2. Apa Penyebab
Persoalan?
ada bab sebelumnya, telah dipaparkan secara sederhana mengenai proses terjadinya pencemaran udara. Selain itu, juga ditekankan bahwa perjalanan yang menggunakan kendaraan bermotor merupakan aktivitas yang sangat berpotensi untuk meningkatkan pencemaran udara di suatu wilayah.
Seperti kita telah ketahui bahwa mesin pada kendaraan bemotor bekerja melalui pembakaran bahan bakar yang menghasilkan gas buang. Atau yang kita kenal dengan polutan. Namun hal apakah yang sesungguhnya memengaruhi tingkat pencemaran yang berasal dari gas buang kendaraan bermotor di suatu kota?
Kota di persimpangan jalan
Sejatinya, hasil perkalian antara total panjang perjalanan kendaraan bermotor selama kurun waktu tertentu dan emisi per km lah yang menentukan besar kecilnya beban pencemar dari gas buang kendaraan bermotor.
Beban pencemar Kendaraan bermotor
=
Emisi per km kendaraan bermotor
x
Panjang perjalanan kendaraan bermotor
Jadi dapat disimpulkan bahwa:
Semakin besar emisi per km dan panjang perjalanan kendaraan bermotor maka semakin besar beban pencemaran. Begitu juga sebaliknya. Sekarang mari kita lihat kondisi emisi per km kendaraan bermotor di Indonesia. Ternyata saat ini cenderung menurun karena perkembangan teknologi kendaraan di dunia, walau relatif masih lebih tinggi dibanding beberapa negara Asia lainnya.
Beban pencemar dari gas buang kendaraan bermotor di Indonesia berpotensi untuk terus meningkat, terutama akibat meningkatnya panjang perjalanan yang dilakukan dengan kendaraan bermotor.
Lalu, bagaimana dengan panjang perjalanan? Ternyata dari waktu ke waktu terus menunjukkan kenaikan. Bila hal ini tidak mendapat perhatian serius, maka beban pencemar dari gas buang kendaraan bermotor di Indonesia berpotensi untuk terus meningkat. Ini berarti kualitas udara di berbagai kota besar terancam akan semakin buruk. Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk mengendalikan keduanya? Sebelum merumuskan strategi pengendalian, maka perlu dipahami terlebih dahulu mengenai faktor-faktor yang memengaruhi emisi per km dan panjang perjalanan. Seperti yang dirangkum pada Gambar 2.1. Guna menghasilkan solusi yang tepat, juga perlu ditelaah keterkaitan antar masing-masing faktor yang menimbulkan kompleksitas.
24
Apa penyebab persoalan?
Kota di persimpangan jalan
25
Macet
Emisi per km kendaran bermotor masih tinggi
Kualitas bahan bakar
Perilaku pengemudi
Kepadatan lalu lintas
Perawatan emisi
Tingkat teknologi kendaran bemotor
Agresif
Tidak diperhatikan
Tapi tipe lama masih banyak digunakan
Yang baru semakin rendah emisi
Di bawah standar yang diperlukan
Beban pencemar dari kendaraan bermotor di kota berpotensi meningkat
Panjang perjalanan kendaraaan bermotor terus menigkat
Semakin panjang karena
Tempat tinggal meluas hingga pinggiran kota
Pemusatan daerah perkantoran/bisnis di pusat kota
Jalan kaki dan bersepeda, tidak bermotor, bebas emisi
Angkutan umum, kendaraan bermotor paling efisien
Semakin beragam terutama dipicu pendapatan yang meningkat
Tapi pilihan moda masih cenderung ke arah motor atau mobil
Pilihan cara (moda) bertransportasi
Tingkat aktivitas penduduk
Jarak asal-tujuan
Urbanisasi
Jumlah penduduk yang melakukan perjalanan di kota meningkat
Gambar 2.1: Faktor-faktor yang memengaruhi besarnya beban pencemar dari emisi gas buang kendaraan bermotor
2.1 Emisi per km kendaraan bermotor masih tinggi Emisi per km kendaraan bermotor ditentukan setidaknya oleh lima faktor yang beberapa diantaranya saling memengaruhi (lihat Gambar 2.1). Kelima faktor tersebut dijabarkan di bawah ini.
A. Kualitas bahan bakar Jenis bahan bakar dan senyawa yang terkandung di dalamnya menentukan besar kecilnya gas buang yang diemisikan kendaraan bermotor. Misalnya, kendaraan motor yang menggunakan bahan bakar bensin dan gas akan menghasilkan emisi gas buang yang berbeda untuk tiap km perjalanan yang ditempuh. Kendaraan berbahan bakar gas (BBG) mengemisikan pencemar yang relatif jauh lebih kecil dibanding kendaraan berbahan bakar bensin.
Semakin baik kualitas bahan bakar kendaraan bermotor, maka semakin rendah emisi per km-nya.
Selain itu, untuk jenis bahan bakar yang sama, tapi berbeda spesifikasi dapat menghasilkan emisi gas buang yang berbeda. Hal ini dapat terjadi karena bahan bakar yang tidak sesuai spesifikasi teknologi kendaraan bermotor dapat mengganggu proses pembakaran maupun kerja teknologi pengendali emisi gas buang, sehingga emisi gas buang meningkat. Misalnya bensin bertimbel akan mengganggu kerja catalytic converter yang dipasang pada kendaraan bermotor untuk menyaring CO, HC, dan NOx. Oleh karena itu produsen otomotif dunia telah mengeluarkan World Wide Fuel Charter (WWFC) yang berisikan spesifikasi bahan bakar yang dibutuhkan untuk mengaplikasikan teknologi kendaraan bermotor yang lebih rendah emisi guna memenuhi ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor yang semakin ketat di dunia. Saat ini jenis kendaraan bermotor yang umum digunakan di Indonesia berbahan bakar bensin dan solar. Untuk dapat memenuhi ambang batas emisi setara EURO 2, sebagaimana yang telah ditetapkan Permen LH No. 4/2009, dibutuhkan bahan bakar minyak (BBM) sesuai spesifikasi pada Gambar 2.2 (lihat angka di dalam kurung). 26
Apa penyebab persoalan?
