INTEGRASI …
AT-TA’LIM; Vol. 4, Tahun 2013
INTEGRASI PEMBELAJARAN BAHASA ARAB DI PONDOK PESANTREN AL-‘ASHRIYAH Marwazi1 Masalah penguasaan bahasa Arab di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam tak kunjung terselesaikan, permasalahannya bukan saja terletak pada kualitas dosen, tapi lebih pada komitmen mereka mengaplikasikan metodenya yang tepat untuk pembelajaran bahasa tersebut. Pada umumnya, mereka yang berlatarbelakang pendidikan bahasa Arab tahu tentang metodenya yang tepat, yaitu mulai dari banyak baca, menulis dan berbicara, kemudian didukung oleh lingkungan pembelajaran yang kondusif, yaitu lingkungan yang dapat memacu dan memicu gairah berbahasa tersebut, mulai dari keberadaan buku yang berbahasa Arab, kultur menulis, dan miliu yang menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa percakapan sehari-hari dan bahasa pengantar dalam pembelajaran. Penerapan reward dan punishment dalam pemberlakukan disiplin berbahasa, sehingga terjadi laboratorium bahasa alamy. Di samping metode yang tiga di atas dan lingkungan kondusif, adalah menanamkan sikap positif terhadap bahasa tersebut, sehingga mereka belajar dengan kesadarannya yang tinggi tanpa harus dibimbing terusmenerus. Kata Kunci: Integrasi Pembelajaran Bahasa, Bahasa Arab, dan PP ‘Ashriyah A. Mukadimah Bahasa Arab mulai dikenal di bumi Nusantara sejak Islam masuk ke sana pada abad ke-7 M. Dibanding dengan bahasa Inggris, Perancis, dan Belanda, bahasa Arab jauh lebih dahulu dikenal oleh bangsa Indonesia. Namun demikian, bahasa tersebut belum menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi lebih sebagai bahasa ilmu agama Islam. Sehingga mereka yang belajar bahasa Arab dimotivasi oleh kepentingan religious bukan untuk kepentingan pragmatis, seperti menjadi syarat mendapatkan berbagai macam kerja dan lain-lain, sehingga kurang diminati betapapun unggulnya bahasa tersebut dibandingkan dengan bahasa-bahasa yang lain. Dari segi sifatnya, kata Ahmad al-Iskandary dan Mustafa Inany, Bahasa Arab adalah sebahagian bahasa yang terkaya kosa 1
Dosen Tetap Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren An-Nur Tangkit Sungai Gelam Muaro Jambi
91
92
INTEGRASI …
AT-TA’LIM; Vol. 4, Tahun 2013
katanya, terdahulu asalnya, paling abadi peninggalannya, paling luas jangkauannya (penyebarannya), paling kekal kejadian peristiwa zamannya, paling enak diucapkan, paling mudah/lancar strukturnya, paling mengagumkan pengaruhnya, paling luas cakupan dalam mengungkap rasa, ... ia bahasanya orang-orang ummy2 yang tidak pernah belajar filsafat Yunany dan terpengaruh produksi Cina, mereka (orang-orang ummy) berlaga dan masih tetap ada dari zaman ke zaman, bahasa itu masih cocok untuk setiap waktu dan tempat, semua itu bisa terjadi karena ruhnya yang besar, sehingga abadi dalam kurun waktunya...3. Pensifatan di atas begitu logis, karena memang faktual dan konkrit di alam semesta ini. Dan bahasa itu semakin menjadi mulia karena al-Qur’an dan al-hadits ditulis dengan bahasa tersebut. Sehingga seluruh ummat Islam di dunia ini, walau sedikit kenal bahasa tersebut, sekalipun tidak tahu, apa lagi mahir. Sampaisampai tidak terasa oleh pemakai bila bahasa-bahasa tertentu berasal atau diserap dari bahasa Arab, misalnya kethok (Jawa) yang berarti memotong berasal dari qatha’a yang juga berarti memotong, adat (Jambi) yang berarti kebiasaan berasal dari ‘adah yang juga berarti kebiasaan, jaleh (Minang) yang berarti jelas berasal dari kata jaliy yang juga berati jelas, dan lain sebagainya yang sangat banyak jumlahnya. Walau demikian, peranan bahasa Arab di Negeri kita ini masih termarginalkan, beda dengan bahasa Inggris, sehingga upaya meningkatkan gairah belajar bahasa Arab, bagi masyarakat umumnya dan mahasiswa khususnya, memerlukan motivasi ekstra yang lebih bersifat sentimental dari pada benar-benar kebutuhan nyata, karena bahasa tersebut tidak banyak dibutuhkan oleh kepentingan praktis-pragmatis sebagaimana disebut pada alinia pertaman.
