8
PEMBAHASAN Aktivitas Penghambatan Isolat Bacillus sp. Terhadap Vibrio sp. Secara In Vitro V. harveyi merupakan bakteri patogen yang dapat menyebabkan kematian massal pada udang terutama lebih patogen pada stadia yang lebih muda. Bakteri ini umumnya bersifat patogen oportunistik, yaitu organisme yang dalam keadaan normal ada dalam lingkungan pemeliharaan dan berkembang dari sifat saprofitik menjadi patogenik apabila kondisi lingkungan dan inang memburuk. Beberapa dari galur bakteri ini dapat menyebabkan kematian total larva udang dengan dosis yang sangat rendah, yaitu 102 CFU/ml (Rengpipat et al. 1998). V. harveyi yang diuji tantang ialah jenis Vibrio berluminesen yang diisolasi dari air pemeliharaan dan tubuh larva udang menggunakan media TCBS. Selain larva udang, bakteri ini dapat juga diisolasi dari air laut sekitar panti benih, air laut di bak penampungan dan sudah melalui sistem filtrasi, kepiting, dan plankton (Taufik & Rukyani 2002). Media TCBS merupakan media yang cocok untuk mengisolasi V. harveyi karena bersifat selektif untuk genus Vibrio dan koloni V. harveyi akan berwarna hijau serta berpendar dalam media ini jika diamati dalam ruang gelap (Lavilla-Pitogo et al. 1990). Setiap mikroorganisme memiliki musuh alami di habitatnya, begitu juga dengan V. harveyi. Bacillus dapat ditemukan dalam sedimen laut dan secara alami berada dalam saluran pencernaan hewan, seperti udang yang makanannya ada di bawah atau di atas permukaan sedimen. Bacillus diketahui menghasilkan senyawa antimikrob yang mampu menghambat Vibrio dan meningkatkan angka kematian Vibrio jika dilakukan uji kompetitif terhadap Vibrio (Moriarty 1999). Senyawa antimikrob yang dihasilkan Bacillus berupa polipeptida, seperti bakteriosin dan antibiotik. Jenis senyawa bakteriosin yang dihasilkan Bacillus, antara lain subtilin dan ericin oleh B. subtilis, coagulin oleh B. coagulans, thuricin oleh B. thuringiensis, megacin oleh B. megaterium, lichernin oleh B. licheniformis, dan cerein oleh B. cereus (Lisboa et al. 2006; Torkar & Matijasic 2003). Antibiotik yang dihasilkan Bacillus dapat berupa polimiksin, basitrasin, colistin, tyrotrisin, dan Gramisidin S (Katz & Demain 1977). Bacillus juga telah dijadikan
probiotik dan berhasil meningkatkan nilai SR ketika diuji secara in vivo pada pemeliharaan larva udang monodon (Decamp et al. 2004). Bacillus sp. IRVE01 bukan termasuk bakteri patogen pada udang karena bakteri ini diisolasi dari sedimen tambak udang dan pencernaan udang menggunakan media SWC. Koloni Bacillus sp. IRVE01 berwarna krem, berbentuk bundar, tepian tak beraturan, dan elevasi seperti kawah dalam media SWC. Media ini mengandung pepton, ekstrak khamir, gliserol, air laut, dan akuades. Media ini biasanya digunakan untuk menumbuhkan V. fischeri. Namun, V. harveyi juga dapat tumbuh dan berpendar dalam media ini dengan morfologi koloni berbentuk bulat, elevasi cembung, berwarna krem, dan diameternya 2-3 mm setelah inkubasi 24 jam pada suhu 28 0C (Atlas 2000; Lavilla-Pitogo et al. 1990). Uji tantang yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan media SWC 50% dengan harapan Bacillus sp. IRVE01 dapat tumbuh pada media yang nutrisinya kurang, sehingga ketika di mini hatchery dapat terbiasa dengan kondisi kekurangan nutrisi. Uji tantang dalam penelitian ini menggunakan metode yang sudah umum digunakan, yaitu metode double layer. Metode ini dipilih karena dua permukaan pada media agar diharapkan dapat memperjelas zona hambat yang dibentuk Bacillus. Selain itu, waktu isolasi yang bersamaan antara Bacillus dan V. harveyi diharapkan terjadi kompetisi pertumbuhan yang adil. Namun, ada beberapa metode lain yang dapat digunakan untuk melakukan uji tantang terhadap Vibrio, yaitu metode