Pertumbuhan
kasus
Human
Immunodeficiency
Virus
(HIV)
dan
Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) pada sebagian besar negara mengalami penurunan. Sebaliknya, Indonesia adalah salah satu dari 9 negara di dunia yang mengalami peningkatan kasus orang dengan HIV dan AIDS (KPAN & IBCA, 2013). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencatat bahwa sejak 1 April 1987 sampai dengan Juni 2014 terdapat 142.961 jiwa yang mengalami kasus HIV positif, sebanyak 55.623 jiwa yang sudah mencapai tahap AIDS dan 9.796 jiwa tercatat telah meninggal dunia diakibatkan terinfeksi virus HIV. Selanjutnya, dalam kurun waktu 3 bulan yaitu sampai dengan September 2014, jumlah kasus HIV meningkat menjadi 150.296 jiwa atau bertambah 7.335 jiwa dan kasus AIDS menjadi 55.799 jiwa atau dengan kata lain bertambah 176 jiwa (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2014). Data tersebut menunjukkan bahwa penyebaran virus HIV sangat cepat. HIV adalah suatu retrovirus yang mengandung asam ribonukleat (RNA) yang menginfeksi sel sistem kekebalan dan sistem saraf dalam tubuh. Infeksi tersebut menyebabkan gangguan kekebalan tubuh yang diperantarai sel yang melemahkan kemampuan tubuh untuk melindungi diri dari agen infeksius lain dan mencegah gangguan neoplastik (Kaplan, Sadock & Grebb, 2010). Limfosit T atau yang dikenal dengan sel darah putih merupakan bagian yang penting dalam sistem kekebalan tubuh manusia yang fungsinya mengatur reaksi sistem kekebalan tubuh untuk mengenali dan memusnahkan mikroorganisme termasuk virus. Pada infeksi HIV, justru sel darah putih yang diserang dan dirusak oleh virus sehingga jumlahnya cenderung terus menurun. Akibatnya, tubuh menjadi lebih rentan terhadap mikroorganisme sehingga orang yang terinfeksi rentan terhadap penyakit sekunder dan masuk pada tahap AIDS. AIDS merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh HIV (Nasronudin, 2007). Mereka yang terinfeksi HIV atau berada pada fase AIDS biasa disebut dengan Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Keberadaan HIV dalam tubuh manusia bertindak sebagai stresor. Sehubungan dengan HIV, setidaknya ada 3 stresor yang terkait. Pertama, stresor biologis akibat HIV sendiri (gejalagejala perjalanan penyakit, komplikasi sistem saraf pusat). Kedua, stresor psikologis akibat dinyatakan terinfeksi HIV. Ketiga, stresor psikososial akibat stigma sosial dan diskriminasi yang tumbuh kembang di keluarga maupun di masyarakat. Ketiga stresor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain dan harus dihadapi penderita setiap hari dan seumur hidup (Nasronudin, 2007). Perubahan fisik akibat dampak dari infeksi HIV akan menjadi tekanan psikologis dan sosial bagi ODHA. Demikian sebaliknya, stress psikologis dan sosial akan mempengaruhi fisik, dengan cara mempengaruhi sistem saraf pusat. Dampaknya, imunitas
tubuh menurun, sehingga menyebabkan progresivitas penyakit ke arah AIDS (Arriza, Dewi & Kaloeti, 2011; Risnawati, 2011). Masalah lain yang berkembang akibat stresor sehubungan dengan infeksi HIV/AIDS tersebut adalah angka kejadian dan kematian yang masih tinggi. Meskipun telah dicapai berbagai kemajuan dalam bidang kedokteran dan farmasi, serta telah dilakukan berbagai upaya pencegahan primer maupun sekunder tetapi angka kesakitan dan kematiannya tetap tinggi (Nasronudin, 2007). Selain menyebabkan kematian, infeksi HIV juga dapat menyebakan berbagai masalah psikologis yang sering terjadi pada penderita HIV seperti terjadinya guncangan, penolakan, rasa