PERSPEKTIF ISLAM TERHADAP BUDAYA KABUENGA DI KECAMATAN WANGI-WANGI SELATAN KABUPATEN WAKATOBI WA ODE ROSLIYA NIM 12030102015
ABSTRAK WA ODE ROSLIYA NIM 12030102015 “Perspektif Islam terhadap Budaya Kabuenga di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi”. Dibimbing oleh Dr. Asliah Zainal, S.Ag., S.Pd, MA. sebagai Pembimbing I dan Aminudin,S.Ag.,MA sebagai Pembimbing II. Skripsi ini merupakan salah satu analisis ilmiah yang membahas tentang Perspektif Islam terhadap Budaya Kabuenga di Kec. Wangi-Wangi Selatan Kab. Wakatobi. Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah Bagaimana praktek Kabuenga dalam masyarakat Kec. Wangi-Wangi Selatan Kab. Wakatobi dan apa nilai-nilai Dakwah yang terkandung dalam budaya kabuenga di Kec. Wangi-Wangi Selatan Kab. Wakatobi yang bertujuan untuk mengetahui praktek budaya kabuenga dalam masyarakat di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi dan untuk mengetahui nilai-nilai dakwah yang terkandung dalam budaya kabuenga di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah metode Field research (penelitian lapangan). Prosesi kabuenga dilakukan oleh pasangan muda-mudi yang belum memiliki ikatan perkawinan. Bagi muda mudi yang tidak memiliki pasangan untuk duduk maka mereka akan menjual sambil mengelilingi lapangan atau tempat didirikan kabuenga tersebut. Dimana para muda-mudi yang menjual akan mengikuti tokoh adat, tokoh agama dan masyarakat atau ibu-ibu yang ditunjuk untuk mengelilingi kabuenga dan diiringi dengan nyanyian-nyanyian adat. Selain itu, keluarga dari pihak laki-laki akan memberikan barang-barang atau sombuii kepihak perempuan. Adapun nilai-nilai dakwah yang terkandung dalam budaya kabuenga adalah gotong royo, saling kenal mengenal, mempererat tali silaturahmi dan meningkatkan persatuan dan kebersamaan dalam masyarakat kehidupan sosial yang sesuai dengan ajaran Islam. Dimana kabuenga adalah salah satu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat
xi
khususnya masyarakat Wangi-Wangi Selatan untuk memperkenalkan anak-anak mereka. PENDAHULUAN Islam merupakan agama yang luas dan fleksibel yang mengkaji banyak hal. Kajian ilmu dalam Islam tidak hanya pada inti ajaran Islam itu sendiri, melainkan juga pada ilmu lain yang relevan terhadap ajaran Islam. Semua aspek dan hal dalam kehidupan manusia diatur oleh Islam. Cakupan kajian Islam sangatlah luas karena tidak ada satupun hal yang tidak diatur dan dibahas dalam Islam, salah satunya budaya. Islam agama yang mencintai keindahan sehingga dalam Islam terdapat aspek hubungan Islam dengan budaya. Islam merupakan agama yang berkembang, fleksibel dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Namun hal ini, perlu dipikirkan secara lebih mendasar, logis dan menyeluruh sehingga perkembangan yang terjadi tidak bertentangan dengan inti ajaran Islam. Islam adalah agama yang sangat menghargai seni atau kebudayaan. 1 Islam sebagai agama besar juga mempunyai nilai-nilai sejarah kebudayaan yang tinggi, khususnya sejarah awal masuknya Islam ke Indonesia yang disebarkan oleh para ulama’ dan aulia’ dengan menggunakan dakwah dan juga kerja sama dalam bidang perdagangan. Oleh karena itu Islam masuk melalui perdamaian, maka secara tidak langsung Islam akan berbenturan dengan kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat. Rasulullah sebagai tauladan bagi umat Islam telah mengajarkan bagaimana seorang hamba dapat mencurahkan rasa syukurnya kepada Allah swt. atas segala nikmatnya dengan berbagai cara yang dilakukan. Salah satu cara syukurnya yaitu dengan menggunakan suatu budaya atau kebudayaan dalam kehidupan masyarakat. 2 Islam dengan syari’at serta peraturannya telah menetapkan kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu budaya agar ia dianggap benar atau salah. Dalam Islam, 1
D. Hendropuspito,Oc, Sosiologi Agama (Yogyakarta: 1984), h. 34. Ki Hajar, Dewantara, Kebudayaan (Yogyakarta: Penerbit Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1994). 2
xii
nilai kebenaran dalam suatu budaya bukanlah diatur oleh manusia yang menganut budaya itu sendiri, melainkan oleh syari’at yang telah ditetapkan langsung oleh Allah swt. melalui kitab-Nya serta Rasul-Nya. Dengan kata lain bukan agama yang mengikuti budaya, tapi budayalah yang harus sesuai dengan agama. Namun, bukan berarti Islam datang dengan menghapus budaya masyarakat terdahulu yang masih mengagung-agungkan budaya nenek moyangnya. Islam datang dengan kedamaian dan kebaikan. Karena itu, Rasulullah saw. memperkenalkan ajaran Islam tanpa menghilangkan semua budaya jahiliyyah. Dengan kebijaksanaannya, beliau hanya membuang budaya jahiliyyah yang bertentangan denagn ajaran Islam dan mempertahankan yang masih sesuai tentunya dengan sedikit merombaknya agar benar-benar terbebas dari unsur syirik, kefasikan, serta kemaksiatan. Setiap adat kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat sosial tidak lepas dengan ajaran Islam. Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang tidak sama dengan anggotaanggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama. Banyak budaya Indonesia yang mengandung nilai-nilai Islam dan terintegrasi dalam kehidupan beberapa masyarakat. Salah satu di antaranya adalah budaya kabuenga. Kabuenga adalah merupakan tradisi mencari pasangan hidup khas Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi. Tradisi ini, bermula ketika kaum muda-mudi setempat jarang mempunyai kesempatan ketemu. Dahulu para pemuda sering berlayar untuk merantau atau lebih banyak di laut sehingga sulit bertemu dengan para gadis. Karena itulah para muda-mudi yang belum menikah kemudian dipertemukan dalam budaya kabuenga. Kabuenga yang dianggap mengandung nilai-nilai sakral oleh masyarakat khususnya Wangi-Wangi Selatan. xiii
Pada masa lampau kabuenga digelar sekali dalam setahun yakni pada setiap usai merayakan hari Raya Idul Fitri. Para tetua adat memilih perayaan hari Raya Idul Fitri sebagai momentum paling tepat menggelar budaya kabuenga karena pada hari besar umat Islam masyarakat Wangi-Wangi Selatan yang merantau diberbagai daerah, pulang kampung atau mudik lebaran. Kaharmonisan dalam masyarakat akan dipandang dari segi kebudayaannya, yang mana budaya juga akan membawa kerukunan bagi masyarakat ditempat khususnya muda-mudi. Dari latar belakang di atas, Penulis beranggapan bahwa budaya kabuenga masyarakat Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi sangat unik untuk di jadikan pokok pembahasan penelitian karena kabuenga
selain diidentik dengan ajang
pencarian jodoh bagi muda-mudi juga dapat menyatukan kebersamaan masyarakat di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis ingin menggali lebih dalam mengenai praktek budaya Kabuenga dalam masyarakat Kec. Wangi-Wangi Selatan Kab. Wakatobi dan nilai-nilai Dakwah yang terkandung dalam Budaya Kabuenga di Kec. Wangi-Wangi Selatan Kab. Wakatobi Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah metode Field research (penelitian lapangan) yang dilakukan dengan cara wawancara, observasi dan doumentasi. PEMBAHASAN A. Praktek Budaya Kabuenga dalam Masyarakat di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi Budaya merupakan sesuatu yang unik karena budaya memiliki ruang lingkupnya tersendiri. Tidak akan ada budaya yang dinilai tidak baik selama masyarakat yang menganutnya menilai budaya tersebut baik. Apakah budaya itu benar atau salah ditentukan sendiri oleh nilai yang dianut dan diyakini oleh individuindividu dalam masyarakat tersebut. Justru jika ada seseorang yang tiba-tiba masuk xiv
dalam lingkup suatu budaya yang dia anggap tidak baik sehingga ia tidak menerima dan mengikutinya maka ialah yang akan dipandang tidak baik dalam masyarakat tersebut. Begitu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi. Dimana mereka meyakini budaya kabuenga adalah salah ajang pencarian jodoh. Berdasarkan hasil penelitian, Penulis menemukan beberapa sumber yang mengemukakan tentang budaya kabuenga
di kecamatan Wangi-Wangi Selatan
Kabupaten Wakatobi. Sumber-sumber yang penulis temukan terdiri dari beberapa tokoh diantaranya adalah tokoh Agama, Tokoh adat dan tokoh Masyarakat serta muda-mudi yang melakukan budaya kabuenga. Dalam hal mempertemukan muda mudi untuk saling mengenal dan menumbuhkan benih-benih cinta di antara mereka (muda mudi), lembaga adat masyarakat setempat membuat sebuah ritual yang diberi nama kabuenga. 1. Pengertian Kabuenga Kabuenga adalah ayunan besar yang dibuat ditengah lapangan. Ayunan tersebut akan di duduki oleh pasangan muda-mudi dalam hal ini disebut dengan ajang pencarian jodoh. Ada beberapa tokoh yang mengemukakan tentang budaya kabuenga, salah satu diantaranya adalah: Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Usman Baga (tokoh adat) sebagai berikut : Nopogau bahwa Kabuenga iso telaha’a nu wowine parantai imolengo ai omarasai nalaha’a nu kambe ako te kawi’a. Jari temansuana molengo no saimo tekabuenga ako te anamo ane ke kalambe ako ane nopo awa dhi kabuenga. Jari ara nopo itama dhi kabuenga maka no padha poilu temoane iso no wamo temansuanano mai.3 Terjemahan: Kabuenga (ayunan) adalah ajang pencarian jodoh bagi seorang laki-laki yang menikah, karena pada zaman dahulu di Masyarakat khususnya 3
Usman Baga, Tokoh Adat, Wawancara Informan, (Wangi-Wangi Selatan: 8 Juli 2016)
xv
pemuda yang belum menikah sangat susah untuk mencari wanita impiannya. Jadi, para tokoh adat, tokoh agama dan masyarakat melaksanakan acara kabuenga untuk mempertemukan para pemuda tersebut dengan gadis impiannya.
