PERTEMPURAN LAUT SIBOLGA DAN MAKNA SEBUAH KEDAULATAN By: Adi P.S. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) sebagai salah satu elemen pertahanan negara turut memainkan peranan yang penting dalam perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan Indonesia di kala negeri ini masih berusia sangat muda. Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945 harus menghadapi kekuatan militer kolonialis yang lebih berpengalaman dalam Perang Pasifik dan didukung mesinmesin tempur modern. Namun semua itu tidak menggetarkan tekad dan semangat para pejuang kemerdekaan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan tanah-air Indonesia. Salah satu peristiwa heroik yang terjadi sepanjang Perang Kemerdekaan (1945-1949) yang melibatkan para pejuang bahari, adalah Pertempuran Laut di Teluk Sibolga tanggal 10 dan 12 Mei 1947. Sibolga Masa Sebelum Kemerdekaan Di masa silam, Sibolga tumbuh sebagai kota dan bandar pelabuhan ekspor-impor yang memainkan peranan penting di percaturan ekonomi internasional. Oleh sebab itu, Sibolga juga menjadi wilayah yang multi-etnis dan terjalin kerukunan antar etnis yang erat. Semua itu mencerminkan sebuah keharmonisan dari masyarakat yang heterogen sehingga dijuluki “Negeri Berbilang Kaum”, padahal kala itu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) belum lahir. Namun zaman keemasan Sibolga sebagai bandar pelabuhan berakhir ketika bala-tentara Kekaisaran Jepang menduduki Indonesia, yang saat itu masih bernama Koloni Hindia Belanda sebagai bagian dari Kerajaan Belanda di Eropa. Pada masa Pendudukan Jepang (1942-1945) Sibolga berada di bawah kendali Tentara AD ke-25 yang berkedudukan di Bukittinggi. Bagi Jepang, Sibolga memiliki nilai strategis di bidang sosial ekonomi dan militer, karena posisi geografisnya menghadap ke Teluk Sibolga yang langsung menuju ke Samudera Hindia. Jepang kemudian
membangun sejumlah benteng pertahanan dan bunker untuk mengantisipasi kemungkinan serangan Sekutu dari Australia dan Asia Selatan. Sementara itu di bidang sumber daya manusia, Jepang memperkuat militernya dengan merekrut pemuda-pemuda pribumi yang tergabung dalam beberapa badan semi kemiliteran. Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (Nihon Kaigun) membentuk organisasi Kaigun Heiho (Prajurit Pembantu AL). Untuk tujuan tersebut, AL Jepang mendirikan sekolah-sekolah pembantu AL dan pelayaran serta galangan-galangan kapal. Inisiatif Jepang tersebut mendapat reaksi positif dari para pemuda dan tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Ratusan pemuda yang berminat menjadi pelaut dan marinir mendatangi pusat-pusat perekrutan AL pada tahun 1943. Para pemuda Indonesia yang menjadi anggota Kaigun Heiho umumnya tidak mengetahui situasi peperangan di Pasifik, karena Jepang melakukan sensor ketat terhadap pemberitaan di media massa. Pihak Jepang sesungguhnya tengah “keteteran” menghadapi tekanan militer Sekutu yang kian hebat sejak tahun 1943. Bahkan memasuki paruh awal tahun 1945, negeri induk Jepang telah terkepung bala tentara Sekutu. Perang Pasifik mencapai klimaksnya ketika Sekutu menjatuhkan bom atom di dua kota industri utama Jepang, Hiroshima dan Nagasaki, yang memaksa Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Tanda tanya mulai menggayuti para anggota Kaigun Heiho di Sibolga ketika melihat kesibukan luar-biasa bala tentara Jepang di barak-baraknya, yang menandakan sesuatu yang besar tengah terjadi. Keheranan kian mengental ketika persenjataan mereka dan senjatasenjata di kapal atau pangkalan mulai dilucuti. Jawaban yang jelas baru muncul tanggal 12 Agustus 1945 pukul 20.00 malam, ketika seluruh anggota Kaigun Heiho dikumpulkan oleh perwira AL Jepang dan diberikan informasi bahwa perang telah selesai dan mereka diperbolehkan pulang ke kampung masing-masing. Setelah “apel perpisahan” tersebut, salah seorang anggota Kaigun Heiho, yaitu Oswald Siahaan, dipanggil menghadap komandan batalyonnya (perwira Jepang) yang berpesan: “Kami kalah, kalian jangan kalah lawan Sekutu, senjata
