ISSN 2087-2208
PERAN KEPEMIMPINAN WANITA DAN KETERLIBATANNYA DALAM BIDANG POLITIK DI INDONESIA Oleh: Fitria Damayanti, S.E.,M.M. ABSTRAK. Emansipasi wanita merupakan perjuangan kaum wanita demi memperoleh persamaan hak dengan kaum pria. Dikeluarkannya Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2000 tentang Pengurusutamaan Gender merupakan indikasi bahwa isu gender yang terus bergulir belum mendapat perhatian khusus dalam berbagai bidang pembangunan.Peran, fungsi dan fakta menunjukkan bahwa peran wanita Indonesia secara progressif sudah banyak menduduki posisi-posisi yang penting.Hasil penelitian ini menunjukakan bahwa kekuatan berupa ketegaran, ketegasan, dan ketepatan dalam mengambil keputusan merupakan ciri yang dimiliki wanita sekaligus menjadi syarat bagi kepemimpinannya.Dalam bidang poltik, penetapan target keterwakilan (kuota) sebesar 30% dalam pemilihan umum merupakan suatu keharusan yang harus dipenuhi.Kesejajaran antara wanita dengan laki-laki merupakan suatu usaha yang tidak sia-sia apabila wanita berusaha sesuai dengan kemampuannya, untuk dapat bersaing dengan kaum laki-laki sesuai dengan sifat kewanitaannya hingga keberadaanya selalu diakui dan tidak dipandang sebelah mata. Kata kunci :gender dan kepemimpinan politik.
PENDAHULUAN. Kemajuan jaman telah banyak mengubah pandangan tentang wanita, mulai dari pandangan yang menyebutkan bahwa wanita hanya berhak mengurus rumah dan selalu berada di rumah, sedangkan laki laki adalah mahluk yang harus berada di luar rumah, kemudian dengan adanya perkembangan jaman dan emansipasi menyebabkan wanita memperoleh hak yang sama dengan laki - laki. Tahun 1978 merupakan tonggak sejarah yang memiliki arti yang sangat penting bagi wanita Indonesia, karena pada tahun tersebut tercantum untuk pertama kali Garis-Garis Besar Hukum Negara (GBHN) dan Pelita III secara ekspilisit memuat butir-butir tentang peranan wanitadalam pembangunan dan pembinaan bangsa. Pada tahun itu juga Kabinet Pembangunan III dibentuk suatu lembaga, yaitu Kantor Menteri Muda Urusan Peranan Wanita.Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia secara sadar mengakui pentingnya peranan wanita sebagai mitra sejajar laki-laki dalam pembangunan. Dalam GBHN 1978, telah dirumuskan 7 (Tujuh) esensi terkait dengan peranan perempuan, antara lain disebutkan bahwa wanita mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam pembangunan nasional. Hal tersebut menunjukan bahwa wanitajuga merupakan subyek pembangunan yang berarti ikut menentukan pembangunan itu dalam semua tahapan melalui dari perencanaan, pelaksanaan, maupun monitoring dan evaluasi. Dalam GBHN-GBHN (Propenas) selanjutnya, peran wanita sangat ditingkatkan dengan Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gendar (PUG) mengisyaratkan bahwa pembangunan nasional harus berprespektif gendar. Artinya, bahwa setiap kebijakan, program dan kegiatan pembangunan harus selalu mempertimbangkan dari sisi laki-laki dan wanita baik mencangkup partisipasi, akses, kontrol, atau manfaat yang akan diperoleh oleh laki-laki maupun wanita. Pengarusutamaan Gender (PUG) merupakan strategi yang ditempuh pemerintah untuk mempercepat tercapainya kesetaraan dan keadilan gender melalui kebijakan, dalam hal ini tentunya termasuk juga kebijakan di bidang politik. Apabila diperhatikan dengan cermat, setiap wanita berkesempatan untuk menunjukkan kemampuannya dalam mengisi pembangunan.Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia telah mengamanatkan bahwa setiap warga negara bersama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjungjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada kecualinya.Ungkapan “Setiap Warga Negara” dalam ketentuan tersebut diatas tentu saja berarti warga negara laki-laki maupun wanita. Walaupan tidak dinyatakan secara ekspilisit, berdasarkan ketentuan Pasal 27 tersebut dapat diartikan pula bahwa UUD 1945 sudah menganut prinsip non diskriminatif. Dengan prinsip non diskriminatif FISIP UNWIR Indramayu
1
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 tersebut, maka wanita sebagai warganegara dapat dikatakan memperoleh peluang yang sama dengan lakilaki dalam pemerintahan. Hal ini berarti bahwa tiap warga negara, terlepas dari apapun gendernya, berhak untuk diperlakukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. Dalam konteks tersebut, Nilakusuma (1960 : 151 - 152) menjelaskan sebagai berikut: Wanita dan laki-laki mempunyai tempatnya masing - masing di dalam kehidupan kemasyarakatan. Dan kedua jenis manusia tersebut dapat menempati tempatnya masing-masing tanpa menjadi kurang hak - sama, karena pikiran, kecerdasan, menentukan nilai yang sama antara laki-laki dan wanita. Memang banyak pekerjaan yang dikerjakan oleh laki-laki dan wanita dengan tidak meninggalkan sifat sifat asli wanita. Malah menjadi kepala jawatan atau presidenpun tidak akan meninggalkan sifat-sifat kewanitaan tadi, karena jabatan - jabatan ini, kecerdasan dan pikiranlah yang memegang peranan banyak. Adapun tuntutan persamaan hak wanita tentunya didasarkan pada beberapa anggapan bahwa antara wanita dan laki - laki tidak banyak terdapat perbedaan, sebagaimana dikemukakan Presiden Pertama Indonesia, Soekarno (dalam Sarinah 1963 : 30) bahwa: ... ini tidak menjadi bukti bawa dus kwaliteit otak perempuan itu kurang dari kwaliteit otak kaum laki - laki, atau ketajaman otak perempuan kalah dengan ketajaman otak laki-laki. Kwaliteitnya sama, ketajamannya sama hanya kesempatan bekerjanya yang tidak sama, kesempatan berkembangnya yang tidak sama. Maka oleh karena itu, justru dengan alasan kurang dikasihnya kesempatan oleh masyarakat sekarang pada kaum perempuan, maka kita wajib berikhtiar membongkar ketidakadilan masyarakat terhadap kepada kaum perempuan itu. Jelas sekali pendapat di atas bahwa kaum wanita memiliki kedudukan yang sama dalam berusaha dan bekerja, hanya saja budaya masyarakat yang menganggap wanita harus berada di rumah mengurus rumah tangga. Tetapi dengan adanya kemajuan jaman maka wanita dan laki - laki dapat bekerja sama dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan kata lain, bahwa wanita perlu mendapat kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya dalam mengisi pembangunan sesuai dengan yang dicita-citakan bersama. Tuntutan persamaan hak wanita tentunya didasarkan pada beberapa anggapan bahwa antara wanita dan laki-laki tidak banyak terdapat perbedaan, Kesejajaran wanita dengan laki - laki sebagai suatu usaha yang tidak sia-sia apabila wanita itu sendiri berusaha sesuai dengan kemampuannya, sehingga dengan kemampuan yang sama maka akan sanggup bersaing di kehidupan ini dengan kaum laki-laki sesuai dengan kodrat kewanitaannya. Persamaan hak yang dimiliki oleh kaum wanita Indonesia dalam mengisi pembangunan dan berpartisipasipasi dalam bidang politik memiliki hak yang sama dengan laki-laki tetapi bukan berarti yang bersangkutan harus meninggalkan tugas-tugas kewanitaannya sebagai seorang ibu.Berdasarkan uraian diatas, penulis akan membatasi permasalahannya pada hal-hal berikut: a. Bagaimana peran kepemimpinan wanita serta keterlibatannya dalam bidang politik? b. Kendala apa yang menyebabkan kepemimpinan wanita dan keterlibatannya dalam berpolitik belum mencapai hasil yang maksimal? Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan, yaitu merupakan deskriptif kualitatif dimana berisi informasi – informasi mengenai kepemimpinan wanitadan keterlibatannya dalam bidang politik. Adapun data dalam penulisan ini merupakan data sekunder, yakni data historis yang sudah tertuang dalam bentuk buku atau dokumen yang berisi informasi yang berkaitan dengan pembahasan yang kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum dan objektif yang dapat menggambarkan permasalahan sebenarnya.