Dari pengertian budaya kabuenga di atas, Penulis dapat menarik kesimpulan bahwa budaya kabuenga adalah adat kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi untuk memperkenalkan anak mudamudi mereka. 2. Tahap-tahap Pelaksanaan budaya Kabuenga Dalam setiap kegiatan ataupun acara baik secara formal maupun nonformal itu pasti ada tata cara pelaksanaannya. Tata cara tersebut merupakan suatu sistem yang digunakan sebagai peraturan dan hasil dari tata cara tersebut bisa menjadi efektif dengan kerja sama setiap orang (kelompok masyarakat). Tata cara tersebut antara lain: a.
Tahap persiapan Persiapan yakni dengan membuat peralatan serta bahan-bahan yang digunakan
dalan budaya kabuenga. Adapun peralatan dan bahan yang dipakai tersebut adalah: 1) Pak Camat atau orang yang dipercaya akan menunjuk panitia pelaksana acara. Dengan menunjuk panitia acara kabuenga maka kabuenga atau ayunan akan didirikan oleh seluruh panitia dan masyarakat Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi. 2) No tambu te femba (mengumpul bambu) untuk dijadikan pagar dan tiang ayunan. Bambu yang dikumpul akan dijadikan pagar dan tiang kabuenga. Untuk tiang Kabuenga disediakan sekitar kurang lebih 10 meter untuk tingginya sedangkan lebarnya kabuenga kurang lebih 5 meter. 3) Tali ako ane te bhongko nu kau ke femba nu Kabuenga (tali disiapkan untuk mengikat bambu dan kayu yang didirikan untuk Kabuenga). Tali digunakan untuk mengikat kayu atau bambu yang dijadikan tiang kabuenga. Selain
xvi
dijadikan pengikat juga berfungsi untuk dijadikan pembatas bagi para penonton yang berdiri dipinggir lapangan. 4) Lapanga to oge (tempat yang luas), maksudnya adalah menyiapkan lapangan yang cukup luas untuk tempat mendirikan kabuenga. Untuk mendirikan acara kabuenga maka dibutuhkan tempat yang luas karena selain dihadiri oleh para tamu undangan maka acara kabuenga akan disaksikan oleh masyarakat
setempat
khususnya
masyarakat
Wangi-Wangi
Selatan
Kabupaten Wakatobi. 5) Tambu te bhale ako te hiasi’a nu lapanga ke hiasi’a nu femba i kabuenga (menyiapkan janur kelapa untuk menghiasi lapangan dan menghiasi tempat duduk/ayunan). Janur kelapa digunakan menghiasi lapangan atau pintu masuk para muda-mudi yang ikut acara kabuenga. Selain itu, janur digunakan untuk membuat perlengkapan liwo. 6) Siapune na forai leja ako ane te hiasi’a nu kabuenga kene pake nusara mai (menyiapkan sarung leja atau sarung tenun untuk menghiasi ayunan dan untuk dipakai pada saat acara kabuenga). Sarung tenun khas Wakatobi adalah salah satu pakaian adat Wangi-Wangi Selatan dalam melaksanakan suatu acara atau kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Wangi-Wangi Selatan dalam hal ini acara kabuenga. Siapu akone temia kumedhe di kabuenga (persiapkan calon pasangan
muda-mudi yang akan duduk di
ayunan). Dalam pelaksanaan acara kabuenga maka harus disiapkan mudamudi yang akan duduk di kabuenga. Karena kabuenga dibuat untuk diduduki oleh masyarakat dalam hal ini para muda-mudi. 7) Siapune na kelompo lariangi (siapkan kelompok tarian). Dalam pelaksanaan acara kabuenga ada sekelompok gadis-gadis yang melakukan tarian lariangi. Lariangi adalah tarian yang dilakukan oleh sekelompok muda-mudi WangiWangi Selatan yang berjumlah 12 orang. b.
Orang yang terlibat dalam budaya kabuenga Banyak yang terlibat dalam budaya ini, antara lain adalah: xvii
1) Para pasangan muda mudi yang akan duduk. 2) Para ibu-ibu yang akan mengiri acara kabuenga. 3) Para tokoh adat yang akan membuka acara kabuenga. 4) Para tamu undangan baik dari kabupaten, Kecamatan, Polres/polsek, Koramil, dan lainnya yang hadir. 5) Para wisatawan baik lokal maupun wisatawan asing yang datang menyaksikan budaya kabuenga. 6) Dan dihadiri oleh seluruh masyarakat. Acara kabuenga akan dihadiri oleh berbagai macam kalangan mulai dari Pemda, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga lainnya akan menghadiri acara tersebut. c.
