Jurnal keuangan & Bisnis Volume 3 No. 2, Juli 2011
KONFLIK PERAN SEBAGAI SALAH SATU PEMICU STRES KERJA WANITA KARIR Audia Junita (
[email protected]) Dosen Kopertis Wilayah I Dpk. STIE Harapan Medan ABSTRACT National development that occurred in Indonesia brought many changes in various aspects of community life. One of the phenomena that occur is the increasing number of women employed. Many benefits to the women who worked in the public sector, but also can not be separated from all the consequences attached to their status as a women. In particular the dual role of woman workers, not just as workers but also simultaneously serves as a housewife. Similarly, women who work as a lecturer can not be separated from the possibility of experiencing job stress which caused multiple role conlict. The survival of one’s stress is different consequently the level of stress is also different. This study aims to analyze the impact of role conflict on level of work stress woman employee. This type of research was causality research and using survey methods in obtaining the primary data research. The questionnaire used to collect research data. The indicators in each variable was measured using a Likert scale. Population as well as sample was a woman lecturer in Region I Kopertis placed in private universities in the city of Medan. Further research hypothesis test were analyzed using simple regression. Results using simple linear regression showed that : (1) The majority of women lecturer experienced high role conflict, job stress and sosial support; (2) Role conflict of women lecturer has a significant impact on job stress. Keywords : role conflict, social support, job stress PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional yang terjadi di Indonesia membawa banyak perubahan di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Salah satu fenomena yang terjadi dan dapat dilihat adalah semakin banyaknya jumlah wanita yang bekerja. Bahkan saat ini banyak perusahaan yang sebagian besar tenaga kerjanya adalah wanita. Jika dahulu wanita hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, namun sekarang banyak wanita yang berpartisipasi dalam dunia kerja. Partisipasi pekerja wanita di Indonesia setiap tahun semakin meningkat. Pada tahun 1988 data memperlihatkan jumlah pekerja wanita di Indonesia berkisar 23.874.400. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi 35.479.000 (35,37 %) pada tahun 2003 (BPS; 2003). Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita selanjutnya meningkat dari 48,63 persen di tahun 2006 menjadi 49,52 persen di tahun 2007 dan 51,25 persen di tahun 2008. Dari sisi gender, partisipasi perempuan dalam lapangan kerja meningkat signifikan. Selama Februari 2006-Februari 2007 saja, jumlah pekerja perempuan
bertambah 2,12 juta orang, terbesar di sektor pertanian dan perdagangan, sedangkan jumlah pekerja laki-laki hanya bertambah 287 ribu orang (www.bps.go.id ; 2009). Demikian pula perbaikan akses lapangan kerja bagi perempuan, ditunjukkan dengan adanya penurunan angka pengangguran terbuka wanita, khususnya pada tahun 2006, 2007 dan 2008 terjadi penurunan yang signifikan sebesar 13,72 persen pada tahun 2006 turun menjadi 11,83 persen pada tahun 2007 dan 9,29 persen tahun 2008 (www.bappenas.go.id ; 2009). Banyak motif pendorong semakin banyaknya wanita bekerja antara lain : bekerja memungkinkan seorang wanita mengekspresikan dirinya sendiri, dengan cara yang kreatif dan produktif, untuk menghasilkan sesuatu yang mendatangkan kebanggaan terhadap diri sendiri, terutama jika prestasinya tersebut mendapatkan penghargaan dan umpan balik yang positif. Wanita yang bekerja, cenderung mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dan bervariasi, sehingga cenderung mempunyai pola pikir yang lebih terbuka, lebih energik, mempunyai wawasan yang luas dan lebih dinamis. Setiap manusia, termasuk para ibu, mempunyai
93 – 110
Jurnal Keuangan & Bisnis
kebutuhan untuk menjalin relasi sosial dengan orang lain. Dengan bekerja, seorang wanita juga dapat memenuhi kebutuhan akan kebersamaan dan untuk menjadi bagian dari suatu komunitas. Namun dari berbagai motif tersebut di atas, yang menjadi pemicu utama adalah karena dorongan ekonomi yaitu adanya tuntutan keluarga untuk menambah penghasilan keluarga (www.depkominfo.go.id ; 2007). Banyak manfaat yang diperoleh wanita yang bekerja di sektor publik, namun juga tidak dapat terlepas dari segala konsekuensi yang melekat pada statusnya sebagai wanita. Khususnya pekerja wanita yang berperan ganda, tidak hanya sebagai pekerja murni (status single/belum menikah) tetapi juga sekaligus berperan sebagai ibu rumah tangga. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rice seorang ahli psikologi didapatkan bahwa wanita yang bekerja mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Hal ini dikarenakan wanita yang bekerja menghadapi konflik peran. Di satu pihak wanita berperan sebagai ibu rumah tangga yang harus terlebih dahulu mengatasi urusan keluarga, suami, anak, dan hal lain yang menyangkut rumah tangga. Tetapi di pihak lain wanita sebagai pekerja yang harus menyelesaikan pekerjaannya di tempat kerja. Tuntutan ini sangat berpotensi menyebabkan wanita bekerja mengalami stres (Rini ; 2002). Menurut Sutanto (2008) para wanita bekerja atau wanita yang mempunyai peran ganda yaitu sebagai ibu sekaligus sebagai pekerja sering mengalami stres. Dengan demikian semakin kompleks persoalan yang dialami oleh para ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah. Ada yang bisa menikmati peran gandanya, namun ada yang merasa kesulitan hingga akhirnya persoalan-persoalan rumit kian berkembang dalam hidup sehari-hari. Demikian pula wanita yang berprofesi sebagai dosen tidak terlepas dari kemungkinan mengalami stres akibat konflik peran ganda yang dialaminya. Pada dasa warsa terakhir terlihat bahwa wanita yang memilih profesi sebagai tenaga pengajar di perguruan tinggi (dosen) memperlihatkan adanya peningkatan (Harsiwi ; 2004). Belum diketahui secara pasti latar belakang peningkatan gejala tersebut. Berdasarkan pengamatan sederhana, peneliti memperoleh suatu gambaran bahwa sekalipun banyak
Juli
wanita telah memilih profesi sebagai dosen, namun terdapat inkonsistensi gejala partisipasi dosen wanita yang belum menunjukkan hasil yang optimal. Tampak kecenderungan dosen wanita sebagian besar kurang mampu mengaktualisasikan dirinya melalui kompetensi bidang keilmuannya. Hal ini mungkin terkait dengan status dosen wanita di dalam keluarga, yakni sebagai anggota keluarga. Selama ini status sebagai dosen sudah dianggap bentuk aktualisasi diri sebagai anggota masyarakat, meski hal tersebut sesungguhnya belum mencerminkan tuntutan aktualisasi diri yang sesungguhnya dari segi kompetensi bidang keilmuannya (Harsiwi ; 2004). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurastuti (2009) juga menyimpulkan bahwa perbedaan jenis kelamin mempengaruhi adanya perbedaan tingkat kelelahan. Dosen wanita mempunyai resiko tiga kali lebih besar terkena kelelahan daripada dosen laki-laki. Fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan bagi peneliti, apakah justru karena jam kerja yang relatif fleksibel dimana dosen wanita dapat menyelesaikan tuntutan pekerjaan di rumah sehingga justru rentan menimbulkan stres kerja, karena banyak waktu dan perhatian untuk keluarga yang ikut tersita. Penelitian ini mencoba mencari jawaban atas dugaan tersebut. Pada hakekatnya stres yang dialami oleh tenaga kerja dapat berkembang kearah positif yaitu stres dapat menjadi kekuatan positif bagi tenaga kerja. Adanya dorongan yang tinggi untuk berprestasi membuat makin tinggi tingkat stresnya dan makin tinggi juga produktivitas dan efisiensinya (Sunyoto ; 2001). Tetapi stres juga dapat berkembang kearah negatif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Randall Schuller, stres yang dihadapi tenaga kerja berhubungan dengan penurunan prestasi kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja dan kecenderungan mengalami kecelakaan. Demikian pula jika banyak diantara tenaga kerja di dalam organisasi atau perusahaan mengalami stres kerja, maka produktivitas dan kesehatan organisasi itu akan terganggu (Rini, 2002). Oleh karena itu, menjadi penting diperhatikan oleh organisasi, karyawankaryawan yang mengalami stres kerja. Organisasi harus berupaya mengelola tingkat stress pekerja pada tingkat yang optimal untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi.