bersalah, marah, ketakutan, keputusasaan, yang disertai dengan prasangka buruk dan diskriminasi dari orang lain yang menimbulkan tekanan psikologis (Arriza, Dewi & Kaloeti, 2011; Overman & Anderson, 2001). Bentuk diskriminasi pada orang yang terinfeksi HIV antara lain adalah adanya stigma buruk masyarakat terhadap HIV/AIDS sebagai penyakit yang menular dan dapat menyebabkan kematian pada mereka yang tertular. Stigma buruk lainnya adalah bahwa HIV/AIDS merupakan penyakit yang disebabkan oleh perilaku buruk dimasa lalu seperti seks bebas, penggunaan jarum suntik narkoba yang berganti-ganti sehingga menimbulkan diskriminasi pada mereka. Diskriminasi yang diterima oleh para ODHA kerapkali membuat mereka merasa malu, merasa dikucilkan, diabaikan, ditolak, diremehkan, serta kurang mendapatkan dukungan sosial dari lingkungannya (Arriza, Dewi & Kaloeti, 2011). Akibatnya, ODHA kerapkali menyembunyikan status jika terinfeksi HIV. Stigma-stigma yang diberikan kepada ODHA kerapkali juga menyebabkan terlambatnya penanganan yang diberikan kepada ODHA sehingga perkembangan virus dalam tubuh tidak dapat dihambat (Kamitani, 2014). Rueda, dkk. (2011) menambahkan bahwa stigma yang melekat pada ODHA berdampak negatif pada perawatan, pengobatan dan dukungan sosial pada ODHA sendiri. Dukungan sosial yang kurang, dapat meningkatkan kemungkinan depresi pada ODHA (Li Li, dkk., 2009). Depresi adalah hal yang umum terjadi pada penderita HIV (Taylor, 2012). Dal-Bo, Dkk (2013) mengatakan bahwa sekitar 53,5 % ODHA mengalami simtom depresi dibandingkan dengan total populasi umum. Penelitian yang dilakukan Mello, Segurado dan Malbergier (2009) pada ODHA menunjukkan bahwa depresi menyebabkan penurunan jumlah CD4+ dan perkembangan penyakit terkait dengan HIV semakin tinggi dan cepat. Disamping itu, Gonzalez, dkk. (2011) mengatakan bahwa depresi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan ODHA pada pengobatan. Lebih jauh, Overman dan Anderson (2001), menegaskan bahwa ODHA yang mengalami depresi 3 kali lebih besar kemungkinan tidak patuh pada pengobatan dibandingkan dengan ODHA yang tidak mengalami depresi.
Pada infeksi HIV kronis, depresi yang tidak ditangani dengan baik selain berdampak buruk pada kepatuhan pada pengobatan, juga berdampak buruk pada kualitas hidup, perilaku hidup yang tidak sehat (Cruess, dkk., 2005; Patterson, dkk., 2006). Sebaliknya, depresi pada ODHA yang teridentifikasi dan tertangani dengan tepat akan meningkatkan fungsi dan kualitas hidupnya (Olisah, Balyewu & Sheikh, 2011). Depresi adalah suatu gangguan emosional atau perasaan yang apabila dibiarkan terus menerus akan berdampak buruk pada individu yang mengalaminya (Susilowati & Hasanat, 2011). Depresi merupakan suatu kondisi emosional yang biasanya ditandai dengan kesedihan yang sangat dalam, perasaan tidak berarti, perasaan bersalah, menarik diri dari orang lain, tidak dapat tidur, kehilangan selera makan, hasrat seksual dan minat serta kesenangan dalam aktivitas yang biasa dilakukan (Davison, Neal & Kring, 2006). Gangguan depresi pada umumnya sudah ditemukan pada saat individu masih anak-anak atau remaja (Miller, 2007). Hal ini didukung oleh pandangan Beck (1985) yang mengatakan bahwa pada masa anak-anak dan remaja orang-orang yang mengalami depresi mengembangkan skemata negatif yang kemudian teraktivasi ketika menghadapi situasi baru yang memiliki kemiripan dalam kehidupan mereka selanjutnya. Beck (1985) mengemukakan bahwa depresi termanifestasi dalam simtom-simtom depresi. Adapun simtom-simtom tersebut