eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, 2 (2): 341 - 350 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2014
Perkembangan Peran Wanita Dalam Politik Dan Pembangunan Di Iran Pada Masa Pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad
Meqi Triz Yanuari Herwanti Nim. 0902045073
eJournal Hubungan Internasional Volume 2, Nomor 2, 2014
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, 2 (2): 341-350 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2014
PERKEMBANGAN PERAN WANITA DALAM POLITIK DAN PEMBANGUNAN DI IRAN PADA PEMERINTAHAN MAHMOUD AHMADINEJAD MEQI TRIZ YANUARI HERWANTI1 NIM. 0902045073
Abstract
Ratification Act – Iran Islamic law Republic about giving women greater opportunities for women to take an active part in the social life of the community. But before the ratification there, women in Iran and the feminist struggle has undergone a very long process. The old paradigm positioning men higher than women, the paradigm that caused the women in Iran experienced a long process in the fight for equality. Democratization process that began with the Syiah leaders have made the Government of Iran provide accessibility to women. Iranian Revolution is beginning popularity Syiah community and also the beginning of the emergence of the Iranian women's movement to fight against policies that harm the rights of women. Now the Constitution and various laws in the Islamic Republic of Iran show partiality to women. Implementation of the Constitution and this Act shows the results of which can be seen from the output value of the HDI (UNDP), namely that the Islamic system is not at all hinder the progress of a societ. In addition, the Islamic system actually has a plus, in addition to encouraging the advancement of women (through increasing the level of education and health, as well as the provision of employment opportunities and social activities). Beside of that, the are other systems that control so that women continue to perform its core responsibilities as a builder of the family. Keywords : Women in politics and development , the Iranian Revolution
Pendahuluan Permasalahan diskriminasi terhadap wanita akan tetap menarik untuk dikaji baik skala nasional maupun internasional. Perjuangan wanita untuk menuntut kesetaraan hak dalam bidang politik, publik, budaya dan sosial telah melalui sejarah yang panjang, contohnya wanita sebagai pemimpin tidak jarang menghadapi banyak hambatan yang berasal dari sikap budaya masyarakat yang 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor2, 2014: 341-350
keberatan, mengingat laki- laki berfungsi sebagai pelindung dan kepala keluarga. Begitu pula hambatan fisik wanita yang dianggap tidak mampu melaksanakan tugas-tugas berat. (http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI /196103231986031R._GURNIWAN_KAMIL_PASYA/jurnal_wanita.pdf) Proses untuk mencapai kesetaraan hak dalam berbagai bidang melalui proses dan respon yang berbeda-beda. Negara-negara Barat atau negara maju cenderung lebih cepat menerima perjuangan wanita dibandingkan negara-negara miskin, terlebih lagi negara-negara Islam yang sangat kaku memberikan peraturan terhadap keberadaan kaum wanita. Tetapi Iran menjadi salah satu negara Islam yang cukup berbeda dari negara-negara Islam lainnya dalam memandang wanita. Mendekati akhir abad ke 20, lebih dari 95% Negara di dunia menjamin dua hak demokratik wanita yang paling mendasar (fundamental), hak memilih (right to vote) dan hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan (right to stand for election). (Kirk Patrick. Partisipasi Politik Kaum Wanita, Jurnal Universitas Brawijaya. Surabaya: PT. Danur Wijaya Pres. 1994) Wanita Iran sebelum revolusi adalah kaum yang konvensional dengan pemikiran yang terbelakang. Paradigma lama memposisikan wanita sebagai harta yang dimiliki pria, yang menempatkan posisi pria lebih tinggi daripada wanita. Akibatnya, hanya kaum pria dan kaum menengah ke atas yang dapat memiliki kekuasaan dalam berbagai bidang. Revolusi Islam Iran memberikan pemahaman yang berbeda tentang potensipotensi kaum wanita yang sebenarnya. Dengan adanya landasan ideologi mengenai wanita, kaum wanita mendapatkan peran dan posisi yang semestinya pada kehidupan berbangsa. Itu memungkinkan peranan wanita yang lebih besar dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, teknologi, budaya, dan kesenian di Iran. Dengan sistem Republik Islam yang mengizinkan wanita ikut serta dalam dunia politik, Iran mendobrak hegemoni negara-negara Timur Tengah yang cenderung hanya menempatkan pria di kursi pemerintahan. Proses demokratisasi yang berawal dari para tokoh syi’ah ini telah membuat pemerintah Iran memberikan aksesibilitas terhadap kaum wanita. Pasca Revolusi Iran terjadi perubahan peraturan yang direvisi secara bertahap, faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan kebijakan di Iran terhadap nasib wanita secara signifikan juga telah mempengaruhi perkembangan gerakan wanita di Iran. Adapun penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peran wanita dalam politik dan pembangunan di Iran pada masa pemerintahan Presiden Mahmoud Ahmadinejad. Sebelum mendiskripsikan peran wanita di pemerintahan Ahmadinejad penulis terlebih dahulu menyinggung sedikit kedudukan wanita di pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden sebelumnya (1979-2004), serta menjelaskan bagaimana perkembangan peran wanita dalam politik dan pembangunan di Iran saat Pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad.
