Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 15 Nomor 2, Desember 2012 (Volume 15, Number 2, December, 2012) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)
PERUBAHAN KOMPOSISI BAHAN PEMBENTUK GELAS PADA KARAKTERISTIK GELAS-LIMBAH Aisyah Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN Kawasan PUSPIPTEK, Serpong-Tangerang 15310
ABSTRAK PERUBAHAN KOMPOSISI BAHAN PEMBENTUK GELAS PADA KARAKTERISTIK GELAS- LIMBAH. Daur bahan bakar nuklir menimbulkan limbah cair aktivitas tinggi (LCAT) yang banyak mengandung hasil belah dan sedikit aktinida yang komposisinya akan berbeda-beda tergantung antara lain dari jenis reaktor, pengkayaan bahan bakar, lama pendinginan bahan bakar bekas, dan fraksi bakar. Vitrifikasi LCAT dilakukan dengan gelas borosilikat dan melelehkan 0 campuran di dalam melter pada suhu 1150 C dan kemudian menuangkannya dalam canister. Komposisi LCAT yang berbeda mengharuskan perubahan komposisi bahan pembentuk gelas agar karakteristik gelas-limbah yang dihasilkan memenuhi ketentuan yang disyaratkan. Silika dalam bahan pembentuk gelas merupakan salah satu unsur pembentuk kerangka gelas yang jumlahnya akan mempengaruhi karakteristik gelas- limbah. Pada peneltian ini dipelajari perubahan komposisi bahan pembentuk gelas, dalam hal ini perubahan kandungan SiO2 dalam bahan pembentuk gelas pada karakteristik gelas limbah, yaitu densitas, titik leleh dan koefisien muai panjang. Perubahan SiO2 yang dipelajari adalah 44%, 45,3%, 46%, 48% dan 48,7% berat. Makin tinggi kadar SiO2 akan menaikkan densitas dan titik leleh gelas- limbah, sedangkan koefisien muai panjangnya akan menurun. Dengan menggunakan acuan gelas standar yang diproduksi oleh Japan Atomic Energy Agency (JAEA) yang mempunyai karakteristik densitas -7 0 2,74 g/cm3, titik leleh 1150 0C dan koefisien muai panjang 83x10 / C, maka untuk gelaslimbah dengan kadar SiO 2 sampai dengan 48,7% memiliki harga densitas, titik leleh dan koefisien muai panjang yang masih diperkenankan. Kata kunci: Limbah cair aktivitas tinggi, vitrifikasi, bahan pembentuk gelas, gelas-limbah.
ABSTRACT VARIATION OF GLASS FORMING MATERIAL COMPOSITION TO CHARACTERISTICS OF WASTE- GLASS. Nuclear fuel cycle generates a high level liquid waste (HLLW) that contains both fission products and actinides, whose composition will vary depending on, among others: type of the reactor, enrichment of the fuel, cooling of the spent fuel, and burn up. The vitrified HLLW was performed with borosilicate glass and smelting the waste glass mixture in a melter at a temperature 0 of 1150 C, and pouring the mixture into the canister. The different concentration of HLLW requires the composition changing of the glass frit, for the waste-glass product with the characteristics that meets the requirements. Silica in the glass frit is one of the elements conforming the structure of the glass, whose amount affects the characteristics of the waste glass. The research on hand studied the change of glass frit composition in this case the influence of SiO2 content in the glass frit towards the waste-glass characteristics i.e. density, melting point and elongation expansion coefficient. SiO2 content which was studied i.e.: 44%, 45.3%, 46%, 48% and 48.7% by weight. The higher the content of SiO2 results in the higher the density and melting point of the waste-glass, and the lower the elongation expansion coefficient. Referenced to the Standard Glass produced by the 3 Japan Atomic Energy Agency (JAEA) that has the characteristics density of 2.74 g/cm , melting 0 0 point of 1150 C and elongation expansion coefficient of 83x10-7/ C, the waste glass with SiO2 content up to 48.7%, the density, melting point and length expansion coefficient was concluded to be within the allowed value. Key words: High level liquid waste, vitrification, glass frit, waste-glass.
1
Aisyah : Perubahan Komposisi Bahan Pembentuk Gelas pada Karakteristik Gelas Limbah
PENDAHULUAN Pemanfaatan teknologi di Indonesia telah berkembang dalam berbagai bidang seperti bidang pertanian, peternakan, industri, kedokteran, penelitian p nelitian dan pengembangan (litbang) dan bidang lainnya. Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) saat ini merupakan lembaga litbang pemanfaatan teknologi nuklir yang telah memiliki 3 reaktor nuklir besert beserta a laboratorium pendukungnya yaitu Reaktor Serbaguna G.A. Siwabessy yang berlokasi di Serpong, Reaktor Triga Mark di Bandung dan Reaktor Kartini di Yogyakarta. Atas dasar pengalaman dalam mengoperasikan 3 reaktor nuklir dan juga atas dasar kebutuhan energi dimasa depan maka BATAN berperan aktif mendorong pemerintah dalam rencana pembangunan Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia. Sejalan dengan hal itu tentu akan ditimbulkan limbah radioaktif yang memerlukan pengelolaan yang benar dan selamat aga agarr pemanfaatan teknologi nuklir tidak menimbulkan dampak radiologis bagi manusia dan lingkungan baik untuk generasi saat ini maupun generasi mendatang. Salah satu jenis limbah radioaktif yang ditimbulkan dari operasional reaktor nuklir adalah bahan bakar nuklir klir bekas (BBNB). Pada daur bahan bakar nuklir terbuka, maka BBNB disimpan selama 40 – 60 tahun yang selanjutnya dilakukan disposal pada formasi geologi ((geologic disposal)) pada kedalaman 500 - 1000 m di bawah permukaan tanah [1,2] . Sedangkan pada p daur bahan bakar nuklir tertutup dilakukan proses olah ulang (reprocessing) BBNB sehingga akan ditimbulkan limbah cair aktivitas tinggi (LCA (LCAT) dengan kandungan utama hasil belah dan sedikit aktinida [3,4]. Adanya proses peluruhan radionuklida dalam LCAT maka m aktivitas ktivitas radionuklida dalam LCAT akan terus menurun dengan berjalannya waktu. Pada asumsi bahwa proses olah ulang dilakukan setelah 10 tahun BBNB dikeluarkan dari reaktor, maka peluruhan eluruhan radionuklida dalam 1 metrik ton BBNB untuk jenis reaktor Pressurized Water Reactor (PWR) sebagai fungsi waktu ditunjukkan pada Gambar 1 [5,6]. Pada Gambar 1 tampak radionuklida hasil belah seperti 137 90 237 Cs , Sr , sedangkan aktinida yang merupakan raadionuklida umur paro panjang seperti Np 6 99 5 129 7 (waktu paro 2,10 x 10 tahun), Tc (waktu paro 2,10 x 10 tahun), I (waktu paro 1,57 x 10 241 4 tahun), dan Am (waktu paro 433 tahun). Setelah waktu sekitar 10 tahun sebagian besar radioanuklida dalam LCAT akan meluruh sehingga aktivitas yang tersisa akan sama dengan aktivitas dari bijih uranium yang terjadi secara alamiah (NORM: naturally-occurring occurring uranium material), meskipun akan lebih terkonsentrasi.