dapat dikelompokkan menjadi 5 bagian yaitu: a) manifestasi emosi: mood yang buruk, penilaian yang buruk terhadap diri sendiri, berkurangnya kebahagiaan, kehilangan rasa cinta, sering menangis, kehilangan respon terhadap kegembiraan; b) manifestasi kognitif yaitu evaluasi diri yang rendah, kehilangan harapan, menyalahkan diri sendiri dan selalu mengkritik diri sendiri, melihat diri secara fisik buruk, bimbang dalam mengambil sikap dan keputusan; c) manifestasi perilaku yaitu menarik diri dari lingkungan; d) manifestasi motivasional yaitu tidak memiliki keinginan untuk melakukan aktivitas, menghindar, menyendiri, keinginan untuk bunuh diri, meningkatnya ketergantungan terhadap orang lain; e) manifestasi vegetatif dan fisik yaitu kehilangan nafsu makan, pola tidur yang buruk, kehilangan libido. Sejalan dengan manifestasi depresi yang dikemukakan oleh Beck diatas, dalam DSM IVTR juga dikemukakan kriteria-kriteria seseorang digolongkan depresi, yaitu: 1) Mood sedih dan tertekan, hampir sepanjang hari, hampir setiap hari selama dua minggu atau kehilangan minat dan kesenangan dalam aktivitas yang biasa dilakukan; 2) sulit tidur (insomnia) pada awalnya tidak dapat tidur, tidak dapat kembali tidur bila terbangun di tengah malam dan bangun pada dini hari atau pada beberapa pasien keinginan untuk tidur selama mungkin; 3) perubahan kadar aktivitas, menjadi lemas (retardasi psikomotorik) atau terlalu bersemangat; 4) nafsu
makan sangat berkurang dan beran badan turun, atau nafsu makan meningkat dan berat badan bertambah; 5) kehilangan energi, sangat fatik; 6) konsep diri negatif, menuding dan menyalahkan diri, merasa tidak berarti dan bersalah; 7) mengeluh sulit berkonsentrasi atau terlihat sulit berkonsentrasi, seperti lambat berpikir dan tidak dapat mengambil keputusan; 8) pikiran tentang kematian atau bunuh diri yang terus menerus timbul. Penelitian yang melibatkan pemberian intervensi psikologis untuk penanganan depresi pada ODHA sudah banyak dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Honagodu, Krishna, Sudarachar dan Lepping (2013) menunjukkan bahwa intervensi psikologis dalam kelompok dengan terapi kognitif perilakuan memiliki dampak yang signifikan dalam menurunkan depresi pada ODHA. Di dalam negeri, Risnawati (2011) telah melakukan penelitian tentang dampak terapi kognitif perilakuan dengan metode psikoedukasi, relaksasi, thought catching, uji realitas, interoceptive exposure, tugas rumah dan self presentation efektif menurunkan depresi pada ODHA. Nurlaila (2008), mengatakan bahwa psikologi transpersonal dengan meditasi, visualisasi dan pujian membawa perubahan positif pada ODHA. Psikologi transpersonal mampu meningkatkan kualitas hidup ODHA pada aspek fisik, psikologis, sosial, dan spiritual. Psikoterapi transpersonal melalui pemusatan diri dapat memperbaiki sistem energi pada subjek penelitian, sehingga membawa perubahan kualitas hidupnya walau masyarakat tidak berubah dan dirinya tetang mengidap HIV. Pemusatan diri tersebut menyebabkan terjadinya perubahan perilaku maupun perubahan sistem imun karena terjadi integrasi antara kondisi fisik, biologis/fisiologis, mental, jiwa dan spirit. Salah satu psikoterapi dalam transpersonal adalah psikosintesis (Rueffler, 1995). Psikosintesis merupakan sebuah proses pertumbuhan diri dengan menyadari aspek-aspek positif dalam diri seseorang yang menjadi kekuatannya (Insko, 2004). Dalam psikosintesis ditekankan bagaimana aspek-aspek kepribadian manusia terintegrasi dan tersintesis untuk meningkatkan