BAB I KETOKOHAN KYAI DAN KETERLIBATANNYA DALAM POLITIK A. Pendahuluan Berbagai studi sosial tentang kepemimpinan Islam di Indonesia menunjukkan bahwa kyai1 merupakan tokoh yang mempunyai posisi strategis dan sentral dalam masyarakat (Malik Madani dkk, 2010). Posisi tersebut tidak terlepas dari kedudukannya sebagai orang terdidik yang telah memberikan pengetahuan keislaman terhadap penduduk desa dan kepada para santrinya di pesantren. Oleh karena itu tidak jarang masyarakat dan penduduk desa bergantung kepadanya dan menjadikannya sebagai panutan masyarakat. Istilah kyai yang digunakan dalam studi ini merujuk pada gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang yang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan dalam sebuah pesantren dan mengajar kitab-kitab kuning maupun klasik kepada para santrinya (Dhofier 1982 ; 55). Namun cakupan makna kyai dalam penelitian ini bukan hanya pada seseorang yang menjadi pimpinan dalam sebuah pesantren dan mengajar kitab kuning saja tetapi juga merupakan salah satu
1
Dalam beberapa versi, dalam penulisannya ada yang menggunakan “Kiai dan Kyai”. Tetapi didalam tilisan ini, penulis menggunakan versi yang kedua yaitu “Kyai”. Oleh karena itu bahan bacaan yang dalam penulisannya menggunakan “Kiai”, didalam tulisan ini disesuaikan kedalam bentuk penulisan “Kyai” sebagai bentuk konsestensi penulisan.
tokoh elit dalam masyarakat yang memiki pengaruh serta menjadi panutan dan teladan bagi pengikut dan masyarakat disekitarnya. Berbicara tentang kyai tidak bisa dilepaskan dari santri dan pesantren sebagai satu-kesatuan yang utuh dan berkesinambungan. Kyai, santri dan pesantren merupakan komponen dalam dunia pendidikan Islam yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat Pamekasan (Madura). Oleh karena itu tidak berlebihan jika kiranya kemudian ketokohan dan pengaruh kyai sangat besar dan mengakar dalam masyarakat. Kuntowijoyo menyebut Madura adalah “Pulau Seribu Pesantren”2 karena didalamnya terdapat beberapa kyai, begitu juga di Pamekasan. Sebagai kabupaten yang syarat dengan pesantren, kehadiran kyai ditengah-tengah kehidupan masyarakat sangat diharapkan, selain untuk menjaga eksistensi keagamaan dan memperbaiki tata kehidupan dalam sosial masyarakat, ia juga dijadikan referensi dalam berbagai ranah kehidupan. Penyebutan istilah kyai bagi masyarakat Pamekasan beraneka ragam. Jika pada umumnya kyai merupakan gelar bagi pengasuh pondok pesantren, namun dalam konteks Pamekasan berbeda. Kyai tidak hanya orang yang menjadi pengasuh di dalam pondok pesantren, tetapi juga bagi orang yang memiliki surau (langger), madrasah, masjid dan murid (santri) serta memiliki kemampuan penguasaan ilmu dalam bidang agama Islam yang kuat. Perbedaan penyebutan tersebut terletak pada tingkatan dan pengaruhnya dalam sosial masyarakat. Yang pertama Orang yang 2
Lihat, Muthmainnah. 1998. Jembatan Suramadu; Respon Ulama terhadap Industrialisasi. Yogyakarta. LKPSM. Hal xi.
memiliki kemampuan dalam bidang agama Islam serta mempunyai surau (langger), madrasah atau masjid sebagai tempat aktivitas belajar mengajar disebut mak kaeh, (kyai). Kedua orang yang mempunyai santri dan pondok pesantren sebagai tempat belajar mengajar serta status dan kedudukannya dituakan, menjadi induk dan referensi bagi masyarakat dan pesantren lainnya kyai sepuh. Keberadaan kyai sepuh ini sangat menentukan dan memiliki pengaruh yang kuat serta kuasa yang hegemonik dalam kehidupan sosial masyarakat Pamekasan. Setiap kata, perbuatan dan perintahnya harus diikuti dan dipatuhi, ketidaktundukan merupakan suatu hal yang dianggap salah dan keliru (kualat, bala`) hingga menimbulkan kekhawatiran tidak mendapatkan berkah atau barokah. Di kabupaten Pamekasan terdapat pesantren tua yang merupakan corong dan induk bagi seluruh masyarakat. Ia merupakan kiblat dan muara semua pondok pesantren di Pamekasan bahkan semua pondok pesantren yang ada di Madura, pesantren tersebut ialah Pondok Pesantren Banyuanyar dan Pondok Pesantren Batabata.3 Tidak hanya menjadi corong dan kiblat dalam ranah keagamaan, namun juga sebagai referensi dalam ranah politik. Oleh karena itu masyarakat Pamekasan pada umumnya menyebut pesantren Banyuanyar dan Bata-bata sebagai kyai sepuh. Dalam setiap penyelenggaraan pesta demokrasi, Kyai sebagai tokoh pesantren sering kali menjadi lahan dan sasaran bagi para politisi untuk membangun 3
Nama Tersebut diambil dari pengistilahan untuk sebuah tempat Banyuanyar berasal dari dua suku kata yaitu banyu (air) dan anyar (baru). Nama Pesantrennya adalah Darul Ulum. Sedangkan bata-bata adalah Mambaul Ulum. Penjelasan tentang Banyuanyar bisa di lihat di Bab II.
