan berbagai macam bentuk akomodasi sehingga mereka bisa belajar bersama-sama temannya dalam satu kelas. Seiring perkembangan zaman, pendidikan dengan sistem segregasi yang memisahkan pendidikan berdasarkan jenis ke-tuna-an merupakan sebuah bentuk cacat moral dan dianggap menjauhkan para penyandang disabilitas dari penerimaan ragam ke-bhinekaan. Maka muncullah kepedulian pemerintah kepada penyandang disabilitas melalui kebijakan Pendidikan Inklusif. Program pendidikan inklusif diharapkan mampu merevolusi mental generasi muda untuk lebih realistis dengan mengobarkan semangat kebersamaan dan persatuan bangsa tanpa diskriminasi. Di samping melalui sekolah reguler, pemerintah dan lembaga swasta masih menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus untuk melayani beberapa jenis disabilitas. Hal ini dilakukan untuk tetap memberikan kesempatan pada orang tua yang tetap memilih menyekolahkan anaknya di SLB atau atas dasar pilihan peserta didiknya sendiri. Tidak seperti sekolah reguler yang tersebar luas baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. SLB dan SDLB sebagian besar berlokasi di perkotaan dan sebagian kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Untuk menjangkau SLB atau SDLB yang relatif sangat jauh para penyandang
107
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
disabilitas harus mengeluarkan biaya tinggi. Persoalan ini bisa dipecahkan melalui implementasi semangat UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, di mana semangat “desa membangun” yang dibedakan dengan istilah “membangun desa” oleh Kementerian desa membutuhkan tenaga-tenaga terampil dari berbagai pihak. Dengan kata lain, generasi bangsa tidak boleh ada yang menjadi pengangguran. Dengan memiliki semangat kerja membangun desa diharapkan seluruh warga dapat berpartisipasi membangun desa, termasuk para penyandang disabilitas. Pemerintah Desa dapat berperan penting untuk menjadi solusi menjembatani kebutuhan pendidikan inklusi di pedesaan. Pada 2001, pemerintah sudah mengadakan uji coba untuk merintis sekolah inklusi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12 sekolah di daerah Gunung Kidul dan di Provinsi daerah Khusus Ibukota Yogyakarta dengan 35 sekolah. Sekolah sekolah reguler yang dijadikan perintisan itu memang diperuntukkan bagi anak-anak lambat belajar dan anak-anak sulit belajar sehingga perlu mendapat pelayanan khusus. Karena masih dalam tahap rintisan sampai sekarang belum ada informasi lebih lanjut tentang keberlangsungan program rintisan tersebut. Sampai tahun 2006, informasi tentang pendidikan inklusi tidak muncul di tengah public. Isu tersebut tenggelam oleh isu lain, seperti biaya operasional sekolah, sistem SKS SMA dan lainlain. Pada 2009 tema pendidikan inklusi mulai muncul lagi dengan adanya beberapa sekolah di Jakarta dan beberapa daerah lain yang memulai pendidikan inklusif.
2. Kebijakan Dunia Tentang Disabilitas Persoalan penyandang disabilitas bukan sekedar menjadi keprihatinan nasional, melainkan juga sudah menjadi
108
Pendidikan Inklusif
persoalan global sehingga banyak negara dan lembaga internasional bekerja bersama-sama memperjuangkan pendidikan inklusif tanpa diskriminasi ini. Ada beberapa dasar hukum pengaturan dan perlindungan terhadap hak-hak para penyandang disabilitas. Aturan atau hukum internasional itu antara lain: a. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948. b. Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989. c.
Deklarasi Pendidikan untuk Semua di Thailand tahun 1990.
d. Peraturan standar tentang persamaan kesempatan bagi para penyandang cacat, 1993. e. Pernyataan Salamanca dan Kerangka aksi tentang pendidikan kebutuhan khusus, 1994. f. Tinjauan 5 tahun Salamanca; 1999. g. Kerangka aksi forum pendidikan dunia, Dakar; 2000. h. Tujuan pembangunan millennium yang berfokus pada penurunan angka kemiskinan dan pembangunan; 2000. i. Flagship Pendidikan untuk semua (PUS) tentang pendidikan dan kecacatan; 2001. Kebijakan-kebijakan di atas menandakan bahwa dunia akan menemukan arah kemanusiannya, untuk semua negara, bangsa dan warganya yang dibangun dari kerangka pendidikannya.
3. Kebijakan Pendidikan Pemerintah Indonesia bagi penyandang disabilitas Pemerintah Indonesia sudah memulai kebijakan pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas dengan mempergunakan dasar falsafah negara Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika
109
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
sebagai landasan kebijakan. Berikut ini beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar bagi Pemerintah Indonesia a. UUD 1945 Pasal 32 ayat (1) yang menegaskan “setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”. b. UUD 1945 Pasal 32 ayat (2) yang menegaskan bahwa “setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. c. UU No. 4 tentang Penyandang Cacat tahun 1997. Bab III pasal 6: setiap penyandang cacat berhak memperoleh (1) pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Bab IV pasal 11: setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan pada satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. Bab IV Pasal 12: setiap lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat sebagai peserta didik satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan serta kemampuannya. d. UU No 20 tahun 2003 tentang system pendidikan Nasional, pasal (5) ayat (1) yang menegaskan bahwa “setiap warga Negara memperoleh hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu”. e. UU No. 23 tentang Perlindungan Hak Anak tahun 2002, pasal 51 yang menegaskan bahwa “ anak yang menyandang cacat fisik dan atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesbilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa. f. PP No. 19 tentang Standar Pendidikan Nasional tahun 2004.
110
Pendidikan Inklusif
g. Deklarasi Bandung tentang Menuju Pendidikan Inklusi tahun 2004. h. PERMENDIKNAS no 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa. Pasal 3 ayat (1); setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Pasal 7: satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai dengan bakat, dan minatnya. Pasal 12, 13; pemerintah sebagai penyelenggara harus punya komitmen penyelenggaran pendidikan inklusif. Pasal 14; satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif terbukti melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan menteri akan diberikan sangsi administratif sesuai peraturan perundang-undangan. Seluruh kerangka peraturan, baik itu yang berada di tingkat global maupun nasional bertujuang untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh dari warga masyarakat dalam rangka penghargaan hak-hak asasi mereka sebagai manusia.
E. Konsekuensi pendidikan inklusif Sebuah proses pendidikan dinyatakan berhasil jika selalu dan terus menerus memperbaharui diri agar manusia sebagai subyek pendidikan mampu hidup merdeka dan mandiri, jauh
111
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
dari diskriminasi dan penindasan. Bila ditilik dari berbagai macam kebijakan yang ada, Pemerintah Indonesia sudah berada dalam jalur yang benar dalam rangka pengembangan pendidikan bagi para penyandang disabilitas tanpa diskriminasi. Seluruh semangat yang muncul dalam gerakan pendidikan di dunia terarah pada realisasi pendidikan inklusi sebagai sebuah jiwa pendidikan. Karena itu, bila pemerintah Indonesia ingin maju, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, perlu ada perubahan dalam paradigma pendidikan yang secara eksplisit menyatakan bahwa pendidikan nasional bersifat inklusif. Ini artinya, semua sekolah harus memiliki visi inklusi, sekalipun di sekolah tersebut tidak ada murid penyandang disabilitas. Untuk mencapai pendidikan universal yang memiliki spirit inklusi ini, pemerintah perlu membuat sekolah rintisan sesuai dengan kebutuhan. Intinya adalah bila semua sekolah adalah inklusi, siapapun mestinya dapat mengakses pendidikan di sekolah umum mana pun tanpa diskriminasi. Perubahan paradigma ini akan membedakan praksis pendidikan kita dengan pendidikan sebelumnya yang dasarnya adalah diskriminasi, pendidikan inklusi dan noninklusi, atau sekolah luar biasa dan sekolah biasa. Anies Baswedan, Menteri Pendidikan menegaskan, bercampurnya anak yang berasal dari berbagai latar belakang ekonomi, sosial, budaya dan karakteristik dalam lingkungan sekolah inklusif diharapkan dapat menumbuhkan kepedulian, kerja sama, dan saling menghargai perbedaan.6 Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di Negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar baru dipelopori oleh the National Academy of Science (AS). Hasil riset AS menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan 6 http://www.antaranews.com/berita/464852/menteri-anies--pendidikaninklusif-adalah-hak-anak-berkebutuhan-khusus
112
Pendidikan Inklusif
anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus yang dilakukan secara segregatif hanya diberikan terbatas pada penyandang disabilitas tertentu setelah mendasarkan diri pada hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995)7 Perubahan paradigma pendidikan disertai dengan pendekatan sekolah rintisan semakin baik bila sarana, prasarana dan tenaga pengajar juga disiapkan dengan baik. Beberapa kasus yang muncul misalnya minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusif, terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusif menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusif belum benar – benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel), sehingga program pendidikan inklusif hanya terkesan program eksperimental. Perubahan paradigma pendidikan ini akan memiliki konsekuensi dalam praksis pendidikan kita. Konsekuensi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Landasan pedagogi/pengajaran (edit sampai di sini) Pada pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa tujuan 7 http://izzaucon.blogspot.co.id/2014/06/tujuan-dan-landasan-pendidikaninklusi.html
113
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis danbertanggungjawab. Melalui pendidikan, peserta didik diharapkan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal penyandang disabilitas diisolasikan dari teman sebayanya melalui model sekolah-sekolah khusus. Betapa pun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya, ini prinsip utama yang perlu dipahami. Pembedaan dan segregasi dimungkinkan setelah melalui analisis evaluasi dan asesment penempatan secara adekuat dan objektif. Implementasi dari tujuan pendidikan di atas adalah bahwa pendidikan inklusi seharusnya dirancang sedemikian rupa sehingga program pendidikan dilaksanakan dengan memperhatikan keanekaragaman karakteristik dan kebutuhan siswa penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas harus memperoleh akses ke sekolah reguler di mana sekolah tersebut perlu memberikan akomodasi dalam proses pembelajaran dalam rangka pedagogi yang berpusat pada diri anak yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Pada dasarnya pedagogi yang berpusat pada diri anak itu menguntungkan bagi semua siswa, mengembangkan potensi unik siswa dan dan pada gilirannya menguntungkan bagi masyarakat secara keseluruhan. Mereka mampu berperan serta secara aktif sebagai warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
114
Pendidikan Inklusif
2. Dari sisi ketersediaan sarana pendidikan Untuk menyukseskan sistem pendidikan inklusi pemerintah perlu mempersiapkan ketersediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan bagi penyandang disabilitas. Sarana prasarana tersebut disesuaikan dengan kebutuhan para penyandang disabilitas yang terdaftar di masing-masing sekolah. Secara umum sarana sekolah harus didesain bangunannya sesuai dengan kebutuhan standar para penyandang disabilitas sehingga sekolah menjadi simbol akses universal pada setiap individu apapun keadaan mereka. Peralatan pembelajaran perlu disesuaikan dengan apa yang dibutuhkan oleh para penyandang disabilitas di unit sekolah.