342
Perkembangan Peran Wanita Pada Pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad ( Meqi Triz YH )
Kerangka Dasar Teori Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua teori untuk mendukung pelaksanaaan penelitian yang berjudul “Perkembngan Peran Wanita Dalam Politik dan Pembangunan di Iran Pada Pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad” dengan menggunakan teori demokrasi dan teori pembangunan perspektif gender. 1. Teori Demokrasi Demokrasi yang sebenarnya bukan sekedar mengandung hak sipil dan politik, tetapi juga mrngandung dimensi sosial-ekonomi. Pemerintahan yang demokratis bukan hanya bagian dari kehidupan negara, tetapi juga harus menemukan tempat di dalam tatanan sosial-ekonomi. Dengan demikian, konsep demokrasi Hegel berkaitan dengan struktur sosial-ekonomi yang di perankan oleh korporasikorporasi sosial dan ekonomi dalam suatu komunitas yang disebut masyarakat sipil sebagai sistem kebutuhan. (Aidul Fitriciada Azhari. Menemukan Demokrasi. Surakarta: Muhammadiyyah University Press. 2005) Kemudian menurut Montesquieu (Trias Politica) menyatakan bahwa kekuasaan negara harus dibagi dan dilaksanakan oleh tiga orang atau badan yang berbedabedadan terpisah satu sama lainnya ( independent/berdiri sendiri ) yaitu : 1. Badan Legislatif : Kekuasaan membuat undang-undang. 2. Badan Eksekutif : Kekuasaan menjalankan undang-undang. 3. Badan Yudikatif : Kekuasaan untuk mengawasi jalannya pelaksanaan undangundang. (Mochtar Lubis. Demokrasi Klasik dan Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1994) Pada hakekatnya dalam demokrasi terdapat sebuah praktek partisipasi politik yang secara sadar akan memberdayakan rakyat dalam rangka mewujudkan pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dan bersama rakyat”. Adanya pemberdayaan rakyat yang akan berupa partisipasi langsung ini penting, karena sistem perwakilan rakyat melalui lembaga perwakilan tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip representation in ideas dibedakan dari representation in presence karena perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi. Menurut Samuel P Huntington, partisipasi masyarakat dalam demokrasi partisipatoris dapat terjadi ketika pembangunan sosial ekonomi berhasil mencapai tingkat pemerataan yang lebih besar, sehingga melahirkan stabilitas politik dan pada gilirannya memunculkan partisipasi politik yang demokratis. Dalam partisipasi politik terdapat istilah political efficacy, yang artinya mengacu pada perasaan bahwa partisipasi politik seseorang dapat berdampak terhadap proses-proses politik. Keterlibatan individu atau kelompok dalam partisipasi politik tidak bersifat pasti atau permanen melainkan berubah-ubah. Dapat saja mereka menggunakan hak nya dalam satu periode namun pada periode berikutnya mereka tidak menggunakan hak nya kembali. (Miriam Budiardjo. Partisipasi Dan Partai Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka)
343
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor2, 2014: 341-350
