J. Hort. Vol. 22 No. 3, 2012
J. Hort. 22(3):268-275, 2012
Keefektifan Penghambatan Ekstrak Daging Biji Picung terhadap Pertumbuhan Rhizoctonia sp. dan Cylindrocladium sp. Secara In Vitro 2)
Achmad1) Anggraeni, I2), Herliyana, EN1), Asrori, A1) , dan Rijal, S1)
Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, Jl. Lingkar Akademik Kampus IPB, Bogor 16680 Puslitbang Hutan Tanaman, Badan Litbang Kehutanan, Jl. Lingkar Akademik Kampus IPB, Bogor 16680 Naskah diterima tanggal 10 Juli 2012 dan disetujui untuk diterbitkan tanggal 17 September 2012 1)
ABSTRAK. Pengelolaan pertanian dan kehutanan yang ramah lingkungan merupakan isyu yang berkembang akhir-akhir ini. Pengendalian penyakit tanaman secara hayati menggunakan zat antifungal yang terdapat dalam ekstrak tanaman merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan. Penelitian bertujuan mempelajari keefektifan penghambatan ekstrak daging biji picung sebagai bahan fungisida nabati terhadap pertumbuhan koloni Rhizoctonia sp. dan Cylindrocladium sp. secara in vitro. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Hutan, Kelompok Peneliti Perlindungan Hutan, Puslitbang Hutan Tanaman Bogor, berlangsung dari Bulan Desember 2007 sampai dengan Januari 2008. Daging biji picung diekstraksi secara sederhana menggunakan pelarut air, hasil ekstraksi kemudian dibuat larutan dengan konsentrasi 0, 20, 40, 60, 80, dan 100% untuk menguji Rhizoctonia sp. serta 0, 10, 20, 30, dan 40% untuk menguji Cylindrocladium sp. dengan menambahkan ekstrak daging biji picung dengan air destilata dalam perbandingan volume hingga diperoleh larutan sebanyak 10 ml. Dua mililiter larutan ekstrak daging biji picung dari tiap konsentrasi selanjutnya ditambahkan ke dalam 10 ml media PDA dalam cawan petri berdiameter 9 cm. Setelah media campuran dingin, pada tengah media ditanam satu potong koloni fungi dari biakan yang diambil dengan bor gabus berdiameter 10 mm, selanjutnya diinkubasi pada suhu kamar. Pengamatan dilakukan dengan mengukur diameter koloni fungi pada hari pertama dan kedua untuk Rhizoctonia sp. dan hari ke-1, 5, serta 9 untuk Cylindrocladium sp. Peubah lain yang dihitung adalah persentase penghambatan, yaitu diameter fungi pada kontrol dikurangi oleh diameter fungi pada perlakuan konsentrasi ekstrak daging biji picung tertentu, dan dibagi dengan diameter koloni fungi pada kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan ekstrak daging biji picung pada semua konsentrasi nyata menurunkan diameter koloni kedua jenis fungi patogen pada semua waktu pengamatan. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak daging biji picung, maka diameter koloni fungi juga semakin berkurang. Penurunan diameter koloni tersebut tercermin pada penghambatan pertumbuhan koloni fungi akibat penambahan esktrak daging biji picung. Sejalan dengan diamater koloni fungi yang semakin berkurang pada konsentrasi ekstrak daging biji picung yang semakin tinggi, tingkat penghambatan oleh ekstrak daging biji picung juga semakin kuat dengan semakin tingginya konsentrasi esktrak yang diujikan. Katakunci: Efektivitas penghambatan; Rhizoctonia sp.; Cylindrocladium sp.; In vitro; Pangium edule ABSTRACT. Achmad, Anggraeni I, Herliyana, EN, Asrori, A, and Rijal, S 2012. Effectiveness of Pangium edule Reinw. Flesh Seed Extract Inhibition on In Vitro Growth of Rhizoctonia sp. and Cylindrocladium sp. Environmentally friendly plant disease control methods currently become a prominent issue in agriculture and forestry. Top of form this research study the effectiveness of the inhibition of pangium flesh seed extract as biological fungicides on in vitro growth of Rhizoctonia sp. and Cylindrocladium sp. colonies. The experiment was conducted at Laboratory of Foresty Diseases, Researchers Group of Forestry Protection, Center of Research and Development for Plant Forestry, Bogor carried out from December 2007 until January 2008. Pangium flesh seed was extracted simply using water solvent, then extractant made solutions with concentration of 0, 20, 40, 60, 80, and 100% for Rhizoctonia sp. and 0, 10, 20, 30, and 40% for Cylindrocladium sp. by adding pangium feesh seed extract with destilled water (v/v) to obtain a 10 ml solution. Two milliliters of each pangium flesh seed extract concentration solution was added to 10 ml of PDA medium in petridishes 9 cm in diameter. After the mix media became cold and solid, a piece of each fungal colony taken from culture with a cork borer diameter 10 mm was planted at the center of the media, then incubated at room temperature. Observations