OUTLOOK PERTANIAN 2010-2025
Oleh: Prajogo U. Hadi Sri Hery Susilowati Muchjidin Rachmat Dewa K.S. Swastika Reny Kustiari Sri Nuryanti
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2011
0
I. PENDAHULUAN Kebijakan pembangunan pertanian lingkup Kementerian Pertanian mencakup empat subsektor yaitu Subsektor Tanaman Pangan, Subsektor Hortikultura, Subsektor Perkebunan dan Subsektor Peternakan. Target-target utama yang ingin dicapai oleh Kementan adalah: (1) Pencapaian swasembada untuk gula, kedelai dan daging sapi dan swasembada berkelanjutan untuk padi dan jagung; (2) Peningkatan diversifikasi pangan; (3) Peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor; dan (4) Peningkatan kesejahteraan petani. Di tingkat makro, sasaran yang ingin dicapai mencakup PDB, neraca perdagangan, investasi pertanian, penyerapan tenaga kerja dan nilai tukar petani (Kementan, 2010). Banyak faktor yang menentukan keberhasilan pencapaian target-target tersebut diatas. Salah satu cara untuk melihat potensi pencapaian target-target tersebut adalah melakukan analisis outlook pertanian. Sehubungan dengan itu, maka tujuan kegiatan penyusunan outlook komoditas pertanian ini, sesuai dengan Surat Penugasan Kepala Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Nomor 1026/KP.440/A.9/10/2011 adalah: (1) Melakukan analisis kinerja komoditas pertanian periode 2000-2010; (2) Melakukan analisis prospek komoditas pertanian jangka pendek periode 2010-2014 dan jangka panjang periode 2011-2025; dan (3) Menyusun buku “Outlook Komoditas Pertanian 2011-2025”. Keluaran yang diharapkan dari analisi ini adalah satu set data dan informasi mengenai: (1) Kinerja komoditas pertanian periode 2000-2010; (2) Prospek komoditas pertanian jangka pendek periode 2010-2014 dan jangka panjang periode 2011-2025; dan (3) Tersusunnya buku “Outlook Pertanian 2010-2025”. Analisis outlook ini dibatasi pada variabel-variabel sebagai berikut: (1) Untuk tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan adalah luas areal, produksi, ekspor, impor, PDB, investasi dan penyerapan tenaga kerja; dan (2) Untuk peternakan.adalah populasi, jumlah pemotongan (khusus untuk ternak besar seperti sapi potong, sapi perah, kerbau dan kuda, dan ternak kecil seperti kambing, domba dan babi), produksi daging (ternak besar, ternak kecil, dan unggas), telor (ayam dan itik), dan susu, serta ekspor, impor, PDB, investasi dan penyerapan tenaga kerja. Dengan adanya hasil analisia outlook ini akan dapat diketahui perkiraan perkembangan luas areal, produksi, ekspor, impor, PDB, investasi dan penyerapan tenaga kerja subsektor tanaman tanaman pangan, subsektor hortikultura, dan subsektor perkebunan, serta populasi, jumlah pemotongan, produksi daging, telor dan susu, eksporimpor, PDB, investasi dan penyerapan tenaga kerja pada subsektor peternakan.
1
II. PENDEKATAN Kegiatan penyusunan outlook komoditas pertanian ini dibatasi hanya mencakup proyeksi kuantitatif yang menyangkut produksi, PDB, neraca perdagangan, investasi, dan penyerapan tenaga kerja pertanian. Pendekatan yang digunakan untuk proyeksi produksi cukup sederhana, yaitu dengan mempertimbangkan trend (historical trend) periode 20002010. Namun trend tersebut tidak bisa digunakan begitu saja untuk memproyeksikan produksi periode 2010-2014 dan periode 2011-2025 karena dua alasan. Pertama, pola perkembangan produksi, dan lain-lain, selama periode 2000-2010 mungkin bervariasi, sehingga perlu dilihat scatter diagram selama periode tersebut. Berdasarkan scatter diagram tersebut, kemudian dipilih segmen waktu terakhir yang menunjukkan perkembangan yang lebih smooth. Dengan data segmen waktu terakhir ini kemudian dihitung trendnya untuk digunakan sebagai basis proyeksi produksi periode berikutnya. Kedua, adanya faktor pembatas ekspansi produksi, utamanya ketersediaan lahan pertanian yang makin terbatas. Karena itu, dalam membuat proyeksi, perlu dibuat skenario penurunan trend setiap tahun, tergantung pada jenis komoditasnya, terlepas dari target-target pertumbuhan yang telah ditetapkan pemerintah, termasuk target laju pertumbuhan PDB sektor pertanian. Metode penghitungan trend rata-rata per tahun menggunakan persamaan semilogaritma karena dengan cara ini variasi antar tahun diperhitungkan secara statistik. Metode pertumbuhan geometric yang hanya menggunakan data awal dan akhir periode tidak digunakan karena tidak memperhitungkan variasi antar tahun. Untuk menghitung trend pada segmen waktu terpilih untuk proyeksi (misalnya 20052010), maka hanya data dalam segmen waktu ini yang digunakan. Sementara untuk proyeksi 2010-2014 dan 2011-2025 digunakan pendekatan sebagai berikut: (1) Gunakan koefisien trend hasil penghitungan trend untuk segmen waktu terakhir terpilih, misalnya 5%/tahun, sebagai basis trend awal; dan (2) Kurangi trend tersebut sebesar 5% untuk trend tahun 2011 sehingga menjadi 0.95*5% = 4.75%/tahun, dan untuk tahun 2012 adalah 0.95*4.75% = 4.51%, dan seterusnya untuk tahun-tahun berikutnya. Persentase penurunan trend tersebut bisa lebih besar atau lebih kecil dari 5%, dan bisa juga dipercepat, tergantung pada kondisi masing-masing komoditas. Untuk komoditas perkebunan tanaman keras, dimana perluasan areal menggunakan areal hutan, penurunan trend akan lebih cepat pada periode 2020-2025 dibanding periode sebelumnya karena makin banyak kritik dari dunia internasional terhadap pembukaan hutan di Indonesia untuk perkebunan. Untuk komoditas pangan dan hortikultura juga akan mengalami hal yang serupa. Trend produksi bisa saja dipercepat melalui perbaikan teknologi, namun produktivitas tanaman ada batas
2
maksimumnya sesuai dengan sifat geneticnya, sehingga trend produktivitas juga ada batasnya dan pada suatu saat produktivitas akan stagnan. Untuk membuat proyeksi PDB, perlu dibuat analisis regresi logaritma ganda terlebih dahulu dengan menggunakan data tahun 2000-2010, dimana total produksi menjadi variabel penjelas. Pendekatan ini mengambil logika bahwa besarnya PDB dipengaruhi oleh total produksi. Mungkin saja metode tersebut kurang tepat, karena seharusnya menggunakan jumlah nilai produksi bukan jumlah kuantitas produksi. Tetapi karena data harga produsen tidak selalu ada maka metode tersebut hanya untuk pendekatan saja sehingga penghitungan proyeksi PDB ada dasarnya, walaupun kasar (tidak diambil begitu saja dari langit). Dengan menggunakan parameter elastisitas total produksi dan laju pertumbuhan total produksi, maka proyeksi PDB dapat dihitung. Selanjutnya, kebutuhan investasi dan penyerapan tenaga kerja di masing-masing subsector dapat diperoleh dengan menghitung elastisitas investasi atau jumlah penyerapan tenaga kerja terhadap jumlah produksi dalam subsector yang bersangkutan dikalikan dengan laju pertumbuhan total produksi.
3
III. KINERJA 2000-2010 3.1.
Komoditas Pangan
3.1.1. Perkembangan Luas Panen Tabel 3.1.1.
Perkembangan Luas Panen Komoditas Tanaman Pangan Utama di Indonesia, 2000-2010 (ha).
Tahun
Padi
Jagung
2000
11,793,575
3,500,318
Kedele 824,484
K.Hijau 131,312
K.Tanah 683,554
Ubi Jalar 194,262
Ubi Kayu 1284,040
2001
11, 89,997
3,285,866
678,848
339,252
654,838
181,926
1317,912
2002
11,521,166
3,109,448
544,522
313,563
646,953
177,275
1276,533
2003
11, 488,034
3,358,511
526,796
344,558
683,537
197,455
1244,543
2004
11,922,974
3,356,914
565,155
311,863
723,434
184,546
1255,805
2005
11,839,060
3,625,968
621,541
318,337
720,526
178,336
1213,460
2006
11,86,430
3,346.000
580,534
309,103
706,753
176,507
1227,459
2007
12,147,637
3,630.000
459,116
306,207
660,480
176,932
1201,481
2008
12,327,425
4,001,724
590,956
278,139
633,922
174,561
1204,933
2009
12,883,576
4,160,659
722,791
288,125
622,149
183,874
1175,666
2010 Laju (% / th): 2000-2005
13,118,120
4,133,785
672,242
258,157
620,563
181,073
1183,047
0.36
0.91
-5.70
12.20
1.76
-0.79
-1.29
2005-2010
2.27
4.02
3.72
-3.87
-3.34
0.53
-0.72
2000-2010
1.18
2.44
-0.70
1.93
-0.76
-0.56
-1.03
3.1.2. Perkembangan Produktivitas
Tabel 3.1.2. Perkembangan Produktivitas Komoditas Tanaman Pangan Utama di Indonesia, 2000-2010 (ku/ha). Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Laju 2000-2010 (%/th)
Padi 44.01 43.88 44.69 45.38 45.36 45.74 46.20 47.05 48.94 50.00 50.10 1.39
Jagung 27.65 28.45 30.88 32.41 33.52 31.78 34.70 36.60 40.78 42.30
Kedelai 12.34 12.18 12.36 12.75 12.80 13.00 12.88 12.91 13.13 13.50
K Tanah 10.77 10.82 11.10 11.50 11.58 11.61 11.86 11.95 12.15 12.15
K Hijau 8.95 8.87 9.19 9.73 9.95 10.08 10.23 10.53 10.72 10.79
U Kayu 125.30 129.41 132.49 148.84 154.68 159.22 162.83 105.01 180.57 187.50
U Jalar 94.08 96.62 99.94 100.83 103.05 106.37 105.05 106.64 107.80 107.48
44.30
13.70
12.56
11.30
202.20
113.27
4.60
1.04
1.46
2.36
3.78
1.56
4
3.1.3. Perkembangan Produksi
Tabel 3.1.3. Perkembangan Produksi Komoditas Tanaman Pangan Utama di Indonesia, 2000-2010 (ton). Tahun 2000
Padi 51,898,900
Jagung 9,676,900
Kedele 1,017,600
K. Hijau 289,880
K.Tanah 736,483
Ubi Jalar 1,827,687
Ubi Kayu 16,089,000
2001
50,460,800
9,347,200
826,900
301,020
708,770
1,749,070
17,054,600
2002
51,489,700
9,654,100
673,100
288,090
718,071
1,771,642
16,913,100
2003
52,137,600
10,886,400
671,600
335,220
786,000
1,991,000
18,523,800
2004
54,088,500
11,252,200
723,500
310,410
837,500
1,901,800
19,424,700
2005
54,151,100
11,523,900
808,100
320,960
836,300
1,896,970
19,321,200
2006
54,454,937
11,609,463
747,611
316,134
838,096
1,854,238
19,986,640
2007
57,157,435
13,287,527
592,534
322,487
789,089
1,886,852
12,617,000
2008
60,325,925
16,317,252
775,710
298,059
770,054
1,881,761
21,756,991
2009
64,398,890
17,629,748
974,512
286,234
763,527
1,947,311
21,990,381
2010
65,980,670
17,844,676
905,015
291,705
779,228
2,051,046
23,918,118
2005-2010
1.24 4.41
4.43 4.41
-4.44 4.66
2.15 -2.44
3.50 -1.88
1.58 1.53
3.99 5.42
2000-2010
2.58
6.91
0.25
-0.12
0.73
0.96
2.74
Laju (%/th): 2000-2005
3.1.4. Perkembangan Perdagangan
Tabel 3.1.4. Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Tanaman Pangan Utama di Indonesia, 2000-2010 (US$). Tahun
Beras
KTanah
Ubijalar
2000
11,129,300
4,984,000
159,000
2,201,862
1,888,384
10,750,672
2001
10,778,871
10,500,000
358,000
8,216,617
1,964,629
16,627,323
2002
4,584,327
3,334,000
4,508,611
6,871,834
3,721,624
10,036,308
2003
720,870
5,517,000
6,303,174
9,153,232
3,821,644
3,355,083
2004
1,462,186
9,074,000
6,703,110
7,655,578
5,208,844
57,345,859
2005
9,087,080
9,048,000
3,152,573
14,214,662
11,113,460
12,639,650
2006
625,854
4,305,603
8,405,990
10,743,155
6,259,034
16,683,569
2007
905,665
18,503,000
32,049,014
5,715,626
6,197,464
43,426,338
2008
935,086
28,906,247
8,252,100
14,070,293
6,593,920
35,871,378
2009
2,036,774
19,219,000
8,030,426
11,050,955
6,052,634
32,371,419
435,460
11,235,027
5,709,300
11,544,784
4,768,308
28,595,772
2010 Laju (%/th) 2000-2010
-25.48
Jagung
13.31
Kedele
32.40
5
10.02
10.91
UbiKayu
13.88
Tabel 3.1.5. Perkembangan Nilai Impor Komoditas Tanaman Pangan Utama di Indonesia, 2000-2010 (US$). Tahun
KTanah
Ubijalar
2000
320,788.294 157,949.000
557,148,000
13,391,032
5,214.000
0
2001
135,968.439 125,512.000
494,232,000
36,965,470
0
10,084,397
2002
344,929.303 137,982.000
582,475,032
45,613,311
5,182.000
5,000,162
2003
294,610.273 168,658.000
706,753,132
43,147,215
0
33,563,642
2004
64,948.048 177,675.000
967,957,301
45,707,875
2,732.000
10,445,788
2005
53,753.361
30,850.000
493,212,716
44,086,910
16,372.000
24,632,509
2006
133,905.420 277,497.733
809,055,650
59,526,740
98,493.000
70,284,489
2007
157,722.748 151,613.000 1,200,950,532
48,273,073 123,249.000
77,822,996
2008
123,783.147
87,395.332
732,721,934 102,529,656
7,275.000
57,948,391
2009
107,954.608 107,379.000
647,702,910 179,108,665
49,649.000
49,912,348
209,442,732 409,623,035
758,387,652 199,694,730
2010 Laju (%/th) 2000-2010
Beras
25.35
Jagung
Kedele
34.13
3.81
15.33
UbiKayu
40,754 119,643,541 27.57
3.1.5. Perkembangan Produk Domestik Bruto
Tabel 3.1.6. Perkembangan PDB Tanaman Pangan di Indonesia, 2000-2010. Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011* Laju (%/th) 2000-05 2005-010 2000-10
PDB Pert Sempit (Rp’ m) 168,672 175,635 181,905 188,506 193,134 197,959 204,297 211,245 222,146 231,315 236,636 193,148
PDB Pangan (Rp’m) 111,324 113,020 115,926 119,165 122,612 125,802 129,549 133,889 141,800 149,058 151,750 125,382
3.20 3.76 3.34
2.53 4.05 3.22
6
Kontribusi (%) 66.00 64.35 63.73 63.22 63.49 63.55 63.41 63.38 63.83 64.44 64.13 64.91
29.19
3.2.
Komoditas Hortikultura
3.2.1. Status Komoditas Hortikultura Tanaman hortikultura meliputi buah-buahan, sayuran, tanaman hias (florikultura), dan tanaman obat (biofarmaka). Berdasarkan Kepmentan Nomor 511/Kpts/PD.9/2006, komoditas hortikultura yang perlu ditangani adalah sebanyak 323 jenis komoditas yang terdiri dari buah-buahan 60 jenis, sayuran 80 jenis, tanaman hias 117 jenis, dan tanaman obat 66 jenis. Secara umum, komoditas hortikultura bercirikan: jenisnya sangat banyak tetapi masing-masing jenis dibutuhkan dalam jumlah yang relatif kecil, mudah rusak dan life time-nya pendek, pada umumnya dibutuhkan dalam bentuk segar, dan tergantung pada selera konsumen yang cenderung cepat berubah. Komoditas hortikultura, khususnya buah-buahan dan sayuran, merupakan komoditas strategis karena perannya dalam pencapaian
Pola Pangan Harapan untuk memenuhi
“gizi bermutu dan berimbang”. Komoditas hortikultura selain menjadi sumber karbohidrat, protein, dan lemak nabati, yang sangat penting adalah juga menjadi sumber vitamin, mineral, serat, antioksidan, senyawa yang berkhasiat obat, dan
senyawa-senyawa
berguna lainnya. Oleh karena itu, produk hortikultura perlu selalu tersedia setiap saat dalam jumlah yang cukup, mutu yang baik, aman dikonsumsi, harga yang terjangkau, serta mudah diakses
oleh seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat sebagai konsumen
merupakan pasar yang sangat potensial, dari tahun ke tahun menunjukkan kenaikan tingkat konsumsi hortikultura. Komoditas hortikultura juga merupakan komoditas yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, sehingga usaha hortikultura dapat menjadi sumber pendapatan masyarakat petani dan pelaku usaha lainnya, baik yang skala mikro, kecil, menengah maupun besar. Usaha hortikultura mempunyai keunggulan karena mempunyai nilai ekonomi tinggi, jenisnya sangat beragam, ketersedian sumber daya
(alam, buatan dan manusia) dan teknologi
pendukung, serta potensi pasar di dalam negeri maupun di luar negeri yang terus meningkat. 3.2.2. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Produk hortikultura buah dan sayur merupakan bahan pangan sebagai sumber utama vitamin, mineral, serat, antioksidan, dan energi yang sangat baik bagi kesehatan. Di samping dikonsumsi segar, produk buah, sayuran dan tanaman obat juga berperan sebagai bahan dasar produk olahan dalam industri pangan dan industri kesehatan. Produksi komoditas hortikultura dari tahun ke tahun cenderung meningkat khususnya pada komoditas buah, sayur, tanaman obat dan beberapa jenis tanaman hias. Peningkatan
7
produksi buah dan sayur dilatarbelakangi besarnya permintaan buah dan sayur ini akibat pertambahan penduduk, peningkatan kesadaran penduduk akan manfaat buah dan sayur bagi kesehatan serta peningkatan kesejahteraan. Upaya peningkatan produksi hortikultura dilakukan melalui perluasan area panen dan peningkatan produktivits. Dalam tahun 2000-2010, secara keseluruhan produksi komoditas hortikultura mengalami peningkatan dari 17.34 juta ton menjadi 31.18 juta ton, atau peningkatan sebesar sebesar 3,68%/tahun. Peningatan terbesar terjadi pada
kelompok
tanaman hias dengan laju sebesar 10.16%/th, menyusul kelompok Tanaman Obat dengan laju 5,45 %/tahun, diikuti kelompok Buah sebesar 4,98%/tahun dan kelompok sayuran sebesar 1.32 %/tahun. Peningkatan produksi buah dan sayuran terutama karena peningkatan luas panen yaitu masing masing sebesar 1.97%/tahun dan 2.25%/tahun, sementara produktivitas buah hanya meningkat 0.58%/tahun dan bahkan produktivitas sayuran menurun 1.28%/tahun. Pada tanaman obat peningkatan produksi terjadi karean kontribusi luas panen yang meningkat sebesar 2.72%/tahun dan produktivitas sebesar 2.60%/tahun. Sedangkan peningkatan Tanaman obat terjadi karena perbaikan teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas yang tinggi yaitu sebesar 15.34%/tahun sementara luas panen cenderung menurun sebesar 11.05%/tahun (Tabel 3.2.1). Tabel 3.2.1. Laju Pertumbuhan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Komoditas Hortikultura Tahun 2000-2010 (%/tahun). Komoditas Buah Sayur Tanaman Obat Tanaman Hias Total
Luas panen 1.97 2.25 2.72 -11.05 2.64
Produksi 4.98 1.32 5.45 10.16 3.68
Produktivitas 0.58 -1.28 2.60 15.34 2.68
Keterangan: Selengkapnya pada Lampiran 3.2.1 sampai Lampiran 3.2.3.
