JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG PERANAN FILSAFAT ILMU SEBAGAI DASAR DAN ARAH BAGI PENGEMBANGAN ILMU HUKUM Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum. Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung E-mail:
[email protected] Abstract Philosophy of science is the development or complement of the philosophy of knowledge. As a branch of philosophy, the philosophy of science has its scientific material object, the philosophy of science is often referred as the science of science. In the field of science, there has been specializations of science tend to be isolated, so there is intellectual arrogance that causes narrowing of scientific insights. Science tends to "break away" from the basic assumptions of the philosophy, so it becomes fragmented and esoteric, including legal though. From the point of development of science, it should be wary of, so it needs the study of the role of philosophy of science as the basis (fundament) and direction of development of legal science. This thought came from Plato (428-348 BC) which stated that in order to seek the truth should be done with the dialogue, which became known as the Platonic method. Aristotle (384-322 BC) stated that the main task of science is to find the causes of the investigated object. With the induction method, be concluded that the philosophy of science contribute to the development of legal science. Philosophy of science is the basis (fundament) and direction for the development of legal science. Keywords: philosophy, science, law, direction, development 1. PENDAHULUAN Filsafat ilmu merupakan pengembangan atau komplemen dari filsafat pengetahuan yang dikenal sebagai Theory of Knowledge atau Erkennist Lehre (Jerman), ken leer / kennis theorie (Belanda). Sebagai cabang dari ilmu filsafat, maka filsafat ilmu mempunyai obyek materiil yaitu ilmu pengetahuan itu sendiri., sehingga filsafat ilmu sering disebut dengan ilmu tentang ilmu pengetahuan. Mempelajari filsafat ilmu, sasaran yang dijadikan bahan kajian adalah ilmu pengetahuan itu sendiri. Seperti halnya ilmu yang mempunyai syarat-syarat tertentu untuk dapat disebut sebagai ilmu, maka dalam filsafat ilmu juga dilingkupi dengan prasyarat dimaksud, yaitu adanya obyek material dan obyek formal.1 Dalam filsafat ilmu yang menjadi obyek materialnya adalah ilmu pengetahuan itu sendiri. Obyek material disini adalah sesuatu yang dijadikan sasaran pemikiran (gegenstand) sebagai sesuatu yang diselidiki atau dipelajari. Obyek formal filsafat ilmu adalah hakikat, substansi, dan esensi dari ilmu pengetahuan. Bidang yang menjadi garapannya adalah : (l) Ontologi, (2) Epistemologi, 1
Ali Mudhofir, l997, “Pengenalan Filsafat”, Makalah Disampaikan pada Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se-Indonesia, Fakultas Hukum UGM, Tanggal 21 September – 5 Oktober l997, UGM, Yogyakarta, hlm. 4
Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum
1
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG (3) Aksiologi, (4) Strategi pengembangan ilmu.2 Obyek formal dapat dijadikan sebagai cara pandang atau cara meninjau yang dilakukan oleh seorang pemikir terhadap obyek materialnya serta prinsip-prinsip yang digunakan. Dengan demikian obyek formal suatu ilmu tidak hanya memberikan keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakan dari bidang-bidang yang lain. Suatu obyek formal dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Filsafat ilmu pada saat ini sedang hangat-hangatnya untuk dibicarakan. Terdapat dua latar belakang permasalahan mengapa filsafat ilmu begitu hangatnya untuk dibicarakan, yaitu : 1. Adanya spesialisasi ilmu pengetahuan di Indonesia. Spesialisasi ini cenderung menuju ke arah isolasi yang akibatnya muncul arogansi intelektual yang membawa kepada penyempitan wawasan; 2. Adanya kecenderungan selama 2 – 3 dekade ini ilmu pengetahuan dipelopori dan diterapkan lepas dari asumsi-asumsi dasar atau dengan kata lain lepas dari dasardasar filosofi.3 Dari dua latar belakang tersebut di atas, menurut Koento Wibisono berbagai permasalahan teoritis akademis, secara praktis oleh para ilmuwan atau oleh para sarjana dipandang dari sudut sektoralnya masing-masing dan dinyatakan dengan bahasa teknisnya sendiri-sendiri, yang akibatnya komunikasi dan dialog tidak pernah menghasilkan solusi yang komprehensif, padahal filsafat ilmu diharapkan menjadi jaringan interviu yang pada suatu saat tidak mampu lagi menampakkan diri dan harus bijaksana dengan cabang-cabang ilmu lainnya.4 Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa bidang garapan yang akan dibahas dalam filsafat ilmu antara lain : 1. Ontologi ilmu, yakni apa dan bagaimana ilmu itu, hakikat ilmu atau hakikat kebenaran ilmiah; 2. Epistemologi, yakni apa sumber pengetahuan manusia, sarana untuk mengenal ilmu pengetahuan dan tata cara menggunakan sarana tersebut; 3. Aksiologi, yaitu norma apa yang sebenarnya dipatuhi dalam kita menggali, mengembangkan, dan menerapkan ilmu.5 Dari tiga bidang yang dibahas dalam filsafat ilmu tersebut, maka pertanyaan yang muncul adalah apakah dalam mengkaji ilmu hukum sebagai cabang dari ilmu pengetahuan sudah terlaksana. Jika kita melihat kepada kurikulum yang diterapkan di Fakultas Hukum di Indonesia, maka untuk kurikulum S1 kita tidak akan menemukan mata kuliah filsafat ilmu. Peranan kurikulum dalam menghasilkan Sarjana Hukum yang mempunyai keahlian dan kemahiran profesional (professional law education) sangat dipengaruhi oleh mata kuliah yang diberikan dalam pendidikan tinggi tersebut. Untuk memiliki keahlian di bidang hukum dengan basic ilmu hukum, maka mahasiswa mendapatkan kuliah dengan kurikulum sebagai berikut : 1. Mata Kuliah Dasar Keahlian (MKDK), yang terdiri dari mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum, Pengantar Hukum Indonesia, dan Ilmu Negara; 2
Ibid, hlm. 5 Koento Wibisono Siswomihardjo, 1999, “Ilmu Pengetahun, Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan Perkembangannya Sebagai Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu”, Makalah Disampaikan Dalam Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, Tanggal 22 – 29 Agustus 1999, UGM, Yogyakarta. hlm. 5 4 Ibid. hlm.7 5 Shidarta, 2006, “Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks KeIndonesiaan”, Utomo, Bandung, hlm.. 71. 3
Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum
2
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG 2. Mata Kuliah Keahlian (MKK), antara lain terdiri dari mata kuliah Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Internasional, Hukum Dagang, Hukum Adat, Hukum Islam, Hukum Agraria, Hukum Lingkungan, Metode Penelitian Hukum, Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Perdata, dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara; 3. Mata Kuliah Penunjang (MKPn), antara lain mata kuliah Sosiologi, Pengantar Ilmu Ekonomi, Ekonomi Pembangunan, Antropologi, Bahasa, dan Kuliah Kerja Nyata; 4. Mata Kuliah Pembulat (MKPb), yang terdiri dari Filsafat Hukum dan Penulisan Hukum; 5. Mata Kuliah Kemahiran dan Keterampilan Hukum (MKKT), yang terdiri dari Legal Drafting, Contract Drafting, dan Legal Memorandum; 6. Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU), yang terdiri dari Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, Kewiraan, dan Etika Profesi. Dari sebaran mata kuliah yang tertera dalam kurikulum tersebut di atas, kita tidak menemukan mata kuliah Filsafat Ilmu. Mata kuliah Filsafat Ilmu ditemui saat mengikuti jenjang pendidikan S2 dan S3, sedang untuk S1 yang ditemukan adalah mata kuliah filsafat hukum. Pertanyaannya adalah apakah filsafat hukum itu? Filsafat hukum adalah filsafat umum yang diterapkan dalam ilmu hukum. Karena yang diterapkan dalam ilmu hukum adalah filsafat umum, maka wajar kalau jenjang pendidikan S1 untuk ilmu hukum tidak mempunyai dasar yang kuat tentang hakikat ilmu yang sebenarnya. Gambaran tersebut akan terlihat dengan jelas dalam berita konsorsium Ilmu Hukum Nomor V Tahun IV, Bulan September – Oktober l994, dengan judul Tiga Puluh Tahun Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia (1924 – 1994), yang pada bagian awalnya ditulis antara lain : “Ketika tujuh puluh tahun yang lalu (24 Oktober l924) Paul Scholten (Guru Besar Hukum Perdata,( l875 – 1946) memberikan pidatonya pada pembukaan Rechthoogeschool di Batavia, Jakarta, tidaklah terpikir kemungkinan bahwa dalam waktu yang relatif singkat akan ada 26 Fakultas Hukum Negeri, 156 Fakultas Hukum Swasta, dan 26 Sekolah Tinggi Hukum di Indonesia. Apakah hal ini merupakan tanda bahwa minat warga negara Indonesia terhadap studi bidang hukum sangat meningkat. Ataukah ini hanya merupakan ledakan keinginan untuk mendapatkan pendidikan tinggi untuk mendapatkan daya saing dalam memperoleh pekerjaan dalam suatu masyarakat yang membutuhkan lebih banyak skilled Workes, sedangkan Pendidikan Tinggi Hukum adalah opsi yang termudah untuk mencapai keinginan itu.” Terhadap Editorial tersebut mendapatkan komentar dari Moh. Koesnoe, tentang Pendidikan Tinggi Hukum pada Fakultas Hukum dewasa ini antara lain : “Sebagai arah yang kini dapat dilihat di dalam studi hukum pada FakultasFakultas Hukum, ialah lebih dijuruskan pada studi hukum modern dalam hal ini hukum barat …..sekalipun studi hukum barat yang diutamakan dilakukan dengan cara dan dasar-dasar yang dilihat dari segi ilmiah sangat diragukan mutunya. Selain semakin jauh dipenuhinya persyaratan ilmiah, sebagai ilmu hukum positif juga semakin menjauhnya studi tersebut dari rechtsidee bangsa kita.” 6 6
Moh. Koesno, l994, “Pemahaman dan Penggarapan Hukum Kodifikasi Dalam Kalangan Praktik dan Teori Hukum Kita Dewasa ini”, Penerbit Angkasa, Bandung, hlm. 17.
Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum
3
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG Diragukannya segi ilmiah dan persyaratan ilmiah studi hukum pada Fakultas Hukum dewasa ini, adalah tidak diberikannya mata kuliah filsafat ilmu di Fakultas Hukum untuk jenjang S1, dan jika hal ini dikaitkan dengan pendapat Koento Wibisono, bahwa dengan adanya spesialisasi ilmu di Indonesia akan muncul arogansi intelektual dan penyempitan wawasan. Sebagai contoh yang berkaitan dengan syarat-syarat ilmiah studi hukum, Bernard Arief Sidharta mengemukakan ciri khas ilmu hukum, yaitu : 1. Ilmu hukum adalah ilmu praktis; 2. Ilmu hukum mewujudkan medan berkonvergensi berbagai ilmu lain, sehingga secara metodologis mewujudkan dialektika metode normologis dan nomologis; 3. Dalam obyek telaah ilmu hukum terdapat unsur otoritas (kekuasaan); 4. Pengembangan dan penerapan (ars), ilmu hukum berpartisipasi dalam proses pembentukan hukum dan produknya menimbulkan hukum baru; 5. Teori argumentasi memegang peranan dalam ilmu hukum; 6. Metode berpikir dalam ilmu hukum adalah berpikir problematikal tersistematisasi; 7. Metode penelitiannya adalah metode penelitian normatif.7 2. PERMASALAHAN Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam pendahuluan tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah : Apakah filsafat ilmu dapat dijadikan sebagai dasar dan arah bagi pengembangan ilmu hukum? 3. PEMBAHASAN DAN ANALISIS 3.1 Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu Membahas sejarah perkembangan filsafat ilmu, maka tidak dapat dilepaskan dengan sejarah filsafat itu sendiri, khususnya filsafat barat. Perkembangan sejarah filsafat barat dibagi menjadi 4 (empat) periodisasi, sebagai berikut: 3.1.1 Zaman Yunani Kuno Zaman Yunani Kuno ini ada yang menyebutnya dengan zaman filosofi alam, sebab tujuan filosofi mereka adalah memikirkan soal alam besar. Darimana terjadinya alam, itulah yang menjadi soal bagi para filosof pada saat itu.8 Selain itu Fuad Hasan menyebutnya dengan ciri pemikiran yang kosmosentris, yaitu para filosof mempertanyakan asal usul alam semesta dan jagat raya. Pengamatan terhadap gejala kosmik dan fisik sebagai upaya menemukan sesuatu asal muasal yaitu arche yang merupakan unsur awal terjadinya segala gejala.9 Tokoh-tokoh yang terkenal pada zaman Yunani Kuno ini antara lain Thales (625 – 545 SM). Thales dapat dikatakan salah seorang dari tujuh orang terpandai dalam cerita-cerita lama Yunani. Nama-nama lainnya yaitu Solon, Bias, Pittakos, Chilon, Periandos, dan Kleobulos. Mereka hidup dikota Miletos dan tersohor karena petuahnya yang pendek-pendek, misalnya “kenali dirimu”, “segalanya berkira-kira”, “ingat akhirnya”, “tahan amarahmu”. Thales dikatakan sebagai bapaknya filosofi Yunani. Filosofinya diajarkan dengan mulut saja dan dikembangkan oleh murid-muridnya dari mulut kemulut juga. Baru Aristoteles yang kemudian menuliskannya. Menurut 7
Bernard Arief Sidharta, l994, “Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian Tentang Studi Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional”, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hlm. 218. 8 Mohammad Hatta, l986, “Alam Pikiran Yunani”, Cetakan ke- 3, Penerbit UI Press bekerjasama dengan Penerbit Tintamas, Jakarta, hlm. 6. 9 Fuad Hasan, 1996, “Pengantar Filsafat Barat”, Pustaka Jaya, Jakarta, hlm. 14
Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum
4
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG Aristoteles, kesimpulan ajaran Thales ialah “semuanya itu air”. Air yang cair itu adalah pangkal, pokok, dan dipengaruhi oleh ajaran gurunya Anaximandros bahwa “jiwa itu serupa dengan udara”.10 Selain ketiga filosof besar tersebut di atas, filosof Yunani Kuno lainnya yaitu Herakleitos (540 – 480 SM). Berbeda dengan para pendahulunya di atas, menurut Herakleitos, anasir yang asli itu adalah api. Meskipun Herakleitos memandang api sebagai anasir yang asal, pandangannya tidak semata-mata terikat pada alam luaran, alam besar, seperti pandangan filosof Miletos. Anasir yang asal itu dipandangnya juga sesuatu yang bergerak. Menurutnya yang ada hanya pergerakan senantiasa, tidak ada yang boleh disebut ada., melainkan menjadi, semuanya itu dalam kejadian. Jasa terbesar Herakleitos yaitu dunia pikir yang dinamainya logos, yang artinya pikiran yang benar. Dan dari sinilah kemudian timbul perkataan “logika”.11 Filosof lainnya pada Zaman Yunani Kuno ini adalah filosof Phytagoras (580 – 500 SM) yang mempunyai kedudukan tersendiri dalam alam pikiran Yunani. Filosofinya berdasar pada pandangan agama dan paham keagamaan. Phytagoras percaya akan kepindahan jiwa dari makhluk yang sekarang pada makhluk yang akan datang. Pokok ajarannya yang terkenal yaitu segala barang adalah angka-angka.12 Kemudian Demokritos (460 – 370 SM), merupakan filosof Yunani yang juga mempunyai peranan penting dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan. Demokritos merupakan cikal bakal bagi perkembangan ilmu fisika, kimia dan biologi. Dia mengatakan bahwa realitas terdiri banyak unsur yang disebut atom.13 Dalam perjalanan sejarah Yunani Kuno, trio besar yang sampai sekarang selalu diperbincangkan adalah Socrates, Plato dan Aristoteles. Socrates (470 – 399) SM), menyajikan metode filsafat dialektika.14 Melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ia membidani pengetahuan yang terdapat dalam diri orang lain. Metode berpikir Socrates merupakan cara berpikir induksi.15 Pandangan Plato menyatakan bahwa dalam rangka mencari kebenaran sebaiknya dilakukan dengan dialog, yang kemudian dikenal dengan metode Platonik. Plato (428 – 348 SM) merupakan murid sekaligus penerus tradisi dialog yang diajarkan Socrates.16 Plato juga dikenal sebagai filosof dualisme yang mengakui dua kenyataan yang terpisah dan berdiri sendiri, yaitu dunia ide dan dunia bayangan.17 Aristoteles (384 – 322 SM) menyatakan bahwa tugas utama ilmu yaitu mencari penyebab-penyebab obyek yang diselidiki. Menurut Aristoteles tiap-tiap kejadian mempunyai empat sebab, yaitu ; (a) Penyebab material (Material cause), (b) Penyebab formal (formal cause), (c) Penyebab efisien (efficien cause), dan (d) Penyebab final (final cause).18 Aristoteles juga mengemukakan tentang adanya dua pengetahuan, yaitu pengetahuan indrawi dan pengetahuan akali. Pemikiran tentang silogisme sebagai cara menarik kesimpulan dari premis-premis sebelumnya merupakan sumbangan besar
10
Ibid, hlm. 12-13. Ibid, hlm. 15 - 18 12 Ibid, hlm. 29 – 33. 13 K. Bertens, l99l, “Sejarah Filsafat Yunani : Dari Thales ke Aritoteles”, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, hlm. 62 14 Periksa E. Sumaryono 1, l993, “Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat”, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 16 15 Harun Hadiwijono, l983, “Sari Sejarah Filsafat Barat 1”, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 36 16 E. Sumarsono, Loc. Cit. 17 Koento Wibisono Siswomiharjo, Loc.Cit, hlm. 5 18 Ibid, hlm. 5 11
Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum
5
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG Aristoteles bagi ilmu pengetahuan.19 Metode yang diciptakannya ini pada akhirnya membuat dia mendapat julukan sebagai „Bapak Logika”. 3.1.2 Zaman Abad Pertengahan Zaman abad pertengahan (6 – 16 M), juga disebut dengan zaman kejayaan Kristiani (gereja). Ciri pemikiran pada zaman ini disebut teosentris, oleh karena para filosofnya memakai pemikiran filsafat untuk memperkuat dogma-dogma agama kristiani. Filosof yang terkenal pada abad ini yaitu Agustinus dan Thomas Aquinas.20 Agustinus (354 – 430 M) sangat dipengaruhi oleh pemikiran Plato. Melalui pengetahuan tentang kebenaran abadi yang dibawa sejak lahir dalam ingatan dan menjadi dasar karena manusia mengetahui sesuatu, manusia ikut ambil bagian dalam ide-ide Tuhan. Dalam arti tertentu keadaan ikut ambil bagian ini terjadi dengan mengetahui sesuatu, namun semua perbuatan mengetahui dibimbing oleh kasih. Berpikir dan mengasihi berhubungan secara selaras dan tak terceraikan. Tuhan ada sebagai ada, yang bersifat pribadi dan sebagai pribadi menciptakan seluruh jagat raya secara bebas, dan tidak beremanasi yang niscaya terjadi.21 Thomas Aquinas (1125 – 1274 M), terpengaruh oleh pemikiran Aristoteles. Ciri khas filsafat abad pertengahan dikenal dengan predikat “Ancilla Theologiae”, dan ini merupakan pemikiran Thomas Aquinas. Thomas Aquinas tidak semata-mata mengulangi ajaran Aristoteles, membuang hal-hal yang tidak pas dengan ajaran kristiani dan menambah hal-hal baru yang melahirkan aliran bercorak Thomisme.22 3.1.3 Zaman Abad Modern Pada zaman abad modern ini ciri pemikiran filsafatnya adalah Antroposentris. Para filosof zaman ini menjadikan manusia sebagai pusat analisa filsafat. Peralihan dari abad pertengahan ke abad modern ditandai dengan suatu era yang disebut dengan Renaissans (enlighment) atau Zaman Pencerahan. Pada era Renaissans ini, perhatian diarahkan pada bidang seni lukis patung, arsitektur, musik, sastra, filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada era ini terkenal dengan era kelahiran kembali kebebasan manusia dalam berpikir dan berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas gereja yang selama ini mengungkung kebebasan dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan. Pendobrakan terhadap kegelapan dan pembelengguan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan inilah yang menyebabkan era ini disebut masa kecerahan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.23 Berbagai aliran filsafat yang lahir pada zaman ini yaitu, Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme, Idealisme, Positivisme, dan Marxisme, sebagaimana akan diuraikan di bawah ini: 3.1.3.1 Rasionalisme Aliran Rasionalisme ini tokoh yang terpenting yaitu Rene Descrates, Spinoza, dan Leibniz. Metode Rene Descrates (1598 – l950), sebagai tokoh yang dianggap paling berpengaruh, yang berawal dari masa ragu terhadap segala hal, namun satu hal yang tak mungkin diragukan adalah kegiatan meragu-ragukan itu sendiri. Dengan demikian ia sampai pada suatu kesimpulan yang tak terbantah, yaitu saya berpikir jadi saya ada. 19
Ibid, hlm. 6 - 7 Ibid, hlm, 8 21 Ibid, hlm. 8 22 Ibid, hlm. 12 23 Ibid, hlm. 12 20
Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum
6
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG Cogito ergo sum atau je pense donc je suis24 merupakan prinsip pertama dari filsafat yang diterima Descrates. Bagi Descrates, kebenaran adalah kepastian rasional subyek tentang kesesuaian tersebut.25 Metode Descrates ini disebut “metode ragu-ragu” yang merupakan metode berpikir deduksi.26 3.1.3.2 Emperisme Aliran Empirisme mendasarkan sumber pengetahuan itu berasal dari pengalaman, baik pengalaman lahir yang menyangkut dunia maupun pengalaman batin yang menyangkut pribadi manusia. Fungsi akal (rasio) hanya mengatur dan mengolah bahan atau data yang bersumber dari pengalaman. Menurut mereka manusia tidak mempunyai ide-ide bawaan atau innate ideas.27 Aliran ini bertolak dari pandangan bahwa metode ilmu pengetahuan itu bukanlah a priori, tetapi a posteriori, artinya metode itu didasarkan pada hal-hal yang datang atau terjadinya atau adanya kemudian. Pandangan ini bertolak belakang dengan aliran rasionalisme yang menyatakan metode ilmu pengetahuan itu bersifat a priori. Aliran Empirisme pertama kali dikembangkan oleh Francis Bacon yang memberi tekanan kepada empiri atau pengalaman sebagai sumber pengenalan.28 Ia memperkenalkan metode eksperimen dalam melakukan penyelidikan atau penelitian. Dalam hal ini Bacon memberikan rambu-rambu agar seseorang berhati-hati terhadap idola-idola yang menyebabkan ketidakakuratan suatu kesimpulan, yaitu (1) Idola Tribus, menarik kesimpulan secara terburu-buru, (2) Idola Specus, menarik kesimpulan sesuai seleranya, (3) Idola Fori, menarik kesimpulan berdasarkan pendapat orang banyak, (4) Idola Theatri, menarik kesimpulan berdasar pendapat ilmuwan sebelumnya.29 Filosof Aliran Empirisme lainnya adalah Thomas Hobbes yang juga meyakini pengalaman sebagai sumber pengetahuan. John Locke, melontarkan pemikirannya tentang asal mula gagasan manusia, kemudian menentukan fakta, menguji kepastian pengetahuan dan memeriksa batas-batas pengetahuan manusia.30 David Hume, menegaskan bahwa sumber satu-satunya untuk memperoleh pengetahuan adalah pengalaman. Menurutnya sumber pengetahuan adalah pengamatan dimana dengan pengamatan tersebut manusia akan memperoleh dua hal yaitu, kesankesan (impresion) yang merupakan pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman dan pengertian-pengertian (ideas) yang merupakan gambaran tentang pengamatan yang redup, kabur atau samar.31 Hakikat pemikiran Hume bersifat analitis, kritis, dan skeptis. Alur pikir aliran empiris dicirikan pada pandangan bahwa metode pengetahuan bersifat a posteriori dan proposisinya adalah sintetik, yakni kebenaran itu tidak dapat diuji dengan cara menganalisa pernyataan, tetapi harus diuji secara empiris.32
24
Ibid, hlm. 13 Jujun S. Suriasumantri, l990, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 68. Periksa juga Wasito Poespoprojo, l987, “Interpretasi”, Remaja Karya, Bandung, hlm. 20 26 E. Soemaryono, Op. Cit, hlm. 18 27 Koento Wibisono dan Misnal Munir, Op.Cit, hlm. 14 28 Harun Hadiwijono, Op.Cit, h. 31 - 32 29 Koento Wibisono dan Misnal Munir, Op. Cit, hlm. 15 30 Ibid, hlm. 15 31 Harun Hadiwijono, Op.Cit, hlm. 53 32 Konto Wibisono dan Misnal Munir, hlm. 15 25
Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum
7
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG 3.1.3.3 Kritisisme Aliran filsafat ini merupakan jalan tengah yang menjembatani dua kutub yang berseberangan, yaitu rasionalisme dan empirisme. Kritisisme adalah sebuah teori pengetahuan yang berusaha untuk mempersatukan dua pertentangan di atas (rasionalisme dan empirisme) dalam suatu hubungan yang seimbang dan saling terkait satu dengan lainnya. Tokoh aliran ini adalah Immanuel Kant (1724 – 1804), yang berpendapat bahwa pengetahuan merupakan hasil akhir yang diperoleh dengan adanya kerjasama antara dua komponen, yaitu pengalaman inderawi dan kesan yang sedemikian rupa sehingga terdapat hubungan antara sebab dan akibatnya. Kant melihat kelemahan pada masing-masing kutub, rasionalisme dan empirisme, sehingga ia mengemukakan bahwa pengetahuan itu seharusnya sintetis a priori, antara akal budi dan pengalaman inderawi dibutuhkan bersamaan.33 3.1.3.4 Idealisme Para filosof aliran idealisme pemikiran filsafatnya bersumber dari filsafat kritisismenya Immanuel Kant. Pengikut pemikiran Kant antara lain Fichte sebagai penganut idealisme subyektif. Sedang Schelling merupakan filosof beraliran idealisme obyektif. Kedua pemikiran idealisme ini (subyektif dan obyektif) oleh Hegel disintesiskan dalam filsafat idealisme mutlaknya. Dalam pandangan Hegel pikiran adalah esensi dari alam dan alam adalah keseluruhan jiwa yang diobyektifkan. Menurut Hegel hukum-hukum pikiran adalah merupakan hukum-hukum realitas. Keyakinan terhadap arti dan pemikiran dalam struktur dunia merupakan inti dasar yang menjadi asas idealisme.34 Fichte, Schelling maupun Hegel, adalah filosof transendental yang menjadikan akal pusat pembicaraan dalam menangani pengalaman.35 3.1.3.5 Positivisme Peletak dasar sekaligus merupakan tokoh terpenting dalam aliran filsafat positivisme adalah Auguste Comte (1798 – l857). Aliran filsafat ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, faktual, dan positif serta menolak metafisika.36 Filsafat Comte adalah filsafat anti-metafisis, dimana hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif ilmiah. dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang-bidang ilmu positif. Semboyannya adalah “savoir pour prevoir”, mengetahui supaya siap bertindak, artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubunganhubungan antara gejala-gejala ini supaya dapat meramalkan apa yang akan terjadi.37 Hukum mengalami tiga tahap yang merupakan unsur pokok dalam filsafat positivisme Comte, karena dalam hukum inilah akan tercermin arti, makna, serta sifat seluruh pandangan filsafatinya.38 Filsafat Comte juga disebut faham emperisme kritis, pengamatan akan berjalan seiring dengan teori. Baginya persoalan filsafat yang penting bukan masalah hakikat
33
Ibid, hlm. 16 Ibid, hlm. 18 – 19. Periksa juga Wasito Puspoprodjo, Op. Cit, hlm. 7 35 Harun Hadiwijono, Op. Cit, hlm. 87 35 Harun Hadiwijono, Op. Cit, hlm. 87. Ada perbedaan aliran idealisme yang dikembangkan oleh Fichte (idealisme etis), Schellng (idealisme fisis) maupun Hegel (idealisme logis. Periksa C.A. Van Peursen, l991, “Orientasi di Alam Filsafat”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 32 36 Ibid, hlm. 109 37 Koento Wibisono dan Misnal Munir, Op. Cit, hlm. 19 38 Koento Wibisono, l996, “Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte”, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 10 34
Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum
8
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG atau asal mula pertama dan tujuan akhir gejala-gejala, melainkan bagaimana hubungan antara gejala yang satu dengan gejala lainnya. Aliran filsafat ini penting sebagai pencipta ilmu sosiologi, dimana kebanyakan konsep, prinsip dan metode yang sekarang dipakai dalam sosiologi berasal dari ajaran Comte ini. Comte membagi masyarakat dalam kategori “statika sosial” yang merupakan teori tentang susunan masyarakat, dan “dinamika sosial” yang merupakan teori tentang perkembangan dan kemajuan.39 3.1.3.6 Marxisme Filsafat Marxisme merupakan perpaduan antara metode dialektika Hegel dan filsafat materialisme Feurbach. Karl Max (1818 – 1883) terutama mengkritik Hegel yang menurutnya berjalan di atas kepalanya, sehingga filsafat itu harus diputar balikkan. Filsafat abstrak harus ditinggalkan karena teori, interpretasi, spekulasi dan sebagainya tidak menghasilkan perubahan masyarakat. Menurut Marx, sejarah itu dijalankan oleh suatu logika sendiri sebagai motor sejarah adalah ide dan roh yang sedang berkembang. Motor sejarah menurut Marx terdiri dari hukum-hukum sosial ekonomis dan hukum ini tidak merupakan sesuatu yang “transenden” yang mengatasi manusia sendiri. Pemikiran Marx menghubungkan keterkaitan antara ekonomi dan filsafat.40 Menurut Marx perlu adanya perubahan keadaan masyarakat, dimana kaum proletar yang ditindas oleh kaum borjuis harus berjuang untuk merebut peranan kaum borjuis melalui revolusi. 3.1.4 Zaman Abad Kontemporer Pada zaman ini lazim disebut “logosentris”, artinya teks yang menjadi tema sentral diskursus para folosof. Tema yang menguasai refleksi filosofis dalam abad ke 20 ini adalah pemikiran tentang bahasa.41 Tugas filsafat bukanlah membuat pernyataanpernyataan tentang sesuatu yang khusus, melainkan memecahkan persoalan yang timbul akibat ketidakpahaman terhadap bahasa logika.42 Russel dan Wittgenstein melangkah lebih maju ke dalam metode analisa bahasa, sebagai sikap atau keyakinan ontologis dalam memilih alternatif terbaik bagi aktivitas berfilsafat. Karya filsafat bukan sekedar ungkapan filsafati melainkan upaya membuat ungkapan menjadi jelas. Filsafat bukanlah doktrin melainkan aktivitas. Tujuan filsafat adalah penjelasan logis terhadap pemikiran dan sebuah karya filsafat pada hakikatnya terdiri atas penjelasan (elucidations).43 Pemikiran para filosof analitik ini merupakan respons terhadap aktivitas filsafat yang dilakukan oleh para penganut aliran filsafat idealisme yang menekankan mengintrodusir ungkapan-ungkapan filsafati, sehingga kebanyakan bermakna ganda, kabur dan tidak terpahami oleh akal sehat.44 Pada zaman ini muncul berbagai aliran filsafat yang merupakan kelanjutan filsafat abad modern, seperti neo-thomisme, neo-kantianisme, neo-hegelianisme, neomarxisme, neo-positivisme dan sebagainya. Namun demikian ada juga aliran filsafat
39
Ibid, hlm. 19 Ibid, hlm. 20 – 21. Periksa juga Harun Hadiwijono, Op. Cit, hlm. 123 41 K. Bertens, l983,”Filsafat Barat Abad XX”, Gramedia, Jakarta, hlm. 17 42 Koento Wibisono dan Misnal Munir, Op.Cit, hlm. 21 43 Ibid, hlm. 21. 44 Ibid, hlm. 21 40
Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum
9