Spesifikasi bensin dan solar yang ditetapkan oleh Departemen ESDM sebagai pengendali dan pengawas pengolahan minyak mentah hingga menjadi BBM di Indonesia melalui Direktorat Jendral Minyak dan Gas Bumi telah sejalan dengan Permen LH No. 4/2009, kecuali untuk parameter kandungan belerang dalam solar (lihat Gambar 2.2). Berbeda dengan Permen LH yang menetapkan kandungan belerang dalam solar maksimal sebesar 500 ppm, sementara Keputusan Direktur Minyak dan Gas Bumi No 3674 K/24/DJM/2006 menetapkan sebesar 3.500 ppm.
Gambar 2.2: Perbandingan antara standar spesifikasi bensin dan solar yang berlaku dengan yang dibutuhkan
Sekarang mari kita lihat kualitas bensin dan solar yang didistribusikan di Indonesia. Semenjak tahun 2005, Asdep Emisi Kendaraan Bermotor
BENSIN
KNLH telah memantau kualitas bensin dan solar
Motor bakar penyalaan cetus api
secara rutin tiap tahun. Pada Tabel 2.1 disajikan ringkasan hasilnya untuk kandungan timbel
RON 88 (95)
dalam bensin dan kandungan belerang dalam solar.
Kandungan timbel (Pb) maks (g/l) 0,013 (0,013) Kandungn belerang (sulfur) maks (ppm) 500 (500)
Bensin yang didistribusikan ke seluruh Indonesia akhirnya terpantau telah bebas dari bahan bakar
SOLAR
bertimbel sejak tahun 2007. Setelah sempat
Motor bakar penyalaan kompresi
tertunda sekitar lima tahun dari komitmen awal yang seharusnya dicapai pada awal tahun 2003.
Cetane number min 48 (51)
Tapi tidak demikian halnya dengan kandungan belerang dalam solar. Hingga tahun 2008
Kekentalan (i/iscosity) (mm2/s) 2 -5 (2 - 4,5)
terpantau sudah memenuhi spesifikasi standar
Kekentalan belerang (sulfur) maks (ppm) 3.500 (500) Sumber : Kepdir Migas No. 3674 K/24/DJM/2006 untuk Bensin. . Kepdir Migas No. 3675 K/24/DMJ/2006 untuk Solar.
Permen I H No.4/2009 untuk angka dalam kurung.
yang ditetapkan ESDM, walau masih di atas dari yang disyaratkan Permen LH No. 4/2009. Jadi walaupun sudah menggunakan kendaraan berteknologi EURO 2, namun karena spesifikasi bahan bakar yang digunakan tidak sesuai, maka
Bensin dengan kandungan timbel 0,013 g/l atau .
lebih rendah termasuk kategori bensin bebas timbel.
emisi yang dikeluarkan pun tetap tinggi.
Kota di persimpangan jalan
27
Tabel 2.1: Hasil pemantauan kualitas bensin dan solar di Indonesia tahun 2005-2008 Tahun 2005 ( 10 kota) Medan, Palembang, Batam, Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar
Bensin Bensin bebas timbel baru di daerah Batam, Jabodetabek, Semarang, Surabaya, Denpasar
Solar Palembang, Batam, Jakarta : < 1.000 ppm lainnya > 2.500 ppm
2006 (20 kota) Kota 2005, Padang, Pekanbaru, Rata-rata : 0.038 g/l Lombok, Kupang, Banjarmasin, Rentang TT - 0,038 g/l Balikpapan, Manado, Palu, Ambon, Sorong
Rata-rata : 1.516 ppm Rentang : 700 - 3.300 ppm
2007 (30 kota) Kota 2005, kota 2006, Banda Aceh, Rata-rata : 0,0068 g/l Jambi, Pangkal Pinang, Bengkulu, Semua < 0,013 g/l, kecuali Bandar Lampung, Pontianak, Palembang 0,021 g/l palangkaraya, Kendari, Gorontalo, Jayapura
Rata-rata 2,125 ppm Rentang : 400 s.d 4.600 ppm
2008 (16 kota) Bensin Medan, Palembang, 5 Kodya di Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, Semua < 0,013 g/l Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar
Solar Rata-rata 1.478 ppm Rentang: 804 - 3.158 ppm
Sumber: KNLH (2006b), KNLH (2007a), KNLH (2008b), dan KNLH (2009)
Pemakaian bahan bakar selain bensin dan solar belum meluas di Indonesia. Dalam skala yang masih terbatas, BBG telah digunakan di Jakarta untuk bajaj, taksi dan bus Trans Jakarta. Namun sejauh ini masih menghadapi kendala teknis dan non teknis yang menyebabkan BBG belum dapat diterapkan untuk skala yang lebih besar. Selain itu pemakaian biofuel sebagai campuran BBM seperti etanol dengan bensin atau biodiesel dengan solar sudah mulai muncul. Tapi masih dalam skala yang sangat kecil. Pencampuran biodiesel dengan solar diperkirakan dapat mengurangi kandungan belerang dalam solar.
