PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO
NANI SUMARNI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “ Pertumbuhan dan Toleransi Melastoma terhadap Antibiotik Kanamisin dan Higromisin secara In Vitro” merupakan gagasan dan karya saya beserta pembimbing yang belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apa pun kepada perguruan mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2008 Nani Sumarni NIM G351060051
3
ABSTRACT NANI SUMARNI. In Vitro Growth and Tolerance to Hygromycin and Kanamycin Antibiotics of Melastoma. Under the direction of SUHARSONO, and ENCE DARMO JAYA SUPENA. Melastoma is aluminum hyperaccumulator plant and very tolerant to acid soil. This plant can be used as source of Al tolerant genes and also as a model for tolerant plant to acid soil and Al. In vitro culture and information of tolerance to selection agent are very important for plant model. This research had an objective to compare MS (Murashige & Skoog) and NN (Nitsch & Nitsch) media and explants source for the propagation of Melastoma, and the lethal concentration of hygromycin and kanamycin antibiotic for Melastoma. The result showed that the MS media is better than NN for the in vitro propagation. The third nodes are better than other nodes as explants source for propagation in M affine, while in M. malabathricum, the explants source second, third, or fourth nodes is better than the first node. The lethal concentration of kanamycin is 100 mg/l for M. affine seedling and shoot after 80 and 62 days respectively, and 50 mg/l for M. malabathricum shoot after 48 days. For hygromycin, 25 mg/l is lethal dose for M. affine seedling and shoot after 80 and 25 days respectively and for M. malabathricum shoot after 7 days. Keywords: Melastoma, kanamycin, higromycin, in vitro
4
RINGKASAN NANI SUMARNI. Pertumbuhan dan Toleransi Melastoma terhadap Antibiotik Kanamisin dan Higromisin secara In Vitro. Dibimbing oleh SUHARSONO dan ENCE DARMO JAYA SUPENA. Melastoma merupakan tumbuhan hiperakumulator aluminium dan sangat toleran terhadap asam, sehingga tumbuhan ini dapat dijadikan sebagai sumber gen toleran Al dan model tumbuhan yang toleran asam dan Al. Perakitan tumbuhan transgenik merupakan salah satu metode yang penting untuk mengetahui peranan suatu gen. Perakitan tumbuhan transgenik memerlukan teknik kultur sel dan jaringan secara in vitro dan agen seleksi. Sampai saat ini teknik kultur jaringan secara in vitro dan informasi tentang toleransi tumbuhan Melastoma terhadap agen seleksi belum ada. Penelitian ini bertujuan untuk mencari media dan eksplan yang cocok bagi perbanyakan dan pertumbuhan Melastoma secara in vitro, dan mencari batas konsentrasi terendah antibiotik kanamisin dan higromisin yang mematikan tumbuhan Melastoma. Biji M. affine dan tunas M. malabathricum digunakan sebagai sumber eksplan. Penelitian perbanyakan dan pertumbuhan tunas menggunakan dua media MS (Murashige & Skoog) dan NN (Nitsch & Nitsch) tanpa hormon tumbuhan. Penelitian perbanyakan tunas menggunakan empat jenis posisi tunas yaitu buku kesatu sampai buku keempat. Penelitian pertumbuhan tanaman dilakukan terhadap tunas yang berasal dari buku kesatu, dan parameter yang diamati adalah: tinggi tunas, jumlah buku, jumlah daun, dan jumlah akar. Pada M. affine uji toleransi dilakukan terhadap kecambah dan pucuk, sedangkan pada M. malabathricum uji toleransi dilakukan terhadap pucuk. Antibiotik yang digunakan adalah kanamisin dan higromisin. Media yang digunakan adalah media MS. Pengamatan dilakukan terhadap persentase kematian. M. affine menghasilkan tunas lebih banyak di media MS daripada media NN. Buku ketiga yang ditanam di media MS menghasilkan jumlah tunas tertinggi dibandingkan dengan buku lainnya, dan perbedaan tersebut mulai terlihat pada minggu ketujuh. Pertumbuhan tinggi tunas dan jumlah akar M. affine di media MS dan NN adalah tidak berbeda nyata. Jumlah buku dan jumlah daun di media MS lebih tinggi dibandingkan dengan di media NN. Media tidak berpengaruh terhadap perbanyakan tunas pada M. malabathricum. Buku kedua, ketiga, dan keempat memberikan hasil perbanyakan tunas yang sama dan lebih banyak dibandingkan dengan buku kesatu. Pada M. malabathricum media tumbuh MS menghasilkan tinggi tunas, jumlah buku, jumlah daun, dan jumlah akar yang lebih tinggi dibandingkan media NN. Pada M. affine kecambah mengalami kematian 100% pada konsentrasi kanamisin 100 mg/l pada 80 hst. Pada konsentrasi kanamisin 50 mg/l, hanya 50% dari populasi kecambah yang mengalami kematian sampai 87 hst. Pada pucuk, konsentrasi kanamisin 100 mg/l juga mematikan seluruh pucuk pada 62 hst dan konsentrasi 50 mg/l hanya mematikan 67% dari populasi pucuk sampai 69 hst. Kecambah dan pucuk M. affine mengalami kematian di media yang mengandung higromisin 25 mg/l masing–masing pada 80 hst dan 25 hst. Pada
5
konsentrasi 10 mg/l, kecambah tetap hidup sedangkan pucuk mengalami kematikan 46% sampai 30 hst. Pada M. malabathricum pucuk mengalami kematian 100% pada konsentrasi kanamisin 50 mg/l pada 48 hst dan higromisin 25 mg/l pada 7 hst. Pada konsentrasi higromisin 10 mg/l pucuk mengalami kematian 89% sampai 14 hst.
Kata kunci : Melastoma, kanamisin, higromisin, in vitro
6
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
7
PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO
NANI SUMARNI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Biologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
9
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Rita Megia
10
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. atas segala karuniaNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Judul yang dipilih adalah Pertumbuhan dan Toleransi Melastoma terhadap Antibiotik Kanamisin dan Higromisin secara In Vitro. Penelitian ini didanai oleh KKP3T (Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi) Tahun Anggaran 2007 yang didanai dari DIPA Badan Litbang Pertanian dengan judul: Analisis Akumulasi Aluminium dan Ekspresi Gen Penyandi Metallothionein di Tumbuhan Harendong (Melastoma) dan Kedelai atas nama Dr. Ir. Suharsono, DEA dengan kontrak No. 1587/LB.620/J.I/5/2007, dan Departemen Agama. Penulis menyadari dalam penelitian dan penyusunan tesis ini banyak kekurangan, dan banyak dibantu oleh berbagai pihak. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Dr. Ir. Suharsono DEA selaku Ketua Pembimbing yang selalu memberikan arahan serta menyediakan berbagai bahan penelitian yang penulis butuhkan. 2. Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, MS selaku Pembimbing Anggota yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penelitian ini. 3. Dr. Rita Megia selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran dan masukan demi pengayaan dalam tesis ini. 4. Departemen Agama yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk meningkatkan mutu keilmuan pada Program Studi Biologi, dengan memberikan biaya pendidikan dan penelitian hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan Magister Sains di IPB Bogor. 5. Laboratorium Biologi Molekuler dan Seluler Tanaman, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati & Bioteknologi, Lembaga Penelitian Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) IPB Bogor atas fasilitas penelitian yang telah disediakan. 6. Mba Nia, Sarah, Pak Asep, Pak Adi, Pak Mulya, Ucu, dan Retno atas bantuan dan kerjasama yang baik selama penulis melakukan penelitian. 7. Keluarga besar Bapak H. Maman atas segala doa dan kasih sayangnya. 8. Teman-teman BUD DEPAG angkatan 2006, khususnya yang bertempat tinggal di Kenaga House (Ami, Adil, Puji, Ina, Panca, Ahmad, Heriyanto, Sih, Emil, dan Uni) atas kebersamaan, kekeluargaan, dan dukungan yang diberikan kepada penulis. Akhir kata penulis memohon kepada Allah SWT. semoga senantiasa melimpahkan hidayah-Nya kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuannya dan semoga tesis ini dapat bermanfaat, Amiin.
Bogor, Agustus 2008 Nani Sumarni
11
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 10 April 1967 dari ayah H. Maman (Alm) dan ibu Ita. Penulis merupakan putri ke lima dari delapan bersaudara. Tahun 1985 lulus dari SMA PGRI I Bogor, dan pada tahun 1987 masuk ke perguruan tinggi IKIP Jakarta pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam jurusan Biologi, dan lulus pada tahun 1992. Penulis masuk ke Program Pascasarjana IPB tahun 2006 pada Departemen Biologi dengan beasiswa pendidikan pascasarjana dari Departemen Agama. Penulis sekarang bekerja di lingkungan Departemen Agama sebagai guru biologi di Madrasah Aliyah Negeri 2 Kota Bogor.
12
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xv
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1.2 Tujuan Penelitian ............................................................................... 1.3 Manfaat Penelitian .............................................................................
1 3 3
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Melastoma .............................................................................. 2.2 Melastoma sebagai Akumulator Al .................................................... 2.3 Perbanyakan Tumbuhan secara In Vitro ............................................ 2.4 Antibiotik sebagai Agen Seleksi ........................................................
4 6 7 9
III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................. 3.2 Bahan ................................................................................................. 3.3 Metode 3.3.1 Sterilisasi Eksplan .................................................................... 3.3.2 Perbanyakan dan Pertumbuhan Tunas ..................................... 3.3.3 Analisis Data ............................................................................ 3.3.4 Uji Toleransi Melastoma terhadap Antibiotik .........................
