PERSIAPAN PRIBADI PENGUSAHA MUDA Tujuan Instruksional Khusus, Manfaat Bagi Karir Mahasiswa, Bahan Bacaan, dan Pertanyaan Kunci, semuanya sudah dijelaskan pada pertemuan pertama atau pada Kontrak Perkuliahan dan Penjelasan Ruang Lingkup Mata Kuliah Kewirausaha. Modul ini sebagai tambahan atau pelengkap dari buku wajib yang dipakai mahasiswa.
JADWAL PERKULIAHAN NO 1
2
3
4 5 6 7 8 9
10
11
12
13 14 15 16
TOPIK + KEGIATAN 1. Perkenalan, diskusi dan kesepakatan tentang kontrak perkuliahan 2. Ruang lingkup mata kuliah Kewirausahaan 1. Bab Konsepsi Dasar Kewirausahaan 2. Diskusi tentang materi kuliah dan kajian kasus: sukses bisnis sejak kuliah 1. Bab Persiapan Pribadi Pengusaha Muda 2. Diskusi tentang materi kuliah dan kajian kasus: Rahmat Shah (pemburu dan petualang belantara) 1. Bab Menerapkan Sikap Mental Bisnis Orang China 2. Diskusi tentang materi kuliah dan kajian kasus: Kisah William Soerjadjaja Pendiri ASTRA, Ketulusan Taipan Panutan 1. Bab Motivasi menjadi Wirausaha Sukses 2. Diskusi tentang materi kuliah dan lembar kerja: Proyeksi Diri 1. Bab Kreativitas dan Inovasi dalam Berwirausaha 2. Diskusi tentang materi kuliah dan kajian kasus: Keberhasilan Inovasi Kacang Garuda Diskusi dan Pemutaran Video Ujian Tengah Semester 1. Bab Identifikasi Peluang dan Jenis Usaha 2. Diskusi tentang materi kuliah dan lembar kerja: Menemukan Peluang dan Memilih Jenis Usaha 1. Bab Perencanaan dan Operasionalisasi Usaha 2. Diskusi tentang materi kuliah dan kertas kerja: Penentuan Tujuan 1. Bab Mengelola Keuangan Usaha 2. Diskusi tentang materi kuliah dan Membuat Analisis Keuangan Usaha 1. Bab Merancang Strategi Pemasaran 2. Diskusi tentang materi kuliah dan kajian kasus: Strategi Pemasaran (berebut menjadi nomor 1) 1. Bab Kewirausahaan dan Lingkungan 2. Diskusi tentang materi kuliah dan kajian kasus: Sosok Surya Paloh Penyusunan Proposal Usaha Diskusi, Kuis dan lain-lain Ujian Akhir Semester
KETERANGAN Tatap Muka
Online
Online
Tatap Muka
Online
Online Tatap Muka
Online
Online
Tatap Muka
Online
Online Online Tatap Muka
1
Yang muda yang kreatif dan bergaya Yang muda yang kreatif dan bergaya, inilah istilah yang cocok untuk anak muda. Anak muda dengan usia dibawah 30-an tahun ini biasanya penuh dengan energi sehingga lebih gesit dan lincah, punya daya kreativitas yang tinggi dan cepat mengambil tindakan yang cukup berani dengan darah mudanya. Berikut ini adalah kisah sukses anak muda yang menjadi pengusaha yang dapat menjadi inspirasi dan teladan bagi kita semua. Beberapa hal yang harus dipersiapkan untuk menjadi pengusaha muda yaitu: - Membangun Kepribadian - Mempersiapkan keterampilan - Membangun usaha sejak muda - Merealisasikan mimpi jadi kenyataan Sebagai bahan pada sesi ini, coba telaah artikel dibawah ini! Wawancara SWA di SAJUTA Edisi 18-31 Januari 2007
Anak - Anak Muda Bertitel Pengusaha Mengabadikan proses persalinan ketika melahirkan putra keduanya (almarhum) pada 2002, mengilhami Ratna Arivianti Savitri dan suaminya, Abdi Prisawan Aziz, membangun Baby Born Video Clip, Juni 2003. Kebetulan, seorang teman memintanya mengabadikan momen bahagia yang bersifat privasi ini dengan bayaran lumayan. Dan tidak main-main, Juara II Lomba Wajah Femina 1998 ini mematenkan setiap hasil bidikan kameranya dengan nama Baby Born Video Clip. Hingga sekarang, usaha yang digelutinya ini masih terbilang langka. Dan diyakini Vivit, demikian sapaan akrabnya, suasana penuh emosi yang terjadi saat proses kelahiran berlangsung sangat memengaruhi hasilnya, terutama kualitas gambar. Awalnya, Abdi dan Vivit bekerja sama dengan rumah produksi. Namun, tak mudah mencari pengambil gambar dari rumah produksi lantaran profesi ini didominasi kaum pria. Tak putus asa dengan kenyataan itu, mereka justru membentuk kru kamera dan editor sendiri. Di tahap awal, Vivit melatih lima kamerawati dan empat editor secara nonstop dari pagi hingga sore dalam waktu sebulan. Kini jumlah pengambil gambarnya 15 orang dibantu 8 editor dengan usia 20-25 tahun, "Kami merekrut tenaga baru dengan pendidikan minimal Diploma 3," kata Vivit yang menyebut krunya "The 24 Hours Ladies Crew" karena harus selalu siap sedia selama 24jam. Maklum, bayi yang dilahirkan secara normal bisa lahir kapan saja. Di samping persiapan kru, Vivit juga harus menjalin kerja sama dengan sejumlah rumah sakit. Ini penting mengingat tidak setiap dokter mengizinkan orang lain di luar keluarga memasuki ruang persalinan. Kerja sama dengan rumah sakit menjadikan Baby Born Video Clip sebagai salah satu fasilitas baru. Sebelumnya, rumah sakit hanya memberikan layanan
2
foto orang tua dan bayi yang baru lahir. Beberapa rumah sakit di Jakarta yang menerima ajakan kerja samanya antara lain RS Pondok Indah, RSI Bintaro, RS Puri Cinere, RS Harapan Kita, RSKW Yadika dan RS Gandaria. "Tahun ini kami melebarkan sayap ke Bandung dan dalam waktu dekat ke Surabaya," ungkapnya. Di belahan Jakarta lainnya, ada Baron Respati. Baru berusia 23 tahun, tetapi bisnis yang dikelolanya sudah banyak. Saat ini, bisnis yang digelutinya: dari properti, kafe, jam tangan, penyewaan kendaraan hingga multifinance kendaraan. Baron terjun ke bisnis sejak Mei 2003, setelah menuntaskan kuliah di Universitas San Fancisco, AS. Mulanya, ia dipercaya sang ayah mengelola bisnis properti keluarga di Sydney, Australia. Hanya dalam hitungan bulan Baron berkecimpung di bisnis properti, ia lalu beralih ke bisnis kafe yang sebelumnya dirintis kakaknya, Amadea, sejak tahun 2000, bernama Cafe Oh La La. Kafe ini merupakan waralaba milik Grup Gunung Agung. Saat Baron mengendalikan kafe yang khas dengan kue ala Prancis ini, cukup banyak perubahan dan gebrakan yang dilakukan, mulai dari menambah cabang dari tiga menjadi lima, hingga menggandeng bank-bank -- seperti HSBC, Citibank dan ANZ Panin - serta perusahaan lain menjadi mitra,. "Saat ini Cafe Oh La La ada di Graha SCTV, Plaza Gajah Mada, Gedung Bank Permata, Kuningan dan Wisma Mulya," ujar Baron. Menjadi pengusaha di usia muda juga dilakoni Andreas Thamrin. Saat kuliah tahun pertama di University of New South Wales, Andreas telah menjajal mengembangkan bisnis. Ketika itu (1999), ayah Stella (6 bulan) ini memilih membangun bisnis ritel virtual yang menjual keping cakram berisi program entertainment. Nama perusahaannya, GamesMarket (www.gamesmarket.com.au). Tak disangka, bisnis ini berkembang pesat karena banyaknya permintaan. Pasalnya, pada saat Games Market dikembangkan booming Internet baru saja dimulai. Berbicara tentang bisnis, dulu hanya dilakukan sekelompok orang. Oleh masyarakat umum, bisnis belum dianggap pilihan bagi orang-orang muda. Biasanya, yang sudah memasuki usia kepala 4, para pensiunan, pemilik modal, atau orang-orang yang putus sekolah saja yang berani memasuki dunia bisnis. Coba saja tanyakan pada sejumlah sarjana lulusan 1970-an. Apakah ketika lulus kuliah mereka berpikiran langsung membuka usaha? Bisa dipastikan, sebagian besar menjawab "tidak". Mereka lebih suka memasuki dunia profesionalisme, birokrasi atau politik. Selain dinilai lebih bergengsi, menjadi profesional, birokrat dan politisi dianggap memiliki penghasilan mapan. Namun, zaman telah berubah. Sekarang semakin banyak lulusan perguruan tinggi yang bercita-cita menjadi pengusaha sejak masih muda.
