PEMBANGUNAN PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN PADA MASA PEMERINTAHAN MANGKUNEGARA VII
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh: Daryadi C.0504017
ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2009
PEMBANGUNAN PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN PADA MASA PEMERINTAHAN MANGKUNEGORO VII
Disusun oleh DARYADI C0504017
Telah disetujui oleh pembimbing
Pembimbing
Drs. Tundjung. W.S, M.Si NIP. 131 792 938
Mengetahui Ketua Jurusan Ilmu Sejarah
Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum NIP. 131 570 156
PEMBANGUNAN PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN PADA MASA PEMERINTAHAN MANGKUNEGARA VII Disusun oleh DARYADI C0504017
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal.............................
Jabatan
Nama
Tanda Tangan
Ketua
(.................................)
Sekretaris
(.................................)
Penguji I
(.................................)
Penguji II
(.................................)
Mengetahui, Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta
Drs. Sudarno, MA NIP. 131 472 202
PERNYATAAN
Nama : Daryadi NIM : C0504017 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta,
Juni 2009
Yang membuat pernyataan
Daryadi
MOTTO
Katakanlah, “Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya aku pun berbuat pula. Kelak kamu akan mengetahui siapakah diantara kita yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia ini”. Sesungguhnya, orang-orang yang zalim itu tidak akan mendapat keberuntungan (QS. Al An-am: 135)
Sebelum kita berani mati lebih baik kita berani hidup dahulu, karena hidup adalah perjuangan (Penulis)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk: v Bapak dan Ibuku tercinta v Kakak-Kakakku tersayang
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan ke-Hadirat Allah SWT, yang telah memberikan berbagai kemudahan dan limpahan karunia-Nya kepada penulis, hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII”. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah mendukung, baik moral, material maupun spiritual, hingga akhirnya penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan baik dan selesai sesuai yang penulis harapkan, yaitu kepada: 1.
Drs. Sudarno, MA, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2.
Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa, serta selaku Pembimbing Akademis penulis selama masa studi di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3.
Dra. Sawitri P.P, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4.
Drs. Tundjung W.S, M.Si, selaku Pembimbing skripsi, yang memberikan banyak dorongan, masukan, dan kritik yang membangun dalam proses penulisan skripsi ini.
5.
Segenap dosen pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu dan wacana pengetahuan.
6.
Segenap staf dan karyawan UPT Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Perpustakaan Daerah Surakarta, dan Perpustakaan Sonopustoko Kasunanan.
7.
Ibu Koestrini Soemardi, Ibu Darweni, Bapak Basuki dan segenap staf perpustakaan Reksopustoko Mangkunegaran yang telah memberikan ijin dan bantuan kepada penulis dalam penyediaan data-data yang diperlukan.
8.
Bapak dan Ibu yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat dengan tulus ikhlas serta doa yang tak pernah putus kepada penulis.
9.
Saudara-saudaraku: Mas Moch, Mbak Erna, dan Mas Triyadi yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materiil.
10. Teman-temanku angkatan 2004, tetap kompak dan cepat menyelesaikan skripsi. 11. Segenap pihak yang telah mendukung dan membantu terlaksananya penulisan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap akan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun, agar skripsi ini menjadi lebih baik. Wassalamualaikum Wr. Wb. Surakarta, Juni 2009
Penulis
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN..........................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................
iii
HALAMAN PERNYATAAN..........................................................................
iv
HALAMAN MOTTO.......................................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................
vi
KATA PENGANTAR.......................................................................................
vii
DAFTAR ISI.....................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL.............................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................
xiii
DAFTAR ISTILAH..........................................................................................
xiv
ABSTRAK........................................................................................................
xvi
BAB
BAB
I
II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah............................................................
1
B. Rumusan Masalah......................................................................
5
C. Tujuan Penelitian.......................................................................
5
D. Manfaat Penelitian.....................................................................
6
E. Tinjauan Pustaka........................................................................
6
F. Metode Penelitian...................................................................... 1. Teknik Pengumpulan Data.................................................... 2. Analisa Data..........................................................................
10 11 12
G. Sistematika................................................................................
14
WILAYAH ADMINISTRASI PRAJA MANGKUNEGARAN PADA MASA PEMERINTAHAN MANGKUNEGARA VII A. Perkembangan Wilayah Administrasi Praja Mangkunegaran...
15
B. Wilayah Administrasi Praja Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegara VII.................................................................... C. Struktur
Birokrasi
Praja
Mangkunegaran
Pada
25
Masa
Mangkunegara VII.....................................................................
27
BAB
III
PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN PADA MASA MANGKUNEGARA VII A. Struktur Penduduk di Kota Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegara VII..................................................................
36
B. Pola Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegara VII
40
1. Perkampungan Pribumi.......................................................
41
2. Perkampungan Eropa..........................................................
45
3. Pasar di Kota Mangkunegaran............................................
46
C. Toponimi Perkampungan di Kota Mangkunegaran 1. Nama
Kampung
Berdasarkan
Nama
Orang
48 yang
Terkenal............................................................................
48
2. Nama Kampung Berdasarkan Nama Jabatan dalam Pemerintahan......................................................................
50
3. Nama Kampung Berdasarkan Keadaan Setempat dan
BAB
IV
Aktivitasnya........................................................................
52
4. Nama Tempat Berdasarkan Ciptaan Baru...........................
55
PERANAN MANGKUNEGARA VII BAGI PEMBANGUNAN PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN A. Sikap
dan
Tindakan
Mangkunegara
VII
Bagi
Praja
Mangkunegaran.........................................................................
58
1. Mangkunegara VII Sebagai Raja yang Bijaksana..............
60
2. Mangkunegara VII Sebagai Raja Pembaharu......................
62
B. Konsep Filosofi Pembangunan Mangkunegara VII..................
65
C. Dinas
Pekerjaan
Umum
Pada
Masa
Pemerintahan
Mangkunegara VII....................................................................
69
D. Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran...........
71
1. Pembangunan WC Umum / Kakus Umum.........................
72
2. Pembangunan Pancuran Umum..........................................
73
3. Pembangunan Saluran Pembuangan Air.............................
74
4. Perbaikan Jalan dan Jembatan............................................
74
BAB V
5. Pengadaan Penerangan Jalan..............................................
76
6. Pembangunan Bale Kampung / Kantor Kalurahan............
77
7. Perbaikan Rumah-Rumah Kumuh......................................
78
8. Pembangunan Mentalitas Penduduk..................................
79
KESIMPULAN...............................................................................
80
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................
86
LAMPIRAN........................................................................................................
87
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1
Luas awal wilayah Mangkunegaran........................................................21
Tabel 2
Perbandingan luas swapraja yang ada di Jawa Tengah..........................24
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1 PetaKota Mangkunegaran Tahun 1939......................................................87 Lampiran 2 Gambar-Gambar Mangkunegaran...............................................................88 Lampiran 3 Anggaran Pembuatan Kakus Umum dan Pancuran Umum........................93 Lampiran 4 Anggaran Pembuatan Saluran Pembuangan Air.........................................97 Lampiran 5 Surat Permohonan Penerangan Jalan..........................................................99 Lampiran 6 Anggaran Pembuatan Bale Kampung Punggawan...................................101 Lampiran 7 Pembukaan Bale Kampung Manahan.......................................................106
DAFTAR ISTILAH, SINGKATAN DAN UKURAN 1.
Istilah Ajeg
: Tetap sama
Akulturasi
: Proses pencampuran dua kebudayaan atau lebih
Antaka
: Api
Bekel
: orang yang mengurus apanage, pemungut pajak, kepala desa, petani penghubung antara pemilik desa/penguasa desa dengan penggarap tanah
2.
Borjuis
: golongan kaum hartawan
Budaya
: hasil cipta, rasa dan karsa manusia
De Beweging
: surat kabar milik Indische Partij
Epidemi pest
: wabah penyakit pes
Instruktif
: mengandung pelajaran
Legiun
: pasukan bala tentara
Lurah
: kepala kalurahan
Kecu
: Perampok atau preman
Onderregentscap
: se-tingkat kabupaten
Panewu
: kepala rendahan yang membawahi 1000 cacah
Sepektur manekwesen
: kepala pasar
Vaccin otten
: vaksin untuk penderita penyakit pes
Villa park
: pemukiman orang-orang Eropa
Vorstenlanden
: Kerajaan Jawa
Wedana
: kepala distrik
Zieken zorg
: rumah sakit pusat
Singkatan B.R.M
: Bendara Raden Mas
B.R.M.H
: Bendara Raden Mas Harya
H.I.S
: Hollands Inlandshe Scholl
I.S.D.V
: Indische Socialische Demokratie Vereeneeging
K.G.P.A.A
: Kangjeng Gusti Pangeran Ario Adipati
K.P.A
: Kangjeng Pangeran Ario
3.
N.I.S
: Nederlandsch Indische Spoorweg
R.M
: Raden Mas
R.Tg
: Raden Tumenggung
S.E.M
: Solo Electricitiet Maatschappij
V.O.C
: Vereenigde Oost Indische Compagnie
Ukuran 1 karya
: 1 cacah
1 cacah
: 1 bahu
1 bahu
: 7000 m2
1 jung
: 4 bahu
4 bahu
: 2,8 ha
ABSTRAK Daryadi. C0504017. 2009. Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII. Skripsi: Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini berjudul Pembangunan Perkampungan di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan Mangkunegara VII. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) Alasan Mangkunegara VII mengembangkan pemukiman perkampungan di Kota Mangkunegaran, (2) Bagaimana pola perkembangan kampung di wilayah Kota Mangkunegaran. Penelitian ini merupakan penelitian historis, sehingga langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi heuristik, kritik sumber baik intern maupun ekstern, interprestasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dan studi pustaka. Dari pengumpulan data, kemudian data dianalisa dan diinterpretasikan berdasarkan kronologisnya. Untuk menganalisis data, digunakan pendekatan ilmu sosial yang lain sebagai ilmu bantu ilmu sejarah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan ekonomi, dan sosiologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembangunan di perkampungan baru berlangsung pada masa pemerintahan Mangkunegara VII. Sebelumnya perkampungan di kota Mangkunegaran tidak teratur dan lingkungan serta rumah-rumah penduduknya kumuh dan tidak sehat. Pada masa pemerintahan Mangkunegara VII pembangunan perkampungan semakin ditingkatkan untuk menyejahterakan penduduknya. Pembangunan yang dilakukannya antara lain: pembangunan WC umum, pembangunan pancuran umum, pembangunan saluran pembuangan air, pembangunan jalan dan jembatan, pengadaan penerangan jalan, pembangunan bale kampung, perbaikan rumahrumah kumuh, dan pembangunan mentalitas penduduk. Kesimpulan yang dapat ditarik bahwa adanya pembangunan perkampungan di kota Mangkunegaran mempunyai dampak, penduduk dapat menikmati hasil modernisasi di daerahnya dengan dibangunnya fasilitas-fasilitas umum, sehingga penduduk dapat hidup dengan bersih, sehat dan teratur, serta dapat dengan mudah melakukan aktivitasnya di perkampungan.
ABSTRACT Daryadi. C0504017. 2009. The Development of Countrified in Mangkunegaran Town At The Mangkunegaran VII’s Governance Period. Skripsi: Department of Historical Science, Letters and Fine Arts Faculty, Sebelas Maret University Surakarta.
The title of this research is The Development of Countrified in Mangkunegaran Town At Mangkunegaran VII’s Governance Period. The purpose of this research are to know : ( 1) reason of Mangkenagaran VII that developed countrified settlement in Mangkunegaran Town, ( 2) how the pattern of kampong’s growth in Mangkunagaran Town area. This research is historical research, so that the steps that was done in this research contain: heuristic, criticize of the source (both intern goodness and also ekstern), interpretation, and histograft. Data collecting technique that was used in this research were document study and book study. From the data collecting, then the data was analysed and interpreted based on the chronologize. Data analize was done by the other social science approach as historical scince assist. The approaches that were done in this research were economical and sociological approach. The result of this research shows that developing of the new countrified was taken place at the Mangkunegaran VII’s governance period. Before that, countrified in Mangkunegaran Town was irregular and the environmental and also environment and houses of its resident was dirty and unhealthy. At the Mangkunegaran VII’s governance period the countrified developing was improved progressively to increase its resident prosperity. The developmences that were done were is public toilet building, public douche building, water dismissal channel building, street and bridge buiding, street lighting existing, kampong hall building, dirty houses reconstruction, and resident mentality building. The conclussion of this research is the development of countrified in Mangkunegaran Town has effects, the resident could enjoy the results of their area modernization by public facility building, so that the resident could life cleanly, healthly, and regularly, and also could do their activity in their countrified easily.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang terdiri atas pulau-pulau dan dikelilingi lautan yang luas. Letak geografis Indonesia yang begitu sangat berpengaruh terhadap perkembangan kota-kota di Indonesia. Kota-kota tua di Indonesia berada di daerah pedalaman yang berada di sekitar sungai-sungai besar dan daerah pantai Jawa serta pulau-pulau besar yang lainnya. Kota-kota tua tersebut selalu terletak berdekatan dengan pusat-pusat pemerintahan di kerajaan yang menawarkan keamanan bagi kotakota itu.1 Kota-kota tua yang terdapat di Indonesia, baik kota pedalaman maupun kota pesisir pantai mempunyai ciri-ciri yang berbeda, yakni: 1. Kota Pedalaman Kota-kota di daerah pedalaman merupakan pusat-pusat administrative, sehingga dari kota ini raja memiliki wewenang untuk mengatur wilayah yang ada disekitarnya. Kota pedalaman mempunyai fungsi memberikan berbagai macam barang dan jasa untuk keraton. Kota itu juga menikmati kemegahan yang melimpah dari istana kerajaan. 2. Kota Pesisir Pantai Kota pesisir mempunyai atmosfer yang lebih kosmopolitan. Pedagang asing dan pengrajin ahli merupakan proporsi penduduk yang besar di kota pesisir. Kota pesisir sangat terpengaruh oleh oleh berbagai kontak dengan negara asing. Para 1
Wertheim, W.F, 1999. Masyarakat Indonesia Dalam Transisi; Studi Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. Hal: 133
1
pedagang dan pekerja ahli dikelompokkan dalam wilayah, menurut negara asal di bawah kepala kelompok mereka. Sekitar abad 18 perkembangan kota di Indonesia mengalami babak yang baru, itu terjadi atas prakarsa Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen yang ingin membangun sebuah tiruan dari kota Belanda lama dalam bentuk Batavia, yang berada di pantai utara Jawa. Jan Pieterszoon Coen mempunyai keinginan untuk mengisi kota Batavia dengan warga Belanda dan juga ingin memindahkan karakter dan budaya borjuis Belanda ke Indonesia. Kota itu dengan cepat berkembang menjadi Kota Timur yang khas dan memberikan contoh akulturasi yang sangat instruktif.2 Perkembangan perkotaan di Indonesia semakin pesat sekitar tahun 1870 dengan adanya system liberal atau perusahaan bebas yang sangat memegang peranan penting bagi perkembangan perkotaan di Indonesia. Praja Mangkunegaran didirikan pada tahun 1757 oleh Raden Mas Said. Praja Mangkunegaran berdiri sebagai hasil perjuangan melawan Belanda. R.M Said baru berusia 16 tahun ketika memimpin perjuangan melawan Belanda. Perjuangan R.M Said ini tidak dapat dipisahkan dari kericuhan yang ada di kerajaan Mataram pada akhir abad 17. Sejak awal abad 17, daerah Mataram sudah diperintah secara langsung oleh Belanda yang mengakibatkan golongan pro dan kontra di kerajaan Mataram. R.M Said mulai tidak senang kepada Belanda berawal dari peristiwa pembuangan ayahnya ke Srilangka yang disebabkan oleh fitnah Paku Buwono II dan Patih Danurejo yang mempunyai hubungan yang baik dengan Belanda.3
2
Ibid, hal: 135 Ismu Sadiyah, 1998. Karya Tulis: Keraton Mangkunegaran Sebagai Objek Yang Menarik di Jawa Tengah. Sekolah Tinggi Bahasa Asing Yayasan Pariwisata-ABA Bandung. Hal:14 3
Pada tanggal 17 Maret diadakan perjanjian Salatiga antara R.M Said, Paku Buwono III, dan Hamengkubowono I. Perjanjian itu melahirkan sebuah wilayah baru yaitu Praja Mangkunegaraan, yang masih merupakan bawahan dari Keraton Kasunanan Surakarta. R.M Said diangkat menjadi kepala pemerintahan dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro I. Perkembangan Praja Mangkunegaran selalu mengalami pasang surut baik dalam bidang politik maupun bidang ekonomi.Praja Mangkunegaran mengalami masa keemasaan pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII. Adipati Mangkunegoro VII (1916-1944) lahir pada hari Kamis Wage tanggal 12 November 1885. Pada masa mudanya dikenal dengan sebutan Bandara Raden Mas Suparta, kemudian terkenal dengan sebutan Bandara Raden Mas Surya Suparta, putera Adipati Mangkunegoro V. R.M Suparta diangkat menjadi Prangwedana pada hari Jumat Pahing tanggal 3 Maret 1916. R.M Suparta ditetapkan menjadi Adipati Mangkunegoro VII pada hari Kamis Wage tanggal 4 September 1916.4 pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII pembangunan-pembangunan diberbagai aspek kehidupan rakyat di Praja Mangukunegaran semakin ditingkatkan.
Mangkunegoro VII banyak melakukan pembangunan irigasi, jalan, dan jembatan. Pelaksanaan pembangunan tersebut dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan Umum
Praja
Mangkunegaran.
MangkunegoroVII
4
juga
Pembangunan
keperkampungan
di
yang Kota
dilakukan
oleh
Mangkunegaran.
