RISET KARAKTERISTIK RADIASI PADA PELET BAHAN BAKAR RINGKASAN Selama beropersinya reaktor nuklir, pelet bahan bakar mengalami iradiasi neutron pada suhu tinggi dan memproduksi produk fisi. Akibatnya pelet bahan bakar mengalami pemuaian panas, pengerutan, akumulasi dan emisi gas produk fisi, penggembungan (swelling) dan lain-lainnya. Di dalam kondisi radiasi tinggi terjadi interaksi mekanis antara pelet dan kelongsong bahan bakar akibat pemuaian bahan bakar. Interaksi tersebut dapat menyebabkan terjadinya kerusakan batang bahan bakar berupa retak karena korosi-tegangan (Stress Corrosion Cracking=SCC) dan lain-lain, yang disebut kerusakan Interaksi Pelet-Kelongsong (PCI=Pellet Clad Interaction). Dewasa ini dengan adanya inovasi pelet dan kelongsong, kerusakan akibat PCI dapat dikurangi. Selain itu, seiring dengan berlangsungnya proses pembakaran, bentuk dan struktur pelet bahan bakar mengalami perubahan, sehingga memberikan efek pada karakteristik pembakaran. URAIAN Pelet bahan bakar merupakan keramik berbentuk silinder (diameter 8~10 mm, panjang kira-kira 10 mm) yang dibuat dari proses sinterisasi serbuk UO2 berdiameter sekitar 10 mm, dengan konsentrasi U-235 sekitar 3~4% untuk reaktor air ringan. Selama pengoperasian reaktor terjadi reaksi fisi U-235 yang menghasilkan produk fisi dan panas di dalam pelet bahan bakar. Pengungkungan produk fisi di dalam batang bahan bakar ini, sangat penting dalam aspek keselamatan. Di dalam pelet bahan bakar, produk fisi terakumulasi dan terbentuk unsur ultra uranium akibat terserapnya neutron. Pelet bahan bakar ini, dalam kondisi radiasi tinggi mengalami perubahan-perubahan seperti pengerutan, pemuaian panas, akumulasi dan emisi produk fisi berbentuk gas dan penggembungan. Selain itu, seiring dengan berlangsungnya proses pembakaran, bentuk dan struktur pelet bahan bakar mengalami perubahan, sehingga memberikan efek pada karakteristik pembakaran. 1. PENGERUTAN Pengerutan adalah fenomena kontraksi pada pelet bahan bakar akibat iradiasi neutron, di awal operasi yang fraksi bakarnya mencapai sekitar 10 MWd/kgU (kira-kira setara dengan iradiasi satu tahun di dalam reaktor nuklir). Dahulu, akibat pengerutan ini, terdapat masalah seperti pembentukan celah arah aksial, pecahnya kelongsong pada bagian celah di dalam batang bahan bakar (khususnya bahan bakar PWR) dan kenaikan suhu pembakaran akibat meningkatnya celah ke arah radial. Dewasa ini, dengan pemakaian pelet berkerapatan tinggi (kerapatan teoritis lebih dari 95%) dan perbaikan suhu sintering, serta pemakaian batang bahan bakar PWR model pre-pressurized, maka masalah yang berhubungan dengan pengerutan dapat diatasi. 2. PEMUAIAN TERMAL PELET DAN KERUSAKAN AKIBAT PCI Karena UO2 memiliki konduktivitas panas yang kecil, maka pada saat operasi daya tinggi, suhu titik tengah pelet menjadi tinggi dan menyebabkan terjadinya pemuaian termal pelet. Hal ini mengakibatkan penyempitan celah ke arah radial dan terjadi interaksi mekanis antara pelet dan kelongsong (PCMI=Pellet Clad Mechanical Interaction), sehingga timbul tegangan (stress) pada kelongsong. Dalam lingkungan iradiasi dengan fraksi bakar (burn up) lebih dari 10 MWd/kgU dan kondisi produk fisi yang terakumulasi bersifat korosif, maka kenaikan daya batang bahan bakar akan menyebabkan PCMI yang kuat. Produk fisi korosif akan mengakibatkan brittle crack pada kelongsong, sehingga batang bahan bakar mengalami kerusakan PCI. Mekanisme kerusakan PCI ini dikenal sebagai Stress Corrssion Cracking (SCC). Produk fisi korosif yang mengakibatkan SCC diduga adalah unsur iodium. Selain SCC, mekanisme lain kerusakan PCI adalah proses perapuhan kelongsong akibat iradiasi, atau perubahan struktur kelongsong. Untuk mencegah kerusakan PCI, dilakukan inovasi bahan bakar (memperkecil batang bahan bakar, memperbaiki bentuk pelet seperti bentuk piring atau chanfer, dan menggunakan kelongsong dengan Zirconium Liner) dan inovasi prosedur pengoperasian reaktor nuklir (Pre-Conditioning Interim Operating Management Recommendation: PCIOMR). Melalui dua inovasi ini kerusakan bahan bakar akibat PCI ini secara prinsip dapat diatasi.