basis dukungan politiknya. Suara kyai selalu diperebutkan, bukan saja oleh partaipartai politik berbasis Islam melainkan juga partai-partai politik berbasis nasionalis. Dalam upaya meraup simpati dari kalangan Islam yang menjadi pengikut setia kyai, banyak partai politik yang menempatkan kyai dan tokoh pesatren pada jajaran pengurus partai bahkan hingga dijadikan calon Legislatif, Gubernur, maupun Kepala daerah (Bupati) dengan harapan bisa menjadi vote getter dan daya tarik dalam pemenangan pemilu. Kabupaten Pamekasan merupakan sebuah kabupaten dengan daerah kresidenan yang terletak ditengah-tengah pulau Madura dengan masyarakat yang majemuk dan heterogen serta diapit oleh dua kabupaten, Sampang dan Sumenep. Pamekasan dikenal dengan kabupaten gerbang salam4, karena aktivitas masyarakat sehari-hari selalu disandarkan pada nilai-nilai keagamaan dengan mentaati, mematuhi dan tunduk terhadap perintah kyai sebagai panutan mereka dalam masyarakat. Kehidupan sosio-politik yang terbangun dalam diri orang madura tidak terlepas dari kultur sosial kemasyarakatannya yang berkembang. Umumnya orang Madura khususnya Pamekasan terdapat tiga ajaran ketundukan dan kepatuhan, yakni : Ibuh (kedua orang tua), Guruh (guru), dan Ratuh (pemerintah)5. Guru yang dimaksud disini adalah pemuka dan pemimpin agama Islam (Kyai). Hal tersebut pada akhirnya sangat mempengaruhi pada afiliasi politik mereka. Karena sifat fanatik dan 4
Gerbang Saalam (Gerakan Pembangunan Masyarakat Islami) yang didorong oleh LP2SI (Lembaga Pengkajian dan Penerapan Syariat Islam) sebagai lembaga yang terus melakukan himbauan kepada masyarakat Muslim untuk menerapkan Syariat Islam. 5 Ibid Hal 32
kepatuhannya kepada kyai yang sangat tinggi hingga berimbas pada proses kepartaian. Pengaruh dan kedudukan kyai dalam kehidupan masyarakat Pamekasan sangat besar, kuat dan mengakar. Tidak hanya dalam kehidupan sosial-keagamaan, melainkan juga dalam kehidupan social-politik. Pengaruh sosok kyai dalam politik sangat besar, melebihi partai Politik. Sehingga perbedaan partai yang dianut oleh kyai yang satu dengan kyai yang lainnya membuat masyarakat menjadi bingung dalam menentukan sikap politiknya. Kyai sepuh mempunyai peran besar di dalam proses politik di Kabupaten Pamekasan. Pilihan politik masyarakat Pamekasan selalu berkiblat pada dua pesantren tua, Pesantren Banyuanyar dan Bata-bata. Sering kali kyai sepuh kedua pesantren tersebut menjadi penentu kemenangan dalam proses politik (Pemilu maupun Pilkada). Faktor pengaruh dan kharisma serta kuasa yang hegemonik dalam kehidupan sosial masyarakat Pamekasan yang menjadikan peran besar tersebut melekat. Disamping itu, kyai sepuh memiliki basis dukungan yang tetap yaitu para masyarakat khususnya para santri yang akan selalu menghormati, memuliakan dan akan selalu mematuhi perintahnya. Salah satu bentuk penghormatan dan pemuliaan tersebut adalah dengan cara ngerengah debunah keyaeh (mengikuti perintah dan permintaan sang kyai). Karena didalam politik, kyai ditempatkan sebagai sumber
“fatwa” ketika masyarakat memiliki pilihan-pilihan politik yang membingungkan. Sebagai gambaran, kedua pesantren tersebut terjalin ikatan persaudaraan yang kuat, pesantren Banyuanyar merupakan sesepuh pesantren Bata-bata (Bata-bata cabang dari Banyuanyar) sehingga dalam pilihan politik selalu terjadi kesaman karena kepentingan kedua pesantren tersebut dalam politik. Pemilihan kepala daerah (pilkada) kabupaten Pamekasan misalnya, setiap kandidat yang di dukung oleh kedua pesantren tersebut selalu unggul dan memenangkan proses demokratisasi di Pamekasan. Sebelum pemilihan kepala daerah langsung
di
berlakukan,
pada
tahun
2003
kedua
pesantren
tersebut
merekomendasikan Achmad Syafii untuk duduk menjadi kepala daerah (Bupati Pamekasan periode 2003-2008). Atas saran dan dukungan pesantren Banyuanyar dan Bata-bata terhadap anggota legislatif, Syafii sukses mengalahkan incumbent Dwiatmo dan memenangkan pemilihan. Pada pilkada 2008, pesantren Banyuanyar dan Bata-bata mencalonkan dan mendukung K. H. Kholilurrahman untuk duduk menjadi kepala daerah (Bupati Pamekasan 208-2013). Seperti pemilihan sebelumya, dukungan pesantren Banyuanyar dan Bata-bata
memiliki peran besar. K. H.
Kholilurrahman sukses memenangkan pemilihan dengan mengalahkan incumbent Achmad Syafii.6
6
Kemenangan K. H. Kholilurrahman ini sebagai bukti atas peran besar kyai sepuh. Ia memperoleh 228.736 unggul dari Achmad Syafii yang hanya memperoleh 170.080. (Sumber : KPUD Kabupaten Pamekasan)
Kandidat yang didukung oleh kyai sepuh selalu unggul dengan memperoleh suara mayoritas. Hal tersebut tidak terlepas dari ketundukan dan ketaatan masyarakat Pamekasan terhadap kyai sepuh pesantren Banyuanyar dan Bata-bata. Karena pada umumnya masyarakat Pamekasan mengidentikan dirinya sebagai santri walaupun belum dan tidak pernah belajar di pondok pesantren Banyuanyar maupun Bata-bata, karena mereka belajar pengetahuan agama Islam kepada alumni pondok pesantren Banyuanyar maupun Bata-bata baik di pondok pesantren, surau (langgar), masjid dan madrasah yang ia dirikan. Kyai terjun kedalam dunia politik praktis bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Secara historis keterlibatan kyai dalam politik sudah terbukti sejak zaman penjajahan, orde lama, orde baru, maupun pasca reformasi seperti saat ini semakin marak kyai terjun langsung kedalam politik praktis, baik secara langsung maupun dengan turut serta menjadi tim sukses dalam pemenangan calon yang diusung. Terbukti dalam beberapa preode faktor dukungan kyai sering kali menjadi penentu kemenangan dalam pemilihan7, karena kyai merupakan elemen yang paling sesensial dalam masyarakat lebih-lebih dalam dunia pesantren. Namun seiring dengan perkembangan waktu, paradigma ketundukan dan kepatuhan yang tertanam dalam kehidupan dan kepribadian masyarakat terhadap kyai sepuh mengalami perubahan, di mana ketundukan santri terhadap kyai mengalami
7
Di Kabupaten Pamekasan terbukti pada Pilkada 2008 Kyai berperan besar atas kemenangan K. Kholillurrahman
anomali. Santri tidak lagi terdominasi oleh kekuatan dan kekuasaan kyai serta tidak lagi patuh, tunduk
dan mendukung apa yang di kehendaki dan dilakukan kyai.
Paradigma sami`na wa atho`na yang sudah terbentuk dan melekat kini berubah menjadi sami`na wa analisa Pilkada Pamekasan tahun 2013 menunjukkan peran besar kyai sepuh pesantren Banyuanyar dan Bata-bata hilang kemujarabannya. Dua pesantren tersebut kembali mencalonkan K. H Kholilurrahman untuk menjadi kepala daerah (bupati) Pamekasan untuk melanjutkan kepemimpinannya periode 2013-2018. Namun, kandidat yang berstatus sebagai incumbent dan didukung oleh dua pesantren tersebut kalah.8 Ketundukan dan kepatuhan masyarakat dalam politik terhadap dua pesantren tertua yang awalnya menjadi induk dan corong bagi pesantren dan masyarakat Pamekasan mengalami perubahan. Masyarakat Pamekasan tidak lagi terdominasi oleh kekuatan dan kekuasaan sang kyai kedua pesantren tersebut serta tidak lagi patuh, tunduk dan mendukung atas apa yang di kehendaki dan didukung kedua pesantren tersebut. Paradigma sami`na wa atho`na (kami dengar dan kami taati) yang sudah terbentuk dan melekat kini berubah menjadi sami`na wa analisa (kami dengar dan kami analisa) yang menyebabkan masyarakat Pamekasan mulai berfikir rasional serta telah memiliki pilihan politik sendiri.