2. Pembangunan Perspektif Gender Sejatinya, seperti yang dikembangkan Vinod Thomas dan kawan-kawan, pembangunan berkaitan dengan perbaikan kualitas hidup rakyat, memperluas kemampuan mereka untuk membentuk masa depan mereka sendiri. (Vinod, Thomas, dkk. the Quality of Growth: Kualitas Pertumbuhan.Jakarta : PT. Gramedia Pustaka. 2001) . Pembangunan juga dalam manuskrip World Bank disebutkan: kesempatan kerja, gender, kesehatan dan nutrisi yang lebih baik, lingkungan alam yang lebih bersih dan lestari, keadilan dalam sistem hukum, kebebasan politik dan sipil, serta kehidupan kultural yang lebih kaya. Namun kerangka yang direkomendasikan Negara-negara yang mengusung paradigma tersebut terlampau normatif dan idealistis. Bahkan, kerapkali dengan berbekal keyakinan yang diusung ilmu ekonomi yang “bebas budaya dan karenanya netral” menjadikan pembangunan dilakukan dengan mengorbankan siapapun atas nama pertumbuhan ekonomi. Sejauh ini, kita telah menyaksikan dampak-dampak ekologis dari strategi mengejar pembangunan di negara-negara berkembang. (Galtung Johan. Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban. Surabaya : Pustaka Eureka. 2003) Kemudian, konsep teori pembangunan ini di dukung oleh teori kesetaraan gender yang bearti kesempatan dan hak-haknya tidak tergantung kepada apakah ia (secara biologis) wanita atau laki-laki. Kesetaraan gender perlu dipahami dalam arti bahwa wanita dan laki-laki menikmati status yang sama; berada dalam kondisi dan mendapat kesempatan yang sama untuk merealisasikan potensinya sebagai hak-hak asasinya, sehingga sebagai wanita ia dapat menyumbang secara optimal pada pembangunan politik, ekonomi, sosial, budya, dan mempunyai kesempatan yang sama dalam menikmati hasil pembangunan. (Tapi Omas Ihromi, dkk. PENGHAPUSAN DISKRIMINASI TERHADAP WANITA. Bandung : Penerbit Alumni. 2000). Bagi wanita yang hidup di negara maju, mengejar pembangunan berarti hubungan laki-laki dan wanita yang patriarkal akan dihapus dan diganti dengan kebijakan kesetaraan gender. Dilanjutkan penghapusan diskriminasi dalam bidang politik dan lapangan kerja. Harapan serupa diimpikan oleh wanita Negara-negara Dunia Ketiga saat roda pembangunan dijalankan. Namun yang kerap dialami wanita diwilayah ini adalah telah menjalani kolonisasi, pemiskinan, penggusuran (peminggiran), kekerasan struktural maupun kultural, menjadi kelinci percobaan, serta lebih menjadi objek ketimbang subjek dalam pola konsumsi. Jadi, kesimpulan dari konsep pembangunan perspektif gender adalah perluasan perbaikan hidup manusia ( laki-laki dan wanita ) dalam berbagai tingkatan yang bertujuan pencapaian kualitas diberbagai sektor dan aspek sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang dijalankan secara seimbang dan ditekankan pada kemitraan atau kerjasama antara laki-laki dan wanita dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
344
Perkembangan Peran Wanita Pada Pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad ( Meqi Triz YH )
Metode Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif, penelitian ini bersifat bivariat atau dikenal sebagai penelitian dengan dua variabel. Dengan kata lain, penelitian ini menganalisis fenomena hubungan internasional yang diteliti. Judul yang dipilih penulis berfokus pada peran wanita dalam politik dan pembangunan di Iran pasca revolusi 1979 (Masa Pemerintahan Presiden Mahmoud Ahmadinejad). Penulis memfokuskan permasalahan yang diantaranya, penegakan hak-hak asasi manusia (HAM) , hak-hak wanita, pluralisme budaya, toleransi dan demokratisasi. Teknik pengumpulan datanya adalah telaah pustaka (library research) yaitu dengan cara mengumpulkan data dari literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas, dan kemudian menganalisanya. Literatur ini berupa buku-buku, dokumen, jurnal-jurnal, majalah, surat kabar, dan situs-situs internet ataupun laporan-laporan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan penulis teliti. Pembahasan: Iran