Pembukaan Acara Pada pelaksanaan budaya kabuenga terlebih dahulu adanya pembukaan,
pembukaan dilakukan antara lain: 1) Dengan tarian lariangi, tarian lariangi adalah suatu tarian yang dilakukan di tengah lapangan acara oleh sekelompok cewek-cewek. 2) Ibu-ibu yang siap untuk mengeliling lapangan acara kabuenga, akan mengelilingi lapangan sebanyak 7 kali dengan diiringi lagu kadhandio. Maksud mengelilingi lapangan 7 kali adalah supaya para muda-mudi saling kenal mengenal lebih dekat lagi. Karena apabila hanya dilakukan 1 atau 2 kali maka perkenalan tidak akan terlalu jelas atau sama saja hanya sebetas melirik. 3) Dibelakang ibu-ibu ada sekolompok para remaja putri yang mengikutinya sambil berjualan minuman. 4) Jualan para remaja akan dibeli oleh sekelompok para pemuda atau para tamu yang datang menyaksikan acara kabuenga. Keluarga laki-laki atau calon pasangan yang duduk di kabuenga akan mengelilingi lapangan sebanyak 7 kali untuk memberikan sombui (barang-barang berupa uang, bedak, pakaian, parfum dan lainnya) kepada pihak perempuan. Dilakukan sebanyak 7 kali supaya dilihat orang. d.
Penutup Acara xviii
Setelah rangkaian pelaksanaan acara kabuenga selesai, selanjutnya digelar acara penutupan. Biasanya acara penutupan akan diadakan acara silat. Acara silat akan dilaksanakan oleh para pemuda. Pada acara penutupan ini para pihak yang bertugas, baik pemain maupun panitia akan berjabak tangan bersilaturahmi. Hal ini dimaksudkan untuk mempererat tali silaturahmi antara masyarakat sekaligus menciptakan kedamaian. Pada acara penutupan ini pemuka adat/tokoh agama memipin doa agar acara yang telah terlaksana mendapat ridho dari Allah swt.4 Jadi, dapat disimpulkan bahwa acara kabuenga bukanlah acara yang hanya dianggap sepele oleh masyarakat Wangi-Wangi Selatan karena pada dasarnya acara ini dilaksanakan oleh seluruh masyarakat dan hadiri oleh para tamu undangan. 3. Prosesi Kabuenga Dibawah ini penulis akan menjelaskan hasil penelitian penulis terhadap praktek budaya kabuenga di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi menurut para informan, Praktek kabuenga yang dimaksud adalah sebagai berikut: Usman yang merupakan salah satu informan mengemukakan bahwa, praktek acara kabuenga adalah sebagai berikut: 1) Menyuruh calon (Perempuan) untuk duduk di ayunan. Pihak laki-laki atau keluarganya menyuruh perempuan (calonnya) untuk duduk di ayunan. Setelah perempuan tersebut duduk di atas ayunan besar yang didirikan oleh masyarakat
setempat, maka
keluarga laki-laki
akan
memberikan sombui ke pihak perempuan. Sombui adalah pemberian dari lakilaki ke perempuan berupa uang, alat perlengkapan perempuan dan makanan. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bagi perempuan (calon) yang duduk di acara kabuenga
maka
laki-laki atau keluarganya akan
meminta kesediaan perempuan (calon) dari laki-laki tersebut untuk duduk di acara kabuenga. Karena pada saat berlangsungnya acara, keluarga dari pihak 4
Usman Baga, Tokoh Adat, Wawancara Informan, (Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, 8 Juli
2016).
xix
laki-laki akan memberikan barang-barang (sombui) kepada pihak perempuan (calonnya). 2) Menunjuk ibu-ibu yang akan menyanyi. Ibu-ibu yang telah ditunjuk untuk menyanyi akan mempersiapkan diri mereka masing-masing karena mereka harus menyiapkan baju adat dan sarung tenun khas Wangi-Wangi Selatan. Pada saat acara berlangsung sekelompok ibu-ibu tersebut akan mengelilingi lapangan tempat acara kabuenga dengan diiringi lagu kadhandio. Mereka akan mengelilingi lapangan sebanyak 7 kali putaran supaya dilihat dan disaksikan oleh masyarakat setempat. Jadi, ibu-ibu yang ditunjuk oleh panitia untuk mengikuti acara kabuenga atau ibu-ibu yang akan menyanyi harus mempersiapkan dirinya untuk menyanyi dan mengelilingi lapangan. Selain mereka harus menyiapkan baju adat dan sarung tenun khas wakatobi untuk dipakai pada saat acara kabuengan berlangsung. 3) Para gadis yang berjualan Selain para ibu-ibu yang menyanyi, ada juga sekelompok gadis-gadis yang mengikuti ibu-ibu yang menyanyi tersebut. Namun, mereka berbeda dengan para kelompok ibu-ibu yang menyanyi. Mereka mengelilingi lapangan dengan memegang minuman untuk dijual. Minuman tersebut berupa aqua, fanta, sprite dan lainnya. Harga minuman yang dijual tidak terjangkau karena pada saat menjual maka nilai nominal uang sama semua. Misalnya Si A membeli minuman segelas dengan memberikan uang Rp. 100.000,-. Uang yang dibelikan oleh Si A akan diambil semuanya oleh penjual tanpa ada pengembalian. Sedangakan Si B membeli minuman segelas dengan memberikan uang Rp. 10.000,- maka minuman yang diberikan oleh Si A dan Si B akan sama ukurannya yaitu sama-sama diberikan 1 gelas minuman. Jadi pada tahap ini, para gadis yang berjualan akan memegang minuman jualan mereka sambil mengikuti ibu-ibu yang mengelilingi lapangan. 4) Kumpulan gadis Lariangi xx