11 11 11 13 14 14
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Media terhadap Perbanyakan dan Pertumbuhan Tunas Melastoma ......................................................................................... 4.2 Toleransi Melastoma terhadap Antibiotik 4.2.1 Toleransi M. affine terhadap Kanamisin .................................. 4.2.2 Toleransi M. affine terhadap Higromisin ................................. 4.2.3 Toleransi M. malabathricum terhadap Kanamisin ................... 4.2.4 Toleransi M. malabathricum terhadap Higromisin ..................
19 21 23 24
V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ............................................................................................ 5.2 Saran ...................................................................................................
26 26
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
27
LAMPIRAN ....................................................................................................
31
15
13
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8
Pengaruh posisi buku terhadap jumlah tunas yang dihasilkan M. affine pada media MS pada 8 mst ........................................................
15
Pengaruh media terhadap tinggi tunas, jumlah buku, jumlah daun, dan jumlah akar yang dihasilkan M. affine pada 8 mst .............................
16
Pengaruh posisi buku terhadap jumlah tunas yang dihasilkan M. malabathricum pada 8 mst ...................................................................
17
Pengaruh media terhadap tinggi tunas, jumlah buku, jumlah daun, dan jumlah akar yang dihasilkan M. malabathricum pada 8 mst ..............
18
Persentase kematian kecambah dan pucuk M. affine pada berbagai konsentrasi kanamisin ..............................................................................
20
Persentase kematian kecambah dan pucuk M. affine pada berbagai konsentrasi higromisin ..............................................................................
21
Persentase kematian pucuk M. malabathricum pada berbagai konsentrasi kanamisin ...............................................................................
23
Persentase kematian pucuk M. malabathricum pada berbagai konsentrasi higromisin ..............................................................................
24
14
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Morfologi tumbuhan M. affine ..................................................................
5
2
Morfologi tumbuhan M. malabathricum ..................................................
6
3
Tahapan Penelitian ...................................................................................
12
4
Perkembangan jumlah tunas pada media MS dan NN pada M. affine selama 8 minggu .......................................................................................
16
5
Perkembangan jumlah buku M. affine selama 8 minggu .........................
17
6
Perkembangan jumlah tunas pada media MS dan NN pada M.malabathricum selama 8 minggu .........................................................
18
Perkembangan tinggi tunas selama 8 minggu pada M. malabathricum .....................................................................................
19
8 Pengaruh antibiotik kanamisin pada kecambah M. affine .........................
20
9 Pengaruh antibiotik kanamisin pada pucuk M. affine ...............................
21
10 Pengaruh antibiotik higromisin pada kecambah dan pucuk M. affine ......
22
11 Pengaruh antibiotik kanamisin pucuk pada M. malabathricum ................
23
12 Pengaruh antibiotik higromisin terhadap pucuk pada M. malabathricum .....................................................................................
24
7
15
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Komposisi media dasar MS (Murashige & Skoog 1962), dan NN (Nitsch & Nitsch 1969) ...................................................................... 2 3
32
Pertumbuhan jumlah tunas dan jumlah buku selama 7 minggu pada M. affine ............................................................................................
33
Pertumbuhan jumlah tunas dan tinggi tunas selama 7 minggu pada M. malabathricum ............................................................................
34
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia terdapat sekitar 47.6 juta hektar tanah podzolik merah kuning (Syarifuddin & Abdurachman 1993) yang mempunyai pH rendah dan kelarutan aluminium (Al) yang tinggi. Lahan ini dapat berpotensi untuk meningkatan hasil pertanian. Yang menjadi kendala pada umumnya tanaman pertanian adalah tidak toleran terhadap tanah ini. Salah satu tumbuhan yang toleran terhadap tanah dengan pH rendah dan kelarutan Al yang tinggi adalah Melastoma. Melastoma merupakan jenis tumbuhan perdu atau semak tahunan yang beranting dan tumbuh di daerah Asia tropis. Tumbuhan ini dapat mengakumulasi Al hingga mencapai 14.4 mg/g berat kering daunnya tanpa mengakibatkan kelainan pada akar (Watanabe et al. 1998; 2005). Tumbuhan ini mempunyai mekanisme tertentu dalam mengatasi Al yang pada umumnya toksik bagi tumbuhan. Tumbuhan toleran Al diklasifikasikan berdasarkan cara tumbuhan menanggulangi Al, yaitu: (1) ekskluder Al dan (2) akumulator Al. Ekskluder Al adalah cara tumbuhan mengeluarkan Al sehingga tidak toksik. Contoh tumbuhan ekskluder
Al
adalah
Melaleuca
cajuputi,
Acacia
mangium,
Leucaena
leucocephala, Ischaemum barbatum, Simaba guianensis, dan Oryza sativa. Tumbuhan akumulator Al adalah tumbuhan yang menyerap dan menyimpan Al di dalam organ-organnya, yang dapat dibagi menjadi akumulator Al (1) di akar seperti Vaccinium macrocarpon, Brachiaria ruziziensis, dan Polygonum sachalinense; dan (2) di semua bagian tumbuhan seperti Melastoma malabathricum, Hydrangea macrophylla, dan Fogopyrum esculentum (Osaki et al. 1997). Mekanisme toleransi terhadap Al terbagi menjadi dua kelompok yaitu mekanisme eksternal dan internal. Mekanisme eksternal dilakukan dengan cara: (a) melakukan immobilisasi Al di dinding sel, (b) membentuk selektivitas membran plasma terhadap Al, (c) menginduksi pH di daerah perakaran atau apoplas akar, dan (d) melakukan eksudasi senyawa-senyawa pengkelat.
2
Mekanisme internal dilakukan dengan cara: (a) melakukan kelatisasi Al di sitosol, (b) kompartemantasi Al di vakuola, (c) mensintesis protein pengikat Al, (d) mensintesis enzim tertentu, dan (e) meningkatkan aktivitas enzim (Taylor 1991). Karena
toleransinya yang sangat tinggi terhadap pH rendah dan Al
Melastoma dapat dijadikan sebagai sumber gen toleran Al dan model tumbuhan yang toleran asam dan Al. Tumbuhan model ini dapat digunakan untuk menguji dan mengetahui peranan berbagai gen yang diperkirakan berhubungan dengan toleransi tumbuhan terhadap cekaman asam dan Al. Perakitan tumbuhan transgenik merupakan salah satu metode yang penting untuk mengetahui peranan suatu gen melalui pendekatan gene silencing atau gene knock-out, baik dengan teknologi RNA antisense maupun dengan RNA interferens. Perakitan tumbuhan transgenik memerlukan teknik kultur sel dan jaringan secara in vitro dan informasi tentang toleransi tanaman terhadap agen seleksi. Sampai saat ini teknik kultur in vitro untuk tumbuhan Melastoma dan informasi tentang toleransi tumbuhan ini terhadap agen seleksi belum ada. Teknik kultur in vitro dalam perakitan tanaman transgenik diperlukan untuk menyediakan sel atau jaringan target, transformasi dan seleksi, dan regenerasi sel atau jaringan transgenik (Amirhusin 2005). Di dalam teknik kultur in vitro, peranan media sangat menentukan. Dari sekian banyak media yang digunakan dalam kultur jaringan, media MS (Murashige & Skoog, 1962) adalah media yang umum digunakan dalam kultur jaringan (Acquaah 2005). Media MS adalah jenis media yang mengandung garam (unsur makro dan mikro) tinggi, yang sesuai untuk pertumbuhan tumbuhan herba yang cepat, sedangkan untuk tumbuhan yang berkayu MS kurang cocok, dan biasanya menggunakan media lain yang mengandung konsentrasi garam yang lebih rendah (Senawi & Tamin 1998). Selain media MS, terdapat pula media NN (Nitsch & Nitsch, 1969) yaitu media yang dikembangkan dari hasil penelitian Lin & Staba yang menggunakan setengah dari komposisi unsur makro MS dengan sedikit modifikasi pada unsur amonium nitrat dan potasium dihidrogen fosfat (George & Sherrington 1984). Di dalam rekayasa genetika, informasi tentang toleransi tanaman terhadap agen seleksi diperlukan dalam perakitan tumbuhan transgenik untuk memisahkan antara tumbuhan transgenik dan non-transgenik. Jenis agen seleksi (seperti