B. Tingkat teknologi kendaraan bermotor
28
Semakin tinggi tingkat teknologi kendaraan bermotor, maka semakin rendah emisi per km yang dihasilkan. Teknologi kendaraan yang semakin bersih hanya dimungkinkan dengan dukungan bahan bakar yang bersih pula.
Apa penyebab persoalan?
Secara umum teknologi kendaraan bermotor di dunia berkembang ke arah yang lebih bersih secara signifikan. Ambang batas emisi yang berlaku di banyak negara pun semakin ketat mengikuti perkembangan teknologi terbaik yang ada di dunia (best available technology). Penetapan ambang batas yang lebih ketat dimaksudkan untuk untuk mempercepat proses alih teknologi ke kendaraan bermotor yang lebih ramah lingkungan. Perkembangan ambang batas emisi gas buang yang berlaku di negara-negara Uni Eropa termasuk yang paling progresif di dunia. Ambang batas generasi ke-2 yang berlaku di negara-negara Uni Eropa, atau sering disebut EURO 2, berlaku efektif pada tahun 1996. Batas tersebut kemudian beralih ke EURO 3 pada tahun 2001 dan pada tahun 2005 EURO 4 mulai diterapkan. Pengetatan ambang batas ini terbukti sangat efektif mendorong perkembangan teknologi kendaraan bermotor rendah emisi seperti contoh pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Perkembangan penurunan ambang batas emisi gas buang yang berlaku di negara Uni Eropa
100 90
70 60 50 40 30 20 10
EURO 1
EURO 2
EURO 3
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
0 1991
% Penurunan ambang batas
80
EURO 4
Kota di persimpangan jalan
29
Pemerintah Indonesia juga turut mengikuti perkembangan teknologi kendaraan bermotor di dunia dengan memperketat ambang batas emisi gas buang bagi kendaraan bermotor tipe baru dan yang sedang diproduksi melalui Kepmen LH 141/2003, yang kemudian diperbaharui dengan Permen LH No. 4/2009. Ambang batas tersebut merupakan acuan dalam melakukan uji tipe (type approval) sebelum kendaraan bermotor masuk ke pasaran. Seluruh nilai ambang batas dalam Permen LH No. 4/2009 ditetapkan dengan mempertimbangkan ketersediaan bahan bakar dan kesiapan industri otomotif dalam negeri atau dalam kata lain sesuai dengan teknologi terbaik yang mungkin diterapkan di Indonesia (best practicable technology). Untuk kendaraan bermotor roda empat atau lebih, saat ini nilainya setara dengan standar EURO 2.
C. Perawatan dan pengujian emisi kendaraan bermotor
Semakin baik perawatan sebuah kendaraan bermotor, makin sempurna pembakarannya dan lebih hemat bahan bakar, sehingga semakin mendekati kondisi baru emisi per km nya.
Kondisi mesin kendaraan bermotor sangat menentukan emisi gas buang yang dihasilkannya. Tentunya semua tahu, bahwa emisi kendaraan bermotor yang baru keluar dari pabrik lebih rendah dibanding kendaraan dengan merek dan tipe yang sama tapi telah lama dipakai. Merawat kendaraan bermotor agar selalu berada dalam kondisi yang mendekati spesifikasi pabrik merupakan salah satu upaya untuk menekan emisi gas buang kendaraan bermotor. Bila kendaraan bermotor senantiasa dirawat secara wajar dan bagian-bagian yang sudah tidak berfungsi diganti tepat pada waktunya, maka setidaknya dapat menghemat pemakaian bahan bakar sekitar 10% (BSTP, 2005). Semakin efisien pemakaian bahan bakar, maka akan semakin mendekati kondisi baru emisi gas buangnya. Untuk mendorong seluruh pemilik kendaraan bermotor agar melakukan perawatan berkala, maka semua kendaraan bermotor diwajibkan lulus uji berkala, termasuk di
30
Apa penyebab persoalan?
dalamnya adalah uji emisi gas buang. Ketentuan ini tercantum dalam UU No. 14/1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang kemudian digantikan dengan UU No. 22/2009. Ambang batas yang menjadi acuan dalam uji emisi gas buang berkala adalah Permen LH No. 5/2006 tentang ambang batas gas buang kendaraan bermotor lama. Di dalamnya diatur ambang batas emisi gas buang untuk parameter CO dan HC bagi kendaraan bermotor berbahan bakar bensin dan parameter asap (opasitas) untuk kendaraan berbahan bakar solar sebagaimana disajikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2: Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama berdasarkan Permen LH No. 5/2006 Kategori Kategori L Sepede motor 2 langkah Sepeda motor 4 langkah Sepeda motor (2 & 4 langkah) Kategori M, N, O Pergerakan motor bakar cetus api (bensin) Berpenggerak motor bakar penyalaan kompresi (diesel) GVW < 3,5 ton GVW > 3,5 ton
Parameter
Tahun Pembuatan
CO (%)
HC (ppm)
< 2010 < 2010
4,5 5,5
12000 2400
> 2010
4,5
2000
< 2007 > 2007
4,5 1,5
1200 200
Opasitas (%HSU)
Metode Uji
Idle
Idle
< 2010
70
> 2010 < 2010
40 70
> 2010
50
Percepatan bebas
Sumber : Permen LH No. 5/2006
Penerapan kewajiban uji emisi gas buang berkala yang diamanatkan dalam UU No. 22/2009 diatur lebih lanjut dalam peraturan turunannya. Tapi sejauh ini yang diatur baru pelaksanaan bagi kendaraan angkutan penumpang umum dan angkutan barang di dalam PP No. 44/1993 pasal 148. Itu pun di lapangan masih sering ditemui kendaraan angkutan penumpang umum dan angkutan barang yang mengeluarkan asap tebal. Sebagai instrumen kebijakan yang bersifat atur dan awasi (command and control), kebijakan ini mutlak memerlukan dukungan pengawasan dan penegakan hukum. Sepeda motor dan mobil pribadi yang proporsinya mencapai 90 persen total kendaraan bermotor di Indonesia praktis belum tersentuh oleh kewajiban uji emisi gas buang berkala, kecuali di Jakarta yang sudah diatur dengan Perda DKI Jakarta No. 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Oleh karena itu, Asdep Emisi KNLH
Kota di persimpangan jalan
31
menggelar kegiatan uji petik emisi gas buang mobil pribadi di jalan (spot check) di 10 kota metropolitan dan 2 kota besar di Indonesia pada tahun 2007 untuk mengetahui tingkat perawatan yang dilakukan pemilik. Hasilnya seperti yang ditampilkan pada Gambar 2.4 memperlihatkan tingkat kesadaran pemilik yang masih rendah untuk merawat kendaraan bermotornya. Secara rata-rata, satu dari tiga mobil berbahan bakar bensin yang diuji tidak lulus. Sedangkan untuk solar lebih tinggi lagi, yakni tiga dari empat mobil yang diuji tidak lulus.