Ensiklopedi Teknologi Nuklir – Batan 1/10
3. EMISI GAS PRODUK FISI DAN SWELLING Seiring dengan meningkatnya fraksi bakar, produk fisi akan terakumulasi di dalam pelet. Secara garis besar produk fisi ini dibedakan menjadi gas mulia (noble gas), zat volatil, dan zat padat. Gas mulia produk fisi yaitu xenon, kripton dan lainnya, setelah terbentuk di dalam pelet, akan bergerak sambil membentuk gelembung gas dan dapat mengakibatkan terjadinya penggembungan pelet. Apabila gas tersebut keluar dari pelet, maka akan terjadi penurunan konduktivitas panas celah yang akan membuat naiknya suhu bahan bakar. Hal ini sangat mempengaruhi karakteristik bahan bakar. Produk fisi yang bersifat volatil adalah iodium, cesium dan lain-lain. Diantara zat-zat tersebut banyak terdapat senyawa reaktif dan mudah bergerak pada suhu tinggi hingga mencapai bagian bersuhu rendah, seperti celah dan lainnya. Salah satu contoh adalah iodium, yang diketahui bersifat korosif dan mempunyai kemampuan menimbulkan SCC. Produk fisi zat padat adalah zirkonium, molibdenum, unsur tanah jarang, rutenium, tecnisium, rodhium, paladium, dan lainnya. Senyawa oksida dari unsur tanah jarang dan zirkonium akan membentuk larutan padat dengan UO2, sedangkan logam mulia seperti molibdenum, rutenium dan lainnya akan membentuk paduan logam dan akan terdeposisi sebagai butiran logam berwarna putih. Produk fisi zat padat tersebut, karena terhenti di dalam pelet, maka akan mengakibatkan penggembungan pelet. Hubungan antara fraksi bakar dan penggembungan yang pada intinya adalah penurunan densitas, ditunjukkan pada Gambar 1. Laju penggembungan per fraksi bakar diperkirakan sekitar 0,03~0,07 %/MWd/kgU (untuk UO2 adalah 1020 f/cc = 33 MWd/kgU), sehingga untuk fraksi bakar pada saat ini yang nilainya 30~40MWd/kgU, laju penggembungannya kecil. Apabila gas produk fisi (khususnya gas mulia) yang keluar dari pelet terlalu banyak, maka tekanan dalam batang bahan bakar akan meningkat. Khususnya, untuk batang bahan bakar yang tidak bertekanan, konduktivitas panas celah akan menurun, sehingga mengakibatkan naiknya suhu bahan bakar. Selain itu, akibat kenaikan suhu ini, produk fisi gas akan semakin banyak teremisi, sehingga timbul efek balik terhadap naiknya suhu bahan bakar yang disebut efek balik termal. Kenaikan suhu bahan bakar seperti ini akan memberikan pengaruh yang besar terhadap karakteristik bahan bakar seperti pemuaian termal pelet dan terjadinya PCMI akibat pemuaian tersebut. Selain itu, tekanan dalam batang bahan bakar telah ditetapkan agar tidak melebihi tekanan luar saat pengoperasian reaktor nuklir. Pengendalian emisi gas produk fisi pada fraksi bakar tinggi sangat penting dari aspek keselamatan. Hubungan antara laju emisi gas produk fisi dengan fraksi bakar pada batang bahan bakar BWR dan PWR, masing-masing ditunjukkan pada Gambar 2 dan 3. Laju emisi gas produk fisi pada batang bahan bakar BWR untuk fraksi bakar lebih dari 20 MWd/kgU menunjukkan nilai yang berfluktuasi antara 1~20%. Sedangkan pada PWR, untuk fraksi bakar sampai dengan 40 MWd/kgU nilainya kecil yaitu di bawah 0,5%, untuk 60 MWd/kgU pun kurang dari 3%. Perbedaan ini disebabkan karena tekanan awal helium pada batang bahan bakar BWR adalah 0,1~0,3 MPa, sedangkan pada PWR sekitar 3MPa, sehingga penurunan konduktivitas panas celah akibat emisi gas produk fisi akibat pembakaran kecil. Namun demikian, pada rentang fraksi bakar 30~40 MWd/kgU yang banyak digunakan dewasa ini, belum pernah dilaporkan adanya pengaruh yang signifikan terhadap keselamatan batang bahan bakar yang disebabkan oleh emisi gas produk fisi. Untuk menekan emisi gas produk fisi pada fraksi bakar tinggi, dilakukan pengembangan pelet dengan butiran berdiameter besar. Gas mulia