Gambar 1. Pengaruh waktu pada aktivitas radionuklida dalam LCAT [5,6] Meskipun Indonesia belum menentukan pilihan opsi daur bahan bakar nuklir terbuka atau tertutup, namun saat ini terdapat limbah radioaktif di BATAN yang memiliki kemiripan dengan LCAT dari proses olah ulang yaitu LCAT dari pengujian bahan bakar paska iradiasi di Instalasi Radiometalurgi, Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir dan juga LCAT dari proses produksi
2
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 15 Nomor 2, Desember 2012 (Volume 15, Number 2, December, 2012) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)
99
radioisotop Molibdenum-99 (Mo ) dari PT. Batan Teknologi (BATEK). Mengingat komposisi LCAT akan berbeda-beda maka diperlukan penguasaan teknologi pengelolaan LCAT baik LCAT dari proses daur ulang bahan bakar nuklir maupun LCAT yang ditimbulkan dari kegiatan BATAN. Komposisi LCAT yang ditimbulkan akan berbeda-beda tergantung banyak faktor, seperti jenis reaktor, besarnya pengkayaan uranium, fraksi bakar (burn up), tenaga spesifik dan lama pendinginan sebelum proses vitrifikasi dan komposisi ini dapat ditentukan secara analisis laboratorium ataupun menggunakan program komputer Origen 2 [4,7]. Hal penting dalam pengelolaan LCAT adalah pemilihan bahan matriks untuk imobilisasi beserta teknologi imobilisasinya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih bahan matriks untuk imobilisasi LCAT adalah proses pembuatan yang mudah dan praktis, kandungan limbah (waste loading) yang ekonomis, ketahanan kimia yaitu laju pelindihan yang rendah, kestabilan terhadap radiasi, kestabilan terhadap panas yaitu tidak mudah terjadi devitrifikasi (kristalisasi gelas) dan keutuhan fisik (phisycal integrity) [8,9]. Terdapat beberapa bahan matrik untuk imobilisasi LCAT seperti gelas, synrock dan vitromet. Berdasarkan pertimbangan teknik pembuatan, stabilitas dalam jangka panjang dan kandungan limbahnya, gelas borosilikat dipilih untuk imobilisasi LCAT dan proses ini disebut vitrifikasi [9,10]. Teknologi vitrifikasi yang telah dikembangkan secara industri untuk imobilisasi LCAT adalah dengan menggunakan melter pemanas induksi ataupun melter pemanas Joule seperti yang dikembangkan di Jepang, Jerman, Amerika dan Perancis [11,12,13]. Sebagai contoh proses vitrifikasi yang dilakukan di Japan Atomic Energy Agency (JAEA) Jepang yang dilakukan dengan menggunakan Melter pemanas Joule seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 [14,15,16]. Pada sistem pemanas Joule vitrifikasi dilakukan dengan cara bahan pembentuk gelas (glass feed) yang berbentuk silinder dan LCAT diumpankan secara langsung ke dalam ruang pelelehan melter (tungku) yang telah mengandung lelehan gelas limbah. Pengumpanan dilakukan masing masing melalui pipa pengumpan (Glass feed pipe dan HLW feed pipe). Pencampuran antara bahan pembentuk gelas dan LCAT terjadi o dalam melter pada suhu antara 1100 ~ 1200 C sehingga terbentuk lelehan gelas-limbah yang o homogen. Pada umumnya melter dipertahankan pada suhu 1150 C. Lelehan gelas-limbah kemudian dituang kedalam canister melalui lubang penuangan (pouring nozzle). Dalam melter sistem Joule ini pemanasan awal (start - up heater) dilakukan dengan heater dan microwave yang frekuensinya 915 MHz dan kapasitas maksimumnya 50 kW. Pemanasan awal ini dilakukan sampai pada suhu 600 ºC. Pemanasan selanjutnya dilakukan melalui aliran listrik dari elektrode (Main electrode dan Auxciliary electrode). Pada suhu 600 ºC atau lebih, lelehan gelas-limbah dapat menghantarkan arus listrik. Aliran listrik melalui lelehan gelas-limbah antara 2 elektrode yang tercelup sehingga menimbulkan panas sampai suhu 1150 ºC. Elektrode yang digunakan adalah inconel-690. Untuk mempertahankan elektrode pada suhu operasi vitrifikasi maka disekitar elektrode dilengkapi dengan sistem pendingin udara (air cooling line), sedangkan untuk menghentikan aliran gelas limbah kedalam canister maka pada lubang pengeluaran gelas limbah dilengkapi dengan katup pendingin udara (air cooling for a freezing valve). Melter pada sistem pemanas Joule ini terdiri dari beberapa lapisan bata tahan api (refractory). Bata tahan api yang paling dalam yaitu yang kontak langsung dengan gelas limbah adalah monofrax-K3 , yang tahan terhadap korosi. Laju korosi monofrax-K3 dalam lelehan gelas limbah pada suhu 1150 °C adalah 0.022 mm/hari. Lapisan bata tahan api yang di bagian yang lebih luar adalah bata tahan api MRT70K, LN-135, AZ-GS, fiberboard, dan baja tahan karat 304. Terdapat serangkaian proses lanjutan untuk penanganan canister yang telah berisi gelaslimbah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 [17,18]. Proses diawali dengan pengelasan tutup canister setelah proses pengisian gelas-limbah dari melter selesai. Pengukuran kontaminasi permukaan dilakukan guna proses dekontaminasi canister. Untuk keperluan penyimpanan sementara dalam sumuran (pit) maka dilakukan pengukuran dimensi guna memastikan bahwa proses pengisian lelehan gelas-limbah tidak mempengaruhi dimensi canister. Hal ini diperlukan agar canister yang telah bersih dari kontaminasi tepat dimensinya untuk dimasukkan dalam sumuran tempat penyimpanan sementara. Sistem penyimpanan sementara ini dilengkapi dengan sistem pendingin udara guna menjaga gelas-limbah agar tidak terjadi devitrifikasi. Penyimpanan sementara gelas-limbah dengan sistem pendingin udara dilakukan selama 30 – 50 tahun. Setelah 50 tahun, dilakukan disposal pada formasi geologi [19,20].
