TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIA
EMBARGOED FOR TRANSMISSION AND RELEASE UNTIL 4 OCTOBER 2006 at 09.00 GMT; 11.00 CET; 05.00 EST (16.00 WIB)
Perusahaan terkemuka dengan upaya suap dalam menjalankan bisnisnya di luar negeri, turut menghambat pembangunan di negaranegara berkembang Upaya suap di luar negeri oleh negara-negara kekuatan ekonomi baru, khususnya “BRICs”, sangat mengejutkan Berlin/Brussels, 4 October 2006 – Survei Indeks Pembayar Suap (IPS/Bribe Payer Index) Transparency International 2006 mengungkapkan bahwa kegiatan suap di luar negeri yang dilakukan perusahaan negara-negara pengekspor besar masih umum terjadi, padahal telah ada hukum internasional anti-suap yang menetapkan praktek tersebut sebagai tindakan pidana. IPS TI ini meneliti kecenderungan perusahaan negara-negara pengekspor terkemuka melakukan suap di luar negeri. Dalam rangking IPS ini, perusahaan dari negara-negara kaya umumnya berada pada rangking 1 sampai 15, tapi secara rutin masih melakukan suap, terutama jika beroperasi di negara-negara berkembang. Perusahaan yang berasal dari negara kekuatan ekonomi baru Brasil, Rusia, India, dan Cina (BRICs) menempati rangking yang terakhir. Pada kasus Cina dan negaranegara yang tergabung dalam kelompok BRICs lainya, upaya penerapan prinsip bisnis anti-korupsi di negaranya ternyata tidak diterapkan oleh perusahaanperusahaan mereka ketika beroperasi di luar negeri. “Perusahaan-perusahan yang melakukan suap sesungguhnya menghambat upaya perbaikan tata laksana pemerintahan di negara-negara berkembang sehingga mereka turut mendorong lingkaran kemiskinan,” ujar Ketua Transparency International, Huguette Labelle. Responden dari negara-negara berpendapatan rendah seperti di Afrika, memandang perusahaan-perusahaan Perancis dan Italia sering melakukan suap di negara mereka. “Adalah munafik jika penegakan hukum oleh pemerintah negara-negara anggota OECD hanya merupakan lip-service saja, sementara perusahaan-perusahaan mereka terus melakukan suap ketika beroperasi di luar negeri. Indeks Pembayar
1
Suap Transparency International menunjukan bahwa negara-negara tersebut kurang menunjukan keseriusan dalam mengawasi dan memantau tindakan suap yang dilakukan perusahaannya di luar negeri”, ungkap David Nussbaum, Chief Executive Transparency International. “Catatan Penegakan hukum internasioanl anti-suap masih mengecewakan”. “Pemerintah dan perusahaan telah memiliki aturan dan alat untuk diterapkan,” ujar Nussbaum. “Hukum anti suap telah dikembangkan di hampir semua Negara maju dengan mengadopsi konvensi anti-korupsi PBB dan OECD, tetapi masih terdapat masalah besar dalam penerapan dan penegakannya” Rangking IPS: Tak ada pemenangnya !
Rangking 1 2 3 4 5 6 7 8 9 11 12 13 14 15 16 17 18 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Negara Swiss Swedia Australia Austria Kanada Inggris Jerman Belanda Belgia AS Jepang Singapura Spanyol Uni Emirat Arab Prancis Portugis Meksiko Hong Kong Israel Italia Korea Selatan Arab Saudi Brasil Afrika Selatan Malaysia Taiwan Turki Rusia Cina India
Skor ratarata 7.81 7.62 7.59 7.50 7.46 7.39 7.34 7.28 7.22 7.22 7.10 6.78 6.63 6.62 6.50 6.47 6.45 6.01 6.01 5.94 5.83 5.75 5.65 5.61 5.59 5.41 5.23 5.16 4.94 4.62
Prosentase ekspor global (2005) 1.2 1.3 1.0 0.5 3.5 3.6 9.5 3.4 3.3 8.9 5.8 2.2 1.9 1.1 4.3 0.3 2.1 2.8 0.4 3.6 2.8 1.8 1.2 0.5 1.4 1.9 0.7 2.4 5.5 0.9
Ratifikasi Konvensi OECD X X X X X X X X X X X
Ratifikasi konvensi PBB melawan korupsi
X X X
X
X
X X X
X X
X X X
X
X X X
Hasil di atas berasal dari jawaban 11.000 lebih pelaku bisnis di 125 negara yang disurvei dalam Survei Opini Eksekutif the World Forum 2006. Skor 10 menunjukan persepsi tidak ada korupsi, skor 0 menunjukan bahwa korupsi dianggap marak. Posisi teratas ditempati Swiss, namun skor 7,8 masih jauh dari sempurna. Pesannya: mungkin ada banyak variasi, tetapi tidak ada pemenang yang sesungguhnya. BRICs: Pengaruh besar, tanggung jawab besar Negara-negara BRIC menempati urutan akhir dalam indeks IPS TI. India memiliki skor terendah. Cina, negara pengekspor terbesar ke-empat menempati rangking 2 terakhir dalam indeks ini.