sebelum Revolusi memandang wanita sebagai makhluk yang tidak merdeka baik secara sosial maupun ekonomi. Statusnya dibedakan selama Dinasti Parthiyyah dan Dinasti Sasaniyyah hingga Dinasti Qajar. Wanita pada umumnya diaggap sebagai budak terkecuali untuk “istri favorit”. Karena wanita sebelum revolusi dianggap sebagai budak, secara otomatis hak-hak mereka sebagai manusia secara umumnya dan wanita secara khususnya, tidak dapat mereka peroleh. Adanya pandangan dalam filsafat yang secara ringkas menggambarkan kaum wanita sebagai berikut (Syahid Muthahhari, The Rights of Woman in Iran, dalam Risalah Hak Asasi Wanita “Studi Komparatif Antara Pandangan Islam dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia”, Sandra Islamic Philosopy Research Institute (SIPRIn) Publication, Teheran, 2004, hal. 29-30) Wanita adalah makhluk parasit Wanita diciptakan untuk pria dan bukan sebaliknya, tidak ada hubungan timbal balik antara keduanya Wanita adalah makhluk terbelakang dan kotor Pria memiliki martabat dan wanita tidak Wanita sumber kejahatan, dosa serta kebencian Perempuan tidak ada yang akan masuk surga. Masa kepemimpinan Muhamad Reza Pahlevi kehidupan wanita Iran hampir sama dengan wanita Barat, seperti menggunakan baju yang terbuka kemudian berkumpul dengan para laki-laki di tempat hiburan malam, sehingga hedonisme banyak terlihat dimana-mana. Tercatat 70 % rakyat Iran tidak bisa baca-tulis, dan tidak memiliki sarana belajar-mengajar, jumlah pengangguran mencapai 1,5 juta orang, akibatnya hanya kaum pria dan kaum menengah keatas yang dapat memiliki kekuasaan dalam berbagai bidang, sementara wanita dianggap tidak cocok untuk terjun dan mempunyai peranan dalam berbagai bidang di masyarakat.
345
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor2, 2014: 341-350
Revolusi Iran 1979 memberikan pengakuan atas hak dan martabat perempuan di Iran mulai tampak sejak penyusunan Konstitusi (UUD) Iran oleh para ulama yang tergabung dalam Majelis-e-Khubregan. Meskipun hanya satu ulama wanita yang ikut serta dalam majelis tersebut, yakni Munireh Gurji, UUD yang dihasilkan sangat berpihak kepada wanita. Dalam Pembukaan UUD Iran, terdapat dua paragraf yang khusus berbicara tentang perempuan, yaitu pasal 20 dan 21. Wanita dalam sistem Islam memiliki hak yang juga dimiliki oleh kaum pria, termasuk di dalamnya hak pendidikan, hak pengajaran, hak pemilikan, hak memilih dan hak dipilih. Ini berarti, semua hak-hak dasar manusia yang bersifat individual maupun yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan mendapat justifikasi dan jaminan negara, serta tidak dapat diganggu gugat, meskipun yang disebutkan hanyalah bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Karena kelima bidang tersebut telah menjadi prinsip dasar yang menaungi hak-hak parsial lainnya. Jadi, secara konstitusional hak-hak tersebut, menjadi milik seluruh rakyat Iran tanpa memandang gendernya. Undang-undang di atas cukup menjadi bukti bahwa diskriminasi wanita tidak mendapatkan landasan legal formal dalam Republik Islam Iran. Sebaliknya, mereka memiliki peran dan hak-hak penuh untuk berpartisipasi dalam segala bidang kehidupan, baik yang menyangkut individu dan keluarga ataupun masyarakat dan negara, undang-undang tersebut hingga masa pemerintahan Ahmadinejad tetap berlaku dan menjadi landasan kebijakan yang berkaitan dengan wanita. Pada tahun 1990-2013, kehadiran para wanita di lembaga kepresidenan, parlemen, serta dewan kota dan desa di seluruh Iran memiliki