3
antibiotik atau herbisida) yang digunakan tergantung pada gen seleksi (Amirhusin 2004). Agen seleksi yang umum digunakan dalam bioteknologi adalah antibiotik (Chawla 2002; Amirhusin 2004). Dua dari sekian agen seleksi antibiotik yang sering digunakan adalah antibiotik kanamisin dan higromisin (Altman 1998). 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mencari media dan eksplan yang cocok bagi perbanyakan dan pertumbuhan Melastoma secara in vitro, dan mencari batas konsentrasi terendah antibiotik kanamisin dan higromisin yang mematikan kecambah dan pucuk Melastoma. 1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para peneliti yang akan memperbanyak Melastoma secara in vitro dan melakukan rekayasa genetika dengan menggunakan gen penanda seleksi kanamisin dan higromisin.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Melastoma Klasifikasi Melastoma menurut Hartesz yang terdapat pada ITIS (Integrate Taxonomic Information System), dimasukan ke dalam Kingdom Plantae, Subkingdom
Tracheobionta,
Divisi
Magnoliophyta
(Angiosperm),
Kelas
Magnoliopsida, Subkelas Rosidae, Ordo Myrtales, Famili Melastomataceae, Genus Melastoma. Tumbuhan Melastoma dikenal di Inggris dengan nama Strait rhododendron, di Jawa dengan nama Kluruk atau Senggani, di Sunda dikenal dengan nama Harendong dan di Malaysia dikenal dengan nama Sendudok (Tjitrosoedirdjo 1991). Melastoma merupakan tumbuhan asli Asia, dengan distribusi yang luas di Asia tropik, pada daerah lembab di India dan terus ke Thailand masuk ke semenanjung Malaysia dan seluruh wilayah Indonesia (Tjitrosoedirdjo 1991), Cina, Taiwan, Australia dan pulau-pulau di Laut Pasifik Selatan (Valkenburg & Bunyapraphatsara 2002). Di Asia Tenggara terdapat 22 spesies Melastoma (Valkenburg & Bunyapraphatsara 2002), dua diantaranya adalah Melastoma affine dan Melastoma malabathricum. Melastoma malabathricum dan M. polyanthum sinonim dengan M. affine (Tjitrosoedirdjo 1991; Valkenburg & Bunyapraphatsara 2002), namun menurut Backer & Brink (1963) M. affine dapat dibedakan berdasarkan terbentuknya bulu pada daun dan batangnya. Melastoma affine D. Don merupakan tumbuhan perdu atau semak tahunan, beranting, tingginya biasanya kira-kira 3 – 4 m, tetapi sangat bervariasi dalam ukuran dan sering berbunga ketika masih kecil, perakaran dalam dan menyebar, dapat tumbuh hingga 1650 m dpl (di atas permukaan laut) di tempat terbuka. Bagian batang yang muda ditumbuhi daun. Batang berbentuk persegi, berwarna kemerah-merahan dan ditutupi oleh bulu dan sisik. Daun berhadapan berbentuk lanset agak sempit dan meruncing pada kedua ujungnya, panjangnya bervariasi mulai dari 1 – 5 inci dan lebarnya ¼ – 2 inci, dengan 3 tulang daun sangat jelas (Gambar 1a dan 1b). Bagian permukaan bawah daun diselimuti oleh bulu yang
5
terasa kasar. Tangkai daun berwarna ungu, dan bunga berwarna ungu muda, bunga muncul pendek pada ujung ranting, setiap 2 – 3 inci. Kaliks berwarna hijau dan ditutupi dengan sisik dengan lima sepal sedikit kemerah-merahan, lima petal berubah-ubah dari ungu terang sampai gelap dan kadang-kadang bervariasi dengan petal warna putih. Bunganya mempunyai sepuluh stamen, lima diantaranya lebih panjang dari yang lainnya dengan tangkai warna kuning dan kepala ungu, lima yang lainnya berkepala kuning terang (Gambar 1c). Stamen mempunyai panjang filamen 4 – 8 mm, dan panjang anter 6 – 9 mm. Kotak biji ditutupi dengan buah berdaging dan jika sudah tua isinya berwarna ungu. Berkembangbiak dengan biji, berbiji banyak dan disimpan dalam kapsul yang bewarna keungu-unguan (Gambar 1d) (Backer & Brink 1963; Henderson 1967; Soedarman & Rifai 1975).
1 cm
1 cm
(a)
(b)
1 cm
1 cm
(c)
(d)
Gambar 1 Morfologi tumbuhan M. affine. (a) bentuk dan permukaan atas daun (b) warna batang dan kedudukan daun (c) bentuk dan warna bunga, dan (d) bentuk buah.
6
Tumbuhan M. malabathricum L. berbeda dibandingkan dengan M. affine. Perbedaan tersebut terlihat dari bunganya yang berwarna ungu kebiruan (Gambar 2a), batang mudanya berwarna hijau dan ditutupi bulu yang panjang dan terasa lembut, dan tidak bersisik (Gambar 2b). Kedua permukaan daun M. malabathricum ditutupi oleh bulu yang panjang dan lembut (Gambar 2c). Stamen pada bunga panjang dengan panjang anter kurang lebih 1 cm. Tanaman ini hidup pada ketinggian 1200 – 1400 m dpl (Backer & Brink 1963). Tumbuhan ini tidak berbiji, dan berkembangbiak dengan cara vegetatif.
1 cm
1 cm
(a)
(b)
1 cm
(c)
Gambar 2 Morfologi tumbuhan M. malabathricum. (a) bentuk dan warna bunga, (b) warna batang dan kedudukan daun, dan (c) bentuk dan permukaan atas daun. 2.2 Melastoma sebagai Akumulator Al Pada umumnya tumbuhan yang dapat mengakumulasi Al (contoh Brachiaria ruziziensis), Al diakumulasi lebih besar di dalam akar dibandingkan di pucuk (Osaki et al. 1997). Pada Melastoma (M. malabathricum), Al di akumulasi di daun dan akar. Pada daun muda akumulasi Al adalah 8.0 mg/g bahan kering, pada daun dewasa meningkat menjadi 9.2 mg/g, dan pada daun tua lebih meningkat lagi mencapai 14.4 mg/g, sedangkan di akar sebanyak 10.1 mg/g (Watanabe et al. 1998). Jadi pada tumbuhan Melastoma, Al lebih banyak diakumulasi di daun tua dibandingkan di akar. Aluminium di daun Melastoma diakumulasi dalam bentuk monomerik Al dan komplek Al-oksalat, dan di akar dalam bentuk komplek Al-sitrat melalui
7
mekanisme spesifik detoksifikasi Al secara internal (Watanabe et al. 1998; Watanabe & Osaki 2002). 2.3 Perbanyakan Tumbuhan secara In Vitro Kultur jaringan adalah suatu metode yang digunakan untuk menumbuhkan jaringan pada kondisi steril (Bhojwani & Razdan 1983), sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali (Gunawan 1992; George & Sherrington 1984). Menurut George (1993) kultur jaringan tanaman terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu kultur unorganized tissue yang terdiri atas beberapa sistem kultur seperti kultur kalus, kultur suspensi, kultur protoplas, dan kultur anther; dan kultur organized tissue yang terdiri atas kultur meristem, shoot tip, node culture, kultur embrio, dan kultur akar. Mikropropagasi dapat diinisiasi dari bagian-bagian tumbuhan seperti daun, batang, akar, polen, dan embrio (Acquaah 2005). Mikropropagasi merupakan contoh aspek yang menarik dari penerapan kultur jaringan, terutama untuk beberapa jenis tanaman yang biasa diperbanyak secara vegetatif (Pierik 1987). Secara umum mikropropagasi in vitro dapat diartikan sebagai usaha menumbuhkan bagian tanaman secara aseptik, dan memperbanyak hingga menghasilkan tanaman sempurna. Tujuan pokok penerapan mikropropagasi adalah memproduksi tanaman dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat (Gunawan 1992). Jalur yang baik untuk mikropropagasi secara in vitro adalah dengan menggunakan perbanyakan tunas aksilar, karena dapat mempertahankan karakteristik tanaman tanpa memasuki fase kalus (Altman 1998). Terdapat beberapa tahap dalam mikropropagasi yaitu (1) sterilisasi eksplan, (2) perbanyakan eksplan atau tunas, (3) pengakaran dari eksplan yang tumbuh, dan (4) proses aklimasi dari tumbuhan yang lengkap (Gamborg & Phillips 1995; George & Sherrington 1984). Media untuk perbanyakan tunas dan perakaran dapat sama atau berbeda. Untuk tumbuhan berkayu, pengakaran dapat diinduksi dengan mengurangi konsentrasi unsur makro dan mikro menjadi setengahnya.