Gambar 2.4 Tingkat kelulusan uji emisi gas buang mobil pribadi di jalan tahun 2007
Tingkat kelulusan 0%
50%
100%
Medan
Bensin Solar
Palembang Jakarta Utara Jakarta Timur Jakarta Selatan Jakarta Barat Jakarta Pusat Bekasi Depok Tangerang Bandung Yogyakarta Semarang Surabaya Denpasar Makassar
Rata-rata
Sumber: KNLH (2008a)
D. Kecepatan kendaraan bermotor Kepadatan lalu lintas bisa saja secara sepintas dilihat dari kecepatan kendaraan bermotor yang melintas di ruas jalan tersebut. Semakin lambat lajunya berarti semakin padat lalu lintasnya.
32
Apa penyebab persoalan?
Namun untuk membandingkan secara pasti tingkat kepadatan suatu jalan, dapat ditentukan dengan menghitung perbandingan volume lalu lintas yang melalui suatu ruas jalan terhadap kapasitas disain ruas jalan tersebut (volume/capacity ratio atau VCR). Pengamatan umumnya dilakukan di beberapa ruas jalan selama rentang waktu tertentu. Nilai kepadatan lalu lintas kota ditentukan dari nilai VCR yang tertinggi. Semakin tinggi VCR berarti semakin padat lalu lintas dan semakin rendah kecepatan kendaraan bermotor. Tabel 2.3 merangkum hasil evaluasi kecepatan kendaraan bermotor, kepadatan lalu lintas, dan tingkat pelayanan jalan pada tiga ruas jalan di 10 kota metropolitan dan 2 kota besar (KNLH, 2008a). Terlihat bahwa pelayanan jalan secara umum mendekati arus tidak stabil.
Bila kondisi lalu lintas semakin padat maka kecepatan kendaraan bermotor akan semakin lambat dan konsumsi bahan bakar juga meningkat. Akibatnya emisi per km semakin tinggi. Namun kebijakan untuk melakukan pelebaran jalan guna mengatasi hal ini bukanlah solusi yang tepat.
Tabel 2.3: Kinerja lalu lintas di 12 kota tahun 2007 Kota Medan Jakarta Utara Jakarta Timur Jakarta Selatan Jakarta Barat Jakarta Pusat Bandung Yogyakarta Semarang Surabaya Denpasar
Kecepatan (km/jam 38.5 43.5 31.5 48.0 41.0 53.5 38.0 45.5 34.0 45.5 44.0
VCR 0.68 0.60 0.82 0.80 0.82 0.66 0.56 0.43 0.54 0.76 0.74
Tingkat Pelayanan Jalan E D E D D C E D E D D
Keterangan: A:
Arus lancar, volume rendah, kecepatan tinggi
B:
Arus stabil, volume sesuai untuk jalan luar kota, kecepatan terbatas
C:
Arus stabil, volume sesuai untuk jalan kota, kecepatan dipengaruhi oleh lalu lintas
D:
Mendekati arus tidak stabil. kecepatan rendah
E:
Mendekati arus tidak stabil, volume pada/mendekati kapasitas, kecepatan rendah
F:
Arus terhambat, kecepatan rendah, volume di atas kapasitas, banyak berhenti
Sumber: KNLH (2008a)
Kota di persimpangan jalan
33
E. Perilaku mengemudi Perilaku mengemudi kendaraan bermotor secara langsung memengaruhi konsumsi bahan bakar. Mengemudi dengan halus dapat menghemat bahan bakar, sehingga dapat menekan emisi gas buang yang dihasilkan. Mesin kendaraan pada umumnya akan bekerja secara efisien pada putaran 2500-4000 RPM. Mengemudi dengan halus berarti menjaga agar perpindahan gigi transmisi berkisar pada putaran tersebut (BSTP, 2005). Namun pada kenyataannya seringkali dijumpai di jalan pengemudi kendaraan bermotor yang berperilaku agresif. Hal lain yang juga berpengaruh pada konsumsi bahan bakar adalah pemakaian pengatur suhu udara (AC), tekanan udara pada ban, dan variasi kendaraan bermotor, seperti ban yang lebar, tanduk depan, foot-step, roof-rack, dan kaca spion yang dapat menimbulkan/memperbesar hambatan angin yang menerpa kendaraan saat beroperasi di jalan.
Perilaku mengemudi yang agresif menyebabkan boros bahan bakar, sehingga otomatis emisi per km pun meningkat. Kecepatan kendaraan bermotor idealnya dijaga agar stabil untuk menghemat bahan bakar dan mengurangi emisi gas buangnya. Gambar 2.5: Perilaku mengemudi yang agresif
34
Apa penyebab persoalan?
