PESANTREN DAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB DI INDONESIA Ahmad Bangun Nasution Dosen Tetap Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN - SU Jl. Willem Iskandar Psr. V Medan Estate, 20371
ﻻ ﳝﻜﻦ ﺍﻹﻧﻜﺎﺭ ﺃﻥ ﻣﺴﺎﳘﺔ ﺍﳌﻌﺎﻫﺪ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﰲ ﺗﻄﻮﻳﺮ ﺗﺪﺭﻳﺲ ﺍﻟﻠﻐﺔ:ﲡﺮﻳﺪﻱ ﻭﻟﻜﻦ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﳌﺴﺎﳘﺔ ﺍﻟﻘﺪﳝﺔ. ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﰲ ﺍﻟﻮﻃﻦ ﻳﻜﻮﻥ ﺑﺸﻜﻞ ﻛﺒﲑ ﺟﺪﺍ ﺘﻤﻌﺎﺕ ﺍﻻﻧﺪﻭﻧﻴﺴﻲﺍﳌﺸﺎﺭﻛﺔ ﰲ ﺗﻄﻮﻳﺮ ﺗﻌﻠﻴﻢ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻟﻌﺮﺑﻴﺔ ﻓﺈﻥ ﻣﺼﻠﺤﺔ ﳌﻌﻈﻢ ﺍ ﻫﺬﺍ ﻣﺎ ﻳﺮﻳﺪ ﺍﻟﻜﺎﺗﺐ. ﻭﻣﺎ ﻫﻲ ﺍﻷﺳﺒﺎﺏ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻘﻀﻴﺔ. ﻻ ﻳﺰﺍﻝ ﻣﻨﺨﻔﻀﺎ .ﺗﻘﺪﳝﻬﺎ ﰱ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻜﺘﺎﺑﺔ Abstrak: Tidak bisa dipungkiri bahwa kontribusi lembaga pendidikan pesantren terhadap perkembangan pembelajaran bahasa Arab di tanah Air sangatlah besar. Namun dari sekian lama pesantren berkiprah dalam mengembangkan pembelajaran bahasa Arab tersebut minat dan motivasi kebanyakan masyarakat Muslim Indonesia terhadap bahasa Arab masih sangat rendah. Apa yang menyebabkan hal itu terjadi. Ini lah yang ingin diuraikan dalam tulisan ini. Kata Kunci: Pendidikan, Pendidikan Islam, Pesantren, Bahasa Arab, Kitab Kuning A. Pendahuluan asalah pendidikan merupakan masalah yang sangat penting dalam kehidupan. Bukan saja sangat penting, bahkan masalah pendidikan sama sekali tidak dapat dipisahkan dari kehidupan baik dalam kehidupan keluarga, maupun dalam kehidupan bangsa dan negara. Maju mundurnya suatu bangsa sebagian besar ditentukan oleh maju mundurnya pendidikan negara itu. (Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, 1991: 98).
M
Dalam GBHN (Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978), berkenaan dengan pendidikan dikemukakan antara lain sebagai berikut : “Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan didalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat.
170
Ahmad Bangun Nasution: Pesantren dan Pendidikan Bahasa Arab ...
Karena itu pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah.” Tanggung jawab pendidikan diselenggarakan dengan kewajiban mendidik. Secara umum mendidik ialah membantu anak didik di dalam perkembangan dari daya-daya dan didalam penetapan nilai-nilai. Bantuan atau bimbingan itu dilakukan dalam pergaulan antara pendidik dan anak didik dalam situasi pendidikan yang terdapat dalam lingkungan rumah tangga, sekolah maupun masyarakat. (Daradjat, dkk., 1996: 34). Pendidikan merupakan suatu proses persiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan menemukan tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Ki Hajar Dewantara, tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, menyatakan yang dinamakan pendidikan pada umumnya, berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan bathin), pikiran (intelek), dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya. Secara lebih filosofis M. Nasir dalam tulisannya Idiologi Pendidikan Islam menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu pimpinan jasmani dan rohani menuju kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya. Marimba menyatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama. (Ahmad Tafsir, 1994: 24). Lebih jelas lagi, Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 memberikan pengertian bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. B. Pendidikan Islam dan Perkembangan di
Indonesia Pengertian pendidikan secara umum yang kemudian dihubungkan dengan Islam sebagai suatu sistem keagamaan menimbulkan pengertian-pengertian baru, yang secara empiris menjelaskan karakteristik-karekteristik yang dimilikinya.
171
ء ا
إ: Vol. II No. 2 Juli – Desember 2012
Pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam dalam konotasi istilah at tarbiyyah, at ta’lim, at ta’dib, dan ar riyadlah yang harus dipahami secara bersama-sama. Setiap istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda, karena perbedaan teks dan konteks kalimatnya, walaupun dalam hal-hal tertentu, istilah-istilah tersebut mempunyai kesamaan. Dari hasil penelaahan terhadap leksikologi Al Qur’an tidak dijumpai istilah at tarbiyah, tetapi ada juga istilah ar rabb, rabbayani (Q.S. Al Isra’: 24), nurabbi (Q.S. Asy Syu’ara: 18), rabbaniyin dan ribbiyun (Q.S. Ali Imron: 79 dan 146). Firman Allah SWT :
ﺎﻧﹺﻲﻴﺑﺎ ﺭﺎ ﻛﹶﻤﻤﻬﻤﺣﺏﹺّ ﺍﺭﻗﹸﻞﹾ ﺭ ﻭﺔﻤﺣ ﺍﻟﺮﻦﺡ ﺍﻟﺬﱡﻝﹺّ ﻣ ﺎﻨﺎ ﺟﻤ ﻟﹶﻬﺾﻔﺍﺧﻭ ﺍﲑﻐﺻ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil". (QS. Al Isra (17): 24).
(١٨) ﻨﹺﲔ ﺳﺮﹺﻙﻤ ﻋﻦﺎ ﻣﻴﻨ ﻓﻟﹶﺒﹺﺜﹾﺖﺍ ﻭﻴﺪﻟﺎ ﻭﻴﻨ ﻓﺑﹺّﻚﺮ ﻧﻗﹶﺎﻝﹶ ﺃﹶﻟﹶﻢ “Fir'aun menjawab: "Bukankah kami Telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu”. (QS. Asy Syu’araa (26): 18).
