PERSEPSI WANITA TERHADAP PERAN POLITIK WANITA SEBAGAI ANGGOTA LEGISLATIF Totok Suyanto dan I Made Arsana* Abstract UU No. 23/2003 has stated that women representatives in legislative institutions, either in the levels of regencies, provinces, or national level should be given the proportion of 30% of the total number of representatives. However, this is not fulfilled. In reality, the proportion of women representatives in the legislative institution only reached no more than 10% of the total number of representatives. Key words: women constituents, self-actualization, representation of women. A. Pendahuluan Salah satu isu menonjol dari pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) tahun 2004 adalah munculnya tentang kuota keterwakilan bagi perempuan sekurangkurangnya 30% untuk duduk sebagai calon anggota legislative baik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dalam pasal 65 ayat (1) UU RI Nomor 23 tahun tentang “Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD” dijelaskan sebagai berikut: “Setiap Partai Politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Dalam kuota keterwakilan perempuan di DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebanyak 30 persen dapat dipandang sebagai refleksi dari semakin menguatnya tuntutan untuk melihat peran (politik) perempuan yang lebih obyektif dalam pembangunan nasional. Isu tentang peran wanita dalam pembangunan pertama kali diangkat ke permukaan oleh Ester Boserup pada tahun 1970-an dalam bukunya Woman's Role in Economic Development. Menurut Boserup (Caraway, 1998) pembangunan seringkali berdampak negatif terhadap perempuan. Menurutnya, pembagian kerja tradisional anatara laki-laki dan perempuan dihancurkan dalam proses pembangunan, dan dalam pembagian kerja yang baru ini perempuan seringkali dirugikan. Jika secara tradisional perempuan mempunyai peran penting di bidang pertanian misalnya, *
10
Drs. Totok Suyanto, M.Pd. dan Drs. I. Made Arsana staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 2/No. 1/Juni 2006, ISSN 1858-4845
kini karena teknologi baru peranan tersebut dialihkan kepada laki-laki, perempuan kehilangan pekerjaan. Terdapat tiga peranan yang ditonjolkan wanita dalam pembangunan, yaitu (1) wanita sebagai sumber daya manusia dalam pembangunan, (2) perempuan sebagai pembina keluarga, dan (3) perempuan sebagai pelaku pembangunan (Caraway, 1998) Pengertian yang pertama menggarisbawahi peranan perempuan di bidang ekonomi, dan yang kedua, lebih menekankan akan peran perempuan sebagai ibu. Yang ketiga, perempuan sebagai pelaku pembangunan, tercatum hal-hal yang bersifat non-ekonomi yang berkaitan dengan pembangunan, misalnya berkaitan dengan peran perempuan dalam bidang politik. Dibandingkan dengan peran wanita dalam bidang-bidang yang bersifat ekonomi dan sebagaiibu, peran wanita dalam bidang politik belum banyak mendapatkan perhatian dari masyarakat. Hal itu disebabkan munculnya anggapan yang kuat yang berkembang di masyarakat bahwa dunia politik adalah dunia laki-laki dan bukan dunia perempuan. Padahal jika orang mau menelusuri sejarah bangsa ini maka kita akan mencatat nama-nama besar perempuan yang ikut memberikan andil bagi terwujudnya kemerdekaan negeri ini. R.A.Kartini, Dewi Sartika, dan Tjoet Nya' Din adalah beberapa contoh dari sejumlah perempuan yang memiliki andil yang besar bagi perjuangan bangsa ini sehingga sampai mengenyam kemerdekaan. Menilik berbagai peran diemban oleh para tokoh di atas dalam proses perjuangan dan pergerakan nasional maka tidak berlebihan kiranya jika dinyatakan bahwa sebenarnya sudah lama perempuan di negeri ini telah terjun di bidang politik. Jika kemudian yang berkembang adalah realitas yang sebaliknya, yakni peminggiran perempuan dari arena politik, hal itu sematamata dapat dipandang sebagai upaya-upaya yang sistematis (terutama oleh pemerintah Orde Baru) untuk membatasi peran wanita dalam pembangunan. Sementara itu K.H.Abdurrahman Wahid atau yang biasa dipanggil Gus Dur menyatakan adalah tidak masuk akal apabila isu politik tak berkaitan dengan isu perempuan. Artinya, berbagai pendekatan dan paradigma pembangunan yang mendisposisi dan mengkonstruksikan perempuan dalam posisi yang marjinal (sebagaimana terjadi dalam era Orde Baru) akan semakin tidak memperoleh tempat dalam arus reformasi sekarang ini (Kompas, 1211/1999). Dengan kata lain, isu wanita secara integral berkaitan dengan tatanan kehidupan berbangsa dan negara Harus diakui bahwa jumlah keterwakilan perempuan dalam bidang politik relatif minimaI. Hal itu tercermin antara lain dalam keanggotaan perempuan sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi, maupun DPRD Kabupatenm/Kota sebagai hasil dan Pemilu yang secara umum jumIahnya di bawah angka 10 persen dari seluruh anggota. Sebagai gambaran dari kondisi di atas dapat dilihat pada data tentang perbandingan anggota perempuan di legislatif berikut ini:
