eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (1): 499-508 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2013
PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMERINTAH JEPANG TERHADAP PROTOKOLKYOTO INDAH PUTRI SARAH1 NIM. 0802045003
Abstract: This study aims to explain Japan's stance on the Kyoto Protocol first commitment as well as the reason the Japanese government change its policy toward the Kyoto Protocol . This type of research is explanatory research, which described the Japanese stance on the Kyoto Protocol first commitment as well as the factors that influence the Japanese in policy changes . The data presented is secondary data obtained through a literature review and literature such as books, internet, and others. The data analysis technique used is qualitative analysis techniques. The results showed that Japan commit the first Kyoto Protocol commitment, but it is known that the Japanese policy changes influenced the Japanese inability to meet emission targets 6%. Due to meet the targets required a lot of funds from the national budget of Japan. Another thing that affects the effectiveness of Japan among other things that the agreement could not bind other countries to undertake emission reduction such as Japan Keywords : Japan`s policy, Kyoto`s protocol Pendahuluan Saat ini, penggunaan bahan bakar fosil mendominasi penggunaan bahan bakar yang ada. Hal ini dikarenakan kestabilan dan harga yang relatif murah dari bahan bakar fosil. Namun, penggunaan bahan bakar fosil ternyata menganggu keseimbangan ekosistem dengan menyebakan efek rumah kaca. Efek rumah kaca yaitu keadaan dimana panas bumi terkurung didalam “selimut” akibat gas buangan yang disebut gas rumah kaca. Dampak yang diakibatkan oleh pemanasan global telah dirasakan oleh banyak pihak. Dampak yang telah dirasakan adalah naiknya suhu bumi, banjir, kekeringan serta hujan asam. Jika dibiarkan maka dampak ini akan terus bertambah dan membahayakan bagi manusia.
1
Mahasiswi Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 1, 2013: 499-508
Sebagai upaya untuk mengatasi masalah ini, diadakan konvensi kerangka kerja UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change). Namun karena banyaknya perbedaan kepentingan dari negara yang berkumpul dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk mencapai kesepakatan. Pada CoP ke-3 di KyotoJepang dicapai suatu perjanjian untuk mengurangi emisi bersama. Negara maju dengan tingkat emisi tinggi disebut Annex1 dan negara berkembang disebut non Annex. Mekanisme yang dipakai dalam ProtokolKyoto antara lain carbon tradding, clean development mechanism, joint implementasion. Setiap negara Annex 1 harus menurunkan tingkat emisinya sesuai dengan perhitungan terhadap tahun 1990 sebagai acuan (base year). Jepang sebagai salah satu negara Annex 1 dan tuan rumah ProtokolKyoto, setuju untuk berkomitmen dalam ProtokolKyoto komitmen I pada tanggal pada tanggal 28 April 2005. Dengan meratifikasi ProtokolKyoto, Jepang harus siap dengan tanggung jawab yang dibebankan sesuai dengan komitmen dalam Protokol. Jepang wajib menurunkan kadar emisi GRKnya dengan tahun 1990 dipilih sebagai acuan (base year) dengan total 1.173 juta ton setara CO2. Kadar emisi wajib diturunkan sebanyak 6% sehingga batas maksimal emisi menjadi 5.513 juta ton pada periode pertama. Target penurunan emisi hingga 6% merupakan beban bagi Jepang yang sumber utama energi industrinya adalah bahan bakar fosil. Meskipun demikian, selama komitmen pertama pelaksanaan ProtokolKyoto, Jepang terus melakukan upaya perbaikan lingkungan. Upaya-upaya yang dilakukan antara lain dengan pengembangan teknologi inovatif rendah karbon, meningkatkan kerja sama internasional, selain itu juga pada bidang industri diadakan efisiensi distribusi agar hemat energi dan menekan angka emisi serta membangun PLTN sebagai alternatif bahan bakar fosil. Setelah masa komitmen ProtokolKyoto I berakhirJepang memutuskan untuk