2
“Perusahaan yang melakukan tindak pidana suap sesungguhnya mengorbankan upaya-upaya perang melawan kemiskinan di negara-negara Afrika,” kata Direktur Regional Transparency International untuk Afrika, Casey Kelso. “Negara-negara Afrika seharusnya mengusut mereka secara serius. Melalui program anti-korupsinya, lembaga pembangunan regional seperti African Development Bank dapat membantu dengan mencegah perusahaan-perusahaan yang tidak jujur itu meraup keuntungan besar dengan bisnisnya sementara kemiskinan di negara-negara Afrika tetap terabaikan.” “Munculnya negara-negara BRIC sebagai kekuatan baru dalam perdagangan dunia, melahirkan tanggung jawab yang lebih besar bagi mereka untuk memerangi korupsi”, ujar Labelle. “Inilah saat yang tepat bagi Rusia, Cina, dan India untuk menjalankan ketentuan Konvensi OECD melawan Suap dan berkontribusi terhadap pasar pada masa mendatang. Dengan demikian mereka menjadi bagian dalam sejarah pemberantasan korupsi.” Brasil, salah satu anggota BRIC, telah meratifikasi konvensi ini pada tahun 2000. Negara peringkat teratas belum mencapai indeks yang memuaskan Negara-negara yang menduduki rangking atas masih perlu melakukan banyak perbaikan dalam usaha memerangi suap. Pada bulan Maret tahun ini, perusahaan mobil yang dimiliki Jerman dan AS, DaimlerChrysler mengakui bahwa mereka tengah melakukan penyelidikan dan pemeriksaan dugaan “pembayaran tak resmi” yang dilakukan oleh staf mereka di Afrika, Asia, Eropa Timur. Turki menempati urutan ke-27, hampir menempati posisi terakhir dalam indeks ini. Ini merupakan hasil yang kritis karena negara ini sedang berupaya keras memperoleh keanggotaan Uni Eropa. Hasil ini menimbukan pertanyaan yang dapat menyulitkan negara ini tentang komitmen mereka terhadap Konvensi Anti-Suap OECD di mana Turki telah bergabung dengan OECD sejak tahun 2003. Sementara rekan sekawasannya di Eropa, Perancis dan Italia memiliki skor yang juga rendah. Jawaban responden di Afrika menempatkan Italia dan Perancis pada urutan ke-6 terendah. Amerika Serikat, yang melakukan terobosan baru dengan Foreign Corrupt Practices Act pada tahun 1977, seharusnya menempati rangking teratas, tetapi posisinya berada di belakang negara-negara anggota OECD. Inggris telah menunjukan upaya penegakan konvensi OECD yang rendah, walaupun skandal-skandal yang ada melibatkan perusahaan-perusahaan seperti British Aerospace. Transparency International telah menerbitkan laporan berkala tentang penegakan hukum konvensi tersebut dan hasilnya menunjukan bahwa hanya terdapat sedikit kemajuan di seluruh negara-negara anggota OECD. Di beberapa negara Asia, upaya memerangi korupsi yang kuat di dalam negeri, tidak mereka jalankan dengan konsisten manakala mereka melakukan bisnis di luar negeri. Hal ini terutama terjadi pada perusahaan-perusahaan yang berasal dari Singapura, Hong Kong, dan Taiwan. Mereka dinilai sangat korup oleh responden dari negara-negara non-OECD – hal yang sama juga terjadi pada perusahaanperusahaan asal Uni Emirat Arab – yang menunjukan standar ganda dalam praktek bisnis mereka. Meksiko, yang sebagian besar ekspornya mengalir ke Amerika Serikat, memiliki skor yang tinggi dan menempati urutan teratas di antara negara-negara Amerika Selatan.