produk fisi yang terakumulasi di dalam pelet akan mengakibatkan penggembungan pelet. Namun demikian penggembungan akibat gas produk fisi ini sangat bergantung pada fraksi bakar, suhu iradiasi, external constrain force, dan lainnya. Pada fraksi bakar bahan bakar yang hingga saat ini dipergunakan tidak akan terjadi masalah penggembungan akibat gas produk fisi. Pengembangan kode komputer (computer code) analisis karakteristik bahan bakar telah memungkinkan estimasi kuantitatif karakteristik bahan bakar selama pengoperasian. Sebagai contoh dari kode ini adalah FEMAXI-3, FEMAXI-4 yang menggunakan metode elemen hingga (FEM) yang telah banyak digunakan untuk melakukan estimasi laju emisi gas produk fisi. 4. PERUBAHAN STRUKTUR PELET Di dalam pelet UO2, selama berlangsungnya pembakaran, akan terjadi retak dan relokasi pelet dan berkembangnya butiran, sehingga bentuk dan struktur pelet mengalami perubahan. Hal ini secara umum disebut sebagai perubahan struktur pelet (restructuring). Selain itu, pembentukan struktur antar batas (rim structure) yang diakibatkan oleh akumulasi cacat akibat iradiasi, dalam arti yang luas disebut juga sebagai perubahan struktur pelet.
Ensiklopedi Teknologi Nuklir – Batan 2/10
Selama iradiasi, pelet UO2 mengalami reaksi fisi dan menimbulkan panas. Di sisi lain, karena konduktivitas panas UO2 kecil, timbullah distribusi panas dengan rentang yang lebar dalam pelet. Akibat distribusi panas ini, wajar bila terjadi pemuaian panas, di mana bagian tengah pelet yang berbentuk silinder bersuhu tinggi sedangkan sekitarnya bersuhu rendah, sehingga akan terjadi tegangan panas (thermal stress) yang menahan pemuaian panas. Akibat tegangan panas ini terjadi keretakan di dalam pelet. Daya linier yang dapat menyebabkan tegangan retakan (fracture stress) permukaan sebesar 33W/cm, jumlah retakan akan meningkat dengan bertambahnya daya linier. Apabila suhu bagian tengah pelet sebesar 1800° C, akan terjadi perpindahan gelembung sepanjang gradien panas sehingga terbentuk daerah dengan kristal berbentuk batang. Pada daerah bersuhu 1250~1500° C seharusnya tidak terjadi keretakan, namun karena adanya penurunan daya, daerah ini dapat mengalami keretakan oleh terjadinya tegangan tarik akibat pengerutan panas. Di awal iradiasi, pecahan pelet akan bergerak ke bagian celah antara kelongsong dan pelet, sehingga terjadi relokasi. Rongga yang terbentuk akibat pelet yang retak akan ternetralisir oleh pecahan pelet. Perubahan celah merupakan faktor yang memberikan akibat besar pada suhu pelet UO2 dan PCI. Daya linier bahan bakar reaktor air ringan pada pengoperasian normal, setinggi-tingginya 300~350W/cm, di mana suhu bagian tengah pelet tidak akan melebihi 1400~1500° C. Di daerah dengan suhu antara 1600~1700° C, akan terjadi pertumbuhan butiran kristal sehingga akan terbentuk daerah kristal konsentris. Pada bahan bakar reaktor air ringan dan reaktor cepat dengan daya sangat tinggi, seperti model yang digambarkan pada Gambar 4, bagian tengah bahan bakar akan menjadi lubang akibat perpindahan rongga (void) ke bagian tengah. 5. RIM STRUCTURE Pada bagian luar sekeliling pelet dengan rata-rata fraksi bakar lebih dari 35~40 GWd per ton, terjadi struktur yang disebut rim structure yaitu struktur yang membatasi daerah perubahan struktur secara unik. Ciri khusus rim structure ini disebabkan oleh: (1) pada proses pembuatan terjadi penghalusan ukuran butir, (2) kenaikan prosentase rongga karena pembesaran gelembung (di dalam gelembung ini gas produk fisi bertekanan tinggi). Pada rim structure, semakin banyak rongga yang membesar dari ukuran sub-mikron menjadi mikron dan jumlahnya meningkat secara radial ke arah permukaan pelet. Rongga ini pada mulanya tidak ada pada saat