POLICY BRIEF
04
MEMPERKUAT PENYEDIA LAYANAN HIV DAN AIDS LINI TERDEPAN (FRONTLINE SERVICE) MELALUI PERENCANAAN TERPADU
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM
PESAN POKOK Tujuan utama dari penanggulangan HIV dan AIDS adalah pemanfaatan secara op mal layanan pencegahan, perawatan dan mi gasi dampak oleh Puskesmas, rumah sakit dan OMS sebagai penyedia layanan lini terdepan yang berinteraksi langsung dengan masyarakat (frontline service). Untuk dapat meningkatkan efek vitas dan efisiensi layanan ini diperlukan integrasi dari berbagai penyedia layanan terkait. Namun demikian, integrasi yang dituntut dalam hal ini dak hanya terbatas pada integrasi teknis yang berupa koordinasi dan rujukan semata, akan tetapi yang lebih mendasar hingga ke proses-proses administra f yang mencakup perencanaan bersama, pembiayaan terpadu, kegiatan berbagi informasi, penyediaan logis k, dan pengembangan sumber daya manusia. Integrasi ini hanya dapat diwujudkan melalui kolaborasi sinergis dan dukungan dari pemerintah pusat dan daerah serta dukungan internasional terkait pengambilan keputusan pada lini terdepan di mana penyediaan layanan dilaksanakan.
MASALAH Arah kebijakan pembangunan kesehatan dalam RPJMN 2015-2019 menuntut adanya reformasi pada penguatan pelayanan kesehatan dasar melalui peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar dan rujukan yang didukung dengan penguatan sistem kesehatan dan peningkatan pembiayaan kesehatan. Untuk mewujudkan hal tersebut maka SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS 2015-2019 menetapkan bahwa pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS merupakan bentuk otoritas wajib pemerintah terkait dengan pelayanan dasar yang dilaksanakan dengan mengikuti kebijakan desentralisasi pemerintah di Indonesia11. Kewenangan ini termasuk upaya mendapatkan dana program yang bersumber dari dana lokal baik dana pemerintah daerah, swasta maupun masyarakat. Berdasarkan proyeksi ketersediaan dana untuk lima tahun mendatang, KPAN telah memperkirakan adanya pengurangan dukungan pendanaan luar negeri untuk penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, sehingga perlu adanya peningkatan alokasi dana yang memadai di tingkat daerah untuk penanggulangan HIV dan AIDS12. Peran pemangku kepentingan di kabupaten dan kota diharapkan akan lebih besar di wilayahnya masingmasing dan menjadi lebih penting di masa yang akan datang. Adapun yang diharapkan dari hal tersebut adalah peningkatan kemapuan untuk (1) mengalokasikan pendanaan lokal dalam proporsi yang lebih besar, dan (2) hal tersebut menuntut otoritas untuk mengelola pelaksanaan dan perluasan cakupan LKB. Hingga September 201413, terdapat 386 kabupaten dan kota yang melaporkan kasus HIV dan AIDS, sedangkan masih ada 112 yang belum melapor. Sementara layanan HIV dan AIDS, meski belum lengkap, sudah tersebar hampir di seluruh kabupaten dan kota yang telah melaporkan kasus HIV dan AIDS di wilayahnya. Jumlah layanan konseling dan testing 11
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah KPAN, Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) Penanggulangan HIV dan AIDS 20152019 13 Kementerian Kesehatan RI, Situasi pekembangan HIV-AIDS triwulan 3 – 2014. 12
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM
(KT) adalah 1.291 unit, layanan infeksi menular seksual (IMS) 1.182 unit; layanan perawatan, pengobatan dan dukungan (PDP) 448 unit; layanan TBHIV 223 unit; layanan pencegahan penularan ibu ke anak (PPIA) 182 unit; dan 87 layanan terapi rumatan metadon (TRM). Hampir semua layanan ini terkonsentrasi pada Puskesmas dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) untuk PDP. Sementara itu, terdapat lebih dari 500 OMS yang bekerja pada layanan tersebut di seluruh Indonesia14. Sebanyak 141 kabupaten dan kota yang merupakan kabupaten dan kota yang yang menerima pendanaan dari Gobal Fund diharapkan telah mengimplementasikan Layanan HIV dan AIDS yang Komprehensif dan Berkesinambungan (LKB) pada akhir tahun 2014. Konsep LKB pada dasarnya merupakan suatu bentuk integrasi layanan yang berorientasi pada klien dengan manajemen dan program-program layanan kesehatan diarahkan guna memberikan pelayanan berkelanjutan kepada pasien, misalnya pencegahan dan pengobatan, yang sesuai dengan kebutuhan pasien dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam lingkup sistem kesehatan15. Berdasarkan sifatnya, strategi LKB seharusnya melibatkan banyak penyedia layanan lini terdepan (frontline service) baik layanan kesehatan pemerintah, layanan swasta dan layanan yang diberikan oleh OMS16. Keterlibatan berbagai frontline services ini penting karena pada dasarnya layanan HIV dan AIDS merupakan layanan kesehatan dasar yang mencakup layanan-layanan promosi, pencegahan, perawatan dan pengobatan, serta mitigasi dampak17. Dengan demikian, pelaksanaan strategi LKB menuntut keterlibatan dan koordinasi sejumlah penyedia 14
Jumlah organisasi masyarakat sipil (OMS) dan institusi di luar sektor kesehatan dipetakan oleh KPAN di 16 provinsi adalah sebanyak 389. 15 WHO ( 2008) Integrated Health Services, What And Why ? Making Health System Work. [Online]. World Health Organization. Available at: www.who.int/healthsystems 16 Frontline service adalah pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, organisasi masyarakat sipil yang secara langsung memberikan pelayanan kepada masyarakat khususnya kelompok marginal atau kurang terlayani. Gambaran tentang frontline health services bisa dilihat Hay, David, Judi Varga-Toth Emily Hines, (2006) Frontline Health Care in Canada: Innovations in Delivering Services to Vulnerable Populations, Canadian Policy Research Networks Inc, September 2006 17 Dalam dokumen RPJMN 2015-2019, penguatan mutu dan akses pelayanan kesehatan dasar yang pada hakekatnya adalah penyediaan layanan kesehatan yang secara langsung bisa dimanfaatkan oleh masyarakat (frontline service) merupakan satu prioritas di dalam reformasi sektor kesehatan. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM
layanan sehingga memudahkan klien dalam mengakses layanan yang dibutuhkan melalui prosedur rujukan yang lebih sederhana dan lebih cepat. Konsep LKB pada dasarnya merupakan suatu bentuk integrasi layanan yang berorientasi pada klien dengan manajemen dan program-program layanan kesehatan diarahkan guna memberikan pelayanan berkelanjutan kepada pasien, misalnya pencegahan dan pengobatan, yang sesuai dengan kebutuhan pasien dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam lingkup sistem kesehatan18. Berdasarkan sifatnya, strategi LKB seharusnya melibatkan banyak penyedia layanan lini terdepan (frontline service) baik layanan kesehatan pemerintah, layanan swasta dan layanan yang diberikan oleh OMS19. Keterlibatan berbagai frontline services ini penting karena pada dasarnya layanan HIV dan AIDS merupakan layanan kesehatan dasar yang mencakup layanan-layanan promosi, pencegahan, perawatan dan pengobatan, serta mitigasi dampak20. Dengan demikian, pelaksanaan strategi LKB menuntut keterlibatan dan koordinasi sejumlah penyedia layanan sehingga memudahkan klien dalam mengakses layanan yang dibutuhkan melalui prosedur rujukan yang lebih sederhana dan lebih cepat. Keluaran yang paling diharapkan dari integrasi berbagai frontline services untuk penanggulangan HIV dan AIDS adalah pemanfaatan secara optimal layanan pencegahan, perawatan serta mitigasi dampak yang disediakan oleh Puskesmas, rumah sakit dan OMS. Pemanfaatan ini mengacu pada meningkatnya cakupan populasi kunci yang mendapatkan informasi 18