made by measuring the diameter of fungal colonies on the first and second day for Rhizoctonia sp. and 1st, 5th, and 9th day for Cylindrocladium sp. Besides, the percentage inhibition was calculated, i.e. the diameter of fungal colony in control media (0% pangium flesh seed extract) reduced by the diameter of fungal colony on certain concentration of pangium flesh seed extract, and divided by the diameter of fungal colony in control media. The results showed that the addition of pangium flesh seed extract at all concentrations significantly decreased the colony diameter of both fungies at all observations. The higher concentration of the pangium flesh seed extract, the fungal colony diameter also decreased. Reduction in colony diameter was reflected in inhibition of colony growth of fungi due to the addition of pangium flesh seed extracts. In line with the decreased of fungal colony diameter with the higher concentration of pangium flesh seed extract, the level of inhibition by pangium flesh seed extract were stronger with the higher concentrations of the extracts tested. Keywords: Effectiveness of inhibition; Rhizoctonia sp.; Cylindrocladium sp.; In vitro; Pangium edule
Rhizoctonia sp. dan Cylindrocladium sp. adalah fungi patogen yang menimbulkan penyakit pada banyak macam tanaman di seluruh dunia (Garcia et al. 2006, Lombard et al. 2010) dengan kisaran inang yang luas dan menimbulkan banyak macam penyakit pada tanaman, mulai dari akar, pucuk, hingga buah. Keduanya merupakan fungi penghuni tanah dan 268
merupakan dua dari sekelompok patogen penyebab penyakit lodoh pada banyak komoditas tanaman pertanian maupun kehutanan. Rhizoctonia pada komoditas hortikultura antara lain menyebabkan penyakit lodoh pada tomat (Jiskani et al. 2007), busuk akar pada cabai (Tariq et al. 2009), kontaminan pada permukaan benih
Achmad et al.: Keefektifan Penghambatan Ekstrak Daging Biji Picung ... solanaceae yang eksudatnya nyata menurunkan daya berkecambah benih (Ismael 2010). Selain pada komoditas hortikultura, fungi patogen tersebut juga dilaporkan menyebabkan penyakit lodoh pada kapas (Rajendra & Samiyappan 2008), serta menimbulkan busuk akar dan polong pada kacang tanah (AbdelMomen & Starr 1998). Pada tanaman kehutanan, fungi patogen ini menyerang tanaman muda yang ada di pesemaian dan menyebabkan beberapa penyakit pada tanaman kehutanan, antara lain penyakit lodoh pada pinus dan sengon (Achmad et al. 1999, Anggraeni 2002) serta hawar daun pada pesemaian suren (Achmad & Maisyaroh 2004). Perkembangan penyakit yang disebabkan oleh Rhizoctonia sp. terjadi dengan cepat. Dalam waktu 2 hari Rhizoctonia sp. mampu menimbulkan serangan hingga 90% (Semangun 1988). Cylindrocladium antara lain menyebabkan nekrosis pada akar pisang (Sutra et al. 2000, Ayyadurai et al. 2006) dan penyakit busuk hitam pada kacang tanah (Pan et al. 2009, Dong et al. 2009). Fungi patogen ini juga dilaporkan menyebabkan penyakit hawar pada Buxus di Inggris (Henricot et al. 2000), bercak daun pada Myrtus communis di Portugal (Henricot & Beales 2003), busuk merah tajuk pada kedelai di Cina (Ma et al. 2004), serta bercak daun dan lesio batang pada Pistacia lentiscus di Italia (Vitale & Polizzi 2008). Upaya pengendalian terhadap berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh kedua jenis patogen tersebut telah banyak diteliti dan dipraktikkan, mencakup pengendalian secara fisik, kimiawi, maupun secara biologi (hayati). Pengendalian secara biologi dalam pengelolaan organisme pengganggu tanaman sejalan dengan isyu pengelolaan pertanian dan kehutanan yang ramah lingkungan yang berkembang akhir-akhir ini. Oleh karena itu pengendalian secara biologi perlu dipelajari lebih intensif. Salah satu cara pengendalian penyakit secara biologi yang dapat dilakukan ialah dengan memanfaatkan zat antifungal yang terdapat pada pestisida nabati. Picung (Pangium edule) atau disebut dalam nama daerah sebagai kluwak atau kepayang, merupakan salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai pestisida nabati. Partomihardjo & Rugayah (1989) mengemukakan bahwa biji picung di kalangan masyarakat dikenal dan digunakan sebagai obat dan bahan makanan. Daun dan biji picung dapat digunakan sebagai desinfektan. Kulit dan daun biji picung dapat digunakan sebagai racun ikan. Minyak dari daging biji picung dapat digunakan sebagai obat rematik. Di Jawa Barat, bahan makanan yang berasal dari biji picung dikenal dengan nama dage, di Sumatera Barat biji picung dikempa dan dijadikan minyak goreng untuk pengganti minyak kelapa.