3. Dari sisi keterampilan pendidik Untuk memenuhi kebutuhan keberlangsungan belajar mengajar pada pendidikan inklusif, LPTK sebagai tempat penyediaan SDM yang berkualitas memiliki tanggungjawab dalam rangka pelaksanaan pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning), termasuk untuk penyandang disabilitas. Di antara tugas yang harus dimaksimalkan adalah: restrukturisasi pendidikan inklusif secara profesional, memberikan bantuan profesional bagi guru, kepala sekolah, dan pengawas untuk untuk meningkatkan mutu pendidikan inklusi, melakukan penelitian untuk pengembangan pendidikan inklusif, punya tanggungjawab untuk ikut meningkatkan pemahaman tentang pendidikan inklusi kepada semua calon pendidik. Di Jepang, misalnya, dalam menjalankan sekolah inklusi, mereka menempatkan guru umum dan guru yang terdidik secara khusus untuk menangani para penyandang disabilitas.
115
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Selain itu, setiap penyandang disabilitas mendapatkan dua pendamping, yaitu; pendamping yang membantu pada tingkat kesulitannya seperti merangkum tulisan pelajaran yang disampaikan guru, dan pendamping saat punya hajat, misalnya ingin ke kamar mandi dan toilet.
4. Dari sisi regulasi dan kebijakan pendidikan Tentang hak-hak pendidikan para penyandang disabilitas sudah dieksplisitkan dalam UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Dari regulasi pendidikan, kebijakan pendidikan bagi penyandang disabilitas diatur dalam permendiknas tentang Pendidikan Inklusif, yaitu Permendiknas nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif. Namun demikian, masih terdapat beberapa permasalahan krusial yang menarik untuk dikritisi. Permasalahan tersebut menurut Trimo (2012) bermuara pada pemenuhan delapan standar nasional pendidikan. Jika demikian yang diperlukan adalah monitoring dan evaluasi sekolah inklusi yang merupakan satu kesatuan, bukan dua hal yang dipisah-pisah, dimaksudkan sebagai proses mengidentifikasi indikator-indikator penyelenggaraan sekolah inklusi untuk mengetahui apa yang sudah ada, apa yang sudah dilakukan, apa yang belum ada, dan apa yang belum dilakukan dalam menyelenggarakan program pendidikan inklusif di satuan pendidikan masing-masing. Selain itu, hak-hak pendidikan para penyandang disabilitas merupakan hak asasi manusia, karena itu, regulasi pendidikan untuk mereka harusnya tidak diatur melalui Permendiknas, melainkan melalui sebuah undang-undang. Karena itu, pemerintah perlu segera merevisi UU Penyandang Cacat tahun 1997 yang masih mempergunakan istilah ‘cacat’
116
Pendidikan Inklusif
untuk penyandang disabilitas, serta mendesain sebuah Undang-Undang Penyandan Disabilitas yang lebih fokus pada jaminan hak-hak dasar para penyandang disabilitas dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk di dalamnya hak-hak dalam pendidikan.
F. Penerapan pendidikan inklusif di lapangan Pendidikan inklusi mestinya menjadi jiwa seluruh proses pendidikan. Untuk sampai pada idealisme ini, ada empat hal yang harus diperhatikan: 1. Tantangan integrasi (bagaimana pemerintah membuat desain asesmen untuk penempatan (placement assessment) anak-anak berkebutuhan khusus dan penyandang disabilitas agar dapat berintegrasi ke sekolah umum dengan baik. Harus ada semacam penilaian untuk penempatan yang melibatkan pakar pendidikan, psikolog, dan ahli di bidang ketunaan, untuk memverifikasi pada level apa seorang anak bisa berintegrasi, dari integrasi keseluruhan, parsial, sampai pada pilihan akhir separasi secara khusus). Penilaian dan asesmen ini memungkinkan peserta didik bisa saling beradaptasi, anak non-disable dapat menghargai dan menerima teman mereka yang disabel, sehingga memungkinkan sebuah lingkungan pembelajaran yang ramah dan penuh penghargaan. 2. Tantangan pedagogi (kurikulum, metode pengajaran, penilaian, akomodasi) - Kesiapan penerimaan seluruh tenaga pengajar di mana pendidikan inklusi diterapkan; bukan hanya kesiapan guru pembimbing khusus, namun juga kesiapan guruguru lain untuk menerima anak-anak dengan kebutuhan khusus.
117
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
- Peningkatan pengetahuan dan keterampilan tenaga pengajar (guru pembimbing khusus, guru kelas dan pengawas sekolah). - Bisa dimungkinkan ada perubahan kurikulum, metode pengajaran dan bahkan penilaiannya. Oleh sebab itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menyempurnakan gagasan program pendidikan inklusi. - Selain itu, diperlukan alat atau orang dewasa sebagai pendamping yang menunjang pemahaman akan kehadiran para penyandang disabilitas. - Kerjasama antara guru pembimbing khusus, guru kelas dan semua pihak, terutama yang terkait dalam keberlangsungan belajar mengajar. 3. Tantangan budaya. Perbaikan konsep publik tentang penyandang disabilitas, baik konsep yang diyakini penyandang disabilitas sendiri tentang dirinya, orang tua, dan masyarakat. Umumnya diyakini bahwa penyandang disabilitas dianggap sebagai orang yang tidak mampu sehingga perlu diperlakukan secara khusus. Padahal, konsep ini justru membelenggu dan kurang kondusif bagi pengembangan rasa percaya diri dan kemampuan diri dari para penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas sebenarnya tidak cacat (tuna). Mereka hanya tidak memiliki kemampuan untuk mendengar, tidak bisa melihat dan tidak bisa bicara sebagaimana orang pada umumnya. Mereka tetap dapat berkomunikasi meskipun dengan Bahasa isyarat atau gerak bibir dan bahasa tubuh. Hal ini kurang lebih sama dengan perbedaan suku atau bangsa yang berbeda bahasa. Kalau kita ingin bisa berbahasa dengan bahasa suku atau bangsa lain maka kita harus belajar dan berani mempergunakan
118
Pendidikan Inklusif
bahasa mereka. Begitu halnya dengan bahasa isyarat yang bisa dipelajari oleh siapapun. Pemahaman ini harus terus disosialisasikan kepada semua pihak, baik masayarakat umum, penentu kebijakan dan atau bahkan penyandang disabilitas itu sendiri. 4. Tantangan Regulasi. Undang-Undang Penyandang Cacat 1997 yang sekarang berlaku harus direvisi dan diganti, karena isi pasalpasalnya sudah ketinggalan zaman dan sudah tidak mampu mengakomodasi kebutuhan para penyandang disabilitas. Lebih lagi, perlindungan bagi hak asasi manusia tidak boleh diatur dalam Permendiknas, melainkan dalam UndangUndang. Karena itu, pemerintah perlu segera mengajukan rancangan Undang-Undang baru untuk melindungi hak para penyandang disabilitas. Draft Rancangan Undang-Undang Penyandang Disabilitas yang sudah digodok beberapa tahun ini perlu segera menjadi prioritas Prolegnas agar segera disahkan oleh anggota DPR.