3
Aisyah : Perubahan Komposisi Bahan Pembentuk Gelas pada Karakteristik Gelas Limbah
Gambar 2. Proses vitrifikasi LCAT [16]
Gambar 3. Penanganan canister setelah proses vitrifikasi [17,18]
4
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 15 Nomor 2, Desember 2012 (Volume 15, Number 2, December, 2012) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)
Adanya perbedaan komposisi LCAT karena perbedaan jenis reaktor dan bahan bakar, maka mengharuskan perubahan komposisi bahan pembentuk gelas yang bervariasi agar diperoleh karakteristik gelas-limbah yang memenuhi syarat baik untuk proses maupun untuk penyimpanan. Banyak faktor yang mempengaruhi karakteristik gelas-limbah dalam proses vitrifikasi seperti komposisi limbah, komposisi bahan pembentuk gelas maupun kondisi operasi vitrifikasi dimana masing-masing unsur memiliki peran dalam karakteristik gelas-limbah yang dihasilkan. Misalnya unsur Mo, Zr dan Cr dapat membentuk fase pemisah dan mempengaruhi viskositas gelas, unsur Si, Al, Fe, Ti, Ca dan Zr menaikkan suhu pembentukan gelas-limbah. Umumnya gelas borosilikat dengan kandungan SiO2 di atas 40% mempunyai kualitas yang memenuhi syarat hasil vitrifikasi. Unsur B menurunkan suhu pembentukan dan viskositas gelas limbah. Adanya B 2O 3 sekitar 15% akan menstabilkan gelas-limbah. Unsur Mg (dari bahan bakar Magnox) dapat menaikkan suhu pembentukan gelas-limbah. Unsur Li,Na dan K menurunkan suhu pembentukan gelas limbah, viskositas, tetapi menaikkan laju pelindihan dan hantaran listrik. Kadar PuO2 lebih besar dari 4% berat dalam gelas limbah akan terjadi pemisahan fase [21,22]. Sesuai dengan kandungan limbahnya maka komposisi bahan pembentuk gelas memiliki peran yang penting dalam menghasilkan karakteristik gelas-limbah yang sesuai dengan standar. Perubahan kompisisi bahan pembentuk gelas akan menghasilkan karakteristik gelas-limbah yang berbeda. Unsur Si merupakan salah satu komponen penting dalam bahan pembentuk gelas yang merupakan unsur pembentuk kerangka gelas yang jumlahnya dapat mempengaruhi kualitas gelas [22]. Jadi semakin tinggi kadar Si dalam bahan pembentuk gelas maka akan dihasilkan gelas- limbah dengan kualitas yang semakin baik, namun suhu pelelehan makin tinggi. Seperti misalnya gelas kuarsa yaitu gelas dengan 0 kadar SiO2 100%, suhu lelehnya 1700 C. Gelas Pyrex dengan kadar SiO2 80%, suhu 0 lelehnya 1300 C [23,24]. Makin tinggi suhu pelelehan, maka umur melter makin pendek, sehingga makin banyak limbah padat sekunder yang dihasilkan. Jadi pada pembentukan gelas-limbah, pertimbangannya tidak hanya membuat gelas-limbah sebaik mungkin dengan laju pelindihan sekecil mungkin dan kekuatan mekanik setinggi mungkin, tetapi faktorfaktor untuk proses, penyimpanan, dan disain peralatan harus diperhatikan. Oleh karena itu dalam penelitian ini dipelajari pengaruh perubahan komposisi bahan pembentuk gelas dalam hal ini pengaruh perubahan kadar SiO2 dalam bahan pembentuk gelas terhadap beberapa karakteristik gelas-limbah yaitu densitas, titik leleh dan koefisien muai panjang. Pengukuran densitas gelas-limbah diperlukan dalam perancangan melter, canister, sistem transportasi, dan penyimpanan serta pengukuran ditentukan secara archimides. Pengukuran titik leleh gelas limbah terkait dengan pengukuran viskositas, karena titik leleh gelas limbah adalah suhu pada saat viskositas lelehan gelas-limbah 100 poise [25]. Viskositas lelehan gelas-limbah penting untuk proses penuangan lelehan gelas-limbah dari melter ke canister pada proses skala industri. Penuangan gelas-limbah dari melter ke canister 0 dilakukan pada suhu 1150 C dengan viskositas 100-500 poise. Pengukuran viskositas dilakukan dengan alat viskometer. Koefisien muai panjang gelas- limbah merupakan sifat yang penting untuk mengevaluasi ketahanan terhadap kejutan panas. Gelas yang mempunyai -7 0 koefisien muai panjang kurang dari 50x10 / C merupakan gelas yang tahan panas. Namun -7 0 0 demikian gelas-limbah dengan koefisien muai panjang lebih kecil dari 100x10 / C (30 –300 C) masih cukup tahan terhadap kejutan panas [23]. Pengukuran koefisien muai panjang dilakukan dengan alat dilatometer. METODE Penelitian ini dilakukan di Japan Atomic Energy Agency (JAEA) Jepang dalam rangka Program Training High Level Waste Management. Penulisan makalah dilakukan di Bidang Teknologi Pengolahan Limbah Dekontaminasi dan Dekomisioning (BTPLDD), Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR), BATAN pada Tahun 2011.