3
Hipotesis ini memang belum bisa dibuktikan. Sejauh ini belum ada hasil riset yang menyatakan bahwa lulusan perguruan tinggi lebih memilih bisnis ketimbang bekerja di perusahaan swasta atau menjadi pegawai negeri sipil. Dari hasil pantauannya, pengamat bisnis Rhenald Kasali berpendapat, mayoritas anak muda (23-35 tahun) ingin tetap bekerja sebagai profesional di institusi pemerintah (pegawai negeri/BUMN/BUMD) dan swasta. Institusi swasta, yakni perusahaan-perusahaan yang sudah sangat mapan, seperti bank asing (Citibank atau Standard Chartered, misalnya), Grup Astra, Unilever, atau perusahaanperusahaan minyak asing, dianggap memiliki nilai tambah dan tetap menjadi pilihan utama. Namun, sekarang, fenomena ini kian dan terus bergeser. Anak-anak muda ini mempunyai pilihan yang tak terbatas. Hal ini dirasakan Ben Wirawan. Pria yang memiliki usaha cenderamata kota yang berbasis di Bandung ini sejak awal memang bermimpi jadi pengusaha. "Saya tidak mau menjadi pegawai seumur hidup," ujarnya. Lagi pula, ia menambahkan, "Sekarang bukan zamannya lagi harus selalu menjadi pegawai kantoran." Karena itu, selepas dari Fakultas Seni Rupa & Desain Institut Teknologi Bandung, Ben hanya bekerja selama beberapa tahun di perusahaan peralatan luar ruang. Setelah itu, ia tergerak membuka usaha sendiri di bawah payung PT Maha Nagari. Kini, perusahaan di Cihampelas Walk dan Victoria FO-Dago. Dibandingkan dengan pengusaha muda lainnya, Ben menyadari, usahanya masih relatif kecil. Saat ini, omset per bulan Maha Nagari baru Rp. 40-60juta. Namun,mengingat modalnya juga tidak besar -- hanya puluhan juta rupiah -- ia pun mensyukurinya. "Biarpun belum menghasilkan uang berlimpah, saya merasa ada kepuasan tersendiri yang tidak bisa diukur dengan uang," katanya mengakui. Yang penting, ia melanjutkan, dengan usaha sendiri ia lebih mudah mengelola waktu dan dapat menyalurkan ide-ide kreatifnya. Malah, sekarang ia menyiapkan gerai di Jakarta, yang akan menampilkan kekhasan lbu Kota. Sharmila, yang semula bekerja sebagai manajer di perusahaan swasta, pun memilih membuka usaha sendiri setelah melahirkan anak pertamanya pada 1996. la merasa kerepotan bila harus bekerja, menempuh S-2 di Jurusan Kornunikasi Universitas Indonesia, sekaligus mengurus anak. "Pertimbangan saya, agar bisa membagi waktu antara bekerja, kuliah, dan mengurus anak," ujarnya mengenai alasannya berwirausaha. Bidang usaha yang dipilihnya adalah ritel. Tentu, ini ada alasannya pula. Ide membuat toko yang menggabungkan
unsur
minimarket
dan
keperluan
anak,
muncul
berdasarkan
pengalamannya berbelanja kebutuhan dapur dan anak di dua tempat berbeda. "Dari situ muncul konsep Kid's Mart, di mana ibu dan bapak bisa berbelanja kebutuhan harian sekaligus kebutuhan anak," katanya seraya mengungkapkan, konsumen yang dibidik adalah kelas menengah. Sharmila beralasan, bisnis ritel memungkinkannya memperoleh cash flow secara teratur. Gerai pertama. Kid's Mart dibuka di Mal Kalibata dengan luas 120
4
m2. Sekarang, Kid's Mart memiliki 8 gerai dengan 50 karyawan, dengan komposisi barang kebutuhan anak dan minimarket, 50:50. Usaha ini ternyata berjalan baik dengan omset rata-rata Rp 800-900 juta/bulan. Ini membuktikan bahwa menjadi pengusaha bukan lagi hal yang menakutkan bagi anakanak muda masa kini. "Biasa aja deh.... Nggak ada yang perlu ditakuti," demikian kata mereka. Sebagian malah menganggapnya sebagai hobi. Pasalnya, bisnis yang digarap sering berawal dari kesukaan mereka terhadap sesuatu. Yang takkalah penting, para pengusaha muda ini merasa menemukan banyak tantangan yang menjadikan hidup mereka lebih bergairah. Di mata Rhenald, alasan tersebut bisa dipahami. Perhatikan saja, lapangan pekerjaan kini makin menyempit. Di samping itu, persaingan mencari kerja di kantor pun semakin ketat. "Kalaupun bekerja menjadi pegawai di suatu perusahaan, besaran gaji yang ditawarkan tidak menarik mengingat biaya hidup yang semakin tinggi," tuturnya. Belum lagi, masalah waktu kerja sering menjadi keluhan. "Biarpun office hour resminya pukul 8 pagi sampai 5 sore, faktanya mereka bisa sampai rumah malam hari karena terjebak kemacetan dan jauhnya rumah dari kantor," kata Rhenald lagi. Maka, daripada tertekan dan kelelahan, berwirausaha adalah pilihan hidup yang sangat menarik. Semua kontrol, mulai dari waktu, keuangan hingga pengelolaan, ada di tangan sendiri. Melihat realitas seperti itu, anak-anak muda kreatif akhirnya memilih membuka lapangan pekerjaan baru. Di sisi lain, memiliki usaha memberi tantangan bagi anak-anak muda yang senang mengambil risiko ini. Dampak positifnya, "Mereka akan lebih tertantang untuk selalu bekerja giat kalau ingin memperoleh hasil yang memuaskan. Sebab, seluruh hidupnya tergantung pada usaha sendiri," kata Rhenald menandaskan. Tak mengherankan, dalam satu dekade terakhir, dunia bisnis makin diwarnai tokoh-tokoh berusia muda. Pascakrisis, orang bukannya takut pada bisnis, justru makin banyak bidang usaha baru yang bermunculan. Tak dimungkiri, booming Internet memberi andil besar kepada anak-anak muda yang menggilai teknologi informasi. Sebab, dari bidang ini, ternyata banyak sekali peluang bisnis yang bisa digarap. Contohnya, Hengky Prihatna. Bersama tiga kawannya yang sama-sama keranjingan dunia web dan animasi, Hengky membangun Baba Studio. Keempat anak muda ini tergabung dalam komunitas web dan animasi (Indonesia Flash Community) BabaFlash.com. Jumlah member komunitas yang terdiri atas kumpulan para praktisi (desainer, programer dan animator) ini sudah mencapai 16 ribu orang. Dari komunitas ini, Henky menemukan tak sedikit anggotanya yang ingin belajar komputer secara offline. Akhirnya didirikanlah Baba Studio (Babaflash.com) pada 2003, yang awalnya
5
hanya membidangi pusat pelatihan yang mengajarkan desain multimedia dan animasi. Aktivitas kerja berlangsung di kediaman salah seorang pendirinya di Tanjung Duren, Jakarta Barat, dengan menempati ruangan seluas 12 x 15 m2. Lokasinya sangat dekat dengan dunia kampus (UniversitasTrisakti, Ukrida dan Universitas Tarumanagara), sehingga usaha ini pun herlangsung lancar. Seluruh aktivitas pemasaran dilakukan melalui web, word of mouth dan promosi melalui buku-buku yang ditulis Henky, di antaranya Animasi Web dengan Macromedia Flash Mx, 60 Efek Animasi Spektakuler Flash 8 dan, yang terbaru, Web Master Professional. Seiring dengan perjalanannya, Baba Studio pun melengkapi unit bisnisnya dengan menyelenggarakan in house training untuk segmen korporat. Perusahaan yang menjadi kliennya antara lain PT Bintang Toedjoe, TNT Logistic, Bank Indonesia dan Bank Internasional Indonesia, juga menjadi konsultan untuk database World Health Organization seperti ketika. kasus Tsunami 2 tahun lalu serta Landor Associated. "Kami sudah meluncurkan lebih dari 100 web," kata mantan karyawan CBN ini. Selain Internet dan kafe, bisnis hiburan juga dianggap pilihan yang menarik bagi anak muda. Pemilik Blitz Megaplex, Ananda Siregar, membenarkan. Ketertarikannya terjun ke bisnis bioskop karena melihat fakta bahwa antara. jumlah penduduk dan fasilitas hiburan terpaut jauh. Padahal, ia berani mengatakan bahwa potensi bisnis film di Indonesia sangat terbuka lebar. "Kami sudah metakukan riset ini sejak 2-3 tahun lalu," katanya. Agar bioskopnya diminati, ia membuat terobosan lain. "Blitz Megaplex tidak hanya menyediakan bioskop yang cozy, tetapi juga memiliki Blitz Digital Cafe." Dengan Blitz Digital Cafe, pengunjung dapat menonton film dari laptop pribadi atau berInternet ria sembari mendengarkan alunan lagu dan musik dari grup band atau disc jockey. Pengunjung juga bisa main billiar di Blitz Billiard ataupun mengunduh lagu dari download station. Film yang ditayangkan pun tidak hanya dari Hollywood, tapi juga film-film Eropa, Asia dan Indonesia. Untuk mendukung pengembangan bisnis, Ananda melakukan aktivitas pemasaran & promosi, bekerja sama dengan mitra kerja yang sesuai dengan kebutuhan Blitz Megaplex, seperti Cineclick Asia, IHQ, San Fu Maltha, atau Golden Screen Cinemas, Malaysia. Selain itu, "Kami juga mengenalkan dan memasarkan Blitz kepada para produser film." Menjadi entrepreneur juga tidak harus terpatok pada satu usaha. Sesuai dengan usia mereka yang masih relatif muda, mereka senang mencari peluang baru. Sambil mengelola kafe, Baron tak berhenti mencari peluang bisnis. Buktinya, pada Febuari 2004 ia nekat mengambil alih lisensi keagenan produk jam tangan asal Swiss, Bucherer (executive watch) dari pemilik sebelumnya di Indonesia. Kala itu, gerainya berada di Plaza Semanggi. Yang menarik, Baron kemudian dipercaya menjadi agen tunggal jam tangan Locman (Italia) di
6