11
Totok Suyanto dan I Made Arsana, Persepsi Wanita Terhadap Peran Politik Wanita Sebagai Anggota Legislatif
Tabel 1 Perbandingan Anggota Perempuan Di Legislatif LEMBAGA
JUMLAH
ANGGOTA
PROSENTASE
ANGGOTA
PEREMPUAN
DPR RI
495 Orang
45 Orang
9,09
DPRD Jawa Tengah
100 Orang
6 Orang
6,00
DPRD DIY
55 Orang
5 Orang
9,09
Sumber: Kompas, 17 Maret 2003 Dan tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa rerata jumlah keterwakilan perempuan secara nasional maupun regional di lembaga legislatif di bawah angka 10 persen. Kondisi di atas jelas menggambarkan situasi ketidak adilan, mengingat jumlah terbesar pemilih dalam pemilu tahun 2004 adalah perempuan. Karena ini peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di lembaga legislatif jelas merupakan keharusan. Sementara itu dalain laporan tahunan Bank Dunia tahun 2001 menunjukkan bahwa peningkatan jumlah wanita untuk terjun di sektor publik (termasuk di dalamnya di bidang politik) telah memberikan kontribusi terutama dalam penegakan kedisiplinan. hasil penelitian Bank Dunia yang dipaparkan dalain Engendering Development (2001) menunjukkan Jumlah perempuan yang lebih besar di dalam kehidupan publik, maka tingkat korupsi menurun. Sementara itu dari hasil analisis yang didasarkan pada data yang dikumpulkan dalam World Value Surveys dari 18 negara pada tahun' 1981 dan dari 43 negara pada tahun 1991 menunjukkan bahwa perempuan lebih kurang bisa menerima perbuatan tidak jujur dan yang bersifat illegal dibandingkan dengan laki laki (Kompas, 10/2/2003). Selain itu survei pada perusahaan-perusahaan juga menunjukkan, perempuan yang memiliki usaha lebih sedikit memberi sogok kepada aparat pemerintah dibandingkan laki-laki. Sebuah penelitian terhadap 350 perusahaan di negara Georgia menyimpulkan bahwa perusahaan yang dikelola atau dimiliki laki-laki memiliki kecenderungan 10 persen Iebih tinggi untuk melakukan pembayaran tak resmi kepada aparat dibandingkan mitra mereka yang perempuan. Penelitian lain yang disebutkan oleh laporan Bank Dunia itu juga menunjukkan bahwa pemenuhan hak-hak sosial dan ekonomi perempuan berkorelasi negatif dengan tingginya angka konipsi di suatu negara. Artinya, bila hak-hak sosial dan ekonomi perempuan dipenuhi, angka korupsi juga menunjukkan tingkat lebih rendah. Selain hak-hak perempuan, patisipasi perempuan yang lebih tinggi di dalam politik atau sebagai angkatan kerja berkolerasi positif degan fenomena
12
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 2/No. 1/Juni 2006, ISSN 1858-4845
korupsi. Korupsi berkurang secara nyata ketika proporsi perempuan di parlemen meningkat mengontrol pendapatan negara dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi jalannya korupsi, termasuk kebebasan warga negara, keterbukaan perdagangan, dan perpecahan etnis (Kompas, 10/2/2003). Hasil-hasil penelitian di atas memberi tambahan dukungan tentang pentingnya meningkatkan jumlah di politik serta angkatan kerja, karena mereka bias menjadi kekuatan efektif untuk terbentuknya pemerintahan yang baik serta kepercayaan binis. Untuk kondisi bangsa Indonesia baik yang saat ini sedang mengalaimi situasi yang penuh carut-marut akibat krisis multidimensional, peningkatan jumlah perempuan dalam lembaga legialtif barangkali dapat memberikan harapan baru bagi (1) upaya memberantas budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang telah berkembang subur di lembaga wakil rakyat, dan (2) berkembangnya isu bahwa kurang aspiratifnya anggota dewan (DPR dan DPRD) dalam menyuarakan aspirasi dan kepentingan rakyat. Untuk itu pemberian kuota perempuan Sekurang-kurangnya sejumlah 30 persen untuk duduk di lembaga legislatif sebagai mana termuat dalam UndangUndang Nomor 23 tahun 2003 tentang “Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)' seharusnya menjadi harapan baru bagi perempuan untuk lebih mengaktualisasikan diri di bidang politik. Atas dasar latar belakang masalah di atas diajukan diajukan permasalahan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah persepsi wanita terhadap peran politik wanita politik sebagai anggota legislatif dilihat dari indikator jenjang Pendidikan? (2) Bagaimankah aktualisasil peran poiltik wanita sebagai anggcta legislatif dilihat dari aspek keberpihakannya terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat dan Upayanya dalan menegakkan citra sebagai anggata dewan (DPR dan DPRD)? (3) Bagaimanakah perwujudan dari kebijakan pemberian kuota sekurang-kurangnya 30 persen sebagaimana termuat dalam undang-undang nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum? B.
Pembahasan Dalam penelitian ini terdapat satu variabe1 penelitian yakni persepsi perempuan terhadap peran politik mereka sebagai anggota legislative. Karena hanya terdapat satu variabel maka tidak terdapat pola hubungan variabel. Yang terjadi adalah mendeskripsikan variabel tunggal tersebut ke dalam sub-sub variabel, Adapun tujuan pendeskripsian ini adalah untuk memberikan fokus bagi kegiatan pengamatan yang akan dilakukan untuk memperoleh data penelitian. Adapun jabaran variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
13
Totok Suyanto dan I Made Arsana, Persepsi Wanita Terhadap Peran Politik Wanita Sebagai Anggota Legislatif
Tabel 1 Jabaran Variabel Penelitian No
Variabel Persepsi Wanita
Sub Variabel a. Peran Politik Perempuan Sebagai Anggota Legislatif b. Perwujudan kuota 30 persen keterwakilan perempuan sebagaimana diamanatkan UU c. Aktualisasi peran dan fungsi politik perempuan sebagai anggota DPR dan DPRD
Tahap-tahap yang harus dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pertama, adalah menetapkan daerah pemilihan yang akan dijadikan lokasi penelitian. Dalam penelitian ini daerah penelitian di batasi pada daerah pimilihan Pemerintah kota Surabaya dan Pemerintah Kota Kediri. 2. Kedua, ngidentifikasi jumlah keterwakilan perempuan pada masingmasing daerah pemilihan di atas. 3. Ketiga, melakukan wawancara mendalam, studi dokumentasi dan observasi terhadap aktivitas perempuan wakil rakyat. Kegiatan ini ditindaklanjuti dengan melakukan analisis tarhadap berita Koran harian untuk melihat berbagai isu menonjol yang terdapat pada dua daerah pemilihan di atas, dan mengkaitkannya dengan peran serta perempuan wakil rakyat dalam rangka mengaktualisasilan kepentingan rakyat. 4. Keempat, ndeskripsikan secara kuantitatif dan kualitatif berbagai hasil yang diperoleh melalui kegiatan sebagaimana disebutkan dalam tahap ketiga di atas. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan deskriptif, karena peneliti tidak memberikan perlakuan (treatment)apapunkepadaresponden penelitian yang ada. Oleh sebab itu sifatpenelitianiniadalah ex-post facto, artinya fakta yang terjadi bukan merupakan hasil perlakuan yang diberikan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Moore (1983) mengemukakan bahwa tujuan penelitian survei adalah untuk mengumpulkan informasi, mendeskripsikan fènomena yang muncul dari pertanyaan tentang persepsi, sikap, perilaku dan nilai individu. Teknik pengambilan data yang digunakan adalah teknik stratified sampling atau teknik pengembalian sample secara stratifikasi dan purposive-sampling atau penentuan anggota sample dengan tujuan tertentu. Penentuan sample dengan cara stratifikasi dilakukan dengan cara melihat pada jenjang pendidikan
14
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 2/No. 1/Juni 2006, ISSN 1858-4845
subyek penelitian, yang dalam hal ini dibagi dalam tiga bagian yakni: lulus SLTP atau yang sederajat, lulus SMU atau yang sederajat, dan lulus perguruan tinggi. Masing-masing jenjang diberikan jumlah 5 orang sehingga seluruhnya berjumlah 15 orang. Untuk subyek penselitian yang belum bekerja yakni mahasiswa ditetapkan dengan cara purposive sampling. Dalam penelitian ini subyek penelitian dibagi ke dalam dua wilayah, yakni wilayah Pemerintah Kota Surabaya dan Pemerintahh Kota Kediri. Untuk menentukan latar belakang profesi subyek penelitian dilakukan pembagian dua kategori, yakni yang sudah bekerja dan belum bekerja. Untuk yang belum bekerja dipilih sebagai responden penelitian adalah mahasiswa. Untuk yang sudah bekerja dibagi dua yakni yang bekerja sebagai pegawai negeri dan sebagai pegawai swasta. Jumlah seluruh responden penelitian ini dapat dilihat dalam table berikut ini: Tabel 2. Jumlah Responden Penelitian No.
Wilayah Responden
Profesi
Jumlah
1.
Pemerintah Kota Surabaya
Pegawai Negeri Mahasiswa Pegawai Swasta
15 15 15
2
Pemerintah Kota Kediri
Pegawai Negeri Mahasiswa Pegawai Swasta
15 15 15
Jumlah Keseluruhan
90 orang
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlab seluruh responden penelitian adalah 90 orang, sebanyak 45 orang ada di pemerintah kota Surabaya dan 45 orang lainnya ada di pemerintah kota Kediri. Dalam penelitian ini digunakan teknik wawancara terstruktur, serta studi dokumentasi. Wawancara terstruktur dilakukan untuk mengetahui persepsi wanita terhadap peran politik perempuan anggota legislative. Sedangkan studi dokumentasi digunakan nmtuk melihat realisasi kuota keterwakilan 30% sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang Pemilihan Umum yang baru. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yakni analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Teknik analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik deskriptif dengan rumus Prosentase dan Mean. Sedangkan teknik analisis kualitatif yang digunakan adalah analisis narasi beipikir logis. Analisis kualitatif sifatnya sebagai pelengkap dari analisis
15
Totok Suyanto dan I Made Arsana, Persepsi Wanita Terhadap Peran Politik Wanita Sebagai Anggota Legislatif
kuantitatif. Artinya data-data yang tidak berupa angka akan dianalisis dengan analisis kualitatif yang berfungsi untuk melengkapi data-data kuantitatif. Melalui analisis kuantitatif dan kualitatif akan diketahui adanya pola kecenderungan umum terhadap vaniabel penelitian yakni (1) persepsi wanita terhadap perempuan anggota legislatif (2) keterwakilan perempuan sebagaimana dinyatakan dalam bentuk kuota 30%, dan (3) aktualisasi peran politik perempuan dalam pembuatan keputusan dan peraturan daerah. Untuk memperoleh data tentang wanita politisi yang duduk sebagai anggota legislatif di dua pemerintahan Kota dan satu kabupaten di atas, maka tahap pertama yang dilakukan peneliti adalah mencatat nama-nama anggota legislatif perempuan pada dua wilayah tersebut. Informasi dari Sekretariat Dewan Kotamadia Surabaya tentang nama-nama wanita anggota legislatif yang duduk sebagai anggota DPRD periode 2004-2009 diperoleh data sebagai berikut: 1. Jumlah anggota DPRD Kotamadia Surabaya periode 2005-2009 adalah 60 orang anggota. 2. Jumlah perempuan anggota DPRD Kotamadia Surabaya periode 20052009 adalah 4 orang 3. Dengan demikian proporsi jumlah anggota DPRD Kotamadia Surabaya periode 2005-2009 atas dasar jenis kelamin diperoleh data prosentase sebagai berikut: Laki-laki berjumlah 56 orang (85%) dan Perempuan berjumlah 4 orang (15%). 4. Deskripsi tentang perempuan anggota legislatif dilihat dari asal fraksi dan penempatannya pada masing-masing komisi di DPRD Kota Surabaya periode 2005-2009 dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 3 Deskripsi Nama Legislator Perempuan Di DPRD Kota Surabaya masa bakti 2004-2009 No
Nama Anggota
Fraksi
Komisi
1
Musrifah, SE.
FKB
B
2
Zaenab Maltuhah, SE.
FKB
C
3
Hj.Agustin Poliana, SH.
FPDIP
B
4
Yulyani, S.Pd.
FKS
B
Keterangan: Komisi B membidangi Bidang Perekonomian dan keuangan Komisi C membidangi Bidang Pembangunan
16
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 2/No. 1/Juni 2006, ISSN 1858-4845
Adapun deskripsi tentang anggota legislator perempuan di wilayah Kabupaten dan Kotamadia Kediri baik itu yang menyangkut jumlah serta distribusinya ke dalam fraksi dan komisi dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 4 Legislator Perempuan Di DPRD Kotamadia Kediri masa bakti 2004-2009 No 1
Nama Anggota Umi Maesaroh
Fraksi
Komisi
FKAD
B
Keterangan: Komisi B membidangi Bidang Perekonomian dan keuangan Fraksi KAD adalah akronim dari Fraksi Karya Amanat Damai yang merupakan Gabungan dari Partai: Golkar, PAN, dan Damai Sejahtera Perlu diketahui bahwa jumlah anggota DPRD Kotamadia Kediri masa bakti 2004-2009 adalah 30 orang anggota, sedang anggota legislatif yang berjenis kelamin perempuan hanyalah 1 orang. Dengan begitu proporsi keanggotaan dilihat dari aspek jenis kelamin adalah 1 : 30 atau 0,033%. Untuk kabupaten Kediri jumlah anggota legislatif masa bakti 2004 2009 adalah 45 orang, adapun jumlah anggota yang berjenis kelamin perempuan adalah 4 orang. Dengan begitu proporsi keanggotaan dilihat dari aspek jenis kelamin adalah 45 : 4 atau 0,088%. Deskripsi anggota legislatif di kabupaten Kediri periode 2004 2009 dilihat dari distribusi keanggotaan dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 5 Deskripsi Nama Legislator Perempuan Di DPRD Kabupaten Kediri masa bakti 2004-2009 No
Nama Anggota
Fraksi
Komisi
1
Happy Purwaningrum
F Demokrat
D
2
Dwi Astuti
F Demokrat
B
3
Siti Zulaikah
FKB
C
4
Mudawamah
FKB
D
Keterangan: Komisi B membidangi Bidang Perekonomian dan keuangan Komisi C membidangi Bidang Pembangunan Komisi D membidangi Bidang Pendidikan
17
Totok Suyanto dan I Made Arsana, Persepsi Wanita Terhadap Peran Politik Wanita Sebagai Anggota Legislatif
Sebagaimana dikemukakan dalam bagian metode penelitian bahwa responden penelitian ini ada 90 orang yang terbagi dalam dua wilayah yakni (1) pemerintah kota Surabaya, dan (2) pemerintah kota dan kabupaten Kediri. Masing-masing wilayah memperoleh jatah 45 orang responden. Dari 90 angket yang diberikan kepada responden yang kembali kepada peneliti sejumlah 70 angket, sedangkan 20 buah tidak kembali dalam batas waktu yang ditentukan. Sedangkan dari 70 angket yang kembali sejumlah 9 buah tidak dapat dianalisis, sehingga yang layak untuk dianalisis jumlahnya adalah 61 angket. Deskripsi latar belakang pendidikan responden yang mengembalikan angket dan layak dianalisis disajikan dalam tabel berikut: Tabel 6 Latar Belakang Pendidikan Responden Penelitian No
Latar Belakang Pendidikan
Jumlah
1
Pendidikan Dasar (SD dan SMP & sederajat)
-
2
Pendidikan Menengah (SMA & yang sederajat)
2
3
Pendidikan Tinggi (Universitas & sederajat)
59
61
Dari data di atas maka diketahui bahwa mayoritas atau sebesar 96,7% responden berlatar belakang pendidikan tinggi (tingkat universitas). Setelah diketahui jumlah angket yang masuk dan disertai dengan deskripsi latarv belakang responden penelitian, berikut diajukan jawaban terhadap berbagai permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Secara umum sebagian besar responden mengetahui keberadaan anggota DPRD yang berjenis kelamin perempuan. Hal itu tercermin dala hasil analisis terhadap angket yang dibagikan kepada responden Tabel 7 Persepsi Perempuan Terhadap Peran Politik Perempuan No
Pertanyaan
Jawaban Tahu
1
Sbagian Tidak
Apakah saudara mengetahui nama wanita anggota DPRD ditempat saudara?
8 Jumlah =
18
45 61
8
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 2/No. 1/Juni 2006, ISSN 1858-4845