dampak positif. Yang utama ialah tersalurkannya aspirasi kaum wanita Iran. Dengan kepekaan yang lebih tinggi tersebut, para wanita di parlemen tentunya menjadi lebih aktif dalam memperjuangkan masalah yang menyangkut kepentingan kaum mereka sendiri. Dihapuskannya aturan yang mendiskriminasikan kaum wanita Iran dalam mengenyam pendidikan tentunya sejalan dengan landasan persamaan derajat antara pria dan wanita yang tertuang didalam Al-Quran dan dipertegas dalam mukadimah Konsitusi Republik Islam Iran. Berikut ini merupakan beberapa contoh kedudukan wanita dalam politik dan pembangunan pasca revolusi 1979 setelah adanya konstitusi RII sebelum dan sesudah di amandemen: Disahkan revisi aturan pada tahun 1995 yang memberikan izin kepada Ketua Mahkamah Agung untuk mengangkat perempuan yang memenuhi syarat sebagai hakim. Dalam RII, wanita memiliki peluang besar untuk ikut dalam patisipasi politik. Hal itu di jamin dalam konstitusi Iran, misalnya “Semua warga negara, baik laik-laki maupun perempuan, secara setara menerima perlindungan hukum dan memiliki semua hak kemanusiaan, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, yang sesuai dengan
346
Perkembangan Peran Wanita Pada Pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad ( Meqi Triz YH )
kriteria Islam”. Para wanita juga berperan dalam bidang teknologi negaranya dan mereka berpartisipasi secara aktif pada berbagai bidang teknologi canggih sekalipun teknologi nuklir. Pada bidang kebudayaan dan kesenian wanita Iran berhasil menyumbang berbagai karya. Dengan adanya landasan ideologi mengenai wanita dan perempuan, disamping memiliki hak-hak yang sama dapat menutupi kekurangan satu sama lain sesuai dengan hukum Islam, kaum wanita mendapatkan peran dan posisi yang semestinya pada kehidupan berbangsa. Itu memungkinkan peranan wanita yang lebih besar dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, teknologi, budaya di Iran. Perkembangan Peran Wanita Dalam Politik dan Pembangunan di Iran Pada Masa Pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad Kepekaan wanita sebagai anggota komunitas masyarakat yang besar ini sangatlah signifikan. Sekarang para wanita di desa dan daerah-daerah terpencil sekalipun merasa bahwa mereka adalah pemilik dan pengawal revolusi Islam. Dari aspek ini wanita sama sekali tidak berbeda dengan laki-laki. Wanita bahkan terkadang terlihat lebih antusias daripada laki-laki dalam merespon berbagai persoalan sosial dan negara dan menganggapnya sebagai persoalan mereka. Revolusi Iran membawa setitik cahaya dalam kehidupan sosial-budaya para wanita di Iran. Revolusi Iran menandai kemajuan kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya, kesehatan hingga pendidikan di Iran. Terlebih lagi kebangkitan peran serta wanita dalam partisipasi politik di buktikan dengan adanya menteri wanita dalam kepemimpinan pemimpin Iran pasca revolusi yaitu dari kepemimpinan Imam Khomaini hingga kepemimpinan Mahmoud Ahmadinejad. Partisipasi kaum wanita dalam cabang-cabang keilmuan, pendidikan, budaya, olahraga, ekonomi, sosial dan politik yang berbeda-beda telah di dorong dan dijamin pada beberapa faktor. Mungkin tidak pernah satu pun revolusi atau negara lain yang yang pernah mngalami perubahan yang sedemikian besar bagi perwujudan hak-hak wanita dalam kurun waktu yang singkat, yaitu kurang dari sepuluh tahun. Perkembangan peran wanita dalam politik dan pembangunan di Iran menglami kemajuan setelah revolusi 1979(Presiden Rafsanjani-Presiden