cross streak, pour plate, dan uji kompetitif. Metode cross streak dan pour plate pernah dilakukan untuk menguji aktivitas penghambatan dari 55 galur Bacillus terhadap 11 galur Vibrio patogen yang diisolasi dari penyakit udang Asia dan Amerika Latin (Decamp et al. 2004). Hal pertama yang dilakukan terlebih dahulu pada metode cross streak ialah menggores Bacillus dan menginkubasinya selama 24 jam, kemudian dilanjutkan dengan menggores Vibrio secara berlawanan arah (Chytnya et al. 2002). Hasil uji tantang menunjukkan bahwa Bacillus sp. IRVE01 memiliki indeks penghambatan terbesar terhadap Vibrio berluminesen, yaitu 1.125 terhadap Vibrio sp. H3B23B. Bakteri ini dipilih menjadi probiotik dalam rangka menekan populasi
9
bakteri patogen pada larva udang. Akan tetapi, vibriosis berhubungan juga dengan faktor-faktor stres seperti penanganan, kepadatan yang tinggi, kekurangan nutrisi, suhu yang ekstrim, luka-luka luar tubuh, dan tingginya kadar amonia, salinitas atau nitrogen. Pengaruh dari vibriosis akan sangat bergantung pada tingkat infeksi, tetapi tingkat kematian inang dapat melebihi 70% (Main & Laramore 2005). Oleh karena itu, dibutuhkan calon probiotik lain untuk dikombinasikan dengan Bacillus sp. IRVE01 sehingga stress pada larva dapat berkurang. P. stutzeri IRNAE01 yang diisolasi dari air dan sedimen tambak udang di daerah Kendari, Sulawesi Selatan diketahui memiliki kemampuan dalam proses nitrifikasi dan denitrifikasi. Bakteri ini merupakan kelompok bakteri nitrifikasi yang bersifat heterotrofik, yaitu mengubah nitrit menjadi nitrat dan termasuk kelompok bakteri denitrifikasi, yaitu mereduksi senyawa nitrat dan nitrit menjadi gas nitrogen (Widiyanto 2006). Kombinasi antara Bacillus sp. IRVE01 dan P. stutzeri IRNAE01 diharapkan menjadi probiotik yang lebih baik. Akan tetapi, hasil uji tantang Bacillus terhadap P. stutzeri IRNAE01 menunjukkan bahwa P. stutzeri IRNAE01 dihambat oleh Bacillus sp. IRVE01. Oleh karena itu, jadwal pemberian Bacillus sp. IRVE01 dan P. stutzeri IRNAE01 yang berselang-seling diharapkan tidak terjadi kompetisi antara dua bakteri tersebut. Pada stadia perantaraan zoea dan mysis hanya diberikan Bacillus sp. IRVE01, sedangkan pada stadia mysis 3 hanya diberikan P. stutzeri IRNAE01. Beberapa persyaratan yang harus dimiliki probiotik, antara lain dapat mudah dipelihara dan diperbanyak, dapat hidup dan bertahan dalam usus inang, dapat dipelihara dalam media yang mungkin dapat diintroduksi ke dalam usus inang, dan dapat hidup dan berkembang di dalam air wadah pemeliharaan (Feliarta et al. 2004). Oleh karena itu, P. stutzeri IRNAE01 dan Bacillus sp. IRVE01 diperkaya dalam media produksi fish meal, yaitu sejenis pakan bagi hewan perairan. Ada tiga jenis fish meal, antara lain Australian fish meal, Danish fish meal, dan Peruvian fish meal. Ketiga jenis fish meal ini mempunyai bobot kering, jumlah nitrogen, dan jumlah energi yang cukup tinggi. Kandungan asam amino dari ketiga jenis fish meal ini lebih tinggi dari soybean meal sehingga soybean meal tidak dipakai sebagai media produksi dalam penelitian ini
(Allan et al. 2000). Media produksi lain yang digunakan ialah molase, yaitu media yang berasal dari sisa pengolahan tebu. Harga media ini murah dan kandungan karbonnya masih cukup tinggi. Suhu Air Pemeliharaan Larva Pemeriksaan kualitas air pemeliharaan larva selama penelitian berlangsung dilakukan setiap 3 hari sekali. Walaupun prosedur yang baik dalam pemeriksaan kualitas air ialah dilakukan setiap hari, namun pemeriksaan 3 hari sekali sudah cukup mewakili data kualitas air pemeliharaan larva. Kualitas air diperiksa untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh pemberian probiotik terhadap larva dibandingkan kontrol dan