Dari data di atas dapat diketahui bahwa sebanyak 8 orang (13,1%) menyatakan tahun, 45 orang (73,77%) menyatakan tahu sebagian, dan sisanya 8 orang (13,1%) tidak tahu. Dalam analisis ini perlu diketahui bahwa kriteria untuk dikatakan tahu adalah mereka yang memberikan jawaban tahu dan dapat menyebutkan secara lengkap nama anggota legislator pada masing-masing daerahnya berikut asal faraksi dan di komisi berapa mereka berada. Adapun kriteria tahu sebagian adalah responden yang dalam jawabannya memberikan jawaban tahu namun tidak mampu untuk menyebutkan secara lengkap nama anggota legislator perempuan pada masing-masing daerah berikut asal fraksi dan di komisi berapa mereka berada. Pertanyaan di atas ditindaklanjuti dengan pertanyaan darimana mereka mengetahui keberadaan wakil mereka, maka distribusi jawabannya sebagai berikut: yang menyatakan bahwa mereka mengetahui dari daftar calon anggota legislatif sewaktu Pemilu 2004 sebanyak 26 jawaban, 25 jawaban menyatakan dari kampanye partai politik waktu pemilu legislatif, 10 jawaban menyatakan mereka memperoleh informasi dari koran/radio/televisi; masing-masing 5 jawaban menyatakan mereka memperoleh informasi tersebut dari kunjungan kerja anggota DPRD dan dari lain-lain seperti teman atau tetangga. Tindak lanjut dari pertanyaan di atas adalah jika responden menyatakan mereka mengetahui (walaupun sebagian) akan keberadaan wakil rakyat mereka yang berjenis kelamin perempuan, selanjutnya bagaimanakah persepsi mereka secara umum terhadap perempuan yang mewakili mereka di legislatif? Distribusi jawaban responden menunjukkan sebanyak 35 orang (57,7%) menyatakan bahwa mereka merasakan sebagian kepentingan mereka terwakili oleh keberadaan wakil perempuan mereka yang duduk di legislatif. Sebanyak 11 orang (18,03%) menyatakan mereka merasa terwakili sebagian, dan sisanya 6 orang (9,83%) menyatakan semua kepentingan mereka terwakili oleh keberadaan wakil perempuan mereka di legislatif. Sebagai kelanjutan dari jawaban di atas maka diajukan pertanyaan “Jika saudara merasa keberadaan wanita anggota DPRD sudah mencerminkan kepentingan dan suara perempuan, bidang apa saja yang menurut saudara sudah diperjuangkan di DPRD?” Pola jawaban responden menunjukkan distribusi sebagai berikut: masing-masing sebanyak 15 jawaban menyatakan bahwa bidang “Pendidikan dan Perlindungan Hukum” merupakan bidang yang dipersepsi sebagai yang telah diperjuangkan oleh legislator perempuan, kemudian disusul oleh bidang “Kesehatan” (14 jawaban), Bidang Ketenagakerjaan (9 jawaban), dan terakhir adalah bidang “Perdagangan” (3 jawaban). Namun demikian ketika pertanyaan tersebut ditindaklanjuti apakah responden dapat menyebutkan Peraturan Daerah (PERDA) yang dianggap sebagi bentuk keberpihakan wanita legislatif kepada kaum perempuan? Jawaban responden menunjukkan sebanyak 22 jawaban tidak dapat menunjukkan perda yang dimaksud.
19
Totok Suyanto dan I Made Arsana, Persepsi Wanita Terhadap Peran Politik Wanita Sebagai Anggota Legislatif
Sementara itu hasil dari penelusuran mass media yakni harian Kompas khususnya Kompas edisi Jawa Timur selama beberapa bulan menunjukkan bahwa secara umum anggota DPRD Kotamadia Surabaya dan Kotamadia dan Kabupaten Kediri yang berjenis kelamin perempuan hampir-hampir tidak pernah menjadi perhatian publik. Lepasnya mereka dari perhatian publik disebabkan mereka tidak pernah mengkomunikasikan pemikiran maupun responnya terhadap berbagai persoalan masyarakat, baik yang secara langsung maupun tidak langsung bersinggungan dengan kepentingan publik perempuan. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 65 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD bahwa “Setiap Partai Politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Namun demikian dari hasil identifikasi terhadap jumlah anggota DPRD Kabupaten/Kota di Surabaya maupun Kediri, nampaknya jumlah tersebut masih jauh dari kenyataan atau dengan kata lain tidak tercapai. Data di sekretariat DPRD Kotamadia Surabaya menunjukkan bahwa dari jumlah 60 orang anggota DPRD masa bakti 2004-2009 terdistribusi ke dalam 56 orang (85%) laki-laki dan hanya 4 orang (15%) perempuan. Sementara itu data di sekretariat DPRD Kota dan Kabupaten Kediri menunjukkan bahwa di DPRD Kota Kediri dari 30 orang anggota hanya ada 1 orang (0,3%) yang berjenis kelamin perempuan, sedangkan sisanya laki-laki. Sementara di DPRD Kabupaten menunjukkan bahwa dari 45 orang anggota, 41 orang (91%) adalah laki-laki, dan sisanya 4 orang (9%) berjenis kelamin perempuan. Karenanya dapat dinyatakan bahwa kuota keterwakilan perempuan sebesar 30% di DPR, DPRD Provinsi dan Kota/Kabupaten sebagaimana diamanatkan UU No.23 tahun 2003 tentang Pemilu dapat dinyatakan tidak tercapai karena perolehan kursi keterwakilan perempuan di lembaga legislatif jauh di bawah ketentuan undang-undang. C. Pembahasan Secara umum temuan penelitian ini menunjukkan bahwa (1) amanat undang-undang nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum yang memberikan kuota keterwakilan perempuan sebesar 30% di DPR, DPRD Provinsi dan Kota/Kabupaten tidak tercapai, dan (2) Aktualisasi peran politik perempuan yang duduk di anggota legislatif dipersepsi oleh perempuan konstituennya belum mewakili seluruh kepentingan mereka. Data penelitian menunjukkan hasil pengamatan melalui kuesioner pada DPRD Kota Surabaya dan Kabupaten dan Kota Wilayah Kediri bahwa jumlah perempuan yang duduk di legislatif untuk masa bakti 2004-2009 rata-rata di bawah angka 10%, bahkan untuk wilayah Kediri kota jumlah tersebut hanyalah 0.33%. Kondisi ini tentunya memprihatinkan mengingat jumlah pemilih
20
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 2/No. 1/Juni 2006, ISSN 1858-4845
terbesar dalam pemilihan umum legislatif tahun 2004 adalah perempuan. Dalam perspektif jender kondisi demikian yang belum mencerminkan adanya kesetaraan jender antara laki-laki dengan perempuan. Kondisi ini dapat terjadi karena dunia di mana kita hidup nilai, budaya beserta interpretasinya dikuasi oleh budaya laki-laki (patriakhi). Menurut Statistik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di tahun 1980-an, diperoleh informasi bahwa (1) perempuan mengerjakan 2/3 pekerjaan seluruh dunia, tetapi hanya menerima 1/10 dari penghasilan seluruh dunia, (2) dari penduduk dunia yang masih buta huruf, 2/3 adalah perempuan sementara ia mendapat beban “mendidik” anak keturunannya, dan (3) perempuan di dunia hanya memiliki kurang dari 1/100 kekayaan dunia (Murniati, 2004). Data di atas jelas menunjukkan adanya politik budaya patriakhi yang bernuansa bias jender yang ujung-ujungnya merugikan kepentingan dan aktualisasi diri perempuan dalam menyampaikan aspirasinya. Dalam jangka panjang kondisi bias jender akan berakibat pada ketidakadilan (diskriminasi) jender dan dapat dipahami melalui berbagai manifestasi ketidakadilan tersebut seperti: (a) jender dan marginalisasi perempuan, (b) jender dan subordinasi pekerjaan perempuan, (c) jender dan stereotip atas pekerjaan perempuan, (d) jender dan kekerasan terhadap perempuan, serta (e) jender dan beban kerja yang lebih berat. Pada tingkat makro baik itu di tingkat tataran internasional maupun nasional kemauan politik untuk melakukan pemberdayaan sekaligus kesejahteraan untuk perempuan telah secara serius dan berkelanjutan diupayakan. Sebagai misal Konperensi internasional PBB tentang Perempuan semenjak tahun 1975, 1980, 1985 maupun yang paling baru tahun 1995 di Beijing telah secara serius merekomendasikan kepada badan PBB ECOSOC (Economic and Social Council) untuk melakukan perbaikan kondisi politis, ekonomi, sosial dan status sipil perempuan (Handayani dan Sugiharti, 2002). Sementara itu Konvensi Terhadap Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap perempuan mulai tahun 1980, 1985 hingga yang paling baru tahun 2000 di New York pada intinya berisikan cara memperjuangkan hak-hak asasi perempuan dalm keberadaannya sebagai warga bangsa untuk memeperoleh kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan dalam berbagai bidang pembangunan. Di tingkat nasional program pemberdayaan terhadap perempuan dilaksanakan dalam berbagai kegiatan baik itu bidang politik, pendidikan, ekonomi bisnis, maupun sosial budaya melalui berbagai ratifikasi terhadap berbagai instrumen hukum internasional tentang Perlindungan Perempuan. Namun demikian pada tingkat empiris semua upaya di atas walaupun tidak dapat dipungkiri telah membawa kemajuan dalam meningkatkan porsi dan kualitas partisipasi perempuan dalam pembangunan, namun belum dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Terdapat beberapa hal yang dianggap menjadi kendala dalam implementasi program yakni:
21
Totok Suyanto dan I Made Arsana, Persepsi Wanita Terhadap Peran Politik Wanita Sebagai Anggota Legislatif
1. 2.