tidak akan berpartisipasi dalam komitmen kedua. Jepang menyatakan bahwa ProtokolKyoto tidak efektif dan karenanya dibutuhkan kerangka kerja baru yang mengikat bagi seluruh negara termasuk Cina dan Amerika Serikat. Namun, dibutuhkan waktu yang sangat lama jika ingin membuat kerangka kerja baru yang mampu mengikat banyak pihak Kerangka Konseptual Konsep Kebijakan Publik Secara umum, istilah kebijakan atau policy digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Kebijakan harus memiliki pengertian tentang apa yang dikerjakan dari pada apa yang diusulkan, karena di dalam suatu kebijakan terdapat implementasi dan evaluasi. Secara jelas tahapan dalam mencapai kebijakan adalah sebagai berikut : 1. Penyusunan agenda, yaitu penempatan masalah dalam agenda publik Sebelumnya masalah di pilih terlebih dahulu untuk dapat masuk dalam agenda kebijakan. 2. Perumusan / Formulasi kebijakan yaitu proses definisi masalah untuk dicari solusi terbaik. Solusi ini berasal dari berbagail alternative kebijakan yang ada.Dari
500
Perubahan Kebijakan Pemerintah Jepang Terhadap ProtokolKyoto (Indah Putri Sarah)
sekian banyak solusi maka diambil satu yang dianggap sebagai suara mayoritas atau consensus dari aktor pengambil kebijakan. 3. Implementasi kebijakan yaitu, pelaksanaan dari perumusan kebijakan yang telah diambil. 4. Evaluasi kebijakan adalah tahap penilaan untuk menentukan sejauh mana kebijakan yang telah dibuat mampu memecahkan masalah atau dengan kata lain adalah menilai efektif atau tidaka langkah yang telah diambil pemerintah. Kebijakan publik memiliki sifat “paksaan” yang secara potensial sah dilakukan. Sifat memaksa dari kebijakan publik menuntut ketaatan yang luas dari masyarakat untuk melaksanakan kebijakan tersebut namun pada akhirnya terdapat evaluasi apabila kebijakan yang diambil tidak efektif atau tidak sesuai dengan harapan pengambil kebijakan Efektifitas Perjanjian Interaksi yang terjadi diantara bangsa-bangsa di dunia mengakibatkan hubungan terus menerus yang akan memerlukan pengaturan hubungan berbangsa. Hal ini dikarenakan kepentingan yang berbeda antar satu negara dan lainnya. Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan internasional tersebut dibutuhkan hukum untuk menjamin kepastian hubungan yang teratur. Salah satu bentuk perwujudan dalam menjaga hubungan internasional adalah kerja sama yang dituangkan melalui perjanjian internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu. Keberadaan hukum internasional tidak hanya ditunjukan dengan keberadaan perjanjian internasional tetapi kesediaan suatu negara untuk menaati isi perjanjian.Pada dasarnya, efektif atau tidaknya perjanjian internasional harus dilihat secara proporsional berdasarkan pada derajat legalisasinya. Legalisasi dapat didefinisikan sebagai:derajat pelembagaan kerjasama antara negara-negara yang diwujudkan dalam perjanjian internasional. Bentuk legalisasi suatu perjanjian internasional akan menentukan apakah aspek politik atau aspek hukum lebih menonjol di dalam hukum tersebut. Jika legalisasi hukum tersebut berbentuk hard law maka aspek hukum lebih menonjol daripada aspek politiknya, sebaliknya jika berbentuk soft law, maka aspek politiknya akan lebih menonjol daripada aspek hukumnya Bentuk legalisasi ini merujuk pada longgar atau kuat tidaknya aturan-aturan di dalam hukum tersebut mengikat (binding) antar negara-negara atau anggota suatu organisasi internasional yang menandatangani perjanjian tersebut. Menurut Abbot bentuk suatu produk hukum sangat ditentukan oleh bentuk legalisasinya. Berdasarkan definisi itu maka legalisasi pada dasarnya memiliki level-level tertentu yang dapat diidentifikasi dengan mengukur berikut : 1.Obligasi berarti Negara atau aktor lain diikat oleh suatu aturan atau komitmen.Hal ini juga berarti tingkah laku dan tindakan aktor-aktor tersebut ditentukan oleh aturan-aturan umum, prosedur-prosedur dan diskursus-diskursus hukum internasional, dan juga hukum domestik.