Khatami). Pemerintahan Presiden Ahmadinejad juga memiliki andil yang besar dalam perkembangan peran wanita dalam politik dan pembangunan. Dalam kabinetnya 2004-2013, Ahmadinejad menunjuk beberapa wanita untuk meduduki kursi parlemen, dan tidak hanya di parlemen namun juga pada kursi legislatif. Periode I pada masa kepemimpinannya, ia berhasil menunjuk beberapa wanita untk menjadi menteri dalam kabinetnya, walaupun banyak kelompok atau individual lainnya yang mengkritik keputusan tersebut, Ahmadinejad tetap memperjuangkan hak keikutsertaan wanita dalam politik dan pembangunan. Hal tersebut sekaligus membuktikan bahwa pemerinthannya tidak bias gender. Ahmadinejad sangat mendukung partisipasi politik wanita, karena mengingat akan
347
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor2, 2014: 341-350
revolusi Iran, bila wanita Iran tidak ikut serta dalam revolusi 1979, maka hingga kini Iran tidak akan merubah menjadi yang lebih baik. Tidak hanya dalam bidang politik saja, pemerintahan yang di pimimpinnya pun berhasil dalam bidang pembangunan, tercatat dalam beberapa tahun terakhir dunia pendidikan di Iran terus mengalami kemajuan dan pertumbuhan yang sangat pesat baik secara kualitas maupun kuantitas, yang 12 % di dalamnya adalah kaum wanita (pelajarmahasiswa). Perkembangan dalam bidang pendidikan tersebut sedikit banyak juga menjadi faktor pendukung keberhasilan perekonomian di Iran pada tahun 20042008, dan hal tersebut cukup membuktikan adanya pembangunan berbasis gender. Pembangunan berbasis gender ini meningkatkan peran wanita dalam organisasi sosial-budaya, dalam kesehatan maupun pendidikan seperti yang dilakukan oleh Susan Saffarvardi yang pada tahun 2009 mendapatkan penghargaan sebagai Duta Perdamaian Dunia dan beliau juga telah mendirikan LSM yang berkecimpung dalam dunia medis (perawatan penderita lumpuh). Sahereh Safavi (Arsitektur Jembatan Gutvand) serta Fareshteh Madavi yang menciptakan alat pendidian bagi penyandang cacat tuna rungu dan tuna netra seperti inilah yang telah meningkatkan derajat dan martabat wanita di Iran, dari tahun ke tahun terdapat peningkatan persentase terhadap pendidikan di Iran yang melibatkan kaum wanita. Kemudian dalam bidang kesehatan dan ekonomi pun juga terdapat peningkatan yang sangat besar terbukti dengan banyaknya pengusaha-pengusaha wanita yang ikut mengambil bagian dalam peningkatan kuota pembangunan di Iran. Seperti yang dikatakan penulis sebelumnya, proses demokratisasi telah membuat Pemerintah Iran memberikan aksesibilitas terhadap kaum wanita yang selama ini dianggap inferior dan tidak mampu memangku jabatan penting di pemerintahan. Wanita Iran sangat bersemangat dalam partisipasi politik, dibuktikan dengan banyaknya keikutsertaaan wanita Iran dalam pesta demokrasi (pemilu), seperti, pemungutan suara, ikut serta dalam kampanye (tim sukses) bahkan ambil bagian sebagai calon legislatif. Demokratisasi yang berjalan dewasa ini, menghasilkan kebijakan Republik Islam Iran terhadap pengakuan kesetaraan hak antara laki-laki dan wanita di tingkat lokal maupun global. Mengenai peran aktif wanita dalam politik dan pembangunan, pada tahun 2009-2013 terdapat peningkatan hingga 30%, di Parlemen saat ini terdapat 8 orang wanita yang terpilih dari 585 kandidat. Kini untuk pertama kalinya empat wanita masuk dalam kabinet pemerintahan. Pembangunan berbasis gender telah menempatkan wanita sebagai partner kerja yang cukup baik bagi pemerintah dalam pembangunan, konsep ini memberikan porsi kepada kaum wanita untuk lebih eksis meningkatkan peran sertanya dalam pembangunan menuju bangsa yang sejahtera dan penuh kedamaian. Keterbukaan dan perkembangan partisipasi politik ini terjadi karena adanya pengetahuan (peningkatan pendidikan) yang cukup baik di Iran. Serta generasi muda yang lebih