Adipati Istilah
Dr. Purwadi, M.Hum, 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Abadi. Hal: 566
perkampungan yang ada di Kota Mangkunegara baru ada sekitar tahun 1926, perkampungan itu merupakan bentuk dari kesatuan-kesatuan desa.5 Perkampungan yang ada di Kota Mangkunegaran mempunyai cirri-ciri yang sama dengan kampung-kampung yang terdapat di Kasunanan Surakarta maupun di Kasultanan Yogyakarta. Perkampungan di Kota Mangkunegaran
terdiri dari
perkampungan orang-orang Belanda yang dinamakan Villa Park dan perkampungan orang-orang pribumi. Perkampungan itu mempunyai ciri masing-masing yang dapat menunjukkan perbedaannya. 1. Kampung Orang-Orang Belanda / Villa Park Sesuai dengan namanya kampung tersebut merupakan tempat tinggal orang-orang Belanda. Kampung Belanda memiliki perancanaan infrastruktur yang baik, sehingga kampung tersebut mempunyai sarana dan prasarana yang memadai bagi penduduknya. Kampung ini memiliki model seperti yang ada di negeri Belanda. 2. Kampung Pribumi Kampung pribumi pada umumnya terdiri dari penduduk asli. Kampung tersebut umumnya tidak didahulu oleh perencanaan infrastruktur, sehingga jaringan kotanya kurang memadai. Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII perkampungan tersebut mengalami kemajuan yang pesat dibidang sarana dan prasarana. Dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka penulis dalam mengkaji mengenai perkampungan di Kota Mangkunegaran menggunakan judul “Pembangunan Perkampungan Di Kota Mangkunegaran Pada Masa Pemerintahan Mangkunegoro VII)” 5
Dr. Th. M. Metz, 1939. Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Roterrdam: NV Nijgh dan Van Ditmar. Hal: 48
B. Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka pokok permasalahan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Apa alasan Mangkunegoro VII mengembangkan permukiman perkampungan di Kota Mangkunegaran? 2. Bagaimana pola perkembangan kampung di wilayah Kota Mangkunegaran?
C. Tujuan Penelitian Dari perumusan permasalahan diharapakan kajian tentang perkampungan di kota Mangkunegaran mampu memberikan jawaban atas beberapa permasalahan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah. 1. Untuk mengetahui alasan Mangkunegoro VII mengembangkan permukiman perkampungan di Kota Mangkunegaran. 2. Untuk
mengetahui
pola
perkembangan
kampung
di
wilayah
Kota
Mangkunegaran. D. Manfaat Penelitiaan Dari kajian tentang perkampungan di kota Mangkunegaran, maka penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan tentang perkampungan yang ada di Kota Mangkunegaran 2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi masyarakat khususnya masyarakat Surakarta. Mengenai pembangunan perkampungan yang dilakukan oleh Mangkunegoro VII.
E. Kajian Pustaka Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa literatur dan referensi yang relevan dan menunjang tema yang dikaji. Literatur tersebut akan penulis jadikan bahan acuan untuk mengkaji, menelusuri dan mengungkap pokok permasalahan. Literatur yang penulis gunakan antara lain: Mengenang BRM. Soerya Soeparto merupakan buku yang ditulis oleh Bernardial Hilmiyah M.D, 1985. Buku ini membahas mengenai kehidupan Soerya Soeparto sebelum beliau menjadi Mangkunegoro VII sampai menjadi Mangkunegoro VII. Buku ini juga menceritakan bahwa ketika naik tahta, ia di hadapkan pada banyak kesulitan, sebab dalam lingkungan masyarakatnya telah muncul kelompok baru yang becita-cita memperjuangkan nasib serta penghidupan rakyat. Oleh karena itu tugas Mangkunegoro VII adalah membawa kemajuan duniawi dan kemajuan spiritual rakyatnya. Namun demikian, buku ini sebagian besar sumber acuannya berasal dari sumber sekunder. Dalam hubungannya dengan penelitian ini, tulisan Bernardial Hilmiyah itu sangat berguna sekali. Membaca buku itu, penulis mendapatkan beberapa informasi awal tentang modernisasi di Praja Mangkunegaran, yang kemudian memberi inspirasi untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam. Buku yang berjudul Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa yang ditulis oleh Dr. Th. M. Metz, dan telah diterjemahkan oleh RTg. Muhammad Husodo Pringgokusumo, 1987. Buku ini berisi mengenai Praja Mangkunegaran pada masa
pemerintahan Mangkunegoro VII. Buku ini membahas mengenai perkembangan dan kemajuan yang pesat di Kadipaten Mangkunegaran di bidang ekonomi yang terdiri dari masalah agraria, irigasi, perusahaan-perusahaan dana milik, pekerjaan umum, kehutanan, kredit rakyat, pasar, penyediaan pangan pada masa paceklik, kebudayaan dan kesenian, dan keuangan Mangkunegaran. Namun demikian, karya ini tidak boleh sebagai sumber primer murni karena tidak semua nformasi yang ia sampaikan merupakan hasil pandangan mata si penulis, tetapi ada beberapa yang berasal dari sumber lain. Akan tetapi sekalipun informasi yang diberikan merupakan campuran antara sumber primer dan sumber sekunder, namun di dalamnya banyak mengandung unsur-unsur yang bersifat primer. Buku ini menyajikan sejumlah data tentang Mangkunegaran pada masa Mangkunegoro VII. Data-data itu sangat berguna untuk merekonstruksikan modernisasi, khususnya bagi perkampungan di Praja Mangkunegaran dan juga untuk mengetahui peranan dan tindakan yang dilakukan Dinas Pekerjaan Umum bagi pembangunan perkampungan di Kota Mangkunegaran. Buku yang berjudul Sejarah Mataram Kartasura sampai Surakarta Adiningrat yang ditulis oleh Drs. Radjiman, tahun 1984. Buku ini dibagi menjdi dua bagian yakni, bagian pertama berisi mengenai Kerajaan Mataram Surakarta, Kasunanan Surakarta Adiningrat, dan Toponomi Kota Surakarta. Bagian kedua berisi mengenai Struktur Birokrasi Mataram, Struktur Birokrasi Kasunanan Surakarta, dan Struktur Birokrasi Pada Masa Pemerintahan Paku Buwono IX. Buku ini juga membahas mengenai Sejarah pemberian nama kampung-kampung yang ada di wilayah Kasunanan maupun Mangkunegaran. Akan tetapi, buku ini banyak menggunakan babad sebagai sumber acuannya seperti Babad Tanah Jawi yang terlalu banyak diisi dengan folklore yang berkembang di dalam masyarakat. Buku ini juga menggunakan sumber yang lain seperti
Rijksblad, Staatsblad, dan Bijblad yang digunakan untuk memperkuat tulisannya. Buku ini membantu di dalam mengetahui batas-batas perkampungan di Kasunanan dan Mangkunegaran dan asal-usul nama-nama kampung di Kota Mangkunegaran. Dalam buku Ketataprajaan Mangkunegaran yang ditulis oleh Muhammad Dalyono, SH dan diterjemahkan oleh R.M Sarwanto Wiryosaputro, 1977. buku ini membahas mengenai ketataprajaan yang ada di Mangkunegaran yang terdiri dari susunan dan pengisian jabatan, kewenangan ketataprajaan, lingkungan kerja dan hubungan
kekuasaan
Mangkunegaran.
Oleh
dengan karena
negara, ia
daerah/wilayah
sebagai
seorang
dan
ahli
orang
hukum
di
Praja
maka
cara
pengungkapannya lebih bersifat kaku dan menekankan pada aspek-aspek yuridis formal dari Praja Mangkunegaran. Akan tetapi, karena buku ini ditulis oleh penulis yang hidup sejaman dengan peristiwa yag diteliti dan juga diterbitkan pada masa itu, maka validitas isi dari buku itu dapat dipertanggungjawabkan. Buku ini sangat membantu dalam penelitian ini karena sebagian besar bertumpu pada peraturan-peraturan baik yang dikeluarkan oleh Praja Mangkunegaran maupun Oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintah Praja Mangkunegaran (Akhir Abad XIX – Pertengahan Abad XX), tahun 1994. merupakan tesis dari Drs. Wasino. Karya ilmiah ini membahas mengenai pembaharuan pemerintahan di Praja Mangkunegaran di masa pemerintahan Mangkunegoro VI-VII. Karya ilmiah ini membahas pembaharuan di bidang keuangan dan perekonomian serta pembangunan-pembangunan yang dilakukan oleh Mangkunegoro VI-VII. Karya ilmiah ini memang menarik karena banyak menampilkan peranan- peranan yang dilakukan oleh Mangkunegoro VI dan Mangkunegoro VII bagi kemajuan yang pesat di Praja Mangkunegaran. Karya ilmiah ini juga menggunakan sumber-sumber primer yang berupa arsip dari Mangkunegaran,
surat kabar, dan majalah. Karya ilmiah ini membantu penulis untuk mengetahui hal-hal apa yang telah dilakukan oleh Mangkunegoro VII salah satunya terhadap perkembangan di Kota Mangkunegaran.
F. Metode Penelitian. Suatu penelitian ilmiah perlu didukung dengan metode, karena peranan sebuah metode dalam suatu penelitian ilmiah sangat penting, karena berhasil atau tidaknya tujuan yang dicapai, tergantung dari metode yang digunakan. Di dalam hal ini, suatu metode dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan obyek yang diteliti. Terkait dengan hal itu, Koentjoroningrat mengungkapkan bahwa, dalam arti kata yang sesungguhnya, maka metode (dalam bahasa Yunani methodos) adalah cara atau jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja yaitu cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Sesuai dengan permasalahan yang dibahas, maka metode yang digunakan adalah metode historis. Menurut Louis Gottschalk yang dimaksud metode historis adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dari pengalaman masa lampau.6 Metode historis ini terdiri dari 4 tahap yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. (a) Heuristik yaitu suatu proses pengumpulan bahan atau sumber-sumber sejarah. Dalam proses ini penulis mengumpulkan bahan di perpustakaan Rekso Pustoko dan Sono Pustoko, karena di tempat tersebut banyak terdapat sumber-sumber primer 6
Louis Gottschalk. 1986. Mengerti Sejarah, edisi terjemahan Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press. hal 32
yang sangat membantu dalam penulisan penelitian ini. (b) Kritik sumber yang bertujuan untuk mencari keaslian sumber yang diperoleh melalui kritik intern dan ekstern.7 Kritik intern bertujuan untuk mencari keaslian isi sumber atau data, sedang kritik ekstern bertujuan untuk mencari keaslian sumber. (c) Interpretasi, yaitu penafsiran terhadap data-data yang dimunculkan dari data yang sudah terseleksi. Tujuan dari interpretasi adalah menyatukan sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber atau data sejarah dan bersama teori disusunlah fakta tersebut ke dalam interpretasi yang menyeluruh.8 (d) Historiografi, yaitu menyajikan hasil penelitian berupa penyusunan fakta-fakta dalam suatu sintesa kisah yang bulat sehingga harus disusun menurut teknik penulisan sejarah. 1. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data atau sumber berupa studi dokumen dan studi pustaka. a. Studi Dokumen Dalam studi ini karena fokus penelitian adalah peristiwa yang sudah lampau, maka salah satu sumber yang digunakan adalah sumber dokumen. Dokumen dibedakan menjadi dua macam yaitu dokumen dalam arti sempit dan dokumen dalam arti luas. Menurut Sartono Kartodirdjo, “dokumen dalam arti sempit adalah kumpulan data verbal dalam bentuk tulisan seperti surat kabar, catatan harian, laporan dan lain-lain.9 Di satu sisi dokumen dalam arti luas meliputi artefak, foto-foto, dan sebagainya. Penggunaan dokumen dalam penelitian ini adalah dokumen dalam arti sempit. Studi dokumen mempunyai arti metodologis yang sangat penting, sebab selain bahan
7
Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, hal.58. Ibid, hal. 64. 9 Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metode Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia. hal. 98 8
dokumen menyimpan sejumlah besar fakta dan data sejarah, bahan ini juga dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan, apa, kapan dan mengapa.10 Studi tentang dokumen bertujuan untuk menguji dan memberi gambaran tentang teori sehingga memberi fakta dalam mendapat pengertian historis tentang fenomena yang unik.11 Dokumen yang berhasil penulis kumpulkan untuk penelitian ini antara lain: Arsip-arsip dari Dinas Pekerjaan Umum: Anggaran pembangunan wc umum dan pancuran umum kode L. 436, Anggaran pembangunan saluran pembuangan air kode H. 204, Rijksblad Tahun 1939. No. 23, Peta Kota Mangkunegaran, dan sebagainya. b. Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan sebagai bahan pelengkap dalam sebuah penelitian. Dalam penelitian ini sumber pustaka yang digunakan hanya yang berkaitan dengan tema penelitian. Tujuan dari studi pustaka adalah untuk menambah pemahaman teori dan konsep yang diperlukan dalam penelitian. Sumber pustaka yang digunakan antar lain: buku, majalah, surat kabar, artikel dan sumber lain yang memberikan informasi tentang tema yang diteliti. Studi pustaka dalam penelitian ini di lakukan di perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunegaran. 2. Teknik Analisa Data Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi analisis. Deskripsi analisis artinya menggambarkan suatu fenomena beserta ciri-cirinya yang terdapat dalam fenomena tersebut berdasarkan fakta-fakta yang tersedia. Setelah 10
Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu Alternati. Jakarta: PT. Gramedia. hal 97-122 11
Sartono Kartodirdjo. 1983. “ Metode Penggunaan Bahan Dokumen “Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia. hal. 47.
itu dari sumber bahan dokumen dan studi kepustakaan, tahap selanjutnya adalah diadakan analitis, diinterpretasikan, dan ditafsirkan isinya. Data-data yang telah diseleksi dan diuji kebenarannya itu adalah fakta-fakta yang akan diuraikan dan dihubungkan sehingga menjadi kesatuan yang harmonis, berupa kisah sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.12 Selain itu teknik yang digunakan untuk menganalisa data penelitian ini adalah analisa historis. Yaitu analisa untuk mencari hubungan sebab akibat dari suatu fenomena historis pada ruang dan waktu tertentu. Tujuan dari teknik ini adalah agar penelitian ini tidak hanya menjawab apa, kapan, dan di mana peristiwa ini terjadi namun juga menjelaskan gejala sejarah sebagai kausalitas. Analisa ini kemudian disajikan dalam bentuk penulisan diskriptif.
G. Sistematika Skripsi Untuk memberikan gambaran terperinci, skripsi ini disusun bab demi bab. Penyusunan ini dilandasi keinginan agar skripsi ini dapat menyajikan gambaran yang menunjukkan suatu kontinuitas perkembangan kejadian yang beruntun Bab I, dalam bab pendahuluan ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika skripsi. Bab II, dalam bab ini menguraikan gambaran umum yang mencangkup sejarah, wilayah, dan struktur birokrasi Praja Mangkunegaran.
12
36
Nugroho Notosusanto. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta: yayasan Indayu. hal
Bab III, dalam bab ini mengenai perkampungan di Kota Mangkunegaran termasauk didalamnya struktur penduduk, pola perkampungan, dan asal-usul nama kampong di Kota Mangkunegaran. Bab IV, dalam bab ini mengenai peranan Mangkunegoro VII bagi pembangunan perkampungan di Kota Mangkunegaran. Bab V, dalam bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan.
BAB II WILAYAH ADMINISTRATIF PRAJA MANGKUNEGARAN PADA MASA PEMERINTAHAN MANGKUNEGORO VII
A. Perkembangan Wilayah Administratif Praja Mangkunegaran Praja Mangkunegaran didirikan oleh R.M Said. Ia merupakan putera dari K.P.A Mangkunegoro, dan merupakan cucu dari Sunan Amangkurat IV. K.P.A Mangkunegoro sebenarnya merupakan pengganti Sunan Amangkurat IV, tetapi dalam kenyataannya yang menggantikan tahta adalah Sultan Sepuh, yang bergelar Sunan Paku Buwono II. KPA Mangkunegoro karena menentang dan tidak disenangi Belanda maupun Sunan Paku Buwono II, kemudian dibuang ke Ceylon, dan meninggal di Tanjung Harapan.13 Berdirinya Praja Mangkunegaran merupakan dampak dari konflik-konflik perang perebutan tahta kerajaanyang telah terjadi pada masa sebelumnya. Geger Pacinan merupakan konflik awal perebutan kekuasaan di Mataram Kartosura. Peristiwa ini berawal dari pemberontakan orang-orang Cina di batavia pada tahun 1740 yang kemudian menjalar ke sepanjang pantai utara Jawa. Peristiwa ini juga melibatkan para bangsawan Mataram, yang termasuk di dalamnya Raden Mas Said.14 Pemberontakan Cina di Mataram dipimpin oleh R.M Garendi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kuning. Pemberontakan itu mengakibatkan jatuhnya Istana Kartosuro ketangan musuh, kemudian oleh Sunan Paku Buwono II istana dipindahkan ke sebelah timur yaitu ke desa Sala yang kemudian lebih dikenal dengan nama Surakarta. Pada tahun 1743 pemberontakan Cina telah dipadamkan oleh kerajaan
13
Mulat Sarira, 1978. Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran. hal 4-5
Wasino, 1994. Tesis: Kebijaksanaan 15 Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran (Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XX). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Hal 34 14
Mataram yang dibantu VOC. Paku Buwono II semakin tidak bebas dalam menentukan kebijakan-kebijakan politik dan pemerintahannya akibat intervensi dari VOC, karena telah banyak membantu mengusir para pemberontak.15 R.M Said tetap melakukan perlawanan terhadap kompeni Belanda dan Paku Buwono II, yang sebenarnya masih untuk menuntut hak-haknya sebagai putera dari K.P.A Mangkunegoro. Dalam perlawananya Mas Said didukung oleh 18 pembantu utama yang merupakan putera pejabat Keraton Kartosuro, yang kemudian dikenal sebagi Punggawa Baku.16 Selain dibantu oleh 18 pemuda itu, Mas Said juga mendapat bantuan
dari Raden Sutowijoyo yang kemudian mendapat gelar Kyai Ronggo
Panambangan, dan Kyai Kudawarsa. Mas Said dan para punggawanya mempunyai ikrar “tiji-tibeh” yaitu :mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh, yang artinya mati satu mati semua, bahagia satu bahagia semua.17 Perlawanan Mas Said sangat menyulitkan Sunan Paku Buwono II dan VOC. Paku Buwono II kemudian menjanjikan hadiah tanah lungguh sebesar 3000 cacah di daerah Sukowati (Sragen) bagi mereka yang berhasil menghalau Mas Said dan kawankawannya dari daerah itu. Pangeran Mangkubumi menerima tawaran dari Paku Buwono II, walaupun sebelumnya juga berkonflik dengannya. Mas Said berhasil dikalahkannya pada tahun 1746. Paku Buwono II, karena bujukan para penasehatnya tidak memberikan hadiah kepada Mangkubumi, sehingga membuatnya merasa kecewa.18 Akhirnya Pangeran Mangkubumi bergabung dengan Mas Said untuk melawan Paku Buwono II dan VOC. 15
Ibid
16
Ng. Satyapranawa, 1950. Babad Mangkunegaran. Surakarta: Reksa Pustaka. hal 29
17
Ibid Wasino, op.cit. hal 35
18
Mas Said di medan pertempuran pamornya semakin menonjol dan rakyat banyak yang semakin simpati kepadanya, apalagi setelah Pangeran mangkubumi bergabung dengannya. Pada tahun 1751 pasukan gabungan ini dapat menghancurkan pasukan Belanda di bawah Mayor de Clery di lembah Bagawonto. Keberhasilan pertempuran ini membuktikan bahwa Raden Mas Said seorang pemimpin yang berani dan ahli strategi perang, sehingga mendapat julukan Pangeran Samber Nyowo.19 Persatuan antara Mas Said dan Pangeran Mangkubumi menjadi semakin kuat, setelah Mas Said menikah dengan Puteri Sulung Mangkubumi, yang bernama Raden Ajeng Inten atau selanjutnya disebut dengan Ratu Bendara. Pada bulan-bulan terakhir tahun 1752, terjadi perselisihan antara Mas Said dengan Mangkubumi. Mas Said kini harus berjuang sendiri untuk menghadipi sekutu-sekutu Sunan dan VOC Belanda. Ia juga menghadapi Mangkubumi yang merupakan mantan mertuanya sendiri. Komandan Belanda van Honendarf menyarankan kepada Dewan Hindia agar ditawari jabatan Putera Mahkota, karena melihat situasi yang semakin meruncing, dan usul itu ternyata diterima. Perundingan kemudian dilakukakan pada tanggal 28 Februari 1753.20 Akan tetapi diperundingan tersebut Mas Said ingin dinobatkan menjadi Raja, dan bukan sebagai Putera Mahkota. Tindakan Mas Said ini sebagai tekanan terhadap Belanda, dikarenakan ia baru saja memukul mundur pasukan mangkubumi dalam pertempuran di sebelah timur Surakarta. Kemenangan yang gemilang ini yang menyebabkan Mas Said mendekte syarat-syarat perdamaian dengan Belanda yang telah gagal menyelesaikan secara militer. Mas Said terlalu yakin akan keberhasilannya, sehingga tidak mau membuat kompromi dengan pihak kompeni. Dalam hal ini ia
19
Heri Dwiyanto, 1995. Skripsi: Pembangunan Bidang Kesehatan Di Praja Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegoro VII. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. hal 46 20
Wasino, op.cit. hal 36
kurang waspada terhadap Mangkubumi, yang justru bersedia mengadakan perundingan dengan pihak VOC. Mangkubumi menyetujui kesepakatan yang agak realistis, yakni ia menerima separo dari tanah kerajaan, mengakui kekuasaan VOC atas pesisir, dan bersekutu dengan VOC untuk melawan Mas Said.21 Pada tanggal 13 Februari 1755 terjadi perjanjian Giyanti antara Pangeran Mangkubumi dan Sunan Paku Buwono III. Kedua belah pihak akhirnya menerima masing-masimng separo dari tanah kerajaan Mataram yang bukan menjadi wilayah kekuasaan VOC. Konflik dinasti yang berkepanjangan di Surakarta ternyata belum dapat diselesaikan. Mas Said tidak mau menyerah begitu saja. Ia tetap mengerahkan pasukannya untuk melawan tiga kekuatan yang bersekutu. Pada bulan Oktober 1755 ia masih berhasil mengalahkan pasukan VOC dan pada bulan Februari 1756 ia hampir berhasil membakar istana baru di Yogyakarta. Pasukan-pasukan gabungan itu tidak berhasil dan tidak sanggup melawan Mas Said, tetapi ia yang berjuang sendirian tidak mampu menaklukkan Jawa.22 Pasukan Mas Said mulai mengalami banyak kekalahan-kekalahan yang dikarenakan semakin berkurangnya jumlah pasukan dan membelotnya beberapa pengikut kepada pasukan-pasukan musuh. Situasi yang nampak semakin gawat, Mas Said sudah dapat membaca ketidakseimbangan antara pasukannya dalam menghadapi pasukan gabungan yang besar itu, maka ia berusaha untuk menghentikan peperangan yang mulai tidak seimbang melalui perundingan dengan Sunan dan VOC. Melalui adiknya Pangeran Timur, ia memberikan tawaran perdamaian kepada Sunan.