Dengan produksi diatas, konsumsi buah dan sayuran masing-masing berada pada tingkat 32,59 kg dan 40,66 kg per kapita per tahun. Tingkat konsumsi tersebut masih di bawah rekomendasi Organisasi Pangan Dunia (FAO) yaitu 73 kg per kapita per tahun. Tingkat konsumsi buah dan sayuran masyarakat Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan di negara-negara lainnya di Asia Tenggara, apalagi dibandingkan dengan negaranegara maju. Permintaan konsumen yang rendah mengakibatkan jumlah produksi tidak mampu didorong hingga melebihi jumlah permintaan. Oleh karena itu, konsumsi komoditas hortikultura perlu dinaikkan. Produk hortikultura umumnya dikonsumsi dalam bentuk segar,
8
namun demikian pengembangan pasar produk olahan meningkat pesat. Sejalan dengan itu permintaan bahan baku produk hortikultura untuk industri terus meningkat. Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam peningkatan produksi masih beragam, yang mencakup: (1) Usaha budidaya komoditas hortikultura sebagian besar berskala mikro dan kecil, bahkan hanya diusahakan sebagai tanaman pekarangan, lokasinya terpencar, dan penerapan GAP masih sangat terbatas; (2) Kurangnya ketersediaan lahan yang dapat digunakan untuk perluasan areal tanam, dimana lahan untuk komoditas hortikultura digunakan secara tumpang sari atau bergiliran dengan tanaman pangan; (3) Sistem pengairan belum baik, dimana sebagian besar lahan hortikultura masih tergantung pada hujan; (4) Ketersediaan dan penggunaan benih bermutu varietas unggul masih terbatas; (5) Keterbatasan penyediaan dan penerapan inovasi tekologi pada prapanen dan pascapanen, dimana penelitian dan pengembangan masih kurang fokus dalam mengatasi permasalahan di dalam usaha tani hortikultura; (6) Serangan OPT masih tinggi, sistem peringatan dini belum berkembang, penerapan PHT masih terbatas, pengendalian OPT masih banyak yang menggunakan pestisida sehingga residunya dapat mengganggu kesehatan atau keamanan pangan; (7) Terjadinya perubahan iklim dan cuaca yang ekstrim; (8) Kondisi infrastruktur yang kurang memadai (jalan, sumber air, sistem irigasi dan listrik); (9) Kurangnya kemampuan SDM, baik manajerial maupun teknis dalam usaha hortikultura; dan (10) Kelembagaan pedagang belum berkembang dan pola hubungan pedagang besar – menengah – kecil – mikro belum tertata secara baik. 3.2.3. Perkembangan Perdagangan Di pasar domestic, produk hortikultura Indonesia saat ini sebagian besar masuk ke pasar tradisional. Sementara proporsi produk buah dan sayur domestik di pasar modern masing-masing baru mencapai sekitar 21,4% dan 16,2%, namun terus tumbuh sejalan dengan berkembangnya peran pasar modern. Saat ini, setidaknya terdapat 2.000 unit pasar modern dan 5.000 toko yang memasarkan produk hortikultura. Kinerja perdagangan produk hortikultura dii pasar domestik tersebut dinilai belum optimal, disamping masih banyak produk dengn mutu yang belum terstandarkan. Pasokan ke pasar cenderung fluktuatif, yang sangat dipengaruhi oleh musim sehingga terjadi fluktuasi harga yang sangat tajam antar waktu. Kondisi rantai tataniaga yang panjang dan menempatkan kekuatan pedagang mengakibatkan adanya selisih margin yang besar antara harga yang diterima petani dan harga yang dibayar konsumen. Dalam perdagangan internasional, Indonesia berada pada posisi net importer yaitu nilai impor lebih besar dibanding nilai ekspor. Hal ini sejalan dengan masih relatif sangat kecilnya pangsa nilai ekspor Indonesia dibandingkan dengan pangsa pasar dunia dan
9
pertumbuhan ekspor juga lambat, sementara nilai impor tumbuh cepat yang jauh melebihi nilai ekspor. Defisit perdagangan terutama terjadi pada kelompok komoditas buah dan sayur, sementara pada tanaman obat dan tanaman hias menunjukkan surplus perdagangan, walaupun nilainya lebih kecil daripada nilai defisit perdagangan buah dan sayur. Kinerja perdagangan komoditas hortikultura terangkum dalam Tabel 3.2.2. Tabel 3.2.2. Neraca Perdagangan Komoditas Hortikultura, 2005-2009 (US$ juta) Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Buah -84.01 -193.03 -355.51 -239.12 -464.01
Sayur -77.4 -131.56 -214.29 -270.67 -258.47
T. Obat 4.52 4.05 5.50 8.86 10.95
T. Hias 13.18 14.77 7.44 6.21 7.79
Total -143.71 -305.77 -556.86 -494.72 -703.74
Sumber : Ditjen Hortikultura (2010) 3.2.4. Perkembangan Produk Domestik Bruto Pembangunan subsektor hortikultura telah memberikan sumbangan yang cukup berarti, baik bagi sektor pertanian maupun perekonomian nasional, yang dapat dilihat dari Produk Domestik Bruto (PDB), jumlah rumah tangga yang mengandalkan sumber pendapatannya dari subsektor hortikultura, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat (Tabel 3.2.3). Tabel 3.2.3. Perkembangan PDB Riil Subsektor Hortikultura, 2000 -2010 (Rp’milyar) Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Laju (%/th)
Buah 22,865 24,886 29,168 30,819 32,512 35,341 39,124 42,618 47,892 48,974 50,809 6.71
Sayur 14,006 15,244 17,867 18,878 19,915 21,648 24,023 26,169 29,407 30,072 31,130 7.61
T.Obat 397 432 506 535 564 613 686 748 840 859 1073 9.34
T. Hias 2,711 2,950 3,458 3,654 3,854 4,190 4,805 5,234 5,881 6,014 6,441 8.22
Hortikultura 39,978 43,512 50,999 53,885 56,845 61,792 68,638 74,768 84,021 85,919 89,453 3.95
Nilai PDB hortikultura terus meningkat dari tahun ke tahun. Angka PDB hortikultura tahun 2005 mencapai 61,79 trilyun rupiah atau 21.91% dari total PDB Sektor Pertanian (Ditjen Hortikultura, 2006). Pada tahun 2010, PDB subsector hortikultura diprediksikan
10
sebesar 153,22 trilyun rupiah atau menyumbang sebesar 21% terhadap PDB Sektor Pertanian yang diprediksi sebesar 737,87 trilyun rupiah. PDB subsector hortikultura terbesar di sumbang oleh komoditas buah-buahan (50,6%), disusul sayuran (29,0%), tanaman hias (5.3%) dan tanaman obat (4.1%). Pada tahun 2010, PDB subsector hortikultura diproyeksikan sebasar 89.45 trilyun rupiah, atau meningkat sebasar 3.95%/tahun. Peningkatan terbesar ditunjukkan oleh kelompok tanaman obat dan tanaman hias. sebagaimana terangkum dalam Tabel 3.2.3. 3.2.5. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan hasil Sensus Pertanian (SP) tahun 2003, dari 24,9 juta rumah tangga pertanian yang ada terdapat sekitar 8,4 juta rumah tangga yang bekerja di bidang hortikultura. Jumlah ini meningkat 76,69% dibandingkan dengan SP tahun 1993 yang berjumlah 5.04 juta rumah tangga. Penyerapan tenaga kerja pertanian di subsektor hortikultura pada kegiatan on farm cenderung terus meningkat sejalan dengan berkembangnya usaha komoditas hortikultura. Rata-rata peningkatan penyerapan tenaga kerja hortikultura berkisar 5-35%/tahun. Angka penyerapan tenaga kerja tersebut mencakup lapangan kerja dalam arti luas, yang terdiri dari sektor produksi (on farm), pasca panen dan kegiatan pendukung usaha hortikultura lain seperti perbenihan, penyediaan sarana produksi (pupuk, obat-obatan, dll.), pengolahan dan pemasaran hasil. Sementara data dari Ditjen Hortikultura menunjukkan bahwa pada tahun 2004 jumlah tenaga kerja hortikultura di tingkat on-farm adalah 2,95 juta orang dan pada tahun 2010 diprediksi mencapai 4 juta orang atau meningkat 4.7%/tahun (Tabel 3.2.4). Serapan tenaga kerja terbesar berasal dari komoditas sayuran, disusul tanaman buah-buahan, tanaman obat dan tanaman hias. Tabel 3.2.4. Penyerapan Tenaga Kerja Sub Sektor Hortikultura, 2004-2010 (‘000 orang). Tahun Buah Sayur T. Obat 2004 587.17 2337.11 19.45 2005 662.85 2433.56 20.52 2006 743.01 2545.44 22.62 2007 807.87 2642.53 23.75 2008 872.75 2739.62 24.74 2009 937.62 2836.71 25.62 2010* 1002.49 2933.81 26.42 Laju (%/th) 9.68 3.32 12.22 Sumber : Ditjen Hortikultura (2009); *Angka Sementara
11
T. Hias 1.74 1.92 2.31 2.48 2.66 2.84 3.02 6.13
Total 2945.47 3118.85 3313.36 3476.63 3639.76 3802.79 3965.74 4.70
3.3.
Subsektor Perkebunan
3.3.1. Status Komoditas Perkebunan Komoditas perkebunan terdiri diri tanaman tahunan atau tanaman keras (perennial crops) dan tanaman setahun/semusim (seasonal crops). Tanaman keras utama adalah kelapa sawit, kelapa, karet, kakao, kopi, teh, cengkeh dan jambu mete, sedangkan tanaman setahun/semusim adalah tebu/gula, tembakau, lada, dan panili1. Hampir semua jenis komoditas perkebunan tersebut, kecuali tebu/gula dan tembakau, merupakan komoditas ekspor andalan dan sumber devisa penting (net exporter) di subsektor perkebunan, bahkan di sektor pertanian. Sementara produksi komoditas tebu/gula dan tembakau masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga masih perlu diimpor (net importer). Posisi komoditas tembakau masih dilematis karena di satu sisi merupakan salah satu sumber pendapatan penting negara dari cukai tembakau dan rokok, sedangkan dari sisi lain kurang mendukung kesehatan dan bertentangan dengan konvensi tembakau dunia yang sudah diratifikasi oleh seluruh negara di dunia kecuali Indonesia. 3.3.2. Perkembangan Luas Areal dan Produksi Pola pertumbuhan luas areal dan produksi komoditas perkebunan selama 2000-2010 ditunjukkan pada Tabel 3.3.1. Pola pertumbuhan umumnya mengalami perubahan selama periode lima tahun terakhir (2005-2010) dibanding selama periode lima tahun sebelumnya (2000-2005), Kelapa sawit mengalami pertumbuhan luas areal yang spektakuler yaitu dari 4.98% menjadi 7.30% per tahun sehingga pada tahun 2010 mencapai luas lebih dari 8 juta ha, yang merupakan areal komoditas perkebunan paling luas. Pertumbuhan produksinya juga luar biasa walaupun mengalami pelambatan, yaitu dari 10.15% menjadi 8.09% sehingga produksinya pada tahun 2010 mencapai lebih dari 23.7 juta ton minyak sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO). Laju pertumbuhan luas areal dan produksi yang spektakuler pada komoditas kelapa sawit tersebut disebabkan oleh kenaikan harga CPO di pasar dunia yang cepat sebagai akibat dari meningkatnya permintaan dunia akan komoditas ini dan meningkatnya harga minyak mentah (crude oil) dunia. Insentif harga yang makin tinggi tersebut menyebabkan sebagian areal komoditas perkebunan lain dan bahkan areal komoditas pangan terkonversi menjadi areal kelapa sawit. Namun pembukaan hutan secara besar-besaran untuk perluasan areal, utamanya oleh perkebunan besar swasta, mendapatkan kritikan dari negara-negara lain karena kegiatan tersebut dapat mengganggu keseimbangan alam dunia,
1
Komoditas lain adalah pala, serat-seratan (kapas, rami, dll) dan minyak-minyakan (jarak pagar, jarak kepyar), dan lain-lain tidak dicakup dalam analisis ini karena produksinya masih sangat terbatas.
12
dimana Indonesia mempunyai peranan sangat penting dalam menjaga areal rain forest sebagai salah satu paru-paru dunia. Karena itu pada tahun 2011 dilakukan moratorium kelapa sawit untuk mengendalikan penebangan hutan guna perluasan areal kelapa sawit. Tabel 3.3.1. Laju Pertumbuhan Luas Areal dan Produksi Komoditas Perkebunan Utama, 2000-2010 Luas Areal Komoditas
Pertumbuhan (%/tahun) 2000-2005
2005-2010
Produksi Luas 2010 (ha)
Pertumbuhan (%/tahun) 2000-2005
2005-2010
Prod 2010 (ha)
Kelapa sawit
4.98
7.30
8,036,431
10.15
8.09
23,712,013
Kelapa
0.23
0.04
3,808,263
0.08
1.14
3,266,448
-0.64
0.94
3,445,121
8.33
1.22
2,591,935
Karet Kakao
8.90
6.63
1,651,539
10.97
2.39
844,626
-0.28
-0.15
1,268,476
3.11
1.04
684,076
Cengkeh
1.36
1.11
470,045
3.88
7.06
110,807
Tebu/Gula
1.51
2.45
434,257
5.31
4.43
2,694,227
Tembakau
Kopi
-4.94
1.14
193,916
-5.57
-1.58
122,276
Lada
4.16
-0.82
186,296
1.26
1.84
84,218
Teh
-2.05
-2.51
124,573
0.34
-0.79
150,342
Panili
11.05
-0.48
27,256
3.67
1.86
3,059
Jambu mete
16.02
-11.01
1,020
12.39
1.12
145,081
Keterangan: Data selengkapnya ditunjukkan pada Lampiran 3.3.1 dan Lampiran 3.3.2.
Komoditas perkebunan lainnya yang luas areal dan produksinya juga mengalami pertumbuhan sangat cepat adalah kakao, walaupun melambat selama periode 2005-2010 dibanding selama periode 2000-2005. Untuk luas areal, laju pertumbuhannya melambat dari 8.90% menjadi 6.63% per tahun, namun produksinya mengalami pelambatan pertumbuhan yang drastis yaitu dari 10.97% menjadi hanya 2.39% per tahun. Laju pertumbuhan luas areal yang cepat disebabkan oleh permintaan pasar dan harga dunia yang meningkat, walaupun sebagian areal kakao dikonversi menjadi areal kelapa sawit di beberapa wilayah, utamanya Sumatera. Namun masalah paling berat yang dialami komoditas kakao adalah meluasnya hama Penggerek Buah Kakao (PBK) di wilayah sentra kakao Sulawesi Selatan yang berdampak negatif terhadap pertumbuhan produksi kakao nasional selama periode 20052010. Program Gerakan Nasional Kakao (Gernas Kakao) berupaya mengatasi masalah hama PBK tersebut, disamping memperbaiki mutu buah kakao rakyat yang masih rendah karena tidak dilakukan fermentasi. Jika masalah hama PBK dapat diatasi secara lebih baik, maka laju pertumbuhan produksi tersebut bisa dipacu menjadi lebih cepat lagi di masa datang. Luas areal komoditas karet hanya mengalami percepatan pertumbuhan yang marjinal pada periode 2005-2010, sementara produksinya mengalami pelambatan laju
13
pertumbuhan yang sangat signifikan, yaitu dari 8.33% pada periode 2000-2005 menjadi hanya 1.22% pada periode 2005-2010. Laju permintaan karet di pasar dunia sedikit melemah karena terjadinya resesi ekonomi di negara-negara maju seperti AS, Eropa dan Jepang, dimana laju permintaan terhadap otomotif melambat yang berdampak pada melambatnya pertumbuhan permintaan akan ban kendaraan bernotor yang bahan bakunya adalah karet alam. Luas areal kopi terus menurun, namun pertumbuhan produksinya masih positif walaupun melambat. Persaingan dengan kopi asal negara-negara lain, utamanya Brazil dan Vietnam yang mutu kopinya lebih bagus (jenis Arabika), berdampak menekan pertumbuhan produksi kopi Indonesia yang mutunya kurang bagus (jenis Robusta). Disamping itu, peranan kopi Indonesia lebih sebagai bahan pencampur (blending material) di negaranegara pengimpor seperti AS dan Eropa. Untuk komoditas tebu/gula, luas arealnya terus meningkat dengan laju yang makin cepat, yaitu dari 1.51% menjadi 2.45% per tahun. Namun pertumbuhan produksinya melambat dari 5.31% menjadi
4.43% per tahun, yang masih tergolong cukup cepat.
Perkembangan yang cukup pesat ini disebabkan oleh adanya program pemerintah yaitu revitalisasi kebun tebu (utamanya program “bongkar ratoon”) dan revitalisasi pabrik gula. Reviltalisasi kebun tebu telah mampu meningkatkan kandungan gula dalam nira tebu, sedangkan revitalisasi pabrik gula telah dapat memperbaiki ekstraksi nira dari tebu dan rendemen gula yang dihasilkannya. Kemunduran yang terjadi pada luas areal dan produksi komoditas teh disebabkan oleh adanya persaingan yang makin ketat dari produk-poduk teh dari luar negeri. Disamping itu, pertumbuhan yang pesat pada industri air mineral dan minuman ringan (soft drink) lainnya juga berdampak negatif terhadap perkembangan teh nasional. Walaupun industri teh sudah mencoba mempoduksi produk-produk baru (teh hijau, dan lain-lain), masih belum mampu mendongkak pertumbuhan produksi komoditas ini. Pertumbuhan negatif yang terjadi pada komoditas tembakau disebabkan oleh tidak adanya lagi dukungan pemerintah dalam perluasan areal, disamping turunnya permintaan akan rokok per kapita karena makin mahalnya harga rokok sebagai akibat dari cukai rokok yang makin tinggi. Karena itu banyak industri rokok yang tutup, utamanya yang berskala kecil, sehingga permintaan akan tembakau oleh industri rokok dalam negeri menurun. Bersamaan dengan itu, laju permintaan dunia akan daun dan produk tembakau juga melambat karena makin tingginya kesadaran masyarakat dunia akan bahaya asap rokok terhadap kesehatan bagi perokok aktif dan perokok pasif. Sementara laju pertumbuhan produksi teh yang negatif disebabkan oleh industri minuman pesaing berat bagi teh yang
14
tumbuh sangat pesat, disamping produk teh Indonesia di pasar dunia juga dikalahkan oleh produk teh asal negara-negara lain. Produksi tanaman perkebunan lain seperti lada, jambu mete, kapas dan panili masih tumbuh positif selama 2005-2010, bahkan laju peningkatan produksi kapas meningkat sangat drastis, Tabel 3.3.2. Pangsa Produksi Komoditas Perkebunan Menurut Tipe Manajemen, Tahun 2010 (%). Komoditas Kelapa sawit Kelapa Karet Kakao Kopi Cengkeh Tebu/Gula Tembakau Lada Teh Panili Jambu mete
Perkebunan Rakyat 38.81 97.45 79.68 91.60 95.81 98.25 51.32 66.98 100.00 23.14 100.00 100.00
Perkebunan Besar Negara Swasta 10.40 50.79 0.07 2.48 9.74 10.58 4.36 4.03 2.10 2.09 0.30 1.45 13.66 35.02 2.29 30.37 0 0 52.57 24.29 0 0 0 0
Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Sumber: Statistik Perkebunan, berbagai komoditas, 2009-2011. Produksi beberapa komoditas perkebunan tersebut seluruhnya dihasilkan oleh Perkebunan Rakyat (PR), yaitu jambu mete, lada dan panili (Tabel 3.3.2). Sementara itu, produksi beberapa komoditas lainnya sebagian besar dihasilkan oleh PR dan sebagian kecil oleh Perkebunan Besar, yaitu kelapa, kakao, karet, kopi, cengkeh, tembakau, dan tebu/gula. Peranan Perusahaan Besar Swasta dalam memproduksi gula dan tembakau juga cukup signifikan. Komoditas yang lebih banyak diproduksi oleh perkebunan besar adalah kelapa sawit, utamanya Perkebunan Besar Swasta (PBS), dan the utamanya oleh Perkebunan Besar Negara (PBN). 3.3.3. Perkembangan Perdagangan Produksi semua komoditas perkebunan yang disebutkan diatas diekspor ke negaranegara lain, kecuali gula yang selama ini Indonesia masih melakukan impor. Sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3.3.3, nilai ekspor sebagian besar komoditas perkebunan selama periode 5 tahun pertama (2000-2005) cenderung meningkat, yang bervariasi dari lambat (1.23%/tahun) sampai sangat cepat (27.38%/tahun). Sebagian besar komoditas perkebunan selama periode ini mengalami pertumbuhan nilai ekspor yang sangat cepat yang bervariasi dari 10.44% smpai dengan 27.38% per tahun. Hanya lada dan panili yang mengalami laju
15
pertumbuhan nilai ekspor yang negatif. Total nilai ekspor mengalami pertumbuhan yang sangat cepat yaitu 21.35% per tahun. Tabel 3.3.3. Laju Pertumbuhan Nilai Ekspor dan Impor Komoditas Perkebunan Utama, 2000-2009. Ekspor Komoditas
Laju (%/th) 200020052005 2009
Kelapa sawit
27.38
Karet Kakao
Impor Nilai 2009 (US$’000)
Laju (%/th) 200020052005 2009
Neraca 2009 Nilai 2009 (US$’000)
Nilai (US$'000)
16,822
11,588,609
99.86
%
31.92
11,605,431
8.73
26.75
25.03
7.86
3,241,534
-12.22
27.82
18,918
3,222,616
99.42
12.05
19.08
1,413,535
35.11
11.66
119,321
1,294,214
91.56
Kopi
10.44
15.08
824,015
-5.04
31.82
24,012
800,003
97.09
Kelapa
17.03
9.62
422,127
103.88
-93.79
148
421,979
99.96
Teh
1.23
8.53
171,628
17.11
14.40
12,537
159,091
92.70
-23.45
26.28
140,313
-54.77
20.92
1,528
138,785
98.91
Jambu mete
17.82
6.80
82,650
-2.08
110.38
3,997
78,653
95.16
Cengkeh
11.78
-31.42
5,586
-225.27
94.37
112
5,474
97.99
Panili
-7.96
-1.57
5,087
8.84
-7.27
157
4,930
96.91
6.49
9.82
172,629
4.81
15.18
290,170
-117,541
-68.09
20.81
26.59
62,454
10.82
-4.29
585,873
-523,419
-838.1
Lada
Tembakau Tebu
Total 21.33 22.23 18,146,989 8.64 4.10 1,073,595 17,073,394 94.08 Keterangan: Data selengkapnya ditunjukkan pada Lampiran 3.3.3 untuk ekspor, Lampiran 3.3.4 untuk impor dan Lampiran 3.3.5 untuk neraca ekspor-impor.