348
Perkembangan Peran Wanita Pada Pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad ( Meqi Triz YH )
kritis dan keterbukaan pandangan dari lokal-global, dan juga masyarakat Iran yang sebagian besar mulai dapat menerima pemikiran dari luar (modern) dan masyarkatnya pun dapat mengontrol pikiran mereka dengan cukup baik. Pemerintahan yang dipimpin Ahmdinejad dapat dikatakan sukses dengan dibuktikannya beliau terpilih menjadi Presiden hingga dua periode. Ahmadinejad dikenal sebagai pribadi yang sederhana dan dikenal sebagai sosok konservatif yang sangat berpedoman pada nilai - nilai agama yang dianutnya. Kesimpulan 1. Revolusi 1979 membawa perubahan yang cukup signifikan dalam perkembangan politik dan pembangunan yang mengikutsertakan wanita di dalamnya. 2. Konstitusi dan berbagai UU di Republik Islam Iran memperlihatkan keberpihakan kepada perempuan. Implementasi dari Konstitusi dan UU ini memperlihatkan hasil yang di antaranya bisa dilihat dari HDI value keluaran PBB (UNDP), yaitu bahwa sistem Islam sama sekali tidak menghalangi kemajuan suatu masyarakat. Selain itu, sistem Islam justru memiliki nilai plus, yaitu selain mendorong kemajuan perempuan (melalui peningkatan taraf pendidikan dan kesehatan, serta pemberian kesempatan kerja dan beraktivitas sosial), juga ada sistem yang mengontrol agar kaum perempuan tetap melaksanakan kewajiban utamanya sebagai pembangun keluarga. 3. Dalam bidang politik, saat ini wanita Iran memiliki perkembngan yang cukup baik, terbukti dengan adanya terdapat 12 kursi anggota parlemen, lebih dari 2.336 anggota dewan kota dan desa serta satu pertiga pegawai negeri dan 35 % jabatan pengelola pemerintahan di seluruh Iran diduduki oleh kaum wanita. Dengan sistem Republik Islam yang mengizinkan wanita ikut serta dalam dunia politik, Iran mendobrak hegemoni negara-negara Timur Tengah yang cenderung hanya menempatkan pria di kursi pemerintahan.
REFERENSI Buku: Aidul Fitriciada Azhari. 2005. Menemukan Muhammadiyyah University Press.
Demokrasi.
Surakarta:
Galtung Johan. 2003.Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik Pembangunan dan Peradaban. Surabaya : Pustaka Eureka. Kirk Patrick. Partisipasi Politik Kaum Wanita, Jurnal Universitas Brawijaya. Surabaya: PT. Danur Wijaya Pres. 1994 Miriam Budiardjo. 1982. Partisipasi Dan Partai Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka. Mochtar Lubis. 1994. Demokrasi Klasik dan Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
349
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2, Nomor2, 2014: 341-350
Syahid Muthahhari. 2004The Rights of Woman in Iran, dalam Risalah Hak Asasi Wanita “Studi Komparatif Antara Pandangan Islam dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia”, Sandra Islamic Philosopy Research Institute (SIPRIn) Publication, Teheran. Tapi Omas Ihromi, dkk. 2000. PENGHAPUSAN DISKRIMINASI TERHADAP WANITA. Bandung : Penerbit Alumni. Vinod, Thomas, dkk. 2001. the Quality of Growth: Kualitas Pertumbuhan.Jakarta : PT. Gramedia Pustaka. Media Internet: (http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI/196103231986031 -R._GURNIWAN_KAMIL_PASYA/jurnal_wanita.pdf ) di akses pada 8 Oktober 2013.
350