501
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 1, 2013: 499-508
2.Presisi berarti aturan-aturan itu secara jelas (tidak ambigu) menjadi acuan bagi tingkah laku yang dibutuhkan, disahkan/dibolehkan atau yang dilarang. 3.Delegasi berarti pihak ketiga yang diberi kuasa untuk mengimplementasikan, menginterpretasikan, mengaplikasikan peraturan-peraturan tersebut menyelesaikan perselisihan: dan juga kemungkinan membuat peraturan baru. Suatu legalisasi dapat dikatakan hard legalization jika ketiga aspek tersebut atausetidaknya obligasi dan delegasinya tinggi. Sebaliknya jika aspek-aspek tersebut rendah maka legalisasi itu tergolong soft legalization. Konsep ProtokolKyoto ProtokolKyoto adalah perjanjian internasional terkait dengan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim dengan tujuan utama adalah untuk menetapkan target mengikat untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK). Jumlah tersebut untuk rata-rata lima persen terhadap tingkat 1990 selama periode lima tahun 2008 - 2012. Proses tercapainya protocol Kyoto memakan waktu yang lama karena dengan adanya protocol Kyoto maka Negara maju diwajibkan untuk menurunkan emisinya melalui upaya domestik. Upaya ini dianggap akan merugikan ekonomi negara maju dan mereka pun tidak memiliki jaminan cara yang efektif dari segi pembiayaan. ProtokolKyoto sendiri diadopsi di Kyoto, Jepang, tanggal 11 Desember 1997 dan mulai berlaku pada tanggal 16 Februari 2005. Aturan rinci untuk pelaksanaan Protokol ini diadopsi pada COP 7 di Marrakesh tahun 2001, dan disebut "Persetujuan Marrakesh."Mengingat bahwa negara-negara maju bertanggung jawab terhadap tingkat yang tinggi saat ini emisi gas rumah kaca di atmosfer sebagai hasil dari lebih dari 150 tahun dari kegiatan industri, Protokol menempatkan beban yang lebih berat di negara-negara maju di bawah prinsip "Common but Differentiated Responsibilities." . Dibawah komitmen ini negara yang tergabung dalam annex 1 harus menurunkan emisinya sesuai dengan jumlah penduduk dan tingkat ekonomi. Jepang sebagai contoh harus menurunkan emisi sebanyak 6% atau sebanyak 1,2 Giga Ton dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam ProtokolKyoto. Dengan pembagian tanggung jawab ini diharapkan ProtokolKyoto dapat menurunkan tingkat emisi global dan menghindarkan dampak pemanasan global.
Pembahasan KebijakanJepang terhadap ProtokolKyotoKomitmen 1 Dari hasil perhitungan emisi gas rumah kaca global oleh UNFCCC, diketahui bahwa Jepangadalah negara dengan total emisi sebanyak 1.173.360 juta ton. Hal ini menempatkan posisinyasebagai 10 negara penghasil emisi terbesar dunia.Sebagai negara industri Jepang sudah menyumbangkan emisi sejak perang dunia II,sebabJepang memilih menitikberatkan pengembangan ekonomi pada industri berat dan industri kimia. Hal ini dilakukan untuk membangun kembali perekonomian pasca perang. Sejak tahun 1970an Jepang ditandai sebagai “pesaing global baru" (new global competitor) dengan berbagai merek dagang, antara lain 502
Perubahan Kebijakan Pemerintah Jepang Terhadap ProtokolKyoto (Indah Putri Sarah)
Suntory Ltd, Toyota Motor, Matsushita Electric, Honda, Sony, Hitachi, Yamato, Fuji Photo, Mitsui, Mitsubishi dan dalam dunia konstruksi ada Obayashi Gumi, berkibar diawali di Asia Timur, Eropa dan Amerika. Dalam bisnis perbankan, Bank of Tokyo, Fuji Bank, dan berbagai merek baru sejak 1980an.. Namun,periode pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada tahun 1960-an tidak disertai dengan pengendalian masalah lingkungan yang baik. Hal ini mengakibatkan peningkatkan dan konsentrasi pencemaran lingkungan di beberapa wilayah. Kawasan petrokimia yang diperluas dengan mereklaimasi tanah dan laut menyebabkan bertambahnya cerobong penghasil asap tebal. Air buangan dari berbagai pabrik mengalir ke sungai dan danau yang menyebabkan kesehatan warga tergangu. Kebijaksaan yang diambil dalam rangka menanggulangi masalah ini adalah mengeluarkan undang-undang Basic Law for Environment Pollution Control pada tahun 1967 dengan tujuan melakukan