PEMBAHASAN. a. Peran Ganda Wanita Peran laki-laki dan perempuan dalam pembangunan, bukanlah sesuatu yang kodrati sifatnya.Namun konstruksi peran sesngguhnya telah dibentuk jauh sebelum budaya dan perkembangan masyarakat mencapai titik kemajuan.Sama halnya dengan pemikiran seorang wanita yang telah berkembang ke arah yang lebih maju.Wanita yang masih lajang ataupun yang sudah berumah tangga tentunya menginginkan kehidupan yang mapan dari segi ekonomi, terlebih wanita yang telah berkeluarga.Hal ini meniti beratkan peran wanita sebagai seorang ibu rumah tangga dan aktivitas politik.Fenomena ini terjadi karena memang dengan profesi sebagai seorang politisi tidak menyita banyak waktu, sehingga seorang wanita yang telah berumahtangga tetap dapat mencurahkan waktunya di rumah bersama suami dan anak.Peran ini terdiri 2
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 dari peran seorang ibu.Sebagai ibu layaknya bertanggung jawab untuk membesarkan dan mendidik anakanak.Peran dalam rumah tangga ini sering diistilahkan dengan twenty-four-hours-a day-job. Beberapa wanita memandang peran ini sebagai tugas yang paling penting, dan merupakan prioritas yang utama dari segala peran yang dimiliki.Semua perhatian dan kasih sayang yang dimiliki dilimpahkan kepada suami dan anak-anak.Dan lebih jauh lagi, mendidik putra-putrinya dengan baik menjadi tujuan utama hidupnya. Namun, banyak wanita masa kini yang beranggapan bahwa tugas dan tanggung jawab untuk mengelola rumah tangga serta membesarkan dan mendidik anak-anak bukan semata-mata menjadi tugas wanita, melainkan menuntut pria pun berperan aktif, sehingga konsep kemitrasejajaran dapat diwujudnyatakan dalam kehidupan berumah tangga. dengan demikian, wanita pun mempunyai kesempatan untuk mengaktualisasiksan dan mengembangkan kemampuannya baik di sektor formal maupun informal.melalui latar belakang pendidikan, kemampuan, dan pengalamannya seorang wanita yang berkomitmen untuk meniti karier berupaya mengembangkan diri seluas-luasnya untuk mencapai hasil maksimal pekerjaannya. Segenap energi yang dimiliki dicurahkan untuk mencapai tujuan menjadi yang terbaik.dalam konteks ini sang wanita sudah meninggalkan pandangan konservatif dan siap untuk tampil dalam citra profesional. di luar rumah, perkembangan dunia profesional memberikan banyak kesempatan wanita untuk menunjukkan kemampuannya, pada perkembangan politik yang menghadirkan wanita sebagai sosok yang mengetahui teknik ketenangan batin, harmoni sosial, pengabdian tanpa pamrih, dan kepuasan ekonomi.Peran wanita ini secara sederhana menurut Suwondo (2006 : 266) dikemukakan: a. Sebagai warga negara dalam hubungannya dengan hak - hak dalam bidang sipil dan politik, termasuk perlakuan terhadap wanita dalam partisipasi tenaga kerja; yang dapat disebut fungsi ekstern; b. Sebagai ibu dalam keluarga dan istri dalam hubungan rumah tangga; yang dapat disebut fungsi intern. Fungsi ekstern dan fungsi intern tersebut merupakan dasar peran yang dimiliki wanita terutama mereka yang memiliki karier, sehingga wanita harus benar-benar dapat mengatur perannya agar kedua peran tersebut tidak ada yang terabaikan. Jika tidak, maka kehidupan akan menjadi tidak seimbang, sehingga tidak jarang di antara mereka memilih salah satu peran, akibatnya terdapat salah satu peran yang dikorbankan. Apabila terus memilih karier tidak jarang di antara mereka yang menyebabkan keretakan bahkan perceraian rumah tangga, atau wanita itu sendiri memilih kariernya dengan mengabaikan perkawinan, sehingga yang bersangkutan tetap hidup tanpa didampingi suami atau tetap lajang.Sedangkan bagi wanita yang bersuami yang memilih peran kedua, berarti yang bersangkutan mengorbankan kariernya atau keluar dari pekerjaan dengan menjadi ibu rumah tangga yang tinggal diam di rumah, sehingga hal ini patut disayangkan karena potensi yang terdapat dalam diri wanita bersangkutan menjadi terbenam, bahkan terkubur selamanya. Dengan demikian, wanita yang hanya memilih salah satu peran saja sekarang ini dianggap kurang baik dalam membina kehidupan, karena itu wanita yang unggul dan tangguh ia dapat berjuang menghadapi berbagai tantangan apabila memilih peran ganda seperti di atas, tetapi jangan lupa harus terdapat saling pengertian dan saling mengisi kehidupan rumah tangganya. Tradisi yang berlaku di Indonesia sampai sekarang ini, bukan merupakan kewajiban bagi wanita yang bersuami bekerja secara formal, tetapi keadaan ini tergantung pada kemampuan ekonomi dan ijin yang diberikan suaminya. Atas dasar hal tersebut, maka dilihat dari hubungan suami-istri atau hubungan wanita dengan keluarga, dapat menimbulkan masalah apabila wanita bekerja. Berikut ini, beberapa pandangan yang menyebabkan wanita tidak bekerja atau tidak melaksanakan fungsi ekstern, kalaupun terpaksa karena ada alasan tertentu sebagaimana Tan, (1991 : 86 - 87) sebagai berikut, 1. Perempuan belum/tidak menikah/cerai, dan pada dasarnya tidak ingin bekerja, tapi tidak mempunyai daya guna membiayai kebutuhan hidup sehari -hari. 2. Perempuan belum/tidak menikah/cerai, senang bekerja, memiliki cukup dana untuk membiayai kebutuhan hidupnya sehari - hari, tetapi keluarganya tidak setuju/keberatan bila ia bekerja. 3. Perempuan belum/tidak menikah/cerai, ingin bekerja tetapi tidak mempunyai bekal ilmu dan dana guna membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari. 4. Perempuan menikah, dan suami berpendapat bahwa pencari nafkah di antara mereka berdua cukup dibatasi pada suami dan pendapatan suami melebihi kebutuhan hidup papan sandang dan rekreasi berdua.
FISIP UNWIR Indramayu
3
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 5. Perempuan menikah, dan suami berpendapat bahwa pencari nafkah di antara mereka cukup dibatasi pada suami, meskipun pendapatan suami tidak mencukupi kebutuhan hidup papan sandang pangan mereka berdua. 6. Perempuan menikah, yang bekerja dengan persetujuan suami namun kemudian mempunyai anak. Perempuan ingin tetap terus bekerja, meskipun pendapatan suami cukup untuk membiayai kebutuhan bersama istri dan anak. 7. Perempuan menikah, yang bekerja dengan persetujuan suami namun kemudian mempunyai anak. Perempuan pada dasarnya tidak mutlak ingin terus bekerja, namun pendapatan suami tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidup bersama istri dan anak. Nampaknya pada penjelasan di atas merupakan gambaran dari keadaan wanita Indonesia sekarang ini antara keinginan bekerja, dilarang untuk bekerja, dan tidak ingin bekerja dengan alasan tertentu. Sedangkan bagi kaum wanita yang benar - benar ingin bekerja, terdapat alasan tertentu, seperti dikemukakan Tan( 1991 : 86) yaitu: 1. Karena faktor ekonomi; 2. Karena orangtua telah memberikan kesempatan bagi si perempuan untuk menuntut ilmu, sehingga ia memiliki suatu keahlian yang memungkinkan bagi yang bersangkutan untuk mencari nafkah sendiri; 3. Karena memang secara sadar ingin meniti karier Alasan untuk bekerja tersebut tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang dikehendaki wanita, karena dapat saja adanya alasan tertentu menyebabkan wanita tidak bekerja.Di samping wanita bekerja baik di sektor formal maupun informal sebagai fungsi ekstern, juga seorang wanita tidak dapat begitu saja melepaskan diri dari tanggung jawabnya sebagai ibu yang menjadi fungsi intern. Lebih jauh lagi wanita yang memiliki fungsi ekstern harus berperan dalam pembangunan dan pembinaan bangsa seperti yang diungkapkan oleh Suwondo (2006 : 267) sebagai berikut, 1. Pembangunan yang menyeluruh mensyaratkan ikut sertanya pria maupun wanita secara maksimal di segala bidang. Oleh karena itu, wanita mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria untuk ikut serta sepenuhnya dalam segala kegiatan pembangunan. 2. Peranan wanita dalam pembangunan tidak mengurangi peranannya dalam pembinaan keluarga sejahtera umumnya dan pembinaan generasi muda khususnya, dalam rangka pembinaan manusia Indonesia seutuhnya. 3. Untuk lebih memberikan peranan dan tanggung jawab kepada kaum wanita dalam pembangunan, maka pengetahuan dan keterampilan wanita perlu ditingkatkan di berbagai bidang yang sesuai dengan kebutuhannya. Peranan tersebut merupakan konsep yang harus dijalankan oleh wanita Indonesia sebagai fungsi eksternnya. Selajutnya Suwondo (2006 : 267) mengemukakan kembali tuga-tugas wanita dalam keluarga dan masyarakat sebagai fungsi intern dan ekstern, sebagai berikut: 1. Sebagai istri, supaya dapat mendampingi suami sebagai kekasih dan sahabat untuk bersama - sama membina keluarga yang bahagia; 2. Sebagai ibu pendidik dan pembina generasi muda, supaya anak anak dibekali kekuatan rohani maupun jasmani dalam menghadapi segala tantangan zaman, dan menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa; 3. Sebagai ibu pengatur rumah tangga, supaya rumah tangga merupakan tempat yang aman dan teratur bagi seluruh anggota keluarga; 4. Sebagai tenaga kerja dan dalam profesi, bekerja di pemerintahan, perusahaan swasta, dunia politik, berwiraswasta dan sebagainya untuk menambah penghasilan keluarga; 5. Sebagai anggota organisasi masyarakat, terutama organisasi wanita, badan - badan sosial dan sebagainya, untuk menyumbangkan tenaganya kepada masyarakat. Tugas wanita seperti di atas merupakan peran ganda wanita di luar dan di dalam rumah yang sekaligus sebagai wanita yang diharapkan dalam pembangunan ini. Sehingga antara tugas rumah tangga dan tugas karier di dalam pekerjaannya akan menimbulkan resiko yang besar dalam hidupnya, sebagaimana dikemukakan Notopuro Hardjito, (2007: 54) sebagai berikut, ada wanita yang punya bakat dan cita - cita luhur, sehingga ia memberikan seluruh pengabdiannya ia memilih untuk tidak berumah tangga (tepat single);
4
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 -
ada wanita yang susah merasa bahagia dengan memberikan pengabdiannya kepada keluarga, jadi 100% menjadi ibu rumah tangga; ada wanita yang cakap dan mungkin karena ambisinya (eerzucht), rela memberikan prioritas kepada pekerjaannya di atas keluarganya. Ini dapat menimbulkan konsekuensi perceraian. Ada wanita memilih jalan tengah karena ia bekerja, maka menerima peran rangkapnya dengan coba mengadakan kombinasi yang sebaik - baiknya. Wanita ini harus mengerti apa yang menghambat suksesnya dalam pekerjaan, akan tetapi ia rela karena kesadarannya bahwa baginya keluarga adalah penting juga. Dengan demikian, bahwa jalan terbaik adalah membagi tugas sebagai ibu rumah tangga dan sebagai wanita yang bekerja. Karena itu tugas wanita yang utama dari banyaknya tugas - tugas lain adalah membina keluarga bahagia sejahtera.Tugas pokok wanita sebagai ibu, sebagai pemelihara rumah tangga, pengatur, berusaha sengan sepenuh hati agar keluarga sendiri sebagai masyarakat akan berdiri dengan tegak, megah, aman, tenteram dan sejahtera, hidup berdampingan dengan dan di dalam masyarakat. Sebagai ibu, seorang wanita dapat menciptakan persahabatan, kekeluargaan dengan keluarga-keluarga lainnya dalam lingkungan di manapun ia berada, secara damai dan harmonis. Tugas terhadap keluarganya sendiri menjadikan sebagai keluarga yang rukun dan terhormat. Wanita bersangkutan berusaha, bekerja, dan memberikan segala sesuatu sebagai miliknya demi keutuhan keluarga, dengan sepenuh hatinya secara ikhlas menjaga kehormatan keluarga bersama - sama dengan suami dan anak-anaknya. Sebagai pendamping suami, bagi seorang wanita berkeyakinan bahwa keluarga akan berdiri kuat dan berwibawa apabila antara wanita sebagai ibu dan suami sebagai bapak dalam rumah tangga berada dalam keadaan yang seimbang, selaras, dan serasi dengan landasan pengertian, kesadaram, dan pengorbanan. Ibu di dalam rumah tangga memegang peranan yang