Struktur patriakhi yang mengakibatkan keterikatan perempuan Ideologi jender yang tetap hidup subur dalam masyarakat dan digunakan sebagai pendidikan 3. Sikap sebagian kaum laki-laki yang terancam akan gerakan pembebasan perempuan 4. Sikap dominasi laki-laki 5. Gambaran perempuan ideal menurut tradisi yang selalu menghantui dan menjadi sumber perbedaan pandangan 6. Politik pemerintah yang mendukung organisasi istri dan membatasi gerak organisasi perempuan yang mandiri 7. Agama yang diajarkan dalam budaya patriakhi dan dengan gaya bahasa maskulin 8. Pandangan tereotip yang masih subur di masyarakat 9. Pembagian kerja menurut seks yang masih ditetapkan dalam masyarakat (Murniati, 2004). Bidang politik memang profesi yang belum lama digeluti oleh perempuan Indonesia, sebagai indikator awal dapat dilihat dari jumlah presiden yang pernah memegang tampuk kekuasaan di Indonesia. Semenjak Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 hingga saat sekarang (usia 60 tahun kemerdekaan) dari 6 orang presiden yang pernah berkuasa hanya 1 orang yang perempuan yakni Megawati Sukarnoputeri yang menggantikan KH.Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang telah di impeachment oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam Sidang Istimewa tahun 2001. Rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen akan berdampak pada responsivitas kebijakan publik yang dikeluarkan. Tak semua permasalahan perempuan seperti kekerasan dalam keluarga (KDRT), kesehatan reprodukdi, beban ganda sebagai ibu dan perempuan yang bekerja, diketahui dan dipahami serta dirasakan penting oleh anggota parlemen laki-laki. Maka kehadiran proporsional perempuan di parlemen, agar memiliki posisi tawar yang kuat sangat penting bagi lolosnya agenda semacam itu. Agenda penting lainnya adalah asas desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam era otonomi daerah dan demokraasi perlu dibangun akses perempuan untuk berpartisipasi sekaligus melakukan kontrol agar manfaat pembangunan dapat dirasakan bersama. Jika proporsi keterwakilan perempuan di parlemen tidak signifikan niscara kepentingan, aspirasi, dan agenda spesifik perempuan akan terlupakan (Dewi, 2004). D. Penutup 1. Simpulan Secara umum hasil penelitian ini memperoleh temuan akhir dan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Konstituen perempuan pada umumnya mengetahui nama legislator perempuan berikut asal fraksi maupun komisinya.
22
LENTERA, Jurnal Studi Perempuan, Vol. 2/No. 1/Juni 2006, ISSN 1858-4845
2. 3. 4.
Konstituen perempuan umumnya merasa sedikit terwakili oleh wakil perempuan mereka yang duduk di DPRD Kota maupun Kabupaten Aktualisasi diri perempuan wakil rakyat dilihat dari keberpihakan mereka terhadap konstituennya adalah rendah. Kuota keterwakilan 30% perempuan untuk duduk di lembaga legislatif baik di DPR, DPRD provinsi maupun kabupaten dan kota sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum tidak tercapai. Realitas di lapangan menunjukkan kuota keterwakilan yang ada tidak sampai angka 10%.
2.
Saran-Saran Secara umum disarankan bahwa di masa depan perlu adanya semacam komitmen diantara partai politik peserta pemilu untuk memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan untuk duduk di lembaga legislatif baik di DPR, DPRD Provinsi, kabupaten maupun Kota. Secara internal perlu adanya peningkatan kualitas sumberdaya manusia perempuan anggota legislatif melalui sejumlah mekanisme internal partai maupun melalui pendidikan politik masyarakat. Kepada media massa diimbau untuk memberikan porsi pemberitaan dan peliputan yang lebih seimbang kepada wakil rakyat perempuan terutama dalam kiprahnya memperjuangkan konstituennya. Daftar Pustaka Caraway,T.L. 1998. ”Perempuan dan Pembangunan”.dalam Jurnal Perempuan 5. Nov-Januari 1998 Dahniar. 1991. ”Kemandirian; Pandangan Seorang manajer Perempuan”. Makalah dalam Lokakarya Nasional Citra Kemandirian Perempuan Indonesia 18-20 Juli 1991. Malang:Kelompok Studi Wanita Universitas Brawijaya Doyle, J.A. 1985. Sex and Gender:The Human Experience. Iowa:Wim C.Publisher Fakih, M. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Handayani, T. dan Sugiarti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender.Malang:UMM Press Kompas 12 Januari 1999. ”Gus Dur : Keliru Isu Politik Tak Berkaitan Dengan Perempuan.”
23
Totok Suyanto dan I Made Arsana, Persepsi Wanita Terhadap Peran Politik Wanita Sebagai Anggota Legislatif
Kompas 10 Februari 2003. ”Partisipasi Publik Perempuan dan Kontrol terhadap Korupsi.” Kompas 17 Maret 2003.”Menyongsong Kuota Perempuan” Kurnia, Hastuti Dewi. ”Masa Depan Keterwakilan Perempuan Parlemen Indonesia”. Teroka Cendekia. Desember 2004. Perhimpunan Pelajar Indonesia-Australia. Murniati, Ninuk A.P. Gegar Gender Perempuan Indonesia dalam perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga. Jakarta:Yayasan Indonesia Tera. Saptari, R. dan Holzner, B. 1999. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial.Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta:Grafiti. Sen, G dan Brown, G. 1987. Development, Crises, and Alternative Visions:Third World Women's Perspectives. New York: Monthly Review Press. Undang-Undang RI No.23 th 2003 tentang “Pemilihan Umum Bagi Anggota DPR, DPD, dan DPRD”. Wolkowitz, C. 1987. ”Controlling Women's Access to Political Power:A Case Study in Andhra Pradesh India.”Women, State and Ideology:Studies From Africa and Asia, H.Afxhar (ed).Houndmills:Mac Millan.
24