21 22
148-150
Ibid. hal 37 M.C Ricklefs, 1992. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. hal
Perundingan ini diambil oleh Mas Said, karena ia berharap bahwa setelah Sunan meninggal ia dapat menggantikannya sebagai Raja. Pangeran Timur yang menjadi utusan menyampaikan permohonan Mas Said kepada Sunan agar tanah Jawa hanya diperintah oleh seorang raja saja, tetapi apabila tidak bisa ia menerima saja keputusan Sunan asal ia mendapat hak atas tanah Laroh, Matesih, Keduwang, dan Pacitan. Dari pihak VOC melalui Hartingh juga mendesak agar diadakan perundingan untuk mengakhiri perang saudara yang berlarut-larut.23 Pada tanggal 24 Februari 1757 di Gogol, daerah sesbelah selatan kota Surakarta, Mas Said sembari bersujud ia menyerahkan diri secara sukarela kepada Susuhunan Paku Buwono III.24 Pertemuan ini merupakan awal dari pertemuan yang selanjutnya di Salatiga pada tanggal 17 Maret 1757. Dalam pertemuan di Salatiga tanggal 17 Maret 1757, yang dihadiri pula oleh Patih Danurejo dari Kasultanan Yogyakarta. Pertemuan ini membahas mengenai kedudukan, pangkat, dan penghasilan Mas Said. Pertemuai ini akhirnya dapat dicapai beberapa kesepakatan, walaupun melalui perdebatan antara kedua belah pihak. Kesepakatan ini isinya sebagai berikut: (1) Mas Said diangkat menjadi Pangeran Miji, yang kedudukannya tepat dibawah Sunan. Ia memakai gelar Pangeran Adipati Mangkunegoro, (2) Ia juga mendapatkan tanah sebesar 4000 karya, yang terletak di Keduwang, Laroh, Matesih, dan Gunung Kidul. Wilayah itu terletak disekitar Surakarta Tenggara dan sebagian lagi di timur Yogyakarta, (3) Mas Said harus bersumpah setia kepada Sunan, Sultan, VOC dan berjanji akan datang di hari-hari tertentu (senin, kamis, dan sabtu). Mas Said juga harus selalu tunduk kepada perintah Raja. Ia juga harus
23
A.K Pringgodigdo, 1938. Lahir Serta Tumbuhnya Praja Mangkunegaran. Surakarta: Reksa Pustaka. hal 8 24 G.P Rouffaer. Swapraja. Surakarta: Reksa Pustaka. hal 34
tinggal dan berkedudukan di Ibu Kota Surakarta.25 Berdasarkan perjanjian Salatiga tahun 1757, maka berdirilah Praja Mangkunegaran yang wilayahnya meliputi Laroh, Matesih, Keduwang, dan Gunung Kidul. Praja Mangkunegaran merupakan salah satu bagian dari empat swapraja yang ada di Jawa Tengah. Wilayah Mangkunegaran terletak dibagian timur dan utara Surakarta, juga sebagian terletak di wilayah Kasunanan dan Kasultanan. Wilayah Mangkunegaran di sebut sebagai desa Babok. Desa Babok merupakan tanah-tanah atau wilayah permulaan dari Praja Mangkunegaran.26 Luas wilayah Praja Mangkunegaran 4000 karya ketika berdiri, dan terus mengalami perubahan sejak berdirinya kerajaan itu. Tabel I Desa Babok Mangkunegaran Nama Daerah Keduwang Laroh
Jumlah (Jung) 141 115,5
Matesih
218
Wiraka
60,5
Haribaya
82,5
Hanggabayan
25
Sembuyan
133
Gunung Kidul
71,5
Pajang (sebelah selatan jalan besar Surakarta-Kartosura)
58,5
Pajang (sebelah utara jalan besar Surakarta-Kartosura)
64,5
Mataram (pertengahan Yogyakarta) Kedu
1 8,5
Jumlah
975,5
Sumber: Pringgodigdo, op.cit. hal 10 dan Rouffaer, op.cit. hal 9 25
A.K Pringgodigdo, op.cit. hal 8-9 Sutrisno Adiwardoyo, 1974. Skripsi: Pertumbuhan Kadipaten Mangkunegaran Sampai Masuknya Ke Provinsi Jawa Tengah. Surakarta: IKIP Surakarta. hal 28 26
Menurut Wasino, wilayah dan batas-batas Praja Mangkunegaranyang didasarkan perjanjian Salatiga 1757 itu memang kurang jelas. Hal ini di karenakan, surat perjanjiannya sendiri hilang dan tidak dapat ditemukan. Dengan demikian data-data mengenai wilayah Mangkunegaran yang dikemukakan oleh Rouffaer dan Pringgadigdo itu hanyalah perkiraan saja.27 Dibawah
Pemerintahan
Mangkunegoro
II
(1796-1835),
wilayah
Praja
Mangkunegaran mengalami perubahan, yakni adanya pertambahan wilayah sebanyak dua kali. Praja Mangkunegaran mendapat tambahan tanah sebesar 240 jung atau 1000 karya yang terletak di Keduwang (72 jung), Sembuyan (12 jung), Mataram (2,5 jung), Sukawati bagian timur (95,5 jung), Sukawati bagian barat (28,5 jung), dan daerah di lereng Gunung Merapi bagian timur (29,5 jung).28 Bertambahnya luas wilayah Praja mangkunegaran dikarenakan adanya hubungan kerjasama antara Mangkunegoro II dengan Inggris untuk melawan Sultan Hamengkubuwono II di Yogyakarta dan Susuhunan Paku Buwono IV. Praja Mangkunegaran mengalami penambahan luas wilayah lagi pada tahun 1830. penambahan luas wilayah ini sebagai atas jasa Praja Mangkunegaran dalam membantu
Belanda
menghadapi
27
Wasino, op.cit. hal 51
28
Wasino, loc.cit
pasukan
Diponegoro.
Praja
Mangkunegaran
memperoleh hadiah berupa tanah 120 jung atau 500 karya yang terletak di Sukowati bagian utara, sehingga luas wilayah Praja Mangkunegaran pada masa Mangkunegoro II menjadi 5500 karya.29
Masa pemerintahan Mangkunegoro II juga terjadi adanya perubahan wilayah sebagai akibat tukar-menukar tanah yang dilakukan Mangkunegaran dan Kasultanan. Pertukaran tanah ini dilakukan karena wilayah masing-masing swapraja itu semula bersifat tumpang-tindih sehingga ada usaha untuk menyatukan wilayah agar tidak terpencar wilayah swapraja yang lain.30 Perubahan-perubahan yang dilakukan didaerah Gunung Kidul bagian barat (pajang dan semanu) sebesar 64 jung yang merupakan daerah Mangkunegaran di tukar dengan 60 jung tanah yang terdiri dari desa-desa di Yogyakarta didaerah Sembuyan (sebelah Tenggara Surakarta).31 Praja Mangkunegaran Setelah adanya dua kali perubahan luas wilayah dan pertukaran tanah dengan Kasunanan, luas wilayah Mangkunegaran menjadi 2815, 14 km², meliputi lereng barat dan selatan Gunung Lawu yang meluas sampai daerah hulu sungai Bengawan Solo menuju ke daerah Gunung Kidul. Daerah selatan Praja Mangkunegaran membentang pada bagaian timur dari Gunung Sewu yang sangat tandus hingga ke Samudera Hindia. Di sebelah barat, daerahnya sebagian menuju barat melalui dataran rendah bengawan Solo sampai pada lereng Gunung Merapi dan Merbabu yang sangat subur. Batas swapraja Mangkunegaran dan Kasunanan melewati ibu kota Surakarta. Sebelah utara masuk daerah Mangkunegaran dan sebelah selatan masuk daerah Kasunanan. Di bagian utara daerah ini merupakan tanah-tanah yang cocok untuk
29 30
31
Sutrisno Adiwardoyo, op.cit. hal 28 Wasino, op.cit. hal 51 A.K Pringgodigdo, op.cit. hal 19
pertanian dan perhutanan, sedangkan dibagian selatan tidak begitu baik untuk budi daya pertanian baah dan hanya cocok untuk kehutanan.32 Di daerah selatan ini merupakan sebagian besar wilayah Praja Mangkunegaran, walaupun ada juga di daerah timur yang subur di bawah lereng Gunung Lawu. Wilayah Praja Mangkunegaran Luasnya tidak terpaut jauh dengan swapraja lain yang ada di Jawa Tengah yakni Kasunanan dan Kasultanan. Jika dibandingkan dengan wilayah Paku Alaman, wilayah Mangkunegaran lebih luas. Apabila dilihat dari kesuburan tanahnya, Praja Mangkunegaran memiliki tingkat kesuburan tanah yang buruk. Perbandingan luas wilayah dari keempat swapraja di Jawa Tengah itu dapat dilihat dalam tabel dibawah ini. Tabel II Perbandingan Luas Wilayah Swapraja di Jawa Tengah No
Nama Swapraja
Luas Wilayah
1
Kasunanan Surakarta
3.237.50 Km²
2
Kasultanan Yogyakarta
3.049.81 Km²
3
Pura Mangkunegaran
2.815.14 Km²
4
Pura Paku Alaman
122.50 Km²
Sumber: Th. M. Metz, 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Di Jawa. Surakarta: Rekso Pustaka. hal 15
Ibu Kota Mangkunegaran tidak terlalu luas, jika di bandingkan dengan Kasunanan dan Kasultanan. Ibu Kota Mangkunegaran hanya seperlima dari seluruh wilayah Karesidenan Surakarta, dan Ibu Kota Kasunanan menempati empat perlima dari seluruh karesidenan itu. Di Karesidenan Yogyakarta, sebagian besar wilayahnya milik
32
Wasino, op.cit. hal 52
Kasultanan Yogyakarta, dan hanya sebuah wilayah kecil yang terletak disebelah barat daya dan sebuah en clave disekitar istananya merupakan wilayah Paku Alaman.33
B. Wilayah Administratif Praja Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegoro VII. Pembagian wilayah administrasi Praja Mangkunegaran telah mengalami beberapa perubahan, yang dilakukan untuk mempermudah dalam pengelolaan wilayah tersebut untuk kemajuan dan kemakmuran Praja Mangkunegaran. Pada masa pemerintahan Mangkunegoro III perubahan terjadi untuk pertama kalinya, pada tahun1847 Praja Mangkunegaran dibagi atas tiga daerah Onderregentschap, yaitu: Wonogiri (meliputi Laroh, Hanggabayan, dan Keduwang), Karanganyar (meliputi Sukawati, Matesih, dan Haribaya), dan Malangjiwan.34 Di tahun 1875, perubahan kembali
dilakukan
untuk
yang
kedua
kalinya,
yaitu
dengan
penghapusan
Onderregenschap Malangjiwan dan kemudian dibentuk Onderregenschap Baturetno yang wilayahnya meliputi tanah Wiraka dan Sembuyan. Dengan demikian pada masa pemerintahan Mangkunegoro IV, Praja Mangkunegaran dibagi menjadi tiga wilayah admistrasi yaitu: Wonogiri, Karanganyar, dan Baturetno. Perubahan pembagian wilayah dilakukan lagi pada tahun 1891 masa pemerintahan
Mangkunegoro
V.
Onderegenschap
Baturetno
dihapuskan
dan
wilayahnya digabungkan dengan Onderregenschap Wonogiri.35 Pada tahun 1903 di bawah pemerintahan Mangkunegoro VI terjadi perubahan wilayah yang keempat
33
G.D Larson, 1990. Masa Menjelang Revolusi, Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. hal 1 34 35
Sutrisno Adiwardoyo, op.cit. hal 30 Wasino, op.cit. hal 54
kalinya, yaitu dibentuk Onderregenschap Kota Mangkunegaran. Dengan demikian daerah Praja Mangkunegaran terbagi menjadi tiga wilayah administrasi yaitu: Kota Mangkunegaran, Wonogiri, Karanganyar, dan di tambah enclave Ngawen.36 Pada masa awal pemerintahan Mangkunegoro VII wilayah administrasi Praja Mangkunegaran tetap menjadi tiga wilayah, tetapi di tahun 1929 terjadi perubahan wilayah administrasi lagi yang dilakukan dalam rangka penghematan. Hal itu dilakukan oleh Mangkunegoro VII dikarenakan pada saat itu dampak-dampak krisis ekonomi yang terjadi di seluruh penjuru dunia sudah mulai dirasakan oleh Praja Mangkunegaran. Oleh karena itu Mangkunegoro VII menghapus Kabupaten Kota Mangkunegaran, dan wilayahnya dimasukkan ke wilayah Kabupaten Karanganyar. Perubahan itu tidak berlangsung lama, setahun kemudian diadakan perubahan lagi yaitu penghidupan lagi Kabupaten Kota Mangkunegaran. Bekas daerah Kabupaten Karanganyar menjadi daerah Kabupaten Kota Mangkunegaran.37 Dengan demikian pada tahun 1930 wilayah administrasi Praja Mangkunegaran menjadi dua wilayah yaitu: Kabupaten Kota Mangkunegaran (meliputi Kawedanan Kota Mangkunegaran, Kawedanan Karanganyar, Kawedanan Karang Pandan, Kawedanan Jumapolo) dan Kabupaten Wonogiri (meliputi Kawedanan Wonogiri, Kawedanan Jatisrono, Kawedanan Wuryantoro, Kawedanan Baturetno).