pembanding. Parameter kualitas air, seperti salinitas air tidak diperiksa dalam penelitian ini karena air laut yang digunakan sebagai air pemeliharaan pada tiap perlakuan berasal dari sumber air yang sama. Grafik nilai rata-rata suhu air pemeliharaan menunjukkan kemiripan dalam hal kenaikan dan penurunan nilai suhu antara kontrol dan perlakuan probiotik. Grafik ini juga menunjukkan bahwa suhu air pemeliharaan dari stadia nauplii hingga PL 8 berada dalam kisaran suhu yang aman bagi pertumbuhan udang, yaitu 27.4-30.6 0C. Hal ini menandakan bahwa kehadiran probiotik dalam air pemeliharaan larva tidak begitu mempengaruhi nilai suhu air. Namun, suhu air pemeliharaan larva dapat mempengaruhi kondisi tubuh larva. Apabila air pemeliharaan larva berada dalam suhu yang tinggi, maka laju metabolisme sel menjadi cepat dan perkembangan tubuh larva pun semakin meningkat. Suhu juga memiliki pengaruh tehadap respirasi organisme air dan dapat memperlihatkan peningkatan konsumsi oksigen seiring dengan peningkatan suhu (Effendi 2000). Kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan udang ialah 25-32 0C dan akan mengalami kematian pada suhu di atas 35 0C (Dharmadi & Ismail 1995). Suhu air pemeliharaan juga mempengaruhi kondisi pertumbuhan probiotik. Suhu optimum bagi perkembangan probiotik Bacillus sp. IRVE01 berada pada kisaran suhu 30-35 0C. pH Air Pemeliharaan Larva Grafik hasil pengukuran pH menggambarkan bahwa nilai pH antara kontrol dan perlakuan relatif tidak berbeda nyata, tetapi pada kontrol mengalami
10
kenaikan dari stadia PL 5 hingga PL 8. Apabila dilihat secara menyeluruh dari air persiapan hingga pL 8, maka grafik nilai pH kontrol dan probiotik menunjukkan penurunan pH. Namun, penurunan yang lebih tajam ditunjukkan pada perlakuan pembanding, kemudian diikuti probiotik. Data pH ini menunjukkan bahwa pemberian probiotik dapat menurunkan pH. Salah satu mekanisme kerja probiotik ialah memproduksi senyawa inhibitor, seperti antimikrob, siderofor, dan senyawa lain yang diketahui dapat merubah nilai pH (Verschuere et al. 2000). Jadi, dapat diartikan bahwa zat antimikrob yang dihasilkan Bacillus sp. IRVE01 untuk menghambat Vibrio dapat merubah pH air. Akan tetapi, dosis pemberian probiotik dalam penelitian ini masih dapat ditolerir karena pH air pemeliharaan yang diberi probiotik masih berada pada kisaran pH 6-9 yang memampukan ikan dan larva udang tumbuh dengan baik. Apabila pH air berada di luar kisaran 6-9, maka pertumbuhannya dapat terganggu. Apabila nilai pH berada di bawah 4.5 atau di atas 10, maka akan terjadi kematian (Buttner et al. 1993). Alkalinitas Air Pemeliharaan Larva Pada pemeriksaan alkalinitas air, alkalinitas kontrol dan perlakuan masih berada dalam kisaran alkalinitas yang masih dapat ditolerir, yaitu 82.4-188 ppm. Kisaran alkalinitas yang cocok di lingkungan perairan ialah antara 20-300 ppm. Alkalinitas yang dimaksud ialah ion (atomatom yang mempunyai muatan positif atau negatif) karbonat dan bikarbonat yang larut dengan air (Buttner et al. 1993). Grafik nilai alkalinitas menunjukkan bahwa pada stadia PL 5 terjadi kenaikan nilai alkalinitas yang cukup drastis pada perlakuan probiotik Bacillus sp. IRVE01 dan P. stutzeri IRNAE01, yaitu dari 122.2 menjadi 188 ppm. Hal ini wajar terjadi karena keberadaan karbondioksida dan alkalinitas berkaitan erat dengan derajat keasaman atau pH. Semakin tinggi nilai pH, maka semakin tinggi pula nilai alkalinitas, sementara kadar karbon dioksida bebas akan semakin rendah (Effendi 2000). Pada stadia PL 5, pH air pemeliharaan pada perlakuan probiotik juga sedikit mengalami kenaikan, yaitu dari 7.86 menjadi 7.87. Hal ini menandakan bahwa pemberian probiotik dapat mempengaruhi nilai alkalinitas air pemeliharaan larva.