ada, kami tinggalkan digudang”. Setelah itu, seluruh personil AL Jepang meninggalkan Sibolga dengan kapalkapalnya. Para mantan anggota Kaigun Heiho Sibolga, kemudian membongkar gudang senjata AL Jepang pada tanggal 13 Agustus 1945 pukul 23.00. Apa yang dikatakan oleh komandan Jepang ternyata benar, di gudang masih tersimpan sejumlah besar senjata dan amunisi. Keesokan harinya, tanggal 14 Agustus pukul 21.30, seluruh senjata dan sekitar 16 peti amunisi diboyong ke Sibolga Julu. Semua itu menjadi modal awal para pejuang bahari dalam membentuk organisasi kemiliteran ketika Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan. Terbentuknya ALRI Pangkalan Sibolga Selama berlangsung proses kapitulasi dan repatriasi bala tentara Jepang ke tanah-airnya, Sekutu mengeluarkan perintah agar Jepang menjaga status-quo di Indonesia sementara menunggu kedatangan pasukan Sekutu untuk mengambil-alih kekuasaan. Kevakuman pemerintahan ini dimanfaatkan bangsa Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Bangsa Indonesia secara spontan segera membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada tanggal 22 Agustus 1945 dan badan kelaskaran, yang tugasnya mengambil-alih fasilitas pemerintahan, militer dan senjata dari Jepang. Akibatnya, tak jarang terjadi bentrokan fisik dengan militer Jepang. Berita Proklamasi 17 Agustus sesungguhnya telah diketahui oleh masyarakat Sibolga melalui radio dan berita selengkapnya mengenai langkah-langkah awal yang harus diambil pasca Proklamasi diterima tanggal 22 Agustus 1945. Instruksi mengenai upaya pemulihan dan pengambil-alihan situasi keamanan di Sibolga diterima dari utusan BKR Pusat Jakarta, yaitu Hadely Hasibuan. Setelah berkonsolidasi, para mantan anggota jawatan pelayaran, Gyugun-Heiho, KNIL dan sebagainya, pada bulan Oktober 1945 membentuk BKR Laut Sibolga. BKR Laut Sibolga pada tanggal 15 November 1945 berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Laut sebagai
tindak-lanjut Maklumat No. X tanggal 5 Oktober 1945 mengenai pembentukan TKR sebagai organisasi militer. Selanjutnya pada tanggal 25 Januari 1946 TKR Laut kembali berubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) Laut dan Oswald Siahaan menjadi Letnan II sebagai Komandan Kompi II. Kemudian pada tanggal 5 Mei 1946 TRI Laut diresmikan oleh pemerintah menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Pangkalan Sibolga. Memasuki bulan Maret 1947, dilakukan reorganisasi ALRI Pangkalan Sibolga menjadi ALRI Pangkalan Besar Sibolga yang membawahi Pangkalan A Sibolga. Pangkalan A merupakan kesatuan setingkat batalyon yang bertanggungjawab atas keamanan di sekitar Pelabuhan Sibolga. Belanda yang membonceng pasukan Sekutu (Inggris), bermaksud mengembalikan kekuasaan Hindia-Belanda, telah memancing perlawanan dari pihak Indonesia. Para anggota TKR, laskar dan badan perjuangan menggelar sejumlah penyergapan serta penyerangan terhadap pasukan Sekutu. Di Sumatera Utara, daerah perjuangan tersebut, dikenal sebagai Medan Area. Pertempuran Medan Area terus berlanjut hingga penyerahan