2.2. Panjang perjalanan kendaraan bermotor terus meningkat. Yang dimaksud dengan panjang perjalanan kendaraan bermotor, yaitu akumulasi panjang perjalanan yang dilakukan oleh seluruh warga dengan menggunakan kendaraan bermotor, dalam kurun waktu tertentu di suatu kota. Panjang perjalanan tersebut setidaknya dipengaruhi empat faktor utama yaitu urbanisasi, jarak asal-tujuan, tingkat aktivitas penduduk, dan pilihan moda transportasi (lihat Gambar 2.1). Namun pilihan moda tansportasi dipengaruhi oleh banyak faktor yang begitu erat kaitannya antara satu sama lain sebagaimana disajikan dalam Gambar 2.6. Hal inilah yang seringkali menyebabkan pengambil keputusan kesulitan menentukan sebab dan akibat sewaktu akan mengendalikan panjang perjalanan kendaraan bermotor. Maka dari itu, untuk memahami keterkaitannya secara mendasar, mari kita telaah satu per satu faktor yang mempengaruhi panjang perjalanan kendaraan motor tersebut.
A. Urbanisasi Pada tahun 2005 sekitar 3,5% penduduk dunia adalah penduduk Indonesia dan ini menempatkan Indonesia sebagai negara keempat berpenduduk terbesar di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat (Bappenas, 2007). Pada tahun itu jumlah penduduk Indonesia tercatat sebanyak 218,9 juta jiwa dan hampir setengahnya (48 persen) tinggal di kawasan perkotaan.
Pada tingkat yang paling dasar urbanisasi sangat memengaruhi panjang perjalanan. Semakin besar jumlah penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan, tentu akan semakin besar pula potensi total jumlah perjalanan yang bakal terjadi.
Pada tahun 2025 jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan akan mencapai sebanyak 273,2 juta jiwa dan dua pertiganya akan tinggal di kawasan perkotaan (Bappenas dkk, 2005). Pertambahan penduduk di kawasan perkotaan ini berpotensi memicu perilaku yang sama dalam bidang yang lain, dalam hal ini total kebutuhan pergerakan penduduk. Bila kebutuhan ini dipenuhi oleh kendaraan bermotor, maka beban pencemar yang dihasilkan tentu akan meningkat. Kota di persimpangan jalan
35
36
Apa penyebab persoalan?
Cenderung beralih ke sepeda motor
Kemacetan meluas
Harga tinggi, tarif angkutan umum naik, pilihan cenderung beralih ke sepeda motor
Harga rendah, pilihan cenderung ke mobil pribadi
Tidak aman dan nyaman untuk berjalan kaki dan bersepeda
Tidak menjadi prioritas
Kepadatan lalu lintas
Harga BBM
Fasilitas pejalan kaki dan kendaraan tidak bermotor
Faktor yang memengaruhi pilihan cara (moda) transportasi
Gambar 2.6: Faktor-faktor yang memengaruhi pilihan moda transportasi
Daya tarik angkutan umum
Kepemilikan kendaraan bermotor
Jarak yang harus ditempuh
Makin tergantung pada kendaraan bermotor
Masih kurang menarik bagi pemilik kendaraan bermotor
Kualitas pelayanan rendah
Pemilik cenderung mengunakan kendaraannya
Semakin tinggi
Semakin panjang
Distribusi penduduk perkotaan di Indonesia cenderung terpusat di kota metropolitan dan kota besar di Pulau Jawa. Delapan dari sepuluh kota yang memiliki penduduk di atas satu juta jiwa berada di Pulau Jawa seperti ditampilkan pada Gambar 2.7. Total jumlah penduduk di sepuluh kota terbesar ini sama banyaknya dengan seperempat penduduk kawasan perkotaan Indonesia. Sisanya terdistribusi di kawasan perkotaan lainnya sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2.4.
Gambar 2.7: Jumlah penduduk 10 kota terbesar di Indonesia tahun 2004
Medan (2)
Palembang (1.3) Tangerang (1.5)
Jakarta (8.8)
Depok (1.3)
Bandung (2.3)
Makassar (1.2) Bekasi (1.9)
Surabaya (2.6)
Semarang (1.4) Penduduk (juta jiwa)
Sumber: BPS dalam Brinkhoff (2008)
Tabel 2.4: Sebaran penduduk kota di Indonesia Klasifikasi Kota
Jumlah Penduduk
Kota Metropolitan
Di atas 1.000.000
Kota Besar Kota Sedang Kota Kecil
500.001 - 1.000.000
Contoh Jabodetabek, Gerbangkertasusila, Bandung, Semarang, Makassar, dan Palembang Bandar Lampung, Yogyakarta, Solo. Malang, Padang, Samarinda, Pekanbaru, Banjarmasin, Surakarta, dan Denpasar
100.000 - 500.000
Ada 38 kota, 37% dari jumlah tersebut terdapat di Jawa.
Di bawah 100.000
Bukittinggi, Sibolga, Sawah Lunto, Sorong, Padang Panjang, Sabang, dsb.
Sumber : NUDS (1985, 2003) dalam Setyaka (2006)
Kota di persimpangan jalan
37
Meningkatnya prosentase penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan (urbanisasi) di Indonesia disebabkan oleh tiga hal berikut dengan kekuatan pengaruh yang berubah dari waktu ke waktu:
•
pertambahan penduduk alamiah (kelahiran dikurangi kematian);
•
migrasi desa-kota; dan
•
reklasifikasi atau perubahan status dari kawasan perdesaan menjadi kawasan
perkotaan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam Sensus oleh Badan
Pusat Statistik.