Picung memiliki kandungan senyawa alami antimikrob. Aktivitas antimikrobnya menjadikan biji picung dimanfaatkan untuk pengawet ikan (Aprianto 2011). Chye & Sim (2009) melaporkan bahwa ekstrak biji picung efektif menekan pertumbuhan bakteri Salmonella typhimirium dan Listeria monocytogenes. Selain itu ekstrak biji picung juga mengandung senyawa antifungal, sehingga dapat dimanfaatkan untuk fungisida nabati. Pengujian keefektifan ekstrak daging biji picung sebagai bahan fungisida nabati terhadap fungi Fusarium solani telah dilakukan dan hasilnya menunjukkan bahwa ekstrak daging biji picung pada konsentrasi 104 ppm memberikan efek fungistatik sebesar 43,24% (Saputra 2001). Pada penelitian ini dipelajari keefektifan penghambatan ekstrak daging biji picung sebagai bahan fungisida nabati terhadap pertumbuhan koloni Rhizoctonia sp. dan Cylindrocladium sp. secara in vitro. Ekstraksi daging biji picung dilakukan sederhana menggunakan air sebagai pelarut, sehingga diharapkan hasil penelitian aplikatif untuk diterapkan di lapangan. Hipotesis yang diajukan ialah ekstrak daging biji picung dengan tingkat konsentrasi yang diuji pada penelitian ini dapat menekan pertumbuhan koloni fungi patogen Rhizoctonia sp. dan Cylindrocladium sp. secara in vitro.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Hutan, Kelompok Peneliti Perlindungan Hutan, Puslitbang Hutan Tanaman Bogor, dan berlangsung dari Bulan Desember 2007 sampai dengan Januari 2008. Dalam penelitian ini digunakan biji picung muda (Gambar 1) yang diperoleh dari daerah Cimahpar Bogor, serta biakan murni Rhizoctonia sp. (Gambar 2) dan Cylindrocladium sp. (Gambar 3) yang diperoleh dari Laboratorium Penyakit Hutan, Kelti Perlindungan Hutan, Puslitbang Hutan Tanaman Bogor. Perlakuan yang diuji yaitu tingkat konsentrasi ekstrak daging biji picung yang ditambahkan ke dalam media potato dextrose agar (PDA) untuk menumbuhkan Rhizoctonia sp. atau Cylindrocladium sp.. Tingkat konsentrasi ekstrak daging biji picung yang diujikan yaitu 0, 20, 40, 60, 80, dan 100% untuk Rhizoctonia sp. dan 0, 10, 20, 30, dan 40% untuk Cylindrocladium sp.. Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap dengan delapan ulangan, satuan percobaan berupa biakan dalam satu cawan petri. Hasil percobaan pada tiap patogen dianalisis terpisah. Terhadap peubah yang nyata dipengaruhi oleh konsentrasi ekstrak daging biji picung, dilakukan 269
J. Hort. Vol. 22 No. 3, 2012
Gambar 1. Biji picung muda dengan daging biji di bagian dalamnya (Young pangium seed flesh within)
Gambar 2. Karakteristik Rhizoctonia sp. koloni pada media PDA dengan sklerotia terlihat sebagai bintik-bintik hitam (gambar kiri), miselia dengan percabangan tegak lurus (tanda anak panah -1), sel monilioid (tanda anak panah -2), inti sel (tanda anak panah tipis) (Characteristics of Rhizoctonia sp. Left: colony on PDA with sklerotia appearing as black spots; right: the mycelia with perpendicular branching, arrow -1; monilioid cells, arrows -2; the cell nucleus, thin arrows) pembandingan nilai tengah menggunakan uji jarak berganda duncan. Ekstrak daging biji picung disiapkan dengan prosedur berikut. Dari biji picung muda, yang ditandai oleh cangkang berwarna kuning dengan daging biji berwarna putih, diambil dagingnya 100 g, kemudian daging biji tersebut dimasukkan ke dalam blender dan ditambah 100 ml air steril, selanjutnya diblender selama 5 menit. Ekstrak kemudian disaring dengan empat lapis kain kasa dan hasil saringannya ditampung dalam labu erlenmeyer. Mulut labu kemudian disumbat dengan kapas dan aluminium foil, selanjutnya labu beserta isinya disterilkan dalam otoklaf pada tekanan 1,5 atm dan suhu 121oC selama 15 menit. Pembuatan larutan ekstrak daging biji picung berbagai konsentrasi dilakukan dengan mencampurkan ekstrak dan air steril berdasarkan perbandingan volume hingga diperoleh volume akhir larutan 10 ml. Sebagai contoh, untuk membuat larutan ekstrak daging biji picung konsentrasi 20% maka 2 ml ekstrak daging biji picung ditambahkan ke dalam 8 ml air steril. 270
Gambar 3.