bagian yang lebih besar dari dunia Islam tidak menggunakan bahasa Arab, termasuk Indonesia. Apapun bahasa yang digunakan di negara-negara yang tidak berbahasa Arab, dalam Sistem Pendidikan Islam pelajaran bahasa Arab mendapatkan porsi tinggi, di Indonesia misalnya, bahasa ini dikenalkan dan diajarkan sejak dini, mulai tingkat dasar sampai tingkat pasca sarjana. Tapi apa hasilnya, banyak yang mempertanyakan, tentu tidak juga menutup mata ada lulusan yang mampu berbahasa itu, tapi minim, itupun khususnya yang jurusan bahasa atau yang memang memiliki otak di atas rata-rata, atau yang latar belakang SLTP dan SLTA-nya pesantren. Walaupun hal ini belum diteliti secara serius. Sarjana agama, yang kajian utamanya berbasis al-Qur’an dan tafsirnya, al-hadits dan syarahnya, minimalnya tahu dan idealnya menguasai bahasa Arab, sehingga mampu membaca dan memahami literatur yang berbahasa Arab tersebut; jika tidak, akan terlihat kelemahan-kelemahannya, baik dalam mengakses ilmu yang ada dalam kutub tersebut, maupun menyampaikan ilmunya yang terkadang harus berbahasa Arab. Bagi sarjana sains Muslim perlu mengenal Bahasa Arab guna mendapatkan pengaruh moral atas karakter mereka, dan mampu membaca al-Qur’an, meski tidak memahami kata-katanya, karena kemampuan itu dapat membangkitkan dalam diri mereka suatu tanggapan pada ajaran Islam yang secara sosiologis sangat tinggi nilainya. Menurut Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, salah satu gejala muttakhir yang muncul di negara-nega yang penduduknya tidak berbahasa Arab adalah keterasingan kelompok besar muslim dari bahasa Arab sebagai warisan mereka. Akibatnya yang sering muncul adalah jika mereka telah dewasa dan merasa pentingnya bahasa tersebut sabagai sumber budaya, maka mustahil bagi mereka menyeberangi kesenjangan yang telah tercipta selama mudanya mereka mengabaikannya. Maka dewasa ini, orang-orang muslim menggantungkan pengetahuan mereka mengenai ajaranajaran al-Qur’an dan hadits Nabi pada terjemahan-terjemahan dalam bahasa Eropa. Maka ada beratus-ratus sarjana berpendidikan di Pakistan, Banglades, Malaysia, dan Indonesia yang pengetahuannya tentang Islam sepenuhnya terbatas pada terjemah-terjemah yang telah mereka pelajari, ini bukan kondisi yang sehat. Tapi hal ini bukan berarti mengesampingkan kebutuhan terhadap terjemahan, karena terjemahan dapat mambantu menguatkan pemahaman.4
B. Masalah Bahasa Arab Masalah Bahasa Arab dalam sistem Pendidikan Islam merupakan konsekwensi logis dari posisi yang ditempati bahasa tersebut dalam Islam. Pertanyaan yang dihadapi oleh para pakkar Pendidikan Islam apakah suatu Pendidikan Islam yang baik akan terjadi tanpa disertai oleh pengetahuan tentang bahasa Arab. Memang hal ini tidak menjadi masalah bagi negara-negara yang penduduknya berbahasa Arab. Akan tetapi kenyataannya, 2
Ummy adalah kata sisfat bagi orang yang tidak tahu membaca dan menulis, berasal dari kata Arab “amma”. Dalam Al-Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam, Cet. 23, (Beirut: Dar El-Mashriq, 1986), h. 7. 3 Asy-Syeikh Ahmad al-Iskandari dan Asy-Syeikh Mustafa Inany, Al-Wasith fi al-Adab alAraby wa Tarikhuha, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1916), h.11
93
4
Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Crisis Muslim Edukation, terj Rahmani Astuti, (Bandung: Risalah, 1986), h. 169.
