PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MALPRAKTIK DOKTER
Hb.Sujiantoro Dosen Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Abstrak: Malpraktik adalah suatu istilah yang mempunyai konotasi buruk, praktik buruk/salah dari seseorang yang memegang suatu jabatan profesi dalam arti umum, dan tidak hanya kedokteran saja. Bila malpraktik ditujukan kepada profesi dokter maka disebut malpraktik kedokteran atau malpraktik medik. Tetapi pada umumnya istilah malpraktik selalu diasosiasikan kepada profesi dokter. Dengan demikian malpraktik adalah menjalankan praktik buruk atau salah dalam profesinya yang dilakukan oleh tenaga medik (dokter) terhadap orang lain (pasien) dengan menggunakan cara secara tidak tepat/wajar dan tidak melalui prosedur pelayanan medis yang telah ditentukan. Kesalahan dalam menjalankan profesi kedokteran akan membentuk pertanggungjawaban hukum termasuk hukum pidana, apabila membawa akibat suatu kerugian yang diatur dalam hukum. Pertanggungjawaban dokter ini memiliki konsekuensi terhadap pelanggaran etika dan hukum. Pelanggaran etika murni dipertanggungjawabkan pada sidang MKEK, sedangkan kesalahan/pelanggaran dalam menjalankan profesi kedokteran (pelanggaran hukum) dipertanggungjawabkan secara hukum, termasuk pertanggungjawaban pidana. Ini bergantung dari sifat akibat kerugian yang timbul menurut hukum. Jadi penentu pertanggungjawaban hukum dalam malpraktik kedokteran ada pada akibat kerugian yang ditimbulkan menurut hukum. Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Malpraktik dokter
Malpraktik atau malapraktik adalah praktik kedokteran yang dilakukan salah atau tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik (Kamus Besar Bahasa Indonesia,1988: 551). Sedangkan beberapa ahli berpendapat sebagai berikut: D. Veronica Komalawati menyatakan bahwa istilah malpraktik pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter (2002; 20). Hermien Hadiati Koeswadji menjelaskan malpratice secara harfiah berarti bad pratice, atau praktik buruk yang berkaitan dengan praktik penerapan ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus. Karena malpraktik berkaitan dengan “how to pratice the medical science and technology”, yang sangat erat hubunganya dengan sarana kesehatan atau tempat melakukan praktik
dan orang yang melaksanakan praktik, (1998; 142). Dengan demikian malpraktik adalah menjalankan praktik buruk atau salah dalam profesinya yang dilakukan oleh tenaga medik (dokter) terhadap orang lain (pasien) dengan menggunakan cara secara tidak tepat/wajar dan tidak melalui prosedur pelayanan medis yang telah ditentukan. Kesalahan dalam menjalankan profesi kedokteran akan membentuk pertanggungjawaban hukum termasuk hukum pidana, apabila membawa akibat suatu kerugian yang diatur dalam hukum. Persoalan malpraktik bisa saja terjadi dan dilakukan oleh siapapun diantaranya tenaga medis (dokter). Perlu diingat bahwa, dokter bukanlah segala-galanya, ia hanyalah manusia biasa yang bisa berbuat salah sehingga pelanggaran terhadap kode etik maupun tindak pidana bisa saja terjadi. Untuk itulah diperlukan langkah bijak agar masing-masing pihak (dokter dan
2
pasien)memperoleh perlindungan hukum yang seadil-adilnya terkait dengan hak dan kewajiban masing-masing. Maka kedudukan pasien yang semula hanya sebagai pihak yang bergantung sepenuhnya kepada dokter dalam memperoleh penyembuhan, kini telah berubah menjadi sederajat terkait dengan hak dan kewajibannya tersebut. Semua tindakan dokter dan atau tenaga kesehatan dilakukan secara profesional berdasarkan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. Jadi bukan hanya tenaga kesehatan yang harus bekerja sesuai dengan standar profesi medik, pengemban profesi yang lain pun memiliki standar profesi yang sama yang telah ditentukan oleh masing-masing organisasi profesi. Tenaga kesehatan yang dalam hal ini adalah dokter dalam melakukan profesinya selalu berhubungan dengan orang yang sedang menderita sakit, dan apapun jenis penyakitnya tentu mempengaruhi emosi pasien. (Isfandary, 2005;24) Dengan kata lain, tenaga kesehatan selalu berhubungan dengan orang yang secara fisik dan juga psikis dalam keadaan sakit, yang membutuhkan perhatian dan perlakuan yang baik dari seorang dokter. Disamping itu tidak semua obat dan saran yang diberikan kepada pasien belum tentu selalu dapat memberikan kesembuhan. Kesembuhan seorang pasien sedikit banyak ditentukan juga oleh pemahaman dan ketaatan terhadap saran/nasehat atau sugesti yang diberikan dokter kepada pasien selain aturan cara meminum obat. Jika terjadi resiko (misalnya kematian) setelah dilakukan pengobatan, sebagai dugaan malpraktik dirasakan cukup mengkhawatirkan para dokter sehingga dapat menghantui mereka dalam melakukan tindakan medic terhadap penderita. Walaupun dalam kode etik kedokteran Indonesia sudah tercantum tindakantindakan yang sebaiknya tidak dilakukan oleh dokter dalam menjalankan profesinya. lkatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter di Indonesia telah membentuk
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), bertujuan untuk mepertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. MKEK ini meyelesaikan pelanggaran etik murni, penyelesaian pelanggaran disiplin dilakukan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), sebagai sebuah lembaga independen yang dibentuk oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan bertanggungjawab kepada KKI. MKDKI ini berwenang memberikan sanksi disiplin, antara lain berupa: peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan surat izin praktik.. Sedangkan pelanggaran hukum diselesaikan menurut hukum. Perlu juga diketahui bahwa tidak ada seorang dokter pun yang berniat untuk melakukan kesalahan atau tindakan yang dapat merugikan apalagi untuk membunuh pasien. Dalam mengobati penderita, dokter selalu mengingat sumpahnya yang telah diucapkan tatkala dokter akan memulai mengabdikan diri kepada profesinya. Bahkan tidak jarang pula, meskipun dokter sedang dalam keadaan sakit atau kondisi tubuh sedang lelah, tetap harus berangkat melayani penderita yang membutuhkan pertolongan, itu semua karena amanah yang diembannya. Kalaupun ada kejadian yang mengakibatkan meninggalnya pasien akibat kesalahan dokter dalam mengobati itu mumi secara tidak sengaja. Di sisi lain, memang mungkin ada sebagian kecil dokter yang dalam melaksanakan tugasnya atau memberikan pengobatan kepada pasiennya tidak memperhatikan standar profesi dan tidak memahami tentang standar pelayanan yang telah ditentukan, sehingga hak penderita (pasien) tidak terpenuhi. HUBUNGAN DOKTER-PASIEN Hubungan antara dokter dengan pasien pada dasarnya adalah hubungan yang berdasarkan atas saling kepercayaan dari keduanya. Kesembuhan bagi pasien atau keberhasilan pengobatan tergantung di antaranya pada seberapa besar kepercayaan pasien kepada dokternya, sehingga sugesti sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan. Persoalan yang mendasar dari
3
komunikasi ini adalah adanya saling membutuhkan antara dokter dan pasien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi di antara dokter dan pasien, dokter membantu dan pasien menerima bantuan. Salah satu hal penting yang harus diperhatikan dokter dan tidak boleh dilupakan dokter adalah memperoleh persetujuan pasien terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan medik, yang dikenal dengan istilah informed consent yaitu suatu izin atau pernyataan setuju dari pasien yang diberikan secara bebas, sadar dan rasional setelah ia mendapat informasi dari dokter tentang penyakitnya Hubungan seperti ini sering disebut transaksi theurapetik atau komunikasi theurapetik, yaitu komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Purwanto,1994). Artinya komunikasi theurapetik adalah proses yang digunakan oleh dokter memakai pendekatan yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan pada pasien. Terjalinnya hubungan hukum antara keduanya ini membentuk hak dan kewajiban masing-masing pihak, baik dokter maupun pasien. HAK DAN KEWAJIBAN DOKTERPASIEN Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi. Hak dan kewajiban dokter atau dokter gigi tertuang dalam pasal 50 dan 51 UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran seperti berikut : Pasal 50: Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak : a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan d. menerima imbalan jasa. Pasal 51: Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban: a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien; b. merujuk pasien kedokter atau kedokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kamampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan; c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia; d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi. Hak dan Kewajiban Pasien Hak dan kewajiban pasien tertuang dalam pasal 52 dan 53 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 seperti berikut : Pasal 52 : Pasien, dalam menerima pelayanan para praktik kedokteran, mempunyai hak: a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3); b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; d. menolak tindakan medis; dan e. mendapat isi rekam medis. Pasal 53 : Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban : a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya; b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