Karakteristik Cylindrocladium sp. Kiri: koloni pada media PDA; kanan: struktur mikroskopik:1-vesikel, 2-konidia, 3-konidiofor (Characteristics of Cylindrocladium sp. Left: colony on PDA; right: mycroscopic structure: 1-vechicle, 2-conidia, 3-conidiophore)
Pengujian pengaruh ekstrak daging biji picung terhadap pertumbuhan Rhizoctonia sp. dan Cylindrocladium sp. dilakukan dengan metode peracunan media dengan prosedur berikut. Ke dalam cawan petri diameter 9 cm dituangkan 2 ml ekstrak daging biji picung sesuai konsentrasi yang diujikan, kemudian ditambahkan 10 ml media PDA. Untuk tingkat konsentrasi ekstrak daging biji picung 0% (kontrol), maka yang ditambahkan ialah 2 ml air steril dan 10 ml media PDA. Cawan kemudian digoyang-goyang agar ekstrak dan media tercampur merata, selanjutnya didiamkan agar media dingin dan membeku. Selanjutnya dilakukan penanaman potongan inokulum Rhizoctonia sp. atau Cylindrocladium sp. di tengah-tengah cawan petri tiap perlakuan. Potongan inokulum tersebut berasal dari biakan murni Rhizoctonia sp. berumur 3 hari atau Cylindrocladium sp. berumur 9 hari yang diambil menggunakan bor gabus (cork borer) berdiameter 10 mm. Seluruh pekerjaan tersebut dilakukan dalam kondisi aseptik. Selanjutnya seluruh cawan beserta isinya diinkubasi pada suhu kamar. Pengamatan dilakukan dengan mengukur diameter koloni Rhizoctonia sp. pada hari pertama dan kedua pada jam yang sama, sedangkan pengukuran diameter koloni Cylindrocladium sp. dilakukan pada hari ke-1, 5, dan 9 setelah penanaman koloni. Perbedaan waktu pengamatan tersebut disebabkan karena kecepatan pertumbuhan koloni kedua fungi patogen yang berbeda. Rhizoctonia sp. lazimnya telah tumbuh memenuhi cawan petri berdiameter 9 cm pada hari ke3, sedangkan Cylindrocladium sp. memerlukan waktu hingga 9 hari untuk tumbuh memenuhi cawan petri dengan ukuran yang sama. Persentase penghambatan ditentukan dengan mengurangkan diameter koloni pada perlakuan konsentrasi ekstrak daging biji picung
Achmad et al.: Keefektifan Penghambatan Ekstrak Daging Biji Picung ... terhadap diameter koloni pada kontrol dan kemudian dibagi dengan diameter koloni pada kontrol.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rhizoctonia sp. tumbuh dengan cepat, sebagaimana lazimnya fungi kelas Deuteromycetes. Pada perlakuan kontrol, pada hari pertama diameter koloni mencapai 3,0 cm dan pada hari kedua mencapai 8,6 cm (Gambar 4). Cylindrocladium sp. tumbuh lebih lambat dibanding Rhizoctonia sp., diperlukan waktu hingga 9 hari untuk tumbuh memenuhi cawan petri berdiameter 9 cm (Gambar 5). Berdasarkan kurva respons pada Gambar 4 dan 5, penambahan ekstrak daging biji picung nyata menekan pertumbuhan kedua jenis fungi patogen. Pada pengamatan hari pertama, penambahan ekstrak daging biji picung pada konsentrasi 20% nyata menekan pertumbuhan koloni Rhizoctonia sp. yang ditunjukkan oleh diameter koloni 2,6 cm yang nyata lebih rendah dibanding kontrol (3,0 cm). Hal yang sama juga terjadi pada pengamatan hari ke-2. Diameter koloni pada perlakuan ekstrak daging biji picung 20% (6,7 cm) nyata lebih rendah dibanding kontrol (8,6 cm). Pada konsentrasi ekstrak daging biji picung yang semakin tinggi, diameter koloni Rhizoctonia sp. juga nyata semakin rendah dibanding kontrol, baik pada pengamatan hari pertama maupun hari kedua (Gambar 4). Diameter koloni Rhizoctonia sp. terendah ialah pada perlakuan konsentrasi ekstrak daging biji picung tertinggi, yaitu 100%, baik pada pengamatan hari pertama (2,0 cm) maupun hari kedua (5,2 cm).
Berdasarkan kurva respons pada Gambar 5, pada pengamatan hari pertama menunjukkan bahwa penambahan esktrak daging biji picung pada konsentrasi terendah, yaitu 10%, nyata menurunkan diameter koloni Cylindrocladium sp. (0,9 cm) dibanding kontrol (1,3 cm). Diameter koloni fungi pada perlakuan konsentrasi selanjutnya tidak berbeda nyata dari diameter koloni fungi pada konsentrasi esktrak daging biji picung 10%. Pada pengamatan hari ke-5, diameter koloni fungi pada perlakuan tingkat konsentrasi ekstrak daging biji picung 30% (4,6 cm) nyata lebih rendah dibanding diameter koloni fungi pada kontrol (5,3 cm), sedangkan diameter koloni fungi pada konsentrasi ekstrak 10% (5,0 cm) dan 20% (54,9 cm) tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hasil yang sama ditunjukkan pada pengamatan hari ke-9. Persentase penghambatan merupakan peubah yang menunjukkan sejauh mana ekstrak daging biji picung memberi pengaruh penghambatan terhadap pertumbuhan koloni Rhizoctonia sp.. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak daging biji picung yang diberikan, maka persentase penghambatan semakin besar, sebagaimana ditunjukkan oleh grafik respons pada Gambar 6 dan 7, dengan persentase penghambatan pada kontrol dianggap nol. Pemberian ekstrak daging biji picung pada semua taraf konsentrasi yang diujikan (20, 40, 60, 80, dan 100 %) nyata menurunkan diameter koloni Rhizoctonia sp. (Gambar 4) dan kondisi tersebut sejalan dengan penghambatan yang ditimbulkan, yaitu penghambatan semakin besar pada tingkat konsentrasi ekstrak daging
Diameter koloni Rhizoctonia sp. (Diamater of Rhizoctonia sp. colony), cm
10,0 8,6 8,6
9,0 8,0
6,7
6,7 6,2 6,2 6,2 6,2 5,9 5,9 5,2 5,2
7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0
0% 20% 40%
3,0 3,0
2,6 2,6 2,5 2,5 2,4 2,4 2,2 2,0 2,2 2,0 11
Konsentrasi ekstrak daging biji picung (Pangium flesh seed extract concentration)
60% 80%
Hari pengamatan (Observation days)
2 2
100%
Gambar 4. Pertumbuhan koloni Rhizoctonia sp. pada beberapa tingkat konsentrasi ekstrak daging biji picung (Growth of Rhizoctonia sp. colony at some concentration level of pangium flesh
seed extract)
271
Diameter koloni Cylindrocladium sp. (Diamater of Cylindrocladium sp. colony), cm
J. Hort. Vol. 22 No. 3, 2012 10,0
9,0
9,0 8,0 7,0 6,0
5,0
5,0
5,3
10% 20%
3,0 2,0 1,0 0,0
Konsentrasi ekstrak daging biji picung (Pangium flesh seed extract concentration) 0%
4,9 4,6 4,6
4,0
8,6 8,4 8,2 8,2
1,0 0,9
30%
1,3
40%
0,8 0,8 1
5 Hari pengamatan (Observation days)
9
Gambar 5. Pertumbuhan koloni Cylindrocladium sp. pada beberapa tingkat konsentrasi ekstrak daging biji picung (Growth of Cylindrocladium sp. colony at some concentration level of pangium flesh seed extract) biji picung yang semakin tinggi (Gambar 6). Pada hari pertama, persentase penghambatan pertumbuhan diameter koloni Rhizoctonia sp. terbesar ialah pada taraf konsentrasi 100% yaitu sebesar 33,0%. Pada hari kedua, persentase penghambatan pertumbuhan diameter koloni Rhizoctonia sp. terbesar ialah pada taraf konsentrasi 100% yaitu sebesar 39,3% dan nyata lebih tinggi dibandingkan persentase penghambatan pertumbuhan diameter koloni Rhizoctonia sp. pada kontrol dan perlakuan lainnya. Sebagaimana pada Rhizoctonia sp., turunnya diameter koloni Cylindrocladium sp. akibat penambahan ekstrak daging biji picung diikuti oleh penghambatan pertumbuhan koloni fungi yang semakin besar (Gambar 7). Pengamatan hari pertama menunjukkan penghambatan yang nyata terhadap kontrol (0%) mulai terjadi pada perlakuan konsentrasi ekstrak daging biji picung 10% (27,7%). Pada pengamatan hari ke-5, penghambatan yang nyata terhadap kontrol (0%) mulai terlihat pada perlakuan ekstrak daging biji picung 30% (13,21%), sedangkan pada pengamatan hari ke-9 penghambatan nyata terhadap kontrol (0%) mulai terjadi pada perlakuan konsentrasi ekstrak daging biji picung 20% (5,9%). Rhizoctonia sp. merupakan fungi patogen yang dapat dengan mudah dikembangbiakkan pada media kaya seperti PDA, dan miselianya mengalami pertumbuhan yang sangat cepat, dalam 3 hari miselia memenuhi cawan petri berdiameter 9 cm. Di lain pihak, Cylindrocladium tumbuh lebih lambat. Meskipun demikian kedua jenis patogen menimbulkan kerusakan yang sama seriusnya pada tanaman inang
272
yang diserangnya. Semangun (1988) mengemukakan bahwa Rhizoctonia sp. yang merupakan salah satu patogen penyebab penyakit lodoh atau rebah semai (damping-off) yang dapat hidup sebagai saprofit fakultatif dan dapat berubah menjadi parasit apabila kondisi lingkungan memungkinkan. Sebagai patogen, Rhizoctonia sp. diketahui memiliki daya patogenisitas yang tinggi. Hal tersebut diduga karena memiliki keragaman genetik sangat tinggi karena memiliki mekanisme variabilitas yang khas yaitu anastomosis (Ogoshi 1987). Fungi ini dapat menyebabkan penyakit lodoh pada pinus dan sengon (Achmad et al. 1999, Anggraeni 2002) dan hawar daun pada semai suren (Achmad & Maisyaroh 2004). Selain itu juga menyebabkan penyakit busuk akar pada banyak komoditas (Mahato et al. 2004). Pengujian keefektifan ekstrak daging biji picung terhadap