C. Struktur Birokasi Praja Mangkunegaran
Pada Masa Mangkunegoro VII
36
Daerah Onderregentschap disebut daerah Kabupaten. Rijksblad Mangkunegaran Tahun 1917
37
Sutrisno Adiwardoyo, op.cit. hal 31
No. 331
Praja Mangkunegaran merupakan salah satu dari empat daerah swapraja yang ada di Jawa Tengah. Oleh karena itu, Praja Mangkunegaran memiliki struktur birokrasi yang telah tertata dengan baik, Praja Mangkunegaran ini memiliki hubungan politik yang baik dengan pemerintah kolonial Belanda, hubungan ini membawa dampak yang baik bagi birokrasi di Praja ini. Praja Mangkunegaran sangat terpengaruh dengan struktur birokrasi kolonial yang legal – rasional. Pengageng Pura (Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro) merupakan jabatan tertingi dan mengendalikan semua aparat yang ada di bawahnya didalam struktur birokrasi di Praja Mangkunegaran. Pada awalnya pengangkatan pura ini atas kehendak pemerintah Hindia Belanda dengan persetujuan Sri Susuhunan Surakarta. Akan tetapi pada akhir abad XX, pengangkatan tidak harus melalui persetujuan dari Susuhunan Surakarta.38 Mangkunegoro sebagai pimpinan Praja Mungkunegaran memegang sendiri pemerintahan. Ia tidak hanya merupakan simbol kerajaan, tetapi sebaliknya, ia merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan. Mangkunegoro mempunyai kekuasaan untuk dapat mengontrol semua aparat-aparat yang ada di bawahnya untuk hanya tunduk kepada PAA Mangkungoro. Di bawah PAA Mangkunegoro adalah Patih Mangkunegoro. Pada mulamulanya jabatan ini hanya bersifat pribadi tetapi dalam perkembangannya, jabatan Patih di Mangkunegaran bersifat resmi dalam mengurus pemerintahan sejak Mangkunegoro II dengan nama Bupati Patih dengan pangkat Tumenggung. Menurut Rijksblad Mangkunegoro tahun 1917. No 37 Bupati Patih betugas untuk menyelenggarakan pemerintahan pertama dari perintah raja. Seorang Patih di Mangkunegoro harus bersumpah setia dihadapan Mangkunegoro, sebelum ia memangku jabatannya. Isi
38
Wasino, op.cit. hal 99-100
sumpah itu hanya akan setia dan melaksanakan tugas-tugas yang diemban sebagai pegawai di Praja Mangkunegaran.39 Pada masa pemerintahan Mangkunegoro I hingga Mangkunegoro III aparataparat birokrasi pemerintah di bawah Patih hanya terdiri dari empat jabatan pemerintahan dengan nama Priyayi Punggawa. Mereka adalah dua orang Lurah dan dua orang Bekel. Masing-masing dari Priyayi Pungawa itu dibantu oleh 14 orang Jajar. Tugas dan kewajiban para Pungawa itu menjalankan pemerintahan yang berasal dari perintah Pangeran Mangkunegoro.40 Dengan demikian, pada masa pemerintahan Mangkunegoro I sampai Mangkunegoro III pemerintahan hanya terbagi dalam dua bagian yaitu kekuasan pusat yakni di Istana Mangkunegoro dan kekuasaan daerah yang dipegang oleh Lurah dan Bekel. Praja Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegoro IV diadakan pembaharuan didalam struktur pemerintahannya. Dengan Pranatan tanggal 11 Angustus 1867 telah ditetapkan Departemen-Departemen dalam Praja Mangkunegaran diluar kesentanaan dengan legiun. Departemen-departemen itu disebut Kawedanan yang terdiri dari 9 macam. Tiap-tiap Kawedanan dipimpin oleh seorang pejabat yang disebut Wedana.41 Pemerintahan di Praja Mangkunegaran terbagi menjadi dua bagian yaitu pemerintah dalam praja dan pemerintah diluar praja. Pola yang digunakan pemerintah Mangkunegaran mirip dengan struktur birokrasi di kerajaan Mataram yang dibagi menjadi dua, yakni Wedana Lebet dan Wedana Jawi.42
39
Rijksblad Mangkunegaran Tahun 1924 No. 8
40
Wasino, op.cit. hal 104-105 Ibid. hal 106
41
42
hal 6
Marwati Djoened Poesponegoro, 1984. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka.
Struktur
birokrasi
Praja
Mangkunegaran
pada
masa
pemerintahan
Mangkunegoro IV. Bupati Patih mempunyai bawahan yakni Reh Jaba dan Reh Jero yang membawahi beberapa Kawedanan dan Kemantren. 1. Reh Jaba Pejabatnya : Wedana Reksa Praja yang membawahi tiga Kamantren. a.
Polisi yang bertugas menerima perkara, menjalankan bunyi surat pemerintah, dan membantu kelancaran pemerintahan Praja.
b.
Margatama yang betugas memperbaiki jalan-jalan, tanggul, jembatan, rumah jaga, kantor pos dan sarana fisik di wilayah Praja Mangkunegaran.
c.
Jaksa yang bertugas memutusi perkara dari mereka yang bersengketa, berkewajiban menjalankan segala undang-undang dan peraturan negara.
2. Reh Jero a.
Kawedanan Hamang Praja terdiri dari tiga kemantren 1) Sastrolukito: pekerjaannya menulis dan menghitung 2) Reksopustoko: pekerjaannya merawat dan menyusun surat-surat yang dianggap penting 3) Pamong
siswo:
pekerjaannya
mengembangkan
kesenian
dan
perpustakaan b.
Kawedanan Kartapraja, membawahi dua kemantren: 1) Kartahusada,
pekerjaannya
melakukan
usaha
dan
berkewajiban
meningkatkan sumber pendapat negara dengan mudah 2) Martanimpura, pekerjaannya menerima setoran pajak dan pendapatan luar biasa negara, kerig aji, dan semacamnya, yang kemudian dimasukkan dalam gedong.
c.
Kawedanan Martapraja, hanya membawahi satu kemantren, yakni kemantren Reksahandara yang pekerjaannya menyimpan dan mengetahui jumlah uang yang berada di gedong dan ditempat lainnya.
d.
Kawedanan Karti Praja hanya membawahi satu kemantren, yakni kemantren Kartipura yang dikerjakan mengadakan perbaikan dalam kota dan luar kota, serta sebagai pemadam kebakaran.
e.
Kawedanan Mandrapura, membawahi empat kemantren: 1) Mardrasena pekerjaannya merawat dan membersihkan perkakas Praja. 2) Reksa Pradipta, pekerjaanya membuat dan menghidupkan lampu. 3) Subapandaya pekerjaannya mengurusi masalah minuman Praja. 4) Reksasunggata pekerjaannya mengurusi penyediaan makanan istana.
f.
Kawedanan Reksawibawa, membawahi tiga kemantren 1) Reksa Warastra, pekerjaannya memelihara senjata 2) Reksawahana pekerjaannya menjaga kendaraan beserta suku cadangan 3) Langenpraja pekerjaannya memperlengkapi dan merewat gamelan dan wayang.
g.
Kawedanan Prababaksana, membawahi tiga kemantren 1) Reksabaksana pekerjaannya memelihara dan membagi bahan pangan 2) Wreksapandaya, pekerjaannya menyediakan kayu jati untuk bahan bangunan. 3) Tarulata pekerjaannya membagi penyerahan sirih, rumput dan padi.
h.
Kawedanan Yogiswara, membawahi empat kemantren 1) Ketib pekerjaanya menikahkan orang akan menikah, mengurusi mayat, dan menyeleaikan perkara yang akan dibawa ke Surambi
2) Nai’b
pekerjaannya
menikah
orang
yang
akan
menikah
dan
berwewenang menyelesaikan talak wasiat dan semacamnya 3) Mardikan pekerjannya memberi pelajaran agama dan memelihara makam dan tempat suci 4) Ngulama pekerjaannya berdoa agar negara hidup tentram sejahtera.43 Pada masa pe.merintahan Mangkunegoro VII pembaharuan didalam struktur birokrasi Praja Mangkunegaran juga dilakukan. Pembaharuan itu dilakukakan untuk memperbaiki kinerja aparatur yang ada di struktur birokrasinya agar lebih baik. Perubahan-perubahan itu antara lain: Pertama, pembagian birokrasi reh jaba dan reh jero dihapuskan. Kedua, beberapa jabatan yang semula bernama Kawedanan yang dipimpin oleh seorang wedana kini diubah menjadi Kabupaten yang dipimpin seorang Bupati. Jabatan-jabatan yang diubah meliputi Kawedanan Hamong Praja diubah menjadi Kabupaten Hamong Praja, Kawedanan Mandrapura diubah menjadi Kabupaten Mandrapura, Kawedanan Karti Praja diubah menjadi Kabupaten Karti Praja, Kawedanan Yogiswara diubah menjadi Kabupaten Yogiswara. Naiknya jabatan wedana menjadi bupati membawa konsekuensi naiknya jabatan-jabatan dibawahnya, serta pembentukan jabatan-jabatan baru pada tingkat yang paling bawah. Jabatan yang dulunya hanya kapenewon meningkat menjadi kawedanan, jabatan mantri tingkat I menjadi penewu, dan seterusnya.44 Ketiga, adanya penghapusan beberapa Kawedanan lama yang diganti dengan jabatan-jabatan baru yang fungsinya mirip. Kawedanan yang dihapus yakni: Reksa Praja, Reksa wibowo, Mandrapura, Martapraja dan Purabaksana. Keempat, jabatanjabatan baru dibentuk sesuai dengan kebutuhan Praja Mangunegaran yang telah 43
Wasino, op.cit. hal 107-111
44
Rijksblad Mangkunegaran Tahun 1923 No. 10
mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan masyarakat. Jabatan-jabatan baru itu yakni: Kabupaten Pangreh Praja, Parimpuna, Sindumarto, Wanamarta, Kawedanan Sinatriyo, Paprentahan Pajeg Siti, Martanimpuna, dan Pasianoan Dusun.45 Susunan struktur birokrasi Praja Mangkunegaran dan tugas-tugasnya yang telah mengalami pembaharuan pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII. 1. Kabupaten Hamong Praja Pejabat
: Bupati
Tugasnya
: Sebagai pusat pemerintahan dan mengurusi segala jalannya pemerintahan
2. Kabupaten Pangreh Praja Pejabatnya : Bupati Tugasnya
: Mengurusi masalah pemerintahan daerah dan kepolisian.
3. Kabupaten Parimpuna Pejabatnya : Kliwon Tugasnya
: Mengurus masalah pasar di wilayah Praja Mangkunegaran
4. Kabupaten Karti Praja Pejabatnya : Belanda berpangkat Direktur Tugasnya
: Mengurus masalah pekerjaan umum
5. Kabupaten Mandra Pura Pejabatnya : Kliwon Tugasnya
: Mengurusi didalam Istana Mangkunegaran
6. Kabupaten Sindumarta
45
Wasino, op.cit. hal 113-114
Pejabatnya : Insiyur Tugasnya
: Mengurusi masalah irigasi
7. Kabupaten Yogiswara Pejabatnya : Penghulu Tugasnya
: Mengurusi masalah nikahan, perceraian, dan kematian)
8. Kabupaten Kartausaha Pejabatnya : Tugasnya
Belanda berpangkat Super-Intendent
: Mengelola semua badan usaha dan keuangan praja yang diperoleh dari badan-badan usaha itu, yang kemudian dilembagakan dalam Dana Milik Mangkunegaran
9. Kabupaten Wonomarto Pejabatnya : Belanda berpangkat Opperhoutvester Tugasnya
: Mengelola hutan yang ada di wilayah Mangkunegaran
10. Kawedanan Sinatriyo Pejabatnya : Wedana Tugasnya
: Mengurusi putra sentono (putera Adipati Mangkunegoro)
11. Kawedanan Nata Praja Pejabatnya : Wedana Tugasnya
: sebagai Sekretariat Praja Mangkunegaran
12. Kawedanan Niti Praja Pejabatnya : Wedana Tugasnya
:
sebagai Badan Perhitungan Praja Mangkunegaran
13. Paprentahan Pajeg Siti Pejabatnya : Kliwon
Tugasnya
: Mengurusi pajak tanah di wilayah Mangkunegaran
14. Paprentahan kedokteran Pejabatnya : Tugasnya
Dokter
: Menjaga/memelihara kesehatan putera sentana dan para dalam istana
15. Paprentahan Martanimpuna Pejabatnya : Kliwon Tugasnya
: Menerima setoran pajak dan pendapatan luar biasa negara
16. Paprentahan Pasinaoan Dusun Pejabatnya : Pejabat Goverment Tugasnya
: Mengatur dan memajukan sekolah-sekolah desa.46
.
46
Sutrisno Adiwardoyo, op.cit. hal 35-36 dan Wasino, Ibid. hal 11
praja
BAB III PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN PADA MASA PEMERINTAHAN MANGKUNEGORO VII
A. Struktur Penduduk Di Kota Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegoro VII Penduduk di Praja Mangkunegaran sebagian besar memeluk agama Islam sesuai dengan corak kerajaan yang ada di Jawa, yaitu Kerajaan Islam. Di kota Mangkunegaran sebagian besar penduduknya juga memeluk agama Islam. Penduduk di kota Mangkunegaran terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, yang tersebar di kampungkampung yang berada di kota tersebut. Suku-suku bangsa itu antara lain: suku Jawa, suku Sunda, suku Madura, dan ada juga suku yang berasal dari luar pulau Jawa. Kota Mangkunegaran juga terdapat bangsa-bangsa Eropa yang bermukim di tempat khusus hanya untuk kalangan mereka saja. Kota Mangkunegaran di tahun 1930 mempunyai penduduk 35.183 jiwa, yang terdiri dari orang-orang Pribumi, orang Timur Asing, dan orang Eropa. Kepadatan penduduk di kota Mangkunegaran pada tahun 1930 mencapai 859,93 per km².47 Kota Mangkunegaran memiliki tingkat kepadatan yang paling tinggi diantara daerah-daerah lain yang ada di praja Mangkunegaran. Itu dikarenakan kota Mangkunegaran merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian di praja Mangkunegaran, sehingga banyak penduduknya yang pindah ke daerah ibukota yakni kota Mangkunegaran, agar mudah melakukan aktivitas ekonominya. 36 47
Th. M. Metz, 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Surakarta: Reksa Pustaka. hal 15
Penduduk di kota Mangkunegaran sama dengan penduduk yang ada di daerahdaerah lain di praja Mangkunegaran merupakan masyarakat yang tradisional. Itu dikarenakan penduduk di kota Mangkunegaran masih bersifat ajeg dan hampir-hampir tanpa perubahan, dan apabila ada perubahan hanyalah sangat sedikit. Penduduk di kota ini juga masih mempunyai sifat nrimo, yakni selalu menerima suatu keadaan dengan apa adanya. Tradisi dan kebiasaan itu selalu diteruskan atau diwariskan pada generasi berikutnya. Menurut Sartono Kartodirdjo, untuk menentukan posisi seseorang dalam masyarakat tradisional itu diperlukan dua kriteria, yaitu: (1) prinsip kebangsawanan yang ditentukan oleh hubungan darah seseorang dengan penguasa, dan (2) kedudukan seseorang dalam struktur birokrasi kerajaan. Seseorang yang memenuhi dua kriteria itu disebut dengan golongan elit, sedangkan mereka yang berada di luar golongan itu dianggap sebagai rakyat (kawula).48 Menurut Suyatno, secara tradisional di Surakarta terdapat tiga macam kelas sosial yaitu: (1) Sentana Dalem, yang terdiri dari keluarga raja, (2) Abdi Dalem, yang terdiri dari pegawai kerajaan, dan (3) Kawula Dalem, yang terdiri dari rakyat kebanyakan.49 Rakyat kebanyakan, yakni semua rakyat yang masih tinggal di dalam praja tetapi tidak termasuk dalam golongan bangsawan maupun narapraja dan tidak mengabdi pada praja lain. Kota Mangkunegaran struktur penduduknya di bagi menjadi empat golongan yang memiliki peranan masing-masing, yakni: Golongan Bangsawan (Kasatriyan),
48
Sartono Kartodirdjo,1983. Pemikiran Dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia. hal 159 49
27
Suyatno, dkk, 1986. Birokrasi Dalam Perubahan Sosial Di Indonesia. Surakarta: Hapsara. hal
Golongan Pegawai Sipil (Narapraja), Golongan Militer (Wirapraja), dan Rakyat (Kawula).50 Struktur penduduk itu juga terdapat di daerah-daerah lain di praja Mangkunegaran. Penggolongan ini tidak didasarkan terutama dari segi ekonomis atau keunggulan kelahiran, tetapi dari segi pertuanan dan perhambaan dari kawula dengan bandara, dan tempat atau kedudukan seseorang dalam masyarakat. Pembagian golongan ini dapat diartikan bahwa hak dan kewajiban masing-masing kelas sosial telah ditakdirkan. Struktur penduduk di kota Mangkunegaran sejak pemerintahan Mangkunegoro I sampai Mangkunegoro VII, sebenarnya tidak ada yang berubah. Pertama, golongan bangsawan (kasatriyan) terdiri dari Adipati Mangkunegoro, putera, menantu, dan ipar Mangkunegoro, serta Sentana Dalem. Kedua, golongan pegawai sipil (narapraja) terdiri dari Bupati Patih, para wedana dari berbagai departeman, para mantri dari berbagai kemantren, dan para pegawai rendahan atau priyayi rendahan. Ketiga, golongan militer (wirapraja) didasarkan atas tingkat kepangkatan seseorang yaitu opsir dan bawahan. Opsir terdiri dari seseorang yang berpangkat mayor sampai kolonel, dan letnan sampai kapten. Bawahan meliputi sersan sampai ajudan opsir bawah, dan fusiler sampai dengan kopral atau anak buah. Keempat, golongan rakyat kebanyakan (kawula) mereka bekerja sebagai tukang tukang, buruh industri perkebunan, tukang cukur, pedagang, dan sebagian besar adalah petani.51 Selama pemerintahan Kolonial Belanda berkembanglah suatu sistem kelas lainnya yang sejajar dengan struktur masyarakat pribumi, yaitu kelas-kelas yang setingkat dengan kaum bangsawan, priyayi dan orang-orang biasa. Kelas baru yang
50
Th. M. Metz, op.cit. hal 17 Wasino, 1994. Skripsi: Kebijakan Pembaharuan Pemerintah Praja Mangkunegaran (Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XX). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. hal 61-64 51
makin mapan dan sejajar dengan kelas atas adalah orang-orang Belanda. Mereka terdiri dari kelompok kecil tetapi kehadirannya mencolok dikarenakan adanya perbedaan ras, warna kulit, kekayaan material, kebudayaan, dan kekuasaan mereka yang melebihi penguasa pribumi.52 Pada masa ini muncul golongan elit baru yang gaya hidup kesehariannya seperti kaum bangsawan Jawa, bahkan mempunyai kedudukan yang sejajar dengan bangsawan Jawa tersebut. Elit baru ini terdiri dari orang-orang Belanda. Untuk mempertahankan statusnya, golongan elit baru ini sengaja menciptakan struktur sosial yang berdasarkan pada perbedaan ras.
Struktur sosial tersebut yaitu orang-orang Eropa (terutama orang Belanda) merupakan status teratas dalam masyarakat. Orang-orang Indo dan Timur Asing menduduki status menengah, dan orang-orang Pribumi (bangsawan maupun rakyat kebanyakan) merupakan kelas terbawah. Stuktur sosial ini juga berlaku di seluruh daerah kekuasaan Kolonial Belanda, termasuk daerah Praja Mangkunegaran.