tindakan pengendalian yang konprehensif dan sistematis terhadap pencemaran yang terjadi. Dengan disetujuinya 14 rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pencemaran pada bulan Desember 1970 oleh Diet, diharapkan penataan lingkungan akan lebih baik di Jepang. Seiring pertambahan waktu tidak hanya Jepang negara maju yang diketahui memiliki gas rumah kaca dalam skala besar, melainkan sejumlah negara lainnya yang tergabung dalam Annex 1. Penelitian pun menunjukan data akibat pemanasan global yang dirasakan saat ini yang akan berdampak lebih buruk dalam waktu depan jika tidak diambil tindakan serius. Jepang sebagai tuan rumah CoP 3 tempat ProtokolKyoto dicetuskan merasa bangga dapat bergabung dan menyerukan masyarakat Jepang serta masyarakat dunia untuk menyadari bahaya pemanasan global. Dalam kesempatan yang sama pula menteri lingkungan Jepang Hiroshi Ohki menyampaikan langkah-langkah yang akan ditempuh Jepang yang selanjutnya disebut dengan “Prestasi ProtokolKyoto” sebagai tindakan menyelamatkan bumi dari bahaya pemanasan global Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Kebijakan Jepang Terhadap Protokol Kyoto Komitmen II 1.Faktor External a.Efektifitas ProtokolKyoto ProtokolKyoto yang dianggap sebagai salah satu perjanjian masalah lingkungan terbesar telah berjalan selama 1 periode.Namun, menuju komitmen kedua ternyata banyak negara yang mundur dari perjanjian ini.Salah satu negara yang mundur dari ProtokolKyoto adalah Jepang.Jepang menyampaikan pernyataan ini melalui Masahiko Horie. Dalam pernyataannya,Jepang menyatakan bahwa dibutuhkan kerangka baru yang mengikat seluruh negara termasuk kepada negara berkembang yang memiliki kadar emisi tinggi seperti India dan Cina. Selama ProtokolKyoto komitmen 1, Cina dan India tidak termasuk dalam kelompok Annex I karena merupakan negara berkembang, namun kedua negara ini secara kolektif menyumbangkan emisi yang besar ke udara. Selain kedua negara tersebut, Sejumlah negara yang tergabung dalam Annex 1 seperti Kanada dan
503
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 1, 2013: 499-508
Rusia dan Amerika Serikat juga tidak berkomitmen pada ProtokolKyoto komitmen II. Kanada dan Rusia tidak mau berkomitmen karena kondisi dalam negeri yang tidak memungkinkan. Sementara itu Amerika Serikat sebagai emiter terbesar, tidak berkomitmen sejak awal menyatakan alasannya dikarenakan berkomitmen dalam ProtokolKyoto akan berpengaruh negatif pada keadaan ekonomi mereka serta adanya ketidakadilan pada sistem ProtokolKyoto. Ketentuan yang tercantum dalam pasal 4.1 berbunyi : “Jika para pihak bertindak secara bersama, hal itu dapat dlakukan dalam organisasi intregasi ekonomi regional yang merupakan pihak Protokol ini, jika terjadi kegagalan dalam pencapaian pengurangan emisi gabungan total masing-masing negara anggota negara anggota dari organisasi intregasi ekonomi regional secara individu dan bersama-sama dengan organisasi intregasi ekonomi regional yang bertindak sesuai dengan pasal 24 bertanggung jawab untuk tingkat emisinya sebagaimana diberitahukan sesuai dengan pasal ini.yang memungkinkan negara annex 1 berbagi beban secarainternal” Pasal ini memungkinkan Annex I berbagi beban secara internal. Ketentuan ini dimanfaatkan oleh Uni Eopa sebagai kelompok ekonomi regional yang memiliki 15 anggota dengan keragaman tingkat ekonomi.Terdapat kelompok “utara” yang memperoleh tambahan emisi dari kelompok “selatan” yang tingkat ekonominya relatif rendah. Proses konpensasi tanpa kedua negara ini berbuat apa-apa akan menimbulkan efek bubble. Konsep bubble yang diterapkan Uni Eopa tidak melihat emisi setiap indvidu negara tetapi emisi kseluruhan sebagai kelompok ekonomi regional. Dengan demikian emisi yang harus diturunkan beberapa negara secara bersama-sama menjadi lebih ringan dalam hal ini Uni Eopa tidak menekankan masalah efisiensi biaya tetapi lebih pada tindakan bersama Langkah tersebut ditentang keras oleh Amerika Serikat melalui pasal 17 yang berbunyi : “konferensi para pihak harus menentukan prinsip, modalitas, aturan