G. Penutup/ringkasan Sekolah reguler dengan orientasi inklusif adalah lembaga yang paling efektif untuk mengatasi diskriminasi, menciptakan komunitas ramah, membangun suatu masyarakat inklusif dan mencapai pendidikan untuk semua. Model sekolah inklusif akan menanamkan moral kebhinekaan dan mempertahankan keutuhan Negara RI yang adil dan beradab. Pendidikan inklusi yang menekankan kepada persamaan hak dan akses pendidikan kepada setiap warga negara tanpa kecuali pada hakikatnya adalah visi baru di bidang pendidikan sebagai bagian dari reformasi politik yang menekankan kepada pilar
119
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
demokrasi, HAM, otonomi, desentralisasi, dan akuntabilitas. Bila salah satu program Nawa Cita Presiden Jokowidodo adalah membangun dari pinggiran, membangun dari pinggiran ini perlu diartikan sebagai sebuah proses untuk memanusiakan, menghargai, melindungi hak-hak mereka yang ada di dalam pinggiran kehidupan masyarakat, termasuk para penyandang disabilitas. Pendidikan inklusif harus menjadi paradigma baru dalam pendidikan bagi semua, termasuk para penyandang disabilitas yang diilhami dan didorong oleh berbagai dokumen international, khususnya tentang pendidikan untuk semua serta Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi mengenai pendidikan berkebutuhan khusus tahun 1994.
Mengembangkan lingkungan sekolah reguler yang inklusif saat ini sudah menjadi sebuah keharusan. Banyak sekolah yang telah merintis program inklusi berusaha memastikan semua siswa merasa dihargai dengan memberikan semua kebutuhan belajar mereka dan membantu mereka mencapai potensi yang maksimal. Teladan penghargaan kepada tiap siswa itulah yang akan membangun karakter kepedulian peserta didik atas sesama, tanpa melihat latar belakang yang disandangnya. Kurikulum dalam pendidikan inklusif hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan anak. Selama ini anak dipaksakan harus mengikuti kurikulum. Oleh sebab itu sekolah hendaknya memberikan kesempatan untuk menyesuaikan kurikulum dengan anak yang memiliki berbagai kemampuan, bakat dan minat. Modifikasi (penyesuaian) kurikulum dilakukan oleh tim pengembang kurikulum di sekolah. Tim pengembang kurikulum sekolah terdiri dari: kepala sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus, konselor, psikolog, dan ahli lain yang terkait. Meskipun pendidikan inklusi di Indonesia saat ini mulai
120
Pendidikan Inklusif
dikembangkan, namun dalam tataran implementasinya masih terdapat banyak persoalan. Permasalahan ini harus disikapi secara bijak sehingga implementasinya tidak menghambat upaya dan proses menuju pendidikan inklusif di Indonesia selambat-lambatnya di tahun 2030 menjelang usia kemerdekaan satu abad. Untuk itu diperlukan komitmen tinggi dan kerja keras melalui kolaborasi berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Dengan demikian, tujuan akhir pendidikan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dapat terpenuhi dalam perilaku hidup keseharian bangsa Indonesia yang menghargai para penyandang disabilitas sebagai individu yang berharga, bermartabat, yang dihormati karena kemanusiaannya, bukan diberi belas kasih karena kekurangannya.
Rekomendasi Berikut ini kami sampaikan beberapa rekomendasi penting terkait dengan pendidikan inklusif. 1. Pemerintah harus memiliki komitmen mewujudkan semua sekolah Inklusif di Indonesia selambat-lambatnya pada tahun 2030 untuk menyongsong masa satu abad kemerdekaan. Dengan kata lain, pemerintah harus benar-benar memegang prinsip pendidikan berdasarkan kebhinekaan yang terbuka dan adil bagi semua. 2. Pemerintah harus membentuk tim peneliti dan evaluasi (monitoring) pengembangan pendidikan inklusif yang berkualitas, mulai soal kurikulum, methodologi pengajaran, dan menyiapkan payung hukum yang lebih akomodatif. 3. Pemerintah harus terus mensosialisasikan dan menambah sekolah percontohan inklusif tiap tahunnya hingga tahun
121
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
2030 sehingga semua sekolah melaksanakan semangat inklusif. 4. Penanganan sekolah inklusif bisa dilakukan dengan membangun kerjasama dengan masyarakat di sekitar sekolah sehingga tidak hanya guru kelas yang bertanggungjawab, melainkan masyarakatpun bisa ikut terlibat dalam mendorong pendidikan inklusif di ingkungan di mana mereka tinggal. 5. LSM dan masyarakat harus terus ikut memantau dan turut memberi usulan untuk menyempurnakan sistem pendidikan inklusif.
122
Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun Oleh: Hadi Prayitno dan Ahmad Taufik
A. Pengantar Pemerintah berkewajiban mendukung pendidikan sebagaimana tertuang dalam hasil amandemen keempat UUD 1945. Tanggung jawab pembiayaan telah dibebankan kepada pemerintah dan pemerintah daerah yang secara eksplisit tercantum di dalam pasal 31 ayat 4 yang berbunyi “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Revitalisasi penganggaran pendidikan bisa mendorong terwujudnya pendidikan dasar 12 dengan lebih cepat. Seyogyanya peningkatan akses, kualitas dan relevansi pendidikan melalui penyediaan sarana prasarana, pemberian bantuan operasional, serta pemberian beasiswa miskin dalam rangka memenuhi jaminan dan keterjangkauan layanan pendidikan dasar dan menengah harus diwujudkan melalui
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
skema kebijakan jangka pendek maupun jangka menengah. Secara umum pemerintah telah mengilustrasikan secara singkat hasil capaian strategis dalam bidang pembangunan pendidikan selama kurun waktu 2005-2014 yaitu meliputi implementasi UU guru dan dosen, standard nasional pendidikan, sertifikasi guru, maupun penyediaan tunjangan profesi1. Selain itu pemerintah juga menjelaskan capaian lainnya yang bersifat tematik selama 2010-2014 yaitu meliputi (i) peningkatan partisipasi PAUD dari 50,21 persen pada tahun 2010 menjadi 68,10 persen pada tahun 2014; (ii) Tercapainya APK SD/SDLB/Paket A sebesar 97,31 persen dan APK SMP/SMPLB/ Paket B sebesar 74,29 persen; (iii) Turunnya disparitas APK SD/MI antar kabupaten dan kota dari 2,15 persen tahun 2010 menjadi 1,9 persen tahun 2014 dan APK SMP/MTs dari 15 persen tahun 2010 menjadi 12,7 persen tahun 2014; (iv) Tercapainya APK SMA/SMK/SMLB/Paket C sebesar 68,92 persen pada tahun 2014; (v) Akreditasi B SMA/ MA sebesar 73,5 persen dan SMK sebesar 48,2 persen tahun 2013; dan (vi) Menurunnya Angka Niraksara dari 4,75 persen tahun 2010 menjadi 3,76 persen tahun 2014. Capaian-capaian di atas menjadi baseline dari perencanan pembangunan jangka menengah dalam waktu dekat yaitu 20152019. Sekaligus hal itu juga diposisikan sebagai tantangan atau sisa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah baik di tingkat pusat dan daerah. Beberapa tantangan yang dimaksud secara umum antara lain meliputi belum semua penduduk memperoleh layanan akses PAUD yang berkualitas, pelaksanaan wajib belajar 12 tahun yang berkualitas belum optimal, dan kualitas pembelajaran belum maksimal. Tantangan lain yang harus direvitalisasi adalah masih terjadinya potensi redundancy penggunaan belanja infrastruktur Lihat RPJMN 2015-2019
1
124
Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun
yang seharusnya dapat didesentralisasikan tetapi masih diselenggarakan langsung oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selama sepuluh tahun terakhir. Pada tahun 2012 pemerintah telah merintis program pendidikan dasar 12 tahun yang dipersiapkan implementasinya pada tahun anggaran 20142. Terdapat dua upaya yang ditempuh yaitu pertama menambahkan alokasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS) SMA/SMK/MA supaya wajib belajar 12 tahun dapat terwujud, dan kedua menyiapkan revisi UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sampai saat ini upaya kedua tersebut belum berhasil dicapai, sehingga rintisan pendidikan dasar 12 tahun belum memiliki landasan hukum yang kuat.
B. Realitas Anggaran Pendidikan Anggaran pendidikan dalam APBN dialokasikan melalui belanja pemerintah pusat, belanja transfer dan pengeluaran pembiayaan. Secara umum pengelolaan anggaran pendidikan di tingkat kabupaten, kota dan provinsi diorientasikan untuk pemenuhan penyelenggaraan pendidikan dasar sembilan tahun dan pendidikan menengah. Hal itu tercermin dari pemanfaatan APBD untuk membiayai belanja pegawai dan enam program unggulan yaitu meliputi program wajib belajar 9 tahun, manajemen pelayanan pendidikan, peningkatan mutu, peningkatan sarana prasarana, manajemen pendidikan menengah dan pelayanan administrasi3.