8
K. H. Kholilurrahman kandidat yang direkomendasikan dan didukung oleh pesantren Banyuanyar dan Bata-bata memperoleh suara sebesar 205.902 serta Ahmad Syfii memperoleh 250.336.
Oleh karena itu, dukungan dan pilihan kyai sepuh terhadap kandidat dalam pilkada Pamekasan 2013 kurang mendapatkan perhatian dan dukungan dari masyarakat. Kekalahan kandidat yang didukung oleh kyai sepuh dalam pilkada langsung Pamekasan tersebut meruntuhkan mental paternalistik masyarakat Pamekasan. Masyarakat Pamekasan pada kenyataannya sudah tidak terkooptasi oleh sentimen paternalistik dalam menentukan pilihan politiknya. Hal tersebut menjadi sejarah baru dalam dinamika politik lokal di Pamekasan bahwa telah terjadi perubahan kekuasaan, kuasa kyai sepuh yang begitu kuat dan mengakar serta dominan dalam kehidupan masyarakat Pamekasan, kini dalam pilkada Pamekasan 2013 tidak lagi kuat dan tidak dominatif. B. Rumusan Masalah Bertolak dari uraian latar belakang masalah diatas, maka Penelitian ini bermaksud untuk mengungkap suatu persoalan Mengapa Kekuasaan Kyai Sepuh menurun dalam Pilkada Pamekasan Tahun 2013? C. Tujuan Penelitian Dari permasalah tersebut, maka pentingnya dilakukan penelitian ini bertujuan untuk ; 1. Mengetahui dan menjelaskan tentang menurunnya kekuasaan kyai sepuh Pesantren Banyuanyar dan Bata-bata dalam proses demokratisasi lokal pilkada Pamekasan tajun 2013. Diuraikan dengan melihat kuasa kyai sepuh dalam ranah politik pilkada Pamekasan dari periode ke periode.
2. Diharapkan mampu memberikan manfaat serta memberikan kontribusi pemikiran terhadap permasalahan sosial politik terutama berkaitan dengan hegemoni kekuasaan dalam pilkada. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat secara metodologis dalam kajian-kajian ilmu politik, dimana proses demokrasi lokal telah mampu merubah ketokohan dan pengaruh kyai sebagai tokoh lokal yang hegemonik menjadi setara dengan tokoh-tokoh lokal lainnya. 1. Manfaat penelitian ini secara teoritis, kegagalan demokrasi dan demokratisasi terutama dalam pilkada disebabkan oleh hegemoni kuasa seorang tokoh. 2. Manfaat penelitian ini secara praktis adalah ; a. Proses demokrasi dan demokratisasi harus diimbangi dengan budaya yang demokratis seperti budaya egaliter, kebebasan dan humanisme. b. Hegemoniknya budaya oleh ketokohan seseorang telah menghilangkan makna demokrasi itu sendiri. E. Literatur Review Pada bagian ini penulis akan menghadirkan tulisan-tulisan terkait dengan kajian tentang kyai. Studi-studi tentang kyai telah banyak dilakukan, baik oleh para ilmuan mancanegara, maupun oleh para ilmuan dalam negeri. Berikut dijabarkan tulisan-tulisan yang bisa memberikan inspirasi kepada penulis.
Buku dengan judul Abangan, Santri dan Priyayi Dalam Masyarakat Jawa yang ditulis oleh Cliffort Geertz9 yang mengkaji tentang bagaimana seorang kyai memainkan perannya di dalam struktur kemasyarakatan yaitu sebagai pialang budaya (cultural broker). Peran tersebut tidak hanya dalam urusan keagamaan namun begitu juga dalam urusan sosial, budaya, ekonomi dan politik. Ia memandang kyai berperan sebagai alat penyaring atas arus informasi dan globalisasi yang masuk dilingkungan kaum santri dan masyarakat, menularkan apa yang dianggap bermanfaat dan membuang apa yang dianggap merusak. Dalam artian bahwa kyai berperan membendung dampak negatif dan arus budaya luar yang masuk kedalam kehidupan masyarakat. Sementara dalam Kajian Horikoshi10 (1984) yang melihat peranan kyai kreatif dalam merespon perubahan sosial di Jawa Barat. Posisi kyai yang ditempatkan sebagai posisi penghubung atau kreatif yang mampu masuk dalam permainan kekuasaan yang begitu rumit dengan sistem luar yang dominan, dalam hal ini kyai berperan sebagai jembatan dan penengah. Peran kyai sebagai wakil masyarakat dalam hubungannya dengan sistem nasional adalah merupakan hal yang terpenting. Masyarakat telah mengabsahkan kyai sebagai pemimpin dan juru bicara mereka dalam konteks nasional.11
9
Clifford Geertz, 1983, Abangan, Santri dan Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, (terj. Aswab Mahasin), Pustaka Jaya, Jakarta: 10 Horikoshi, Kiai dan Perubahan Sosial, (Jakarta : P3M, 1987) 11 Ibid Hal 234
Agak berbeda dengan kajian diatas, Sunyoto Usman 12 (1991) Dalam kajiannya yang ia lakukan penelitian di jombang menunjukkan bahwa pemimpin agama (kyai) sekarang tidak terlalu berpengaruh di bandingkan dengan fungsionarisfungsionaris yang lain, seperti kepala desa dan birokrat-birokrat yang ada. Kyai mulai ditinggalkan dan masyarakat tidak lagi meminta nasehat kepada kyai dalam masalahmasalah duniawi seperti yang sering mereka lakukan sebelumnya. Usman (1988) dalam kajiannya ini menunjukkan adanya perubahan-perubahan dalam peran kyai secara umum yang mengakibatkan perubahan pada posisi mereka dalam masyarakat yang lebih luas. Sejalan dengan Usman, Endang Turmudi13 dalam kajiannya menunjukkan ada beberapa faktor yang menyebabkan kyai mulai di tinggalkan oleh para santrinya dalam masyarakat, sehingga ia tidak lagi patuh dan tunduk terhadap apa yang diperintahkan oleh kyai. Pertama, munculnya generasi muda santri yang berkarakter modern, dalam pengertian bahwa mereka mempunyai kemampuan dan kebebasan yang lebih besar untuk mengkaji dan mengevaluasi sikap kyai, paling tidak pada tindakannya dalam wilayah politik. Perubahan seperti itu jelas melahirkan masalah yang berkaitan dengan legitimasi peran kepemimpinan kyai. Kelahiran santri modern ini merupakan hasil dari program modernisasi dalam sistem pendidikan di pesantren yang di tandai dengan bertambahnya jumlah sekolah dalam lingkungannya (pesantren). Kedua adalah meningkatnya jumlah kelas menengah muslim yang lebih 12