ﻮﺍﺎﺱﹺ ﻛﹸﻮﻧﻠﻨﻳﻘﹸﻮﻝﹶ ﻟ ﺓﹶ ﺛﹸﻢﻮﺒﺍﻟﻨ ﻭﻜﹾﻢﺍﻟﹾﺤ ﻭﺎﺏﺘ ﺍﻟﹾﻜ ﺍﻟﻠﱠﻪﻪﻴﺗﻳﺆ ﺮﹴ ﺃﹶﻥﹾﺸﺒﺎ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻟﻣ ﺎﺑﹺﻤ ﻭﺎﺏﺘﻮﻥﹶ ﺍﻟﹾﻜّﻤﻠﻌ ﺗﻢﺘﺎ ﻛﹸﻨ ﺑﹺﻤﺎﻧﹺﻴﹺّﲔﺑﻮﺍ ﺭ ﻛﹸﻮﻧﻦﻟﹶﻜ ﻭ ﺍﻟﻠﱠﻪﻭﻥ ﺩﻦﻲ ﻣﺍ ﻟﺎﺩﺒﻋ (٧٩) ﻮﻥﹶﺳﺭﺪ ﺗﻢﺘﻛﹸﻨ “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia Berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (Dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, Karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”. (QS. Ali Imron (3): 79).
172
Ahmad Bangun Nasution: Pesantren dan Pendidikan Bahasa Arab ...
ﺒﹺﻴﻞﹺ ﺍﻟﻠﱠﻪﻲ ﺳ ﻓﻢﻬﺎﺑﺎ ﺃﹶﺻﻟﻤ ﻮﺍﻨﻫﺎ ﻭ ﻓﹶﻤﲑﻮﻥﹶ ﻛﹶﺜ ﺭﹺﺑﹺّﻴﻪﻌﻞﹶ ﻣ ﻗﹶﺎﺗﺒﹺﻲ ﻧﻦ ﻣﻛﹶﺄﹶﹺّﻳﻦﻭ (١٤٦) ﺎﺑﹺﺮﹺﻳﻦ ﺍﻟﺼﺐﻳﺤ ﺍﻟﻠﱠﻪﻮﺍ ﻭﻜﹶﺎﻧﺘﺎ ﺍﺳﻣﻔﹸﻮﺍ ﻭﻌﺎ ﺿﻣﻭ “Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah Karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar”. (QS. Ali Imron (3): 146). Apabila at tarbiyah diidentikkan dengan bentuk madlinya rabba dan bentuk mudlarinya yurabbi, maka at tarbiyah mempunyai arti mengasuh, menanggung, memberi makna, mengembangkan, memelihara, membesarkan, mempertumbuhkan, memproduksi, dan menjinakkan. (Al-Attas, 1988: 66). Terlepas dari pengertian at tarbiyah sebagaimana tersebut di atas, dapat diasumsikan bahwa formulasi hakikat pendidikan Islam tidak lepas begitu saja dari ajaran Islam yang tertuang dalam al Qur’an dan as Sunnah, karena kedua sumber tersebut merupakan pedoman otentik dalam penggalian khazanah keilmuan apapun. Dengan berpijak pada kedua sumber itu diharapkan akan diperoleh gambaran yang jelas tentang hakikat pendidikan Islam. Sedangkan kata ta’dib sebagai suatu kata yang berhubungan dengan adab menurut Syekh Muhammad Naguib al Attas, mencakup tidak hanya intruksi (ta’lim), dan gagasan untuk pemeliharaan, pembesaran dan pengembangan (tarbiyah), tetapi juga pengetahuan (‘ilm). Pendidikan dalam pandangan al Attas, merupakan keterpaduan antara intelektual dan pelatihan moral yang menghubungkan kemampuan fisik dan mental. (Sukmawan, Vol. 1 Jilid 3, Oktober – Nopember 2005: 73). Disamping keempat kata diatas, menurut Abudin Nata, kata pendidikan juga diwakili oleh kata tadris, tadzkiyah, dan tadzkirah yang secara keseluruhan menghimpun kegiatan yang terdapat dalam pendidikan yaitu membina, memelihara, mengajarkan, menyucikan jiwa dan mengingatkan manusia terhadap hal-hal yang baik. (Nata, 2007: 9). Lebih lanjut M. Yusuf al-Qardawi memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan
173
ء ا
إ: Vol. II No. 2 Juli – Desember 2012
keterampilannya. Karena itu pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya. Hasan Langgulung merumuskan, pendidikan Islam sebagai suatu proses menyiapkan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat. (Azra, 1999: 4). Kalau kita melihat pengertian pendidikan Islam, akan terlihat dengan jelas sesuatu yang diharapkan terwujud setelah orang mengalami pendidikan Islam secara keseluruhan yaitu: kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi insan kamil dengan pola taqwa. Insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena takwanya kepada Allah SWT. Ini mengandung arti bahwa pendidikan Islam itu diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya serta senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam dalam berhubungan dengan Allah SWT dan dengan manusia sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan hidup di dunia dan akhirat nanti. (Daradjat, dkk., 1996: 29). Pengertian pendidikan secara umum ataupun pendidkan Islam pada khususnya seperti yang dijabarkan oleh para ahli pendidikan diatas sesuai dengan Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab II Pasal 3) bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Adapun tugas pendidikan Islam itu sendiri bersifat sinambung atau kontinyu dan tanpa batas. Hal ini karena hakikat pendidikan Islam merupakan proses tanpa akhir sejalan dengan yang ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah SWT dalam al Qur’an:
174
Ahmad Bangun Nasution: Pesantren dan Pendidikan Bahasa Arab ...