2 Dikutip dari pernyataan Menteri Pendidikan Nasional Moh. Nuh dari berita Kompas tanggal 22 Februari 2012 3 Lihat lampiran Permendagri No. 13 tahun 2006 terkait program generik urusan wajib pendidikan. Disarikan dari Peraturan Bupati tentang Penjabaran APBD tahun 2014 dari 20 kabupaten/kota
125
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Grafik 1 – Proporsi Anggaran Pendidikan dalam APBN dan APBD Nilai & Proporsi Anggaran Pendidikan Daerah 201 5
Anggaran Pendidikan 201 0 - 201 5 200.00
2,500
Rp Triliun
2,000
20.2% 20.1%
20.0%
20.0%
20.0%
31.8%
32.9%
150.37
32.50
5.40
Kabupaten
Kota
Provinsi
150.00
1,500
100.00
19.5%
1,000
50.00
500
Rp Triliun -
0 2010 Belanja Negara
2011
2012
Anggaran Pendidikan
2013
2014
2015
% Anggaran Pendidikan
4.4%
Rp Triliun
Percent
Sumber: APBN 2015 dan APBD 2015 se-Indonesia; DJPK Kemenkeu 2015
Sejak tahun 2010 sampai 2015, pemerintah telah mengalokasikan anggaran pendidikan rata-rata sebesar 20 persen dari APBN selama lima tahun berturut-turut. Berdasarkan proporsi, alokasi yang disediakan oleh pemerintah daerah bahkan berada pada kisaran 30,4 persen dari APBD yaitu lebih besar dari batasan minimal yang harus dipenuhi. Jika diuraikan berdasarkan tingkat pemerintahan daerah otonom, rata-rata proporsi Kota sebesar 32,9 persen, Kabupaten 31,8 persen, dan Provinsi dengan ratarata paling rendah yaitu 4,4 persen. Meskipun penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah telah didesentralisasikan kepada pemerintah provinsi, kabupaten dan kota, tetapi pemerintah pusat masih mengelola anggaran yang cukup besar melalui intervensi tematik oleh Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada tahun 2015 kedua kementerian tersebut mengelola anggaran masing-masing sebesar Rp53,3 triliun dan Rp49,4 triliun. Pengelolaan anggaran di Kementerian Agama dilakukan secara sentralistik, yaitu untuk membiayai kebutuhan lembaga pendidikan Islam sampai kepada tingkat desa melalui pengendalian kantor perwakilan di tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Adapun desentralisasi pendidikan juga telah disertai dengan alokasi melalui skema Dana Alokasi Umum (DAU) untuk
126
Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun
membayar gaji pegawai dan guru yang bersifat mengikat, serta Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pembangunan, pemeliharaan dan rehabilitasi sarana maupun prasarana dengan mekanisme pengelolaan yang diatur secara ketat oleh pemerintah pusat. Artinya, meskipun dana tersebut ditransfer kepada daerah, tetapi pemerintah daerah tidak memiliki diskresi untuk menggunakan secara leluasa sesuai dengan prioritas pembangunan di tingkat lokal karena batasan-batasannya telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Berikut ini adalah rekapitulasi anggaran pendidikan dasar dan menengah yang terdapat pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama. Tabel 1 – Anggaran Pendidikan Dasar dan Menengah (Dalam Jutaan Rupiah) Satuan Kerja/ Kegiatan
APBNP 2015
A. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
Pembinaan Sekolah Dasar
6.871.000
Pembinaan Sekolah Menengah Pertama
5.843.000
Pembinaan Sekolah Menengah Atas
8.010.000
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan
9.009.000
Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus
912.000
Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Lainnya
386.757
B. Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Penyediaan Layanan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan
204.334
C. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam - Kementerian Agama Peningkatan Akses, Mutu, Kesejahteraan dan Subsidi Pendidikan Agama Islam 746.494 Peningkatan Akses, Mutu, Kesejahteraan dan Subsidi Pendidikan Keagamaan Islam 1.149.755
127
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Peningkatan Akses, Mutu, Kesejahteraan dan Subsidi RA/BA dan Madrasah 16.256.164 Program Pendidikan Dasar dan Menengah dan Program Pendidikan Masyarakat (A+B) 31.236.091 Program Pendidikan Islam ( C )
18.152.413
Belanja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
53.278.549
Rasio Program Pendidikan Dasar dan Menengah (%)
58,6%
Sumber: Lampiran III Perpres No. 36 tahun 2015 RABPP BA.KL
1. Implementasi Anggaran di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Pada tahun 2015 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengelola anggaran pada program pendidikan dasar dan menengah sebesar Rp31,03 triliun atau setara dengan 58,2 persen alokasi anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Program tersebut dijabarkan menjadi kegiatan pembinaan Sekolah Dasar, pembinaan Sekolah Menengah Pertama (SMP), pembinaan Sekolah Menengah Atas (SMA), pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), pembinaan pendidikan dan layanan khusus, dan dukungan manjemen. Adapun proporsi kegiatan pembinaan pendidikan dasar sembilan tahun yang meliputi SD dan SMP adalah 23,9 persen, sedangkan pembinaan pendidikan menengah pada SMA dan SMK mendapatkan proporsi 31,9 persen dari total belanja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu juga terdapat program pendidikan masyarakat terkait dengan konteks pendidikan dasar dan menengah yang dibelanjakan dalam bentuk kegiatan penyediaan layanan pendidikan keaksaraan dan kesetaraan sebesar Rp204,3 miliar atau setara dengan 0,38 persen dari total belanja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
128
Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun
Pengelolaan anggaran pendidikan dasar diorientasikan kepada dua aspek yaitu tersedianya layanan pendidikan dan tersedianya bantuan pendidikan bagi siswa berbasis keluarga. Sedangkan orientasi pendidikan menengah adalah tercapainya perluasan dan pemerataan akses pendidikan yang bermutu, berkesetaraan jender, dan relevan dengan kebutuhan. Berdasarkan output yang telah ditetapkan, kegiatankegiatan tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu infrastruktur, bantuan, pembinaan dan subsidi. Belanja subsidi mendapatkan proporsi rata-rata paling dominan yaitu 72,2 persen dari kegiatan pembinaan Sekolah Dasar (SD), pembinaan Sekolah Menengah Pertama (SMP), pembinaan Sekolah Menengah Atas (SMA), dan pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Adapun rata-rata proporsi infrastruktur mendapatkan 17,9 persen, ratarata proporsi bantuan 2,6 persen, dan rata-rata proporsi pembinaan sebesar 7,4 persen. Tabel 2 – Kelompok Manfaat Belanja Pendidikan Dasar dan Menengah Pembinaan SD
Pembinaan SMA
Infrastruktur 22,5% Infrastruktur 28,0% Bantuan
2,4%
Pembinaan 7,7% Subsidi
Pembinaan SMP
Pembinaan SMK
Infrastruktur 7,3%
Infrastruktur
13,8%
Bantuan
4,4%
Bantuan
1,4%
Bantuan
1,9%
Pembinaan
13,8%
Pembinaan
3,1%
Pembinaan
4,8%
53,8%
Subsidi
88,2%
Subsidi
79,4%
67,3% Subsidi
Sumber: Diolah dari Lampiran III Perpres No. 36 tahun 2015 RABPP BA.KL
2. Anggaran Pendidikan Islam pada Kementerian Agama Anggaran pendidikan yang dikelola Kementerian Agama
129
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
terkait pendidikan dasar dan menengah meliputi program pendidikan agama Islam. Adapun rincian kegiatan dari program tersebut antara lain peningkatan akses, mutu, kesejahteraan dan subsidi pendidikan agama Islam, pendidikan keagamaan Islam, serta RA/BA dan madrasah. Pada APBN Perubahan tahun 2015 alokasi anggaran untuk membiayai kegiatan-kegiatan tersebut sebesar Rp18,15 triliun atau sama dengan 36,7 persen dari total anggaran pendidikan yang dikelola oleh Kementerian Agama yaitu Rp49,4 triliun. Kegiatan pendidikan agama Islam didesain untuk memberikan berkontribusi terhadap peningkatan kualitas dan kuantitas guru PAI dan pengawas PAI. Adapun target capaian pada kegiatan pendidikan keagamaan Islam adalah meliputi infrastruktur, bantuan, pembinaan manajemen dan subsidi kepada pendidikan non formal, diniyah dan pondok pesantren. Sedangkan untuk kegiatan peningkatan mutu, akses dan tata kelola madrasah, capaian yang ditargetkan juga meliputi infrastruktur, bantuan, pembinaan manajemen dan subsidi kepada MI, MTs, dan MA.