Indonesia. "Untuk menjadi agen tunggal Locman tidaklah mudah karena harus bersaing dengan pengusaha lain yang juga mengajukan lisensi keagenan," ujarnya sambil mengungkapkan, gerai Locman berada di Plaza Indonesia. Seperti saat mengembangkan kafe, Baron juga agresif bekerja sama dengan berbagai bank dan perusahaan. "Dengan bank, kami punya kerja sama. eksklusif promo kartu kredit dari kelas silver sampai platinum," katanya sambil mengungkapkan, jam Locman dibanderol dari Rp 5 juta sampai Rp 100 juta. Sementara Bucherer, Rp 8 juta ke atas. Belum puas dengan bisnis yang digelutinya itu, pada pertengahan 2006 Baron masuk ke bisnis multifinance. Boleh dibilang, bisnis ini bukan hal baru baginya mengingat ayahnya, Ganjar Wirahadi, memiliki bisnis yang sama, yaitu Asia Finance. Bahkan, ia sempat membantu ayahnya sebagai Kepala Pengembangan SDM. "Saya ingin membuat sendiri perusahaan multifinance," katanya. Bila diperhatikan, para entrepreneur muda bisa berkembang salah satunya karena memperoleh dukungan keluarga, terutama orang tua. Baron membenarkannya. Keluarga, terutama ayahnya, berperan besar dalam mendorong dan mengarahkannya. Ia juga tak sungkan mengatakan bahwa sang ayah memberinya jalan untuk mempunyai usaha sendiri. Andreas pun demikian. la blak-blakan menuturkan, untuk mengembangkan bisnis jualan game interaktif melalui Internet, ia memperoleh pinjaman uang dari ayahnya yang juga pengusaha, Hermes Thamrin. “Saya mesti membenamkan dana Rp 300 juta. Bapak yang kasih modal. Beliau menganggapnya sebagai 'uang sekolah'," ujar Andreas seraya menambahkan, "Uang itu tidak saya kembalikan. Tetapi, keuntungan dari bisnis itu saya tabung sehingga bisa membangun sebuah rumah di Sydney." Di Games Market ini, ia memperkerjakan lima karyawan. Sebulan, rata-rata omsetnya Rp 700 juta. Dengan demikian, hanya dalam hitungan bulan ia sudah balik modal. Bisnis Andreas kemudian melebar. Pada 2003, ia diajak koleganya, Michael, membuka gerai telepon seluler. Michael, orang Indonesia yang bermukim di Australia, mengajaknya bermitra menjadi authorized dealer Huthcinson di Negeri Kanguru itu. Seperti diketahui, perusahaan operator seluler ini juga memproduksi ponsel khusus 3G bermerek 3 (dibaca: Three). Setelah mempertimbangkan berbagai aspek, maka pada April 2003 Andreas bersama Michael membuka gerai ponsel 3 yang pertama di Sydney. Bisnis baru distribusi ponsel merek 3 ini berada di bawah bendera Digitone. Sementara itu, bisnis jualan software untuk game interaktif masih terus berlanjut. Untuk mengembangkan Digitone 3, menurut Andreas, ia dan kawannya itu mesti menginvestasikan dana Rp 2 miliar. Masing-masing berinvestasi Rp 1 miliar. Lagi-lagi, bapaknya bermurah hati sebagai penyandang dana. "Modal untuk mengembangkan
7
Digitone saya pinjam dari bapak. Tetapi, saya sudah melunasinya," ungkapnya sambil tertawa. Menanggapi kehadiran para pengusaha muda ini, Rhenald berpendapat, usaha yang ditekuni rata-rata masih bersifat jangka pendek. "Paling usianya baru tiga tahunan," ujarnya. Bisa dikatakan, bisnis yang mereka hadapi masih dalam tahapan survival. Kalaupun memasuki tahapan growing, ini sangat tergantung pada ketekunan, fokus, orientasi pasar dan inovasi yang bersangkutan. Sukses, menurut Rhenald, umumnya terjadi ketika mereka telah berusia di atas 35 tabun. Kendati demikian, di tahapan survival inilah sebenarnya proses belajar yang harus mereka jalani. "Mereka sedang meningkatkan jam terbang," katanya beranalogi. Soal jam terbang, ini ada kaitannya dengan ekspansi bisnis. Biasanya, orang makin tertantang dan memiliki jam terbang tinggi bila menambah/memperluas usahanya. Sharmila, misalnya, menargetkan membuka satu toko lagi tahun ini. "Targetnya tahun 2009 kami sudah punya 100 gerai," ujar Sharmila yang berencana menerapkan konsep waralaba bagi tokonya. Saat ini berbagai persiapan sudah ia lakukan, di antaranya mematenkan sistem, nama, dan lain-lain. Jika ingin survive, menurut Rhenald, anak-anak muda ini harus benar-benar mencintai usaha yang ditekuninya. Tanpa itu, akan susah berkembang. Diakuinya, kebanyakan mereka mengembangkan bisnis karena hobi dan talenta yang tumbuh dominan di dalam dirinya. "Bisa juga karena kecintaan terhadap sesuatu yang sangat menarik minat sehingga mereka dengan serius mencari tahu apa saja yang terkait dengan itu," tutur penulis buku Re-Code sebagai kelanjutan buku sebelumnya, Change, ini. Selain itu, anak muda sekarang cenderung ingin bekerja bebas serta tidak terikat waktu dan aturan. "Anak muda sekarang tidak suka didikte," ungkap pengamat SDM Arvan Pradiansyah. Bagi sebagian anak muda, bekerja di kantoran yang terikat waktu dan struktur organisasi, sama saja dengan membatasi kreativitas mereka. Di sinilah diperlukan dukungan lingkungan di sekitarnya yang dapat memberi bimbingan agar bisnis yang ditekuni berkembang. Orang tua, tak dimungkiri, berperan besar dalam proses pembentukan anak menjadi pengusaha sukses. Kemudahan informasi, setidak-tidaknya, memberi cara pandang baru kepada orang tua. Kini, orang tua lebih toleran terhadap pilihan hidup anak-anaknya. Berkembangnya wawasan orang tua pada gilirannya mendorong anak-anak mereka memilih bidang yang disukai, tak terkecuali bisnis. Walau demikian, pengamat bisnis Paulus Bambang menilai, keberanian sikap dalam menentukan pilihan hidup ini, sayangnya, baru dinikmati anak-anak muda. perkotaan yang berasal dari kalangan menengah-atas dengan tingkat pendidikan formal dan informal tinggi,
8
disertai orang tua yang demokratis dan berwawasan terbuka. Di luar golongan itu, menjadi pengusaha hanya sekadar wacana. Bagaimana agar bisa sukses? "Tinggal kita pintar mengelola kesabaran, keteunan, dan meyakini bahwa segala sesuatu itu butuh proses," tutur Arvan bijak. Masalahnya, jiwa muda kerap membuat para pengusaha ini ingin cepat mencapai hasil. Diakui Arvan, anak muda saat ini jauh lebih berani mencoba sesuatu yang baru. "Namun, jangan lupa mengalkulasi risiko," kata penulis buku Life is Beautiful ini mengingatkan. Di samping itu, mereka masih sangat membutuhkan dukungan orang tua. Maka, agar bisa berkembang dan survive, mereka harus mampu mengelola ego mudanya. "Sabar itu tidak berarti tekun menunggu. Sabar adalah, kita harus kreatif mencari segala cara agar berhasil mencapai tujuan. Sabar sama pengertiannya dengan meningkatkan persistensi diri. Kesabaran ini membangun inovasi, yang tentu saja untuk mencapai tujuan yang lebih baik. A new better way," tuturnya menjelaskan. Lalu, yang harus ditingkatkan adalah kemahiran mengelola biaya. Ini tidak sama dengan pengurangan biaya. "Managing cost itu bukan cost reduction," kata Arvan tandas. Kalaupun ada pengurangan biaya, bukan berarti menekan biaya pada hal-hal yang seharusnya tidak perlu dilakukan. Contohnya, yang terjadi pada bisnis penerbangan bertarif murah, dimana efisiensi biaya dilakukan pada hal-hal yang sifatnya dapat memengaruhi keselamatan penerbangan
dan
penumpangnya
sendiri.
Kemudian,
likuiditas
keuangan
sangat
diperlukan. lbaratnya, jangan sampai banyak piutang di sisi pengeluaran karena lupa menagih saking asyiknya berjualan. Sementara itu, menurut Paulus, jika ingin bisnisnya berkembang, anak-anak muda harus memperhatikan teori relativitas Einstein, e=mc2. Namun, di sini "e" berarti earning, "m" adalah market, "c" berarti cash dan cost. Maksud teori ini, pasarlah (market) yang harus menjadi fokus utama dan pertama dalam menyiptakan sebuah produk. Bisa dikatakan, mayoritas anak-anak muda ini lebih berorientasi dalam menciptakan produk tanpa diiringi membaca pasar, apakah produk ini bisa diterima atau tidak. Artinya, harus pintar menyelaraskan kreativitas produk dengan kondisi pasar. Hal ini bisa jadi disebabkan ego mereka yang masih tinggi. "Mereka harus tahu, market itu sedang butuh apa? Maka, kemampuan menganalisis pasar itu harus terus ditingkatkan," ujar Paulus. Selain itu, juga harus lebih inovatif dibandingkan dengan pemain sejenis agar menjadi ciri khas/keunikan. Lalu, harus pintar dalam manajemen biaya. Efisiensi biaya tidak selalu berarti pemotongan biaya. Dan, jangan sampai menafsirkan uang yang dikumpulkan dari sales itu (omset) adalah uang kas (cash flow). Sales tidak sama dengan cash. Tanpa ada uang kas di tangan, bisnis tidak akan jalan. Dengan kata lain, kalkulasi keuangan bisnis harus jauh lebih cermat. Sebenarnya, teori e=mc2 ini tidak hanya berlaku untuk anak-anak
9
muda, tetapi buat siapa pun pelaku bisnis. Dengan demikian, secara rinci, pebisnis harus mengerti dan bersikap fokus pada pasar, mengelola cash inflow dan outflow, serta mengelola biaya. Sumbangan terbesar anak-anak muda ini, lanjut Paulus, mereka telah menginspirasi dan memotivasi anak-anak muda lainnya untuk berani bersikap mandiri dan kreatif. Di samping itu, mereka'juga mampu menciptakan lapangan kerja baru kendati SDM yang diserap belum terlalu banyak. Selain itu, lantaran bisnis atau profesi yang mereka tekuni terkadang berlatar belakang hobi yang mencerminkan jiwa mereka, acap kali bisnis mereka juga bisa menjadi gaya hidup. Contohnya, menjamurnya distribution outlet (distro). Senada dengan pendapat di atas, Rhenald pun melihat, para pengusaha muda telah turut membantu pernerintah dalam membuka lapangan kerja meski hanya sedikit SDM yang mereka rekrut. Siapa lagi mau menyusul mereka?