pembuatan pelet. Pada bahan bakar reaktor air ringan, Pu-239 akan terakumulasi secara lokal pada bagian luar pelet akibat serapan resonansi neutron non-termal oleh U-238. Akibat efek neutronik ini akan meningkatkan fraksi bakar lokal pada rim structure menjadi lebih tinggi dari nilai rata-rata pelet. Untuk bahan bakar BWR dengan fraksi bakar 35 GWd per ton jumlah Pu-239 di bagian luar pelet mencapai kirakira 2~3 kali nilai rata-rata (lihat Gambar 5). Oleh karena itu, fraksi bakar lokal bagian luar pelet dengan derajat panas rata-rata 35~40 GWd per ton mencapai 70~80 GWd per ton yaitu sekitar 2 kalinya. Terbentuknya rim structure berpengaruh terhadap karakteristik iradiasi, yaitu • peningkatan emisi gas produk fisi 6. peningkatan penggembungan pelet 7. peningkatan suhu bahan bakar akibat penurunan konduktivitas panas
Pada kondisi operasi normal, seperti telah ditunjukkan di atas, gelembung besar yang terbentuk akibat pengkristalan ulang adalah tidak saling mempengaruhi, sehingga emisi gas produk fisi yang menyebabkan terbentuknya rim structure hampir tidak ada. Tetapi, seperti telah ditunjukkan pada bagian 3 tentang emisi gas produk fisi, gas produk fisi yang tertahan di dalam gelembung yang membesar sebagian akan keluar dari daerah rim akibat keretakan pelet seperti pada saat terjadinya kecelakaan reaktivitas di mana suhu bagian luar pelet meningkat dengan drastis. Dari hasil pengamatan dengan mikroskop optik dan SEM diketahui bahwa prosentase gelembung di daerah rim structure adalah 10~25%. Contoh hasil pengukuran distribusi prosentase gelembung secara radial dalam pelet bahan bakar PWR ditunjukkan pada Gambar 6. Seperti diuraikan di atas, terjadi perubahan yang kompleks di dalam pelet bahan bakar. Namun demikian selama tidak terjadi kerusakan kelongsong, hal ini tidak menimbulkan masalah terhadap keselamatan bahan bakar. Untuk mencegah kerusakan bahan bakar telah dilakukan berbagai perbaikan. Kronologi perbaikan bahan bakar BWR dan PWR di Jepang masing-masing ditunjukkan pada Tabel 1 dan 2. Hasil Ensiklopedi Teknologi Nuklir – Batan 3/10
pengurangan kerusakan bahan bakar yang diperoleh dari hasil inovasi desain bahan bakar, yang dipresentasikan dalam seminar IAEA pada tahun 1982 (data BWR di dunia), ditunjukkan pada Tabel 3. Prosentase kerusakan bahan bakar BWR model 7x7, sebesar 1%, sedangkan prosentase kerusakan setelah dilakukan inovasi yaitu, pada bahan bakar model 8x8R (bahan bakar yang disempurnakan) dan bahan bakar model 8x8RP (bahan bakar bertekanan yang disempurnakan) sebesar 0,002%. Prosentase kerusakan bahan bakar sekarang di Jepang kurang dari 0,0007 %. Nilai ini sangat kecil dibandingkan dengan negara-negara lain. TABEL DAN GAMBAR: Tabel 1. Latar belakang inovasi bahan bakar BWR di Jepang dan harapannya di masa mendatang. Tabel 2. Inovasi dan perkembangan bahan bakar reaktor PWR di Jepang Tabel 3. Kondisi pengurang kegagalan bahan bakar seiring dengan inovasi desain (Seminar IAEA tahun 1982)
Ensiklopedi Teknologi Nuklir – Batan 4/10
Gambar 1. Hubungan antara fraksi bakar dan penggembungan (penurunan densitas pelet)
Ensiklopedi Teknologi Nuklir – Batan 5/10
Gambar 2. Hubungan antara fraksi bakar bahan bakar BWR dan laju emisi gas produk fisi
Ensiklopedi Teknologi Nuklir – Batan 6/10
Gambar 3. Hubungan antara fraksi bakar bahan bakar PWR dan laju emisi gas produk fisi
Ensiklopedi Teknologi Nuklir – Batan 7/10
Gambar 4. Perubahan struktur pelet UO2 yang teradiasi pada output daya tinggi
Ensiklopedi Teknologi Nuklir – Batan 8/10
Gambar 5. Distribusi konsentrasi Pu pada arah diameter pelet BWR
Ensiklopedi Teknologi Nuklir – Batan 9/10
Gambar 6. Distribusi prosentase rongga pada arah diameter pel t PWR
Ensiklopedi Teknologi Nuklir – Batan 10/10