130
Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun
Tabel 3 – Sasaran dan Target Output Program Pendidikan Islam Kegiatan
Sasaran/Output Meningkatnya mutu pendidikan islam pada sekolah, melalui;
Pendidikan Agama Islam
Sertifikasi 24.142 guru PAI Peningkatan kualifikasi S1 bagi 1.500 guru PAI Pengembangan pembelajaran PAI di 5.631 sekolah Meningkatnya mutu, akses & tata kelola PNF, diniyah, & pesantren; Beasiswa bagi 2000 hafidz Al-Quran di pesantren BOS kepada 70.053 santri diniyah/ pendidikan muadalah
Pendidikan Keagamaan Islam
492.941 santri mendapatkan subsidi KIP Tunjangan fungsional bagi 10.000 guru diniyah Biaya Operasional Pendidikan bagi 5000 madrasah diniyah Sertifikasi 24.142 guru PAI Peningkatan kompetensi & kualifikasi 3000 guru diniyah Meningkatnya akses, mutu, dan tata kelola madrasah; Pemberian BOS kepada 3.56 juta siswa MI, 3,23 juta siswa MTs, dan 1,21 juta siswa MA Pemberian KIP kepada 826.467siswa MI, 773.491 siswa MTs, dan 356.429 siswa MA
Peningkatan Madrasah
Pembangunan & rehabilitasi 1.750 ruang kelas & perpustakaan MI Beasiswa kepada 2.500 siswa MI, MTs dan MA Pembangunan & rehabilitasi 2.050 ruang kelas & perpustakaan MTs Pembangunan & rehabilitasi 1.297 ruang kelas & perpustakaan MA Pembangunan & peralatan 600 laboratorium IPA, Komputer dan Bahasa di MA/MAK Tunjangan fungsional, tunjangan profesi & tunjungan khusus bagi 648.275 PTK Non-PNS
131
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
3. Anggaran Pendidikan Dasar dan Menengah di Daerah Pemerintah daerah telah mengalokasikan rata-rata 30,4 persen belanja daerah untuk pendidikan, tetapi 23,4 persen dipergunakan untuk membiayai belanja pegawai. Sedangkan anggaran untuk program pembangunan pendidikan yang terdiri dari pemenuhan infrastruktur, aksesibilitas dan mutu hanya 7,0 persen. Tingginya belanja pegawai tersebut mencerminkan penggunaan anggaran pendidikan sebagian besar hanya diperuntukkan kepada pemenuhan kebutuhan biaya tenaga pengajar. Di sisi lain kualitas penyelenggaraan proses belajar mengajar juga seharusnya ditunjang dengan infrastruktur yang memadai, jaminan akses yang adil dan mutu yang baik Berdasarkan laporan hasil analisis anggaran daerah (AAD)4 di 16 kabupaten dan 4 kota pada wilayah Provinsi Aceh, Kalimantan Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, alokasi program pendidikan dasar tahun 2014 sebesar rerata 47 persen. Sebagian besar anggaran pada program Wajar Dikdas 9 tahun dipergunakan untuk membiayai rehabilitasi dan pengadaan infrastruktur sekolah. Jenis kegiatan di dalam program Wajar Dikdas sembilan tahun meliputi pengadaan dan perbaikan inftrastruktur, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), penyediaan pendidikan gratis, penyelenggaraan ujian, pelatihan dan monitoring. Dari kegiatan-kegiatan tersebut yang mendapatkan alokasi ratarata sebesar 75 persen adalah pengadaan dan rehabilitasi infrastruktur sekolah.
4 Laporan hasil analisis anggaran pendidikan 2014 di 20 kabupaten/ kota lokasi program KINERJA - USAID
132
Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun
Grafik 2 Grafik 2 Distribusi Anggaran Pendidikan Berdasarkan Program Tahun 2014 Distribusi Anggaran Pendidikan Berdasarkan Program Tahun 2014
Kota Probolinggo 22%
Luwu 26%
33% Banda Aceh
Aceh Tenggara
33%
37%
Bener Meriah
Kab. Probolinggo
40%
43% Simelue
45%
46% Sambas
Jember
Wajar Dikdas 9 Tahun Pelayanan Administrasi
Aceh Singkil
55% Sekadau
Tulungagung
47%
57% Bengkayang
56%
59%
57%
Makassar
Singkawang
0%
63%
20%
Luwu Utara
40%
Bulukumba
80%
60%
79%
100%
Manajemen Pelayanan Pendidikan Peningkatan Mutu
Sumber: Database APBD DJPK Kemenkeu tahun 2014; diolah Seknas FITRA
Sumber: Database APBD DJPK Kemenkeu tahun 2014; diolah Seknas FITRA
Program peningkatan mutu pendidikan hanya mendapatkan proporsi sebesar rata‐rata 3 persen dari belanja langsung pendidikan tahun 2014. Meskipun program ini merupakan salah Program peningkatan mutu pendidikan hanya mendapatkan satu prioritas pembangunan nasional di sektor pendidikan, tetapi hanya terdapat dua daerah proporsi sebesar rata-rata 3 persen dari belanja langsung yang memberikan perhatian agak serius dengan indikator alokasi anggaran yang lebih dari 5 tahun 2014. Meskipun program ini merupakan persen yaitu pendidikan Kabupaten Aceh Singkil 7 persen dan Kabupaten Probolinggo dengan alokasi salah satu prioritas pembangunan nasional di sektor tertinggi yaitu sebesar 11 persen. pendidikan, tetapi hanya terdapat dua daerah yang Pada tahun 2014 proporsi program manajemen pelayanan pendidikan di Kabupaten Luwu memberikan perhatian agak serius dengan indikator alokasi adalah 50 persen dari total belanja langsung pendidikan. Berdasarkan hasil AAD tahun 2011, anggaran yang lebih daridengan 5 persen yaitu Kabupaten Aceh hal itu juga terjadi di kabupaten yang sama proporsi lebih tinggi yaitu 67 persen. Singkil 7 persen dan Kabupaten Probolinggo dengan alokasi Tingginya alokasi disebabkan oleh adanya kegiatan pelayanan pendidikan gratis sebesar Rp32,8 miliar atau sama dengan 99 persen dari total anggaran program tersebut yaitu Rp33,3 tertinggi yaitu sebesar 11 persen. miliar. Pada tahun 2014 proporsi program manajemen pelayanan
C. Kerangka Kebijakan Pembiayaan Pendidikan
pendidikan di Kabupaten Luwu adalah 50 persen dari total
Arah kebijakan pemerintah secara periodik tercermin di dalam Rencana Pembangunan Jangka belanja langsung pendidikan. Berdasarkan hasil AAD tahun Panjang Nasional (RPJPN) yang memiliki periode dua puluh tahun, dan Rencana Pembangunan 2011, hal itu juga terjadi di kabupaten yang sama dengan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).Setiap tahun kebijakan diturunkan menjadi Rencana Kerja proporsi lebih tinggi yaitu 67 persen. Tingginya alokasi Pemerintah (RKP) yang menjadi acuan dasar penetapan kebutuhan anggaran. disebabkan oleh adanya kegiatan pelayanan pendidikan Kebijakan pendidikan menjadi bagian dari arah kebijakan pembangunan jangka panjang pada bagian kedua “mewujudkan bangsa yang berdaya saing”. Secara lebih spesifik hal itu dapat dilihat 133 pada aspek pembangunan sumberdaya manusia berkualitas dan berdaya saing melalui strategi peningkatan kualitas ilmu pengetahuan dan teknologi, politik anggaran, integrasi seluruh
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
gratis sebesar Rp32,8 miliar atau sama dengan 99 persen dari total anggaran program tersebut yaitu Rp33,3 miliar.
C. Kerangka Kebijakan Pembiayaan Pendidikan Arah kebijakan pemerintah secara periodik tercermin di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang memiliki periode dua puluh tahun, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Setiap tahun kebijakan diturunkan menjadi Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang menjadi acuan dasar penetapan kebutuhan anggaran. Kebijakan pendidikan menjadi bagian dari arah kebijakan pembangunan jangka panjang pada bagian kedua “mewujudkan bangsa yang berdaya saing”. Secara lebih spesifik hal itu dapat dilihat pada aspek pembangunan sumberdaya manusia berkualitas dan berdaya saing melalui strategi peningkatan kualitas ilmu pengetahuan dan teknologi, politik anggaran, integrasi seluruh pendidikan kedinasan ke dalam perguruan tinggi, dan pelayanan pendidikan yang mencakup semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan5.
1. Kebijakan Pendidikan Jangka Menengah Adapun arah kebijakan pemerintah yang relevan dengan penyelenggaraan pendidikan dasar 12 tahun di dalam RPJMN 2015-20196 adalah sebagai berikut: a. Melaksanakan Wajib Belajar 12 tahun dengan melanjutkan upaya untuk memenuhi hak seluruh UU No. 17 tahun 2007 tentang RPJP Nasional, Bab IV Arah, Tahapan, dan Prioritas Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005-2025 6 Lampiran Perpres No. 2 tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019, Buku II Agenda Pembagunan Bidang, Halaman 2-103 sampai 2-121 5
134
Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun
penduduk mendapatkan layanan pendidikan dasar Sembilan tahun secara berkualitas b. Melaksanakan Wajib Belajar 12 tahun dengan memperluas dan meningkatkan pemerataan pendidikan menengah yang berkualitas c. Memperkuat jaminan kualitas (quality assurance) pelayanan pendidikan d. Memperkuat kurikulum dan pelaksanaannya e. Memperkuat sistem penilaian komprehensif dan kredibel
pendidikan
yang
f. Meningkatkan profesionalisme, kualitas, akutabilitas guru dan tenaga kependidikan
dan
g. Meningkatkan pengelolaan dan penempatan guru Penyelenggaraan pendidikan dasar 12 tahun sebagaimana tersebut diatas mengandung dua pernyataan kunci yang harus digaris bawahi, yaitu menuntaskan pendidikan dasar Sembilan tahun terlebih dahulu, dan secara pararel memperluas menuntaskan dan meningkatkan pemerataan pendidikan menengah yang berkualitas. Sedangkan pengelolaan, penempatan, profesionalisme, kualitas, dan akuntabilitas guru diletakkan lebih sebagai variable pendukung. Selain itu juga terdapat dua aspek penunjang yang harus diarusutamakan yaitu meliputi memperkuat kurikulum dan pelaksanaannya, serta jaminan kualitas pelayanan pendidikan.