(٩٩) ﲔﻘ ﺍﻟﹾﻴﻚﻴﻳﺄﹾﺗ ﻰﺘ ﺣﻚﺑ ﺭﺪﺒﺍﻋﻭ “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)”. (Q.S. Al Hijr (15): 99) Menurut Hasan Langgulung (dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (ed.), 1989: 159) menyatakan, minimal ada tiga tugas pendidikan Islam, yaitu pengembangan potensi, pewarisan budaya, dan interaksi antara potensi dan budaya. Semunya itu bertujuan untuk menghambakan diri kepada Allah SWT sebagaimana digambarkan dalam firman-Nya:
(١٦٢) ﲔﺎﻟﹶﻤﺏﹺّ ﺍﻟﹾﻌ ﺭﻠﱠﻪﻲ ﻟﺎﺗﻤﻣ ﻭﺎﻱﻴﺤﻣﻲ ﻭﻜﺴﻧﻲ ﻭﻼﺗﻗﹸﻞﹾ ﺇﹺﻥﱠ ﺻ “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S Al An’am (6): 162). Oleh karena itu, menurut Ibnu Khaldun, tujuan pendidikan Islam berorientasi ukhrawi dan duniawi. Tujuan yang berorientasi ukhrawi yaitu membentuk seorang hamba agar melakukan kewajiban kepada Allah, sedangkan tujuan yang berorientasi duniawi yaitu membentuk manusia yang mampu menghadapi segala bentuk kehidupan yang lebih layak dan bermanfaat bagi orang lain. Kalau kita urut secara terperinci dengan mengacu pada pendapat Syuhud (2004) maksud dan tujuan pendidikan Islam setidaknya mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Memberikan pengajaran al Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan. 2. Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaranajaran fundamental Islam yang terwujud dalam al Qur’an dan as Sunnah dan bahwa ajaran-ajaran ini bersifat abadi. 3. Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan dalam masyarakat. 4. Menanamkan pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis iman dan Islam adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang. 5. Menciptakan generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun dalam ilmu pengetahuan.
175
ء ا
إ: Vol. II No. 2 Juli – Desember 2012
6. Mengembangkan manusia Islami yang berkualitas tinggi yang diakui secara universal. (Vol. 1 Jilid 3, Oktober – Nopember 2005 :75). Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam laksana mata uang yang mempunyai dua muka, pertama, sisi keagamaan yang merupakan wahyu Ilahi dan sunnah Rasul, yang berisikan hal-hal mutlak dan berada di luar jangkauan indera dan akan keterbatasan akal dan indera. Disini wahyu dan sunnah berfungsi memberikan petunjuk dan mendekatkan jangkauan indera dan akal budi manusia untuk memahami segala hakekat kehidupan. Kedua, sisi pengetahuan berisikan hal-hal yang mungkin dapat diindera dan diakali, berbentuk pengalamanpengalaman faktual maupun pengalaman fikir, baik yang berasal dari wahyu dan sunnah maupun dari para pemeluknya (kebudayaan). Sisi pertama, lebih menekankan pada kehidupan akhirat dan sisi kedua lebih menekankan pada kehidupan dunia. Kedua sisi tersebut selalu diperhatikan dalam setiap gerak dan usahanya. Karena memang pendidikan Islam mengacu kepada kehidupan dunia dan ukhrawi. (Anwar, Vol. 1 Jilid 3, Oktober-Nopember 2005: 63) Selanjutnya, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menetapkan jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya dan ketiga jalur pendidkan tersebut diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh. Pendidikan formal merupakan jalur pendidikan yang terstrukutur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sedangkan pendidikan nonformal merupakan jalur pendidikan diluar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Kemudian dalam Bab VI pasal 17 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi pendidikan menengah. Pendidikan dasar ini berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat. Dari
176
Ahmad Bangun Nasution: Pesantren dan Pendidikan Bahasa Arab ...
pengertian ini dapat kita pahami bahwa pendidikan dasar menjadi Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 (Sembilan) Tahun, yakni 6 tahun SD/MI/bentuk lain yang sederajat dan 3 tahun SMP/MTs/bentuk lain yang sederajat. (Anwar, Vol. 1 Jilid 3, Oktober-Nopember 2005: 63) Selain melalui jalur pendidikan formal, pendidikan dasar ini dapat juga ditempuh melalui pendidikan nonformal. Berdasarkan UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 pasal 26 ayat (4) satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majlis taklim, serta satuan pendidikan sejenis. Di lihat dari segi program serta praktek-praktek pendidikan yang dilaksanakan pendidikan Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi 4 jenis : 1. Pendidikan Pondok Pesantren ialah Pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional, bertolak dari pengajaran Qur’an dan Hadits, dan merancang segenap kegiatan pondokannya untuk mengajarkan kepada para siswa Islam sebagai cara hidup way of life; 2. Pendidikan Madrasah ialah pendidikan Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan model barat, yang mempergunakan metode pengajaran klasikal, dan berusaha menanamkan Islam sebagai landasan hidup kedalam diri para siswa; 3. Pendidikan Umum yang bernafaskan Islam ialah pendidikan Islam yang dilakukan melalui pengembangan suasana pendidikan yang bernafaskan Islam di lembaga-lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum; 4. Pelajaran Agama Islam yang diselenggarakan di lembagalembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja. (Boehory, 1989: 184). Berbicara tentang ppertumbuhan dan perkembangan pusat kegiatan belajar masyarakat pada point satu (pesantren) diatas tidak terlepas hubungannya dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Pendidikan Islam di Indonesia bermula ketika orang-orang yang masuk Islam ingin mengetahui lebih banyak isi ajaran agama yang
177
ء ا
إ: Vol. II No. 2 Juli – Desember 2012
baru dipeluknya, baik mengenai tata cara beribadah, baca al Qur’an, dan mengetahui Islam yang lebih luas dan mendalam. Mereka belajar di rumah, surau, langgar atau mesjid. Di tempat-tempat inilah mereka mempelajari Islam secara individual dan langsung. (Tim Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam/Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, 2004:1) Dalam perkembangannya untuk lebih memperdalam ilmu agama telah mendorong tumbuhnya pesantren yang merupakan tempat untuk melanjutkan belajar agama setelah tamat belajar di surau, langgar, atau mesjid. Model pendidikan pesantren ini berkembang di seluruh Indonesia dengan nama dan corak yang sangat bervariasi. Di Jawa disebut Pondok Pesantren, di Aceh dikenal Rangkang, dan di Sumatera Barat dikenal Surau. (Tim Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam/Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, 2004:1) Keberadaan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, telah tumbuh dan berkembang sejak masa penyiaran Islam dan telah banyak berperan dalam mencerdaskan kehidupan masayarakat. Sejarah perkembangan pondok pesantren menunjukan bahwa lembaga ini tetap eksis dan konsisten menjalankan fungsinya sebagai pusat pengajaran ilmu-ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin) sehingga dari pesantren lahir para kader ulama, guru agama, muballigh yang sangat dibutuhkan masyarakat. Sejak awal pertumbuhannya, fungsi utama pondok pesantren adalah : (1) menyiapkan santri mendalami dan menguasai ilmu agama, yang diharapkan mencetak kader-kader ulama dan turut mencerdaskan masyarakat Indonesia. Kemudian diikuti tugas (2) dakwah menyebarkan agama Islam dan (3) benteng pertahanan umat dalam akhlak. Sejalan dengan fungsi hal ini, materi yang diajarkan dalam pondok pesantren semuanya terdiri dari materi agama yang diambil dari kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab. (Tim Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam/Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, 2004:3) Pada awal berdirinya, pesantren merupakan media pembelajaran yang sangat simple. Tidak ada klasifikasi kelas, tidak
178
Ahmad Bangun Nasution: Pesantren dan Pendidikan Bahasa Arab ...