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG yang baru dengan ciri dan corak yang lain sama sekali, seperti : fenomenologi, eksistensialisme, pragmatisme, strukturalisme dan postmodernisme.45 Beberapa aliran yang dicoba diangkat dalam kajian ini mewakili aliran filsafat kontemporer (abad ke- 20). Edmund Husserl (l859-l938) merupakan pendiri aliran fenomenologi sebagai ilmu yang mempelajari apa yang tidak tampak atau apa yang menampakkan diri atau fenomena. Bagi Husserl, fenomena adalah realitas itu sendiri yang tampak bagi subyek. Menurutnya filsafat memerlukan sebuah metode yang mengena untuk menegaskan validitasnya di dalam pengalaman hidup manusia seharihari.46 Aliran filsafat ini mempunyai kedekatan dengan aliran filsafat eksistensialisme, karena terdapat tema yang sama meskipun terdapat juga perbedaan di antara kedua aliran. Jean Paul Sartre (1905-1980), adalah salah satu tokoh aliran eksistensialisme yang populer. Ia membedakan rasio dialektis dengan ratio analytic, dimana ratio analitis dijalani dalam ilmu pengetahuan, sedang ratio dialectic jika manusia berpikir tentang manusia, sejarah dan kehidupan sosial.47 Aliran filsafat strukturalisme muncul sebagai reaksi terhadap aliran filsafat eksistensialisme yang menekankan pada peranan individu, sebaliknya strukturalisme justru melihat manusia terkungkung dalam berbagai struktur kehidupannya. Mereka melakukan penolakan terhadap prioritas kesadaran. Bagi mereka manusia tidak lagi merupakan titik pusat otonom, manusia tidak lagi menciptakan sistem melainkan tunduk pada sistem. Ada dua pengertian pokok sehubungan dengan aliran ini, pertama, menurut Ferdinand de Saussure, strukturalisme merupakan metode atau metodologi yang dipergunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip linguistik. Ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften) yang dibedakan dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam (naturwissen schaften).48 Kedua, strukturalisme adalah aliran filsafat yang hendak memahami masalah yang muncul dalam sejarah filsafat. Michel Foucault (l926-1984), sebagai tokoh aliran strukturalisme yang berpengaruh, menyatakan bahwa kesudahan manusia sudah dekat (terkenal dengan “kematian” manusia), dimana konsep manusia akan hilang dalam pikiran kita. Manusia akan kehilangan tempat sentralnya dalam bidang pengetahuan dan kultur seluruhnya.49 Jadi dalam aliran ini yang penting adalah masalah struktur masyarakat, bukan masalah asal usulnya.50 Aliran filsafat Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang berpengaruh cukup besar di dunia praktis. Aliran ini merupakan suatu sikap, metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat praksis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai kebenaran. Aliran ini bersikap kritis terhadap sistem filsafat sebelumnya. William James (1842-1910) salah seorang tokoh pragmatisme yang membedakan pengetahuan dalam dua bentuk, yaitu pengetahuan langsung yang diperoleh dari pengamatan dan pengetahuan tidak langsung yang diperoleh melalui pengertian. Kebenaran itu merupakan suatu proses, suatu ide dapat menjadi benar apabila didukung oleh peristiwa-peristiwa sebagai akibat atau buah ide itu, sehingga
45
Ibid, hlm. 22 E. Sumaryono, Op.Cit, hlm. 19 47 Koento Wibisono dan Misnal Munir, Op.Cit, hlm. 23 48 E. Sumaryono, Op.Cit, hlm. 28 49 Koento Wibisono dan Misnal Munir, Op.Cit, h 23-24 50 Bernard Delfgaauw, “Filsafat Abad 20”, Alih Bahasa Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta 46
Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum
10
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG kebenaran itu hanya suatu yang potensial, baru setelah verifikasi praktis kebenaran potensial itu menjadi riil.51 Postmodernisme merupakan trend pemikiran yang sangat populer di penghujung abad ke-20 yang merambah ke berbagai bidang serta disiplin filsafat dan ilmu pengetahuan. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap kegagalan modernisme, dalam hal ini filsafat berpusat pada epistemologi yang berdasar pada gagasan tentang subjektivitas dan objektivitas murni, dimana satu dengan lainnya saling terkait. Tugas pokok filsafat adalah mencari fondasi segala pengetahuan (fondasionalisme), dan tugas pokok subyek adalah mempresentasikan kenyataan obyektif (representasionalisme). Wacana postmodernisme menjadi popular setelah Francois Lyotard mengemukakan pendapatnya bahwa modernitas ditandai oleh kisah-kisah besar yang mempunyai fungsi mengarahkan serta menjiwai masyarakat modern (mirip mitos). Kisah-kisah besar tadi mencari legitimasi melalui ide yang harus diwujudkan.52 3.2 Peran Filsafat Ilmu Bagi Pengembangan Ilmu Hukum Paul Scholten, seorang Guru Besar Hukum Romawi, Ensiklopedia Ilmu Hukum, Hukum Perdata, Hukum Acara Perdata, dan Filsafat Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Amsterdam, Belanda menyatakan : “Ihwal dengan kebenaran dalam ilmu sama seperti dengan keadilan dalam hukum. Ilmu mencari kebenaran, hukum mencari keadilan, mereka dua-duanya sama-sama selalu berada dalam perjalanan, sambil berjalan mereka memutuskan tentang apa yang menolong mereka lebih jauh, putusan ilmiah tentang ketepatan, tidak tentang kebenaran, putusan hukum tentang kesesuaian dengan hukum (keabsahan, rechtmatigheid), tidak tentang keadilan …….Yang pasti adalah bahwa ilmu hukum memperlihatkan dalam derajad yang tinggi apa yang menjadi ciri khas pemikiran ilmiah, tidak hanya yang dari Aristoteles atau dari Thomas, melainkan juga yang modern.”53 Dalam mengembangkan suatu ilmu hukum yang adequate untuk melaksanakan pembinaan hukum dan praksis hukum di masyarakat, maka refleksi kritis terhadap landasan kefilsafatan, sifat keilmuan dan bangunan ilmu hukum, maka secara rasional akan dapat diperkirakan sejauh mana yang dapat diharapkan dan apa yang diperlukan serta apa yang harus dijalankan dalam memerankan ilmu hukum pada pembinaan dan praksis hukum.54 Refleksi kritis sistematis terhadap landasan kefilsafatan, sifat dan ciri-ciri keilmuan serta bangunan (struktur) ilmu hukum itu termasuk ke dalam disiplin filsafat ilmu. Menurut Jan Gijssels dan Max van Hoeke, Filsafat hukum adalah filsafat umum yang diterapkan pada hukum atau gejala-gejala hukum. Dalam filsafat pertanyaanpertanyaan paling dalam dibahas dalam hubungan dengan makna, landasan, struktur, dan sejenisnya dalam kenyataan. Dalam filsafat hukum, pertanyaan-pertanyaan ini difokuskan pada keterberian-keterberian (data) yuridikal.55 51
Konto Wibisono dan Misnal Munir, Op.Cit, h. 24 - 25 Ibid, h. 25-26 53 Paul Scholten, Op.Cit, hlm. 36-37 54 Bernard Arief Sidharta, Op. Cit, hlm. 12 55 Jan Gijssels dan Mark van Hooeke, 2000, “Apakah Teori Hukum Itu ?”, Diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta. Penerbitan Tidak Berkala No. 3, Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, hlm. 56 52
Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum
11
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG Wilayah telaah filsafat hukum itu sendiri dapat dibagi ke dalam sejumlah wilayah atau bagian berikut : 1. Ontologi Hukum (ajaran hal ada, zijnleer) : penelitian tentang “hakikat” dari hukum, tentang “hakikat”, misalnya dari demokrasi, tentang hubungan antara hukum dan moral; 2. Aksiologi Hukum (ajaran nilai, waardenleer) : penentuan isi dan nilai seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, kebenaran, penyalahgunaan hak; 3. Ideologi Hukum (harfiah : ajaran idea, ideenleer) : pengolahan wawasan menyeluruh atas manusia dan masyarakat yang dapat berfungsi sebagai landasan dan/atau sebagai legitimasi bagi pranata-pranata hukum yang ada atau yang akan datang, sistem-sistem hukum seutuhnya atau bagian-bagian dari sistem tersebut (misalnya tatanan-tatanan hukum kodrat, filsafat hukum Marxistik); 4. Epistemologi Hukum (ajaran pengetahuan, kennisleer): penelitian tentang pertanyaan sejauh mana pengetahuan tentang “hakikat” dari hukum atau masalahmasalah filsafat hukum fundamental lainnya mungkin. Jadi, ini adalah suatu bentuk dari meta-filsafat; 5. Teleologi Hukum (ajaran finalitas, finaliteitsleer) : hal menentukan makna dan tujuan dari hukum; 6. Ajaran ilmu (wetenschapleer) dari hukum : ini adalah meta-teori dari ilmu hukum, yang di dalamnya diajukan dan dijawab pertanyaan-pertanyaan antara lain dalam hubungan dengan kriteria bagi keilmiahan (sejauh mana pengetahuan ilmiah tentang hukum itu dimungkinkan ?), dan dalam hubungan dengan klasifikasi ilmu hukum (bukan klasifikasi hukumnya itu sendiri). Juga metodologi dari filsafat hukum sendiri (dengan mengecualikan metodologi dari cabang-cabang ilmu hukum lainnya) juga dapat dimaksudkan ke dalamnya; 7. Logika hukum (rechtslogika) : penelitian tentang aturan-aturan berpikir hukum dan argumentasi yuridis, bangunan logika serta struktur sistem hukum. Logika hukum telah berkembang menjadi sebuah cabang filsafat hukum mandiri dan bahkan menjadi disiplin sendiri dalam ilmu hukum, yang di dalamnya ia mengambil tempat sendiri di samping filsafat hukum.56 Jika kita kembali kepada permasalahan tentang peranan filsafat ilmu dalam pengembangan ilmu hukum, maka di bawah ini akan dipaparkan beberapa aliran yang penting dewasa ini, antara lain : 3.2.1 Positivisme Logikal Positivisme Logikal adalah aliran filsafat yang dikembangkan oleh kelompok ilmuwan dan filsuf yang menamakan diri Wiener Kreis. Pada tahun 1922, Moritz Schlick, seorang Sarjana Fisika diangkat menjadi Guru Besar Filsafat kelompok ilmu induktif di Wina. Atas inisiatifnya, pada tahun 1925 terbentuk kelompok diskusi di Wina yang beranggotakan sejumlah ilmuwan dan filsuf yang kemudian dikenal dengan Wiener Kreis. Di antaranya yang terkenal disamping Schlick, adalah: Logikus Rudolf Carnaf, matematikus Philip Frank, historikus Victor Kraft, Filsuf Herbert Feigl dan Friedrich Waismann. Kelompok ini secara teratur bertemu dan bertukar pikiran tentang makna ilmu dan kemungkinan peranannya dalam menumbuhkan kehidupan kemasyarakatan yang lebih baik. Berdasarkan kesamaan wawasan kefilsafatan yang 56
Ibid, hlm. 57
Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum
12
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG ditumbuhkan dalam pertemuan-pertemuan itu, Rudolf Carnap, Matematikus Hans Hanh dan sosiolog Otto Neurath, merumuskan dan menerbitkan sebuah risalah berjudul “WISSENSCHAFTLICHE WELTAUFFASUNG, Der Wiener Kries”.57 Aliran ini berkeyakinan bahwa hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan yang sah, dan bahwa pengetahuan ilmiah itu harus bersifat empiris. Artinya, hanya kenyataan yang dapat diobservasi panca-indera yang dapat menjadi obyek ilmu. Pengetahuan tentang hal lainnya tidak obyektif, dan karena itu tidak dapat diuji kepastian kebenarannya. Sebagai sarana penguji kebenaran pengetahuan ilmiah, mereka mengajukan asas verifikasi. Berdasarkan asas ini, putusan ilmiah adalah benar hanya jika putusan itu dapat diverifikasi secara empiris, yakni dapat diuji pada kenyataan yang dapat diobservasi. Metode untuk memperoleh pengetahuan ilmiah adalah metode empirik yang pada intinya adalah induksi. Produknya yang berupa teori ilmiah sekaligus juga merupakan hipotesis yang dapat diuji kembali dengan kenyataan. Aliran ini tentang kebenaran, menganut Teori Korespondensi yang menyatakan bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara putusan atau proposisi dan dunia kenyataan. Jadi putusan atau teori ilmiah adalah benar jika mencerminkan dunia kenyataan.58 3.2.2. Rasionalisme Kritis Tokoh terpenting dalam aliran Rasionalisme Kritis adalah Karl Raimund Popper. Bukunya yang terkenal adalah “THE LOGIG OF SCIENTIFIC DISCOVERY” yang terbit pada tahun l959 dan merupakan terjemahan dari “LOGIG DER FORCHUNG” yang terbit pada Tahun 1934.59 Menurut aliran ini, pengetahuan ilmiah harus obyektif dan teoritikal, dan pada analisis terakhir merupakan penggambaran dunia yang dapat diobservasi. Seperti halnya Aliran Positivisme Logikal, aliran ini menganut Teori Kebenaran Korespondensi. Namun bagi aliran ini putusan ilmiah yang sesuai dengan kenyataan yang teramati hanya menghasilkan pengetahuan yang mungkin benar (probabel), dan karena itu hanya dipandang benar sampai dibuktikan sebaliknya. Aliran ini menolak metode induksi sebagai metode ilmiah untuk memperoleh pengetahuan, karena kesimpulan yang dihasilkan induksi pada dasarnya bertumpu pada premis-premis partikular, sehingga kesimpulannya lebih luas daripada premis-premis yang mendukungnya. Aliran ini berpendapat metode ilmiah yang tepat adalah deduksi, yakni berdasarkan dalil umum menarik kesimpulan berupa putusan khusus (proposisi partikular). Hipotesis ini berfungsi seperti lampu pencari (searchlight) yang disorotkan pada fakta yang dapat diobservasi. Aliran rasionalisme kritis ini mengajukan asas falsifikasi sebagai kriteria penguji untuk mengontrol putusan-putusan ilmiah. Selama belum terfalsifikasi, artinya selama belum ditemukan fakta yang menyangkal hipotesis yang bersangkutan, maka pengetahuan yang dihasilkan harus dipandang sebagai benar untuk sementara. Dalam pandangan aliran ini putusan ilmiah itu selalu berkenaan dengan gejala alam. Berdasarkan jalan pikiran yang dikemukakan di atas, maka menurut aliran Rasionalisme Kritis putusan ilmiah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Putusan ilmiah harus dapat diuji secara kritis; 2. Teori ilmiah harus tersusun secara logis konsisten; 57
Hermann Koningsveld, l987, “Het Verschijnsel Wetenschap”, Amsterdam, hlm. 30 dan di dalam Arief Sidharta, Op. Cit, hlm. 85 58 Bandingkan juga dengan, J.J.H. Bruggink, “Refleksi Tentang Hukum”, Diterjemahkan oleh Arief Sidharta, Op.Cit, hlm. l90-194 59 Bernard Arief Sidharta, Op.Cit, hlm. 86-88. Lihat juga J.J.H. Bruggink, Op.Cit, hlm. 194-200
Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum
13
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG 3. Putusan (proposisi) ilmiah harus sebanyak mungkin dapat difalsifikasi, artinya rumusannya secara prinsip harus memungkinkan untuk difalsifikasi. Jika putusan ilmiah itu mampu bertahan terhadap usaha-usaha falsifikasi, maka dapat dikatakan bahwa telah terbentuk putusan ilmiah obyektif yang benar untuk sementara waktu. 3.2.3. Teori Paradigma Thomas Kuhn Thomas Kuhn adalah seorang sejarahwan dan sosiolog hukum. Karya utamanya adalah “THE STRUCTURE OF SCIENTIFIC REVOLUTIONS” yang terbit tahun l970 dilengkapi dengan Postscript yang memuat modifikasi pandangannya serta tanggapan terhadap kritik. Dalam bukunya tersebut Kuhn mengemukakan pandangan tentang ilmu yang berputar sekitar lima istilah atau konsep kunci yakni, paradigma, revolusi ilmiah, pra-paradigmatik, ilmu normal dan anomali. Berbeda dengan Propper yang mendekati pengertian ilmu secara internal, Kuhn mendekati ilmu secara eksternal sebagai penulis sejarah dan sosiolog.60 Dengan penggunaan istilah paradigma ini, Kuhn hendak menunjuk pada sejumlah contoh praktek ilmiah aktual yang diterima atau diakui dalam lingkungan komunitas ilmiah, menyajikan model-model yang berdasarkan model-model itu lahirlah tradisi penelitian ilmiah yang terpadu (koheren). Contoh praktek ilmiah itu mencakup dalil, teori, penerapan dan instrumentasi. Dengan demikian para ilmuwan yang penelitiannya didasarkan pada paradigma yang sama pada dasarnya terikat pada aturan dan standar yang sama dalam mengemban ilmunya. Keterikatan pada aturan dan standar ini adalah prasyarat bagi adanya ilmu normal. Dengan demikian yang dimaksud dengan paradigma ini adalah cara pandang atau kerangka berpikir yang berdasarkan fakta atau gejala diinterpretasi dan dipahami. Perubahan paradigma itu akan menimbulkan berbagai perubahan dalam kegiatan ilmiah. Hal itu akan menimbulkan redefinisi ilmu yang bersangkutan. Beberapa masalah dinyatakan sebagai masalah yang termasuk dalam disiplin lain atau dinyatakan bukan masalah ilmiah lagi. Yang tadinya dianggap bukan masalah atau hanya masalah kecil, kini menjadi masalah pokok. Standar dan kriteria untuk menentukan keabsahan masalah dan keabsahan solusi masalah dengan sendirinya juga berubah. Secara umum dapat dikatakan bahwa perubahan paradigma itu akan membawa transformasi dalam “the scientific imagination”, dan dengan itu juga terjadi “transformation of the word”. 3.2.4. Hermeneutika Semua ajaran mengenai ilmu yang dikemukakan di atas mengacu pada ilmu alam sebagai modelnya. Hanya dengan analogi dan berbagai adaptasi saja ajaran –ajaran ilmu itu dapat diaplikasikan pada ilmu-ilmu manusia. Misalnya, Hans Albert dalam bukunya “ERKENNTNIS UND RECHT” dan A.H. de Wild dalam bukunya “DE RATIONALITEIT VAN HET RECHTERLIJK OORDEEL”, mencoba menerapkan teori Propper dalam bidang hukum. Berbeda dengan aliran-aliran itu, aliran Hermeneutika secara khusus memberikan perhatian atau lebih terkait pada ilmu-ilmu manusia. Perkataan Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani yakni dari kata kerja “hermeneuein” yang berarti „menafsirkan” atau “menginterpretasi” dan kata benda “hermeneia” yang berarti “penafsiran” atau “interpretasi”.61 60 61
Bernard Arief Sidharta, Op.Cit, hlm. 89-90 E. Sumaryono, Op.Cit, hlm. 23
Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum
14
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG Pada awal mulanya hermeneutika dikembangkan sebagai metode atau seni untuk menafsirkan dalam upaya memahami naskah (teks) kuno. Melalui karya Schleiermacher, Wilhelm Dilthy, mengembangkan dan menggunakan hermeneutik sebagai metode untuk ilmu-ilmu manusia, khususnya ilmu sejarah. Akhirnya lewat karya Hegel dan karya Heidegger, Hans George Gadamer, mengembangkan hermeneutika sebagai landasan kefilsafatan ilmu-ilmu manusia dalam bukunya “WAHRHEIT UND METHODE” yang terbit pada tahun l960. Dalam bukunya tersebut Gadamer menyisihkan paragraf khusus yang memaparkan ilmu hukum dogmatik atau hermeneutika yuridis sebagai salah satu eksemplar cara kerja hermeneutika, yakni dalam sebuah paragraf dengan judul “THE EXEMPLARY SIGNIFICANCE Of LEGAL HERMENETUICS (Die Exemplarische Bedeutung der Juristischen Hermeneutik)”. Filsafat Hermeneutika adalah filsafat tentang hal mengerti atau memahami (Verstehen). Yang dipermasalahkan dalam filsafat ini bukanlah bagaimana orang harus memahami, jadi bukan ajaran seni atau ajaran metode, melainkan apa yang terjadi jika orang memahami atau menginterpretasi. Sebagai filsafat tentang hal memahami, Filsafat Hermeneutika berkenaan dengan semua hal yang memiliki makna sejauh hal tersebut dapat diungkapkan dalam bahasa dan dapat dimengerti. Obyek refleksinya mencakup bahasa manusia, bahasa alam, bahasa seni, dan bahasa hal-hal pada umumnya. Dengan demikian pemahaman dalam hermeneutika tidak terbatas hanya pada tindakan intensional, melainkan juga mencakup hal-hal yang tidak dimaksud atau diinginkan oleh siapapun, mencakup tujuan manifes dan tujuan laten. Diproyeksikan pada konsep ilmu menurut Arief Sidharta, Filsafat Hermeneutika memunculkan butir-butir seperti yang dikemukakan oleh Bruggink dalam bukunya “RECHTSREFLECTIES” sebagai berikut: 1. Sehubungan dengan tematik dalam kelompok manusia, maka para ilmuwannya dalam menjalankan karya ilmiahnya tidak mungkin menempatkan diri sebagai pengamat belaka terhadap kenyataan. Dalam berbagai bidang ilmu manusia (seni, teologi, antropologi, sosiologi, hukum) menuntut para ilmuwan untuk membangun teori ilmiahnya sebagai partisipan pada gejala yang dipelajarinya; 2. Relasi inti dalam kelompok ilmu manusia bukanlah relasi subyek-obyek melainkan relasi subyek-subyek; 3. Karena orang hanya dapat mengemban ilmu dengan bertolak dari dan dalam kerangka tradisi ilmu, maka para ilmuwan tidak mungkin tanpa prasangka pada waktu memulai melaksanakan penelitian dan karya ilmiah; 4. Dalam kenyataan penelitian dijalankan oleh pribadi-pribadi atau kelompokkelompok individual masing-masing dengan pengalaman dan gagasan-gagasan sendiri; 5. Baik dalam kelompok ilmu manusia maupun dalam kelompok ilmu alam, konsensus dalam lingkungan para ilmuwan dipandang penting dalam pengembanan ilmu.62 Berdasarkan uraian di atas, terlihat dengan jelas bahwa posisi filsafat ilmu sangat menentukan dalam perkembangan ilmu hukum. Karena ilmu hukum dapat didekati melalui metode induksi dan deduksi. Dengan meminjam dalil-dalil, konsepkonsep, batasan-batasan yang diajukan oleh filsafat ilmu dengan berbagai alirannya dapat diharapkan perkembangan yang sangat pesat untuk memenuhi tuntutan masyarakat.