B. Pola Perkampungan Di Kota Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegoro VII Salah satu yang menjadi ciri dari perkembangan kota adalah adanya wilayah permukiman yang di huni oleh sekelompok orang. Mereka tinggal pada satu lingkungan disalah satu kawasan yang menjadi bagian dari kota dan di tempat itu berbaur berbagai suku bangsa dengan karakteristik tersendiri yang khas mewarnai pertumbuhan dan perkembangan kota. Sejak kehadiran bangsa Belanda, banyak kota di Hindia Belanda 52
Selo Soemardjan, 1981. Perubahan Sosial Di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss. hal 37
yang pola permukimannya meniru model di Belanda. Penduduk kota di warnai dengan kehadiran empat kelompok utama ras di kawasan perkotaan yaitu Belanda, Indo-Eropa, Timur Asing, dan Pribumi. Orang-orang pribumi tinggal di daerah perkampungan dan bangsa Eropa sebagian besar tinggal didekat jalan utama.53
Istilah perkampungan yang ada di Kota Mangkunegara baru ada sekitar tahun 1926, Menurut T.h. Metz, perkampungan itu merupakan bentuk dari kesatuan-kesatuan desa. Kampong merupakan struktur birokrasi dan administrasi yang berada di bawah kalurahan.54 Kota Mangkunegaran pada masa Mangkunegoro VII pola permukiman perkampungannya hanya terdiri dari dua perkampungan, yakni Perkampungan Pribumi dan Perkampungan Eropa (terutama orang-orang Belanda). Di kota ini juga terdapat beberapa pasar yang menjadi fokus dari kehidupan ekonomi bagi masyarakat perkampungan di Kota Mangkunegaran. 1. Perkampungan Pribumi Perkampungan orang-orang pribumi di kota Mangkunegaran terbagi menjadi beberapa
kalurahan.
Kalurahan
merupakan
struktur
pemerintahan
di
praja
Mangkunegaran di bawah Panewu. Kalurahan di kota ini dipimpin oleh seorang Lurah Kampung. Di dalam setiap kebijakan pemerintahannya, seorang lurah harus patuh terhadap anjuran dari Bupati Patih. Lurah di bantu oleh Punggawa Kampung dalam pemerintahannya. Jumlah dan pangkat dari punggawa di tentukan oleh Bupati Patih.
53
Himawan Prasetyo, 2001. Skripsi: Wajah Kauman Surakarta 1910-1930. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. hal 22 54 Th. M. Metz, op.cit. hal. 48
Lurah juga merupakan wakil dari kampung di pengadilan dan pada waktu mengajukan hal-hal yang berhubungan dengan keperluan kampungnya.55 Di Kota Mangkunegaran kantor Kalurahan letaknya selalu berada dipojok. Hal ini secara filosofis melambangkan bahwa setiap pemimpin harus selalu mengayomi rakyatnya. Makna filosofis ini erat kaitannya dengan konsep Tri Dharma yang dianut oleh Praja Mangkunegaran. Pada masa Mangkunegoro VII Kota Mangkunegaran terdiri dari 10 kalurahan, antara lain: a. Kalurahan Stabelan Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan langsung dengan Kampung Kepatihan yang merupakan wilayah dari Kasunanan, di sebelah barat berbatasan dengan Pasar Legi dan Villa Park, di sebelah utara berbatasan dengan Kalurahan Gilingan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Kalurahan Keprabon. Kalurahan Stabelan terdapat kampung: Jogobayan, Tambak Segaran, Margoyudan, dan Stabelan. b. Kalurahan Timuran Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan kalurahan Keprabon, di sebelah barat berbatasan dengan kalurahan Mangkubumen, di sebelah utara berbatasan dengan kalurahan Ketelan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan kampung Kemlayan merupakan wilayah Kasunanan. Kalurahan Timuran terdapat kampung: Beskalan, Tumenggungan, Priyabadran, dan Timuran. c. Kalurahan Keprabon Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan Kampung Baru merupakan wilayah Kasunanan, di sebelah barat berbatasan dengan kalurahan Timuran dan
55
Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1939. No 23
Ketelan, di sebelah utara berbatasan dengan kalurahan Stabelan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Kauman merupakan wilayah Kasunanan. Kalurahan Keprabon terdapat kampung: Purawan, Nataningrat, Pringgading, Niyagan, Kusumodiningratan, dan Keprabon. d. Kalurahan Kestalan Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan Pasar Legi, di sebelah barat berbatasan dengan kalurahan Punggawan, di sebelah utara berbatasan dengan kalurahan Gilingan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan kalurahan Ketelan. Kalurahan Kestalan terdapat kampung: Ngebrusan, Kestalan, Ngambakan, Kauman, dan Balapan. e. Kalurahan Ketelan Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan kalurahan Keprabon, di sebelah barat berbatasan dengan Kalurahan Punggawan, di sebelah utara berbatasan dengan kalurahan Kestalan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan kalurahan Timuran. Kalurahan Ketelan terdapat kampung: Grogolan, Ketelan, Ngadisoeman, dan Jageran. f. Kalurahan Punggawan Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan kalurahan Ketelan, di sebelah barat berbatasan dengan kalurahan Mangkubumen, di sebelah utara berbatasan dengan kalurahan Gilingan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan kalurahan
Timuran.
Kalurahan
Punggawan
terdapat
Madyataman, Tempelredjo, Bramantakan dan Punggawan. g. Kalurahan Mangkubumen
kampung:
Pethetan,
Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan kalurahan Timuran dan Punggawan, di sebelah barat berbatasan dengan kalurahan Manahan, di sebelah utara berbatasan dengan kalurahan Gilingan dan Manahan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Sriwedari merupakan wilayah Kasunanan. Kalurahan Mangkubumen terdapat kampung: Turisari, Gumuk, dan Mangkubumen. h. Kalurahan Manahan Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan Kalurahan Mangkubumen, di sebelah barat berbatasan dengan daerah Kerten, di sebelah utara berbatasan dengan kalurahan Nusukan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Purwosari, yang masih merupakan wilayah Mangkunegsaran. Kalurahan Manahan terdapat kampung: Gremet, Tempuran, Badran, Tirtomoyo, Tirtoyoso, Purworejo, Sidoredjo, Gondang, dan Manahan. i. Kalurahan Gilingan Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan kalurahan Jebres merupakan wilayah Kasunanan, di sebelah barat berbatasan dengan kalurahan Mangkubumen dan Manahan, di sebelah utara berbatasan dengan kalurahan Nusukan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan kalurahan Kestalan dan Stabelan. Kalurahan Gilingan terdapat kampung: Gumunggung, Cinderejo, Gilingan, Sambeng, Ngemplak, Margorejo, Redjosari, dan Bibis. j. Kalurahan Nusukan Kalurahan ini di sebelah timur berbatasan dengan daerah Mojosongo merupakan wilayah Kasunanan, di sebelah barat berbatasan dengan daerah Malangjiwan yang masih merupakan wilayah Mangkunegaran, di sebelah utara juga berbatasan dengan daerah Kalioso, dan di sebelah selatan berbatasan dengan
kalurahan Gilingan. Kalurahan Nusukan terdapat kampung: Joglo, Prawit, Cangakan, Nayu, Bonorejo, dan Nusukan. 2. Perkampungan Eropa Perkampungan elit orang Eropa (terutama orang-orang Belanda) biasa di sebut dengan nama Villa Park. Perkampungan ini berada di sebelah utara Istana Mangkunegaran. Perkampungan ini memiliki luas kurang lebih sekitar 1,5 ha. Villa Park dibangun pada masa Mangkunegoro VI. Perkampungan tersebut dibuat berbanjar, dan kelihatan indah. Rumah-rumah diperkampungan ini merupakan bangunan yang disewakan untuk para pembesar Belanda.56 Villa Park dinyatakan sebagai lingkungan elit
dengan
peraturan
tentang
penggunaan
tanah
negara
di
wilayah
kota
Mangkunegaran. Lingkungan Villa Park sebagian besar dihuni oleh orang-orang Eropa yang bekerja di sektor perkebunan. Peraturan tentang daerah Villa Park telah ditetapkan pada tanggal 1 November !913.57 Pertumbuhan permukiman di Villa Park juga disertai dengan segala infrastruktur yang dibutuhkan bagi orang-orang Eropa yang tinggal di tempat tersebut. Kebutuhan infrastruktur ini terdiri atas fasilitas pendidikan, kesehatan, ibadah, kesenian, dan kebudayaan. Pada tahun 1930-an terjadi adanya suatu perubahan di Kota Mangkunegaran, permukiman orang-orang Eropa tidak lagi sepenuhnya dimiliki oleh orang-orang Eropa saja. Memang pada awalnya daerah Villa Park merupakan daerah yang diperuntukkan bagi orang-orang Belanda, namun karena perkembangan dan kemajuan zaman telah membuat golongan pribumi masuk ke dalam lingkungan
56
Radjiman, 1984. Sejarah Mataram Sampai Surakarta Adiningrat. Surakarta: Krida. hal 105
57
Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1918. No 1
tersebut. Hal ini sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan pada tanggal 1 November 1913.58 Pada tahun 1942 kawasan Villa Park berubah namanya menjadi Banjarsari. 3. Pasar Di Kota Mangkunegaran Pasar merupakan perusahaan praja. Praja membangun gedung-gedungnya dan menyewakan los-losnya. Pasar merupakan fokus dari kehidupan ekonomi bagi rakyat. Di Praja Mangkunegaran, pasar dipimpin oleh seorang Inspektur yang dinamakan Sepektur Manekwesen yang di tunjuk langsung oleh Adipati Arya Prabu Prangwedana VII. Inspektur Pasar dibantu oleh beberapa Punggawa Pasar, yakni Ajung Inspektur 1, Lurah Pasar, dan pembantu yang diperlukan untuk melakukan kewajibannya mengontrol dan mengawasi pasar setiap harinya. Pedagang-pedagang pasar di Praja Mangkunegaran setiap harinya harus membayar uang sewa sesuai dengan tempat yang digunakan untuk berjualan, baik itu los maupun pelataran pasar. Para pedagang tersebut setelah membayar akan mendapatkan karcis yang telah diberi cap.59 Adapun pasar yang terletak di kota Mangkunegaran antara lain: a. Pasar Legi Pasar Legi yang berada di sebelah utara Istana Mangkunegaran. Pasar ini memiliki gedung yang besar dan pendapat yang besar di antara pasar-pasar yang ada di Praja Mangkunegaran. Dari lokasinya Pasar Legi diibaratkan sebagai tempat pemenuhan kebutuhan duniawinya. Pasar ini dinamakan Pasar Legi karena pasar ini ramai pada hari pasaran Legi. pada tahun 1936, Mangkunegoro VII, melakukan renovasi pada pasar ini, sehingga kondisi pasar menjadi lebih rapi, indah, dan tertib. b. Pasar Pon
58
Ibid
59
Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1917. No 23
Pasar Pon terletak di sebelah utara Pura Mangkunegaran yang berbatasan langsung dengan kampung Kemlayan (wilayah Kasunanan). Pasar ini dinamakan Pasar Pon karena pasar ini ramai pada hari pasaran Pon. Sejak tahun 1929, pasar ini berubah menjadi pusat pertokoan, terdiri dari toko-toko yang menjual barang-barang rumah tangga (toko klontong). Pasar Pon sebagian besar pedagangnya adalah etnis Cina. c. Pasar Triwindu Pasar Triwindu terletak di sebelah selatan Pura Mangkunegaran. Pasar ini dibangun oleh Mangkunegoro VII untuk memperingati 24 tahun kenaikan tahtanya dan diresmikan pada tahun 1939. Barang yang diperdagangkan di pasar ini hanya barang yang terbuat dari logam, antara lain: besi, tembaga, emas, dan perak.60 Di kota Mangkunegara selain pasar-pasar yang disebutkan di atas masih ada beberapa pasar kecil yang tersebar di seluruh kalurahan, antara lain: Pasar Ngapeman, Pasar Nongko, Pasar Nusukan, Pasar Umbul, Pasar Joglo, dan Pasar Ngemplak, C. Toponomi Perkampungan Di Kota Mangkunegaran Pembagian wilayah di kota Mangkunegaran atas kampung-kampung yang mempunyai spesifikasi tertentu atau ciri-ciri yang khas membentuk toponimi yang dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni berdasarkan nama orang yang terkenal di tempat itu, berdasarkan nama jabatan dalam pemerintahan, berdasarkan keadaan setempat, dan nama-nama bentukan baru. 1. Nama Kampung Berdasarkan Nama Orang Yang Terkenal Tradisi pemberian nama tempat berdasarkan nama orang ini berlatar belakang pada jabatan seseorang yang pantas dihormati, kesetian orang itu, dan pengaruh orang 60
Nina Astiningrum, 2006. Kebijakan Mangkunegoro VII Dalam Pembangunan Perkotaan Di Praja Mangkunegaran. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. hal. 101
itu terhadap masyarakat. Pemberian nama itu merupakan sebagai wujud penghormatan bahwa orang itu sebagai Abdi Dalem atau Sentana Dalem yang disegani oleh rakyat. Dia dihormati karena berkelakuan baik, berjasa kepada raja, berwibawa atau masih keturunan bangsawan.61 Nama-nama kampung di kota Mangkunegaran yang termasuk dalam kelompok ini adalah: a. Mangkubumen Kampung Mangkubumen terletak mulai depan pertigaan Sriwedari ke utara samapi permpatan Pasar Beling ke barat sampai pertigaan lapangan Mangkubumen, ke selatan sampai perempatan Gendengan. Dahulu merupakan tempat tinggal B.R.M.H. Mangkubumi, adik dari Paku Buwana IV. Agaknya sebutan Mangkubumi itu bukan nama orang, tetapi sebutan bagi sebuah jabatan. Dia adalah pembantu terdekat raja yang berkuasa, bahkan mungkin saja sebagai wali raja. Hal ini kita lihat bahwa nama Mangkubumi sudah ada sejak jaman Kerajaan Majapahit. Gajah Mada menjabat Patih Amangkubumi. Sultan Agung mempunyai wakil di bidang pemerintahan di samping Patih, ialah Pangeran Mangkubumi. Pada Masa Kerajaan Mataram Kartosura kita kenal nama Pangeran Mangkubumi. Di sini jelas, jabatan Mangkubumi dipegang oleh seseorang yang masih dekat hubungan saudara dengan raja. b. Keprabon Kampung ini dulunya merupakan tempat tinggal dari menantu Paku Buwana III, yang bernama Kangjeng Pangeran Arya Prabuwijaya, yang letaknya berada di depan Istana Mangkunegaran. Kampung ini kemudian bernama Keprabon.62 c. Timuran 61 62
Radjiman, op.cit. hal 79 R.M Sayid. Babad Sala. Surakarta: Reksa Pustaka. hal 60
Kampung ini dulunya merupakan tempat tinggal putera laki-laki dari selir Mangkunegoro yang belum dewasa (Gusti Timur). Kampung ini kemudian dinamakan Timuran. Di daerah ini terdapat tempat yang bernama Gendingan, artinya tempat tinggal pembuat gamelan atau gending-gending Jawa (Niyaga Mangkunegaran).63
2. Nama Kampung Berdasarkan Nama Jabatan Dalam Pemerintahan Daerah ini merupakan tempat tinggal sekelompok abdi dalem yang memiliki tugas dan jabatan sama. Mereka terdiri dari para prajurit, pejabat, abdi dalem kriya, pengrajin, pemelihara binatang, dan sebagainya.64 Nama-nama kampung di kota Mangkunegaran yang termasuk dalam kelompok ini, antara lain: a. Kauman Kampung ini terletak di sebelah barat Pasar Legi dan di sebelah timur Ngebrusan. Kampung Kauman merupakan tempat tinggal para abdi dalem putihan (penghulu).65 Saat ini kampung Kauman telah menjadi pemukiman rakyat biasa (kawula) b. Stabelan Kampung ini terletak di sebelah timur Pasar Legi. Stabelan berasal dari bahasa Belanda “kon-stabel”, artinya prajurit meriam yang terdiri dari orang-orang
63 64
65
Radjiman, op.cit. hal 111 Ibid, hal 80 Nina Astiningrum., op.cit. hal 7
Belanda. Stabelan merupakan tempat tinggal prajurit meriam dari Legiun Mangkunegaran, tetapi sekarang menjadi pemukiman biasa. c. Madyataman Kampung ini terletak di sebelah utara Pethetan dan sebelah barat Jageran. Madyataman dari kata Madya-Tamtaman, artinya tempat tinggal prajurit Tamtaman golongan menengah dalam Legiun Mangkunegaran. Semasa pemerintahan Mangkunegoro I, terdapat 37 macam prajurit yang dikelompokan menjadi 44 kelompok. Setiap kelompok rata-rata terdiri dari 44 orang, tetapi ada pula yang hanya terdiri dari 22 orang dan bahkan 88 orang. d. Jageran Kampung ini terletak di sebelah timur Grogolan. Jageran dari kata “Jager”, artinya pemburu. Jageran merupakan tempat tinggal para pemburu. e. Ngebrusan Kampung ini terletak di sebelah barat Stabelan. Ngebrusan dari kata “Obrus”, yaitu Overste (sebuah pangkat di dalam system kemiliteran Belanda, yakni Letnan Kolonel). Ngebrusan merupakan tempat tinggal Overste Belanda. f. Bramantakan Kampung ini terletak di sebelah selatan jembatan merah (kreteg bang). Menurut Sutarto, Bramantakan berasal dari kata Brama (api) dan Antaka (mati), artinya tempat tinggal abdi dalem pemadam kebakaran termasuk di dalamnya abdi dalem bagian listrik. Menurut Tonaya, Bramantakan merupakan tempat tinggal abdi dalem prajurit berani mati di dalam Legiun Mangkunegaran. Ada juga yang mengatakan
Bramantakan
dahulu
bernama
Jabang
Bayen,
ialah
tempat
meninggalnya seorang bayi, yang tidak diketahui siapa orang tuanya. Sampai
sekarang kuburannya masih ada, dan dipelihara oleh orang-orang yang senang tirakat.
g. Punggawan Kampung ini terletak di sebelah timur Tumenggungan. Punggawan dari kata “Punggawa”. Punggawa ialah sebutan bagi para pengikut Raden Mas Said selama dalam pemberontakan. Kampung Punggawan merupakan tempat tinggal punggawa yang menjadi Pamong Desa. Jumlah Punggawa tersebut mula-mula hanya 22 orang. Para punggawa tersebut memakai nama “jaya”, antara lainnya: Jayautama, Jayaprameya,
Jayawilanten,
Jayawiguna,
Jayasutirta,
Jayanimpuna,
Jayaprabata,Jayasantika, Jayapuspita, Jayasudargo, Jayasudarma, Jayadipuara, Jayaleyangan, Jaya Jagaulatan, Jaya Alap-Alap, Jayapanamur, Jaya Pamenang, Jaya Panantang, Jaya Tilarsa, Jaya Pangrawit, Jaya Winata, dan Jaya Prawira. h. Tumenggungan Kampung ini terletak di sebelah utara Ngapeman. Tumenggungan berasal dari kata “Tumenggung”, ialah punggawa prajurit Mangkunegaran yang berpangkat bupati atau patih. Tumenggungan merupakan tempat tinggal para punggawa prajurit serta Patih Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegoro II sampai dengan Mangkunegoro VII.66 3. Nama Kampung Berdasarkan Nama Keadaan Setempat dan Aktivitasnya Nama-nama di dalam kelompok ini dapat dihubungkan dengan bendabendayang ada di suatu tempat atau kegunaan dari tempat tersebut, dan kadang-kadang 66
Radjiman, op.cit. hal 106-107 dan 110
dihubungkan dengan benda-benda yang aneh di tempat tersebut.67 Nama-nama kampung di kota Mangkunegaran yang termasuk di dalam kelompok ini, antara lain: a. Kestalan Kampung ini terletak mulai dari belakang RRI Surakarta menyusur Jembatan Balapan (Srambatan) menyusur ke timur sampai Jembatan Pasar Legi, ke utara sampai simpang lima Balapan. Kestalan berasal dari bahasa Belanda “Staal”, yang artinya
kandang
kuda.