dan pedoman yang relevan, khususnya untuk verifikasi, pelaporan dan pertanggung jawaban untuk perdagangan emisi. Para pihak yang termasuk dalam annex B boleh ikut serta dalam perdagangan emisi untuk memenuhi komitmen mereka berdasarkan pasal 3. Setiap perdagangan harus merupakan kegiatan tambahan dari tindakan domestik untuk memenuhi komitmen pembatasan dan pengurangan emisi menurut pasal itu.” Adanya konsep semacam ini membuat Amerika Serikat berpikir bahwa ProtokolKyoto tidak relevan. ProtokolKyoto bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca agar tidak mengganggu sistem iklim bumi. Dalam pelaksanaannya dibantu oleh pihak ketiga yang merupakan organisasi pemerintahan seperti Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan international Energy Agency (IEA) dan organisasi non pemerintah. Lebih dari 1000 organisasi berperan sebagai pengamat yang memberikan pandangan tentang program, pengembangan hutan dan industri bisnis. Untuk mencapai target, 504
Perubahan Kebijakan Pemerintah Jepang Terhadap ProtokolKyoto (Indah Putri Sarah)
ProtokolKyoto hanya akanefektif jika seluruh dunia secara bersama-sama mampu menurunkan tingkat emisi sebanyak 55%. Dengan mundurnya sejumlah negara untuk berkomitmen serta ketidakmampuan ProtokolKyoto sendiri untuk mengikat negara tersebut secara hukum, maka target penurunan emisi tidak mungkin tercapai sehingga dampak pemanasan global akan terus kita rasakan 1.Faktor Internal a.Tingginya biaya yang diperlukan untuk menurunkan emisi sebanyak 6% Target penurunan emisi gas rumah kaca hingga 6% menjadi sebuah beban berat yang mempengaruhi kebijakan Jepang. Hal ini dikarenakan berkomitmen dalam masalah lingkungan akan mengorbankan sebagian kepentingan ekonomi jangka panjang, sebab untuk melaksanakan target penurunan emisi secara otomatis memerlukan program pembaharuan sumber tenaga, program penurunan karbon dioksida terhadap industri serta penggantian bahan bakar. Pada 31 oktober Jepang menyebutkan telah melakukan 986 proyek di 110 negara. Jepang mengeluarkan 1,5550 juta dollar untuk Afrika, 900 juta dollar untuk negara berkembang dan 230 juta untuk negara kepulauan kecil. Namun pada akhirnya dana ini terus menurun dari tahun ketahun untuk kepentingan yang lebih di prioritaskan. b.Respon Masyarakat Terhadap PLTN Upaya lain yang dilakukan Jepang agar dapat menekan angka penggunaan bahan bakar minyak adalah dengan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir. Melaului penelitian yang panjang dan dana yang besar akhirnya Jepang berhasil mendirikan 50 PLTN diseluruh wilayah. Namun, keadaan geografis Jepang sebagai negara kepulauan menyebabkan PLTN rentan terhadap kebocoran. Posisi Jepang yang sering dilanda gempa dapat menyebabkan reaktor nuklir menjadi tidak stabil dan mengakibatkan kebocoran. Hal ini terjadi pada reaktor Fukushima yang akhirnya menimbulkan respon negatif masyarakat yang menginginkan agar reaktor nuklir di non-aktifkan. c.Bencana tsunami yang melanda Jepang Bencana tsunami melanda Jepang pada tahun 2011 menyebabkan kerusakan besar bagi infrastruktur Jepang. Sejumlah bandara, stasuin, gedung dan ribuan rumah hancur akibat gempa berkekuatan 9,0 SR.Selain berdampak pada infrastruktur Jepang, tsunami juga membawa pengaruh pada keuangan Indeks NikkeiJepang. Hal ini dapat dilihat dari penurunan nilai 5% setelah perdagangan ditutup. KerugianJepang diperkirakan hingga 2 triliun Yen atau sekitar US$ 309 miliar (setara dengan Rp 2.780 triliun). Hancurnya sebagian wilayah di Jepang itu akan menggerus pertumbuhan ekonomi Jepang pada tahun fiskal 2011.Kerugian itu berarti lebih dari 2 kali lipat dari kerugian yang diderita saat bencana gempa Kobe di 1995 lalu, dan akan menurunkan pertumbuhan ekonomi Jepang hingga sekitar 0,5%. Padahal Jepang sebelumnya memperkirakan perekonomiannya meningkat 1,5% di 2011. Menurut perkiraan resmi dari kantor pemerintah Jepang, yang dikutip dari AFP,biaya untuk mengganti kerusakan akibat hancurnya perumahan, pabrik-
505
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 1, 2013: 499-508