ada kurikulum juga tidak ada aturan yang baku didalamnya. Sebagai media pembelajaran keagamaan, tidak pernah ada kontrak atau permintaan santri kepada kyai untuk mengkaji sebuah kitab, apalagi mengatur secara terperinci materi-materi yang hendak diajarkan. Semuanya bergantung pada kyai sebagai poros sistem pembelajaran pesantren. Mulai dari jadwal, metode bahkan kitab yang hendak diajarkan, semua merupakan wewenang seorang kyai secara penuh. Tidak seperti lembaga pendidikan lain yang melakukan perekrutan siswa pada waktu-waktu tertentu, pondok pesantren selalu membuka pintu lebar-lebar untuk para calon santri kapanpun juga. Tak hanya itu, pondok pesantren juga tidak pernah menentukan batas usia untuk siswanya. Siapapun dan dalam waktu kapanpun yang berkeinginan memasuki pondok pesantren, maka kyai akan welcome saja. Realitas ini, mengacu pada pengertian harfiyah suatu hadits Nabi ”Uthlub al ‘ilma min al mahdi ila al lahdi” (tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai ke liang lahat), maka bagi kalangan pesantren, pendidikan sesungguhnya merupakan kewajiban sepanjang hayat (life long education). Dua model pembelajaran yang terkenal waktu itu adalah model sistem pembelajaran wetonan dan sorogan. Sistem pengajian wetonan/bandongan adalah pengajian yang dilakukan oleh seorang kyai yang diikuti oleh santrinya dengan tidak ada batas umur atau ukuran tingkatan kecerdasan, sedangkan sistem pengajian sorogan dilakukan satu per satu, dimana seorang santri akan maju satu per satu dan membaca kitab dihadapan kyai untuk dikoreksi kebenarannya. (Haedari, 2004: 80). Kelemahan dari sistem klasikal ini adalah tidak adanya penjenjangan yang jelas dan tahapan yang harus diikuti oleh santri. Juga tidak ada pemisahan antara santri pemula dan santri lama, bahkan beberapa kyai sering mengulang-ulang satu kitab kuning saja di pesantren. Semisal setelah mengkaji Tafsir Al Jalalain selesai, maka akan dimulai lagi pengajian kitab yang sama dari awal, begitu seterusnya. Akibatnya tidak ada ukuran yang jelas dan bisa digunakan untuk mengembangkan kemampuan santrinya. (Haedari, 2004: 82). Seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan di pondok pesantren juga mengalami pembaruan dan pengembangan
179
ء ا
إ: Vol. II No. 2 Juli – Desember 2012
khususnya kurikulum dan metode pembelajarannya. Sebagian pesantren telah mengakomodasi program pendidikan madrasah atau sekolah, dan sebagian lagi tetap mempertahankan pola pendidikan khas pesantren yang telah lama berlaku di pesantren, baik kurikulum maupun metode pembelajarannya. (Tim Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam/Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, 2004: 2). Pendidikan di pondok pesantren dewasa ini telah mendapatkan perhatian yang sama oleh pemerintah terutama Departemen Agama. Sebelum keluarnya SK Menag No. 1 Tahun 2001, pondok pesantren hanya dikelola oleh satu Subdit di Direktorat Perguruan Agama Islam. Saat ini telah menjadi Direktorat tersendiri yaitu Direktorat Keagamaan dan Pondok Pesantren (Ditpekapontren). Yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan pondok pesantren secara optimal kepada masyarakat, khususnya dibidang ta’lim, ubudiyah dan muamalah. Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa salah satu tugas negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itu, setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan pendidikan yang layak sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan. Untuk melaksanakan amanat tersebut dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan. Secara mandiri dan kreatif, pondok pesantren salafiyah pada hakikatnya telah banyak pula membantu tuntasnya program Wajib Belajar Pendidikan Dasar. Cukup banyak alumni pondok pesantren salafiyah, yang meskipun secara resmi tidak memiliki ijazah sekolah umum SD maupun SLTP, tetapi memiliki kompetensi yang kadang justru jauh lebih baik. Mereka mampu menguntai kata dan kalimat dengan sangat baik sesuai dengan kaidah tata bahasa yang berlaku dan memperlihatkan ketajaman penalaran yang baik. Bahkan mereka terkadang juga mampu memiliki kemampuan berbahasa internasional yang lebih baik dari alumni sekolah umum.
180
Ahmad Bangun Nasution: Pesantren dan Pendidikan Bahasa Arab ...