Kampung
ini
merupakan
kandang
kuda
milik
Mangkunegaran.68 b. Grogolan Kampung ini berada di sebelah utara Kestalan. Grogolan berasal dari kata Grogol-an, artinya tempat untuk mengikat hewan-hewan hasil perburuan. Tempat ini digunakan untuk menampung hewan hasil perburuan sebelum di sembelih untuk diambil dagingnya. c. Tambak Segaran Kampung ini terletak di sebelah timur Pasar Legi dan sebelah barat Widuran. Nama dari kampung ini diambil karena dahulu sungai Pepe sebelum dibuatkan sungai Susukan, sering banjir. Oleh karena itu supaya tidak membanjiri Istana Mangkunegaran, maka dibuatkan bendungan atau ditambak. Oleh karena itu kampung ini bernama Tambak Segaran. d. Pethetan Kampung ini terletak di sebelah barat Grogolan. Pethetan artinya taman bunga yang indah dan teratur. Tempat ini di bangun pada masa pemerintahan Mangkunegoro V. Tempat itu sekarang telah menjadi permukiman warga. 67
Ibid. hal 81
68
R.M. Sayid, op.cit. hal 64
e. Nusukan Kampung ini terletak di sebelah utara sungai Pepe. Nusukan dari kata “Susuk”, yang berarti sudet atau tembus. Sungai Susukan merupakan sungai buatan, yang dibuat pada masa Mangkunegoro VI bersama-sama dengan Paku Buwana IX pada tahu 1908. Sungai ini digunakan sebagai terusan untuk mengalirkan air sungai Pepe, agar tidak menggenangi Kota Surakarta apabila banjir. Sungai Susukan biasa disebut dengan Kali Anyar dan bermuara di Sungai Bengawan Solo yang berada di sebelah utara Jurug. f. Joglo Kampung ini berada di sebelah utara kampung Prawit. Dinamakan Joglo, karena pada tahun 1911 pada masa pemerintahan Mangkunegoro VI. Ia memerintahkan membangun sebuah rumah joglo umtuk menyaksikan pertama kali mendaratnya pesawat terbang di Solo (Panasan). Pada masa Mangkunegoro VII rumah tersebut kemudian di pindahkan ke Partini-tuin. g. Gilingan Kampung ini terletak di sebelah utara Stasiun Kereta Api Balapan. Pada masa Mangkunegoro I dan II masih merupakan sawah, kemudian tempat itu dibangun sebuah benteng di bawah pimpinan KPH Nataningrat I ketika akan menangkap Puteri Serang, yang akhirnya dapat ditangkap dan dibunuh, kemudian mayatnya dimakamkan di sebelah utara sungai Susukan. Setelah benteng itu tidak dipakai lagi digunakan sebagai pabrik gula, dan akhirnya dipergunakan sebagai tempat penggilingan padi.69 Saat ini benteng tersebut tidak ada dan menjadi permukiman warga yang terdapat di belakang Pasar Besi di kampung Gilingan. 69
Radjiman, op.cit. hal 106-107 dan 112
h. Balapan. Kampung ini dulu merupakan arena pacuan kuda yang dilengkapi tribun pada masa pemerintahan Mangkunegoro IV, kemudian tempat ini berubah menjadi Stasiun Kereta Api Balapan. Tempat pacuan kuda kemudian dipindahkan ke Manahan.70 4. Nama Tempat Berdasarkan Ciptaan Baru Pemberian kelompok ini berdasarkan atas kreasi baru. Nama tempat ini biasanya dihubungkan dengan nama-nama dalam pewayangan, nama-nama bahasa asing, kenangan pada kelahiran putera-puteri raja, atau lainnya.71 Nama-nama tempat yang ada yang ada di Kota Mangkunegaran yang berada dikelompok ini, antara lain: a. Partini-tuin Tempat ini terletak di sebelah utara lapangan Manahan. Partini-tuin biasa disebut Bale Kambang, artinya rumah yang mengapung di tengah telaga buatan. Taman ini di buka pada hari Rabu Kliwon, tanggal 26 Sapar 1853 atau 1922 Masehi oleh Mangkunegoro VII untuk kenang-kenangan terhadap puterinya yang bernama Bandara Raden Ajeng Partini, yang kemudian menikah dengan Prof. Dr. Husein Jayadiningrat. Tempat ini sekarang lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Bale Kambang dan telah selesai direnovasi dan semakin menjadi lebih menarik. b. Partinah Bosch Tempat ini berada di sebelah utara Partini-tuin. Partinah Bosch merupakan hutan kecil milik Mangkunegaran. Tempat ini diberi nama sesuai dengan nama puterinya, yakni Bandara Raden Ajeng Partinah, kemudian menikah dengan putera
70
Nina Astiningrum, op.cit. hal 7
71
Radjiman, op.cit. hal 81
Bupati Batang yang bernama Mr. RM. Murdakusuma.72 Tempat ini masih tetap ada dan berfungsi sebagai hutan kota dan daerah resapan air hujan. c. Kusumawardhaniplein Tempat ini diambil dari nama salah seorang puteri Mangkunegoro VII yang bernama
Gusti
Bandara
Raden
Ajeng
Siti
Nurul
Kamaril
Ngasarati
Kusumawardhani. Kusumawardhaniplein merupakan tempat olahraga para prajurit Mangkunegaran (terutama prajurit wanita Mangkunegaran). Kusumawardhaniplein sekarang ini telah menjadi taman yang berada di sebelah utara Monumen Pers.
d. Tri Windu Tempat ini merupakan sebuah pasar yang terletak di sebelah selatan Ngarsapura (Pamedan). Pasar ini dibangun untuk memperingati tiga windu (24 tahun) berkuasanya Mangkunegoro VII, sehingga diberi nama Tri Windu.73 Pasar ini sekarang masih berdiri dan telah selesai direnovasi dan berganti nama menjadi Pasar Windu Jenar.
72
Nina Astiningrum, op.cit. hal 7
73
Radjiman, op.cit. hal 13
BAB IV PERANAN MANGKUNEGORO VII BAGI PEMBANGUNAN PERKAMPUNGAN DI KOTA MANGKUNEGARAN
A. Sikap dan Tindakan Mangkunegoro VII Bagi Praja Mangkunegaran Mangkunegoro VII merupakan anak dari Mangkunegoro V. Ia merupakan anak yang ketujuh dan putera yang ketiga. Ia lahir pada tanggal 12 November 1885, yang menurut hitungan Jawa jatuh pada hari Kamis Wage, tanggal 3 Sapar tahun Dal 1815. mangkunegoro memiliki nama kecil B.R.M. Soeparto. Sewaktu kecil Soeparto telah diangkat putera oleh pamannya, yakni R.M. Soenito. Ia sangat dimanja dan disayangi oleh pamannya yang belum memiliki keturunan. Soeparto hanya memiliki satu adik kandung yang bernama R.A. Soeparti.74 Ketika berumur 11 tahun Soeparto telah ditinggal mati oleh ayahnya, yakni Mangkunegoro V. Ia meninggalkan putra-putri sebanyak 24 orang serta hutang negara yang belum dapat terlunasi. Pemerintah Kolonial Belanda kemudian mengangkat R.M. Soenito, yang tidak lain adik dari Mangkunegoro V dan paman dari Soeparto. Ia dianggap mampu untuk diserahi tanggung jawab dan kewajiban mengelola praja, terutama karena beratnya tanggungan hutang yang harus dibayar kembali dan untuk menyelamatkan Mangkunegaran dari bahaya kemlaratan yang mengancam negara dan rakyat. Mangkunegoro VI adalah raja yang bijaksana dan sederhana dalam kehidupannya. Ia melakukan penghematan demi untuk memperbaiki perekonomian Praja Mangkunegaran. Di masa pemerintahan telah terjadi peningkatan ekonomi yang
74
58
Ringkasan Riwayat Dalem Suwarga Sampeyan Dalem K.G.P.A.A. Mangkunegoro VII. ,2007. Surakarta: Reksa Pustaka. Hal 1
dapat membawa kesejahteraan rakyat dan praja, sehingga terdapat cadangan uang yang cukup besar bagi praja.75 Di bawah asuhan pamannya, Soeparto tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan kekar. Itu dikarenakan Mangkunegoro VI merupakan figur yang disiplin dan inovatif, maka sedikit banyak mempengaruhi kepribadian Soeparto. Soeryo Soeparto juga ikut dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Ia bergabung dengan perkumpulan yang ingin memperjuangkan kemerdekaan melalui pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan, yakni Budi Utomo. Pendapatnya dan pemikirannya untuk mendukung dan mempropagandakan Budi Utomo di Surakarta selalu dituangkan dalam tulisan pada surat kabar Dharmo Kondo, sehingga ia dikenal sebagai propagandis pergerakan bangsa yang patut dipuji.76 Ia mulai mempunyai citacita agar Praja Mangkunegaran, walaupun hanya merupakan sebuah kerajaan kecil di bawah Pemerintahan Hindia Belanda, namun bisa memiliki keunggulan-keunggulan yang dapat membawa nama baik Praja Mangkunegaran di seluruh daerah kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Cita-cita ini kemudian diwujudkan oleh Soeryo Soeparto, setelah ia naik tahta menjadi Mangkunegoro VII. Soeryo Soeparto diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda menjadi penguasa Praja
Mangkunegaran
setelah
Mangkunegoro
VI
meletakkan
jabatan
atas
permintaannya sendiri . Soeparto diangkat menjadi Pengageng Pura Mangkunegaran ketika ia baru berumur 21 tahun. Pengangkatannya itu terjadi pada tanggal 13 Maret 1916. Selama masa pemerintahannya, Mangkunegoro VII dianggap oleh rakyat praja Mangkunegaran sebagai raja yang bijaksana dan raja pembaharu. 1. Mangkunegoro VII Sebagai Raja Yang Bijaksana
75
76
Benardial Hilmiyah, 1985. Mengenang Soeryo Soeparto. Surakarta: Reksa Pustaka. hal 7
A. Muhlenfeld, 1916. Buku Kenang-Kenangan Pada Jumenengan R.M. Soeparto. Surakarta: Reksa Pustaka. hal 3-4
Soeryo Soeparto setelah diangkat menjadi Pengageng Pura Mangkunegaran namanya berubah menjadi K.G.P.A.A Mangkunegoro VII. Ia merupakan raja yang bijaksana di masa pemerintahannya. Dalam menghadapi situasi yang menghadangnya ia selalu berpikir secara bijak dan di masa pemerintahannya telah terjadi adanya perubahan sosial politik dan sosial budaya di Hindia Belanda, termasuk di Praja Mangkunegaran. Perubahan sosial politik menyangkut kebijaksanaan negeri Belanda terhadap daerah jajahan, tumbuhnya organisasi-organisasi kebangsaan, dan sikap Sunan terhadap keberadaan Mangkunegaran. Sementara itu perubahan sosial budaya adalah ditandai dengan semakin meresapnya faham dan gagasan-gagasan barat dalam masyarakat Jawa.77 Mangkunegoro VII karena bersikap secara moderat, maka ia sering mendapatkan kritikan keras dari organisasi-organisasi pergerakan yang radikal, terutama I.S.D.V dan Sarikat Islam. Mangkunegoro VII dianggap oleh organisasi itu sebagai partner dari Pemerintahan Hindia Belanda. Kritikan ini banyak dimuat dalam surat kabar di Jawa Tengah seperti di surat kebar Sarotama milik Sarikat Islam. Sementara itu, Cipto Mangunkusumo dalam De Beweging mengkritik bahwa Prangwedana merupakan seorang pemburu laba yang jorok, sebagai seorang penguasa yang menjual kemakmuran rakyatnya untuk memperoleh ringgit putih. Misbah, tokoh I.S.D.V di Surakarta juga menyerang Mangkunegoro VII sebagai raja feodal yang menghisap rakyat.78
77
Wasino, 1994. Tesis: Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunegaran (Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XX). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. hal 95 78
G.D Larson, 1990. Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal 77-131
Dalam situasi demikian itu, Mangkunegoro VII selalu berpikir secara bijak. Ia lebih bersikap kooperatif kepada Pemerintahan Hindia Belanda, karena itu akan dapat membantunya untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan di dalam praja dan dapat menyejahterakan kehidupan rakyatnya. Ia juga berpikir bahwa jika ikut menentang kebijakan-kebijakan yang di keluarkan oleh Pemerintahan Kolonial, itu malah akan menghambat Praja Mangkunegaran untuk berkembang dan maju. Pada tanggal 6 September 1920, Mangkunegoro VII menikah dengan putri Hamengkubuwono VII, yang bernama Gusti Kangjeng Ratu Timur.79 Perkawinan ini membawa dampak positif terhadap hubungan kedua swapraja yang dulunya saling bertentangan. Perkawinan itu juga memperkuat stabilitas politik di kedua belah pihak, antara Pura Mangkunegaran dan Kasultanan Yogyakarta.
2. Mangkunegoro VII Sebagai Raja Pembaharu Mangkunegoro VII juga merupakan raja pembaharu. Di masa pemerintahannya, ia melakukan pembaharuan tidak hanya dalam bidang ekonomi saja, tetapi meliputi segala bidang. Mangkunegoro VII menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan keuangan praja. Ia juga melakukan pembaharuan di bidang Birokrasi Pemerintahan. Di Praja Mangkunegaran juga banyak dilakukan pembangunanpembangunan
yang ditujukan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya.
Pembangunan yang paling menonjol adalah pembangunan irigasi seperti bendungan, saluran air, dan prasarana lainnya yang berkaitan dengan irigasi itu. Mangkunegoro VII memandang irigasi merupakan kebutuhan yang mendesak buat rakyatnya, karena
79
Hal 4
Ringkasan Riwayat Dalem Suwarga Sampeyan Dalem K.G.P.A.A. Mangkunegoro VII, op.cit.
mengingat keadaan tanah dan topografi daerah Mangkunegran, terutama di daerah selatan sangat tidak menguntungkan untuk pertanian basah, terutama padi. Pemerintahan praja Mangkunegaran perlu mengatur air di daerah itu agar ketika musim hujan dapat mengalir pelan-pelan, melewati sawah-sawah dan menyimpannya untuk keperluan pada musim kemarau. Irigasi ini sekaligus berguna sebagai pemupukan, karena air yang mengalir itu membawa lumpur yang subur yang berasal dari lereng-lereng gunung dan lumpur-lumpur itu akan mengendap di sawah-sawah.80 Pada Masa Mangkunegoro VII telah dibangun lima buah waduk yang berfungsi sebagai saluran irigasi. Waduk-waduk tersebut, antara lain: (1) Waduk Kedung Uling yang dibangun pada tahun 1918. Waduk ini mempunyai luas 15,4 ha dengan kedalaman rata-rata 9,7 m berisi 712.500 m³ air dan dapat mengaliri 800 ha sawah. (2) Waduk Plumbon dibangun dalam dua tahap, yaitu tahun 1918-1919 dan tahun 1924-1929. Waduk ini mempunyai luas 12,5 ha dengan kedalam rata-rata 15 m ini berisi 1.200.000 m³ air yang dapat mengairi 815 ha sawah. (3) Waduk Tirtomarto dibangun pada tahun 1920-1924. Waduk ini luasnya 56,5 ha dengan kedalaman rata-rata 16 m ini berisi 4.000.000 m³ air yang dapat mengairi 12.700 ha sawah. (4) Waduk Cengklik dibangun pada tahun 1930-1932. Waduk ini mempunyai luas 301, 2 ha dengan kedalaman ratarata 9 m ini berisi 11.000.000 m³ air yang dapat mengairi 950 ha sawah. (5) Waduk Jombor dibangun pada tahun 1925-1926. Waduk ini luasnya hanya 16 ha dengan kedalaman 4,5 m berisi 400.000 m³ air yang dapat mengairi 2,3 ha sawah.81 Pembangunan jalan dan jembatan selain untuk kepentingan istana juga ditujukan untuk
menembus
daerah-daerah
yang
terisolasi.
Dari
sejumlah
daerah
di
Mangkunegaran, daerah Wonogiri yang mendapatkan perhatian khusus dalam 80
Th. M. Metz, 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Surakarta: Reksa Pustaka. hal 42 81 Wasino, op.cit. hal 203-204
pembangunan jalan dan jembatan. Hal itu disebabkan daerah-daerah ini masih banyak yang terisolir dengan dunia luar. Mangkunegaran juga membangun jalan-jalan yang menuju jalan kereta api NIS. Jalan ini diperlukan untuk mempermudah pengangkutan barang dari pedalaman ke stasiun kereta api. Usaha-usaha pembangunan jalan dan jembatan di Mangkunegaran telah membawa hasil yang memuaskan untuk ukuran swapraja sekecil itu. Pembangunan pendidikan juga dilakukan Mangkunegoro VII, antara lain: memberikan motivasi untuk bersekolah, didirikannya sarana dan prasarana berupa pendirian sekolah-sekolah desa, sekolah H.I.S. Siswo, Sisworini, merupakan suatu usaha untuk membawa rakyatnya pada kemajuan, dan pemberian beasiswa bagi para siswa yang ingin sekolah tetapi mengalami kesulitan biaya. Demikian pula dengan pembangunan kebudayaan Jawa merupakan sebuah prestasi yang gemilang dengan di bentuknya Jawa Institut.82 Pembaharuan yang digalakkan oleh Mangkunegoro VII juga dilakukan di daerah-daerah perkampungan khususnya di kota Mangkunegaran. Adapun beberapa alasan yang mempengaruhi pembangunan perkampungan di kota Mangkunegaran, yaitu: Mangkunegoro VII sebagai pemimpin wajib melakukan pembangunan di kampung-kampung demi terciptanya kesejahteraan penduduknya. Mangkunegoro VII menginginkan agar penduduk di perkampungan dapat menikmati modernisasi yang dilakukannya. Mangkunegoro VII menginginkan agar penduduk di perkampungan dapat hidup dengan bersih, sehat, dan teratur.
