147
Pertumbuhan Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) Di perairan Sungai Aek Alian Kecamatan Balige Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara (The Growth of Bilih Fish (Mystacoleucus padangensis Bleeker) in the Aek Alian River Subdistrict Balige District of Toba Samosir) Antri Poster Sianturi ¹, Pindi Patana², Maragunung Dalimunthe2 1. Program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara 2. Staf Pengajar Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT Bilih Fish (Mystacoleucus padangensis Bleeker) is fishing commodities in the Aek Alian River District Toba Samosir. Aek Alian River recently becomes a source of fish production Bilih Fish. The presence of this fish is could help the economy of people surrounding, but activities of catching uncontroled is one of the cause of decreasing of fish population. This Study has the objectives on accessing the growth and condition factor in the Aek Alian River. Research was conducted in May to Juni 2014. by using Purposive Sampling method. Stations spreaded among river with the station I (upstream), station II (midstream), and station III (estuaries). Primary data consisted of a total length and weight in individual fish of Bilih from the field. The sample number of Bilih fish were 281 individuals which consisted of 82 male and 199 female. The growth pattern (B) of Bilih fish is negative allometrict with value of B is 2.870 male and 2.868 female. The comparison of male and female is 1:2.427. Factor condition of Bilih fish shows 0.930 male and 0.942 female which means that the body of fish is bony or less fat. Keyword : Growth, Bilih fish resources, Mystacoleucus padangensis Bleeker, Aek Alian River
PENDAHULUAN Sungai Aek Alian merupakan sungai yang bermuara ke Perairan Danau Toba yang terletak di kelurahan Siahaan Balige Kecamatan Balige Kabupaten Toba Samosir. Di sungai Aek Alian banyak terdapat ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) yang beruaya dari perairan Danau Toba. Sungai Aek Alian Kabupaten Toba Samosir,
menjadi sumber mata pencaharian warga masyarakat sekitar selama tujuh tahun lebih. Sungai Aek Alian yang bermuara ke Danau Toba itu memiliki kekayaan alam berupa ikan Bilih dari perairan Danau Toba. Dalam istilah sederhana pertumbuhan dapat dirumuskan sebagai pertambahan panjang atau berat dalam suatu waktu. Pertumbuhan dalam individu ialah
148
pertambahan jaringan akibat pembelahan sel secara mitosis. Kondisi lingkungan yang kurang tepat, suatu jenis ikan akan mencapai ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan kondisi yang optimal, demikian pula di daerah beriklim panas, pertumbuhan ikan lebih cepat bila dibandingkan dengan di daerah dingin (Effendie, 1997). Ikan bilih yang ada di Sungai Aek Alian berasal dari Danau Toba yang di introduksikan dari habitat aslinya yaitu Danau Singkarak. Introduksi ikan bilih yang dilakukan dari Danau Singkarak ke Danau Toba mungkin akan mengalami perubahan aspek biologi salah satunya komposisi ukuran panjang dan berat. Permasalahan yang dirasakan pada saat ini tingginya intensitas penangkapan yang dilakukan oleh masyarakat dan pengawasan yang kurang dari pemerintah. Otoritas pengelola belum memandang perlu melakukan pengelolaan perikanan bilih di perairan Sungai Aek Alian. Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran pertumbuhan ikan bilih di perairan Sungai Aek Alian. METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2014 sampai dengan Juni 2014. Kegiatan penelitian ini dilakukan di Kelurahan Siahaan Balige, Kecamatan Balige,Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Sampel ikan yang diidentifikasi telah dilakukan di Laboratorium Terpadu Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Bahan dan Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tangkap jala, Kertas milimeter, timbangan (kg) dengan ketelitian 0,01gram, papan preparat, GPS (Global Positioning System), pH, DO meter, termometer air raksa, Bola duga, tongkat berskala, Kalkulator, dan kamera. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan bilih sebagai sampel yang diteliti, dan dokumen lain yang berkaitan dengan lokasi penelitian. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian adalah yang dibagi menjadi 3 stasiun penelitian berdasarkan rona lingkungan yang sesuai dengan tujuan penelitian dimana jarak antar stasiun sekitar 600 meter. Pengambilan contoh ikan bilih dilakukan dengan 3 kali pengulangan tiap stasiun selama tiga periode. Deskripsi Area Stasiun I : Merupakan bagian hulu dari perairan sungai Aek Alian pada titik koordinat 02º20’09.3”LU dan 099º04’ 05.04”BT. Stasiun II : Merupakan bagian tengah dari perairan sungai Aek Alian pada titik koordinat 02º20’15.9”LU dan 099º03’ 58.8”BT. Stasiun III : Merupakan bagian muara dari perairan Sungai Aek Alian pada titik koordinat 02º20’25.8” LU dan 099º03’52.6”BT.