Selain cewek-cewek yang menjual, ada juga sekelompok cewek-cewek yang lariangi. Lariangi adalah salah satu tarian khas Wakatobi untuk penyambutan tamu pada saat acara kabuenga. Mereka akan menari di depan para tamu undangan. Akan tetapi tarian tersebut bukanlah tarian biasa. Mereka menyimpan talang untuk tempat penyimpanan uang. Maksudnya adalah bagi para tamu yang akan menemani mereka atau ngifi, mereka akan menjatuhkan uang sambil joget atau mengelilingi kelompok lariangi tersebut. Dari pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa para kelompok gadis yang akan melakukan tarian lariangi harus mempersiapkan diri mereka untuk menarikan tarian lariangi karena mereka akan di ikuti (ngifi) oleh para tamu undangan. 5) Liwo (makanan) Liwo (makanan) dibuat untuk makanannya para tamu atau keluarga mereka. Jadi mereka akan menyiapkan liwo. Liwo tersebut disimpan di pinggir lapangan. Setiap orang yang ingin duduk dilapangan, mereka akan menyediakan liwo-liwo. Namun untuk menjaga liwo tersebut tidak mengenal usia karena biasanya anak-anak yang disuruh untuk menjaga liwo. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa liwo dibuat agar diketahui oleh masyarakat bahwa kelompok/lembaga yang di undang hadir dalam acara kabuenga. Untuk mengetahui hal tersebut maka setiap liwo yang di simpan di acara, ada papan nama pemilik liwo tersebut. 6) Acara penutup (Silat dan joget) a) Silat adalah acara penutup yang dilakukan pada sore hari. Silat ini, dilaksanakan oleh kaum lelaki sedangkan kaum perempuan hanya boleh menonton dari pinggir atau nonton dari kejauhan. Kaum laki-laki sangat senang dengan acara ini. b) Joget adalah salah satu acara muda-mudi. Joget biasa diidentik dengan pencarian jodoh. Karena model jogetnya berbeda dengan joget yang biasa kita lihat karena muda- mudi akan joget berpasang-pasangan. Akan tetapi xxi
hal ini dipisahkan. Cewek-cewek akan duduk dikursi dan cowok-cowok akan berdiri di samping atau ditengah jalan untuk menunggu musik dimulai dan mereka (cowok) akan mencari pasangannya untuk joget. Joget dilakukan pada malam hari. 5 Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa joget dilakukan untuk mempertemukan muda-mudi. Dari beberapa pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa praktek budaya Kabuenga yaitu dilakukan oleh pasangan muda-mudi yang belum memiliki ikatan perkawinan. Bagi muda mudi yang tidak memiliki pasangan untuk duduk maka mereka akan menjual sambil mengelilingi lapangan atau tempat didirikan Kabuenga tersebut. Dimana para muda-mudi yang menjual akan mengikuti tokoh adat, tokoh agama dan masyarakat atau ibu-ibu yang ditunjuk untuk mengelilingi Kabuenga dan diiringi dengan nyanyian-nyanyian adat. Selain itu, keluarga dari pihak laki-laki akan memberikan barang-barang atau Sombui kepihak perempuan. 4. Tujuan dan Manfaat Kabuenga Pada dasarnya setiap kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat sosial memiliki tujuan dan manfaat. Dalam hal ini, ada satu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat khususnya masyarakat Wangi-Wangi Selatan. Kebiasaan yang dimaksud adalah kabuenga. Dalam hal ini, kabuenga atau ayunan di lakukan oleh masyarakat untuk mempertemukan antara muda-mudi yang belum menikah. Dari kebiasaan tersebut. Penulis akan mengemukakan tujuan dan manfaat kabuenga. Tujuan dan manfaat kabuenga menurut beberapa para tokoh dapat disimpulkan sebagai berikut: a.
Menurut bapak Usman Baga, tujuan dan manfaat kabuenga adalah sebagai berikut: 1) Dengan acara kabuenga (ayunan) maka keluarga atau keluarga akan saling tolong-menolong untuk mempersiapkan segala peralatan atau bahan yang dibutuhkan. 5
Usman Baga, Tokoh Adat, Wawancara Informan, (Wangi-Wangi Selatan, 8 Juli 2016)
xxii