Memilih Menjadi Wirausahawan Orang memutuskan untuk menjadi wirausaha bukan karena dia tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang baik. Banyak wirausaha berpendidikan baik dan memiliki pekerjaan yang mapan sebelum memutuskan menjadi wirausaha. Seseorang mau menjadi wirausaha karena tidak takut untuk bekerja keras, tetapi justru menganggap kerja keras sebagai tantangan. Keputusan untuk memulai usaha sendiri juga mensyaratkan adanya motivasi internal, seperti ingin mengaktualisasikan diri. Seseorang dapat memilih menjadi seorang wirausahawan pada tiap saat dalam hidupnya. Contoh berikut ini dimaksudkan untuk merangsang ide Anda memulai suatu bisnis. Juga dimaksudkan untuk memberi Anda ide untuk memulai suatu usaha dengan orang lain yang bermaksud memulai suatu usaha namun belum berani memulainya (Douglas A. Gray 1996). Kewirausahawan dapat dimulai pada saat manapun. Wirausahawan dapat memulai usahanya pada waktu di sekolah menengah atau di universitas, setelah lulus, pada saat menganggur, dirumah, atau pada bisnis yang sudah ada. Sebagai tahap awal pikirkanlah kemungkinan dibawah ini: a. Paruh waktu pada saat disekolah menengah b. Paruh waktu pada saat di universitas, baik dikampus atau diluar kampus c. Pada saat penulisan tesis d. Pada saat berhenti kuliah e. Setelah lulus merencanakan suatu bisnis
10
f.
Setelah berhenti dari suatu pekerjaan, atau setelah dipecat atau dirumahkan
g. Setelah pensiun h. Setelah meninggalkan suatu pekerjaan, tetapi dengan persiapan tertentu yang berkaitan dengan pekerjaan pada saat masih bekerja baik sebagai karyawan tetap atau tenaga kerja kontrak atau tidak berkaitan sama sekali dengan pekerjaan sebelumnya i.
Setelah bekerja sambilan dengan bisnis paruh waktu pada hari libur atau malam hari
j.
Setelah keberhasilan bisnis yang dilakukan diluar rumah
k. Dengan kewirausahawan yang stabil, baik dari industri yang sama ataupun berbeda
Tipe-Tipe Kewirausahaan Ada banyak tipe wirausahawan, masing-masing dapat dibedakan dari caranya beroperasi (Douglas A. Gray 1996). Silahkan baca deskripsi tentang tipe wirausaha berikut ini. Tanyakan pada diri Anda sendiri jenis mana yang Anda sukai dan mengapa. Kemudian tuliskan analisa Anda untuk digunakan sebagai titik tolak untuk mengetahui lebih lanjut keinginan Anda. Tipe wirausaha yang mana yang Anda inginkan?
1. Solois Seorang solois adalah wirausaha yang bekerja sendiri atau dengan beberapa orang saja. Solois meliputi pedagang, broker, operator dan sebagainya. 2. Key Partner Key partner adalah kerjasama seseorang dengan pihak lain, tetapi pihak lain tersebut tidak aktif atau peranannya sangat kecil. Seorang key partner seperti solois, ia adalah seorang yang memerlukan banyak kewewenangan pribadi, tetapi memerlukan pasangan untuk menunjang masalah keuangan. 3. Grup Orang-orang yang lebih suka keringanan keuangan dan atau secara psikologis suka bekerjasama dengan pihak-pihak lain. Kewewenangan dalam grup lebih sedikit dibandingkan dari key partner, karena keputusan diputuskan oleh grup. Perusahaan akunting menengah dan besar adalah jenis kewirausahawan grup. 4. Profesional Jenis ini meliputi para profesional seperti pengacara, akuntan, dokter gigi, dokter, arsitek dan insinyur. Para konsultan dapat dimasukkan dalam grup ini. Wirausaha ini memiliki spesialisasi dalam keahliannya dan memiliki pendidikan relatif tinggi. Para konsultan tidak harus selalu mempunyai pendidikan tinggi, tetapi mereka harus keahlian yang jelas dan dapat dijual. Profesional biasanya tidak menganggap dirinya sebagai
11
wira-usahawan, tetapi mereka mempunyai sifat kewirausahawan yang diperlukan untuk bertahan dan berhasil. 5. Penemu-Peneliti Penemu-peneliti biasanya pemikir dan profesional yang frustrasi yang memutuskan untuk memulai bisnis lain, seperti laboratorium untuk mencoba produk atau servis baru. Mereka biasanya memiliki ide yang baik, tetapi seringkali kurang keahlian manajemen. Mereka dapat terlibat secara emosional dengan percobaan pada hewan, atau menyukai tantangan hanya untuk sekedar menemukan sesuatu tanpa mempertimbangkan aplikasi praktis. Jenis lain dari penemu-peneliti adalah seorang penemu kreatif yang memiliki ide untuk membuat produk yang lebih baik, tanggap terhadap kebutuhan pasar, yang kemudian mendirikan sebuah perusahaan untuk mengembangkan, membuat dan menjual produk. 6. Teknologi Canggih Seorang wirausaha teknologi canggih biasanya mempunyai pendidikan tinggi, dan keahlian teknis, terutama elektronik atau komputer. Ia mungkin memiliki kemampuan untuk memadukan konsep terpadu yang biasanya kompetitif, dan menyukai tantangan untuk selalu memimpin dalam pengembangan teknologi baru. 7. Work force builder Seseorang yang memulai pekerjaannya dari dirinya sendiri, kemudian mendirikan perusahaan yang lebih besar melalui delegasi, merekrut orang dan kemampuan organisasi, adalah seorang work forcer builder. Seorang pembersih kantor yang bekerja sendiri, secara bertahap mengembangkan pekerjaannya dengan memperkerjakan pegawai, dan berhasil mendirikan perusahaan jasa pelayanan pembersihan kantor adalah contoh dari work force builder. 8. Invereterate Initiator Orang ini mempunyai tantangan untuk memulai suatu usaha, tetapi dengan cepat pula kehilangan minat untuk mempertahankannya jika sudah berhasil menaklukkan tantangan. Invereterate initiator biasanya mencari kesempatan untuk mulai suatu usaha baru. Ia biasanya menjual bisnis yang telah dimiliki dan sudah dimulai sebelumnya untuk memulai yang berikutnya. Biasanya tipe orang ini memulai usaha dengan tujuan utama untuk menjualnya lagi kemudian dan memperoleh keuntungan dari penjualan. 9. Concept multiplier Jenis tipe ini menyadari konsep bisnis yang sukses adalah konsep yang memiliki potensi untuk dilipatgandakan dengan keuntungan tambahan. Contoh konsep penggandaan adalah sistem franchise, lisensi, serta penyebaran atau pembukaan cabang-cabang. 10. Pengakuisisi
12
Orang ini menyukai mengambil alih suatu bisnis yang sudah ada daripada memulai yang baru. Dengan cara ini resiko dapat ditekan karena yang dipilih adalah perusahaan yang mapan. Kesulitan dan hambatan yang dialami pada tahun-tahun awal dapat ditekan sehingga energi yang tersedia dapat digunakan untuk meningkatkan keuntungan dan perkembangan bisnis. 11. Spekulator Banyak cara spekulator komoditas menemukan keuntungannya pada bisnis perumahan. Hal ini dapat diperoleh dengan bermacam cara: membeli dan menjual tanah setelah dikapling;
membeli
kawasan
rumah
yang
dapat
disewakan,
memperbaharui
lingkungannya, meningkatkan harga sewa dan kemudian menjualnya; atau membagi lagi tanah tersebut, sehingga meningkatkan harganya. Tanah juga dapat dipakai sebagai jaminan untuk suatu pinjaman. Tipe wirausaha ini memiliki potensi untuk memperoleh aset besar untuk mendapatkan balik modal. Komoditi lain, seperti barang antik, seni, dan perangko dapat juga menghasilkan keuntungan bisnis. 12. Wirausahawan yang menyimpang Wirausahawan ini membeli perusahaan yang memiliki masalah tetapi berpotensi untuk menghasilkan keuntungan. Ia mula-mula mengamati kelemahan bisnis tersebut, dan menawarnya dengan harga rendah. Wirausahawan ini kemudian menurunkan semua biaya dan pengeluaran untuk menekan kerugian, mengganti semua bidang yang tidak menguntungkan,
dan menambah
bidang
yang
menguntungkan. Biasanya
dia
merampingkan dan mengefesiensi bisnis. Kemudian bisnnis tersebut dijual kembali dengan memperoleh keuntungan. 13. Manipulator nilai Para manipulator nilai adalah seorang wirausahawan yang memperoleh aset dengan harga rendah, kemudian memanipulasi struktur keuangannya sehingga terlihat lebih berharga. Kemudian usaha tersebut dijual dengan harga yang lebih tinggi. Sebagai contoh, jika anggaran perusahaan menunjukkan rasio perbandingan yang tidak diinginkan, dan Anda ingin membujuk para pemberi kredit untuk mengundurkan waktu pembayaran utang, maka rasio perbandingan harus lebih besar, sehingga dapat menghasilkan nilai jual yang lebih tinggi. 14. Wirausahawan gaya hidup Seseorang yang menikmati fasilitas dari kesuksesannya dan memandang bisnis sebagai cara untuk memperoleh hidup lebih enak, dapat disebut sebagai wirausahawan yang mencari kepuasan hidup. Tipe orang ini tidak berminat terhadap bisnis yang dapat melibatkan masalah karyawan dan pengembangan karyawan, atau yang menyita banyak waktu dan biaya. Minat utamanya adalah penghasilan yang stabil. Sehingga orang ini mencari bisnis yang dapat bekerja dengan sendirinya dan ia hanya berfungsi
13
sebagai
pengontrol.