Oksigen Terlarut (DO) Pada penelitian ini, oksigen yang terlarut dalam air (DO) diberikan melalui aerasi dari blower. DO masing-masing perlakuan secara keseluruhan tidak berbeda nyata dan berada di atas 3 ppm, yaitu berada pada kisaran 3.16-3.71 ppm. Kisaran nilai DO ini masih termasuk aman karena DO pada budi daya udang harus di atas 3 ppm (Dharmadi & Ismail 1995). Hal ini menandakan bahwa pemberian probiotik Bacillus sp. IRVE01 dan P. stutzeri IRNAE01 tidak begitu berpengaruh terhadap perubahan nilai DO. DO merupakan salah satu faktor utama yang penting dan dapat mempengaruhi kelangsungan hidup udang. Apabila larva berada dalam kondisi DO yang rendah dalam waktu yang lama, maka mengakibatkan stress kronis bagi larva tersebut, nafsu makan larva akan berkurang, dan kemampuan untuk mengubah makanan menjadi kulit akan berkurang, serta sangat rentan terhadap penyakit. Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu dan salinitas. Semakin tinggi suhu dan salinitas maka kelarutan oksigen akan berkurang (Boyd 1991). Selain dari blower, oksigen terlarut dalam air dapat juga berasal dari hasil fotosintesis oleh alga dan difusi dari udara (Hariyadi et al. 1992) Total Ammonia Nitrogen (TAN) Amonia pada air pemeliharaan dapat berasal dari proses dekomposisi pakan yang tidak terkonsumsi, alga yang telah mati, serta dari kotoran larva itu sendiri. Amonia pada air pemeliharaan larva terdapat dalam dua bentuk, yaitu gas NH3 dan ion ammonium (NH4+). Amonia dalam bentuk gas bersifat toksik bagi larva, yaitu mampu menganggu pernafasan larva. Apabila larva terlalu banyak diberi pakan yang mengandung banyak protein, maka konsentrasi amonia pada air pemeliharaan larva akan tinggi (Buttner et al. 1993). Amonia tidak terionisasi juga dapat meningkat apabila pH air pemeliharaan meningkat (Boyd 1991). Konsentrasi amonia diketahui melalui nilai TAN (Total Ammonium-Nitrogen). Grafik pengukuran TAN menunjukkan kadar TAN yang terus meningkat hinga PL 8 dan nilai TAN tertinggi ialah 2.48 ppm. Apabila dilihat secara keseluruhan dari pemeriksaan TAN pada stadia tertentu, maka kadar TAN antara kontrol dan perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Namun, hal tersebut tidak
11
menandakan bahwa pemberian probiotik P. stutzeri IRNAE01 tidak berhasil menurunkan kadar TAN. Hal ini wajar terjadi karena populasi larva pada probiotik masih berada dalam jumlah yang tinggi sehingga nilai TAN tetap tinggi. Sedangkan pada kontrol, populasi larva menurun tetapi kadar TAN tetap tinggi. Nilai TAN pada air pemeliharaan tidak boleh melebihi 3 ppm. Kadar amonia mampu dihilangkan oleh bakteri yang mampu mengubah amonia menjadi nitrit dan akhirnya diubah menjadi nitrat yang tidak bersifat toksik bagi larva. P. stutzeri IRNAE01 termasuk salah satu bakteri tersebut. Sisa Pakan Larva (Klekap) Pada gambar yang memperlihatkan pembentukan klekap (sisa pakan yang tidak terdegradasi dan berlendir) menunjukkan bahwa klekap pada perlakuan probiotik Bacillus sp. IRVE01 dan P. stutzeri IRNAE01 hanya menutupi kurang dari 10% dari permukaan dasar bak atau hampir tidak terdapat klekap. Hal ini berbeda jauh keadaannya dengan pembanding dan kontrol, yaitu pembentukan klekap pada kontrol hampir menutupi 60% permukaan dasar bak. Adanya penekanan nilai TVC oleh pemberian Bacillus sp. IRVE01 menyebabkan populasi larva tetap tinggi, sehingga pakan yang tidak terkonsumsi oleh larva menjadi sedikit. Klekap yang sedikit juga merupakan dampak tidak langsung dari pemberian P. stutzeri IRNAE01 yang mampu menekan kadar amonia dari kotoran larva, sehingga larva tidak keracunan amonia dan populasi larva tetap tinggi. Populasi Bakteri Populasi bakteri pada tiap perlakuan di air pemeliharaan larva mengalami kenaikan dari air persiapan hingga PL 8. Kenaikan yang drastis terjadi pada kontrol, yaitu dari 223.000 CFU/ml menjadi 3.000.000 CFU/ml. Populasi bakteri dalam tubuh larva lebih sedikit dibandingkan air pemeliharaan larva. Selama penelitian berlangsung, populasi bakteri tiap perlakuan dalam tubuh larva mengalami kenaikan yang tidak teratur dari stadia nauplii hingga PL 8. Namun, populasi terendah sebelum larva dipanen masih terdapat pada Bacillus sp. IRVE01 dan P. stutzeri IRNAE01, yaitu 114.900 CFU/ml. Ada perbedaan yang nyata dalam hal kenaikan jumlah TVC antara kontrol dan perlakuan, yaitu Bacillus sp. IRVE01 dan P.