keutuhan diri individu tersebut (Firman & Gila, 2002). Melalui psikoterapi psikosintesis diharapkan individu akan mampu melakukan identifikasi dan disidentifikasi pada bagian-bagian spesifik dalam diri individu tersebut dan menyadari bagian mana yang dapat saling bersinergi atau yang dapat berfungsi secara independen untuk meningkatkan keutuhan diri individu tersebut (Katz, 1993). Roberto Assagioli, sebagai pencetus psikosintesis mengemukakan 7 prinsip dasar dalam psikosintesis yang dikenal dengan “Assagioli’s seven core concepts for psychosynthesis training”. Adapun ketujuh konsep dasar tersebut adalah Disidentification; Personal Self or I; Will-Good, Strong, and Skillfull; The Ideal Model; Synthesis; The Superconscious or Higher Unconscious; dan Transpersonal Self or Self (Firman
dan Gila, 2007). Roh dalam psikosintesis sendiri adalah empathic love sehingga berbicara tentang psikosintesis sama halnya berbicara tentang empathic love (Firman & Gila, 2010). Proses sintesis dalam diri individu hanya dapat terjadi dengan empathic love (Firman & Gila, 2007). Assagioli (1973) mengatakan bahwa salah satu bentuk cinta adalah cinta-diri (self-love). Self-love yang dimaksudkan adalah bagaimana individu mencintai dirinya secara lebih tinggi, mencintai diri sebagaimana adanya, membiarkan potensi diri untuk tumbuh, berkembang dan menyatu dengan orang lain. Cinta ini akan mendorong individu untuk menjalani kehidupan yang kualitasnya lebih tinggi. Pandangan tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Fromm (1956) yang mengatakan bahwa cinta adalah perhatian aktif terhadap kehidupan serta pertumbuhan dan perkembangan dari yang dicintai. Cinta akan dianggap tidak ada jika tidak ada perhatian aktif terhadap yang dicintai. Fromm menekankan bahwa cinta mengandung unsur perhatian
(care),
tanggungjawab
(responsibility),
penghargaan
(respect)
serta
pemahaman/pengertian (understanding) pada apa dan siapa yang dicintai. Bastaman (2007) menambahkan bahwa cinta menjadikan seseorang menghayati perasaan berarti dalam hidupnya. Mencintai dan perasaan dicintai akan menjadikan seseorang merasakan hidupnya penuh dengan pengalaman yang membahagiakan. Dengan demikian, cinta dapat menjadi jawaban dari problematika hidup manusia (Fromm, 1956). Firman dan Gila (2007) mengatakan bahwa empathic love merupakan keadaan ketika seseorang dapat menerima dan memperhatikan, bahkan dapat bertanggungjawab terhadap pertumbuhan pribadinya, karena orang tersebut memiliki "cinta tanpa pamrih" terhadap semua aspek kepribadiannya dan menghormati serta merangkul semua aspek dalam dirinya secara utuh tanpa memihak. Assagioli (1973) mengatakan bahwa salah satu penyebab utama terjadinya gangguan sekarang ini adalah kurangnya cinta. Pandangan tersebut didukung oleh pandangan Rogers (Schultz, 1991) yang mengatakan bahwa perkembangan diri menjadi sehat atau tidak, tergantung pada cinta yang diterima anak pada masa kecilnya. Pada waktu “diri” mulai berkembang, anak belajar membutuhkan cinta. Cinta yang dibutuhkan anak yang dimaksud dalam hal ini adalah penghargaan positif tanpa syarat (unconditional positive regard). Unconditional positive regard menjadi syarat utama berkembangnya kepribadian yang sehat melalui penerimaan yang diterima anak pada masa kecilnya. Unconditional positive regard ini berkembang apabila Ibu memberikan cinta dan kasih sayang tanpa memperhatikan bagaimana anak bertingkah laku. Cinta dan kasih sayang yang diberikan dengan bebas ini mengembangkan rasa berharga pada diri anak.