94
INTEGRASI …
Menurut Moh Matsna, problematika pengajaran bahasa Arab di Indonesia ada empat (4) macam, yaitu: 1) Pengajaran bahas Arab tidak ditopang oleh faktor-faktor pendidikan dan pengajaran yang memadai, terutama sistem pembelajaran, evaluasi, faktor sarana pendukung, dan tenaga edukatif, termasuk di lingkungan PTAIN, 2) Lingkungan sosial yang tidak kondusif, 3) Adanya kesan bahwa belajar bahasa Arab jauh lebih sulit dari pada bahasa-bahasa lainnya, 4) Segi politik dan diplomatik luar negeri, di mana negaranegara yang berbahasa Arab belum banyak kerja sama di bidangbidang strategis, seperti ekonomi, pendidikan, budaya dan lain-lain.5 Parameter di atas, baik yang disampaikan oleh Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf maupun oleh Moh Matsna, ada di lingkungan IAIN STS Jambi. Walaupun belum diteliti secara mendalam, tapi telah kasat mata, dimana lulusannya memang tidak sedikit yang tidak tahu bahasa Arab, sekalipun alumni jurusan bahasa Arab. Alumni yang merupakan out put, adalah akibat dari sebab yang umumnya bersumbser dari tenaga kependidikannya. Dalam satu riwayat dikatan, faqid asy-syaii la yu’thy yang artinya orang yang tidak punya tidak mungkin akan memberi, belum lagi sistemnya yang tidak memadai dan lingkungan (biah) yang tidak kondusif, dan lain sebagainya. C. Sistem Pembelajaran Bahasa Arab Secara Umum Integrasi Pembelajaran Bahasa Arab adalah penggunaan beberapa metode pembelajaran secara terpadu antara satu metode dengan yang lainnya, karena pembelajaran bahasa merupakan sebuah sistem yang integral, di mana sub sitem yang satu dengan sub sistem yang lainnya harus saling menguatan dan saling melengkapi, karena hakikatnya beberapa sub sistem itu merupakan satu kesatuan. Menerut al-Abrasyi, mengajar bahasa asing itu tidak hanya dengan cara membebani anak-anak menghafal kosa kata dan artinya saja, karena hal itu bukan jalan (metode) yang sukses untuk tahu bahasa tersebut, akan tetapi bebanilah mereka dengan (1) banyak membaca, (2) menghafal kosa kata dalam kalimat sempurna yang ada dalam potongan-potongan kalimat sempurna, dan (3) memotivasi mereka untuk menggunakannya dalam tulisan dan dalam pembicaraan/percakapan, sehingga kata-kata yang baru tersebut melekat di dalam otak mereka. Kata dia, metode mengulang-ulang kata pada setiap kalimat untuk mengetahui ejaan, akan memberatkan fikiran peserta didik. Oleh karenanya, mereka dianjurkan supaya banyak menulis kata5
Moh. Matsna HS., MA. DR., Problematika Pengajaran Bahasa Arab di Indonesia dan Alternatif Pemecahan Masalahannya, makalah, disampaikan pada acara Pelatihan Guru Bahasa Arab MA Keagamaan, 19 Juli 2000, di Ciawi Bogor, h. 3-6.