3
Ikuti rantai pengadaan (supply chain) Perusahaan yang dinilai oleh para reponden dalam survey ini adalah cabang dari perusahaan multinasional. Akan tetapi “perusahaan multinasional tersebut harus siap bertanggung jawab terhadap tindakan yang diambil oleh perusahaan cabangnya atau agennya di luar negeri,” ujar anggota Dewan Pengurus Transparency International, Jermyn Brooks. “Mereka harus melakukan due diligence sebelum terikat dengan perjanjian kerja sama. Divisi Pembelian (Pengadaan), Divisi Ekspor, dan Divisi Pemasaran serta Penjualan masih merupakan divisi yang rentan terhadap suap dan korupsi.“ Biaya yang dikeluarkan untuk melakukan suap bisa sangat besar. Dan perusahaan yang terbiasa melakukan suap di luar negeri memiliki resiko kehancuran akibat tindakan tidak etis para karyawannya. Demi kelangsungan hidup jangka panjang, perusahaan harus mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengakhiri praktekpraktek suap yang ada. Standar global untuk keadilan global Masyarakat internasional telah memiliki kerangka internasional yang terus berkembang untuk memerangi korupsi di era globalisasi ini. Banyak kemajuan telah dicapai, khususnya penerimaan dan penerapan Konvensi Anti-Suap OECD, tetapi pengawasan dan penegakan aturannya harus lebih keras dan tegas lagi. Selain itu, kemajuan yang telah dicapai akan rusak jika pemain besar seperti Cina, India, dan Rusia masih berada di luar sistem. Mereka merupakan ganjalan besar bagi perusahaan dan negara anggota OECD untuk mematuhi aturan yang ada. Jika aturan ini tidak diindahkan, semua pihak akan mengalami kerugian. Negara-negara yang mengadopsi peraturan Konvensi Anti-Suap OECD, sesungguhnya menunjukan bahwa mereka menganggap suap di luar negeri sebagai masalah yang sangat serius dan mereka petensial untuk memperoleh keanggotaan penuh OECD.
REKOMENDASI •
• • •
•
Negara-negara anggota OECD harus meningkatkan penegakan aturan yang melarang melakukan suap di luar negeri seperti yang telah diatur dalam Konvensi Anti-Suap OECD dan mengerahkan semua sumber yang diperlukan untuk saling mengawasi penegakan hukumnya. Cina, India, dan Rusia sudah seharusnya mengadopsi aturan-aturan Konvensi Anti-Suap OECD. Bank Pembangunan Multilateral harus memasukan perusahaan yang terbukti bersalah melakukan suap ke dalam daftar hitam mereka. Perusahaan harus melakukan due diligence jika melakukan kerja sama dengan perusahaan lain atau melakukan akuisisi, dan menetapkan dan memberlakukan kebijakan anti-suap di internal perusahaan yang mencakup agen dan cabang mereka. Negara-negara berkembang harus memproses secara hukum perusahaan asing yang terbukti melakukan suap di negara mereka. Upaya penuntutan ini harus didukung oleh kerja sama hukum dan keuangan negara-negara tuan rumah. ### Transparency International is the global civil society organisation leading the fight against corruption
4
Note to editors: Keterangan lebih lanjut tentang Indeks Pembayar Suap tersedia dalam website TI Indonesia, www.ti.or.id
9 Desember 2006 adalah Hari Anti-Korupsi Internasional Media Contacts:
TRANSPARENCY INTERNATIONAL
Jesse Garcia Gypsy Guillén Kaiser Tel: +49 30 3438 20 666 Mobile: +49 162 419 6454
[email protected]
Alt Moabit 96 10559 Berlin, Germany http://www.transparency.org
Rizal Malik Sekjen TI Indonesia Tel.:021-7208515, 7236004,7267807
[email protected] www.ti.or.id
Anung Karyadi Koordinator Advokasi dan Lobby Tel.:021-7208515, 7236004, 0811147737
[email protected]
5