8
Pada tahap aklimasi, tanaman utuh ditanam di tanah dalam pot di rumah kaca yang kemudian dapat dipindahkan ke lapang. Murashige adalah orang yang pertama kali bekerja pada perbanyakan beberapa spesies secara in vitro. Metode ini dijadikan dasar bagi Wickson dan Thimann untuk bekerja pada mata tunas aksilar dan terminal yang dapat diinduksi dengan menggunakan medium yang mengandung sitokinin. Mata tunas aksilar atau terminal tersebut kemudian tumbuh menjadi batang dan akar, sehingga terbentuk plantlet (Bhojwani & Razdan 1983). Suksesnya kultur jaringan tumbuhan in vitro sebagai alat perbanyakan ditentukan oleh media kultur (George & Sherrington 1984). Media kultur mengandung semua nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk pertumbuhan dan perkembangannya, seperti garam mineral (unsur makro dan minor), gula, vitamin, zat pengatur tumbuh (auksin dan sitokinin), dan asam amino (George & Sherrington 1984; Acquaah 2005). Terdapat bermacam-macam media kultur seperti media MS (Murashige & Skoog, 1962) atau media Linsmaier & Skoog (1965) yang menggunakan senyawa-senyawa garam yang lebih luas, media B5 (Gamborg et al. 1968), N6 (Chu 1978), NN (Nitsch & Nitsch, 1969), dan media turunan-turunan lainnya yang digunakan lebih luas untuk banyak spesies. Media DKW (Driver & Kuniyuki Walnut) dan WPM (Woody Plant Medium) digunakan secara luas untuk kultur spesies berkayu (Gamborg & Phillips 1995). Unsur-unsur makro media MS merupakan dasar dari pengembangan media-media lainnya. Pada kasus-kasus tertentu, pemakaian konsentrasi unsur-unsur makro lebih rendah dari pada konsentrasi yang terdapat pada media MS terbukti lebih baik (Gunawan 1992). Pada beberapa tumbuhan ordo Myrtales sering menggunaan media MS. Media MS yang memiliki unsur nitrat dan ammonium tinggi pada tumbuhan pear dapat meningkatkan jumlah tunas (Bell & Reed 2002), dan pada tumbuhan apple dapat mempertinggi tunas (Welander 1985). Pucuk yang mengandung meristem dan jaringan-jaringan di bawahnya lebih mudah diisolasi. Tujuan praktis dari kultur pucuk adalah untuk memperbanyak vegetatif tanaman (Gunawan 1992). Pada tumbuhan hutan yang hidup di daerah kering kultur pucuk merupakan alternatif pengganti biji dalam rangka
9
perbanyakan tanaman secara in vitro (Roy et al. 1996). Pada tanaman Eucalyptus gandis peningkatan perkembangan pucuk sejalan dengan meningkatnya penambahan sitokinin (BAP) (Wachiba 1997). Setiap pucuk yang ditemukan pada aksilar daun, sama seperti pucuk terminal dapat ditumbuhkan pada suatu medium nutrisi. Pucuk tersebut akan tumbuh menjadi tunas dan daun kemudian tumbuh akar. Kultur pucuk terminal tidak menggunakan penambahan sitokinin (Pierik 1987). 2.4 Antibiotik sebagai Agen Seleksi Agen seleksi di dalam rekayasa genetika digunakan untuk memisahkan organisme transgenik dan non-transgenik. Beberapa agen seleksi yang sering digunakan adalah antibiotik, herbisida, substrat analog, atau senyawa lain yang konsentrasinya tinggi (Altman 1998). Jenis agen seleksi yang digunakan tergantung pada gen penanda seleksi (Amirhusin 2004), dan tergantung spesies tumbuhan yang akan ditransformasikan (Altman 1998). Penanda seleksi terdapat dua jenis yaitu penanda seleksi yang dapat divisualisasikan seperti gen Lac Z dan GUS, dan penanda seleksi yang menyebabkan kematian pada kondisi selektif seperti antibiotik dan herbisida (Altman 1998; Yuwono 2006). Gen penanda seleksi antibiotik diketahui sebagai gen seleksi pertama dan yang umum digunakan dalam bioteknologi (Acquaah 2004; CBI 2001). Penanda seleksi antibiotik banyak digunakan dalam perakitan tumbuhan transgenik karena (a) mempunyai efisiensi yang tinggi, dan (b) keterbatasan penggunaan penanda yang lain (contoh penanda antimetabolik) (Stewart & Mentewab 2005). Antibiotik merupakan senyawa yang dihasilkan oleh suatu organisme dan dapat menghambat pertumbuhan atau mematikan organisme lain (Glick & Pasternak 1998). Penggunaan gen penanda resisten antibiotik yang spesifik akan menghasilkan sel-sel yang mengandung gen resistensi antibiotik saja yang dapat hidup di media yang mengandung agen seleksi. Resistensi terhadap agen seleksi dapat terjadi melalui salah satu dari tiga macam mekanisme yaitu (1) detoksifikasi oleh enzim, (2) pengurangan afinitas suatu target terhadap agen seleksi, dan (3) ekspresi berlebih suatu target tipe alami (Altman 1998; Yuwono 2006).
10
Antibiotik yang sering digunakan sebagai agen seleksi adalah kanamisin dan higromisin. Gen npt2 atau gen aphA2 atau aph (3’)II menyandi neomycin phosphotransferase (NPTII) yang dapat mendetoksifikasi kelompok antibiotik aminoglikosida, kanamisin dan genetisin. Gen npt2 atau gen aphA2 atau aph (3’)II diisolasi dari transposom Tn5. Gen aph (3’) IV menyandi hygromycin phosphotransferase (HPT) yang dapat mendetoksifikasi antibiotik higromisin B. Gen aph (3’) IV diisolasi dari E. coli (Altman 1998). Melastoma adalah tumbuhan yang tidak toleran terhadap antibiotik kanamisin dan higromisin. Hal ini dikarenakan tumbuhan tersebut tidak memiliki gen npt2 atau gen aphA2 atau aph (3’)II dan aph (3’) IV, sehingga proses metabolismenya terhambat dan tumbuhan akan mati (Braun & Bennett 2001). Konsentrasi antibiotik kanamisin yang sering digunakan pada spesies tumbuhan dikotil adalah antara 25 sampai 100 mg/l. Beberapa spesies tumbuhan monokotil (Lolium multiflorum, Triticum monococcum, Symphytum officinale, atau Triticum aestivum) memperlihatkan derajat ketidaksensitifan yang tinggi terhadap kanamisin (Altman 1998). Untuk higromisin, konsentrasi yang digunakan lebih rendah dari kanamisin, karena higromisin lebih beracun dan sel tumbuhan lebih sensitif terhadap higromisin dibandingkan kanamisin (Chawla 2002). Setiap tanaman mempunyai batas toleransi yang berbeda-beda terhadap kanamisin dan higromisin. Pada perakitan tembakau transgenik konsentrasi kanamisin yang digunakan adalah 25 mg/l (Chaidamsari et al. 2006), kopi robuska 50 mg/l (Siswanto et al. 2003), tebu 100 mg/l (Fitranty at al. 2003). Seleksi terhadap padi transgenik menggunakan konsentrasi higromisin 50 mg/l (Rahmawati 2006), kopi robuska 25 mg/l (Siswanto et al. 2003), dan A. thaliana 20 mg/l (Altman 1998).
11
BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Mei 2007 sampai dengan Mei 2008 di Laboratorium Biologi Molekuler dan Seluler Tanaman, PPSHB (Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi), LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat) IPB Bogor. 3.2 Bahan Bahan tumbuhan yang digunakan adalah biji Melastoma affine dan tunas satu buku M. malabathricum. Medium MS (Murashige & Skoog) instan dari Duchefa (P00705.01) digunakan untuk perbanyakan bahan tanaman. Komposisi media dasar MS dan NN (Nitsch & Nitsch) tanpa zat pengatur tumbuh disajikan pada lampiran 1. Antibiotik yang digunakan adalah kanamisin dan higromisin. 3.3 Metode Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap yang disajikan pada Gambar 3. 3.3.1 Sterilisasi Eksplan Biji M. affine direndam di dalam 1 ml larutan campuran 0,1% tween 20, 3 g/l bakterisida agrept 20 WP (Streptomisin sulfat 20%), dan 3 g/l fungisida dithane 80 WP (Mankozeb 80%); dan dikocok dengan shaker 100 rpm selama 60 menit. Biji kemudian dicuci tiga kali dengan akuades steril. Setelah itu biji direndam dalam larutan pemutih (NaClO 5.25%) 100% selama 5 menit, kemudian dicuci tiga kali dengan akuades steril. Eksplan batang bertunas dari M. malabathricum dicuci permukaannya dengan detergen sampai bersih pada air mengalir, kemudian direndam di dalam larutan 5 g/l detergen selama 5 menit dan dicuci sampai bersih dengan akuades. Batang yang bermata tunas dipotong menjadi buku satu mata yang berukuran ± 1 cm. Posisi buku yang digunakan adalah posisi buku kedua, ketiga, dan keempat.
12
Posisi buku kedua, ketiga, dan keempat kemudian dimasukkan kedalam larutan asam sitrat 2 g/l selama 30 menit, lalu dikocok dengan shaker 100 rpm selama 60 menit di dalam larutan campuran 1% tween 20, 5 g/l bakterisida agrept 20 WP5, dan 5 g/l fungisida dithane; kemudian dicuci tiga kali dengan akuades steril. Setelah itu buku satu mata direndam di dalam alkohol 70% selama 2 menit, lalu dicuci tiga kali dengan akuades steril. Sterilisasi dilanjutkan dengan merendam eksplan pada 20% larutan pemutih selama 10 menit, kemudian eksplan dicuci tiga kali dengan akuades steril.
Strilisasi eksplan tunas satu buku untuk M. malabathricum dan biji untuk M. affine
Eksplan steril
Perbanyakan bahan tumbuhan
Perbanyakan dan pertumbuhan tunas
Analisis data
Buku dan media yang baik
Seleksi antibiotik
Pengamatan dan analisis data
Konsentrasi batas kematian M. affine, M. malabathricum pada antibiotik
Gambar 3 Tahapan penelitian.
13
3.3.2 Perbanyakan dan Pertumbuhan Tunas Perbanyakan tanaman menggunakan bahan berupa buku yang berasal dari tanaman yang mempunyai empat buku atau lebih yang ditumbuhkan secara in vitro di media MS0. Pada M. affine tumbuhan ini berasal dari biji, sedangkan pada pada M. malabathricum tumbuhan ini berasal dari tunas satu buku. Kondisi ruang kultur suhu ± 25oC, intensitas cahaya 2000 – 3000 Lux, dan lamanya penyinaran 24 jam. Penelitian ini dirancang dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), dengan tiga ulangan. Penelitian ini menggunakan dua media tumbuh yaitu MS (Murashige & Skoog, 1962) dan NN (Nitsch & Nitsch, 1969) tanpa zat pengatur tumbuh, dan empat posisi mata tunas yaitu buku kesatu, kedua, ketiga, dan keempat. Masing-masing buku mempunyai panjang ± 5 mm. Parameter yang diamati pada perbanyakan tunas adalah jumlah tunas yang dihasilkan pada 8 mst (minggu setelah tanam). Pertumbuhan tanaman diamati pada tunas yang berasal dari buku kesatu, dan pengamatan dilakukan pada 8 mst yang meliputi: tinggi tunas, jumlah buku, jumlah daun dan jumlah akar. Pada M. affine satu satuan percobaan terdiri dari tiga botol. Sedangkan pada M. malabathricum satu satuan percobaan terdiri dari dua botol yang berukuran diameter 6 cm dan tinggi 9 cm. Hal ini terjadi karena ketidaksediaannya eksplan Setiap botol terdiri atas empat tunas dengan posisi tunas pada buku yang sama. Model linier yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Untuk menganalisis pengaruh media atau posisi tunas buku terhadap perbanyakan atau pertumbuhan tunas digunakan model Yij
= µ + αi + βj + εij
Yij
= nilai pengamatan pada perlakuan ke-i, dan kelompok ke-j.