Biasanya
keberhasilan
wirausahawan
ini
tergantung
dari
banyaknya hubungan atau kontrak yang diadakannya disuatu cabang industri tertentu. 15. Manajer total Manajer total memantau bisnisnya dengan mengamati dan membimbingnya mulai dari awal sampai dapat memberikan keuntungan. Kepuasan pribadi diperoleh dari tantangan yang dihadapi selama pertumbuhan perusahaan dan mengatasi semua persoalan. Beberapa manajer total memiliki kualitas sebagai invereterate initiator. Orang ini memulai auatu perusahaan dengan maksud menjualnya kelak dan uangnya dapat dipakai untuk usaha berikutnya. Dilain pihak, orang ini juga tergoda untuk menjual bisnis tetapi ingin tetap sebagai manajer untuk memperoleh kepuasan melihat perusahaannya tumbuh. Tetapi tipe orang ini hanya dapat berhasil jika ia bekerja sendiri. Jika terdapat pembagian atau pemberian wewenang dari orang lain maka biasanya hubungan kerja tidak akan berlangsung dan bertahan lama untuk orang-orang tipe ini. 16. Konglomerat Konglomerat adalah jenis wirausahawan yang mengontrol suatu perusahaan kemudian dengan perusahaan induk ini ia membeli perusahaan lain. Salah satu teknik adalah membeli perusahaan-perusahaan dengan rasio pendapatan yang rendah dari perusahaan induk. Dengan akuisisi maka rasio pendapatan anak perusahaan akan meningkatkan total nilai perusahaan konglomerat. 17. Pengumpul modal Pengumpul modal memiliki kemampuan untuk mengumpulkan sejumlah besar uang, melalui investor atau pemberi kredit. 18. Matrilenial atau patrilenial Matrilenial atau paatrilenial adalah seseorang yang mengepalai bisnis milik keluarga. Keinginannya adalah untuk melanjutkan anggota keluarga mengontrol bisnis tersebut baik perusahaan yang dikelola pribadi atau dikelola umum. 19. Go publik Banyak wirausahawan memulai atau mendirikan perusahaan dengan maksud untuk menjadi perusahaan publik. Hal ini berarti perusahaan menjual sahamnya dipasar modal;
investor
yang
kemudian
membayar
sebagian
atau
keseluruhan,
dan
mendapatkan sebagian keuntungan dari investasi mereka.
Pemicu Kewirausahaan Banyak faktor yang dapat memicu seseorang menjadi wirausaha, ada yang menginginkan dirinya menjadi bos sendiri, memiliki peluang individual, ingin sukses dan menghimpun banyak kekayaaan, atau bahkan berpikir untuk memahami apa yang
14
dibutuhkan orang lain dari dirinya. Sehingga orang dapat dimotivasi oleh apa saja, namun tidak semua orang memiliki motivasi dan termotivasi pada sesuatu hal yang sama. Di negara lain mungkin orang memiliki motivasi mendirikan bisnis bukan mencari uang, melainkan ada motif yang lain dibaik itu. Adapula motivasi menjadi wirausaha yang terdorong oleh lingkungannya. Dan seperti bangsa Jepang yang pada awalnya merupakan negara tertinggal kini mampu menandingi negara maju seperti Amerika Serikat sekalipun. Dalam aspek lain keberanian membentuk kewirausahaan didorong oleh guru atau seorang dosen yang mengajar kewirausahaan, karena telah memberikan inspirasi dan minat untuk berwirausaha. Dorongan atau pemicu lainnya datang dari teman sepergaulan, lingkungan keluarga, sahabat dan teman yang selalu mendiskusikan ide dan gagasan. Mungkin karena sesuatu yang telah dilakukannnya baik dari pendidikan formal maupun pengalaman bisnis kecil-kecilan, sehingga dapat kita dikatakan bahwa kewirausahan bukan dilahirkan, melainkan dibangun - entrepreneur are not born-they develop (Hisrich-Peters, 1995:13). David C. McClelland (1961:207) juga mengemukakan bahwa kewirausahaan ditentukan oleh motif berprestasi, optimisme, sikap nilai, dan status kewirausahaan atau keberhasilan. Selanjutnya studi yang dilakukan oleh Russell M. Knight (1983) di Kanada juga menyimpulkan hal yang sama bahwa seorang wirausaha utamanya tidak dimotivasi oleh financial incentive, tetapi oleh keinginan untuk melepaskan diri dari lingkungannya yang tidak sesuai, di samping guna menemukan arti baru bagi kehidupannya.
Persoalan Dasar Kewirausahaan di Indonesia Apabila kita berkecimpung disektor bisnis, kita banyak dituntut lingkungan untuk terus berinisiatif, kreatif, dinamis, agresif dan selalu harus mampu mengantisipasi tuntutan lingkungan yang terus berturnbuh. ini semua justru mematangkan pola berpikir dan kehidupan kita untuk terus menempa jiwa wiraswasta kita. Istilah kewiraswastaan (entrepreneurship) sudah tidak asing lagi bagi masyarakat, walaupun maknanya belum begitu difahami benar. Masih banyak di antara kita belum menyadari pentingnya kewiraswastaan. Sektor bisnis yang sangat kompetitif dan peka terhadap pengaruh lingkungan, mutlak membutuhkan manusia wiraswasta, yang memiliki dinamika, motivasi, kreativitas dan inisiatif nyata. Mereka ini mampu bekerja sama dengan penuh tanggung jawab dalam setiap penugasan yang dibebankan kepadanya. Begitu pula, sektor pendidikan yang relatif tidak atau kurang kompetitif tetap membutuhkan manusia wiraswasta. Jangan beranggapan bahwa apabila kita ingin mendidik calon wiraswasta, kita sendiri tidak perlu berjiwa ataupun berprilaku sebagai wiraswasta. Ini keliru namanya. Kita
15
harus terlebih dulu menjiwai dan mempraktekkan kewiraswastaan tersebut, barulah kita akan berhasil mendidik orang lain. Saya kira keseluruhan aspek kehidupan manusia menuntut agar kewiraswastaan bertumbuh di sanubari masing-masing insan demi keberhasilannya dalam hidup ini. Penyebab Rendahnya Jiwa Wirausaha Harus diakui bahwa kegiatan yang lebih mementingkan hasil dan prestasi kerja, akan lebih mendorong terciptanya pola mekanisme kerja yang lebih obyektif. Sayang hal ini masih merupakan cita-cita belaka. Sebagian besar dari kita belum memiliki jiwa wiraswasta secara nyata. Jiwa ambtenaar masih mewarnai dan menghantui tingkah laku serta kebiasaan kita. Mengapa demikian ? Banyak faktor yang menyebabkannya. Mulai dari lingkungan keluarga sampai pada kebiasaan kerja atau praktek-praktek yang terjadi di masyarakat memang kurang mendukung tumbuhnya jiwa wiraswasta di kalangan masyarakat kita. Nilai-nilai yang diyakini masyarakat kita pada hakekatnya merupakan warisan sejarah kolonial. Struktur masyarakat memang kurang memberi peluang kepada pribumi bangsa kita untuk bisa menempa, mengembangkan atau memiliki jiwa wiraswasta yang baik. Struktur masyarakat pada masa kolonial sengaja diatur agar kita tidak bisa maju. Kesempatan untuk berkembang dibatasi. Pendidikan sangat dibatasi, hanya orang-orang tertentu saja yang memperoléh peluang untuk rnengenyam kemudahan pendidikan dengan baik. Mulai masa kanak-kanak sampai melangkah dewasa dan bekerja, kita kurang dibekali prinsip-prinsip, hidup positif. dinamis dan kreatif. Paling-paling kita diharapkan bisa mèmpelajari dari contoh-contoh yang terjadi di masyarakat melalui cara coba-coba. Kegiatan dan lapangan kerja dibatasi pula. Paling tinggi kita bisa bekerja sebagai pegawai negeri di kantor-kantor pemerintahan ini pun terbatas bagi orang-orang kaya dan keturunan bangsawan. Sebagian terbesar rakyat justru bekerja sebagai buruh dan petani kecil. Kegiatan di sektor ekonomi, perdagangan dan sektor bisnis lainnya diserahkan pada orang-orang Eropa dan golongan non pribumi. Sektor-sektor inilah yang sebenarnya mampu menempa kewiraswastaan kita. Tetapi justru kita kurang diberi kesempatan di bidang ini. Paling-paling satu dua, alias terbatas sekali jumlahnya. Apabila kita berkecimpung di sektor bisnis, kita banyak dituntut lingkungan untuk terus berinisiatif, kreatif, dinamis agresif dan selalu harus mampu mengantisipasi tuntutan lingkungan yang terus bertumbuh. ini semua justru mematangkan pola berpikir dan kehidupan kita untuk terus menempa jiwa wiraswasta kita. Tempo dulu orang kita kalau sudah bisa bekerja di kantor gubernemen. sebagai ambtenaar atau pegawai sudah merasa status sosialnya tinggi. Orang yang bekerja di luar
16
gubernemen dianggap sebagai masyarakat kelas dua atau rendah martabatnya. Kebiasaan ini sudah bertahun-tahun kita alami. Konsekuensinya jiwa ambtenaar telah merasuk ke lubuk hati kita dan telah menjadi keyakinan sebagian terbesar orang kita. Sampai kinipun hal ini masih tertekan. Sudah sejak kecil kita selalu dibebani gambaran bahwa menjadi pegawai adalah satu-satunya tujuan yang harus dicapai. Orang tua kita menginginkan agar anaknya bisa menjadi ambtenaar. Target yang harus diraih anaknya ialah menjadi pegawai kantoran saja. Prestige lebih diunggulkan dibandingkan dengan prestasi. Orang cenderung lebih memperhatikan gengsi dibandingkan kerja keras untuk berprestasi. Yang lebih di utamakan adalah kepentingan status pribadi ini semakin lama semakin berkembang negatif Lebih-lebih dengan pengaruh materialisme yang semakin menghantui kehidupan manusia. Kualitas dan prestasi kerja kurang diperhatikan bahkan nyaris diabaikan. Orang hanya mengejar kedudukan dan materi. Bahkan unit kerja yang menjadi favoritpun mempengaruhi gairah kerja setiap orang. Unit yang basah dirasa semakin penting dibanding dengan unit yang kering. Orang akhirnya akan selalu memperhatikan materi melulu, tidak melihat makna pekerjaan yang harus ditangani. Etika dan aturan permainan dalam organisasi diabaikan begitu saja. Fungsi manajemenpun tidak akan berperan baik. Akibatnya pola manajemen dan mekanisme organisasi tidak akan bisa terkendali. Sistem tidak akan mampu mengatur dan mengendalikan kegiatan organisasi. Individu yang menduduki pucuk pimpinan organisasi seharusnya mampu mengendalikan mekanisme kerja organisasi. Tetapi justru mereka kurang memperhatikan aktivitas organisasi secara utuh. Ia hanya mengutamakan kepentingan pribadinya demi kelangsungan dan kesinambungan posisi dan kedudukannya. Ia kurang memperhatikan detail operasional organisasi yang ia pimpin. Segala urusan teknis operasional dipercayakan kepada bawahan dengan otoritas yang dibatasi pula. Konsekuensinya, kelancaran operasionalpun akan terganggu. Sebab orang yang berhak mengambil keputusan berada jauh dari pihak yang membutuhkan keputusan tersebut. Kesenjangan komunikasi ini semakin menganga lebar dan pada gilirannya akan cukup merugikan organisasi secara keseluruhan. Perkembangan juga memperlihatkan adanya kecenderungan pucuk pimpinan untuk berusaha mendominasi organisasi. Otoritas sebagai Pimpinan dicoba untuk ditonjolkan. Segala sesuatu diarahkan agar tergantung pada pucuk pimpinan sepenuhnya. Sampaisampai sewaktu pimpinan menjalankan cutipun, semua pekerjaan terpaksa harus menunggu sampai ia kembali bertugas. Merah-hitamnya organisasi beserta nasib anggotanya tergantung belas kasihan beliau. Dialah yang berwenang mengatur segalanya. Masyarakat serta lembaga pendidikan benar-benar dituntut peran-sertanya untuk