Meskipun berbagai pola pendidikan dasar telah diselenggarakan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat mengikuti pendidikan dasar, belum seluruh anak pada usia pendidikan dasar 7 – 15 tahun mendapat kesempatan memperoleh pendidikan dasar, diantaranya adalah santri yang berada pada pondok pesantren salafiyah. Tidak kurang dari 480.000 santri berusia 7-15 tahun pada pondok pesantren salafiyah yang tidak tamat atau tidak tidak mengikuti pendidikan dasar baik jalur pendidikan sekolah SD/MI, SLTP/MTs, maupun jalur pendidikan luar sekolah seperti program Paket A dan Paket B. (Tim Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam/Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, 2004: 4). Peran pondok pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin dan pengembangan masyarakat ini sudah mendapat pengakuan yang memadai, tetapi peran sebagai pola pendidikan dasar belum mendapat perhatian pemerintah yang proporsional. Selama ini pondok pesantren belum memperoleh pengakuan sebagai pola penyelenggara wajib belajar pendidikan dasar, sehingga lulusannya tidak memiliki kesempatan untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi serta tidak memperoleh hak-hak untuk bekerja. Sebenarnya sejak pencanangannya pada tahun 1994, pondok pesantren telah ditetapkan sebagai salah satu pola pendidikan dasar, tetapi baru pada tahun 2000 program pendidikan dasar di pondok pesantren tersebut memperoleh bentuknya dan mulai terselenggara melalui program wajib belajar pada pondok pesantren salafiyah. (Tim Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam/Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, 2004:4). Dalam rangka meningkatkan peran pondok pesantren salafiyah sebagai lembaga pendidikan masyarakat, serta untuk membuka kesempatan bagi para santri yang ingin menuntut ilmu ke jenjang yang lebih tinggi, telah dilakukan kesepakatan bersama antara Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama melalui Surat Keputusan Bersama Nomor : 1/U/KB/2000 dan Nomor : MA/86/2000 tentang Pondok Pesantren Salafiyah Sebagai Pola Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Kesepakatan tersebut telah ditindaklanjuti dengan Keputusan Bersama Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama dengan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
181
ء ا
إ: Vol. II No. 2 Juli – Desember 2012
Departemen Pendidikan Nasional Nomor: E/83/2000 dan Nomor: 166/C/kep/DS/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pondok Pesantren Salafiyah Sebagai Pola Wajib Belajar Pendidikan Dasar. Dengan kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan peran pondok pesantren dalam penuntasan wajib belajar pendidikan dasar. Dalam tatanan filosofis, kesepakatan bersama tersebut menarik untuk dikaji karena ia bersentuhan dengan pondok pesantren salafiyah, yang notabene tercitrakan selama ini sebagai institusi pendidikan Islam yang tradisional dengan sistem nilainya yang unik dan sering dipersepsikan sebagai ekslusif, dan tidak mudah menerima perubahan. Apalagi jika perubahan itu dapat mengusik otoritas pesantren itu sendiri dari dalam, termasuk yang datang dari pemerintah, sebab selama ini kepemimpinan di pondok pesantren salafiyah relatif mandiri dan tidak terkooptasi oleh kekuatan manapun. Dan di sisi lain pemerintah (dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional RI dan Departemen Agama RI) sepakat menjadikan pondok pesantren salafiyah sebagai pola wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Dan ini berarti pengakuan secara formal akan eksistensi pondok pesantren salafiyah dan akan posisi dan perannya yang strategis. Bahkan lebih dari itu, dalam pasal 3 ayat 3 kesepakatan bersama tersebut dinyatakan bahwa kedua departemen tersebut serta instansi terkait akan memberikan dukungan fasilitas terhadap pelaksanaan proses belajar mengajar di pondok pesantren salafiyah sebagai bagian dari program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. (Tim Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam/Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren, 2004:75). Pendataan pondok pesantren tahun 2005-2006 yang mencakup 33 propinsi diperoleh data sebanyak 16.015 pondok pesantren tersebar di seluruh Indonesia, yang terdiri dari 3.991 (24,9 %) pondok pesantren salafiyah, 3.824 (23,9 %) ashriyah/khalafiyah, dan 8.200 (51,2 %) pondok pesantren kombinasi. (Bagian Data dan informasi Pendidikan Sekretariat direktorat Jendera Pendidikan Islam, 2006: 21). Secara historis pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sangat erat kaitannya dengan kegiatan dakwah Islamiyah. Pendidikan Islam berperan sebagai mediator dimana ajaran Islam dapat disosialisasikan kepada masyarakat dalam
182
Ahmad Bangun Nasution: Pesantren dan Pendidikan Bahasa Arab ...