95
AT-TA’LIM; Vol. 4, Tahun 2013
kata baru tersebut, hingga tulisan kata-kata itu melekat di otaknya; pada saat-saat menulis tadi, diajurkan pula sambil membacanya dan mengamatinya secara seksama, sehingga banyak melibatkan indraindra yang lain, maka dengan begitu akan mudah hafal dengan sendirinya tanpa harus bersusah-payah. Bahasa itu diketahui dengan cara membaca, menulis, dan praktik langsung, bukan dengan cara menghafal kosa kata dan artinya secara terus menerus, sebab cara ini seperti burung beo yang mengulang-ulang ucapan tanpa dimengerti maksudnya. Dalam menerangkan kata-kata yang sulit, al-Abrasyi menjelaskan supaya tidak meninggalkan kata-kata sulit tadi tanpa penjelasan dan penafsiran (dalam kalimat sempurna), tapi juga jangan menyusahkan diri dengan menerangkan kata-kata mudah yang ditanyakan oleh peserta didik. Pada saat menerangkan dan menafsirkan kata-kata sulit itu, mereka harus menutup bukubukunya dan apapun yang memalingkan perhatiannya, sehingga dapat terfokus memperhatikan penjelasan tersebut. Setelah itu, baru kemudian meminta mereka mengulangnya dalam kalimat sempurna. Tidak boleh bertanya arti kata semata, tapi tanyalah maksud kata tersebut, sebab satu kata itu punya banyak arti.6 Memang tidak mudah menerapkan metode belajar bahasa asing dengan banyak membaca, menulis dan praktik langsung dalam pembicaraan, karena di antaranya banyak anak yang belajar tanpa memiliki buku teksnya, dan kondisi lingkungannya tidak mendukung proses praktik berbahasa tersebut, karena tidak mendapatkan motivasi dari lingkungan guru dan dosen, karyawan, serta anak-anak seniornya dan lain sebagainya. Menciptakan lingkungan yang bersifat kondusif-edukatif (mendidik), dibutuhkan komitmen tinggi dari seluruh pengelola pendidikan, disertai dengan ketegasan dalam menerapkan disiplin berbahasa, adanya keteladanan dari pimpinan lembaga, para guru dan dosen. Sebab bahasa adalah bagian dari keterampilan, tidak ada keterampilan tanpa praktik dan pengulangan, sulit melakukan praktik tanpa keteladanan, keteladanan adalah cara yang paling efektif dalam penerapan disiplin. Hal ini sejalah dengan kata filosofis (qaul alhikmah) “lisan al-hal abyan min lisan al-maqal”7 (keteladan yang nyata lebih jelas/baik dari pada anjuran atau perintah semata).
6
Al-Abrasyi, Muhammad Atiyah, Ruh at-Tarbiyah wa at-Ta’lim, Cet. Ke-10, ( Tanpa Kota, Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah Isa al-Baby al-Halaby wa Syakah, Tanpa Tahun), h. 355-356 dan h. 353-354. 7 Al-Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam, Cet. 23, (Beirut: Dar El-Mashriq, 1986), h. 1007.
96
INTEGRASI …
AT-TA’LIM; Vol. 4, Tahun 2013
D. Sistem Pembelajaran Bahasa Arab Terpadu di Pesantren ‘Ashriyah Sebelum membahas sistem pembelajaran bahasa Arab terpadu di Pesantren ‘Ashriyah, terlebih dahulu mendifinisikan apa itu Pesantren ‘Ashriyah, yaitu pesantren modern yang menyelenggarakan pendidikan secara integral, memadukan antara ilmu umum dan ilmu agama secara klasikal, kurikulumnya bersifat komperhensif memadukan antara intrakurikuler, ekstrakurikuler, dan kokurikuler, yang mempunyai nilai, jiwa, dan tradisi kepesantrenan. Kurikulum tersebut meliputi seluruh aktifitas santri selama 24 jam, termasuk apa yang dilihat, didengar, dan dialami santri selama berada di pesantren.8 Definisi itu hampir sama dengan apa yang sering disampaikan oleh salah satu Pendiri Pondok Pesantren Gontor, al-marhum KH. Imam Zarkasyi (1910-1985), dalam acara evaluasi guru-guru setiap kamis siang, yaitu bukan saja tiga (apa yang dilihat, didengar, dan dialami) tapi juga apa yang dirasakan oleh santri dalam proses kehidupannya, Beliau juga sering mengatakan bahwa itulah hakikat pendidikan9. Menurut KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, pondok pesantren modern itu memiliki 6 karakteristik, (1) punyai