pabrik dan infrastruktur seperti jalan dan jembatan yang diperkirakan mencapai 16 triliun Yen hingga 25 triliun Yen untuk 3 tahun fiskal ke depan d.Keterlambatan Proyek Energi Terbarukan Sebagai Pengganti Energi Minyak Yang dimaksud dengan energi terbarukan adalah energi yang selalu tersedia di bumi dan jumlahnya tidak akan habis karena melimpah dan dapat diperbarui. Setelah mengalami krisis nuklir, kebijakan pemerintah Jepang yang selama ini mengandalkan energi nuklir ditinjau ulang.Jepang ingin beralih dari nuklir ke energi terbarukan.Sebelum mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri Jepang, Naoto Kan menyampaikan undang-undang baru yang sangat penting, yang telah disahkan parlemen.Salah satunya adalah Undang-undang Energi Terbarukan, yang merupakan elemen penting dalam politik energi, Setelah bencana reaktor nuklir yang melanda Fukushima. Sejauh ini Jepang sudah menggunakan energi terbarukan, hal ini dapat dilihat dari kebijakan Jepang yang mewajibkan pembelian sumber energi terbarukan hingga 2,5 %. Sayangnya target tersebut hanya dicapai untuk tingkat industri dan belum menembus skala rumah tanggaSejumlah perusahaan Jepang berpindah ke pasar energi terbarukan yang terus tumbuh dipicu program insentif pemerintah terbaru yang diharapkan mendorong permintaan terhadap listrik ramah lingkungan namun dalam pelaksanaannya penggunaan energi terbarukan masih sangat sulit karena terbentur dengan biaya dan penelitian yang masih disempurnakan. e.Kegagalan Jepang dalam Mencapai Target 6% pada Protokol Kyoto Komitmen I Dalam laporan terakhir yang dirilis kementrian lingkungan Jepang pada 12 April 2013, diketahui bahwa Jepang gagal memenuhi kewajiban menurunkan emisi sebanyak 6%. Meskipun telah melakukan beberapa upaya untuk mencapai target tersebut, kenyataannya emisi Jepang masih berada 6% diatas tahun1990. Meskipun terdapat penurunan emisi pada masa berlakunya Protokol Kyoto Komitmen I, namun penurunan tersebut belum mencapai 6%. Jika Jepang tidak mampu memenuhi target penurunan emisinya maka sesuai dengan pasal 3 dan 7.4, konsekuensinya adalah : 1.Pengurangan batas maksimal emisi sebesar 1,3 kali kelebihan emisi 2.Diwajibkan menyusun rencana tentang cara melakukan penurunan emisi. Jepang sebagai pihak yang gagal memenuhi target Protokol Kyoto komitmen I tentu akan dikenai sanksi diatas. Namun, dengan kebijakan Jepang untuk tidak berkomitmen pada Protokol Kyoto komitmen II Jepang tidak akan mendapat sanksi diatas. Jepang menyatakan akan tetap berupaya menurunkan tingkat emisinya meskipun tidak berkomimen pada Protokol Kyoto II, sebaliknya Jepang akan menurunkan emisinya dengan prinsip sukarela.
506
Perubahan Kebijakan Pemerintah Jepang Terhadap ProtokolKyoto (Indah Putri Sarah)
Kesimpulan Menghadapi masalah lingkungan yang terjadi saat ini Jepang sebagai salah satu negara yang mengikuti pertemuan UNFCCC menyadari pentingnya kesungguhan dalam menangani masalah tersebut.Dalam upayanya melaksanakan komitmen terhadap masalah lingkungan Jepang melaksanakan penurunan emisi sebanyak 6% sesuai dengan perhitungan UNFCCC. Komitmen tersebut dilaksanakan sejak tahun 2007 hingga tahun 2012, namun ketika menginjak periode kedua, Jepang mempertimbangkan kembali kebijakannya dalam ProtokolKyoto. Atas dasar pertimbangan 1.Efektifitas ProtokolKyoto 2.Bencana Tsunami 3.Respon masyarakat terhadap proyek PLTN 4.Tingginya biaya mencapai target penurunan emisi 6% 5.Lamban dan mahalnya pengembangan energi terbarukan 6.Jepang tidak mampu memenuhi target penurunan emisi sebanyak 6% Jepang kemudian menarik diri dari komitmen tersebut yang juga terjadi pada sejumlah negara lain seperti Kanada. Padahal Jepang dan Kanada adalah negara penyumbang emisi yang besar bagi dunia. Tanpa adanya kerjasama dan kesungguhan dari pengambil keputusan negara dunia, maka dampak pemanasan global akan terus meningkat dan kita rasakan terutama bagi negara berkembang dan negara kepulauan kecil yang terus mengalami bencana alam akibat kerusakan yang terjadi saat ini.