WHO ( 2008) Integrated Health Services, What And Why ? Making Health System Work. [Online]. World Health Organization. Available: www.who.int/healthsystems 19 Frontline service adalah pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, organisasi masyarakat sipil yang secara langsung memberikan pelayanan kepada masyarakat khususnya kelompok marginal atau kurang terlayani. Gambaran tentang frontline health services bisa dilihat Hay, David, Judi Varga-Toth Emily Hines, (2006) Frontline Health Care in Canada: Innovations in Delivering Services to Vulnerable Populations, Canadian Policy Research Networks Inc, September 2006 20 Dalam dokumen RPJMN 2015-2019, penguatan mutu dan akses pelayanan kesehatan dasar yang pada hakekatnya adalah penyediaan layanan kesehatan yang secara langsung bisa dimanfaatkan oleh masyarakat (frontline service) merupakan satu prioritas di dalam reformasi sektor kesehatan. Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM
tentang HIV dan AIDS, meningkatnya rujukan populasi kunci untuk memperoleh layanan pencegahan yang berupa pemeriksaan IMS, TRM atau Layanan Alat Suntik Streril (LASS), mengikuti KT di Puskesmas, meningkatnya ODHA dalam perawatan, meningkatnya ODHA yang memperoleh pengobatan ARV, meningkatnya kepatuhan ODHA dalam mendapatkan perawatan HIV dan meningkatnya akses bagi ODHA dan keluarganya terhadap mitigasi dampak. Secara ideal, OMS dapat secara efektif melakukan kegiatan promotif dan preventif dan mendorong pemanfaatan layanan kesehatan dasar melalui rujukan untuk mengakses LASS, TRM, tes HIV atau perawatan HIV dan AIDS serta memberikan dukungan bagi mereka yang telah melalui perawatan HIV dan AIDS. Sementara itu berdasarkan desain LKB, Puskesmas mampu menyediakan layanan kesehatan dasar untuk HIV dan AIDS yang berkualitas. Pemenuhan kebutuhan layanan HIV dan AIDS secara komprehensif pada tingkat lapangan dan efektivitas layanan tersebut hanya bisa dicapai jika dibarengi dengan kerja sama dan koordinasi yang erat antara Puskesmas dan OMS atau adanya kerja sama yang baik antara Puskesmas dengan RSUD setempat, terutama dalam perencanaan dan implementasi kegiatan dan layanan. Permasalahan utama dalam membangun kerja sama dalam hal perencanaan adalah keterbatasan OMS dalam penyediaan layanan pencegahan dan dukungan kepada ODHA secara berkelanjutan. Pada saat ini, sebagian besar OMS didukung oleh mitra pembangunan initernasional dalam penyediaaan layanan mereka sesuai dengan rencana dan penggunaan anggaran donor. Kerja sama hanya dapat dilakukan jika OMS memperoleh dukungan teknis dan pendanaan dari para mitra tersebut. Hal yang sama juga berlaku bagi layanan HIV dan AIDS di Puskesmas yang selama ini didukung dengan pendanaan mitra pembangunan internasional melalui Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten. Kerja sama yang tengah berlangsung pada dasarnya adalah kerja sama yang mengikat guna memastikan agar ‘deliverables’ yang diharapkan dapat memenuhi target yang telah ditentukan oleh para mitra pembangunan internasional melalui dukungan pendanaannya. Situasi ini Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM
telah menghambat kapasitas OMS dan Puskesmas dalam membangun rencana-rencana lokal guna memenuhi profil epidemiologi mereka. Dengan ketergantungan OMS dan Puskesmas pada pendanaan dari mitra pembangunan internasional, perencanaan dan kegiatan bersama kerja sama antar OMS dan Puskesmas akan sulit terwujud.