5
Aisyah : Perubahan Komposisi Bahan Pembentuk Gelas pada Karakteristik Gelas Limbah
Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa serbuk oksida dengan kemurnian tinggi buatan Jepang seperti SiO2; B 2O3; Al2O3; Li 2O; Na2O; CaO; K2O; ZnO; Na2O; Fe2O 3; Cr 2O3; NiO, Cs2O; dan CeO2. Sebagai standar digunakan komposisi bahan pembentuk gelas dan karakteristik gelas-limbah milik JAEA seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 [21,22]. Peralatan Dalam penelitian ini digunakan beberapa peralatan seperti melter (tungku), timbangan, cawan platina, crusible grafit, termometer, seperangkat alat dilatometer dan seperangkat alat viskometer. Skema peralatan viscometer dan dilatometer masing-masing masing ditunjukkan padaa Gambar 4 dan 5 [26, 27,28] Tabel 1. Komposisi bahan pembentuk embentuk gelas standar dan karakteristik gelas-limbah standar s [21,22] Glass Frit Standar Gelas Limbah Standar Oksida % berat Karakteristik Besaran -3 SiO2 62,3 Densitas 2,74 g cm -7 0 -1 0 B2O3 19 Koefisien muai panjang 83x10 C (30-300 C) 0 Al2O3 6,7 Titik transformasi 501 C -2 -1 0 -1 0 LiO2 4,0 Konduktivitas panas 0,87 K cal m jam C (pada 100 C) 0 CaO 4,0 Titik pelunakan 614 C 0 ZnO 4,0 Tahanan listrik 4,8 ohm cm (pada 1150 C) 0 Kekentalan 40 poise pada (1150 C) -5 -2 -1 0 Laju pelindihan 2,3x10 g cm hari (statik, 100 C, 24 jam) -1 0 -1 0 Panas jenis 0,21 cal g C (pada 1150 C) Kekuatan mekanik 57 Mpa
Gambar 4. Skema peralatan viskometer [26, 27,28].
6
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah ((Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 9565 Volume 15 Nomor 2, Desember 2012 (Volume 15, Number 2, December, 2012) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive ( Waste Technology Center)
Gambar 5. Skema peralatan dilatometer [26, 27,28]
TATA KERJA Pembuatan sampel gelas-limbah gelas Dalam penelitian ini digunakan limbah simulasi yaitu dengan mengganti unsur unsu radioaktif aktinida dengan unsur Ce dan radionuklida hasil belah diwakili oleh Cs. Pada umumnya u gelas borosilikat dengan kandungan kandunga SiO2 di atas 40% mempunyai kualitas yang yan memenuhi syarat hasil vitrifikasi.. Oleh karena itu dalam penelitian ini perubahan kadar SiO2 dalam bahan pembentuk gelas dibuat dengan variasi 44; 45,3 ; 46; 48; 48,7 % berat, sehingga dapat diketahui seberapa besar perubahan karakteristiknya jika dibandingkan dengan gelas-limbah gelas standar yang memiliki kadar SiO 2 cukup tinggi yaitu 62,3 % berat. Sampel gelas-limbah limbah yang digunakan dalam penelitian ini memiliki komposisi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2 [21,22]. Pembuatan sampel gelas-limbah limbah simulasi dilakukan dengan cara mencampur semua oksida yang terkandung dalam komposisi gelas-limbah gelas limbah sampai homogen dan kemudian dimasukkan dalam cawan platina 0 untuk dipanaskan askan dalam melter pada suhu 1150 C selama 2,5 jam sambil dilakukan pengadukan 0 secara berkala. Annealing Annealin dilakukan selama 2 jam pada suhu 510 C dalam crusible grafit dan 0 selanjutnya dilakukan pendinginan dengan laju 16,7 C/jam. Tabel 2. Komposisi sampel ampel gelas-limbah Komposisi Gelas Limbah (% berat) SiO2
B2O3
Al2O3
Li2O
Na2O
CaO
K2O
ZnO
Na2O
44,0 45,3 46,0 48,0 48,7
14,4 14,1 13,9 13,5 13,0
3,46 3,27 3,0 2,7 2,5
3,12 2,76 2,6 2,1 2,0
1,01 0,96 1,9 2,2 2,2
2,05 1,95 1,5 1,4 1,2
2,05 1,95 1,5 1,0 1,0
2,05 1,95 1,5 1,0 1,0
7,41 7,41 7,41 7,41 7,41
Fe2O3 Cr 2O3 7,41 7,41 7,41 7,41 7,41
0,49 0,49 0,49 0,49 0,49
NiO
Hasil Belah dan Aktinida
0,49 0,49 0,49 0,49 0,49
12,15 12,15 12,15 12,15 12,15
7
Aisyah : Perubahan Komposisi Bahan Pembentuk Gelas pada Karakteristik Gelas Limbah
Karakterisasi Gelas-Limbah 1. Penentuan Densitas Gelas-Limbah Densitas gelas-limbah ditentukan secara Archimides dengan cara menimbang potongan gelas-limbah di udara dan dalam keadaan tercelup dalam air pada suhu kamar. Densitas gelaslimbah dihitung dengan persamaan: ρ = (W a ρw - W w ρa)/(W a – W w) (1) -3
-3
dimana ρ adalah densitas gelas-limbah (g cm ) , ρw adalah densitas air (g cm ), ρa adalah -3 densitas udara (g cm ), W a adalah berat gelas-limbah di udara (g) dan W w adalah berat gelaslimbah di air (g). Sebagai standar dalam pengukuran densitas digunakan aluminium [22,29]. 2.