berbagai tingkatannya. Melalui pendidikan inilah, masyarakat Indonesia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ketentuan Al Qur’an dan Al Sunnah. Sehubungan dengan itu tingkat kedalaman pemahaman, penghayatan dan pengamalan masyarakat terhadap ajaran Islam amat tergantung pada kualitas pendidikan Islam yang diterimanya. Pendidikan Islam tersebut berkembang setahap demi setahap hingga mencapai tahapan seperti sekarang ini. Bertolak dari kerangka tersebut, maka pendidikan Islam di Indonesia seringkali berhadapan dengan berbagai problematika yang tidak ringan. Diketahui bahwa sebagai sebuah sistem pendidikan Islam mengandung berbagai komponen yang antara satu dan lainnya saling berkaitan. (Sudirman, dkk. 1986: 65) Komponen pendidikan tesebut meliputi landasan, tujuan, kompetensi, dan profesionalisme guru, pola hubungan guru murid, metodologi pembelajaran, sarana dan pra sarana, evaluasi, pembiayaan, dan lain sebagainya. Berbagai komponen yang terdapat dalam pendidikan ini seringkali berjalan apa adanya, alami dan tradisional, karena dilakukan tanpa perencanaan konsep yang matang. Akibat dari keadaan demikian, maka mutu pendidikan Islam seringkali menunjukan keadaan yang kurang menggembirakan. (Nata: 2). Landasan dan dasar pendidikan Islam yaitu al Qur’an dan al Sunnah belum benar-benar digunakan sebagaimana mestinya. Hal ini akibat belum adanya sarjana atau pakar di Indonesia yang secara khusus mendalami pemahaman al Qur’an dan al Sunnah dalam perspektif pendidikan Islam. Ummat Islam belum banyak mengetahui tentang isi kandungan al Qur’an dan al Sunnah yang berhubungan dengan pendidikan secara baik. Akibatnya pelaksanaan pendidikan Islam belum berjalan diatas landasan dan dasar ajaran Islam itu sendiri. Sebagai akibat dari kekurangan tersebut diatas, maka tujuan dan visi pendidikan Islam juga masih belum berhasil dirumuskan dengan baik. Tujuan pendidikan Islam seringkali diarahkan untuk mewujudkan manusia-manusia yang shalih dalam arti yang taat beribadah dan gemar beramal untuk tujuan akhirat. Akibatnya dari keadaan yang demikian ini, maka lulusan pendidikan Islam hanya memiliki kesempatan dan peluang yang terbatas, yaitu hanya sebagai pengawal moral bangsa. Mereka kurang mampu bersaing
183
ء ا
إ: Vol. II No. 2 Juli – Desember 2012
dan tidak mampu merebut peluang dan kesempatan yang tersedia dalam memasuki lapangan kerja. Akibat lebih lanjut lulusan pendidikan Islam semakin termarginalisasikan dan tak berdaya. Keadaan yang demikian merupakan masalah besar yang perlu segera diatasi, lebih-lebih lagi jika dihubungkan dengan adanya persaingan yang makin kompetitif pada era globalisasi. Permasalah tersebut diatas, semakin diperparah oleh tidak tersedianya tenaga pendidik Islam yang profesional, yaitu tenaga pendidik yang selain menguasai materi ilmu yang diajarkan secara baik dan benar, juga harus mampu mengajarkannya secara efisien dan efektif kepada para siswa, serta harus pula memiliki idealisme. Para pendidik muslim secara umum belum dapat dikatakan profesional. Hal ini diakibatkan oleh adanya sumber daya pendidik yang rata-rata dibawah katergori bibit unggul, serta lebih didasarkan pada motivasi keagamaan, dan bukan kompetensi profesionalitas. Para pendidik muslim banyak yang berasal dari lembaga-lembaga non-keguruan. Mereka itu direkrut menjadi tenaga pendidik karena alasan kebutuhan atau alasan-alasan lain yang sifatnya jauh dari pertimbangan akademik dan kompetensi profesinal. Berbagai upaya untuk meningkatkan kompetensi profesionalitas pendidik melalui penataran, pelatihan, seminar, dan sebagainya masih belum menunjukan hasil yang diharapkan, mengingat berbagai kegiatan tersebut sering melenceng dari tujuan dan sasarannya. Upaya lainnya dilakukan untuk meningkatkan kualitas guru memalui program penyetaraan diploma yang diselenggarakan oleh Departemen Agama pada sepuluh tahun terakhir ini, juga belum banyak diharapkan mampu meningkatkan pengetahuannya serta kurang adanya dukungan sarana dan prasarana dan kualitas dan kuantitas para pengajaranya. Permasalahan lainnya yang dialami pendidikan Islam berkisar pada masalah metodologi pembelajarannya yang cenderung tradisional. Pembelajaran yang lebih mengarah peningkatan motivasi, kreatifitas, imajinasi, inovasi, dan etos keilmuan serta berkembangnya potensi si anak belum dapat dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan. Metode pengajaran selama ini banyak mengandalkan pada metode ceramah yang bermodalkan papan tulis dan kapur seadanya. Metode pembelajaran yang menggunakan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Quantum Teaching dan sebagainya belum banyak dikenal oleh para
184
Ahmad Bangun Nasution: Pesantren dan Pendidikan Bahasa Arab ...
guru, dan belum digunakan dalam proses belajar mengajar. Permasalahan kekurangan dalam penguasaan metodologi pembelajaran tersebut ditambah lagi dengan kurangnya sarana dan prasarana, biaya dan lain sebagainya. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang mumpuni, banyak harapan yang terpikul dalam pundak lembaga ini. Sebagai implikasinya, pesantren harus mengemban dua peran sekaligus, yaitu sebagai agen perubahan pewarisan budaya (agent of conservative) dan sebagai agen perubahan (agent of change). Hal ini dimungkinkan untuk dilaksanakan, karena mengingat kedudukan pesantren sebagaiaman dijelaskan diatas, bahwa ia berpijak diantara dua pijakan yaitu pijakan tradisi dan pijakan perubahan. Sebagai agen pewaris budaya, pesantren berperan sebagai pewaris budaya melalui pendidikan sistem nilai dan kepercayaan, pengetahuan dan norma-norma, serta adat kebiasaan dan berbagai perilaku tradisonal yang telah membudaya diwariskan pada suatu generasi ke generasi berikutnya. Dengan cara ini, kebudayaan dapat dilestarikan, meskipun para santri dan pengelolanya terus berganti, sedangkan kebudayaan dan sistem kepesantrenan tetap berlaku. Di pihak lain, pesantren berperan sebagai agen perubahan, yaitu adanya upaya membuang unsur budaya lama yang tidak cocok lagi dan perlu memasukan unsur budaya baru. (Adiwikarya, 1998: 58). Tegasnya lembaga pendidikan pesantren merupakan tempat sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai yang telah membudaya. Oleh karena itu, penetapan kurikulum lembaga pendidikan pesantren dan tujuannya didasarkan atas nilai-nilai pengetahuan serta aspirasi dan pandangan hidup yang berlaku dan dihormati masyarakat. (Wuradji, 1998: 26). Sama halnya dengan pusat kegiatan belajar lainnya baik yang menyelenggarakan pendidikan formal, informal maupun non formal maka keberhasilan pondok pesantren salafiyah sebagai pusat kegiatan belajar masyarakat ditentukan dengan pengelolaan atau lebih dikenal dengan manajemen yang baik. Sudah menjadi common sense bahwa pesantren lekat dengan figur kyai (Buya di Sumatera Barat, Ajengan di Jawa Barat, Bendoro di Madura, dan Tuan Guru di Lombok). Kyai dalam pesantren merupakan figur sentral, otoritatif dan pusat seluruh kebijakan dan perubahan. Hal ini erat kaitannya dengan dua faktor
185
ء ا
إ: Vol. II No. 2 Juli – Desember 2012
berikut, pertama, kepemimpinan yang tersentralisasi pada individu yang bersandar pada kharisma serta hubungan yang bersifat paternalistik. Kebanyakan pesantren menganut pola serba mono: Mono Manajemen dan Mono Administrasi sehingga tidak ada delegasi kewenangan ke unit-unit kerja yang ada dalam organisasi. Kedua, kepemilikan pesantren bersifat individual atau keluarga bukan komunal. Otoritas individu kyai sebagai pendiri sekaligus pengasuh pesantren sangat besar dan tidak bisa diganggu gugat. Faktor nasab (keturunan) juga kuat sehingga kyai bisa mewariskan kepemimpinan pesantren kepada anak yang dipercaya tanpa ada komponen pesantren yang berani memprotes. Sistem alih kepemimpinan seperti ini kerap kali mengundang sindiran bahwa pesantren laiknya kerajaan “kerajaan kecil”. (Masyhud, dkk., 2003: 15). Sejalan dengan penyelenggaraan pendidikan formal, memang beberapa pesantren mengalami perkembangan pada aspek menajemen, organisasi, dan administrasi pengelolaan keuangan. Dari beberapa kasus, perkembangan ini dimulai dari perubahan gaya kepemimpinan pesantren; dari kharismatik ke rasionalistik, dari otoriter-paternalistik ke diplomatic-partisipatif. Sebagai contoh kasus, kedudukan “Dewan Kyai” di pesantren Tebu Ireng menjadi bagian atau salah satu unit kerja kesatuan administrasi pengelolaan penyelenggaraan pesantren, sehingga pusat kekuasaan sedikit terdistribusi di kalangan elit pesantren dan tidak terlalu terpusat pada kyai. Sayangnya, perkembangan tersebut tidak merata di semua pesantren. Secara umum pesantren masih menghadapi kendala serius menyangkut ketersediaan sumber daya manusia profesional dan penerapan manajemen yang umumnya masih konvensional, misalnya masih kurang tenaga pengajar atau staf administrasi yang benar-benar kompeten di bidangnya, dan belum terdistribusinya peran pengelolaan pendidikan yang baik.
C. Pesantren dan Pembelajaran Bahasa Arab melalui Kitab Kuning Berbicara teks-teks keilmuan pesantren, tidak dapat dilepaskan dari khazanah teks-teks kitab kuning yang telah ditulis dalam rentang abad III sampai dengan abad X Hijriyah oleh ulama yang diyakini memiliki tingkat kesalehan dan kecerdasan yang
186
Ahmad Bangun Nasution: Pesantren dan Pendidikan Bahasa Arab ...
tidak akan pernah disamai oleh generasi sesudahnya. Kitab kuning adalah rujukan utama mayoritas -kalau tidak dikatakan semuanyamasyarakat pesantren untuk meyelesaikan persoalan kemanusiaan baik dalam bidang ubudiyah, mu’amalat, munakahat maupun siyasah. Kenyataan ini terlihat dengan jelas dalam forum-forum kajian ilmiah untuk membahas daftar-daftar pertanyaan umat yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga keagamaan khususnya ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama' dan Muhammadiyah. Nahdhatul Ulama` misalnya, memiliki forum ilmiah yang disebut dengan Bahtsul Masa’il yang bertujuan untuk merespon dan memberikan solusi atas problematika aktual yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Dalam forum tersebut teks-teks kitab kuning –terlebih-lebih kitab yang klasik dan mu'tamad selalu menjadi rujukan utama dan satu-satunya bagi para bahitsin (Peserta). Tidak boleh ada rujukan lain diluar itu, termasuk buku-buku yang tidak berbahasa arab apalagi hanya fathul lisan (asal buka mulut). Pendapat yang tidak berdasar dan tidak meruju' teks kitab kuning yang mu’tabar [mu'tamad], meskipun lahir dari pemikiran seorang secerdas apapun atau bertitel apapun akan di anggap mengada-ada dan ngeminteri. Sebab itulah forum Bahtsul Masa’il selalu diminati kaum sarungan yang memang rata-rata bisa sekedar membaca dengan benar teks-teks tersebut. Di pihak lain teks-teks keilmuan pesantren lebih kental dengan nuansa fiqih [hukum Islam; syari’ah] yang terkesan sangat normatif ketimbang bidang lain seperti tafsir, tasawwuf, teologi, usul fiqih dan lain-lain. Fiqih adalah primadona kaum santri dan salah satu disiplin keilmuan Islam yang paling diminati. Hal ini terlihat jelas dengan sebutan ulama yang diberikan hanya kepada mereka yang mendalami ilmu fiqih. Kitab fiqih di pesantren lebih sering dibaca dengan sistem bandongan atau maraton, dimana seorang guru membacakan kitab lafdhan wa maknan (teks dan makna) sedangkan para santri menuliskan makna yang diberikan [yang umumnya menggunakan bahasa jawa halus] lengkap dengan kedudukannya dalam struktur tata bahasa arab [ nahwu dan sharraf] serta tanda dari masingmasing kedudukan tersebut [apakah sebagai mubtada', khabar, maf'ul, badal dan seterusnya]. Jarang sekali pengajian kitab kuning dipesantren-pesantren menggunakan metode diskusi. Kalaupun terdapat diskusi terhadap kitab-kitab tersebut bukan dalam rangka