OPSI KEBIJAKAN Untuk menjawab permasalahan di atas, maka perlu disepakati dahulu bahwa pendekatan program secara vertikal akan sulit berpadu dengan kebijakan desentralisasi. Jika Puskesmas atau OMS hanya berisikan berbagai program yang berasal dari program vertikal, maka tidak ada ruang bagi daerah untuk mengembangkan berbagai keputusan strategis mereka. Segala kebijakan dan strategi akan tetap berada di tingkat nasional. Integrasi yang bersifat teknis harus disertai dengan integrasi administratif yang pada dasarnya mencerminkan proses desentralisasi. Otonomi yang lebih besar harus diletakkan pada Dinkes Kabupaten dan kota sebagai penanggung jawab pembangunan kesehatan di wilayahnya mengingat penyediaan layanan kesehatan harus terus berjalan di lini terdepan. Jika dilihat pelaksanaan program penanggulangan HIV dan AIDS pada penyedia layanan lini terdepan, tampak bahwa integrasi teknis telah terjadi antara OMS, Puskesmas dan rumah sakit yang bekerja sama dan berkoordinasi dalam mengoptimalkan layanan mereka. Integrasi ini sangat memungkinkan karena walaupun mereka memiliki target masing-masing akan tetapi pada sisi lain mereka menyediakan layanan bagi klien yang sama. Integrasi seperti inilah yang selama ini sudah dikembangkan dan kemudian dikonsepkan dengan istilah Layanan Komprehensif dan Terpadu. Konsep ini sudah diterapkan dan disepakati bersama sebagai platform layanan pencegahan (LKB-PMTS) dan layanan perawatan (LKB-SUFA). Akan tetapi jika dilihat secara lebih mendalam maka belum terbentuk integrasi secara administratif khususnya dalam hal perencanaan bersama. Integrasi secara administratif merupakan pengaturan khusus perihal Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM
pengelolaan, pembiayaan, perencanaan, atau sistem informasi yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan akan tetapi berfungsi untuk saling menghubungkan integrasi di tingkat pelayanan21,22. Gambaran yang muncul dari hal tersebut adalah bahwa selama ini pihak OMS dan Puskesmas tidak memiliki kewenangan administratif di dalam program penanggulangan HIV dan AIDS. Proses perencanaan OMS telah dibangun berdasarkan permintaan donor atas target yang telah ditentukan dari pusat, sementara Puskesmas yang memberikan pelayanan HIV dan AIDS adalah Puskesmas yang ditunjuk oleh Dinkes untuk berperan sebagai perpanjangan tangan dari Kementerian Kesehatan. Dengan posisi Kementerian Kesehatan sebagai Principal Recipient dari Global Fund, rencana Puskesmas sebagai Sub Sub Resipient (SSR) akan mengikuti Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota yang merupakan Sub Recipient dari Kementerian Kesehatan. Jika kerja sama dalam perencanaan dilakukan di tingkat lapangan, maka OMS dan Puskesmas perlu memiliki kewenangan administratif untuk menentukan dan memobilisasi sumber daya yang dimilikinya. Hal ini akan semakin rumit jika kerja sama tersebut melibatkan rumah sakit daerah sebagai layanan rujukan di tingkat kabupaten dan kota, mengingat rumah sakit merupakan lembaga otonom di bawah kepala daerah yang sejajar dengan Dinas Kesehatan. Terlepas dari kerumitan tersebut, perlu disadari dan diyakini bahwa integrasi layanan HIV dan AIDS pada lini terdepan dibutuhkan guna memfasilitasi pelayanan kepada klien atau pasien secara lebih efektif dan efisien yang akan dikembangkan sebagai suatu model penyediaan layanan secara umum23. Selanjutnya, prinsip integrasi ini menuntut adanya kepemimpinan dan dukungan dari Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota dan rumah sakit daerah, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Luar Negeri serta mitra pembangunan internasional yang 21
Velentijn P.P., S. S. M., Bruijnzeels M.A., (2013) Understanding Integrated Care:a Comprehensive Conceptual Framework Based in the Integrative Functions of Primary Care. International Journal of Integrated Care, 12 22 Unger, Jean-Pierre , Pierre De Paepe and Andrew Green, (2003) A code of best practice for disease control programmes to avoid damaging health care services in developing countriesy, Int J Health Plann Mgmt; 18: S27–S39. 23 ibid Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM
akan berperan penting dalam mewujudkan perencanaan bersama para penyedia layanan HIV dan AIDS pada lini terdepan.