µ
= rataan pengamatan.
αi
= pengaruh perlakuan ke-i.
βj
= pengaruh kelompok ke-j.
εij
= pengaruh perlakuan ke-i dan kelompok ke-j.
14
3.3.3 Analisis Data Data dari M. affine dan M. malabathricum diolah secara terpisah. Data dianalisis dengan menggunakan ANOVA (Analisis Sidik Ragam). Jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap hasil, maka analisis data dilanjutkan dengan uji Duncan, dengan taraf kepercayaan 95%. 3.3.4 Uji Toleransi Melastoma terhadap Antibiotik Pada M. affine uji toleransi terhadap antibiotik dilakukan terhadap kecambah, dan pucuk ukuran ± 1 cm, sedangkan pada M. malabathricum uji toleransi dilakukan terhadap pucuk. Antibiotik yang digunakan untuk M. affine adalah kanamisin dengan konsentrasi 0 mg/l, 25 mg/l, 50 mg/l, 100 mg/l, 200 mg/l, dan 250 mg/l; dan higromisin dengan konsentrasi 0 mg/l, 10 mg/l, 25 mg/l, 50 mg/l, dan 100 mg/l. Sedangkan untuk M. malabathricum konsentrasi kanamisin yang digunakan adalah 0 mg/l, 50 mg/l, 100 mg/l, dan 200 mg/l; dan konsentrasi higromisin yang digunakan 0 mg/l, 10 mg/l, dan 25 mg/l, dan 50 mg/l. Media yang digunakan adalah media terbaik untuk perbanyakan dan pertumbuhan tunas dari penelitian sebelumnya. Uji toleransi dilakukan dengan tiga ulangan, dan setiap ulangan terdiri dari dua botol yang berdiameter 6 cm dan tinggi 9 cm. Untuk uji biji M affine setiap botol terdiri dari ± 30 biji, dan untuk pucuk M. affine setiap botol terdiri dari empat pucuk dan tiga pucuk untuk M. malabathricum. Pengamatan dilakukan terhadap persentase kematian. Persentase kematian yang diharapkan adalah 100%. Kematian pada pucuk ditandai dengan warna coklat, sedangkan kematian pada kecambah ditandai dengan warna putih.
15
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Media terhadap Perbanyakan dan Pertumbuhan Melastoma Pengaruh media terhadap perbanyakan Melastoma affine dilihat dari jumlah tunas yang dihasilkan. Media MS menghasilkan jumlah tunas lebih banyak dan berbeda nyata dengan media NN yaitu 3.34 dan 2.40. Hal ini disebabkan karena media MS adalah media yang banyak mengandung unsur nitrat dan ammonium, dan pada tumbuhan pear yang satu ordo (Myrtales) dengan Melastomataceae, media MS ini dapat mendukung pertumbuhan tunas (Bell & Reed 2002). Buku ketiga yang ditanam di media MS menghasilkan jumlah tunas tertinggi dibandingkan dengan buku kesatu dan kedua (Tabel 1). Besarnya jumlah tunas pada buku ketiga, mungkin disebabkan tidak adanya dominansi apikal yang banyak mengandung auksin, sehingga hormon sitokinin dapat berfungsi untuk pertumbuhan tunas ke samping. Ini sesuai dengan pernyataan Leyser (2003), bahwa auksin dapat mengatur percabangan tunas dengan dua cara yaitu: (1) dengan menghambat kerja sintesis sitokinin, dan (2) menghambat kemampuan sitokinin memacu percabangan. Tabel 1 Pengaruh posisi buku terhadap jumlah tunas yang dihasilkan M. affine pada media MS pada 8 mst Posisi Buku
Media 1
2
3
4
MS 2.21 b 2.83 b 4.85 a 3.45 ab Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda adalah berbeda nyata (p < 0.05).
Jumlah tunas yang dihasilkan oleh buku yang ditanam di media MS mulai meningkat jumlahnya pada minggu kelima, dan pada minggu ketujuh jumlah tunas di media MS mulai berbeda nyata dibandingkan dengan jumlah tunas di media NN (Gambar 4). Jumlah tunas minggu kesatu sampai dengan minggu ketujuh disajikan pada Lampiran 2.
16
5.00
Media MS
Jumlah Tunas
4.50 4.00
Media NN
3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
Minggu Pengamatan
Gambar 4 Perkembangan jumlah tunas pada media MS dan NN pada M. affine selama 8 minggu. Bar menunjukkan nilai standar deviasi. Pengaruh media terhadap pertumbuhan M. affine dapat dilihat juga dari tinggi tunas, jumlah buku, jumlah daun, dan jumlah akar. Tinggi dan jumlah akar dari tunas yang ditanam pada media MS dan NN adalah tidak berbeda nyata (Tabel 2). Hal ini disebabkan kedua media mengandung unsur hara yang sama tetapi berbeda konsentrasinya. Media NN mengandung konsentrasi yang lebih rendah, khususnya unsur makro dari pada media MS. Konsentrasi yang relatif rendah pada NN dapat mencukupi dan mendukung pertumbuhan M. affine. Seperti yang dikemukakan oleh Blair (1979) bahwa suatu tumbuhan akan meningkat pertumbuhannya bila tercukupi nutrisi yang diperlukannya. Jumlah buku dan jumlah daun di media MS lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditanam di media NN. Ini menunjukkan bahwa panjang ruas dari tunas yang tumbuh di media MS lebih pendek dari pada yang tumbuh di media NN. Tabel 2 Pengaruh media terhadap tinggi tunas, jumlah buku, jumlah daun, dan jumlah akar yang dihasilkan M. affine pada 8 mst. Media
Tinggi tunas (mm)
Jumlah buku
Jumlah daun
Jumlah akar
MS
19.48 a
6.34 a
19.35 a
2.33 a
NN 16.88 a 4.68 b 14.25 b 3.28 a Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata (p < 0.05).
Jumlah buku yang banyak sangat menguntungkan untuk perbanyakan tumbuhan secara in vitro bila mata tunas lateral digunakan sebagai bahan perbanyakan. Semakin banyak jumlah buku, semakin banyak mata tunas lateral sehingga semakin banyak tumbuhan yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa
17
untuk perbanyakan tumbuhan menghasilkan media MS lebih baik dibandingkan media NN. Pengaruh media terhadap jumlah buku pada M. affine mulai terjadi berbeda nyata pada minggu kedua, kemudian minggu keempat sampai ketujuh tidak berbeda nyata, dan kembali berbeda nyata pada minggu kedelapan (Gambar 5). Jumlah buku setiap minggu dari minggu kesatu sampai dengan minggu ketujuh disajikan pada Lampiran 2.
Jumlah Buku
8.00 7.00
M edia M S
6.00
M edia NN
5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
Minggu Pengamatan
Gambar 5 Perkembangan jumlah buku M. affine selama 8 minggu. Bar menunjukkan nilai standar deviasi. Pada M. malabathricum media tidak berpengaruh terhadap perbanyakan tunas. Buku kedua, ketiga, dan keempat memberikan hasil perbanyakan tunas yang sama dan lebih banyak dibandingkan dengan buku kesatu (Tabel 3). Buku kedua, ketiga, dan keempat tidak mengandung tunas apikal sehingga ketiga buku tersebut tidak atau sedikit sekali mengandung auksin, dan tidak dipengaruhi lagi oleh dominasi apikal sehingga dapat menghasilkan tunas lebih banyak. Oleh sebab itu perbanyakan tunas pada M. malabathricum yang terbaik adalah menggunakan buku kedua, ketiga, atau keempat. Tabel 3 Media MS NN
Pengaruh posisi buku terhadap jumlah tunas yang dihasilkan M. malabathricum pada 8 mst Posisi Buku 1
2
3
4
1.71 1.33
2.00 1.96
1.96 2.00
2.00 1.92
Rataan 1.52 b 1.98 a 1.98 a 1.96 a Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama adalah berbeda nyata (p < 0.05).
18
Peningkatan jumlah tunas pada media MS dan NN mempunyai pola yang sama dan tidak berbeda nyata. Jumlah tunas mulai meningkat pada minggu kedua sampai minggu ketiga. Pada minggu keempat dan seterusnya jumlah tunas tidak meningkat (Gambar 6). Jumlah tunas dari minggu kesatu sampai minggu ketujuh disajikan dalam Lampiran 3. Media MS
2.50
Media NN Jumlah Tunas
2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
Minggu Pe ngamatan
Gambar 6
Perkembangan jumlah tunas pada media MS dan NN pada M. malabathricum selama 8 minggu. Bar menunjukkan nilai standar deviasi.
