BENTUK PENGAWASAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP PERATURAN DAERAH DALAM ERA OTONOMI DAERAH ( Pengkajian terhadap Undang-Undang No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah dan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) Oleh : Surya Anoraga Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang Email :
[email protected].
Abstraksi UU No.5 Th.1974 menganut mekanisme bentuk pengawasan terhadap peraturan daerah executive preview/preventif dan executive review/represif sedangkan UU No.32 Th. 2004 menganut mekanisme bentuk pengawasan terhadap peraturan daerah adalah executive preview ,executive review/administrave review serta judicial review Kata Kunci: Executive/Administrave preview, Executive review, Judicial Review Abstract Act No. 5 Th.1974 adheres to regulatory oversight mechanisms form regional executive preview / preventive and executive review / repression while Law 32 Th. 2004 adheres to regulatory oversight mechanisms form is executive preview area, executive review / administrave review and judicial review Key Word: Executive / Administrave preview, Executive review, Judicial Review
PENDAHULUAN Reformasi 1998 mempengaruhi desain konstitusi UUD 1945 untuk diadakan perubahan dan atau penambahan muatan pasal-pasal sesuai kondisi politik ketatanegaraan yang sedang menuntut perubahan (sampai dengan 2011 mengalami 4 kali perubahan/amandeman). Sebagai contoh pengaturan Pemerintahan daerah dalam Pasal 18 Bab VI UUD 1945, yang menyebutkan “… Pembagian daerah Indonesia atas wilayah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa…” sedangkan penjelasan Pasal 18 menyebutkan… ”Daerah Indonesia akan dibagi kedalam daerah propinsi dan daerah propinsi akan dibagi pula
dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek locale rechtsgemeen schappen ) atau bersifat daerah administrasi belaka semuanya, menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Derah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, ”Pasal tersebut setelah di amandeman (ke-IV) menjadi Bab VI Pasal 18, yang antara lain menyebutkan…” ayat (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah–daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap propinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undangundang. Ayat (2) Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut 17
asas otonomi dan tugas pembantuan, ayat (3) Pemerintahan daerah propinsi …kabupaten…kota memiliki DPRD… yang dipilih melalui pemilu (5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah Pusat… Pasal 18 A ayat (1) menyebutkan … ”Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah propinsi, kabupaten dan kota atau antara propinsi dan kabupaten dan kota diatur dengan undangundang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”. Ayat (2) menyebutkan… ”Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undangundang. Pasal 18 B antara lain menyebutkan ayat (1) menyebutkan… “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.. Kalau diperbandingkan pasal 18 (sebelum amandemen) dengan Pasal 18 (amandemen), maka hasil amandemen lebih tegas/jelas mengatur berkenaan dengan NKRI yang dibagi menjadi pemerintahan Pusat, Propinsi, Kabupaten dan Kota; prinsip otonomi seluas-luasnya; dan ada penambahan daerah yang bersifat khusus selain daerah yang bersifat istimewa. Desain Pengaturan Pemerintahan Daaerah sebagai amanat UUD 1945, telah ditindaklanjuti dengan dibentuknya berbagai produk perundangundangan di bidang pemerintahan daerah serta mengalami beberapakali pergantian, sejalan dengan perkembangan / pergeseran politik ketatanegaraan di Indonesia. Yang terakhir sebelum era reformasi, landasan atau pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (selanjutnya disingkat UU No.5 Th. 1974). UU tersebut mengalami perubahan / penggantian setelah era reformasi dengan ditetapkan UU N0.22 Tahun 1999 tentang Pemeritahan Daerah.
UU ini hanya berlaku beberapa tahun (5 tahun) saja, karena diketahui adanya kelemahankelemahan dalam materinya. Akhirnya Pemerintah sepakat bersama DPR melakukan penggantian UU N0.22 Th 1999 menjadi UU N0.32 Th.2004 tentang Pemerintahan Daerah), sehingga praktis UU 22 Th.1999 dinyatakan tidak berlaku lagi. Sejak diterapkan Otonomi daerah (otoda), pengawasan pusat terhadap kepala daerah semakin melemah. Peluang ini dimanfaarkan kepala daerah untuk melakukan penyelewengan. Saat ini, Otoda justru memberi kesempatan besar kepada kepala daerah untuk melakukan penyelewengan. Peluang korupsi lebih banyak karena kewenangan yang dimiliki cukup besar1. Otoda merupakan salah satu bagian dari kegiatan bagi-bagi kue antara pusat dan daerah. Demokrasi tak akan berjalan lancar bila masih banyak masyarakat yang bodoh dan perut lapar, semua harus terpenuhi dulu dengan baik2. Penyimpangan lainnya, saat pelaksanaan seleksi pegawai di daerah (CPNS) ditengarai terjadi banyak kecurangan (jual beli kursi pegawai, kolusi antara pejabat dengan calon pegawai)3. Dan tidak jarang kepala daerah ( dan bersamasama DPRD serta Pengusaha/pemodal) melegalisasi Pembangunan mall / apartemen /layanan publik diperkotaan yang menyalahi tataruang kota sehingga dapat menyebabkan degradasi lahan tanah perkotaan saat ini maupun untuk masa depan (akibatnya berupa perusakan lingkungan wilayah perkotaan dan otomatis pembangunan berkelanjutan terhambat) dan lain-lain penyimpangan. Fakta di atas mengindikasikan fungsi kontrol / pengawasan internal daerah “mandul” termasuk kontrol pusat terhadap daerah belum efektif. 1
Eko Prasojo, http://www.poskota.co.id, diakses 30 Nopember 2010 .2.Ganjar Pranowo, Pengawasan Pusat kepada Kepala daerah Melemah, http://www.poskota.co.id, diakses 30 Nopember 2010 3 Jawa Pos,12 Maret 2011, hlm.24
18
Berdasarkan paparan di atas peneliti mengambil judul penelitian Bentuk Pengawasan Pemerintah Pusat Terhadap Peraturan Daerah Dalam Era Otonomi Daerah (Pengkajian terhadap Undang-Undang No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah dan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Peneliti hanya mengambil obyek (membatasi perundang-undangan ) UU No.5 Th.1974 dan UU No. 32 Th.2004 serta peraturan pelaksanaannya sebatas Peraturan Daerah bukan Keputusan Kepala Daerah. UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak menjadi obyek riset oleh karena UU tersebut tidak berjalan lama yang selanjutnya diganti dengan UU No.32 tahun 2004.