2. Kerangka Pembiayaan Pendidikan Dasar 12 Tahun Anggaran pendidikan berdasarkan APBN Perubahan tahun 2015 sebesar Rp408,5 triliun yang terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp154,4 triliun dan belanja transfer ke
135
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
daerah Rp254,2 triliun. Sedangkan pada RAPBN tahun 2016 mengalami peningkatan secara nominal menjadi Rp424,8 triliun yang dikelola melalui belanja pemerintah pusat Rp143,8 triliun, belanja transfer Rp275,9 triliun dan pengeluaran pembiayaan Rp5,0 triliun. Menurut UNESCO, pagu ideal anggaran pendidikan bagi setiap Negara untuk menjamin pemerataan pelayanan yang berkualitas adalah paling sedikit sama dengan 6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Adapun rasio anggaran pendidikan Indonesia tahun 2015 adalah 4,0 persen dari PDB. Sedangkan rasio pada RAPBN 2016 mengalami sedikit peningkatan menjadi 4,2 persen. Proyeksi kebutuhan biaya dapat dihitung melalui pendekatan satuan biaya setiap siswa berdasarkan jenjang pendidikan dengan merujuk kepada Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan satuan biaya pendidkan total faktual setiap sekolah. Perhitungan pendanaan pendidikan sendiri telah diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 2008, pasal 3 ayat (1) yang secara jelas memberikan kategorisasi pembiayaan yaitu meliputi: a) biaya satuan pendidikan; b) biaya penyelenggaraan dan/ atau pengelolaan pendidikan; dan c) biaya pribadi peserta didik. Kebutuhan biaya pendidikan berdasarkan SPM pernah dihitung oleh Abbas Ghozali yang menetapkan satuan biaya untuk SD/MI sebesar Rp4,05 juta, SMP/MTs Rp6,24 juta, SMA/MA Rp6,23 juta, dan SMK Rp8,17 juta. Di sisi lain, perhitungan biaya satuan pendidikan total faktual juga pernah dihitung oleh Neti Budiwati dengan menetapkan kebutuhan tersebut secara total berdasarkan jenjang pendidikan meliputi penggabungan biaya satuan, biaya penyelenggaraan dan biaya pribadi. Sedangkan pada skenario ketiga, rujukan ilmiah yang digunakan adalah hasil
136
Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun
perhitungan Prof. Zamroni, Ph.D dkk. Desain kerangka estimasi pembiayaan berdasarkan periode pemerintahan jangka menengah. Mengingat skenario jangka panjang diperhitungkan sampai tahun 2030, maka proyeksinya akan meliputi tiga periode pemerintahan yaitu 2015-2019, 2020-2024, dan 2025-2029. Hal itu dapat dilakukan dengan memperhitungkan tren pertumbuhan penduduk usia sekolah dalam lima tahun terakhir. Skenario 1: Biaya Satuan Pendidikan Total Faktual tahun 2005 yang pernah dijadikan rujukan pemerintah dalam memperhitungkan biaya satuan pendidikan tahun 2009. Tabel 4 – Estimasi Satuan Biaya Berdasarkan BSPT Faktual Jenjang Pendidikan
No
Jumlah Sekolah 2014
BSPT Faktual
Jumlah (Rp)
1
SD
148.272
8.401.500.000
1.245.707.208.000.000
2
MI
23.678
8.440.000.000
199.842.320.000.000
3
SMP
35.488
10.255.000.000
363.929.440.000.000
4
MTs
16.283
9.794.500.000
159.483.843.500.000
5
SMA
12.409
12.362.500.000
153.406.262.500.000
6
MA
7.260
11.775.500.000
85.490.130.000.000
7
SMK
11.726
11.329.500.000
132.849.717.000.000
TOTAL
2.340.708.921.000.000
Persentase terhadap PDB 2014
23,2%
Proporsi Pembiayaan Masyarakat 20 persen
468.141.784.200.000
Proporsi Pembiayaan Negara 80 persen
1.872.567.136.800.000
Metode penghitungan pada Tabel 4 menggunakan rujukan
137
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Biaya Satua Pendidikan Total (BSPT) Faktual berdasarkan harga konstan tahun 2005. Kemudian biaya satuan tersebut dikalikan dengan jumlah sekolah SD, MI, SMP, MTs, SMA, SMK, dan MA yang telah dipublikasikan oleh BPS tahun 2014. BSPT Faktual dimaksud adalah meliputi gaji dan tunjangan pendidik, operasional non gaji, dan investasi termasuk diskresi yang menjadi tanggungjawab negara. Selain itu juga merupakan bagian perhitungan atas kebutuhan pembiayaan pendidikan yang menjadi tanggungjawab masyarakat. Total kebutuhan tahunan dari simulasi di atas adalah sebesar Rp2.340,7 triliun atau sama dengan 23,2 persen PDB tahun 2014. Total kebutuhan tersebut kemudian dibagi ke dalam dua kategori yaitu 80 persen pembiayaan oleh Negara sehingga menjadi Rp1.872,5 triliun dan 20 persen pembiayaan oleh masyarakat sebesar Rp468,1 triliun. Artinya tanggung jawab bersih Negara secara tahunan terhadap pembiayaan pendidikan dasar 12 tahun adalah sebesar 18,5 persen dari PDB atau tiga kali lipat lebih besar dari benchmark UNESCO apabila pelayanan pendidikan benar-benar dicita-citakan secara merata dan berkualitas di masa yang akan datang.
Skenario 2: Biaya Satuan Pendidikan berdasarkan SPM dikalikan dengan jumlah siswa SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA tahun 2014
138
Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun
Tabel 5 – Estimasi Satuan Biaya Berdasarkan SPM No
Jenjang Pendidikan
Jumlah Siswa
Biaya Satuan (SPM)
Jumlah (Rp)
1
SD
26.508.500
4.057.104
107.547.741.384.000
2
MI
3.290.240
4.057.104
13.348.845.864.960
3
SMP
12.672.700
6.249.393
79.196.682.671.100
4
MTs
2.817.027
6.249.393
17.604.708.814.611
5
SMA
4.235.774
8.710.662
36.896.395.622.388
6
SMK
4.157.682
12.253.769
50.947.274.803.458
7
SMLB
7.110
8.710.662
61.932.806.820
8
MA
1.414.554
8.710.662
12.321.701.774.748
TOTAL 317.925.283.742.085 Persentase terhadap PDB 2014 3,1%
Perhitungan pada skenario pertama ini merujuk kepada hasil Studi Kebutuhan Pendidikan 12 Tahun Di Indonesia tahun 2014 yang telah dikerjakan oleh NEW Indonesia, Bina Swadaya Konsultan dan LPES. Hasil simulasi tersebut kemudian dilengkapi dengan jumlah siswa secara lebih terperinci berdasarkan jenjang pendidikan sesuai dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014. Sehingga estimasi kebutuhan tahunan pembiayaan pendidikan dasar 12 tahun diperhitungkan sebesar Rp317,9 triliun atau sama dengan 3,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2014. Rasio ini masih berada dibawah international benchmark yang telah ditetapkan oleh UNESCO tahun 2010. Catatan penting dari perhitungan satuan biaya diatas adalah bahwa kebutuhan yang dimaksudkan belum termasuk biaya operasional dan biaya penyelenggaraan pendidikan. Sehingga apabila dua komponen lain pendanaan pendidikan tersebut digabungkan, maka target rasio minimal sebesar
139
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
6 persen dari PDB setiap tahun akan dapat dipenuhi sejak tahun 2016 sampai tahun 2030. Skenario 3: Estimasi Anggaran Pendidikan Dasar berdasarkan SPM dikalikan dengan jumlah siswa SD/MI dan SMP/MTs tahun 2014 Tabel 6 – Estimasi Anggaran Pendidikan Dasar Berdasarkan SPM No
Jenjang Pendidikan
1
SD
Jumlah Siswa
Estimasi Anggaran
Jumlah (Rp)
26.508.500
2.952.000
3.290.240
2.952.000
9.712.788.480.000
12.672.700
3.864.000
48.967.312.800.000
3.864.000
10.884.992.328.000
2
MI
3
SMP
4
MTs
2.817.027
TOTAL
78.253.092.000.000
147.818.185.608.000
Persentase terhadap PDB 2014
1,5%
Proporsi Pembiayaan Masyarakat 20 persen Proporsi Pembiayaan Negara 80 persen
29.563.637.121.600 118.254.548.486.400
Pada tahun 2010 Prof. Zamroni, Ph.D dkk dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, telah merilis hasil penelitian tentang Estimasi Anggaran Pendidikan Dasar Melalui Penghitungan Unit Cost Guna Mewujudkan Pendidikan Terjangkau di Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan ruang lingkung jenjang Sekolah Dasar (SD) sederajat dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sederajat. Hasil kajian tersebut menjadi salah satu rujukan akademis yang tersedia dan layak untuk dijadikan acuan dalam menghitung opsi pembiayaan pendidikan dasar sebagai skenari ketiga. Pada tabel 6 diatas dijelaskan bahwa unit