pertumbuhan Rhizoctonia sp. dan Cylindrocladium sp. yang dipelajari dalam penelitian ini merupakan upaya awal memperoleh fungisida nabati yang ramah lingkungan untuk mengelola penyakit yang disebabkan oleh kedua jenis patogen di lapangan. Biji picung diketahui memiliki khasiat antimikrob. Senyawa antimikrob ialah senyawa biologi atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Perlakuan pemberian ekstrak daging biji picung pada konsentrasi 20, 40, 60, 80 dan 100% yang diuji pada penelitian ini masih pada tahap menghambat pertumbuhan, belum sampai pada tingkat membunuh Rhizoctonia sp. maupun Cylindrocladium sp.. Indiktor adanya penghambatan
Penghambatan pertumbuhan koloni Rhizoctonia sp. (Growth inhibition of Rhizoctonia sp. colony), %
Achmad et al.: Keefektifan Penghambatan Ekstrak Daging Biji Picung ... 45,0 40,0
39,3
37,8
35,0
31,0 27,8 27,2
30,0 25,0
24,4
20,0
20,0 15,6 13,2
15,0 10,0
21,0
Konsentrasi ekstrak daging biji picung (Pangium flesh seed extract concentration) 0% 20% 40% 60%
5,0
0,0
0,0
0,0
1
80% 100%
2 Hari pengamatan (Observation days)
Penghambatan pertumbuhan koloni Cylindrocladium sp. (Growth inhibition of Cylindrocladium sp. colony), %
Gambar 6. Penghambatan pertumbuhan koloni Rhizoctonia sp. pada beberapa tingkat konsentrasi ekstrak daging biji picung (Growth inhibition of Rhizoctonia sp. colony at some concentration level of pangium flesh seed extract) 40,0
37,0
35,0
35,2
30,0 25,0 20,0
Konsentrasi ekstrak daging biji picung (Pangium flesh seed extract concentration)
27,7
0%
22,8
10% 13,2
15,0
7,9 5,9 3,5 0,0
5,9
5,0 0,0
10,5
12,6
10,0 0,0 1
4,4
0,0
5 Hari pengamatan (Observation days)
20% 30% 40%
9
Gambar 7. Penghambatan pertumbuhan koloni Cylindrocladium sp. pada beberapa tingkat konsentrasi ekstrak daging biji picung (Growth inhibition of Cylindrocladium sp. colony at some concentration level of pangium flesh seed extract) ialah lambatnya pertumbuhan kedua jenis fungi patogen pada beberapa taraf konsentrasi ekstrak daging biji picung dibandingkan pada perlakuan kontrol. Pelczar & Chan (1988) menjelaskan mekanisme zat antimikrob dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan mikrob antara lain dengan cara: (1) merusak dinding sel bakteri, sehingga mengakibatkan lisis atau menghambat pembentukan dinding sel pada sel yang sedang tumbuh, (2) mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien dari dalam sel, misalnya oleh senyawa fenolik,
(3) menyebabkan denaturasi sel, dan (4) menghambat kerja enzim di dalam sel. Menurut Hilditch & Williams (1964), khasiat picung sebagai antimikrob ialah karena adanya kandungan asam sianida dan tanin. Seluruh bagian tanaman picung bersifat racun karena kandungan asam sianida yang cukup besar baik pada batang, daun, maupun buahnya (Heyn 1987). Asam sianida merupakan hasil hidrolisis dari glikosida sianogenat (Bishop 1997). Biji picung merupakan bagian tanaman yang paling beracun. Hal tersebut karena pada biji 273
J. Hort. Vol. 22 No. 3, 2012 picung banyak terkandung ginokardin (Voon-boon-hoc & Kuch-hong-siong 1999), yaitu suatu glikosida yang mudah melepaskan asam sianida melalui hidrolisis oleh enzim ginokardase. Asam sianida yang dilepas tersebut bersifat racun yang pada konsentrasi rendah dapat menyebabkan orang sakit kepala, pusing, mual dan muntah bila termakan atau terhirup pernafasan, dan pada konsentrasi tinggi dapat mengakibatkan kematian. Muchtadi (1989) menyatakan bahwa ginokardin dan enzim ginokardase sekarang disebut masing-masing sebagai glikosida sianogenik dan enzim glikosidase. Glikosida sianogenat merupakan senyawa yang terdapat pada bahan makanan nabati dan berpotensi beracun karena dapat terurai dan melepaskan hidrogen sianida (HCN) bila bahan makanan tersebut dihancurkan, dirusak, diiris, atau dikunyah (Wong 1989). Bagi tanaman, fungsi glikosida sianogenat ialah sebagai mekanisme pertahanan terhadap serangan insek (Con dalam Muchtadi 1989). Meskipun asam sianida beracun namun mudah dihilangkan karena sifatnya yang mudah larut dalam air dan menguap pada suhu 26OC, sehingga biji picung dapat digunakan sebagai bahan makanan. Di alam, biji picung merupakan makanan kelelawar dan tikus. Biji picung bila telah dihilangkan racunnya juga dapat dibuat kecap atau dijadikan bumbu masakan (Vooderman dalam Heyn 1987). Tanin