(yang berarti pengawasan, termasuk didalamnya ada pengendalian). Pengendalian5 berarti proses, cara, perbuatan mengendalikan, pengekangan. Jadi pengertian “Controlling” lebih luas dari pengawasan (kegiatan pengawasan sebagian dari pengendalian).
RUMUSAN MASALAH Dari uraian latar belakang di atas, berkaitan dengan pengawasan pemerintah pusat kepada Pemeritah Daerah, peneliti mengangkat beberapa permasalahan antara lain: 1. Bagaimana Bentuk Pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah (Peraturan daerah) berdasarkan UU No.5 tahun 19754 tentang Pokok– Pokok Pemerintahan Di Daerah ? 2. Bagaimana Bentuk pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah daerah (Peraturan Daerah) berdasarkan UU No.23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Di daerah?
Hasil pengawasan harus dapat menunjukkan sampai dimana terdapat kecocokan atau ketidakcocokan dan apakah sebab-sebabnya. Dengan demikian, pengawasan dapat bersifat (1) politik, bilamana yang menjadi ukuran atau sasaran adalah efektivitas dan atau legitimasi, (2) yuridis (hukum), bilamana tujuannya adalah menegakkan yuridiksitas dan atau legalitas, (3) ekonomis bilaman yang menjadi sasaran adalah efisiensi dan teknologi, (4)moril dan susila bilamana yang menjadi sasaran atau tujuan adalah mengetahui keadaan moralitas (S.Prayudi Aemosiditjo,1995).
KAJIAN PUSTAKA Dalam mengkaji aspek hukum pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah, maka peneliti menguraikan tentang konsepsi pengawasan sebagai berikut: Secara harfiah4, pengawasan/kontrol mengandung arti penilikan dan penjagaan; pengawasan (umum) berarti pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap segala kegiatan pemerintah daerah. Dalam bahasa Inggris pengawasan disebut dengan “controlling” 4
Kamus BI,Balai Pustaka, 2001
Kontrolling disamping melakukan pengawasan dia juga melakukan kegiatan memberikan arahan / pengendalian supaya benar. Beberapa pendapat pakar mengenai pengertian pengawasan, menurut Prayudi “ pengawasan ” ialah kegiatan-kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan atau diperintahkan.
Menurut Sujamto6, pengawasan ialah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui menilai Kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas dan kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak. pengendalian sebagai segala usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar pekerjaan yang sedang dilaksanakan dapat berjalan dengan semestinya. Irawan Sujito mengatakan, pada umumnya dapat dikatakan, bahwa pengawasan terhadap segala kegiatan Pemerintah daerah 5
.Ibid
6
.Sujamto, 1990, Otonomi Daerah Yang Nyata dan Bertanggungjawab, Jakarta, Ghalia Indonesia. hlm. 19
19
termasuk Keputusan Kepala Daerah dan Peraturan Daerah, merupakan suatu akibat mutlak dan adanya Negara Kesatuan. Di dalam Negara Kesatuan kita tidak mengenal bagian yang lepas dari atau sejajar dengan negara tidak pula mungkin ada Negara di dalam Negara. Di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan pada umumnya diusahakan selalu adanya keserasian atau harmoni antara tindakan pusat atau Negara dengan tindakan daerah agar dengan demikian Negara dapat tetap terpelihara7. Sedangkan menurut Cappeletti, membedakan dua sistem pengawasan yang lazim dilakukan yaitu pengawasan secara yudisial (judicial review) dan pengawasan secara politik (political re-view). Istilah Judicial review dikenal dinegara yang menganut common law sistem. Pengawasan secara Judicial artinya pengawasan yang dilakukan oleh badan atau badan-badan yudisial. Sedangkan pengawasan secara politik artinya pengawasan yang dilakukan oleh badan-badan nonyudisial (lazimnya adalah badan-badan politik). Baik pengawasan (secara) politik ataau pun pengawasan (secara) yudisial dilakukan dengan cara menilai atau menguji (review), apakah suatu undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya atau tindakantindakan pemerintah yang ada (existing) atau akan diundangkan (akan dilaksanakan) bertentangan atau tidak dengan ketentuanketentuan undang-undang dasar atau ketentuan– ketentuan lain yang lebih tinggi daripada peraturan perundang-undangan atau tindakan pemerintah yang sedang dinilai. Wewenang menilai tersebut dalam kepustakaan kita sebut sebagai “hak menguji” (toetsingsrecht)8. Istilah ini dikenal dinegara-negara yang menganut civil law sistem (seperti Negara-negara di Eropa:Belanda)
Menurut Paulus Effendi Lotulung, ditinjau dari segi kedudukan dari badan / organ yang melaksanakan kontrol itu terhadap badan / organ yang dikontrol, dapat dibedakan antara jenis kontrol yang disebut kontrol intern dan kontrol ekstern. Kontrol intern berarti bahwa pengawasan itu dilakukan oleh suatu badan yang secara organisatoris / struktural masih termasuk dalam lingkungan pemerintah sendiri contohnya pengawasan yang dilakukan oleh pejabat atasan terhadap bawahannya secara hierarkis, sebaliknya kontrol ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang secara organisatoris / struktural berada diluar pemerintah dalam arti eksekutif. misalnya kontrol politis yang pada umumnya dilakukan oleh lembaga-lembaga. Dari segi waktu dilaksanakan suatu kontrol / pengawasan dapat dibedakan di dalam 2 jenis kontrol yaitu yang disebut kontrol a-priori dan kontrol