62
Bernard Arief Sidharta, Op.Cit, hlm. 101-103
Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum
15
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG Melalui metode induksi, sebagaimana dianut oleh aliran Positivisme Logikal, ilmu hukum dilihat, dijabarkan, dianalisis dalam hubungannya dalam kenyataan dalam masyarakat. Dengan perkataan lain melalui metode induksi ini, ilmu hukum dilihat dari segi efektivitasnya atau bekerjanya hukum dalam masyarakat. Dalam lingkup hukum terkenal dengan istilah “Law is a tool of social engeneering (hukum sebagai sarana perubahan sosial)”.63 Selo Soemardjan, menyatakan bahwa perubahan sosial mencakup bermacam perubahan di dalam lembaga masyarakat sehingga mempengaruhi sistem sosialnya termasuk nilai-nilai, sikap, pola prilaku serta hubungan antar kelompoknya.64 Mayor Polak sendiri menyatakan, perubahan sosial dimaksudkan sebagai perubahan yang terjadi dalam struktur masyarakat yaitu perubahan yang bersifat struktural.65 Soerjono Soekanto membedakan beberapa tipe perubahan sosial yang meliputi : (1) Perubahan yang terjadi secara lambat dan perubahan yang terjadi secara cepat, (2) Perubahan yang pengaruhnya kecil dan perubahan yang pengaruhnya besar, (3) Perubahan yang dikehendaki (intendet change) atau perubahan yang direncanakan (planned change) dengan perubahan yang tidak dikehendaki (anintended change) atau perubahan yang tak direncanakan (unplanned change).66 Kemudian melalui metode deduksi dengan meminjam konsep-konsep, ajaranajaran, dalil-dalil sebagaimana yang dikemukakan oleh Aliran Rasionalisme Kritis, maka ilmu hukum dapat berkembang. Dalam kepustakaan ilmu hukum, masalah deduksi antara lain berbicara masalah law is a tool of social control (hukum berfungsi sebagai sarana kontrol sosial). Dalam hal ini hukum sebagai penjaga ketertiban dan pemelihara status quo. Hukum hanya dimaksudkan untuk mempertahankan pola hubungan serta kaidah-kaidah yang telah berlaku sebelumnya. Hukum dan ketertiban dapat diibaratkan merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama, masing-masing dapat dibedakan namun sulit untuk dipisahkan. Seperti dinyatakan oleh Kusumadi Pudjosoewojo bahwa tugas paling pokok dari hukum adalah menciptakan ketertiban, sebab ketertiban itu sendiri merupakan syarat pokok adanya keteraturan dalam masyarakat.67 Dalam hubungannya dengan dua fungsi hukum tersebut di atas, maka seakanakan ada kontradiksi yaitu di satu sisi hukum sebagai sarana perubahan sosial, di sisi yang lain hukum sebagai sarana pengontrol masyarakat. Kontradiksi ini hanya nampak dalam tataran pemikiran, sedangkan dalam tataran praktikal keduanya justru saling melengkapi satu sama lain dan keduanya menjadi kebutuhan inheren dalam pelaksanaan pembangunan. Di sisi lain dalam khasanah ilmu hukum berkembang dengan apa yang dinamakan pendekatan hukum empiris dan pendekatan hukum normatif. Pendekatan hukum empiris ini, dilihat, dipaparkan, dijelaskan dan dianalisis tentang gejala hukum yang terjadi dalam masyarakat atau fenomena kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat dalam hubungannya dengan hukum. Wacana ini bisa dikatakan dilakukan secara induksi. Sedangkan pendekatan hukum normatif seperti diuraikan di atas
63 64
Kusumadi Pudjosoewojo, l971, “Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia”, Aksara, Jakarta, hlm. 11 Selo Soemardjan, l981, “Social Change in Yogyakarta”, Gajah Mada University Press, Yogyakarta,
hlm.3 65
Mayor Polak, l966, “Sosiologi Pengantar Ringkas”, Ikhtiar, Jakarta, hlm. 406 Soerjono Soekanto, 1970, “Sosiologi Suatu Pengantar”, Yayasan Penerbit UI, Jakarta, hlm. 243-245 67 Kusumadi Pudjosoewojo, Loc.Cit, hlm. 12 66
Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum
16
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG merupakan pendekatan khas hukum yang sarat dengan nilai, norma, kaidah. Wacana ini bisa dikatakan dilakukan secara deduksi. 4. KESIMPULAN Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, maka tidaklah dapat dipungkiri bahwa filsafat ilmu sangat berperan bagi pengembangan ilmu hukum. Dengan perkataan lain, filsafat ilmu sebagai filsafat yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam lapisan ilmu hukum, merupakan dasar dan arah bagi pengembangan ilmu hukum. Melalui wacana induksi, dengan metode memaparkan, menjelaskan serta menganalisis tentang gejala hukum yang terjadi di dalam masyarakat dalam hubungannya dengan penegakan hukum, baik Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Tata Negara, Hukum Internasional, Hukum Lingkungan, dan sebagainya dapat difahami dengan jelas. Sedangkan melalui pendekatan deduksi, penegakan hukum tersebut di atas dapat dicari, dipaparkan dan kemudian dilakukan analisis melalui peraturan-peraturan yang erat hubungannya dengan penegakan hukum, yang kemudian berdasarkan kenyataan yang ada (induksi), maka akan muncul suatu pemahaman apakah suatu peraturan akan diganti, diperbaharui atau tetap akan dipertahankan. 5. REFERENSI Berten, K., l983, “ Filsafat Barat Abad XX”, Penerbit Gramedia, Jakarta. Bruggink, J.J.H, l996, “Refleksi Tentang Hukum”, Diterjemahkan Oleh Arief Sidharta. Penerbit, Citra Aditya Bakti, Bandung. Delfgaauw, Bernard, “Filsafat Abad 20”, Alih Bahasa Soejono Soemargono. Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta. Gijssels, Jan dan Mark van Hoecke, 2000, “Apakah Teori Hukum Itu?”, Diterjemahkan Oleh B. Arief Sidharta. Penerbitan Tidak Berkala No. 3 Laboratorium Hukum Fak. Hukum Universitas katolik Parahyangan, Bandung. Hasan, Fuad,l996, “Pengantar Filsafat Barat”, Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta. Hatta, Mohammad, l986, “Alam Pikiran Yunani”, Cetakan Ke-3, Penerbit UI. Press, Jakarta. Hadiwijono, Harun, 1983, “Sari Sejarah Filsafat Barat”, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Koningsveld, Hermann, l987, “Het Verschijnsel Wetenschap”, Amsterdam, Dalam Bernard Arief Sidharta. Peursen, CA. van,1980, “De Opbouw van de Wetwnschap, Een Inleiding in de Wetenschapsleer”, Boom Meppel, Amsterdam, Juga Dalam Bukunya yang berjudul, “Filosofie van Wetwnschappen”, Martinus Mijhof, Leiden,l986, Di dalam Koento Wibisono.
Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum
17
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG _____________, l990, “Fakta, Nilai, Peristiwa, Tentang Hubungan Antara Ilmu Pengetahuan dan Etika”, Diterjemahkan oleh A. Sonny Keraf, Penerbit Gramedia, Jakarta. Polak, Mayor, l966, “Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas”, Penerbit Ikhtiar, Jakarta Scholten, Paul, l997, “Struktur Ilmu Hukum”, Penerbit Tak Berkala No. 1, Seri Dasar Dasar Ilmu Hukum, Laboratorium Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Sidharta, Bernard Arief, l999, “Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum : Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional”, Penerbit Mandar Maju, Bandung. Siswomihardjo, Koento Wibisono,l996, “Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte”, Penerbit Gajah Mada University Press, Yogyakarta. _____________, l999, “Ilmu Pengetahuan, Sebuah Sketsa Umum Mengeanai Kelahiran dan Perkembangannya Sebagai Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu”, Makalah Disajikan Pada Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia yang Diselenggarakan Oleh Ditjen Dikti Depdikbud bekerjasama dengan Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 22 – 29 Agustus. _____________, dan Misnal Munir, l999, “Pemikiran Filsafat baru”, Makalah Disampaikan pada Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, Diselenggarakan Oleh Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada bekerjasama dengan Ditjen Dikti. Depdikbud, Tanggal 22-29, Yogyakarta. Soemardjan, Selo, l981, “Social Change in Yogyakarta”, Penerbit Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Soekanto, Soerjono, l970, “Sosiologi Suatu Pengantar”, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Suriasumantri, Jujun S.,l990, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Sumaryono, E., l993,”Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat”, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum
18