Usman, Sunyoto, Interaksi antar relit local dalam implementasi pembangunan, (Yogyakarta : Pusat Penelitian UGM, 1988) 13 Turmudi, Endang Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, (Yogyakarta : LKiS, 2003)
terdidik yang dapat melahirkan intelektual-intelektual muda, yang tidak hanya membuat posisi kyai sebagai legitimator menjadi tersaingi, tetapi juga membuat kredibilitas dan otoritas kyai di pertanyakan. Ketiga adalah meluasnya wilayah operasi negara di balik upaya peningkatan kualitas kehidupan umat islam. Negara tidak peduli dengan ketidaksetaraan (inequality) dan ia terlibat dalam berbagai hal yang sebelumnya berada di bawah kepedulian kyai. Sementara karya Zamakhsyari Dhofier14, dalam kajiannya yang memusatkan pada kyai dan pesantren, atau apa yang ia sebut dengan “tradisi pesantren”. Ia mengemukakan pola hubungan santri dan kyai serta pendidikan Islam tradisional. Kyai sebagai pemegang otoritas yang sah di pesantren mendapat penegasan secara doktrinal dari kitab ta`limul muta`alim. Salah satu doktrin tersebut misalnya kyai adalah penguasa ilmu yang harus dihormati dan harus di mulyakan oleh para santrisantrinya. Bentuk penghormatan dan pemuliaan ini adalah dengan cara mengikuti perintah dan permintaan sang kyai. Untuk kasus di Madura sendiri diantaranya tergambar dalam Kajian Abdur Rozaki15 yang membahas tentang relasi kekuasaan yang dimiliki oleh kyai dan blater atau bandit di dalam masyarakat Madura, serta menggali sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki oleh dua penguasa tersebut, meskipun dalam studi ini dia tidak memberikan penjelasan secara mendalam tentang sumber-sumber ekonomi yang dimiliki oleh dua sosok tersebut. Terutama konteks jalinan ideologis dan motif sosial 14
Dhofier, Zamakhsyari Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. (Jakarta : LP3ES, 1982) 15 Rozaki, Abdur Menabur Kharisma Menuai Kuasa (Yogyakarta : Pustaka Marwa, 2004)
dari relasi kekuasaan keduanya. Padahal baik kyai dan juga blater memiliki peran yang cukup berpengaruh di dalam masyarakat. Masyarakat Madura yang memiliki relasi kultural terbuka dalam memandang dua sosok tersebut, tidak hanya memiliki kedudukan yang tinggi dalam struktur sosial masyarakat, tetapi juaga dalam pilihan politik dan dan ekonomi cenderung menempatkan dua sosok tersebut sebagai “penentu kebijakan dan keputusan” dalam kehidupan sosial masyarakat. Tindakan yang dilakukan kyai dan blater banyak menjadi pertimbangan utama masyarakat dalam menentukan kehidupan sehari-hari. Dalam kajiannya yan lain Rozaki16 menemukan kajian yang lebih komprehensif perihal pilihan politk masyarakat Madura. Ia mengemukakan bahwa seiring berjalannya waktu pergeseran pilihan politik masyarakat Madura tidak lagi bertumpu pada pengaruh sosok kyai atau blater yang kharismatik, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal. Lik Mansoornoor17, ia memotret perbedaan dan pengaruh antara sosok kyai dengan bindhereh dan peran-peran sosial mereka ditengah masyarakat Madura. Sedangkan untuk konteks konflik antara kyai dan pemerintah Orde Baru dalam kasus rencana pembangunan jembatan Surabaya – Madura (Suramadu) dilakukan oleh Mutmainnah18
16
Pemilu 2004 di Madura ; Pertarungan Ideologi Politik Kyai, Kerabat dan Uang (IRE Press ; 2008) Mansurnoor, Lik A. Islam in an Indonesian World : Ulama of Madura (Yogyakarta : Gajahmada. 1990) 18 Muthmainnah Jembatan Suramadu Respon Ulama terhadap Industrialisasi (Yogyakarta : LKPSM, 1998) 17
Uraian tersebut menunjukkan beberapa penelitian terdahulu yang penulis temukan. Sementara itu, untuk melihat lebih jelas persamaan dan perbedaan antara penelitian penulis dengan penelitian terdahulu tersebut. Persamaan antara penelitianpenelitian tersebut dengan penelitian penulis dalam kajian ini adalah terkait dengan fokus kajian yang diteliti yaitu keterlibatan tokoh dalam hal ini kyai dalam politik. Persamaan lain adalah pada metode penelitian yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif. Sementara itu, terdapat pula perbedaan dari penelitian penulis dengan beberapa penelitian terdahulu tersebut. Perbedaan utama yang menjadi suatu bentuk unsur orisinalitas dan kebaruan dalam penelitian ini adalah terjadinya pergeseran paradigma kyai dan santri merupakan dua entitas yang berbeda dan berdiri sendiri bahkan menjadi rival dalam ajang pilkada. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa penelitian terdahulu yang cenderung menganalisis hubungan kyai dan santri merupakan satu kesatuan entitas yang tidak bisa di pisahkan Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam kajian ini ingin menunjukkan menurunnya ketokohan dan kuasa serta pengaruh kyai sepuh dalam pilkada Pamekasan tahun 2013. Hal tersebut disebabkan karena terjadinya pertarungan wacana antara antara kanddat yang didukung oleh kyai sepuh dengan kandidat yang tidak di dukung oleh kyai sepuh dalam memperebutkan volume kekuasaan. Oleh sebab itu, penelitian ini menjadi perlu dilakukan karena menganilisis ketokohan kyai melalui sudut pandang yang berbeda.