tongkat komando keamanan dari Sekutu kepada Belanda tanggal 15 November 1946, dan setelah itu para pejuang harus berhadapan langsung dengan kekuatan militer Belanda. Pertempuran Laut Teluk Sibolga Setelah menerima peralihan kendali keamanan di Indonesia dari Sekutu (Inggris), Belanda kemudian membentuk Pemerintahan Sipil Hindia-Belanda (NICA/ Netherlands Indie Civil Administration). NICA menempuh dua jalur kebijakan di Indonesia, yaitu diplomatik dan militer. Di jalur diplomatik, NICA menggelar perundingan Linggadjati (10-15 November 1946), dimana salah satu klausulnya Belanda mengakui wilayah kedaulatan Indonesia yang meliputi Pulau Jawa, Sumatera dan Madura. Walau secara de jure Belanda telah mengakui kedaulatan Indonesia, namun faktanya kekuatan militernya masih bertahan di Jawa, Sumatera dan Madura, serta sering melakukan tindakan provokasi. Tidak hanya itu, di beberapa daerah Belanda kerap melakukan aksi
intervensi di wilayah Republik Indonesia, yang antara lain terjadi di perairan Teluk Sibolga. Sementara itu di sisi lain, di pihak Indonesia pun banyak kalangan yang tidak menyetujui hasil Perjanjian Linggadjati yang dinilai sebagai pengingkaran terhadap bentuk Negara Kesatuan RI, yang telah disepakati meliputi seluruh wilayah ex-Hindia-Belanda. Sikap pro-kontra yang terjadi di kedua belah pihak, Indonesia dan Belanda, pada akhirnya berbuntut agresi militer pada bulan Juli 1947 yang dilancarkan oleh militer Belanda. Insiden pelanggaran wilayah kedaulatan RI di perairan Teluk Sibolga oleh kapal perang AL Kerajaan Belanda, sesungguhnya dilandasi oleh kebijakan Belanda untuk melemahkan kekuatan sosial, politik, ekonomi dan militer Indonesia. Untuk itulah, Belanda melakukan blokade di laut, darat dan udara, serta mengintimidasi dan menghalangi berbagai arus lalu-lintas perekonomian yang menuju atau bertolak dari Indonesia ke luarnegeri. Belanda menerapkan peraturan bahwa semua kegiatan lalu-lintas perekonomian harus mendapat izinnya dan melalui fasilitas pelabuhan di daerah yang diduduki Belanda. Ketegangan antara Indonesia dengan Belanda kian memuncak ketika sebuah kapal perang AL Belanda jenis penghancur bertorpedo ( JT/ jaeger torpedo) Hr.Ms. Banckert JT-1 berpatroli di sepanjang pantai barat Sumatera untuk mengontrol lalu-lintas pelayaran disana antara tanggal 6 sampai 19 Mei 1947. Dengan alasan bahwa hukum laut yang berlaku saat itu, adalah hukum laut teritorial Kolonial Hindia-Belanda, Hr.Ms. Banckert bermaksud melakukan kegiatan pemeriksaan terhadap semua kapal yang akan bongkar-muat di Pelabuhan Sibolga. Kapal perang Belanda tersebut, kemudian memasuki perairan Teluk Sibolga pada tanggal 9 Mei 1947 untuk melakukan pemeriksaan terhadap kapal dagang Singapura MTS Sembilan. Banckert berniat menarik kapal dagang itu ke Pelabuhan Padang (yang dikuasai Belanda). Ternyata pada saat itu, di MTS Sembilan terdapat 2 personil ALRI yang tengah bertugas melakukan pengamanan di kapal, yang kemudian dipaksa turun dan
dikembalikan ke Pelabuhan Sibolga dengan motor boat Belanda. Pelanggaran perairan tersebut diprotes keras oleh Residen Tapanuli Dr. F.L. Tobing melalui surat yang disampaikan oleh tim utusan (sejumlah perwira TKR) kepada Komandan Kapal Hr.Ms. Banckert, Mayor G. Kondys. Isi surat tersebut meminta dengan tegas, kapal perang Belanda agar meninggalkan perairan Sibolga karena melanggar hasil Perjanjian Linggadjati. Protes tersebut awalnya, ditanggapi positif oleh Banckert yang meninggalkan perairan Teluk Sibolga pada tanggal 10 Mei. Namun rupanya itu hanya