Pada M. malabathricum media tumbuh mempunyai pengaruh yang nyata terhadap tinggi tunas, jumlah buku, jumlah daun, dan jumlah akar. Media MS menghasilkan tinggi tunas, jumlah buku, jumlah daun, dan jumlah akar lebih tinggi dibandingkan dengan media NN (Tabel 4). Hal ini kemungkinan disebabkan tumbuhan M. malabathricum memerlukan unsur makro yang cukup tinggi sehingga lebih cocok tumbuh pada media MS dari pada NN. Hal ini seperti pada tumbuhan apple di mana media MS dapat mempertinggi tunas (Welander 1985). Tabel 4 Pengaruh media terhadap tinggi tunas, jumlah buku, jumlah daun, dan jumlah akar yang dihasilkan M. malabathricum pada 8 mst Media MS
Tinggi tunas (mm) 25.73 a
Jumlah buku
Jumlah daun
Jumlah akar
4.87 a
12.73 a
3.53 a
NN 17.33 b 2.57 b 9.10 b 1.70 b Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata (p < 0.05).
Peningkatan tinggi tunas pada media MS dan NN memiliki pola yang sama. Peningkatan tinggi tunas mulai berbeda nyata antara media MS dan NN pada minggu kedua, dan terus meningkat secara signifikan sampai minggu kedelapan
19
(Gambar 7). Tinggi tunas pada minggu kesatu sampai dengan minggu ketujuh
Tinggi Tunas (mm)
disajikan pada Lampiran 3.
30.00
Media MS
25.00
Media NN
20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 1
2
3
4
5
6
7
8
Minggu Pengamatan
Gambar 7 Perkembangan tinggi tunas selama 8 minggu pada M malabathricum. Bar menunjukkan nilai standar deviasi. Seperti pada M. affine, pada M. malabathricum media MS juga menghasilkan tunas yang mempunyai buku lebih banyak dibandingkan dengan media NN. Ini menunjukkan bahwa secara umum media MS lebih baik dibandingkan dengan NN untuk perbanyakan dan pertumbuhan Melastoma. 4.2 Toleransi Melastoma terhadap Antibiotik 4.2.1 Toleransi M. affine terhadap Kanamisin Media MS digunakan untuk menguji toleransi Melastoma terhadap antibiotik kanamisin dan higromisin karena lebih baik untuk perbanyakan dan pertumbuhan tunas dibandingkan dengan NN. Pada M. affine kecambah mengalami kematian pada konsentrasi kanamisin 100 mg/l pada 80 hst (hari setelah tanam). Pada konsentrasi kanamisin 50 mg/l, hanya 50% dari populasi kecambah yang mengalami kematian setelah 87 hst (Tabel 5). Oleh sebab itu konsentrasi yang efisien untuk menyeleksi ketahanan kecambah M. affine terhadap kanamisin adalah 100 mg/l. Konsentrasi ini juga banyak digunakan sebagai agen seleksi untuk mendapatkan tanaman transgenik yang tahan terhadap kanamisin, seperti pada Arabidopsis (Akama & Beier 2003); semangka liar (Citrullus lanatus) (Akashi et al. 2005). Pada pucuk, konsentrasi kanamisin 100 mg/l juga mematikan seluruh pucuk pada 62 hst dan konsentrasi 50 mg/l hanya mematikan 67% dari populasi pucuk pada 69 hst (Tabel 5). Hasil ini menunjukkan bahwa konsentrasi kanamisin 100 mg/l dapat digunakan untuk
20
menyeleksi M. affine yang tahan terhadap kanamisin dan tidak tergantung dari bahan tanamannya. Tanpa antibiotik kanamisin sampai dengan 87 hst M. affine tidak mengalami kematian di media MS. Hal ini menunjukkan bahwa kematian kecambah M. affine pada media yang mengandung kanamisin pada 87 hst dan 69 hst bukan disebabkan oleh kekurangan nutrisi di media MS yang digunakan untuk penelitian ini. Pengaruh antibiotik terhadap pertumbuhan M. affine di media MS disajikan pada Gambar 8 dan 9. Tabel 5
Persentase kematian kecambah dan pucuk M. affine pada berbagai konsentrasi kanamisin
Kanamisin (mg/l)
Kecambah
Pucuk
Waktu kematian (hari)
% kematian
Waktu kematian (hari)
% kematian
0
-
0
-
0
25
-
0
-
0
50
87
50
69
67
100
80
100
62
100
200
66
100
48
100
250
66
100
34
100
(a)
Gambar 8
1 cm
1 cm
1 cm
(b)
(c)
Pengaruh antibiotik kanamisin pada kecambah M. affine. Kecambah di media yang mengandung kanamisin pada 87 hst (a) konsentrasi 0 mg/l, (b) konsentrasi 50 mg/l, dan (c) konsentrasi 100 mg/l.
21
1 cm
(a)
Gambar 9
1 cm
1 cm
(c)
(b)
Pengaruh antibiotik kanamisin pada pucuk M. affine. Pucuk di media yang mengandung kanamisin pada 67 hst (a) konsentrasi 0 mg/l, (b) konsentrasi 50 mg/l, dan (c) konsentrasi100 mg/l.
4.2.2 Toleransi M. affine terhadap Higromisin Tunas M. affine baik yang berasal dari kecambah maupun dari pucuk mengalami kematian di media yang mengandung higromisin 25 mg/l (Tabel 6). Pada konsentrasi 10 mg/l, kecambah tetap hidup sedangkan pucuk mengalami kematikan 46%. Hasil ini menunjukkan bahwa M. affine tidak tahan higromisin pada konsentrasi 25 mg/l sehingga konsentrasi ini dapat digunakan sebagai agen seleksi untuk M. affine yang tahan higromisin. Pada penelitian perakitan tanaman transgenik kopi robusta konsentrasi higromisin yang digunakan adalah juga 25 mg/l (Siswanto et al. 2003). Tabel 6 Higromisin (mg/l) 0 10 25 50 100
Persentase kematian kecambah dan pucuk M. affine pada berbagai konsentrasi higromisin Kecambah Waktu kematian (hari) % kematian 0 0 80 100 73 100 51 100
Pucuk Waktu kematian (hari) 30 25 21 10
% kematian 0 46 100 100 100
Pada media yang mengandung 25 mg/l higromisin, kecambah mengalami kematian pada 80 hst sedangkan pucuk mengalami kematian pada 25 hst. Ini mungkin disebabkan oleh kemampuan sementara dari M. affine yang berasal dari biji untuk beradaptasi terhadap higromisin. Karena biji mempunyai cadangan
22
makanan yang berguna untuk mendukung pertumbuhan sementaranya. Walaupun di media yang mengandung higromisin, biji M. affine tetap berkecambah dan mulai berwarna putih pada 80 hst. Warna putih pada kecambah dan coklat pada pucuk yang terseleksi antibiotik adalah sebabkan oleh penghambatan antibiotik terhadap metabolisme sel tumbuhan (Braun & Bennett 2001). Penghambatan proses metabolisme oleh antibiotik adalah dengan cara antibiotik mengikat ribosom 30S yang menyebabkan terjadinya kesalahan translasi mRNA. Pada tumbuhan, ribosom 30S berada di organel kloroplas dan mitokondria.. Pada kloroplas pengikatan antibiotik pada ribosom 30S menyebabkan rusaknya klorofil dan menghambat pembentukan asam amino (Wojtania et al. 2005). Rusaknya klorofil mengakibatkan daun pucuk menjadi mati dan berwarna coklat, dan kecambah berwarna putih. Pengaruh higromisin terhadap pertumbuhan M. affine disajikan pada Gambar 10.
1 cm
1 cm
(b)
(a)
1 cm
(c)
1 cm
(d)
Gambar 10 Pengaruh antibiotik higromisin pada kecambah dan pucuk M. affine. Kecambah di media yang mengandung higromisin pada kosentrasi (a) 10 mg/l, dan (b) 25 mg/l; dan pucuk pada konsentrasi higromisin (c) 10 mg/l, dan (d) 25 mg/l.
23
4.2.3 Toleransi M. malabathricum terhadap Kanamisin Pada M. malabathricum pucuk mengalami kematian pada konsentrasi kanamisin 50 mg/l, 48 hst (Tabel 7). Oleh karena itu konsentrasi yang efisien untuk menyeleksi ketahanan pucuk M. malabathricum terhadap kanamisin adalah 50 mg/l. Tabel 7 Persentase kematian pucuk M. malabathricum pada berbagai konsentrasi kanamisin Pucuk
Kanamisin (mg/l)
Waktu kematian (hari) 48 44 25
0 50 100 200
% kematian 0 100 100 100
Pada perakitan tanaman transgenik Arabidopsis (Valvekens et al. 1988) dan Echinacea purpurea (Wang & To 2003), konsentrasi kanamisin yang digunakan untuk seleksi adalah 50 mg/l. Pada media yang tidak mengandung kanamisin sampai dengan 48 hst M. malabathricum tidak mengalami kematian sehingga kematian M. malabathricum pada media yang mengandung kanamisin pada 48 hst disebabkan oleh kanamisin bukan oleh kekurangan nutrisi di media MS. Pengaruh kanamisin terhadap pertumbuhan M. malabathricum disajikan pada Gambar 11.
1 cm
(a)
Gambar
11
1 cm
(b)
Pengaruh antibiotik kanamisin terhadap pucuk pada M. malabathricum. Pucuk yang tumbuh di media yang mengandung kanamisin dengan konsentrasi (a) 0 mg/l, dan (b) 50 mg/l.