140
Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun
cost siswa SD sederajat setiap bulan adalah Rp246.000 atau sama dengan Rp2.952.000 per-tahun. Sedangkan unit cost siswa SMP sederajat adalah Rp322.000 atau sama dengan Rp3.864.000 per-tahun. Apabila diperhitungkan dengan jumlah siswa masing-masing jenjang berdasarkan data BPS tahun 2014 maka unit cost SD sederajat setiap tahun adalah Rp87,9 triliun, sedangkan unit cost SMPsederajat setiap tahun adalah Rp59,8 triliun. Artinya total estimasi anggaran pendidikan dasar Sembilan tahun melalui perhitungan unit cost setiap tahun adalah sebesar Rp147,8 triliun. Apabila 20 persen dari estimasi anggaran tersebut merupakan kontribusi masyarakat, maka anggaran yang harus disediakan oleh pemerintah tinggal 80 persen atau setara dengan Rp118,2 triliun. Berdasarkan kerangka kebijakan dalam RPJMN 2015-2019 bidang pendidikan dan Renstra Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2015-2019, maka anggaran pendidikan Sembilan tahun dalam skema perhitungan 80 persen di atas harus dituntaskan oleh pemerintah, yang secara pararel juga dengan proses rintisan pemenuhan pendidikan menengah pada jenjang SMA/SMK sederajat. Adapun rasio anggaran dari pemerintah sendiri adalah setara dengan 1,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
D. Langkah-Langkah Strategis Pemerintah dan pemerintah daerah memerlukan langkahlangkah sistematis dan strategis untuk mendorong penyelenggaraan pendidikan dasar 12 tahun sebagaimana telah tersebut di dalam RPJMN 2015-2019. Adapun pilihan alternatif dari langkah-langkah strategis dimaksud adalah sebagai berikut:
141
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
1. Revisi UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dengan menegaskan arah kebijakan pelayanan pendidikan dasar 12 tahun. Pemerintah dapat mengajukan kepada DPR RI naskah akademik dan draft revisi secara terbatas UU Sisdiknas khususnya kepada pasal-pasal utama yang berkaitan dengan pendidikan dasar, agar terakomodir menjadi program legislasi nasional prioritas tahun 2016. Secara pararel, kolaborasi harus tetap dilakukan kepada para pemangku kepentingan pendidikan dan kelompok masyarakat sipil dalam rangka menyelenggarakan uji publik dan menggali masukan konstruktif. 2. Menginisiasi terbitnya Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Pendidikan Dasar 12 Tahun. Apabila revisi UU Sisdiknas berhasil masuk menjadi agenda Prolegnas Prioritas tahun 2016, pemerintah juga harus mulai mempersiapkan draft peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan pendidikan dasar 12 tahun tersebut. Tetapi jika revisi tersebut tidak masuk dalam agenda prolegnas di DPR RI, peraturan pemerintah posisinya menjadi sangat vital untuk segera diterbitkan sebagai acuan hukum satusatunya di masa yang akan datang. 3. Menyusun grand design penyelenggaraan pendidikan dasar 12 tahun sekaligus memperjelas fokus utama kewenangan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan kabupaten/ kota agar tidak tumpang tindih. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bertanggungjawab terhadap penyusunan grand design tersebut. Panduan operasional ini harus disahkan menjadi peraturan menteri. Apabila revisi UU Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah terjadi atau tidak
142
Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun
terjadi, grand design sangat dibutuhkan sebagai acuan implementasi teknis dapat dijadikan oleh seluruh tingkat pemerintahan. 4. Mendesentralisasikan urusan pembangunan infrastruktur sepenuhnya kepada kabupaten/ kota dan urusan pemenuhan aksesibilitas kepada pemerintah provinsi. Perkembangan capaian kinerja urusan dan fungsi pendidikan dalam 15 tahun terakhir belum mengindikasikan terjadinya akselerasi, karena tidak adanya harmonisasi atau pembagian peran antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/ kota dalam menggunakan anggaran pendidikan. Penyediaan infrastruktur lebih baik didesentralisasikan sepenuhnya kepada kabupaten/ kota melalui mekanisme Dana Alokasi Khusus Pendidikan yang diskresinya secara penuh diserahkan, dan juga tanpa adanya prasyarat dana pendamping 10 persen. Begitu juga dengan pemerintah provinsi dapat mengambil kewenangan penuh dalam pelayanan akses pendidikan. Pemerintah pusat dapat secara terfokus dalam rangka melakukan afirmasi manajemen pendidikan dan peningkatan mutu. 5. Merevitalisasi pemanfaatan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD untuk pembangunan pendidikan, termasuk pendidikan dasar 12 tahun di luar pemenuhan gaji pegawai dan guru. Berdasarkan skenario pertama pembiayaan yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, pemerintah dituntut untuk menyediakan alokasi anggaran pendidikan dasar 12 tahun sebesar 3,1 persen dari PDB di luar kebutuhan gaji. Dengan estimasi kebutuhan gaji yang diperkirakan sebesar 3 persen lainnya dari rasio PDB, anggaran pendidikan secara total sudah sesuai dengan benchmark UNESCO. Pemerintah juga dapat mengambil opsi kedua dengan mengalokasikan
143
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
anggaran pendikan sebesar 18,5 dari PDB apabila benarbenar memiliki komitmen untuk pemenuhan layanan pendidikan dasar 12 tahun secara merata dan berkualitas.
E. Rekomendasi: Ada beberapa rekomendasi yang ditujukan kepada elemen pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan pendidikan termasuk di dalamnya kelompok masyarakat sipil. Adapun rekomendasi yang dimaksudkan adalah sebagai berikut: 1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia seyogyanya melakukan penyempurnaan Rencana Strategis; Revisi tersebut harus dilakukan sebelum berakhirnya tahun 2015 dengan memasukkan secara tegas pendidikan dasar 12 tahun sebagai target prioritas, supaya konsisten dengan amanat Perpres No.2 tentang RPJMN 2015-2019. 2. Kementerian Keuangan segera melakukan optimalisasi penerimaan Negara yang bersumber dari pajak dan penerimaan Negara bukan pajak agar kebutuhan anggaran pendidikan dasar 12 tahun dapat dipenuhi seluruhnya; Potret ketersediaan anggaran dalam APBN sampai tahun 2015 diprediksikan tidak akan mampu memenuhi estimasi kebutuhan pembiayaan pendidikan setiap tahun. Oleh karena itu Presiden melalui Kementerian Keuangan Republik Indonesia harus meningkatkan penerimaan Negara melalui penetapan rasio pajak minimal 14 persen dari PDB, dan memastikan perusahaan pengelola industri berbasis sumberdaya alam taat untuk membayar PNBP yang sampai hari ini baru terealisasi 30 persen dari potensi sesungguhnya.
144
Revitalisasi Kebijakan Anggaran Pendidikan Dasar 12 Tahun
3. Kementerian Keuangan Republik Indonesia melakukan ear-marking penerimaan dari PNBP SDA dengan proporsi yang lebih memadai untuk membiayai pemenuhan layanan pendidikan. Isu penting lainnya adalah memperjelas sumber pembiayaan pendidikan melalui penambahan ear-marking PNBP Migas dan PNBP Pertambangan untuk diredistribusikan kepada belanja pendidikan dasar 12 tahun. Ear-marking ini juga berlaku bagi pemerintah provinsi, kabupaten dan kota sebagai penerima dua skema DBH tersebut sebagai upaya untuk akselerasi pencapaian target nasional. 4. Kelompok Masyarakat Sipil secara pro-aktif mengawal proses revisi Renstra Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2015-2019, serta melakukan pengawasan secara berjenjang terhadap realisasi kebijakan anggaran pendidikan, khususnya terkait pemenuhan pendidikan dasar 12 tahun.