merupakan taktik pengelabuan Belanda saja untuk mengecoh perhatian pihak Indonesia, yang saat itu telah bersiap-siaga penuh di sekitar Pelabuhan Sibolga. Pukul 13.30 di hari yang sama, kapal perang Belanda tersebut kembali memasuki perairan Sibolga, masih dengan alasan yang sama, yaitu hendak menyeret kapal MTS Sembilan karena tidak memiliki izin dari Pemerintah Belanda (NICA). Kehadiran Banckert –yang semula dikira menghormati protes Residen Tapanuli- terpantau oleh Pos ALRI yang berkedudukan di Bukit Ketapang, yang menghadap langsung ke Teluk Sibolga, dan segera melaporkannya ke Markas ALRI Pangkalan A Sibolga. Saat yang bersamaan, secara kebetulan di Pangkalan A tengah dilakukan upacara peresmian Pangkalan Besar dan Pangkalan A ALRI Sibolga oleh Residen Tapanuli yang dihadiri sejumlah perwira TRI dan badan perjuangan. Berita tersebut kontan mengejutkan, namun karena telah diantisipasi sebelumnya, maka Pangkalan A segera memerintahkan seluruh pasukan untuk bersiaga penuh. Beberapa penembak mahir ALRI segera menempati posnya di Bukit Ketapang, yang hanya berjarak 1,5 mil dari posisi kapal MTS Sembilan, sedangkan perwira ALRI dan tim negosiator yang ditugaskan untuk berunding dengan pihak Belanda segera meluncur menggunakan motor-boat ke MTS Sembilan. Delegasi Indonesia terdiri atas: Kapten Jetro Hutagalung, Letnan Sabar Hutagalung, Letnan Banggas Lumban Tobing, Letnan Muda Sapiun Tanjung dan Letnan I Oswald Siahaan (Dan Kie II ALRI Pangkalan A merangkap pimpinan motor-boat), sedangkan sebagai awak kapal
adalah Kopral ALRI Galung Silitonga dan Kopral ALRI Lambok Simatupang. Namun, karena posisi Belanda lebih dekat dan lebih dahulu menurunkan motor-boat berisi pasukan Mariniers dan Pelaut bersenjata lengkap, telah mendahului on-board di MTS Sembilan. Sementara itu, di Banckert juga telah dipersiapkan sebuah motor-boat yang dipimpin seorang perwira untuk melindungi pasukan mereka di kapal niaga Singapura itu. Setelah kedua belah pihak bertemu di MTS Sembilan dan perundingan baru saja akan dimulai, Banckert kembali menurunkan sebuah motor-boat bersenjata. Naluri militer Letnan I Oswald Siahaan seketika bergetar, karena tindakan Belanda itu mengancam keamanan delegasi Indonesia. Seketika itu, ia memerintahkan seluruh delegasi agar segera turun ke motor-boat dan selekasnya kembali ke pelabuhan. Dalam perjalanan, ternyata kedua motor-boat Belanda mengejar motor-boat ALRI dan berusaha menjepitnya. Motor-boat ALRI berhasil keluar dari jepitan musuh, namun tibatiba, komandan motor-boat Belanda mengeluarkan perintah: “vuur (tembak)!” yang langsung diikuti tembakan gencar dari mitraliur 20 mm dan Oerlikon ke arah motor-boat ALRI. Melihat hal tersebut, satuan penembak mahir ALRI pimpinan Letnan Muda Ari Poloan dibantu Seksi II Kompi II yang berkedudukan di Bukit Ketapang, kontan melepaskan tembakan perlindungan dengan gencar ke kapal-kapal Belanda. Pasukan Polisi Tentara Laut yang berkedudukan di pelabuhan juga turut membantu. Setelah kontak senjata selama setengah jam, akhirnya kedua kapal Belanda bergerak kembali ke Banckert. Akibat peristiwa tersebut, Kopral Galung Silitonga gugur dan Kopral Lambok Simatupang terluka, sedangkan di pihak Belanda seorang sersan penembak terluka parah, sementara seluruh delegasi perunding selamat. Peristiwa kontak senjata tanggal 10 Mei tersebut, kemudian disikapi dengan menghimpun seluruh kekuatan perjuangan di Tapanuli agar bersatu untuk mempertahankan Pelabuhan Sibolga, pelabuhan samudera satu-satunya di Sumatera Utara yang masih dikuasai RI.