Penentuan Titik Leleh Gelas-Limbah Titik leleh gelas-limbah ditentukan dengan mengukur viskositasnya. Jika viskositas gelaslimbah telah mencapai harga 100 poise maka suhu pada saat itu disebut suhu leleh. Viskositas gelas-limbah dapat ditentukan dengan alat viskometer yang didasarkan atas gerakan bola platina dalam lelehan gelas-limbah. Pengukuran dilakukan dengan cara memanaskan gelas-limbah pada suhu yang sesuai dengan pengukuran viskositas. Pemanasan gelas-limbah dilakukan pada crucible Pt yang berdiameter 50 mm dan tinggi 70 mm. Waktu gerakan bola Pt ke atas sejauh 10 mm diukur guna penambahan berbagai berat pada lengan neraca kanan. Kekentalan gelas-limbah dihitung dengan persamaan:
݇=
η
(2)
୵(୲ି୲୭)/୶
dimana η adalah kekentalan (poise), k adalah tetapan neraca, w adalah berat beban yang ditambahkan pada neraca kanan (g), t adalah waktu gerakan bola Pt keatas sejauh 10 mm (detik), to adalah koreksi waktu yang tergantung pada berat beban yang ada pada lengan neraca kanan (detik), x adalah koreksi jarak (0,979 mm) dan k adalah tetapan neraca 39,0 dimana harga ini tergantung pada bola dan kawat Pt serta crucible [26, 27,28]. 3.
Penentuan Koefisien Muai Panjang Gelas-Limbah Pengukuran koefisien muai panjang dilakukan dengan alat dilatometer dengan cara memanaskan sampel gelas-limbah yang berbentuk balok dengan ukuran 5x5x(15 ~ 20) mm dari 0 0 suhu 30 ~300 C dengan laju pemanasan 10 C/menit. Koefisien muai panjang (α ) gelas-limbah dihitung dengan persamaan:
ߙ=
∆ (ଷିଷ)
+ 5,61 x 10ି
(3) 0
-1
dimana ߙ adalah koefisien muai panjang contoh ( C ), Lo adalah panjang contoh awal (mm), L -7 adalah panjang contoh setelah pemanasan (mm) dan 5,61x10 adalah koefisien muai panjang kuarsa (sebagai koreksi) [26, 27,28]. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ditunjukkan pada Gambar 6 ~10. Gambar 6 menunjukkan pengaruh perubahan kadar SiO2 dalam bahan pembentuk gelas terhadap densitas gelas-limbah. Pada G ambar 6 tampak bahwa semakin tinggi kadar SiO2 dalam bahan pembentuk gelas maka densitas akan meningkat. Unsur Si merupakan salah satu unsur dalam bahan pembentuk gelas yang cukup dominan yang membentuk struktur kerangka gelas yang kuat. Semakin tinggi kadar SiO2 maka jumlah kerangka gelas yang terbentuk yang dapat ditempati unsur radionuklida didalamnya semakin banyak yang berarti struktur gelas limbah semakin padat, sehingga densitas semakin besar. Hal ini sejalan dengan titik leleh dan viskositasnya yang semakin besar. Jika dibandingkan dengan gelas limbah standar yang mempunyai 3 densitas 2,74 g/cm maka untuk gelas limbah dengan kadar SiO2 44 % memiliki densitas yang sama sedangkan untuk gelas limbah dengan kadar SiO2 48,7 % memiliki densitas hanya lebih besar 1,06%. Penambahan kadar SiO2 lebih besar lagi akan memberikan peningkatan densitas yang lebih nyata sehingga kualitas gelas limbah akan semakin meningkat. Gelas-
8
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 15 Nomor 2, Desember 2012 (Volume 15, Number 2, December, 2012) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)
Densitas (gcm-3)
limbah dengan densitas yang besar akan mempunyai laju pelindihan yang kecil, berarti potensi terlepasnya radionuklida ke lingkungan semakin kecil. Namun demikian kadar SiO2 yang besar akan menaikkan titik leleh gelas limbah, sehingga proses vitrifikasi memerlukan suhu yang lebih tinggi lagi. Ini akan meningkatkan laju korosi refraktory (bata tahan api) melter sehingga meningkatkan timbulnya limbah radioaktif padat sekunder. Demikian pula untuk bisa menuangkan lelehan gelas-limbah dari melter ke canister perlu pemanasan yang lebih tinggi. Hal ini akan mengakibatkan energi untuk pembentukan gelas-limbah menjadi lebih tinggi. Oleh karena itu kadar SiO2 dalam gelas-limbah dibatasi antara 40 ~ 60 %. 2.78 2.77 2.76 2.75 2.74 2.73 42
44
46
48
50
Kadar SiO2 (% berat) Gambar 6. Pengaruh perubahan kadar SiO2 dalam bahan pembentuk gelas terhadap densitas gelas-limbah Selain kadar SiO2 yang dapat mempengaruhi densitas gelas-limbah, maka adanya radiasi alfa dari aktinida yang terkandung dalam limbah juga dapat mempengaruhi densitas gelas-limbah. Hal ini terjadi karena aktanida (uranium, neptunium, plutonium, americium dan curium) di dalam gelas-limbah meluruh dengan memancarkan radiasi alfa. Efek radiasi alfa yang dipancarkan aktinida memungkinkan terjadinya reaksi inti, karena partikel alfa dan partikel recoil alfa mempunyai energi yang cukup untuk menimbulkan reaksi inti dengan inti atom-atom yang berada dalam struktur gelas dengan tumbukan elastik Sebagai contoh adalah hasil penelitian dari Pasific 244 North West Laboratory (PNL) dimana gelas limbah didoping dengan Cm dengan konsentrasi beberapa kali lebih besar daripada konsentrasi aktinida yang sesungguhnya di dalam gelas 3 5 limbah sehingga memungkinkan percepatan efek radiasi alfa dengan faktor 10 – 10 . Hasil penelitian seperti ditunjukkan pada Gambar 7[30,31] Dari Gambar 7 tampak bahwa perubahan densitas mencapai optimal dan konstan sampai 24 3 dengan dosis kumulatif sekitar 5x10 peluruhan alfa/m . Perubahan densitas yang terjadi maksimal hanya sekitar 0,7 % sehingga perubahan karakteristik gelas-limbah lainnya seperti kekuatan mekanik yang diakibatkan pengaruh radiasi alfa ini tidak cukup siknifikan Pengaruh kadar SiO2 terhadap titik leleh gelas-limbah ditunjukkan pada pada Gambar 8. Pada Gambar 8 tampak bahwa semakin tinggi kadar SiO2 maka titik leleh gelas-limbah meningkat. Silika dan B2O 3 merupakan unsure pembentuk gelas yang dominan dan mempunyai perbandingan komposisi yang tertentu, yaitu masing-masing sekitar 60 dan 20% dalam bahan pembentuk gelas. Silika mempunyai titik leleh yang lebih tinggi 0 0 dibandingkan dengan B2O3 yaitu masing-masing 1700 C dan 450 C, sehingga dengan semakin tingginya kadar SiO2 maka titik leleh gelas-limbah akan naik. Untuk kadar SiO2 44 % 0 dalam gelas limbah, maka gelas limbah mempunyai titik leleh 1070 C, sedangkan untuk kadar 0 SiO2 48,7 % dalam gelas-limbah, maka gelas-limbah mempunyai titik leleh 1145 C. Titik leleh 0 gelas-limbah yang masih diperkenankan adalah 50 C di atas titik leleh gelas- limbah standar 0 yaitu (1150 – 1200 C). Oleh karena itu untuk kadar SiO2 sampai dengan 48,7 % berat maka titik lelehnya masih dalam batas yang diperkenankan. Kenaikan kadar SiO2 lebih lanjut walaupun akan memperbaiki kualitas gelas limbah, namun umur melter lebih pendek karena melter akan cepat terkorosi, sehingga kadar SiO2 dibatasi oleh suhu vitrifikasi yang optimal.
9
Aisyah : Perubahan Komposisi Bahan Pembentuk Gelas pada Karakteristik Gelas Limbah
Perubahan densitas (%)
0.8 0.6 0.4 0.2 0 0
1
2
3
4
5
Dosis Kumulatif (x1024 peluruhan alfa/m3) 244
Gambar 7. Perubahan densitas gelas-limbah yang didoping Cm
[30,31]
Titik leleh (0C)
1160 1140 1120 1100 1080 1060 42
44
46
48
50
Kadar SiO2 (% berat) Gambar 8. Pengaruh kadar SiO2 dalam bahan pembentuk gelas terhadap titik leleh gelas-limbah Seperti telah didefinisikan bahwa suhu leleh adalah suhu dimana viskositas gelas-limbah adalah 100 poise. Viskositas pada suhu tinggi akan mudah diukur dengan alat viskometer berdasarkan pergerakan bola platina dalam gelas-limbah. Namun untuk viskositas yang tinggi dimana titik leleh gelas- limbah rendah maka pengukuran viskositas dengan alat viscometer menjadi sulit. Oleh karena itu pada suhu rendah viskositas gelas-limbah ditentukan dengan persamaan Vogel-Fulcher-Tamman. [26]
log ߟ = ܣ+
்ି்
(4)
dimana A, B dan To adalah tetapan yang dapat ditentukan dengan mengukur kekentalan pada 3 suhu yang berbeda. Sebagai contoh hasil pengukuran viskositas gelas-limbah pada beberapa suhu untuk sampel gelas-limbah dengan kadar SiO2 44 % berat seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3 [26,32].
10
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 15 Nomor 2, Desember 2012 (Volume 15, Number 2, December, 2012) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)
Tabel 3. Pengukuran viskositas gelas limbah pada berbagai suhu 0
Suhu Pengukuran ( C) 1100 1052 1004 953
Viskositas (Poise) 8,33 12,62 98,94 94,31
Dengan menggunakan persamaan 4, maka viskositas gelas-limbah pada berbagai suhu sesuai dengan persamaan 5.
log ߟ = 1,51 +
ଶଷ
(5)
்ିଷଵଶ
Koefisien Muai Panjang (x!0-7/0C)
Dengan menggunakan persamaan (5) maka dapat ditentukan viskositas pada suhu rendah 0 5 4 3 seperti pada suhu 717, 790 dan 896 C masing-masing memiliki viskositas 10 , 10 dan 10 poise. Pengaruh kadar SiO2 dalam bahan pembentuk gelas terhadap koefisien muai panjang gelaslimbah ditunjukkan pada Gambar 9 . Pada Gambar 9 tampak bahwa semakin tinggi kadar SiO2 dalam bahan pembentuk gelas maka koefisien muai panjang semakin turun. Perbandingan jumlah unsur dalam bahan pembentuk gelas adalah tertentu seperti misalnya antara SiO2 dan B2O3, dimana dengan semakin tinggi kadar SiO2 maka kadar B2O 3 akan semakin turun. 92 90 88 86 84 82 80 78 42
44
46
48
50
Kadar SiO2 (% berat) Gambar 9. Pengaruh kadar SiO2 dalam bahan pembentuk gelas terhadap koefisien muai panjang gelas-limbah Koefisien muai panjang B2O 3 jauh lebih besar dibandingkan dengan koefisien muai -7 -7 0 panjang SiO2 yaitu masing-masing 150x10 dan (5 - 6)x10 / C, sehingga B2O 3 akan berpengaruh lebih besar pada harga koefisien muai panjang gelas limbah. Untuk kadar SiO2 44 -7 0 % koefisien muai panjang gelas- limbah 90,6x10 / C sedangkan untuk kadar SiO2 48,7 % -7 0 koefisien muai panjang 79,19x10 / C. Hal yang penting diperhatikan adalah perbedaan antara koefisien muai panjang antara canister dan gelas-limbah. Pada saat gelas-limbah mengalami perubahan fase (transition point),perubahan koefisien muai panjang dari gelaslimbah sangat besar. Pada kondisi tersebut, bila penyusutan volume antara gelas-limbah dan canister tidak sebanding, maka akan terjadi tegangan kompresi pada interface antara canister dan gelas-limbah. Keadaan ini akan mengakibatkan keretakan kecil sampai kehancuran gelaslimbah tergantung dari besarnya tegangan kompresi. Pada Gambar 10 ditunjukkan keretakan gelas-limbah dalam canister [33]. Keretakan seperti ini terutama terjadi pada canister yang memiliki sirip didalamnya. Sirip ini berfungsi untuk memperbesar perpindahan panas dalam gelas-limbah sehingga tidak terjadi akumulasi panas dalam canister yang dapat mengakibatkan terjadinya devitrifikasi. Devitrifikasi adalah terbentuknya kristal dalam gelas-limbah yang berakibat penurunan karakteristik gelas- limbah yaitu laju pelindihannya naik sehingga hal ini harus dihindari.