149
Analisis Data Hubungan Panjang Berat Analisa pertumbuhan panjang dan berat bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) di alam untuk mencari hubungan antara panjang dan berat tubuh ikan digunakan persamaan sebagai berikut (Effendie, 1997). W = aLb Nisbah Kelamin Ikan Bilih Nisbah kelamin penting untuk melihat perbandingan ikan bilih jantan atau betina yang ada pada suatu perairan. Persamaan untuk mencari nisbah kelamin adalah (Effendie, 1997) :
x 100% Faktor Kondisi Waktu 31 Mei 15 Juni 29 Juni
Jenis Kelamin Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
Kisaran panjang (mm) 82 – 148 82 – 152 86 – 141 84 – 158 85 – 158 81 – 151
Menganalisis faktor kondisi (FK) ikan bilih terlebih dahulu ikan dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin. Setelah pola pertumbuhan panjang dan bobot tersebut diketahui, maka dapat ditentukan kondisi dari ikan bilih tersebut (Effendi, 2002). b
HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan Panjang Berat Ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) yang berhasil dikumpulkan selama penelitian sebanyak 281 ekor, yang terdiri dari 82 ekor ikan jantan dan 199 ekor ikan betina. Kisaran panjang baku (SL) untuk ikan jantan adalah 82 – 158 mm, berat tubuh 6,4 – 37 gram, sedangkan untuk ikan betina panjang baku berkisar antara 81 – 158 mm, berat tubuh 6,1 – 31,2 gram. Ukuran Berat (gram) 6,8 – 36,2 6,4 – 29,8 6,8 – 27 6,1 – 31,2 6,4 – 37 6,2 – 29,6
Jumlah (ekor) 23 68 28 59 31 72
150
Persamaan dan pola pertumbuhan berdasarkan hubungan panjang berat ikan jantan dan ikan Waktu Pengambilan
Jenis Kelamin (n)
betina pada pengambilan sampel di Sungai Aek Alian Kabupaten Toba Samosir. Jumlah (N)
b
23 68 91 28 59 87 31 72 103 82 199 281
2,92 2,88 2,92 2,96 2,59 2,73 2,77 3,09 2,96 2,87 2,87 2,79
Jantan Betina Total Jantan Betina Total Jantan Betina Total Jantan Betina Total
31 Mei
15 Juni
29 Juni Gabungan
Ket : b = Nilai pola pertumbuhan Keseluruhan ikan bilih jantan dan ikan bilih betina di Sungai Aek Alian Kabupaten Toba Samosir memiliki nilai b < 3, kemudian melalui proses uji lanjutan dapat disimpulkan bahwa pola pertumbuhan ikan bilih
Pola Pertumbuhan Allometrik negatif Allometrik negatif Allometrik negatif Allometrik negatif
(Mystacoleucus padangensis Bleeker) di Sungai Aek Alian adalah allometrik negatif yaitu pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan berat. Hubungan panjang berat secara keseluruhan disajikan pada gambar dibawah ini.