187
ء ا
إ: Vol. II No. 2 Juli – Desember 2012
rasionalisasi untuk mempertautkan kandungannya dengan kondisi dan budaya dimana kitab tersebut dibaca, melainkan lebih pada bagaimana membaca dan memaknainya dengan benar. Isi dari kitab-kitab itu sendiri dianggap sebagai kebenaran mutlak yang dapat dijadikan sumber untuk menyelesaikan problem kemanusian yang muncul dalam setiap zaman dan makan[ tempat]. Kitab-kitab yang menjadi bahan kajian di pesantren lebih banyak berasal dari aliran Syafi’iyah khususnya kitab-kitab yang ditulis pada abad VI sampai abad X Hijriah. Fathul Wahhab Bi Syarhi Manhaji at-Thullab, Fathul Mu’in Bi Syarhi Qurrat al-Ain, Fathu al-Qarib, Fath al-Aziz, Fath al-Jawwad, Fath al-Alim Fi Masa’ili al-Tauliyah Wa al-Tahkim, al-Bajuri, al-Syarqawi, alMuhaddab, al-Majmu’, Minhaj al-Thalibin, Mughni al-Muhtaj, Nihayat al-Muhtaj dan sebagainya. adalah beberapa contoh kitabkitab yang sering menjadi rujukan kaum pesantren. Sementara kitab-kitab induk dalam madzhab Iman Syafi’i seperti kitab alUmm karya as-Syafi'i jarang sekali dijadikan referensi masyarakat pesantren. Keenggananan untuk merujuk langsung terhadap kitabkitab induk dalam madzhab Syafi’i lebih disebabkan faktor keseganan [cankolang] terhadap ulama-ulama pasca Syafi’i yang telah berusaha keras me-mukhtashar-kan (meringkas) dan mensyarahi (menjabarkan isi) kitab-kitab tersebut, bukan karena penolakan. Sebab itulah jarang sekali -kalau tidak dikatakan tidak pernah- kitab al-Umm misalnya dijadikan rujukan dalam keputusankeputusan Bahsul Masa'il atau majlis tarjih (komisi pertimbangan keputusan). Sedangkan pengajian tafsir jumlahnya sangat terbatas. Hal ini sangat dimungkinkan karena langkanya kitab-kitab tafsir yang bervolume tipis dan mudah dikhatamkan (diselesaikan) dalam waktu yang relatif singkat. Sebab rata-rata kitab tafsir berukuran tebal-tebal dan berjilid-jilid. Sementara bidang hadits lebih banyak dibaca ketimbang tafsir, seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Bulugh al-Maram dan lain-lain. Sistem pengajaran kitab kuning di pesantren lebih banyak ditekankan pada aspek tata bahasanya [nahwu-sharraf] disamping isi yang dikandungnya. Sementara kajian analisis-kritis terhadap teks-teks tersebut nyaris tidak ditemukan. Sebab apa yang tertulis dalam kitab-kitab tersebut diyakini sebagai hukum fiqih [hukum
188
Ahmad Bangun Nasution: Pesantren dan Pendidikan Bahasa Arab ...
Islam] yang kebenarannya tidak perlu diperdebatkan. Sehingga pertanyaan-pertayaan kritis; Mengapa pengarang kitab berpendapat seperti itu? Bagaimana paradigmanya? Apa metodologi yang digunakannya? Dalam konteks sosial seperti apa teks tersebut dihadirkan? Adakah pengaruh kultur tertentu terhadap kelahiran teks tersebut? Adakah pengalaman pribadi pengarang mengenai kondisi sosial, ekonomi, politik -dimana pengarang hidup- juga ikut mempengaruhi pendapat-pendapatnya? Bagaimana mempertautkan kandungannya dengan kondisi kekinian umat? dan seterusnya, bukanlah hal penting dalam kajian kitab kuning dan harus dihindarkan sejauh mungkin. Mempertanyakannya akan dianggap tasykik (meragukan) terhadap kebenaran kitab kuning serta meragukan keikhlasan dan keshalihan individual pengarangnnya.
D. Penutup Di pihak lain pengajaran kitab kuning di pesantren tidak dapat dilepaskan dari peran seorang ustadz atau kiai yang pernah mengaji langsung dari gurunya, gurunya dari gurunya sampai pada pengarang dan pengarang dari Rasulullah. Pada umumnya para ustadz di pesantren tidak berani membaca kitab yang belum pernah ia pelajari dari seorang guru. Istilah pesantrennya, jika seorang guru hendak mengajar maka kitab yang akan dibacanya harus terlebih dulu masak dan memiliki mata rantai [sanad, transmisi] yang dapat dipertanggungjawabkan bukan hanya secara ilmiah tapi juga dihadapan Allah pencipta alam semesta.
KEPUSTAKAAN Depdiknas, 2002. Pedoman Pengembangan Pembekalan Kecakapan Hidup di SMU. Jakarta: Depdiknas Drost, J.I.G.M.S.J. 2001. Sekolah Mengajar atau Mendidik. Yogyakarta: Kanisius Endraswara, Suwardi, Tradisi Lisan Jawa; Warisan Abadi Budaya Leluhur, (Yogyakarta: Narasi, 2005)
189
ء ا
إ: Vol. II No. 2 Juli – Desember 2012
Geertz, Clifford, The Interpretation of Culture, (New York: Basic Books, 1973) Harker, Richard, Pengantar Paling Komprehensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004) Haryatmoko, “Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa”, dalam Basis No.11-12 ke-52, November-Desember 2003 Kayam, Umar, Pertunjukan Rakyat Tradisional Jawa dan Perubahannya, (Yogyakarta: Galang Press, 2000). Koentjoroningrat, Pengantar Antropologi, (Bandung: Rineka Cipta, 1996) Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character. New York: Bantam Books. Muslimin, et al. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya:UnesaUniversity Press. Said, Nur, “Stategi Saminisme dalam Membendung Bencana Alam; Perlawanan Sedulur Sikep thp Rencana Pembangunan Pabrik Semen di Sukolilo, Pati”, dlm Konferensi Hibah Penelituan Interpretasi & Respons atas Bencana Alam, Kajian Integratif Ilmu, Agama, dan Budaya; Pascasarjana UGM Yogyakarta, 11 Maret 2010. Silberman, M. 1996. Active Learning : 101 Strategi to Teach Any Subject. Boston: Allyn and Bacon Stokes, Jane, How To Do Media and Cultural Studies, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2006). Sudjana, Nana. 1996. Model-Model Mengajar CBSA. Bandung: Sinar Baru.
190