11
Aisyah : Perubahan Komposisi Bahan Pembentuk Gelas pada Karakteristik Gelas Limbah
Gambar 10. Keretakan gelas-limbah dalam canister [33]. Namun demikian jika koefisien muai panjang antara bahan sirip dan gelas jauh berbeda maka akan terjadi tegangan kompresi yang berakibat keretakan atau bahkan kehancuran gelas-limbah. Keretakan gelas- limbah ini dapat dihindari dengan memilih bahan sirip yang memiliki koefisien muai panjang yang disesuaikan dengan koefisien muai panjang gelas-limbah. Pada saat ini pemakain canister yang memiliki sirip didalamnya sudah ditinggalkan dan secara industri telah digunakan canister tanpa sirip seperti yang digunakan di JAEA. Untuk memperoleh karakteristik gelas-limbah yang sesuai dengan standar maka perlu pengaturan komposisi unsur dalam bahan pembentuk gelas yang tepat agar diperoleh kefisien muai panjang yang sebanding antara gelas-limbah dan. Canister. Koefisien muai panjang canister yang terbuat dari baja tahan karat -7 0 adalah 120x10 / C. [33]. KESIMPULAN Komposisi LCAT yang berbeda mengharuskan perubahan komposisi bahan pembentuk gelas agar diperoleh karakteristik gelas-limbah seperti densitas, titik leleh dan koefisien muai panjang yang diperkenankan. Makin tinggi kadar SiO2 dalam bahan pembentuk gelas maka densitas semakin besar yang berarti kualitas gelas-limbah semakin baik. Radiasi alfa dari aktinida yang terkandung dalam LCAT hanya mempengaruhi densitas sebesar 0,7 % dan tidak signifikan mempengaruhi karakteristik gelas-limbah yang lainnya. Semakin tinggi kadar SiO2 maka titik leleh akan semakin tinggi, sehingga proses vitrifikasi harus dilakukan pada suhu yang lebih tinggi. Titik leleh didifinikan adalah suhu dimana viskositas Gekas-limbah 100 poise. Pengukuran viskositas gelas-limbah pada suhu tinggi dapat diukur dengan alat viscometer, sedangkan viskositas gelas limbah pada suhu rendah ditentukan dengan persamaan Vogel-Fulcher-Tamman. S e makin tinggi kadar SiO2 maka titik leleh gelaslimbah akan semakin tinggi, sehingga proses vitrifikasi harus dilakukan pada suhu yang lebih tinggi, sedangkan koefisien muai panjang semakin menurun. Koefisien muai panjang gelaslimbah dan canister harus sebanding agar tidak terjadi keretakan gelas-limbah. Adanya keretakan gelas-limbah akan memperbesar laju pelindihan. Perlu ditentukan komposisi bahan pembentuk gelas dalam hal ini dengan mengatur kadar SiO2 yang tepat agar gelas-limbah mempunyai kualitas yang baik dan memenuhi persyaratan proses vitrifikasi. Dengan menggunakan acuan gelas standar yang diproduksi oleh Japan Atomic Energy Agency (JAEA) 3 0 yang mempunyai harga densitas 2,74 g/cm , titik leleh 1150 C dan koefisien muai panjang -7 0 83x10 / C, maka untuk gelas-limbah dengan kadar SiO2 sampai dengan 48,7% memiliki harga densitas, titik leleh dan koefisien muai panjang yang masih diperkenankan.