17
bersama - sama pemerintah memikirkan tersusunnya dan terlaksananya pola pendidikan yang integral. Praktek-praktek demikian telah mampu meruntuhkan jiwa wiraswasta, jiwa mandiri ataupun kemauan bekerja keras bagi setiap pendatang dalam organisasi. Orang yang baru meninggalkan bangku sekolah atau universitas, setelah melihat, merasakan dan mengalami sendiri, idealisme mereka akan mudah luntur atau hilang. Ia akan larut ke dalam arus materialistis, egoisme individu dan berorientasi pada status saja. Pengetahuan manajemen ataupun pengetahuan lain yang sempat diperoleh selama studi akan tersimpan rapat dalam benaknva tanpa perlu dipraktekkan atau diamalkan demi kepentingan masyarakat banyak. Inisiatif ataupun kreativitas seseorang akan mudah hilang lenyap dalam kemelut demikian. Apabila kita mau mengkaji semuanya itu, ternyata hal tersebut wajar kalau terjadi demikian. Sebab sudah sejak kecil kita secara tidak sadar telah diarahkan untuk memiliki nilai-nilai hidup demikian. Mulai masa kanak-kanak sampai melangkah dewasa dan bekerja, kita kurang dibekali prinsip-prinsip hidup positif, dinamis dan kreatif. Paling-paling kita diharapkan bisa mempelajari dan contoh-contoh yang terjadi di masyarakat melalui cara coba-coba. Ya, kalau ketemu contoh yang baik. Tetapi kalau terus-menerus dihadapkan pada hal-hal yang negatif, kemungkinan besar pola berpikir kitapun akan negatif.
Masa Pra-Sekolah Umar kalau sudah besar mau jadi Apa ? Jadi dokter begitu jawab bocah berusia 5 tahun yang bernama Umar. Ya sejak kecil kita memang sudah diajari untuk memiliki citacita semacam dokter, Insinyur, guru dan pekerjaan formal lainnya yang Kyosaki menyebutnya sebagi self employee. Jarang orangtua kita mengajarkan, mengarahkan dan membimbing kita untuk jadi pengusaha. Pemikiran seperti itu bisa dimaklumi dalam masyarakat kita yang mementingkan status dan kedudukan social yang mapan disamping peran cultural sebagai sisa-sia penjajahan yang begitu lama. Sejak kanak-kanak kita sudah terbiasa dihadapkan pada kenyataan hidup yang sebenarnya cukup merugikan pertumbuhan jiwa dan pribadi kita di kemudian hari. Lebihlebih bagi masyarakat masa kini yang sudah termasuk golongan masyarakat dengan kehidupan ekonomi atau sosial cukup baik. Pola kehidupannya ternyata kurang menguntungkan pendidikan anak-anak mereka sendiri. Karena kecukupan materi anak dibiasakan diasuh, didampingi pembantu, istilah kerennya baby – sitter. Segala kebutuhannya diatur dan disediakan oleh si pembantu. Ia dimanja oleh lingkungan keluarga. Akibatnya ia akan suka memerintah, tahu beres saja. Ia tidak pernah mau berusaha sendiri. Ia selalu menggantungkan diri pada orang lain. Dari kecil kita sudah diajari pula untuk membatasi diri pada lingkungan hidup tertentu saja. Muncullah pengelompokan-pengelompokan dalam masyarakat yang non-formal
18
sifatnya. Sebagai keturunan orang gedongan, ia tidak diperkenankan sembarangan bergaul. Ia diisolir oleh gambaran-gambaran yang bisa meracuni keyakinan hidupnya di kemudian hari. Konsekuensinya ia akan bisa menutup diri dan hanya bergaul dengan sekelompok masyarakat tertentu saja. Pandangan hidup dan pola berpikirnya akan sempit dan kerdil. Kebiasaan ini nantinya akan dapat mernpertebal orientasinya yang hanya menitik beratkan pada gengsi-gengsian atau status saya, kalau ia memang tidak dibekali prinsip-prinsip hidup yang kokoh. Bagi orang berada, segala kebutuhan, keperluan anak selaiu tersedia. Pokoknya tugas anak hanya sekolah dan belajar. Pendekatan rnanusiawi oleh kedua orang tua dalam masa pendidikan banyak terlupakan.
Masa Sekolah Sewaktu mendaftarkan diri masuk sekolah mulai dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi, anak-anak sudah dibiasakan dibantu orang tua. Ini dilakukan dengan dalih bahwa untuk bisa masuk sekolah atau mendaftarkan diri sering ada uang ini dan itu. Yang dapat mengatur hal tersebut hanyalah orang tua. Akibatnya anak-anak kurang dididik untuk bisa berusaha sendiri. Minimal mulai masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, seyogyanya anak-anak mulai diarahkan untuk berusaha mendaftarkan sendiri. Bahkan sering pula terjadi bahwa jurusan pendidikan yang harus diikuti anak-anak juga diatur berdasarkan keinginan orang tua. Pergi ke sekolahpun selalu diantar oleh orang tua atau pembantu. Ada yang diantar dengan mobil, motor ataupun sepeda. Ada yang harus sewa becak atau minibus antar jemput secara bulanan. lni wajar diiakukan untuk anak kecil bukan untuk remaja, karena kondisi transportasi memang kurang memungkinkan. Syukur apabila sekolah-sekolah, melalui KOPERASI SEKOLAH misalnya, bisa menyediakan kendaraan antar jemput, sekalipun harus membayar bulanan. Karena hal ini akan dapat mendidik anak-anak untuk berusaha sendiri, berinisiatif dan mulai mandiri. Lalu dilepas dari sifat ketergantungannya pada orang lain. Anak-anak diberi kebebasan memang baik. Tetapi jangan pula sampai jorjoran seperti sekarang atau mereka (siswa SLTP/SLTA) sudah diperbolehkan membawa mobil sendiri ke sekolahan. Penggunaan sepeda motor-pun seyogyanya bisa dibatasi dengan disediakannya kemudahan transportasi yang nyaman aman. Satu dan lain untuk mencegah persaingan yang tidak sehat serta tumbuhnya kecongkakan kekuasaan yang bisa menekan wibawa para pendidik. Pola pendidikan di negara kita memang belum memikirkan secara menyeluruh demikian Pemerintah baru berusaha membenahi sistem dan kurikulum péndidikan yang memang harus segera ditangani secara serius. Di sini masyarakat serta lembaga pendidikan benar-benar dituntut peran sertanya Untuk bersama-sama pemerintah
19
memikirkan tersusunnya dan terlaksananya pola pendidikan yang integral. Jadi orangtua wajib ikut berperan aktif dalam menata masa depan anaknya dengan menumbuhkan kemandirian si anak. Jangan hanya memanjakan saja. Jangan hanya menyerahkan kepada lembaga pendidikan untuk membentuk watak dan kepribadiannya. Dewasa inipun kita sering mendengar apabila seorang anak tidak naik kelas, tidak lulus ujian atau tidak diterima masuk sesuatu sekolah, orang tuanya segera tampil untuk mengatasinya. Dengan kekuasaanya, entah berupa gertak dan atau kekayaan, ia memaksa agar anaknya dinaikkan, diluluskan atau diterima saja. Kenyataan ini nampak sudah biasa atau sudah jamak di masyarakat kita. Sistem backing bertumbuh. Muncullah kecongkakan kekuasaan atas diri anak-anak. Begitu ada masalah, anak-anak berlindung pada Babenya untuk minta bantuan. Akhirnya si anak tidak akan menjadi orang berprinsip ataupun menjadi orang yang penuh tanggung jawab. Ini berbahaya. Sistem pendidikan yang kurang membantu bertumbuhnya inisiatif, dinamika ataupun kreativitas anak didik. Murid secara pasif hanya mendengarkan teori yang dikemukakan oleh sang guru. Sifat pelajaran relatif banyak hafalan. Baru sekarang ini saja sifat pelajaran yang menanamkan pengertian mulai diajarkan. Murid kurang pula dibekali dengan pemberian pengertian melalui gambaran kenyataan hidup yang ada. Bahkan penyediaan bahan bacaan yang terbatas kurang membantu peningkatan pengetahuan anak didik. Untunglah dewasa ini Pemerintah mulai menjamah dan menangani hal tersebut secara lebih serius. Pola dan sistem pendidikan yang partisipatif secara bertahap nampak ditumbuhkan. Disamping itu, banyak dari kita kurang menyadari bahwa kita semua wajib belajar dengan cara melihat, mengamati, mendengarkan, merasakan atau mengalami langsung. Saat ini masih banyak kecenderungan orang untuk hanya mendengarkan kata guru atau dosen dan membaca buku pelajaran saja. Kita relatif belum mendayagunakan kelima indera kita untuk mendengarkan dan melihat kenyataan hidup yang kita alami. Perkembangan lingkungan kehidupan kitapun nyaris tidak diperhatikan sama sekali. Akibatnya banyak dari kita memisahkan secara nyata antara teori dengan praktek. Kita kurang meyakini akan pentingnya ilmu pengetahuan yang kita peroleh demi keberhasilan hidup kita. Kita sudah cukup banyak mencetak tenaga-tenaga sarjana yang diharapkan akan mampu
menumbuhkan
serta
menciptakan
manager-manager
profesional
dengan
kapabilitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi nyatanya hal tersebut masih merupakan harapan. Kemampuan para cendekiawan untuk mengembangkan buah pikirannya nampak masih terbatas, karena mereka kurang mau berusaha untuk itu. Apalagi sebagian besar dari sarjana kita begitu selesai studinya berhenti belajar. Ia kurang berusaha untuk mengkaji terus kenyataan - kenyataan yang ada untuk diolah secara ilmiah.