filsafat pendidikan (nilai) berupa nuntut ilmu karena Allah dan punya Panca Jiwa Pondok, (2) punya sistem, semua aktifitas tertata dan terkoordinir rapi, (3) Programnya terorganisir secara efektif dan efisien, (4) Progresif, berwawasan kedepan menuju lahirnya ulama-intelek, (5) Berdisiplin, ia salah satu sebab kemajuan dan (6) Homogen, dari jenis pendidikan ini melahirkan alumni yang dapat berkembang ke berbagai lapisan masyarakat dan lapangan kehidupan. Dan Syeikh Hasan Baquri, mantan Menteri Wakaf Mesir berkata: laisa al-ma’had bibina’ihi al-fakhir wa lakin al-ma’had biabnaihi (ukuran kemajuan lembaga pendidikan tidak diukur dari bangunannya yang megah, tapi diukur dari berbagai alumninya yang dapat berperan dan bekiprah di masyarakat).10 Sistem adalah seperangkat bagian-bagian yang bekerja sama dan saling terkait serta mendukung untuk suatu tujuan atau maksud. Sistem pembelajar terpadu adalah sistem pembelajaran yang holistic , maksudnya adalah menyeluruh, terpadu dan saling terkait antara beberapa cara atau metode pembelajaran. Di pondok pesantren ‘ashriyah keterpaduan sistem pembelajaran bahasa Arab
adalah menyatupadukan cara-cara pembelajaran dengan (1) Menerapkan metode membaca, menulis dan berbicara, (2) Menciptakan lingkungan yang kondusif, dan (3) Menciptakan Sikap Positif terhadap bahasa tersebut. 1. Metode Membaca, Menulis dan Berbicara Metode membaca (tilawah atau talqin) dan diikuti dengan peniruan (taqlid) adalah metode pertama dalam sejarah pengajaran Islam. Dalam praktiknya, metode ini dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam mengajarkan ayat-ayat al-Qur’an kepada para pelajar (al-muta’allimin) secara jelas hingga mereka mampu mengikuti dan memahami. Ketika materi dibacakan, Rasulullah memerintah mereka untuk mendengarkan dan memperhatikan dengan baik serta diam secara sempurna. Sebagai mana firman-Nya: “Dan apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang, agar kamu mendapat rahmat” (QS. Al-A’raf/7:204). Tidak boleh ada yang menulis sedikitpun pada saat itu.11 Metode ini (baca, tulis, dan bicara) berjalan secara silih berganti, santri membaca atau menirukan bacaan ketika mufradat (kosa kata) baru diberikan oleh kakak kelasnya atau gurunya, kemudian diletakkan dalam kalaimat sempurna, setelah itu ditulis di papan tulis untuk disalin oleh santri. Hal ini terjadi pada setiap pagi saat pemberian mufradat baru atau saat pembelajaran bahasa Arab di kelas untuk kelas satu dan kelas dua, juga ketika mengajarkan pelajaran muthalaah kelas tiga dan seterusnya, pelajaran-pelajaran yang buku teksnya menggunakan pengantar bahasa Arab. Ada beberapa pelajaran yang langsung mendukung penguatan pembelajaran bahasa Arab, yaitu pelajaran bahasa Arab itu sendiri, muthalaah, imlak, insyak, ash-sharf, an-nahw, al-insya, al-balaghah (al-bayan, al-ma’any, dan al-badie’) dan seluruh pelajaran agama yang buku teksnya berbahasa Arab, mulai dari pelajaran at-tajwid, at-tafsir, al-mahfudzat, al-hadits, al-fiqh, ushul al-fiqh, musthalah al-hadits, tarikh al-Islam dan lain sebagainya. Dalam hal bicara dengan bahasa Arab, bahasa itu dijadikan sebagai alat penyampai (bahasa pengantar) semua bidang studi yang buku teksnya berbahasa Arab, di samping sebagai alat komunikasi sehari-hari. Berbicara dengan bahasa itu menjadi kewajiban bagi setiap santri yang telah berdomisili enam (6) bulan di pondok, karena dijadikan sebagai bahasa
8
Amal Fathullah Zarkasyi, MA., DR., Menjadikan Pesantren Sebagai Center of Excelence Pendidikan Masyarakat dan Basic Penguatan Civil Society di Indonesia, Makalah, disampaikan dalam Simposium Nasional pada 16-18 Desember 2012, di Sawangan Depok. 9 Marwazi, Filsafat Pendidikan Islam, Cetakan I, (Yogyakarta: Jalasutra, 2012), h. 4 10 Amal Fathullah Zarkasyi, MA., DR., Menjadikan Pesantren Sebagai Center of Excelence ...