F. Pendekatan Teoritik Pada bagian ini akan menjelaskan tentang pendekatan yang akan digunakan dalam melihat dinamika kekuasaan kyai di kabupaten Pamekasan. Status kekyaian yang melekat dalam pribadi kyai pesantren pengasuh pondok pesantren Banyuanyar dan Bata-bata sebagai tokoh dan elit lokal didalam kehidupan masyarakat dinilai dan diyakini sebagai orang yang suci, sebagai pewaris para nabi (waratsatul anbiya). Anggapan dan penghormatan yang diberikan masyarakat terhadap kyai tersebut hadir tidak terlepas dari interaksi sosial kyai dan masyarakat yang sudah menjadi sebuah keyakinan yang mengakar dalam kehidupan masyarakat Pamekasan dan tertanam sejak lama. Penghormatan masyarakat yang begitu besar terhadap pimpinan kedua pesantren tersebut membawa tuntutan dan harapan untuk terlibat kedalam kegiatan politik. Ketika dalam aplikasi dan prakteknya kandidat yang diusung dan dicalonkan terjebak kedalam hal-hal yang proseduralistik dan terlibat kedalam kelompok kepentingan yang menyebabkan kurang sensitifnya terhadap aspirasi dan suara masyarakat, keberadaannya mulai digugat dan disorot oleh masyarakat yang merasa tidak puas terhadap kebijakan sang kandidat yang diusung oleh kedua pesantren tertua dan terbesar tersebut tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Masyarakat yang sebelumnya satu kesatuan dengan kyai pimpinan kedua pesantren tersebut, kini berubah menjadi aktor dan tampil sebagai kompetitor yang mampu membangun gagasan untuk mengkritisi keberadaan kyai dalam politik. Ia berusaha untuk
melakukan perubahan terhadap doxa yang mereka yakini selama ini. Oleh karena itu, pendekatan teoritik yang digunakan dalam studi ini meminjam beberapa konsep dari Bourdieu tentang, field (ranah, arena), capital (modal), habitus, dan doxa. Arena, Modal, Habitus dan Doxa dalam Perebutan Volume Kekuasaan Untuk menganalisis tentang dinamika kekuasaan kyai sepuh di Pamekasan, penulis meminjam konsep Pierre Bourdieu. Bourdieu, seorang sosiolog Prancis, mempunyai latar belakang pendidikan filsafat yang cukup kuat. Gagasan dasarnya dikembangkan, diulangi, dan dirumuskan kembali dalam setiap buku-bukunya. Dalam menganaisis fenomena sosial ia menawarkan konsep Arena, Modal, Habitus dan Doxa. a. Arena dan Modal Bourdieu berpandangan bahwa kekuasaan berasal dari relasi-relasi yang terjadi didalam masyarakat. Oleh karena itu, ia mendefinisikan arena sebagai pertempuran serta juga merupakan perjuangan. Arena juga dapat diartikan sebagai arena sosial yang didalamnya terdapat pertempuran maupun perjuangan untuk memperebutkan dan meraih sumber daya (modal). Dalam arena sosial pasti ada yang mendominasi dan juga terdapat yang didominasi. Hal tersebut tidak terlepas dari sumber daya capital (modal) yang dimiliki oleh seseorang, dimana modal tersebut merupakan sesuatu yang langka dan berharga. Bagi Bourdieu modal merupakan akumulasi kerja, berupa barang baik material maupun
simbolik yang apabila dialokasikan secara privat oleh agen atau kelompok agen, memungkinkan mereka untuk memperoleh kekuatan sosial. Arena sebagai pertempuran dan perjuangan tersebut seperti pasar dimana didalamnya terdapat penjual dan pembeli. Penjual adalah mereka yang memiliki modal-modal yang saling bersaing dan berhadap-hadapan dengan pedagang lainnya. Pertaruhannya adalah terletak pada akumulasi bentuk modal tertentu yang memungkinkan untuk mendominasi dibidang terebut19. Oleh karena itu, modal tidak hanya berfungsi sebagai sarana namun juga sebagai tujuan untuk memenangkan persaingan dalam rangka dominasi. Adapun ciri-ciri modal dalam pandangan Bourdieu dapat disimpulkan antara lain : (1) modal terakumulasi melalui investasi, (2) modal bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan dan (3) modal dapat memberi keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya.20 Bourdieu membagi modal kedalam empat macam21
Pertama,
modal ekonomi (economic capital), yakni berupa harta kekayaan misal properti, uang dan sejenisnya. Modal Ekonomi merupakan modal yang paling cepat dan dapat langsung dikonversi menjadi uang dan dapat dilembagakan dalam bentuk hak milik. Kedua, modal sosial (social 19
Lihat, Haryatmoko, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa, (Majalah BASIS, Nomor 11-12 Tahun Ke-52, November-Desember, 2003) 20 Lihat, Mutahir, A. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu ; Sebuah Gerakan Melawan Dominasi. (Yogyakarta ; Kreasi Wacana, 2011) Hal 68 21 Ibid
capital), merupakan kumpulan relasi-relasi sosial yang mengatur individu atau kelompok, dapat berupa jaringan informasi, norma-norma sosial dan kepercayaan yang melahirkan kewajiban-kewajiban dan harapan. Yakni berupa sumber-sumber sosial seperti jaringan dan hubungan timbal balik yang menguntungkan. Ketiga, modal kultural (cultural capital), yakni berupa aset-aset informasi seperti pengetahuan dan ketrampilan (skills) yang dapat dimiliki melalui proses sosialisasi dan edukasi. Modal kultural bisa eksis didalam tiga bentuk : pertama bisa eksis dalam keadaan diwujudkan (non fisik), yaitu dalam bentuk sikap dan tingkah laku yang sudah lama terbentuk, dan Nampak ecara fisik seperti cara berbicara (bahasa), cara berjalan atau perilaku-perilaku lain. Kedua, bisa eksis dalam keadaan materi, seperti dalam bentuk barang budaya (lukisan, buku, alat elektronik, mesin-mesin dll), yang menunjukkan status sosial karena kepemilikan benda-benda tersebut. Terakhir bisa eksis dalam keadaan terlembagakan (institusional) seperti kualifikasi akademik, gelar atau ijasah yang berhubungan dengan kualitas intelektual. Modal kultural ini berperan dalam penentuan kedudukan sosial. Keempat, modal simbolik (symbolic capital), yang wujudnya berupa legitimasi otoritas berupa, gelar kehormatan, maupun reputasi. Modal-modal inilah yang menentukan posisi seseorang. Posisi tersebut
tergantung pada seberapa besar dan seberapa banyak kepemilikan modal tersebut. Berdasarkan
konsepsi
Bourdieu
tentang
modal
tersebut
memungkinkan bagi studi ini untuk mengetahui sejauh mana modal yang dimiliki oleh masing-masing aktor tersebut untuk bersaing dalam memperebutkan pengaruh dari masyarakat Pamekasan. Sedangkan konsep arena tesebut diatas digunakan untuk menjelaskan bagaimana pertarungan antar modal kyai dengan modal masyarakat sebagai kompotitor politik untuk mendapatkan simpati dan dukungan masyarakat Pamekasan. Arena yang dimaksud dalam studi ini adalah kontestasi politik dalam proses demokratisasi lokal. Proses demokratisasi lokal adalah ruang dimana permainan berlangsung yang merupakan hubungan antara individu yang bersaing untuk keuntungan pribadi b. Habitus dan Doxa Konsep habitus dalam studi ini digunakan untuk melihat bagaimana kecenderungan individu dalam mendisposisikan dirinya kedalam
suatu
praktek
sosial
tertentu.
Apakah
ia
cenderung
mendisposisikan dirinya kedalam skema praktik yang dikonstruksi oleh masyarakat atau sebaliknya. Sedangkan konsep doxa dipinjam kedalam studi ini untuk menjelaskan bagaimana wacana dominan yang diproduksi
oleh lembaga sosial dapat diterima sebagai kebenaran objektif bagi masyarakat Pamekasan. Dalam hal ini, doxa merupakan basis dan sumber legitimasi bagi kyai. Yang dimaksud lembaga social dalam studi ini adalah lembaga (institusi) yang ada di dalam kehidupan masyarakat Pamekasan (Pesantren). Dalam bahasa Latin, habitus berarti kebiasaan (habitual). Pierre Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai kondisi yang berhubungan dan berkaitan
dengan keberadaan suatu masyarakat. Menurutnya kondisi
tersebut telah lama terbentuk serta dapat diwariskan, struktur-struktur yang dibentuk, yang kemudian akan berfungsi juga sebagai strukturstruktur yang membentuk adalah merupakan hasil dari suatu habitus.22 Oleh karena itu, Habitus bisa diartikan sebagai kebiasaan yang muncul dan dibentuk dari kebiasaan sejak kecil dalam kehidupan sosial seseorang. Oleh karena itu habitus bukan sesuatu yang alami atau bawaan melainkan pengalaman sosial ataupun pendidikan, dapat diubah oleh sejarah, yaitu dengan memperoleh pengalaman baru, pendidikan atau latihan. Secara sederhana habitus dapat diartikan sebagai hasil dari proses keterampilan berupa tindakan baik disadari ataupun tidak disadari yang kelihatannya alamiyah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu, habitus menjadi sumber penggerak tindakan, pemikiran dan representasi. 22
Penjelasan yang lengkap tentang konsep habitus, dapat dibaca dalam Haryatmoko, 2003. Dalam basis edisi November-Desember 2003. Lihat Mutahir, A. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu ; Sebuah Gerakan Melawan Dominasi. (Yogyakarta ; Kreasi Wacana, 2011) Dan Ritzer, 2009.