penting dan menonjol, terutama dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya.Begitupula dalam urusan ketatalaksanaan rumah tangga. b. Kepemimpinan Wanita Secara fisik, memang perempuan memiliki keterbatasan.Ia tidak memiliki tenaga yang besar layaknya laki-laki, namun secara ide dan gagasan, perempuan tak dapat dikesampingkan peran dan fungsinya. Sejarah perjuangan kaum wanita Indonesia telah mencatat nama-nama wanita yang turut andil dalam aktivitas politik.Perjuangan fisik melawan penjajahtelah mengabadikan nama-nama seperti Cut Nyak Dien, Martha Tiahahu, Yolanda Maramis, dan sebagainya. Dalam pergerakan nasional muncul nama Rasuna Said dan Trimurti. Sedangkan RA Kartini dan Dewi Sartika, telah terpahat nama-nama mereka sebagai orang yang memperjuangkan hak-hak wanita untuk memperoleh pendidikan yang setara dengan pria. Wanita sebagai seorang pemimpin formal pada mulanya banyak yang meragukan mengingat penampilan wanita yang berbeda dengan laki - laki, tetapi keraguan ini dapat diatasi dengan keterampilan dan prestasi yang dicapai. Di dalam kepemimpinan baik dilakukan oleh wanita maupun laki - laki memiliki tujuan yang sama hanya saja yang berbeda dilihat dari segi fisik semata-mata, sebagaimana dikemukakan Kartono Kartini (2012 : 40) bahwa,Kepemimpinan adalah bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu; berdasarkan akseptasi/penerimaan oleh kelompoknya, dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi khusus. Pemimpin yang memiliki kemampuan khusus dan diakui oleh kelompoknya termasuk ke dalam pemimpin informal, karena kepemimpinan tersebut lebih menekankan pada kekhususan tertentu terutama tempat dan individunya, sehingga seorang pemimpin terjadi atas dasar kemampuan atau keahlian tertentu, bukannya atas dasar kemampuan memimpin, misalnya kelompok wanita yang terampil dalam bidang pembuatan batik, sehingga yang paling ahli akan menjadi pemimpinnya, begitu pula kelompok wanita yang bekerja sebagai pembuat kain tenun, maka yang paling terampil akan diangkat sebagai pemimpin, dan seterusnya. Pemimpin yang berada pada organisasi formal akan memiliki kekuasaan manajemen yang didasarkan pada prinsip - prinsip manajemen pula, sehingga kekuasaan yang dimilikinya bersifat institusional dan tidak dihubungkan dengan sifat - sifat pribadi, misalnya, seorang wanita yang menjadi kepala sekolah, kemudian bawahannya baik guru - guru atau staf tata usaha tunduk kepadanya bukan pada pribadi melainkan pada kepemimpinannya karena ia sebagai pemimpin formal. Penting sekali untuk dikaji bahwa kepemimpinan seorang muncul dan dapat mensejajarkan dirinya dengan laki - laki apabila yang bersangkutan memiliki kebutuhan untuk mencapai prestasi, sebagaimana dikemukakan oleh M Clelland (dalam Weiner, 1987 : 2) yaitu: FISIP UNWIR Indramayu
5
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 ... virus mental yakni suatu cara berfikir tertentu yang kurang lebih sangat jarang dijumpai tetapi apabila terjadi pada diri seseorang, cenderung untuk menyebabkan orang itu bertingkah laku sangat giat. ...Virus mental ini diberi nama n Ach (singkatan dari need for achiement), kebutuhan untuk meraih hasil atau prestasi). Sebab, ia ditemukan pada suatu macam pikiran yang berhubungan dengan “melakukan sesuatu dengan baik” ataupun “melakukan sesuatu dengan lebih baik” daripada yang pernah dibuat sebelumnya : lebih efisien dan lebih cepat, kurang mempergunakan tenaga, dengan hasil yang lebih baik, dan sebagainya. Dengan demikian, bahwa seorang pemimpin dapat meningkatkan hasil yang lebih baik dari sebelumnya dan memiliki prestasi kerja yang lebih baik pula, sehingga seorang pemimpin wanita akan diakui kepemimpinannya oleh bawahan maupun orang lain karena kemampuan memimpin yang baik apalagi berhasil mencapai tujuan institusi yang dipimpinnya. Wanita yang menjadi seorang pemimpin formal termasuk seorang wanita karier yang akan banyak menghadapi berbagai masalah, terutama berhubungan dengan posisi yang bersangkutan antara karier dan rumah tangga, seperti yang dikemukakan oleh Tan, ( 1991 : 6 –7) yaitu, Bila semua wanita menjadi ibu rumah tangga, keberanian untuk berkarier tentu harus ditopang oleh kemampuan yang memadai, tetapi berkarier memerlukan pula tekad dan konsentrasi yang tadinya tidak dituntut pada wanita, jadi tidak dengan sendirinya menjadi modalnya.Pengembangan ambisi, keyakinan memimpin, upaya dan keberhasilan ambisi dilaksanakan dalam iklim kehidupan dengan suatu etika atau moralitas tertentu yang sebenarnya tidak dimiliki wanita. Kemampuan, ambisi, dan keberhasilan yang dicapai dengan tidak mengabaikan kedudukannya sebagai ibu rumah tangga, juga dapat bekerjasama dengan kaum laki - laki.Kepemimpinan seorang wanita dilihat dari bentuk kedewasaannya dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi, terutama sesuai dengan bidang yang dipimpinnya tanpa meninggalkan sifat kewanitaannya. Karena itu, kepemimpinan wanita perlu didefinisikan kembali, seperti dikemukakan Tan ( 1991 : 11) yaitu, ... ini berarti bahwa konsep kepemimpinan yang lebih memperoleh corak pengertian pria harus siap mengalami redefinisi sedemikian rupa sehingga kepemimpinan menurutt perspektif wanita dimungkinkan. Masyarakat kita yang memberi tempat tinggi pada citra keibuan akan menopang pemimpin sebagai ibu dan sudah menjurus ke arah itu. kepemimpinan berarti kompetisi dan hierarki, berkaitan dengan masalah kekuasaan dan tanggung jawab. Dari segi wanita ... pengertian ini perlu mendapat redefinisi, seperti halnya kekuasaan juga memperoleh redefinisi menurut konteks budaya yang kita hadapi. Akhirnya kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai bentuk kedewasaan. Sedangkan kedewasaan adalah kemampuan mengolah dilema .penghayatan serta manifestasinya: integritas dan keterlibatan. Ciri khas kepribadian pemimpin terlettak pada kedewasaan yang merupakan bentuk kepribadian yang pada wanita berkembang pula maskulinitas, pada pria aspek feminitas, dalam arti bahwa kepemimpinan sekaligus menggabungkan kedewasaan maskulin maupun feminim dalam satu pribadi : tegas dan peka, perkasa dan lembut, tegar tetapi penuh empati. Kepemimpinan berarti pengembangan sifat androgy, baik pada pria maupun pada wanita sehingga bagi wanita tidak melalaikan aspek maskulin pada perkembangan dirinya. Wanita yang mampu dan bertindak sebagai pemimpin, memiliki sifat ganda baik sebagai wanita yang feminim maupun memiliki kekuatan berupa, tegas, tegar, dan keperkasaan dalam arti mampu mengambil keputusan yang tepat seperti halnya dilakukan laki - laki. Hal ini, merupakan sifat yang diperlukan seorang pemimpin, tanpa hal yang itu akan sulit dilaksanakan, mengingat banyak pendapat bahwa wanita adalah mahluk yang lemah, tetapi sebenarnya tidaklah demikian. Wanita sebagai pemimpin tidak jarang menghadapi banyak hambatan yang berasal dari sikap budaya masyarakat yang keberatan, mengingat bahwa laki - laki berfungsi sebagai pelindung dan kepala keluarga.Begitu pula hambatan fisik wanita yang dianggap tidak mampu melaksanakan tugas - tugas berat. Untuk lebih jelasnya Tan, (1991:16) menguraikan beberapa hambatan yang muncul dari kepemimpinan wanita, sebagai berikut: Pertama, hambatan fisik.Perempuan, katanya, dibenani tugas “kontrak” untuk mengandung, melahirkan, dan menyusui.Keharusan ini mengurangi keleluasaan mereka untuk aktif terus menerus dalam berbagai bidang kehidupan.Bayangkan jika perempuan harus melahirkan sampai lebih selusin anak. Pastilah usia produktifnya habis dipakai untuk tugas - tugas reproduktif yang mulia itu. 6
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 Kedua, hambatan teologis.Untuk waktu yang lama, perempuan dipandang sebagai mahluk yang dicipta untuk lelaki.Termasuk mendampingi mereka, menghiburnya, dan mengurus keperluannya.Perempuan, menurut cerita teologis seperti ini, diciptakan dari rusuk lelaki.Cerita ini telah jauh merasuk dalam benak banyak orang, dan secara psikologis menjadi salah satu faktor penghambat perempuan untuk mengambil peran yang berarti. Ketiga, hambatan sosial budaya.Terutama dalam bentuk stereotipikal.Pandangan ini melihat perempuan sebagai mahluk yang pasif, lemah, perasa, tergantung, dan menerima keadaan.Sebaliknya, lelaki dinilai sebagai mahluk yang aktif, kuat, cerdas, mandiri, dan sebagainya.Pandangan ini menempatkan lelaki secara sosio - kultural lebih tinggi “derajatnya” dibanding perempuan. Keempat, hambatan sikap pandang. Hambatan ini antara lain bisa dimunculkan oleh pandangan dikotomistis antara tugas perempuan dan lelaki. Perempuan dinilai sebagai mahluk rumah, sedangkan lelaki dilihat sebagai mahluk luar rumah.Pandangan dikotomistis seperti ini boleh jadi telah membuat perempuan merasa risi keluar rumah, dan visi bahwa tugas - tugas kerumahtanggaan tidak layak digeluti lelaki. Kelima, hambatan historis. Kurangnya nama perempuan dalam sejarah di masa lalu bisa dipakai membenarkan ketidakmampuan perempuan untuk berkiprah seperti halnya lelaki. Lima hambatan tersebut menyebabkan potensi kepemimpinan wanita menjadi tidak mendapat tempat yang layak di dalam kehidupan, tetapi dengan adanya arus informasi dan komunikasi yang masuk dan diterima oleh kaum wanita menyebabkan kesempatan untuk mengembangkan diri dan kepemimpinannya menjadi terbuka lebar. Bagi wanita yang memiliki pendidikan cukup sesuai dengan Undang - Undang Wajib Belajar telah memberi kesempatan kepada wanita untuk berkarier sesuai dengan kemampuannya apalagi dengan kuatnya arus informasi yang diterima di rumah melalui televisi, radio, surat kabar ataupun majalah, telah membuka cakrawala wanita untuk berusaha seluas - luasnya. Apabila wanita sebagai ibu rumah tangga hanya bertugas sebagai mahluk yang harus melahirkan terus menerus tentu saja kesempatan untuk mengembangkan diri hampir tersita untuk mengandung, melahirkan dan mengurus anak, tetapi dengan adanya alat kontrasepsi menyebabkan kelahiran yang banyak dapat diatasi bahkan dijarangkan, sehingga kesempatan untuk mendidik anak dan mengembangkan dirinya menjadi lebih terbuka. Untuk dapat menjadi seorang pemimpin bagi wanita, tidaklah mudah terutama sekali adalah kemampuan yang ada dalam dirinya yang ditunjang oleh latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang yang akan dipegangnya, sehingga untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil terdapat beberapa nilai dasar kepemimpinan, menurut Tan,( 1991 : 71 - 72) sebagai berikut, a. intelegensi yang relatif lebih tinggi daripada yang dipimpin b. berfikir positif c. kedewasaan sosial dan cakupan jangkauan yang luas d. menjadi panutan yang baik e. menjadi pendengar yang baik f. keterbukaan dalam berkomunikasi g. tidak mudah menyerah Nilai dasar kepemimpinan tersebut merupakan arah yang harus dijalankan seorang pemimpin dalam menjalankan organisasi yang dipimpinnya sesuai dengan tujuan yang harus dicapai.Apabila seorang pemimpin telah menjalankan nilai dasar kepemimpinan, maka antara pemimpin wanita dan laki - laki tidak ada bedanya, sehingga proses organisasi atau institusi yang dipimpinnya akan berjalan sesuai tujuan dengan meminimalkan resiko yang mungkin muncul. Karena itu, kepemimpinan wanita dimanapun juga perlu diberi kesempatan yang sama seperti yang dikemukakan Tan,(1991 : 38) yaitu, a. Kepemimpinan perempuan dalam era pembangunan sekarang dan masa yang akan datang mempunyai potensi dan peran yang besar dalam pembangunan politik, ekonomi, social - budaya, dan agama bangsa. b. Kepemimpinan perempuan dapat berkembang jika pendidikan perempuan dapat ditingkatkan sama dengan laki - laki. c. Kepemimpinan perempuan harus dinyatakan perlu dan penting untuk dikembangkan disegala bidang dan bagi semua tingkat.
FISIP UNWIR Indramayu
7
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 d. Pemimpin laki - laki perlu diyakinkan pentingnya kepemimpinan perempuan, dan diyakinkan bahwa kepemimpinan perempuan tidak akan menyaingi potensi kepemimpinan laki - laki. Namun justru akan melengkapi dan memperkaya kepemimpinan laki - laki. Untuk itu kepemimpinan laki laki perlu memberikan kesempatan yang sebanyak - banyaknya kepada pemimpin perempuan. e. Pemerintah bersama - sama dengan organisasi - organisasi perempuan perlu menyusun “masterplan”, tentang bagaimana meningkatkan kepemimpinan perempuan di segala bidang kehidupan bagsa dan negara. Dengan demikian, bahwa kepemimpinan wanita berfungsi sebagai mitra dari kepemimpinan laki - laki, dan wanita memiliki porsi yang jelas keikutsertaannya dalam pembangunan bangsa dan negara. Lambat laun kedudukan dan kepemimpinan wanita secara nyata akan sama dengan kaum laki - laki, sehingga tidak ada lagi pemisahan gender dalam berusaha dan mengabdikan diri untuk pembangunan yang sesuai dengan cita - cita nasional. c. Partisipasi Politik Wanita. Keterlibatan wanita dalam politik merupakan suatu anugerah bagi keberlanjutan suatu negara.Ibarat negara sebuah rumah tangga, maka wanitalah yang memiliki peran untuk mengurus rumah serta mengatur hajat hidup seluruh penghuni rumah tersebut.Maka, dapat dipastikan bahwasanya wanita memiliki andil yang luar biasa dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.Walaupun demikian, bagi negeri yang bernama Indonesia, peran perempuan masih dimarginalkan dan dikebiri eksistensinya. Hal ini terlihat dari total partisipasi wanitadalam parlemen yang dibatasi hanya sebesar 30% semata. Tentunya, menjadi sebuah tragedi bagi negeri yang menjunjung genderisasi, namun masih memiliki pandangan yang tak rasional bagi peran wanita. Hingga saat ini, peran wanitadan representasi politiknya di parlemen serta pada pemerintahan, baik secara global maupun nasional masih sangat rendah dan memprihatinkan. Rendahnya partisipasi wanita tersebut bisa jadi disebabkan oleh berbagai faktor, yakni tidak ada pendidikan politik dan pendidikan pemilih khususnya di negara-negara berkembang dan terbelakang, tidak adanya pelatihan dan penguatan keterampilan politik untuk memperkuat keterampilan politiknya, kurang adanya kesadaran untuk aktif dan terlibat di dalam kegiatan-kegiatan politik terutama untuk berpartisipasi dalam institusi politik formal seperti lembaga legislatif dan partai politik, serta masih adanya sistem perundang-undangan politik yang membatasi aksesibilitas dan partisipasi wanita dalam pemilu, perlemen dan dalam pemerintahan. Alasan- alasan inilah yang menjadi suatu pembeda antara kaum laki- laki dan kaum wanita.Bahkan, dalam pembagian hak waris, kebebasan bergaul dan semacamnya yang diatur oleh agama, wanita dibedakan jatah dan bagiannya. Namun, hal ini bukanlah suatu kerugian bagi seorang wanita, melainkan sebuah pernyataan tertulis bahwasanya wanita adalah makhluk yang sejatinya harus dijaga harkat dan martabatnya serta diposisikan dalam konteks yang lebih kompleks dan utama, dibandingkan dengan urusan laki- laki yang sejatinya mampu untuk menjaga dirinya sendiri. Nurhaeni (2009:53) menyatakan: “Sepanjang dibelahan dunia patriarki seperti Indonesia, representasi isu- isu perempuan di segala bidang (politik, ekonomi, budaya, agama dan sebagainya) telah ditolak di dalam wacana public. Diperlukan suatu terobosan baru dalam mengaktualisasikan peran wanita dalam wacana publik atau dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan, terkadang wanita menjadi “korban” dalam suatu dinamika politik.Itulah mengapa, terkadang dalam sistem politik Indonesia, jarang sekali yang menampilkan arahan kebijakan pemberdayaan wanita sebagai mana yang diharuskan dalam peraturan perundang- undangan yang menetapkan perlunya meningkatkan kedudukan dan peranan wanita serta meningkatkan kualitas peranan mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, peranan wanita merupakan merupakan jawaban dalam menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat. Dominasi gender adalah sebuah keharusan yang ditinjau secara ide dan gagasan dalam pembangunan bangsa. Keberhasilan program pemerintah dan pembangunan yang dicita - citakan tergantung pada partisipasi seluruh masyarakat, sehingga semakin tinggi partisipasi masyarakat, maka akan semakin berhasil pencapaian tujuan pembangunan yang ingin dicapai. Karena itu, dalam program pemerintah sebagai bagian dari pembangunan sangat dipengaruhi oleh unsur - unsur masyarakat, yang pada hakekatnya bahwa pembangunan dilaksanakan dan ditujukan dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Dengan demikian, bahwa setiap masyarakat sebagai subyek pembangunan tidak lepas dari peranan wanita yang terlibat di dalamnya, sehingga partisipasi wanita perlu
8
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 untuk diperhitungkan jika tidakingin disebut bahwa wanita Indonesia ketinggalan dibandingkan dengan wanita di Negara - negara lain. Kenyataan yang terjadi adalah perempuan masih sering dianggap hanya sekedar mengurusi urusan dapur dan kerap kali kemampuannya masih diremehkan untuk mengatasi urusan-urusan krusial.Dalam pemerintahan misalnya, perempuan yang hendak mencalonkan diri untuk maju pada posisi strategis seperti sebagai anggota legislatif ataupun pemimpin dalam tingkat daerah, sering kali dianggap sebelah mata dan kurang diperhitungkan.Hal-hal tersebut kemudian menjadi penyebab keterlibatan wanita di dunia politik menjadi terlambat. Sejak kemerdekaan hingga sekarang, bangsa Indonesia telah menyelenggarakan sebelas kali pemilihan umum, yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997,1999, 2004, 2009 dan 2014. Dalam hal keterwakilan perempuan, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 pasal 65 ayat 1 tentang Pemilu yang memuat ketentuan pencalonan perempuan oleh partai politik sekurang-kurangnya 30% mengawali aspirasi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan pada ranah politik. Undang-Undang tersebut kemudian diperbarui dengan lahirnya Undang-Undang Pemilu Nomor 10 tahun 2008, yaitu pasal 53 yang menyatakan bahwa daftar calon memuat minimal 30% perempuan, dan pasal 55 ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap tiga nama calon memuat minimal satu perempuan. Wanita Indonesia memiliki peranan dalam pembangunan di bidang politik, baik terlibat dalam kepartaian, legislatif, maupun dalam pemerintahan.Partisipasi dalam bidang politik ini tidaklah semata mata hanya sekedar pelengkap saja melainkan harus berperan aktif di dalam pengambilan keputusan politik yang menyangkut kepentingan kesinambungan negara dan bangsa. Hak suara wanita memiliki kesejajaran dengan laki - laki dalam hal mengambil dan menentukan keputusan, begitupula apabila wanita terlibat dalam pemilihan umum untuk memilih salah satu partai politik yang menjadi pilihannya, apalagi ia duduk sebagai pengurus dari salah satu partai, seperti dikemukakan Nilakusuma (1960:180): Kita harus insyaf dan mengerti akan keharusan adanya partai-partai di suatu negara, dan sumbangan-sumbangan apa yang diberikan partai untuk pembangunan neegara dan bangsa. Di samping ini, kita harus mengerti pula bahwa partai-partai itu adalah kumpulan dari orang-orang yang mempunyai ideologi sama, agar di dalam meneruskan suara merupakan kesatuan yang baik. Dengan mempunyai kesadaran ini, wanitapun dapat berdiri sendiri dengan kecerdasannya, memilih partai yang sesuai dengan cita-citanya.Sungguh mengecewakan, jika partai-partai itu menjadi sasaran pencari untuk untuk sendiri, dan wanita dijadikan alatnya karena tidak cukup kesadaran di dalam partai.Jika wanita duduk di dalam partai, bukanlah semata - mata untuk diberi tugas guna menyediakan jamuan pada rapat rapat partainya atau ketika partai kedatangan tamu agung, tetapi juga memberikan suaranya bersama dengan anggota laki-laki. Dengan demikian, jelaslah bahwa kedudukan wanita di dalam politik tidak dapat dikesampingkan, karena memiliki kemampuan dan kecerdasan yang sama dengan laki - laki. Walaupun demikian, bahwa hakhak politik yang dimiliki wanita pada kenyataannya tidaklah sesuai yang diinginkan, sebagaimana dikemukakan oleh Suwondo (2006:141): 1. Kenyataan bahwa jumlah wanita yang duduk dalam badan - badan legislatif belum memadai, disebabkan oleh sistem pencalonan melalui daftar calon, di mana wanita dicantumkan di bagian bawah dari daftar. 2. Kenyataan yang menunjukkan bahwa jabatan/kdudukan penentuan kebijaksanaan (policy making) belum banyak diisi oleh kaum wanita. Maka dalam rencana Kegiatan Nasional Wanita Indonesia antara lain disarankan mengenai bidang ini : a. Menggiatkan pendidikan di kalangan wanita tentang pengetahuan kewarganegaraan dan perundang - undangan; b. Meningkatkan partisipasi wanita dibidang pembuatan perundang - undangan yang perlu segera dikeluarkan mengenai : catatan sipil; adopsi; hukum waris atas dasar persamaan hak antara pria dan wanita; hukum acara untuk pengadilan agama; pemberantasan pelacuran; pengadilan anak dan kesejahteraan anak; c. Mengusahakan perbaikan dalam bidang pencalonan anggota - anggota wanita dalam badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif; d. Mengadakan kegiatan pengawasan terhadap pelaksanaan undang - undanf, terutama yang menyangkut kedudukan dan kesempatan bagi wanita ; FISIP UNWIR Indramayu
9
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 e. Mengenai peranan wanita dalam kerjasama international : 1. Dalam pelaksanaan kerjasama international, regional, dan sub regional hendaknya wanita diikutsertakan dalam penentuan kebijaksanaan (policy making). 2. Pemerintah menjamin bahwa wanita terwakili secara seimbang di antara utusan - utusan inti ke semua badan international, koperensi, termasuk yang menangani masalah - masalah politik, hukum, pembangunan ekonomi dan sosial, perencanaan, administrasi dan keuangan, ilmu dan teknologi, lingkungan dan kependudukan. 3. Dalam kerjasama di lingkungan ASEAN, hendaknya segera disertakan pembentukan Permanent Committee on Women dalam struktur ASEAN. Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peranan wanita dalam pembangunan nampaknya harus mendapat porsi yang seimbang dengan kaum laki - laki, sebagaimana dikemukakan oleh Anugrah Yusuf, 2009 : 35) sebagai berikut: Di bidang kehidupan politik, baik dari segi eksekutif, legislatif maupun yudikatifnya, kepemimpinan perempuan telah mulai diperhitungkan walaupun belum seimbang dengan proporsinya dalam masyarakat.Jumlah menteri dalam kabinet terbatas, itupun hanya kepentingan tertentu saja yang mestinya ditambah.Sekertaris jendral, direktur jendral dapat dihitung dengan jari.Apakah jabatan yang penuh tanggung jawab tersebut harus dipegang oleh pemimpin laki-laki? Pemimpin perempuan dengan kualitas yang sama nampaknya belum mungkin dipercayai memegang jabatan tersebut. Pemimpin perempuan dalam bidang pertahanan dan keamana? Nampaknya partisipasi wanita dalam bidang politik ini perlu dikaji kembali mengingat jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah wanita yang seharusnya berperan.Karena itu, perlu dikaji kembali bentuk partisipasi yang nyata dalam kehidupan politik bagi kaum wanita.Partisipasi politik bagi kaum wanita perlu mendapatkan penjelasan, sehingga pengertian partisipasi politik wanita menjadi jelas. Dalam konteks ini Budiardjo (2004:43) memberikan penjelasan mengenai partisipasi politik sebagai berikut: Di Negara-negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang melaksanakannya melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegangtampuk pimpinan untuk masa berikutnya. Jadi partisipasi politik merupakan suatu pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat. Partisipasi politik seperti di atas tentu saja akan berarti apabila wanita turut terlibat di dalamnya. Di dalam negara yang sedang belajar menuju demokratis yang sesungguhnya seperti Indonesia, adanya partisipasi wanita yang lebih besar maka dianggap menjadi lebih baik.Tingginya tingkat partisipasi wanita dapat ditunjukkan dalam mengikuti dan memahami masalah politik dan keterlibatannya dalam kegiatankegiatan politik tersebut.Sebaliknya apabila tingkat partisipasi politik bagi wanita itu rendah maka dianggap kurang baik, dicirikan dengan banyak kaum wanita yang tidak menaruh perhatian pada masalah politik atau kenegaraan. Akibatnya dikhawatirkan apabila terjadi kurangnya pendapat mengenai kebutuhan politik wanita yang dikemukakan, maka kepala negara menjadi kurang tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi kaum wanita dan menjadi terabaikan, sehingga cenderung akan melayani kepentingan beberapa kelompok saja. Dengan demikian, bahwa partisipasi politik yang dapat dilakukan oleh wanita dapat melalui beberapa jalur, yang meliputi : a. Bagi ibu rumah tangga yang tidak bekerja secara formal dapat berperan aktif di lingkungannya sendiri melalui berbagai kegiatan yang mendukung program pemerintah, seperti PKK, Posyandu, KB, dan lain - lain kegiatan yang menggerakan ibu - ibu ke arah kepentingan bersama. Begitu pula turut memberi penjelasan akan pentingnya menjadi pemilih dalam pemilu yang berlangsung lima tahun sekali guna melangsungkan kegiatan demokrasi dan kenegaraan b. Wanita yang menginginkan karier di bidang politik dapat menjadi anggota salah satu partai politik yang sesuai dengan ideologinya, terutama dalam memperjuangkan kaum wanita, dan yang bersangkutan dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif untuk dipilih oleh masyarakat pada saat dilaksanakannya pemilu c. Wanita yang memilih karier di eksekutif atau pemerintahan dapat menjalankan fungsi sesuai dengankemampuan, latar belakang pendidikan dan beban tugas yang diberikan kepadanya dengan penuh rasa tanggung jawab, apalagi yang bersangkutan dituntut untuk memiliki 10
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208 keterampilan dan kemampuan memimpin, sehingga tidak tergantung pada laki - laki. Kegiatan di pemerintahan ini diharapkan menjadi seorang pengambilan keputusan, seeprti menjadi lurah/kepala desa, camat, kepala daerah, atau menjadi kepala bidang/bagian bahkan kepala instansi di tempat kerjanya. d. Wanita yang bekerja di bidang yudikatif atau berhubungan dengan hukum sebagai pengacara, jaksa, hakim, atau sebagai polisi penyidik perkara, dapat bekerja dengan jujur dan adil demi tegaknya hukum itu sendiri, tanpa membedakan latar belakang agama, suku, budaya, daerah, pendidikan, golongan, dan lain - lain. Secara kuantitatif jumlah wanita Indonesia lebih banyak dibandingkan pria, perkembangan posisi dan peran politik wanita Indonesia amatlah lamban. Secara kualitatif, wanita Indonesia belum secara proporsional mempengaruhi dan menentukan proses dan produk politik Indonesi, harapan bahwa partisipasi yang dilakukan wanita tidak saja sebagai partisipasi pasif,tetapijuga sebaiknya partisipasi aktif sebagai penentu kebijakan di tempat yang bersangkutan agar dapat diwujudkan secara maksimal hingga keberadaannya dapat diperhitungkan,selalu diakui dan tidak dipandang sebelah mata.
KESIMPULAN. Dari uraian pemaparan diatas, kesimpulan yang dapat penulis kemukakan sebagai berikut : 1. Peran Kepemimpinan Wanita dan keterlibatannya dalam bidang politik di Indonesia belum dapat dilaksanakan secara maksimal, ditetapkannya Instruksi Presiden tahun 2000 tentang pengurusutamaan gender menjadi dasar pijakan politis bagi wanita untuk berpartisipasi didalam pembangunan. Prestasi dan keterampilan yang tinggi yang ditunjukkan oleh kaum wanitadi Indonesia belum sepenuhnya membuktikan bahwa wanita memiliki banyak persamaan dengan laki-laki. Tetapi dengan kemampuannya tersebut wanita dapat memiliki peran ganda, yaitu menjadi wanita sukses (wanita karier) dengan tanpa meninggalkan kodrat kewanitaannya sebagai ibu rumah tangga yang menjadi tanggung jawabnya. Salah satu kesuksesan wanita di luar dunianya, dapat dilihat dari kepemimpinan seorang wanita. Bahkan, kemampuan – ambisi – keberhasilan wanita dalam kepemimpinan dapat melebihi laki - laki, karena pada wanita tersimpan kekuatan berupa ketegasan, ketegaran, dan kemampuan dalam mengambil keputusan yang tepat, sebagai syarat-syarat yang diperlukan bagi seorang pemimpin Keterlibatannya dalam bidang politik diharapkan tidak hanya sebagai partisipasi yang pasif tetapi juga harus aktif dalam keikutsertaannya untuk menentukan dan memutuskan dalam segala hal, agar keberadaannya selalu diakui dan diperhitungkan.Walau demikian, peran wanita masih dimarginalkan dan dikebiri eksistensinya,hal ini terlihat dari total partisipasi wanita dalam perlemen yang dibatasi hanya sebesar 30%. 2. Selain itu, seorang wanita untuk menjadi pemimpin atau berkarier di luar rumah lebih banyak mendapatkan hambatan dibandingkan laki - laki, diantaranya adalah hambatan fisik, teologis, sosial budaya, sikap pandang, dan hambatan historis.Kenyataan yang terjadi adalah perempuan masih sering dianggap hanya sekedar mengurusi urusan dapur dan kerap kali kemampuannya masih diremehkan untuk mengatasi urusan-urusan krusial. Dalam pemerintahan misalnya, perempuan yang hendak mencalonkan diri untuk maju pada posisi strategis seperti sebagai anggota legislatif ataupun pemimpin dalam tingkat daerah, sering kali dianggap sebelah mata dan kurang diperhitungkan. Hal-hal tersebut kemudian menjadi penyebab keterlibatan wanita di dunia politik menjadi terlambat. DAFTAR PUSTAKA. Alfian. 2001 (ed)Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. Anugrah Yusuf, 2009, Keterwakilan Perempuan Dalam Politik. Jakarta:Pancuran Alam. Budiardjo, Miriam (ed). 2004. Partisipasi dan Partai Politik. .Jakarta : PT. Gramedia. Kartono, Kartini. 2012. Pemimpin dan Kepemimpinan : Apakah pemimpin abnormal itu?.Jakarta : CV. Rajawali. Weiner Myron. Modernisasi :Dinamika Pertumbuhan. New York : Voice of America Forum Lecture. Mutawali.1987. Peranan Wanita dalam Pembangunan Desa.Bandung : PT. Karya Nusantara. Nilakusuma, S. 1960. Wanita di dalam dan di luar Rumah.Bukittinggi : NV. Nusantara. FISIP UNWIR Indramayu
11
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015 Nurhaeni, 2009, Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Notopuro, Hardjito. 2007 Peranan Wanita dalam Masa Pembangunan di Indonesia.Jakarta : Ghalia Indonesia Soekarno.Sarinah.1963 :Kewajiban wanita dalam perdjoangan Republik Indonesia. Jakarta : buku - buku karangan Presiden Sukarno. Suryohadiprojo, Sayidiman. 2001. Menghadapi Tantangan Masa Depan. Jakarta : PT. Gramedia. Suwondo, Nani. 2000. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat.Jakarta : Ghalia Indonesia. Tan, Melly G (ed). 1991. Perempuan Indonesia Pemimpin Masa Depan.Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
12
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
BUDAYA POLITIK MASYARAKAT INDONESIA DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN POLITIK Oleh: Drs. Budi Mulyawan, M.Si.
Abstrak Budaya politik merupakan sesuatu yang inheren pada setiap masyarakat yang terdiri atas sejumlah individu yang hidup, baik dalam sistem politik tradisional, transisional, maupun modern, sehingga menjadi aspek yang siginifikan dalam sistem politik. Sebagai faktor yang sangat berpengaruh terhadap perilaku politik seseorang, kajian terhadap pembangunan politik suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari budaya politik yang tumbuh dan berkembang di masyarakatnya. Seberapa besar harmonisasi yang dicapai oleh budaya politik dengan pelembagaan politik merupakan parameter dari pembangunan politik itu sendiri. Kata kunci: budaya politik, sistem politik, dan pembangunan politik. A. Pendahuluan Kebudayaan, merupakan blue print of behavior yang memberikan pedoman bagaimana warga masyarakat bertindak atau berperilaku dalam upaya mencapai tujuan bersama. Atas dasar kebudayaan, masyarakat membentuk prosedur-prosedur yang harus diterapkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Budaya politik – sebagai unsur dari kebudayaan − merupakan sesuatu yang inheren pada setiap masyarakat yang terdiri atas sejumlah individu yang hidup, baik dalam sistem politik tradisional, transisional, maupun modern. Dalam hal ini Almond dan Verba (dalam Gaffer, 2006:99) mendefinisikan budaya politik sebagai “sikap individu terhadap sistem politik dan komponen-komponennya, dan juga sikap individu terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sebuah sistem politik Sedangkan David Easton (dalam Winarno, 2008:15) menyatakan bahwa budaya politik adalah “all politically relevan orientation whether of cognitive, evaluative, or expressive sort.”1 Budaya politik merupakan aspek yang sangat siginifikan dalam sistem politik.Hal ini dikarenakan bekerjanya struktur dan fungsi politik dalam suatu sistem politik sangat ditentukan oleh budaya politik yang melingkupinya (Winarno, 2008:65).2 Dalam konteks sistem politik Indonesia, Kantaprawira (2006:35) memposisikan budaya politik sebagai satu dari sekian jenis lingkungan yang mengelilingi, mempengaruhi, dan menekan sistem politik, bahkan yang dianggap paling intens dan mendasari sistem politik. Lebih jauh, Kantaprawira (2006:36) mengkonstatasi bahwa salah satu parameter pembangunan politik Indonesia adalah tercapainya keseimbangan atau harmoni budaya politik dengan pelembagaan politik yang ada atau akan ada. Berpijak dari paparan di atas, tulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran mengenai budaya politik Indonesia untuk mengenal atribut atau ciri yang terpokok untuk menguji proses 1
Orientasi yang bersifat kognitif menyangkut pemahaman dan keyakinan individu terhadap sistem politik dan atributnya, seperti tentang ibukota negara, lambang negara, kepala negara, batas-batas negara, mata uang yang dipakai, dan lain sebagainya.Sementara itu orientasi yang bersifat afektif menyangkut ikatan emosional yang dimiliki oleh individu terhadap sistem politik.Jadi menyangkut feeling terhadap sistem politik.Sedangkan orientasi yang bersifat evaluatif menyangkut kapasitas individu dalam rangka memberikan penilaian terhadap sistem politik yang sedang berjalan dan bagaimana peranan individu di dalamnya. 2 Struktur-struktur yang umum dalam sistem politik adalah kelompok-kelompok kepentingan, partai-partai politik, badan legislatif, eksekutif, birokrasi, dan badan-badan peradilan. FISIP UNWIR Indramayu
13
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015
yang berlanjut maupun yang berubah, seirama dengan proses perubahan dan perkembangan politik masyarakat di masa konsolidasi demokrasi saat ini.3 . B. Tipe-tipe Budaya Politik Gabriel Almond dan Sidney Verba (1963) mengklasifikasikan tipe-tipe kebudayaan politik : (1) Budaya politik parokial (parochial political culture) yang ditandai dengan tingkat partisipasi politik masyarakat yang sangat rendah. Hal ini disebabkan faktor kognitif, misalnya tingkat pendidikan masyarakat yang rendah; (2) Budaya politik subyek (subject political culture) di mana anggota-anggota masyarakatnya memiliki minat, perhatian, mungkin pula kesadaran terhadap sistem secara keseluruhan, terutama terhadap output-nya, namun perhatian atas aspek input serta kesadarannya sebagai aktor politik, boleh dikatakan nol; dan (3) Budaya politik partisipan (participant political culture) yang ditandai oleh adanya perilaku bahwa seseorang menganggap dirinya ataupun orang lain sebagai anggota aktif dalam kehidupan politik sehingga menyadari setiap hak dan tanggungjawabnya (kewajibannya) dan dapat pula merealisasi dan mempergunakan hak serta menanggung kewajibannya. Namun demikian, dalam suatu masyarakat kerapkali ditemukan inklanasi kepada salah satu tipe budaya politik, misalnya, dalam budaya politik partisipan masih dapat dijumpai individuindividu yang tidak menaruh minat pada obyek-obyek politik secara luas. Menyadari realitas budaya politik yang hidup di masyarakat tersebut, Almond menyimpulkan adanya budaya politik campuran (mixed political culture) yang menurutnya lazim terjadi pada masyarakat yang senantiasa mengalami perkembangan dan dinamika yang pesat, sehingga sistem politik bisa berubah dan kultur serta struktur politik senantiasa tidak selaras. Budaya politik campuran (mixed political culture) yang dikemukakan Almond sebagai berikut: 1. Budaya Parokial-Subjek (The Parochial-Subject Culture) Tipe budaya politik saat sebagian besar penduduk menolak tuntutan-tuintutan ekslusif masyarakat suku yang feodalistik.Masyarakatnya mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang lebih kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang sentralistis. 2. Budaya Subyek-Partisipan (The Subject-Participant Culture) Proses peralihan dari budaya subyek menuju budaya partisipan yang sangat dipengaruhi oleh cara bagaimana peralihan budaya parokial menuju budaya subyek. Dalam budaya subyekpartisipan ini, sebagian besar penduduk telah memperoleh orientasi-orientasi input yang bersifat khusus dan serangkaian orientasi pribadi yang aktif; sementara sebagian penduduk masih terorientasi dengan struktur kekuasaan yang otoriter dan menempatkan partisipasi masyarakat pasif. 3. Budaya Parokial-Partisipan (The Parochial-Participan Culture) Kondisi ini biasanya terjadi di dalam negara yang sedang berkembang.Hampir seluruh negara berkembang memiliki budaya parokial.Karenannya sistem politik mereka terancam oleh fragmentasi parokial yang tradisional, padahal mereka ingin secepatnya menjadi sebuah negara modern. Suatu masa, cenderung ke otoritarianisme dan pada waktu yang lain ke arah demokrasi. 4. Budaya Parokial-Subyek-Partisipan (Civic Culture) Civic culture (budaya kewarganegaraan) menekankan pada partisipasi rasional dalam kehidupan politik, digabungkan dengan adanya kecenderungan politik parokial dan subyek warganegara maka menjadikan sikap-sikap tradisional dari penggabungannya dalam orientasi partisipan yang mengarah pada suatu budaya politik dengan keseimbangan aktivitas politik, 3
Esensi konsolidasi demokrasimenurut Larry Diamond adalah terbentuknya suatu perilaku dan sikap, baik di tingkat elite maupun massa yang mencakup dan bertolak dari metode dan prinsip-prinsip demokrasi. Sedangkan menurut Laurence Whitehead, konsolidasi demokrasi mencakup peningkatan secara prinsipil komitmen seluruh elemen masyarakat pada aturan main demokrasi.
14
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
keterlibatan dan adanya rasionalitas serta kepasifan, tradisionalitas, dan komitmen terhadap nilai-nilai parokial. Singkatnya, budaya politik ini merupakan penggabungan karakteristik dari ketiga budaya politik murni. Dalam pemahaman yang lebih sederhana, budaya politik kewarganegaraan merupakan kombinasi antara karakteristik-karakteristik aktif, rasional, mempunyai informasi yang cukup mengenai politik, kesetiaan pada sistem politik, kepercayaan dan kepatuhan terhadap pemerintah, keterikatan pada keluarga, suku, dan agama. C. Budaya Politik Masyarakat Indonesia dalam Perspektif Pembangunan Politik Sudah cukup banyak ahli yang melakukan kajian terhadap budaya politik Indonesia. Beberapa diantaranya menjadikan kelompok etnis Jawa sebagai titik tolak analisis mereka atas dasar asumsi bahwa di masyarakat yang multietnik akan ditemukan pola budaya yang dominan. Dalam hal ini, etnis Jawa dipandang sangat mewarnai sikap, perilaku, dan orientasi politik kalangan elit politik di Indonesia4. Pada umumnya para ahli sependapat bahwa pola hubungan yang ditemukan pada masyarakat Indonesia bersifat patronase (patronage) yang sangat dipengaruhi oleh pola relasi antara pemimpin dan pengikut yang berkembang pada kebudayaan Jawa. Jackson (1978:23) misalnya, menyatakan bahwa lingkaran hubungan patron-klien pada masyarakat Jawa disusun atas relasi hubungan yang bersifat diadik, face to face, tidak setara, tetapi saling menghargai antara pemimpin dengan pengikutnya (leaders and followers). Sementara Gaffar (206:109) menyoroti dasar dari pola hubungan antara patron (patron) dan klien (client) tersebut sebagai hubungan yang bersifat resiprokal dengan mempertukarkan sumber daya (exchange of resources) yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Pola hubungan tersebut walaupun bersifat asimetris, akan tetap terpelihara selama masing-masing pihak memiliki sumber daya tersebut.5 Dalam konteks struktur sosial masyarakat Jawa, Gaffar (206:107) memandangnya sebagai struktur yang bersifat hiearkhis yang didasarkan pada aspek kekuasaan (politis) ketimbang atribut sosial yang bersifat materialistik. Dalam hal ini ada pemilihan yang tegas antara mereka yang memegang kekuasaan (priyayi sebagai pihak penguasa atau wong gedhe) dan rakyat kebanyakan (wong cilik), yang termanifestasi dalam kehidupan sosial di mana birokrat seringkali menampakkan diri dengan self-image atau citra diri yang bersifat benevolensi, yaitu dengan ungkapan sebagai pamong praja yang melindungi rakyat, sebagai pamong atau guru/pendidik bagi rakyatnya, sehingga mewajibkan rakyat loyal kepada mereka. Implikasi negatif dari citra diri seperti itu dalam kehidupan berdemokrasi adalah rakyat mengalami proses alienasi dari proses politik. Rakyat diposisikan sebagai objek yang harus selalu menerima segala keputusan pemerintah dalam setiap kebijakan publik. Dalam kajian selanjutnya, Gaffar (2006:114) mensinyalir kemunculan budaya politik yang bersifat neo-patrimonialistik dalam perpolitikan di Indonesia.Dikatakan neo-patrimonialistik karena negara memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik, seperti birokrasi; tetapi juga memperlihatkan beberapa atribut yang bersifat patrimonialistik sebagaimana konsep patrimonialisme yang dikembangkan oleh Max Weber.6 Pendapat Rusadi Kantaprawira (2006:37-39) selaras dengan dua ahli sebelumnya. Menurutnya, budaya politik Indonesia masih sangat kuat dipengaruhi viariabel feodalisme, 4