11
Aminah Ahmad Hasan, DR., Nadzariyah at-Tarbiyah fi al-Qur’an wa Tathbiqatuha fi ‘Ahdi ar-Rasul ‘alai ash-Shalah wa as-Salam, cetakan I, (Kairo: Dar al-Maarif, 1985), h.238-239
97
98
INTEGRASI …
AT-TA’LIM; Vol. 4, Tahun 2013
resmi dalam pergaulan di kampus dan bahasa pengantar di kelas. Memang ditemukan dalam pembicaraan tersebut ada beberapa kesalahan, tapi hal itu lebih baik dari pada tidak praktik, dan diadakan perbaikan baik di saat-saat berbicara atau di kelas-kelas ketika belajar pelajaran nahwu, sharf, balaghah dan lain-lain.
tempat praktik seperti misalnya area khusus, atau waktu khusus, siapa yang berada di area atau waktu khusus tersebut harus berbahasa resmi, yang telah diatur dan disepakati, siapa yang tidak berdisiplin tidak boleh dilayani dalam berkomunikasi, dan lain sebagainya. Di samping itu, ada bagian yang menangani secara khusus bagi mereka yang melanggar disiplin bahasa tersebut, yaitu misalnya mahkamah bahasa, yang bertugas rutin pada saat tertentu memberi hukuman yang mendidik kepada pelanggar bahasa; agar hal itu berjalan, maka yang bertugas di bagian ini adalah yang senior dan memiliki sikap tegas. Pada saat-saat tertentu juga ada pemberian penguatan bahasa (tasyji’ al-lughah) yang dilakukan oleh yang ahli bahasa, dari kalangan guru atau dari luar. Karena bahasa adalah keterampilan, dan tidak akan ada keterampilan tanpa pembiasaan, tidak ada kebiasaan tanpa praktik, maka praktik berbahasa adalah berbicara dengan bahasa itu, walaupun terkadang atau bahkan serin mengalami kesalahan. Dalam menghidupkan bahasa, tidak terlepas dari ancaman dan tantangan, baik dari dalam maupun dari luar. Ancaman dari dalam diri anak itu sendiri, baik berupa malas atau malu karena takut salah dan takut diejek kawan/orang lain. Kata kata yang merusak semangat praktik berbahasa adalah sindiransindiran atau ejekan dan lain sebagainya, yang dialamatkan kepada anak yang berlatih berbahasa asing, sperti kata “soksok-an”, “sok hebat”, “sombong” atau kata-kata lain yang menyinggung atau merendahkan atau melemahkan. Maka bila yang mengejek itu adalah kawan sendiri, harus ada aturan khusus yang melarang hal tersebut disertai dengan ancamannya. Khusus bagi pelajaran insya’, yaitu latihan mengarang dengan bahasa asing tersebut, agar terlatih kemampuannya dalam mengungkapkan fikiranya. Pelajaran ini diajarkan secara serius, dimana idealnya anak disuruh menulis satu topik dan tulisan mereka dikorekti, baik dari segi uslubnya maupun tata bahasanya. Kelemahannya yang paling menonjol dalam pelajaran ini adalah komitmen guru atau dosen dalam memberikan koreksi terhadap hasil tulisan anak didiknya. Mestinya bukan saja dikorekasi, tapi karya yang paling baik ditempel di majalah diding , sehingga anak yang karyanya ditempel akan bangga dan termotivasi baik bagi dirinya mapun merangsang yang lainnya untuk lebih giat belajar. Bahasa asing, khususnya Arab, adalah kunci ilmu pengetahuan, terutama Islam, dan tata pergaulan internasional.