82
Jawa Instituut merupakan lembaga yang membahas secara ilmiah tentang kebudayaan jawa, mulai dari karya sastra, arsitektur, seni tari, permainan anak, dan lain sebagainya. Hasil-hasil pembahasan ilmiah itu kemudian dimuat dalam majalah berkalanya, yakni Majalah Djawa. Ibid. hal 262
B. Konsep Filosofi Pembangunan Mangkunegoro VII Praja Mangkunegaran konsep mengenai pemusatan kekuatan kosmis masih seperti di zaman Mataram, yakni keraton masih merupakan pusat kekuatan kosmis yang dikelilingi oleh kekuatan mahkluk hidup dan unsur alam semesta dari arah timur, barat, utara, dan selatan. Keraton didirikan berdasarkan “pangolahing budi”, yaitu pakarti lahiriyah dan pakarti batiniyah. Pakarti lahiriyah mengandung tuntunan bahwa manusia hidup dalam tingkah laku serta ucapan yang tidak menyimpang dari budi luhur. Pakarti batiniyah yakni dengan cara semedi, meditasi, atau bertapa untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Hasil dari pangolahing budi disebut dengan budaya.83 Dengan demikian dapat diartikan bahwa budaya keraton merupakan tuntunan hidup berdasarkan pangolahing budi. Selain itu dapat juga dikatakan bahwa budaya keraton tidak dapat lepas dengan kepercayaan mengenai Tuhan. Kekuasaan di keraton merupakan sebuah wahyu Illahi. Menurut kepercayaan bahwa kearton Jawa tidak akan berdiri dan tidak akan lestari tanpa adanya wahyu tersebut. Keraton merupakan pusat kekuatan kosmis yang akan menentukan paham negara. Apabila kekuatan yang ada dipusat semakin jauh maka akan semakin redup kekuatan tersebut. Menurut filsafat politik Jawa, negara itu paling padat dipusat ibukota dan kekuatan raja memancar samapi ke desa-desa. Kekuatan itu ada karena seluruh kekuatan menjaga keraton dan memberikan perlindungan serta memberi keselamatan pada para penghuninya. Kekuatan yang berawal dari berbagai kekuatan mahkluk hidup, unsur alam dari arah timur, selatan, barat, dan utara yang disatupadukan di keraton untuk dipanjatkan dengan suatu persembahan melalui upacara ritual kepada sumber dari sumber kekuatan
83
Yosodipuro, 1994. Keraton Surakarta Hadiningrat. Surakarta: Makradata. Hal 2
yaitu Tuhan. Keberadaan keraton akan tetap langgeng (tidak punah) karena adanya kekuatan-kekuatan yang berada di keraton itu. Keraton juga dipercaya dilindungi dan dijaga oleh kekuatan halus yang berad di keblat empat. Adapun kekuatan itu terletak diempat arah mata angin, yakni: di sebelah utara: Kangjeng Ratu Kalayuwati di hutan Krendhawahana, di sebelah barat: Kangjeng Sunan Lawu di gunung Lawu, di sebelah utara: Kangjeng Ratu Kencana Sari (Ratu Kidul) di Samudera Hindia, dan di sebelah barat: Kangjeng Ratu Kedhaton di gunung Merapi dan Merbabu.84 Pura Mangkunegaran memiliki dua bangunan, yakni bangunan utama berupa joglo atau limasan dan bangunan disekelilingnya didirikan berdasarkan arsitektur Belanda. Bangunan kedua digunakan sebagai asrama tentara kavaleri. Bangunan yang ada di Pura Mangkunegaran, antara lain: 1. Pamedan yaitu halaman luas yang berfungsi sebagi tempat latihan militer legion Mangkunegaran. 2. Reksa Wahana yaitu sebagai tempat menyimpan kereta-kereta dan memelihara kuda, terletak di sebelah kanan pamedan. 3. Pendopo Ageng yang terletak di tengah-tengah bangunan utama dan merupakan tempat pertunjukan kesenian, menyimpan gamelan, dan terutama sebagai tempat jamuan dan upacara-upacara resmi. 4. Pringgitan yang disebut juga sebagai beranda dalem, yang letaknya lebih tinggi dari pendopo. Pringgitan ini berbentuk kutuk ngambang dan sering dipakai untuk pertunjukan wayang, tetapi fungsi utamanya sebagai tempat menerima tamu.
84
Nina Astiningrum, 2006. Skripsi: Kebijakan Mangkunegoro VII Dalam Pembangunan Perkotaan di Praja Mangkunegaran. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Hal 25
5. Panetan merupakan jalan bagi kereta tamu dan terletak diantara pendopo dengan pringgitan. 6. Dalem Ageng yaitu bangunan yang terletak di sebelah dalam pringgitan, merupakan tempat diadakannya upacara-upacara resmi. 7. Dimpil merupakan tempat pemujaan nenek moyang dan menyimpan pusaka. 8. Bale Warni merupakan tempat tinggal permaisuri dan putri-putrinya. 9. Pracimusana merupakan tempat untuk menerima tamu sehari-hari dan tempat tinggal keluarga Pura Mangkunegaran. 10. Bale Peni merupakan tempat tinggal Mangkunegoro dan menerima tamu lakilaki. 11. Purwosana yang terletak diseputar bale warni dan bale peni merupakan tempat tinggal para wanita yang mempunyai hubungan keluarga dengan Mangkunegoro yang sudah memerintah. 12. Panti Putra yaitu tempat tinggal putra-putra yang masih ada hubungan keluarga dengan Mangkunegoro. 13. Prangwedanan merupakan tempat tinggal putra mahkota calon pengganti Mangkunegoro yang sedang memerintah. Letaknya diantara perkantoran mandrapura dan panti putra. 14. Mandrapura
merupakan
perkantoran
dimana
semua
pekerjaan
yang
berhubungan dengan penataan dan pengaturan administrasi. Letaknya diantara timur dan barat pendopo. 15. Reksa Pustaka yaitu perpustakaan yang terletak di sebelah timur pendopo. Pura Mangkunegaran merupakan sentrum dari teori sentrifugal yang menghadap ke utara dibangun jalan poros lurus sampai titik teologis tugu pemandengan ndalem. Hal
ini dimaknai, yakni: Pertama, untuk membedakan nilai kosmis magis antara ruangruang publik bagi rakyat (njobo) merupakan lingkungan mikrokosmos dengan istana kerajaan (njeron) makrokosmos yang bernuansa sakral magis. Kedua, sumbu poros ini juga dimaknai sebagi simbol pemisahan antara prinsip dunia sekuler (Pasar Legi) di timur jalan dengan dunia spiritual (Masjid Wustho) di barat jalan yang ditandai dengan keberadaan kampung kauman yang merupakan tempat tinggal abdi dalem reh pangulon. Dalam pengertian kiblat kulon (arah matahari terbenam) sebagai abdi dalem urusan kiblat.85 Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII konsep praja kejawen di atas, masih dijadikan acuan dalam membangun tata ruang kota di praja Mangkunegaran, yang masih mengutamakan poros sakral utara-selatan.
C. Dinas Pekerjaan Umum Pada Masa Pemerintahan Mangkunegoro VII Dinas Pekerjaan Umum di Praja Mangkunegaran sudah ada sejak pemerintahan Mangkunegoro IV, yang disebut dengan Kawedanan Karti Praja. Kawedanan ini dipimpin oleh seorang wedana. Ia membawahi sebuah kemantren, yakni Kemantren Kartipura, yang mempunyai tugas mengadakan perbaikan di dalam kota dan di luar kota. Kemantren ini juga bertugas sebagai pemadam kebakaran. Sehubungan untuk mempermudah pengawasan dan pekerjaannya terhadap keadaan kota, ia dibantu oleh beberapa pekerja, antara lain: bramataka, tukang batu, juru taman, undagi, pande besi, pengangsu, jagapiyara, narajomba, serta pekerja tidak tetap seperti jagahastana dan wiratana.86 Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII terjadi sedikit perubahan di Dinas Pekerjaan Umum, yakni jabatan dari Kawedanan Karti Praja diubah menjadi Kabupaten 85 86
Ibid, hal 18 Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1917. No. 37
Karti Praja. Kabupaten ini dipimpin oleh seorang yang berkebangsaan Belanda yang berpangkat direktur. Pada masa Mangkunegoro VII tugas dari Dinas Pekerjaan Umum masih sama seperti pada masa pemerintahan sebelumnya.87 Dinas ini mempunyai tugas melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan sarana-sarana umum yang terdapat di Praja Mangkunegaran. Sekitar Tahun 1934-an Mangkunegoro VII melakukan penggabungan antara Kabupaten Karti Praja dan Kabupaten Sindumarta menjadi Kabupaten Sindupraja. Ia melakukan penggabungan itu dalam rangka penghematan, karena di tahun tersebut sedang terjadi krisis ekonomi dunia yang juga melanda praja Mangkunegaran. Kabupaten Sindupraja mempunyai tugas sebagai pengelola irigasi dan pekerjaan umum di praja Mangkunegaran. Dinas
Pekerjaan
Umum
Mangkunegaran
telah
melakukan
berbagai
pembangunan yang digunakan untuk kepentingan umum. Pada masa Mangkunegoro VII, dinas ini telah mengerjakan beberapa fasilitas-fasilitas umum di kota Mangkunegaran, seperti: pembangunan Partini-tuin dengan pemandian dan lapangan olahraga (tempat ini sekarang bernama Taman Bale Kambang), sebuah gedung pertemuan untuk para pegawai sipil (sekarang telah menjadi Monumen Pers) dan para bintara/militer (sekarang telah menjadi kantor Pramuka Surakarta), sebuah perpustakaan umum (Reksa Pustaka), sebuah lapangan sepak bola yang ada di Gilingan (sekarang telah menjadi Terminal Tirtonadi, yang berada di sebelah timur), sebuah kantor polisi (sekarang telah menjadi Polsek Banjarsari), masjid Al-Wustha Mangkunegaran, beberapa gedung sekolah (H.I.S. Siswo sekarang telah menjadi SMP Negeri 5
87
Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1923. No. 10.
Surakarta, H.I.S. Siswo-rini sekarang tidak digunakan lagi dan tempatnya berada di sebelah timur Akademi Seni Mangkunegaran).88 Pembangunan Rumah Sakit Pusat “Zieken Zorg”, yang ada di daerah Mangkubumen, merupakan rumah sakit yang pertama di Surakarta. Rumah sakit itu dalam pembangunannya mendapat subsidi dari Pemerintah Swapraja dan mendapat subsidi setiap tahunnya sebesar f. 5.000. Rumah sakit ini pada saat berdirinya dipimpin oleh tiga orang dokter, mantri, pembantu mantra, bidan, dan juru rawat.89 Rumah sakit ini sekarang telah tidak ada, dan lahan bekas rumah sakit ini dibangun sebuah apartemen. Pembangunan yang dilakukan Dinas Pekerjaan Umum juga sampai ke daerahdaerah perkampungan di kota Mangkunegaran. Pembangunan yang dilakukan dinas itu, antara lain: Pembangunan tiga buah kantor kalurahan/bale kampung di Kestalan, Punggawan, dan Manahan. Pembangunan wc umum di kampung Ngebrusan, Grogolan, Ngentak, Manahan, Stabelan, dan Cinderejo. Pembangunan pancuran umum di kampung Cinderejo, Kusumodiningratan, Manahan, Kestalan, Stabelan, Grogolan, dan Turisari. Perbaikan jalan di kampung Bibis, Nayu, dan Gilingan. Perbaikan jembatan kecil di kampung Pringgading. Pembangunan saluran pembuangan air di kampung Stabelan.
D. Pembangunan Perkampungan Di Kota Mangkunegaran Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII kondisi keuangan di praja Mangkunegaran telah kembali sehat, bahkan telah mengalami kemajuaan yag pesat. Oleh karena itu pemerintah praja Mangkunegaran berusaha untuk mengadakan 88 89
Th. M. Metz, op.cit. hal 71 Ibid, hal. 71
pembangunan-pembangunan
dibidang
infrastruktur,
pertanian,
pendidikan
dan
kebudayaan, dan lain-lain. Pembangunan itu juga dilaksanakan di daerah-daerah perkampungan, khususnya di kota Mangkunegaran. Di masa pemerintahannya, Mangkunegoro VII selalu berkeliling ke kampung-kampung di kota Mangkunegaran untuk melihat langsung keadaan masyarakat dan sarana-sarana umum yang perlu mendapatkan perbaikan. Dalam pembangunan di perkampungan pemerintah praja Mangkunegaran masih tetap mendapatkan bimbingan dan bantuan dari pemerintahan Hindia Belanda. Hal ini merupakan strategi politik dari para Pengageng Pura Mangkunegaran, yang lebih memilih menjalin hubungan baik dengan pemerintah kolonial, yang berguna untuk kemajuan dan kemakmuran praja. Adapun pembangunan-pembangunan itu, antara lain: 1. Pembangunan WC Umum/Kakus Umum Pembangunan wc umum merupakan program pemerintah praja Mangkunegaran di masa pemerintahan Mangkunegoro VII. Pembangunan sarana umum ini dimaksudkan agar penduduk di perkampungan tidak membuang hajat disembarang tempat yang dapat menggangu kesehatan maupun kebersihan lingkungan. Pembangunan itu juga dimaksudkan untuk menghilangkan jumbleng, yakni tempat pembuangan hajat tradisional yang dilakukan dengan menggali tanah dan telah dipakai secara turuntemurun. Pembuatan wc umum ini biasanya diletakkan di tempat-tempat yang strategis dan bersifat umum. Lahan yang akan digunakan untuk membangun wc umum ini merupakan lahan milik rakyat tanpa diberikan ganti rugi, tetapi akan dibuatkan wc pribadi. Pembangunan wc umum ini dilakukan di kampung-kampung yang terdapat di
kota Mangkunegaran, seperti: kampung Ngebrusan, grogolan, Ngentak, Manahan, Stabelan, dan Cinderejo.90 2. Pembangunan Pancuran Umum Air bersih merupakan kebutuhan yang sangat diperlukan dan harus dipenuhi secara mutlak. Air juga merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia sehari-harinya, baik sebagai air minum maupun untuk kepentingan lainnya, yakni mandi dan mencuci. Dalam hal ini, untuk memenuhi kebutuhan air bersih pemerintahan praja Mangkunegaran membagun pancuran-pancuran umum disetiap kalurahan yang ada di kota
Mangkunegaran.
Kusumodiningratan,
Pancuran
Manahan,
ini
Kestalan,
dibangun
di
kampung
Stabelan,
Grogolan,
dan
Cinderejo, Turisari.91
Pembangunan pancuran umum ini maksudkan untuk memenuhi keutuhan air bersih bagi masyarakat, sebab air pancuran lebih bersih dan sehat dari pada air sumur. Namun demikian usaha ini agak mengalami hambatan karena penduduk dperkampungan kurang membutuhkan air pancuran, hal ini dikarenakan mereka telah memiliki sumur sendiri. Pemenuhan air bersih di Surakarta semakin teratasi dengan didirikannya perusahaan air minum pada tahun 1931, yang merupakan inisiatif dari Residen Surakarta. Perusahaan air minum ini diberi nama N.V. Hoodgruk Water Leiding Hoofdplaats Surakarta en Omstreken (PT Air Minum Bertekanan Tinggi di Ibukota Surakarta dan Sekitarnya). Sumber air bersih yang digunakan oleh perusahaan air minum ini berasal dari daerah Cakratulung.92 Dengan berdirinya perusahaan ini
90
“Anggaran Untuk Membuat Kakus Umum dan Pancuran di Mangkunegaran. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka. Kode L. 436 91
Ibid Heri Dwiyanto, 1995. Skripsi: Pembangunan Bidang Kesehatan Di Praja Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegoro VII. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Hal 79 92
pemerintah praja Mangkunegaran telah berusaha meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan, yakni menyediakan air bersih melalui leiding. 3. Pembangunan Saluran Pembuangan Air Pembangunan saluaran pembuangan air juga dilakukan oleh Mangkunegoro VII. Pembangunan saluran air ini digunakan untuk pembuanagn limbah maupun luapan banjir. Saluaran air ini digunakan untuk menyerap air kotor agar tidak mengenang di daerah permukiman perkampungan di kota Mangkunegaran. Pemerintah praja kemudian membangun saluran pembuangan air dari Pura Mangkunegran yang dialirkan ke sungai Toklo yang dibuka pukul 8.30 pagi dan 6.30 sore, agar tidak menganggu pemandangan. Pembuatan saluran air hujan juga dilakukan di kampung Stabelan untuk menghindari luapan dan genangan air hujan dan limbah rumah tangga, sehingga air kotor dapat mengalir dengan lancar dan tidak menyebabkan munculnya bibit penyakit.93 4. Perbaikan Jalan dan Jembatan Pembangunan infrastruktur lain yang menjadi urgen bagi pemerintahan praja Mangkunegaran adalah pembangunan jalan dan jembatan. Pembangunan infrastruktur ini dipandang mendesak karena mengingat ditinjau dari teknik lalu lintas, letak Mangkunegaran tidak baik sekali. Walaupun ibukotanya merupakan titik persilangan jalan kereta api yang terpenting di Jawa, yakni dua perusahaan kereta api SS (dari Jakarta dan Bandung lewat Yogyakarta dan Surakarta) dan NIS (dari Semarang ke Yogyakarta lewat Surakarta), namun ibukota Mangkunegaran hanya sebagian kecil saja yang disinggahi. Sebagian besar dari daerah-daerah Mangkunegaran masih merupakan daerah terisolir dan sulit untuk dilalui dengan kendaraan umum. Pembangunn jalan dan jembatan di Mangkunegaran semakin diperhatikan pada masa Mangkunegoro VII. Pada 93
“Anggaran Pembuatan Saluran Air”. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka. Kode H. 204
tahun 1931 di praja Mangkunegaran terdapat 530 km jalan yang telah dapat dilalui kendaraan bermotor.94 Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII pembangunan jalan dan jembatan tidak hanya di jalan-jalan utama (protokol) dan jembatan-jembatan besar saja, tetapi juga di daerah-daerah perkampungan, seperti mengadakan pelebaran jalan dan pengerasan jalan serta pembagunan jembatan yang menghubungkan antara kampung satu dengan kampung yang lainnya, agar penduduknya mudah berinteraksi.95 Jalan perkampungan yang diperbaiki yakni seperti di kampung Nayu, Bibis, dan Gilingan. Perbaikan jembatan dilakukan di kampong Gondang dan Pringgading. Pembangunan jalan dan jembatan merupakan hasil inspeksi berkuda Mangkunegoro VII beserta perwira dan keluarga serta abdi dalem yang dilakukan secar teratur, sehingga ia mengetahui keadaan jalan dan jembatan yang ada di kampung-kampung di kota Mangkunegaran.96 Pada mulanya pembangunan jalan dan jembatan ini mengalami sedikit kesukaran dalam hal tenaga kerja, itu dikarenakan penduduk diperkampungan Kota Mangkunegaran belum terbiasa dalam pekerjaan itu secara sistematik, namun lama-kelamaan penduduk di perkampungan itu dapat menyesuaikan pekerjaanpekerjaan baru itu. 5. Pengadaan Penerangan Jalan Listrik merupakan salah satu kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat, khususnya di malam hari. Pada zaman dahulu kota Surakarta di waktu malam hari sangat gelap, sebelum adanya penerangan listrik. Di jalan-jalan kota sebagai penerangan 94
Wasino, op.cit. hal 207-209
95
Sejarah Perjuangan K.G.P.A.A. Prabu Prangwedana ke VII, 1993. Surakarta: Reksa Pustaka.