Beberapa ahli yang dimaksud dalam tulisan ini antara lain Karl D. Jackson (1978),Afan Gaffar (2006 ), Rusadi Kantaprawira (2006), dan Budi Winarno (2008) 5 Sebagai pihak yang memiliki sumber daya yang lebih besar dan lebih kuat, sudah tentu patronlah yang paling banyak menikmati hasil dari hubungan ini. 6 Atribut yang dimaksud menurut Weber, yaitu: Pertama, kecenderungan untuk mempertukarkan sumber daya yang dimiliki seorang penguasa kepada teman-temannya. Kedua, kebijakan seringkali lebih bersifat partikularistik daripada universalistik.Ketiga, rule of laws merupakan sesuatu yang sifatnya sekunder dibandingkan dengan kekuasaan dari seorang penguasa (rule of man).Keempat, kalangan penguasa politik seringkali mengaburkan antara mana yang menyangkut kepentingan pribadi dan mana yang menyangkut kepentingan publik. FISIP UNWIR Indramayu
15
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015
paternalisme, dan primordialisme. Indikator dari paternalisme dan patrimonial yang masih cukup kuat mewarnai budaya politik Indonesia adalah asal bapak senang (bapakisme); sedangkan indikator primordialisme berupa sentimen kedaerahan, kesukuan, keagamaan, perbedaan pendekataan terhadap agama tertentu, puritanisme dan non-puritanisme, dan sebagainya. Namun ditengah-tengah pengaruh tradisionalisme tersebut, Kantaprawira mengidentifikasi tumbuhnya kelompok elit di Indonesia sebagai akibat pengaruh pendidikan modern (Barat) yang merupakan partisipan aktif. Atas dasar analisis pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap budaya politik masyarakat, Kantaprawira (2006:38) berkesimpulan bahwa budaya politik Indonesia merupakan mixed political culture yang diwarnai oleh besarnya pengaruh kebudayaan politik parokial-subyek.7 Adapun di Era Reformasi, berdasarkan kajian Budi Winarno (2008:66-70), budaya politik masyarakat Indonesia ternyata tidak membawa perubahan yang signifikan, karena masih tetap diwarnai oleh paternalisme, parokhialisme, mempunyai orientasi yang kuat terhadap kekuasaan, dan patrimonialisme yang masih berkembang dengan sangat kuat.Hal ini disebabkan adopsi sistem politik hanya menyentuh pada dimensi struktur dan fungsi-fungsi politiknya (yang biasanya diwujudkan dalam konstitusi), namun tidak pada semangat budaya yang melingkupi pendirian sistem politik tersebut. Dalam mengkaji budaya politik masyarakat Indonesia atas dasar empat budaya politik campuran (mixed political culture) yang dikemukakan Gabriel Almond, Winarno (2008:66-68) berkesimpulan bahwa budaya politik di Indonesia merupakan kombinasi antara parochial-subject culture, subject-participant culture, parochial-participant culture, dan civic culture. Dalam hal ini budaya politik Indonesia, menurutnya, bergerak di antara subject-participant culture dan parochial-participant culture. Subject-participant culture ditandai oleh menguatnya partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan politik terhadap input-input politik, sementara pada waktu yang bersamaan berkembang rasa ketidakmampuan masyarakat untuk mengubah kebijakan. Rasa sebagai wong cilik, orang-orang tidak mampu, dan termarginalkan membuat mereka hanya berorientasi pada output sistem politik dibandingkan dengan kepedulian terhadap proses input sistem politik. Fenomena seperti ini tidak hanya ditemukan di daerah-daerah pedesaan, tetapi juga di perkotaan di mana masyarakat miskin dan termarginalkan tumbuh subur.Bahkan, kebijakan pembangunan yang dilaksanakan oleh para penguasa politik yang berorientasi pada kebijakan neo-liberal mendorong kelompok-kelompok marginal ini semakin besar. Parochial-participant culture ditandai semangat primordialisme secara berlebihan, yakni menguatnya wacana kedaerahan pasca diterapkannya otonomi daerah.Dalam hal ini terdapat tekanan dan desakan yang kuat di beberapa daerah agar pemimpin lokal seperti walikota/bupati dan gubernur dipilih dari putra-putra daerah. Situasi ini jelas akan merugikan sistem politik secara keseluruhan karena cenderung menimbulkan konflik horizontal dan menghambat rasa kebangsaan (nation building) yang pada akhirnya menjadi faktor penghambat konsolidasi demokrasi. Sejauh ini belum ditemukan kajian ahli tentang budaya politik masyarakat Indonesia dengan menyertakan proporsi pada tiap kategori tipe budaya politik dalam konteks mengetahui model orientasi masyarakat terhadap pemerintahan dan politik. Tulisan ini mencoba memetakan budaya politik masyarakat Indonesia berdasarkan klasifikasi tipe-tipe budaya politik menurut Almond dengan menyertakan proporsi kuantitatif pendukung pada setiap klasifikasi. Langkah pemetaan dilakukan dengan melakukan dikotomi dua struktur komunitas: perkotaan dan perdesaan. Selanjutnya warga pada masing-masing komunitas dikelompokan 7
Kantaprawiraberusaha menggambarkan kondisi budaya politik Indonesia di masa diterapkannya sistem politik Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin, dan Demokrasi Pancasila;sementaraGaffar menjadikan budaya politik Orde Baru sebagai objek kajiannya.
16
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
berdasarkan status sosioekonomi mereka. Hal ini didasari pada pendapat Lipset (dalam Asrinaldi, 2012:68) bahwa masyarakat yang memiliki status ekonomi yang lebih baik akan lebih mudah berpartisipasi secara efektif ketimbang yang memiliki status ekonomi yang berkekurangan. Dengan demikian terdapat keterkaitan antara status sosioekonomi seseorang dengan perkembangan demokrasi.Selain sosio-ekonomi, dimensi lain yang memiliki pengaruh signifikan terhadap perkembangan demokrasi adalah tingkat pendidikan formal. Tinggi-rendah pendidikan individu berkaitan dengan rasionalitas seseorang dalam melakukan evaluasi terhadap aktivitas politik.Dalam hal ini terdapat korelasi antara sosio-ekonomi dengan tingkat pendidikan di mana pendidikan yang rendah pada umumnya ditemukan pada masyarakat kalangan miskin. Berdasarkan hal tersebut, masyarakat perkotaan dibagi dalam tiga stratifikasi: masyarakat miskin, kelas menengah, dan kelas atas. Sementara warga komunitas perdesaan dibagi berdasarkan stratifikasi: elit − massa. Dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia yang mempunyai hak pilih pada Pemilu yang baru lalu berjumlah 186.612.255 jiwa8 sementara persentase penduduk perdesaan sebesar 50,2 % dan penduduk perkotaan 49,8%, maka penduduk pedesaan yang memiliki hak pilih sebesar 93.679.352 jiwa dan perkotaan 92.932.903 jiwa. Adapun angka kemiskinan di perdesaan pada tahun 2011 sebesar 16,56% dan di perkotaan 9,87%,9 sehingga jumlah penduduk miskin di pedesaan yang mempunyai hak pilih sebesar 15.513.300 jiwa sedangkan di perkotaan 9.172.478 jiwa. Menyoal struktur sosial masyarakat perkotaan di mana 9,87 persen merupakan masyarakat miskin dan 50,3 persen adalah kelas menengah.10Dalam konteks tersebut menarik untuk dikemukakan hasil penelitian Asrinaldi (2012:215) yang menyatakan bahwa budaya politik masyarakat miskin di perkotaan cenderung parokial dan subjektif. Di sini, Asrinaldi membagi sikap politik masyarakat miskin menjadi dua kategori: kelompok pertama adalah kelompok yang apatis terhadap politik; sedangkan kelompok kedua adalah yang dikategorikan memiliki sikap semi apatis atau semi politik. Pendidikan kelompok terakhir ini hanya tamat SD atau tidak tamat SLTP. Dasar pendidikan inilah yang membantu mereka mendapatkan informasi politik, misalnya mencari pengetahuan mengenai aktivitas politik melalui surat kabar – biasanya surat kabar bekas yang ada di sekitar mereka. Dari dua kategori ini walaupun Asrinaldi tidak secara tegas membedakan masing-masing kategori berdasarkan budaya politiknya, namun dapat diduga kelompok berkebudayaan parokial yang dimaksudkannya adalah kelompok apatis, sedangkan yang berbudaya subjektif merupakan kelompok semi apatis. Sementara berdasarkan hasil survey litbang Kompas, orientasi politik kelas menengah juga cenderung apatis dan belum mau bergerak mengorganisasikan diri untuk perubahan. Mereka tidak begitu menghiraukan apa yang terjadi pada kondisi sosial politik meskipun mereka masih menunjukkan eksistensinya dalam pemilihan umum dan daerah. Dengan demikian eksistensi atau keterlibatan kategori masyarakat ini hanya sebatas partisipasi tidak langsung (representative democracy)11, belum menyentuh partisipasi dengan keterlibatan langsung (representative democracy).Orientasi politik semacam ini dapat dikategorikan kebudayaan politik subyek.Hal ini dikuatkan dengan pendapat Dedi Irawan (dalam Efriza, 2012:118) bahwa masyarakat berkebudayaan politik subjek tergambarkan dalam kelompok-kelompok menengah di 8
Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 2014 Statistics Indonesia Tahun 2012 (http://puzzleminds.com/kualitas-kependudukan-di-indonesia/) 10 Survey litbang Kompas mengenai kelas menengah 2012 (http://politik.kompasiana.com/2012/ 09/21/ membacapilihan-politik-kelas-menengah-494839.html) 11 Secara teoritis partisipasi politik masyarakat menurut ahli dikategorikan ke dalam dua bentuk, yaitu partisipasi langsung dan tidak langsung. Partisipasi langsung berkaitan dengan keterlibatan langsung (representative democracy), misalnya melakukan debat politik, diskusi publik, lobi politik, dan menghadiri kampanye politik. Sedangkan partisipasi tidak langsung(representative democracy) diidentifikasi dengan keterlibatan publik yang terbatas atau bahkan diwakilkan, misalnya kegiatan mencoblos dalam pemilu. 9