4
c. mematuhi ketentuan yang berlaku disarana pelayanan kesehatan; dan d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Saling memahami antara hak dan kewajiban dari masing-masing pihak (dokter-pasien), maka hubungan dokterpasien atas dasar saling percaya itu bukanlah hubungan kontrak bisnis. Dokter maupun pasien sama-sama profesional dan proporsional dalam memecahkan permasalahan kesehatan. Dokter harus selalu berlaku profesional dalam menjalankan profesinya, serta mengkomunikasikan secara proporsional segala aspek yang terkait dengan tindakan medis yang dilakukannya. Sementara pasien mesti memahami aspek yang terkait dengan pengambilan keputusan medis. PERTANGGGUNGJAWABAN PIDANA MALPRAKTIK DOKTER KUHP menganut berlakunya asas tiada pidana tanpa kesalahan. Orang tidak mungkin dipertanggunggjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana, akan tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana, dia tidak selalu dapat dipidana. Penjatuhan pidana terhadap seseorang belumlah cukup apabila ia telah melakukan perbuatan melawan hukum meskipun itu memenuhi rumusan delik.Tetapi harus perlu syarat lagi, yaitu orang itu harus mempunyai kesalahan/bersalah. Yang diperhatikan dalam tindak pidana biasa adalah akibat yang ditimbulkan, sedangkan dalam tindak pidana medik (malpraktik) adalah penyebabnya (causa) yang ditimbulkan. Meskipun mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, dokter tidak bisa dijatuhi pidana, jika tidak ada unsur kesalahan atau kelalaian. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya malpraktik, antara lain : 1. Malpraktik karena kesengajaan intensionao, misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, Euthanasia, membocorkan rahasia
kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar. 2. Malpraktik karena kecerobohan (racklessness), misalnya melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan standart profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis. 3. Malpraktik karena kealpaan (negligence), misalnya tejadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang kurang hati- hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi di dalam rongga tubuh pasien. Malpraktik medik masuk dalam ranah pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : 1. Adanya unsur kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan profesinya. 2. Adanya wujud perbuatan tertentu (mengobati pasien). 3. Adanya akibat luka berat atau meninggalnya orang lain, yaitu pasien. 4. Adanya hubungan kausal bahwa luka berat atau kematian tersebut merupakan akibat dari perbuatan dokter yang mengobati pasien dengan tidak sesuai standart pelayanan medis. Pasal-pasal KUHP yang masuk perbuatan dalam ranah tindak pidana medik, antara lain : - Pasal 359-361: Menyebabkan mati atau luka-luka karena kealpaan. - Pasal 304: Meninggalkan orang yang perlu ditolong - Pasal 299, 348, 349: Menggugurkan kandungan tanpa indikasi medis (Aborsi) - Pasal 344: Euthanasia - Pasal 322): Membocorkan rahasia medis Pasal 359 : Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain , diancam denganpidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
5
Pasal 360 : (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat lukaluka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun; (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbal penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidan penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah. Pasal 361 : Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan sutu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan Hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan. Pasal 304 : Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib member kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tigaratus rupiah. Pasal 299 : (1) Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah (2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencaharian atau kebiasaan, atau jika
(1)
(2)
(1)
(2)
dia seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga. Pasal 348: Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mermatikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enan bulan. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Pasal 349 : Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melalukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan. Pasal 344 : Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pasal 322 : Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah. Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu.