Berat (gr)
40 N = 82 y = 2E-05x2.870 R² = 0.815
30 20 10 0 0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
160
180
Panjang (mm)
Hubungan panjang dan berat ikan bilih jantan
Berat (gr)
40 N = 199 y = 2E-05x2.868 R² = 0.810
30 20 10 0 0
20
40
60
80
100
120
140
Panjang (mm)
Hubungan panjang dan berat ikan bilih betina
151
40
Berat (gr)
30
N = 281 y = 2E-05x2.878 R² = 0.815
20 10 0 0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
Panjang (mm)
Hubungan panjang dan berat ikan bilih secara total Perbedaan tampilan pertumbuhan diduga karena adanya perbedaan kecepatan arus, ketersediaan makanan, faktor fisika dan kimia perairan atau kondisi lingkungan pada suatu perairan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nofrita (2013) bahwa perbedaan tampilan pertumbuhan dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan serta kondisi biologis masing-masing individu ikan. Secara umum, nilai b tergantung pada kondisi fisiologis dan lingkungan seperti suhu, pH, salinitas, letak geografis dan teknik sampling dan juga kondisi biologis. Lokasi Danau * Singkarak Danau * Toba Sungai Aek Alian
pertambahan panjang selalu diikuti dengan pertambahan berat. Bervariasinya nilai hubungan panjang berat ikan dipengaruhi juga oleh jenis kelamin ikan dan tingkat kematangan gonad. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pulungan dkk., (2000) bahwa nilai b dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : spesies ikan itu sendiri, kondisi perairan, jenis ikan, tingkat kematangan gonad (TKG), tingkat kedewasaan ikan, musim dan waktu penangkapan. Effendie (1997) bervariasinya nilai hubungan panjang berat karena adanya faktor yang
Panjang Min Maks (mm) (mm)
Min (g)
Berat Maks (g)
57,54
112,08
1,72
62,95
151,78
81
158
Hasil ini memperlihatkan bahwa populasi ikan bilih di Sungai aek Alian mempunyai ukuran tubuh relatif lebih kurus, ikan bilih di Danau Toba mempunyai ukuran tubuh relatif lebih gemuk, sedangkan ukuran tubuh ikan bilih di Danau Singkarak lebih stabil yaitu
b
Pola Pertumbuhan
14,30
3,005
Isometrik
2,41
36,47
3,225
6,1
37
2,878
Alometrik positif Alometrik negatif
mempengaruhi pertumbuhan, yaitu: (1) temperatur dan kualitas air; (2) ukuran; (3) umur dan jenis ikan itu sendiri; (4) jumlah ikan-ikan lain yang memanfaatkan sumber yang sama. Hubungan Perubahan panjang dengan berat ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) jantan, betina dan gabungan
152
(jantan dan betina) erat atau dapat dilihat dengan nilai koefisien korelasinya (R). Nilai koefisien No Jenis Kelamin 1 Jantan ( J ) 2 Betina ( B ) 3 Gabungan (G) Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara pertambahan panjang ikan dengan pertambahan beratnya dimana dengan adanya pertambahan panjang akan diikuti dengan pertambahan beratnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sudjana (1996), bahwa nilai koefisien korelasi menyatakan adanya hubungan linear langsung Waktu Pengamatan
Jantan (Ekor)
Betina (Ekor)
Jumlah (Ekor)
31 Mei 15 Juni 29 juni gabungan
23 28 31 82
68 59 72 199
91 87 103 281
Hal ini terlihat dari proporsi betina 71 % yang lebih besar dibandingkan nilai proporsi jantan 29 %. Perbandingan nisbah kelamin ikan jantan dan ikan betina dalam penelitian ini berkisar 1:2,4. Dalam menentukan jenis kelamin, dilakukan berdasarkan ciri seksual primer dengan membedah bagian perut untuk melihat gonadnya. Jumlah ikan betina lebih banyak dibandingkan dengan ikan jantan, hal ini menguntungkan bagi peningkatan populasi ikan bilih, karena ikan-ikan betina akan bertelur dan memijah untuk menghasilkan benih-benih ikan. Perbedaan kondisi nisbah kelamin ikan ini dapat disebabkan faktor tingkah laku, perbedaan laju mortalitas, pertumbuhannya dan dapat diduga bahwa ikan bilih jantan dan ikan