Didalam ruang dan praktek sosial terdapat beberapa habitus. Untuk membedakan habitus yang satu dengan habitus yang lain adalah setiap habitus memiliki framework pengetahuan tersendiri, yang dalam terminologi Bourdieu disebut doxa. Berangkat dari serangkaian tiga konsep (habitus, modal dan arena) tersebutlah, Bourdieu secara sosiologis kemudian menguraikan gagasan tentang doxa. Doxa adalah hubungan kepatuhan atau kepercayaan yang terjadi dalam praktik antara habitus dalam sebuah arena. Dengan kata lain doxa merupakan wacana yang diterima begitu saja sebagai suatu kebenaran. Bentuk doxa bisa berupa kebiasaan-kebiasaan sederhana, seperti cara duduk atau cara makan sampai wacana lain yang lebih luas, yaitu kepercayaan dan ideology. Disetiap arena terdapat wacana dominan dan wacana yang marginal. Wacana dominan akan terus berusaha mempertahankan keberadaannya,
sedangkan
wacana
marginal
akan
berusaha
menjatuhkannya. Wacana-wacana yang terpinggirkan akan terus berusaha untuk menghancurkan tatanan doxa dan siap-siap mengambil posisinya. Dalam hal ini terjadi pertarungan antara heterodoxa dan orthodoxa. Heterodoxa adalah wacana yang bertentangan dengan doxa, sedangkan orthodoxa adalah wacana-wacana yang terus berusaha mempertahankan kebenaran doxa. Doxa biasanya didukung oleh kelompok sosial yang dominan dan berkuasa yang menikmati status quo. Oleh karena itu,
biasanya mereka akan mempertahankannya dengan segala cara, karena mereka diuntungkan oleh doxa tersebut. c. Proses Perubahan Habitus dan Doxa Habitus merupakan suatu kebiasaan yang muncul dan dibentuk dari kebiasaan sejak kecil dalam kehidupan sosial seseorang. Kebiasaan tersebut bukan merupakan sesuatu yang alami atau bawaan sejak lahir seseorang, namun ia didapat baik dari pengalaman maupun dari pendidikan serta pengalaman. Habitus juga bukan merupakan sesuatu yang tetap, namun ia dapat berubah. Sewaktu-waktu ia dapat dirubah sesuai dengan situasi dan kondisi jika seseorang tersebut mendapatkan dan memperoleh pengalaman baru, melalui pendidikan atau latihan maupun yang lainnya. Oleh karena itu, habitus juga dapat diartikan sebagai hasil dari proses keterampilan berupa tindakan baik disadari ataupun tidak disadari yang kelihatannya alamiyah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Jadi habitus tumbuh didalam kehidupan masyarakat secara alami melalui proses social yang sangat panjang dalam diri masyarakat yang kemudian menjadi sebuah kebiasaan yang terstruktur secara sendirinya. Habitus dibuat melalui proses sosial yang juga dimungkinkan bergeser dalam kaitannya dengan konteks tertentu dan dari waktu ke waktu.
Habitus tidak tetap atau permanen, dan dapat berubah di bawah situasi yang tak terduga atau selama periode sejarah panjang. Dalam realitas kehidupan seseorang terdapat beberapa skema, dengan melalui skema-skema tersebut mereka mempersepsi, memahami dan menghargai serta mengevaluasi realitas sosial tersebut. Berbagai macam skema terdapat dalam sebuah habitus habitus, seperti baik-buruk, benar-salah,
untung-rugi,
halal-haram,
pendapatan-biayakanan-kiri,
mapupun yang lainnya. Dalam menjalankan praktek sosial, individu dimungkinkan menempati lebih dari satu habitus, dan beragam habitus tersebut dapat saling tumpang-tindih. Namun menurut Bourdieu, terdapat range dari praktik dan disposisi untuk beragam habitus itu, habitus memiliki framework pengetahuan tersendiri, yang dalam terminologi Bourdieu disebut doxa. Doxa tersebut dianggap sebagai sebuah kebenaran yang sah dan tidak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya. Apa yang menjadi doxa bagi sekelompok orang dari habitus tertentu, tidak secara otomatis menjadi doxa bagi sekelompok orang dengan habitus yang berbeda. Karena pada umumnya mereka yang mempertahankan integritas
doxa adalah
kelompok-kelompok dominan dalam sebuah ranah. Dalam artian, mereka akan membangun dalam ruangnya sendiri seperangkat kepercayaan dan
nilai untuk mendukung status quo (doxa) didalam sebuah ranah, yang disebut orthodoxy. Namun sebaliknya, apabila agen berada di posisi yang marginal, maka ia akan membangun seperangkat kepercayaan, nilai dan wacana untuk melawan status quo (doxa), yang disebuh heterodoxy. Jika doxa merupakan seperangkat nilai dan wacana yang bersifat undisputed, maka pertarungan wacana terjadi dalam wilayah orthodoxy dan heterodoxy didalam sebuah arena yang merupakan tempat pertarungan discourse (wacana) berlangsung. Oleh karena itu habitus tidaklah bersifat permanen dan juga bukan merupakan hal tetap, ia juga dapat dimungkinkan berubah. Kemungkinan terjadinya perubahan Habitus dan Doxa bisa terjadi. Habitus juga masih memberi kelenturan untuk setiap individu melakukan pilihan-pilihan atas realitas yang ada tanpa terpengaruh dengan adanya doxa. G. Kerangka Analisis Dari pemaparan pendekatan teoritik dengan mengacu pada konsep-konsep yang ditawarkan oleh Bourdieu diatas, penulis akan mengelaborasikannya dan akan diterjemahkan ulang dalam sebuah kerangka analisis. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam menjawab permasalahan penelitian kekuasaan kyai di Kabupaten Pamekasan.