Pada awalnya kawasan perkotaan terbentuk secara alamiah sebagai tempat pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Ledakan penduduk di Indonesia pada masa awal kemerdekaan menjadi penyebab utama meningkatnya penduduk di kawasan perkotaan. Titik berat struktur perekonomian Indonesia yang beralih ke sektor industri, kemudian semakin mempercepat laju peningkatan urbanisasi. Berkembangnya sektor industri yang diikuti pula sektor jasa di suatu daerah menawarkan peluang bagi peningkatan nilai tambah perekonomian dan penyerapan tenaga kerja. Kedua hal ini menjadi daya tarik bagi pendatang, maka terbentuklah banyak pusat-pusat konsentrasi penduduk baru. Kawasan perkotaan pun meluas seiring dengan terjadinya reklasifikasi kawasan perdesaan menjadi kawasan perkotaan. Selanjutnya keterkaitan timbal balik antara konsentrasi penduduk dan kegiatan ekonomi bekerja saling menguatkan menjadi mesin pertumbuhan. Para pelaku ekonomi terutama sektor industri dan jasa cenderung melakukan investasi di kawasan yang telah memiliki konsentrasi penduduk yang tinggi serta memiliki sarana dan prasarana yang lengkap. Sementara itu, penduduk akan cenderung terus datang ke pusat kegiatan ekonomi tersebut.
38
Urbanisasi sebenarnya konsekuensi logis dari suatu upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu upaya yang bisa dilakukan adalah mengendalikan dampak dari urbanisasi tersebut, dalam hal ini mengendalikan potensi meningkatnya beban pencemar dari emisi sektor transportasi jalan di kawasan perkotaan.
Apa penyebab persoalan?
Dapat dilihat bahwa meningkatnya urbanisasi sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari suatu upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kontribusi sektorsektor menjadi ciri khas perkotaan terhadap pembentukan PDB nasional sekitar 70 persen (BPS, 2006), sehingga tak heran kawasan perkotaan sering dikatakan sebagai penghela pertumbuhan ekonomi nasional. Tingkat urbanisasi di negara-negara maju dengan struktur perekonomian yang mengandalkan sektor industri dan jasa mencapai lebih dari 75 persen (Tjiptoherijanto, 2000). Oleh karena itu upaya yang bisa dilakukan adalah mengendalikan dampak dari urbanisasi tersebut, dalam hal ini mengendalikan potensi meningkatnya beban pencemar dari emisi sektor transportasi jalan di kawasan perkotaan.
B. Jarak asal-tujuan Seiring dengan meningkatnya urbanisasi dan pertumbuhan ekonomi di kawasan perkotaan, kebutuhan akan lahan permukiman dan komersial pun mengalami peningkatan. Secara alamiah (market force) kemudian yang terjadi adalah perkembangan pusat perkantoran dan komersial terus dilakukan di kawasan pusat kota. Sementara kawasan permukiman terus mengalami pergeseran ke daerah pinggiran kota dan berkembang di daerah penyangga (urban fringe). Meluasnya pemanfaatan ruang (urban sprawl) ini menyebabkan terjadinya ”penyatuan” kawasan terbangun antara kota utama dan kota satelit.
Semakin jauh jarak yang harus ditempuh, maka makin besar kecenderungan seseorang untuk menggunakan kendaraan bermotor. Oleh karena itu, tak heran bila kemudian pengguna kendaraan bermotor pun meningkat sejalan dengan meluasnya ukuran suatu kawasan perkotaan (urban sprawl). Padahal semakin panjang jarak yang ditempuh dengan menggunakan kendaraan bermotor, maka semakin besar emisi yang dilepaskan.
Fenomena yang dikenal sebagai sub-urbanisasi ini dapat diidentifikasi ketika laju pertumbuhan penduduk pada zona inti perkotaan mengalami penurunan dan pertumbuhan di sekitar zona inti daerah pinggiran kota (suburban) meningkat.
Kota di persimpangan jalan
39
Sub-urbanisasi ditemui di beberapa kota Asia termasuk wilayah Jabodetabek sebagaimana ditampilkan pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8: Perbandingan suburbanisasi antara Jabodetabek dengan kota-kota lain Bangkok MR
25 20
Total
15
Inti
10 Suburban
5 0
Jumlah Penduduk (Juta)
Jumlah Penduduk (Juta)
Seoul MA 10 8 6
2 0 1960 1970 1980 1990 2000
Jabodetabek
20
10 5
Inti
Suburban
0 1980
1990
Jumlah Penduduk (Juta)
Jumlah Penduduk (Juta)
Metro Manila
Total
Suburban
4
1960 1970 1980 1990 2000
15
Total Inti
25 20
Total
15
Suburban
10 Inti
5 0
2000
1980
1990
2000
Sumber: Kompilasi dari Morichi dan Acharya (2006)
Mari perhatikan lebih seksama tren perkembangan jumlah penduduk di wilayah Jabodetabek selama 30 tahun terakhir yang ditampilkan lebih rinci pada Gambar 2.9. Fenomena sub-urbanisasi sudah mulai teramati pada dekade 1970-1980. Terlihat nyata dari jumlah penduduk Jakarta Pusat yang cenderungan menurun, sementara jumlah penduduk wilayah Jakarta lainnya justru meningkat secara signifikan pada periode tersebut. Kemudian pada dekade 1990-2000 terlihat pergerakan penduduk cenderung semakin keluar kota. Pada periode tersebut giliran pertumbuhan penduduk Jakarta yang teramati hampir tidak ada, tapi pertumbuhan penduduk luar Jakarta begitu pesatnya.