Rogers (Schultz, 1991) mengatakan bahwa cinta dan kasih sayang yang hanya diperoleh apabila sesuai dengan sekumpulan norma dan standar tertentu menjadikan individu merasa tidak berharga, tidak menerima kondisinya sendiri apabila tidak sesuai dengan norma dan standar yang telah diinternalisasikannya dari lingkungan individu tersebut dibesarkan. Ketiadaan cinta yang tanpa pamrih tersebut dikenal dengan istilah conditional positve regard. Kondisi lingkungan yang tidak mendukung individu mengembangkan kepribadian yang sehat dalam pandangan Rogers dikenal sebagai lingkungan yang nonempathic dalam pandangan psikosintesis. Lingkungan yang nonempathic juga dapat berupa penolakan, pengingkaran, celaan, kritik, dan pemaksaan prinsip-prinsip yang tidak sesuai dengan diri individu yang dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan emosional yang tinggi dengan individu tersebut (Firman & Gila, 2002). Lingkungan individu yang nonempathic atau lingkungan yang membuat individu tersebut merasa dipermalukan, diabaikan, ditinggalkan, digunakan sebagai objek untuk memuaskan kepentingan orang lain dapat juga menjadi salah satu penyebab terjadinya depresi (Firman & Gila, 2010). Tanpa emphatic love individu kehilangan rasa untuk menjadi subjek yang utuh dalam dirinya dalam berinteraksi dengan dunia pengalaman individu itu sendiri. Tanpa emphatic love individu melihat dirinya hanya digunakan sebagai objek untuk memuaskan keinginan dan kebutuhan dari lingkungan. Individu kehilangan perasaan menjadi subjek atas dirinya dalam hubungannya dengan dunia sekelilingnya sehingga individu tersebut dengan berputus asa harus berjuang menjalani kehidupannya, berjuang untuk menemukan rasa aman, dan menemukan eksistensinya. Pada saat individu tidak dapat dilihat dan dicintai sebagai dirinya sendiri, individu tersebut akan mengalami isolasi, terabaikan secara emosional, dilupakan, dan mengalami kehilangan dirinya sendiri. Individu tidak dapat menemukan potensi dirinya karena harus terus menerus berjuang dalam lingkungan yang nonemphatic (Firman & Gila, 2010). Seperti yang telah dikemukakan diatas, bahwa ODHA mengalami masalah dengan kondisi fisik, psikologis, psikososial dikarenakan terinfeksi HIV. Kondisi fisik yang menurun dan penyakit penyerta yang dialami dikarenakan virus yang ada dalam tubuh, isolasi, diskriminasi, pelecehan atau hinaan yang diterima dan perasaan tidak berharga, tidak berdaya, penolakan dari diri sendiri, keluarga dan masyarakat dengan kondisi mereka, menyebabkan mereka mengalami depresi (Nasronudin, 2007). Empathic Love Therapy (ELT) dikembangkan untuk mengarahkan seseorang untuk mengenali, menerima, berkordinasi, integrasi dan bersintesis dengan seluruh bagian-bagian dalam dirinya dan mulai mengembangkan cinta pada keseluruhan aspek kepribadiannya tersebut sehingga mampu memanfaatkan potensi diri. Proses sintesis dalam diri individu tersebut hanya dapat terjadi dengan empathic love (Firman
& Gila, 2007). Sesuai dengan pandangan Assagioli (1973) diatas bahwa melalui cinta-diri (self love) akan memungkinkan individu untuk mencintai dirinya lebih tinggi, mencintai diri sebagaimana adanya, membiarkan potensi diri tumbuh dan berkembang. Cinta akan mendorong individu untuk menjalani kehidupan yang lebih berkualitas. Melalui ELT orang yang terinfeksi HIV didorong untuk mengenali, menerima dan mencintai diri sebagaimana adanya dirinya secara utuh, menemukan potensi diri dan bertindak untuk merealisasikan apa yang dikehendaki dengan potensi yang dimiliki. ODHA yang telah mengalami depresi karena terinfeksi HIV diberikan ELT dapat mengenali, menerima dan mencintai dirinya sendiri secara mendalam dan mengetahui hal yang diinginkan oleh diri sehingga dapat menjadi diri yang lebih optimal karena mampu melakukan apa yang dirinya inginkan, kendatipun berada dalam situasi yang nonempathic. Empathic Love Therapy diberikan secara kelompok kepada ODHA. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa intervensi psikologis dalam kelompok memiliki dampak yang signifikan dalam menurunkan depresi pada ODHA karena melaui intervensi dalam kelompok individu mampu mengurangi tekanan psikososial, mengurangi isolasi sosial, dan meningkatkan coping sesama penderita HIV melalui saling berbagi pengalaman (Honagodu, Krishna, Sudarachar & Lepping, 2013). Hyde, Appleby, Weiss, Bailey & Morgan (2005) juga menegaskan bahwa intervesi kelompok pada ODHA akan meningkatkan pengetahuan para partisipan akan HIV, saling mendukung dan terbuka dan dapat merupakan aksi pengurangan resiko HIV dari para peserta. Hal ini sejalan dengan pandangan Yalom (1985) yang mengatakan bahwa intervensi dalam bentuk kelompok dapat memberikan pembinaan harapan untuk berubah, universalitas atau perasaan senasib yang meningkatkan rasa kebersamaan, altruisme atau rasa saling menolong antar anggota, belajar berhubungan baik dengan orang lain, peniruan tingkah laku yang cocok dari orang lain dalam kelompok, rasa kebersamaan, katarsis, dan pengertian akan dirinya sendiri dari refleksi diri maupun refleksi anggota kelompok. Teknik yang digunakan dalam ELT ini adalah dengan menggunakan guided imagery. Guided imagery sering juga dipertukarkan dengan istilah visualisasi (Prabowo, 2008). Guided imagery merupakan teknik yang digunakan dalam psikosintesis yang melibatkan imaginasi visual, auditory dan kinestetik untuk dapat melakukan kontak dengan simbol-simbol dan dunia fantasi. Gambaran yang muncul diasumsikan sebagai representasi simbolik dari dinamika yang terjadi dalam jiwa seseorang. Melalui guided imagery seseorang dapat mengindentifikasi subkepribadian dalam dirinya dan mulai memahami fungsi keberadaan dari subkepribadian tersebut (Katz, 1993).