2) Dengan dilakukan acara kabuenga tersebut maka para muda-mudi akan saling kenal-mengenal; 3) Mempererat tali silaturahmi; 4) Keluarga dari pihak muda-mudi khususnya keluarga dari pihak perempuan akan merasa dihargai. 5) Meningkatkan sifat kebersamaan.6 Dari hasil wawancara tersebut, penulis menyimpulkan bahwa dengan acara kabuenga maka masyarakat akan saling tolong menolong atau gotong royo, para muda-mudi akan saling kenal mengenal satu sama lain, mempererat tali silaturahmi, saling menghargai dan meningkatkan saling kebersamaan atau persatuan dalam kehidupan masyarakat sosial. B. Nilai-nilai Ajaran Islam yang Terkandung dalam Budaya Kabuenga di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi 1. Nilai-Nilai Islam dalam Masyarakat Di dalam agama, nilai keyakinannya terhadap kekuatan ghaib amat dominan, manusia menganggap bahwa kekuatan ghoib itu sebagai sumber yang dapat memberi pertolongan dan bantuan kepada dirinya terutama pada saat manusia tersebut yang dimilikinya, seperti budaya kabuenga yang dilakukan oleh masyarakat Wangi-Wangi Selatan, masyarakat beranggapan bahwa dengan melakukan budaya kabuenga maka muda-mudi yang belum menikah atau belum memiliki calon akan mendapat calon di acara kabuenga tersebut. Padahal semua itu terjadi atas kekuasaan Allah swt. Rasa kebersamaan tersebut masih kuat akan keyakinan hal-hal yang mistis. Akan tetapi kita juga tidak bisa menyalahkan kepercayaan mereka karena di dalam al-qur’an Allah swt. berfirman dalam Q.s Ar-Rahman ayat 55 yang berbunyi: Terjemahannya: “Dan dia menciptakan jin dari nyala api tanpa asap.”7
6
Usman Baga, Tokoh Adat, Wawancara Informan, (Wangi-Wangi Selatan: 8 Juli 2016)
xxiii
Dari ayat di atas cukup memberikan penjelasan bahwasannya selain kita di alam yang kita tempati ini juga ada makhluk lain jin dan iblis. Jadi dengan keberadaan mereka, manusia sering diganggu. Sehingga masyarakat awam yang mungkin minim akan pengetahuan mereka meyakini bahwa hal tersebut merupakan kekuatan yang ditimbulkan dari nenek moyang mereka yang sudah meninggal atau tokoh adat yang sudah meninggal yang dianggap memberikan suatu kekuatan tersendiri, sehingga tidak sedikit orang-orang yang meminta pertolongan untuk mendapatkan calon pasangannya melalui kebiasaan-kebiasaan mereka khususnya budaya kabuenga seperti yang terjadi di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi. Mereka lupa bahwasannya Allah-lah yang memberikan kehidupan, rejeki, kekuatan, jodoh dan mati. Bagi umat Islam, kekuatan ghaib yang dinamai adalah Allah swt., maha pencipta Ia tidak bisa digambarkan dengan apapun juga. Ia tempat memohon semua umat manusia, tidak beranak dan tidak diperanakan, tidaklah mengambil tempat tertentu, namun amat dekat dengan manusia dan sekalian makhluk-makhluknya yang taat. Kepercayaan terhadap kekuatan ghoib ini amat penting dalam agama Islam dan biasanya dibahas lanjut dan dikelompokkan kedalam bidang tauhid atau aqidah. 2. Kepercayaan Manusia Dengan Sang Pencipta Islam yang rahmatalilalamin adalah Islam yang mengajarkan “hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan tuhannya” ketika seseorang berada pada sisi yang kurang benar dan mereka belum mengerti tentang arti dalam Islam yang sebenarnya. Terkadang dalam kehidupan hanya ada salah satu yakni belum lengkap kalau tidak ada hubungan tersebut. Adanya kurang memahami sehingga manusia tidak menjadi seimbang dalam kehidupan, mereka juga belum bisa mengucapkan rasa syukur atas nikmat Allah swt. hubungan manusia dengan Tuhannya bersifat tetap dan dapat digunakan setiap waktu. Pola hubungan ini 7
Departemen Agama RI, Al-Kitabul Akbar (Al-Qur’an dan Terjemahannya) (Jakarta: PT Akbar Media Eka Sarana, 2011), h. 531.
xxiv
membentuk konsep ibadah dalam ajaran agama. Melalui konsep ibadah ritual yang pelaksanaannya sudah diatur oleh petunjuk Allah dan Rasulnya. Berbeda dengan tujuan ibadah dengan ibadah lainnya, dalam agama Islam berhubungan dengan Tuhannya bukan untuk merayu Tuhan atau membujuk Tuhan maupun menyenangkan Tuhan, melainkan dalam ajaran Islam hubungan dengan Tuhan itu dilakukan sematamata dengan niat ikhlas supaya manusia juga bisa memahami rasa syukur atas kebesaran Tuhan. Dengan demikian banyak masyarakat yang percaya akan kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan. Mereka beranggapan bahwa apa yang mereka lakukan seakan-akan itu semua atas kuasa Allah swt. dengan demikian salah satu ritual budaya yang dilakukan oleh masyarakat Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi adalah budaya kabuenga. Mereka meyakini bahwa dengan melakukan budaya kabuenga maka doa-doa mereka untuk mendapatkan calon untuk anakanaknya akan dikabulkan oleh Allah swt. padahal yang demikian itu semuanya adalah kekuasaan Allah. Dia yang tahu apa yang diinginkan oleh ciptaan-Nya. 3. Nilai-nilai ajaran Islam yang terkandung dalam Budaya Kabuenga Jika budaya kabuenga di hubungkan dengan nilai-nilai dakwah maka kita dapat melihat dari pengertian dan tujuan atau manfaat budaya kabuenga tersebut. Kabuenga biasa di sebut dengan ajang pencarian jodoh dimana Salah satu tujuan dan manfaat didirikannya acara kabuenga adalah sebagai berikut: a.
Gotong Royong atau tolong menolong Seperti halnya dalam budaya kabuenga sangat dibutuhkan sifat saling tolong
menolong untuk terlaksananya
acara kabuenga. Karena acara tersebut akan
berlangsung apabila masyarakat Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi menanamkan sifat saling tolong menolong. Dari beberapa uraian informan di atas menunjukkan bahwa hidup bersosial dalam artian kehidupan di lingkungan masyarakat haruslah saling tolong menolong dalam hal ini, tolong dalam melaksanakan budaya kabuenga untuk menjaga kerukunan tetangga, dengan kata lain menolong dalam hal kebaikan dan dilarang xxv
menolong dalam hal keburukan yang telah diperintah oleh Allah swt. Dalam agama Islampun menganjurkan kepada makhluknya untuk saling tolong menolong b. Saling kenal mengenal Salah satu nilai-nilai kabuenga adalah dengan saling kenal mengenal. Dalam hal ini, sesuai dengan hadis hadits dari Jabir bin Abdullah riwayat Abu Daud yang berbunyi:
َﻋَﻦْ َ ﺎ ِ ِﺮ ْﻦِ َﻋ ْﺒ ِﺪ ا ِ ﻗَﺎﻟَﻘَﺎ َل رَﺳُ ﻮ ُل ا ِ ﺻَ ﲆ ا ُ َﻠَ ْﯿ ِﻪ وَﺳَ ﲅ َ ا ذَا ﺧَﻄَ ﺐَ َﺪُ ﰼُ ْ اﻟْﻤَﺮْ َة ﻓَﺎنْ اﺳْ ﺘَﻄَ ﺎ َع نْ ﯾَﻨْﻈُ ﺮ َْاﱃ ﻣَﺎ ﯾ َﺪْ ﻋُﻮ ُﻩ َاﱃ ِﲀَ ِ َﺎ ﻓَﻠْ َﯿ ْﻔﻌَﻞ Artinya: Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, dia berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Jika salah seorang dari kamu meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat sesuatu yang dapat membuatnya menikahinya, maka lihatlah.' 8 Islam membenarkan bahwa sebelum terjadi perkawinan calon suami boleh melihat calon isteri dalam batas-batas kesopanan Islam yaitu melihat muka dan telapak tangannya, dengan disaksikan oleh sebagian keluarga dari pihak laki-laki atau perempuan, dengan tujuan saling kenal-mengenal dengan jalan sama-sama melihat. Sebagian ulama berpendapat bahwa laki-laki boleh melihat wanita yang akan dinikahi itu pada bagian-bagian yang dapat menarik perhatian kepada pernikahan yang akan datang agar suatu perkawinan kelak tidak menimbulkan adanya keragu-raguan atau merasa tertipu setelah terjadi akad nikah.
c.
Mempererat tali silaturahmi Salah satu tujuan acara kabuenga adalah agar masyarakat dapat mempererat
tali silaturahmi. Karena salah faktor putusnya suatu hubungan adalah karena tidak pernah bertemu dan bertegur sapa, hidup di perkotaan tidak ada rasa saling peduli 8
Imam Hafiz al-Mushannif, al-Muttaqin Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Daud (Beirut Daar Ibn Hazm, 202 H), jilid II, h.480.
xxvi
satu sama lain bahkan antar tetangga dekat tidak saling kenal. Padahal, ajaran agama memerintahkan kita untuk menyambung silaturrahmi setelah kita diperintahkan bertakwa kepada Allah swt. Sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. An-Nisaa’: 1 sebagai berikut: Terjemahnya: Wahai manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri) nya, dan dari keduanya Allah memperkembangkan laki-laki dan perempuan yang banyak “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.”9 Budaya kabuenga merupakan suatu perkumpulan yang melibatkan banyak orang yang berasal dari kelompok berbeda, tingkat pendidikan yang berbeda, dan etnis yang berbeda. sehingga kesempatan untuk orang yang tidak saling kenal bisa menjadi kenal, yang tidak akrab bisa menjadi akrab, dan yang mempunyai konflik (tidak bertegur sapa) bisa bertegur sapa. Moment dalam kabuenga adalah ajang untuk mencari jodoh sehingga akan mempererat tali silaturrahmi, keterlibatan banyak orang dalam menyelesaikan pekerjaan membuat rasa persatuan sesama manusia itu timbul dalam dirinya. Pekerjaan akan terasa ringan dikerjakan dan hubungan sesama tetangga dan keluarga menjadi kuat.
9
Ibid., h. 77.
xxvii
Berdasarkan data informan di atas menjelaskan bahwa kabuenga adalah tempat berkumpulnya teman dan keluarga sehingga menjadikan moment atau ajang untuk silaturrahmi dan memperkuat hubungan. Dari pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa nilai-nilai dakwah dalam budaya kabuenga adalah sesuai dengan ajaran Islam. Dimana kabuenga adalah salah satu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat khususnya masyarakat Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi untuk memperkenalkan anak-anak mereka. Kabuenga juga dapat mempererat tali silaturahmi. Selain itu, jika dilihat dari pendangan Islam itu sendiri, maka pada dasarnya Islam selain menjadi sebuah agama juga mempunyai sifat Rahmatal Lil’alamin, bahwa Islam adalah rahmat bagi semua, Islam tidak bersifat kaku, Islam selalu mengajarkan untuk menghormati antara sesama. Islam juga tidak identik dengan kekerasan karena sesungguhnya Islam sangat cinta dengan kedamaian. d. Kebersamaan dan persatuan Salah satu tujuan acara kabuenga adalah untuk meningkatkan kebersamaan dalam kehidupan masyarakat sosial khususnya masyarakat Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi. Ajaran Islam menganjurkan kita untuk senantiasa menjaga kekuatan kebersamaan. Hal ini, sesuai dengan firman Allah swt. dalam Al-Qur’an surah Ali-Imram ayat 103 yang berbunyi: Terjemahnya:
xxviii
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah swt. dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan ketika itu kamu berada ditepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk”.10 Budaya kabuenga adalah salah satu adat kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi dengan tujuan agar masyarakat memiliki ikatan kebersamaan dan bersatu dalam mewujudkan terjadinya ikatan perkenalan antara muda-mudi di dalam kehidupan masyarakat sosial. Dari pendapat beberapa informan, penulis dapat mengemukakan bahwa kebersamaan dan persatuan sangat dibutuhkan dalam pembangunan acara kabuenga karena kabuenga adalah acara masyarakat sosial yang membutuhkan banyak respon dari massyarakat setempat khususnya masyarakat Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi. Apabila masyarakat tidak bersatu dalam mendirikan kabuenga maka acara tersebut tidak akan terlaksana. PENUTUP Praktek budaya kabuenga yaitu dilakukan oleh sekelompok masyarakat dengan tujuan agar pasangan muda-mudi yang belum memiliki ikatan perkawinan dapat mendapatkan calonnya.Nilai-nilai dakwah dalam budaya kabuenga adalah gotong royong atau tolong menolong, saling kenal mengenal, mempereat tali silaturahmi dan meningkatkan kebersamaan atau persatuan yang sesuai dengan ajaran Islam. Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis menyampaikan saran-saran yaitu Bagi Masyarakat apabila masyarakat ingin mengadakan acara kabuenga maka persiapkanlah pasangan muda-mudi yang akan duduk di acara dan janganlah terlalu Al-Kitabul Akbar (al-qur’an dan terjemahan), (Jakarta timur: PT.Akbar Media Eka Sarana, 2011), h. 63. 10
xxix
berlebihan dalam memberikan barang-barang atau sombui kepada pihak perempuan karena pada dasarnya kabuenga adalah ajang pencarian jodoh atau tahap awal dari perkenalan muda-mudi dalam masyarakat. Selain itu, Penulis menginginkan agar budaya kabuenga tetap dilestarikan di kalangan masyarakat.Bagi peneliti selanjutnya seyogyanya mampu memahami hasil penelitian ini sebagai tambahan referensi pengetahuan, mengambil nilai-nilai positif dari kesempurnaan hasil penelitian ini, serta menyempurnakan hal yang dinilai kurang.
DAFTAR PUSTAKA Buku A. Rahman, H. Asymuni. Qaidah-Qaidah Fiqhi. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Bahtiar, Wardi. Metodologi Penelitian Dakwah. Jakarta: Logos, 1997. Bahri, SJ, Husain. Pedoman Fiqih Islam, kitab Hukum Islam dan Tafsirnya. Surabaya: al-Ikhlas, 1981. Bushar, Muhammad. Asas-asas hokum adat. Jakarta: Pradya Paramita, 1997. Convelo G. Cevilla, dkk., Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Universitas Indonesia, 1993. C.A. van Peursen. Strategi Kebudayaan.Yogyakarta: Kanisisus, 1988. Dewantara, Ki Hajar. Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1994. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Edisi ke3. Jakarta: Balai Pustaka, 2000. Departemen Agama RI. Al-Kitabul Akbar (Al-Qur’an dan Terjemahannya). Jakarta: PT Akbar Media Eka Sarana, 2011. Gulo, W. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Grasindo, 2004. Hafiz al-Mushannif, Imam. Al-Muttaqin Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Daud (Beirut Daar Ibn Hazm, 202 H), jilid II.
xxx
Hendropuspito, Oc, D. Sosiologi Agama. Yogyakarta: 1984. M.Setiadi, Elly. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Cet.II, Jakarta: 2007. Mattulada. Kebudayaan Kemanusiaan Dan Lingkungan Hidup. Hasanuddin University Press, 1997. Mallo, Monasse. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Penerbit Karunika, 1986. Mardalis. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara, 1999. Mulyana, Deddy. Komunikasi Efektif: Suatu Pendekatan Lintas Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005. Mubarok, Jaih. Kaidah Fiqih Sejarah dan Kaidah Asasi, Edisi I, Cet. I. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Nasution, MA. Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara, 2003. Nasruddin Al-albani, Muhammad. Mukhtashar Shahih Muslim. Beirut: Al-Maktab alIslami. Rijkschroeff. Sosiolgi Hukum. Bandung: Mandar Maju, 2001. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 1964. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (ED). Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES, 1989. Singarimbun, Masri. dan Sofyan Efendi. Metode Penelitian Survai. Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia, 1995. Soekanto, Soerjono. Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Suharsimi. Manajemen Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2012. Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media Grup, 2007. Syaifulloh, Moh. Fiqih Islam Lengkap. Surabaya: Terbit Terang, 2005.
xxxi
Tanzeh, Ahmad. Metode Penelitian Praktis. Jakarta: PT. Bima Ilmu, 2004. Usman, Husaini. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2001. Skripsi Danang Permadi, PDF. Budaya Larung Sembonyo Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Tasikmadu Kec. Watulimu Kab. Trenggalek). Tulungagung, 2015.
xxxii
xxxiii