Pada periode 5 tahun kedua (2005-2009), laju pertumbuhan nilai ekspor sebagian komoditas meningkat, yaitu kelapa sawit, kakao, kopi, the, tembakau dan tebu, sebagian mengalami pelambatan yaitu karet, kelapa, dan jambu mete, namun laju pertumbuhan masih tergolong cepat yaitu sekitar 6.80% sampai dengan 31.92% per tahun. Ada komoditas yang semula nilai ekspornya mengalami pertumbuhan positif berubah menjadi negatif yaitu cengkeh dan kapas. Sementara nilai ekspor panili masih menurun tetapi dengan laju yang melambat. Total nilai ekspor selama periode 2005-2009 meningkat lebih cepat yaitu 22.23% per tahun dibanding pada periode 2000-2005 sebesar 21.33% per tahun. Pada tahun 2009, total nilai ekspor 12 komoditas perkebunan tersebut mencapai sekitar US$ 18.1 milyar. Penyumbang nilai ekspor terbesar adalah kelapa sawit (63.95%), disusul karet (17.86%), kakao (7.79%), kopi (4.54%) dan kelapa (2.33%), sementara 8 komoditas lain hanya memberikan sumbangan nilai ekspor yang kecil (0.004-0.95%). Nilai impor mayoritas komoditas perkebunan sangat kecil, sangat fluktuatif dan laju pertumbuhannya selama periode 2005-2009 jauh lebih kecil dibanding selama periode 2000-2005 (Tabel 3.3.3). Hanya 2 komoditas yang nilai impornya besar yaitu gula dan tembakau, yang selama periode 2005-2009 cenderung menurun untuk gula yaitu 4,29%
16
sedangkan untuk tembakau meningkat 15.18% per tahun, yang selama periode sebelumnya masing-masing meningkat 10.82% untuk gula dan 4.81% untuk tembakau. Pada tahun 2009, total nilai impor mencapai sekitar US$ 1,074 juta, yang 54.57% di antaranya adalah impor gula, 27.03% impor tembakau dan 11.11% impor kakao. Nilai impor yang besar pada gula disebabkan produksi gula belum mencukupi kebutuhan nasional. Demikian pula, nilai impor tembakau cukup besar karena untuk menutupi kekurangan bahan bakau pabrik rokok sebagai akibat kurangnya pasokan dan mahalnya harga bahan baku produksi dalam negeri, sementara harga impor lebih murah. Impor kakao masih diperlukan, utamanya sebagai bahan pencampur untuk meningkatkan mutu produk coklat (barang jadi) hasil pengolahan industri coklat. Mayoritas komoditas perkebunan merupakan penghasil devisa negara, dimana nilai perdagangan internasionalnya mempunyai surplus. Pada tahun 2009, surplus tersebut mencapai sekitar 5-11,589 juta US$ dengan persentase sekitar 91.56-99.96% dari nilai ekspornya. Sementara 2 komoditas lainnya, yaitu gula dan tembakau, mengalami defisit masing-masing US$ 523.4 juta dan US$ 117.5 juta. Total surplus mencapai US$ 17,074 juta. Kontribusi terbesar terhadap surplus perdagangan adalah kelapa sawit (67.87%), disusul karet (18.87%), kakao (7.58%), kopi (4.69%) dan kelapa (2.47%), sementara komoditas-komoditas lainnya kurang dari 1%. Komoditas gula dan tembakau bukan penghasil devisa melainkan penguras devisa. Daya saing suatu komoditas dapat diukur dengan berbagai indikator, yang salah satunya adalah pangsa produksi di tingkat dunia dan perkembangannya selama periode tertentu. Tabel 3.3.4 menunjukkan bahwa 4 komoditas perkebunan Indonesia mempunyai pangsa produksi yang sangat tinggi dan meningkat pada tahun 2009 dibanding 2005 dan menempati posisi pertama di dunia di antara sekian banyak negara produsen, yaitu cengkeh, kelapa sawit, panili dan kelapa. Posisi kedua di dunia ditempati oleh karet, kakao dana lada, dimana pangsa produksi karet dan kakao Indonesia meningkat sedangkan untuk pala menurun. Posisi ke tiga, kelima, keenam, ketujuh dan kesebelas dunia diduduki oleh pala, kopi, tembakau, jambu mete, teh dan gula. Posisi Indonesia yang cukup sampai dengan sangat tinggi tersebut merupakan indikator bahwa Indonesia menempati posisi yang cukup sampai sangat penting dalam memproduksi komoditas perkebunan tersebut di dunia. Sementara pangsa produksi yang meningkat pada tahun 2009 dibanding 2005 mengindikasikan daya saing produk perkebunan Indonesia yang makin tinggi, yaitu cengkeh, kelapa sawit, kelapa, karet, kakao, dan jambu mete. Di masa datang, daya saing dan posisi Indonesia di dunia dalam memproduksi komoditas perkebunan perlu ditingkatkan atau minimal dipertahankan jangan
17
sampai turun. Program-program revitalisasi perkebunan perlu ditingkatkan dengan perencanaan dan mutu pelaksanaan yang lebih baik lagi. Tabel 3.3.4. Posisi Indonesia dalam Produksi Komoditas Perkebunan Dunia Tahun 2005 dan 2009. Pangsa (%) Komoditas
2005
Cengkeh Kelapa sawit Panili Kelapa Karet Kakao Lada Kopi Tembakau Jambu mete Teh Gula
74.51 45.01 45.07 31.62 24.13 15.86 20.44 8.73 2.27 4.25 4.90 2.23
2009 77.23 55.04 44.44 34.95 27.64 19.60 17.73 8.41 2.52 4.33 4.05 1.50
Rangking Indonesia 2009 1 1 1 1 2 2 2 5 6 6 7 11
Jumlah Negara Produsen 2009 12 92 9 14 29 58 41 56 128 30 46 103
3.3.4. Perkembangan Produk Domestik Bruto Sektor pertanian dalam arti sempit terdiri dari Subsketor Tanaman Bahan Makanan, Subsektor Perkebunan dan Subsektor Peternakan. Perkembangan PDB Sektor Pertanian Sempit dan PDB Subsektor Perkebunan selama 2000-2009 diperlihatkan pada Tabel 3.3.5. Selama periode 2000-2005, laju pertumbuhan PDB Subsektor Perkebunan lebih cepat dibanding PDB Sektor Pertanian (sempit), yaitu masing-masing 3.96% dan 3.09% per tahun. Namun pada periode 2005-2009 terjadi yang sebaliknya, yaitu masing-masing menjadi 3.65% dan 3.96% per tahun. Lebih cepatnya laju pertumbuhan PDB Sektor Pertanian disebabkan oleh program-program pembangunan pertanian oleh pemerintah yang makin terfokus kepada Subsektor Tanaman Bahan Makanan, utamanya beras, untuk mencapai swasembada dalam rangka penguatan ketahanan pangan nasional. Hal ini terbukti bahwa laju pertumbuhan PDB Subsektor Tanaman Bahan Makanan pada periode 2005-2009 yang hampir dua kali lipat dibanding pada periode 2000-2005, yaitu masing-masing 4.26% dan 2.42%. Namun Subsektor Perkebunan memberikan kontribusi terhadap PDB Sektor Pertanian yang sedikit lebih tinggi yaitu dari rata-rata 20% pada periode 2000-2004 menjadi 20.15% pada periode 2005-2009.
18
Tabel 3.3.5. Perkembangan PDB Sektor Pertanian dan Subsektor Perkebunan, Tahun 2000-2009. Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Laju (%/th): 2000-2005 2005-2009
Pertanian Sempit (Rp’ milyar) 170,077.9 175,634.9 181,485.3 188,505.7 193,133.5 197,959.2 204,296.8 211,308.4 222,211.2 231,322.3 3.09 3.96
Perkebunan PDB Pangsa (Rp’ milyar (%) 32,491.4 19.1 34,845.2 19.8 37,073.3 20.4 38,693.9 20.5 38,849.3 20.1 39,810.9 20.1 41,318.0 20.2 43,199.2 20.4 44,785.5 20.2 45,887.1 19.8 3.96 3.65
-
3.4. Komoditas Peternakan 3.4.1. Status Komoditas Peternakan Daging merupakan bahan pangan utama sumber protein hewani. Kekurangan konsumsi daging, terutama pada masa pertumbuhan, dapat menyebabkan lambatnya pertumbuhan badan dan intelegensia anak-anak. Sompotan (2011) mengungkapkan bahwa kekurangan konsumsi daging merupakan ancaman bagi kecerdasan anak. Menurut Ariani (2004), pangan dari sumber hewani merupakan salah satu kelompok pangan yang sangat berperan dalam pembentukan kualitas sumberdaya manusia. Hal ini disebabkan bahan pangan tersebut mengandung asam amino esensial, seperti lisin, dan treonin. Oleh karena itu, pangan sumber protein hewani sangat penting bagi pertumbuhan, intelegensia, dan daya tahan tubuh manusia terhadap berbagai penyakit. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization = FAO) pada tahun 2008 menetapkan bahwa konsumsi daging segar untuk hidup sehat adalah 33 kg per kapita per tahun (Sompotan, 2011). Namun data statistik dari FAO menunjukkan bahwa pada tahun 2009 konsumsi daging utama masyarakat Indonesia baru mencapai ratarata 8,62 kg per kapita per tahun, yang terdiri dari 6,17 kg daging unggas, 2,13 kg daging sapi dan kerbau, serta 0,32 kg daging kambing dan domba. Faktor utama penyebab rendahnya tingkat konsumsi daging adalah rendahnya daya beli masyarakat, sedangkan daging merupakan komoditas pangan yang harganya mahal. Faktor lain
19
adalah rendahnya produksi daging, terutama daging sapi yang berasal dari ternak dari dalam negeri. Salah satu jenis usaha ternak yang prospektif dalam memenuhi kebutuhan daging adalah peternakan ayam, terutama ayam ras, baik pedaging maupun petelur. Simatupang dan Maulana (2006) mengemukakan bahwa laju pertumbuhan peternakan ayam ras pedaging cukup pesat. Hal ini telah menjadikan daging ayam ras sebagai jenis daging yang paling banyak dihasilkan di indonesia. Pada periode 1990-1999, produksi daging ayam ras rata-rata 412.639 ton per tahun, melampaui produksi daging sapi yang rata-rata 316.535 ton per tahun dalam periode yang sama. Produksi daging ayam ras juga melampaui produksi daging unggas lainnya. Berbeda dengan produksi daging ayam yang tumbuh pesat, pertumbuhan produksi daging sapi masih memprihatinkan. Ilham (2009) mengungkapkan bahwa Indonesia menghadapi masalah lambatnya
pertumbuhan produksi daging dalam negeri, terutama
daging sapi. Manajemen dan teknologi pemeliharaan ternak sapi masih rendah. Menurut Ilham et al (2009), lambatnya pertumbuhan produksi daging sapi disebabkan oleh sebagian besar usaha ternak sapi merupakan usaha peternakan rakyat dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) Skala usaha kecil yaitu 2-4 ekor per peternak; (2) Hanya sebagai usaha sambilan dengan tujuan untuk tabungan; dan (3) Menggunakan teknologi sederhana. Rendahnya laju pertumbuhan produksi daging sapi juga diungkapkan oleh Simatupang dan Maulana (2006), yaitu bahwa dalam periode 1990-1999 produksi daging sapi tumbuh hanya rata-rata 1,11% per tahun dan bahkan menurun tajam menjadi -0,91% per tahun dalam periode 2000-2005. Penurunan pertumbuhan produksi daging sapi terutama disebabkan oleh menurunnya kapasitas produksi usaha ternak sapi potong secara absolut. Populasi ternak sapi potong menurun dari rata-rata 11,28 juta ekor per tahun pada periode 1990-1999 menjadi 10,71 juta ekor per tahun pada periode 2000-2005. Selama beberapa dekade terakhir, produksi daging dari sapi dalam negeri belum bisa memenuhi kebutuhan yang terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk. Upaya pemenuhan kebutuhan konsumsi daging sapi dalam negeri masih dilakukan melalui impor, baik sapi hidup maupun daging sapi beku. Pada tahun 2011 tidak kurang dari 500 ribu ekor sapi hidup dan 58 ribu ton daging sapi diimpor dari luar negeri terutama dari Australia (Suhendra, 2011a; Purnomo, 2011; dan FAO, 2011). Ketergantungan pada impor daging akan sangat melemahkan kondisi ketahanan pangan nasional, terutama daging sebagai sumber protein hewani. Untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada daging impor, maka pemerintah Indonesia bertekad untuk mencapai swasembada daging sapi pada tahun 2014.
20
Pencanangan program swasembada daging sapi tahun 2014 dituangkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman Umum Program Swasembada Daging Sapi 2014. 3.4.2. Perkembangan Populasi dan Pemotongan Ternak Selama dekade terakhir, populasi ayam tumbuh rata-rata 5,97%/tahun selama periode 2000-2005 dan 3,19%/tahun selama periode 2005-2009. Meskipun pertumbuhannya menurun, pertumbuhan selama periode 2000-2009 masih tetap tinggi yaitu rata-rata 3,69 persen per tahun (Tabel 3.4.1). Pertumbuhan yang tinggi dipacu oleh pertumbuhan populasi ayam ras pedaging (broiler) yang berkembang pesat dengan pertumbuhan rata-rata 5,14%/tahun selama periode 2005-2009 (Ditjennak, 2011). Tabel 3.4.1. Perkembangan Populasi dan Pemotongan Ternak di Indonesia, 2000-2009 Uraian Populasi: Rataan 2000-2005 Rataan 2005-2009 Rataan 2000-2009 Laju 2000-2005 (%/th) Laju 2005-2009 (%/th) Laju 2000-2009 (%/th) Pemotongan: Rataan 2000-2005 (ekor/th) Rataan 2005-2009 (ekor/th) Rataan 2000-2009 (ekor/th) % Pemotongan 2000-2005 % Pemotongan 2005-2009 % Pemotongan 2000-2009
Ayam
Itik
Sapi Potong
Kerbau
Kambing + Domba
1.094.447 1.246.870 1.162.610 5,97 3,19 3,69
34.324 36.592 35.650 0,83 7,40 2,15
10.859.967 11.637.020 11.266.540 -1,12 4,91 1,38
2.355.487 2.047.348 2.224.117 -1,43 -3,16 2,75
20.528.777 23.911.356 22.099.312 1,66 4,39 3,14
1.296.187 1.692.006 1.483.001 118,42 135,39 126,77
22.870 32.617 27.659 67,36 89,57 77,88
1.738.538 1.702.828 1.720.959 8,51 11,02 9,78
200.371 224.176 214.623 16,03 14,69 15,33
5.389.667 6.386.980 5.921.290 26,26 26,65 26,75
Keterangan: Populasi ayam dan itik dalam ribu ekor; kerbau, sapi, dan kambing dalam ekor. Selengkapnya pada Lampiran 3.4.1.
Dalam periode yang sama, jumlah pemotongan ayam melampaui populasinya, baik pada periode 2000-2005 maupun 2005-2009. Ini berarti bahwa Indonesia masih mengimpor ayam hidup dari luar negeri. Impor ayam hidup bisa berupa bibit ayam (DOC) karena impor ayam hidup siap potong tidak diizinkan. Sampai saat ini pemerintah secara resmi masih melarang impor daging ayam dan ayam hidup untuk mencegah penyebaran penyakit. Namun pada tahun 2010 ada kasus temuan 4 juta ekor ayam impor dari Malaysia dan Singapura (Suhendra, 2011b). Pada periode 2005-2009, jumlah pemotongan ayam rata-rata 1.692,01 juta ekor per tahun. Data ini menunjukkan bahwa impor ayam hidup masih tinggi, rata-rata 445,14 juta ekor per tahun selama periode 2005-2009.
21
Populasi itik tidak sebesar populasi ayam, yaitu rata-rata 34,32 juta ekor per tahun selama periode 2000-2005, yang meningkat menjadi rata-rata 36,59 juta ekor per tahun pada periode 2005-2009. Pertumbuhan populasi itik rata-rata 0,83%/tahun selama periode 2000-2005 dan 7,40%/tahun selama periode 2005-2009. Berbeda dengan ayam, pemotongan itik tidak melampaui populasinya, yang mencerminkan tidak adanya impor itik hidup. Pemotongan itik rata-rata 22,87 juta ekor/tahun atau 67,36% dari populasinya selama periode 2000-2005, dan 32,62 juta ekor/tahun atau 89,57% dari populasinya selama periode 2005-2009. Populasi sapi potong rata-rata adalah 10.859,97 juta ekor/tahun pada periode 20002005 dan 11.637,02 juta ekor/tahun selama periode 2005-2009. Dalam periode yang sama, populasi sapi potong menurun rata-rata adalah 1,12%/tahun selama 2000-2005 dan meningkat lagi menjadi 4,91%/tahun selama periode 2005-2009. Peningkatan ini diduga disebabkan oleh peningkatan kelahiran anak sapi (pedet) dan impor sapi induk dan bakalan, terutama dari Australia. Jumlah pemotongan sapi rata-rata 1,74 juta eko/tahun selama periode 2000-2005, kemudian menurun menjadi rata-rata 1,70 juta ekor/tahun selama 2005-2009. Selama periode 2000-2009, pemotongan sapi rata-rata mencapai 1,72 juta ekor/tahun atau sekitar 15% dari populasinya pada periode 2000-2009. Jika jumlah sapi yang dipotong melampaui kelahiran anak sapi dalam negeri, maka impor sapi hidup akan terus meningkat. Jika itu yang terjadi, maka swasembada daging pada tahun 2014 akan sulit dicapai. Sumber daging ruminansia besar lainnya adalah kerbau. Selama dekade terakhir (2000-2009), populasi ternak ini rata-rata adalah 2,22 juta ekor/tahun. Populasi kerbau pada periode yang sama menurun rata-rata 2,75%/tahun. Secara absolut, jumlah kerbau yang dipotong rata-rata adalah 214.623 ekor/tahun pada periode 2000-2009, yang merupakan 9,65% dari populasi pada periode yang sama. Meskipun persentase kerbau yang dipotong relatif kecil terhadap populasi, populasinya terus menurun. Fakta ini menunjukkan bahwa jumlah kerbau yang lahir jauh lebih kecil daripada yang dipotong. Hal ini diduga disebabkan oleh tidak adanya penerapan teknologi maju dalam pembibitan kerbau. Kerbau umumnya dipelihara secara sederhana dengan pemberian pakan hijauan seadanya (tanpa konsentrat) dan banyak yang digunakan sebagai tenaga pembajak di sawah. Selain ruminansia besar, ruminansia kecil (kambing dan domba/kado) juga merupakan salah satu jenis ternak penghasil daging. Populasi kambing dan domba rata-rata 20,53 juta ekor/tahun selama periode 2000-2005 dan 23,91 juta ekor/tahun selama 20052009. Pemotongan kedua jenis ternak ini rata-rata mencapai 5,39 juta ekor/tahun (26,26%
22
dari populasi) pada periode 2000-2005, dan 6,39 juta ekor/tahun (26,64% dari populasi) pada periode 2005-2009. Jika populasi kado betina seimbang dengan kado jantan, maka total kado yang dipotong hampir 54% dari populasi kado betina. Ini berarti bahwa untuk mempertahankan populasi kado, angka kelahiran anak kado harus mencapai 54 ekor dari tiap 100 ekor kambing-domba betina per tahun. 3.4.3. Perkembangan Produksi Daging, Susu dan Telor Daging Sejalan dengan populasi dan pemotongan ayam dan itik, produksi daging unggas rata-rata 1,06 juta ton/tahun pada periode 2000-2005 dan 1,32 juta ton/tahun pada periode 2005-2009 atau rata-rata 1,18 juta ton/tahun selama periode 2000-2009 (Tabel 3.4.2). Pertumbuhan produksi daging unggas rata-rata 7,26%/tahun pada periode 2000-2005 dan 5,19%/tahun selama periode 2005-2009. Tabel 3.4.2. Produksi Daging di Indonesia, 2000-2009 (ton) Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rataan: 2000-2005 2005-2009 2000-2009 Laju (%/th): 2000-2005 2005-2009 2000-2009
Unggas
Sapi & Kerbau
Kado
Total
817.740 923.520 1.104.790 1.138.960 1.213.120 1.147.060 1.284.681 1.339.945 1.380.530 1.434.590
385.795 382.329 372.599 410.350 487.810 396.800 439.729 381.236 431.543 442.819
44.890 48.702 58.170 63.860 57.130 50.600 65.014 63.615 66.027 74.106
1.248.425 1.354.551 1.535.559 1.613.170 1.758.060 1.594.460 1.789.424 1.784.796 1.878.100 1.951.515
1.057.532 1.317.361 1.178.494
405.947 418.425 413.101
53.892 63.872 59.211
1.517.371 1.799.659 1.650.806
7,26 5,19 5,54
2,77 2,01 1,34
3,35 7,79 4,26
5,87 4,53 4,41
Produksi daging unggas dari pemotongan dalam negeri terus meningkat, namun belum bisa memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, sehingga Indonesia masih
23
mengimpor daging unggas. Selama periode 2005-2009, net impor daging unggas rata-rata mencapai 7.705 ton/tahun. Produksi daging sapi dan kerbau juga meningkat dari rata-rata 405.947 ton/tahun pada periode 2000-2005 menjadi 418.425 ton/tahun selama periode 2005-2009. Selama periode 2005-2009, produksi daging sapi dan kerbau meningkat rata-rata 2,01%/tahun. Volume dan pertumbuhan produksi daging sapi belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, sehingga masih mengimpor daging sapi. Produksi daging kambing dan domba juga meningkat dari rata-rata 53.892 ton/tahun selama periode 2000-2005 menjadi 63.872 ton/tahun selama periode 2005-2009. Selama periode 2005-2009, pertumbuhan produksi daging kambing rata-rata 7,79%/tahun. Namun demikian, produksi daging kambing belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging kambing dalam negeri, Indonesia masih mengimpor daging kambing. Susu dan Telur Komoditas peternakan utama yang menghasilkan susu adalah sapi perah dan kambing, namun dalam analisis outlook ini hanya akan menganalisis produk susu sapi. Secara umum kinerja pertumbuhan populasi sapi perah dan Indonesia selama dekade terakhir ini menunjukkan arah yang positif. Populasi sapi perah dan produksi susu tampak fluktuatif dengan kecenderungan yang meningkat. Populasi sapi perah dan produksi susu meningkat dengan laju pertumbuhan masingmasing sebesar 3.41% dan 6.41% persen per tahun, selama tahun 2000-2010 (Tabel 3.4.3). Populasi sapi perah naik dari sekitar 354 ribu ekor pada 2000 menjadi 495 ribu ekor, sedangkan produksi susu meningkat dari 495.7 ton pada 2000 menjadi 927.8 ton pada 2010. Keberadaan koperasi susu di tingkat peternak dan lembaga persusuan secara vertical sampai ke tingkat pusat dengan GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia) diduga turut mendorong berkembangnya usaha persusuan pada periode tersebut. Namun, peternak mengeluhkan kondisi harga yang sering tidak stabil, ditambah lagi harga pakan yang cenderung meningkat setiap tahunnya dan lahan untuk rumput yang terbatas. Dalam rangka meningkatkan produksi susu dalam negeri, Pemerintah juga telah menetapkan beberapa program, antara lain memberikan Bantuan Langsung Sapi (BLS) senilai 200 Milyar rupiah kepada kelompok petani/peternak. Selain itu juga sebelumnya Pemerintah juga telah menyalurkan Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS). Program ini juga ditujukan untuk meningkatkan konsumsi susu segar oleh masyarakat, sebagaimna telah dikemukakan sebelumnya bahwa konsumsi susu per kapita Indonesia masih sangat rendah
24
sekitar 7-8 liter/tahun. Saat ini kebutuhan susu dalam negeri hanya 30% dipenuhi dari dalam negeri sedangkan 70% berasal dari impor. Hal ini menjadi tantangan Pemerintah untuk meningkatkan produksi susu lokal yang diharapkan dapat terpenuhi melalui program tersebut. Tantangan lain yang dihadapi adalah skala pengusahaan petani masih sangat kecil yaitu kurang dari empat ekor, yang idealnya adalah 8 ekor sapi per petani. Tabel 3.4.3. Perkembangan Populasi Sapi Perah dan Ayam Petelur serta Produksi Susu dan Telur di Indonesia, 2000-2010. Susu Tahun
Populasi Sapi Perah (‘000 ekor) 354.253 346.998 358.386 373.753 364.062 361.351 369.008 374.067 457.577 474.701 495.231
Telur Produksi Susu (‘000 ton) 495.650 479.950 493.400 553.400 549.900 535.960 616.550 567.680 647.000 881.800 927.800
Populasi Ayam Petelur (juta ekor) 69.366 70.254 78.039 79.206 93.416 84.790 100.202 111.489 107.955 111.418 116.188
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Laju 5.48 3.51 6.41 (%/tahun) Sumber : BPS, Statistik Peternakan (berbagai terbitan), diolah
Produksi Telur (‘000 ton) 503 538 614 612 762 681 817 944 956 910 959 6.65
Sapi perah adalah ternak penghasil susu yang dengan proses pasteurisasi dan sterilisasi maka produk susu tersebut dapat langsung dikonsumsi. Jadi permintaan akan ternak sapi perah tergantung dari permintaan produk susunya itu sendiri. Pada tahun 1979 produksi susu mencapai 72.200 ton sedangkan konsumsi susu mencapai 532.700 ton. Ini menunjukkan bahwa hanya 13.5% susu dalam negeri yang mampu memenuhi permintaan konsumen tersebut. Artinya 86.5 persen kekurangan susu tersebut dipenuhi dari impor susu luar negeri. Begitu pula dengan tahun-tahun berikutnya, permintaan akan susu belum mampu dipenuhi oleh produksi susu dalam negeri (Firman, 2007). Perkembangan peningkatan produksi sapi perah hingga tahun 1999 kental dengan campur tangan pemerintah, baik dalam pengaturan pemasaran,tataniaga,impor sapi perah memaksa IPS membeli susu segar koperasi dengan mengkaitkan ijin impor susu dengan penyerapan susu segar koperasi. Untuk hal ini koperasi mendapat dana dalam bentuk pengadaan bibit sapi perah impor untuk dibagikan kepada anggotanya sebagai pinjaman.