korelasi untuk ikan ini berkisar antara 0,81 – 0,82. Koefisien Korelasi 0,86 0,87 0,87 antara kedua variabel. Hal ini diduga karena kondisi perairan yang mampu mendukung kehidupan ikan bilih dengan baik. Nisbah Kelamin Ikan Bilih Hasil perhitungan nisbah kelamin menunjukkan bahwa jumlah ikan bilih betina lebih mendominasi dibandingkan dengan jumlah ikan bilih jantan. Proporsi Proporsi Perbandingan jantan Betina Jantan : (%) (%) Betina 25 75 1:2,9 32 68 1:2,1 30 70 1:2,3 29 71 1:2,4 bilih betina tidak berada dalam satu area pemijahan, sehingga peluang tertangkapnya berbeda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gurning dkk., (2014), yang menyatakan bahwa perbandingan ikan bilih jantan dan ikan bilih betina adalah 1 : 1,8 perbandingan nisbah kelamin yang tidak ideal disebabkan pola tingkah laku bergerombol antara ikan jantan dan ikan betina, perbedaan laju mortalitas, dan pertumbuhan. Effendie (2002), bahwa jumlah ikan betina lebih banyak dibandingkan dengan ikan jantan karena dipengaruhi pola distribusi ketersediaan makanan, kepadatan populasi dan keseimbangan rantai makanan. Faktor Kondisi Ikan Bilih Hasil perhitungan faktor kondisi (FK) ikan bilih jantan maupun betina berdasarkan
153
pertumbuhan allometrik negatif mempunyai bentuk tubuh kurang berada dalam kisaran 1 – 1,4. Ikan pipih (kurus), sesuai dengan harga bilih di perairan Sungai Aek Alian FK yang diperoleh. Kabupaten Toba Samosir Waktu Rata-rata Rata-rata Faktor Jenis Kelamin Pengambilan Panjang (mm) Berat (g) Kondisi Jantan 124.3 19,0 1,4 31 Mei Betina 129.3 21.5 1,0 Jantan 125.2 19.4 1,2 15 Juni Betina 128.3 21.1 1,1 Jantan 124.6 19.4 1,0 29 Juni Betina 127.9 20.7 1,1 Jantan 124.7 19.3 1 Gabungan Betina 128.5 21.1 1 ikan yang bentuk badannya kurang Dari hasil pengukuran yang pipih atau gemuk. Hal ini sesuai dilakukan memperlihatkan bahwa dengan pendapat Effendie (1997), nilai rata-rata FK ikan bilih betina bahwa ikan yang nilai faktor adalah 0,94 lebih besar dibandingkan kondisinya 1 – 3, maka ikan tersebut dengan nilai rata-rata FK ikan bilih tergolong ikan yang bentuk badannya jantan adalah 0,93 diduga karena kurang pipih. bobot gonad dan pergerakan ikan Kualitas Air betina lebih banyak dibandingkan Kondisi lingkungan perairan dengan ikan jantan . Hal ini sesuai merupakan salah satu faktor yang dengan pernyataan Sumarni (2009) dapat mempengaruhi pertumbuhan bahwa ikan-ikan betina memiliki ikan bilih. Faktor eksternal juga nilai faktor kondisi yang relatif lebih dapat mempengaruhi, diantaranya besar dibanding ikan jantan, kondisi lingkungan perairan pada disebabkan karena bobot gonad habitatnya. betina lebih besar dari ikan jantan. Hasil pengukuran kualitas air Peningkatan nilai faktor kondisi menunjukkan bahwa rata-rata suhu relatif terdapat pada waktu matang yang didapatkan selama penelitian gonad dan mencapai puncaknya pada stasiun 1 adalah 24,50C, pada sebelum terjadi pemijahan. Dengan stasiun 2 adalah 24,70C, pada stasiun demikian fluktuasi faktor kondisi 3 adalah 250C. Kisaran suhu tersebut pada ikan tidak hanya dipengaruhi masih merupakan kisaran suhu oleh bobot gonad tetapi juga oleh normal yang masih dapat ditoleransi aktifitas selama pematangan dan ikan bilih. Hal ini sesuai dengan pemijahan. pernyataan Kartamihardja dan Hal ini sesuai dengan Sarnita (2008), bahwa ikan bilih pernyataan Effendie (1997) bahwa menyukai perairan yang jernih ikan betina yang nilai faktor dengan suhu perairan dingin sekitar kondisinya 0 – 1, maka ikan tersebut 25 – 27,50C dan dasar perairan tergolong ikan yang pipih atau tidak berbatu atau berpasir. gemuk. sedangkan ikan bilih jantan Hasil yang diperoleh dari mempunyai faktor kondisi sebesar pengukuran pH air, dapat dijelaskan faktor kondisi sebesar 1 – 1,4 artinya bahwa ikan bilih jantan tergolong bahwa nilai pH air pada masing-
154
masing
stasiun
penelitian
tidak
penelitian, baik pada stasiun 1,
variasi
yang
stasiun 2, dan stasiun 3 mampu
menyolok, dimana rata-rata pH antar
mendukung kehidupan ikan bilih.