merupakan senyawa polifenol alami, terdapat dalam bentuk serbuk amorf yang berwarna hitam kekuningan sampai coklat terang dan akan menjadi gelap bila terpapar dalam udara terbuka, memiliki aroma yang khas dan berasa sepat. Tanin larut dalam senyawa polar seperti air, tetapi tidak larut dalam senyawa nonpolar (Hidayat et al. 2000). Senyawa tanin terdiri atas katekin, leukoantosianin, asam galat, asam kafeat, dan asam klorogenat, serta ester dari asam-asam tersebut (Muchtadi 1989). Asam galat, asam kafeat, dan asam klorogenat merupakan senyawa fenol diketahui berperan dalam pertahanan tanaman terhadap patogen atau serangga hama (Goodman et al. 1967). Asam sianida dan tanin yang merupakan zat antimikrob dalam biji picung keduanya larut dalam air. Oleh karena itu kuat diduga bahwa dalam ekstrak daging biji picung terkandung asam sianida dan tanin yang bersifat racun terhadap mikrob. Hasil pengujian menunjukkan bahwa penambahan ekstrak daging biji picung pada media PDA dapat menghambat pertumbuhan koloni Rhizoctonia sp. membuktikan hal tersebut. Penggunaan air sebagai pelarut untuk mengekstraksi daging biji picung sangat tepat karena air mudah diperoleh dan aman digunakan. Meskipun demikian hasil penelitian ini merupakan langkah awal yang sebaiknya diikuti dengan studi-studi selanjutnya
274
terkait dengan aplikasi ekstrak daging biji picung untuk mengendalikan patogen di lapangan. KESIMPULAN 1. Ekstrak daging biji picung dengan konsentrasi yang diujikan mampu menghambat pertumbuhan koloni fungi patogen Rhizoctonia sp. dan Cylindrocladium sp. pada media PDA. 2. Pada Rhizoctonia sp., penghambatan tertinggi, yaitu 39,3%, terjadi pada pengamatan hari kedua perlakuan penambahan ekstrak daging biji picung dengan konsentrasi 100%, yaitu ekstrak murni tanpa tambahan air destilata sebanyak 2 ml yang ditambahkan pada 10 ml media PDA. Pada Cylindrocladium sp. penghambatan mulai terjadi pada konsentrasi ekstrak daging biji picung 10, 20, atau 30% bergantung saat pengamatannya.
SARAN 1. Perlu dipelajari efektivitas penghambatan esktrak daging biji picung terhadap fungi dan atau bakteri patogen lain untuk memperluas sasaran penggunaan pestisida nabati ini ke depan. 2. Perlu diteliti lebih lanjut konsentrasi yang dapat memberikan efek penghambatan yang lebih kuat agar dapat lebih efektif mengendalikan patogen di lapangan. Volume esktrak daging biji picung sebanyak 2 ml yang ditambahkan ke media PDA dapat ditingkatkan agar penghambatan lebih efektif. 3. Perlu diteliti lebih lanjut aplikasi ekstrak daging biji picung untuk mengendalikan patogen di lapangan (in vivo). PUSTAKA 1. Abdel-Momen, SM & Starr, JL 1998, ‘Meloidogyne javanica – Rhizoctonia solani Complex of peanut’, Fundam. Appl. Nematol, vol. 21, no. 5, pp. 611-16, accessed 30 January 2012,
. 2. Achmad, Hadi, S, Herliyana, EN & Setiawan, A 1999, “Patogenisitas Rhizoctonia solani pada semai Pinus merkusii dan Acacia mangium’, J Manaj. Hutan Trop., vol. 5, no. 1-2, hlm. 10-17. 3. Achmad & Maisyaroh, M 2004, ‘Identifikasi dan uji patogenisitas penyebab penyakit hawar daun pada suren (Toona sureni Merr.)’, J. Manaj. Hutan Trop., vol. 10, no. 2, hlm. 6775.
Achmad et al.: Keefektifan Penghambatan Ekstrak Daging Biji Picung ... 4. Anggraeni, I 2002, ‘Pengaruh jamur antagonis Gliocladium sp. dalam pengendalian Rhizoctonia sp. penyebab penyakit lodoh pada bibit sengon’, Bul. Pen. Hutan, no. 630, hlm. 16-27.
19. Lombard, L, Crous, PW, Wingfield, BD & Wingfield, MJ 2010, ‘Species concepts in Calonecria (Cylindrocladium)’, Studies in Mycology, vol. 66, pp. 1-13, DOI: 10.3114/sim.2010.66.01.
5. Aprianto, R 2011, ‘Efektivitas biji picung (Pangium edule Reinw.) sebagai pengawet alami pada penanganan rantai dingin ikan tongkol (Euthynnus spp.)’, Skripsi, Universitas Padjadjaran, Bandung.
20. Ma, ZH, Zhang, ZD, Wang, YX & Yang, XB 2004, ‘Cylindrocladium crotalariae causing red crown rot of soybean in China’, Plant Pathol,. vol. 53, pp. 537. DOI:10.1111/j.13653059.2004.01036.x
6. Ayyadurai, N, Naik, PR, Rao, MS, Kumar, SK, Samrat, SK, Manohar, M & Sakthivel, N 2006, ‘Isolation and characterization of a novel banana rhizosphere bacterium as fungal antagonist and microbial adjuvant in micropropagation of banana’, J. Appl. Microbiol., no. 100, pp. 926-37, accessed 30 January 2012, .