25
Peternak harus mengembalikan pinjaman dari hasil susu dan harus mengikuti semua aturan koperasi (Yusdja, 2008). Komoditas telur yang dianalisis dalam bab pembahasan ini adalah telur yang berasal dari ayam petelur (layer). Perkembangan populasi ayam petelur dan produksi telur dapat dilihat pada Tabel 3.4.3 di atas. Pertumbuhan produksi telur tampak lebih cepat dibandingkan dengan populasi ayam petelur pada periode 2000-2010, yaitu masing-masing sebesar 5.48% dan 6.65% per tahun. Ini mengimplikasikan adanya peningkatan produktivitas ayam petelur, yaitu sekitar 1.29% per tahun. Penurunan populasi ayam petelur dan produksi telur terjadi pada saat terjadi wabah flu burung. Pada 2005, populasi ayam petelur dan produksi telur mengalami penurunan masing-masing sebesar 9.69% dan 11.24% dibandigkan dengan tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya wabah flu burung sangat merugikan peternak Indonesia. Pada periode setelah wabah flu burung terjadi perbaikan populasi ayam telur dan porduksi telur. Hal ini ditunjukkan oleh laju pertumbuhan masing-masing sebesar 3.7% dan 4% per tahun. Terjadi sedikit peningkatan produktivitas ayam petelur yaitu sekitar 0.3% per tahun selama 2006-2010. Rendahnya peningkatan produktifitas ini diduga karena harga pakan yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu, sehingga peternak menurunkan kualitas dan kuantitas pakan. 3.4.4. Perkembangan Neraca Perdagangan Daging Seperti telah disebutkan di depan, produksi daging unggas dari pemotongan ternak dalam negeri belum mampu memenuhi konsumsi dalam negeri. Meskipun impor daging unggas selama periode 2000-2005 menurun rata-rata 21,85%/tahun, volumenya masih tergolong tinggi, yaitu rata-rata 4.000 ton/tahun (Tabel 3.4.4). Selama periode 2005-2009, impor daging unggas meningkat menjadi rata-rata 5.020 ton/tahun dengan pertumbuhan rata-rata 3,89%/tahun. Secara keseluruhan, dalam dekade terakhir volume impor daging unggas rata-rata 4.483 ton/tahun dengan pertumbuhan rata-rata -11,31%/tahun. Di sisi lain, volume ekspor daging ayam relatif sangat kecil dibandingkan dengan impor, sehingga net impor daging ayam masih relatif tinggi, yaitu rata-rata 2.415 ton/tahun selama periode 20002005 dan meningkat menjadi 4.971 ton/tahun selama periode 2005-2009. Pada periode 2005-2009, net impor daging unggas meningkat rata-rata 3,77%/tahun. Volume impor daging sapi selama dekade terakhir masih terus meningkat. Pada periode 2000-2005 impor daging sapi rata-rata 22.575 ton/tahun dengan laju pertumbuhan rata-rata -4,61%/per tahun. Pada periode 2005-2009, impor meningkat menjadi rata-rata
26
45.609 ton/tahun dengan laju pertumbuhan rata-rata 19,56%/tahun. Seperti halnya daging ayam, ekspor daging sapi juga relatif sangat kecil dibandingkan dengan impornya. Oleh karena itu, net impor daging sapi masih sangat besar yaitu rata-rata 22.452 ton/tahun pada periode 2000-2005 dan meningkat menjadi rata-rata 45.569 ton/tahun selama periode 20052009. Untuk daging kambing dan domba (kado), masih terdapat impor rata-rata 599 ton/tahun dengan pertumbuhan rata-rata 6,97%/tahun selama periode 2000-2005. Pada periode 2005-2009, impor daging kado rata-rata 649 ton/tahun, namun pertumbuhannya menurun menjadi rata-rata -9,14%/tahun. Seperti halnya daging unggas dan daging sapi, volume ekspor daging kado juga sangat kecil, sehingga net impor daging kado rata-rata 523 ton/tahun pada periode 2000-2005 dan 647 ton/tahun selama 2005-2009. Tabel 3.4.4. Perkembangan Neraca Perdagangan Daging di Indonesia, 2000 2009 Unggas Tahun
Impor
Ekspor
Sapi & Kerbau Net Impor
Impor
Ekspor
Kado Net Impor
Impor
Ekspor
Net Impor
2000
14.658
750
13.908
36.047
39
36.008
592
35
557
2001
1.717
1.841
-124
22.085
92
21.993
692
86
606
2002
1.148
3.070
-1.922
16.221
85
16.136
482
300
182
2003
669
3.708
-3.039
15.288
270
15.018
476
17
459
2004
1.536
121
1.415
17.318
199
17.119
520
4
516
2005
4.274
20
4.254
28.492
52
28.440
829
10
819
2006
3.905
29
3.876
34.004
55
33.949
712
0
712
2007
6.329
86
6.243
52.279
31
52.248
571
1
570
2008
5.613
63
5.550
55.131
30
55.101
568
1
567
2009
4.979
46
4.932
58.138
29
58.109
565
0
565
2000-2005
4.000
1.585
2.415
22.575
123
22.452
599
75
523
2005-2009
5.020
49
4.971
45.609
39
45.569
649
2
647
2000-2009
4.483
973
3.509
33.500
88
33.412
601
45
555
2000-2005
-21,85
-51,56
-21,09
-4,60
5,92
-4,61
6,97
-22,16
8,02
2005-2009
3,89
23,15
3,77
19,52
-13,58
19,56
-9,14
-96,84
-8,86
2000-2009
-11.31
-26.61
-10.81
5.45
-3.23
5.46
-0.51
-39.82
0.33
Rataan:
Laju (%/th):
3.4.5. Perkembangan Konsumsi Daging Dengan memanfaatkan data produksi pada Tabel 3.4.2 dan net impor pada Tabel 3.4.4, dapat dihitung volume daging yang tersedia untuk konsumsi dalam negeri yang merupakan penjumlahan antara produksi dan net impor. Ketersediaan daging untuk konsumsi dan konsumsi per kapita disajikan pada Lampiran 3.4.3
27
Pada periode 2000-2005, daging unggas, daging sapi/kerbau, dan daging kado yang tersedia untuk konsumsi berturut-turut rata-rata 1,06 juta ton, 428.400 ton, dan 54.415 ton per tahun, sehingga ketersediaan daging untuk konsumsi rata-rata 1,54 juta ton/tahun. Dengan rataan jumlah penduduk pada peiode tersebut 217,61 juta jiwa per tahun, maka konsumsi per kapita daging unggas, daging sapi/kerbau, dan daging kado rata-rata 4,86 kg, 1,97 kg, dan 0,25 kg per tahun. Untuk semua daging, konsumsi per kapita pada periode 2000-2005 rata-rata 7,08 kg/tahun. Pada periode 2005-2009, ketersediaan daging unggas, daging sapi/kerbau, dan daging kado berturut-turut rata-rata 1,32 juta ton, 463.995 ton, dan 64.519 ton per tahun. Dengan rataan jumlah penduduk pada periode ini 229,85 juta jiwa/tahun, maka konsumsi per kapita daging unggas, daging sapi/kerbau, dan daging kado rata-rata 5,75 kg, 2,02 kg, dan 0,28 kg per tahun. Untuk semua daging tersebut, konsumsi per kapita pada periode 2005-2009 rata-rata 8,05 kg per tahun. Pada tahun 2009, konsumsi ketiga kelompok daging tersebut sebesar 8,58 kg per kapita (Lampiran 3.4.3). Tingkat konsumsi ini masih jauh dari sasaran yang direkomendasikan FAO, yaitu 33 kg/kapita/tahun (Sompotan, 2011). Fakta ini menunjukkan bahwa konsumsi daging masyarakat Indonesia baru mencapai 26 persen dari rekomendasi FAO. Oleh karena itu, masih diperlukan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan produksi dan konsumsi daging penduduk Indonesia. 3.4.6. Perkembangan Produk Domestik Bruto Sumbangan sub sektor peternakan dalam pendapatan nasional bruto (PDB) selama dekade terakhir relatif kecil meskipun pada lima tahun terakhir mempunyai kecenderungan yang meningkat, seperti terlihat pada Gambar 3.4.1. Secara nominal sumbangan sektor pertanian terhadap total PDB meningkat rata-rata 9,31%/tahun selama periode 2000-2005 dan 22,17%/tahun selama periode 2005-2009. Pada periode yang sama, sumbangan sektor peternakan terhadap PDB juga meningkat 8,19% dan 21,94% per tahun masingmasing selama periode 2000-2005 dan 2005-2009, seperti disajikan pada Lampiran 3.4.4.
28
Kontribusi pd GNP (%)
Pertanian
Tan Pangan
Peternakan
20.00 15.00 10.00 5.00 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Ta hun
Gambar 3.4.1. Kontribusi Relatif Sektor Pertanian Dalam Total PDB Indonesia, 2000-2009.
Secara relatif sumbangan sektor pertanian pada PDB rata-rata 15,26% selama 20002005 dan 13,91% selama periode 2005-2009. Sementara itu, pada periode yang sama sub sektor peternakan hanya menyumbang terhadap total PDB rata-rata 1,93% selama periode 2000-2005 dan 1,64% selama periode 2005-2009. Sumbangan sektor pertanian pada periode 2000-2005 secara relatif menurun rata-rata 5,29%/tahun dan meningkat lagi ratarata 3,89%/tahun selama periode 2005-2009. Demikian juga sumbangan sub sektor peternakan terhadap total PDB secara relatif menurun rata-rata 5,71%/tahun selama periode 2000-2005 dan meningkat 3,85%/tahun selama periode 2005-2009. Pertumbuhan positif kontribusi relatif sektor pertanian termasuk sub sektor peternakan terhadap total PDB pada periode 2005-2009 mencerminkan lebih baiknya pertumbuhan sektor pertanian dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya dalam periode tersebut. Menurut Ilham (2007), sub sektor peternakan berpotensi untuk dijadikan sumber pertumbuhan baru pada sektor pertanian, selain karena pertumbuhannya dalam sektor pertanian, juga karena mempunyai efek pengganda yang besar, baik di hulu (industri pakan) maupun di hilir (industri pangan olahan).
3.5. Perkembangan Investasi Pertanian 3.5.1. Jenis Investasi Selama sepuluh tahun terakhir (2000-2010), Indonesia banyak diminati investor asing (PMA) dan domestik (PMDN) untuk melakukan investasi termasuk di sektor pertanian dan perikanan. Data realisasi investasi modal asing dan dalam negeri menunjukkan bahwa nilai dan jumlah unit investasi mengalami peningkatan secara signifikan (Tabel 3.5.1).
29
Tabel 3.5.1. Perkembangan Realisasi Nilai dan Jumlah Proyek Investasi PMA dan PMDN, 2000-2010. PMA Tahun
Nilai (US$ juta) 95,63 79,43 18,05 221,23 186,54 230,11 403,44 290,11 154,29 150,16 773,67
PMDN Nilai Jumlah (Rp’ milyar) (unit) 1.918,22 20 1.121,67 15 387,24 4 194,45 11 526,98 8 3.192,64 26 3.558,77 28 4.997,96 21 1.234,48 7 2.621,92 25 9.080,83 231
Jumlah (unit) 18 17 3 12 13 27 25 28 14 13 187
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Laju 19 16 (%/tahun) Sumber: Kementerian Pertanian (2011).
21
17
Laju pertumbuhan nilai PMA dan PMDN selama kurun waktu tersebut masingmasing adalah sebesar 19% dan 21% per tahun. Jumlah proyek investasi keduanya juga cenderung meningkat rata-rata 16% dan 17% per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa investasi di Indonesia layak secara ekonomi sehingga tetap menarik bagi investor untuk melakukan investasi walaupun pada masa krisis ekonomi global (2008-2009) PMA dan PMDN menurun tajam dalam nilai dan jumlah proyek investasi. Perekonomian dunia berangsur pulih, sehingga nilai dan jumlah proyek investasi melonjak tajam pada tahun 2010, sehingga laju rata-rata pertumbuhan nilai dan jumlah investasi PMA dan PMDN menjadi positif kembali. Nilai PMA pada tahun 2010 meningkat hampir tiga kali lipat dibanding tahun 2007 (tahun sebelum krisis). Demikian juga dengan nilai PMDN, pada 2010 meningkat hampir dua kali lipat dari tahun 2007.
Implikasi dari kinerja investasi PMA dan PMDN 2000-2010 adalah, perekonomian Indonesia tidak mengalami dampak jangka panjang akibat krisis ekonomi global 2008-2009, sehingga menciptakan iklim usaha yang mendukung investasi berkembang dari sisi asal modal maupun kelompok bidang lapangan industri, sebagaimana akan dibahas dalam sub bagian 1.2.
30
3.5.2. Investasi Pertanian menurut Subsektor Berdasar kelompok bidang lapangan industri (Lampiran 3.5.1) dalam realisasi investasi 2000-2010 menunjukkan bahwa PMA mempunyai lebih banyak bidang lapangan industri dibandingkan PMDN. Investor asing mengusahakan 15 bidang lapangan industri, sedangkan investor domestik hanya 11 bidang lapangan industri, namun keduanya didominasi oleh subsektor tanaman pangan, tanaman perkebunan dan peternakan (Tabel 3.5.2 dan 3.5.3).
Tabel 3.5.2. Perkembangan Nilai Realisasi Pertanian, 2000-2010 (US$ juta). Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Laju (%/tahun) Sumber:
T. Pangan 4,5 10,9 9,0 2,7 1,9 4,7 5,3 24,3 0 10,0 14,5 3,9
Hortikultura 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 -16,8
PMA
menurut
Perkebunan 64,1 53,1 0,0 216,5 159,0 166,9 346,6 38,3 147,4 132,5 736,4
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Laju (%/tahun) Sumber:
T. Pangan 1.899,2 123,8 0,0 0,0 0,0
Hortikultura 7,5 0,0 0,0 0,0 0,0
Peternakan 13,5 2,4 10,0 1,1 20,2 52,8 18,8 44,7 4,5 2,5 4,7
25,6
Tabel 3.5.3. Perkembangan Nilai Realisasi PMDN Pertanian, 2000-2010 (Rp’ milyar). Tahun
Subsektor
-0,1
Menurut
Perkebunan 11,6 615,9 263,6 130,9 507,4
Subsektor Peternakan 0,0 210,6 123,7 29,9 19,6
25,3 124,5 189,6 149,8 113,4 276,8
0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 16,2
3.054,1 3.345,1 4.689,8 1.037,4 2.195,8 8.612,6
108,3 72,0 113,8 30,6 288,0 174,2
4,9
12,7
61,8
24,4
31
Dari kedua tabel tersebut dapat diketahui bahwa selama 2000-2010 subsektor hortikultura kurang diminati investor. Kecuali investasi PMA untuk subsektor peternakan, semua investasi menunjukkan laju pertumbuhan positif. Laju pertumbuhan investasi PMA tertinggi terjadi pada subsektor perkebunan, yaitu 25,6%/tahun, disusul subsektor tanaman pangan 3,9%/tahun. Sementara itu, investasi pada subsektor peternakan cenderung menurun 0,1%/tahun. Realisasi PMA pada subsektor hortikultura menurun 16,8%/tahun.
Subsektor perkebunan selain diminati oleh investor asing, juga banyak diminati oleh investor dalam negeri. Selama 2000-2010, PMDN pada subsektor ini meningkat 61,8%/tahun,
disusul
subsektor
peternakan
24,4%/tahun,
subsektor
hortikultura
12,7%/tahun dan subsector tanaman pangan 4,9%tahun. Nilai investasi PMDN untuk subsektor hortikultura sangat rendah, namun selam 2000-2010 cenderung naik dengan adanya investasi pada tahun 2000 dan 2010, sehingga perubahannya menghasilkan laju pertumbuhan yang besar, walaupun dalam realisasinya terdapat kekosongan investasi dari tahun 2001-2009 (Tabel 3.5.3).
Investasi pada subsektor tanaman perkebunan didominasi oleh perkebunan tanaman buah-buahan penghasil minyak (Oleaginous), yaitu pembukaan perkebunan kelapa sawit. Dengan adanya moratorium lahan pada tahun 2011, maka dalam analisa proyeksi jangka menengah (2010-2014) dan panjang (2015-2025) diasumsikan bahwa akan terjadi penurunan laju pertumbuhan setiap tahun pada tahun-tahun berikutnya sebesar 5% dari tahun sebelumnya.
32
IV. PROSPEK JANGKA PENDEK (2011-2014) 4.1.
Komoditas Pangan
4.1.1. Produksi Tabel 4.1.1. Proyeksi jangka Menengah Komoditas Tanaman Pangan, 2014-2025 (ton) Tahun
Beras
Jagung
Kedele
K.Tanah
Ubi Jalar
Ubi Kayu
2010
65,980,670
17,844,676
905,015
291,705
779,228
2,051,046
2011
69,389,661
20,002,902
935,093
291,385
784,598
2,069,717
2012
72,974,783
22,422,154
966,171
291,064
790,005
2,088,559
2013
76,745,135
25,134,003
998,281
290,745
795,450
2,107,572
80,710,289
28,173,837
1,031,459
290,425
800,932
2,126,758
2014 Laju (%/th) 2010-2014
33
4.2.
Komoditas Hortikultura
4.2.1. Status Komoditas Hortikultura Selain berperan sebagai bahan pangan masyarakat, hortikultura juga mempunyai peranan penting dalam hal penyediaan lapangan kerja dan berusaha, penyedia bahan baku industri, kesehatan manusia, sosial budaya, dan pariwisata. Komoditas hortikultura terutama tanaman obat (biofarmaka) mempunyai peranan yang penting dalam menjaga dan memperbaiki kesehatan manusia. Kecenderungan masyarakat untuk “back to nature” dewasa ini, permintaan konsumen terhadap obat (jamu) dan suplemen makanan herbal terus meningkat di dalam negeri maupun luar negeri. Komoditas hortikultura juga sangat penting dalam kehidupan sosial budaya masyarakat, terkait dengan keindahan baik indoor maupun outdoor, acara/upacara budaya, dan kegiatan lain yang memerlukan tanaman hias, buah dan sayuran. Komoditas hortikultura juga berperan besar dalam pariwisata, antara lain menyediakan buah-buahan, sayuran, dan tanaman hias di tempat wisata, hotel, restoran/rumah makan, agrowisata, dll. . Kondisi ini memacu peningkatan kebutuhan akan obat tradisional maupun fitofarmaka. Produksi tanaman hias menunjukkan fluktuasi produksi sebagai akibat perubahan preferensi konsumen seperti halnya yang terjadi pada mode/fashion. Subsektor hortikultura harus dibangun berbasis pada kekayaan sumberdaya genetik nasional yang memiliki kespesifikan keunggulan dan cita rasa yang tidak dapat disaingi oleh produk serupa dari negara lain. Dengan mengatur pola produksi, kapasitas produksi, dan proses produksi yang ramah lingkungan akan diperoleh produk yang bersih dan berdaya saing global. Mengingat permintaan pasar meningkat pesat, maka proses produksi hortikultura akan berkembang ke lokasi baru bersamaan dengan penerapan program intensifikasi di lahan yang telah mapan. Seiring dengan membesarnya volume kegiatan usaha hortikultura di dalam negeri, dampak pengembangan subsektor ini dapat dirasakan dari peningkatan kinerja pembangunan ekonomi dari tahun ke tahun. 4.2.2. Luas Panen, Produksi Dan Produktivitas Dari potensi plasma nuftah yang dimiliki Indonesia, baru sekitar 323 komoditas hortikultura teridentifikasi mempunyai nilai ekonomi dan sekitar 70 komoditas yang tercatat sebagai data statistik di dalam negeri. Ini menunjukkan bahwa prospek pengembangan komoditas hortikultura masih dapat ditingkat, khusunya bagi pengembangan komoditas baru untuk membangun trend pasar yang berdampak terhadap penumbuhan kegiatan ekonomi di tengah masyarakat.