145
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
146
DAFTAR PUSTAKA Baidowi, Ahmad, dkk., (2015), Potret Pendidikan Kita, PT. Pustaka Alvabet, Jakarta Budiwati, Neti,.(tanpa tahun) Bahan Kuliah Pembiayaan Pendidikan. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Farhan, Yuna., dkk,.(2012). Laporan Analisis Anggaran Daerah 2008-2011: Temuan-Temuan Hasil Studi Pengelolaan Anggaran di 20 Kabupaten/ Kota Partisipan Program KINERJA. The Asia Foundation – Seknas FITRA. Jakarta. Hasbullah. (2015). Kebijakan Pendidikan, Jakarta; Raja Grafindo. http://www.antaranews.com/berita/395235/184-ribu-anakberkebutuhan-khusus-belum-nikmati-pendidikan http://www.budhii.web.id/2015/05/pengertian-pendidikaninklusi.html https://fuadinotkamal.wordpress.com/2011/04/12/pendidikaninklusif/ http://www.pokjainklusifbojonegoro.com/about-us/apa-itupendidikan-inklusif http://sekolah-mandiri.sch.id/node/18
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
NEW Indonesia, Bina Swadaya Konsultan, LP3ES. (2014). Hasil Studi Kebutuhan Pendidikan 12 Tahun di Indonesia. Jakarta. NEW Indonesia (2015), Bahan Presentasi Pendidikan 12 tahun di Komisi 10 tentang Pendidikan, tidak diterbitkan. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Tahun 20152019. Prayitno, Hadi,. (2015). “Polemik Kebijakan Ujian Nasional dan Kurikulum 2013”; dipresentasikan dalam Diskusi Tematik tentang Kurikulum 2013 dan Ujian Nasional, yang diselenggarakan oleh Yayasan Pembinaan Anak dan Remaja Indonesia (YAPARI) dan NEW Indonesia pada 26 Februari 2015 Prayitno, Hadi,. (2015). Analisis Anggaran Pendidikan 16 Kabupaten dan 4 Kota tahun 2010 – 2014 (Tidak Dipublikasikan). Mei, 2015 P3M (2014), Laporan Workshop Pendidikan Inklusi, tidak diterbitkan. Republik Indonesia, Sekretariat Kabinet. (2015). Peraturan Presiden Nomor 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015 – 2019 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015). Jakarta, Januari. Republik Indonesia, Sekretariat Kabinet. (2015). Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2015 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2015). Jakarta, Maret.
148
DAFTAR PUSTAKA
Republik Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2015). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 tahun 2015 tentang Rencana Strategis 20152019 (Berita Negara Republik Indonesia Nomor 923 tahun 2015). Jakarta, Juni. Rusdiana (2015). Kebijakan pendidikan dari filosofis ke Implemetasi, Bandung; Pustaka Setia. Sunaryo. (2009), Makalah Manajemen Pendidikan Inklusif Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Zamroni, Prof., Ph.D., dkk. (2010). Laporan Hasil Studi Estimasi Anggaran Pendidikan Dasar melalui Penghitungan Unit Cost Guna Mewujudkan Pendidikan Terjangkau di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
149
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
150
Tentang Penulis dan Editor
Achmad Ikrom adalah sarjana Hauzah Ilmiyah Qum Iran (2005-2007) dan sedang menyelesaikan Pasca Sarjana Jurusan Komunikasi Dakwah Universitas Syafi’iah (UIA) Jakarta. Saat ini menjadi Dosen di STAINU Jakarta dan menjadi pengajar di beberapa pesantren. Selain itu, juga sebagai aktivis dialog antar agama dan sering mengisi seminar-seminar tentang pendidikan dan anak. Ia juga aktif di Organiasi keagamaan sebagai Katib Syuriah PCNU Kab Bogor (2015-2019). Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected] Achmad Taufik, mulai mengeluti dunia anggaran sejak masih duduk di bangku kuliah di semester akhir. Sejak 2009 hingga Oktober 2015, aktif di Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA). Penulis selalu terlibat dalam analisis anggaran, baik level APBN maupun APBD dalam kajian dan penelitian anggaran yang dilakukan oleh FITRA, baik sebagai peneliti maupun sebagai analis data. Sektor anggaran yang digeluti adalah pendidikan, kesehatan, infrastruktur (pekerjaan umum), kemiskinan, pemberdayaan perempuan, dan terakhir anggaran yang berkaitan dengan perubahan iklim dan keterbukaan informasi. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected] Doni Koesoema A. Adalah pemerhati pendidikan, penulis buku dan pengembang pendidikan karakter utuh dan menyeluruh dalam konteks keindonesiaan, alumnus Boston College Lynch School of Education Boston, USA, dengan spesialisasi Curriculum and Instruction. Ia mendalami pedagogi pengembangan profesional dan spiritualitas di Universitas Gregoriana dan Salesiana, Roma, Italia. Ia banyak menulis artikel pendidikan di harian nasional Kompas, Media Indonesia dan Sinar Harapan. Buku yang telah diterbitkan antara lain, Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, edisi revisi (Grasindo, 2015), Pendidik Karakter di Zaman Keblinger, Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik Karakter, Edisi Revolusi Mental (Grasindo, 2015), Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh, edisi revisi (Kanisius, 2015), Strategi Pendidikan Karakter dalam Lembaga Pendidikan (Kanisius, 2015). Ia menjadi pendiri dan direktur Pendidikan Karakter Education Consulting (www.pendidikankarakter.org). Doni dapat dihubungi di email:
[email protected] Febri Hendri AA adalah aktivis antikorupsi yang tergabung dalam ICW (Indonesia Corruption Watch). Saat ini, dia bergabung dalam divisi Investigasi. Sebelumnya, pada tahun 2010 Febri Hendri berada pada divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW yang fokus pada permasalahan pelayanan pendidikan dan kesehatan. Pengalaman menangani masalah dan kebijakan pendidikan menjadikannya memahami seluk beluk pendidikan mulai dari kebijakan ditingkat nasional sampai pada masalah pendidikan ditingkat provinsi, kabupaten/kota, sekolah bahkan guru dan orang tua murid. Saat ini, Febri Hendri bergabung dengan KMSTP (Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Pendidikan) yang berisikan CSO (Civil Society Organization) yang peduli dengan isu pendidikan. Penulis dapat dihubungi melalui email: febri_
[email protected]
PETA JALAN PENDIDIKAN 12 TAHUN DI INDONESIA
Hadi Prayitno, Lahir di Tuban, 21 Februari 1982. Merupakan alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Pernah bekerja di Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) tahun 2009-2015. Mengikuti program-program di tingkat international yaitu: (1) International Workshop and Exchange Programme on Social Audit. SSAAT – Department of Rural Development, Government of Andhra Pradesh, India 2011; (2) Strategic Management and Leadership yang diselenggarakan oleh Harvard Kennedy School of Executive Education di University of Navara, Madrid – Spain tahun 2012; (3) Asian Regional Conference on Social Accountability in Municipal Governance. Held by PRIA India, SILAKA Cambodia and PRIP Trust Bangladesh, Phnom Penh, Cambodia, 2013; (4) Budget Advocacy and Monitoring Workshop for CSOs in Southeast Asia Countries. Held by International Budget Partnership and The Ford Foundation, Jakarta, Indonesia, 2013; (5) Regional Technical Workshop on Climate Responsive Budgeting. Held by UNDP – IBP – Sweden Embassy and UKAid in Bangkok, Thailand on 2014; dan (6) International Workshop on The Role of Think Tank in Policy Making. Held by Shanghai Academy of Social Sciences (SASS) and School of Public Policy and Management (SPPM), Tsinghua University – KSI Indonesia, Shanghai and Beijing on May 2015 Ridwan Darmawan, sejak Mahasiswa aktif di organisasi kemahasiswaan ekstra kampus, PMII, Keluarga Mahasiswa UIN Jakarta, Forum Kota, Sanggar Altar, Forum Studi Academia Ciputat. Aktif menulis di Media internal UIN “Fajar Baru Indonesia” (FBI). Selepas kuliah, ia melanjutkan aktivitas di PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia) 2004 - 2007, lalu mendirikan organisasi IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice) 2007. Saat ini (2014-2017) menjadi Ketua Eksekutif IHCS. Sebagai anggota PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia), ia juga aktif sebagai Ketua Bidang Pengkajian dan Penelitian Hukum pada Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) 2014-2019. Dan hingga kini aktif membela hak-hak Konstitusional warna negara di Mahkamah Konstitusi (MK) dan di ranah advokasi lainnya. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected] Rohidin Sudarno, saat ini aktif di PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional) sebagai Senior Adviser. Berpengalaman lebih dari 15 tahun di lembaga swadaya masyarakat dalam berbagai isu, seperti kemiskinan, kebijakan dan pelayanan public, dan anggaran daerah dan nasional. Memiliki pengalaman dalam desain riset, manajemen keuangan dan mengorganisir komunitas. Penulis juga banyak terlibat dalam beberapa pelatihan di tingkat internasional, di antaranya: Training A Regional Forum on Procurement Monitoring as a Social Accountability Tool Advancing Citizens’ Engagement with Government, Affiliated Network for Social Accountability in East Asia and the Pacific (Hong Kong, 2009), Training of Social Audit (India, 2011), Workshop and Working Meeting Integrity and Accountability Method (Washington DC and New York, USA, 2012). Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected] Supangat Rohani, lebih dari 15 tahun berdedikasi di dunia pendidikan, mulai mengajar dari Guru kursus bahasa inggris di Yogyakarta hingga Direktur Perguruan Islam Al Syukro Universal Dompet Dhuafa Jakarta, dengan latar pendidikan formal S1 & S2 di (UIN) Sunan Kalijaga dan S2 lagi di UGM Yogyakarta dan S3 di UPI Bandung, pengalaman lainnya seperti short course pendidikan di McGill University, Canada & Sydney University, Australia, serta pendampingan siswa di event internasional seperti Turkey, Malaysia, Singapura dan Thailand. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]
152