40
Apa penyebab persoalan?
Gambar 2.9: Perkembangan jumlah penduduk di DKI Jakarta dan Jabodetabek tahun 1971-2000 25 25
Jumlah penduduk (juta)
20 20
15 15
10 10
55
00 1971 1971
1980 1980
1990 1990
Jakarta Pusat
Jakarta Lainnya
Bodetabek
Jabodetabek
2000 2000
DKI Jakarta
Sumber: Rahmah dkk (2004)
Sub-urbanisasi yang tidak diikuti oleh desentralisasi pusat kegiatan/ pekerjaan secara proporsional perlu diwaspadai, karena menjadikan penduduk harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk mencari nafkah. Di wilayah Jakarta tercatat peningkatan jarak rumah ke kantor per perjalanan dari rata-rata hanya sekitar 6,7 km pada tahun 1985, menjadi 9,6 km pada tahun 2002 (Bappenas dan JICA, 2004). Selain itu antara tahun 1985 dan 1993, jumlah mereka yang pulang-pergi antara DKI Jakarta dan daerah penyangga (commuters) meningkat empat kali lipat, dari 68 ribu menjadi 280 ribu (Rahmah dkk, 2004).
Meluasnya daerah-daerah di pinggiran kota menyebabkan penduduk harus menempuh perjalanan yang lebih jauh untuk mencari nafkah ke tengah kota. Hal ini perlu dibarengi dengan peningkatan layanan transportasi massal seperti bus atau kereta, guna mengantisipasi terjadinya memburuknya kualitas udara di perkotaan akibat peningkatan penggunaan kendaraan bermotor.
Kota di persimpangan jalan
41
Selain itu sub-urbanisasi juga menyebabkan penurunan kepadatan penduduk, karena ekspansi kawasan perkotaan terjadi lebih cepat daripada pertambahan jumlah penduduk. SITRAMP 2 (Bappenas dan JICA, 2004) menunjukkan bahwa dalam periode 1990-2000 penduduk Jabodetabek meningkat sebesar 1,27 kali lipat, tapi luas daerah perkotaan terbangun meningkat sebesar 1,41 kali lipat. Ini menunjukkan bahwa dalam suatu luasan kawasan yang sama, jumlah penduduk yang menempati lebih sedikit atau disebut juga penurunan kepadatan penduduk. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya beban pelayanan kepada infrastruktur perkotaan, termasuk penyediaan transportasi umum, karena jarak antar individu/ lokasi menjadi semakin jauh.
C. Tingkat aktivitas penduduk Perjalananan yang dilakukan penduduk dapat muncul karena alasan yang beragam, seperti pergi ke atau pulang dari tempat kerja, sekolah, pasar. Kebutuhan pergerakan tersebut dapat semakin meningkat dan beragam seiring dengan meningkatnya pendapatan penduduk.
Kebutuhan pergerakan penduduk cenderung semakin meningkat dan beragam seiring dengan meningkatnya pendapatan penduduk.
Penduduk dengan tingkat pendapatan yang sudah mencukupi kebutuhan primer, tidak hanya melakukan perjalanan untuk bekerja, sekolah dan ke pasar untuk, tapi juga melakukan perjalanan untuk memenuhi kebutuhan sekunder. Misalnya kursus tambahan, belanja ke tempat yang lebih jauh, makan di restoran, menonton bioskop, hingga rekreasi ke taman hiburan.
D. Pilihan moda transportasi Bila penduduk memilih menggunakan kendaraan tidak bermotor, maka dipastikan tidak ada emisi yang dilepaskan. Namun mengingat bahwa penduduk harus melakukan perjalanan untuk menunjang aktivitasnya, maka kebutuhan untuk menggunakan kendaraan bermotor pun menjadi sebuah keharusan. Untuk itu, hal ini perlu disiasati agar penduduk tetap dapat melakukan perjalanan, namun emisi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor tetap minimal. 42
Apa penyebab persoalan?
Adapun hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan kendaraan bermotor, bahwa besarnya emisi per km tiap individu dipengaruhi oleh emisi per km kendaraan bermotor yang dipilih dan kapasitas angkutnya. Jadi, semakin besar kapasitas angkut kendaraan yang digunakan, maka semakin kecil emisi yang dikeluarkan tiap individu. Sebagai ilustrasi pada Gambar 2.10 ditampilkan perbandingan emisi CO2 untuk aneka moda transportasi. Coba bandingkan emisi yang dikeluarkan mobil pribadi dengan bus besar. Emisi per km kendaraan bus memang jauh lebih besar daripada mobil pribadi. Namun kapasitas angkut bus jauh lebih besar dibandingkan mobil pribadi. Sehingga
Gambar 2.10: Perbandingan emisi CO² antar moda transportasi
0 Pejalan kaki/sepeda
14 24
Bis (isi 50 orang) Metromini (isi 25 orang)
40 Mikrolet
(isi 8 orang)
81
Mobil pribadi (isi 3 orang)
85 Sepeda motor
(isi 1 orang)
243
Mobil pribadi (isi 1 orang)
gram CO2 per km per penumpang Sumber: Hasil perhitungan berdasarkan KNLH (2008c)
Kota di persimpangan jalan
43
Gambar 2.11: Perbandingan kebutuhan ruang antar moda transportasi
Mobil
Sepeda Motor
Bus
Untuk mengangkut 72 orang dibutuhkan 40 mobil, karena rata-rata penumpang mobil pribadi di Jakarta adalah 1,75.
Untuk mengangkut 72 orang dibutuhkan 60 sepeda motor, karena rata-rata 1 dari 5 sepeda motor dikendarai dua orang.
Untuk mengangkut 72 orang hanya dibutuhkan 1 bus.