Perbuatan yang menyebabkan orang lain luka berat atau mati yang dilakukan secara tidak sengaja di rumuskan dalam pasal 359 dan 360, yang unsur-unsurnya sebagai berikut : adanya unsur kelalaian (culpa),adanya wujud perbuatan tertentu, adanya akibat luka berat atau matinya orang lain, dan adanya hubungan kasual antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang itu.(Isfandyarie, 2005; 124).
6
Unsur kelalaian sangat berperan dalam menentukan dilakukan atau tidaknya pidana terhadap seorang dokter dan kelalaian dalam bidang kedokteran sangat erat kaitannya dengan standar profesi dokter. Tidak adanya unsur kelalaian di dalam resiko medik, juga mengandung arti bahwa baik dalam Pasal 359 maupun Pasal 360 KUHP tidak bisa diterapkan bagi tindakan dokter yang memiliki resiko medik, karena salah satu unsur dari Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP tidak dipenuhi di dalam resiko medik. Tanggung jawab pidana atas malpraktik dokter, selain diatur dalam KUHP, juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Tindakan malpraktik menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, lebih difokuskan terhadap tindakan aborsi yang ketentuan sanksi pidananya diatur dalam pasal 190 ayat (2) dan Pasal 194. Pasal 190 ayat (2): Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 194 : Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sedangkan dalam pasal 75 Undang-Undang Praktik Kedokteran dinyatakan bahwa: (1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetic berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. (3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan: a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri (Pasal 76 UndangUndang No.29 Tahun 2004). Pada konsideran Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004, antara lain menyatakan bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran
7
merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Oleh karena itu penyelenggaraan praktik kedokteran harus dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara terus menerus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, serfifikasi, registrasi, lisensi serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan praktik kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.UndangUndang Nomor 29 Tahun 2004 ini tidak mengatur ketentuan pidana atau sanksi terhadap malpraktik tapi lebih dikhususkan terhadap ijin dari penyelenggaraan praktik kedokteran yang bisa dikenai sanksi pidana (pasal 75-80). Pada dasarnya pelayanan kesehatan bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit, termasuk didalam pelayanan medis yang dilaksanakan atas dasar hubungan antara dokter dengan pasien yang membutuhkan kesembuhan. Dalam hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi theraupetik, artinya masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis yang sebaikbaiknya bagi pasien, dan pasien menerima pelayanan terbaik dari dokter. Pelayanan medis ini dapat berupa tindakan diagnosis dengan benar sesuai dengan prosedur pemberian terapi, melakukan tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan tindakan wajar yang memang diperlukan untuk kesembuhan pasiennya.(Isfandyarie, 2005; 29). Tetapi kadangkala hasil yang dicapai tidak sesuai dengan harapan masing-masing pihak. Dokter tidak berhasil menyembuhkan pasien, bahkan adakalanya pasien menderita carat bahkan sampai terjadi kematian dan tindakan dokterlah yang diduga sebagai penyebab kematian tersebut. Dalam hal terjadi peristiwa yang demikian inilah, dokter seringkali dituduh melakukan kelalaian yang pada umumnya dianggap
melakukan tindakan malpraktik. Agar dokter terhindar dari tindakan medik yang membahayakan jiwa pasien, maka perlu kiranya mempertimbangkan pendapat Berkhouwer dan Vorstman dalam bukunya yang beludul “ De Aansprakelijkheid Van de Medicus voor Berepsfouten” yang mengungkapkan sebagai berikut: "De geneeheer begaat een beroepsfout, dan wanner hij niet onderzoekt, niet oordeelt, niet does of niet nalaat, datgene, wat goede medici in het algemeen, order dezelfde omstandigheden zouden onderzoekoen, oordelen, doenof nalaten" yang terjemahannya kurang lebih adalah: “seorang dokter melakukan kesalahan profesional apabila ia tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau mengabaikan halhak yang oleh para dokter pada umumnya dianggap baik dalam situasi yang sama diperiksa, dinilai, diperbuat atau diabaikan.(Isfandyarie, 2005; 30). Menurut hukum pidana, malpraktik dapat terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati, atau kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia tersebut. Ada beberapa macam malpraktik yang timbul dalam hukum pidana antara lain yait : 1. Malpraktik karena kesengajaan intensionao, misainya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, Euthanasia, membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar. 2. Malpraktik karena kecerobohan (racklessness), misalnya melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan standart profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis. 3. Malpraktik karena kealpaan (negligence), misalnya tejadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang kurang hati- hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi di dalam rongga tubuh pasien.