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah Emphatic Love Therapy (ELT) dapat menurunkan depresi pada ODHA. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dalam penanganan depresi pada pasien ODHA. Secara praktis, modul ELT yang telah dikembangkan dalam penelitian ini dapat dijadikan menjadi salah satu referensi penanganan depresi pada ODHA. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah Empathic Love Therapy (ELT) dapat menurunkan depresi pada Orang dengan HIV & AIDS (ODHA). Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang berjudul “Aku, Kau, dan Kalian”: Studi Eksplorasi Efektivitas Psikosintesa dalam Proses Terapeutik (Studi Multi Years dalam Psikologi Transpersonal). Penelitian lain dalam penelitian payung ini adalah Empathic Love Therapy pada perempuan depresi korban KDRT; Empathic Love Therapy untuk menurunkan depresi; Empathic Love Therapy pada orang dengan gagap; Empathic Love Therapy pada guru di sekolah inklusi. Adapun kerangka pikir dalam penelitian dapat dilihat pada diagram di bawah ini.
Hidup dengan HIV/AIDS
Biologis: gejala perjalanan penyakit, fungsi sistem saraf, imun tubuh menurun Psikologis: guncangan, penolakan, ketakutan, dll. Psikososial: stigma sosial diskriminasi oleh keluarga dan atau masyarakat
Empathic Love Therapy (ELT) yang terdiri dari: 1. Mengenal diri 2. Mengenal, menyadari dan menerima luka 3. Penerimaan diri yang penuh cinta 4. Integrasi dan sintesis peran/ subkepribadian 5. Mengenal potensi, aspirasi diri 6. Rencana aksi 7. Cinta dan syukur
Problem Psikologis: intervensi
Keterangan:
1. 2.
= Mengalami = Intervensi yang diberi
3. 4.
= Dampak yang timbul = Menyebabkan
Depresi - Simtom emosional: perubahan perasaan seperti sedih, kesepian, pesimis - Simtom motivasional: perubahan tingkat aktivitas seperti malas - Simtom kognitif: konsep diri yang negatif, rendah diri - Simtom perilaku: menarik diri, menghukum diri. - Simtom vegetatif: gangguan makan, tidur dan dorongan libido
Tidak Ditangani
- Kualitas hidup buruk - Kepatuhan minum obat rendah - Perilaku hidup tidak sehat - Imun tubuh menurun - Kematian lebih tinggi
Depresi Menurun
Perubahan yang diharapkan: - Dapat mengontrol emosi seperti tidak mudah merasa sedih, kesepian dan pesimis - Termotivasi untuk melakukan aktivitas positif, menjadi produktif dan bersemangat - Memiliki pikiran yang lebih positif, lebih percaya diri, menghargai diri dan bertanggungjawab terhadap kesehatan dirinya sendiri - Berperilaku lebih baik pada diri sendiri, berani berinteraksi dengan orang lain tanpa kekhawatiran yang berlebihan. - Bertanggungjawab terhadap kesehatan dengan menjaga pola makan, istirahat serta mengkonsumsi obat secara teratur.
Gambar 1: Diagram Empathic Love Therapy dengan Depresi pada ODHA