24
4.2.4 Toleransi M. malabathricum terhadap Higromisin Pucuk M. malabathricum mengalami kematian 100% di media yang mengandung higromisin 25 mg/l (Tabel 8). Pada konsentrasi 10 mg/l, pucuk mengalami
kematian
89%.
Hasil
ini
menunjukkan
bahwa
pucuk
M.
malabathricum tidak tahan terhadap higromisin pada konsentrasi 25 mg/l, sehingga konsentrasi ini dapat digunakan sebagai agen seleksi untuk pucuk M. malabathricum yang tahan higromisin. Pengaruh konsentrasi higromisin 10 mg/l dan 25 mg/l terhadap pertumbuhan M. malabathricum dapat dilihat pada Gambar 12. Tabel 8 Persentase kematian pucuk M. malabathricum pada berbagai konsentrasi higromisin Pucuk
Higromisin (mg/l)
Waktu kematian (hari) 14 7 5
0 10 25 50
% kematian 0 89 100 100
1 cm
1 cm
(a)
Gambar
12
(b)
Pengaruh antibiotik higromisin terhadap pucuk pada M. malabathricum. Pucuk yang tumbuh di media yang mengandung higromisin dengan konsentrasi (a) 10 mg/l, dan (b) 25 mg/l.
Jika dibandingkan toleransi M. affine dan M. malabathricum terhadap antibiotik, M. affine lebih toleran terhadap kanamisin dibandingkan dengan M. malabathricum, karena M. affine mengalami kematian 100% pada 100 mg/l (Tabel 5) sedangkan M. malabathricum pada 50 mg/l (Tabel 7). Kedua spesies ini
25
mempunyai tingkat toleransi yang sama terhadap higromisin. Keduanya mengalami kematian pada konsentrasi higromisin 25 mg/l, walaupun M. malabathricum lebih cepat mengalami kematian dibandingkan dengan M. affine. Hal ini mungkin disebabkan karena M. affine merupakan tumbuhan liar, sedangkan M. malabathricum adalah tumbuhan hias. Pada umumnya tumbuhan liar lebih tahan terhadap kondisi yang kurang baik bagi pertumbuhannya Konsentrasi terendah toleransi terhadap antibiotik sangat penting untuk perakitan tanaman transgenik yang menggunakan gen resistensi antibiotik sebagai penanda seleksi. Dalam perakitan tanaman transgenik penggunaan lebih dari satu gen penanda seleksi untuk resistensi terhadap antibiotik banyak dilakukan. Penanda seleksi resistensi terhadap higromisin dan kanamisin adalah sangat umum digunakan.
26
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Secara umum media MS lebih baik dari pada NN untuk perbanyakan dan pertumbuhan tunas Melastoma. Buku yang baik untuk perbanyakan tunas M. affine adalah buku ketiga, sedangkan untuk M. malabathricum adalah buku kedua, ketiga, atau keempat. Kecambah M. affine mengalami kematian 100% pada konsentrasi kanamisin 100 mg/l, dan higromisin 25 mg/l, pada 80 hst. Pucuk M. affine mengalami kematian 100% pada konsentrasi kanamisin 100 mg/l pada 62 hst dan higromisin 25 mg/l pada 25 hst. Pucuk M. malabathricum mengalami kematian 100% pada konsentrasi 50 mg/l pada 44 hst dan higromisin 25 mg/l pada 7 hst. 5.2 Saran Media MS adalah baik untuk digunakan dalam perbanyakan dan pertumbuhan Melastoma secara in vitro. Untuk rekayasa genetika dengan penanda seleksi antibiotik, konsentrasi 100 mg/l kanamisin dan 25 mg/l higromisin adalah baik digunakan untuk menyeleksi M. affine transgenik, dan konsentrasi 50 mg/l kanamisin dan 25 mg/l higromisin adalah baik untuk menyeleksi M. malabathricum transgenik.
27
DAFTAR PUSTAKA Acquaah G. 2004. Understanding Biotechnology. New Jersey: Pearson Educ. Acquaah G. 2005. Horticulture: Principles and Practices. Ed ke-3. New Jersey: Pearson Educ. Akama K, Beier H. 2003. Translational nonsense codon suppression as indicator for functional pre-RNA splicing in transformed Arabidopsis hypocotylderived calli. Nucl Acids Resear 31:1197-1207. Akashi K, Morikawa K, Yokota A. 2005. Agrobacterium-mediated transformation system for the drought and excels light stress-tolerant wild water melon (Citrullus lanatus). Plant Bioteck 22:13-18. Altman A. 1998. Agricultural Biotechnology. New York: Marcel Dekker, Inc. Amirhusin B. 2004. Perakitan tanaman transgenik tahan hama. J Litbang Pertanian 23:1-7. Backer CA, Brink RCBVD. 1963. Flora of Java (Spermatophytes) Vol. I. Groningen: NVP Noordhoff. Bell RL, Reed BM. 2002. In vitro tissue culture of pear: advances in techniques for micropropagation and germplasm preservation. Acta Hort 596:412-418. Bhojwani SS, Razdan MK. 1983. Plant Tissue Culture. Tokyo: Elsevier. Blair, GJ. 1979. Plant Nutrition. New England: Dep Agron Soil Sci Univ New England. Braun R, Bennett Dj. 2001. Antibiotic resistence in genetically modified (GM) crops. EFB Task Group on Pub Prec of Biotec 10:1-4. [CBI] Council for Biotechnology Information. 2001. The Use of Antibiotic Resistance Markers to Develop Biotech Crops:1-2. [terhubung bekala]. htt://www.whybiotech.com. htm.[6 pebruari 2008]. Chaidamsari T et al. 2006. Ekspresi fenotipe gen APETALA I kakao (TcAPI) pada eksplan tembakau. Menara Perkebunan 74:1-9. Chawla HS. 2002. Introduction Biotechnology. Ed ke-2. Enfield: Sci Pub. Fitranty N, Nurikmala F, Santoso D, Minarsih H. 2003. Efektivitas Agrobacterium mentransfer gen P5C5 ke dalam kalus tebu klon P3851. Menara Perkebunan 71:16-27.
28
Gamborg OL, Phillips GC. 1995. Plant Cell, Tissue and Organ Culture. Heidelberg: Springer Lab manual. George EF. 1993. Plant Tissue Culture Techniques in Plant Propagation by Tissue Culture Part 1. England: Exegetics Ltd. George EF, Sherrington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. England: Exegetics Ltd. Glich BR, Pasternak JJ. 1998. Moleculer Biotechnology: Principles and Application of Recombinant DNA. Ed ke-2. Washington, DC: ASM Pr. Gunawan LW. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB. Henderson MR. 1961. Common Malayan Wildflowers. Malayan: Longmans. [ITIS] Integrate Taxonomic Information System. Melastoma malabathricum. L. Report in Taxonomic serial no 503737. [terhubung berkala]. http://www.itis.gov/images/reportbanner.gif.html [19Juli 2007]. Leyser O. 2003. Regulation of shoot branching by auxin. Trends in Plant Sci 8:541-545. Murashige T & Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays with tobacco tissue cultures. Physiol Plant 15:473-497. Nitsch JP, Nitsch C. 1969. Haploid plants from pollen grains. Sci 163:85-87. Osaki M, Watanabe T, Tadano T. 1997. Beneficial effect of aluminum on growth of plant to low pH soil. Soil Sci Plant Nutr 43:551-563. Pierik RLM. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Lancaster: Martinus Nijhoff Pub. Rahmawati S. 2006. Status perkembangan perbaikan sifat genetik padi menggunakan transpormasi Agrobacterium. AgroBiogen 2:36-44. Roy SK, Islam MS, Sen J, Hadiuzzaman S. 1996. Shoot tip, an alternative to seed as a source of genetic material for conservation and propagation of forest trees. Di dalam Islam AS, editor. Plant Tissue Culture. Lebanon: Science. hlm 8-14. Senawi MB, Tamin M. 1998. Micropropagation: the problems with woody species. Di dalam Petersen JB, editor. Proceeding of The Seminar ASPEC: Cell and Tissue Culture in Field Crop Improvement. Taiwan: FFTC Books Series No. 38. hlm 128-134.
29
Siswanto et al. 2003. Tranformasi kopi robusta (Coffea canephora) dengan gen kitinase melalui Agrobacterium tumefaciens LBA 4404. Menara Perkebunan 71:56-69. Soedarman A, Rifai MA. 1975. 50 Gulma Di Indonesia. Gabungan Perusahaan Perkebunan Jawa Timur dan Balai Penelitian Perkebunan Bogor. Bogor. Stewart CN, Mentewab A. 2005. Horizontal gene transfer plant vs bacterial genes for antibiotic resintance scenarios- what’s the difference?. ISB News Repor: 12. Syarifuddin A, A. Abdurachman. 1993. Optimasi pemanfaatan sumberdaya lahan berwawasan lingkungan. Proseding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan dan Badan Litbang DEPTAN. Jakarta/Bogor 23-25 Agustus 1993. Taylor GJ. 1991. Current views of the aluminum stress response. The physiological basic of tolerance. Plant Biochem Physiol 10:57-93. Tjitrosoedirdjo SS. 1991. Weed info Melastoma affine Linn. The South East Asian Weed Information Center (SEAWIC) SEAMEO Biotrop. Bogor Indonesia. Valkenburg JLCV, Bunyapraphatsara N, editor. 2002. Plant Resources of South East Asia 12 Medicinal and Poisonous Plants 2. Bogor: Prosea Foundation Bogor Indonesia. Hlm. 263-265. Valvekens D, Montagu MV, Lijsebertens MV. 1988. Agrobacterium tumefaciensmediated transformation of Arabidopsis thaliana root explants by using kanamycin selection. Proc Natl Acad Sci 85:5536-5590. Wachiba F. 1997. In vitro shoot multiplication of Eucalyptus gandis. African Crop Sci J 5:239-251. Wajtania A, Pulawka J, Gabryszewska E. 2005. Identification and elimination of bacterial contaminants from Pelargonium tissue cultures. J Fruit Ornamental Plant Resear 13:101-108. Wang HM, To Ky. 2003. Agrobacterium-mediated transformation in the highvalue medicinal plant Echinacea purpurea. Plant Sci 166:1087-1096 Watanabe T, Osaki M, Yoshihara T, Tadano T. 1998. Distribution and chemical speciation of aluminum in the Al accumulator plant, Melastoma malabathricum L. Plant Soil 201:165-173. Watanabe T, Osaki M. 2002. Role of organic acids in aluminum accumulation and plant grownt in Melastoma malabathricum. Tree Physiol 22:785-792.