2. Menciptakan Lingkungan yang Kondusif Untuk mendukung dan menguatkan metode pengajaran bahasa Arab di atas (membaca, menulis, dan bicara), maka diciptakan situasi dan kondisi yang kondusif, yaitu menciptakan lingkungan yang penghuninya berbahasa itu. Sebagaimana yang disebutkan di atas, siapapun santri yang telah tinggal di kampus pondok enam (6) bulan ke atas wajib berbicara dengan bahasa Arab sebagai bahasa resmi atau bahkan sebagai bahasa ibu. Aturan atau disiplin berbahasa itu diikuti dengan ancaman yang mendidik, yaitu bagi santri yang diketahui tidak berbahasa resmi dikenakan sangsi berupa menghafal kosa kata atau menulis insya’ atau lainnya, sehingga disiplin itu bisa berjalan dengan baik. Guna menguatkan semangat berbahasa resmi tersebut, diadakan satu minggu sekali atau dua kali latihan berpidato dalam bahasa tersebut, sehingga santri rajin menghafal teks yang berbahasa resmi tersebut, walaupun terkadang tidak tahu artinya. Dan pada saat tertentu dilombakan, yang menang diberi hadiah, maka dengan begitu santri akan berlomba-lomba menghafal teks berbahasa resmi tersebut. Cara ini secara berangsur, dapat melahirkan sikap positif pada bahasa itu, di mana bab sikap ini akan dibahas secara khusus di sub bab tersendiri. Dukungan lain adalah keteladanan dari para pengurus, guru dan pengasuh pesantren, di mana saja dan kapan saja memberikan teguruan bila menemukan anak yang tidak disiplin, dan sekaligus menunjukkan jalan keluarnya (ngajari) atau memberikan koreksi langsung, bila kebetulan juga tidak tahu pembetulannya atau menyebutkannya dalam bahasa resmi tersebut, guru atau pengasuh tersebut berjanji akan mencarikan jawabannya. Begitu seterusnya, di mana saja dan kapan saja, semasa dalam lingkungan pondok. Lingkungan yang kondusif itu hanya bisa dilakukan secara baik bila ada ketegasan yang diatur dalam tata tertib atau disiplin dengan disertai reward dan punishment, rekayasa lingkungan mereka itu akan terjadi/berjalan dengan baik bila ada di lingkungan asrama, tapi bisa juga tidak di asrama, asalkan ada 99
100
INTEGRASI …
Oleh karena itu, disiplin berbahasa asing harus ditekankan, ini yang ada dan terjadi pesantren ‘ashriyah, tapi juga sadar bahwa bahasa asing sebenarnya bukan tujuan akhir, tapi hanya sebagai alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan (agama Islam) yang luas, maka statusnya adalah alat atau ibarat kunci yang berguna untuk membuka hazanah intelektual atau ilmu pengetahuan. Menurut Hasan Langgulung, bahasa itu bukan ilmu, tapi ia sangat penting untuk mencapai ilmu, dahulu para filosof menamakannya ilmu alat.12 Bila penguasaan bahasa tidak dilanjutkan untuk memahami dan menguasai ilmu pengetahuan yang menggunakan bahasa tersebut, maka itu berarti baru sampai pada kulit luarnya belum isi dalamnya. 