a-posteriori, kontrol a-priori adalah bilamana pengawasan itu dilakukan sebelum dikeluarkannya suatu keputusan atau ketetapan pemerintah ataupun peraturan lainnya yang pengeluarannya memang menjadi wewenang pemerintah. Dalam hal ini tampak jelas unsur preventif dari maksud kontrol itu, sebab tujuan utamanya adalah untuk mencegah / mengindari terjadinya kekeliruan. Sedangkan kontrol aposteriori adalah bilamana pengawasan itu baru terjadi sesudah dikeluarkannya keputusan / ketetapan pemerintah atau sesudah terjadinya tindakan / perbuatan pemerintah. Dengan kata lain arti pengawasan disini adalah dititikberatkan pada tujuan yang bersifat korektif dan memulihkan suatu tindakan yang keliru9. Sedangkan tujuan pokok dari pengawasan/kontrol adalah untuk menghindari terjadinya kekeliruankekeliruan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, sebagai suatu usaha preventif atau juga untuk memperbaikinya apabila sudah
7
Irawan Soejito, 1990, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jakarta, Bineka Cipta, hlm. 57 8 ...Ni’matul Huda, 2010, Hukum Pemerintahan Daerah,Bandung, Nusamedia, hlm.104
9
Paulus Effendi Lotulung, 1993 Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 242 - 243
20
terjadi kekeliruan itu, sebagai suatu usaha represif. Dalam praktek adanya Kontrol itu sering dilihat sebagai sarana untuk mencegah timbulnya segala bentuk penyimpangan tugas pemerintahan dari apa yang telah digariskan. Memang disinilah letak inti atau hakekat dari suatu pengawasan10. Dari uraian di atas dalam penyelenggaraan pemerintahan terdapat macam / jenis pengawasan antara lain kontrol intern, ekstern, kontrol a-priori dan control a-posteriori, kontrol preventif (dalam bentuk pengesahan pejabat yang berwenang atasan) dan korektif / represif (dalam bentuk penundaan / penangguhan / schorsing dan pembatalan / vernietiging).\ Selain model pengawasan oleh hakim terhadap berbagai produk perundangan-undangan yang bertentangan dengan konstitusi yang lebih tinggi, yang disebut dengan Judicial Review ada juga model lain yaitu Legislative Review / Political Review dan Administrative Review / Executive Review. Legislative Review adalah pengujian / menilai terhadap berbagai produk perundang-undangan yang bertentangan konstitusi yang lebih tinggi bukan dilakukan oleh hakim namun dilakukan oleh lembaga legislatif, sedangkan Administrative Review / executive Review adalah pengujian / penilaian terhadap berbagai produk perundang undangan yang bertentangan dengan dengan konstitusi yang lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga eksekutif11. Sedangkan yang terakhir dikenal executive preview (pengujian /penilaian terhadap produk peraturan yang dilakukan oleh pemerintah yang berwenang sebelum produk peraturan tersebut diundangkan / diberlakukan, misalnya masih berupa Rancangan peraturan Daerah yang masih memerlukan pengesahan). TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Penelitian tentang pengawasan / kontrol Pe10
.Ibid .Jimly Asshiddiqie, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Konstitusi Pres, Jakarta, hlm. 83
11
merintah Pusat terhadap Peraturan Daerah memiliki tujuan antara lain : 1. Untuk mengetahui dan memperdalam kajian bentuk pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Peraturan Daerah menurut UU No.5 Th.1974 . 2. Untuk mengetahui dan memperdalam kajian bentuk pengawasan Pemeritah Pusat terhadap Peraturan daerah menurut UU No,32 tahun 2004 serta peraturan pelaksanaannya. Sedangkan manfaat yang akan diperoleh dalam penelitian ini berupa manfaat teoritis dan manfaat praktis. Dari Sisi (Teoritis) keilmuan Hukum Tata Negara, penelitian ini mempunyai manfaat untuk pengembangan kebijakan / politik ketatanegaraan (bentuk / mekanisme pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Daerah, sedangkan dari sisi praktis untuk mengevalusi, pelaksanaan pengawasan pusat terhadap pemerintah daerah/ peraturan daerah. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini (yang berorientasi kepada aspek hukum pengawasan Pemerintah Pusat tehadap peraturan daerah) lebih tepat mempergunakan tipe / jenis penelitian normatif / doctrinal dengan memakai beberapa pendekatan antara lain: conceptual, statute; dan comparatif approach. Pendekatan “conceptual” dan “Statute” bertujuan untuk menghimpun dan menganalisis perundang-undangan yang terkait dengan pemerintahan daerah sebelum dan sesudah Reformasi, sedangkan pendekatan “Comparatif” bertujuan untuk membandingkan (dengan maksud melakukan pencaharian kelebihan dan kelemahan) model / mekanisme pengawasan / kontrol Pemerintah pusat terhadap Pemerintah daerah yang diatur dalam kedua undang-undang dibidang pemerintahan daerah (UU No.5 Th.1974 dan UU No.32 Th.2004) . Aktivitas penelitian ini termasuk kategori pengkajian ilmu hukum “teori hukum, dan dogmatic hukum”. Pengkajian teori hukum bertujuan untuk melakukan analisis bahan hukum 21
(konsep dan norma hukum) dalam Hukum Tata Negara (pemerintahan daerah, aspek pengaturan pengawasan / kontrol Pusat terhadap Daerah /peraturan daerah), Sedangkan pengkajian dogmatik hukum berusaha untuk mempelajari dari segi teknis “norma pengawasan / kontrol pemerintah” yang termuat dalam perundangundangan dibidang pemerintahan daerah, khususnya peraturan daerah.
otonomi berdasar UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, peneliti akan menampilkan terlebih dahulu hasil pengkajian terhadap berlakunya UU No.5 tahun 1974 dalam bentuk skema pengawasan pusat terhadap peraturan daerah (executive preview ) sebagai berikut: Skema 1: Pengawasan Pemerintah Pusat thd. Peraturan Daerah Prop./Tk.II
Peneliti menentukan dua sumber bahan hukum yaitu sumber bahan hukum primer (primary source) berupa perundang-undangan resmi (UU N0.5 Th.1974 dan UU No.32 Th.2004 dan peraturan pelaksanaannya) serta sumber bahan hukum sekunder (secondary sources) berupa buku-bukul, website yang erat kaitannya dengan obyek penelitian . Langkah pertama peneliti mengumpulkan bahan-bahan hukum (hukum positif) melalui studi dokumentasi (termasuk penelusuran website). Bahan-bahan yang telah didapat kemudian dilakukan inventarisasi secara sistematis. Inventarisasi tersebut berkaitan dengan berbagai perundang-undangan (UU No.5 Th.1974, UU No.32 Th. 2004 dan peraturan pelaksanaannya). Hasil pengumpulan bahan hukum baik yang primer maupun sekunder, selanjutnya pengolahan (teknis yuridis) dengan bantuan interpretasi hukum (seperti interpretasi gramatikal, sistematis, historis dan teleologis. Kesemuanya hasil pengolahan bahan hukum tersebut dilakukan analisis (sifat analisis bahan hukum disini adalah kualitatif). HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Bentuk Pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Peraturan Daerah Berdasar UU No.5 Tahun 1974 Pengkajian Pengawasan pusat terhadap produk peraturan daerah (selanjutnya disingkat Perda), baik Perda Propinsi (Pemda Tk.I) dan Perda Tk.II (Kota / kabupaten) di era otonomi tingkat II berdasar UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah serta Perda Propinsi dan Perda Kota / Kabupaten di era
Sumber : Undang-undang No.5 tahun 1974 dan diolah oleh peneliti
Dari skema 1 di atas peneliti dapat dijelaskan bahwa bentuk pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Peraturan daerah di pemerintah daerah (Propinsi maupun Kotamadya / kabupaten), pada dasarnya dikenal 2 (dua) bentuk pengawasan, yaitu bentuk pengawasan preventif dan pengawasan represif. Pengawasan preventif maksudnya, peraturan daerah yang telah dibuat bersama antara DPRD Tk.II dengan Pemerintah Kotamadya / kabupaten secara substansial ada yang memerlukan pengesahan pejabat / penguasa atasannya (sebelum perda diundangkan). Dalam pasal 68 s.d 69 UU No,5 tahun 1974, yang menyebutkan : Pasal 68: Dengan peraturan Pemerintah dapat ditentukan bahwa peraturan daerah dan keputusan kepala 22
daerah mengenai hal-hal tertentu, baru berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang. Pasal 69: (1). Peraturan daerah dan atau keputusan kepala daerah yang memerlukan pengesahan, dapat dijalankan sesudah ada Pengesahan pejabat yang berwenang atau apabila setelah 3 (tiga) bulan sejak diterimanya peraturan daerah dan atau keputusan kepala daerah tersebut, pejabat yang berwenang tidak mengambil sesuatu keputusan. (2). Jangka waktu 3 (tiga) bulan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, oleh pejabat yang berwenang dapat diperpanjang 3 (tiga) bulan lagi, dengan memberitahukannya kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan sebelum jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berakhir. (3). Penolakan pengesahan peraturan daerah dan atau keputusan kepala daerah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, oleh pejabat yang berwenang diberitahukan kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan disertai alasanalasannya. (4). Terhadap penolakan pengesahan yang dimaksud dalam ayat (3) pasal ini, Daerah yang bersangkutan dalam waktu 1 (satu) bulan terhitung mulai saat pemberitahuan penolakan pengesahan diterima, dapat mengajukan keberatan kepada pejabat setingkat lebih atas dari pejabat yang menolak. Ketentuan di atas menerangkan prosedur bahwa peraturan daerah yang telah selesai dibahas antara pemerinah bersama / dengan DPRD, tidak otomatis berlaku, peraturan daerah (yang dibuat oleh Kotamadya / kabupaten) substansinya masih memerlukan pengesahan melalui Gubernur (penjelasan umum bagian 6 UU No.5 tahun 1974), sedangan peraturan daerah yang dibuat oleh DPRD Tk.I bersama Pemerintah Tk.I / Gubernur (dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi) pengesahannya melalui Menteri Dalam Negeri. Pengesahan terhadap produk peraturan daerah dilakukan oleh pejabat yang
berwenang / atasannya dan hanya setingkat lebih tinggi. Setelah memperoleh pengesahan maka produk peraturan daerah dapat dilaksanakan atau setelah 3 bulan sejak diterimanya peraturan daerah oleh pejabat atasanya yang berwenang tidak diambil keputusan (pasal 69 ayat 2) secara otomatis peraturan daerah dapat dijalankan. Disamping itu juga dapat diperpanjang 3 bulan oleh pejabat atasan dan perpanjangan ini disampaikan / diberitahukan kepada pemerintah daerah (pasal 69 ayat 2). Bisa terjadi pengesahan peraturan daerah ditolak oleh pejabat atasan / berwenang yang disertai alasan-alasan penolakannya Dalam waktu 1 bulan sejak diterimanya pemberitahuan-nya penolakan tersebut, pemerintah daerah dapat mengajukan keberatan kepada pejabat setingkat lebih atas dari pejabat yang menolak. Pengesahan ataupun penolakan terhadap produk peraturan daerah oleh pejabat atasan itu bermakna koreksi / review / penilaian terhadap substansi peraturan daerah tersebut (disebut juga model executive review / administrative review). Sedangkan Substansi peraturan daerah yang memerlukan pengesahan kriterianya adalah peraturan daerah berkenaan yang mengikat rakyat, mengandung perintah, larangan, keharusan untuk berbuat sesuatu / tidak berbuat sesuatu dan lain-lain yang ditujukan kepada langsung kepada rakyat, berisi ancaman pidana berupa denda / kurungan atas pelanggaran ketentuan tertentu yang ditetapkan dalam peraturan daerah, pemberian beban kepada rakyat (misalnya pajak / retribusi daerah). Ini berarti diluar alasan-alasan / substansi tersebut tidak memerlukan pengesahan pejabat berwenang / atasannya. Maksud dilakukan pengawasan atau kontrol tidak lain agar menjamin keserasian penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah didaerah dan menjamin kelancaran pemerintahan secara berdayaguna dan berhasil guna atau mencegah agar isi peraturan daerah tidak mengandung penyalahgunaan wewenang atau sewenangwenang. Kalau penulis cermati uraian di atas terutama terhadap substansi peraturan daerah yang memerlukan pengesahan (executive preview) 23
kriterianya antara lain keharusan untuk berbuat / tidak berbuat dan lain-lain yang ditujukan langsung kepada rakyat, klausul “dan lain-lain” yang tercantum dalam penjelasan UU No.5 tahun 1974 bagian ke-6, akan menimbulkan multitafsir dan belum jelas maksudnya bagi perancang baik itu usulan yang berasal dari DPRD maupun pemerintah daerah (kotamadya / kabupaten), begitu juga terhadap peraturan daerah yang memerlukan pengesahan kemudian pengesahannya ditolak oleh atasan yang berwenang, boleh mengajukan keberatan. Prosedur / mekanismenya keberatan dalam UU tersebut beserta penjelasan tidak / belum jelas misalnya sejak kapan boleh diajukan keberatan, apakah keberatan bisa diterima, tenggang waktu jawaban keberatan diterima, dan bilamana keberatan ditolak/tidak dikabulkan, apakah keberatan bisa diajukan lagi dalam waktu yang berbeda, pertannyaan-pertanyaan seperti itu belum tertuang dalam UU / penjelasannya. Sedangkan model pengawasan kedua adalah pengawasan represif, lebih menitikberatkan terhadap produk peraturan daerah yang substansinya bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan perundangundangan atau peraturan daerah tingkat atasnya, peraturan daerah semacam ini dapat ditangguhkan pemberlakuannya atau dibatalkan oleh pejabat yang berwenang (Gubernur atau Menteri Dalam negeri) sebagaimana tertera dalam pasal 70, yang menyebutkan : Pasal 70 : 1) Peraturan daerah dan atau keputusan kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundangundangan atau peraturan daerah tingkat atasnya ditangguhkan berlakunya atau dibatalkan oleh pejabat yang berwenang. 2) Apabila gubernur kepala daerah tidak menjalankan haknya untuk menangguhkan atau membatalkan peraturan daerah tingkat II dan atau keputusan kepala daerah tingkat II sesuai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, maka penangguhannya dan atau
membatalkannya dapat dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. 3) Pembatalan Peraturan daerah atau keputusan kepala Daerah yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini, karena bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan atau peraturan daerah tingkat atasnya, mengakibatkan batalnya semua akibat dari peraturan daerah dan atau keputusankepala daerah yang dimaksud, sepanjang masih dapat dibatalkan Ketentuan di atas dapat ditampilkan dalam skema dibawah ini: Skema 2: Pengawasan Represif thd. Peraturan Daerah
Sumber : Dioleh dari berbagai Literatur
Lebih jelasnya, Perda yang telah diundangkan baik yang berasal dari Propinsi maupun Pemerintah kota / kabupaten manakala materinya / substansinya bertentangan dengan peraturan di atasnya / yang lebih tinggi atau bertentangan dengan kepentingan umum maka perda tersebut akan ditangguhkan (schorsing) atau dibatalkan (vernietiging). Tentu saja penangguhan / maupun pembatalan disertai alasan-alasan penangguhan atau pembatalan peraturan daerah. Alasan tersebut akan diberitahukan oleh pejabat atasan yang berwenang dalam jangka waktu 2 minggu sejak keputusan penangguhan / pembatalan perda 24
tersebut. Jangka waktu penangguhan paling lama 6 bulan (sejak penangguhan secara otomatis peraturan daerah kehilangan kekuatan berlaku). Dan apabila dalam waktu 6 bulan setelah penangguhan tidak disusul dengan keputusan pembatalan maka peraturan daerah tersebut memperoleh kekuatan berlaku (disertai pengumuman dalam lembaran daerah) (pasal 70 ayat 2,3,4,5,6 dan 7). Menurut penulis pasal 70 UU No.5 tahun 1974 perlu dikritisi, misalnya dalam pasal 70 ada pernyataan bahwa produk peraturan daerah dapat ditangguhkan / dibatalkan manakala substansinya bertentangan dengan kepentingan umum, pernyataan kepentingan umun tidak dijelaskan maksudnya mupun kriterinya. Pasal 70 ini menganut eksekutif review artinya produk peraturan daerah (yang sudah diundangkan / berlaku) bertentangan dengan peraturan di atasnya / kepentingan umum dapat ditangguhkan / dibatalkan oleh gubernur / Menteri dalam negeri. Ketentuan ini dengan tegas menganut stufenbau theory (teori berjenjang) yang dikemukakan oleh Hans kelsen (dan Nawiasky), yang inti ajaranya bahwa peraturan perundangundangan dibawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya. Ketentuan pasal 70 ini menimbulkan persoalan hukum antara lain : apakah produk peraturan daerah yang ditangguhkan / dibatalkan dapat diajukan pengujian ke mahkamah Agung (Judicial review), dan bagaimana mekanismenya (termasuk jangka waktu pengajuan ke MA). Semestinya produk peraturan daerah itu tadi bisa di Judicial Review sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung (kewenangan MA diatur dalam perundang-undangan tentang kekuasaan kehakiman). 2.
Bentuk Pengawasan Pemerintah Pusat Terhadap Pemerintah Daerah (Peraturan Daerah) Berdasar UU No.32 Tahun 2004. Selanjutnya, sebelum membahas sub judul
di atas, penulis perlu menelusuri landasan hukum bentuk pengawasan pemerintah pusat terhadap produk peraturan daerah dalam wilayah Pemerintah daerah yaitu berdasarkan pasal 218 UU No. 32 tahun 2004 yang menyebutkan: Pasal 218: 1) Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh pemerintah yang meliputi: a) pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan daerah; b) Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. 2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh aparat pengawas intern pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal tersebut memberi dasar bahwa peraturan daerah (Gubernur) dan peraturan daerah Pemerintah Kabupaten / kota tetap akan mendapat kontrol / pengawasan pemerintah, namun belum dijelaskan dalam pasal tersebut (ayat 2) tentang bentuk / mekanisme pengawasannya. Pasal 218 UU No.32 Th. 2004 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.53 tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Selanjutnya disingkat Permendagri). Dalam Permendagri diatur setiap raperda (muatannya selain pajak, retribusi daerah, tataruang daerah, APBD, Perubahan APBD, pertanggungjawaban APBD baik raperda propinsi atau raperda kota / kabupaten) yang telah disetujui bersama tersebut, selanjutnya kepala Daerah menetapkan Raperda dengan menandatanganinya 30 hari sejak raperda disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah. Bilamana kepala daerah tidak menandatangi raperda otomatis raperda menjadi perda dan wajib diundangkan dalam lembaran daerah (pasal 40, 41 Permendagri). Proses raperda yang otomatis menjadi Perda kuring / tidak mendapat kontrol dari pejabat atasannya atau yang berwenang (executive preview). Baik 25
Perda Propinsi maupun Kota / kabupeten tersebut selanjutnya harus disampaikan ke Mendagri (untuk Perda Propinsi ) dan ke Gubernur (untuk Perda Kota / kabupaten) untuk diklarifikasi oleh tim klarifikasi ( untuk dilakukan pengkajian / penilaian apakah perda / perkada tersebut bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi ataukah sesuai dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (pasal 73,75,78 Permedagri) (proses ini dikenal dengan executive review). Mekanisme Raperda menjadi Perda tersebut dapat ditampilkan dalam skema 3 dibawah ini: Skema 3 : Mekanisme Raperda Menjadi Perda
Sumber : Dioleh dari berbagai Literatur
Selanjutnya Raperda yang telah diundangkan menjadi Perda (skema 3) . Perda tersebut harus mendapat klarifikasi oleh Tim klarifikasi, dapat ditampilkan dalam skema 4 dibawah ini: Skema 4: Pengawasan Mendagri Terhadap Perda Propinsi
Sumber:Permendagri No.53 Th.2011 & diolah Oleh Presiden
peneliti
Penjelasan Skema 4 di atas sebagai berikut: Gubernur menyampaikan perda Propinsi kepada Mendagri (melalui Sekjen) paling lama 7 hari setelah ditetapkan mendapatkan klarifikasi (klarifikasiyang dimaksud adalah perda tersebut dikaji / dinilai oleh tim klarifikasi (dibentuk oleh Mendagri melalui Sekjen) untuk mengetahui apakah subsatansi perda sesuai atau tidak sesuai dengan kepentingan umum/ peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Manakala hasil klarifikasi diketahui perda propinsi sesuai dengan kepentingan umum / peraturan perundangundangan yang lebih tinggi maka perda bisa dinyatakan berlaku. Sebaliknya manakala perda propinsi tidak sesuai dengan kepentingan umum / peraturan yang lebih tinggi maka Mendagri merekomendasikan kepada kepala Daerah / Gubernur untuk menyempurnakan substansi perda atau merekomendasikan perda untuk dicabut. Akan tetapi kalau Gubernur / kepala Daerah tetap tidak menindaklanjuti samasekali rekomendasi Mendagri, maka Mendagri mengusulkan kepada Presiden agar Perda propinsi tersebut untuk dibatalkan (proses ini disebut executive review). Proses / mekanisme seperti itu (skema 4) urutannya berlaku juga untuk perda kabupaten maupun kota harus mendapatkan klarifikasi oleh tim yang dibentuk oleh Gubernur. Manakala Pemerintah Daerah kabupaten / kota tidak melaksanakan hasil klarifikasi maka Gubernur (melalui Mendagri) mengusulkan kepada Presiden untuk pembatalan sebagian / seluruh substansi perda kabupaten / kota disertai alasanalasan terhadap pasal / ayat yang tidak sesuai dengan kepentingan umum / peraturan yang lebih tinggi. Dalam waktu paling lama 60 hari Presiden tidak mengeluarkan pembatalan (dalam bentuk produk Peraturan Presiden), selanjutnya perda kabupaten / kota dinyatakan berlaku atau dalam 26
waktu w 7 hari setelah diterimanya pembatallan (oleh Presiiden) makaa kepala daerah harrus menghentika m an pelaksan naan Perda (dan DPR RD bersama b keppala Daerah mencabut perda p tersebuut) (pasal 77 s.d 82 Permendagri) P ). Bisa juuga Pemerintah P daerah Proopinsi / kabupaten / koota tidak t mau menerima / menolaak keputusan pembatalan p p langkkah dari Presideen terhadap perda, berikutnya b kepala daerah dapat mengajukkan keberatan k keepada Mahk kamah Agun ng (selanjutnnya disingkat d M MA) terhaadap pembbatalan perrda propinsi p / kabupaten / kota. Keeberatan yanng diajukan d k kepada Maahkamah Agung A dappat dikabulkan d sebagian / seluruhnnya berakibbat Peraturan P P Presiden (yaang isinya membatalkkan Perda) P menjadi batall (dan tid dak memiliiki kakuatan k hukum). h Prooses ini disebut denggan Judicial J r review (diaatur dalam m pasal 83 Permendagr P ri). Ketentuaan pasal 83 3 Permendaggri ini i dapat diiartikan / ditafsirkan penulis, bahw wa keputusan k M disampinng mengabullkan keberattan MA yang y diajukkan oleh kepala k Daerrah bisa juuga keberatan k ditolak d olehh MA. Nam mun menurrut penulis, p peertama dallam Permeendagri tiddak dijelaskan d kriteria bertentanggan denggan “kepentinga “ an umum“, ini menim mbulkan muulti tafsir t dalam pelaksanaannnya.
tataa ruang daerrah dan lainn-lain? mekkanismenya berbbeda atau diiatur tersenddiri dalam Peermendagri (Passal 41 ayyat 5). Mekanismen M nya dapat ditaampilkan dallam skema dibawah d ini:
Selaiin itu, kedua k mennurut penuulis pembatalan p perda Proopinsi produuk hukumnnya berupa b Perraturan Pressiden seharrusnya cukuup dalam d bentu uk Peraturan n Mendagri, ketiga khussus pembatalan p Perda Kabuupaten / kota tidak perrlu memakai m p produk huukum beruppa Peraturran Presiden P (Paasal 76 dan 79 ayat 4 Permendagrri), dengan d alaasan efektiv vitas, seharrusnya cukuup dilakukan d o oleh atasan langsung dalam d hal iini Gubernur G (dalam bentuk produuk Peraturran Gubernur) G s setelah menndapatkan masukan daari tim t klarifikaasi yang dibeentuk oleh Gubernur. G
d atas sebaggai berikut: Penjelassan skema di Rapperda Propinnsi diajukan / disampaikkam kepada Menndagri unntuk mem mperoleh klarifikasi (maaksudnya Raperda dikaaji / dinilaii oleh tim evaluasi yang dibentuk d oleeh Mendagrri terhadap substansi raperdda apakah seesuai atau tiidak sesuai ngan kepenntingan um mum atau peraturan den peruundang-undaangan yangg lebih tingggi). Hasil evaluasi Tim m, terhadapp raperda propinsi o Mendaggri kepada selaanjutnya dissampaikan oleh Gubbernur palingg lambat 15 hari sejak diterimanya d rapeerda oleh G Gubernur. Hasil H evaluasi tersebut dalaam tengganng waktu paling p lam ma 7 hari, Gubbernur menindak lanjuuti hasil evaaluasi dan dapat diundaangkan (P Pasal 61 s.d 65 mendagri). Proses ini i dikenal dengan Perm execcutive preview. Setelah h diundanggkan dan paliing lama 7 hari, Gubbernur menyyampaikan Perdda kepada Mendagri untuk diiklarifikasi.
Skema 3 dan 4 yan ng telah diu uraikan di attas berkaitan b r raperda / perda p yang substansinnya selain berissi pajak, rettibusi daeraah, tata ruanng daerah, d A APBD, peerubahan APBD d dan pertanggung p gjawaban APBD. Bagaaimana halnnya perda p yang bermuatan pajak, retriibusi daeraah,
Skema 5: Mekanisme pengawasan n Pemerintahh Pusat terhadap.Raperdda Propinsi.
Sum mber : Dioleh daari berbagai Liiteratur
27
Klarifikasi dilakukan oleh tim evaluasi Mendagri Manakala hasil klarifikasi sesuai dengan hasil evaluasi maka perda propinsi tetap berlaku, akan tetapi manakala hasil klarifiksi tidak sesuai dengan hasil evaluasi maka perda tersebut dapat dibatalkan oleh Mendagri, proses ini dikenal dengan sebutan executive review. (Pasal 71 Permendagri). Mekanisme / prosedur tersebut (dalam skema 5) sama / berlaku untuk raperda kabupaten / kota yang berkaitan pajak, retribusi daerah, tata ruang daerah, perubahan APBD, APBD, pertanggungjawaban APBD. Sedikit ada perbedaan bahwa raperda kota / kabupaten cukup diajukan ke Gubernur (bukan ke Mendagri) dan dievaluasi oleh tim bentukan Gubernur (maksudnya raperda dinilai / dikaji terlebih dahulu apakah substansinya sesuai ataukah tidak sesuai dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan peraturan yang lebih atas). Bupati / Walikota menindaklanjuti hasil evaluasi paling lama 7 hari sejak diterimanya hasil evalusai dan selanjutnya dinyatakan berlaku. Sebaliknya manakala Bupati / Walikota tidak menindaklanjuti hasil evaluasi dan tetap menetapkan Perda maka Gubernur dapat membatalkan Perda (Pasal 70 Permendagri). Menurut penulis, pertama evaluasi raperda kota / kabupaten berkenaan dengan sesuai / bertentangan dengan “kepentingan umum”, makna / batasan “kepentingan umum” dalam permendagri belum dijelaskan kriterinya, kedua manakala Gubernur atau Bupati / Walikota keberatan terhadap pembatalan yang dilakukan oleh Mendagri atau Gubernur tidak dimungkinkan oleh Permendagri diajukan keberatan kepada MA (Judicial Review), ketiga permendagri tidak menjelaskan jenis/bentuk produk hukum yang dikeluarkan oleh Mendagri/ Gubernur berkenaaan pembatalan raperda/perda. Berdasarkan uraian pada bagian VI a dan VIb di atas dapat dikemukakan beberapa hal yaitu bahwa UU No.5 tahun 1974 menganut dengan tegas bentuk pengawasan preventif/executive preview (dalam arti setiap
perda harus mendapatkan pengesahan atasannya langsung (kalau perda yang berasal dari kota/kabupaten maka pengesahannya oleh gubernur, sedangkan perda yang berasal dari gubernur/provinsi pengesahannya oleh Menteri Dalam Negeri) dan pengawasan represif (executive review) dalam arti Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan di atasnya dapat dibatalkan/ ditangguhkan), sedangkan kelemahan UU tersebut tidak dengan tegas mengatur Judicial review ke Mahkamah Agung terhadap keberatan perda Propinsi/ kota/kabupaten yang dibatalkan/ditangguhkan beserta tenggang waktu pengajuan Judicial review. Sedangkan UU No.32 tahun 2004, menganut bentuk pengawasan peraturan daerah yaitu executive review (maksudnya raperda termasuk maupun perda yang berasal dari Gubernur/Kota/ kabupaten perlu dievaluasi, klarifikasi oleh Mendagri) dan juga Judicial review oleh Mahkamah Agung (dalam arti perda yang berasal dari Gubernur/kota/kabupaten yang dibatalkan oleh Presiden dapat diajukan keberatan kepada Mahkamah Agung dalam hal perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan di atasnya. Kelemahan UU ini terkait executive review adalah raperda/perda kabupaten/kota yang membatalkan bukan atasan langsung (gubernur) namun Mendagri atas usulan Gubernur, manakala berdasarkan klarifikasi Gubernur bahwa raperda/perda bertentangan dengan kepentingan umum, atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Undang-Undang No.5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah, menganut bentuk pengawasan preventif (executive preview) dalam arti pemerintah pusat dapat melakukan pengawasan / kontrol terhadap peraturan Daerah baik perda yang berasal dari Gubernur / pemerintah provinsi tk.I maupun perda yang 28
berasal dari pemerintah daerah tk.II. Perda yang berasal dari pemerintah daerah Tk.I harus mendapatkan pengesahan dari Menteri Dalam Negeri dan perda yang berasal dari Pemerintah daerah Tk.II harus mendapatkan pengesahan dari Gubernur / Pemerintah daerah Tk.I. Tidak selalu perda mendapatkan pengesahan pejabat atasannya, dimungkinkan perda tidak mendapatkan pengesahan atasannya atau ditolak atasannya. Perda yang ditolak, dapat diajukan keberatan kepada pejabat yang berwenang / atasannya. Perda kota / kabupaten yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan diatasnya dapat ditangguhkan (schorsing) / dibatalkan (vernietiging) oleh pejabat yang berwenang (gubernur). Dan apabila gubernur tidak menjalankan haknya (menangguhkan / membatalkan), maka Mendagri dapat menangguhkan atau membatalkannya. UU ini juga memberi ruang manakala perda telah dibatalkan oleh atasannya, dapat diajukan (untuk diuji) kepada Mahkamah Agung (Judicial Review). Undang–Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menganut bentuk pengawasan pemerintah pusat terhadap peraturan daerah (gubernur / propinsi / kota / kabupaten) executive review / administrative review, maksudnya perda propinsi / Kabupaten / Kota perlu klarifikasi (dikaji atau dinilai oleh Tim apakah muatan perda sesuai / tidak sesuai dengan kepentingan umum / bertentangan peraturan yang lebih tinggi) oleh Mendagri atau Gubernur. Hasil klarifikasi terhadap perda propinsi tidak ditindaklanjuti oleh gubernur maka dapat dibatalkan (vernietiging) oleh Presiden atas usulan Mendagri. Begitu juga manakala perda kabupaten / kota yang telah diklarifiksi oleh Tim bentukan Gubernur tidak ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kota / kabupaten maka perda dapat dibatalkan (vernietiging) oleh Presiden atas usulan Gubernur melalui Mendagri. Dalam hal pemerintah daerah provinsi, kabupaten / kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan (Presiden), kepala daerah dapat
mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung (Judicial review). Sedangkan raperda yang muatannya / substansinya berkenaan pajak, retibusi daerah, tata ruang daerah, APBD, perubahan APBD dan pertanggungjawaban APBD harus dievaluasi (maksudnya raperda dikaji / dinilai apakah substansinya sesuai kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi ataukah bertentangan / tidak sesuai dengan kepentingan umum / peraturan yang lebih tinggi). Untuk raperda yang berasal dari Gubernur akan dievaluasi oleh Tim evaluasi bentukan mendagri. Hasil evaluasi dapat ditindak lanjuti oleh Gubernur (untuk diperbaiki / disempurnakan) dan manakala Gubernur tidak merespon atau tidak menindaklanjuti maka Mendagri akan membatalkan Perda tersebut. Hal ini juga berlaku terhadap raperda kota / kabupaten, manakala Bupati / Walikota tidak menindaklanjuti hasil evaluasi tim bentukan Gubernur maka perda tersebut akan dibatalkan oleh Gubernur. Numun untuk raperda berkenaan pajak, retribusi, tata ruang daerah dan lain-lain yang dibatalkan oleh Mendagri / Gubernur dalam Permendagri No. 53 Th.2011 tidak dimungkinkan untuk diajukan keberatan kepada MA (Judicial Review). Beberapa kelemahan UU No,5 tahun 1974 adalah pertama tidak dengan tegas mengatur tentang yudicial review termasuk prosedurnya, kedua, belum mengatur dengan jelas tentang bolehkan perda yang dibatalkan dapat diajukan lagi keberatan dalam waktu yang berbeda. Sedangkan UU tersebut menganut bentuk pengawasan perda secara preventif dan represif (Executive preview / review). Sedangkan UU No.32 tahun 2004 dan peraturan pelaksanaanya (Permendagri No.53 Tahun 2011) menganut pengawasan executive preview / review serta Judicial Review. Terkecuali tidak dengan jelas diatur mengenai Judicial review terhadap perda berkaitan pajak, retribusi daerah, tata ruang daerah, APBD, perubahan APBD, serta pertanggungjawaban APBD.
29
SARAN Undang–Undang No.32 Tahun 2004 perlu penyempurnaan berserta Permedagri No.53 Tahun 2011, pertama perlu diatur batasan / lingkup atau kriteria kepentingan umum berkaitan untuk mengukur peraturan daerah yang bertentangan dengan kepntingan umum, sehingga terhindarkan multitafsir. Kedua, perlu ada pengaturan tenggang waktu untuk dapat mengajukan yudicial review ke MA ________________________________________ DAFTAR PUSTAKA _______,Peningkatan Fungsi Kontrol Masyarakat
terhadap Lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif, Makalah, CipanasCianjur, 26 Juli 2000. Amrusyi, Fahmi, 1987, Beberapa Pemikiran Tentang otonomi Daerah, Jakarta, Media Sarana Press. Arinanto, Satya (editor), 2009, Memahami Hukum dari Konstruksi sampai implementasi, (kumpulan Tulisan dalam Peringatan Ulang Tahun yang ke-40 Prof.Dr.Zudan arif Fakrulloh,SH), Jakarta, Rajawali Pers. Asshiddiqie, Jimly, 2005, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Konstitusi Pres,Jakarta. Effendi Lotulung, Paulus, 1993, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintah, Bandung, Citra Aditya Bakti. Huda, Ni’matul, 2010 Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung, Nusamedia. Kaho, Riwu, 1992, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia , Jakarta, Bina Aksara. Mahfud MD, M, 1998, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta, LP3ES. Manan, Bagir, 1993, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, Karawang, UNSIKA. Sir William O Hart, J.F.gaeper, 1973, Introductian To The Law The Local Government and Administration , London. Soejito, Irawan, 1990, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jakarta,
Bineka Cipta. Sujamto, 1990, Otonomi Daerah Yang Nyata dan Bertanggungjawab, Jakarta, Ghalia Indonesia. _______, 1983, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, Jakarta, Bina Aksara. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah (LN RI Th.1974 No.38). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN RI Th.2004 No.125), Peraturan Menteri Dalam Negeri Nimor 53 Tahun 20011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (BN RI Tahun 2011 Nomor 694) http://www.poskota.co.id. Pengawasan Pusat kepada Kepala daerah Melemah, 30 Nopember 2010 http://www.bappenas.go.id. Penyelenggaraaan Kewenangan dalam Konteks Otonomi Daerah, Juni2010
30