20
Kerja ya kerja. Baca buku dianggap buang tempo atau dianggap teoritis melulu dan ini tidak perlu. Yang penting praktek. Kalaupun ada yang berkeinginan untuk membaca, ternyata harga bukunya pun tidak terjangkau oleh kantongnya. Orang tua dalam mendidik anak-anaknya pun kurang memikirkan perlunya inisiatif dan kepribadian anak ditumbuhkan. Orang tua selalu mengarahkan agar anaknya memilih jurusan yang dianggap menguntungkan kehidupan materi dikemudian hari, sekalipun yang bersangkutan tidak mampu untuk studi di bidang tersebut. Keinginan orang tua harus dituruti. Kepribadian anak sering terguncang akibatnya. Ia tidak sempat memupuk kepercayaan diri ataupun menumbuhkan prinsip hidup yang kokoh agar bisa hidup mandiri. Bagi orang berada, segala kebutuhan, keperluan anak selalu tersedia. Pokoknya tugas anak hanya sekolah dan belajar. Pendekatan manusiawi oleh kedua orang tua dalam masa pendidikan banyak terlupakan. Orang tua sibuk dengan urusannya. Mereka menganggap materi yang disediakan bagi anak-anaknya sudah lebih dan cukup. Kalau sudah menyediakan Segala kebutuhan materi anak, orang tua merasa bahwa ia sudah mampu berperan sebagai orang tua yang penuh tanggung jawab. Mereka lupa bahwa ia berkewajiban memberikan dasar pandangan hidup, keyakinan hidup serta membimbing kehidupan rohaninya. Bahkan tidak jarang terjadi dalam suatu keluarga adanya kesenjangan komunikasi yang dalam antara orang tua dengan anak-anaknya. Pendidikan non-formal yang banyak kita temui, kita alami dalam kenyataan hidup bermasyarakat, justru yang paling banyak membentuk pola berpikir dan sikap hidup kita. Inipun kalau kita benar- benar bersikap antisipasif terhadap lingkungan hidup dan kerja kita. Unsur materialisme saat ini memang sangat mencekam kehidupan kita semua. Segala sesuatunya diukur hanya dengan nilai uang. Uang dan materilah yang menentukan segala - galanya. Anak-anak orang berada, di sekolahnya pun bertingkah dan dihinggapi kecongkakan kekuasaan. Dengan kekayaannya mereka memberikan warna pergaulan hidup yang kurang baik sok kuasa dan meremehkan orang lain. Keadaan demikian merupakan konsekuensi logis tidak atau kurang berfungsinva orang tua sebagai pengayom dan panutan anak-anaknya. Bapak sebagai kepala keluarga sudah disibukkan dengan urusan kantor, bisnis, rapat, sidang, urusan golf sampai program jantung sehat segala. Sang lbu tak kalah sibuk. Aktif dengan organisasi wanita, kegiatan sosial dan pertemuan-pertemuan lain sebagai pendamping suami yang notabene diwajibkan demi kemajuan atau kelangsungan kedudukan sang suami. Luruhlah posisi dan peranan keluarga sebagai lembaga pendidikan non-formal terpenting bagi pertumbuhan personalitas serta kematangan pola berpikir si anak. Bahkan secara tidak sadar banyak orang tua sudah melepaskan tanggung jawabnya sebagai pendidik watak dan kepribadian anak mereka. Akibatnya pertumbuhan kepribadian, kepercayaan diri ataupun keyakinan hidup si anak tidak bisa bertumbuh stabil. Tanpa bekal
21
iman dan kepribadian dari rumah secara mantap, anak-anak akan mudah diguncang oleh pengaruh lingkungan. Mereka mudah terombang-ambing karena memang belum memiliki prinsip hidup yang mantap. Pendidikan formal tidak cukup sebagai bekal hidup di masyarakat yang telah banyak dipengaruhi unsur-unsur materialisme dan kemajuan teknologi. Tanpa bekal yang kuat, orang akan mudah mengagungkan materi di atas segala-galanya. Kehidupan materialistis ini jelas lebih banyak berpengaruh negatif terhadap perilaku manusia. Orang hanya akan menghargai sesamanya diukur dari harta atau status sosialnya saja. Saat ini pun sudah banyak contoh dan buktinya. Lain pula dengan golongan yang kurang begitu mampu, yang kehidupan ekonominya cukupan saja. Hasrat dan kemauan belajarnya umumnya tinggi. Mereka mau menghayati dan memahami makna kesulitan hidup. Kreativitas dan inisiatif akan mudah bertumbuh karena memang harus benar-benar berjuang untuk hidup. Mereka umumnya memiliki pandangan hidup atau pegangan hidup yang baik. Mereka tahan uji, tahan dari hantaman dan percobaan. Mereka umumnya tekun dan ulet dalam perjuangan hidupnya. Kenyàtaan ini bisa kita lihat dari pola kehidupan bapak-bapak kita yang mengalami pahit getirnya perjuangan fisik dibandingkan dengan pola kehidupan anak-anak beliau yang relatif berkecukupan dalam kehidupannya di masa pembangunan ini. Karena kerasnya perjuangan fisik dan pahitnya kehidupan tempo dulu, bapak-bapak tersebut cukup ulet, tabah dan pantang menyerah sehingga sekarang beliau hidup sukses. Pengalaman pahit demikian inilah yang banyak mendorong mereka untuk cenderung memanjakan anak-anaknya supaya jangan ikut merasakan getirnya kehidupan yang pernah dialaminya. Akibatnya bisa kita lihat dalam kehidupan sekarang ini. Banyak anak kurang memiliki disiplin, inisiatif ataupun kreativitas yang tinggi. Lingkungan kehidupan telah memanjakan dan menina-bobokannya sehingga mereka tidak bisa hidup mandiri. Guna membenahi ini semua dan untuk menumbuhkan jiwa wiraswasta di kalangan masyarakat, perlu kiranya dibenahi pola pendidikan kita secara menyeluruh. Untuk itu, antara Pemerintah dengan masyarakat harus terjalin kerjasama yang saling mendukung. lnterdependensi antar seluruh anggota masyarakat harus bisa dikembang-tumbuhkan ke arah yang lebih positif. Lembaga pendidikan tidak akan mampu membentuk pribadi-pribadi manusia yang tangguh tanpa peran serta anggota masyarakat secara nyata. Orangtua wajib membekali dasar pembentukan watak dan kepribadian serta keyakinan anakanaknya. Masyarakat wajib ikut serta mengendalikan atau mengamankan pola pengaturan tatanan masyarakat sesuai peraturan yang berlaku. Pemerintah dan unsur masvarakat lainnya aktif melaksanakan kegiatan pendidikan secara integral.