Hal 294. 96
Pernyataan R.M. Gondosubariyo, 1939. Tri Windu Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka. Hal 56
masih menggunakan Lampu Ting, yakni lampu teplok yang memakai kaca dimasukkan dalam suatu tempat yang terbuat dari seng, dan berbentuk persegi empat. Lampu-lampu tersebut digantungkan pada pertengahan jalan yang ramai pada setiap satu meter dipasang satu buah lampu penerangan. Ketika musim penghujan banyak lampu yang mati karena terkena air dan tertiup angin kencang.97 Keadaan tersebut juga dialami oleh Praja Mangkunegaran, sebelum adanya listrik di kota itu. Pada tanggal 12 Maret 1902 di Surakarta didirikan sebuah perusahaan listrik yang bernama S.E.M (Solo Electricitiet Maatschappij). Lampu-lampu baru bisa menyala pada tanggal 19 April 1902, sehingga di kota Surakarta di waktu malam hari menjadi terang. Pemerintah praja Mangkunegran pada sekitar tahun 1902 masih belum bisa menyuplai listrik untuk daerah-daerah diperkampungan, yang dikarenakan harganya mahal. Baru pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII mulai melakukan pemasangan lampu-lampu listrik di tepi-tepi jalan diperkampungan. Kampung-kampung yang mendapatkan penerangan listrik, antara lain: Kampung Badran, Tirtomoyo, Manahan, Timuran,.98
Penerangan
jalan-jalan
di
perkampungan
itu
bermanfaat
untuk
mempermudah hubungan antar kampung di waktu malam hari dan juga dapat mengurangi tindak kejahatan (begal dan kecu) di Kota Mangkunegaran. 6. Pembangunan Bale Kampung/Kantor Kalurahan Bale kampung merupakan kantor dinas dari Lurah Kampung dan Punggawa Kampung. Bale kampung digunakan sebagai tempat untuk mengurusi masalah diperkampungan, seperti: administrasi, perpajakan, pengadilan, dan lain sebagainya. Bale Kampung di kota Mangkunegaran biasanya terletak di pojok perempatan jalan
97
R.M. Sayid, 1984. Babad Sala. Surakarta: Reksa Pustaka. Hal 74 “Surat Permohonan Penerangan Jalan”. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka. Kode P.1938 98
diperkampungan. Pada masa pemerintahannya, Mangkunegoro VII melakukakan pembangunan bale kampung yang dianggapnya sudah tidak layak digunakan sebagai tempat kerja. Tanah yang digunakan untuk pembangunan bale kampung adalah tanah milik rakyat, yang telah mendapatkan ganti rugi dari pemerintah praja Mangkunegaran. Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII telah dibangun tiga buah bale kampung, yang antara lain: Bale Kampung Kestalan, Punggawan, dan Manahan.99 7. Perbaikan Rumah-Rumah Kumuh Epidemi Pest yang menyebar di seluruh Jawa Tengah ternyata juga sampai menyebar ke kota Mangkunegaran. Penyakit pest ditimbulkan oleh kutu yang dibawa oleh tikus dan kemudian menyerang manusia lewat baju atau barang yang ada di dalam rumah, di mana kebersihan masyarakat pada waktu itu sangat memprihatinkan. Hal ini dikarenakan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang masih di bawah garis kemiskinan. Rumah-rumah di perkampungan yang rata-rata terbuat dari alang-alang dan kayu sederhana serta berlantai tanah sangat mendukung untuk berkembangnya penyakit yang ditimbulkan oleh binatang pengerat itu. Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII, melalui Dinas Kesehatan Mangkunegaran selalu menganjurkan kepada rakyatnya untuk menciptakan perumahan yang sehat. Kriteria rumah sehat pada waktu itu adalah lantai harus kering, harus ada pintu dan jendela, harus ada ventilasi, di sekitar
rumah
tidak
ada
air
yang
mengenang, di setiap sumur harus dibuatkan penghalang di pinggirnya agar tidak tercemari air kotor, dan bagi yang mampu dianjurkan untuk membuat kakus di setiap rumah.100 Pemerintah Praja juga memberikan bantuan berupa pinjaman uang bagi rakyat
99
“Pembangunan Bale Kampung Kestalan, Punggawan, dan Manahan”. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka. Kode H. 159, P. 2607, dan P. 2583 100
Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1925. No. 11. Surakarta: Reksa Pustaka
yang ingin memperbaiki rumahnya. Dalam anggaran belanja praja tahun 1918, pemerintah menyediakan dana sebesar f. 66.000 untuk perbaikan rumah rakyat dan f. 25.000 untuk biaya pembangunan kampung-kampung.101 Selain memberikan bantuan berupa pinjaman uang untuk perbaikan rumah dan kampung, ia juga memberikan vaccin otten yang telah ditemukan pada tahun 1935, untuk penderita penyakit pest dan juga melakukan penyemprotan obat serta pembasmian tikus.102 Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Mangkunegoro VII itu sangat membantu di dalam program pemberantasan penyakit menular, khususnya penyakit pest di kota Mangkunegaran. Program itu juga diharapkan menciptakan masyarakat yang sehat. Usaha-usaha pemberantasan penyakit menular yang dilakukan oleh pemerintahan Mangkunegoro VII merupakan suatu bukti bahwa pemerintah tidak menginginkan rakyatnya menderita akibat adanya penyakit menular yang mengancam jiwa mereka. Mangkunegoro VII juga menyadari bahwa keselamatan dan kelangsungan hidup rakyat menjadi tanggung jawabnya. 8. Pembangunan Mentalitas Penduduk Mangkunegoro VII di masa pemerintahannya, ia tidak hanya membangun sarana-sarana umum saja, tetapi ia juga membangun mentalitas penduduk di kota Mangkunegaran.
Mangkunegoro
VII
selalu
memerintahkan
patihnya
untuk
mengaktifkan para lurah dan punggawa kampung, termasuk rukun kampung supaya setiap
hari
tertentu
menyelenggarakan
penyuluhan-penyuluhan
yang
bersifat
memberikan tambahan pengetahuan dan pengalaman kepada warga masyarakat,
101
102
Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1918. No.2. Surakarta: Reksa Pustaka
Ratih Widayati, 1998. Skripsi: Yatna Nirmala: Dinas Kesehatan Praja Mangkunegaran Tahun 1943-1953. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Hal 87
khususnya bagi ibu-ibu. Di samping memberi tambahan pengalaman, juga hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan memberikan motivasi bagi putra-putrinya. Mangkunegoro VII Pada tanggal 29 April 1924, memerintahkan patihnya untuk menyelenggarakan
penyuluhan
untuk
warga
masyarakat
di
sekitar
Istana
Mangkunegaran. Acara itu bertempat di pendopo Prangwedanan. Acara itu juga diikuti oleh para putra-putri sentana. Penyuluhan itu dimaksudkan untuk memberi tambahan pengetahuan dan pengalaman tentang pembinaan keluarga, yang berguna untuk kemajuan bagi praja Mangkunegaran. Di dalam acara itu Mangkunegoro VII juga menghimbau agar penduduk di perkampungan hidup dengan sehat dan teratur yakni dengan selalu menjaga kebersihan dilingkungannya masing-masing.103
103
Sejarah Perjuangan K.G.P.A.A. Prabu Prangwedana ke VII. Op.cit. hal 295
BAB V KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan dalam bab-bab dimuka, maka dapat ditarik kesimpulan, yakni: Mangkunegoro VII menggantikan kedudukan dari Mangkunegoro VI pada tahun 1916. Pada awal pemerintahan Mangkunegoro VI terjadi kesulitan keuangan yang hampir membuat kebangkrutan praja Mangkunegaran. Keberhasilan yang diperoleh Mangkunegoro VI salah satunya adalah mampu memperbaiki kondisi keuangan praja yang kembali menjadi baik. Mangkunegoro VII merupakan seorang terpelajar yang menempuh pendidikan negeri Belanda. Mangkunegoro VII pada masa pemerintahannya melakukan pembaharuan-pembaharuan disegala bidang yang merupakan terobosan baru dalam sejarah kerajaan Jawa. Kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang sudah mapan, serta didukung oleh keadaan geografis yang ada mendorong untuk melakukan pembaharuan yang berguna untuk kesejahteraan praja dan rakyat Mangkunegaran. Mangkunegoro VII juga melakukan pembaharuan ke daerah perkampungan, khususnya di kota Mangkunegaran. Ada beberapa alasan yang mempengaruhi pembangunan perkampungan di kota mangkunegran, yaitu: Mangkunegoro VII sebagai pemimpin wajib melakukan pembangunan di kampung-kampung demi terciptanya kesejahteraan penduduknya. Ia juga menginginkan agar penduduk di perkampungan dapat menikmati modernisasi yang dilakukannya. Ia juga ingin agar penduduk di perkampungan dapat hidup dengan bersih, sehat, dan teratur. Pemerintahan Mangkunegoro VII selama 28 tahun telah terjadi perkembangan 81 ke arah modernisasi dibidang pendidikan, pertanian, infrastruktur, dan irigasi. Ia juga
sangat memperhatikan keadaan yang ada di perkampungan kota Mangkunegaran. Di kampung-kampung banyak didirikan wc umum, seperti: kampung Ngebrusan, Grogolan, Ngentak, Manahan, Stabelan, dan Cinderejo. Pembangunan pancuran umum juga dibangun di kampung Cinderejo, Kusumodiningratan, Manahan, Kestalan, Stabelan, Grogolan, dan Turisari agar penduduknya dapat hidup dengan bersih dan sehat. Pembuatan saluran air yang ada di kampung Stabelan dapat mengatasi luapan banjir dan mengalirkan air hujan yang ada di rumah-rumah agar tidak menimbulkan bibit penyakit. Mangkunegoro VII juga membangun bale kampung Manahan, Kestalan, dan Punggawan untuk mengurusi masalah penduduknya baik itu administrasi, pajak, maupun pengadilan. Ia juga memperbaiki jalan dan jembatan yang ada di perkampungan, seperti di kampung Gilingan, Nayu, Bibis, dan Pringgading yang bermanfaat untuk berinteraksi antar penduduknya. Mangkunegaran VII juga mengadakan penerangan jalan di perkampungan untuk mempermudah aktivitas di malam hari dan mencegah tindak kriminalitas. Kampung-kampung yang mendapatkan penerangan jalan antar lain: kampung Timuran, Badran, Tirtomoyo, dan Manahan.
Pada masa pemerintahan Mangkunegoro VII perbaikan rumah-rumah kumuh juga dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit pest yang sangat berbahaya, karena penduduk perkampungan pada masa itu hidup secara seadanya, itu dikarenakan keadaan ekonomi yang tidak mencukupi. Mangkunegoro VII tidak hanya melakukan pembangunan fisik saja,tetapi juga pembangunan mentalitas penduduk perkampungan agar selalu hidup secar sehat, bersih, dan teratur, serta mendidik anak-anaknya secara baik.
DAFTAR PUSTAKA 1. Arsip-Arsip Anggaran Untuk Membuat Kakus Umum dan Pancuran Umum Di Mangkunegaran. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka. Anggaran Pembuatan Saluran Air. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka Anggaran Pembangunan Bale Kampung Punggawan. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka Pembukaan Bale Kampung Manahan. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka Perumahan Yang Akan Dibuat Bale Kampung Kestalan. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka. Surat Permohonan Penerangan Jalan. Arsip Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka. Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1917. No. 23 (Bab Mengenai Pasar) dan No. 331 (Bab Mengenai Perubahan wilayah Administrasi Mangkunegaran). Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1918. No. 2 (Bab Mengenai Dana Untuk Perbaikan Rumah dan Kampung). Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1923. No 10 (Bab Mengenai Perubahan Struktur Birokrasi Mangkunegaran). Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1924. No. 8 (Bab Mengenai Tugas Bupati Patih). Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1925. No. 11 (Bab Mengenai Kriteria Rumah Sehat). Rijksblad Mangkunegaran. Tahun 1939. No. 3 (Bab Mengenai Desa dan Kampung).
2. Buku-Buku Mulat Sarira, 1978. Surakarta: Reksa Pustaka Ringkasan Riwayat Dalen Suwarga Sampeyan Dalen K.G.P.A.A Mangkunegoro ke VII, 2007. Surakarta: Reksa Pustaka
Sejarah Perjuangan K.G.P.A.A Prabu Prangwedana VII, 1993. Surakarta: Reksa Pustaka Bernardinal Hilmiyah M.D, 1985. Mengenang Soerya Soeparto. Surakarta: Reksa Pustaka. Dudung Abdurrrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Gondosubariyo R.M, 1939. Tri Windu Mangkunegoro VII. Surakarta: Reksa Pustaka Gottshalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press. Heine-Geldern, Robert. 1981. Konsepsi Tentang Raja dan Kedudukan raja di Asia Tenggara. Jakarata: Penerbit Rajawali. Larson G.D, 1990. Masa Menjelang Revolusi, Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942. Yogyakarta: Gajah Mada University Perss. Marwati Djoened Poesponegoro, 1984. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka. Moedjanto G, 1987. Konsep Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Muhammad Dalyono, 1977. Mangkunegaran.
Ketataprajaan
Mangkunegaran.
Rekso
Pustoko
Muhlenfeld A, 1916. Buku Kenang-Kenangan Pada Jumenengan R.M Soeparto. Surakarta: Reksa Pustaka. Metz Th.M, 1939. Mangkunegaran: Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Rotterdam: NV Nijgh dan Van Ditmar. Nugroho Notosusanto. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Jakarta: yayasan Indayu. Pringgodigdo A.K, 1938. Lahir Serta Tumbuhnya Praja Mangkunegaran. Surakarta: Reksa Pustaka. Purwadi, 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Abadi. Radjiman, 1984. Sejarah Mataram Sampai Surakarta Adiningrat. Surakarta: Krida. Rouffer G.P. Swapraja. Surakarta: Reksa Pustaka. Sartono Kartodirjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metode Sejarah. Jakarta: PT. Gramedia.
. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu Alternatif. Jakarta: PT. Gramedia. . 1992, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metode Sejarah, Jakarta: PT. Gramedia. . 1982, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu Alternatif, Jakarta: PT. Gramedia. . 1983, “ Metode Penggunaan Bahan Dokumen “Koentjoroningrat, MetodeMetode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT. Gramedia. Sayid R.M,1984. Babad Sala. Surakarta: Rekso Pustoko Pura Mangkunegaran. Selo Soemardjan, 1981. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gajah Mada University Perss. Suyatno dkk, 1986. Birokrasi Dalam Perubahan Sosial di Indonesia. Surakarta: Hapsara. Yosodipuro, 1994. Keraton Surakarta Hadiningrat. Surakarta: Makradata Wertheim, W.F, 1999. Masyarakat Indonesia Dalam Transisi; Studi Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
3. Karya-Karya Ilmiah Heri
Dwiyanto, 1995. Skripsi: Pembangunan Bidang Kesehatan Di Praja Mangkunegaran Pada Masa Mangkunegoro VII. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Himawan Prasetyo, 2001. Skripsi: Wajah Kauman Surakarta 1910-1930. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Ismu Sadiyah, 1998. Karya Tulis: Keraton Mangkunegaran Sebagai Obyek Wisata Yang Menaraik Di Jawa Tengah. Bandung: ABA Bandung. Nina Astiningrum, 2006. Skripsi: Kebijakan Mangkunegoro VII Dalam Pembangunan Perkotaan Di Praja Mangkunegaran. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Ratih Widayati, 1998. Skripsi: Yatma Nirmala: Dinas Kesehatan Praja Mangkunegaran Tahun 1943-1953. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Wasino, 1994. Tesis: Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintah Praja Mangkunegaran (Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XX). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
LAMPIRAN 1
LAMPIRAN 2
Gambar 1 K.G.P.A.A Mangkunegoro VII Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka
Gambar 2 WC Umum dan Pemandian Umum, di kampung Ngebrusan di bangun pada tahun 1943. Sekarang di kenal dengan nama Monumen Jamban Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka
Gambar 3 Pancuran di daerah Villa Park, di bangun pada tahun 1943 Pancuran tersebut sekarang telah berubah menjadi Monumen 45 Banjarsari Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka
Gambar 4 Bale Kampung Manahan, di bangun pada tahun 1938 Sumber: Arsip Foto Rekso Pustoko
Gambar 5 Pembangunan Jalan di Gilingan pada tahun 1935 Sumber: Arsip Foto Rekso Pustoko
Gambar 6 Perkampungan Sebelum Adanya Pembangunan tahun 1924 Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka
Gambar 7 Perkampungan Setelah Adanya Pembangunan tahun 1930 Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka
Gambar 8 Perkampungan Setelah Adanya Pembangunan tahun 1932 Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka
Gambar 9 Jembatan Penghubung Antara Kampung Gondang dan Kampung Gumunggung, di bangun pada tahun 1934 Sumber: Arsip Foto Reksa Pustaka