34
Dalam tahun 2000-2014 umum produksi komoditas hortikultura diproyeksikan mengalami peningkatan sebesar 4.55%/tahun. Peningatan terbesar terjadi pada kelompok tanaman hias dengan laju sebesar 9.58 %/th, menyusul kelompok Tanaman Obat dengan laju 8.30%/tahun, diikuti kelompok Buah sebesar 5.65%/tahun dan kelompok sayuran sebesar 2.54%/tahun. Dengan proyeksi tersebut, maka dalam tahun 2014 produksi buah akan mencapai 21,33 juta ton, sayuran sebasar 11,44 juta ton, tanaman obat sebesar 0,61 juta ton dan tanaman hias sebesar 0,40 juta ton. Peningkatan produksi buah dan tanaman hias terutama terjadi karena peningkatan produktivitas yaitu masing masing dengan laju 3,92%/tahun dan 11,87%/tahun, semantara laju luas`areal buah sebesar 1,79%/tahun dan luas panen tanaman hias malah cenderung menurun 4.01%/tahun. Produksi sayuran dan tanaman obat terjadi karena kontribusi pertambahan luas panen yang meningat masing masing sebesar 2,42%/tahun dan 6.29%/tahun, sementara produktivitas sayuran dan tanaman obat meningkat masing masing sebesar 0,12%/tahun dan 2.17%/tahun (Tabel 4.2.1) Tabel 4.2.1. Proyeksi Pertumbuhan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Komoditas Hortikultura Tahun 2000 -2014 (%/tahun) Komoditas Buah Sayur Tanaman Obat Tanaman Hias Total
Luas Panen 1.79 2.42 6.29 -4.01 2.18
Produksi 5.65 2.54 8.30 9.58 4.55
Produktivitas 3.92 0.12 2.17 11.87 1.52
4.2.3. Produk Domestik Bruto Sejalan dengan peningkatan produksi hortikultura, maka PDB juga akan meningkat. Dalam tahun 2014 PDB hortikultura diproyeksikan sebasar 103,59 trilyun rupiah atau peningkatan dengan laju 6.51%/tahun (Tabel 4.2.2). Kelompok komoditas buah akan memberikan kontribusi PDB hortikultura terbesar yaitu senilai 58.8 trilyun rupiah (56.8%), disusul kelompok sayuran sebasar 36,04 trilyun rupiah (34,8%), kelompok tanaman hias sebasar 7,46 trilyun rupiah (7,2%) dan kelompok tanaman obat senilai 1,24 trilyun rupiah (1,2%). Dilihat dari laju pertumbuhan masing-masing, sampai dengan tahun 2014 pertumbuhan PDB terbesar terjadi pada kelompok komoditas tanaman obat sebesar 7.7%/tahun, disusul tanaman hias 6,9%/tahun, kelompok buah 6.64%/tahun dan sayuran 6.46%/tahun.
35
Tabel 4.2.2. Proyeksi PDB Hortikultura, 2010-2014 Tahun 2000 2010 2011 2012 2013 2014 Laju (%/th)
Buah 22,864.84 50,809.19 52,816.45 54,823.70 56,830.96 58,838.21 6.64
Sayur 14,005.97 31,129.57 32,359.37 33,589.17 34,818.97 36,048.76 6.46
T. Obat 396.65 1,073.43 1,115.84 1,158.24 1,200.65 1,243.06 7.70
T. Hias 2,710.732 6,440.602 6,695.042 6,949.483 7,203.924 7,458.365 6.90
Total 39,978.2 89,452.8 92,986.7 96,520.6 100,054.5 103,588.4 6.51
4.2.4. Perdagangan Globalisasi dan liberalisasi perdagangan menyebabkan semakin terintegrasinya sistem perdagangan produk-produk pertanian Indonesia ke dalam perdagangan pertanian dunia seperti: pembentukan harga dan preferensi konsumen yang semakin mengarah kepada preferensi yang bersifat universal. Dinamika yang bersifat multi-facet tersebut membawa pengaruh terhadap kinerja agribisnis hortikultura nasional dan tidak mungkin bisa dihindari, namun sekaligus memberikan peluang dan tantangan yang harus dihadapi dalam pembangunan hortikultura kedepan. Pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan dihapuskannya berbagai hambatan perdagangan antar negara, namun juga dapat menimbulkan masalah jika komoditas yang diproduksi secara lokal tidak mampu bersaing dengan negara lain sehingga pasar domestik semakin dibanjiri oleh komoditas impor, yang pada gilirannya akan merugikan petani. Kecenderungan tersebut tampaknya terus meningkat, yang ditandai oleh makin intensnya upaya dominasi melalui kaidah-kaidah pengintegrasian sistem ekonomi dan non ekonomi lintas negara, baik berupa pasar, perusahaan multi nasional, produksi, finansial maupun investasi, dan lain-lain ke dalam skala global bersamaan dengan nuansa persaingan antar negara yang makin tajam. Dalam jangka pendek, sampai dengan tahun 2014, perdagangan hortikultura akan menghadapi persaingan pasar dunia yang makin tajam, terutama dengan Negara satu ASEAN kawasan seperti Thailand, Malaysia dan Vietnam. Hal ini karena produk yang diperdagangkan relatif sama yaitu produk tropis. Sejalan dengan penguatan agribisnis hortikultura dalam negeri juga akan diikuti oleh meningkatnya permintaan akan produk hortikultura yang makin beragam. Pasar domestik yang besar tidak cukup dipenuhi oleh pasar produksi dalam negeri sehingga impor tidak terbendung, terutama buah dan sayuran. Pada komoditas tanaman hias akan terjdi peningkatan perdagangan sejalan dengan peningkatan kemampuan industri tanaman hias domestik, dan sejalan dengan itu ekspor
36
produk tanaman hias akan mengalami peningkatan. Pada sisi lain berkembangnya pasar dan kemampuan industri pengoalahan domestik telah menghela peningkatan produksi bahan
baku
tanaman
obat,
peningkatan
kualitas
produk
yang
dihasilkan
akan
menumbuhkan ekspor 4.2.5. Penyerapan Tenaga Kerja Keberhasilan pembangunan hortikultura kedepan akan sangat ditentukan oleh kemampuan pelaku usaha hortikultura, baik yang bergerak di bidang usahatani (on farm), maupun pasca panen, pengolahan dan pemasaran. Untuk itu kualitas sumber daya manusia hortikultura, baik pelaku usaha, maupun petugas lapang/pembina, pakar, pemerintah dan pemerhati lain menjadi unsur sentral penentu keberhasilan. Pertumbuhan usaha agribisnis hortikultura dengn sendirinya akan membuka peluang lapangan kerja baru di masyarakat. Sampai dengan tahun 2014, penyerapan tenaga kerja pada kegiatan on farm akan meningkat menjadi 4,6 juta jiwa atau peningkatan sebesar 91% dalam kurun waktu 14 tahun, atau 4.43%/tahun (Tabel 4.2.4). Apabila diperhitungkan usaha agribisnis secara keseluruhan, dengan asumsi pertumbuhan penyerapan lapangan kerja sama, maka dalam tahun 2014 agribisnis hortikultura diproyeksikan akan menyerap tenaga kerja sebesar 13.7
juta jiwa, suatu kenaikan sebesar 138% dibandingkan penyerapan
tenaga kerja tahun 2003 sebesar 8.4 juta jiwa. Penyerapan tenaga kerja terbesar adalah pada usaha sayuran (71.9%) menyusul usaha buah (27,3%), sementara usaha tanaman obat dan tanaman hias relatif rendah (di bawah 1%). Tabel 4.2.4. Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja Hortikultura Tahun 2000-2014 (orang) Tahun 2000 2010 2011 2012 2013 2014 Laju (%/th)
4.3.
Buah 351.18 1,002.49 1,067.37 1,132.24 1,197.11 1,261.99 8.52
Sayur 2,051.57 2,933.81 3,030.89 3,127.98 3,225.07 3,322.17 3.25
T. Obat 5.87 26.42 27.15 27.83 28.45 29.03 9.39
T. Hhias 1.49 3.02 3.21 3.39 3.57 3.75 5.87
Total 2,410.11 3,965.74 4,128.62 4,291.43 4,454.20 4,616.93 4.43
Komoditas Perkebunan
4.3.1. Luas Areal dan Produksi Sebagian besar komoditas perkebunan diproyeksikan masih akan mengalami pertumbuhan luas areal dan produksi selama 2010-2014, dengan laju pertumbuhan luas
37
areal sekitar 0.04-5.73% dan laju pertumbuhan produksi sekitar 0.004-8.85% per tahun (Tabel 4.3.1). Jambu mete, kelapa sawit dan kakao masih akan mengalami pertumbuhan luas areal yang cepat, sedangkan lainnya lambat (tebu dan cegkeh) dan sangat lambat (kelapa, karet, dan lada). Tabel 4.3.1. Proyeksi Luas Areal dan Produksi Komoditas Perkebunan Utama, Tahun 2010-2014.
Komoditas Kelapa sawit Kelapa Karet Kakao Kopi Cengkeh Tebu Lada Tembakau Teh Panili Jambu mete
Luas Areal Laju Luas 2010-2014 2014 (%/th) (ha) 5.33 9,892,260 0.32 3,857,784 0.30 3,486,548 5.73 2,063,553 -0.84 1,226,631 1.38 496,529 2.39 477,299 0.85 192,699 -0.24 192,083 -2.45 112,821 -0.47 26,749 0.04 1,022
Produksi Laju Produksi 2010-2014 2014 (%/th) (ton) 8.75 33,165,165 0.17 3,289,052 1.74 2,777,600 4.18 995,127 -0.53 669,820 2.70 123,263 4.13 3,167,811 0.57 86,171 -0.22 121,226 -1.11 143,791 -0.33 3,019 0.004 145,106
Keterangan: Data selengkapnya diperlihatkan pada Lampiran 4.3.1.
Untuk produksi, laju pertumbuhan yang cepat dialami oleh kelapa sawit, kakao, dan tebu, sedangkan pertumbuhan lambat terjadi pada cengkeh dan karet, dan pertumbuhan sangat lambat dialami oleh kelapa, lada dan jambu mete. Sementara itu, 4 komoditas diproyeksikan akan mengalami penurunan luas areal dan produksi, yaitu teh, kopi, panili dan tembakau, yaitu sekitar 0.24-2.45% per tahun untuk luas areal dan sekitar 0.22-1.11% per tahun untuk produksi. Luas areal dan produksi komoditas perkebunan pada tahun 2014 diproyeksikan seperti pada Tabel 4.3.1, yaitu sekitar 1,022 ha sampai 9,892,260 ha untuk luas areal dan 3,019 ton samai 33,165,165 ton untuk produksi. Lima komoditas akan tetap mendominasi luas areal, yaitu kelapa sawit, kelapa, karet, kakao dan kopi. 4.3.2. Perdagangan Nilai ekspor komoditas perkebunan utama selama 2010-2014 diproyeksikan sebagian besar akan meningkat dan sebagian kecil menurun (Tabel 4.3.2). Komoditas yang akan meningkat nilai ekspornya adalah yang berasal dari kelapa sawit, karet, kakao, kelapa,
38
lada, jambu mete, tebu, dan cengkeh dengan laju peningkatan yang bervariasi dari 0.9618.54%. Sementara komoditas yang menurun nilai ekspornya adalah yang berasal dari kopi, the, panili dan tembakau dengan laju penurunan yang bervariasi sekitar 0.30-1.52%. Komoditas dengan laju peningkatan nilai ekpor paling cepat adalah yang berasal dari kelapa sawit (18.54%) dan tebu (17.27%). Proyeksi nilai ekspor yang meningkat atau menurun berkorelasi dengan perkembangan produksi pada masa sebelumnya (existing). Secara total, laju peningkatan nilai ekspor diproyeksikan akan meningkat rata-rata 16.71% dan pada tahun 2014 total nilai ekpor akan mencapai sekitar US$83 milyar dengan kontribusi utama dari kelapa sawit, karet dan kakao. Tabel 4.3.2. Proyeksi Nilai Ekspor, Nilai Impor dan Neraca Perdagangan Komoditas Perkebunan Utama, 2010-2014.
Komoditas
Kelapa sawit
Nilai Ekspor Laju Nilai 2010-2014 2014 (%) (US$’000)
Nilai Impor Laju Nilai 2010-2014 2014 (%) (US$’000)
Neraca Nilai 2014 (US$’000)
%
18.54
76,956,702
-6.12
8,331
76,948,371
99.99
Karet
5.24
5,721,958
-1.01
16,892
5,705,066
99.70
Kakao
7.49
3,157,210
-8.11
47,192
3,110,018
98.51
-1.49
697,079
1.78
29,213
667,865
95.81
Kelapa
1.21
482,530
-0.14
146
482,384
99.97
Lada
0.95
155,801
-0.82
1,395
154,406
99.10
Jambu mete
5.61
151,729
-7.92
1,594
150,134
98.95
Teh
-1.52
144,784
6.14
24,343
120,441
83.19
Tebu
17.27
367,360
-4.64
345,000
22,359
6.09
Kopi
Cengkeh
2.40
7,276
-12.10
27
7,250
99.63
Panili
-0.30
4,920
0.76
171
4,749
96.53
Tembakau
-0.34
166,290
0.44
304,762
-138,471
-83.27
Total
16.71
88,013,639
-2.43
779,066
87,234,573
99.11
Total nilai impor komoditas perkebunan selama 2010-2014 diproyeksikan akan menurun 2.43% (Tabel 4.3.2). Komoditas-komoditas yang nilai ekspornya diproyeksikan akan meningkat, nilai impornya diproyeksikan akan menurun dan sebaliknya jika proyeksi nilai ekpornya menurun. Total nilai impor pada tahun 2014 diproyeksikan akan mencapai US$779 juta.
Neraca perdagangan hampir semua komoditas perkebunan, kecuali tembakau, selama 2010-2014 diproyeksikan akan mengalami surplus sebesar 6.09-99.99%, sedangkan tembakau mengalami deficit 83.27%. Total surplus perdagangan pada tahun 2014 diproyeksikan akan mencapai sekitar US$ 87 milyar, atau surplus 99.11%. Surplus terbesar adalah pada kelapa sawit, diikuti karet dan kakao. Ini menunjukkan bahwa mayoritas
39
komoditas perkebunan adalah pencetak devisa negara, sementara tembakau adalah penguras devisa. 4.3.3. Produk Domestik Bruto PDB riil subsector perkebunan pada periode 2010-2014 diproyeksikan aakn meningkat rata-rata 2.75%/tahun. Dengan laju pertumbuhan ini, maka PDB rill diproyeksikan akan meningkat dari Rp 45,887 milyar pada tahun 2009 menjadi Rp 52,641 milyar pada athun 2014. Dengan demikian, maka subsector perkebunan diharapkan akan memberikan kontribusi dalam pembentukan PDB sektor pertanian dan PDB nasional.
60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 0 PDB Kebun
2009 45,887
2010 47,165
2011 48,478
2012 49,827
2013 51,215
2014 52,641
Gambar 4.3.1. Proyeksi PDB Riil Subsektor Perkebunan Indonesia, 20102014 (Rp’ milyar).
4.4.
Komoditas Peternakan
4.4.1. Produksi Daging Untuk prospek jangka pendek, tingkat pertumbuhan awal yang digunakan untuk melakukan proyeksi produksi dan konsumsi adalah pertumbuhan selama periode terakhir (2005-2009). Selain itu, skenario ini mengasumsikan bahwa pertumbuhan produksi daging dan penduduk sejak 2010 menurun 5%/tahun dari rataan pertumbuhan 2005-2009, sehingga pertumbuhan tahun-tahun berikutnya tidak sama. Sedangkan pertumbuhan konsumsi per kapita diasumsikan mengikuti pertumbuhan periode 2005-2009. Hasil proyeksi
40
produksi daging adalah seperti disajikan pada Tabel 4.4.1. Total produksi daging pada tahun 2014 adalah sebesar 2,39 juta ton yang sebagian besar (75,41%) merupakan daging unggas, sementara daging sapi dan kerbau hanya 20,24%, dan daging kambing dan domba 4,35 persen dari total produksi daging. Tabel 4.4.1 Proyeksi Produksi Daging di Indonesia, 2009-2014 (ton) Tahun 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Unggas 1.434.590 1.509.090 1.583.540 1.657.757 1.731.568 1.804.810
Sapi/Kerbau 442.819 451.705 460.316 468.652 476.715 484.507
Kado 74.106 79.876 85.783 91.811 97.939 104.150
Total 1.951.515 2.040.670 2.129.639 2.218.220 2.306.222 2.393.467
Untuk konsumsi, pertumbuhan per kapita diasumsikan masih tetap mengikuti pertumbuhan periode 2005-2009, yaitu berturut-turut 4,30%, 3,01%, dan 8,55% untuk daging unggas, daging sapi dan kerbau serta daging kambing dan domba. Dengan laju pertumbuhan ini, konsumsi untuk semua jenis daging sampai tahun 2014 diproyeksikan akan melampaui proyeksi produksi. Jika rasio antara produksi dengan konsumsi dijadikan indikator swasembada, maka tidak ada satu jenis dagingpun yang mencapai swasembada sampai tahun 2014 (Tabel 4.4.1), terlebih lagi daging sapi yang dicanangkan mencapai swasembada pada tahun 2014. Dengan pertumbuhan yang hanya 2,01%/tahun selama periode 2005-2009 dan cenderung menurun, maka tanpa terobosan yang berarti, swasembada daging sapi tidak akan pernah tercapai. Tabel 4.4.2. Proyeksi Konsumsi dan Tingkat Swasembada Daging di Indonesia, 20092014. Konsumsi Daging (ton) Sapi/ Unggas Kado Kerbau 2009 1.439.522 500.928 74.671 2010 1.518.385 521.868 81.971 2011 1.600.671 543.379 89.934 2012 1.686.520 565.476 98.618 2013 1.776.074 588.173 108.086 2014 1.869.485 611.488 118.406 *) = (Produksi/Konsumsi)*100% Tahun
Total 2.015.121 2.122.223 2.233.984 2.350.613 2.472.333 2.599.379
41
Tingkat Swasembada (%)* Sapi/ Unggas Kado Total Kerbau 99,66 88,40 99,24 96,84 99,39 86,56 97,44 96,16 98,93 84,71 95,38 95,33 98,29 82,88 93,10 94,37 97,49 81,05 90,61 93,28 96,54 79,23 87,96 92,08
Susu dan Telur Populasi sapi perah diproyeksikan akan meningkat dari 498.6 ribu ekor pada 2011 menjadi 507 ribu ekor pada tahun 2014. Sementara itu, produksi susu sapi diproyeksikan meningkat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan populasi sapi perah, yaitu dari 961.48 ribu ton pada tahun 2011 naik menjadi 1059.19 ribu ton pada tahun 2014. Hal ini mengimplikasikan produktifitas sapi perah diproyeksikan juga akan meningkat dari 1.87 ton/ekor naik menjadi 2.09 ton/ekor (Tabel 4.4.3.). Tabel 4.4.3. Proyeksi Populasi Sapi Perah dan Ayam Petelur serta Produksi Susu dan Telur di Indonesia, 2010-2014. Susu Tahun
Populasi Sapi Perah (‘000 ekor)
Produksi Susu (‘000 ton)
Telur Produktifitas (ton/ekor)
Populasi Ayam Petelur (juta ekor)
Produksi Telur (‘000 ton)
Produktifitas (kg/ekor)
2010
495.23
927.80
1.87
116.18
959.00
8.25
2011
498.60
961.48
1.93
121.32
1021.94
8.42
2012
501.82
994.64
1.98
126.42
1085.34
8.59
2013
504.90
1027.22
2.03
131.46
1149.30
8.74
2014
507.84
1059.19
2.09
136.44
1213.65
8.90
Sementara itu, populasi ayam petelur diproyeksikan akan meningkat dari 121.32 juta ekor pada 2011 menjadi 136.44 juta ekor pada 2014, dan produksi telur diproyeksikan akan meningkat lebih tinggi lagi dibandingkan dengan populasi ayam petelur, yaitu dari 1021.94 ribu ton pada 2011 naik menjadi 1213.65 ribu ton pada 2014. Hal ini mengimplikasikan bahwa produktifitas ayam petelur meningkat dengan laju pertumbuhan yang relatif besar, yaitu dari 8.42 kg/ekor pada 2011 naik menjadi 8.9 kg/ekor pada 2014 (Tabel 4.4.3). 4.4.2. Produk Domestik Bruto PDB sub sektor peternakan diproyeksikan akan meningkat dari Rp 108.56 triliun pada 2011 menjadi Rp 128.69 triliun pada 2014 (Gambar 4.4.1). Agar hal ini tercapai maka pemerintah harus selalu berupaya menjaga kestabilan harga input dan harga output peternakan sehingga hal ini dapat memacu peternak untuk meningkatkan skala produksinya. Hal ini menjadi penting karena sebagian besar permintaan produk peternakan dipenuhi oleh produk impor yang pada gilirannya akan menguras devisa negara.
42
140 120 100 80 60 40 20 0 PDB Ternak
2010 108.56
2011 113.28
2012 118.20
2013 123.34
2014 128.69
Gambar 4.4.1. Proyeksi PDB Riil Sektor Peternakan, 2010-2014 (Rp triliun).
4.5.