12
Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah (Journal of Waste Management Technology), ISSN 1410-9565 Volume 15 Nomor 2, Desember 2012 (Volume 15, Number 2, December, 2012) Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (Radioactive Waste Technology Center)
PUSTAKA [1]. Anonymous: Nuclear Waste Management, Available: http://www.numo.or.jp/en/jigyou/new_eng_tab04.html, diakses pada 15 -09- 2010. [2]. Kevlar : Uranium Sebagai Bahan Bakar Nuklir, Available: http://crystalfield.wordpress.com/2010/01/10/uranium-sebagai-bahan-bakar-nuklir/, diakses pada 17 – 02 – 2010. [3]. Kevlar : The Recycling of Nuclear Fuel and High Level Radioactive Waste, Available: http://www.numo.or.jp/en/jigyou/new_eng_tab04.html, diakses 05-01-2011 [4]. International Atomic Energy Agency : Management of Reprocessed Uranium Current Status and Future Prospects, IAEA TECDOC CD Series No. 1529, IAEA, Vienna, (2007). [5]. HKINC, Nuclear Power-High Level Waste: Alternative Solutions, Available: https://www.hknuclear.com/nuclear/power/waste/highlevelwaste/pages/hghlevelwastealtern ativesolutions.aspx, diakses pada 15 -01-2011. [6]. International Atomic Energy Agency: Spent Fuel Reprocessing Options, IAEA TECDOC Series No.1587, IAEA, Vienna, (2008). [7]. Oak Ridge National Laboratory, RSICC, Computer Code Collection Origen 2.1, ORNL, USA,(1996). [8]. Kanwar Raj and Kaushik, C.P.: Glass Matrices for Vitrification of Radioactive Waste: an Update on R & D Efforts, Materials Science and Engineering, 2, 1-6, (2006). [9]. Sangeeta Deokattey, et.all.: Borosilicate glass and synroc R&D for radioactive waste immobilization, Journal of the Minerals, Metals and Materials Society, 55, 48-51,(2003). [10]. Anonymous:Borosilicate,Available: http://www.grayglass.net/glass.cfm/Lighting/Borosilicate/ catid/3/conid/79, diakses pada 10 -01-2010. [11]. Bailey,W., and HRMA, P.: Waste Loading Maximization for Vitrified Hanford HLW Blend, Ceram. Trans., 61, 549–556, (1995). [12]. Carol, M., Jantzen and James, C., M.: High Level Waste (HLW) Vitrification Experience in the US: Application of Glass Product/Process Control to Other HLW and Hazardous Wastes, Mater. Res. Soc. Symp. Proc., Vol. 1107, Materials Research Society, (2008). [13]. Devaux, J.L., Jean, D., Baillif, F.: Industrial HLW Immobilization in Glass in France: Vitrified Waste Characterization and Quality Control Program, IAEA-SM-326/42, Belgium, (1992). [14]. Kim, D.,Hrma, P.: PNL Vitrification Technology Development Project High Waste Loaded High Level Waste Glasses for High Temperature Melter: Letter Report, PNNL 10984, (1996). [15]. Yalmal, V.S., et.all.: Preparation and characterization of vitrified glass matrix for high level waste from MOX fuel processing, Journal of Non-Crystalline Solids, 353, 4647-4653, (2005). [16]. Anonymous: Characteristics of HLW Generated from Future Cycles: Perspectives on Application and Flexibility of Current Vitrification Technology for High Level Wastes (HLW) Generated from Future Fuel Cycles, Available: http://jolisfukyu.tokaisc.jaea.go.jp/fukyu/mirai-en/2006/8_2.html, diakses pada 10 -01-2011 [17]. Shiotsuki, M. et al.: Perspectives on Application and Flexibility of LWR Vitrification Technology for High Level Waste Generated from Future Fuel Cycle System, Proceedings of Waste Management 2006, February 26 - March 2, 2006, Tucson, Available: http://jolisfukyu.tokai-sc.jaea.go.jp/fukyu/mirai-en/2006/8_2.html, diakses pada 08-02-2010. [18]. Roth, G., and Weisenburger, S.: Vitrification of high-level liquid waste: glass chemistry, process chemistry and process technology, Nuclear Engineering and Design, 202, 197-207, (2000). [19]. Japan Nuclear Cycle Development Institute, Second Progress Report on Research and Development for the Geological Disposal of HLW in Japan, JNC, Japan, (2000). [20]. Anonymous, Vitrified Waste Storage Facility, Available: file://localhost/F:/Vitrified%20Waste%20Storage%20Facility%20%20Information%20Plaza%20of%20Electricity.mht, diakses pada 14-07-2010 [21]. Petitjean, V., Paul, D., et.all.: Development of Vitrification Process and Glass Formulation for Nuclear Waste Conditioning, WM’02 Conference, February 24-28, 2002, Tucson, (2003). [22]. Herlan Martono, Persyaratan Gelas-Limbah Untuk Vitrifikasi Skala Industri Dan Penyimpanan, Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah,8[1], (2005). [23]. Wilmad-Lab glass, Technical information: Borosilicate glass properties, http://www.wilmadlabglass.com/pdf/borosilicate_glass_props.pdf, diakses pada 10-01-2011
13
Aisyah : Perubahan Komposisi Bahan Pembentuk Gelas pada Karakteristik Gelas Limbah
[24]. Yongxing Tang and Zhonghong Jiang, Phase diagram model for the physical properties of silicate and borosilicate glass systems: density, Journal of Non-Crystalline Solids, 189 [3], 251-257, (1995), Available: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/ 0022309395002243, diakses pada 14-07-2010. [25]. Anonymous: Temperature Glass Melting Point, Glass melting point summary, Available: http://www.squidoo.com/temperature-glass-melting-point, diakses pada 12 -03- 2010 [26]. Lima, M.,M and Monteiro,R.: Characterisation and thermal behaviour of a borosilicate glass, Thermochimica Acta, 373 [1]: 69-74, (2001). http://www.sciencedirect.com/science/ article/pii/S0040603101004567, diakses pada 12 -12- 2010 , [27]. N. Bouras ,N., Madjoubi, M.,A., Kolli, S., Benterki and M. Hamidouche: Thermal and Mechanical characterization of borosilicate glass, Proceedings of the JMSM 2008 Conference, Physics Procedia, 2[3]:1135-1140, (2009). [28]. Alexander Fluegel: Thermal expansion measurement of glasses, Available: http://glassproperties.com/expansion/ExpansionMeasurement.htm, diakses pada:12 -122010 [29]. Anonymous: Temperature and Density Measurement, Available: http://www.brand.de/ fileadmin/user/pdf/GK800/english/GK800_04_Temp_and_Density_e.pdf, diakses pada 15 02- 2011 [30]. Prado, M.,O., Messi, N.,B.,et.all.: The Effects of Radiation on The Density of an Aluminoborosilicate Glass, Journal of Non Crystalline Dolid ,289:175-184, (2001). Available: http://www.lamav.ufscar.br/artpdf/jncs289.pdf, diakses pada 15 -01- 2011 [31]. Izahara, S., Petters, L., and Van Iseghem,P.: Preparation and Microstructural Characterization of Silicate and Borosilicate Glass Containing Cerium or Plutonium, Available : http://www.iaea.org/inis/collection/NCLCollectionStore/ Public/13/648/13648465.pdf, diakses pada 15 -11- 2010 [32]. Friedrich and Dimmock: Borosilicate Glass Melting Point Capillaries, Available: http://www.amazon.com/Friedrich-Dimmock-Borosilicate-MeltingCapillaries/dp/B0017YBFRU, diakses pada 12 -03- 2010 [33]. Aisyah, Herlan Martono: Keretakan Gelas-Limbah Dalam Canister, Jurnal Teknologi Pengelolaan Limbah, 6 [1],17-22, (2003).
14