stasiun berada pada kisaran 7,4 – 7,8.
Hal ini sesuai dengan pernyataan
Rata-rata nilai pH air tertinggi
dalam keputusan Menteri Negara
ditemukan pada stasiun 2 sebesar 7,7
Lingkungan
dan rata- rata nilai pH terendah
No.51/MNLH/I/2004, bahwa kisaran
ditemukan pada stasiun 1 sebesar
pH yang dapat menopang kehidupan
7,6.
organisme perairan adalah 6.50 –
memperlihatkan
Secara umum nilai pH yang
didapatkan No 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
dari
semua
stasiun
Parameter
KEP
8,50.
Satuan Stasiun 1 (Hulu Sungai) o Suhu C PH DO mg/L Arus m/s Kedalaman m Stasiun 2 (Tengah Sungai) o Suhu C PH DO mg/L Arus m/s Kedalaman m Stasiun 3 (Muara Sungai) o Suhu C PH DO mg/L Arus m/s Kedalaman m
Kelarutan Oksigen (DO) pada perairan Sungai Aek Alian Kabupaten Toba Samosir memiliki kisaran DO rata-rata berbeda pada setiap stasiun. Pada stasiun 1 memiliki DO rata-rata yaitu 8,42 mg/L, pada stasiun 2 memiliki DO rata-rata yaitu 7,73 mg/L, dan stasiun 3 memiliki DO rata-rata yaitu 6,32 mg/L, besaran DO di Sungai Aek Alian berada pada persyaratan hidup ikan bilih yaitu 6 – 8,5 mg/L. Diduga
Hidup
Hasil Pengukuran 24,3 – 24,7 7,4 – 7,7 8,39 – 8,45 0,98 – 1,15 0,8 – 1,8 24,7 – 24,8 7,6 – 7,8 7,71 – 7,75 0,36 – 0,40 0,6 – 1,1 24,8 – 25,2 7,5 – 7,7 6,12 – 6,53 0,21 – 0,24 1,9 – 3,5
bahwa perbedaan kisaran DO pada tiap satsiun dipengaruhi oleh kecepatan arus perairan, apabila arus perairan kuat maka DO akan lebih tinggi demikian sebaliknya Hal ini sesuai dengan PP. No 82 Tahun 2001 yaitu lebih besar dari 4mg/L sesuai dengan pembudidayaan ikan air tawar. Hasil yang diperoleh dari pengukuran kecepatan arus Sungai Aek Alian, pada stasiun 1 memiliki kecepatan arus rata-rata yaitu 1,06
155
m/s, pada stasiun 2 memiliki kecepatan arus rata-rata yaitu 0,38 m/s, dan stasiun 3 memiliki kecepatan arus rata-rata yaitu 0,22 m/s. Kecepatan arus suatu perairan dapat mempengaruhi pola pertumbuhan ikan, karena semakin cepat arus maka pergerakan ikan akan lebih banyak sehingga ukuran tubuh ikan akan lebih pipih. Perbedaan kecepatan arus antara hulu, tengah, dan muara sungai disebabkan karena kecepatan aliran air pada sungai, dan kondisi substrat yang berbeda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Barus (2004) bahwa kecepatan arus di suatu ekosistem air sangat berfluktuasi dari waktu ke waktu tergantung dari fluktuasi debit, aliran air, dan kondisi substrat yang ada. Hasil pengukuran kedalaman perairan Sungai Aek Alian, pada stasiun 1 memiliki kedalaman ratarata yaitu 0,98 m, pada stasiun 2 memiliki kedalaman rata-rata yaitu 1,12 m, dan stasiun 3 memiliki kedalaman rata-rata yaitu 2,6 m. Hal ini sesuai dengan kebiasaan hidup ikan bilih yang tergolong kepada ikan yang hidup dipermukaan atau ikan pelagis. Pengelolaan Sumberdaya Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) Adapun upaya yang dilakukan untuk menjaga kelestarian ikan bilih adalah sebagai berikut : a. Pengaturan Alat Tangkap Alat tangkap yang digunakan harus alat tangkap yang ramah lingkungan, yaitu ukuran mata jaring 1,5 Inci, dimana lebar mata jaring yang digunakan sesuai untuk menangkap ikan-ikan dewasa. b. Pengaturan Zonasi Penangkapan Zonasi penangkapan ikan bilih
perlu di atur agar ada lokasi-lokasi tertentu di Sungai Aek Alian yang digunakan sebagai tempat reservat /lubuk larangan. Dengan demikian apabila ikan dewasa tertangkap maka akan terjadi penggantian oleh benih ikan dari lokasi lubuk larangan / reservat. c. Pengawasan Sumberdaya Ikan Bilih Kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan bilih dengan cara menumbuh kembangkan sistem pengawasan masyarakat dalam bentuk kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS). Hal ini dimaksudkan agar kearifan lokal yang ada dimasyarakat dapat dimanfaatkan untuk mengawasi sumberdaya perikanan di Sungai Aek Alian dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab seperti introduksi jenis ikan baru yang dapat merugikan populasi ikan lain, seperti berkembangnya ikan kaca-kaca di perairan Danau Toba alian yang memangsa telur atau larva ikan bilih. KESIMPULAN 1. Pola pertumbuhan ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Bleeker) jantan dan betina berdasarkan hubungan panjang berat di perairan Sungai Aek Alian Kecamatan Balige Kabupaten Toba Samosir mempunyai sifat pertumbuhan allometrik negatif dengan nilai b = sebesar 2.870 untuk ikan bilih jantan, dan nilai b = 2.868 untuk ikan bilih betina. 2. Ikan bilih jantan dan ikan bilih betina di Perairan Sungai Aek Alian mempunyai ukuran tubuh pipih atau tidak gemuk dengan nilai faktor kondisi berkisar antara
156
1 – 1,4. Perbandingan nisbah kelamin ikan bilih jantan dan ikan bilih betina adalah 1:2,4. DAFTAR PUSTAKA Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi. USU Press. Medan. Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. Effendie, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta.163 P. Gurning, H., Pulungan, C.P., Putra, R.M. 2014. Reproductive Biology of Mystacoleucus padangensis in Waters Naborsahan River and Toba Lake Tobasa Regency Province North Sumatra. Fakultas perikanan dan ilmu kelautan. Universitas Riau. Pekan Baru. Kartamihardja, E. S. dan Sarnita, A. S. 2010. Populasi Ikan Bilih di Danau Toba: Keberhasilan Introduksi Ikan Implikasi Pengelolaaan dan Prospek Masa Depan. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan Dan Perikanan. Kementrian Lingkungan Hidup. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendaian Pencemaran Air. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.
Kementrian Lingkungan Hidup. 2004. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendaian Pencemaran Air. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta. Nofrita., Dahelmi., Syandri, H., Tjong, D. H. 2013. Hubungan Tampilan Pertumbuhan Dengan Karakteristik Habitat Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Blekeer). Jurusan Biologi FMIPA.Universitas Bung Hatta. Padang. Pulungan, C.P., Putra, R.M., Efriyeldi, D.E. 2000. Distribusi Ikan Air Tawar dari Waduk PLTA Koto Panjang Riau. Pusat Penelitian Universitas Riau. Pekanbaru. 34 Hal. Sudjana. 1996. Metode Statistika. Edisi VI. Tarsito Bandung. 508 Hal. Sumarni. 2009. Hubungan PanjangBobot Dan Faktor Kondisi Ikan Butana (Acanthurus mata) Yang Tertangkap Di Sekitar Perairan Pantai Desa Mattiro Deceng, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Provinsi Sulawesi Selatan. Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar.