1. Apa yang Menjadi
Persoalan?
entunya kita semua sepakat bahwa udara yang bersih dan sehat sangatlah dibutuhkan oleh setiap manusia dalam beraktivitas. Namun saat beraktivitas, manusia justru melepaskan berbagai emisi atau zat yang berpotensi untuk mencemari udara. Misalnya, saat menggunakan kendaraan bermotor, memasak, menggunakan listrik, menghisap rokok, membakar sampah, dan lain sebagainya. Bahkan setiap barang yang digunakan maupun dikonsumsi manusia juga menghasilkan emisi pada saat proses produksi maupun distribusinya. Alhasil, berbagai emisi yang terus menerus dilepaskan ke udara berpotensi menyebabkan terjadinya pencemaran udara.
Kota di persimpangan jalan
1
Aktivitas manusia
Jumlah kendaraan meningkat
Emisi meningkat
Gambar 1.1: Aktivitas manusia dan hubungannya dengan pencemaran udara Pencemaran udara berarti menurunnya kualitas udara sampai ke ambang yang berdampak merugikan terhadap perikehidupan manusia maupun makhluk lainnya. Manusia yang menghirup udara yang tercemar beresiko mengalami gangguan kesehatan. Hal tersebut akan menghambat aktivitasnya, sehingga pendapatannya menurun. Di samping itu sebagian pendapatan juga terpaksa dialokasikan untuk berobat. Lebih jauh, daya tarik daerah yang udaranya tercemar terhadap investor maupun pendatang akan berkurang, sehingga kemudian secara perlahan-lahan aktivitas ekonomi di kawasan tersebut dapat menjadi stagnan atau bahkan menurun. Sesuai fungsinya sebagai tempat pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi, maka di kawasan perkotaan di Indonesia terjadi pemusatan penduduk dan aktivitasnya. Hal ini menyebabkan kemungkinan terjadinya pencemaran udara di kawasan tersebut sangat besar. Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut terus dipenuhi dengan kendaraan bermotor.
2
Salah satu aktivitas yang berpotensi menjadi sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah transportasi, bila meningkatnya kebutuhan pergerakan penduduk di kawasan tersebut terus menggunakan kendaraan bermotor.
Apa yang menjadi persoalan?
Dampak Pencemaran Udara :
Aktivitas manusia terganggu
. gangguan kesehatan . pemanasan global . kerugian ekonomi
Pada Bab 1 ini akan diawali dengan paparan singkat mengenai proses terjadinya pencemaran udara dan hasil pemantauan kualitas udara beberapa kota di Indonesia yang telah memperlihatkan indikasi terjadinya pencemaran udara. Selanjutnya dipaparkan tren distribusi penduduk di Indonesia yang memperlihatkan prosentase penduduk kawasan perkotaan yang terus meningkat, yang diikuti dengan peningkatan tren penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan yang juga turut meningkat.
Kemudian dipaparkan pula mengenai kerugian akibat penggunaan kendaraan bermotor yang tidak terkendali. Lalu Bab 1 ditutup dengan paparan mengenai keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pencemaran udara. Uraian pada Bab 1 ini diharapkan dapat membuka mata semua pihak terkait mengenai resiko terjadinya pencemaran udara dan dampaknya apabila pembangunan kawasan perkotaan di Indonesia tidak mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor secara tepat.
1.1 Bagaimana proses terjadinya pencemaran udara? Sebelum kita membahas mengenai pencemaran udara, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu mengenai proses terjadinya pencemaran udara itu sendiri.
Kota di persimpangan jalan
3
4
Apa yang menjadi persoalan?
Gambar 1.2 Proses terjadinya pencemaran udara
Gambar 1.2 menunjukkan berbagai jenis kendaraan bermotor yang mengeluarkan zat, partikel atau emisi (polutan) ke udara, saat digunakan untuk menunjang aktivitas manusia. Sebagian dari polutan yang dilepas ke udara tersebut dapat dilihat sebagai asap, tapi ada pula yang tidak kasatmata. Dan ada pula polutan yang baru terbentuk akibat reaksi kimia beberapa jenis polutan di udara, seperti oksidan fotokimia (O3). Oleh angin, polutan kemudian disebarkan ke berbagai arah tergantung pada kecepatan dan arah angin, sehingga konsentrasi polutan terencerkan. Namun perlu dicatat bahwa angin tidak menghilangkan polutan dari atmosfer secara permanen, seringkali yang terjadi justru pemindahan polutan dari lokasi sumber ke daerah tetangganya.
Untuk kota seperti Bandung yang berbentuk seperti mangkok, maka polutan yang tertiup angin tetap terperangkap di dalam kawasan tersebut, karena adanya jajaran pegunungan yang menghadang lajunya angin. Oleh karena itu, letak geografi dan bentuk topografi sebuah kota juga memengaruhi tingkat pencemaran udara di kawasan tersebut.
Selain mengalami pengenceran, secara alamiah beberapa jenis polutan dapat hilang dari udara karena diserap oleh tanaman, terbawa ke bumi oleh pengaruh gravitasi (deposisi kering) atau terbawa oleh air hujan (deposisi basah).
Keberadaan seluruh mekanisme alamiah ini berfungsi mengatur keseimbangan kadar polutan agar udara senantiasa dalam kondisi yang bersih dan sehat. Walaupun demikian kemampuan mekanisme alamiah ini tetap ada batasnya. Apabila emisi dari aktivitas manusia terus meningkat, akumulasi polutan yang diemisikan ke udara bebas menjadi lebih besar daripada kemampuan mekanisme alamiah tersebut. Maka akibatnya konsentrasi polutan di udara akan meningkat atau dengan kata lain kualitas udara menurun. Bila penurunan kualitas terus terjadi hingga sampai ke tingkat tertentu, yang berdampak pada menurunnya kemampuan udara untuk memenuhi fungsinya dalam mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, maka terjadilah pencemaran udara.
Kota di persimpangan jalan
5
Dampak pencemaran udara terhadap kualitas hidup manusia, dapat terjadi secara langsung berupa gangguan terhadap kesehatan manusia, maupun secara tidak langsung berupa gangguan terhadap ekosistem pendukung kehidupan manusia, seperti menurunnya ketahanan pangan akibat hujan asam dan kerugian ekonomi.
1.2 Kualitas udara beberapa kota yang tercemar Sekarang mari kita simak data pada Kotak 1.1. Data yang merangkum hasil pemantauan kualitas udara di lima kota terbesar di Indonesia dari tahun 20022005 menunjukkan telah terjadinya pencemaran udara di seluruh kota tersebut. Fakta tersebut diperkuat dengan data hasil pemantauan kualitas udara jalan raya di beberapa kota di Indonesia yang ditampilkan dalam Tabel 1.1.
Kotak 1.1: Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia Kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia yang tergabung dalam Jaringan Pemantauan Kualitas Udara Ambien disampaikan secara terbuka kepada masyarakat dalam bentuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Jaringan ini dikelola oleh KNLH bersama dengan pemerintah daerah setempat. ISPU ditetapkan berdasarkan hasil perbandingan antara data hasil pemantauan lima parameter utama pencemar udara - karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NO2), ozon permukaan (O3), partikel berdiameter lebih kecil dari 10 mikrometer (PM10), dan sulfur dioksida (SO2) terhadap Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN). Kualitas udara di Indonesia dalam bentuk ISPU dari tahun 2002 s.d.2005 ditampilkan pada tabel di bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa seluruhnya pernah mengalami hari tidak sehat atau bahkan lebih buruk. Artinya udara di lima kota tersebut tercemar.
6
Apa yang menjadi persoalan?
Tabel indeks kualitas udara lima kota terbesar di Indonesia (tahun 2002 – 2005) Kategori
Medan
Jakarta
Bandung
Semarang
Surabaya
2002 Baik
55
22
62
179
44
Sedang
266
223
241
124
266
Tidak Sehat
22
95
4
4
11
Sangat tidak sehat
0
4
0
0
0
Berbahaya
0
0
0
0
0
Tidak ada data
22
21
58
58
44
2003 Baik
128
18
76
82
49
Sedang
208
223
176
226
208
Tidak Sehat
0
67
11
1
2
Sangat Tidak Sehat
0
0
0
0
0
Berbahaya
0
0
0
0
0
Tidak ada data
29
57
102
56
106
2004 Baik
135
18
64
60
74
Sedang
148
264
54
239
132
Tidak sehat
6
12
0
0
6
Sangat tidak sehat
0
0
0
0
0
Berbahaya
0
0
0
0
0
Tidak ada data
79
71
247
66
153
2005 Baik
24
29
40
229
21
Sedang
0
270
14
83
175
Tidak sehat
0
18
0
0
0
Sangat tidak sehat
0
0
0
0
0
Berbahaya
0
0
0
0
0
341
48
311
53
165
Tidak ada data
Sumber: Rachmatunissa dan Hidayat (2003), KNLH (2004), KNLH (2005), dan KNLH (2006a).
Parameter kritis dominan penyebab pencemaran udara pada kota-kota yang dipantau di atas selama tahun 2002 adalah PM10, kecuali untuk DKI Jakarta adalah ozon permukaan (O3) (Rachmatunissa dan Hidayat, 2003). O3 adalah pencemar udara yang terbentuk sebagai produk reaksi atmosferik antara NOx dengan hidrokarbon (HC) yang dipicu sinar matahari (Soedomo, 2001). Baik NOx maupun HC merupakan pencemar udara yang banyak dihasilkan oleh aktivitas transportasi.
Kota di persimpangan jalan
7
Tabel 1.1: Hasil pemantauan kualitas udara jalan raya tahun 2007 dan 2008
No
CO
HC
2007 2008
2007 2008
NO2
SO2
O3
PM10
TSP
2007
2007 2007
Kota
1
Medan
2
Palembang
3
Jakarta Utara
4
6
Jakarta Timur Jakarta Selatan Jakarta Barat
7
Jakarta Pusat
8 9
2007
2008
2007
2008
x
x
x
x
x
x
x
Bekasi
x
x
x
x
x
x
x
Depok
x
x
x
x
x
x
x
10
Tangerang
x
x
x
x
x
x
x
11
Bandung
12
Yogyakarta
13
Semarang
5
14
Surabaya
o
15
Denpasar
o
16
Makassar
o
o
Sumber: KNLH (2008a), KNLH (2009)
Keterangan : Tidak tercemar (tidak melampaui Baku Mutu Udara Ambien)
Data tidak lengkap
Tercemar (melampaui Baku Mutu Udara Ambien)
Tidak diukur pada tahun 2007
Data di atas merupakan sinyal bahwa akumulasi polutan yang diemisikan oleh aktivitas di kota-kota besar tersebut telah melampaui kemampuan mekanisme alamiah yang berfungsi menjaga agar udara tetap dalam keadaan yang bersih dan sehat. Tapi tingkat pencemaran di masing-masing kota bervariasi, tergantung pada banyaknya polutan yang diemisikan ke udara dan kemampuan mekanisme alamiah di kawasan tersebut. Keduanya sangat ditentukan oleh karakteristik masing-masing kota seperti faktor demografi, ekonomi dan geografi.
1.3 Pertambahan jumlah penduduk di perkotaan Jika melihat rumusan di atas, maka jumlah penduduk dan tingkat penggunaan kendaraan bermotor merupakan dua faktor penting untuk melihat seberapa besar potensi pencemaran yang mungkin terjadi di suatu kawasan perkotaan akibat aktivitas transportasi. Semakin besar jumlah penduduk dan/atau tingkat aktivitasnya, maka potensi pencemaran yang mungkin terjadi juga akan semakin besar.
8
Apa yang menjadi persoalan?
Aktivitas yang berpotensi menggunakan kendaraan bemotor
Jumlah penduduk
Potensi pencemaran udara di suatu kawasan
Oleh karena itu, sebelum kita mengamati tingkat penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan Indonesia, mari pada Subbab 1.3 ini kita perhatikan pola distribusi penduduk Indonesia. Gambar 1.3 memperlihatkan peningkatan prosentase penduduk Indonesia yang bermukim di kawasan perkotaan (urbanisasi) dari waktu ke waktu.
Gambar 1.3 : Urbanisasi di Indonesia (1975-2025) 2025 2020 2015 2010
Tahun
2005 2000 1995 1990 1985 1980 1975 1970 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Urbanisasi (%) Sumber : UN (2008) dan Bappenas dkk (2005)
Bila pada tahun 1970 hanya sekitar 17 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang bermukim di perkotaan, maka pada tahun 2005 meningkat hingga 48 persen (UN, 2008). Diperkirakan pada tahun 2025, dua pertiga penduduk Indonesia akan tinggal di kawasan perkotaan (Bappenas dkk, 2005). Kenyataan ini menunjukkan sedang berlangsungnya transisi demografi di Indonesia dari masyarakat perdesaan menjadi masyarakat perkotaan.
Kota di persimpangan jalan
9
Sesuai dengan rumusan di atas, maka meningkatnya jumlah penduduk di kawasan perkotaan tentunya berdampak pada meningkatnya potensi pencemaran udara di kawasan tersebut. Apalagi mengingat tingkat aktivitas penduduk perkotaan yang relatif lebih tinggi dibanding dengan kawasan perdesaan. Maka tak heran bila kualitas udara di kota-kota metropolitan Indonesia terus memburuk, sebagaimana yang banyak juga terjadi pada kota-kota lain di dunia.
1.4 Penggunaan kendaraan bermotor di kota meningkat Salah satu aktivitas yang berpotensi sebagai sumber pencemar utama di kawasan perkotaan adalah transportasi. Padahal transportasi merupakan aspek penting yang mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan perkotaan. Sesuai fungsinya, di kawasan perkotaan terjadi pertukaran barang, keahlian, ide, budaya, spiritual dan lainnya, yang semuanya memunculkan kebutuhan pergerakan. Berpindahnya orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain untuk mencapai suatu tujuan tersebut yang didefinisikan sebagai transportasi (Morlok, 1978).
Transportasi dapat dilakukan dengan beragam cara (moda), mulai dari berjalan kaki, naik sepeda atau kendaraan tak bermotor lainnya, sepeda motor, mobil pribadi, taksi atau angkutan umum. Transportasi dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat mencemari udara bebas dengan emisi gas buangnya seperti dijelaskan pada Kotak 1.2. Tapi justru moda transportasi ini yang semakin banyak digunakan di kawasan perkotaan.
Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan tercermin dari pemandangan antrian panjang kendaraan bermotor yang semakin sering dijumpai. Tidak hanya di kota metropolitan, kemacetan juga terjadi di beberapa kota besar di Indonesia. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor tersebut, seperti diilustrasikan pada Gambar 1.4, sudah pasti berdampak pada peningkatan kebutuhan ruas jalan dan penurunan kualitas udara.
Data statistik yang ditampilkan pada Gambar 1.5 menunjukkan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia bertambah secara eksponensial. Dalam 20 tahun terakhir, total
10
Apa yang menjadi persoalan?
Kotak 1.2: Emisi gas buang kendaraan bermotor Proses pembakaran bahan bakar yang menggerakan mesin kendaraan bermotor menghasilkan gas buang yang mengandung pencemar karbon monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2), hidrokarbon (HC), dan partikulat (PM) (Soedomo, 2001). Lebih lanjut reaksi oksida nitrogen dan hidrokarbon yang diinisiasi sinar matahari berpotensi menghasilkan oksidan fotokimia (O3). Sementara bila bahan bakar yang digunakan mengandung zat aditif seperti timbel, maka zat tersebut dapat ditemui pula di dalam gas buangnya. Bahkan pada saat pembakaran terjadi secara sempurna sekalipun, kendaraan bermotor masih mengemisikan karbon dioksida (CO2) yang berpotensi mengakibatkan pemanasan global.
Perlu digarisbawahi bawah tidak seluruh emisi gas buang kendaraan bermotor tersebut dapat terlihat (kasatmata). Walaupun tidak kasat mata, emisi gas buang tersebut tetap sangat berbahaya bagi kesehatan.
Gambar emisi gas buang yang tidak selalu kasat mata
Kota di persimpangan jalan
11
jumlah kendaraan bermotor menjadi hampir enam kali lipat. Laju pertumbuhannya lebih cepat daripada pertumbuhan penduduk Indonesia. Pertumbuhan paling cepat terjadi untuk kategori sepeda motor dan mobil. Secara rata-rata tingkat kepemilikan sepeda motor kendaraan bermotor meningkat dari sekitar 34 sepeda motor
Gambar 1.4: Penurunan kualitas udara akibat pertambahan kendaraan bermotor
2 Kendaraan bermotor pribadi terus bertambah
1
3
Kendaraan bermotor pribadi masih dalam jumlah terbatas
Sudah tergantung pada kendaraan bermotor pribadi
per 1000 penduduk pada tahun 1990 menjadi 130 pada tahun 2005. Sementara mobil meningkat dari sekitar 7 menjadi 25 unit per 1000 penduduk.
Persoalan pertambahan jumlah kendaraan bermotor yang berdampak pada kemacetan panjang, biasanya diatasi secara parsial, yaitu dengan penambahan atau pelebaran jalan. Padahal solusi pembangunan jalan yang dilakukan di kota mana pun tidak pernah berhasil karena hanya akan mengatasi kemacetan sesaat. Sebaliknya, justru akan semakin memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Solusi seperti ini sama seperti mengatasi kegemukan dengan membuat baju yang berukuran lebih besar.
12
Apa yang menjadi persoalan?
Laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor ternyata lebih cepat daripada laju pertambahan jumlah penduduk di Indonesia.
Gambar 1.5: Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1987-2007 50
45
40
35
Jumlah (juta unit)
30
25
20
15
10
5
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
0
Tahun
Bis
Truk
Mobil
Sepeda Motor
Sumber: BPS (2006) dan Christiono (2008)
Kota di persimpangan jalan
13
Solusi pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan, sebaliknya justru akan memicu pertambahan jumlah kendaraan bermotor.
Gambar 1.6: Pembangunan jalan tidak pernah berhasil mengatasi kemacetan
Penyebaran penduduk Indonesia yang terpusat di kawasan perkotaan akan mendorong perilaku yang sama terhadap penyebaran kendaraan bermotor. Apalagi tingkat kepemilikan kendaraan bermotor di kawasan perkotaan bisa jadi lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Hal ini selain karena didorong kebutuhan pergerakan tiap orang yang relatif lebih tinggi, juga dipengaruhi tingkat pendapatan penduduk. Sumbangan sektor-sektor yang menjadi ciri khas perkotaan terhadap pembentukan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai sekitar 70 persen (BPS, 2006). Oleh karena itu tingkat pendapatan penduduk perkotaan relatif lebih tinggi dari rata-rata nasional.
Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor juga tercermin dari pemakaian bahan bakar minyak (BBM) oleh sektor transportasi juga turut meningkat. Peningkatan total pemakaian BBM sektor transportasi mencapai lebih dari dua kali lipat dalam kurun waktu tahun 1990-2005 (ESDM, 2007). Lebih dari 80% pemakaian BBM sektor transportasi tersebut digunakan oleh transportasi darat. Pemakaian BBM
14
Apa yang menjadi persoalan?
oleh sektor transportasi paling dominan dibandingkan dengan sektor lainnya (industri, rumah tangga dan listrik). Proporsinya bahkan meningkat, bila pada tahun 1990 masih pada kisaran 45% pemakaian BBM nasional, maka pada tahun 2007 mencapai 56% (Christiono, 2008).
1.5 Emisi gas buang kendaraan bermotor menimbulkan kerugian Tiap jenis emisi pada asap kendaraan bermotor yang terakumulasi di udara ambien dapat menimbulkan efek terhadap kesehatan manusia sebagaimana yang dirangkum dalam Kotak 1.3. Memang sebagian besar dampak tersebut tidak langsung terdeteksi pada saat manusia menghirup zat pencemar udara. Selain itu, tidak seluruh jenis pencemar udara kasat mata seperti yang telah dijelaskan pada Kotak 1.2. Akibatnya bahaya emisi gas buang kendaraan bermotor seringkali terabaikan.
Dampak emisi gas buang kendaraan bermotor tidak langsung terdeteksi akibat adanya dua selang waktu (delay), yaitu: (i)
zat pencemar masih harus terakumulasi dulu sampai akhirnya melampaui
daya tampung udara di sekitar.
(ii) ada pula selang waktu antara saat individu menghirup zat pencemar hingga
ditemui adanya dampak kesehatan.
Lamanya delay ini bervariasi, mulai dari gangguan pernafasan yang dapat terjadi dalam hitungan menit dan jam, hingga bisa puluhan tahun sampai seseorang terdiagnosa menderita kanker. Studi World Bank memperkirakan kerugian ekonomi akibat pencemaran udara di Jakarta pada tahun 1989 sebesar Rp 500 milyar yang diperhitungkan dari 1.200 kematian prematur, 464 ribu penyakit asma dan 32 juta gangguan saluran pernafasan (Shah dan Nagpal, 1997). Sementara studi ADB (Syahril dkk, 2002) memperkirakan kerugian ekonomi akibat gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh beberapa jenis pencemar (SO2, NO2 dan PM10) pada tahun 1998 di Jakarta mencapai sebesar Rp 1,78 trilyun. Bila dicermati jumlah kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada tahun 1998 di atas setara dengan satu persen PDRB DKI Jakarta atau sama dengan total penerimaan Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada tahun tersebut.
Kota di persimpangan jalan
15
Kotak 1.3: Dampak kesehatan akibat emisi gas buang kendaraan bermotor Karbon monoksida (CO) yang terhirup memiliki kemampuan untuk berikatan dengan hemoglobin (Hb), pigmen sel darah merah yang mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan karboksihemoglobin yang 200 kali lebih stabil dibandingkan ikatan Hb dengan oksigen (oksihemoglobin). Akibatnya fungsi Hb yang membawa oksigen ke seluruh tubuh terganggu. Kondisi seperti ini bisa berakibat serius, bahkan fatal, karena bisa sampai menyebabkan kematian.
Hidrokarbon (HC) di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hydrocarbon (PAH). Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan merangsang terbentuknya sel-sel kanker.
Oksida nitrogen (NOx) seperti NO dan NO2 berbahaya bagi manusia. Penelitian menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO. Di udara ambien yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2 yang bersifat racun terutama terhadap paru. Pemajanan NO2 dengan kadar 5 ppm selama 10 menit mengakibatkan kesulitan dalam bernafas.
Sulfur dioksida (SO2) menimbulkan iritasi pada sistem penafasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih. Bahkan pada beberapa individu yang sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan kardiovaskular. Individu dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah.
Ozon (O3) pada kadar 0,3 ppm mulai menyebabkan terjadinya iritasi pada hidung dan tenggorokan. Kontak dengan ozon pada kadar 1,0–3,0 ppm
16
Apa yang menjadi persoalan?
selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif dapat mengakibatkan pusing dan kehilangan koordinasi. Pada kebanyakan orang, kontak dengan ozon berkadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan mengakibatkan gejala pembengkakan paru (edema pulmonari).
Partikulat (debu) berpengaruh terhadap kesehatan, tergantung pada ukurannya. Partikulat yang berbahaya berukuran antara 0,1-10 mikron. Pada umumnya partikulat berukuran sekitar 5 mikron dapat langsung masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Sementara yang lebih besar dari 5 mikron dapat mengganggu saluran pernafasan bagian atas dan menyebabkan iritasi. Keadaan dapat menjadi lebih parah bila terjadi reaksi sinergistik dengan gas SO2 yang terdapat di udara juga. Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus pandang mata (visibility).
Timbel (Pb) yang berikatan dengan partikulat di udara berbahaya bagi kesehatan. Logam tersebut dapat terhirup dan bersifat akumulatif. Pb dapat bereaksi dengan senyawa dalam protein yang menyebabkan pengendapan protein dan menghambat pembuatan hemoglobin. Gejala keracunan kronis bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi, lelah, sakit kepala, anemia, kelumpuhan anggota badan, kejang, dan gangguan penglihatan. Sumber: Kompilasi dari Depkes (2007)
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat pencemaran udara di Jakarta tahun 1998 = total penerimaan Pemda DKI Jakarta tahun 1998.
Selain itu, saat terjadi pencemaran udara maka ekosistem pendukung kehidupan manusia akan terganggu. Seperti tingginya konsentrasi SO2 dan NOx di udara dapat terbawa ke bumi oleh air hujan (deposisi basah) dan mengakibatkan air hujan bersifat
Kota di persimpangan jalan
17
asam (Soedomo, 2001). Apabila pH air hujan lebih rendah dari 5,6 maka hujan bersifat asam dan dapat mengikis bangunan/gedung karena bersifat korosif serta merusak kehidupan biota di badan air (sungai/danau). Perlu digarisbawahi bahwa peningkatan jumlah kendaraan bermotor tidak hanya berpotensi menimbulkan persoalan pencemaran udara, tapi juga menyebabkan banyak efek negatif lainnya. Antara lain, kemacetan di berbagai ruas jalan, meroketnya permintaan BBM, berkurangnya ruang terbuka hijau akibat alih fungsi untuk jalan, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas (Barter dan Raad, 2000).
Penggunaan kendaraan bermotor sejatinya ditujukan untuk menunjang berbagai kegiatan perekonomian di sebuah kota. Namun pada akhirnya justru berbalik memberikan kerugian ekonomi yang sangat signifikan bagi kota tersebut.
Jika hanya dilihat dari sisi kemacetan saja, menurut Tamin (2008), kerugian akibat kemacetan di ruas jalan Metropolitan Bandung setiap harinya mencapai Rp. 1,78 milyar. Sementara Studi SITRAMP 2 pada tahun 2004 melaporkan kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp 5,5 trilyun per tahun akibat bertambah panjangnya waktu tempuh dan meningkatnya biaya operasional kendaraan (Bappenas dan JICA, 2004).
Untuk itu, perlu dipikirkan sebuah strategi agar penggunaan kendaraan bermotor dalam menunjang aktivitas manusia dan perekonomian tidak kemudian berbalik memberikan dampak kesehatan serta kerugian ekonomi.
1.6 Pertumbuhan ekonomi terhambat akibat pencemaran udara Otonomi daerah yang kini diatur dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah membuka kesempatan bagi daerah-daerah di Indonesia untuk secara mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya (Warlan, 2004). World Bank (2003) memproyeksikan kawasan perkotaan di Indonesia akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Kombinasi antara pertumbuhan
18
Apa yang menjadi persoalan?
Kota di persimpangan jalan
19
Gambar 1.7 Berbagai dampak akibat peningkatan jumlah kendaraan bermotor
ekonomi di kawasan perkotaan dan meningkatnya urbanisasi akan melahirkan kebutuhan transportasi yang luar biasa. Bila hal ini tidak diantisipasi maka kota-kota di Indonesia tidak akan dapat terhindar dari persoalan pencemaran udara. Tidakkah ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk secara mandiri mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya di era otonomi daerah, justru berbalik menyengsarakan masyarakatnya karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya?
Sungguh ironis bila kesempatan bagi kota-kota di Indonesia untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakatnya, justru berbalik menyengsarakan masyarakat karena persoalan pencemaran udara yang ditimbulkannya. Bisa jadi Anda termasuk yang beranggapan bahwa pencemaran udara tidak perlu dikhawatirkan karena merupakan trade-off dari pertambahan pendapatan yang diperoleh. Nantinya persoalan tersebut akan mereda dengan sendirinya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana pola yang dialami oleh negara maju. Namun bagaimana dengan kenyataan yang terjadi? Pola hubungan antara meningkatnya pendapatan per kapita dengan konsentrasi pencemar udara di negara maju memang mengikuti bentuk kurva U terbalik (environmental kuznet curve) seperti yang diuraikan lebih lanjut pada Kotak 1.4. Membaiknya kualitas udara tersebut terjadi karena pertumbuhan ekonomi sehingga memungkinkan negara yang bersangkutan mengalokasikan sumber daya untuk menerapkan kebijakan pengendalian pencemaran udara yang efektif. Tapi faktanya, beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat perkembangan ekonomi yang sama (Marcotullio dkk, 2005). Artinya kualitas udara ambien di negara berkembang memburuk dalam waktu yang lebih singkat daripada yang dialami negara maju. Sebagai konsekuensinya maka negara berkembang harus menghadapi persoalan pencemaran udara pada kondisi tingkat perkembangan ekonomi yang masih lebih rendah daripada negara maju saat mengalami persoalan serupa.
20
Apa yang menjadi persoalan?
Fakta menunjukkan bahwa beban pencemaran per kapita yang diemisikan oleh negara berkembang saat ini lebih besar dibandingkan negara maju pada saat mengalami tingkat perkembangan ekonomi yang sama. Kotak 1.4: Hubungan pendapatan per kapita dengan pencemaran udara Pencemaran udara terjadi apabila konsentrasi pencemar di udara ambien melebihi panduan kualitas udara ambien (ambient air quality guidelines) WHO yang ditandai dengan garis tebal pada gambar di bawah. Terlihat bahwa seiring dengan berkembangnya industri di negara maju, tingkat perkembangan ekonomi meningkat, tapi pencemaran udara mulai menjadi persoalan. Maka untuk mengatasi persoalan tersebut, dimulailah tahap pengendalian emisi pencemar. Sekalipun demikian, kualitas udara tetap terus memburuk untuk beberapa saat, sampai akhirnya memasuki tahap stabilisasi dan terjadi perbaikan. Akhirnya kualitas udara dapat memenuhi panduan WHO setelah diberlakukannya kebijakan padat teknologi.
Gambar kurva lingkungan Kuznet Tingkat pencemaran udara
Tahap 0 Mulai industrialisasi
Tahap 1 Mulai pengendalian
Tahap 2 Kualitas udara stabil
Tahap 3 Perbaikan kualitas udara
Tahap 4 implementasi teknologi bersih
Panduan kualitas udara ambien WHO
Rendah
Tinggi
Tingkat pembangunan
Sumber: Peters dan Murray (2004)
Selang waktu (delay) antara dimulainya upaya pengendalian emisi pencemar hingga kualitas udara membaik terjadi karena: (i)
adanya pentahapan dalam melaksanakan suatu kebijakan dan
(ii) udara yang tercemar memerlukan waktu untuk memulihkan dirinya.
Kota di persimpangan jalan
21
Pada saat suatu kebijakan diumumkan, maka tidak langsung saat itu juga terbentuk kondisi yang diinginkan. Misalnya pada saat diumumkan kewajiban uji emisi, maka tidak serta merta esok harinya seluruh penduduk yang memiliki kendaraan bermotor menguji emisi kendaraannya. Cepat atau lambatnya kondisi yang diinginkan tercapai mencerminkan komitmen pemerintah dalam melaksanakan suatu kebijakan.
Oleh karena itu keterbatasan dana yang tersedia merupakan tantangan yang harus disiasati oleh Indonesia sebagai negara berkembang. Semakin lama ditunda maka bisa jadi besarnya dana yang diperlukan untuk melakukan intervensi menjadi sedemikian besar sehingga tak terjangkau lagi. Belum lagi keberadaan umpan-balik dari dampak pencemaran udara yang pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi karena gangguan kesehatan dan kerugian material yang ditimbulkannya. Kota-kota di Indonesia mau tak mau harus berpacu dengan waktu dan berinovasi untuk meyiasati keterbatasan sumber daya yang tersedia untuk mengendalikan pencemaran udara.
22
Apa yang menjadi persoalan?