Total lahan yang dibutuhkan seluas 500 m2.
Total lahan yang dibutuhkan seluas 90 m2.
hanya dibutuhkan ruang seluas 45 m2 dan tidak perlu tempat parkir permanen.
Sumber: Hasil perhitungan berdasarkan Bappenas dan JICA (2004) dan BSLAK (1998)
bila diperhitungkan, emisi per km untuk tiap penumpang bus jauh lebih kecil dibanding mobil bahkan sepeda motor. Selain itu penggunaan kendaraan bermotor pribadi, baik mobil maupun motor membutuhkan dukungan ruang yang relatif lebih besar dibandingkan angkutan umum massal (lihat Gambar 2.11). Kebutuhan ruang tersebut dialokasikan untuk infrastruktur jalan, sarana parkir maupun stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).
44
Apa penyebab persoalan?
Dalam kaitannya dengan pembuatan strategi pengendalian emisi dari sektor transportasi, maka perlu dicermati berbagai faktor yang memengaruhi keputusan untuk memilih salah satu moda transportasi, dimana tiap faktor saling terkait (lihat Gambar 2.6): • Jarak yang ditempuh. Semakin jauh jarak yang harus ditempuh, maka makin
besar kecenderungan untuk menggunakan kendaraan bermotor.
Dalam hal ini, perencanaan kota yang baik akan sangat memengaruhi jauh
dekatnya jarak yang ditempuh oleh warga di suatu kota, yang berarti dapat
mengurangi penggunaan kendaraan bermotor.
• Fasilitas pejalan kaki dan kendaraan tak bermotor (sepeda atau becak).
Fasilitas ini sangatlah penting untuk mendukung aktivitas penduduk dalam
melakukan perjalanan jarak dekat. Misal untuk melakukan perjalanan ke pasar,
sekolah, rumah ibadah, atau bahkan ke tempat kerja. Selain itu, fasilitas ini juga
merupakan sarana pendukung bagi penggunaan angkutan umum. Jenis
transportasi ini merupakan pilihan yang paling ramah lingkungan, karena
tanpa emisi; serta paling hemat ruang, karena tidak butuh ruang jalan dan ruang
parkir yang besar (untuk sepeda). Dari sisi ekonomi, jenis transportasi ini
merupakan yang paling murah karena tanpa biaya. Diantara sekian banyak
kelebihannya, padakenyataannya, fasilitas ini merupakan hal yang seringkali
diabaikan oleh pemerintah daerah.
• Daya tarik angkutan umum. Moda transportasi jenis ini sangat efektif dalam
mengatasi kemacetan dan juga pencemaran udara di suatu kota. Namun daya tarik
untuk menggunakan angkutan umum sangat ditentukan oleh kualitas
pelayanannya. Hampir di seluruh perkotaan Indonesia, kualitas pelayanan angkutan
umum berada jauh di bawah kendaraan bermotor pribadi. Sehingga daya tariknya
tidak cukup kuat untuk mengalihkan pengguna kendaraan bermotor pribadi ke
angkutan umum. Alhasil pengadaan jumlah armada angkutan umum kapasitas kecil
(angkutan kota dalam jumlah cukup banyak, menjadi tidak optimal dalam
mengangkut penumpang. Selain itu, seringkali angkutan umum justru dituding
sebagai penyebab kemacetan karena awaknya yang tidak disiplin dan jumlah
armada ukuran kecil yang terus bertambah.
• Kepemilikan kendaraan bermotor pribadi. Jarak perjalanan yang harus ditempuh
setiap harinya serta rendahnya kualitas pelayanan angkutan umum memengaruhi keputusan penduduk untuk memiliki kendaraan pribadi. Rumah tangga yang memiliki kendaraan bermotor pribadi di Indonesia cenderung menggunakannya
Kota di persimpangan jalan
45
untuk memenuhi kebutuhan pergerakannya. Hal ini terkait dengan rendahnya kualitas pelayanan angkutan umum. Selain itu Studi SITRAMP 2 (Bappenas dan JICA, 2004) menunjukkan bahwa rumah tangga di Jabodetabek yang memiliki mobil pribadi melakukan perjalanan 1,7 kali lebih jauh daripada yang tidak memiliki kendaraan. Peningkatan pemilikan mobil pribadi merupakan cerminan hasil interaksi antara meningkatnya daya beli, taraf hidup dan kebutuhan mobilitas penduduk di daerah perkotaan. • Harga BBM. Bila terjadi kenaikan harga, umumnya akan terjadi upaya
penghematan oleh rumah tangga yang cukup elastis terhadap harga. Salah satu
caranya adalah dengan beralih ke moda transportasi yang biayanya lebih murah
Namun mengingat bahwa hal ini juga berdampak pada naiknya tarif angkutan
umum, akhirnya masyarakat memilih untuk beralih ke sepeda motor yang konsumsi
bensinnya lebih irit. Selain itu, untuk kota-kota besar seperti Jakarta, kenaikan harga
BBM ternyata tidak menyurutkan keinginan masyarakat untuk membeli kendaraan
bermotor pribadi.
• Kepadatan lalu lintas. Bila lalu lintas semakin padat, serta harga BBM meningkat,
46
maka kecenderungan yang terjadi adalah peralihan ke moda dengan ukuran
kendaraan yang lebih kecil, dengan bensin yang lebih irit, seperti, sepeda motor
Hal ini terlihat jelas di berbagai kota besar di Indonesia. Padahal meningkatnya
penggunaan sepeda motor di sebuah kota, merupakan sebuah indikator akan
rendahnya kualitas pelayanan angkutan umum di kota tersebut.
Apa penyebab persoalan?