stutzeri IRNAE01 berhasil menekan kenaikan jumlah TVC hingga terjadi penurunan. Nilai TVC pada air pemeliharaan perlakuan Bacillus sp. IRVE01 dan P. stutzeri IRNAE01 terjadi penurunan dari PL 2 hingga PL 8, yaitu dari 4.800 CFU/ml menjadi 2.440 CFU/ml. Hal ini berbeda dengan nilai TVC pada air pemeliharaan kontrol yang mengalami kenaikan terlalu tinggi hingga mencapai 1.470.000 CFU/ml pada stadi PL 8. Hasil analisa TVC pada tubuh larva menunjukkan perbedaan yang nyata antara tubuh nauplii (N) kontrol dengan perlakuan. Nilai TVC dalam tubuh larva pada kontrol mengalami kenaikan dari stadia N 6 dan mencapai 76.000 CFU/ml pada stadia PL 8. Hal ini menyebabkan populasi larva pada kontrol mengalami penurunan, khususnya saat stadia MPL (mysis-post larva) ingin memasuki stadia PL. Jumlah Bacillus pada air pemeliharaan larva yang diberi probiotik pembanding cenderung lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan probiotik Bacillus sp. IRVE01 dan P. stutzeri IRNAE01, yaitu 18.300 CFU/ml pada stadia PL 8. Hal ini wajar terjadi karena dosis probiotik pembanding yang lebih banyak, yaitu sebanyak 4 ppm diberikan setiap hari, sehingga cenderung selalu bertambah di air pemeliharaan larva. Dosis untuk probiotik Bacillus sp. IRVE01 dan P. stutzeri IRNAE01 tidak ditambahkan setiap hari, yaitu hanya saat air persiapan, zoea-mysis, mysis 3 dan PL 5. Jumlah Bacillus di air pemeliharaan Bacillus sp. IRVE01 dan P. stutzeri IRNAE01 sebanyak 1.300 CFU/ml lebih tinggi dibandingkan dengan pembanding saat stadia zoea 2. Hal ini dapat disebabkan oleh dosis pemberian Bacillus sp. IRVE01 pada waktu air persiapan lebih banyak dibandingkan dosis pemberian pada stadia lainnya, yaitu 500 ml. Walaupun secara keseluruhan jumlah Bacillus pada perlakuan Bacillus sp. IRVE01 dan P. stutzeri IRNAE01 lebih sedikit, namun jumlah tersebut mampu menekan Vibrio lebih tinggi, sehingga larva mampu bertahan hidup. Hal ini dapat disebabkan oleh zat antimikrob yang dihasilkan Bacillus sp. IRVE01 memiliki spektrum penghambatan yang lebih luas terhadap berbagai bakteri dibandingkan zat antimikrob yang dihasilkan Bacillus dalam pembanding. Bacillus merupakan bakteri Gram positif, membentuk endospora, dan bersifat aerob atau fakultatif anaerob (Holt et al.