8
Untuk menyebut cacat atau luka atau kematian karena akibat malpraktik, haruslah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1. Ada kesalahan yang dilakukan oleh dokter. 2. Kesalahan tersebut akibat dokter tidak mempergunakan ilmu pengetahuan dan ketrampilannya dengan yang seharusnya dilakukan. 3. Tidak berdasarkan pada standar profesi (yang telah ditentukan berdasarkan bidang keahliannya) dan standar pelayanan medik. 4. Mengakibatkan pasien terluka atau cacat atau meninggal.(Isfandarie,2005, 45). Maksudnya adalah, jika dokter dalam menjalankan kewajibannya sesuai dengan standar profesi namun pasien tetap mangalami cacat atau meninggal, dokter tersebut dapat menyangkal dengan bukti-bukti yang ada bahwa dia telah melakukan malpraktek karena sudah sesuai dengan standar yang ada. Sugandi (1981: 173) terkait dengan ketentuan Pasal 361, bahwa yang dikenakan pasal tersebut misalnya, dokter, bidan, ahli obat, pengemudi kendaraan bermotor, masinis kereta api yang sebagai ahli dalam pekerjaan masing-masing, dianggap harus berhati-hati dalam pekerjaannya. Apabila mereka itu mengabaikan (melalaikan) peraturanperaturan atau keharusan-keharusan yang dituntut oleh pekerjaannya sehingga menyebabkan matinya orang (Pasal 359) atau mengakibatkan orang mendapat luka berat (Pasal 360). Berdasarkan ketentuan dalam pasalpasal di atas, jika diterapkan pada kasus malpraktik dokter, ada 3 unsur yang menonjol, yaitu : a. Dokter telah melakukan kesalahan dalam melaksanakan profesinya. b. Tindakan dokter tersebut dilakukan karena kealpaan atau kelalaian. c. Adanya suatu akibat yang fatal yaitu meninggalnya pasien atau pasien menderita luka berat. (Isfandyarie, 2005:73) Dalam perkembangannya, pengaturan terhadap kasus malpraktik yang semula diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tetap dapat digunakan dalam menangani kasus pelanggaran terhadap dokter yang melakukan malpraktik, meskipun telah ada Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 dan Undang-Undang No. 29 Tahun 2004. Pengenaan terhadap ketentuan dalam KUHP diperlukan jika dalam undang-undang yang secara khusus tentang kesehatan atau praktik kedokteran tidak mengaturnya. Penanganan pelanggaran tersebut pelanggaran dalam KUHP murni karena kriminal, lain halnya jika kasus yang terjadi di dalam dunia kedokteran karena ada alasan medis. Contoh dalam kasus aborsi, jika di dalam KUHP aborsi dengan alasan apapun dilarang dan akan clijatuhi sanksi terhadap dokter yang melakukannya namun, dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 dan Undang-Undang No. 29 tahun 2004 aborsi tidak dilarang karena dilakukan oleh dokter yang berwenang yang berkompeten dalam penanganan aborsi dan terdapat indikasi medis untuk menyelamatkan jiwa pasien. Menurut Danny Wiradharmairadharma (1999,192), ada 3 aspek hukum yang dapat dipakai untuk menentukan malpraktik dari tindakan dokter, yaitu: a. Penyimpangan dari standar profesi medis. b. Kesalahan yang dilakukan dokter, baik merupakan kesengajaan atau kelalaian. c. Akibat yang terjadi disebabkan oleh tindakan medis yang menimbulkan kerugian baik materiil maupun non materiil, atau fisik (luka atau kematian) atau mental. Sedangkan M. Jusuf Hanafiah dan Amir Amri .(1999; 67). menyebutkan bahwa dokter dapat dikualifikasikan telah melakukan malpraktik, jika : a. Dokter kurang menguasai IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi) kedokteran yang sudah berlaku umum di kalangan profesi kedokteran. b. Memberikan pelayanan kedokteran di bawah standart profesi. c. Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hatihati. d. Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum. Bagi tenaga medik yang telah