21. Mahato, T, Olsen, M & Schuch, UK 2004, Controlling Rhizoctonia root rot in bedding plants, turfgrass and Ornamental Research Report., Arizona, University of Arizona College of Agriculture, accessed 7 November 2011,
7. Bishop, R 1997, The football fruit, Kokor (Rep. of Palau): FFPN developer palau community action agency. 8. Chye – Fook Yee & Sim – Kheng Yuen 2009, ‘Antioxidative and antibacterial activities of Pangium edule seed extracts’, Internat. J. Pharmacol., vol. 5, no. 5, pp. 285-97. 9. Dong, WB, Brenneman, TB, Holbrook, CC, Timper, P & Culbreath, AK 2009, ‘The interaction between Meloidogyne arenaria and Cylindrocladium parasiticum in Runner Peanut’, Plant Pathol., vol 58, pp. 71-79, DOI: 10.1111/j.13653059.2008.01932.x 10. Garcia, VG, Onco, MAP & Susan, VR 2006, ‘Review: biology and systematics of form genus Rhizoctonia’, Spanish J. Agric. Res., vol. 4, no. 1, pp. 55-79. 11. Goodman, R, Zoltan, N, Kirally, M & Zatlin, M 1967, The biochemistry and physiology of infectious plant disease, D. Van Nostrand Company, Inc, New Jersey. 12. Henricot, B, Sierra, AP & Prior, C 2000, ‘A new blight disease on Buxus in the UK caused by the fungus Cylindrocladium’, Plant Pathol., vol. 49, pp. 805, DOI:10.1046/j.13653059.2000.00508.x 13. Henricot, B & Beales, P 2003, ‘Fisrt record of Cylindrocladium pauciramoeum on myrte (Myrtus communis) in Portugal’, Plant Dis., vol. 52, pp. 420. DOI:10.1046/j.1365-3059.2003.00842.x 14. Heyn, K 1987, Tumbuhan berguna Indonesia, Jilid 1, Badan Litbang Kehutanan, Jakarta. 15. Hidayat, A, Zuraida, N, Hanarida, I & Damardjati, DS 2000, ‘Cyanogenic content of cassava root of 179 cultivars grown in Indonesia’, J. Food Composit and Anal., no. 13, pp. 71-82. 16. Hilditch, TP & Williams, PN 1964, The chemical constituent of natural fats, Chapman and Hall, London. 17. Ismael, JHS 2010, ‘Isolation and identification of some fungi from certain solanaceous seeds in Sulaimania and Germian Regions and their exudates effects on germination rates’, Agric. Biol. J. North America, vol. 1, no. 4, pp. 615-19, accessed 7 Novemver 2011, . 18. Jiskani, MM, Pathan, MA, Wagan ,KH, Imran, M & Abro, H 2007, ‘Studies on the control of tomato damping-off disease caused by Rhizoctonia solani Kuhn’, Pakistan J. Bot., vol. 39, no. 7, pp. 2749-54, accessed 7 November 2011, .
22. Muchtadi, D 1989, Aspek biokimia dan gizi dalam keamanan pangan. Depdikbud RI dan PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor. 23. Ogoshi, A 1987, ‘Ecology and pathogenicity of anastomosis and intraspecific groups of Rhizoctonia solani KÜhn’, Annu. Rev. Phytopathol., no. 25, pp. 125-43. 24. Pan, R, Guan, M, Xu, D, Gao X, Yan, X & Liao, H 2009, Cylindrocladium black rot caused by Cylindrocladium parasiticum newly reported in China, new disease report. vol. 19, pp. 52, accessed 10 November 2011, . 25. Partomihardjo, T & Rugayah 1988, ‘Pangi (Pangium edule Reinw.) dan potensinya yang mulai dilupakan’, Media Konservasi, vol. II, no. 2, hlm. 45-50. 26. Pelczar, MJ & Chan, WCS 1986, Dasar-dasar mikrobiologi, UI-Press, Jakarta. 27. Rajendra, I & Samiyappan, R 2008, ‘Endophytic Bacillus species confer increased resistance in cotton againts dampingoff diseases caused by Rhizoctonia solani’, Plant Pathol. J., vol. 7, no. 1, pp. 1-12, accessed 10 November 2011, . 28. Saputra, TK 2001, ‘Potensi daging biji picung (Pangium edule Reinw.) sebagai fungisida botani terhadap Fusarium solani secara in vitro’, Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 29. Semangun, H 1988, Penyakit-penyakit tanaman perkebunan di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 30. Sutra ,L, Risede, JM & Gardan, L 2000, ‘Isolation of fluorescent Pseudomonas from the rhizosphere of banana plants antagonistics towards root necrosing fungi’, Letters in Appl. Microbiol, no. 31, pp. 289-93. 31. Tariq ,S, Khan, R, Sultana, V, Ara, J & Ehteshamul-Haque, S, 2009, ‘Utilization of end-root flourescent Pseudomonas of chili for the management of root disease of chili’, Pakistan J. Bot., vol. 41, no. 6, pp. 3191-98. accessed 10 November 2011, . 32. Vitale, A & Polizzi, G 2008, ‘First record of leaf spots and stem lesions on Pistacia lentiscus caused by Cylindrocladium pauciramoeum and C. scoparium in Italy’, Plant Pathol., 57:384, accessed 7 November 2011, DOI: 10.1111/j.13653059.2007.01669.x. 33. Voon-boon-hoc & Kuch-hong-siong, 1999, ‘The nutritional value of indigenous fruits and vegetables in Serawak’, Asia Pacific J. Clin. Nutr., no. 8, pp. 24-31. 34. Wong, D 1989, ‘Mechanism and theory in food chemistry’, Natural Toxicant, no. 8, pp. 283-85.
275