94
2011
Audia Junita
Termasuk pula mencari solusi dampak negatif yang dimunculkan karyawan yang stres. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini ingin menganalisa dampak konflik peran yang dialami dosen wanita terhadap tingkat stres dengan dukungan sosial sebagai variabel moderator.
istrinya tetap dapat memenuhi dan melayani kebutuhan suami. Namun ada pula suami yang justru mendukung karir istrinya, dan ikut bekerja sama dalam mengurusi pekerjaan rumah tangga seharihari. Dalam kondisi yang terakhir ini, pada umumnya sang istri akan lebih dapat merasakan kepuasan dan kebahagiaan dalam hidup, keluarga dan karirnya.
Perumusan Masalah
c. Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Scanzoni (Naisa ; 2003) diungkapkan bahwa perkawinan dual-career dikatakan berhasil jika di antara kedua belah pihak (suami dan istri) saling memperlakukan pasangannya sebagai partner yang setara. Pada umumnya, mereka tidak hanya akan berbagi dalam hal pendapatan, namun tidak segan-segan berbagi dalam urusan rumah tangga dan mengurus anak.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana deskripsi konflik peran, dukungan sosial dan tingkat stres dosen wanita? 2. Apakah ada pengaruh konflik peran terhadap tingkat stres dosen wanita ? KAJIAN PUSTAKA
d. Penelitian yang dilakukan oleh Hastuti (2008) berjudul “Hubungan Antara Konflik Peran Ganda Wanita Karir Dengan Sikap Kerja Negatif” memberikan kesimpulan bahwa wanita karir yang mengalami konflik peran ganda menunjukkan sikap kerja negatif dalam organisasi.
Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terkait yang dijadikan dasar kerangka konseptual penelitian ini antara lain : a. Penelitian yang dilakukan Prameswari (2007) berjudul “Gambaran Konflik Peran Pada Wirausaha Wanita Yang Sudah Berkeluarga”. Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa tiap responden mengalami konflik peran dalam menjalani peran gandanya, yaitu sebagai seorang ibu, istri, dan wirausaha. Konflik peran tersebut disebabkan oleh tuntutan waktu yang bersamaan pada peran dalam dunia usaha dan peran rumah tangganya. Selain itu, konflik peran juga disebabkan karena kesulitan mengganti set perilaku ketika harus berpindah peran dalam setiap peran yang dijalaninya. Konflik peran yang dialami dapat mereda karena adanya dukungan sosial dari keluarga.
e. Penelitian yang dilakukan oleh Widyawati dan Mahfudz (2008) berjudul “Pengaruh Konflik Peran Ganda Sebagai Ibu Rumah Tangga dan Pekerja Terhadap Tingkat Stres Wanita Karir (Studi Kasus Pada Pegawai Negri Sipil Wanita di Kota Semarang Jawa Tengah) menyimpulkan konflik peran yang bersumber dari lingkungan kerja berpengaruh terhadap tingkat stres yang bersumber dari faktor intrinsik di pekerjaan secara negatif, dalam arti semakin tinggi konflik peran yang bersumber dari lingkungan kerja yang dialami oleh wanita karir, maka tingkat stres yang bersumber dari faktor intrinsik di pekerjaan justru akan semakin rendah, demikian pula sebaliknya. Diduga jenis konflik peran yang terjadi merupakan konflik yang sifatnya fungsional. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa hampir seluruh suami responden (95%) mendukung isteri mereka untuk berkarir/bekerja dengan berbagai alasan. Antara lain untuk membantu suami dalam mencari nafkah, untuk bersosialisasi dan menambah
b. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jones dan Jones (Rini ; 2002) terungkap bahwa sikap suami merupakan faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan dual-career marriage. Suami yang merasa terancam, tersaingi dan cemburu dengan status bekerja istrinya, tidak bisa bersikap toleran terhadap keberadaan istri yang bekerja. Ada pula suami yang tidak menganggap pekerjaan istri menjadi masalah, selama
95
93 – 110
Jurnal Keuangan & Bisnis
wawasan, keinginan untuk berprestasi dan sebagainya.
Juli
paham, tak berdaya, tak mampu berbuat apa- apa, gelisah, gagal, tak menarik, kehilangan semangat. Kesulitan dalam berkonsentrasi, berfikir jernih, membuat keputusan. Hilangnya : kreatifitas, gairah dalam penampilan, minat terhadap orang lain.
Stres Kerja Pengertian Stres Kerja Menurut Anoraga (2001), stres kerja adalah suatu bentuk tanggapan seseorang, baik fisik maupun mental terhadap suatu perubahan di lingkungannya yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam. Selanjutnya Tarupolo (2002) mengartikan stres kerja sebagai suatu proses yang menyebabkan orang merasa sakit, tidak nyaman atau tegang karena pekerjaan, tempat kerja atau situasi kerja tertentu.
c) Gejala- gejala di tempat kerja Sebagian besar waktu bagi pekerja berada di tempat kerja, dan jika dalam keadaan stres, gejala- gejala dapat mempengaruhi kita di tempat kerja, antara lain : (a) Kepuasan kerja rendah; (b) Kinerja yang menurun; (c) Semangat dan energi hilang; (d) Komunikasi tidak lancar; (e) Pengambilan keputusan jelek; (f) Kreatifitas dan inovasi berkurang; (g) Bergulat pada tugas- tugas yang tidak produktif.
Gejala Stres Kerja Sutanto (2008) menyatakan bahwa ada beberapa gejala- gejala dari stres kerja yaitu : Menolak perubahan Produktivitas dan efisiensi yang berkurang Kehilangan motivasi, ingatan, perhatian, tenggang rasa dan pengendalian Kurang tidur, kehilangan nafsu makan dan menurunnya nafsu seks Tidak menyukai tempat bekerja dan orang- orang yang bekerja bersama anda
Menurut Tarupolo (2002), gejalagejala stres kerja dapat berupa letih dan lelah, kecewa, perasaan tidak berdaya, gangguan tidur, kegelisahan, ketegangan, kecemasan, cepat marah, kehilangan rasa percaya diri, perasaan kesepian atau keterasingan, makan terlalu sedikit, mudah tersinggung, berdebardebar dan sulit berkonsentrasi. Gejala stres kerja menurut Terry B dan John N. (Rini ; 2002) dapat dibagi dalam 3 (tiga) aspek yaitu : a) Gejala psikologis, meliputi kecemasan, ketegangan, bingung, marah, sensitif, memendam perasaan, komunikasi tidak efektif, mengurung diri, depresi, merasa terasing dan mengasingkan diri, kebosanan, ketidakpuasaan kerja, lelah mental, menurunnya fungsi intelektual, kehilangan daya konsentrasi, kehilangan spontanitas dan kreativitas, kehilangan semangat hidup dan menurunnya harga diri dan rasa percaya diri. b) Gejala fisik, meliputi meningkatnya detak jantung dan tekanan darah, meningkatnya
Carry Cooper dan Alison Straw (Sunyoto ; 2001) membagi gejala stres kerja menjadi tiga yaitu: a) Gejala fisik Gejala stres menyangkut fisik bisa mencakup: nafas memburu, mulut dan kerongkongan kering, tangan lembab, merasa panas, otot tegang, pencernaan terganggu, mencretmencret, sembelit, letih yang tak beralasan, sakit kepala, salah urat, gelisah b) Gejala- gejala dalam wujud perilaku Banyak gejala stres yang menjelma dalam wujud perilaku, mencakup: Perasaan berupa : bingung, cemas, dan sedih, jengkel, salah
96
2011
Audia Junita
sekresi adrenalin dan noradrenalin, gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan lambung), mudah terluka, mudah lelah secara fisik, kematian, gangguan kardiovaskuler, gangguan pernafasan, lebih sering berkeringat, gangguan pada kulit, kepala pusing, migrain, kanker, ketegangan otot, problem tidur (sulit tidur, terlalu banyak tidur). Gejala perilaku, meliputi menunda atau menghindari pekerjaan atau tugas, penurunan prestasi dan produktivitas, meningkatnya penggunaan minuman keras dan mabuk, perilaku sabotase, meningkatnya frekuensi absensi, perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan atau kekurangan), kehilangan nafsu makan dan penurunan drastis berat badan, meningkatnya kecenderungan perilaku beresiko tinggi seperti berjudi, meningkatnya agresifitas dan kriminalitas, penurunan kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman serta kecenderungan bunuh diri.
terlalu peka dan mudah tersinggung ; marah- marah ; gampang menyerang orang dan bermusuhan ; emosi mengering atau kehabisan sumber daya mental (burn out). c. Gejala intelektual, antara lain : susah berkonsentrasi atau memusatkan pikiran ; sulit membuat keputusan ; mudah terlupa ; pikiran kacau ; daya ingat menurun ; melamun secara berlebihan ; pikiran dipenuhi oleh satu pikiran saja ; kehilangan rasa humor yang sehat ; produktivitas atau prestasi kerja menurun ; mutu kerja rendah ; dalam kerja bertambah jumlah kekeliruan. d. Gejala interpersonal, antara lain : kehilangan kepercayaan kepada orang lain ; mudah mempersalahkan orang lain ; mudah membatalkan janji atau tidak memenuhinya ; suka mencaricari kesalahan orang lain atau menyerang orang dengan kata- kata ; mengambil sikap terlalu membentengi dan mempertahankan diri ; mendiamkan orang lain.
Sedangkan menurut Sutanto (2008) indikator- indikator stres sebagai berikut:
Menurut Gibson (1996), dampak dari stres kerja banyak dan bervariasi. Dampak positif dari stres kerja diantaranya motivasi pribadi, rangsangan untuk bekerja lebih keras, dan meningkatnya inspirasi hidup yang lebih baik. Meskipun demikian, banyak efek yang mengganggu dan secara potensial berbahaya.
c)
Dampak Positif dan Negatif Stres Kerja
a. Gejala fisikal berupa : sakit kepala/ pusing ; tidur tidak teratur/ insomnia (susah tidur), tidur terlantur, bangun terlalu awal ; sakit punggung terutama dibagian bawa ; mencret- mencret dan radang usus besar ; sulit buang air besar, sembelit ; gatal- gatal pada kulit ; urat tegang- tegang terutama pada leher dan bahu ; terganggu pencernaanya atau bisulan ; tekanan darah tinggi atau serangan jantung ; keluar keringat banyak ; selera makan berubah ; lelah atau kehilangan daya energi ; bertambah banyak melakukan kekeliruan atau kesalahan dalam kerja dan hidup. b. Gejala emosional antara lain : gelisah atau cemas ; sedih, depresi, mudah menangis ; merana jiwa dan hati atau mood berubah- ubah cepat ; mudah panas dan marah ; gugup ; rasa harga diri menurun atau merasa tidak aman ;
Stres tidak selamanya berdampak negatif. Walaupun stres lazimnya dibahas dalam konteks negatif, stres juga mempunyai nilai positif. Stres merupakan suatu peluang bila stres itu menawarkan perolehan yang potensial. Perhatikan misalnya kinerja yang unggul yang ditunjukkan oleh seorang atlit atau pemanggung dalam situasisituasi yang "mencekam". Individu semacam itu sering menggunakan stres secara positif untuk meningkatkan kinerja mendekati maksimum mereka. Dari titik pandang organisasi, manajemen mungkin tidak perduli bila
97
93 – 110
Jurnal Keuangan & Bisnis
karyawan mengalami tingkat stres yang rendah sampai sedang. Alasannya adalah bahwa tingkat semacam itu dapat bersifat fungsional dan mendorong ke kinerja karyawan yang lebih tinggi. Tetapi tingkat stres yang tinggi atau tingkat rendah tetapi berkepanjangan dapat mendorong ke kinerja karyawan yang menurun dan karenanya menuntut tindakan dari manajemen. Menurut Tarupolo (2002), tenaga kerja yang tidak mampu bereaksi secara baik terhadap stres yang dialami, kesehatan jiwanya akan tergangu dan karenanya kualitas hidup dan produktivitasnya menjadi rendah. Karyawan tersebut akan menunjukkan:
Juli
mengambil keputusan sehubungan dengan sebuah alternatif yang memiliki konsekuensi positif maupun negatif yang berkaitan dengannya. Pada karyawan wanita berkeluarga, potensi munculnya konflik peran menjadi semakin besar. Hal tersebut disebabkan karyawan wanita berkeluarga memiliki peran ganda, yaitu berperan sebagai ibu rumah tangga yang mengatur urusan keluarga dan berperan sebagai anggota organisasi yang bertanggung jawab terhadap tugas yang diembannya. Luthans (Siwi ; 2005) menjelaskan bahwa seseorang akan mengalami konflik peran jika ia memiliki dua tekanan atau lebih yang terjadi secara bersamaan dan jika ia berusaha mematuhi satu diantaranya, maka ia akan mengalami kesulitan. Siwi (2005) juga menyimpulkan di dalam penelitiannya bahwa wanita yang bekerja dan menjunjung tinggi pada profesinya akan lebih mengalami konflik peran.
(a) Sering mengeluh sakit dan berobat (b) Malas dan sering mangkir (c) Sering membuat kesalahan dalam pekerjaan dan cenderung mengalami kecelakaan kerja (d) Sering marah dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik (e) Tidak peduli dengan lingkungan, bingung dan pelupa (f) Cara pandang yang negatif dan rasa permusuhan (g) Terlibat penyalahgunaan narkoba (h) Terlibat tindak sabotase di lingkungan kerja.
Gregson dan Auno (Handayani ; 2009) mendefinisikan konflik peran sebagai ketidaksesuaian pengharapan yang berhubungan dengan peran. Harapan akan peran terjadi jika seseorang mengharapkan bagaimana orang lain melakukan perilaku tertentu. Role conflict atau konflik peran didefinisikan oleh Brief et al (Handayani ; 2009) sebagai “the incongruity of expectations associated with a role”. Jadi, konflik peran (tekanan) itu adalah adanya ketidakcocokan antara harapan-harapan yang berkaitan dengan suatu peran. Menurut Rustiani (Supartiningsih, 2003), peran ganda perempuan diartikan sebagai dua atau lebih peran yang harus dimainkan oleh seorang perempuan dalam waktu bersamaan. Adapun peran-peran tersebut umumnya mengenai peran domestik, sebagai ibu rumah tangga, dan peran publik yang umumnya dalam pasar tenaga kerja.
Konflik Peran Pekerja Wanita Terdapat perbedaan pandangan para pakar dalam mengartikan konflik. Setidaknya ada tiga kelompok pendekatan dalam mengartikan konflik, yaitu pendekatan individu, pendekatan organisasi, dan pendekatan sosial. Pengertian konflik yang mengacu kepada pendekatan individu antara lain disampaikan oleh Ruchyat dan Winardi. Ruchyat (2001) mengemukakan konflik individu adalah konflik yang terjadi dalam diri seseorang. Senada dengan pendapat ini Winardi (2004) mengemukakan konflik individu adalah konflik yang terjadi dalam individu bersangkutan. Hal ini terjadi jika individu 1) harus memilih antara dua macam alternatif positif dan yang sama-sama memiliki daya tarik yang sama, 2) harus memilih antara dua macam alternatif negatif yang sama tidak memiliki daya tarik sama sekali, dan 3) harus
Hubungan antara seseorang dengan lingkungan pekerjaannya dapat menyebabkan terjadinya tekanan psikologis yang selanjutnya akan mempengaruhi perilaku, baik di lingkungan kerja maupun lingkungan keluarga. Bentuk nyata tekanan psikologis tersebut adalah konflik peran ganda. Konflik peran ganda diantaranya disebabkan oleh tekanan organisasional di tempat kerja dan
98
2011
Audia Junita
atau ketidaksesuaian antara harapan dengan pencapaian hasil. Tekanan organisasional pada karyawan dapat muncul ketika karyawan tersebut terlalu bersungguh-sungguh dalam menyelesaikan pekerjaannya dan atau malah merasa terbebani dan merasa tidak mampu mengerjakan tugas yang diberikan.
perasaan positif, menyukai, kepercayaan, dan perhatian dari orang lain yaitu orang yang berarti dalam kehidupan individu yang bersangkutan, pengakuan, kepercayaan seseorang dan bantuan langsung dalam bentuk tertentu. Dukungan sosial merupakan transaksi interpersonal yang mencakup afeksi positif, penegasan, dan bantuan berdasarkan pendapat Lin. Dukungan sosial pada umumnya menggambarkan mengenai peranan atau pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh orang lain yang berarti seperti anggota keluarga, teman, saudara, dan rekan kerja. Johnson and Johnson berpendapat bahwa dukungan sosial adalah pemberian bantuan seperti materi, emosi, dan informasi yang berpengaruh terhadap kesejahteraan manusia. Dukungan sosial jugs dimaksudkan sebagai keberadaan dan kesediaan orang-orang yang berarti, yang dapat dipercaya untuk membantu, mendorong, menerima, dan menjaga individu. Survei nasional secara konsisten menunjukkan bahwa orang menganggap hubungan pribadi dan keluarga sebagai sangat berharga. Kesulitan pernikahan, pecahnya suatu hubungan dan kesulitan disiplin pada anak-anak merupakan contoh masalah hubungan yang menciptakan stres bagi para karyawan dan terbawa ke tempat kerja (Sasono ; 2004). Berdasarkan teori-teori diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dukungan sosial adalah bentuk pertolongan yang dapat berupa materi, emosi, dan informasi yang diberikan oleh orangorang yang memiliki arti seperti keluarga, sahabat, teman, saudara, rekan kerja atupun atasan atau orang yang dicintai oleh individu yang bersangkutan. Bantuan atau pertolongan ini diberikan dengan tujuan individu yang mengalami masalah merasa diperhatikan, mendapat dukungan, dihargai dan dicintai.
Yang dkk. (Handayani ; 2009) mengidentifikasikan konflik peran pada pekerja wanita menikah (work-family conflict) ke dalam 3 (tiga) indikator yaitu : 1. Time based conflict. Waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan (keluarga atau pekerjaan) dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan yang lainnya (pekerjaan atau keluarga). 2. Strain-based conflict Terjadi pada saat tekanan dari salah satu peran mempengaruhi kinerja peran lainnya. 3. Behaviour-based conflict Berhubungan dengan ketidaksesuaian antara pola perilaku dengan yang digunakan oleh kedua bagian (pekerjaan atau keluarga). Jadi konflik peran pekerja wanita dapat disimpulkan sebagai konflik yang terjadi dalam diri pekerja wanita yang disebabkan tuntutan peran sebagai pekerja sekaligus sebagai ibu rumah tangga. Dukungan Sosial Pengertian Dukungan Sosial Saronson (www.masbow.com ; 2009) menerangkan bahwa dukungan sosial dapat dianggap sebagai sesuatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya. Dari keadaan tersebut individu akan mengetahui bahwa orang lain memperhatikan, menghargai, dan mencintainya. Menurut Gonollen dan Bloney (www.masbow.com ; 2009), dukungan sosial adalah derajat dukungan yang diberikan kepada individu khususnya sewaktu dibutuhkan oleh orang-orang yang memiliki hubungan emosional yang dekat dengan orang tersebut. Katc dan Kahn (www.masbow.com ; 2009) berpendapat, dukungan sosial adalah
Manfaat Dukungan Sosial Dukungan sosial pada umumnya menggambarkan mengenai peran atau pengaruh serta bantuan yang diberikan oleh orang yang berarti seperti anggota
99
93 – 110
Jurnal Keuangan & Bisnis
keluarga, teman, saudara, dan rekan kerja. Menurut Saronson dkk (www.masbow.com ; 2009) dukungan sosial memiliki peranan penting untuk mencegah dari ancaman kesehatan mental. Individu yang memiliki dukungan sosial yang lebih kecil, lebih memungkinkan mengalami konsekuensi psikis yang negatif. Keuntungan individu yang memperoleh dukungan sosial yang tinggi akan menjadi individu lebih optimis dalam menghadapi kehidupan saat ini maupun masa yang akan datang, lebih terampil dalam memenuhi kebutuhan psikologi dan memiliki sistem yang lebih tinggi, serta tingkat kecemasan yang lebih rendah, mempertinggi interpersonal skill (keterampilan interpersonal), memiliki kemampuan untuk mencapai apa yang diinginkan dan lebih dapat membimbing individu untuk beradaptasi dengan stres.
Juli
individu dari ancaman kesehatan mental dan adanya dukungan sosial yang tinggi akan membuat individu lebih optimis dalam menghadapi kehidupan saat ini dan akan datang selain itu, individu dengan ikatan sosial lebih banyak cenderung memiliki usia yang lebih panjang. Aspek-Aspek Dukungan Sosial Hause (www.masbow.com ; 2009) berpendapat bahwa ada empat aspek dukungan sosial yaitu: a. Emosional Aspek ini melibatkan kekuatan jasmani dan keinginan untuk percaya pada orang lain sehingga individu yang bersangkutan menjadi yakin bahwa orang lain tersebut mampu memberikan cinta dan kasih sayang kepadanya. b. Instrumental Aspek ini meliputi penyediaan sarana untuk mempermudah atau menolong orang lain sebagai contohnya adalah peralatan, perlengkapan, dan sarana pendukung lain dan termasuk didalamnya memberikan peluang waktu. c. Informatif Aspek ini berupa pemberian informasi untuk mengatasi masalah pribadi. Aspek informatif ini terdiri dari pemberian nasehat, pengarahan, dan keterangan lain yang dibutuhkan oleh individu yang bersangkutan. d. Penilaian Aspek ini terdiri atas dukungan peran sosial yang meliputi umpan balik, perbandingan sosial, dan afirmasi (persetujuan). Menurut Barrera (www.masbow.com ; 2009) terdapat lima macam dukungan sosial yaitu : Bantuan Materi: dapat berupa pinjaman uang. Bantuan Fisik: interaksi yang mendalam, mencakup pemberian kasih sayang dan kesediaan untuk mendengarkan permasalahan.
Dari berbagai penelitian yang dikemukakan oleh Atkinson (www.masbow.com ; 2009) menunjukkan bahwa orang yang memiliki banyak ikatan sosial cenderung untuk memiliki usia yang lebih panjang. Selain itu, juga relatif lebih tahan terhadap stress yang berhubungan dengan penyakit daripada orang yang memiliki sedikit ikatan sosial. Akan tetapi, selain berpengaruh positif bagi individu, dukungan sosial dapat juga memberikan pengaruh negatif terhadap kondisi psikologis. Faktor keintiman yang berlebihan dengan teman dan penerimaan dukungan sosial yang lebih tinggi akan menyebabkan individu mudah menerima informasi yang disampaikan oleh orang lain tanpa menyeleksi informasi-informasi yang bermanfaat dan informasi yang merugikan. Akibatnya ketika individu mendapatkan informasi yang kabur (gosip) akan mengalami kecemasan dan stress hal ini sesuai dengan pendapat Hofboll (www.masbow.com ; 2009). Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial dapat mencegah
100
2011
Audia Junita
Bimbingan: termasuk pengajaran dan pemberian nasehat. Umpan Balik: pertolongan seseorang yang paham dengan masalahnya sekaligus memberikan pilihan respon yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Partisipasi Sosial: bersenda gurau dan berkelakar untuk menghibur seseorang.
(www.masbow.com ; 2009) mengungkapkan hubungan dalam perkawinan akan menjadikan suatu keharmonisan keluarga, yaitu kebahagiaan dalam hidup karena cinta kasih suami istri yang didasari kerelaan dan keserasian hidup bersama. b) Keluarga Menurut Heardman (www.masbow.com ; 2009) keluarga merupakan sumber dukungan sosial karena dalam hubungan keluarga tercipta hubungan yang saling mempercayai. Individu sebagai anggota keluarga akan menjadikan keluarga sebagai kumpulan harapan, tempat bercerita, tempat bertanya, dan tempat mengeluarkan keluhankeluhan bilamana individu sedang mengalami permasalahan. c) Teman/sahabat Menurut Kail dan Neilsen (www.masbow.com ; 2009) teman dekat merupakan sumber dukungan sosial karena dapat memberikan rasa senang dan dukungan selama mengalami suatu permasalahan. Sedangkan menurut Ahmadi bahwa persahabatan adalah hubungan yang saling mendukung, saling memelihara, pemberian dalam persahabatan dapat terwujud barang atau perhatian tanpa unsur eksploitasi (www.masbow.com ; 2009).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dukungan sosial adalah aspek emosional, aspek instrumental, aspek informatif, dan aspek penilaian. Dukungan sosial dapat diwujudkan dengan bantuan materi, bantuan fisik, bimbingan, umpan balik, dan partisipasi sosial. Sumber-Sumber Dukungan Sosial Hause dan Kahn (www.masbow.com ; 2009) mengemukakan bahwa dukungan sosial dapat dipenuhi dari teman atau persahabatan, keluarga, dokter, psikolog, psikiater. Hal senada juga diungkapkan oleh Thorst (www.masbow.com ; 2009) bahwa dukungan sosial bersumber dari orang-orang yang memiliki hubungan berarti bagi individu seperti keluarga, teman dekat, pasangan hidup, rekan kerja, tetangga, dan saudara. Sedangkan Nicholson dan Antil (www.masbow.com ; 2009) dukungan sosial adalah dukungan yang berasal dari keluarga dan teman dekat atau sahabat. Sumbersumber dukungan sosial yaitu: a) Suami Menurut Wirawan (www.masbow.com ; 2009) hubungan perkawinan merupakan hubungan akrab yang diikuti oleh minat yang sama, kepentingan yang sama, saling membagi perasaan, saling mendukung, dan menyelesaikan permaslahan bersama. Sedangkan, Santi
Kaitan Antara Konflik Peran, Dukungan Sosial dan Tingkat Stres Pekerja Wanita Dari berbagai pandangan ahli tentang stres dapat dipahami bahwa pemicu stres (stresor) sangat beragam baik dari lingkungan, individu maupun organisasi itu sendiri. Khususnya untuk pekerja wanita, salah satu penyebab munculnya stress adalah karena peran ganda yang dijalankannya baik sebagai pekerja sekaligus sebagai ibu rumah tangga yang kemudian memunculkan konflik dalam dirinya. Pada saat yang sama, mereka dituntut
101
93 – 110
Jurnal Keuangan & Bisnis
harus dapat memainkan peran sebaik mungkin baik di tempat kerja maupun di rumah. Senada dengan hal di atas, menurut Gibson (1996), penyebab stres kerja ada 4 (empat) yaitu lingkungan fisik, individual, dan kelompok. Tekanan individual yang dapat menjadi penyebab stres antara lain konflik peran dan peran ganda. Sumber stres kerja menurut Cooper dan Allison Straw (1995) antara lain konflik peran. Stres karena ketidakjelasan peran dalam bekerja dan tidak tahu yang diharapkan oleh manajemen. Akibatnya sering muncul ketidakpuasan kerja, ketegangan, menurunnya prestasi hingga ahirnya timbul keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Para wanita yang bekerja mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Masalahnya wanita bekerja ini menghadapi konflik peran sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Manuaba (2005), menyebutkan bahwa stres yang berkaitan dengan pekerjaan, dapat disebabkan oleh : a. Tuntutan pekerjaan terlalu berat atau terlalu rendah b. Pekerja tidak punya hak/ tidak diikutkan dalam mengorganisir kerja mereka c. Dukungan rendah dari manajemen dan teman sekerja d. Konflik karena tuntutan yang tinggi seperti tercapainya kualitas dan produktivitas.
Juli
tuntutan perusahaan semuanya dapat merupakan tekanan pada individu dalam pekerjaannya. Namun dalam kenyataannya, ada orang yang berkembang dibawah situasi penuh stres, orang lain dilumpuhkan oleh situasi itu. Apakah yang membedakan orang dalam hal kemampuan mereka menangani stres ? Apakah variabel perbedaan individual yang memperlunak hubungan antara penyebab stres potensial dan stres yang dialami ? Menurut Sasono (2004), sekurang-kurangnya ada lima variabel – persepsi, pengalaman kerja, dukungan sosial, keyakinan akan tempat kedudukan kendali, dan permusuhan – telah ditentukan sebagai pelunak yang relevan. Khusus untuk variabel dukungan sosial, makin banyak bukti yang menunjukkan bahwa dukungan sosial – yaitu hubungan kolegal dengan rekan sekerja atau supervisor – dapat menyanggah dampak stres. Logika yang mendasari variabel pelunak ini adalah bahwa dukungan sosial bertindak suatu pereda yang mengurangi efek negatif bahkan dari pekerjaan-pekerjaan berkepegangan tinggi. Bagi individu yang kolega kerjanya tidak membantu atau bahkan aktif bermusuhan, dukungan sosial dapat ditemukan diluar pekerjaan itu. Keterlibatan dengan keluarga, teman dan komunitas dapat memberikan dukungan – khususnya bagi mereka yang memiliki kebutuhan sosial yang tinggi – yang tidak diperoleh dari tempat kerja dan ini dapat membuat penyebab stres pekerjaan lebih dapat ditolerir.
Sunyoto (2001), mengelompokkan faktorfaktor penyebab stres dalam pekerjaan yaitu : a. Peran individu dalam organisasi Setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai dengan aturan- aturan yang ada dan sesuai yang diharapkan atasannya. Namun tenaga kerja tidak selalu berhasil memainkan perannya sehingga timbul konflik peran. b. Tuntutan dari luar organisasi atau pekerjaan Kategori pembangkit stres potensial ini mencakup segala unsur kehidupan seorang yang dapat berinteraksi dengan peristiwaperistiwa kehidupan dan kerja didalam satu organisasi dan dengan demikian memberikan tekanan pada individu. Isu tentang keluarga, krisis kehidupan, kesulitan keuangan, keyakinan- keyakinan pribadi dan organisasi yang bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan
Memelihara hubungan baik dengan rekanrekan di sekeliling Anda serta atasan, sangatlah penting untuk mencegah timbulnya masalah yang tidak perlu. Bahkan, dukungan moril dan emosional dari rekan-rekan dan atasan, dapat membuat Anda lebih bersemangat kerja. Keberadaan mereka, juga dapat berperan dalam membantu Anda saat menghadapi masalah keluarga. Pengertian dan perhatian mereka, membuat Anda merasa lebih nyaman saat Anda harus meninggalkan kantor atau menunda pekerjaan karena masalah-masalah berat dan penting di keluarga. Keberadaan rekan-rekan, akan membantu Anda dalam mendelegasikan beberapa pekerjaan. Ada dua pendekatan yang bisa dipakai dalam mengelola stres yaitu pendekatan
102
2011
Audia Junita
individual dan pendekatan organisasional. Pada pendekatan individual, strategi individu yang telah terbukti efektif antara lain dengan memperluas dukungan sosial. Mempunyai teman, keluarga atau rekan sekerja untuk diajak bicara memberikan suatu saluran keluar bila tingkat stres menjadi berlebihan. Oleh karena itu memperluas jaringan dukungan sosial bisa merupakan suatu cara untuk pengurangan ketegangan. Dukungan sosial melunakkan hubungan antara stres dan hilangnya semangat. Artinya dukungan yang tinggi mengurangi kemungkinan bahwa stres kerja yang berat akan mengakibatkan hilangnya semangat kerja (Sasono; 2004).
Konflik Peran
Tingkat Stres
Adapun bunyi hipotesis penelitian adalah sebagai berikut : H1
: Konflik peran berpengaruh terhadap tingkat stres dosen wanita.
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian maka jenis penelitian kausalitas yang berupaya melihat adanya hubungan sebab akibat. Metode yang digunakan adalah survei yaitu penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang utama.
Dukungan sosial tidak hanya diperoleh dari rekan kerja, akan tetapi dari lingkungan terdekat antara lain keluarga (termasuk suami). Dukungan suami dapat diterjemahkan sebagai sikap-sikap penuh pengertian yang ditunjukkan dalam bentuk kerja sama yang positif, ikut membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, membantu mengurus anak-anak serta memberikan dukungan moral dan emosional terhadap karir atau pekerjaan istrinya. Di Indonesia, iklim paternalistik dan otoritarian yang sangat kuat, turut menjadi faktor yang membebani peran ibu bekerja, karena masih terdapat pemahaman bahwa pria tidak boleh mengerjakan pekerjaan wanita, apalagi ikut mengurus masalah rumah tangga. Masalah rumah tangga adalah kewajiban sepenuhnya seorang istri. Masalah yang kemudian timbul akibat bekerjanya sang istri, sepenuhnya merupakan kesalahan dari istri dan untuk itu ia harus bertanggung jawab menyelesaikannya sendiri. Keadaan tersebut, akan menjadi sumber tekanan yang berat bagi istri, sehingga ia pun akan sulit merasakan kepuasan dalam bekerja. Kurangnya dukungan suami, membuat peran sang ibu di rumah pun tidak optimal (karena terlalu banyak yang masih harus dikerjakan sementara dirinya juga merasa lelah sesudah bekerja) dan akibatnya timbul rasa bersalah karena merasa diri bukan ibu dan istri yang baik.
Definisi Operasional Variabel Penelitian Dalam penelitian ini ada tiga variabel yang akan diteliti yaitu : 1. Variabel Konflik Peran (X1) adalah konflik yang terjadi dalam diri pekerja wanita yang disebabkan tuntutan peran sebagai pekerja sekaligus sebagai ibu rumah tangga. Dimensi dari variabel konflik peran diukur dari : Time-based conflict, Strainbased conflict dan Behavior-based conflict. Jumlah item pertanyaan 13 item. 2. Variabel Stres Kerja (Y1), yaitu suatu bentuk tanggapan seseorang, baik fisik maupun mental terhadap suatu perubahan di lingkungannya yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam. Dimensi dari variabel stres kerja diukur dari : gejala psikologis, gejala perilaku, gejala kognitif dan gejala interpersonal. Jumlah item pertanyaan 28 item. Indikator-indikator pada setiap variabel diukur menggunakan skala interval dengan tipe Skala Likert 5 (lima) titik diawali dengan sangat tidak setuju (skor 1) hingga sangat setuju (skor 5). Operasionalisasi variabel hingga menjadi indikator didesain sendiri oleh peneliti dengan mengacu pada kajian teoritis.
Kerangka Hubungan Antar Variabel dan Hipotesis Penelitian Berdasarkan kajian teoritis di atas, dapat digambarkan hubungan antar variabel penelitian sebagai berikut :
103
93 – 110
Jurnal Keuangan & Bisnis
Juli
pengaruh konflik peran ganda terhadap tingkat stres dosen wanita. Adapun model hipotesis pertama sebagai berikut :
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini mendasarkan analisa dengan menggunakan data primer yaitu data yang diperoleh dari responden penelitian yaitu dosen wanita yang berstatus sebagai ibu rumah tangga di Kopertis Wilayah I yang ditempatkan di Kota Medan.
H1 : Y1 = α + β1X1 + ε Dimana : Y1 X1 β1 ε
Populasi dan Sampel Penelitian
: : : :
Tingkat Stres Konflik Peran Koefisien Regresi Error
Uji hipotesis dilakukan dengan membandingkan nilai probabilitas variabel dengan tingkat signifikansi 5 %.
Menurut Sugiyono (2002), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah dosen wanita Kopertis Wilayah I yang ditempatkan di PTS seputar Kota Medan. Sedangkan sampel, menurut Sugiyono (2002) adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 35 orang.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Karakteristik dominan responden dapat dijelaskan sebagai berikut : berusia di atas 45 tahun (54,3%), berlatar belakang pendidikan Strata 2 (68,6%), suami berprofesi sebagai pegawai negri sipil (62,9%), jumlah anak yang dimiliki responden di bawah 3 orang (62,9%) dengan usia anak terkecil di bawah 5 tahun (51,4%), responden juga sebagian besar tidak lagi tinggal bersama orang tuanya (62,9%), di tempat tinggal responden juga tidak ada keluarga lain (selain keluarga inti) yang tinggal bersama (51,4%), namun responden rata-rata memiliki PRT (68,6%). Jika dilihat dari frekuensi mengajar responden, maka sebagian besar responden di bawah 4 kali seminggu (51,4%) dengan waktu mengajar pagi hingga sian (45,7%).
Penarikan sampel dilakukan secara non probability dengan menggunakan teknik sampling purposive, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Adapun pertimbangan tersebut yaitu : 1) Dosen wanita yang aktif melaksanakan tugas 2) Memiliki keluarga lengkap : suami dan anak yang belum mandiri (usia tingkat Sekolah Dasar). 3) Tidak sedang menduduki jabatan struktural.
Uji Validitas dan Reliabilitas
Teknik Pengumpulan Data Penelitian
Uji validitas dimaksudkan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut. Aturan umum yang dipakai adalah item total correlation tiap-tiap item harus lebih besar dari 0,30 (Hair et al, 2005). Uji reliabilitas dilakukan untuk mengukur bahwa instrumen yang digunakan benar-benar bebas dari kesalahan, sehingga diharapkan mendapatkan hasil yang konsisten. Reliabilitas instrumen diuji dengan menggunakan nilai cronbach’s alpha yang lebih besar dari 0,70 (Hair et.al,1998). Hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Dari hasil uji validitas dan reliabilitas ditemukan enam belas item yang tidak valid
Teknik pengumpulan data (Nazir, 1988) dalam penelitian ini dilakukan dengan alat bantu daftar pertanyaan (kuesioner) yaitu seperangkat pernyataan yang disusun sendiri oleh peneliti untuk kemudian diisi oleh responden. Untuk mendapatkan instrumen yang ampuh dalam mengukur seluruh indikator dari setiap variabel penelitian, maka dilakukan uji instrumen terlebih dahulu. Uji instrumen tersebut meliputi uji validitas dan reliabilitas. Analisa Data dan Pengujian Hipotesa Uji hipotesis pertama dilakukan dengan menggunakan uji regresi sederhana dimaksudkan untuk menguji apakah ada
104
2011
Audia Junita
dari lima puluh enam item pertanyaan. Item yang tidak valid, tidak diikutsertakan lagi
pada uji selanjutnya.
Tabel 1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Sesudah Item Yang Tidak Valid Dikeluarkan Variabel Konflik Peran (X1)
Item
KP 1 KP 2 KP 4 KP 6 KP 7 KP 8 KP 10 KP 12 DS 6 DS 7 DS 12 DS 13 DS 14 DS 15 DS 16 Stres Kerja (Y) SK 1 SK 3 SK 4 SK 6 SK 7 SK 8 SK 10 SK 11 SK 12 SK 13 SK 14 SK 15 SK 16 SK 17 SK 18 SK 19 SK 20 SK 21 SK 22 SK 23 SK 24 SK 25 SK 26 SK 27 SK 28 Sumber : Data Primer Diolah
Corrected Item Total Correlation 0,517 0,512 0,478 0,693 0,406 0,554 0,394 0,484 0,436 0,466 0,721 0,747 0,308 0,423 0,493 0,628 0,490 0,358 0,438 0,588 0,332 0,513 0,598 0,636 0,366 0,621 0,709 0,574 0,634 0,780 0,694 0,623 0,723 0,500 0,647 0,714 0,774 0,768 0,683 0,644
Koefisien Cronbach’s Alpha 0,791
Item Yang Dikeluarkan KP 3 KP 5 KP 9 KP 11 KP 13
0,935
SK 2 SK 5 SK 9
dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal ataukah tidak. Model regresi yang baik haruslah memiliki distribusi
Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel terikat
105
93 – 110
Jurnal Keuangan & Bisnis
data normal atau mendekati normal. Dalam penelitian ini, uji statistik yang digunakan untuk menguji normalitas data adalah dengan Kolmogorov-Smirnov Test. Hasil uji normalitas data tampak pada Tabel 2 berikut :
Berdasarkan data (Tabel 3.) tampak bahwa seluruh responden mengalami konflik peran dalam kategori tinggi (100 %). Bentuk-bentuk konflik peran yang dialami dosen wanita tampak dari kondisi yang dialami responden bahwa mayoritas responden merasa waktu yang digunakan untuk menyelesaikan tugas dapat mengurangi waktu untuk keluarga (mean = 2,83), sebaliknya waktu yang digunakan untuk keluarga akan menghambat penyelesaian tugas kantor (mean = 2,40), responden menganggap tidak sesuai jika hari libur kerja dimanfaatkan organisasi untuk melakukan kegiatan tambahan (mean = 3,63), responden juga merasakan bahwa perhatian penuh terhadap pekerjaan akan berpengaruh negatif terhadap hubungan keluarga (mean = 2,49), keluarga responden juga sering protes jika waktu keluarga diambil untuk menyelesaikan tugas kantor (mean = 3,29), keterlambatan penyelesaian tugas kantor seringkali dialami responden disebabkan urusan rumah tangga (mean = 2,80), responden juga seringkali menyelesaikan pekerjaan kantor di rumah (mean = 2,03) juga sering izin tidak masuk kerja karena urusan rumah tangga (mean = 2,14). Dengan demikian hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Prameswari (2007) berjudul “Gambaran Konflik Peran Pada Wirausaha Wanita Yang Sudah Berkeluarga”. Hasil analisis penelitian membuktikan bahwa wanita karir yang sudah berkeluarga cenderung mengalami konflik peran dalam menjalani peran gandanya, yaitu sebagai seorang ibu, istri, dan karyawan. Konflik peran tersebut disebabkan oleh tuntutan waktu yang bersamaan pada peran dalam organisasi dan peran rumah tangganya. Selain itu, konflik peran juga disebabkan karena kesulitan mengganti set perilaku ketika harus berpindah peran dalam setiap peran yang dijalaninya.
Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Atas Model Hipotesis Hipo tesis
Model Matematik
Nilai Signifikansi K-S Test H1 Y1 = α + β1 X1 + ε 0,447 Sumber : Data Primer Diolah
α (alpha)
Ket.
0,05
Normal
Juli
Berdasarkan hasil uji normalitas dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test diketahui distribusi data normal untuk kedua model persamaan di atas. Sebaran data disimpulkan normal jika nilai signifikansi Kolmogorov-Smirnov Test di atas tingkat signifikansi penelitian (alpha). Deskripsi Variabel Penelitian Deskripsi Konflik Peran Luthans (Siwi ; 2005) menjelaskan bahwa seseorang akan mengalami konflik peran jika ia memiliki dua tekanan atau lebih yang terjadi secara bersamaan dan jika ia berusaha mematuhi satu diantaranya, maka ia akan mengalami kesulitan. Siwi (2005) juga menyimpulkan di dalam penelitiannya bahwa wanita yang bekerja dan menjunjung tinggi pada profesinya akan lebih mengalami konflik peran. Berdasarkan data penelitian, tingkatan konflik peran yang dialami responden tampak pada Tabel 3 berikut : Tabel 3. Distribusi Frekuensi Tingkat Konflik Peran Tingkatan Frekuensi Persentase Konflik Peran (%) Tinggi 35 100,0 Rendah Jumlah 35 100,0 Sumber : Data Primer Diolah
106
2011
Audia Junita
(mean = 2,09), responden merasa tidak mampu menjadwal pekerjaan dengan baik (mean = 2,11), malas mengembangkan kemampuan diri untuk kemajuan organisasi (mean = 2,03), sering menunda penyelesaian tugas (mean = 2,11), sering terlambat (mean = 2,14), sering tidak tepat waktu menyelesaikan pekerjaan (mean = 2,11), sering merasa sulit konsentrasi (mean = 2,33), sulit membuat keputusan (mean = 2,29), tidak memiliki kreatifitas dalam bekerja (mean = 2,03), tidak percaya kepada orang lain (mean = 2,43), mudah mempersalahkan orang lain (mean = 2,00), mudah ingkar janji (mean = 2,09), dan senang mendiamkan orang lain (mean = 2,06). Secara teoritis, stres yang dialami seseorang menimbulkan berbagai macam tanggapan dari orang yang berbeda (Gibson, 1993). Beberapa orang ketahanannya terhadap stres bisa lebih tinggi dibandingkan orang lain sehinggga mereka dapat menyesuaikan perilaku mereka atau dapat mengatasi tekanan (stres) tersebut dan sebaliknya beberapa orang lebih dominan dipengaruhi oleh tekanan (stres) artinya mereka tidak mampu menyesuaikan diri terhadap penekan (stresor). Penelitian ini membuktikan teori tersebut, berdasarkan hasil olah data penelitian dapat dideskripsikan seluruh responden mengalami konflik peran yang tinggi, namun dari seluruh responden ada sebanyak 23 orang (65,71%) yang mengalami stres kerja yang tinggi, sisanya stres kerjanya rendah (34,29%). Salah satu perbedaan individual yang dapat dijadikan moderator dari hubungan antara penekan (stresor), dalam hal ini konflik peran dan stres (tekanan) adalah jenis kelamin. Pada saat sekarang ini, dengan semakin banyaknya wanita berkarir menjadikan perbedaan antara pria dan wanita semakin lama semakin menyempit, demikian pula tanggapan pria dan wanita terhadap stres. Berdasarkan hasil penelitian (Gibson, 1993) diketahui bahwa penyakit jantung koroner, radang dinding lambung
Deskripsi Stres Kerja Menurut Anoraga (2001), stres kerja adalah suatu bentuk tanggapan seseorang, baik fisik maupun mental terhadap suatu perubahan di lingkungannya yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam. Selanjutnya Tarupolo (2002) mengartikan stres kerja sebagai suatu proses yang menyebabkan orang merasa sakit, tidak nyaman atau tegang karena pekerjaan, tempat kerja atau situasi kerja tertentu. Tinggi-rendahnya stres kerja yang dialami dosen wanita dapat dilihat pada Tabel 4 berikut : Tabel 4. Distribusi Frekuensi Tingkat Stres Kerja Responden Tingkat Frekuensi Persentase Stres Kerja (%) Tinggi 23 65,71 Rendah 12 34,29 Jumlah 35 100,0 Sumber : Data Sekunder Diolah Berdasarkan data yang tampak pada Tabel 4 diketahui bahwa mayoritas responden mengalami stres kerja dalam kategori tinggi (65,71%). Tingkat stres kerja responden yang tinggi tersebut didukung data bahwa mayoritas responden merasakan bentuk-bentuk stres kerja sebagai berikut : responden sering merasa bingung (mean = 2,26), sering merasa tersinggung (mean = 2,20), responden tidak senang melibatkan diri dalam menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi dalam perusahaan (mean = 2,57), selalu merasa dikejar waktu untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik (3,03), pekerjaan dan tugas terasa membosankan (mean = 2,14), responden merasa putus asa karena sudah lama bekerja namun tidak mengalami peningkatan yang berarti (mean = 2,37), merasa terbebani dengan segala pekerjaan kantor (mean = 2,11), merasa tidak nyaman berada dalam lingkungan kerja
107
93 – 110
Jurnal Keuangan & Bisnis
semakin meningkat di kalangan wanita. Disimpulkan bahwa wanita karir yang gesit dan ingin maju terus (berorientasi pada karir) dapat berpengaruh negatif pada kesehatan fisik dan mentalnya.
Juli
kerja dosen wanita. Berdasarkan hasil analisa regresi sederhana tampak bahwa koefisien konflik peran berpengaruh signifikan terhadap stres kerja pada α = 0,05 (ρ = 0,016) dan bertanda positif (Tabel 5). Artinya hipotesis 1 dalam penelitian ini dapat diterima (H1 diterima). Dengan kata lain ada pengaruh signifikan konflik peran terhadap tingkat stres dosen wanita.
Pengujian Hipotesis Penelitian Hipotesis 1 bertujuan menguji apakah ada pengaruh konflik peran terhadap stres
Tabel 5. Hasil Analisis Regresi Hipotesis 1 ρ Koefisien Standar t- Value Ket Beta Error . Konflik Peran (X1) 0,298 0,118 2,530 0,016 S Konstanta 1,273 0,349 3,644 0,001 2 R = 13,7% F= 6,399 ρ = 0,016 n = 35 S = Signifikan Dependent Variable : Stres Kerja Sumber : Data Primer Diolah Variabel
Berdasarkan hasil uji regresi sederhana juga tampak bahwa stres kerja dapat dijelaskan oleh variabel konflik peran sebesar 13,7%, dapat dilihat nilai R Square (R2) sebesar 13,7%. Nilai F test yang signifikan juga memberikan pemahaman bahwa persamaan regresi yang dihasilkan yaitu Y = 1,273 + 0,298X1 dapat digunakan untuk memprediksi variabel stres kerja. Sebesar 0,298 berarti bahwa setiap peningkatan konflik peran yang dialami dosen wanita 1000 kali akan meningkatkan stres kerja mereka sebesar 298 kali dan sebaliknya. Dengan kata lain konflik peran yang dialami dosen wanita akan meningkatkan stres kerja mereka. Semakin tinggi konflik peran yang dialami dosen wanita akan semakin tinggi tingkat stres mereka dan sebaliknya semakin rendah konflik peran yang dialami dosen wanita akan menurunkan tingkat stres mereka. Secara teoritis kaitan konflik peran merupakan pemicu stres individual yang paling banyak diteliti. Konflik peran muncul manakala pemenuhan harapan seseorang terhadap sekelompok harapan yang lain mengalami benturan. Pada kasus konflik peran yang dialami dosen (pekerja) wanita muncul manakala kepentingan tugas (profesi) sebagai dosen berbenturan dengan kepentingan keluarga.