12
1994). Endospora Bacillus tetap ada pada suhu yang ekstrim. Oleh karena itu, suhu yang dipilih pada metode heat shock ialah di atas 70 0C dengan harapan semua bakteri yang tidak menghasilkan endospora mati. Sama halnya dengan jumlah Bacillus di media pemeliharaan, di tubuh larva perlakuan pembanding pun cenderung lebih banyak mengandung Bacillus bila dibandingkan perlakuan Bacillus sp. IRVE01 dan P. stutzeri IRNAE01. Saat stadia PL 2, jumlah Bacillus dalam tubuh larva perlakuan IRVE01+IRNAE01 menurun, yaitu dari 6.400 CFU/ml menjadi 1.350 CFU/ml. Hal ini wajar terjadi karena pada stadia mysis 3, probiotik yang diberikan hanya P. stutzeri IRNAE01. Kesehatan Larva Umumnya, aktivitas larva pada kontrol dan perlakuan dapat dikategorikan tinggi. Namun, sebagian besar gut content berada di bawah 50%, sehingga dapat dikatakan nafsu makan larva rendah. Hal tersebut dapat terjadi karena larva mengalami stress. Stress pada larva disebabkan oleh kondisi lingkungan yang kurang kondusif bagi perkembangan larva, serta serangan Vibrio. Ketika memasuki stadia mysis-PL, larva mengalami pergantian kulit yang tidak sempurna pada kontrol dan probiotik Bacillus sp. IRVE01 dan P. stutzeri IRNAE01 sehingga kondisi larva menjadi lemah dan mengalami penurunan populasi. Umumnya, variasi panjang tubuh larva yang dipanen tiap perlakuan masih rendah atau seragam. Panjang tubuh larva terpendek saat PL 8 terdapat pada perlakuan pembanding, yaitu 7.69 mm dengan varasi ukuran ± 0.93 mm, sedangkan yang terpanjang terdapat pada perlakuan pembanding juga, yaitu 9.19 mm dengan variasi ukuran ± 1.49 mm. Apabila dilihat dari panjang larva, maka hanya pembanding saja yang belum layak panen karena ukuran minimal untuk dapat dipanen ialah 8 mm. Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Hasil SR akhir yang diperoleh dari kontrol dan perlakuan probiotik baik kombinasi Bacillus sp. IRVE01 dan P. stutzeri IRNAE01 maupun pembanding menunjukkan SR tertinggi terdapat pada perlakuan kombinasi Bacillus sp. IRVE01 dan P. stutzeri IRNAE01, yaitu sebesar 29.06%. Nilai SR yang tetap tinggi pada probiotik Bacillus sp. IRVE01 dan P. stutzeri IRNAE01 disebabkan oleh adanya
penekanan nilai TVC yang cukup berarti pada air pemeliharaan dan tubuh larva serta kondisi lingkungan yang mendukung, seperti nilai TAN yang tidak terlalu tinggi, amonia dan klekap yang sedikit, dan parameter kualitas air lainnya yang masih termasuk aman bagi pertumbuhan larva udang. Hasil SR panen ini membuktikan bahwa penggunaan probiotik Bacillus sp. IRVE01 dan P. stutzeri IRNAE01 berpengaruh dalam meningkatkan SR dengan cara menekan Vibrio dan juga mempertahankan kualitas air pemeliharaan. Peningkatan nilai SR larva juga terjadi pada pemeliharaan larva udang windu (Penaeus monodon) yang diberi probiotik dari genus Bacillus dibandingkan kontrol dan antibiotik (Decamp et al. 2004).
SIMPULAN Pemberian probiotik Bacillus sp. IRVE01 yang dikombinasikan dengan P. stutzeri IRNAE01 menghasilkan nilai SR akhir yang lebih baik dari pembanding, yaitu 29.06%. Probiotik Bacillus sp. IRVE01 terbukti mampu menekan jumlah koloni Vibrio baik di air pemeliharaan maupun di tubuh larva yang lebih baik dibandingkan pembanding. Perlakuan pemberian P. stutzeri IRNAE01 terbukti mampu mengurangi pembentukan klekap di dasar permukaan bak pemeliharaan larva dibandingkan kontrol dan pembanding.
SARAN Diperlukan pengujian lebih lanjut mengenai dosis dan jadwal pemberian probiotik yang lebih efisien dan efektif lagi untuk meningkatkan nilai SR akhir larva. Diperlukan karakterisasi lebih khusus lagi mengenai Bacillus sp. IRVE01 dan P. stutzeri IRNAE01 agar dapat diproduksi pada skala industri besar.