Investasi Pertanian Berdasar data realisasi PMA dan PMDN pertanian untuk empat subsektor, dilakukan
proyeksi jangka pendek untuk periode 2011-2014 dengan menggunakan dasar laju pertumbuhan tahun 2000-2010 yang dikoreksi dengan tingkat penurunan sebesar 5% setiap tahun. PMA dalam jangka pendek diproyeksikan meningkat untuk subsector perkebunan sebesar 31,2%/tahun dan subsector tanaman pangan 11,1%/tahun. Sementara itu, untuk subsektor peternakan dan hortikultura kemungkinan akan turun masing-masing dengan laju rata-rata 3,2% dan 4,0% per tahun (Tabel 4.5.1). Dalam jangka pendek, moratorium lahan tidak menunjukkan pengaruh pada laju peningkatan investasi pada subsektor tanaman perkebunan.
Tabel 4.5.1. Proyeksi Jangka Pendek Nilai PMA menurut Subsektor, 2010-2014 (US$ juta). Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 Laju (%/tahun)
T. Pangan 14,5 16,2 18,0 19,9 21,9
Hortikultura 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
Perkebunan 736,4 929,9 1.162,1 1.437,7 1.761,5
Peternakan 4,7 5,1 5,4 5,8 6,1
11,1
-4,0
31,2
-3,2
43
Nilai PMDN dalam jangka pendek diproyeksikan akan meningkat untuk semua subsektor (Tabel 4.5.2) dan menurut laju pertumbuhan tertinggi secara berturut-turut adalah subsector perkebunan (59,8%/tahun), subsector peternakan (18,0%tahun), subsektor tanaman pangan (16,7%/tahun) dan subsector hortikultura (3,0%/tahun). Hal ini juga menunjukkan bahwa susbsektor perkebunan lebih diminati para investor, terutama untuk perkebunan tanaman penghasil minyak (Oleaginous) yaitu kelapa sawit. Apabila dalam PMA subsektor peternakan cenderung tumbuh menurun, maka dalam PMDN realisasi dan jumlah proyeknya cenderung meningkat. Hal ini sejalan dengan salah satu program pemerintah yang saat ini sedang berlangsung, yaitu Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014.
Tabel 4.5.2. Proyeksi Jangka Pendek Nilai PMDN menurut Subsektor, 20002010 (Rp Milyar). Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 Laju (%/tahun)
T. Pangan 276,8 230,8 194,3 165,1 141,6 16,7
Hortikultura 16,2 0,0 0,0 0,0 0,0 3,0
Perkebunan 8.612,6 16.279,3 30.046,3 54.185,2 95.540,4
Peternakan 174,2 170,8 167,6 164,6 161,8
59,8
18,0
Berdasarkan kelompok bidang lapangan industri, baik untuk PMA maupun PMDN menunjukkan kesamaan bahwa bidang pada subsektor tanaman yang banyak diminati adalah tanaman serealia selain padi, kacang-kacangan dan biji-bijian penghasil minyak. Untuk subsektor perkebunan adalah perkebunan tebu, tanaman semusim, tanaman penghasil minyak,
tanaman
bahan minuman,
tanaman rempah-rempah,
tanaman
aromatik/penyegar, narkotika dan obat serta tanaman tahunan lainnya. Investasi pada subsektor peternakan meliputi usahaternak sapi, kerbau dan ternak lainnya.
44
V. PROSPEK JANGKA PANJANG (2014-2025)
5.1.
Komoditas Pangan
5.1.1. Produksi Tabel 5.1.1. Proyeksi Jangka Panjang Komoditas Tanaman Pangan, 2014-2025 (ton) Tahun
Beras
Jagung
Kedele
K.Tanah
Ubi Jalar
Ubi Kayu
2014
80,710,289
28,173,837
1,031,459
290,425
800,932
2,126,758
2015
82,795,298
30,120,973
1,048,599
290,115
806,307
2,145,609
2016
84,934,170
32,202,678
1,066,024
289,804
811,717
2,164,627
2017
87,128,296
34,428,252
1,083,738
289,494
817,164
2,183,814
2018
89,379,104
36,807,639
1,101,747
289,185
822,648
2,203,171
2019
91,688,057
39,351,470
1,120,055
288,875
828,168
2,222,700
2020
93,938,228
41,935,126
1,137,737
288,575
833,575
2,241,869
2021
96,243,622
44,688,414
1,155,698
288,274
839,017
2,261,203
2022
98,605,594
47,622,472
1,173,942
287,974
844,495
2,280,705
2023
101,025,532
50,749,168
1,192,475
287,674
850,009
2,300,374
2024
103,504,859
54,081,151
1,211,300
287,375
855,559
2,320,213
106,045,033
57,631,897
1,230,422
287,076
861,145
2,340,223
2025 Laju (%/th) 2014-2019 2019-2025
45
5.2.
Komoditas Hortikultura
5.2.1. Status Komoditas Hortikultura Pertumbuhan hortikultura kedepan dinilai mempunyai prospek yang sangat baik. Optimisme tersebut didasarkan kepada adanya potensi yang belum didayagunakan baik sumberdaya alam, genetic dan potensi pasar. Potensi pengembangan hortikultura sangat besar mencakup keanekaragaman varietas dan kondisi tanah agroklimat sangat kondusif bagi untuk kegiatan produksi berbagai jenis buah-buahan, sayuran, tanaman hias dan tanaman biofarmaka. Potensi tersebut belum didayagunakan secara optimal. Semantara itu, membaiknya kondisi perekonomian di dalam negeri dan internasional akan menumbuhkan permintaan terhadap produk hortikultura yang beragam. Kualitas hidup penduduk Indonesia tahun 2025 akan meningkat dibandingkan tahun 2010. Hal ini diikuti dengan perubahan gaya hidup dan pola konsumsi. Preferensi konsumsi penduduk akan mengarah pada pola makan sehat dengan mengurangi konsumsi karbohidrat dan memperbanyak konsumsi produk hortikultura untuk pemenuhan serat, vitamin, mineral dan penyegar stamina tubuh. Selain itu perubahan gaya hidup pun akan terjadi yang diindikasikan dengan peningkatan kebutuhan tanaman hias, khususnya untuk keindahan lingkungan sekitar. Peningkatan permintaan tersebut mendorong berkembangnya kegiatan produksi yang diikuti dengan tumbuhnya sektor pendukung di tingkat hulu dan hilir. Potensi Komoditas hortikultura mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, sehingga usaha hortikultura dapat menjadi sumber pendapatan masyarakat petani dan pelaku usaha lainnya, baik skala mikro, kecil, menengah maupun besar. Usaha hortikultura mempunyai keunggulan karena mempunyai nilai ekonomi tinggi, jenisnya sangat beragam, ketersediaan sumber daya (alam, buatan dan manusia) dan teknologi pendukung, serta potensi pasar di dalam dan di luar negeri yang terus meningkat. Dalam tahun 2025 diprediksi agribisnis hortikultura akan berada pada tahap maju, sehingga sub sektor hortikultura akan mempunyai peran dalam ekonomi nasional, baik dalam pendapatan nasional (PDB), sumber lapangan kerja dan pendapatan masyarakat, maupun devisa. Permintaan domestik akan produk hortikultura akan meningkat cukup besar yang didasarkan pada beberapa asumsi sebagai berikut: (1) Jumlah penduduk tahun 2025 akan bertambah menjadi 285 juta jiwa; dan (2) Konsumsi produk hortikultura akan meningkat tajam sejalan dengan kondisi ekonomi Indonesia pada tahun 2025 yang akan berada pada level ekonomi sedang-menengah dengan pendapatan masyarakat Indonesia US$ 13 ribu per kapita. Proyeksi membaiknya kondisi perekonomian nasional pada tahun 2025 akan berdampak positif bagi pembangunan subsektor hortikultura di dalam negeri. Perbaikan
46
kondisi ekonomi tahun 2025 yang dipicu oleh perubahan mendasar kebijakan akan berdampak positif terhadap perbaikan iklim usaha hortikultura. Investasi hortikultura diperkirakan akan berkembang di semua lini di dalam sistem agribisnis. Di sisi lain, permintaan pasar internasional juga akan meningkat sejalan dengan membaiknya kondisi ekonomi di berbagai negara. Hal ini berdampak terhadap peningkatan peluang ekspor yang potensial sebagai penerimaan devisa negara. Akumulasi permintaan pasar domestik dan internasional perlu diantisipasi dengan peningkatan kegiatan di sektor produksi. Sejalan dengan hal tersebut, sektor-sektor pendukung juga akan tumbuh mengikuti intensitas kegiatan sektor produksi. Pada akhirnya terbangun jaringan kerja ekonomi yang bersifat lintas sektoral yang secara agregat berpengaruh terhadap pertumbuhan perekonomian nasional. 5.2.2. Luas panen, produksi dan produktivitas Berdasarkan perkiraan optimis terhadap dinamika nasional dan global, produksi hortikultura pada tahun 2025 akan meningkat menjadi 39.5 juta ton atau peningkatan sebasar 227% dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2000 akan meningkat rata-rata 3.18%/tahun. Pertumbuhan tertinggi diproyeksikan akan terjadi pada tanaman hias dengan laju 7,19%/tahun dan tanaman obat 6.38%/tahun. Sementara produksi buah meningkat 3.59%/tahun dan sayuran 2.27%/tahun (Tabel 5.2.1). Tabel 5.2.1. Proyeksi Laju Pertumbuhan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Komoditas Hortikultura, Tahun 2000-2025 (%/tahun) Komoditas` Buah Sayur Tanaman Obat Tanaman Hias Total
Luas panen 1.65 2.17 5.04 2.99 1.98
Produksi 3.59 2.27 6.38 7.19 3.18
Produktivitas 1.99 0.10 1.43 2.78 0.71
Pada tahun 2025, produksi buah diproyeksikan akan mencapai 23.8 juta ton (naik 119.4% dibanding tahun 2010), produksi sayuran 14.16 juta ton (naik 135.5% dibanding tahun 2010), produksi tanaman obat 0.92 juta ton (naik 203.8% dibanding tahun 2010, dan produksi tanaman hias 39.55 juta ton (naik 126.8% dibanding tahun 2010). Kenaikan produksi hortikultura terjadi karena peningkatan luas area panen dan peningkatan produktivitas. Secara keseluruhan luas panen hortikultura pada tahun 20002025 akan meningkat dengan laju 1.98%/tahun. Pertumbuhan luas panen lebih cepat terjadi pada tanaman obat 5.04%/tahun, disusul Tanaman hias sebesar 2.99%/tahun, sayuran 2.17%/tahun dan buah 1.65%/tahun. Pada tahun 2025 luas tanaman buah diproyeksikan
47
seluas 23.8 juta ha; sayuran 14.16 juta ha, tanaman obat 0,94 juta ha dan tanaman hias 0.64 juta hektar. Produktifitas hortikultura tahun 2000-2025 akan meningkat dengan laju 0,71%/tahun. Laju kenaikan produktifitas paling tinggi terjadi pada tanaman hias yaitu 2.78%/tahun sejalan dengan penerapan inovasi teknologi yang cepat. Kenaikan produktifitas juga terjadi pada tanaman buah sebesar 1.99%/thun, tanaman obat 1.43%/tahun dan sayuran 0,1%/tahun. Kenaikan produksi hortikultura berarti pula kenaikan ketersediaan produk hortikultura di masyarakat, sehingga konsumsi per kapita masyarakat Indonesia akan produk hortikultura akan mengalami peningkatan. Dalam tahun 2010 – 2025 konsumsi buah dan sayuran akan meningkat masing masing dari 32,6 kg/kapita/tahun dan 40,7 kg/kapita/tahun menjadi masing-masing sebesar 75 kg/kapita/tahun atau meningkat sebesar 130% untuk buah dan
84,3% untuk sayuran. Dengan kondisi demikian maka konsumsi buah dan
sayuran pada tahun 2025 akan memenuhi standar minimal FAO sebesar 73 kg/kapita/tahun. 5.2.3. Produk Domestik Bruto PDB pada hortikultura tahun 2025 diproyeksikan sebesar 142.46 trilyun rupiah atau peningkatan sebesar 156% dibandingkan tahun 2000 dengan laju peningkatan sebesar 4.90%/tahun (Tabel 5.2.2). Besarnya nilai PDB pada tahun 2025 tersebut merupakan 356% dibandingkan PDB tahun 2000 atau peningkatan 159% dibandingkan PDB tahun 2010. Kelompok komoditas buah akan memberikan kontribusi PDB hortikultura terbesar yaitu 56.7%, disusul kelompok sayuran 34.0%, kelompok tanaman hias 7,8% dan kelompok tanaman obat 1,2%. Tabel 5.2.2. Proyeksi PDB Riil Subsektor Hortikultura, Tahun 2000-2025 (Rp’milyar) Tahun 2000 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 Laju (%/th)
Buah 22,864.84 60,845.47 62,742.07 64,745.79 66,749.51 68,753.23 70,756.95 72,760.67 74,764.39 76,768.11 78,771.84 80,775.56 4.87
Sayur 14,005.97 37,278.56 38,231.72 39,452.68 40,673.64 41,894.60 43,115.57 43,630.74 44,832.26 46,033.79 47,235.32 48,436.84 4.78
T. Obat 396.65 1,285.46 1,383.20 1,427.37 1,471.55 1,515.72 1,559.89 1,860.72 1,911.96 1,963.20 2,014.44 2,065.68 6.26
48
T. Hias 2,710.73 7,712.81 8,299.22 8,564.26 8,829.30 9,094.34 9,359.39 1,0073.57 1,0350.98 1,0628.39 10,905.80 11,183.21 5.45
Total 39,978.2 107,122.3 110,656.2 114,190.1 117,724.0 121,257.9 124,791.8 128,325.7 131,859.6 135,393.5 138,927.4 142,461.3 4.90
Dilihat dari laju pertumbuhan masing-masing kelompok komoditas, dalam jangka panjang sampai dengan tahun 2025 pertumbuhan PDB terbesar terjadi pada kelompok komoditas tanaman obat yaitu 6kelompok sayuran 4.78%/tahun. 5.2.4. Perdagangan Dengan peningkatan produksi juga dimungkinkan terjadinya peningkatan ekspor. Dirjen Hortikultura memproyeksikan dalam tahun 2010-2025 ekspor produk hortikultura meningkat dari US$ 297,1 juta menjadi US $ 970 juta atau peningkatan 226,5%. Sementara Impor produk hortikultura dapat ditekan, sehingga pada tahun 2025 Indonesia mencapai surplus perdagangan produk hortikultura. Peningkatan ekspor terutama didorong oleh ekspor produk tanaman hias dan tanaman obat. Pada tahun 2025, Indonesia diperkirakan akan menempati posisi kelima terbesar pemasok bunga potong di wilayah Asia setelah Jepang, China, India dan Korea Selatan. Sementara itu, pada tahun 2025 produksi tanaman obat diperkirakan akan mencapai 0.942 juta ton dengan luas areal 41,9 ribu ha, yang juga akan berkontribusi dalam perdagangan hortikultura dunia. 5.2.5. Penyerapan Tenaga Kerja Peran SDM pelaku usaha akan sangat menentukan keberhasilan pembangunan hortikultura kedepan. Pengusaha/pelaku usaha pada komoditas hortikultura tersebut adalah pelaku produksi/petani, pelaku pemasaran (pedagang, pengepul, supplier, pengecer/ retailer, dll), pelaku usaha pengolahan produk hortikultura, pelaku penyedia sarana produksi untuk komoditas hortikultura (penangkar benih, penjual pupuk, dll.), dan lain sebagainya. Disamping
itu, peran dari petugas lapang/pembina, pakar dan pemerintah juga makin
penting. Pertumbuhan usaha agribisnis hortikultura akan menciptakan peluang lapangan kerja baru dari masyarakat. Pada tahun 2025 kegiatan on farm hortikultura akan menyerap tenaga kerja sebesar 6.4 juta jiwa. Penyerapan tenaga kerja terbesar adalah usaha sayuran (68.54%) menyusul usaha buah (30.84%), tanaman obat sebasar 0.53% dan tanaman hias 0,09% (Tabel 5.2.3). Apabila diperhitungkan usaha agribisnis secara keseluruhan, dengan asumsi pertumbuhan penyerapan lapangan kerja yang sama, maka pada tahun 2025 agribisnis hortikultura diproyeksikan akan menyerap tenaga kerja sebesar 19.7 juta jiwa atau 170% dibandingkan penyerapan tenaga kerja pada tahun 2014.
49
Tabel 5.2.3. Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja Subsektor Hortikultura, Tahun 2000-2025 (000 orang). Tahun 2000 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 Laju (%/tahun)
5.3.
Buah 351.18 1,261.99 1,326.86 1,391.73 1,456.61 1,521.48 1,586.35 1,651.22 1,716.11 1,780.97 1,845.84 1,910.72 1,975.59 6.52
Sayur 2,051.57 3,322.17 3419.26 3,516.35 3,613.44 3,710.53 3,807.62 3,904.71 4,001.81 4,098.89 4,195.98 4,293.08 4,390.17 2.92
T. Obat 5.87 29.03 29.57 30.08 30.56 31.02 31.45 31.86 32.25 32.62 32.98 33.32 33.65 5.85
T. Hias 1.49 3.75 3.93 4.11 4.29 4.47 4.65 4.83 5.02 5.21 5.38 5.56 5.74 4.96
Total 2,410.11 4,616.93 4,779.61 4,942.27 5,104.89 5,267.49 5,430.07 5,592.62 5,755.16 5,917.68 6,080.18 6,242.67 6,405.14 3.77
Komoditas Perkebunan
5.3.1. Luas Areal dan Produksi Dalam jangka panjang (2014-2025), sebagian besar komoditas perkebunan diproyeksikan masih akan mengalami pertumbuhan luas areal dan produksi selama dengan laju pertumbuhan luas areal sekitar 0.04-10.74% dan laju pertumbuhan produksi sekitar 0.002-9.05% selama 11 tahun (Tabel 5.3.1). Kapas, kakao dan kelapa sawit masih akan mengalami pertumbuhan luas areal areal yang cepat, sementara kopi, teh, tembakau dan panili akan mengalami penurunan luas areal. Untuk produksi, laju pertumbuhan yang cepat dialami oleh kelapa sawit dan kapas, sedangkan kopi, teh, tembakau dan panili akan mengalami penurunan luas areal. Luas areal dan produksi komoditas perkebunan pada tahun 2025 diproyeksikan sekitar 1,026 ha sampai 17,155,619 ha untuk luas areal dan 2,916 ton sampai 61,198,230 ton untuk produksi. Lima komoditas akan tetap mendominasi luas areal, yaitu kelapa sawit, kelapa, kakao, karet, dan kopi. Dalam jangka panjang, komoditas perkebunan akan dihadapkan pada persaingan dengan sesama komoditas perkebunan di dalam negeri dan komoditas perkebunan negara lain di pasar dunia. Komoditas kelapa sawit, karet dan kakao masih akan tetap menjadi komoditas andalan, baik di dalam negeri maupun di pasar global. Pesaing utama Indonesia untuk kelapa sawit, yaitu Malaysia sudah ditundukkan oleh Indonesia dari segi kuantitas
50
produksi karena unggul dalam ketersediaan lahan dan tenaga kerja. Demikian pula, untuk karet, Indonesia sudah mengalahkan Malaysia dan akan mengalahkan Thailand yang saat ini masih merupakan produsen utama. Untuk kakao, pasar masih bagus dan masalahnya tinggal mengatasi hama penggerek buah kakao (PBK). Tabel 5.3.1. Proyeksi Luas Areal dan Produksi Komoditas Perkebunan, 2014-2025.
Komoditas Kelapa sawit Kelapa Kakao Karet Kopi Tebu Cengkeh Lada Tembakau Teh Kapas Panili Jambu mete
Luas Areal Laju Luas 2014-2025 2025 (%/tahun) (ha) 5.01 17,155,619 0.31 3,992,029 5.37 3,723,523 0.29 3,598,649 -0.81 1,122,411 2.28 613,052 1.32 574,095 0.81 210,736 -0.23 187,312 -2.38 86,797 10.74 75,970 -0.45 25,453 0.04 1,026
Produksi Laju Produksi 2014-2025 2025 (%/tahun) (ton) 5.49 61,198,230 0.20 3,360,121 3.85 1,520,743 0.83 3,052,245 -0.54 631,333 2.59 4,229,695 1.63 147,942 0.56 91,658 -0.18 118,836 -1.41 123,317 9.05 16,192 -0.32 2,916 0.02 145,383
5.3.2. Perdagangan Nilai ekspor komoditas perkebunan utama selama 2014-2025 diproyeksikan sebagian besar akan meningkat dan sebagian kecil menurun (Tabel 5.3.2). Komoditas yang akan meningkat nilai ekspornya adalah yang berasal dari kelapa sawit, karet, kakao, kelapa, lada, tebu (produk sampingan), jambu mete, dan cengkeh dengan laju peningkatan yang bervariasi dari 0.26-261.76% selama 11 tahun. Sementara komoditas yang menurun nilai ekspornya adalah yang berasal dari kopi, teh, panili dan tembakau dengan laju penurunan yang bervariasi sekitar 3.14-19.46% selama 11 tahun. Komoditas dengan laju peningkatan nilai ekpor paling cepat adalah yang berasal dari kelapa sawit (261.76%) dan tebu (226.15%). Proyeksi nilai ekspor yang meningkat atau menurun berkorelasi dengan proyeksi produksi. Secara total, laju peningkatan nilai ekspor diproyeksikan akan meningkat 213,29% selama 11 tahun dan pada tahun 2025 total nilai ekpor akan mencapai sekitar US$ 112.5 milyar dengan kontribusi utama dari kelapa sawit, karet dan kakao.