Strategi pertahanan segera disusun, termasuk menempatkan baterai-baterai meriam anti tank dan kaliber 20 mm. Kekhawatiran Indonesia terbukti, karena pada tanggal 11 Mei sore Hr.Ms. Banckert kembali memasuki perairan Teluk Sibolga. Melalui perantara nahkoda kapal Pincalang yang ditahannya, Komandan Kapal Belanda mengirim pesan agar pihak Indonesia menyerahkan awak kapal MTS Sembilan yang berada di Sibolga. Pihak Indonesia menjawabnya dengan ultimatum, agar Banckert dalam tempo 24 jam harus segera meninggalkan teritorial RI. Ultimatum tersebut tidak diindahkan Banckert hingga batas waktu yaitu pukul 10.00 tanggal 12 Mei. Tembakan pertama dilepaskan oleh unit meriam Pesindo (Pemoeda Sosialis Indonesia) yang diikuti tembakan gencar lainnya ke arah Banckert. Akhirnya, berkobarlah pertempuran sengit di Teluk Sibolga. Dalam pertempuran tanggal 12 Mei itu, 4 anggota TRI (2 diantaranya anggota ALRI) gugur dan 2 terluka berat, sementara di pihak Belanda diperkirakan 5 personilnya terluka parah. Makna Sebuah Kedaulatan Peristiwa bersejarah di Teluk Sibolga yang terjadi 61 tahun silam, telah menyadarkan kita sebagai generasi penerus kemerdekaan negeri ini, betapa bermaknanya nilai sebuah kedaulatan. Kedaulatan mengandung aspek kehormatan, harga diri dan kemerdekaan sebuah bangsa yang merdeka dalam pengertian sesungguhnya. Sebuah bangsa yang berdaulat akan mempertahankan setiap jengkal tanah-airnya, agar tidak mudah dirampas, dijarah atau dilanggar oleh bangsa lain, sekalipun bangsa tersebut jauh lebih superior. Ketegasan dalam mempertahankan integritas kedaulatan dan keutuhan wilayah negara, adalah hal mutlak yang wajib dimiliki oleh setiap anak bangsa ini. Hal itulah yang dicontohkan oleh para pejuang Sibolga ketika menghadapi intimidasi dari kapal perang modern AL Kerajaan Belanda Hr. Ms. Banckert (JT-1). Mereka tidak gentar, meskipun hanya berbekal senjata dan peralatan tempur tua peninggalan Jepang, yang tentu saja banyak keterbatasannya, baik dari segi teknologi maupun
amunisi. Belanda memang berharap, bahwa alut modern miliknya dapat menggetarkan nyali para pejuang Sibolga, namun ternyata keliru. Yang dihadapi justru, sebuah ketegasan dalam bersikap dan bertindak. Ketika Banckert menolak menghormati teritorial Indonesia, harus beresiko menghadapi perlawanan total dari segenap elemen bangsa Indonesia yang bermukim di Tanah Tapanuli, Sibolga. Menyimak peristiwa tersebut, sebagai generasi penerus bangsa, mampukah kita mengikuti semangat dan ketegasan para pendahulu kita dalam mempertahankan kedaulatan, kehormatan dan keutuhan teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia kita tercinta? Jawabannya ada pada diri kita.