STRATEGI IMPLEMENTASI Upaya-upaya untuk membuat perencanaan yang terintegrasi pada layanan di tingkat lapangan ini tidak hanya bisa dipandang sebagai sebuah integrasi yang bersifat teknis semata akan tetapi juga akan mencakup pengembangan kapasitas untuk merencanakan dan mengelola program, advokasi dan mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan untuk penyediaan layanan. Untuk itu strategi-strategi yang harus dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Sesuai dengan mandat dalam Keppres No. 75 Tahun 2006, KPAN perlu memfasilitasi kerja sama antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan untuk mengembangkan kerangka regulasi yang memungkinkan kerja sama perencanaan program di tingkat lapangan dengan melibatkan organisasi-organisasi masyarakat sipil dan kerangka regulasi terkait pengembangan skema pendanaan APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten dan Kota bagi organisasi masyarakat sipil di sektor kesehatan. Kerangka regulasi lain yang perlu dikembangkan secara lebih jelas adalah perihal pengaturan hubungan Kerja sama antara Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota. Hubungan dan pembagian kerja dalam penanggulangan HIV dan AIDS sebenarnya sudah disebutkan dalam SRAN 2015-2019 (lihat tabel di bawah ini). Meskipun demikian, dokumen yang dikeluarkan oleh KPAN ini tentunya perlu disinkronkan dengn UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM
2. Alokasi pendanaan yang bersumber dari APBN Kementerian Kesehatan untuk kegiatan-kegiatan Puskesmas melalui Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) perlu diatur dan diproritaskan guna mendukung Kerja sama antara Puskesmas dan OMS dalam melakukan upaya-upaya promotif dan preventif dalam penanggulangan HIV dan AIDS. 3. Pengembangan serangkaian regulasi kabupaten dan kota yang mengatur kerangka kerja kontrak layanan (service contract) yang memungkinkan promosi mengenai kegiatan pencegahan HIV dan AIDS untuk dikerjakan oleh OMS sebagaimana biasanya dilakukan oleh ‘kontraktor penyedia layanan’24. Pengembangan sistem kontrak tersebut akan memungkinkan OMS untuk terus bekerja di wilayah program yang sama selama mampu menunjukkan kinerja yang disyaratkan dalam kontrak yang disepakati. 4. Pengembangan regulasi di tingkat daerah yang mencakup kerangka perencanaan program penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat 24
Gambaran tentang bentuk dan proses service contract bisa dilihat Loevinsohn, B, 2008, Performance-Based Contracting for Health Services in Developing Countries: A Toolkit, World Bank dan Lagarde M, Palmer N. 2008, The impact of contracting out on health outcomes and use of health services in low and middleincome countries. Cochrane Database of Systematic Reviews 2009, Issue 4. Art. No.: CD008133. DOI: 10.1002/14651858.CD008133
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM
kabupaten dan kecamatan perlu diselaraskan dengan sistem informasi, program-program keuangan dan tata kelola. 5. Peningkatan kapasitas bagi staf Puskesmas, rumah sakit dan organisasi masyarakat sipil dalam proses perencanaan bersama (joint planning), pengelolaan program terpadu, dan pengawasan dan evaluasi program. 6. Para penyedia layanan perlu mengoptimalkan koordinasi sebagai sebuah konsekuensi dari proses perencanaan bersama yang telah terbentuk di lapangan. Informasi mengenai hambatan dalam penyediaan layanan dan capaian masing-masing penyedia layanan menjadi hal penting untuk ditangani. Dalam konteks kabupaten dan kecamatan, Puskesmas sebagai simpul dari berbagai layanan HIV dan AIDS di daerah dapat memanfaatkan lokakarya mini tiga bulanan sebagai forum koordinasi dengan pihak eksternal.
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM
DAFTAR PUSTAKA Hay, David, Judi Varga-Toth Emily Hines, (2006) Frontline Health Care in Canada: Innovations in Delivering Services to Vulnerable Populations, Canadian Policy Research Networks Inc, September 2006 Kementerian Kesehatan RI, Situasi pekembangan HIV-AIDS triwulan 3 – 2014. Lagarde M, Palmer N. (2008), The impact of contracting out on health outcomes and use of health services in low and middleincome countries. Cochrane Database of Systematic Reviews 2009, Issue 4. Art. No.: CD008133. DOI: 10.1002/14651858.CD008133 Loevinsohn, B, (2008), Performance-Based Contracting for Health Services in Developing Countries: A Toolkit, World Bank Unger, Jean-Pierre , Pierre De Paepe and Andrew Green, (2003) A code of best practice for disease control programmes to avoid damaging health care services in developing countriesy, Int J Health Plann Mgmt; 18: S27–S39. Velentijn P.P., S. S. M., Bruijnzeels M.A., (2013) Understanding Integrated Care:a Comprehensive Conceptual Framework Based in the Integrative Functions of Primary Care. International Journal of Integrated Care, 12 WHO ( 2008) Integrated Health Services, What And Why ? Making Health System Work. [Online]. World Health Organization. Available at: www.who.int/healthsystems
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM