AKTUALITAS FILSAFAT ILMU SEBAGAI DASAR DAN ARAH PENGEMBANGAN ILMU HUKUM Abd. Rachman A. Latif*. Dosen Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang Abstract Philosophy of science and jurisprudence has a close relation and interactive characteristic. Civilization of science becomes the part of nation culture, being a prosperous growing place of scientific society. Ontologically, jurisprudence as sosial science identifies a law with society tendency, including values of law such as justice, orderliness, truth of law, written and unwritten law method and also abstract and concrete method. The concept of nation law based on Pancasila contains a confession principle of God law, natural law and ethics law. The method of science connotes philosophical epistemology, meanwhile research method connotes technologically, which is a concrete explanation of natural law. Keywords: philosophy of science, development of jurisprudence
PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Manusia sebagai insan dinamis, produktif dan kritis dipandang dari substansi. Jika dipandang dari struktur manusia sebagai sosok makhluk yang berakal, sesuai dengan Firman Allah dalam Al-Qur’an (Surat At-Tiin: 4), “Aku ciptakan manusia dengan sebaik-baiknya bentuk”.1 Salah satu bentuk manusia yang paling berharga adalah akal, dimana tidak dimiliki oleh setiap makhluk Allah. Dengan segala macam problematika hidup dan kehidupan dapat diselesaikan dengan baik berkat akal dan pemikiran dengan segala macam metode dan strategi yang disusunnya. Sumber daya pada manusia tak dapat terpisahkan dari bentuk kodrati manusia itu sendiri, dimana diantara keduanya merupakan suatu bentuk interaksi yang harmonis. Bentuk sumber daya itulah akal/fikiran dan hati/qolbu. Sumber daya akal merupakan sumber daya strategi untuk mencapai tingkat kehidupan yang optimal, sedangkan hati adalah sumber data etik atau moral, tata nilai jiwa yang berkaitan dengan 1
Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, PT. Bumi Restu, Jakarta, 2000, hlm 1076.
sikap dan perilaku seseorang untuk mencapai kualitas hidup di dalam masyarakat atau organisasi sebagai jalur aplikatif hasil-hasil pola pikir seseorang. Produk akal dapat meresap ke dalam diri manusia adalah nilai suatu ilmu utamanya filsafat ilmu, dengan demikian akan dapat mempengaruhi cara berfikir serta dapat pula menghiasi sikap dan perilaku sebagai hasil interaksi antara akal dan hati yang akan muncul di atas permukaan kehidupan, bahkan perbuatan manusia ditentukan oleh isi akalnya. Filsafat ilmu telah mengembangkan suatu metode keilmuan tidak saja dalam tatanan teoritik, tetapi juga pengembangan praktis. Terdapat beberapa dasar bahwa filsafat ilmu dapat dipergunakan sebagai salah satu metode adalah karena filsafat ilmu telah menyadarkan kita akan besarnya peranan logika untuk memperoleh/menarik kesimpulan, sehingga terdapat keterkaitan yang erat antara bidang logika, filsafat ilmu, bahasa hukum dan ilmu hukum. Dari sini filsafat mengandung implikasi bagi penggalian ilmu hukum, yang pada gilirannya akan memperkaya pemahaman tentang ilmu hukum baik dalam
27 pengembangan hukum teoritis maupun pengembangan hukum praktis. Ilmu pengetahuan hukum yang berobyek kenyataan bermasyarakat (social reality) dan dipahami bahwa hukum merupakan satu proses, karenanya hukum sebagai suatu sistem yang dinamik, maka hukum merupakan bagian dari ilmu pengetahuan sosial (Social science) termasuk ilmu pengetahuan perilaku (Behavioral science), diikuti pengetahuan dan penerimaan atas pandangan bahwa ilmu pengetahuan alamiah dan budaya, keduanya memberikan pengaruh besar dan positif terhadap usaha pengembangannya. Metode keilmuan (Scientific method) dapat digunakan untuk mengembangkan ilmu hukum sebagai fenomena kemasyarakatan yaitu dengan satu-satunya cara oleh pikir melalui analitico synthetic. Ilmu pengetahuan hukum itu benar-benar merupakan satu ilmu. Tentu saja untuk dapat disebut satu ilmu harus dipenuhi beberapa persyaratan tertentu. Banyak sudah para sarjana yang telah memberikan pendapat tentang persyaratan tersebut, namun kesemuanya itu selalu mengandung unsur scientific method.22) Poejawijatna mengatakan, bahwa agar pengetahuan dapat disebut ilmu harus mempunyai unsur-unsur: a. Ilmu harus berobyektifitas, artinya jika ilmu mau setia akan tujuannya, haruslah ia mencari persesuaian pengetahuannya dengan obyeknya; b. Ilmu harus bermetodos, maksudnya dalam usaha mencari kebenaran menggunakan cara tertentu yang disebut metodos; c. Ilmu sedapat mungkin haruslah universal, artinya pengetahuan yang mengenai umum; d. Ilmu haruslah bersistem, yaitu mempunyai susunan dari hal yang ada hubungannya satu sama lain dengan merupakan keseluruhan.3 2
Abdul Mutholib, Kedudukan hukum Islam dewasa ini di Indonesia, bina Ilmu, Surabaya, 1984, hlm. 17. 3 Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan (Pengantar ke Ilmu dan Filsafat), Obor, 1967, hlm. 12.
Hakekat ilmu hukum ialah adanya pendekatan terhadap kaidah-kaidah hukum. Sifat lainnya ialah adanya integralitas dalam ilmu hukum. Hakekat hukum menentukan hakekat ilmu hukum, begitu juga sifat-sifat keilmuan menentukan ilmu hukum. Hal pokok yang harus selalu diperhatikan ialah bahwa ilmu hukum termasuk ke dalam sistem pengetahuan, ilmu hukum bukan sistem sosial atau kultural, ilmu hukum sebagai sistem pengetahuan berusaha untuk meberikan pengetahuan yang benar (mencapai kebenaran), bukan untuk memberikan keadilan, sebagaimana yang diberikan oleh hukum, mungkin saja informasi yang didapat dari ilmu hukum bisa memberi keadilan, tetapi hal itu bukanlah menjadi wewenang ilmu hukum dan hal itu terjadi tanpa disengaja. Integralitas ilmu hukum terjadi karena dilatarbelakangi oleh adanya interaksi antara filsafat, ilmu, seni dan agama. Kesemuanya unsur eksistensi manusiawi itu saling mengisi atau mungkin saling menyatu.4 Sebab itu apabila melihat hakekat hukum yang mengandung tridimensi maka filsafat ilmu dan mungkin juga denga seni dan agama, berintegrasi dalam ilmu hukum. Sebab itu dalam pendekatan ilmu hukum tidak bisa dilupakan adanya nilai-nilai yang terkandung dan adanya pola-pola perilaku dalam suatu kaidah hukum yang menjadi obyek penelitian. Menempatkan filsafat ilmu sebagai dasar dan arah pengembangan ilmu hukum, dapat dilihat secara ontologis, epistemologis dan aksiologis. Secara ontologis, klasifikasi ilmu hukum sebagai ilmu/ilmu sosial mengidentikkan hukum dengan gejala masyarakat. Hukum dilihat hanya sebagai dimensi realitas berupa perilaku yang berhubungan dengan hukum. Secara epistemologis, mengklasifikasikan ilmu hukum ke dalam ilmu/ilmu sosial mengarahkan ilmu hukum ke dalam kuantifikasi. Gejala-gejala hukum yang valid sebagai data ialah gejala-gejala 4
The Liang Gie, Suatu Konsepsi Ke Arah Penertiban Bidang Filsafat, Karya Kencana, Yogyakarta, 1979, hlm. 32.
28 yang dapat diukur dan diperhitungkan dengan tabulasi dan statistik. Secara Aksiologis, klasifikasi ilmu hukum ke dalam ilmu/ilmu sosial bersifat akademis. Ilmu hukum menjadi terpusat pada penelitian yang berusaha untuk melakukan penghimpunan data sebanyakbanyaknya. Ilmu (science) yang juga merupakan keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan untuk mengetahui sesuatu, tetapi dengan memperhatikan obyek yang ditelaah, cara yang digunakan, dan kegunaan dari pengetahuan tersebut. Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah/sciense/memperhatikan obyek ontologis, landasan epistemologis dan landasan aksiologis dari pengetahuan itu sendiri.5 Baik science atau knowledge pada dasarnya merupakan hasil observasi yang diperoleh melalui inderawi atau rasio terhadap fenomena alam atau fenomena sosial. Secara keseluruhan makalah ini, penulis berusaha untuk menempatkan kebenaran filsafat ilmu sebagai dasar dan arah pengembangan ilmu hukum, sebab ilmu pengetahuan sebagai upaya produk pola pikir manusia telah ditanamkan dalam Al-Qur’an sebagai amanah untuk berijtihad memikirkan segala sesuatu yang diciptakan Allah. Apabila akal pikiran manusia telah ditaburi nilai-nilai iman niscaya nantinya akan bermanfaat. PERMASALAHAN Berdasarkan latar belakang uraian tersebut diatas maka perlu adanya suatu pemikiran dan akan mencoba mengupas persoalan: 1. Bagaimana hubungan filsafat ilmu dengan ilmu hukim? 2. Apakah sumber daya manusia dalam peradaban science itu? 3. Apakah antara ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmu hukum itu? PEMBAHASAN HUBUNGAN FILSAFAT ILMU DENGAN ILMU HUKUM. 5
Muhammad Nuh, “ Wawasan Keislaman Dalam Penguasaan IPTEK,” Makalah seminar regional, Undar Jombang, 1996, hlm. 2.
Filsfat ilmu dengan ilmu hukum mempunyai hubungan yang erat dan bersifat timbal balik. Sebelum penulis membahas lebih lanjut, terlebih dahulu disampaikan tentang apa pengertian filsafat ilmu dan ilmu hukum. a. Pengertian Filsafat Ilmu. Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani “Philosophia” yang merupakan gabungan kata “Philo” dan “Shopia”. Philo berarti berhasrat, sedangkan Sophia berarti kebijaksanaan. Dengan demikian dilihat dari sudut arti kata, filsafat berarti berhasrat akan kebijaksanaan. Pengertian yang demikian sejalan dengan yang pernah dikemukakan Socrates bahwa filsafat itu “…. The love of wisdom ”.6 Bagi W. Friedmann, filsafat merupakan “….man’s reflections on his position in the universe…”.7 Sedangkan menurut Theo Huijbers, filsafat merupakan suatu pengetahuan metodis dan sistematis, yang melalui jalan refleksi hendak menangkap makna yang hakiki dari hidup dan gejala-gejala hidup sebagai bagian daripadanya.8 Perumusan tersebut di atas, yang perlu mendapat kejelasan adalah, pertama apakah filsafat merupakan suatu ilmu atau bukan dan kedua, menyangkut apakah filsafat hanya merupakan suatu pengetahuan. Menurut Soerjono Soekanto, Ilmu adalah pengetahuan yang tersusun sistematis dengan menggunakan kekuatan akal fikiran, pengetahuan mana selalu dapat diperiksa dan ditelaah (dikontrol) dengan kritis oleh setiap orang lain yang ingin mengetahuinya.9 Poedjawijatno berpendapat bahwa, ilmu merupakan pengetahuan yang sadar 6
Robert Maynard Hutchins (ed) “The Great Ideos: A Syntopicon of Great Books of Westem World “ Encyclopedia Britanica Inc, 1952, Volume 2 hal. 342. 7 W. Friedmann, Legal Theory, London: Stevens & Sons, 1967, Edisi ke-5, hlm. 3. 8 Theo Hujbera, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1982, hlm. 12. 9 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali, Jakarta, 1982, hlm. 7.
29 menuntut kebenaran yang bermetodos, bersistem dan berlaku universal.10 Ralph Ross dan Ernest Van Den Haaq menulis, bahwa yang dimaksud pengertian ilmu adalah “Science is Empirical, natural, general and cumulative; and it is all four at once.11 Berdasarkan batasan yang diberikan mengenai filsafat dan ilmu, maka di satu pihak adak yang berpendapat bahwa filsafat merupakan ilmu. Alasannya, filsafat merupakan suatu pengetahuan yang disusun berdasarkan metode di dalam suatu sistem dan berlaku umum. Metode dan sistem merupakan tulang punggung filsafat, seperti halnya bagi ilmu.12 Penganut pandangan ini dilain pihak memberikan suatu penekanan bahwa fisafat sebagai ilmu bukanlah seperti halnya ilmu-ilmu lainnya, tetapi filsafat merupakan ilmu yang istimewa. Yang dimaksud dengan istimewa disini adalah bila ilmu membatasi diri pada pengalaman, maka filsafat hendak mencari keterangan yang sedalamdalamnya, sehingga filsafat mempunyai sudut pandang yang khusus bukan pandangan ilmu.13 Filsafat merupakan suatu ajaran, sebagai petunjuk hidup dengan jalan refleksi untuk menangkap makna gejalagejala pengalaman manusia dengan sedalam-dalamnya, untuk sampai pada kebijaksanaan. Adapun yang menjadi obyek filsafat adalah nilai-nilai kebenaran logika, keserasian-etika, dan keindahan-estetika. Kesimpulan dapatlah dirumuskan bahwa filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun, secara metodelogis ilmu tidak 10
Poedjawijatno, Pembimbing kearah filsafat, Pembangunan Jakarta, Jakarta, 1974, hlm. 5. 11 Ralp Ross end Ernest Van Den Haag, The Fabric of Sociaty, New York, 1957, hlm. 195. 12 Theo Huijbera, Op. Cit. hlm. 11. 13 Poejawijatno, Op. Cit, hlm. 9.
membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial.14 Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti, obyek apa yang ditelaah ilmu. Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut. Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia misalnya berfikir, merasa dan mengindera yang membuahkan pengetahuan. b. Pengertian Ilmu Hukum Bambang Poernomo berpendapat bahwa ilmu hukum adalah ilmu pengetahuan yang mencakup telaah segala hal yang berhubungan dengan hukum secara keseluruhan dan bersifat inter disipliner agar dapat membedakan kaidah hukum dengan kaidah lainnya guna memberi batasan serta keterkaitannya terhadap ilmu sosial beserta ilmu-ilmu lain.15 Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa ilmu hukum itu adalah ilmu tentang hukum yang berlaku di suatu Negara atau masyarakat tertentu pada suatu saat.16 J. W. Harris mengatakan “Legal Science is That Activity Whose Necessary Objective The Systematic Exposition of Some Corpus of Legilative Materials”.17 Pengembangan ilmu hukum mutlak memerlukan pemahaman yang mendalam tentang produk-produk ilmuilmu manusia, khususnya ilmu-ilmu sosial. Dengan kata lain, pengembangan ilmu hukum adalah kegiatan mempersiapkan putusan hukum yang 14
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hlm. 33. 15 Bambang Poernomo, Diklat Kuliah Teori Hukum, UII, Yogyakarta, hlm. 3. 16 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Unpublished draft, hlm. 2. 17 J.W. Harris, Law and Legal Science, Oxford, 1979, p.3.
30 secara rasional dapat dipertanggung jawabkan yakni yang dapat ditempatkan dalam kerangka tatanan hukum yang berlaku sebagai salah satu sub sistem dari sistem kemasyarakatan sebagai suatu keseluruhan. Jadi ilmu hukum adalah ilmu yang menginventarisasi, memaparkan, menginterpretasi dan mensistematisasi keseluruhan hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat atau Negara tertentu yang terarah untuk mempersiapkan upaya menemukan penyelesaikan yuridis terhadap masalah hukum yang mungkin terjadi dalam masyarakat. Sebagai ilmu praktis, maka ilmu hukum adalah medan berkonvergensinya berbagai produk ilmu-ilmu lain, khususnya ilmu-ilmu manusia (ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu sejarah, ilmu-ilmu bahasa) untuk diolah dan dipadukan secara proporsional kedalam teori-teori hukum dan proposisi-proposisi kaidah. c. Konsep Ilmu Dalam Ilmu Hukum Ada beberapa persoalan konseptual yang berhubungan dengan ilmu hukum jika konsep ilmu melekat pada ilmu hukum. Jika ilmu dalam ilmu hukum dilihat sebagai konsep ilmu dalam ilmuilmu alam maka ilmu hukum sama seperti ilmu-ilmu lainnya. Tetapi jika konsep ilmu dalam ilmu hukum dipandang sebagai konsep yang khas yang berbeda dengan konsep ilmu pada ilmu-ilmu alam maka ilmu hukum menjadi suatu ilmu yang khas dan khusus. Penerapan metode ilmu-ilmu alam dalam ilmu hukum akan menempatkan ilmu hukum menjadi suatu ilmu yang dikategorikan sebagai ilmu sosial. Ilmu hukum akan menjadi suatu ilmu yang empiris dan positif. Ilmu hukum akan didasari oleh prinsip-prinsip masyarakat yang mendasari sosiologi dan Antropologi. Hukum diidentikkan dengan masyarakat dan masyarakat diidentikkan dengan gejala alam. Pemahaman atas hukum dilakukan dengan mencari hukum-hukum yang tetap dari gejala-gejala atau peristiwa-
peristiwa hukum. Metode penelitian dilakukan dengan cara mempergunakan observasi atau pengamatan. Dalam gejala hukum dianggap terjadi juga kausalitas. Pandangan Auguste Comte tentang hukum tiga tahap (teologis, metafisis dan positif). Dengan ketiga tahap ini Auguste Comte hendak memberikan suatu gambaran tentang perkembangan sejarah manusia dari tahap linear ke kemajuan.18 Agaknya pandangan Auguste Comte merupakan awal dari sifat bebas nilai dalam ilmu-ilmu sosial. SUMBER DAYA MANUSIA DALAM PERADABAN SCIENCE Bahwa masalah kualitas hidup manusia mendapat perhatian yang lebih besar dan lebih terarah. Dimana hakekat pembangunan adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, termasuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dicirikan antara lain memiliki tingkat kesehatan dan kondisi gizi yang baik, cerdas, berpartisipasi aktif serta berkemampuan dalam memanfaatkan sumber daya alam secara efektif. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai dengan potensinya.19 Era ilmu pengetahuan atau science dapat mengalami pergeseran nilai yang cukup tajam. Memang semua faktor alam sebagai sunnahtulloh harus dipecahkan dengan segala macam bentuk metode dan strategi pemikiran, namun harus pula meninjau skala prioritas yang akan dicapainya agar tidak terjadi kesalahan yang dapat merusak tatanan yang sudah berlaku. Dan kita pun 18
Koento Wibisono S, “Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, 1983, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 16 19 Dihimpun Redaksi Sinar grafika, “Garisgaris Besar Haluan Negara 1999-2004,” PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 28
31 harus mampu menentang arus pemikiranpemikiran yang klasik, tetapi tidak semua karena belum tentu pemikiran klasik itu salah dan kurang fleksibel. a. SUMBER DAYA MANUSIA Sumber daya kalau kita kaji lebih lanjut yang ada di dalam diri manusia dapat kami kategorikan dalam dua dimensi yaitu dimensi sumber daya yang tak dapat diperbaharui (non Renewable Resources) dan dimensi sumber daya yang dapat diperbaharui (Renewable Resources). Sumber daya yang tidak dapat diperbaharui ini merupakan ketentuan Allah yang mutlak yang sudah ditetapkan sejak zaman ajali atau roh dihembuskan pada manusia yaitu berupa ajal (takdir) mati dan hidup seseorang, rizki dan jodoh. Sedangkan sumber daya yang dapat diperbaharui adalah akal dan hati.20 Hati dapat pula berkaitan dengan iman seseorang sehingga ada pepatah mengatakan bahwa iman seseorang dapat berupa sebagai pegas yang dapat naik turun karena pengaruh dan dorongan dari lingkungan dan interaksiinteraksi lainnya. Pembaharuan akal dan hati dapat pula melalui pola-pola kegiatan baik secara formal dalam pendidikan maupun non formal melalui tempaan perjalanan di sekitar perjalanan hidup. Kajian tentang manusia sangatlah menarik perhatian, sebab ada suatu keunikan-keunikan dan keistimewaan yang dimiliki manusia. Sejak zaman dulu hingga kini orang banyak berfikir akan manusia di atas sosialis dan politik serta hakekat diri manusia, sehingga banyak muncul berbagai macam teori seperti Human Behavior, Sosiologi, Sosio Antropologi dan lain-lain, kesemuanya itu membutuhkan jawaban yang memuaskan pikiran manusia sesuai fitrahnya.
20
M. Elmi, “Manusia Dalam Peradaban Science”, Jurnal ilmiah Buana, Agustus 1993, Unisma Malang, hlm. 9.
Roh manusia sebagai cetusan fitrah manusia sebelum dihembuskan pada sang badan, yang menyatu dengan darah dan daging, Allah pernah berdialog (dalam firman-Nya dalam Al-Qur’an) “Alastu brirobbihum” kemudian roh menjawab “Qoluu balaa syahidna”, (AlQur’an Surat Al-A’ro :172).21 Hasil dari dialog ini terus menancap di dinding fitrah manusia. Menurut Syahminan Zaini, berpendapat bahwa kriteria pokok dalam jiwa/fitrah manusia itu ada 4 macam, yaitu rasa keindahan, ketakutan atas syahidnya Allah, cinta kasih, dan penghargaan.22 Pendapat lain mengatakan bahwa suara hati manusia/suara fitrah manusia adalah suara Tuhan (Allah) yang telah dihembuskan dalam jiwa maupun keindahan diri manusia semua orang banyak yang menyukainya sehingga timbul pemasyarakatan wisata alam yang alami, keindahan tubuh seseorang, keindahan berbusana dan lain-lain.23 Hadist Nabi Muhammad S.a.w, menyebutkan bahwa “Innallaha jamil wa yuhibbul jamal” (Allah itu indah dan senang akan keindahan).24 Akan tetapi jangan salah tafsir dengan keadaan semula karena jiwa manusia atau keberadaan pola pikir manusia ada yang menyalahi kodrati manusia itu sendiri. Dan perlu diingat bahwa manusia diciptakan oleh Allah bukan melalui karena proses biologis tanpa unsur pengetahuan atau pengajaran. Walau secara empiris manusia tersusun dari organelle-organella biologis (hidup), hal ini karena sebatas sudut pandang penglihatan kebenaran empiris dan filsafat hidup, namun kebenaran hakekat banyak tertuang dalam agama. Pandangan tokoh biologi yang mengungkap asal-usul manusia yaitu 21
Depag RI. Op. Cit, hlm. 250. Syahminan Zaini, Makalah Seminar Seharihari “Seni Dalam Islam”, IAIN Sunan Ampel Malang, 1991, hlm. 4. 23 Syahminan Zaini, “Konsepsi Manusia Dalam Al-Qur’an”, Bina Ilmu, Surabaya, 1989, hlm. 16. 24 H. Salim Bahreisy, “Terjemah Durratun Nasihin”, TB. Balai Buku, Surabaya, 1977. hlm. 180. 22
32 diantaranya Lamarck (1744-1829) seorang biolog dari Perancis dan Charles Darwin (1809-1882) biolog Inggris yang mencoba menjelaskan asal-usul manusia dengan teori evolusi. Walau pada prinsipnya proses kejadian manusia itu secara biologis dalam susunannya dan terdiri dari senyawa-senyawa kimia dalam pembentukannya serta secara evolusi pula perubahan bentuk spesies manusia dan perkembangannya terjadi, tetapi bukan dalam bentuk spesies yang berbeda, karena manusia diciptakan dari bentuk yang sesempurna mungkin, jadi secara genetik manusia tidak akan berubah dari bentuk spesies yang lain. Seperti yang tercatat dalam buku-buku Charles Darwin yaitu asal-usul manusia dan asal usul spesies.25 Tersebut dalam Al-Qur’an dengan iradah Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama dalam firman-Nya : “ …………. Allah menciptakan Adan dari tanah kemudian Allah berfirman kepadanya” jadilah (seorang manusia) maka jadilah ia “ (Ali Imran: 59).26 Kemudian dalam ayat yang lain Allah berfirman: “Dan sesungguhnya telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal dari Lumpur hitam yang diberi bentuk)” (AlHijr: 26 ).27 Kemudian keturunan Adam selanjutnya diciptakan dari nutfah (sperma), tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata.( AnNahl: 4 ).28 Perkembangan manusia yang melalui proses ini akhirnya manusia dapat berbuat dan berkarya dengan pola pikir untuk mencapai potensi baik kebutuhan fisik dan kebutuhan naluri (insting) seperti makan, nikah, beladiri dan berkeyakinan (agama). Kebutuhankebutuhan manusia itupun harus memenuhi aturan-aturan atau komposisi yang benar yang telah disyariatkan dalam Islam, kesemuanya diikat dalam
25
Syahminin Zaini, Op. Cit, hlm. 20. Depag RI, Op. Cit, hlm. 85. 27 Depag RI, Ibid, hlm. 392. 28 Depag RI, Ibid. hlm. 402. 26
suatu sistem individual dan sistem masyarakat. Upaya pembaharuan sumber daya manusia perlu ditingkatkan, sebab manusia lebih cenderung menuntut liberalisme perlakuan akibat nurani yang terlepas mengembara nafsu hingga timbul pemikiran-pemikiran kontra yang berlatar belakang peningkatan hidup tanpa melihat batas ambang. b. PERADABAN SCIENCE DAN TEKNOLOGI. Pengembangan sumber daya manusia memerlukan banyak perubahan sikap. Seperti sikap disiplin, yang ratarata masih terasa lemah, baik dalam kehidupan individu maupun kolektif. Pada hal disiplin menjadi prasyaratan pengembangan kualitas kepribadian yang unggul. Proses penggunaan science dan teknologi secara kreatif pada gilirannya akan menghasilkan kemampuan yang cukup kuat untuk mengembangkannya. Tahap ini merupakan tahap trnasformasi dari pengguna menjadi penghasil Iptek. Untuk menjamin agar proses tersebut berjalan dengan landasan yang kukuh, maka peradaban science dan teknologi harus menjadi bagian dari budaya bangsa. Budaya science dan teknologi itu pula yang akan menjadi lahan tempat tumbuh suburnya masyarakat ilmiah. Berbudaya science dan teknologi antara lain : - Selalu terdorong untuk bertanya dan mencari tahu serta menggali rahasia alam, karena alam adalah sumber ilmu pengetahuan. - Berfikir logis dan rasional. - Menghargai karya dan kerja keras serta mengutamakan professionalisme. - Selalu cenderung kepada kebenaran, karena ilmu pengetahuan hanya mungkin dibangkitkan dan dikembangkan atas dasar kebenaran serta sadar bahwa kebenaran ilmu itu
33 sendiri tidaklah bersifat mutlak (absolut) dan abadi.29 Meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai suatu prasyaratan mutlak. Sebagaimana Allah S.W.T berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya: “Allah S.W.T akan meningkatkan derajat orang yang beriman dan berilmu diantara kamu”.30 (Surat Al-Mujadilah :11). Manusia yang berkualitas yang dimaksud adalah manusia yang minimal memiliki dua kompetensi, yaitu pertama memiliki kompetensi science dan teknologi seperti Firman Allah di atas, kedua kompetensi dalam keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Kompetensi iman dan taqwa (Imtaq) amat penting karena tanpa dibingkai oleh iman dan taqwa, maka kompetensi ilmu (science) dan teknologi atau IPTEK akan menjadi kurang bermakna, bahkan akan liar dan tidak terkendali, yang mewujudkan dalam bentuk terjadinya erosi nilai-nilai moral. Dipihak lain, kompetensi iman dan taqwa tanpa disertai oleh kompetensi IPTEK akan lemah dan tak berdaya. ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI DAN AKSIOLOGI ILMU HUKUM Menempatkan ilmu hukum dalam status ilmu sosial mengandung banyak kendala yang mendasar. Hal mendasar itu dapat dilihat secara ontologis, epistemologis dan aksiologis. a. Ontologis Secara ontologis, klasifikasi ilmu hukum sebagai ilmu sosial mengidentikkan hukum dengan gejala masyarakat. Hukum dilihat hanya sebagai dimensi realitas berupa perilaku masyarakat yang berhubungan dengan hukum. Secara umum ada tiga hal yang dapat dipelajari dari hukum yakni: 1. Nilai-nilai hukum seperti keadilan, ketertiban, kepastian hukum dan lain-lain. 29
Kanwil Depag, “Peningkatan SDM, Mencerahkan Kehidupan Bangsa di Maa Depan.” Majalah MPA, Surabaya, 1998, hlm. 24. 30 Depag RI, Op. Cit, hlm. 911.
2. Kaidah-kaidah hukum berupa kaidah yang tertulis maupun tidak tertulis, kaidah yang bersifat abstrak maupun nyata. 3. Perilaku hukum atau dapat juga disebut kenyataan hukum atau peristiwa hukum.31 Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat. Hukum terdiri dari ketentuan-ketentuan kehidupan menurut mana orang yang berlaku, yang bersifat memaksa, untuk mengadakan tata tertib di antara anggota-anggota masyarakat dalam rangka melindungi kepentingankepentingan orang dalam masyarakat itu. Konsep Negara hukum meletakkan Pancasila sebagai sumber hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia dan dengan sistem konstitusionalnya, meletakkan UUD 1945 sebagai hukum dasar dan merupakan sumber hukum yang kedua setelah Pancasila. Setiap produk hukum, seperti Undang-undang, peraturan atau keputusan pemerintah, bahkan juga setiap tindakan kebijaksanaan pemerintah haruslah berlandaskan dan bersumberkan pada peraturan yang lebih tinggi, yang pada akhirnya dapat dipertanggung jawabkan pada ketentuan-ketentuan UUD 1945. Dalam kedudukan yang demikian itu, UUD dalam kerangka tata- urutan atau tata-tingkatan norma hukum yang berlaku merupakan hukum yang menempati kedudukan tertinggi. Dalam hubungan ini, UUD juga mempunyai fungsi alat kontrol, alat mengecek apakah norma hukum yang lebih rendah yang berlaku itu sesuai atau tidak dengan ketentuan UUD. Oleh 31
Bambang Poernomo, Op. cit, hlm. 6.
34 karena itu peraturan hukum atau perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan hukum atau peraturan perundangundangan yang tingkatannya lebih tinggi, dan apabila sampai terjadi pertentangan, maka yang dimenangkan adalah peraturan hukum atau peraturan perundangundangan dengan yang lebih tinggi tingkatannya. Penjelasan UUD RI 1945, menerangkan pokok pikiran yang keempat yang terkandung dalam “Pembukaan UUD 1945” ialah Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, UUD harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggaraan Negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.32 Digali dari penjelasan tersebut, menurut Abu Daud Bushroh dan Abu Bakar Bushroh menyatakan bahwa konsep Negara hukum bagi Negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila itu mengandung prinsip pengakuan adanya hukum Tuhan, hukum kodrat, dan hukum etika. Dalam Negara hukum Indonesia seluruh hukum dibuat oleh Negara atau pemerintah dalam arti yang seluasluasnya, tidak boleh bertentangan dengan hukum Tuhan, hukum, kodrat dan hukum etika.33 Pernyataan Abu Daud Bushroh dan abu Bakar Bushroh tersebut selaras dengan apa yang 32
Redaksi Sinar Grafika, “UUD 1945 Hasil Amandemen dan Proses Amandemen UUD 1945 secara Lengkap”, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 65 33 Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, “Asas-asas Hukum Tata Negara,” Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 35.
dimaksud dalam sila-sila Pancasila yang antara lain disimpulkan bahwa “keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam pengertian tidak boleh bertentangan dengan hukum Tuhan atau hukum agama, termasuk Hukum Islam (Syariat Islam). b. Epistemologis Cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar atau epistemologis, maka ilmu hukum sebagai ilmu bertujuan untuk mencari kebenaran atau lebih tepatnya keadilan yang benar. Kebenaran didefinisikan sebagai persesuaian antara pengetahuan dan obyeknya. Sebab itu, kebenaran sering disebut juga sebagai obyektivitas. Definisi diatas menegaskan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan dan obyek. Pengetahuan berada dalam mentalitas manusia, sedangkan obyek berada dalam dunia nyata.34 Untuk menyatakan adanya hubungan inilah terdapat berbagai pendapat. Pertentangan pendapat terjadi antara empirisme dan rasionalisme. Menurut empirisme, pengetahuan adalah sejumlah pengalaman manusia, tak ada ide yang sesuai dengan hal yang di luar kita. Rasionalisme berpendapat bahwa hanya akallah yang dapat mengetahui obyek.35 Mencari keadilan yang benar itu maka ditentukanlah cara untuk mencarinya yakni yang disebut metode. Antara metode ilmu dan metode penelitian atau teknik penelitian mempunyai konotasi yang berbeda. Metode ilmu berkonotasi filosofis epistemologis, sedangkan metode 34
Poedjawijatno, “Tahu dan pengetahuan, Pengantar ke ilmu dan filsafat”, Bina Aksara, Jakarta, 1982, hlm. 16. 35 H. Koento Wibisono Siswamiharjo, Op. Cit, hlm. 21.
35 penelitian atau teknik penelitian berkonotasi teknologis. Metode penelitian atau tekik penelitian merupakan penjabaran secara konkret dari metode ilmu. Untuk mendapatkan pengetahuan yang benar atau epistemologis ilmu tidak berpaling kepada perasaan melainkan kepada pikiran yang berdasarkan penalaran. Ilmu mencoba mencari penjelasan mengenai permasalahan yang dihadapinya agar dia mengerti mengenai hakikat permasalahan itu dan dengan demikian maka ia dapat memecahkannya. Filsafat hukum memberi jawaban atas perrtanyaan-pertanyaan, antara lain, bagaimana proses terjadinya hukum (epistemologi hukum), misalnya tentang sumber pada Hukum Islam. Sumber Hukum Islam adalah Alqur’an dan Sunnah Nabi, yang bisa dicari dalam Al-Muskhaf dan kitab-kitab Hadits. Sedangkan sumber hukum Fiqh adalah : Al-qur’an, Hadits Nabi, kitabkitab Fiqh (Law In The Books) dan kesadaran Hukum Islam atau budaya hukum islam yang hidup dalam masyarakat (Law In Action). Al-qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber tertib hukum dan sumber dari segala sumber hukum. Seluruh produk hukum harus bersumberkan pada Al-Qur’an dan AsSunnah. Al-Qur’an dan As-Sunnah mempunyai fungsi alat kontrol, alat pengecek apakah norma-norma hukum yang berlaku itu sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Qur’an dan AsSunnah adalah pedoman hidup, kesadaran jiwa dan cita hukum serta cita-cita moral umat islam adalah hidup bermasyarakat dan bernegara, sumber dasar bernegara, dan sebagian pemersatu umat di seluruh dunia. Islam adalah universalisme dan AlQur’an bersifat universal, akan tetapi Islam dan Al-qur’an tidak menghapus nasionalisme, Islam dalam semua ajarannya mempertimbangkan fitrah manusia, dan sebagaimana nasionalisme
adalah suatu hal yang fitrah, maka Islam memeliharanya sebagai nilai moral yang natural.36 Al-qur’an Surat Al-Hujurat : 13, yang artinya “ Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki, seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesunggunya Allah maha Mengetahui lagi Maha Mengenal ”.37 Firman Allah tersebut diatas dapat dijadikan argument bagi keberadaan nasionalisme dalam Islam. Namun Islam menyadari akan bahaya nasionalisme dalam Islam yang berlebih-lebihan akan menjurus kepada Chauvinisme, Racialism dan Snophobie (benci orang asing, lawan; Senomania). Oleh karena itu ayat tersebut selanjutnya menyatakan bahwa orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sebagai perwujudan suatu ide yang menentang racialism dan bentuk lain yang timbul akibat nasionalism yang berlebih-lebihan. Konstitusi sebagai hukum dasar pada umumnya dan undang-undang dasar sebagai hukum dasar yang tertulis, menggambarkan tentang ketatanegaraan suatu negara tertentu. Jadi bersifat komunal bukan bersifat universal. Oleh karenanya kedudukan Al-Qur’an dan As-Sunnah harus berada di atas konstitusi dan undang-undang dasar yang dibuat negara-negara Islam. Semua peraturan, baik berapa konstitusi maupun peraturan-peraturan lain dalam Negara Islam harus bisa dikembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah atau harus selaras dengan jiwa syariat Islam yang tersurat atau tersirat di dalam AlQur’an dan As-Sunnah.
36
Syechul Hadi Purnomo, “Relevansi Filsafsafat Hukum Nasional Dan Filsafat Hukum Islam”. Majalah Aula, Surabaya, Januari 1998, hlm. 38. 37 Depag RI, Op. cit, hlm. 847.
36 c. Aksiologis Ilmu hukum mempunyai peran dan fungsi yang khas dibanding dengan bidang-bidang hukum yang lain. Sebab ilmu hukum bersifat dinamis. Fungsi ilmu hukum adalah pencerah terhadap kebekuan yang melanda dunia hukum. Hukum tentu diabaikan bukan semata-mata demi hukum tetapi sesuatu yang lebih mulia yakni keadilan yang diridloi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sebab itu dalam situasi hukum yang legalistis dan beku, maka ilmu hukum berfungsi memberi pencerahan dengan mengajukan pemikiran-pemikiran dan kemungkinankemungkinan baru. Hukum mempunyai tujuan yaitu untuk mencapai suatu susunan masyarakat yang damai, adil, melindungi kepentingan-kepentingan orang-orang dalam masyarakat, dalam rangka menciptakan kebahagiaan, kesejahteraan sebanyak mungkin bagi anggota-anggota dan masyarakat secara umum. Menurut Radbruch, nilai dasar yang dibawa oleh norma hukum, yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan (daya guna). Nilai-nilai dasar ini sekaligus menjadi tujuan dari hukum. Menurut aliran Utilitarianisme, bahwa tujuan hukum satu-satunya adalah untuk mencapai kemanfaatan ini. Hukum yang baik adalah hukum yang membawa kemanfaatan bagi manusia.38 Kemudian Yehezkel Dror, menyatakan bahwa hukum dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk mengatur perubahan masyarakat (law a tool of sosialchange) dalam perspektif analisa kebijaksanaan (law wa a policu instrument).39 Kemanfaatan disini dapat juga diartikan dengan kebahagiaan. Hukum sudah dapat dikategorikan baik apabila mampu memberikan kebahagian terbesar dari masyarakat.
38
Syechul Hadi Purnomo, Op Cit. hlm. 62. Yehezkel Dror, 1977, Venturs In Policy Science, Concept And Application, Elsevier, New York, hlm. 169. 39
PENUTUP KESIMPULAN Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Filsafat ilmu merupakan upaya untuk menempatkan kebenaran sebagai dasar dan arah pengembangan ilmu hukum, sebab ilmu pengetahuan merupakan produk pola pikir bagi manusia sedangkan filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi yang secara spesifik mengkaji hakekat ilmu yang merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu, dimana ilmu pengetahuan memiliki cakupan ilmu pengetahuan alam, sosial budaya dan seterusnya. 2. Upaya pembaharuan sumber daya manusia perlu ditingkatkan sebab manusia lebih cenderung menuntut liberalisme perlakuan akibat nurani yang terlepas mengembara nafsu hingga timbul pemikiran-pemikiran kontra yang berlatar belakang peningkatan hidup tanpa melihat batas ambang. 3. Ilmu hukum merupakan ilmu praktis Normologis yang mempelajari penerapan dunia keharusan ke dalam dunia kenyataan, yang masalah pokoknya adalah hal menentukan apa hukumnya bagi situasi konkret tertentu.
37 DAFTAR PUSTAKA Abdul Mutholib, 1984, Kedudukan Hukum Islam Dewasa ini di Indonesia. Bina Ilmu, Surabaya. Abu Dawud Busroh dan Abu Bakar Busroh, 1994, Asas-asas Hukum Tata Negara. Ghalia Indonesia, Jakarta. Bambang Poenomo, 1995, Diklat Kuliah Teori Hukum. UII, Yogyakarta. Departemen Agama RI, 2000, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT. Bumi Restu, Jakarta. Huijberas, Theo, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yayasan Kanisius, Yogyakarta. Jujun S. Suriasumantri, 1988, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar harapan, Jakarta. J. W. Harris, 1979, Law and Legal Science, Oxford. Kanwil Depag, 1998, Peningkatan SDM, Mencerahkan Kehidupan Bangsa di Masa depan, Majalah MPA, Surabaya. Koento Wibisono Siswamihardjo, 1983, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Muhammad Nuh, 1996, Wawasan Keislaman Dalam Penguasaan IPTEK, Makalah Seminar Regional, Undar, Jombang. Mokhammad Elmi, 1993, Manusia Dalam Peradaban Science, Jurnal Ilmiah Buana, Unisma, Malang. Mochtar Kusumaatmadja, T.T, Pengantar Ilmu Hukum, Unpublished Draft. Poedjowiyatna, 1967, Tahu Dan Pengetahuan (Pengantar ke ilmu dan filsafat), Obor, Jakarta. ---------, 1974, Pembimbing Kearah Filsafat, Pembangunan, Jakarta. ---------, 1982, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke ilmu dan Filsafat, bina Aksara, Jakarta. Robert Maynard Hutchins, 1952, The Great Ideos : A Syntopicon of great books of westen workd, Ecyclopedia Britania Inc. Volume 2.
Redaksi Sinar Grafika, 2002, Garis-garis Besar Haluan Negara 1999-2004, PT. Sinar Grafika, Jakarta. ---------, 2002, UUD 1945 Hasil Amandemen Dan Proses Amandemen UUD 1945 Secara lengkap, PT. Sinar Grafika, Jakarta. Ralp Ross end Ernest Van Den Haag 1957, The Fabric of Sosciaty, New York. Salim Bahreisy, 1977, Terjemah Durratun Nasihin, TB. Balai Buku, Surabaya. Soerjono Soekamto, 1982, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali, Jakarta. Syahminan Zaini, 1989, Konsepsi Manusia Dalam Al-Qur’an, Bina Ilmu, Surabaya. ---------, 1991, Seni Dalam Islam, Makalah seminar sehari, IAIN Sunan Ampel, Malang. Syechul Hadi Purnomo, 1998, Relevansi Filsafat Hukum Nasional dan Filsafat Hukum Islam, Majalah Aula Surabaya. The Liang Gie, 1979, Suatu Konsepsi ke arah Penertiban Bidang Filsafat, Karya Kencana, Yogyakarta. W. Friedmann, 1967, Legal Theory, Stevens & Sons edisi ke-5, London. Yehezhel Dror, 1977, Ventures in Policy sciences, Concept and Aplication, Elsevier, New York.