30
Watanabe T, Misawa S, Osaki M. 2005. Aluminum accumulation in the root of Melastoma malabathricum, an aluminum-accumulating plant. Can J Bot 83:1518-1522. Welander M. 1985. In vitro shoot and root formation in the apple cultivar akero. Ann Bot. 55:249-261 Yuwono T. 2006. Bioteknologi Pertanian. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr.
31
LAMPIRAN
32
Lampiran 1
Hara Mikro
Hara Makro
Jenis
Komposisi media dasar MS (Murashige & Skoog 1962) dan NN (Nitsch & Nitsch 1969) Bahan Kimia NH4NO3 KNO3
1900
950
440
166
MgSO4.7H2O
370
185
KH2PO4
170
68
FeSO4.7H2O Na2EDTA MnSO4.4H2O
27,8 37,3 22,3
27,8 37,3 -
MnSO4H2O
-
18,9
ZnSO4.7H2O
8,6
10,0
H3BO3
6,2
10.0
KI
0,83
-
Na2MoO4.2H2O
0,25
0,25
CuSO4.5H2O
0,025
0,025
CoCl2.6H2O
0,025
-
Myo-inositol
-
0,05
100
100
Niasin
0,5
5,0
Pyridoxine-HCl
0,5
0,5
Thiamine-HCl
0,1
0,5
Glycine
2,0
2,0
Folic acid Sumber C
NN (mg/l) 720
CaCl2.2H2O
Biotin Vitamin
MS (mg/l) 1650
Sucrose
30 gram
0,5 30 gram
33
Lampiran 2 Pertumbuhan jumlah tunas dan jumlah buku selama 7 minggu pada M. affine Media
Posisi buku 1
2 MS 3
4
1
2 NN 3
4
Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
1 0.67 0.83 0.50 0.17 0.17 0.00 0.33 0.17 0.22 0.50 0.00 1.00 1.00 0.81 0.53 0.83 0.25 0.83 0.25 0.67 0.67 0.39 0.08 0.17
2 1.67 1.33 1.33 0.83 1.25 1.33 1.50 1.50 1.67 1.67 1.25 2.00 1.67 1.97 1.31 2.33 1.67 1.83 1.92 1.67 1.67 1.11 1.83 1.17
Jumlah tunas pada minggu ke3 4 5 1.92 2.25 2.25 1.67 1.50 1.50 1.50 1.25 1.38 1.67 1.88 2.00 2.00 2.00 2.13 1.78 2.00 2.38 1.83 2.50 3.33 1.75 3.00 3.25 1.83 2.08 2.67 1.83 3.00 3.25 1.36 1.44 1.97 2.00 2.25 3.42 1.67 1.83 2.08 1.97 2.06 2.06 1.39 1.47 1.58 2.58 2.58 2.83 2.00 2.00 2.00 2.17 2.50 2.75 2.83 2.83 3.17 1.83 1.92 2.17 2.00 2.08 1.58 1.42 2.11 2.39 1.67 1.83 1.92 1.50 1.92 2.00
6 2.25 1.63 1.63 2.00 2.13 2.88 3.83 3.50 2.83 3.50 1.81 3.75 2.17 2.06 1.38 2.88 2.00 2.75 3.17 2.17 2.38 2.25 2.08 2.17
7 2.25 1.88 1.88 2.13 2.25 3.50 5.33 4.13 3.33 3.75 2.69 3.75 2.17 2.06 1.38 2.88 2.00 2.88 3.17 2.17 2.38 2.75 2.08 2.33
1 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
2 2.11 1.17 0.78 1.67 0.67 1.33 1.89 1.00 0.00 0.00 0.00 0.17 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Jumlah buku pada minggu ke3 4 5 2.11 3.14 4.61 1.83 1.86 3.47 0.78 2.81 4.00 1.83 5.08 6.42 0.67 2.83 5.92 1.33 4.08 6.33 2.22 4.06 6.25 2.00 4.25 7.13 1.33 3.50 5.75 0.00 1.67 5.33 0.00 2.75 6.17 0.17 1.75 4.08 0.50 1.08 3.17 0.61 2.81 3.69 0.42 1.33 3.00 0.50 3.00 4.58 0.17 2.50 4.33 0.00 1.58 3.50 0.58 2.42 4.67 1.33 2.92 4.67 0.17 2.75 4.83 1.25 4.75 7.25 0.17 1.50 3.61 0.33 1.50 3.83
6 5.00 4.06 4.33 6.92 6.92 7.25 7.11 7.38 6.42 6.25 6.50 4.92 3.58 3.81 3.75 5.42 4.67 4.42 5.92 5.92 5.50 7.75 3.61 4.25
7 6.22 5.00 4.53 7.33 7.75 7.42 7.28 7.63 6.58 6.25 6.50 5.00 4.25 3.81 4.17 5.92 4.75 4.75 6.50 6.58 6.08 8.63 5.39 5.44
34
Lampiran 3 Pertumbuhan jumlah tunas dan tinggi tunas selama 7 minggu pada M. malabathricum Media
Posisi buku 1
2 MS 3
4
1
2 NN 3
4
Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
1 0.75 0.50 1.00 0.60 1.00 1.00 0.50 1.25 0.00 0.00 0.63 0.63 0.88 0.50 0.88 1.13 0.25 1.13 0.75 1.00 0.50 0.38 0.25 0.88
Jumlah tunas pada minggu ke2 3 4 5 1.75 1.75 1.75 1.75 1.13 1.25 1.25 1.25 1.50 1.63 1.63 1.63 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 1.38 1.88 1.88 2.00 1.75 1.88 1.88 1.88 1.75 1.75 1.75 2.00 1.75 2.00 2.00 2.00 1.88 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 1.88 2.00 2.00 2.00 1.13 1.25 1.50 1.50 1.25 1.38 1.38 1.38 0.88 0.88 1.00 1.00 1.13 1.75 2.00 2.00 1.00 2.00 1.88 1.88 1.38 1.63 1.63 1.63 0.75 2.00 2.00 2.00 1.75 1.75 2.00 2.00 1.00 1.75 1.75 1.75 0.75 1.75 1.75 1.75 1.00 2.00 2.00 2.00 1.25 1.63 1.63 1.75
6 1.75 1.63 1.75 2.00 2.00 2.00 1.88 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 1.63 1.38 1.00 2.00 1.88 1.83 2.00 2.00 1.75 2.00 2.00 1.75
7 1.75 1.63 1.75 2.00 2.00 2.00 1.90 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 1.63 1.38 1.00 2.00 1.88 1.83 2.00 2.00 1.75 2.00 2.00 1.75
1 0.75 0.88 1.13 0.36 0.63 0.63 0.33 1.25 0.00 0.00 0.46 0.38 1.00 0.38 1.00 0.63 0.13 0.75 0.38 0.50 0.38 0.25 0.13 0.50
Tinggi tunas pada minggu ke- (mm) 2 3 4 5 6 6.50 9.63 13.63 15.63 18.63 10.38 14.13 19.25 22.50 24.88 8.50 11.38 15.63 17.75 20.38 1.96 5.09 8.30 11.08 14.75 3.75 7.13 10.25 11.75 13.88 2.63 6.88 9.38 12.42 14.46 2.50 6.13 9.88 12.50 13.00 4.50 6.38 7.88 9.88 11.88 2.88 4.50 6.00 7.63 9.75 1.63 4.00 6.25 8.00 9.00 2.63 6.00 8.75 10.63 11.75 2.50 3.75 5.75 6.13 6.50 5.13 8.00 12.63 14.75 17.63 2.63 6.38 8.00 10.25 11.75 2.63 5.13 6.75 9.25 10.50 1.50 2.13 4.50 5.38 6.25 0.75 1.88 2.38 3.00 3.63 1.13 2.75 4.00 5.38 6.58 1.38 4.04 7.63 8.92 9.33 1.00 2.13 3.63 4.75 6.38 1.75 3.38 4.38 5.63 6.88 1.00 3.13 4.00 5.25 10.50 1.00 2.00 3.50 6.63 8.38 1.50 2.88 5.13 8.75 10.38
7 21.38 26.25 22.25 17.17 15.38 16.71 19.15 14.38 11.75 11.63 13.33 7.50 21.00 13.00 13.25 6.88 4.25 7.21 11.08 7.38 7.63 11.38 9.88 11.88