Tampaknya konflik yang dialami oleh dosen wanita cenderung mengarah pada jenis konflik disfungsional. Konflik disfungsional atau konflik yang mengganggu adalah setiap konfrontasi atau interaksi yang timbul di antara kelompok-kelompok dalam organisasi yang merintangi tercapainya tujuan organisasi (Gibson, 1993). Konflik yang dialami adalah konflik disfungsional karena dampaknya memicu responden merasakan tingkat stres yang tinggi pula. Lebih lanjut Gibson et.al (1993) menjelaskan kaitan antara stres kerja yang dialami individu terhadap kinerja (performance) organisasi, bahwa tingkat stres yang tinggi berdampak pada rendahnya kinerja organisasi. Kahn dan teman-temannya telah mengadakan penelitian (Gibson et.al.,1993) terkait dengan konflik peran dan stres kerja, hasilnya ditemukan bahwa pekerja yang menderita lebih banyak konflik peran, mempunyai kepuasan kerja yang lebih rendah dan tekanan darah (salah satu ciri stres kerja) mereka lebih tinggi disebabkan oleh pekerjaan mereka. Dengan demikian hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Widyawati dan Mahfudz (2008) berjudul “Pengaruh Konflik Peran Ganda Sebagai Ibu Rumah Tangga dan Pekerja Terhadap Tingkat Stres Wanita Karir (Studi Kasus Pada Pegawai Negri Sipil Wanita di Kota Semarang Jawa Tengah) dan penelitian
108
2011
Audia Junita
yang dilakukan oleh Hastuti (2008) tentang “Hubungan Antara Konflik Peran Ganda Wanita Karir Dengan Sikap Kerja Negatif”. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa konflik peran yang bersumber dari lingkungan kerja berpengaruh terhadap tingkat stres yang bersumber dari faktor intrinsik di pekerjaan secara negatif, dalam arti semakin tinggi konflik peran yang bersumber dari lingkungan kerja yang dialami oleh wanita karir, maka tingkat stres yang bersumber dari faktor intrinsik di pekerjaan justru akan semakin rendah, demikian pula sebaliknya. Diduga jenis konflik peran yang terjadi merupakan konflik yang sifatnya fungsional. Perbedaannya pada penelitian ini, konflik peran yang dialami responden berpengaruh positif terhadap tingkat stres kerja. Diduga konflik peran yang terjadi bersifat disfungsional (mengganggu pencapaian tujuan organisasi). Oleh karena secara teoritis diyakini bahwa tingkat stres kerja yang tinggi akan berdampak negatif terhadap kinerja (performance) organisasi, walaupun penelitian ini tidak menguji kaitan antara stres terhadap kinerja organisasi.
merasa diperhatikan, mendapat dukungan, dihargai dan dicintai oleh lingkungannya. 2. Ada pengaruh signifikan konflik peran terhadap tingkat stres dosen wanita. Konflik peran yang tinggi yang dialami dosen wanita berpengaruh pada tingkat stres yang tinggi pula dan sebaliknya dosen wanita yang mengalami tingkat konflik yang rendah akan mengalami tingkat stres yang rendah pula. Saran Saran yang diajukan terkait dengan simpulan yang diperoleh dalam penelitian ini: 1. Oleh karena dosen wanita cenderung mengalami tingkat konflik yang tinggi karena peran ganda yang melekat pada dirinya, hendaknya lingkungan sosial, termasuk rekan kerja dan organisasi memberikan bentuk-bentuk dukungan sosial yang tepat sesuai dengan kebutuhan. Bentuk-bentuk dukungan sosial yang dapat diberikan organisasi antara lain tersedianya bagian konseling, memberikan penghargaan secara proporsional, kejelasan tugas, sarana kerja yang memadai, ketersediaan informasi yang cepat dan akurat, peluang mengembangkan karir serta bentuk-bentuk dukungan sosial lainnya. 2. Penelitian ini adalah penelitian persepsional, selain memiliki keunggulan juga memiliki kelemahan. Salah satu kelemahan yang mungkin muncul adalah adanya respon yang bias dari para responden. 3. Untuk peneliti yang tertarik meneliti topik yang sama, hendaknya menambah variabel kinerja (performance) organisasi sebagai variabel terikat. Penelitian tersebut akan memberikan gambaran komprehensif mengenai kaitan antara pemicu stres pekerja wanita (stresor), stres kerja dan dampak stres terhadap kinerja organisasi.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diperoleh melalui penelitian ini antara lain sebagai berikut : 1. Mayoritas dosen wanita mengalami konflik peran yang tinggi, stres kerja yang tinggi serta dukungan sosial yang tinggi. Dosen wanita yang sudah berkeluarga cenderung mengalami konflik peran dalam menjalani peran gandanya, yaitu sebagai seorang ibu, istri, dan karyawan. Konflik peran tersebut disebabkan oleh tuntutan waktu yang bersamaan pada peran dalam organisasi dan peran rumah tangganya. Namun, mereka mendapatkan dukungan sosial yang tinggi pula berupa materi, emosi, dan informasi yang diberikan oleh orangorang yang memiliki arti seperti keluarga, sahabat, teman, saudara, rekan kerja atupun atasan atau orang yang dicintai oleh individu yang bersangkutan sehingga mereka
DAFTAR PUSTAKA Anoraga, P. (2001). Psikologi Kerja. Jakarta, PT Rineka Cipta
109
93 – 110
Jurnal Keuangan & Bisnis
Cooper, C. dan Alison Straw. (1995). Stres Manajemen Sukses Dalam Sepekan. Editor : Fathudin. Jakarta, Kesaint Blanc.
Juli
Sunyoto, A. (2001). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta, Universitas Indonesia. Supartiningsih. (2003). Peran Ganda Perempuan, Sebuah Analisis Filosofis Kritis. Jurnal Filsafat. April, Jilid 33, Nomor 1 Sutanto, Himawan. (2008). Stress di Tempat Kerja. Artikel. www.wordpress.com. Tarupolo, B. (2002). Warta Kesehatan Kerja Media Komunikasi Kesehatan Kerja. Edisi 1, Jakarta. www. bappenas.go.id. (2009). www.bps.go.id. (2009). www.depkominfo.go.id. (2007). Partisipasi Perempuan Dalam Lapangan Kerja Meningkat Tajam. 23 Mei 2007 www.masbow.com. (2009). Apa Itu Dukungan Sosial? 09 Agustus 2009 Widyawati, K dan Mahfudz. (2008). Pengaruh Konflik Peran Ganda Sebagai Ibu Rumah Tangga dan Pekerja Terhadap Tingkat Stres Wanita Karir (Studi Kasus Pada Pegawai Negri Sipil Wanita di Kota Semarang Jawa Tengah). www.lemlit.undip.ac.id Winardi. (2004). Manajemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan), Bandung, CV Mandar Maju.
Gibson. (1996). Organisasi. Editor : Lyndon Saputra. Jakarta, Binarupa Aksara. Hair, J.F.Jr, Anderson, R.E., Tatham, R.L. & Black, W.C. (2005). Multivariate Data Analysis, 5th editions, Prentice-Hall. Handayani, W. (2009). Dampak Komitmen Organisasi, Self Efficacy Terhadap Konflik Peran dan Kinerja Karyawati PT. HM. SAMPOERNA, Tbk. Di Surabaya. www.puslit2.petra.ac.id. Diakses 09 Desember 2009 Hastuti, P. (2008). Hubungan Antara Konflik Peran Ganda Wanita Karir Dengan Sikap Kerja Negatif. Tesis. www.etd.eprints.ums.ac.id Harsiwi, A.M. (2004). Produktivitas Kerja dan Aktualisasi diri Dosen Wanita. Manuaba, A. (2005). Ergonomi Dalam Industri. Denpasa, Universitas Udayana. Naisa, R. (2003). Konflik dan Coping Ibu Terhadap Stres Ketika Akan Bekerja. www.F.PsiUntar.com Nazir, Moch. (1988). Metode Penelitian. Jakarta, Ghalia Indonesia. Nurastuti, W. (2009)Peran Ganda Beserta Tingkat Kelelahan Dosen Wanita di Daerah Istimewa Yogyakarta. www.dosen.amikom.ac.id. Diakses 09 Desember 2009. Prameswari, D.A. (2007). Gambaran Konflik Peran Pada Wirausaha Wanita Yang Sudah Berkeluarga. Tesis. Rini, Jacinta F. (2002). Stress Kerja. Artikel. www.dharmajala.com. Ruchyat. (2001). Manajemen Konflik di Sekolah, Makalah. Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat, Bandung. Sasono, E. (2004). Mengelola Stres Kerja. Artikel. www.id-jurnal.blogspot Siwi, T. (2005). Pengaruh Komitmen Profesi, Partisipasi Anggaran, dan Self-Efficacy Terhadap Konflik Peran (Studi Empiris pada Wanita Karir di Yogyakarta). Simposium Riset Ekonomi II, November 2005, ISEI Surabaya, hal. 1-12. Sugiyono. (2002). Statististik Untuk Penelitian. Bandung, CV. Alfa Beta.
110