22
Masa Pendewasaan Pematangan pola berpikir harus terus dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat ini. Bukan berarti kalau kita sudah selesai atau tamat sekolah, kesempatan belajarnya pun terhenti. Proses belajar sebenarnya tidak akan ada henti-hentinya selama hayat dikandung badan. Proses ini dilakukan dengan memanfaatkan seluruh indera kita semaksimal mungkin. Pendidikan non-formal yang banyak kita temui, kita alami dalam kenyataan hidup bermasyarakat, justru yang paling banyak membentuk pola berpikir dan sikap hidup kita. Inipun kalau kita benar-benar bersikap antisipatif terhadap lingkungan hidup dan kerja kita. Kita belajar dari hasil membaca, melihat kenyataan, mendengarkan pengalamanpengalaman orang lain, merasakan dan mengalami sendiri suatu kejadian. Dari pengalaman kita inilah, kita akan mampu mengkaji sesuatu dan mematangkan kemampuan kita. Dari pola atau cara belajar demikianlah, masa pendewasaan tersebut harus kita lalui sehingga pola berpikir kita akan semakin matang, luas, mendalam dan mantap. Dalam mengkaji pengalaman tersebut, kita harus pandai-pandai menyaring agar diperoleh hasil akhir yang justru mematangkan pola berpikir kita. Selama proses pendewasaan demikianlah, saya rasa letak titik kritisnya. Banyak orang merasa kalau sudah bekerja dan berkeluarga, sasaran utamanya ialah mencari uang saja. Lain tidak. Segala upaya difokuskan untuk itu. Sejalan dengan upaya tersebut, setiap orang minimal akan berusaha untuk bisa meraih kedudukan , posisi ataupun status demi prestige dan gengsinya dalam kehidupan masyarakat. Berkembanglah praktek-praktek yang membawa ekses negatif bagi pola manajemen serta mekanisme organisasi. Kenyataan ini diperburuk dengan semakin kompleksnya perkembangan organisasi. Dalam organisasi yang membengkak timbul berbagai ekses yang cukup menghambat pertumbuhan manajemen. Antara lain timbulnya klik dan koncoisme. Sistem manajemen atau sistem operasional akan kurang bermakna karena aktivitas organisasi sepenuhnya berkiblat pada selera pucuk pimpinan. Pola manajemen dan mekanisme organisasi semacam ini wajar akan muncul bertambah mengingat latar belakang kehidupan keluarga, sosial dan masyarakat yang kita alami memang kurang menguntungkan. Kita sebagai masyarakat panutan ternyata kurang konsekuen sebab banyak senior kita yang justru kurang bisa berperan sebagai panutan yang baik. Lagi pula lingkungan kerja kitapun kurang mendorong bertumbuhnya jiwa wiraswasta yang mandiri dalam sanubari pegawai, dimana pegawai seyogyanya merupakan tenaga PILAR suatu organisasi. Tenaga PILAR yakni tenaga yang memiliki karakteristik berikut : 1. “Pandai”. Tingkat kepandaiannya dapat diandalkan. 2. “Inisiatif”. Kemampuan untuk mengambil inisiatif tampak nyata. 3. “Lugas”. Sifat hidupnya jujur dan tegas penuh disiplin serta tanggung jawab.
23
4.”Antisipatif”. Kemampuan untuk terhadap perkembangan lingkungan hidup atau kerjanya cukup baik. 5. ”Rasional”. Pola berpikirnya sangat rasional. Seyogyanya kalau senioritas digunakan sebagai dasar penilaian pegawai, maka kita harus menganut makna senioritas yang murni tanpa mengurangi unsur prestasi
Sistem
senioritas tetap bisa dimanfaatkan asal digabungkan dengan sistem penilaian prestasi yang berlandaskan kematangan atau kedewasaan pola berpikir pegawai. Dalam prakteknya. Pucuk Pimpinanlah yang menentukan segala-galanya. Pola kerja demikian sangat merugikan organisasi. Pendapat pribadi pegawai sulit dilontarkan, Bahkan nyaris tidak diberi hak untuk mengemukakan pandangannya. Selama ini tenaga-tenaga PILAR sulit dikembangkan karena memang kita sudah terlena, sudah terbawa arus pola berpikir yang lebih mementingkan prestige dibandingkan dengan prestasi.
1. UNSUR SENIORITAS Dalam masyarakat paternalistik atau panutan, unsur senioritas sangat diperhatikan. Tetapi yang diperhatikan nampaknya baru senioritas dalam arti sempit yakni hanya dilihat masa kerjanya, bukan ketrampilan atau kemampuan pegawai yang dapat diperoleh selama masa kerja tersebut. Masa kerja pegawai sudah 15 (lima belas) tahun. Hanya saja selama itu pegawai kurang mau atau mampu berusaha untuk menghayati dan mendalami sifat atau karakteristik serta detail penugasan
yang dibebankan kepadanya. Keluasan dan
kedalaman penguasaan tugas yang bersangkutanpun setingkat dengan pengalaman kerja selama 1 (satu) tahun saja. Seyogyanya, seseorang dikatakan sudah berpengalaman kerja atau bisa dikatakan pejabat senior, apabila ia benar-benar a. Berpengalaman kerja yang dapat diandalkan bobot dan kadarnya. b. Berpengetahuan dan memiliki pandangan yang luas. c. Memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup dalam, serta d. memiliki pola berpikir yang matang dan mantap. e. Memiliki kearifan (wisdom) Apabila kita mau menganut sistem senioritas, ya harus konsekuen. Jangan hanya karena ia sudah lama bekerja lantas dikatakan senior. Unsur pengalaman sesuai penempatan tidak dihiraukan, sehingga arti senior sudah tidak murni lagi dan memberikan citra yang kurang baik. Seyogyanya kalau senioritas digunakan sebagai dasar penilaian pegawai, maka kita harus menganut makna senioritas yang murni tanpa mengurangi unsur prestasi. Tegasnya kita wajib melakukan pelurusan sistem senioritas yang selaras dengan keyakinan masyarakat kita. Melalui pendidikan dan pembinaan yang mendasar dan integral,
24
diharapkan kita bisa mulai meluruskan sistem dan mekanisme pengorganisasian setiap unit kerja. Sistem senioritas tetap bisa dimanfaatkan asal digabungkan dengan sistem penilaian prestasi yang berlandaskan kematangan atau kedewasaan pola berpikir pegawai,
2. MEKANISME PENGAMBILAN KEPUTUSAN Pengambilan keputusan dalam suatu organisasi di negara kita, sebagian terbesar dilakukan kelompok (oleh kelompok PIMPINAN) yakni berlandaskan musyawarah dan mufakat. Demikian pula keputusan yang sifatnya penting. Sayangnya, cara demikian kurang dilakukan secara konsisten , hanya setengah-tengah saja. Dengan dalih musyawarah untuk mufakat, dalam suatu organisasi sering diadakan rapat ataupun pertemuan-pertemuan konsultatif. Apapun nama pertemuan tersebut, tetapi setiap keputusan rapat relatif tidak ada yang mengikat sifatnya. Keputusan rapat nampaknya hanya sekedar keputusan di atas kertas. Dalam prakteknya, Pucuk Pimpinanlah yang menentukan segala-galanya. Pola kerja demikian sangat merugikan organisasi. Pendapat pribadi pegawai sulit dilontarkan bahkan nyaris tidak diberi hak untuk pendapatnya. Akibatnya, inisiatif, kreativitas pegawai memudar, atau malah mati impoten. Dan ini membuat kesenjangan semakin dalam. Pada gilirannya pimpinan akan kurang mampu menghayati posisi organisasinya secara obyektif lagi. Marilah kita renungkan benar-benar, apakah dengan pola kerja demikian, partisipasi pegawai dalam organisasi dapat dikembang-tumbuhkan? Sulit untuk dikatakan saya kira. Sebab nampak adanya kecenderungan pola manajemen yang otoriterlah yang akan berkembang subur.
Dan kalau diamati, tindakan otoriter tersebut sebenarnya sebagai
akibat ketidak atau kekurang-matangan para senior dan kekurang-mampuan kita mengartikan istilah beserta makna : - Senioritas dan sistem pembinaan pegawai, - Pola pengambilan keputusan secara musyawarah/mufakat serta - Pola manajemen yang partisipatif. Perbaikan pola manajemen sebenarnya bisa terus digalakkan asalkan Pucuk Pimpinan dan seluruh jajaran Pimpinan organisasi benar-benar sadar akan perlunya perbaikan tersebut.
Daftar Pustaka 1. Suharyadi, Arissetyanto Nugroho, Purwanto S.K., Maman Faturohman, 2007. Kewirausahaan, Membangun Usaha Sukses Sejak Usia Muda, Salemba Empat. 2. Calvin R. J. 2002. Entrepreneurial Management. McGraw-Hill. New York.
25
3. Cooper A.C., S. A. Alvarez, A. A. Carera. 2006. Entrepreneurial Strategies: New Technologies in Emerging Markets. Blackwell Publising. Australia. 4. Dollinger M. J., 2003. Entrepreneurship Strategies and Resources. Printice Hall. Ney Jersey. 5. Hitt M. A., R. D. Ireland. 2002. Strategic Entrepreneurship; Creating a New Mindset. Blackwell Publishing. United Kingdom. 6. Hendrowinoto N., dkk. 2005. H. Probosutedjo Merindukan Kesejahteraan Rakyat Jelata. Mercu Buana University Press. Jakarta. 7. Longenecker, J. G., C. W. Moore., J.W. Petty. Kewirausahaan Manajemen Bisnis Kecil. Salemba Empat. Jakarta, 8. Lupiyoadi, R. 2004. Entrepreneurship: From Mindset to Strategy. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Jakarta. 9. Kao J. J. 1989. Entrepreneurship, Creativity and Organization. School. Printice-Hall. New Jersey.
Harvard business
10. Seng, W. A. 2006. Rahasia Bisnis Orang Cina. Hikmah. Jakarta. 11. Suharno B., 2006. Langkah jitu memulai Bisnis dari Nol. Penebar Swadaya. Jakarta. 12. Kuratko D. F. and R. M. Hodgetts. 2004. Entrepreneurship, Theory, Process, Practice. Thomson. Australia. 13. Lambing P., and C. R. Kuehl. Entrepreneurship. 2000. Prentice-Hall Inc. New Jersey. 14. Zimmerer, W. T. dan N. M. Scarborough. 1998. Manajemen Bisnis Kecil. PT. Indeks. Jakarta.
Pengantar Kewirausahaan dan
15. Riyanti B. P. D. 2003. Kewirausahaan Dari Sudut Pandang Psikologi Kepribadian. Grasindo. Jakarta. 16. Widyatmoko A., 2006. 100 Peluang Usaha. Agromedia Pustaka. Tangerang. 17. Zubir Z. 2005. Studi Kelayakan Usaha. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. 18. Zimmerer, W. T. Dan N. M. Scarborough. 2005. Pengantar Kewirausahaan dan Manajemen Binsnis Kecil. Ed. Keempat. PT. Indeks. Jakarta. 19. Suryana, 2006. Kewirausahaan Pedoman Praktis: Kiat dan Proses Menuju Sukses, Ed. 3. Salemba Empat. Jakarta. 20. Kasmir. 2006. Kewirausahaan. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta 21. Alma, B. 2005. Kewirausahaan. Alfabeta. Bandung
26