51
Total nilai impor komoditas perkebunan selama 2014-2025 diproyeksikan akan menurun rata-rata 15.91% (Tabel 5.3.2). Komoditas-komoditas yang nilai ekspornya diproyeksikan akan meningkat, nilai impornya diproyeksikan akan menurun dan sebaliknya jika proyeksi nilai ekpornya menurun. Total nilai impor pada tahun 2025 diproyeksikan akan mencapai US$768 juta. Tabel 5.3.2. Proyeksi Nilai Ekspor, Nilai Impor dan Neraca Perdagangan Komoditas Perkebunan Indonesia, 2014-2025 Ekspor
Impor
Laju 2014-2025 (%/th)
Nilai 2025 (US$'000)
261.76
100,320,840
Karet
33.15
Kakao
115.29
Kopi
Komoditas
Kelapa sawit
Laju 2014-2025 (%/th)
Neraca
Nilai 2025 (US$'000)
Nilai 2025 (US$’000)
%
-37.20
7,640
100,313,200
99.99
5,608,291
-5.52
16,964
5,591,327
99.70
4,406,946
-59.39
31,750
4,375,196
99.28
-15.92
641,402
22.52
32,202
609,200
94.98
16.50
523,066
-1.72
144
522,922
99.97
Lada
10.96
163,390
-8.67
1,338
162,052
99.18
Tebu
226.15
460,630
-29.19
324,983
135,647
29.45
Teh
-19.46
127,802
130.28
39,197
88,605
69.33
0.26
82,893
-0.37
3,980
78,913
95.20
Cengkeh
18.17
7,456
-59.02
24
7,433
99.68
Panili
-3.20
4,849
8.57
177
4,672
96.35
Tembakau
-3.14
164,354
4.27
309,485
-145,131
-88.30
213.29
112,511,920
-15.91
767,885
111,744,036
99.32
Kelapa
Jambu mete
Total
Neraca perdagangan hampir semua komoditas perkebunan, kecuali tembakau, selama 2014-2025 diproyeksikan akan mengalami surplus sebesar 29.45-99.99%, sedangkan tembakau mengalami deficit 88.30%. Total surplus perdagangan pada tahun 2025 diproyeksikan akan mencapai sekitar US$ 111.7 milyar, atau surplus 99.32%. Surplus terbesar adalah pada kelapa sawit, diikuti karet dan kakao. Ini menunjukkan bahwa mayoritas komoditas perkebunan adalah pencetak devisa negara, dan hanya tembakau yang menjadi komoditas penguras devisa.
5.3.3. Produk Domestik Produk PDB riil subsektor perkebunan selama 2014-2025 diproyeksikan akan meningkat rata-rata 1.85%/tahun, sejalan dengan proyeksi produksi perkebunan untuk periode yang sama. Sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 5.3.1, PDB riil sektor perkebunan akan meningkat dari Rp 52,641 milyar pada tahun 2014 menjadi Rp 64,709 milyar pada tahun
52
2025. Dengan demikian, maka subsector perkebunan diharapkan akan memberikan kontribusi dalam pembentukan PDB sektor pertanian dan PDB nasional.
70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 0
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 PDB Kebun 52,64 53,25 53,88 54,51 55,15 55,80 56,46 58,02 59,62 61,27 62,96 64,70
Gambar 5.3.1. Proyeksi PDB Riil Subsektor Perkebunan Indonesia, 2014-2025 (Rp’ milyar)
5.4. Komoditas Peternakan 5.4.1. Produksi Daging Hasil proyeksi produksi daging tahun 2014-2025 adalah seperti disajikan pada Tabel 5.4.1. Total produksi daging pada tahun 2015 adalah sebesar 2,48 juta ton, yang terdiri dari 75,71% daging unggas, 25,05% daging sapi dan kerbau, dan 17,38% daging kambing dan domba (kado). Pada tahun 2025, total produksi daging diproyeksikan sebesar 3,26 juta ton. Kontribusi daging unggas tetap mendominasi produksi daging, bahkan meningkat menjadi 77,75%. Sementara itu, kontribusi daging sapi dan kerbau serta daging kado terhadap total produksi daging pada tahun 2025 diproyeksikan masing-masing 17,28% dan 18,93%. Untuk konsumsi, pertumbuhannya melampaui proyeksi pertumbuhan produksi, sehingga tingkat swasembada makin rendah. Dengan menggunakan rasio produksi terhadap konsumsi sebagai indikator swasembada, maka tingkat swasembada daging pada tahun 2015 dan 2025 masing-masing adalah 90.77% dan turun menjadi 73.68%. Penurunan tingkat swasembada diproyeksikan terjadi pada daging unggas, daging sapi dan kerbau, serta daging kambing dan domba (Tabel 5.4.2).
53
Tabel 5.4.1. Proyeksi Produksi Daging Di Indonesia, 2010-2025 (ton). Tahun
Unggas
Sapi/Kerbau
Kado
Total
2015
1.877.333
492.030
110.424
2.479.787
2016
1.948.999
499.288
116.744
2.565.030
2017
2.019.680
506.284
123.091
2.649.055
2018
2.089.262
513.024
129.449
2.731.735
2019
2.157.643
519.512
135.801
2.812.956
2020
2.224.731
525.754
142.131
2.892.616
2021
2.290.446
531.755
148.425
2.970.626
2022
2.354.719
537.521
154.669
3.046.909
2023
2.417.492
543.058
160.851
3.121.401
2024
2.478.716
548.372
166.958
3.194.047
2025
2.538.352
553.470
172.980
3.264.803
Seperti halnya dalam prospek jangka pendek, dalam prospek jangka panjangpun tanpa terobosan yang berarti dalam pembangunan sub sektor peternakan swasembada daging makin tidak tercapai. Dengan asumsi pertumbuhan produksi ternak dan penduduk yang makin menurun dan pertumbuhan konsumsi per kapita tetap, maka senjang antara produksi dengan konsumsi daging sampai tahun 2025 makin lebar, sehingga indikator tingkat swasembada makin rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa di masa mendatang impor daging akan makin meningkat. Tabel 5.4.2. Proyeksi konsumsi dan tingkat swasembada daging di Indonesia, 2010-2025 Total Konsumsi Daging (ton) Tahun Unggas
Sapi/ Kerbau
Kado
Tingkat Swasembada Daging (%) Total
Unggas
Sapi/ Kerbau
Kado
Total
2014
1.869.485
611.488
118.406
2.599.379
96,54
79,23
87,96
92,08
2015
1.966.909
635.437
129.652
2.731.998
95,45
77,43
85,17
90,77
2016
2.068.512
660.036
141.905
2.870.453
94,22
75,65
82,27
89,36
2017
2.174.466
685.306
155.251
3.015.023
92,88
73,88
79,29
87,86
2018
2.284.951
711.263
169.786
3.166.001
91,44
72,13
76,24
86,28
2019
2.400.155
737.929
185.613
3.323.697
89,90
70,40
73,16
84,63
2020
2.520.274
765.323
202.844
3.488.441
88,27
68,70
70,07
82,92
2021
2.645.514
793.467
221.599
3.660.580
86,58
67,02
66,98
81,15
2022
2.776.090
822.383
242.010
3.840.483
84,82
65,36
63,91
79,34
2023
2.912.224
852.094
264.222
4.028.540
83,01
63,73
60,88
77,48
2024
3.054.152
882.622
288.389
4.225.163
81,16
62,13
57,89
75,60
2025
3.202.118
913.994
314.680
4.430.791
79,27
60,56
54,97
73,68
Untuk mengurangi ketergantungan pada impor daging (terutama daging sapi), beberapa alternatif kebijakan yang dibutuhkan antara lain adalah: (1) Meningkatkan skala
54
pemeliharaan ternak melalui program pembibitan sapi; (2) Memberikan bantuan kredit sapi bakalan kepada petani/peternak; (3) Memperbaiki menejemen pemeliharaan sapi melalui sekolah lapang peternakan sapi; dan (4) Menyediakan kredit lunak untuk sub sektor peternakan, agar petani/peternak mampu membeli sapi bakalan dan menerapkan teknologi pemeliharaan sapi, sesuai dengan teknologi yang diperoleh melalui sekolah lapang. Susu dan Telur Populasi sapi perah diproyeksikan akan tumbuh relatif lambat selama 2011-2025 yaitu 0.47% per tahun. Dengan laju pertumbuhan tersebut, maka populasi sapi perah diproyeksikan akan meningkat pada tahun 2011 menjadi 498.6 ribu ekor, lalu meningkat lagi pada tahun 2020 menjadi 522.90 ribu ekor dan kemudian menjadi 532.63 ribu ekor pada tahun 2025 (Tabel 5.4.3). Tabel 5.4.3. Proyeksi Populasi Sapi Perah dan Ayam Petelur serta Produksi Susu dan Telur di Indonesia, 2011-2025.
Tahun
Populasi Sapi Perah (‘000 ekor)
2011
498.60
2012 2013
Susu Produksi Susu Sapi (‘000 ton)
Produktifitas (ton/ekor)
Populasi Ayam Petelur (juta ekor)
Telur Produksi Telur (‘000 ton)
Produktifitas (kg/ekor)
961.48
1.93
121.32
1021.94
8.42
501.82
994.64
1.98
126.42
1085.34
8.59
504.90
1027.22
2.03
131.46
1149.30
8.74
2014
507.84
1059.19
2.09
136.44
1213.65
8.90
2015
510.66
1090.51
2.14
141.35
1278.20
9.04
2016
513.34
1121.14
2.18
146.19
1342.78
9.19
2017
515.91
1151.05
2.23
150.94
1407.24
9.32
2018
518.36
1180.23
2.28
155.60
1471.41
9.46
2019
520.70
1208.66
2.32
160.16
1535.15
9.59
2020
522.93
1236.31
2.36
164.62
1598.33
9.71
2021
525.06
1263.18
2.41
168.98
1660.82
9.83
2022
527.09
1289.26
2.45
173.23
1722.51
9.94
2023
529.03
1314.55
2.48
177.36
1783.29
10.05
2024
530.87
1339.04
2.52
181.39
1843.07
10.16
2025 Laju (%/tahun)
532.63
1362.75
2.56
185.30
1901.76
10.26
0.47
2.45
1.99
2.96
4.31
1.39
Sejalan dengan proyeksi populasi sapi perah tesebut, produksi susu sapi diproyeksikan akan tumbuh relatif cepat selama 2011-2025 yaitu 2.45% per tahun. Dengan laju pertumbuhan produksi susu sapi tersebut, maka produksi susu sapi diproyeksikan akan meningkat pada tahun 2011 menjadi 961.48 ribu ton, lalu meningkat lagi pada tahun 2020 menjadi 1236.31 ribu ton
dan kemudian menjadi 1362.75 ribu ton pada tahun 2025.
55
Langkah ke depan yang perlu dilakukan antara lain adalah meningkatkan upaya mencegahan penyakit berbahaya bagi ternak sapi perah dan memberikan bantuan kredit kepada peternak rakyat guna pengembangan usaha. Populasi ayam petelur diproyeksikan akan tumbuh relatif cepat selama 2011-2025 yaitu 2.96% per tahun. Dengan laju pertumbuhan populasi ayam petelur tersebut, maka populasi ayam petelur diproyeksikan akan meningkat pada tahun 2011 menjadi 121.32 juta ekor, lalu meningkat lagi pada tahun 2020 menjadi 164.62 juta ekor dan kemudian menjadi 185.3 juta ekor pada tahun 2025 (Tabel 5.4.3). Produksi telur diproyeksikan akan tumbuh sedikit lebih cepat dibandingkan dengan populasi ayam petelur selama 2011-2025 yaitu 4.31% per tahun. Dengan laju pertumbuhan produksi telur tersebut, maka produksi telur diproyeksikan akan meningkat pada tahun 2011 menjadi 1021.94 ribu ton, lalu meningkat lagi pada tahun 2020 menjadi 1598.33 ribu ton dan kemudian menjadi 1901.76 ribu ton pada tahun 2025. 5.4.2. Produk Domestik Bruto PDB sub sektor peternakan diproyeksikan akan tumbuh relatif cepat selama 20112025 yaitu 4.22% per tahun. Dengan laju pertumbuhan PDB sub sektor peternakan tersebut, maka PDB sub sektor peternakan diproyeksikan akan meningkat pada tahun 2011 menjadi Rp 108.56 triliun, lalu meningkat lagi pada tahun 2020 menjadi Rp 166.11 triliun dan kemudian menjadi Rp. 205.47 triliun pada tahun 2025 (Gambar 5.4.1).
250 200 150 100 50 0
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 PDB Ternak 128. 134. 140. 146. 152. 159. 166. 173. 180. 188. 196. 205.
Gambar 5.4.1. Proyeksi PDB Riil Subsektor Peternakan, 2010-2025 (Rp’ triliun)
56
5.5.
Investasi Pertanian Hasil proyeksi jangka panjang (2011-2025) investasi pada empat subsektor
pertanian menunjukkan bahwa PMA akan mengalami peningkatan pada empat subsektor dengan rata-rata laju pertumbuhan 11.1%/tahun untuk subsektor tanaman pangan, 0.6%/tahun untuk subsector hortikultura, 25.5%/tahun untuk subsector perkebunan, dan 0.2%/tahun untuk subsector peternakan (Tabel 5.5.1). Sementara PMDN dalam jangka panjang diproyeksikan akan mengalami peningkatan pada tiga subsektor, yaitu subsektor tanaman pangan (4,8%/tahun), subsector perkebunan (54,0%/tahun) dan subsector peternakan (7,1%/tahun). Subsektor hortikultura diproyeksikan akan mengalami penurunan sebesar 0,5%/tahun. Tabel 5.5.1. Proyeksi Jangka Panjang Nilai PMA menurut Subsektor, 20002010 (US$ juta). Tahun 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 Laju (%/tahun)
T. Pangan 24,0 26,2 28,4 30,8 33,2 35,6 38,1 40,7 43,2 45,8 48,5
Hortikultura 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
11,1
0,6
Perkebunan 2.138,6 2.573,4 3.070,5 3.633,9 4.267,4 4.974,1 5.756,7 6.617,1 7.556,6 8.575,9 9.674,9 25,5
Peternakan 6,5 6,9 7,3 7,6 8,0 8,4 8,8 9,1 9,5 9,9 10,2 0,2
Berdasarkan hasil proyeksi jangka panjang, diketahui bahwa subsektor perkebunan masih menjadi primadona investasi asing dan dalam negeri. Sebaliknya subsektor peternakan lebih diminati oleh investor dalam negeri, sedangkan investor asing masih berminat pada subsektor tanaman pangan.
57
DAFTAR PUSTAKA Ariani, M. 2004. Analisis Situasi Ketersediaan Dan Konsumsi Pengan Hewani. Monograph Series No. 24. Prospek Usaha dan Pemasaran Beberapa Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Ilham, N. 2007. Alternatif Kebijakan Peningkatan Pertumbuhan PDB Subsektor Peternakan Di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol.5 (4): 335-357. Ilham, N. 2009. Kelangkaan Produksi Daging: Indikasi dan Implikasi Kebiakannya. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 7 (1): pp. 43-63. Ilham, N., Y. Yusdja, A. R. Nurnanaf, B. Winarso, dan Supadi. 2009. Perumusan Model Pengembangan Skjala Usaha dan Kelembagaan Usaha Sapi Potong. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Kustiari, R., D.K.S. Swastika, Wahida, H.J. Purba, P. Simatupang, A. Purwoto, dan T. Nurasa. 2009. Model Proyeksi Jangka pendek Permintaan dan Penawaran Komoditas Pertanian Utama. Laporan Akhir Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor Purnomo, S. 2011. Impor Sapi Australia Resmi Dibuka Lagi. http://www.bbc.co.uk/ indonesia/berita_indonesia/2011/07/110708_cattleimport.shtml. Downloaded: 11 November 2011. Simatupang, P. Dan M. Maulana. 2006. Propspek Penawaran dan Permintaan Pangan Utama: Analisis Masalah, Kendala, dan Opsi Kebijakan Revitalisasi Produksi. Prosiding Seminar Sehari Hari Pangan Sedunia ke-XXVII, 26 Novemver 2006 di Makasar. ISBN. 797-3566-53-1. Sompotan, J. 2011. Kurang Konsumsi Daging, Kecerdasan Anak Terancam. http://lifestyle.okezone.com/read/2011/10/12/195/514365/kurang-konsumsi-dagingkecerdasan-anak-terancam Downloaded: 8 November 2011. Suhendra. 2011a. Realisasi Kuota Impor Sapi Bakal Meleset. Detik.com. http://finance. detik.com/read/2011/10/23/114520/1750288/4/realisasi-kuota-impor-sapi-bakalmeleset. Downloaded: 11 November 2011. Suhendra. 2011b. Peternak Lokal Khawatir Serbuan Daging Ayam Impor Ilegal. detikFinance. http://finance.detik.com/read/2011/07/03/160111/1673403/4/peternaklokal-khawatir-serbuan-daging-ayam-impor-ilegal. Downloaded: 28 November 2011.
