TOKOH KYAI KASAN BURHAN DAN KYAI KASAN MUNANDAR Kyai Kasan Burhan dan Kyai Kasan Munandar terkenal sebagai pembela rakyat banyak, mereka adalah kakak beradik sekandung dikenal sebagai tokoh mayarakat Simo dan Sekitarnya sebab mereka dengan gagah berani menentang penjajah Belanda yang ingin memperdaya masyarakat dengan mengusahakan perkebunan kopi, karet dan coklat. Mereka berdua tidak takut diancam dengan hukuman apapun dengan kesaktiannya yaitu tidak mempan terhadap senjata apapun, namun mereka tidak sombong dengan kesaktiannya tersebut semakin mereka disegani dan ditakuti oleh lawan maupun kawan. Kyai Kasan Burhan tinggal di Dukuh Kalurahan Petranwates, Onder Distrik (sekarang kalurahan) Tari-Tari (sekarang merupakan dusun di wilayah Kalurahan Sumber Kecamatan Simo), Distrik (sekarang Kecamatan) Sawahan, sedangkan Kyai Munandar bertempat tinggal di Dukuh Cilik Kalurahan Blagung, Onder Distrik Tari, Distrik Sawahan. Mereka berdua adalah petani yang rajin mengerjakan sawah dan ladangnya taqwa dan taat beribadah senantiasa bertindak jujur dan hal inilah yang tidak disukai oleh Belanda pada waktu itu.
Sebelum
tahun
1916
Kasunanan
Surakarta
menjual
tanahnya yang terletak di daerah Gunung Kendeng bagian selatan kepada perusahaan Belanda selama 75 tahun dan menurut
perjanjian
memerintah
kepada
perusahaan siapapun
Belanda yang
berhak
menghuni
pula tanah
beliannya tersebut. Rakyat sangat menderita akan hal tersebut betapa tidak, saat itu terdapat dua kekuasaan yaitu Kerajaan (Kasunanan) dan Pemerintah Belanda betapa tidak sebagai contoh rakyat Plandan diperintah oleh dua penguasa sekaligus yang berarti mereka harus bekerja untuk dua kepentingan sekaligus, yang kedua adalah rakyat Krajan yang diperintah oleh satu penguasa yaitu raja. Kedua wilayah tersebut sama sekali menderita rakyatnya oleh karena kedua penguasa yang tamak tersebut. Petani yang bekerja penuh pada perkebunan Belanda digaji dengan tanah untuk diolah, namun kenyataannya tanah gaji tersebut juga dimanfaatkan oleh pihak Belanda dan masih pula perusahaan belanda membuat aturan bahwa tanah tersebut tidak boleh ditanami selain tanaman yang diperbolehkan pihak perusahaan Belanda, padahal bagi para petani karena kurangnya waktu karena mengerjakan dua lahan sekaligus, tanah gaji tersebut digarap untuk tanaman pangan saja dan dikerjakan pada malam hari menggunakan obor.
Pada saat ini kita masih dapat menyaksikan bekas-bekas bangunan
perkebunan
milik
Belanda
antara
lain
di
Karangjati terdapat bekas penjagaan dan gudang untuk menyimpan
hasil
perkebunan,
Jaha
tempat
untuk
membersihkan bekas getah karet, di Loning terdapat tempat untuk menampung getah karet, kopi dan coklat, dan di temon dibangun gudang untuk menyimpan dan menampung getah karet kopi dan coklat, dari tempat-tempat tersebut dikumpulkan menjadi satu di Karangjati dan kemudian dibawa ke Surakarta dan akhirnya dikirim ke Negara Belanda. Kembali kepada Kyai Munandar dan Kyai Burhan yang memberanikan diri untuk mempengaruhi rakyat Plandan agar mogok dan tidak mau bekerja lagi, pada awalnya pada hari hari tertentu saja yaitu Selasa dan Kamis dan kemudian ditambah hari Jumat. pihak Belanda yang kuwalahan dengan situasi tersebut berusaha mendekati Kyai Kasan Burhan dan Kyai Kasan Munandar dengan dalih mereka akan diberikan gaji dan pangkat yang tinggi apabila mau bekerja di perusahaan Belanda dan akan dibuatkan masjid, namun keduanya menolak tawaran Belanda tersebut dan menyatakan bahwa rejeki, pangkat dan kedudukan itu datang dari Tuhan semata.
Dan perlawanan rakyat atas pimpinan Kyai Kasan Burhan dan Kyai Kasan Munandar terus menyala-nyala dan mengakibatkan perusahaan Belanda mengalami kerugian besar akibat tidak ada lagi rakyat yang mau bekerja lagi diperkebunan milik Belanda (karena kesal dengan ulah kedua kyai tersebut, sampai-sampai pimpinan perkebunan menamai kedua peliharaannya yang berupa anjing, burhan dan munandar). Pada suatu saat kedua Kyai dan para rakyat
dikumpulkan
oleh
pihak
Belanda
di
kantor
kaonderan (sekarang kantor kecamatan) untuk diberikan peringatan sekaligus diberitahukan bahwa jika mau bekerja lagi rakyat akan diberikan upah yang lebih layak, namun hal tersebut lagi-lagi ditanggapi dengan sebelah mata dan hal ini menyulut ketegangan pada kedua belah pihak dan terjadilah pergolakan,
perintah
penangkapan
terhadap
sumber
pertikaianpun (yang tak lain adalah Kyai Kasan Burhan dan Kyai Kasan Munandar) dipropagandakan, rakyat membela mereka
berdua
dengan
menyembunyikannya,
namun
karena tipu mulihat dan kelicikan Belanda kedua Kyai berhasil ditangkap dengan cara menyuap orang terdekatnya. Setelah ditangkap Kyai Kasan Burhan dan Kyai Kasan Munandar
dibawa
menuju
Boyolali
(kabupaten)
menggunakan kendaraan bermotor dan terjadi keanehan,
setiap menempuh satu dua kilometer ban kendaraan yang ditumpangi kedua kyai tersebut meletus dan terjadi berulang kali sampai di Cinot (sebelah selatan Kaliyoso) diketahui bahwa di dalam ikat kepala salah seorang kyai ditemukan jimat (benda bertuah). Pada akhirnya setelah melalui proses peradilan Kyai Kasan Burhan dan Kyai Kasan Munandar dihukum terpisah, Kyai Kasan Burhan dihukum di Boyolali dan setelah meninggal dimakamkan di Dukuh Patran, Kelurahan Wates, Kecamatan Simo sedangkan Kyai Kasan Munandar dibuang ke Sumatera Selatan dan meninggal dan dimakamkan disana. Peninggalan Kyai Kasan Burhan berupa sebuah masjid begitu pula Kyai Kasan Munandar juga sebuah bangunan masjid yang berada di dukuh Cilak, Kelurahan Blagung, Kecamatan Simo.