3. Menciptakan Sikap Positif Sikap positif anak terhadap bahasa itu adalah suatu hal yang penting dalam pengembangan bahasa tersebut. Menurut Hasan Langgulung, jika mereka telah memiliki sikap positif tersebut, maka tidak memerlukan guru lagi, mereka boleh belajar sendiri, sebaliknya bila mereka tidak memiliki sikap positif terhadap materi tersebut, maka walaupun diajar oleh guru dari langit mereka tidak dapat belajar, maka mengapa tidak memperbaiki sikap mereka saja, sebelihnya mereka boleh belajar sendiri13. Di pesantren ‘ashriyah, para santri diberi motivasi tentang kecintaan kepada bahasa tesebut, baik melalui lisan maupun perbuatan, bahkan teladan dari seniornya, gurunya, dan bahkan pengasuhnya, sehingga lahirlah sikap positif terhadap bahasa tersebut, mereka rajin belajar dan mau praktik berbahasa. Dalam rangka menanamkan sikap positif terhadap bahasa itu adalah mewajibkan setiap santri memiliki kamus bahasa tersebut, baik dari Arab-Indonesi, Indonesia-Arab, atau Mu’jam dan lain sebagainya. E. Penutup Pembelajaran bahasa Arab integratif (terpadu) adalah sistem bembelajaran yang menggabungkan antara (1) metode baca, tulis, dan bicara dengan (2) penciptaan lingkungan yang kondusif, yaitu sebuah lingkungan yang baik dan dapat mendukung berlakunya tiga metode tersebut, dan (3) meniciptakan sikap positif terhadap bahasa tersebut dalam diri peserta didik. Permasalah pembelajaran bahasa tidak terletak pada pengetahuan mengenai penguasaan metode
AT-TA’LIM; Vol. 4, Tahun 2013
pembelajarannya, tapi terletak pada komitmen memberlakukan metode tersebut. Maka hakikatnya, permasalah terletak pada etos mengajar dan belajar yang rendah dari kalangan guru/dosen dan sekaligus peserta didiknya. DAFTAR PUSTAKA Abrasyi, Muhammad Atiyah, Al-, Ruh at-Tarbiyah wa at-Ta’lim, Cet. Ke10, ( Tanpa Kota, Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah Isa al-Baby alHalaby wa Syakah), Tanpa Tahun. Amal Fathullah Zarkasyi, MA., DR., Menjadikan Pesantren Sebagai Center of Excelence Pendidikan Masyarakat dan Basic Penguatan Civil Society di Indonesia, Makalah, disampaikan dalam Simposium Nasional pada 16-18 Desember 2012, di Sawangan Depok. Aminah Ahmad Hasan, DR., Nadzariyah at-Tarbiyah fi al-Qur’an wa Tathbiqatuha fi ‘Ahdi ar-Rasul ‘alai ash-Shalah wa as-Salam, cetakan I, (Kairo: Dar al-Maarif), 1985. Ma’luf, Abu Luis Al-,al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: Dar El-Mashriq), 1986.
Marwazi, Filsafat Pendidikan Islam, Cetakan I, (Yogyakarta: Jalasutra), 2012. Moh. Matsna HS., MA. DR., Problematika Pengajaran Bahasa Arab di Indonesia dan Alternatif Pemecahan Masalahannya, makalah, disampaikan pada acara Pelatihan Guru Bahasa Arab MA Keagamaan, 19 Juli 2000, di Ciawi Bogor. Hasan Langgulung, Prof. Dr., Asas-Asas Pendidikan Islam, Cetakan I, (Jakarta: Pustaka al-Husna), 1987. Syeikh Ahmad al-Iskandari dan Asy-Syeikh Mustafa Inany, Asy-, AlWasith fi al-Adab al-Araby wa Tarikhuha, (Mesir: Dar al-Ma’arif), 1916. Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Crisis Muslim Edukation, terj Rahmani Astuti, (Bandung: Risalah), 1986. Tajul Ariffin Noordin, Dr., Konsep Asas Pendidikan Sepadu, (Kuala Lumpur: Nurdin Enterprise), 1988.
12
Hasan Langgulung, Prof. Dr., Asas-Asas Pendidikan Islam, Cetakan I, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987), h. 328. 13 Hasan Langgulung, Prof. Dr., Asas-Asas Pendidikan Islam,... h. 328.
101
wa al-A’lam, Cet. 23,
102