DAFTAR PUSTAKA Buku-buku : Abdul Irsan .2005. Jepang : Politik Domestik, Global dan Regional. Makassar : Hasanuddin University Press Daniel Murdiyarso. 2003. ProtokolKyoto Implikasinya Pada Negara Berkembang.Jakarta : Kompas. 2003. CDM :Mekanisme Pembangunan Bersih.Jakarta : Kompas. Emil Salim,2010 Ratusan Bangsa Merusak satu bumi. Jakarta : kompas. 2010. Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta : kompas Friedman, L. Thomas. 2009. Hot, Flat, and Crowded. Jakarta : GramediaPustaka Utama. Gore, Al.2004. Bumi dalam keseimbangan. Buku obor : Jakarta. Koesnadi soematri. 2004. Hukum tata lingkungan. Yogyakarta : Gadjahmada University Press Lian, K. Koh. 2009. Crucial Issues in Climate Change and the KyotoProtokol Asian and the World. Singapore :World Scientific Mochtar Kusuatmaatmadja. 2003. Pengantar Hukum Internasional.Bandung : PT. Alumni. Sale, Kirkpatrick. 2007. Revolusi Hijau .Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
507
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 1, 2013: 499-508
Surna T. Djajadiningrat. 2006. Pengantar Ekonomi Lingkungan. Jakarta : Pustaka LP3ES. Winarno, Budi. 2008. Kebijakan public teori dan proses.Yogyakarta :Medpress. Victor, G. David. 2009. The Collapse of the Kyoto Protocol and the Struggle to Slow Global Warming. United Kingdom : Princeton University Press Sumber internet : Guidelines for Measures to Prevent Global WarmingMeasures Towards 2010 to Prevent Global Warming, terdapat dalam http://www.env.go.jp/en/earth/cc/gw/part2.html.Yang diakses pada 20 Juni 2012. Jepang Meratifikasi ProtokolKyoto Tahun 1997 - 2002-06-0, terdapat dalam, www.voaindonesia.com/content/a-32-a-2002-06-04-9-185326971157860.html yang diakses pada 19 Mei 2012. Pidato Luar Negeri Konferensi Menteri Koichiro Genba PBB tentang dunia berkelanjutan, terdapat dalam http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.mofa.go. jp/&prev=/search%3Fq%3Dmofa%26hl%3Did%26client%3Dfirefoxa%26hs%3DyJz%26rls%3Dorg.mozilla:enUS:official%26prmd%3Dimvns&sa=X&ei=b7nT4CJB83RrQebv5SOCQ&ved=0CGcQ7gEwAA Rakyat Jepang diminta hemat listrik, terdapat dalam http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/05/120518_japanenergy.shtml yang diakses pada 20 Juni 2012. Tekad Jepang Perluas Penggunaan Energi Terbarukan, terdapat dalam http://iklimkarbon.com/2011/05/26/tekad-Jepang-perluas-penggunaanenergi-terbarukan/. Yang diakses pada 25 Mei 2012. http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://www.mofa.go.jp/&pr ev=/search%3Fq%3Dmofa%26hl%3Did%26client%3Dfirefoxa%26hs%3DyJz%26rls%3Dorg.mozilla:enUS:official%26prmd%3Dimvns&sa=X&ei=b7nT4CJB83RrQebv5SOCQ&ved=0CGcQ7gEwAA. Yang diakses pada Juni 2012. Penggunaan nuklir Jepang, yang terdapat dalam http://www.mofa.go.jp/policy/environment/warm/cop/index.html yang diakses pada 12 april 2013 Penggunaan nuklir Jepang. Yang terdapat dalam http://www.env.go.jp/en/statistics/contents/index_e.html yang diakses pada 15 april 2011 508