FISIP UNWIR Indramayu
17
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015
perkotaan.Mereka memiliki tingkat kesadaran politik yang memadai, yaitu memahami tentang situasi dan dinamika politik yang mengantarkan mereka untuk bersimpati pada salah satu parpol.Hanya saja kalangan menengah perkotaan ini biasanya bersikap pasif dalam aktivitas politik. Adapun dalam menentukan kategori masyarakat berbudaya politik partisipan, parameter yang digunakan dalam tulisan ini adalah aspek rasionalitas masyarakat dalam kegiatan politik. 12 Apabila diasumsikan rasionalitas seseorang dalam melakukan aktivitas politik ditentukan oleh pengetahuan mereka dan pengetahuan tersebut dibentuk oleh proses pendidikan formal (Asrinaldi, 2012:45), maka budaya politik partisipan dianggap ekuivalen dengan pendidikan tinggi yang dicapai seseorang. Bertolak dari beberapa asumsi dan data kuantitatif tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa dari sejumlah 92.932.903 jiwa penduduk dewasa di perkotaan: - Penduduk miskin apatis bertipe budaya politik parokial diperkirakan berjumlah 4.553.712 jiwa atau 4,9 persen. Sementara warga masyarakat miskin yang memiliki sikap semi apatis atau semi politik berkebudayaan subyek berjumlah 4.646.645 atau 5 persen. - Kelas menengah berjumlah 46.745.250 atau 50,3 persen penduduk dewasa, berbudaya politik subjek.13 - Masyarakat bertipe kebudayaan partisipan diperkirakan berasal dari kalangan berpendidikan tinggi (sarjana dan diploma) yang jumlahnya berkisar antara 5-10%14 atau berkisar antara 9.330.613 sampai 18.661.225 jiwa. Sementara dari kalangan mahasiswa sebanyak 4,8 juta15 jiwa atau 2,56 persen dan kalangan elit yang jumlahnya diperkirakan mencapai kurang dari 2 persen. Dari perhitungan sederhana ini dapat diketahui bahwa jumlah warga masyarakat perkotaan bertipe budaya partisipan berjumlah ± 15 persen atau 13.939.935 jiwa. Adapun identifikasi masyarakat pedesaan dilakukan dengan mendasarkan pada konsep stratifikasi masyarakat pedesaan yang dikemukakan Hofsteede (1992:45-46), yakni: (1) Elit desa, yang terdiri dari lurah, pegawai-pegawai daerah dan pusat, pemimpin formal dan pemuka masyarakat, guru, tokoh-tokoh politik maupun agama, dan petani kaya dan (2) Massa, yang terdiri dari petani menengah, buruh tani, pedagang kecil, serta pengrajin. Dari stratifikasi tersebut akan sangat mudah diketahui bahwa kelompok elit desa sebagai lapisan teratas jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan kelompok massa. Diperkirakan jumlahnya antara 2-3 persen saja dari seluruh warga desa.Kalangan yang dikonstatasi merupakan kelompok terpelajar dan memiliki akses terhadap kekuasaan dan sumber daya ekonomi di pedesaan ini kita kategorikan dalam kelompok masyarakat berkebudayaan politik partisipan. Sebagaimana dikemukakan, jumlah penduduk miskin yang mempunyai hak pilih di pedesaan mencapai16,56 persen atau 15.513.301 jiwa. Diasumsikan angka buta aksara 12,2 persen seluruhnya merupakan warga miskin pedesaan, maka sebesar itu pula jumlah warga masyarakat miskin bertipe budaya parokial (11.428.881 jiwa); sementara sisanya sebesar 4.084.420 atau 4,36 persen bertipe budaya politik subjek. Namun dalam hal ini keterbatasan dan minimnya akses
12
Rasionalitas yang dimaksud tidak hanya menyangkut kepentingan pribadi memperoleh manfaat dari tindakannya, tetapi juga membawa pengaruh pada kebijakan publik, kinerja pemerintahan, dan aspek personal dari pemimpin yang sesuai dengan harapan masyarakat (V.O. Key dalam Asrinaldi, 2012: hlm44) 13 Kelas menengah di Indonesia dicirikan dengan rata-rata pendidikannya setingkat SMA, dengan penghasilan Rp. 1,9 Juta per bulan serta pengeluaran Rp. 750 ribu - Rp. 1,9 Juta per bulan (Kompas, 2012). 14 Angkatan kerja Indonesia berpendidikan diploma/sarjanaberdasarkan Statistics Indonesia Tahun 2012 berjumlah 10.318.000 jiwa yang terdiri dari para pekerja 9.418.000 jiwa dan yang belum bekerja 900,000. Dengan demikian angka yang mendekati riil adalah 5,53% dikalikan jumlah penduduk yang memiliki hak pilih, hasilnya 10.319.657,7 atau 10.319.658 jiwa. 15 Menurut data BPS tahun 2012, jumlah mahasiswa Indonesia saat ini baru mencapai 4,8 juta orang.
18
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
terhadap informasi politik memungkinkan jumlah warga miskin di wilayah pedesaan bertipe budaya politik parokial jumlahnya lebih besar lagi. Masyarakat budaya politik parokial yang disebabkan terbatasnya informasi politikditemukan padapada struktur komunitas masyarakat desa terpencil dan suku yang terpencar menjauh dari pusat kekuasaan politik.Sebagai contoh situasi yang ditemukan di desa-desa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di propinsi Kalimantan Barat.Namun jumlah penduduk komunitas ini relatif kecil, diperkirakan hanya beberapa ratus jiwa. Untuk mendeskripsikan kebudayaan politik masyarakat pedesaan, khususnya kelompok massa dengan proporsi yang mendekati kenyataan yang sesungguhnya, sudah tentu memerlukan kajian yang mendalam, menimbang pengaruh budaya tradisional masih sangat kuat berakar pada komunitas ini. Pola hubungan patronase, misalnya, masih sangat kuat mewarnai kehidupan masyarakat pedesaan. Ini diindikasikan dengan suksesnya beberapa elit desa yang ditengarai memiliki kekayaan berupa bidang tanah yang sangat luas berhasil lolos menuju legislatif tingkat Kabupaten bahkan Propinsi karena jumlah suara dari klien mereka memadai dalam mengusung mereka menduduki kursi tersebut. Dalam hal ini kelompok massa pedesaan nampaknya sudah memiliki ciri-ciri tipe budaya politik subjek, namun masih diwarnai budaya tradisional sebagaimana dikemukakan, terlebih paternalisme yang sudah sangat mengakar dalam struktur masyarakat pedesaan. Paparan di atas mendukung pendapat ahli bahwa budaya politik Indonesia merupakan mixed political culture, kombinasi dari 3 (tiga) budaya politik: (1) masyarakat budaya parokial yang jumlahnya diperkirakan kurang dari 20 persen penduduk dewasa yang berasal dari masyarakat miskin berpendidikan sangat rendah dan warga komunitas masyarakat desa terpencil dan suku terasing; (2) masyarakat budaya politik partisipan, jumlahnya diperkirakan 16 persen berasal dari kalangan sarjana, mahasiswa, elit politik perkotaan, dan elit desa; dan (3) masyarakat budaya politik subjek, jumlahnya mencapai lebih dari 60% yang terdiri dari kalangan kelas menengah perkotaan dan massa pedesaan. D. Penutup Budaya politik Indonesia di Era Reformasi tidak membawa perubahan yang signifikan terhadap budaya politik masyarakat Indonesia, walaupun secara historis pelembagaan formal sistem politik Indonesia sudah mengalami beberapa kali perubahan. 16Hal ini dapat dipahami mengingat suatu kebudayaan berdasarkan hukum-hukum perkembangan masyarakat (laws of social development) berjalan relatif lambat.Dalam konteks ini perlu kita simak pendapat dari Winarno (2008:67) bahwa mengubah budaya politik tidak semudah mengubah struktur dan fungsi-fungsi politik. Mengubah struktur dan fungsi dapat dilakukan dengan mengubah undangundang dasar suatu negara, tetapi mengubah budaya politik suatu bangsa akan memerlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Terlebih ketika budaya tersebut telah mengakar dalam kehidupan politik masyarakatnya. Capaian proporsi 12,57% penduduk dewasa berkebudayaan politik partisipan tentunya dibilang masih rendah bila dibandingkan dengan capaian masyarakat demokratik industrial, 17 sebuah masyarakat di mana terdapat cukup banyak ativis politik dan kehadiran pemberian suara yang besar ataupun publik peminat yang kritis dalam mendiskusikan masalah-masalah 16
Pelembagaan formal yang dimaksud adalah sistem politik Demokrasi Liberal ke sistem Demokrasi Terpimpin dan terakhir ke sistem politik Demokrasi Pancasila. 17 Bandingkan dengan pendapat Almond bahwaproporsi kebudayaan politik dalam masyarakat demokratik industrial mencapai 40-60% penduduk dewasa berbudaya politik partisipan; ± 30% berbudaya subyek; dan penduduk dewasa berbudaya parokial kira-kira 10% (Mas’oed dan Andrwew, 2008:52).
FISIP UNWIR Indramayu
19
JURNAL ASPIRASI Vol. 5 No.2Februari 2015
kemasyarakatan dan pemerintahan, dan kelompok-kelompok penekan yang mengusulkan kebijakan-kebijkan baru (Winarno, 2008:19). Namun demikian, melihat tingginya proporsi masyarakat bertipe budaya subjek yang terdiri dari kalangan menengah perkotaan dan pemilih pemula yang rata-rata berpendidikan SLTA , maka potensi terjadinya pergeseran budaya politik masyarakat kalangan ini ke arah budaya politik partisipan sangatlah besar. Terlebih fenemona yang terjadi akhir-akhir ini di mana kalangan pengusaha, baik kelas atas atau maupun kelas menengah mulai tertarik untuk terjun dalam kancah politik praktis. Hal ini sudah tentu menjadi fenomena yang sangat menggembirakan dalam pembangunan politik di Indonesia Daftar Pustaka Agustino, Leo, 2009. Politik dan Perubahan.Yogyakarta : Graha Ilmu Asrinaldi, 2012.Politik Masyarakat Miskin Kota.Yogyakarta : Gava Media. Elfriza, 2012.Political Explore: Sebuah Kajian Ilmu Politik. Bandung : Alfabeta. Gaffar, Affan,2006. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hofsteede, W.M.F. 1992 Proses Pengambilan Keputusan di Empat Desa Jawa Barat.Yogyakarta.Gajah Mada Press. Jackson, Karl D. & Pye, Lucian W, 1978.Political Power and Communications in Indonesia. Barkeley and Los Angeles : University of California Press. Kantaprawira, Rusadi, 2006. Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar. Bandung : Sinar Baru Algensindo. Marijan, Kacung, 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Jakarta : Kencana. Mas’oed, M & MacAndrew, C, 2008.Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Varma, S.P., 2010. Teori Politik Modern.Jakarta : RajaGrafindo Persada. Winarno, Budi, 2007. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi.Yogyakarta : MedPress. Website http://revolusidesa.com/category/page/fakta_desa/33/URBANISASI-DAN-KEMISKINAN-DESA http://edukasi.kompas.com/read/2011/03/26/13202052/Mahasiswa.di.Indonesia. Cuma.4.8.Juta http://puzzleminds. com/kualitas-kependudukan-di-indonesia/
20
Program Studi Ilmu Pemerintahan