58
Lampiran 2.2.1. Perkembangan Produksi Komoditas Hortikultura Thaun 20002010 (ton) Tahun
Buah
Sayur
T.Obat
T. Hias
Total
2000
9,127
7,981
179
97
17,384
2001
12,249
8,228
210
118
20,806
2002
14,076
8,476
240
140
22,932
2003
15,372
8,723
271
162
24,527
2004
16,377
8,970
301
184
25,832
2005
17,198
9,217
332
205
26,953
2006
17,893
9,465
362
227
27,947
2007
18,494
9,712
393
249
28,848
2008
19,025
9,959
424
271
29,,678
2009
19,499
10,206
454
292
30,452
2010
19,929
10,454
485
314
31,181
Laju (%/th)
4.98
1.32
5.45
10.16
3.68
Lampiran 2.2.2. Perkembangan Luas Areal Komoditas Hortikultura Thaun 20002010 (ha) Tahun
Buah
Sayur
T.Obat
T. Hias
2000
505,349
849,265
12,316
3,804
1,370,734
2001
825,536
857,211
12,279
2,841
1,697,867
2002
714,851
878,679
11,271
3,290
1,608,091
2003
791,103
913,445
12,650
2,527
1,719,725
2004
783,291
977,552
14,420
2,584
1,777,847
2005
785,311
944,695
18,911
2,458
1,751,376
2006
800,608
1,007,839
23,533
1,282
1,833,262
2007
727,196
1,020,623
25,055
1,147
1,774,021
2008
843,172
989,809
23,484
1,,287
1,857,752
2009
880,637
1,070,331
21,220
1,548
1,973,737
2010
719,763
1,103,890
17,853
1,902
1,843,408
Laju (%/th)
1.97
2.25
2.72
59
-11.05
Total
2.64
Lampiran 2.2.3. Perkembangan Produktivitas Komoditas Hortikultura Thaun 20002010 (ton/ha) Tahun
Buah
Sayur
T.Obat
T Hias
Total
2000
13.22
9.48
15.64
25.30
12.68
2001
17.39
9.50
16.55
35.63
12.25
2002
19.58
9.51
17.30
48.54
14.26
2003
20.97
9.53
17.92
64.46
14.26
2004
21.92
9.54
18.46
83.62
14.53
2005
22.58
9.55
18.92
105.82
15.39
2006
23.06
9.57
19.32
130.08
15.24
2007
23.41
9.58
19.67
154.41
16.26
2008
23.65
9.59
19.98
175.97
15.98
2009
23.82
9.60
20.26
191.80
15.43
9.61
20.51
2010 Laju (%/th)
23.93 0.58
-1.28
2.6
60
199.91
16.91
15.34
2.68
Lampiran 3.3.1. Perkembangan Luas Areal Komoditas Perkebunan Utama, Tahun 2000-2010 (ha) Komoditas
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sawit
4,158,077
4,713,435
5,067,058
5,283,557
5,284,723
5,453,817
6,594,914
6,766,836
7,363,847
7,873,294
8,036,431
Kelapa
3,691,414
3,897,467
3,884,850
3,913,130
3,797,004
3,803,614
3,788,892
3,787,989
3,783,074
3,799,124
3,808,263
Karet
3,372,421
3,344,767
3,318,359
3,290,112
3,262,267
3,279,391
3,346,427
3,413,717
3,424,217
3,435,270
3,445,121
749,917
821,449
914,051
964,223
1,090,960
1,167,046
1,320,820
1,379,279
1,425,216
1,587,136
1,651,539
1,260,687
1,313,383
1,372,184
1,291,910
1,303,943
1,256,272
1,308,732
1,295,912
1,295,110
1,266,235
1,268,476
Cengkeh
415,598
429,300
430,212
442,333
438,253
448,857
444,698
453,292
456,471
467,400
470,045
Tebu
340,660
344,441
350,722
335,725
344,793
381,786
396,441
427,799
436,505
422,953
434,257
Tembakau
239,737
260,738
256,081
256,801
200,973
198,212
172,234
198,054
196,627
204,450
193,916
Lada
150,531
186,022
204,068
204,364
201,464
191,992
192,604
189,054
183,082
185,941
186,296
The
153,675
150,872
150,707
143,604
142,548
139,121
135,590
133,734
127,712
123,506
124,573
Panili
15,797
14,749
15,922
15,653
24,251
25,486
31,379
31,806
30,006
27,040
27,256
Kapas
11,553
10,715
9,372
6,357
7,720
5,982
6,263
13,737
11,729
12,622
14,934
9,868
1,028
1,128
7,835
6,676
6,691
253
253
994
1,020
1,020
Kakao Kopi
Mete
61
Lampiran 3.3.2. Perkembangan Produksi Komoditas Perkebunan Utama, Tahun 2000-2010 (ton) Komoditas
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sawit*)
8,400,610
10,072,148
11,453,414
12,545,556
13,097,660
14,336,147
20,821,018
21,197,670
21,047,746
23,189,152
23,712,013
Kelapa
3,044,528
3,163,018
3,098,496
3,254,854
3,054,511
3,096,844
3,131,158
3,193,266
3,239,672
3,257,970
3,266,448
Tebu
1,690,004
1,725,467
1,755,354
1,631,918
2,051,644
2,241,742
2,051,644
2,623,786
2,668,428
2,517,374
2,694,227
Karet
1,501,428
1,607,461
1,630,359
1,792,348
2,065,817
2,270,891
2,637,231
2,755,172
2,751,286
2,440,347
2,591,935
Kakao
421,142
536,804
571,155
698,816
691,704
748,828
769,386
740,006
803,594
809,583
844,626
Kopi
554,574
569,234
682,019
671,255
647,386
640,365
682,158
676,476
698,016
682,591
684,076
The
162,587
166,867
165,194
169,821
165,951
166,091
146,858
150,623
153,971
156,901
150,342
Mete
69,927
91,586
110,232
106,932
131,020
135,070
149,138
146,148
156,652
147,403
145,081
204,329
199,103
192,082
200,875
165,108
153,470
146,265
164,851
168,037
176,510
122,276
Cengkeh
59,878
72,685
79,009
76,471
73,837
78,350
61,408
80,404
70,535
82,033
110,807
Lada
Tembakau
69,087
82,078
90,181
90,740
77,008
78,328
77,533
74,131
80,420
82,834
84,218
Kapas
3,786
7,033
6,453
3,440
3,157
2,241
1,627
12,768
3,858
3,145
3,779
Panili
1,681
2,198
2,731
1,659
2,252
2,366
3,768
3,177
3,319
3,007
3,059
62
Lampiran 3.3.3. Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Perkebunan Utama, Tahun 2000-2009 (US$’000) Komoditas
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
1,326,398
1,227,165
2,348,638
2,719,304
3,944,457
4,344,303
4,139,286
8,866,445
14,110,229
11,605,431
Karet
888,623
786,197
1,037,562
1,494,811
2,180,029
2,582,875
4,321,525
4,868,700
6,023,323
3,241,534
Kakao
341,860
389,262
701,034
621,022
546,560
664,338
852,778
924,157
1,268,914
1,413,535
Kopi
326,256
188,493
223,916
258,795
294,113
503,836
586,877
636,319
991,458
824,015
Kelapaa)
215,163
127,622
181,356
175,980
288,474
437,099
286,448
606,781
803,540
422,127
71,287
91,404
76,684
62,874
90,618
117,433
107,787
124,423
133,196
172,629
The
112,105
112,524
103,427
95,970
116,018
121,777
134,515
125,243
158,958
171,628
Lada
221,090
100,507
89,197
93,445
58,897
58,468
77,258
132,495
185,701
140,313
Mete
31,502
28,929
34,810
43,534
58,187
68,972
56,584
82,833
77,755
82,650
Tebu c)
5,926
6,288
8,089
4,613
11,396
19,914
50,391
48,649
73,199
62,454
Cengkeh
8,281
10,670
25,973
24,929
16,037
14,916
23,533
33,951
7,251
5,586
Panili
8,503
19,309
19,160
19,275
16,501
5,347
5,891
6,066
5,565
5,087
Kapas
19,812
18,495
19,098
52,292
50,396
50,379
225
5,905
701
700
3,576,806
3,106,865
4,868,944
5,666,844
7,671,683
8,989,657
10,643,098
16,461,967
23,839,790
18,147,689
Sawit b)
Tembakau
Total
63
Lampiran 3.3.4. Perkembangan Nilai Impor Komoditas Perkebunan Utama, Tahun 2000-2009 (US$’000) Komoditas
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Tebu
290,099
254,217
216,431
223,778
269,490
593,301
544,431
1,048,269
363,504
585,873
Tembakau
114,834
139,608
105,953
95,190
120,854
179,201
189,915
267,083
330,510
290,170
Kakao
18,953
15,699
64,001
76,205
77,023
Kopi
11,227
5,085
4,413
5,892
6,867
82,326
74,185
82,786
113,381
119,321
6,220
11,406
78,314
18,442
24,012
Karet
18,120
6,557
7,334
15,555
6,876
6,441
12,926
13,327
24,204
18,918
Sawit
6,424
2,524
4,745
3,267
5,094
8,366
2,494
7,036
8,953
16,822
The
3,091
3,091
3,651
3,807
5,531
7,161
8,703
11,855
11,990
12,537
Mete
353
165
0
25
494
83
65
1,718
1,743
3,997
Lada
2,654
4,302
3,115
173
290
516
994
729
918
1,528
Panili
254
858
1,346
3,732
2,430
206
274
119
228
157
Kelapa*)
78
18
14
610
1,541
3,653
3,693
3,341
190
148
Cengkeh
52,390
17,365
653
151
8
1
1
0
0
112
728,651
1,065,615
707,433
645,838
681,474
581,610
765
188
37
80
1,247,128
1,515,104
1,119,090
1,074,223
1,177,972
1,469,085
849,852
1,514,766
874,101
1,073,675
Kapas Total
64
Lampiran 3.3.5. Perkembangan Neraca Perdagangan Komoditas Perkebunan UTama, Tahun 2000-2009 (US$’000) Komoditas Kelapa sawit**)
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
1,319,974
1,224,641
2,343,893
2,716,037
3,939,363
4,335,937
4,136,792
8,859,409
14,101,276
11,588,609
Karet
870,503
779,640
1,030,228
1,479,256
2,173,153
2,576,434
4,308,599
4,855,373
5,999,119
3,222,616
Kakao
322,907
373,563
637,033
544,817
469,537
582,012
778,593
841,371
1,155,533
1,294,214
Kopi
315,029
183,408
219,503
252,903
287,246
497,616
575,471
558,005
973,016
800,003
Kelapa*)
215,085
127,604
181,342
175,370
286,933
433,446
282,755
603,440
803,350
421,979
The
109,014
109,433
99,776
92,163
110,487
114,616
125,812
113,388
146,968
159,091
Lada
218,436
96,205
86,082
93,272
58,607
57,952
76,264
131,766
184,783
138,785
Mete
31,149
28,764
34,809
43,509
57,693
68,889
56,519
81,115
76,012
78,653
-44,109
-6,695
25,320
24,778
16,029
14,915
23,532
33,950
7,250
5,474
8,249
18,451
17,814
15,543
14,071
5,141
5,617
5,947
5,337
4,930
-708,839
-1,047,120
-688,335
-593,546
-631,078
-531,231
-540
5,717
664
620
-43,547
-48,204
-29,269
-32,316
-30,236
-61,768
-82,128
-142,660
-197,314
-117,541
-284,173
-247,929
-208,342
-219,165
-258,094
-573,387
-494,040
-999,620
-290,305
-523,419
2,329,678
1,591,761
3,749,854
4,592,621
6,493,711
7,520,572
9,793,246
14,947,201
22,965,689
17,074,014
Cengkeh Panili Kapas Tembakau Tebu***) Total
65
Lampiran 3.4.1. Populasi dan Pemotongan Ternak di Indonesia, 1990-2009 Tahun
Ayam Itik (rb ekor) (rb ekor) 2000 859,497 29,035 2001 960,164 32,068 2002 1,218,410 46,001 2003 1,204,310 33,863 2004 1,149,370 32,573 2005 1,174,930 32,405 2006 1,188,810 32,481 2007 1,275,400 35,867 2008 1,253,430 39,840 2009 1,341,780 42,367 Sumber: FAOStat 2011.
Populasi Kerbau (ekor) 2,405,280 2,333,430 2,402,990 2,459,430 2,403,300 2,128,490 2,166,610 2,085,780 1,930,720 1,925,140
Jumlah Pemotongan (ekor) Sapi (ekor) 11,008,000 11,137,700 11,297,600 10,504,100 10,532,900 10,679,500 10,875,100 11,514,900 12,256,600 12,859,000
Kado (ekor) 19,992,590 19,865,020 20,189,780 20,532,800 20,856,150 21,736,320 22,769,850 24,329,870 24,752,740 25,968,000
66
Ayam 1,004,900 1,125,500 1,353,800 1,397,140 1,488,640 1,407,140 1,575,180 1,663,710 1,904,000 1,910,000
Itik 15,322 25,689 24,200 23,610 24,678 23,722 27,255 49,000 34,420 28,690
Kerbau 224,000 213,000 207,000 199,000 182,346 176,881 215,000 241,000 282,000 206,000
Sapi
Kado
1,695,370 1,784,040 1,692,830 1,789,850 1,733,360 1,735,780 1,733,360 1,500,000 1,730,000 1,815,000
4,489,000 4,870,000 5,820,000 6,386,000 5,713,000 5,060,000 6,501,400 6,361,500 6,602,000 7,410,000
Lampiran 3.4.2. Produksi dan Net Impor Daging di Indonesia, 1990-2009 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Daging Unggas 817,740 923,520 1,104,790 1,138,960 1,213,120 1,147,060 1,284,681 1,339,945 1,380,530 1,434,590
Produksi (ton) Daging Daging Sapi/Kerbau Kado 385,795 44,890 382,329 48,702 372,599 58,170 410,350 63,860 487,810 57,130 396,800 50,600 439,729 65,014 381,236 63,615 431,543 66,027 442,819 74,106
Total Daging 1,248,425 1,354,551 1,535,559 1,613,170 1,758,060 1,594,460 1,789,424 1,784,796 1,878,100 1,951,515
Sumber: FAOSTAT 2011.
67
Daging Unggas 319 -124 -1,922 -3,039 1,415 4,254 3,876 6,243 9,548 14,602
Net Impor (ton) Daging Daging Sapi/Kerbau Kado 36,008 557 21,993 606 16,136 182 15,018 459 17,119 516 28,440 819 33,949 712 52,248 570 55,102 572 58,111 574
Total Daging 36,884 22,475 14,396 12,438 19,050 33,513 38,537 59,061 65,222 73,288
Lampiran 3.4.3. Ketersediaan dan Konsumsi Daging di Indonesia, 1990-2009 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Unggas 818,059 923,396 1,102,868 1,135,921 1,214,535 1,151,314 1,288,557 1,346,188 1,390,078 1,449,192
Total Ketersediaan Daging Sapi & Kado Kerbau 421,803 45,447 404,322 49,308 388,735 58,352 425,368 64,319 504,929 57,646 425,240 51,419 473,678 65,726 433,484 64,185 486,645 66,599 500,930 74,680
Total 1,285,309 1,377,026 1,549,955 1,625,608 1,777,110 1,627,973 1,827,961 1,843,857 1,943,322 2,024,803
68
Penduduk (000 jiwa) 210,611 213,395 216,203 219,026 221,839 224,607 227,303 229,919 232,462 234,951
Unggas 3.88 4.33 5.10 5.19 5.47 5.13 5.67 5.86 5.98 6.17
Konsumsi/Kapita (kg) Sapi & Kado Kerbau 2.00 0.22 1.89 0.23 1.80 0.27 1.94 0.29 2.28 0.26 1.89 0.23 2.08 0.29 1.89 0.28 2.09 0.29 2.13 0.32
Total 6.10 6.45 7.17 7.42 8.01 7.25 8.04 8.02 8.36 8.62
Lampiran 3.4.4. Sumbangan Sektor Pertanian terhadap PDB Nasional, Tahun 2000-2009
Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rataan: 2000-2005 2005-2009 Laju (%/th): 2000-2005 2005-2009 2000-2009
Nominal PDB Sektor Pertanian (Rp’milliar) Tanaman Pertanian Peternakan Total PDB Pangan 217.898 112.661 27.035 1.264.919 263.328 137.752 34.285 1.684.281 298.877 153.666 41.329 1.863.275 305.784 157.649 37.354 2.013.675 329.125 165.558 40.635 2.295.826 364.169 181.332 44.203 2.774.281 433.224 214.346 51.075 3.339.217 541.932 265.091 61.325 3.950.893 716.065 349.795 82.676 4.951.357 858.252 418.964 104.040 5.613.442
Persentase PDB Sektor Pertanian (%) Tanaman Pertanian Peternakan Pangan 17,23 8,91 2,14 15,63 8,18 2,04 16,04 8,25 2,22 15,19 7,83 1,86 14,34 7,21 1,77 13,13 6,54 1,59 12,97 6,42 1,53 13,72 6,71 1,55 14,46 7,06 1,67 15,29 7,46 1,85
296.530 582.728
151.436 285.906
37.474 68.664
1.982.710 4.125.838
15,26 13,91
7,82 6,84
1,93 1,64
9,31 22,17 14,22
8,45 21,65 13,38
8,19 21,94 12,90
14,10 18,03 16,01
-5,29 3,89 -1,32
-6,00 3,37 -1,94
-5,71 3,85 -1,57
69
Lampiran 5.2.1. Proyeksi Produksi Hortikultura Tahun 2000-2025 (000 ton ) Data
Aktual
Proyeksi
Laju (%/tahun)
Tahun
Buah
Sayur
T.Obat
T. Hias
Total
2000
9,127
7,981
179
97
17,384
2001
12,249
8,228
210
118
20,806
2002
14,076
8,476
240
140
22,932
2003
15,372
8,723
271
162
24,527
2004
16,377
8,970
301
184
25,832
2005
17,198
9,217
332
205
26,953
2006
17,893
9,465
362
227
27,947
2007
18,494
9,712
393
249
28,848
2008
19,025
9,959
424
271
29,678
2009
19,499
10,206
454
292
30,452
2010
19,929
10,454
485
314
31,181
2011
20,321
10,701
515
336
31,872
2012
20,681
10,948
546
358
32,532
2013
21,015
11,195
576
379
33,166
2014
21,326
11,443
607
401
33,776
2015
21,616
11,690
637
423
34,366
1016
21,889
11,937
668
444
34,939
2017
22,147
12,184
699
466
35,496
2018
22,391
12,432
729
488
36,039
2019
22,622
12,679
760
510
36,570
2020
22,841
12,926
790
531
37,089
2021
23,051
13,173
821
553
37,598
2022
23,251
13,421
851
575
38,098
2023
23,443
13,668
882
597
38,589
2024
23,627
13,915
913
618
39,073
2025
23,803
14,162
943
640
39,549
2000-2010
4.98
1.32
5.45
10.16
3.68
2000-2014
5.65
2.54
8.3
9.58
4.55
2000-2025
3.59
2.27
6.38
7.19
3.18
70
Lampiran 5.2.2. Proyeksi Luas Panen Hortikultura Tahun 2000-2025 (ha) Data
Aktual
Proyeksi
Laju (%/th
Tahun
Buah
Sayur
2000
505,349
849,265
12,316
3,804
1,370,734
2001
825,536
857,211
12,279
2,841
1,697,867
2002
714,851
878,679
11,271
3,290
1,608,091
2003
791,103
913,445
12,650
2,527
1,719,725
2004
783,291
977,552
14,420
2,584
1,777,847
2005
785,311
944,695
18,911
2,458
1,751,376
2006
800,608
1,007,839
23,533
1,282
1,833,262
2007
727,196
1,020,623
25,055
1,147
1,774,021
2008
843,172
989,809
23,484
1,287
1,857,752
2009
880,637
1,070,331
21,220
1,548
1,973,737
2010
719,763
1,103,890
17,853
1,902
1,843,408
2011
846,999
1,112,326
24,855
1,678
1,985,858
2012
861,244
1,136,905
26,073
1,846
2,026,068
2013
875,489
1,161,484
27,291
2,074
2,066,338
2014
889,734
1,186,063
28,510
2,363
2,106,669
2015
903,979
1,210,642
29,728
2,711
2,147,060
2016
918,224
1,235,221
30,946
3,121
2,187,512
2017
932,469
1,259,800
32,164
3,591
2,228,024
2018
946,714
1,284,379
33,383
4,121
2,268,596
2019
960,959
1,308,958
34,601
4,711
2,309,229
2020
975,204
1,333,537
35,819
5,362
2,349,923
2021
989,449
1,358,116
37,038
6,074
2,390,676
2022
1,003,694
1,382,695
38,256
6,846
2,431,491
2023
1,017,939
1,407,274
39,474
7,678
2,472,365
2024
1,032,184
1,431,853
40,693
8,571
2,513,300
2025
1,046,429
1,456,432
41,911
9,524
2,554,296
2000-2010
1.97
2.25
2.72
-11.05
2,64
2000-2014 2000-2014
1.79 1.65
2.42 2.17
6.29 5.04
-4.01 2.99
2.18 1.98
71
T.Obat
T. Hias
Hortikultura
Lampiran 5.2.3. Proyeksi Produktivitas Hortikultura Sampai Dengan Tahun 2025 (ton/ ha) Data
Aktual
Proyeksi
laju (%/Tahun)
Tahun
Buah
Sayur
T.Obat
T Hias
Horti kultura
2000
13.22
9.48
15.64
25.30
12.68
2001
17.39
9.50
16.55
35.63
12.25
2002
19.58
9.51
17.30
48.54
14.26
2003
20.97
9.53
17.92
64.46
14.26
2004
21.92
9.54
18.46
83.62
14.53
2005
22.58
9.55
18.92
105.82
15.39
2006
23.06
9.57
19.32
130.08
15.24
2007
23.41
9.58
19.67
154.41
16.26
2008
23.65
9.59
19.98
175.97
15.98
2009
23.82
9.60
20.26
191.80
15.43
2010
23.93
9.61
20.51
199.91
16.91
2011
23.99
9.62
20.73
200.08
16.05
2012
24.01
9.63
20.93
193.68
16.06
2013
24.00
9.64
21.12
182.86
16.05
2014
23.97
9.65
21.29
169.73
16.03
2015
23.91
9.66
21.44
155.90
16.01
1016
23.84
9.66
21.59
142.41
15.97
2017
23.75
9.67
21.72
129.83
15.93
2018
23.65
9.68
21.84
118.40
15.89
2019
23.54
9.69
21.96
108.17
15.84
2020
23.42
9.69
22.06
99.09
15.78
2021
23.30
9.70
22.16
91.07
15.73
2022
23.17
9.71
22.26
83.97
15.67
2023
23.03
9.71
22.34
77.70
15.61
2024
22.89
9.72
22.42
72.14
15.55
2025
22.75
9.72
22.50
67.21
15.48
2000-2010
0.58
-1.28
2.6
15.34
2.68
2000-2014 2000-2014
3.92 1.99
0.12 0.1
2.17 1.43
11.87 2.78
1.52 0.71
72
Lampiran 5.2.4. Proyeksi PDB Hortikultura Tahun 2025 Atas Dasar Harga Berlaku Data
Aktual
Proyeksi
Laju (%/th)
Tahun
T Hias
Total
2000
22,864.84
Buah
14,005.97
Sayur
T.Obat 396.65
2,710.73
39,978.2
2001
24,886.00
15,244.04
431.71
2,950.35
43,512.1
2002
29,168.00
17,867.00
506.00
3,458.00
50,999.0
2003
30,818.60
18,878.08
534.63
3,653.69
53,885.0
2004
32,511.52
19,915.09
564.00
3,854.39
56,845.0
2005
35,340.87
21,648.22
613.08
4,189.82
61,792.0
2006
39,123.66
24,023.30
686.38
4,804.66
68,638.0
2007
42,617.76
26,168.80
747.68
5,233.76
74,768.0
2008
47,891.97
29,407.35
840.21
5,881.47
84,021.0
2009
48,973.77
30,071.62
859.19
6,014.32
85,918.9
2010
50,809.19
31,129.57
1,073.43
6,440.60
89,452.8
2011
52,816.45
32,359.37
1,115.84
6,695.04
92,986.7
2012
54,823.70
33,589.17
1,158.24
6,949.48
96,520.6
2013
56,830.96
34,818.97
1,200.65
7,203.92
100,054.5
2014
58,838.21
36,048.76
1,243.06
7,458.36
103,588.4
2015
60,845.47
37,278.56
1,285.46
7,712.81
107,122.3
2016
62,742.07
38,231.72
1,383.20
8,299.21
110,656.2
2017
64,745.79
39,452.68
1,427.37
8,564.26
114,190.1
2018
66,749.51
40,673.64
1,471.55
8,829.30
117,724.0
2019
68,753.23
41,894.60
1,515.72
9,094.34
121,257.9
2020
70,756.95
43,115.57
1,559.89
9,359.39
124,791.8
2021
72,760.67
43,630.74
1,860.72
10,073.57
128,325.7
2022
74,764.39
44,832.26
1,911.96
10,350.98
131,859.6
2023
76,768.11
46,033.79
1,963.20
10,628.39
135,393.5
2024
78,771.84
47,235.32
2,014.44
10,905.80
138,927.4
2025
80775.56
48,436.84
2,065.68
11,183.21
142,461.3
2000-2010
6.71
7.61
9.34
8.22
3.95
2000-2014 2000-2025
6.64 4.87
6.46 4.78
7.70 6.26
6.90 5.45
6.51 4.90
73
Lampiran 5.2.5. Proyeksi Penyerapan Tenaga Kerja Sub Sektor Hortikultura Th 2000 -2025 Data
Aktual
Proyeksi
laju (%/th)
Tahun
Buah
Sayur
T Obat
T.Hias
Horti
2000
351.18
2,051.57
5.87
1.49
2,410.11
2001
397.47
1,864.81
12.51
1.16
2,275.95
2002
476.96
2,237.76
15.02
1.45
2,731.19
2003
620.05
2,309.09
19.54
1.61
2,950.29
2004
587.17
2,337.11
19.45
1.74
2,945.47
2005
662.85
2,433.56
20.52
1.92
3,118.85
2006
743.01
2,545.44
22.62
2.30
3,313.36
2007
807.87
2,642.53
23.75
2.48
3,476.63
2008
872.75
2,739.62
24.74
2.66
3,639.76
2009
937.62
2,836.71
25.62
2.84
3,802.79
2010
1,002.49
2,933.80
26.42
3.02
3,965.74
2011
1,067.37
3,030.89
27.15
3.21
4,128.62
2012
1,132.24
3,127.98
27.83
3.39
4,291.43
2013
1,197.11
3,225.07
28.45
3.57
4,454.20
2014
1,261.99
3,322.17
29.03
3.75
4,616.93
2015
1,326.86
3,419.26
29.57
3.93
4,779.61
2016
1,391.73
3,516.35
30.08
4.11
4,942.27
2017
1,456.60
3,613.44
30.56
4.29
5,104.89
2018
1,521.48
3,710.53
31.02
4.47
5,267.49
2019
1,586.35
3,807.62
31.45
4.65
5,430.07
2020
1,651.22
3,904.71
31.86
4.83
5,592.62
2021
1,716.10
4,001.80
32.25
5.02
5,755.16
2022
1,780.97
4,098.89
32.62
5.20
5,917.68
2023
1,845.84
4,195.98
32.98
5.38
6,080.18
2024
1,910.72
4,293.08
33.32
5.56
6,242.67
2025
1,975.59
4,390.17
33.65
5.74
6,405.14
2000-2010
9.68
3.32
12.22
6.13
4.70
2000-2014
8.52
3.25
9.39
5.87
4.43
2000-2025
6.52
2.92
5.85
4.96
3.77
74