yaitu tentang dinamika
Berikut dipaparkan penjelasan dari hasil elaborasi pendekatan diatas. Pertama, kondisi dan tingkat kefanatikan masyarakat Pamekasan terhadap kyai sepuh hingga membentuk doxa dan habitus yang melekat dalam kehidupan masyarakat Pamekasan dimana masyarakat Pamekasan selalu tunduk, taat dan patuh terhadap keberadaan kyai sepuh. Kyai sepuh sebagai keturunan bangsawan (raja) serta sebagai orang yang suci, pewaris para nabi yang faham terhadap Ilmu Agama Islam yang menjadikan ia sebagai pengasuh pesantren. Sebagai tokoh agama yang menjadi referensi serta menjadi rujukan bagi para kyai dan masyarakat Pamekasan, tidak hanya dalam ranah keagamaan melainkan juga dalam ranah politik. Ketika beliau sebagai tokoh agama terjun dan terlibat dalam kegiatan politik pengaruh mereka sangat kuat, dengan modal yang beliau miliki maka, preferensi mereka adalah preferensi masyarakat. Setiap kandidat yang didukung oleh kyai sepuh selalu menang dan memperoleh dukungan yang maximal dari masyarakat Pamekasan. Kedua seiring berjalannya waktu kondisi dan tingkat kefanatikan tersebut berbanding terbalik dalam pilkada Pamekasan tahun 2013 dimana terjadi perubahan doxa dan habitus masyarakat Pamekasan terhadap kyai sepuh dalam pilkada Pamekasan tahun 2013. Keterlibatan kyai sepuh dalam politik dengan mendukung salah satu kandidat yang posisinya sebagai incumbent kurang mendapatkan simpati dan dukungan dari masyarakat Pamekasan. Masyarakat tidak lagi melihat kalangan ningrat dan sebagainya
Ketiga proses perubahan doxa dan habitus tersebut ditandai dengan hadirnya kandidat tandingan yang bertujuan untuk melakukan perlawanan politik terhadap hegemoni kyai sepuh, hingga menimbulkan pertarungan wacana untuk melawan kuasa kyai sepuh. Hal tersebut disebabkan oleh ketidakpercayaan masyarakat Pamekasan terhadap kandidat yang didukung oleh kyai sepuh sebagai buntut kekecewaan masyarakat Pamekasan karena tidak terwujudnya harapan masyarakat pada saat kepemimpinannya. Kekalahan kandidat yang didukung oleh kyai sepuh sebagai bentuk pudarnya kuasa kyai sepuh dalam politik. Berikut ditampilkan bagan dari kerangka teoritik yang digunakan dalam tulisan ini.
Bagan 1. 1 Model Kerangka Analisis Proses Perubahan Habitus dan Doxa dalam Pilkada Pamekasan 2013 Kyai Sepuh Preferensi Kyai Sepuh
Preferensi Masyarakat
Orthodoxy
Doxa
Masyarakat Habitus-Doxa
Kyai Sepuh
K.H Kholilurrahman Arena Politik
Vs
Pertarungan Wacana
Arena Kultural
Pilkada
Arena Simbolis
Masyarakat
Ahmad Syafi’i
Habitus-Doxa
Heterodoxy
Doxa
H. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian
ini
memiliki
tujuan
untuk
menguraikan
dinamika
menurunnya kuasa kyai sepuh pesantren Banyuanyar dan Bata-bata dalam proses demokratisasi pilkada Pamekasan 2013 melalui deskriptif kualitatif dengan menggunakan case study sebagai pendekatan yang digunakan untuk mengetahui bagaimana pudarnya kuasa tersebut. Metode studi kasus digunakan dalam penelitian ini karena dapat membantu mempelajari,
menerangkan, atau menginterpretasi suatu kasus secara alami tanpa adanya intervensi pihak luar. Yin menyebutkan suatu penelitian menggunakan studi kasus adalah sebuah metode penelitian yang secara khusus dikehendaki untuk menyelidiki atau melacak peristiwa kontemporer.23 Dalam kaitannya dengan waktu dan tempat, secara khusus Yin menjelaskan bahwa objek yang dapat diangkat seagai kasus bersifat kontemporer, yaitu yang sedang atau telah berlangsung namun memiliki dampak dan pengaruh yang luas. Oleh karena itu, peneliti menggunakan desain studi kasus dalam penelitian ini karena dapat membantu peneliti mempelajari, menerangkan dan atau menginterpretasi bagaimana pudarnya kuasa kyai sepuh dalam proses demokratisasi pilkada Pamekasan. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di kabupaten Pamekasan Madura. Lokasi ini dipilih didasarkan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, Pemekasan berada ditengah-tengah pulau Madura dan menjadi pusat pemerintahan dan Pamekasan merupakan salah satu kabupaten memiliki banyak pesantren yang terletak di berbagai kecamatan dan kyai merupakan salah satu elit yang paling berpengaruh dalam masyarakat. Kedua budaya dan kehidupan masyarakat yang tidak bisa lepas dari pengaruh kyai sepuh. Ketiga peneliti sendiri cukup lama mengenal daerah tersebut, sehingga sudah tidak asing lagi dengan topik penelitian yang sedang dikerjakan. 23
Yin,Robert K. Studi Kasus dan Metode. (Jakarta : Rajawali Press, 2011) Hal 12
Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di Pamekasan Madura, penulis mengalami banyak hal yang berkenaan dengan proses sosial yang sangat terkait dengan penelitian ini. Lingkungan sosial yang turut membesarkan penulis setidaknya membantu dalam banyak hal dalam proses penelitian, sehingga tidak terlalu sulit bagi saya sebagai penulis dalam mengumpulkan data-data dilapangan. Dalam konteks ini juga penulis dengan mudah menemukan responden dengan suasana yang sebelumnya sudah kenal dan bahkan akrab. Beberapa responden yang belum penulis kenal sebelumnya baik itu kalangan kyai maupun yang lainnya dengan mudah saya temui melalui jaringan pertemanan yang penulis miliki di lokasi penelitian. 3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini dikelompokkan kedalam penelitian lapangan (field research)
dengan
memanfaatkan
data
sebagai
basis
utama
dalam
menganalisis. Untuk mendapatkan data-data tentang kuasa hegemonik kyai sepuh tersebut, penulis memanfaatkan wawancara mendalam dengan informan konci dalam pilkada Pamekasan 2013. Selain itu, penulis juga melakukan observasi dan studi pustaka terhadap yang berkaitan dengan kyai dan pilkada Pamekasan data-data yang diperoleh tersebut membantu menjelasakan mengenai dinamika kuasa kyai sepuh sebagaimana yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini. Disamping itu, dilakukan juga analisa terhadap kelebihan dan kekurangan dari data-data yang didapat.
Dalam pelaksanaan di lapangan guna pengumpulan data, pemilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data. Informan yang dipilih bardasarkan pada keterkaitan dengan objek penelitian. Hal ini untuk mendapatkan keterangan yang dalam dan jelas. Berikut ditampilkan informan yang dipilih dalam penelitian ini. a. Kandidat yang didukung oleh pesantren Banyuanyar dan Batabata (K. H. Kholilurrhman) b. Kandidat yang tidak didukung oleh pesantren Banyuanyar dan Bata-bata (Achmad Syafii) c. Kyai Pendukung Pesantren Banyuanyar dan Bata-bata (K. As`ad) d. Kyai pendukung kandidat yang tidak di dukung Pesantren Banyuanyar dan Bata-bata (K. H. Nawawi, K. Ma`mun Tamim) e. Tim sukses kandidat yang didukung pesantren Banyuanyar dan Bata-bata (Moh. Yusuf) f. Tim sukses kandidat non pesantren Banyuanyar dan Bata-bata (Farid Tamim) g. Tokoh Masyarakat dan akademisi (K. H. Ahmad Madani, Ahmad Arief Madani, Al-Anwari Kholil, Zubaidi Qomar) h. Santri (Nurul Yaqin, Helmi, Arief) i. Masyarakat kabuaten Pamekasan (Halili, Taufan)
Selama melakukan penelitian lapangan dalam beberapa bulan di Pamekasan, setidaknya terdapat beberapa kendala yang penulis temui. Pertama, faktor penguasaan bahasa lokal Madura. Walaupun penulis merupakan orang asli Madura, namun masih kesulitan untuk menguasai bahasa Madura asli terutama ketika berhadapan dengan penduduk asli Pamekasan dan para kyai. Bahasa Madura relatif berbeda dengan bahasa Jawa diantaranya meliputi intonasi, kosakata dan tingkatan-tingkatan dalam berbahasa terutama bahasa bahasa enjha`-iya, bahasa enggi-enten, bahasa engghi-bhunten dan bahasa alos/tegghi. Oleh karena itu, penulis perlu mempersiapkan terlebih dahulu terutama ketika berhadapan dengan para kyai di Pamekasan. Oleh karena itu, setiap akan melakukan wawancara terhadap kyai dan orang-orang awam yang tidak menguasai bahasa Indonesia, penulis seringkali mengajak teman yang mampu menterjemahkannya. Kedua, faktor objek penelitian, penelitian tentang kyai sangat menyita waktu karena mereka adalah merupakan orang-orang (elit) yang terpandang. Sangat sulit untuk menemuinya dan harus melalui prosedur-prosedur yang diterapkan masing-masing pesantren. Belum lagi karena kesibukan aktivitas beliau baik didalam pesantren maupun di luar pesantren. Untuk menemui satu informan saja terkadang dibutuhkan beberapa hari karena harus menunggu tersedianya waktu luang informan yang akan di wawancarai. Bahkan tidak sembarang orang yang bisa menemui langsung dengan informan. Dalam hal
ini penulis melakukan pendekatan dan bergabung dengan pengurus pondok pesantren setempat. Ketiga, faktor kelembagaan. Rumitnya urusan administrasi di beberapa kantor dinas yang ada di Pamekasan dan pelayanan yang berbelitbelit untuk mendapatkan ijin dan data terkait dengan penelitian, sehingga mengharuskan penulis mencari alternative lain untuk mendapatkan data-data tersebut. Terkadang penulis berusaha untuk menemui orang-orang tertentu yang mempunyai jabatan strategis di kontor dinas dengan rekomendasi dari kenalan dan relasi pertemanan dan persaudaraan demi mendapatkan data sekunder sebagai penunjang yang ada di dinas-dinas pemerintah setempat. 4. Teknik Analisa Data Data-data yang didapat dikumpulkan dan diklasifikasi sesuai dengan pengorganisasian data dengan berpedoman pada pertanyaan rumusan masalah dalam penelitian ini. Setiap data yang diperoleh diorganisasikan sehingga dapat membantu menjelasakan dan menguraikan dalam melakukan analisis. Dalam membangun interpretasi atas informasi dan data yang didapat selama penelitian
dilakukan,
penulis
mencoba
mengecek
dengan
cara
membandingkan dengan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan ber bagai pihak terhadap objek penelitian.
I. Sistematika Penulisan Penulisan dalam tesis ini dibagi menjadi empat bab. Setiap babnya dibagi menjadi beberapa sub bab yang merupakan penjelasan diskriptif dalam penelitian ini dengan berdasarkan temuan-temuan dilapangan. Pembagian ini dilakukan untuk mempermudah pembahasan, telaah, analisa atas masalah-masalah secara mendalam dan komprehensif. Bab I merupakan bab pendahuluan dalam penelitian ini yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan serta manfaat, tinjauan pustaka (leteratur review). Didalam bab ini berisi tentang landasan pemikiran dan operasional bekerjanya teori. Bab ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada pembaca tentang masalah yang mendasar dalam penelitian ini, termasuk di dalamnya mengapa masalah dalam penelitian ini penting untuk dikaji. Pembahasan dalam bab II akan difokuskan pada sosok ketokohan kyai sepuh dan pengaruhnya didalam kehidupan masyarakat. Didalamnya juga akan diuraikan tentang biografi kyai sepuh pesantren Banyuanyar dan Bata-bata dari masa ke masa. Termasuk juga akan membahas tentang kedudukan dan kekuasaan kyai secara umum dalam struktur sosial masyarakat Pamekasan serta dinamika politik kyai dalam proses demokratisasi lokal dari peta politik kyai di masa orde lama, orde baru dan reformasi. Bab III akan membahas kuasa kyai sepuh yang hegemonik dalam proses demokratisasi lokal pilkada Pamekasan. Didalamnya akan menguraikan tentang bentuk ketaatan masyarakat Madura (Buppa`-Bhabhu`, Ghuru, Ratoh), Habitus dan
doxa yang melekat daam kehidupan masyarakat Pamekasan terhadap kekuasaan kyai sepuh dalam pemilihan kepala daerah dari sebelum pilkada 2013 hingga pilkada 2013 termasuk dalam sub bab didalamnya, serta gambaran umum sang kandidat pilkada Pamekasan 2013. Bab
IV
akan
membahas
perubahan
habitus-doxa
sebagai
indikasi
memudarnya dominasi politik kyai sepuh dalam proses demokratisasi lokal pilkada pamekasan 2013. Potret pilkada Pamekasan 2013 dari Pertarungan basis massa antara kandidat yang di dukung oleh kyai sepuh melawan kekuatan basis massa kandidat yang tidak didukung oleh kyai sepuh, hingga pertarungan wacana sebagai proses perubahan terhadap habitus dan doxa dalam pilkada di Pamekasan tahun 2013 akan menjadi bagian sub bab dalam bab ini. Serta yang terakhir adalah elektabilitas kyai dan kekalahan kandidat yang didukung oleh kyai sepuh sebagai indikasi pudarnya dominasi politik kyai sepuh dalam proses demokratisasi lokal di Pamekasan. Pembahasan tesis ini diakhiri pada bab V, yang berisi kesimpulan dan refleksi teoritis dari hasil penelitian, berupaya menjawab pokok permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya dan merupakan refleksi teoritis terkait permasalahan dalam penelitian tesis ini. Disamping itu, juga dikemukakan beberapa saran konstruktif baik untuk masyarakat Pamekasan maupun pihak lain sebagai upaya pengembangan keilmuan selanjutnya. Daftar pustaka dan beberapa lampiran-lampiran yang menunjang penelitian ini dicantumkan setelah pembahasan pada bab terakhir.