9
melakukan tindakannya secara professional dan menggunakan keahliannya secara tepat sudah seharusnya mendapatkan perlindungan hukum, begitu pula sebaliknya terhadap dokter yang melakukan tindakan medik yang mengabaikan prinsip profesionalitas kedokteran serta bertindak tidak cermat dalam bentuk pengabaian atau lalai, melakukan tindakan tidak sesuai dengan prosedur tindakan medik sudah seharusnya mereka mendapatkan sanksi hukum. sebagai bentuk pertanggungjawaban atas tindakannya. KESIMPULAN
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa sebagai berikkut : 1. Malpraktik adalah menjalankan praktik buruk atau salah dalam profesinya yang dilakukan oleh tenaga medik (dokter) terhadap orang lain (pasien) dengan menggunakan cara secara tidak tepat/wajar dan tidak melalui prosedur pelayanan medis yang telah ditentukan. Kesalahan dalam menjalankan profesi kedokteran akan membentuk pertanggungjawaban hukum termasuk hukum pidana, apabila membawa akibat suatu kerugian yang diatur dalam hukum. 2. Pertanggungjawaban dokter ini memiliki konsekuensi terhadap pelanggaran etika dan hukum. Pelanggaran etika murni dipertanggungjawabkan pada sidang MKEK, pelanggaran disiplin dilakukan oleh MKDK, dan pelanggaran dalam menjalankan profesi kedokteran (pelanggaran hukum) dipertanggungjawabkan secara hukum, termasuk pertanggungjawaban pidana. Ini bergantung dari sifat akibat kerugian yang timbul menurut hukum. Penentu pertanggungjawaban hukum dalam malpraktik kedokteran ada pada akibat kerugian yang ditimbulkan menurut hukum. Pembebanan tanggung jawab hukum guna penjaminan pemulihan hak pihak pasien yang dirugikan pula
ditentukan hukum. Sehingga perlindungan hukum bagi dokter dan pasien haruslah seimbang., karena kedua belah pihak adalah subyek dalam pelayanan medis. 3. Jika tindakan dokter dikategorikan sebagai tindakan malpraktik, maka hendaknya memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: adanya unsur kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan profesinya, adanya wujud perbuatan tertentu (mengobati pasien).Adanya akibat luka berat atau meninggalnya orang lain, yaitu pasien, adanya hubungan kausal bahwa luka berat atau kematian tersebut merupakan akibat dari perbuatan dokter yang mengobati pasien tidak sesuai standar pelayanan medis.
DAFTAR PUSTAKA Anny Isfandyarie, Malpraktek Dan Resiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005. Danny Wiradharmairadharma, Penuntun Kuliah Kedokteran dan, Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta, 1999. Hermien Hadiati Koesawadji, Hukum Kedokteran, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998. Jusuf Hanafiah M & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta, 1999. Soedjatmiko H.M., Masalah Medik Dalam Malpraktek Yuridik, Kumpulan Makalah Seminar Tentang Etika dan Hukum Kedokteran. Diselenggarakan oleh RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang, 2001. Sugandhi R, KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1981. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia ,PN.Balai Pustaka Depdikbud RI, Jakarta, 1988. Veronica Komalawati D, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik (persetujuan dalam hubungan dokter dan pasien) Suatu Tinjauan Yuridis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. Yudha Bhakti Ardiwisastra, Penafsiran dan Kontruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2000. Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan